ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PEMBERIAN MP-ASI DINI DI KECAMATAN PANDAN
KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2007
TESIS
OLEH
ASDAN PADANG 057012006/ AKK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PEMBERIAN MP-ASI DINI DI KECAMATAN PANDAN
KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2007
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Agustus 2008
Judul Tesis : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PEMBERIAN MP-ASI DINI DI KECAMATAN PANDAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2007.
Nama Mahasiswa : Asdani Padang Nomor Pokok Mahasiswa : 057012006
Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Dr.Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM) (Dra. Syarifah, MS) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Dr.Drs. Surya Utama, MS) (Prof.Dr.Ir.T. Chairun Nisa B.,MSc)
ABSTRAK
Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang optimal pada bayi. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002 menunjukkan bahwa persentase ibu yang memberi makanan bayi terlalu dini kepada bayinya cukup tinggi: 32% ibu memberikan makanan tambahan kepada bayinya ketika berumur 2-3 bulan; 69% terhadap bayi yang berumur 4-5 bulan. Kondisi yang sama terdapat di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah: sebanyak 52,15% dari 1.268 bayi sudah mendapat MP-ASI di bawah usia 6 bulan.
Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-24 bulan di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 2007. Penelitian merupakan survei dengan tipe explanatory research, dengan populasi seluruh ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif. Sampel berjumlah 147 orang. Data diolah dengan menggunakan uji regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan variabel predisposisi yang mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap pemberian MP-ASI adalah sikap (p=0,048). Variabel pendukung yang mempunyai pengaruh terhadap pemberian MP-ASI adalah keterpaparan media (p=0,038); variabel pendorong yang mempunyai pengaruh terhadap pemberian MP-ASI adalah dukungan keluarga (p=0,019) dan kebiasaan memberi MP-ASI di masyarakat < 6 bulan (p=0,036). Variabel yang tidak berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI dalam penelitian ini adalah umur, paritas, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, jarak pelayanan kesehatan, dan dukungan petugas kesehatan.
Disarankan perlu adanya peningkatan frekuensi penyuluhan tentang pemberian MP-ASI > 6 bulan di masyarakat oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah dengan jajarannya dengan melibatkan semua komponen yang ada.
ABSTRACT
Giving extra food beside breastfeeding to a baby since it is six months old is one of the factor that influence its optimal growth. The result of the National Socio-economic Survey 2002 shows that the percentage of mothers giving extra food beside breastfeeding to their babies too early is quite high: 32 % of the mothers gave an extra food to their babies when they were about 2-3 months old, and 69 % of them gave their babies an extra food when they were 4-5 months old. The same condition exists in Pandan Sub-district, Tapanuli Tengah District: 52,15% of the 1.268 babies have been given extra food beside breastfeeding when they were less than 6 months old.
This survey study with explanatory research type was conducted to analyze the factors which influence mother’s behavior in giving extra food beside breastfeeding to their babies of 6-24 months old in Pandan Sub-district, Tapanuli Tengah District in 2007. The population for this study is all of the mothers who did not give an exclusive breastfeed in 2006 and 147 of them were selected to be the sample. The data obtained were analyzed through logistic regression test.
The result of this study shows that the predisposition variable having a significant influence on giving extra food beside breastfeeding is attitude (p = 0.048). The supporting variable influencing the giving of extra food beside breastfeeding is media exposure (p = 0.038). Variables that influence the giving of extra food beside breastfeeding is family support (p = 0.019) and the habit of giving extra food beside breastfeeding in public less than 6 months old (p = 0.036). In this study, the variable which do not have any influence on the giving extra food beside breastfeeding are age, parity, education, knowledge, occupation, distance of health service facility from home, and support from health workers. Based on the value of , the most influencing variable which have influence on the giving of extra food beside breastfeeding is the habit of feeding the babies (B = 3.043)
It is suggested that the Tapanuli Tengah district health office involving all components available need to increase the frequency of providing extension on giving extra beside breastfeeding when the baby is less than 6 months old to the community.
Key words: Giving extra food beside breastfeeding
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Pada dasarnya Pemberian
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang optimal pada bayi.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pemberian MP-ASI Dini di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah 2007.
Penulisan ini merupakan tugas akhir pada Program Studi Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara .
Dalam pembuatan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan, dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan kepada:
Prof. Dr. Ir.T. Chairun Nisa B., MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan
pada Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana
USU.
Dr.Drs. Surya Utama, Ms Sebagai ketua Program Studi, Dr.Dra. Ida Yustina,
Msi, serta seluruh jajarannya yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama
dr. H. Arif Simatupang, SpS selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Tapanuli Tengah yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan
penelitian.
Dr.Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM dan Dra. Syarifah, MS selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan waktu, pikiran, serta tenaga dalam
membimbing dan mengarahkan penulis selama penyusunan tesis ini dengan penuh
kesabaran.
Dr.Dra. Ida Yustina, Msi, dan Dr.Ir. Evawany Y. Aritonang, Msi selaku
penguji yang juga telah memberikan waktu dan pemikiran demi perbaikan tesis ini.
Kedua orang tuaku yang senantiasa mendukung penulis baik dari segi moril
maupun materil, suamiku tercinta yang selalu setia memberikan motivasi selama
pendidikan, anakku yang menjadi sumber inspirasi bagiku, serta kedua keluarga
mertuaku dan adik-adik tercinta yang senantiasa memberikan dorongan penulis
selama mengikuti pendidikan.
Rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa ”Konsentrasi Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan Angkatan 2005” yang telah membantu penulis selama proses
penelitian ini.
Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan dalam penulisan ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini mempunyai kekurangan, untuk itu
diharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Segala saran dan kritik
yang disampaikan untuk perbaikan tesis ini sebelumnya diucapkan terima kasih yang
Terakhir penulis mohon maaf yang setulusnya kepada semua pihak jika
ditemui kekurangan dan kekhilafan selama penulis mengikuti pendidikan dan
penelitian berlangsung. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa yang membalas semua
kebaikan yang diberikan kepada penulis dengan berlipat-lipat ganda. Semoga tesis ini
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Agustus 2008 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Asdani Padang yang dilahirkan di Medan pada tanggal 21
Juni 1977, beragama Islam dengan alamat Jln. S.M. Raja Km 5 Komplek Perumahan
Permata Indah No.D 4 Kabupaten Tapanuli Tengah-Sibolga
Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri No.060891
Padang Bulan Medan Tahun 1983-1989, Tahun 1989-1992 menamatkan sekolah
lanjutan tingkat pertama Negeri I Sibolga, Tahun 1992-1995 menamatkan pendidikan
sekolah menengah atas di SMA Negeri I Medan, Tahun 1996-2002 menamatkan
kuliah di Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara, kemudian tahun 2005-2008 menamatkan kuliah di
Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Konsentrasi Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Penulis sejak tahun 2002 memulai karir sebagai staf Dinas Kesehatan
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN... 1
3.2.Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 28
3.3.Populasi dan Sampel ... 29
3.4.Metode Pengumpulan Data ... 30
3.5.Variabel dan Definisi Operasional ... 31
3.6.Metode Pengukuran ... 33
3.7.Metode Analisis Data... 37
4.2. Faktor Predisposisi ... 40
4.3. Faktor Pendukung ... 47
4.4. Faktor Pendorong ... 49
4.5.Pemberian MP-ASI ... 51
4.6.Hasil Uji Statistik ... 52
BAB 5. PEMBAHASAN... 54
5.1.Faktor Predisposisi ... 55
5.2. Faktor Pendukung ... 56
5.3. Faktor Pendorong ... 57
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 59
6.1.Kesimpulan ... 59
6.2. Saran... 59
DAFTAR TABEL
Nomor Judul halaman
1. Nama Variabel, Cara dan Alat Ukur, Hasil Ukur, Skala Ukur, dan Kategori Hasil
Ukur ... 31
2. Distribusi Penduduk Usia 10 Tahun Keatas Berdasarkan Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan Tahun 2005 - 2006 ... 39
3. Distribusi Responden Menurut Umur ... 40
4. Distribusi Responden Menurut Paritas ... 41
5. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan ... 41
6. Distribusi Responden Menurut Pekerjaan ... 42
7. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pengetahuan ... 43
8. Distribusi Responden Menurut Kategori Tingkat Pengetahuan ... 45
9. Distribusi Responden Menurut Sikap ... 46
10. Distribusi Responden Menurut Kategori Sikap ... 47
11. Distribusi Responden Berdasarkan Jarak Ke Fasilitas Kesehatan ... 48
12. Distribusi Keterpaparan Pada Media ... 48
13. Distribusi Responden Berdasarkan Bentuk Media ... 48
14. Distribusi Dukungan Petugas Kesehatan ... 49
15. Distribusi Responden Berdasarkan Uraian Dukungan Petugas Kesehatan .... ... 49
16. Distribusi Dukungan Keluarga dan Masyarakat ... 50
17. Distribusi Responden Berdasarkan Uraian Dukungan Keluarga dan Masyarakat 50 18. Distribusi Responden Menurut Kebiasaan Makanan ... 51
19. Distribusi Kategori Pemberian MP-ASI ... 51
20. Distribusi Pemberian MP-ASI Berdasarkan Usia Bayi ... 52
DAFTAR GAMBAR
No Judul halaman
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul halaman
1. Surat Permohonan Izin Penelitian...
2. Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian ...
3. Kuesioner Penelitian ...
4. Hasil Pengolahan Data Penelitian ...
DAFTAR ISTILAH
MP – ASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu
WHO : World Health Organization
SUSENAS : Survei Sosial Ekonomi Nasional
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Kemajuan suatu bangsa dipengaruhi dan ditentukan dari tingkat kesehatan
masyarakatnya di mana salah satu indikator tingkat kesehatan tersebut ditentukan
oleh status gizi manusianya. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat
keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental
orang tersebut (Wiryo, 2002).
Memasuki era globalisasi diperlukan anak Indonesia sebagai generasi penerus
bangsa yang berkualitas tinggi agar mampu bersaing dengan negara lain. Kesehatan
dan gizi merupakan faktor penting karena secara langsung berpengaruh terhadap
kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh
kecukupan zat gizi yang diperoleh dari makanan yang dikonsumsi sejak bayi. Pada
masa bayi pertumbuhan dan perkembangan berlangsung sangat cepat dan
perkembangan otak telah mencapai 70% (Roesli, 2005).
Pencapaian tumbuh kembang optimal pada bayi, dalam Global Strategy for
Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal
penting yang harus diperhatikan yaitu: pertama, memberikan air susu ibu kepada
bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir; kedua, memberikan air susu
ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6
berusia 6-24 bulan; dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24
bulan atau lebih. Di samping itu juga MP-ASI disediakan berdasarkan bahan lokal
bila memungkinkan, MP-ASI harus mudah dicerna, harus disesuaikan dengan umur
dan kebutuhan bayi dan MP-ASI harus mengandung kalori dan mikronutrien yang
cukup (Depkes, 2006).
Makanan mempengaruhi dan berkaitan dengan banyak kategori budaya,
sebagaimana halnya dengan sistem medis yang memainkan peranan dalam mengatasi
kesehatan dan penyakit, demikian pula kebiasaan makan memainkan peranan sosial
dasar yang jauh mengatasi soal makan untuk tubuh manusia semata-mata. (Foster dan
Anderson, 1986). Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan
penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi.
(Suharjo, 1989)
Dalam pemberian makanan bayi perlu diperhatikan ketepatan waktu
pemberian, frekuensi, jenis, jumlah bahan makanan, dan cara pembuatannya.
Kebiasaan pemberian makanan bayi yang tidak tepat, salah satunya adalah pemberian
makanan yang terlalu dini. Pemberian makanan terlalu dini dapat menimbulkan
gangguan pada pencernaan seperti diare, muntah, dan sulit buang air besar (Cott,
2003).
Pemberian makanan bayi di Indonesia masih banyak yang belum sesuai
dengan umurnya, terutama di daerah pedesaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada masyarakat pedesaan di Indonesia pada umumnya memberikan pisang (57,3%)
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2002,
terdapat banyak ibu yang memberikan makanan terlalu dini kepada bayinya,
kemudian sebanyak 32% ibu yang memberikan makanan tambahan kepada bayi
berumur 2-3 bulan, seperti bubur nasi, pisang, dan 69% terhadap bayi yang berumur
4-5 bulan (Surkesnas, 2002).
Hasil penelitian yang dilakukan Irawati (2007), peneliti pada Pusat Pelatihan
dan Pengembangan Gizi dan Makanan Departemen Kesehatan, diperoleh bahwa lebih
dari 50% bayi di Indonesia mendapat makanan pendamping ASI dengan usia kurang
dari 1 bulan.
Penelitian yang dilakukan di daerah pedesaan Kabupaten Wonosobo, Provinsi
Jawa Tengah, ditemukan bahwa praktek pemberian makan pada bayi sebelum usia 1
bulan mencapai 32,4% dan pada usia tersebut didapatkan sebesar 66,7% jenis
makanan yang diberikan adalah pisang (Litbangkes, 2003).
Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2001) di Provinsi Jawa
Tengah dan Jawa Barat, sebanyak 77% responden memberikan makanan prelaktal
dan 23% langsung memberikan ASI saja kepada bayinya. Data dari Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Utara (2006) menunjukkan bahwa 56,80% ibu memberikan
makanan pendamping ASI terlalu dini pada bayi 0-6 bulan dan sebesar 43,20% ibu
tidak memberikan makanan pendamping ASI terlalu dini (Litbangkes, 2007).
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah tahun
yang ada di Tapanuli Tengah ternyata di Kecamatan Pandan terdapat 52,15% dari
1.268 bayi sudah mendapat MP-ASI usia < 6 bulan (Dinkes Kab. Tapteng 2006).
Secara teoritis diketahui bahwa pemberian makanan MP-ASI terlalu dini pada
anak dapat menyebabkan gangguan pencernaan pada bayi seperti diare, konstipasi,
muntah, dan alergi. Di samping itu akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak
setelah usia dewasa seperti memicu terjadinya penyakit obesitas, hipertensi, dan
penyakit jantung koroner (Nadesul, 2005)
Secara teoritis banyak faktor yang melatar belakangi munculnya masalah
perilaku pemberian MP-ASI. Teori yang erat kaitannya dengan perilaku yang
berhubungan dengan pemberian MP-ASI adalah teori yang dikemukakan oleh Green
(1993). Green mengemukakan analisisnya tentang faktor perilaku (behavior causes)
dan faktor di luar perilaku (non behavior causes) yang selanjutnya perilaku itu sendiri
terbentuk dari 3 faktor: faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor pendorong.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis ingin mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi ibu dalam pemberian makanan pendamping ASI dini di
Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 2007.
1.2. Rumusan Masalah
Di Kabupaten Tapanuli Tengah khususnya di Kecamatan Pandan dari hasil
survey pendahuluan didapatkan data bahwa pada tahun 2006 terdapat 52,15% dari
Berdasarkan latar belakang tersebut yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku ibu dalam
memberikan MP-ASI dini di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun
2007.
1.3.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI dini di Kecamatan Pandan Kabupaten
Tapanuli Tengah tahun 2007.
1.4. Hipotesa
Ada pengaruh faktor-faktor predisposisi, pendukung, dan pendorong terhadap
pemberian MP-ASI dini di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah pada
tahun 2007.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Diharapkan dapat memberikan informasi bagi Instansi Dinas Kesehatan maupun
Instansi lain dalam menentukan arah kebijakan gizi masyarakat khususnya
pemberian MP-ASI untuk anak bayi di masa yang akan datang
2. Dengan terwujudnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan
pemikiran serta referensi bagi rekan-rekan mahasiswa khususnya para peneliti
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan kepada bayi/anak
disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya (Depkes RI, 1992). MP-ASI ini
diberikan pada anak berumur 6 bulan sampai 24 bulan, karena pada masa itu produksi
ASI makin menurun sehingga suplai zat gizi dari ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan
gizi anak yang semakin meningkat sehingga pemberian dalam bentuk makanan
pelengkap sangat dianjurkan (WHO, 1993).
Sesudah bayi berumur 6 bulan secara berangsur perlu makanan pendamping
berupa sari buah, atau buah-buahan, nasi tim, makanan lunak dan akhirnya makanan
lembek. Adapun tujuan pemberian makanan pendamping adalah (Depkes RI, 2004)
a. Melengkapi zat gizi ASI yang kurang
b. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima macam-macam makanan
dengan berbagai rasa dan bentuk.
c. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan.
Selain itu menurut Muchtadi (2004), makanan pendamping untuk bayi
sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut: nilai energi dan kandungan
proteinnya cukup tinggi, dapat diterima dengan baik, harganya relatif murah, dan
bagi bayi hendaknya bersifat padat gizi, dan mengandung serat kasar serta bahan lain
yang sukar dicerna sedikit mungkin. Sebab serat kasar yang terlalu banyak jumlahnya
akan mengganggu pencernaan.
Pada usia enam bulan, pencernaan bayi mulai kuat. Pemberian makanan
pendamping ASI harus setelah usia enam bulan, karena jika diberikan terlalu dini
akan menurunkan konsumsi ASI dan bayi mengalami gangguan pencernaan atau bisa
diare. Sebaliknya bila makanan pendamping diberikan terlambat akan mengakibatkan
anak kurang gizi bila terjadi dalam waktu panjang (Depkes, 2003).
Untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan status gizi
dan pelembagaan keluarga sadar gizi, dilakukan sosialisasi makanan pendamping air
susu ibu dari bahan lokal. Kegiatan ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan
penganekaragaman konsumsi. Untuk mencari praktis, biasanya ibu-ibu langsung
membeli bahan makanan pendamping di toko. Tidak salah memang, tetapi
sebenarnya di sekitar kita banyak bahan makanan lokal yang bisa dikelola (Sartono,
2006).
2.2. Pola Pemberian Makanan Pada Bayi
Tahun pertama, khususnya enam bulan pertama, adalah masa yang sangat
kritis dalam kehidupan bayi. Bukan hanya pertumbuhan fisik yang berlangsung
dengan cepat, tetapi juga pembentukan psikomotor dan akulturasi terjadi dengan
cepat. ASI harus merupakan makanan utama pada masa ini. Biasanya makanan
pertumbuhan anak pada kecepatan yang sama, umumnya ini berarti antara umur
empat sampai enam bulan. Memperkenalkan makanan tambahan pada umur empat
sampai enam bulan ini disebabkan karena alasan psikologis dan psikososial.
ASI harus merupakan makanan satu-satunya (eksklusif) untuk bulan-bulan
pertama kehidupan bayi. Makanan tambahan pertama diberikan adalah terutama
untuk memberikan tambahan energi serta untuk memulai proses pendidikan atau
akulturasi. Kemudian akan terdapat kebutuhan makanan tambahan yang
meningkatkan agar campuran ASI dan makanan tersebut dapat memberikan energi
dan protein yang diperlukan anak. Pada suatu saat makanan tambahan secara
keseluruhan menggantikan peran ASI, dalam hal ini berarti si bayi disapih atau tidak
menyusui lagi pada ibunya sebaiknya hal ini dilakukan bila bayi telah berumur dua
tahun.
Selama proses penyapihan tersebut, makanan tambahan yang diberikan harus
mengandung nilai kalori dan kadar protein yang cukup tinggi serta mengandung
vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh bayi. Pada masa kini makanan
tambahan untuk bayi tersebut banyak diproduksi oleh industri dan mudah diperoleh di
pasaran. Namun apabila terdapat masalah ekonomi untuk memperoleh produk
tersebut, makanan orang dewasa yang terdiri dari serealia, umbi-umbian dan
kacang-kacangan serta sayuran dan buah-buahan dapat diformulasikan sedemikian rupa
sehingga dapat memenuhi kebutuhan bayi akan zat-zat gizi.
ASI dapat mencukupi sebagian besar bayi sampai berumur empat atau enam
bulan. Sebagian bayi dapat tumbuh dengan memuaskan sampai berumur enam bulan
atau lebih dengan hanya diberi ASI. Sebagian lagi mungkin memerlukan lebih
banyak energi dan zat-zat gizi lain daripada yang terdapat dalam ASI, dengan
memberikan tanda-tanda kelaparan atau pertambahan berat badan yang lambat pada
umur 4 bulan atau kurang.
Tetapi tidak bijaksana untuk memberikan makanan tambahan kepada anak
pada umur kurang dari empat bulan, karena adanya risiko kontaminasi yang sangat
tinggi. Dengan memberikan makanan tambahan juga akan mengurangi produksi ASI
karena si anak menjadi jarang menyusuii.
Tujuan pemberian makanan tambahan ini adalah sebagai komplemen terhadap
ASI agar anak memperoleh cukup energi, protein dan zat-zat gizi lain (vitamin dan
mineral) untuk tumbuh dan berkembang secara normal. Adalah penting untuk
diperhatikan agar pemberian ASI dilanjutkan terus selama mungkin, karena ASI
memberikan energi dan protein yang bermutu tinggi, disamping terjadinya kontak
yang terus menerus antara ibu dengan bayinya.
Dalam pemberian makanan tambahan pada bayi ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Makanan termasuk ASI, harus memberikan semua zat gizi yang diperlukan oleh
bayi,
2. Anak bayi memerlukan lebih dari satu kali makan sehari sebagai komplemen
diberikan jangan terlalu besar, sehingga anak kecil harus diberi makan lebih
sering dalam sehari dibandingkan dengan orang dewasa.
3. Seorang anak berumur 1-3 tahun hanya dapat mengkonsumsi sekitar 200-300 ml
makanan untuk satu kali makan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan energi dan
zat-zat energi lain yang cukup, makanan tambahan harus mengandung energi dan
zat-zat gizi dalam konsentrasi tinggi, atau diberikan seringkali.
4. Seorang bayi berumur lebih dari 6 bulan perlu diberi makan 4-6 kali sehari
sebagai tambahan terhadap ASI. Hal ini dapat dikurangi sampai 3 kali makan
sehari untuk anak yang telah berumur 2-3 tahun, dengan memperhatikan bahwa
energi dan zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan tersebut memenuhi
kebutuhan anak.
5. Bila sulit menambahkan minyak, lemak atau gula ke dalam makanan, maka bayi
hanya akan memperoleh cukup zat gizi bila ia makan 4-6 kali per hari. Bayi dapat
diberi makan tiga kali sehari dan diberi makanan bergizi tinggi diantaranya
(selingan) sebagai makanan kecil.
6. Sekali makanan dapat diterima dengan baik, berikan makanan tambahan tersebut
setelah bayi menyusui.
7. Sebelum berumur 2 tahun, bayi belum dapat mengkonsumsi semua makanan
orang dewasa. Makanan dasar simple mixes tetapi lebih diutamakan multi mixes,
lebih cocok baik dalam hal nilai gizinya maupun konsistensinya.
dan setelah berumur 2 tahun umumnya dapat menerima makanan orang dewasa
normal.
9. Gunakan sendok atau cangkir untuk memberi makan. Sebagian besar bayi dapat
dilatih untuk minum dari cangkir setelah berumur 5 bulan.
Pada waktu berumur 2 tahun, bayi dapat mengkonsumsi makanan setengah
porsi orang dewasa. Adalah suatu cara yang paling baik untuk memberikan mangkok
tersendiri dan menaruh bagian makanannya dalam mangkok tersebut. Biarkan ia
makan dengan kecepatannya sendiri, dibawah pengawasan ibunya. Selama masa
penyapihan, bayi seringkali menderita infeksi seperti batuk, campak, atau diare.
Apabila makanannya mencukupi, gejalanya tidak akan separah bayi yang kurang gizi
(Muchtadi, 2004).
2.2.2. Persyaratan Makanan Tambahan
Makanan tambahan untuk bayi sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Nilai energi dan kandungan proteinnya tinggi
2. Memiliki suplementasi yang baik, mengandung vitamin dan mineral dalam
jumlah yang cukup
3. Dapat diterima dengan baik
4. Harganya relatif murah
Makanan tambahan bagi bayi seharusnya menghasilkan energi setinggi
mungkin, sekurang-kurangnya mengandung 360 kkal per 100 gram bahan. Makanan
tambahan bagi bayi hendaknya bersifat padat gizi, dan mengandung serat kasar serta
bahan lain yang sukar dicerna seminimal mungkin, sebab serat kasar yang terlalu
banyak jumlahnya akan mengganggu pencernaan.
Lemak dalam makanan selain berfungsi sebagai sumber energi, juga dapat
memperbaiki cita rasa (memberikan rasa gurih). Kandungan asam linoleat sebaiknya
tidak kurang dari 1%, dan kandungan lemak dapat memberikan energi sebesar
25-30% dari total energi produk. Kadar lemak makanan tambahan dapat ditingkatkan
mencapai 10% sejauh teknologi memungkinkan, tampak mengganggu daya tahan
simpan untuk memperoleh mutu makanan tambahan yang tetap baik (Deddy, 1994).
2.2.3. Kerugian-kerugian yang Potensial dari Pengenalan Makanan Tambahan yang Dini
Menurut Suhardjo (1992) ada beberapa akibat kurang baik dari pengenalan
makanan dini yaitu: gangguan menyusuii, beban ginjal yang terlalu berat sehingga
mengakibatkan hyperosmolitas plasma, alergi terhadap makanan, dan mungkin
gangguan terhadap pengaturan selera makanan. Makanan alamiah, bahan makanan
tambahan dan pencemaran makanan tertentu juga dapat dirugikan.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai akibat-akibat yang disebabkannya:
1. Gangguan Penyusuan
bayi-bayi yang menyusuii mendapat makanan tambahan pada umur yang lebih
kemudian, dan dalam jumlah yang lebih kecil daripada bayi-bayi yang mendapat susu
formula.
2. Beban ginjal yang berlebihan dan hyperosmolitas
Makanan padat, baik yang dibuat sendiri di pabrik, cenderung untuk
mengandung kadar natrium klorida (NaCl) tinggi yang akan menambah beban ginjal.
Beban tersebut masih ditambah oleh makanan tambahan yang mengandung daging.
Bayi-bayi yang mendapat makanan padat pada umur yang dini, mempunyai
osmolitas plasma yang lebih tinggi daripada bayi-bayi yang 100% mendapat air susu
ibu dan karena itu mudah mendapat hyperosmolitas dehidrasi. Hyperosmolitas
penyebab haus yang belebihan. Meskipun hubungan antara penggunaan natrium
klorida (NaCl) dan tingkat tekanan darah belum dibuktikan pada masa bayi, tetapi
pengamatan epidemiologis dan data ekspeimen pada tikus menyatakan bahwa
penggunaan garam pada umur dini dapat dihubungkan dengan perkembangan tekanan
darah tinggi yang timbul.
3. Alergi terhadap makanan
Belum matangnya sistem kekebalan dari susu pada umur yang dini, dapat
menyebabkan banyak terjadinya alergi terhadap makanan pada masa kanak-kanak.
Alergi pada susu sapi dapat terjadi sebanyak 7,5% dan telah diingatkan, bahwa alergi
terhadap makanan lainnya, seperti jeruk, tomat, ikan, telur dan realia, bahkan
mungkin lebih sering terjadi. Air susu ibu kadang-kadang dapat menularkan
gejala-gejala klinis, tetapi pemberian susu sapi atau makanan tambahan yang dini
menambah terjadinya alergi terhadap makanan.
Pada bayi yang mendapat air susu ibu (atau susu dari kacang kedele) telah
dilaporkan adanya pengurangan dalam timbulnya perwujudan-perwujudan alergis,
bahkan sampai umur sepuluh tahun, oleh beberapa orang penyelidik, sedangkan
penyelidik-penyelidik lainnya telah menemukan tidak adanya perbedaan. Suatu
perbandingan yang sistematis antara pengaruh dari pemberian makanan tambahan
yang dini dan yang kemudian belum dilaporkan. Hasil dari penelitian-penelitian
dengan aturan makanan dapat menghindari alergi ternyata berbeda-beda.
4. Gangguan pengaturan selera makanan
Makanan padat telah dianggap sebagai penyebab kegemukan pada bayi-bayi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bay-bayi yang diberi susu formula adalah
lebih berat daripada bayi-bayi yang mendapat air susu ibu, tetapi apakah perbedaan
itu disebabkan karena bayi-bayi yang diberi susu formula mendapat makanan padat
lebih dini, belumlah jelas.
5. Bahan-bahan makanan tambahan yang merugikan
Makanan tambahan mungkin mengandung komponen-komponen alamiah
yang jika diberikan pada waktu dini dapat merugikan. Suatu bahan yang lazim adalah
sukrosa. Gula ini adalah penyebab kebusukan pada gigi, dan telah dikemukakan
bahwa penggunaan gula ini pada umur yang dini dapat membuat anak terbiasa akan
bayi di bawah umur 3-4 tahun, yang mekanisme dalam badan untuk melawan racun
belum diketahui.
Banyak dari serealia yang mengandung gluten dapat menambah risiko
penyakit perut pada umur yang muda, pada saat penyakit tersebut lebih berbahaya.
Mungkin juga timbul kesulitan-kesulitan diagnostik, karena sifat tidak mau menerima
protein dari susu sapi dapat menyajikan suatu gambaran klinis yang sama dengan
gejala-gejala penyakit perut. Juga ada kemungkinan bahwa sensitifitas terhadap
gluten dapat ditumbulkan secara lebih mudah pada umur dini, sekurang-kurangnya
pada bayi-bayi yang mendapat susu formula (Suhardjo, 1995).
2.2.4. Saran-saran Untuk Pengenalan Makanan Tambahan
a. Dalam memberikan nasehat harus diperhatikan lingkungan sosial budaya dari
keluarga yang bersangkutan, sikap dari orang tuanya dan situasi dari hubungan
ibu dan anak.
b. Pada umumnya makanan tambahan sebaiknya jangan diberikan sebelum umur
tiga bulan atau lebih dari enam bulan. Sebaiknya dimulai dalam jumlah
sedikit-sedikit dan jenis serta jumlahnya harus ditambah dengan perlahan-lahan.
c. Pada umur enam bulan tidak lebih dari 50% kebutuhan energi harus berasal dari
makanan tambahan. Untuk enam bulan berikutnya air susu ibu harus terus
diberikan. Jika ASI sudah tidak ada lagi, maka susu formula dapat diberikan
d. Tidak perlu diperinci jenis makanan tambahan (serealia, buah-buahan, sayuran)
yang harus diberikan lebih dahulu. Dalam kaitan ini kebiasaan-kebiasaan
setempat dan faktor-faktor ekonomi harus dipertimbangkan.
e. Makanan yang mengandung gluten jangan diberikan sebelum umur empat bulan.
Bahkan penundaan sampai umur enam bulan akan lebih baik.
f. Makanan yang mengandung kadar nitrat yang potensial tinggi, seperti bayam dan
akar biet harus dihindari selama bulan pertama.
g. Pertimbangan khusus harus diberikan terhadap pemberian makanan tambahan
kepada bayi-bayi yang mempunyai sejarah keluarga alergi secara umum, yang
harus secara ketat menghindari makanan yang sangat mudah dapat menimbulkan
alergi.
Makanan campuran berbagai bahan makanan dapat memberikan mutu yang
lebih tinggi dari pada mutu masing-masing bahan penyusunnya. Dengan
bercampurnya beragam bahan makanan tersebut, maka bahan yang kurang dalam
zat-zat gizi tertentu dapat ditutupi oleh bahan makanan yang mengandung lebih banyak
zat-zat yang bersangkutan. Dengan demikian masing-masing bahan makanan
mempunyai efek komplementer yang berakibat meningkatnya mutu gizi makanan.
Campuran antara pangan sumber karbohidrat utama dengan pangan sumber
protein dengan perbandingan yang tertentu, memberikan nilai protein sebesar 5-6
gram serta energi 350 kalori. Ini berarti bila diberikan kepada anak sekitar umur dua
2.3. Perilaku
Perilaku adalah suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya, reaksi
tersebut mempunyai bentuk bermacam-macam yang pada hakekatnya digolongkan
menjadi 2 yakni dalam bentuk pasif (tanpa tindakan nyata atau konkrit), dan dalam
bentuk aktif (dengan tindakan konkrit).
Bentuk perilaku ini dapat diamati melalui sikap dan tindakan, namun
demikian tidak berarti bentuk perilaku itu hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakan
saja, perilaku juga dapat bersifat potensial, yakni dalam bentuk pegetahuan, motivasi
dan persepsi.
Menurut Lawrence Green (1993) bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat
dipengaruhi oleh faktor-faktor, yakni faktor perilaku dan faktor diluar perilaku,
selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk dari 3 faktor:
1. Faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
2. Faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud dalam lingkungan fisik,
tersedianya atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana.
3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat.
2.3.1. Faktor Predisposisi
Bila dikaitkan dengan fenomena epidemiologi maka pengetahuan yang
penyebaran/distribusi maupun dampak dari penyakit tertentu. Sedangkan sikap disini
meliputi bagaimana tanggapan individu atau masyarakat tentang penyakit
diwujudkannya dalam pernyataan setuju atau tidaknya terhadap pencegahan dan
pengobatan suatu penyakit. Kepercayaan merupakan tahap selanjutnya dari perilaku,
bahwa jika pengetahuan dan sikapnya sudah diwujudkan dalam bentuk kepercayaan
maka biasanya perilaku lebih sulit untuk dirubah. Sedangkan tradisi yang dimaksud
adalah apakah ada tradisi yang ada dimasyarakat lebih memungkinkan seseorang
berperilaku tidak sehat, misalnya tradisi tidak memberikan ASI pada bayi,
memberikan ASI tidak sampai 2 tahun dan memberi makan MP-ASI terlalu dini dan
sebagainya. Disamping itu perlu juga diketahui tradisi dalam masyarakat yang
mendukung dalam perilaku sehat. Nilai-nilai dan norma sosial dalam hal ini dapat
berupa sejauh mana aktivitas-aktivitas seperti pencegahan/pengobatan diterima oleh
masyarakat.
2.3.2. Faktor Pendukung
Faktor pendukung antara lain: 1). Sarana dan prasarana kesehatan dan 2).
Kemudahan dalam mencapai sarana kesehatan tersebut. Sarana dan prasarana
kesehatan meliputi seberapa banyak fasilitas-fasilitas kesehatan, konseling maupun
pusat-pusat informasi bagi individu/masyarakat. Kemudahan bagaimana kemudahan
untuk mencapai sarana tersebut termasuk biaya, jarak, waktu/lama pengobatan, dan
juga hambatan budaya seperti malu mengalami penyakit tertentu jika diketahui
Faktor pendorong meliputi : i). Sikap dan perilaku petugas kesahatan, ii).
Sikap dan perilaku guru, orang tua, teman sebaya, tokoh masyarakat, keluarga dan
lain-lain. Sikap dan perilaku petugas kesehatan merupakan salah satu faktor penting
dalam perilaku kesehatan. Sementara itu peranan guru, orang tua, teman sebaya dan
tokoh masyarakat merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam perubahan
perilaku. Contoh dalam kasus pemberian ASI, apabila seorang ibu telah mendapat
penjelasan tentang pemberian ASI yang benar dan coba menerapkannya, akan tetapi
karena lingkungannya belum ada yang menerapkan, maka ibu tersebut menjadi asing
di masyarakat dan bukan tidak mungkin ia menjadi kembali dengan pemberian ASI
yang salah.
2.4.Perilaku di Bidang Kesehatan
Dalam bidang kesehatan masyarakat khususnya pendidikan kesehatan,
mempelajari perilaku adalah sangat penting karena pendidikan kesehatan sebagai
bagian daripada kesehatan masyarakat, berfungsi sebagai media atau sarana-sarana
untuk menyediakan kondisi sosiopsikologis sedemikian rupa sehingga individu atau
masyarakat berperilaku sesuai dengan norma-norma hidup sehat. Dengan perkataan
lain pendidikan kesehatan bertujuan untuk menambah perilaku individu atau
masyarakat sehingga sesuai dengan norma-norma hidup sehat. (Notoatmodjo, 2002).
a. Respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit, penyakit,
sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Cakupan dari perilaku
kesehatan tersebut adalah:
b. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia
merespon, baik secara pasif (mengetahui), bersikap dan mempersepsi tentang
penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan luar dirinya, maupun aktif
(tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut.
c. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, adalah respon seseorang
terhadap sistem pelayanan kesehatan, baik sistem pelayanan kesehatan
modern maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respon terhadap fasilitas
pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan dan obat-obatnya, yang
terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas,
petugas dan obat-obatan.
d. Perilaku terhadap makanan, yaitu respon sesorang terhadap makanan sebagai
kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi,
sikap dan praktek terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di
dalamnya (zat gizi), pengelolaan makanan, dan sebagainya sehubungan
kebutuhan tubuh kita.
e. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan adalah respon seseorang terhadap
lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini
− Perilaku sehubungan dengan air bersih
− Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor
− Perilaku sehubungan dengan limbah
− Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, yang meliputi ventilasi,
pencahayaan, lantai dan sebagainya
− Perilaku sehubungan dengan pembersihan dengan pembersihan
sarang-sarang nyamuk (vektor) dan sebaginya.
2.5. Budaya dan Pola Konsumsi Pada Bayi
Pola konsumsi makanan penduduk di berbagai etnik (suku bangsa) di
Indonesia berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lain. Pola itu merupakan salah
satu cerminan dari kebiasaan makan penduduk bersangkutan. Pada umumnya pola
konsumsi makanan penduduk mengikuti nilai-nilai sosial dan budaya setempat. Nilai
sosial dan budaya ini berkaitan dengan ciri suku bangsa dan ciri ekologi dimana
penduduk itu hidup. Secara umum kebiasaan makanan dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti: keadaan sosial ekonomi, budaya, politik, fisik, lingkungan ekologi dan
teknologi setempat (Muhilal, 1996).
Para ahli antropologi gizi umumnya berpendapat bahwa kebiasaan makan
tidak mudah diubah tetapi bersifat dinamis. Hal ini berarti bahwa kebiasaan makan
dapat berubah jika faktor-faktor yang mempengaruhinya diubah dengan sengaja.
proses perubahan itu umumnya berjalan lambat. Selanjutnya perubahan atau
kelestarian pola makan dapat dikaji dari faktor dalam dan faktor luar sebagai berikut :
1) Dari dalam meliputi corak kebudayaan, corak masyarakat, corak individu
yang berkaitan dengan keterbukaan/tertutup, labil, dinamik, statis, tradisional.
2) Dari luar mencakup keterjangkauan (accesibility), ketersediaan (availability),
bekersinambungan (sustainability). Keterbukaan dan ketertutupan mencakup
unsur-unsur seperti struktur keluarga, tingkat sosial ekonomi (Muhilal, 1996).
Selain itu pola konsumsi makanan penduduk dapat dilihat dari berbagai tingkat
analisis, yaitu :
1) Pola tingkat kebudayaan: dilihat sebagai pengetahuan yang dimiliki dan
digunakan bersama sebagai peranan hidup.
2) Pola tingkat masyarakat: dilihat sebagai pola-pola yang umum berlaku dalam
kehidupan sosoial masyarakat yang merupakan hasil abstraksi para pelaku
yang diamati maupun dari berbagai informasi yang diperoleh dari informan
kunci.
3) Pada tingkat keluarga: dilihat sebagai pola-pola umum yang berlaku dalam
kehidupan keluarga dalam satu masyarakat yang merupakan abstraksi
mengenai berbagai kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan para anggota
keluarga sebagai satuan kehidupan.
4) Pada tingkat individu: dilihat sebagai pola dasar umum dari pengetahuan
Kerja organ pencernaan yang normal menjadikan mesin tubuh bekerja
menjadi lancar. Oleh sebab itu, kita sangat penting menjaga dan memelihara organ
pencernaan bayi semenjak dilahirkan. Dibandingkan organ tubuh lainnya, organ
pencernaan bayi yang baru lahir lebih besar peranannya bagi tubuh bayi tersebut,
karena perut badan betumbuh, berkat perut otak berkembang.
Mengisi perut bayi tidak cukup berbekal dengan naluri belaka. Kita
membutuhkan yang lain dan pilihan itu harus masuk akal, terukur dan bisa dipercaya.
Karena perut yang sehat berkaitan dengan hari depan anak. Susunan pencernaan bayi
belum sepenuhnya berfungsi seperti pencernaan orang dewasa. Pada saat dilahirkan
lambung dan usus bayi belum berfungsi sepenuhnya, semua enzim pencernaan belum
lengkap diproduksi, struktur saluran pencernaan bayi belum terbentuk sempurna dan
kemampuan bayi untuk menelan pun belum sempurna. Untuk alasan itulah bayi
belum diperbolehkan menelan segala macam makanan dan minuman seperti orang
dewasa, sekurang-kurangnya sampai bayi berumur 6 bulan belum boleh ada jenis
makanan lain bayi selain ASI (Nadesul, 2005).
Pola konsumsi makanan bergizi sangat ditentukan oleh tersedianya bahan
makanan yang beraneka ragam yang dihasilkan melalui program peningkatan
produksi pangan baik pangan pokok maupun bukan pangan pokok, dalam rangka
melestarikan swasembada pangan dengan tetap memperhatikan kepada pola
konsumsi pangan masyarakat setempat.
Proses pemilihan makanan dalam diri seorang merupakan bagian dari sistem
budaya merupakan determinan kuat dalam pemilihan makanan yang dilakukan oleh
masyarakat yang timbul secara turun menurun (Muhilal, 1996).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Sulastri (2004) di Kelurahan
Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan mengenai pemberian MP-ASI dimana dari 80
responden terdapat 2,5% pemberian MP-ASI baik dan 97,5% dengan pola pemberian
MP-ASI yang tidak baik. Demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh
Irwansyah (2000) di desa Alue Awe Kecamatan Muara Dua Aceh, dimana hanya
16,4% responden pola pemberian MP-ASI dikategorikan baik, sedangkan 83,6%
responden pola pemberian MP-ASI buruk.
Pola pemberian makan pada bayi disesuaikan dengan dua faktor yaitu:
1. Faktor yang berhubungan dengan keadaan ibu
Keadaan yang sering dihadapi ibu adalah bendungan ASI yang menyebabkan
ibu merasa sakit sewaktu bayi menyusui. Keadaan ini dapat diatasi dengan
cara mengurut payudara perlahan-lahan. Adanya penyakit kronis yang diderita
ibu seperti TBC, malaria merupakan alasan untuk tidak menyusui bayinya.
Demikian juga ibu yang gizinya tidak baik, akan menghasilkan ASI dalam
jumlah lebih sedikit dibanding dengan ibu dengan gizi yang lebih baik.
2. Faktor yang berhubungan dengan keadaan bayi
Anak yang lahir dengan prematur atau lahir dengan berat badan lahir rendah
anak sakit juga akan menimbulkan kesulitan karena si anak menolak untuk
menyusuii (Roesli, 2005)
2.6. Landasan Teori
Masalah gangguan tumbuh kembang pada bayi dan anak usia di bawah 2
tahun (baduta) merupakan masalah yang perlu ditanggulangi dengan serius. Usia di
bawah dua tahun merupakan masa yang amat penting sekaligus masa kritis dalam
proses tumbuh kembang bayi baik fisik maupun kecerdasan. Karena itu setiap bayi
dan anak usia 12-24 bulan harus memperoleh asupan gizi sesuai dengan
kebutuhannya yang sejalan dengan pertambahan umur, sebab bertambah umur
bertambah pula kebutuhan gizinya dan oleh sebab itu pada usia ini bayi harus diberi
makanan pendamping ASI (MP-ASI). Selain ASI untuk memenuhi kebutuhan gizi
bayi perlu juga diperhatikan waktu pemberian, frekuensi, pemilihan bahan makanan,
cara pembuatan dan cara pemberian MP-ASI.
Di dalam keluarga peranan ibu sangat penting dalam melaksanakan pemberian
ASI ini. Penanganan yang baik yang dilakukan oleh ibu dalam pemberian
MP-ASI kepada bayinya berpotensi untuk mencapai bayi yang sehat baik dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Namun dalam kenyataannya masih banyak
terjadi masalah pemberian MP-ASI pada bayi dan hal tersebut didasari oleh banyak
faktor terutama dari faktor perilaku ibu sendiri.
Perilaku ibu yang tidak sesuai ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
perilaku ibu tersebut dikelompokkan menjadi faktor predisposing, enabling dan
reinforcing. Faktor-faktor yang tergolong sebagai faktor predisposing antara lain
umur, tingkat pendidikan, pengetahuan, penghasilan dan budaya. Tingkat pendidikan
ibu yang rendah diasumsikan akan menyebabkan tingkat pengetahuan ibu yang juga
rendah. Pengetahuan mengenai MP-ASI terdiri dari waktu pemberian, frekuensi,
porsi, pemilihan bahan makanan, cara pembuatan dan cara pemerbian MP-ASI.
Faktor budaya yang secara turun temurun diwariskan dalam pola makan masyarakat
akhirnya akan membentuk pola konsumsi kepada anak nantinya. Faktor pendukung,
dimana hal yang memudahkan ibu dalam pemberian makanan pendamping juga
mendasari tindakan ibu. Tingkat ketesediaan bahan makanan dalam lingkungan
(pasar) akan mendorong ibu untuk mendapatkan dan mengolah bahan makanan
tersebut menjadi makanan pendamping bagi bayinya. Informasi yang diperoleh dari
media massa akan mendasari ibu dalam memilih jenis makanan pendamping baik
tenaga puskesmas maupun posyandu akan mendorong ibu untuk berperilaku
berdasarkan informasi yang didapatkan dari mereka. Sikap dan tindakan petugas yang
mendukung akan menimbulkan minat pada ibu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
Faktor Predisposisi a. Umur
b. Pendidikan c. Pengetahuan d. Sikap
e. Status Ekonomi f. Kebiasaan
makan pada bayi
Faktor Pendukung a. Sarana dan
prasarana b. Ketersediaan
bahan makanan c. Layanan
kesehatan d. Media massa
Pelayanan Kesehatan
Tindakan Lingkungan
Status Kesehatan
Faktor Pendorong a. Sikap dan
tindakan petugas b. Dukungan
keluarga dan masyarakat
2.7. Kerangka Konsep
Faktor Predisposing
b. Umur c. Paritas d. Pendidikan e. Pengetahuan f. Sikap g. Pekerjaan
Faktor Pendorong
b. Jarak ke Pelayanan kesehatan
c. Keterpaparan Media
Pemberian MP-ASI
Dini
Faktor Pendukung
a. Dukungan petugas kesehatan
b. Dukungan keluarga & masyarakat
c. Kebiasaan makan bayi
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitan
Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan tipe explanatory research
untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian
hipotesis. Rancangan penelitian adalah dengan menggunakan desain potong lintang
(cross-sectional), yaitu melakukan pengamatan sesaat dalam satu waktu dari data
primer yang diperoleh melalui wawancara langsung serta mengisi daftar pertanyaan
yang telah disediakan.
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pandan Kabupaten
Tapanuli Tengah. Adapun alasan pemilihan lokasi adalah:
1. Masih rendahnya bayi yang diberi ASI secara eksklusif, yaitu sebesar 52,15
%, dimana bayi telah mendapat MP-ASI usia < 6 bulan.
2. Belum pernah diadakan penelitian tentang perilaku ibu dalam pemberian
makanan tambahan pada bayinya didaerah ini.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 10 bulan dimulai bulan Mei 2007 - Februari
proposal penelitian, konsultasi dengan dosen pembimbing, kolokium/seminar
proposal dan dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk pengumpulan data serta
melakukan pengolahan dan analisa data, penyusunan laporan penelitian, penulisan
tesis, dan seminar hasil.
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak usia 6-24
bulan yang terdapat di Kecamatan Pandan tahun 2007. Berdasarkan laporan dua
puskesmas yang terdapat di Kecamatan Pandan tahun 2007.
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak usia 6-24
bulan.Dimana ibu dalam keadaan sehat dan tidak memiliki hambatan menyusui dan
begitu juga dengan anak.Berdasarkan rumus, sampel yang diperoleh sebanyak 147
orang yang diperoleh dengan menggunakan rumus (Lwanga and Lameshow, 1997)
sebagai berikut:
Pa = 0,6%
Berdasarkan perhitungan didapatkan jumlah sampel sebesar 147 responden.
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah ibu sehat yang mempunyai bayi
yang sehat usia 6-24 bulan, dengan harapan responden masih mampu mengingat
kebiasaan dan kejadian yang dialami. Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini
adalah jika responden tidak bersedia diwawancarai setelah dilakukan penjelasan
sebanyak 3 kali, maka digantikan dengan responden lain.
3.4. Metode pengumpulan Data
Pada pelaksanaan penelitian penulis mengumpulkan data melalui:
1. Data Primer; dikumpulkan melalui wawancara langsung pada responden dengan
menggunakan kuesioner. Data primer yang dikumpulkan adalah semua data yang
termasuk variabel independen, variabel dependen. Wawancara dilakukan dengan
cara melakukan kunjungan ke rumah responden.
2. Data Sekunder; diperoleh dari profil Dinkes Kabupaten Tapteng.
Untuk menguji kehandalan instrumen dilakukan uji ketepatan (validitas) dan
uji ketelitian (reliabilitas). Untuk memperoleh hasil uji validitas digunakan koefisien
corrected item-total correlation. Sedangkan untuk memperoleh hasil uji reliabilitas
dilakukan dengan uji koefisien menggunakan uji Cronbach (Cronbach Alpha). Dari
uji yang dilakukan koefisien alpha yang diperoleh menunjukkan bahwa pengukuran
yang dilakukan dalam penelitian ini cukup valid dan reliabel (Lampiran 1).
3.5. Variabel dan Definisi Operasional
Berikut merupakan definisi operasional dan pengukuran variabel penelitian,
yakni faktor predisposisi (umur, paritas, pendidikan, pengetahuan, sikap, pekerjaan),
faktor pendukung (jarak ke pelayanan kesehatan, keterpaparan media), dan faktor
pendorong (dukungan petugas kesehatan, dukungan keluarga dan masyarakat,
kebiasaan makan bayi).
Tabel 3.1. Variabel, Definisi Operasional, Alat Ukur, Hasil Ukur dan Skala Ukur
Variabel Sub Variabel
Definisi
Operasional Alat ukur
Hasil ukur Skala
ukur
Umur Umur ibu kuesioner Umur dalam satuan tahun Ratio
Paritas Jumlah anak yang pernah dilahirkan Kuesioner Jumlah anak yang pernah dilahirkan Ratio
Pendidikan
Pendidikan yang pernah dijalani ibu
Kuesioner
Rendah: (tidak sekolah, SD) Sedang : (SLTP,atau SLTA) Tinggi: Universitas
1. tidak bekerja (ibu rumah tangga)
2. bekerja dirumah (salon,menjahit dll) 3. bekerja diluar rumah
(PNS, swasta, guru dll)
Nominal
pemberian ASI Kuesioner
baik , apabila menjawab benar >75%
Skor nilai : -jawaban 1 = 2 -jawaban 2 = 1 -jawaban 3 = 0
buruk, menjawab benar
<45%,
Sikap
Kesiapan atau kesediaan memberikan ASI yang benar pada bayinya Skor nilai : -jawaban S = 2 -jawaban TS = 1 -jawaban TT = 0
Kuesioner
baik, apabila menjawab
benar >75%
sedang,menjawab benar
40-75%
kurang, menjawab benar
<40%
Tabel 3.1. (Lanjutan)
Jarak ke fasilitas kesehatan
Jarak tempat tinggal ibu ke puskesmas
Kuesioner
Dekat, apabila menjawab < 5
km
Sedang, apabila menjawab
5-10 km
Jauh, apabila menjawab > 10
km
Tinggi: apabila menjawab
>75%,
Sedang:apabila menjawab
45-75%
Rendah: apabila menjawab
<45%
Mendapat Dorongan:
apabila menjawab ≥75%
Tidak mendapat dorongan:
apabilamenjawab <75%
Ordinal
Variabel Sub Variabel
Definisi
Operasional Alat ukur Hasil ukur
Skala
Kuesioner Mendapat Dorongan:
apabila menjawab ≥75%
Tidak mendapat dorongan
apabila menjawab <75%
Ordinal
Tidak ada : kebiasaan
3.6. Metode Pengukuran
Skala pengukuran dalam penelitian adalah dengan menggunakan Skala Likert
untuk mengukur perilaku responden yang meliputi pengetahuan, sikap dimana
variabel pengukuran dijabarkan menjadi sub variabel dan kemudian sub variabel
dijabarkan menjadi komponen yang dapat diukur berdasarkan nilai yang diberikan
setiap pertanyaan (Pratomo, 1986)
1. Tingkat Pendidikan
Pengukuran tingkat pendidikan ibu didasarkan tingkat pendidikan responden
pada saat penelitian. Pendidikan ibu dibagi dalam 3 kategori dengan memakai skala
ordinal yaitu :
a. Rendah, bila tidak sekolah dan tamat SD
b. Sedang, bila tamat SLTP dan tamat SLTA
c. Tinggi, bila tamat Akademi/Perguruan Tinggi.
2. Pekerjaan
Pengukuran pekerjaan ibu didasarkan pada jenis pekerjaan responden pada
saat penelitian. Pekerjaan ibu dibagi dalam 3 kategori dengan memakai skala nominal
yaitu :
a. Tidak bekerja (bila sebagai ibu rumah tangga)
b. Bekerja di rumah (salon, terima jahitan)
3. Pengetahuan
Pengetahuan dapat diukur dengan memberikan Skor terhadap kuesioner yang
tela diberi bobot. Jumlah pertanyaan 17, total Skor 34. Setiap pertanyaan memiliki 3
(tiga) pilihan dengan kriteria sebagai berikut :
Untuk pertanyaan yang memiliki 3 pilihan
- Jawaban a diberikan skor 2 (dua)
- Jawaban b diberikan skor 1 (satu)
- Jawaban c diberikan skor 0 (nol)
Berdasarkan total skor dari 34 pertanyaan yang diajukan, maka tingkat
pengetahuan responden diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kategori yaitu :
a. Baik, jika benar > 75% dari total skor
b. Kurang, jika benar 40-75% dari total skor
c. Buruk, jika benar < 40% dari total skor
4. Sikap
Sikap dapat diukur dengan memberikan Skor terhadap kuesioner yang telah
diberikan bobot. Jumlah pertanyaan 8, total Skor tertinggi 16. Variabel sikap diukur
dengan skala ordinal dengan teknik pilihan jawaban yaitu :
- Jawaban setuju diberikan Skor/nilai = 2
- Jawaban tidak setuju diberikan Skor/nilai nilai = 1
- Jawaban tidak tahu diberikan Skor/nilai = 0.
a. Baik, jika jawaban nilai (skor) > 75% dari total skor
b. Sedang, jika jawaban nilai (skor) 40-75% dari total skor
c. Kurang, jika jawaban nilai (skor) < 40% dari total skor
5. Jarak ke fasilitas kesehatan
Variabel jarak tempat tinggal ibu ke puskesmas diukur berdasarkan jauh
dekatnya (Km) yang diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kategori :
a. Dekat, jika jawaban < 5 km
b. Sedang, jika jawaban 5-10 km
c. Jauh, jika jawaban > 10 km
6. Paparan Media
Variabel paparan media diukur berdasarkan 3 pertanyaan yang diajukan,
dengan total nilai (Skor) 3, diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Jawaban Ya (a) diberi nilai (Skor) = 1
b. Jawaban Tidak (b) diberi nilai (Skor) = 0
Berdasarkan jumlah total Skor dari 3 pertanyaan yang diajukan,
diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu:
a. Tinggi, apabila jawaban ≥ 75% dari total skor
b. Sedang, apabila jawaban 45 – 75 % dari total skor
c. Rendah, apabila jawaban < 45 dari total skor
Variabel dukungan petugas kesehatan diukur berdasarkan 5 pertanyaan yang
diajukan, dengan total Skor 5. Masing-masing pertanyaan mempunyai 2 (dua)
jawaban dengan kriteria sebagai berikut:
a.Jawaban Ya (a) diberi nilai (Skor) = 1
b.Jawaban Tidak (b) diberi nilai (Skor) = 0
Berdasarkan jumlah total Skor dari 5 pertanyaan yang diajukan, dukungan
petugas kesehatan, dikategorikan sebagai berikut :
a. Mendapat dorongan, apabila menjawab ≥ 75% dari total skor
b. Tidak mendapat dorongan, apabila menjawab <75% dari total skor
8. Dukungan keluarga dan masyarakat
Variabel dukungan keluarga dan masyarakat diukur berdasarkan 9 pertanyaan
yang diajukan, dengan Skor=9. Masing-masing pertanyaan mempunyai 2 (dua)
pilihan jawaban dengan kriteria sebagai berikut :
a. Jawaban Ya (a) diberi nilai (Skor) = 1
b. Jawaban Tidak (b) diberi nilai (Skor) = 0
Berdasarkan total Skor dari 9 pertanyaan yang diajukan, dukungan keluarga
dan masyarakat diklasifikasikan dalam 2 kategori yaitu :
- Mendapat dorongan, apabila menjawab ≥ 75% dari total skor
- Tidak mendapat dorongan, apabila menjawab <75% dari total skor
9. Kebiasaan makan pada bayi
a. Ada kebiasaan makan < 6 bulan
b. Tidak ada kebiasaan makan < 6 bulan
10. Pemberian MP-ASI
Variabel pemberian MP-ASI yaitu saat ibu memberikan MP-ASI Dini dalam
kategori yaitu
a. Baik, apabila memberikan makan pada usia ≥ 6 bulan
b. Tidak baik, apabila memberikan makan pada usia < 6 bulan
3.7. Metode Analisis Data
Metode analisa data yang digunakan adalah Regresi Logistik pada p<0,05
yang bertujuan untuk mengetahui variabel yang dominan dari pengaruh faktor
Presdisposisi (umur, paritas, pendidikan, pengetahuan, sikap, pekerjaan) faktor
Pendukung (jarak pelayanan kesehatan, keterpaparan media), dan faktor Pendorong
(dukungan petugas kesehatan, dukungan keluarga dan masyarakat, kebiasaan makan
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Lokasi Penelitian
4.1.1. Geografis dan Penduduk Kabupaten Tapanuli Tengah
Kecamatan Pandan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli
Tengah dengan luas wilayah 62.23 (8,398 Ha). Kecamatan yang berada 0 – 800 meter
di atas permukaan laut ini terdiri atas 11 Desa/Kelurahan. Letaknya berbatasan
dengan Kota Sibolga di sebelah Utara; Kecamatan Badiri di Selatan; Kecamatan
Tukka di Timur, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Jumlah penduduk Kecamatan Pandan berdasarkan Sensus Penduduk tahun
2006 sebanyak 57.083 jiwa. Namun berdasarkan proyeksi penduduk, pada tahun 2007
jumlah penduduk meningkat menjadi 59.966 jiwa, dengan kepadatan penduduk
sebesar 917.29 jiwa per Km2. Rata-rata laju pertumbuhan penduduknya sebesar 5.12%
per tahun, adapun komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin : sebanyak 50,40%
penduduknya laki-laki, sedangkan selebihnya 49,6% perempuan. Rata-rata jumlah
anggota rumah tangga di Kecamatan Pandan pada tahun 2007 adalah 11.40%.
Secara umum, dari tahun 2006-2007 kualitas tingkat pendidikan penduduk
Kecamatan Pandan mengalami peningkatan, tercermin dari semakin menurunnya
persentase penduduk yang tidak/ belum sekolah dan penduduk yang tidak/ belum
tamat SD. Pada Tabel 4.1, terlihat bahwa persentase terbesar penduduk menurut
belum tamat SD (21,03%), sedangkan pada tahun 2006 persentase terbesar berada
pada penduduk tamat SD (19,3%).
Tabel 4.1. Distribusi Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas Berdasarkan Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan pada Tahun 2005–2006
Pendidikan 2005 2006
Tidak/ Belum Sekolah Tidak/ Belum tamat SD SD sederajat
Sumber : Profil Kesehatan Kecamatan Pandan dalam Angka, 2006
4.1.2. Gambaran Fasilitas Kesehatan
Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dasar di Kecamatan
Pandan, terdapat 1 RSUD Pandan, 2 Puskesmas, 7 Puskemas Pembantu dan
30 Posyandu. Semua puskesmas telah memiliki dokter umum sebanyak 1-4 orang,
bidan 33 orang, dan perawat 28 orang (Pandan dalam Angka, 2007).
4.1.3. Gambaran Derajat Kesehatan
Penyakit yang berkunjung ke puskesmas masih didominasi penyakit-penyakit
infeksi, yang mencerminkan kualitas kesehatan lingkungan masyarakat (jamban, air
bersih, dan hygiene per orangan) masih rendah. BPS (2004) mencatat, bahwa
penggunaan air bersih di masyarakat Tapanuli Tengah masih rendah (53,65%).
Penyakit-penyakit yang potensial untuk berkembang menjadi KLB adalah penyakit
Pemberian ASI eksklusif tercatat 62,92%, naik dari tahun 2005 yang
berjumlah 48,97%. Adapun pendistribusian MP ASI pada keluarga miskin yang
Bawah Garis Merah (BGM) mencapai 20,37%.
4.2. Faktor Predisposisi 4.2.1. Umur
Dalam penelitian ini, dari 147 responden, umur yang termuda adalah 17 tahun,
sedangkan tertua adalah 40 tahun. Umur responden tersebut kemudian dikategorikan
dengan menggunakan batasan usia reproduktif perempuan yang ditetapkan Depkes
RI, yakni usia 20-35 tahun. Berdasarkan pengkategorian tersebut, maka dalam
penelitian ini, sebanyak 85,1% umur responden berada dalam usia reproduktif,
sedangkan 14,2% berada pada usia di atas 35 tahun.
Tabel 4.2. Distribusi Responden Menurut Umur
Umur (tahun) Jumlah (F) Persentase (%)
< 20 tahun 20 – 35 tahun > 35 tahun
1 125 21
0,7 85,1 14,2
Total 147 100,0
4.2.2. Paritas
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 34,0% responden dengan Multipara,
sebanyak 28,6% dengan primipara, 24,5% dengan sekundipara, dan 12,9% dengan
Tabel 4.3. Distribusi Responden Menurut Paritas
Paritas Jumlah (f) Persentase (%)
1 (Primipara) 2 (Sekundipara) 3 – 4 (Multipara)
≥ 5 (Grandemultipara)
42
Sebanyak 45,6% responden dalam penelitian ini berpendidikan SLTA;
sebanyak 24,5% berpendidikan SLTP; 21,8% berpendidikan SD. Responden yang
tidak sekolah ada 2,7%, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan
Pendidikan Jumlah (F) Persentase (%)
Tidak sekolah SD
Responden yang bekerja di luar rumah dalam penelitian ini ada 15,7%.
Sebanyak 70,7% tidak bekerja, sedangkan yang dalam kategori bekerja di dalam
Tabel 4.5. Distribusi Responden Menurut Pekerjaan
Pekerjaan Jumlah (F) Persentase (%)
Tidak bekerja
Bekerja di dalam rumah Bekerja di luar rumah
104 20 23
70,7 13,6 15,7
Total 147 100
4.2.5. Pengetahuan
Pengetahuan dalam hal ini yang diukur berkenaan dengan segala sesuatu yang
diketahui oleh responden mengenai pemberian Makanan Pendamping (MP) ASI.
Pada Tabel 4.6, berdasarkan waktu pemberian ASI, sebanyak 48,3% responden
mengetahui bahwa hal tersebut dilakukan >30 menit, sedangkan 40,8% responden
mengatakan < 30 menit.
Pengetahuan tentang lamanya ASI diberikan, sebanyak 66,7% mengatakan <6
bulan, sedangkan yang mengatakan >6 bulan sebesar 29,9%. Sebanyak 81%
mengatakan ASI bermanfaat untuk kekebalan tubuh; 83,7% mengatakan ASI dan gizi
seimbang merupakan makanan yang baik untuk anak. Selanjutnya sebanyak 74,8%
responden mengatakan makanan tambahan sebagai makanan selain ASI; sebanyak
Tabel 4.6. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pengetahuan
< 30 menit setelah lahir
≥ 30 menit setelah lahir
pendamping Total 147 100
Kekebalan tubuh Hubungan baik
ASI dan makanan gizi seimbang
ASI dan makanan kalori protein
baik untuk anak
Total 147 100
Makanan selain ASI Makanan pengganti ASI Tidak tahu
Terhindar penyakit Tidak rewel/ menangis Tidak tahu Alasan bayi perlu
makanan
tambahan Total 147 100
≥ 4 kali
tambahan Total 147 100
Akibat
pemberian MP-ASI secara dini
Mudah kena penyakit infeksi, daya tahan tubuh berkurang
Tidak mau minum ASI
Tabel 4.6. (Lanjutan)
Rentan penyakit, pertumbuhan lambat
Bayi tidak mau MP-ASI Tidak tahu Penyapihan < 6
bulan
Total 147 100
Lembut, mudah dicerna,gizi seimbang
Kalori dan protein Tidak tahu
Lokal/ buatan sendiri yang higyenis
Bervariasi, bergizi, hemat biaya Tidak tahu
Hangat, lunak, bertahap Bumbu merata, kondisi baik Tidak tahu
Kurus, berat tidak naik Rewel, tidak ceria Tidak tahu
Berkaitan dengan pengetahuan tentang waktu pemberian makanan tambahan,
sebanyak 70,7% mengatakan dilakukan di bawah usia 6 bulan; sebanyak 78,2%