HUBUNGAN KARAKTERISTIK SISWA
DAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN INFEKSI CACINGAN SISWA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN
MEDAN BELAWAN
TESIS
Oleh
SALBIAH 057023018/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Salah satu masalah kesehatan di Indonesia adalah tingginya prevalensi penyakit infeksi cacingan (40 – 60%) pada semua kelompok umur. Anak Usia Sekolah Dasar merupakan golongan yang paling sering terkena infeksi cacingan dengan prevalensi sebesar 40 – 80%.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan karakteristik siswa dan sanitasi lingkungan dengan infeksi cacingan siswa sekolah dasar di kecamatan Medan Belawan. Jenis penelitian adalah survey analitik dengan menggunakan rancangan cross-sectional. Populasi penelitian adalah siswa kelas VI dari 3 (tiga) Sekolah Dasar Negeri terpilih dengan teknik purposive sampling. Sampel penelitian berjumlah 65 (enam puluh lima) orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara untuk mengetahui karakteristik dan perilaku siswa, observasi terhadap lingkungan sekolah dan rumah untuk data sanitasi lingkungan, dan pemeriksaan feses secara laboratorium untuk mengetahui prevalensi rate infeksi cacingan. Analisis statistik dilakukan dengan uji Chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi rate infeksi cacingan sebesar 53,8%, tidak ada hubungan yang bermakna antara karakteristik siswa (jenis kelamin), pengetahuan dan sikap dengan infeksi cacingan (p>0,05). Ada hubungan yang bermakna antara tindakan dan sanitasi lingkungan dengan infeksi cacingan (p<0,05). Masih tingginya infeksi cacingan pada siswa sekolah dasar perlu mendapat penanganan yang lebih serius. Program pemberantasan cacingan melalui program UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) di sekolah hendaknya diaktifkan kembali.
ABSTRACT
One of health problems in Indonesia is the high prevalence of intestinal worm infection (40% – 60%) in the children of all age. The children of primary school age are those who most frequency suffer from intestinal worm infection with the prevalence of 40% - 80%.
The purpose of this analytical observational study with cross-sectional design is to examine the relationship between the characteristics of students and environmental sanitation with intestinal worm infection in Medan Belawan Subdistrict. The population of this study is the grade 6 students of three state primary schools. The samples for this study are 65 students who were selected through the purposive sampling technique. The data needed to examine the students’ characteristics and behavior were obtained through interviews, the data needed to find out the environmental sanitation were obtained by observing their school and home environment, and the data needed to look at the prevalence rate of intestinal worm infection were obtained through feces examination in the laboratory. Statistical analysis was carried out by using Chi-square test.
The result of this study reveals that the prevalence rate of intestinal worm infection is 53,8% meaning there a significant relationship between behavior/action and environmental sanitatoion and intestinal worm infection (p < 0,05) but there is no significant relationship between the characteristics of students (sex), knowledge and attitude and intestinal worm infection (p > 0,05).
Since the intestinal worm infection in the primary school students is still relatively high, it needs a seriouse treatment, therefore, it is suggested that an intestinal worm infection control program need to be reactivated at school thorugh School Health Program (UKS).
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini, yang mana merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan.
Selama dalam penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan moril
maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Erman
Munir, MSi dan Ibu Ir. Indra Chahaya, S, MSi yang telah membimbing penulis dari
awal sampai selesainya penyusunan tesis ini. Selanjutnya ucapan terima kasih juga
saya ucapkan kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Ketua Program Studi Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
3. Bapak dr. Surya Dharma, MPH, dan Ibu drh. Rasmaliah, MSi, selaku Dosen
Pembanding Tesis
4. Seluruh Dosen dan staf di Program Studi Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
5. Ibu Ir. Zuraidah Nasution, M.Kes, selaku Direktur Politeknik Kesehatan
6. Bapak dr. Fachri Nasution, DAN, selaku ketua Jurusan Analis Kesehatan
Politeknik Kesehatan Depkes Medan
7. Orang tua tercinta (Almarhun H. Khamaruddin dan Almarhum Nurisah) yang
telah banyak memberikan dorongan dan semangat dalam penyelesaian
pendidikan Pascasarjana
8. Teristimewa buat suami tercinta (Isnaeni Ilyas) yang telah banyak
memberikan dorongan dan semangat dalam penyelesaian pendidikan
Pascasarjana
9. Seluruh teman-teman di Politeknik Kesehatan Depkes Medan yang telah
banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini
10.Teman-teman di Sekolah Pascasarjana khususnya Konsentrasi Admiistrasi
Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Angkatan 2005.
Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna baik dari segi isi maupun
penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan masukan yang bersifat
membangun demi kesempurnaan tesis ini dan pengembangan penulisan ini di masa
RIWAYAT HIDUP
Salbiah dilahirkan di Mataram pada tanggal 22 juni 1970, anak kesembilan dari
sebelas bersaudara dari pasangan Ayahanda H. Khamaruddin (Almarum) dan ibunda
Nurisah (Almarhum). Menikah dengan Isnaeny Ilyas pada tanggal 17 Mei 2004.
Sekarang menetap di Asrama yon Zipur I jln. Cemara, Blok A nomor 11 Pulo Brayan
Medan.
Memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 3 Matarm dari tahun 1976 – 1983,
melanjutkan pendidikan sekolah di SMP Negeri 3 Mataram tahun 1983 – 1986,
kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Mataram tahun 1986 – 1989.
Selanjutnya meneruskan Pendidikan Dilpoma III Biologi di Fakultas Kependidikan
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mataram dan selesai tahun 1992. Gelar
Sarjana Pendidikan diperoleh di Fakultas Kependidikan dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Medan tahun 2001.
Pernah bekerja sebagai guru di SMP Negeri 7 Mataram dari tahun 1993 – 1997
dan kemudian pindah ke Medan sebagai tenaga pengajar di Sekolah Menengah Analis
(SMAK) Depkes Medan tahun 1997 – 1999. Selanjutnya menjadi Dosen tetap di
Politeknik Kesehatan Depkes Medan tahun 2002 sampai dengan sekarang.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... ABSTRACT ... KATAPENGANTAR ... RIWAYAT HIDUP ...
DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ... 1.2. Permasalahan ... 1.3. Tujuan Penelitian ……… 1.4. Hipotesis Penelitian ... 1.5. Manfaat Penelitian ... BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Cacingan ... 2.2. Epidemiologi Infeksi Cacingan ... 2.3. Dampak Infeksi Cacingan terhadap Anak Usia sekolah ... 2.4. Cacing yang Ditularkan melalui Tanah .
(Soil-Transmited Helminths) ………. ... 2.4.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ……….. 2.4.2. Cacing Cambuk (Trichuris Trichiura) ………... 2.4.3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus) ………... 2.5. Perilaku ……….... 2.5.1. Pengetahuan ……….. 2.5.2. Sikap ………. 2.5.3. Kebersihan Diri (Higiene perorangan) ………
2.6.Lingkungan dan Sanitasi Lingkungan ... 2.6.1. Lingkungan ... 2.6.2. Sanitasi Lingkungan ... 2.7. Landasan Teori ... 2.8. Kerangka Konsep ... BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian ... 3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 3.3. Populasi dan Sampel ... 3.4. Metode Pengumpulan Data ...
21 21 23 27 28 29 29 29 31 3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 3.5.1. Variabel ... 3.5.2. Definisi Operasional ... 3.5.3. Aspek Pengukuran ... 3.6. Metode Pengukuran Data ... 3.6.1. Variabel Pengetahuan ... 3.6.2. Variabel Sikap ... 3.6.3. Variabel Tindakan (Hygiene Perorangan) ... 3.6.4. Variabel Lingkungan Sekolah ... 3.6.5. Variabel Lingkungan Rumah ... 3.6.6. Variabel Terikat ... 3.6.6. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 3.8. Metode Analisa Data ... BAB IV. HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 4.2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 4.2.1. Data Prevalensi Rate Infeksi Cacingan ... 4.2.2. Karakteristik Responden ... 4.2.3. Perilaku Responden ...
4.2.4. Sanitasi Lingkungan Sekolah dan Rumah ... 4.3. Hasil Uji Statistik ... 4.3.1. Hubungan antara Karakteristik Siswa
dengan Infeksi Cacingan ... 4.3.2. Hubungan Perilaku Siswa dengan
Infeksi Cacingan ... 4.3.3. Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan
Infeksi Cacingan ... BAB V. PEMBAHASAN ... 5.1. Infeksi Cacingan ... 5.2. Hubungan Karakteristik Siswa dengan
Infeksi Cacingan ... 5.3. Hubungan Perilaku Siswa dengan Infeksi Cacingan ... 5.4. Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi Cacingan ... 5.4.1. Lingkungan Sekolah ... 5.4.2. Lingkungan Rumah ... 5.5. Keterbatasan Penelitian ... BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 6.1. Kesimpulan ... 6.2. Saran ... DAFTAR KEPUSTAKAAN ...
44 46
46
46
48 50 50
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
Jumlah Unit Sampel pada Setiap Sekolah Dasar
Berdasarkan Proporsi ……….
Aspek Pengukuran Variabel Independent dan
Variabel Dependent
…….……….
Distribusi Frekuensi Prevalens Rate Infeksi Cacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan Tahun 2007 ...………
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan Tahun 2007 …..………
Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Terhadap Infeksi Cacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan
Tahun 2007 ………
Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Infeksi Cacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan
Tahun 2007 ……….
Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Terhadap Infeksi CacinganPada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan Tahun 2007 ……… Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Terhadap Infeksi Cacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan
11
12
13
14
15
16
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Perilaku Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan
Tahun 2007 ………. Hasil Observasi Lingkungan Sekolah Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan Tahun 2007 ………. Hasil Observasi Lingkungan Rumah Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan Tahun 2007 ………... Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sanitasi Lingkungan Rumah Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan
Tahun 2007 ………. Hubungan antara Karakteristik Siswa Dengan Infeksi Cacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan
Tahun 2007 ………. Hubungan antara Perilaku Siswa Dengan Infeksi Cacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan
Tahun 2007 ………..…….……… Hubungan antara Sanitasi Lingkungan Sekolah Dengan Infeksi Cacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan
Tahun 2007 ……….
Hubungan antara Sanitasi Lingkungan Sekolah Dengan Infeksi Cacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan
Tahun 2007 ………..
45
45
46
47
48
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Siklus hidup Ascaris lumbricoides ...... 2. Siklus hidup Trichuris trichiura ... .3. Siklus hidup Hookworm (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus) …...………..……... 4. Teori Blum ... 5. Paradigma Kesehatan Lingkungan ... 6. Kerangka Konsep ...
13 14
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12
Peta Lokasi Daerah Penelitian ………...
Lembar Pertanyaan/Kuisioner ………
Daftar Check List Observasi Lingkungan Rumah ... Daftar Check List Observasi Lingkungan Sekolah ... Tehnik Pemeriksaan Laboratorium Identifikasi Nematoda Usus
dalam Feses………. Dan Hasil Pemeriksaan (Gambar telur cacing) ……….. Output Hasil uji Validitas dan Reliabilitas Kuisioner ………... Foto-foto Penelitian
……… Output Hasil Uji Analisis
……… Master Tabel Hasil Penelitian
……….
Surat Ijin Penelitian ………... Surat Keterangan Penelitian dari Puskesmas Belawan ……….
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional
diarahkan guna tercapainya kesadaran dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
penduduk untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur
kesejahteraan umum dan tujuan nasional. Untuk mencapai hal tersebut di atas,
diselenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dan
dapat diterima serta terjangakau oleh seluruh masyarakat. Salah satu upaya tersebut
adalah program pemberantasan penyakit menular yang bertujuan untuk menurunkan
angka kesakitan, kematian, kecacatan dan mencegah penyebaran penyakitnya
(Depkes RI, 1999).
Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, Indonesia masih menghadapi
masalah tingginya prevalensi penyakit infeksi terutama yang berkaitan dengan
kondisi sanitasi lingkungan yang belum baik. Salah satu penyakit yang insidennya
masih tinggi adalah infeksi cacingan di mana penyakit ini merupakan salah satu
penyakit yang berbasis lingkungan (Depkes RI, 2004). Hal ini dapat dimengerti
mengingat bahwa Indonesia adalah negara agraris dengan tingkat sosial ekonomi,
pengetahuan, keadaan sanitasi lingkungan dan hygiene masyarakat yang masih
rendah yang sangat mendukung untuk terjadinya infeksi dan penularan cacing.
Salah satu penyakit cacingan adalah penyakit cacingan usus yang ditularkan
melalui tanah (Soil-Transmited Helminths) yang sering dijumpai pada anak usia
cacing yang terpenting yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris
trichiura) (Depkes RI, 2004).
Prevalensi penyakit cacingan sangat tinggi terutama di daerah tropis dan sub
tropis. Penyakit ini merupakan penyebab banyak kesakitan di selurus dunia (Vince
dalam Poespoprojo dan Sajimin, 2000). Prevalensi penyakit cacingan di Indonesia
pada semua umur juga masih cukup tinggi yaitu 58,15% yang tediri dari 30,4%
Ascaris lumbricoides, 21,25% Trchuris trichiura serta 6,5% Hookworm (Sutoto dan
Indriyono, 1999).
Prevalensi cacingan dari hasil survey di 10 propinsi tahun 2002 dengan sasaran
anak Sekolah Dasar sangat bervariasi antara 4,8 % sampai 83,0%, dengan prevalensi
yang tertinggi di Propinsi Nusa Tenggara Barat dan diikuti dengan Propinsi Sumatera
Barat, sedangkan yang terkecil di Propinsi Jawa Timur. Hasil survey prevalensi
cacingan tahun 2003, dengan sasaran dan lokasi sama pada tahun 2002 menunjukkan
hasil yang tidak jauh berbeda. Prevalensi cacingan keseluruhan 33,1%, cacing gelang
22,26%, cacing cambuk 20,30% dan cacing tambang 0,75% (Ditjend PPM-PL, 2004).
Dalam laporan hasil survey prevalensi cacingan pada 10 propinsi tahun 2004,
Sumatera Utara menduduki peringkat ke-3 (60,4%) dalam hal penyakit cacingan
setelah Sumatera Barat (82,3%) dan Nusa Tenggara Barat (83,6%). Sedangkan untuk
angka nasional adalah 30,35%, dengan rincian prevalensi cacing gelang 17,75%,
prevalensi cacing cambuk 17,74%, dan cacing tambang 6,46% (Ditjend PPM-PL,
Hasil suvey cacingan pada anak Sekolah Dasar dari beberapa kabupaten di
Sumatera Utara yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Sumatera Utara tahun 2005
didapatkan persentase cacingan tertinggi di kabupaten Tapanuli Tengah (66,67%),
Tapanuli Selatan (55%), Nias (52,17%), Labuhan Batu (45,59%), Asahan (45,58%),
Tapanuli Tengah (45,33), dan Padang Sidimpuan (34,23%) (Dinkes Prop. Sumut,
2006).
Anak Usia Sekolah merupakan golongan masyarakat yang diharapkan dapat
tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial di masa akan datang sehingga
perlu diperhatikan dan disiapkan untuk dapat tumbuh sempurna baik fisik maupun
intelektualnya. Dalam hubungan dengan infeksi cacingan, beberapa penelitian
ternyata menunjukkan bahwa anak usia sekolah merupakan golongan yang sering
terkena infeksi cacingan karena sering berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2004).
Perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuan yang diperoleh dari
pengalaman, sehingga hal tersebut dapat memunculkan sikap terhadap nilai-nilai
yang baik dan salah satunya adalah nilai kesehatan. Kurangnya pengetahuan anak
tentang infeksi cacingan merupakan faktor dasar seorang anak berperilaku. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahzumi (2000) bahwa terdapat
penurunan kejadian infeksi cacingan pada anak Sekolah Dasar setelah diberikan
pendidikan kesehatan.
Keadaan sanitasi yang belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang masih
rendah dan kebiasaan manusia mencemari lingkungan dengan tinjanya sendiri,
merupakan beberapa faktor penyebab tingginya prevalensi infeksi cacing usus yang
ditularkan melalui tanah di Indonesia (Zit, 2000). Seperti yang dinyatakan oleh
Meriyati (1994), masih tingginya angka kesakitan penyakit menular di Indonesia
seperti cacingan, antara lain dipengaruhi oleh tidak tersedianya air bersih, tidak
adanya sarana pembuangan air limbah, dan kurangnya kebersihan lingkungan
perumahan.
Vince (dalam Poespoprojo dan Sadjimin, 2000) menyatakan bahwa infeksi
cacingan pada manusia dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal dan
manipulasi terhadap lingkungan, misalnya kepadatan penduduk, tidak tersedianya air
bersih dan tempat pembuangan feses yang tidak memenuhi syarat kesehatan
Ketidaksediaan sarana buang air besar atau jamban dan tidak adanya sarana air
bersih juga merupakan faktor penyebab tingginya angka prevalensi cacingan.
Penelitian yang dilakukan di kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes menunjukkan
bahwa sebagian besar responden (90,6%) tidak memiliki jamban, sehingga setiap
harinya buang air besar di sembarang tempat dan 66,56% tidak mempunyai sarana air
bersih dan memanfaatkan sumber air minum yang telah tercemar oleh feses manusia
(Yuwono, 2001).
Salah satu gejala yang sering ditimbulkan oleh adanya infeksi cacingan adalah
muntah dan mencret (diare). Selain itu, Ascaris lumbricoides yang merupakan salah
satu jenis cacing perut yang umum dijumpai pada anak-anak dapat menyebabkan
kematian karena penyumbatan pada usus halus dan saluran empedu ( Siregar, 1996 ;
Kecamatan Medan Belawan dalam buku Belawan Dalam Angka tahun 2006
diketahui mempunyai luas wilayah 26,25 km2 dengan jumlah penduduk 94.196 jiwa,
13.592 (14,43%) merupakan anak usia sekolah dasar dan 8.513 di antaranya terdaftar
di 26 Sekolah Dasar Negeri. Di kecamatan ini juga terdapat sejumlah 27.514 KK
yang termasuk kategori keluarga miskin, hanya 3564 yang termasuk rumah sehat dari
5.691 rumah yang yang diperiksa (jumlah rumah seluruhnya 23.133 rumah) (BPS,
2006).
Melihat kondisi lingkungan perumahan di kecamatan Medan Belawan, masih
banyak dijumpai pemukiman yang belum mencapai kelayakan sanitasi lingkungan.
Salah satu faktor utamanya adalah tingkat sosial ekonomi dan pendidikan yang masih
rendah. Selain itu sistem drainase dan pembuangan air limbah rumah tangga yang
belum tertata dengan baik. Beberapa wilayah pemukiman yang umumnya masih
tergolong kumuh dengan sistem pembuangan limbah rumah tangga langsung ke laut.
Berdasarkan pola penyakit penderita rawat jalan umur di bawah 5 tahun di
Puskesmas Belawan, ditemukan adanya beberapa kasus penyakit cacingan, walaupun
diagnosa tidak diuji secara laboratorium. Berdasarkan hasil wawancara dengan
beberapa petugas Puskesmas Belawan didapatkan hasil bahwa selama ini
pemeriksaan laboratorium feses anak sekolah belum pernah dilakukan walaupun
diagnosa klinis banyak yang menunjukkan gejala cacingan. Hal ini dikarenakan di
Puskesmas Belawan belum memiliki peralatan dan petugas laboratorium untuk jenis
penyakit cacingan. Oleh karena itu, data mengenai kasus kecacingan yang pasti di
1.2. Permasalahan
Berdasarkan hasil observasi, kecamatan Medan Belawan memiliki sanitasi
lingkungan yang jelek. Data dari Puskesmas Induk di kecamatan ini ditemukan
banyak kasus yang menunjukkan gejala cacingan, namun pemeriksaan secara
laboratorium belum pernah dilakukan. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka
dilakukan penelitian tentang hubungan karakteristik siswa dan sanitasi lingkungan
dengan infeksi cacingan siswa sekolah dasar di kecamatan Medan Belawan..
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui prevalens rate infeksi cacingan pada siswa SD di kecamatan
Medan Belawan Tahun 2007.
2. Menganalisis hubungan karakteristik siswa dengan infeksi cacingan pada
siswa SD di Kecamatan Medan Belawan.
3. Menganalisis hubungan perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) siswa
dengan infeksi cacingan pada siswa SD di Kecamatan Medan Belawan.
4. Menganalisis hubungan sanitasi lingkungan sekolah dengan infeksi cacingan
pada siswa SD di Kecamatan Medan Belawan
5. Menganalisis hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan infeksi cacingan
pada siswa SD di Kecamatan Medan Belawan
1.4. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan karakteristik siswa dengan infeksi cacingan pada siswa SD di
2. Ada hubungan perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) siswa dengan
infeksi cacingan pada siswa SD di Kecamatan Medan Belawan.
3. Ada hubungan sanitasi lingkungan sekolah dengan kejadian infeksi cacingan
pada siswa SD di Kecamatan Medan Belawan.
4. Ada hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian infeksi cacingan
pada siswa SD di Kecamatan Medan Belawan
1. 5. Manfaat Penelitian
1. Merupakan bahan masukan bagi pembuatan kebijakan untuk pengambilan
keputusan dalam program pemberantasan infeksi cacingan Siswa SD di
Kecamatan Medan Belawan.
2. Sebagai pengembangan konsep-konsep dalam bidang Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan khususnya pada program pemberantasan penyakit
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacingan
Infeksi cacingan adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan minuman atau
melalui kulit dimana tanah sebagai media penularannya yang disebabkan oleh cacing
gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing
tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) (Jawetz et al, 1996).
Infeksi cacingan banyak terdapat pada anak usia sekolah dasar yang di dalam usus
anak terdapat satu atau beberapa jenis cacing yang merugikan pertumbuhan dan
kecerdasan anak.
2.2. Epidemiologi Infeksi Cacingan
Di Indonesia, infeksi cacingan merupakan masalah kesehatan yang sering
dijumpai. Angka kejadian infeksi cacingan yang tinggi tidak terlepas dari keadaan
Indonesia yang beriklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi serta tanah yang
subur yang merupakan lingkungan yang optimal bagi kehidupan cacing. Infeksi
cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Hasil survei Cacingan
di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada tahun 1986-1991 menunjukkan
prevalensi sekitar 60% - 80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40% -
60%. Hasil Survei Subdit Diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi
menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2% - 96,3% (Depkes RI, 2004).
Pada banyak penelitian, intensitas dan prevalensi infeksi cacingan meningkat
usia. Puncak intensitas terjadi antara umur 5-10 tahun untuk Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura, sedangkan cacing tambang pada umur 10 tahun. Penyebab
perbedaan distribusi umur masih belum dipahami.
Infeksi cacingan juga dipengaruhi oleh perilaku individu. Intensitas dan
prevalensi yang tinggi pada anak disebabkan oleh kebiasaan memasukkan jari-jari
tangan yang kotor ke dalam mulut. Pada infeksi cacing tambang, prevalensi yang
tinggi di dapatkan pada anak dengan umur lebih tua, hal ini kemungkinan disebabkan
oleh mobilitas anak meningkat (Watkins dan Pollitt dalam Poespoprodjo dan
Sadjimin, 2000).
Penyebaran infeksi cacing Ascharis dan Trichuris mempunyai pola yang hampir
sama. Aschariasis adalah penyakit infeksi cacingan yang distribusinya di seluruh
dunia dan menginfeksi lebih dari 1.000 juta orang. Sebagian besar infeksi terjadi di
negara yang sedang berkembang, di Asia dan Amerika latin. Di Indonesia,
berdasarkan hasil survey yang dilakukan di Indonesia tahun 2002-2004 menunjukkan
bahwa prevalensi Aschariasis dan Trichuris berkisar antara 57 % - 90%. (Depkes,
2004).
Cacing tambang banyak dijumpai pada pekerja perkebunan yang langsung
berhubungan dengan tanah. Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai
pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang gembur (berpasir dan
humus) serta lembab sangat baik untuk perkembangan larva dengan suhu optimum
2.3. Dampak Infeksi Cacingan terhadap Anak Usia Sekolah
Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digesif), penyerapan
(absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif, infeksi cacingan dapat
menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan darah.
Selain dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja,
dapat menurunkan ketahan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya.
Infeksi cacingan jarang sekali menyebabkan kematian langsung, namun sangat
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat akan
menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan pada anak. Berbagai penelitian
membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak dimanfaatkan
badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada infeksi ringan akan menyebabkan
gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3% dari kalori yang dicerna, pada infeksi
berat 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan oleh badan. Infeksi
Ascharis yang berkepanjangan dapat menyebabkan kekurangan kalori protein dan
diduga dapat mengakibatkan defisiensi vitamin A (Hidayat, 2002).
Pada infeksi Trichuris berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat badan,
dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5 juta dan
hemoglobin 30% di bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena infeksi
Trichuris mampu menghisap darah sekitar 0,005 ml perhari/cacing (Gandahusada
Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang
ini sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu
menghisap darah 0,2 ml perhari. Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan
kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat.
Infeksi ketiga jenis cacing ini dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun secara
bersama-sama (2 atau 3 jenis cacing sekaligus). Semakin banyak jenis cacing ataupun
jumlahnya yang ada di dalam tubuh semakin berat gangguan kesehatan yang
ditimbulkan.
2.4. Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah (Soil- Transmited Helminths)
2.4.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
2.4.1.1. Siklus Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran 10 -
30 cm, sedangkan betina 22 – 35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus
halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000 – 200.000 butir sehari, terdiri dari
telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai, telur
yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu.
Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus,
larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan
dialirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding
pembuluh darah, lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian
naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke
esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut
memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa
(Depkes RI, 2004).
2.4.1.2. Gejala Klinis
Menurut Brown (1983) Ascaris lumbricoides menimbulkan gejala penyakit yang
disebabkan oleh :
a. Larva : menimbulkan kerusakan kecil pada paru-paru dan menyebabkan
“loeffler syndome” dengan gejala demam, batuk, infiltrasi paru-paru, oedema,
asthma, leucocytosis, eosinofilia
b. Cacing dewasa : penderitanya disebut Ascariasis. Penderita dengan infeksi
ringan biasanya mengalami gejala gangguan usus ringan seperti : mual, nafsu
makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat terutama pada
anak-anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan
malnutrisi. Dalam sehari setiap ekor cacing menghisap 0,14 karbohidrat dalam
usus halus penderita.
2.4.1.3. Diagnosa
Diagnosa dapat ditegakkan dengan menemukan telur cacing pada pemeriksaan
feses secara langsung. Selain itu, diagnosa dapat juga dilakukan bila cacing dewasa
keluar melalui mulut, hidung maupun anus (Jawetz et al,1996).
Gambaran umum siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides dapat dilihat pada gambar
Gambar 1. Siklus hidup Ascaris lumbricoides
Keterangan :
1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus. Seekor cacing betina mampu menghasilkan telur sampai 240,000 per hari, yang akan keluar bersama feses. 2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infective setelah 18 hari sampai beberapa minggu di tanah, 3. tergantung pada kondisi lingkungan ( kondisi optimum: lembab, hangat, tempat teduh). 4. Telur infective tertelan, 5. masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian menembus mucosa usus, masuk kelenjar getah bening dan aliran darah dan terbawa sampai ke paru-paru. 6. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10-14 hari), menembus dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya tertelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu yang diperlukan mulai dari tertelan telur infektif sampai menjadi cacing dewasa sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun di dalam tubuh (Albert, 2006).
.2.4.2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
2.4.2.1. Siklus hidup
Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura. Cara infeksi adalah
langsung, tidak memerlukan hospes perantara. Bila telur yang telah berisi embrio
besar dan menjadi dewasa dan menetap. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di
usus besar hospes (Brown, 1983).
2.4.2.2. Gejala Klinis
Gejala yang ditimbulkan oleh cacing cambuk biasanya tanpa gejala pada infeksi
ringan. Pada infeksi menahun dapat menimbulkan anemia, diare, sakit perut, mual
dan berat badan turun (Brown, 1983).
2.4.2.3. Diagnosa
Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur cacing pada feses penderita.
Siklus hidup cacing Trichuris trichiura digambarkan sebagai berikut (Albert, 2006):
2.4.3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
2.4.3.1. Siklus Hidup
Hospes parasit ini adalah manusia, cacing dewasa hidup di rongga usus halus
dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000 –
10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing
jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam
mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang dimulai dari keluarnya telur
cacing bersama feses, setelah 1 – 1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi
larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform
yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7–8 minggu di tanah. Setelah
menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru
menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari
larynk, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa.
Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama
makanan (Gandahusada dkk, 2004).
2.4.3.2. Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh cacing tambang disebabkan oleh adanya larva
dan cacing dewasa (Gandahusada dkk, 2004).
a. Larva filariform : Stadium larva bila menembus kulit maka terjadi perubahan
b. Stadium dewasa, tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta gizi
penderita. Sifat cacing dewasa yang menghisap darah, berpindah-pindah dan
luka bekas isapannya terus mengeluarkan darah karena cacing ini
mengeluarkan sejenis antikoagulan pada mukosa usus tempat mulutnya
melekat sehingga dapat menimbulkan anemia.
2.4.3.3. Diagnosa
Gambaran klinis, walaupun tidak khas, tidak cukup mendukung untuk
memastikan untuk dapat membedakan dengan anemi karena defisiensi makanan atau
karena infeksi cacing lainnya. Diagnosa terakhir ditegakkan dengan menemukan telur
cacing pada feses penderita. Secara praktis telur cacing A. duodenale tidak dapat
dibedakan dengan telur N. americanus. Untuk membedakan kedua spesies ini
biasanya dilakukan tekhnik pembiakan larva (Brown, 1983).
Keterangan :
Larva cacing tambang pada suhu hangat dan lembab mengalami pertumbuhan dalam 3 tahap. Pada tahap ahir, larva-larva ini akan naik ke permukaan tanah. Dengan bentuk tubuh yang runcing di bagian atas, larva ini akan masuk menembus kulit dan ikut ke dalam aliran darah sampai ke organ hati. Melalui pembuluh darah larva ini akan terbawa ke paru-paru. Larva cacing tambang kemudian bermigrasi ke bagian kerongkongan dan kemudian tertelan. Larva kemudian menuju usus halus dan menjadi dewasa dengan menghisap darah penderita. Cacing tambang bertelur di usus halus yang kemudian dikeluarkan bersama dengan feses ke alam dan akan menyebar kemana-mana (Albert, 2006).
2.5. Perilaku
Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari manusia itu sendiri.
Perilaku merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan,
keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan lain-lain. Gejala-gejala
kejiwaan tersebut dipengaruhi oleh pengalaman, keyakinan, fasilitas dan faktor sosial
budaya yang ada di lingkungannya (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku menurut Skinner (dalam Notoatmodjo, 2003) merupakan hasil
hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. Secara lebih operasional, perilaku
dapat diartikan sebagai respon organisme atau seseorang terhadap adanya stimulus
atau rangsangan dari luar subjek tersebut. Respon tersebut dapat berupa respon pasif
atau respon aktif. Menurut Sarwono (1993), perilaku merupakan hasil dari segala
macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud
dalam bentuk pengetahuan, sikap dan praktek.
Proses pembentukan dan perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang berasal dari dalam dan luar individu. Faktor dari dalam individu tersebut
meliputi pengetahuan, kecerdasan, persepsi, sikap, emosi, motivasi yang berfungsi
sekitar, baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial ekonomi, budaya
dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat dan kebiasaan
tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing tambang pada
penduduk di Desa Jagapati Bali, dengan pola transmisi infeksi cacing tersebut pada
umumnya terjadi di dekat rumah (Bakta, 1995). Kebiasaan buang air besar di sungai
secara menetap ternyata menyebabkan tingginya infeksi oleh ”Soil-Transmited
Helminths” pada masyarakat Sanliurfa Turkey (Ulukanligil et al, 2001).
2.5.1. Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil ”tahu” dan ini terjadi
setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran (mata dan
telinga). Beberapa pengalaman dan penelitian menyatakan perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan abadi, sebaliknya apabila perilaku tidak didasari pengetahuan
dan kesadaran seseorang tidak akan berlangsung lama. Pengetahuan juga dapat
diartikan sebagai sekumpulan informasi yang dipahami, yang diperoleh dari proses
belajar selama hidup dan dapat dipergunakan sewaktu-waktu sebagai alat
penyesuaian diri, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungannya (Supriyadi, 1993).
Pengetahuan tentang objek dapat diperoleh dari pengalaman, guru, orang tua,
teman, buku dan media masa (WHO, 1992 dalam Wachidanijah, 2002). Pengetahuan
kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi rendahnya mobilitas informasi
tentang objek tersebut di lingkungannya.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penularan infeksi cacingan
adalah kurangnya pengetahuan tentang infeksi cacingan. Penelitian Wachidanijah,
(2002) menunjukkan bahwa terdapat kecendrungan makin tinggi pengetahuan
semakin baik perilaku dalam hubungannya dengan penyakit cacingan.
Curtale et al (1998) melakukan penelitian tentang pengetahuan, persepsi dan
perilaku ibu terhadap infeksi cacing usus di Mesir dengan sampel 768 ibu rumah
tangga yang mempunyai anak berusia 2-12 tahun. Hasil yang diperoleh adalah
prevalensi cacingan yang rendah di didapat pada ibu yang mempunyai pengetahuan
baik.
2.5.2. Sikap
Brigham (1991) seperti yang dikutip Wachidanijah (2002) memberikan gambaran bahwa terbentuknya sikap melalui adanya proses proses belajar mengajar
dengan cara mengamati orang lain, melalui pengamatan, hubungan yang terkondisi,
pengalaman langsung dan mengamati perilaku diri sendiri. Sikap yang terbentuk
dengan mengamati orang lain dapat menimbulkan sikap yang positif apabila
menyenangkan atau dapat sebaliknya.
Allport (dalam Notoatmodjo, 2003) mengemukakan sikap dapat bersifat positif
dan dapat bersifat negatif. Pada sikap positif kecendrungan tindakan adalah
terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, tidak menyukai
objek tertentu. Sikap tersebut mempunyai 3 komponen pokok yaitu :
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep suatu objek
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
c. Kecendrungan untuk bertindak
Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh,
dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan dan emosi
memegang peranan penting.
2.5.3. Kebersihan diri (Hygiene Perorangan)
Menurut Azwar (1989) hygiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang
mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya
mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta
membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan
kesehatan.
Usaha kesehatan pribadi (hygiene perorangan) adalah daya upaya dari seseorang
untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri meliputi :
a. Memelihara kebersihan
b. Makanan yang sehat
c. Cara hidup yang teratur
d. Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani
e. Menghindari terjadinya penyakit
g. Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup sehat
h. Pemeriksaan kesehatan, Entjang (2001).
Kebersihan diri atau higiene perorangan yang buruk merupakan cerminan dari
kondisi lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat. Penduduk miskin dengan
kebersihan diri yang buruk mempunyai kemungkinan lebih besar untuk terinfeksi
oleh semua jenis cacing (Brown, 1983).
2.6. Lingkungan dan Sanitasi Lingkungan
2.6.1. Lingkungan
Blum menyebutkan bahwa status kesehatan seseorang dipengaruhi berbagai
faktor, yaitu : keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan. Dari
keempat faktor tersebut terlihat bahwa faktor lingkungan mempunyai kontribusi
paling besar di dalam mempengaruhi status kesehatan individu maupun masyarakat,
dimana faktor lingkungan tersebut adalah meliputi lingkungan fisik dan sosial
ekonomi dan budaya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana
keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula.
Salah satu faktor saja dalam keadaan terganggu (tidak optimal), maka status
kesehatan akan tergeser kearah bawah optimal (Notoatmodjo, 2003). Secara skematis
keempat faktor tersebut digambarkan sebagai berikut (Notoatmodjo, 2003) :
Genetik (Keturunan)
Status Kesehatan
Lingkungan : Fisik Biologik Sosial ekonomi
Budaya dsb. Pelayanan
Kesehatan
[image:35.612.134.513.114.404.2]Perilaku
Gambar 4. Teori Blum
Lingkungan dapat diartikan secara mudah sebagai segala sesuatu yang berada di
sekitar manusia, dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) komponen (Chandra, 2007):
a. Lingkungan fisik; bersifat abiotik atau benda mati seperti tanah, air, udara,
angin, iklim, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi dan sebagainya.
b. Lingkungan biologi; semua organisme hidup seperti tumbuhan, hewan, virus,
bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain-lain.
c. Lingkungan sosial; yaitu semua interaksi antar manusia dengan mahluk
sesamanya yang meliputi faktor-faktor sosial ekonomi, kebudayaan,
psikososial dan lain-lain.
Ketiga unsur lingkungan tersebut saling berhubungan, berinteraksi dan
Achmadi (2005) mengelompokkan komponen-komponen lingkungan yang
memiliki potensi bahaya penyakit menjadi :
a. golongan fisik: kebisingan, radiasi, cuaca, panas dan lain-lain
b. golongan kimia: pestisida dalam makanan, asap rokok, limbah pabrik c. golongan biologi: spora jamur, cacing, bakteri dan virus
d. golongan sosial: tetangga, atasan, pesaing dan lain-lain
Komponen-komponen tersebut berinteraksi dengan manusia melalui media atau
wahana, udara, air, tanah, makanan, atau vektor penyakit dan digambarkan dalam
suatu skema paradigma kesehatan lingkungan sebagai berikut:
Udara Air Binatang
Langsung/Manusia
Variabel Kependudukan
Variabel Berpengaruh Lainnya Manajemen
Sakit Sumber Penyakit
[image:36.612.108.521.335.573.2]Sumber : Achmadi (2005)
Gambar 5. Paradigma Kesehatan Lingkungan
2.6.2. Sanitasi Lingkungan
Sanitasi atau kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau
terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Adapun yang dimaksud dengan
usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau
mengoptimumkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk
terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup di dalamnya.
Menurut Riyadi (1984) sanitasi lingkungan adalah prinsip-prinsip usaha untuk
meniadakan atau setidak-tidaknya menguasai faktor-faktor lingkungan yang dapat
menimbulkan penyakit, melalui kegiatan-kegiatan yang ditunjukkan untuk
mengendalikan:
a. Sanitasi air
b. Sanitasi makanan
c. Pembuangan kotoran, air buangan dan sampah
d. Sanitasi udara
e. Vektor dan binatang pengerat, dan
f. Hygiene perumahan dan halaman
Dalam penanggulangan cacingan, pengawasan sanitasi air dan makanan sangat
penting, karena penularan cacing terjadi melalui air dan makanan yang
terkontaminasi oleh telur dan larva cacing (Riyadi, 1984). Penelitian yang dilakukan
oleh oleh Ulukanligil et al tahun 2001 menemukan sekitar 14% sayuran (kol dan
selada) di Sanliurfa Turkey mengandung telur cacing yang ditularkan melalui tanah.
Pembuangan kotoran, air buangan dan sampah serta pemeliharaan lingkungan
rumah juga penting dalam penanggulangan penyebaran cacingan. Terjadinya infeksi
penderita. Hal ini dibuktikan oleh Pasaribu (2004) di kabupaten Karo yang
menemukan 45,8% sampel tanah yang diperiksa mengandung telur cacing A.
lumbricoides.
2.6.2.1. Lingkungan Rumah
Penelitian Damayanti seperti yang dikutip Hidayat (2002) menunjukkan adanya
hubungan yang erat antara interaksi faktor lingkungan tempat tinggal dengan
prevalensi cacing pada anak sekolah dasar. Tingginya angka prevalensi A.
lumbricoides pada anak sekolah dasar di desa dibanding dengan di kota menunjukkan
adanya perbedaan higiene dan sanitasi lingkungan. Penelitian tersebut juga
menggambarkan bahwa adanya infeksi ganda A. lumbricoides di desa lebih tinggi
dibandingkan di kota. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan pedesaan merupakan
faktor predisposisi untuk anak-anak sekolah dasar di desa.
Menurut Ismid et al (1980) seperti yang dikutip Hidayat (2002), di halaman
rumah telur A. Lumbricoides banyak ditemukan di sekitar tumpukan sampah (55%)
dan tempat teduh di bawah pohon (33,3%). Penelitian Hadidjaja et al (1989)
menunjukkan bahwa 14-12% sampel air got yang diperiksa ternyata positip
mengandung telur cacing A. Lumbricoides. Telur cacing Ascaris juga banyak
dijumpai di sekitar sumur, tempat cuci, dekat jamban, pinggiran kali bahkan dekat di
dalam rumah. Kepadatan penghuni dalam rumah juga berperan terhadap penularan
kecacingan. Menurut Brown (1983), keterbatasan ruang dalam rumah akan
2.6.2.2. Lingkungan sekolah
Di samping lingkungan rumah tempat tinggal, lingkungan sekolah secara tidak
langsung mempunyai sumbanagn terhadap terjadinya penularan penyakit infeksi
cacingan. Sebagian besar waktu anak sekolah dasar dihabiskan dengan bermain baik
di rumah maupun di sekolah sehingga anak sekolah dasar mempunyai potensi untuk
terjangkit penyakit infeksi cacingan (Watkins dan Pollit dalam Poespoprodjo dan
Sadjimin, 2000).
Dalam buku Pedoman Penanggulangan Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS), indikator PHBS adalah suatu alat ukur untuk menilai keadaan atau
permasalahan kesehatan di institusi pendidikan. Indikator institusi pendidikan adalah
Sekolah Dasar Negeri maupun swasta (SD/MI). Indikator ini meliputi:
1. Tersedia jamban yang bersih dan sesuai dengan jumlah siswa
2. Tersedia air bersih atau air keran yang mengalir di setiap kelas
3. Tidak ada sampah yang berserakan dan lingkungan sekolah yang bersih
4. Ketersediaan UKS yang berfungsi dengan baik
5. Siswa menjadi anggota dana sehat (JPKM)
6. Siswa pada umumnya (60 %) kukunya pendek dan bersih
7. Siswa ada yang menjadi dokter kecil atau promosi kesehatan sekolah (minimal
10 orang) (Dinkes Prop. Sulsel, 2006)
Lingkungan fisik sekolah meliputi gedung sekolah dengan keadaan lantai kering,
minum yang memenuhi syarat kesehatan, kebersihan halaman sekolah, ketersediaan
warung atau tempat jajan, ketersediaan tempat pembuangan sampah dan limbah.
Sejalan dengan upaya hidup sehat di lingkungan sekolah adanya Program Usaha
Kesehatan Sekolah (UKS) sebagai tempat belangsungnya kegiatan pendidikan
kesehatan di sekolah. Salah satu program dari UKS ini adalah kegiatan
penanggulangan cacingan. Program pemberantasan dan pencegahan penyakit infeksi
cacingan secara otomatis telah dimasukkan dalam kegiatan UKS tersebut (Depkes
RI, 2004).
2.7. Landasan Teori
Status kesehatan menurut teori Blum dalam Notoatmodjo (2003) dipengaruhi
oleh empat faktor yaitu keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan.
Keempat faktor tersebut saling berhubungan dan berinteraksi menentukan status
kesehatan individu atau masyarakat. Lingkungan merupakan faktor terbesar dalam
mempengaruhi status kesehataan individu dan masyarakat. Perilaku adalah faktor
terbesar kedua setelah lingkungan.
Faktor lingkungan, baik lingkungan rumah ataupun sekolah merupakan faktor
terbesar penyebab terjadinya infeksi cacingan. Rumah yang tidak mempunyai sarana
buang air besar seperti jamban, dan tidak mempunyai sarana air bersih maupun air
minum sangat potensial sebagai sumber infeksi cacingan. Lingkungan akan dapat
tercemar atau menjadi tidak sehat apabila masyarakat sekitar lingkungan tersebut
kebiasaan membuang sampah sembarangan dan juga kebiasaan buang air besar tidak
pada tempatnya, misalnya di ladang, pekarangan dan halaman rumah.
Infeksi cacingan pada anak sekolah sering terjadi karena perilaku sehari-hari
yang kurang sehat. Perilaku bermain, tidak memakai alas kaki, menggunakan tangan
ketika bermain dan tidak mencuci tangan setelah bermain, tidak mencuci tangan
ketika akan makan dan setelah buang air besar dan perilaku buang air besar
sembarang tempat adalah contoh perilaku yang kurang sehat tersebut.
2.8. Kerangka Konsep
Berdasarkan pada landasan teori Blum dan teori yang ada dikaitkan dengan permasalahan penelitian maka pada penelitian ini dirumuskan kerangka konsep penelitian yang merupakan penggabungan kedua teori tersebut. Kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
VARIABEL INDEPENDEN
VARIABEL DEPENDEN
Karakteristik Siswa
Jenis kelamin
Sanitasi Lingkungan
1.Lingkungan Sekolah 2.Lingkungan Rumah
Infeksi Cacingan Perilaku:
(Pengetahuan, Sikap dan Tindakan)
[image:41.612.111.531.362.666.2]
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan
rancangan cross sectional yaitu penelitian yang dilakukan dengan sekali pengamatan
pada suatu saat tertentu terhadap objek yang berubah, berkembang atau tumbuh
menurut waktu (Budiarto, 2003).
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri kecamatan Medan Belawan dari bulan Oktober sampai Desember 2007 (Peta lokasi penelitian terlampir pada
lampiran 1).
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VI dari 3 (tiga) Sekolah Dasar
Negeri terpilih melalui Teknik Purposive Sampling di kecamatan Medan Belawan
yaitu dengan kriteria:
a. Sekolah Dasar tersebut berada di wilayah pesisir pantai yang merupakan
daerah pasang surut sehingga sering digenangi air.
b. Sekolah Dasar tersebut belum pernah dilakukan survey terhadap infeksi
cacingan dalam 5 tahun terakhir.
c. Dari survey awal ditemukan sebanyak 30% siswa memiliki hygiene
Jumlah seluruh siswa kelas VI di 3 Sekolah Dasar Negeri tersebut adalah 200
siswa. Sampel penelitian diambil dengan menggunakan rumus Lameshow et al
(1997) sebagai berikut:
Z21- /2 P(1-P) N n = ---
d2 (N-1) + Z2 1- /2 P(1-P)
Keterangan:
Z1- /2 : koefesien keterandalan dengan tingkat kepercayaan 95% berarti
1,96.
P : proporsi populasi yaitu 0,5
N : besar populasi yaitu 200
d : presisi yang ingin dicapai (persentase perkiraan tentang
kemungkinan membuat kekeliruan dalam menetapkan ukuran
sampel yaitu 10%).
Perhitungannya adalah sebagai berikut:
(1,96) 2 (0,5) (0,5) (200) n = --- (0,10) 2 (200) + ((1,96) 2 (0,5) (0,5)
192,08 = ---
2 + 0,9604
192,08
= ---
2,9604
Sesuai dengan hasil perhitungan di atas maka jumlah sampel yang diambil dari
populasi adalah 65 orang. Untuk menentukan jumlah sampel dari masing-masing
kelas, dilakukan dengan cara proposional sampel (Arikunto, 2002), sedangkan untuk
menentukan jumlah siswa dilakukan dengan teknik simple random sampling, yaitu
[image:44.612.114.529.280.400.2]pengambilan sampel secara acak sederhana (Notoatmodjo, 2003).
Tabel 1. Jumlah Unit Sampel pada Setiap Sekolah Dasar Berdasarkan Proporsi
Nama Sekolah Jumlah Siswa
KlsVI (n)
Proporsi (%)
Jumlah Unit Sampel (n)
SDN 064002 Belawan I 50 25 16
SDN 060958 Belawan I 50 25 16
SDN 060970 Bagan Deli 100 50 33
Jumlah 200 100 65
3.4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan cara:
a. Pengisian kuisioner yang dilakukan oleh anak sekolah dasar untuk
mengetahui karakteristik dan perilaku siswa (kuisioner terlampir pada
lampiran 2).
b. Observasi terhadap lingkungan rumah dan sekolah untuk data sanitasi
lingkungan (daftar check list terlampir pada lampiran 3 dan lampiran 4).
c. Pemeriksaan feses dengan secara laboratorium untuk mengetahui prevalensi
rate infeksi cacingan (tehnik pemeriksaan laboratorium terlampir pada
3.5. Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1. Variabel
Variabel independent (bebas) dalam penelitian ini adalah karakteristik siswa
(jenis kelamin), perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan) dan sanitasi lingkungan
(rumah dan sekolah). Variabel dependent (terikat) adalah infeksi cacingan.
3.5.2. Definisi operasional
a. Jenis kelamin adalah dibedakan atas laki-laki dan perempuan
b. Pengetahuan siswa sekolah dasar tentang infeksi cacingan adalah kemampuan
siswa sekolah dasar dalam menjawab pertanyaan tentang penyakit cacingan
yang meliputi penyebab, cara penularan, pencegahan, kebersihan perorangan
(hygiene perorangan).
c. Sikap adalah tanggapan atau persepsi siswa sekolah dasar terhadap infeksi
cacingan, tentang pencegahan, penularan, kebersihan perorangan, kebiasaan
anak.
d. Hygiene Perorangan adalah tindakan yang dilakukan siswa untuk
menghindari kontak dengan penyebab penyakit cacingan.
e. Sanitasi lingkungan rumah adalah kondisi kesehatan rumah yang berhubungan
dengan penularan infeksi cacingan dengan indikator ketersediaan sumber air
bersih, ketersediaan jamban (WC), ketersediaan air di jamban dan adanya
f. Sanitasi lingkungan sekolah adalah fisik sekolah dengan indikator halaman
sekolah, sumber air bersih, kepemilikan jamban, sumber air bersih, dan kantin
sekolah, sarana pembuangan sampah dan limbah. .
g. Infeksi cacingan adalah ditemukannya sejumlah telur cacing usus pada siswa
sekolah dasar melalui pemeriksaan feses secara laboratorium.
[image:46.612.106.528.305.679.2]3.5.3 Aspek Pengukuran
Tabel 2. Aspek Pengukuran Variabel Independent dan Variabel Dependent
N o Nama Variabel Jumlah Indikator Kategori Bobot Nilai indikator Bobot nilai variabel seluruh indikator
Alat ukur Skala Ukur
1 Jenis kelamin
2 1 2
Laki-laki Perempuan
Kuisioner Ordinal
2
Pengetahuan 10 a) Baik b)Tidak baik
6 – 10 0 - 5
60– 100%
0-50% Kuisioner
Ordinal
3 Sikap 10 a) Baik b)Tidak baik
6 – 10 0 - 5
60– 100% 0-50%
Kuisioner Ordinal
4 Tindakan 8 a) Baik b)Tidak baik
5 – 8 0 - 4
60 - 100% 0 - 50%
Kuisioner Ordinal 5 Lingkungan sekolah 4 a)Memenuhi syarat kesehatan b)Tidak memenuhi syarat kesehatan Checklist Observasi Ordinal 6 Lingkungan Rumah 4
a)Memenuhi syarat kesehatan b)Tidak memenuhi syarat kesehatan Checklist /Observasi Ordinal
7 Infeksi cacingan
a) ada telur cacing b) tidak ada telur cacing
Pemeriksaan
3.6. Metode Pengukuran Variabel
3.6.1. Variabel pengetahuan
Untuk menggambarkan pengetahuan siswa tentang infeksi cacingan diukur
dengan 10 pertanyaan didasarkan pada skala ordinal. Setiap pertanyaan diberikan
skor, dengan rincian skor maksimal untuk tiap-tiap kategori dari aspek variabel
pengetahuan yaitu: Benar diberi nilai 1 (satu), Salah diberi nilai 0 (nol).
Maka penilaian kategori tersebut menggunakan skala Guttman yang membagi
indicator menjadi 2 yaitu:
• Tingkat pengetahuan Baik: Nilai 6 – 10 (60– 100%) • Tingkat pengetahuan Tidak baik: Nilai 0 - 5 ( 0% - 50%)
3.6.2. Variabel Sikap
Untuk mengetahui sikap siswa terhadap infeksi cacingan didasarkan pada skala
ordinal dan jawaban diberikan atas 10 pertanyaan. Skala pengukuran sikap
menggunakan skala Guttman dengan rincian skor untuk tiap-tiap kategori dari aspek
variabel sikap yaitu: setuju diberi skor 1 (satu), tidak setuju diberi skor 0 (nol). Maka penilaian Sikap dikategorikan sebagai berikut:
• Sikap Baik: Nilai 6 – 10 (60– 100%) • Sikap Tidak baik: Nilai 0 - 5 ( 0% - 50%)
3.6.3. Hygiene Perorangan (Tindakan)
Untuk mengetahui hygiene perorangan/tindakan siswa terhadap penyakit
cacingan menggunakan 8 pertanyaan yang memilki 2 (dua) alternatif jawaban yaitu
3 bulan terakhir dan diberi skor 0 (nol) dan nilai 1(satu) untuk jawaban Tidak Pernah.
Penilaian kategori tersebut adalah sebagai berikut:
• Tindakan Baik: Nilai 5 – 8 ( 60% - 100%) • Sikap Tidak baik: Nilai 0 – 4 ( 0% - 50%)
3.6.4. Variabel Lingkungan Sekolah
Kriteria Sekolah Sehat diambil dari Pedoman Penanggulangan Program Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), indikator PHBS adalah suatu alat ukur untuk
menilai keadaan atau permasalahan kesehatan di institusi pendidikan. Indikator
institusi pendidikan adalah Sekolah Dasar Negeri maupun swasta (SD/MI). Penilaian
kategori dibagi menjadi 2:
• Memenuhi syarat kesehatan : jika semua indikator terpenuhi
• Tidak Memenuhi syarat kesehatan : jika satu atau lebih indikator tidak
terpenuhi.
3.6.5. Variabel Lingkungan Rumah
Kriteria Rumah sehat mengacu pada pedoman Rumah Sehat yang dikeluarkan
oleh pemerintah kota Medan tahun 2006. Penilaian kategori dibagi menjadi 2:
• Memenuhi syarat kesehatan : jika semua indikator terpenuhi
• Tidak Memenuhi syarat kesehatan : jika satu atau lebih indikator tidak
3.6.7. Variabel Terikat (Dependent)
Variabel terikat adalah infeksi cacingan dengan indikator dijumpainya satu
jenis atau lebih telur cacing dalam pemeriksaan feses secara laboratorium.
3.6.8. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji kuisioner sebagai alat ukur penelitian dilakukan melalui uji validitas
terhadap pengukuran pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap infeksi cacingan
dengan menggunakan uji korelasi Pearson. Uji ini telah dilakukan sebelum penelitian
pada siswa sekolah dasar di daerah Brayan. Setelah dilakukan ujicoba kuisioner
diketahui bahwa item-item pertanyaan valid dan reliabel untuk digunakan dalam
penelitian ini dengan hasil:
1. Variabel pengetahuan dengan 10 item pertanyaan dengan nilai koefesien
korelasi = > 0,05 dan p=0,05 dengan nilai r-tabel = 0,514. Dari 10 item
pertanyaan didapatkan r hasil (Corrected item-Total Correction) > r tabel
artinya item pertanyaan untuk pengetahuan valid (sahih) untuk dilanjutkan
sebagai pedoman wawancara kepada responden. Uji reliabilitas mendapatkan
nilai r Alpha (Alpha cronbach) > r tabel, artinya item pertanyaan untuk
pengetahuan dikatakan reliabel untuk dapat dilanjutkan sebagai pedoman.
2. Variabel sikap dengan 10 item pertanyaan dengan nilai koefesien korelasi = >
0,05 dan p = 0,05 dengan nilai r-tabel = 0,514. Dari 10 item pertanyaan
didapatkan r hasil (Corrected item-Total Correction) > r tabel artinya item
pertanyaan untuk sikap valid (sahih) untuk dilanjutkan sebagai pedoman
(Alpha cronbach) > r tabel, artinya item pertanyaan untuk sikap dikatakan
reliabel untuk dapat dilanjutkan sebagai pedoman
3. Variabel tindakan dengan 8 item pertanyaan dengan nilai koefesien korelasi =
> 0,05 dan p = 0,05 dengan nilai r-tabel = 0,514. Dari 10 item pertanyaan
didapatkan r hasil (Corrected item-Total Correction) > r tabel artinya item
pertanyaan untuk tindakan valid (sahih) untuk dilanjutkan sebagai pedoman
wawancara kepada responden. Uji reliabilitas mendapatkan nilai r Alpha
(Alpha cronbach) > r tabel, artinya item pertanyaan untuk tindakan dikatakan
reliabel untuk dapat dilanjutkan sebagai pedoman (Hasil uji terlampir pada
lampiran 6).
3.7. Metode Analisa Data
Data yeng telah diperoleh dianalisis melalui proses tahapan pengolahan data yang
mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Editing, data yang sudah di kumpulkan dilakukan pengecekan kembali untuk
menghindari kesalahan atau kemungkinan adanya pertanyaan yang belum terisi.
2. Coding, data yang ada dikategorikan, diberi skor tertentu sesuai dengan kriteria
yang ada pada daftar pertanyaan.
3. Tabulating, data dikelompokkan sesuai dengan sifat yang dimiliki dan
dipindahkan ke dalam suatu tabel.
4. Entry data, pemasukan data ke program
5. Cleanning, sebelum analisis data dilakukan pengecekan dan perbaikan terhadap
Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan uji
chi-square/chi-kuadrat, metode ini digunakan untuk mengetahui hubungan semua
variabel independent (variabel bebas) terhadap variabel dependent (variabel terikat)
yang dapat dilakukan sekaligus. Menggunakan derajat kemaknaan dengan alpha =
0,05 (derajat kepercayaan 95%). Bila nilai p<0,05 maka hasil statistik dikatakan
BAB IV
HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu kecamatan dari 21 kecamatan
yang terdapat di kota Medan dengan luas daerah 26,26 km2, terletak di ketinggian 3
meter dari atas permukaan laut. Batas wilayah kecamatan Medan Belawan adalah
sebelah utara selatan Malaka, sebelah barat kecamatan Hamparan Perak, sebelah
selatan kecamatan Medan Labuhan dan sebelah timur kecamatan Percut Sei Tuan.
Terbagi kedalam 6 kelurahan yaitu Belawan I, Belawan II, Belawan Bahari, Belawan
Bahagia, Belawan Sicanang dan Bagan Deli.
Berdasarkan data cakupan jamban yang di kota Medan tahun 2006/2007,
kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu kecamatan yang mempunyai
cakupan jamban yang rendah (55,3%). Kecamatan Medan Belawan mempunyai 6
kelurahan, 2 di antaranya mempunyai cakupan jamban paling rendah yaitu kelurahan
Belawan I (41%) dan kelurahan Bagan Deli (37%). Di kedua kelurahan ini terdapat 5
sekolah dasar negeri. Tiga (3) diantaranya dipilih menjadi lokasi penelitian yaitu 2
sekolah di kelurahan Belawan I (SDN 064002 dan SDN 060958) dan 1 sekolah di
kelurahan Bagan Deli (SDN 060970) (foto sekolah terlampir pada lampiran 7).
4.2. Deskripsi Hasil Penelitian
4.2.1 Data Prevalens Rate Infeksi Cacingan
Data prevalens rate infeksi cacingan pada siswa Sekolah Dasar Negeri di
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Prevalens Rate Infeksi Cacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan Tahun 2007
Hasil Laboratorium Total
Positif Negatif Nama Sekolah
n % n % n %
SDN 064002 Belawan I 4 25,0 12 75,0 16 25
SDN 060958 Belawan I 11 68,8 5 31,2 16 25
SDN 060970 Bagan Deli 20 60,6 13 39,4 33 50
Jumlah 35 30 65 100
Sumber: Hasil Pemeriksaan Laboratorium di Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Depkes Medan Tahun 2007
Dari tabel di atas dapat dilihat infeksi cacingan di SDN 064002 Belawan I
sebanyak 4 orang (25%), SDN 060958 Belawan I sebanyak 11 orang (68,8%) dan
SDN 060970 Bagan Deli sebanyak 20 orang (60,6%).
4.2. 2. Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah jenis kelamin. Gambaran
secara lengkap dan jelas adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan Tahun 2007
Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 36 55,4
Perempuan 29 44,6
Jumlah 65 100,0
Pada tabel di atas terlihat bahwa dari 65 orang responden, 36 orang (55,2%) berjenis kelamin laki-laki.
4.2.3. Perilaku responden
Perilaku responden terhadap infeksi cacingan meliputi pengetahuan, sikap dan
[image:53.612.106.531.499.571.2]Pertanyaan pengetahuan untuk responden meliputi penyebab, gejala, cara
penularan dan pencegahan infeksi cacingan. Distribusi pengetahuan responden
[image:54.612.116.532.236.514.2]tentang infeksi cacingan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Infeksi Cacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Belawan Tahun 2007
Jawaban Benar Salah
Total No.
Pengetahuan
n % n % N % 1 Gejala penyakit cacingan antara lain anak menjadi
kurus, perut buncit dan kurang darah
53 81,5 12 18,5 65 100
2 Penyakit cacingan dapat ditularkan oleh lalat melalui makanan yang tidak tertutup
47 72,3 18 27,7 65 100
3 Anak yang sering bermain dengan tanah akan tertular penyakit cacingan
49 75,4 16 24,6 65 100
4 Cacing dapat masuk ke dalam tubuh anak melalui tangan yang kotor
49 75,4 16 24,6 65 100
5 Apabila anak-anak bermain di tanah harus menggunakan sandal
45 69,2 20 30,8 65 100
6 Setelah bermain, anak-anak harus mencuci tangan dan kaki
53 81,5 12 18,5 65 100
7 Anak-anak sebaiknya minum obat cacing enam bulan sekali
21 42,0 44 58,0 65 100
8 Air mentah tidak boleh diminum karena dapat menyebabkan cacingan
34 52,3 31 47,7 65 100
9 Sebelum makan anak-anak harus mencuci tangan dengan air bersih
53 81,5 12 18,5 65 100
10 Buang air besar tidak boleh di sembarang tempat karena dapat menyebabkan cacingan
31 47,7 34 52,3 65 100
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab
dengan benar untuk pertanyaan pengetahuan (>50%). Pengetahuan yang rendah
dijumpai pada pertanyaaan mengenai minum obat cacing enam bulan sekali dan BAB
tidak boleh di sembarang tempat karena dapat menyebabkan cacingan dengan skor
masing-masing sebanyak 21 orang (42,0%) dan 31 orang (47,7%).
Untuk mengukur sikap dengan jawaban setuju atau tidak setuju terhadap
infeksi cacingan.