ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PINJAMAN LUAR NEGERI SWASTA DI INDONESIA
TESIS
Oleh
MUFIEDAH NUR
087018012/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
SE K
O L
A H
P A
S C
A S A R JA
N
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PINJAMAN LUAR NEGERI SWASTA DI INDONESIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MUFIEDAH NUR
087018012/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PINJAMAN LUAR NEGERI SWASTA DI INDONESIA
Nama Mahasiswa : Mufiedah Nur Nomor Pokok : 087018012
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Murni Daulay, M.Si) Ketua
(Drs. Iskandar Syarif, M.A) Anggota
Ketua Program Studi
(Dr. Murni Daulay, M.Si)
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Telah Diuji pada
Tanggal : 23 Februari 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Murni Daulay, M.Si Anggota : 1. Drs. Iskandar Syarif, M.A
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pinjaman luar negeri swasta di Indonesia.
Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder yang didapat dari laporan perekonomian Bank Indonesia dan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan metode Ordinary Least Square (OLS).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial diketahui terdapat pengaruh yang signifikan Pinjaman Luar Negeri Swasta terhadap kurs riil, net ekspor dan tabungan. Sedangkan interest rate differensial tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia. Secara serempak variabel bebas yaitu interest rate differensial, Kurs riil, Net Ekspor dan Tabungan dapat mempengaruhi pinjaman Luar Negeri Swasta yang ditandai dengan nilai Prob (F-Statistik) sebesar 0.000 < 0.05 yang berarti secara bersama-sama Interest Rate Differensial, Kurs Riil, Net Ekspor, Tabungan dapat mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia.
ABSTRACT
This study aims to analyze the factors which are affecting private foreign loans in Indonesia.
The data obtained from the Economic Report of Bank Indonesia and the Indonesian Financial Statistics. The methodl used in this study is the model with the Econometrics Ordinary Least Square (OLS).
The results of this study indicate that there are partially known to have a significant influence Private Foreign Loans on the real exchange rate, net export and saving. While interest rate differential does not have a significant influence on private foreign borrowing in Indonesia. Independent Variable simultaneously influence on interest rate differential, the real exchange rate, net export and saving may affect foreign private loans is characterized by the value of Prob (F-Statistics) for 0,000 < á 0,05 which means that jointly Interest Rate Differential, Exchange Rate real, Net Export, Saving can affect on the Private Foreign Loans in Indonesia.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan tesis
yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pinjaman Luar
Negeri Swasta di Indonesia”. Tak lupa pula shalawat dan salam penulis tujukan
kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah berjuang membawa umat manusia
kepada fitrah yang benar dan jalan yang diridhoi-Nya.
Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelas
Magister pada Sekolah Pascasarjana Magister Ekonomi Pembangunan Universitas
Sumatera Utara. Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibunda H. Murti dan Ayahanda H. Bey As
Chalid yang telah mendidik dan membesarkan penulis dengan kasih sayang yang
tiada hingga. Demikian juga kepada Kakanda Zaki Mubarrak, Adinda Rafiqul Jannah,
Tasykuru Rizqa dan M. Nashir yang telah memberikan dukungan dan menjadi
motivator bagi penulis.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, selaku Ketua Komisi Pembimbing
yang telah memberikan begitu banyak sumbangan tenaga, waktu dan pikirin bagi
penulis dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih tak terhingga juga penulis
sampaikan kepada Bapak Drs. Iskandar Syarif, M.Si. selaku Anggota Komisi
Pembimbing yang yang telah memberikan berbagai saran dan masukan serta
kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Demikian pula ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu memberikan berbagai bentuk
kontribusi bagi penulis, khususnya:
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, D.M.T.&H., Sp.A (K). Selaku Rektor
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc. selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si. selaku Ketua Program Studi Magister Ekonomi
Pembangunan Universitas Sumatera Utara sekaligus Ketua Komisi
Pembimbing bagi tesis peneliti.
4. Bapak Dr. Jhoni Manurung M.S, Bapak Drs. Rahmat Sumanjaya M.Si dan
Drs. Rujiman, M.A selaku Dosen Pembanding bagi tesis peneliti.
5. Bapak/Ibu dosen yang telah menyumbangkan ilmunya, semoga berguna bagi
penulis dan amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT.
6. Lettu Inf. Taufik Satria Nugraha, yang selalu mendukung, menemani dan
mendoakan peneliti dalam menyelesaikan tesis ini.
7. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan
angkatan 14 yang telah memberi warna dan pelajaran dalam kehidupan
penulis selama di kampus.
8. Rekan-rekan Kelompok Tim Ekonomi Moneter Bank Indonesia Medan.
9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga Allah membalas
kebaikan dengan berlipat ganda.
Medan, Februari 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Nama : Mufiedah Nur
Tempat/Tanggal Lahir : Medan/31 Oktober 1983
Alamat : Jl. Medan Area Selatan No. 157
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Status : Belum Menikah
Nama Orang Tua
Ayah : H. Bey As Chalid
Ibu : H. Murti
Adik/Kakak
Kakak : Zaki Mubarrak, S.Sos
Adik : Rafiequl Jannah, S.T.
Tasykuru Rizqa, S.Ked
M. Nashir
Riwayat Pendidikan : 1. SD Islam Al-Ulum
2. DMP Diniyyah Putri Padang Panjang
3. M.A. Al-Mukmin
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... .. v
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR... x
DAFTAR LAMPIRAN... ... xi
BAB I. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 9
2.1. Pinjaman Luar Negeri Swasta... 9
2.1.1. Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Swasta Indonesia ... 13
2.1.2. Pinjaman Luar Negeri Swasta dan Implikasi Moneter... 14
2.2. Bunga Sebagai Instrumen Moneter... 16
2.3.1. Fungsi Nilai Tukar... 19
2.3.2. Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia ... 21
2.4. Ekspor dan Impor... 23
2.5. Tabungan... 26
2.6. Tinjauan Studi Terdahulu... 28
2.7. Kerangka Pemikiran... 35
2.8. Hipotesis... 35
BAB III. METODE PENELITIAN ... 37
3.1. Ruang Lingkup Penelitian... 37
3.2. Jenis dan Sumber Data ... 37
3.3. Metode Analisa Data... 37
3.4. Definisi Operasional Variabel... 38
3.5. Uji Kesesuaian (Test Goodness of Fit)... 39
3.6. Uji Asumsi Klasik... . 40
3.6.1. Multikolinearitas ... 40
3.6.2. Autokorelasi ... 41
3.6.3. Uji Akar-akar Unit (Uji Stasionaritas) ... 42
3.6.4. Uji Normalitas... 42
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45
4.1. Perkembangan Ekonomi ... 45
4.2. Pinjaman Luar Negeri Swasta... 51
4.3. Perkembangan Interest Rate Differensial/IRD Indonesia ... 52
4.4. Perkembangan Net Ekspor... 53
4.5. Perkembangan Kurs/Nilai Tukar ... 55
4.6. Perkembangan Tabungan Indonesia... . 61
4.7. Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Swasta Indonesia... 63
4.8. Hasil Analisis Data dan Pembahasan... 65
4.8.1. Deskripsi Data... 65
4.8.2. Uji Asumsi Klasik ... 66
4.8.3. Uji Akar Unit ... 69
4.8.4. Uji Statistik Hasil Estimasi Model Penelitian... 71
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79
5.1. Kesimpulan ... 79
5.2. Saran... 80
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1. Pinjaman Luar Negeri Pemerintah dan Swasta... 6
4.1. Rangkuman Statistik Deskriptif ... 65
4.2. Hasil Uji Multikolinieritas ... 66
4.3. Hasil Uji Autokorelasi ... 67
4.4. Pengukuran Autokorelasi ... 67
4.5. Hasil Uji Jarque-Bera... 68
4.6. Hasil Uji Ramsey ... 69
4.7. Hasil Pengujian Akar-akar Unit dengan Level ... 70
4.8. Hasil Pengujian Akar-akar Unit fengan 1st Difference ... 74
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1.1. Pinjaman Luar Negeri Swasta dan Pemerintah ... 7
2.1. Kerangka Pemikiran ... 35
4.1. Perkembangan Interest Rate Differential Tahun 1998 s/d 2008 ... 53
4.2. Perkembangan Net Ekspor Tahun 1998 s/d 2008 ... 54
4.3. Perkembangan Kurs Riil Tahun 1998 s/d 2008 ... 60
4.4. Perkembangan Tabungan Tahun 1998 s/d 2008 ... 62
4.5. Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Swasta Tahun 1998 s/d 2008 .... 63
4.6. Uji Normalitas Data ... 68
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Data Variabel ... 84
2. Regresi Berganda ... 85
3. Normalitas Data ... 86
4. Linieritas Data... 87
5. Autokorelasi ... 88
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pinjaman luar negeri swasta di Indonesia.
Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder yang didapat dari laporan perekonomian Bank Indonesia dan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan metode Ordinary Least Square (OLS).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial diketahui terdapat pengaruh yang signifikan Pinjaman Luar Negeri Swasta terhadap kurs riil, net ekspor dan tabungan. Sedangkan interest rate differensial tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia. Secara serempak variabel bebas yaitu interest rate differensial, Kurs riil, Net Ekspor dan Tabungan dapat mempengaruhi pinjaman Luar Negeri Swasta yang ditandai dengan nilai Prob (F-Statistik) sebesar 0.000 < 0.05 yang berarti secara bersama-sama Interest Rate Differensial, Kurs Riil, Net Ekspor, Tabungan dapat mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia.
ABSTRACT
This study aims to analyze the factors which are affecting private foreign loans in Indonesia.
The data obtained from the Economic Report of Bank Indonesia and the Indonesian Financial Statistics. The methodl used in this study is the model with the Econometrics Ordinary Least Square (OLS).
The results of this study indicate that there are partially known to have a significant influence Private Foreign Loans on the real exchange rate, net export and saving. While interest rate differential does not have a significant influence on private foreign borrowing in Indonesia. Independent Variable simultaneously influence on interest rate differential, the real exchange rate, net export and saving may affect foreign private loans is characterized by the value of Prob (F-Statistics) for 0,000 < á 0,05 which means that jointly Interest Rate Differential, Exchange Rate real, Net Export, Saving can affect on the Private Foreign Loans in Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Semenjak merdeka 1945 hingga 1966 atau selama pemerintahan Orde Lama,
ekonomi Indonesia yang bercorak agraris terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan
atau terjerat dalam vicious circle (pendapatan rendah karena baru merdeka, hasrat
konsumsi tinggi, kemampuan menabung rendah, tingkat investasi rendah, dan
akibatnya pendapatan kembali rendah, dan seterusnya berulang-ulang) sehingga, pada
akhirnya Indonesia tetap miskin. Oleh karena itu sejak pemerintahan Orde Baru
tepatnya pada tahun 1966, dengan dipelopori oleh putera-putera terbaik Indonesia
yang waktu itu terkenal sebagai Lulusan Berkeley, pemerintah berusaha memutus
mata rantai vicious circle dengan melakukan pembangunan besar-besaran (the big
push theory) dengan cara membuka penanaman modal asing masuk ke Indonesia,
mengundang PMA masuk, dan meminjam ke luar negeri (Bank Dunia, IMF, IRBD,
dll). Alasannya bahwa tidak mungkin melakukan pembangunan dengan
mengharapkan pertumbuhan tabungan masyarakat yang terjerat dalam lingkaran setan
kemiskinan. Perlu dilakukan investasi besar-besaran meskipun harus meminjam ke
luar negeri.
Diawali dengan mengeluarkan Undang-Undang PMA 1967 dan melalui
berbagai negosiasi dengan negara-negara maju, melalui IGGI, dan terakhir dari
tahun 2000 masih terus berlangsung. Sebab dalam APBN 1999/2000 jelas terlihat
bahwa total pengeluaran untuk pembangunan sebesar Rp. 82 triliun masih bersumber
dari pinjaman luar negeri.
Secara teoritis alasan negara-negara maju untuk menyetujui pemberian
pinjaman untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di negara dunia ketiga
termasuk Indonesia adalah untuk menciptakan lapangan kerja, pemerataan
pendapatan, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dan itu mungkin dicapai
jikalau proyek-proyek pembangunan tersebut telah diuji kelayakannya, baik dari
aspek teknologi, komersil, keuangan, ekonomi makro, manajemen, maupun dari
aspek dampak lingkungan. Dengan perkataan lain semua dana pinjaman dari luar
negeri tersebut seyogianya dapat diukur efektivitas dan efisiensinya.
Struktur utang luar negeri Indonesia telah banyak mengalami perubahan
selama tiga puluh tahun terakhir. Pada awalnya, sebagai negara yang baru
berkembang, utang luar negeri Indonesia lebih banyak dilakukan oleh pemerintah.
Pinjaman pemerintah tersebut diterima dalam bentuk hibah serta pinjaman lunak dan
setengah lunak dari negara-negara sahabat dan lembaga supranasional, baik secara
bilateral maupun multilateral. Dengan berkembangnya perekonomian Indonesia,
pinjaman yang bersyarat lunak menjadi semakin terbatas sehingga pemerintah untuk
keperluan-keperluan tertentu dan dalam jumlah yang terbatas, mulai menggunakan
pinjaman komersial dan obligasi dari kreditur swasta internasional. Selanjutnya,
dengan semakin pesatnya pembangunan dan terbatasnya kemampuan pemerintah,
langkah-langkah deregulasi di berbagai bidang yang ditempuh pemerintah terutama
sejak tahun 1980-an. Besarnya minat investasi swasta sementara sumber-sumber dana
dalam negeri terbatas telah mendukung pihak swasta melakukan pinjaman luar negeri
baik dalam bentuk penanaman modal langsung dan pinjaman komersial maupun
investasi portofolio dalam bentuk surat-surat berharga yang diterbitkan oleh swasta
domestik. Persyaratan pinjaman luar negeri swasta baik suku bunga maupun jangka
waktu pada umumnya tidak lunak. Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu faktor
yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia adalah karena ekonomi
nasional terlalu tergantung terhadap pinjaman luar negeri swasta.
Krisis ekonomi mengakibatkan hutang luar negeri berarti penting bagi
perekonomian nasional. Akan tetapi hutang luar negeri yang terlalu besar juga
menyebabkan Indonesia semakin terperosok dalam jurang krisis berkepanjangan.
Menurut teori Harrod Domar, hutang luar negeri di negara berkembang disebabkan
oleh ketidakcukupan tabungan domestik untuk membiayai pembangunan
(Williamson dalam Setyawan, 2005). Angka pertumbuhan (growth), diperoleh
dengan membagi tabungan domestik (saving) dengan rasio output kapital. Apabila
tabungan domestik tidak mencukupi, untuk mengejar proyeksi angka pertumbuhan
tinggi diperlukan hutang luar negeri.
Fenomena besarnya hutang luar negeri Indonesia disebabkan oleh dua hal.
Pertama, faktor internal. Pemerintah Orde Baru pada awal tahun 60-an mengesahkan
UU Penanaman Modal pada tahun 1967. UU tersebut berimplikasi terhadap arus
mengumumkan pada dunia bahwa mulai memasuki era market economy sehingga
modal asing yang termasuk di dalamnya pinjaman luar negeri sangat diharapkan.
Akan tetapi kebiasaan mengharapkan pinjaman luar negeri ini mengakibatkan
ketergantungan kronis terhadap hutang luar negeri. Kedua, faktor eksternal di mana
lembaga donor asing memandang Indonesia pada akhir 60-an mengalami masa
transisi baik secara ekonomi maupun politik, sehingga membutuhkan bantuan. Dalam
perkembangannya ketika Indonesia mengalami booming ekonomi pada awal 90-an,
para kreditur dengan senang hati memberi pinjaman kepada Indonesia. Hal ini
dikarenakan selain Indonesia termasuk good boy dalam pembayaran hutang, prospek
ekonomi Indonesia yang demikian cerah pada saat itu juga menambah optimisme
para kreditur bahwa pinjaman mereka akan memberikan penghasilan berupa bunga
dalam jumlah besar.
Selama kurun waktu 1967-1988 komposisi hutang luar negeri Indonesia
mengalami beberapa perubahan mendasar. Sumber-sumber hutang pemerintah telah
bergeser dari ketergantungan yang sangat besar terhadap hutang dari pemerintah
negara asing (official loans) ke arah pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan
swasta yang mengenakan syarat-sayarat pinjaman komersil dan cicilan pembayaran
hutang luar negeri telah menjadi beban yang semakin berat bagi perekonomian
Indonesia semenjak tahun 1988. Meskipun Indonesia belum pernah mengalami
kesulitan mencicil hutang, dua kejutan eksternal pada awal delapan puluhan
menimbulkan antisipasi bahwa Indonesia dapat juga mengalami kesulitan itu di masa
menekan turun harga minyak pada tahun 1982 diperkirakan mempengaruhi
kemampuan Indonesia untuk mencicil hutang dalam dua atau tiga tahun setelahnya.
Krisis yang terjadi pada tahun 1997 menyebabkan penarikan modal asing
secara besar-besaran. Akibatnya nilai rupiah jatuh hingga 400% terhadap dolar AS.
Kurs Rupiah jatuh dari Rp. 2.000/US$ menjadi Rp. 14.000/US$. Inflasi melaju
sampai 78% PDB tumbuh negatif 13,13% dan pinjaman luar negeri membengkak
sampai 96% (BI, 2000). Pada saat krisis ini juga menyebabkan banyak perusahaan
defult dalam melakukan pembayaran Pinjaman Luar Negeri. Hal ini menyebabkan
hilangnya kepercayaan dari kreditur sehingga swasta tidak dapat mengakses pinjaman
luar negeri dan tidak mampu melakukan pembayaran hutang. Namun pada periode
setelah perekonomian Indonesia mulai pulih dari krisis 1997, akses swasta kepada
sumber dana luar negeri menjadi terbuka. Hal ini tergambar dari outstanding
pinjaman luar negeri swasta yang menunjukkan trend peningkatan. Berdasarkan data
dari Bank Indonesia jumlah komitmen Pinjaman Luar Negeri Swasta sejak tahun
2002 kembali mengalami peningkatan. Adapun sektor yang dominan menjadi
pengguna terbanyak pinjaman luar negari swasta adalah sektor industri sebesar
41,87% yang cenderung melakukan transaksi ekspor dan impor.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Imam
Sugema mengatakan, utang swasta ke luar negeri dinilai tidak mengkhawatirkan bila
berorientasi pada sektor ekspor. Pasalnya, meskipun memiliki utang dalam bentuk
dolar, namun pendapatan yang diterima juga dalam bentuk dolar. Kendati demikian,
moneter bila utang tersebut tidak dilindungi. Berikut gambaran Pinjaman Luar Negeri
Swasta dan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Indonesia.
Tabel 1. Pinjaman Luar Negeri Pemerintah dan Swasta
Nilai/Juta USD
Pinjaman Luar Negeri Pinjaman Luar Negeri No
Tabel di atas menggambarkan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah dan
Pinjaman Luar Negeri Swastas di Indonesia dari tahun 1998 s.d 2008. Berdasarkan
tabel di atas pinjaman Luar Negeri Swasta jauh lebih besar dari pada pinjaman Luar
Negeri Pemerintah tren Pinjaman Luar Negeri Swasta menunjukkan penurunan pada
saat krisis (tahun 1998) dan mengalami peningkatan kembali di akhir tahun ini.
Dalam bentuk grafik, pertumbuhan dan perkembangan Pinjaman Luar Negeri
0 10,000 20,000 30,000 40,000
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
J
u
ta
U
S
D
PLN Pemerintah PLN Sw asta
Grafik 1.1. Pinjaman Luar Negeri Swasta dan Pemerintah
Berdasarkan latar belakang di atas, perlu diadakan kajian mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah:
1. Apakah Interest Rate Differensial mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri
Swasta?
2. Apakah Kurs Riil mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri Swasta?
3. Apakah Net Ekspor mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri Swasta?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan
di atas, tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis pengaruh Interest Rate Differensial terhadap Pinjaman
Luar Negeri Swasta.
2. Untuk menganalisis pengaruh Kurs Riil terhadap Pinjaman Luar Negeri
Swasta.
3. Untuk menganalisis pengaruh Net Ekspor terhadap Pinjaman Luar Negeri
Swasta
4. Untuk menganalisis pengaruh Tabungan Swasta terhadap Pinjaman Luar
Negeri Swasta.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan terkait dengan kebijakan
Pinjaman Luar Negeri Swasta.
2. Sebagai informasi bagi pihak swasta yang menggunakan Pinjaman Luar
Negeri.
3. Sebagai informasi bagi penulis dalam menambah wawasan serta melatih
kemampuan analisis dalam memecahkan masalah-masalah ekonomi yang
terjadi.
4. Sebagai informasi bagi pembaca yang tertarik serta sebagai bahan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pinjaman Luar Negeri Swasta
Pinjaman yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri merupakan salah
satu komponen penting dalam struktur pembiayaan suatu perusahaan. Sama halnya
dengan pinjaman yang dilakukan oleh suatu negara, jika dikelola dengan baik, maka
pinjaman akan dapat menjadi pendorong pertumbuhan perekonomian.
Hampir semua negara terutama negara berkembang memiliki pinjaman
dengan berbagai alasan, baik untuk membiayai pembangunan, menutup defisit
anggaran maupun mengatasi liquidity mismatch. Penggunaan pinjaman luar negeri
dalam pembangunan di negara berkembang menimbulkan pro dan kontra mengingat
dalam kenyataannya banyak negara peminjam yang berhasil, gagal atau kurang
berhasil dalam pembangunan dengan memanfaatkan pinjaman luar negeri. Beberapa
hasil penelitian menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
Pinjaman Luar Negeri yang diterima suatu negara dengan pertumbuhan ekonomi. Hal
ini disebabkan Pinjaman Luar Negeri hanya merupakan substitusi mobilisasi yang
bersumber dari dalam negeri dan Pinjaman Luar Negeri yang besar dapat
menyebabkan ekonomi suatu negara rentan terhadap gejolak perekonomian global.
Hal ini telah terbukti di Indonesia yang merupakan salah satu negera berkembang dan
memiliki Pinjaman Luar Negeri yang terus meningkat baik Pinjaman Luar Negeri
Di lain pihak penelitian lain memberikan argumentasi yang berbeda dan
menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif Pinjaman Luar Negeri atas pertumbuhan
ekonomi bagi negara yang melakukan penyesuaian kebijakan. Hal ini
mempertimbangkan bahwa peningkatan Pinjaman Luar Negeri akan menambah
sumber dana dan dapat menutupi kesenjangan yang terjadi antara Investasi dan
tabungan. Dengan kata lain jika tidak memanfaatkan Pinjaman Luar Negeri dari
pemerintah atau swasta maka kesempatan yang dapat dilakukan dengan
memanfaatkan Pinjaman Luar Negeri tersebut dapat hilang begitu saja.
Makhlani dalam tulisannya yang berjudul Pola Pembangunan Ekonomi
dengan Pinjaman Luar Negeri (2007) menyatakan bahwa:
(i) Terdapat hubungan kausalitas antara Pinjaman Luar Negeri dengan
pertumbuhan ekonomi, Pinjaman Luar Negeri pemerintah, dan Pinjaman Luar
Negeri swasta.
(ii)Sifat kausalitas antara Pinajaman Luar Negeri dan pertumbuhan ekonomi
telah membentuk pola pembangunan dengan Pinjaman Luar Negeri dan dapat
menjadi penyebab akumulasi Pinjaman Luar Negeri yang besar.
(iii)Karakteristik Pinjaman Luar Negeri pemerintah dan Pinjaman Luar Negeri
swasta tidak sama sehingga berdampak beda atas pertumbuhan ekonomi dan
sifat kausalitas antara Pinjaman Luar Negeri pemerintah dan Pinjaman Luar
Negeri swasta dapat membentuk kombinasi Pinjaman Luar Negeri yang
Kondisi pinjaman luar negeri Indonesia baik yang diterima pemerintah
maupun swasta menunjukkan peningkatan cukup signifikan sejak tahun 1970 sebesar
US$ 2,52 miliar terus meningkat menjadi US$ 20,9 miliar (1980) dan US$ 136,09
miliar (1997). Jumlah pada tahun 1997 ini terdiri dari pinjaman luar negeri swasta
sebesar US$ 71,95 miliar (Bank Indonesia, 1999). Peningkatan pinjaman luar negeri
swasta terjadi akibat optimisme yang berlebihan dari beberapa perusahaan yang
mendapatkan proteksi dari pemerintah dan melakukan monopoli. Faisal Basri (2002)
dalam bukunya “Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan
Indonesia” menyatakan bahwa proteksi yang diberikan pemerintah antara lain berupa
bea masuk tinggi yang melahirkan distorsi. Akibat distorsi itu antara lain:
1. Terdapatnya praktik-praktik yang kurang sehat dalam memupuk keuntungan.
Pinjaman luar negeri swasta digunakan untuk mendirikan berbagai macam
pabrik yang pengelolanya tidak dilakukan dengan kaidah-kaidah atau
prinsip-prinsip ekonomi yang sehat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
2. Eksposur sektor swasta terhadap pinjaman luar negeri kurang diikuti dengan
pengelolaan pinjaman yang berhati-hati. Kekurang hati-hatian itu terutama
tercermin dari mencuatnya fenomena maturity mismatch dan currency
mismatch yang dihadapi sektor perusahaan secara umum. Maturity mismatch
terjadi karena pinjaman jangka pendek yang diterima digunakan untuk
membiayai investasi jangka panjang, sehingga terdapat risiko akibat
perbedaan jatuh tempo antara aset dan kewajiban yang dimiliki. Maturity
dihimpun dari pihak ketiga maupun dari pinjaman luar negeri memiliki jangka
waktu pendek sedangkan produk yang ditawarkan berjangka waktu panjang.
Pengelolaan Pinjaman Luar Negeri yang kurang berhati-hati pada masa
sebelum krisis menyebabkan Pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia melewati
batas kewajaran. Selain hal di atas pada masa sebelum krisis tersebut Pemerintah
Indonesia sedang giat mendorong peran sektor swasta dalam pembangunan dan
sektor swasta diberikan keleluasaan untuk memperoleh dana dari luar negeri untuk
menjalankan operasional perusahaannya. Pada saat itu pertumbuhan ekonomi terus
meningkat sampai di atas 7% sehingga pemerintah kurang memperhatikan risiko
yang akan terjadi di kemudian hari. Untuk menangani Pinjaman Luar Negeri Swasta
yang terus meningkat pada masa krisis dan setelah krisis mengharuskan pemerintah
indonesia melakukan restrukturisasi dengan membuat sebuah forum yang bertujuan
membantu menyelesaikan Pinjaman Luar Negeri Swasta melalui Frankfurt
Agreement yang menghasilkan 3 program yaitu:
1. Penyelesaian masalah Pinajaman Luar Negeri antarbank melalui program
Interbank Debt Exchange Offer.
2. Penyelesaian kendala pembiayaan perdagangan melalui program Trade
Maintence Facility.
3. Penyelesaian masalah pinjaman sektor swasta non bank melalui program
2.1.1. Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Swasta Indonesia
Pinjaman baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, merupakan
salah satu komponen penting dalam struktur pembiayaan suatu perusahaan.
Di Indonesia Pinjaman Luar Negeri Swasta dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan
sektor ekonomi yakni sektor industri pengolahan, sektor keuangan, persewaan dan
jasa keuangan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor jasa, sektor perdagangan, hotel
dan restoran, sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, serta sektor
pertambangan dan penggalian. Penggunaan Pinjaman Luar Negeri Swasta untuk
sektor-sektor tersebut digunakan baik untuk menambah modal kerja ataupun
perluasan kegiatan usaha. Selama ini sektor yang mendominasi pencairan Pinjaman
Luar Negeri Swasta adalah sektor industri pengolahan. Ini dikarenakan adanya
kebutuhan valas untuk membeli bahan baku yang diimpor.
Sektor lain yang mendominasi Pinjaman Luar Negeri Swasta adalah sektor
keuangan, sewa dan jasa perusahaan serta sektor pertambangan. Sektor keuangan,
sewa dan jasa perusahaan dalam kurun waktu 1996-1998 lebih dominan
dibandingkan sektor lainnya namun nilai tersebut mulai menurun hingga setara
dengan posisi penerimaan pinjaman sektor lain pada tahun 1999. Keadaan ini sejalan
dengan menurunnya kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional mengingat
pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan beberapa bank dilikuidasi
dan penarikan dana besar-besaran oleh masyarakat.
Pinjaman Luar Negeri Swasta yang diterima perusahaan-perusahaan Indonesia
Akhir 2007, pinjaman yang berjangka panjang (di atas 1 tahun) mendominasi sebesar
US$ 46,9 miliar yang terdiri dari Pinjaman Luar Negeri Swasta Bank US$ 2,8 miliar
dan Pinjaman Luar Negeri Swasta Perusahaan sebesar US$ 44,1 miliar (Bank
Indonesia, 2007) Pinjaman Luar Negeri Swasta perbankan sedikit lebih terkendali,
hal ini dikarenakan pengendalian yang dilakukan Bank Indonesia selaku Bank Sentral
yang mengawasi operasional perbankan nasional.
2.1.2. Pinjaman Luar Negeri Swasta dan Implikasi Moneter
Di sisi moneter, Pinjaman Luar Negeri Swasta memiliki implikasi yang sangat
penting. Keterkaitan Pinjaman Luar Negeri Swasta dapat dilihat dari berbagai
perspektif, terutama keterkaitannya dengan fluktuasi nilai rupiah dan Sustainabilitas
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Perkembangan eksposure Pinjaman Luar
Negeri Swasta termasuk perubahan struktur pinjaman, penarikan pinjaman dan profil
pembayaran pinjaman akan memberikan implikasi terhadap kedua aspek moneter
tersebut.
Perubahan yang cukup mendasar misalnya terjadi pada struktur Pinjaman
Luar Negeri Swasta setelah era deregulasi 1988. Pinjaman Luar Negeri Swasta yang
sebelumnya lebih berorientasi pada pinjaman jangka panjang untuk investasi, mulai
bergeser dengan didominasi dengan pinjaman jangka pendek dengan suku bunga
tinggi. Bahkan tidak sedikit perusahaan yang menggunakan Pinjaman Luar Negeri
untuk tujuan Spekulasi. Arus modal masuk dalam bentuk pinjaman jangka pendek
dan investasi portofolio mengandung resiko yang tinggi terhadap sustainabilitas NPI,
suatu ketika perekonomian domestik dilanda oleh sentimen negatif. Struktur
Pinjaman Luar Negeri Swasta seperti itu pada masa krisis telah terbukti memberikan
tekanan serius terhadap Neraca Pembayaran Indonesia.
Pinjaman Luar Negeri Swasta juga berimplikasi terhadap fluktuasi nilai tukar
yang merupakan salah satu parameter penting dalam mengendalikan dan menjaga
stabilitas moneter. Eksposur Pinjaman Luar Negeri Swasta yang berlebihan dan
dilakukan secara kurang berhati-hati dapat memberikan tekanan depresif terutama
karena sentimen negatif. Pinjaman Luar Negeri Swasta yang tidak terkendali dan
bermasalah secara berkepanjangan akan meningkatkan premi risiko dan biaya
pinjaman yang akhirnya akan menurunkan credit rating dan memberi tekanan kepada
nilai tukar.
Dilihat dari sisi moneter, filosofi dari pengaturan Pinjaman Luar Negeri
Swasta adalah untuk meningkatkan ketepatan dan keberhasilan dalam pengendalian
moneter. Dalam rangka itu diperlukan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang
kewajiban finansial sektor swasta khususnya dalam bentuk Pinjaman Luar Negeri
Swasta. Informasi ini juga sangat penting dalam rangka perumusan kebijakan
moneter terutama yang terkait dengan penyusunan Neraca Pembayaran Indonesia,
pengelolaan cadangan devisa, pengendalian nilai tukar dan inflasi. Pengaturan
Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk pemantauan Pinjaman Luar Negeri Swasta
merupakan salah satu upaya pemantauan lalu lintas devisa secara efektif sebagai
2.2. Bunga Sebagai Instrumen Moneter
Bunga sebagai instrumen artinya adalah tingakat bunga yang berlaku dalam
suatu negara dapat berfluktuasi dari tingkat yang satu ke tingkat yang lainnya. Secara
simpel bunga dapat dikatakan berupa penghasilan yang diperoleh orang orang yang
memberikan kelebihan uangnya untuk digunakan sementara waktu oleh orang-orang
yang membutuhkannya untuk digunakan sebai alat untuk menutupi kekurangannya.
Sebagai instrumen moneter suku bunga sangat mempengaruhi pasar uang baik
dalam maupun luar negeri. Selisih tingkat suku bunga antar negara menyebabkan
beberapa perusahaan memutuskan untuk melakukan pinjaman luar negeri. Suku
bunga pinjaman yang rendah di negara-negara maju yang mengacu pada tingkat suku
bunga internasional menjadi alasan mengapa beberapa perusahaan lebih memilih
untuk memanfaatkan pinjaman luar negeri dibandingkan memanfaatkan pinjaman
dari bank dalam negeri (Direktorat Internaional BI, 2005).
Variabel interest rate differential mempengaruhi permintaan valas melalui
perubahan portofolio investment korporasi. Korporasi terutama investor asing akan
melakukan penyesuaian terhadap portofolio di Indonesia bila terjadi perubahan suku
bunga dalam negeri. Perubahan tersebut tercermin dari variabel interest rate
differential. Setiap kenaikan suku bunga luar negeri akan menyebabkan penarikan
investasi asing dari Indonesia dan Investor cenderung menyimpan dananya yang
menyebabkan investasi dalam negeri menurun dan pinjaman sebagai modal investasi
Menurut Keynes preferensi-likuiditas dan suplai uang itu menentukan tingkat
bunga, sehingga peningkatan permintaan terhadap uang, misalnya, akan menaikkan
tingkat bunga (dan peningkatan suplai uang akan menurunkannya) dan bahwa hal ini
lalu akan menurunkan investasi, "sementara itu penurunan tingkat bunga diduga,
ceteris paribus, akan meningkatkan volume investasi". Di sisi lain, dengan
memandang tingkat bunga sebagai "ganjaran untuk berpisah dengan likuiditas," ia
bersikeras bahwa permintaan terhadap uang ditentukan oleh tingkat bunga.
Jika tingkat suku bunga menurun misalnya, akan meningkatkan permintaan
seseorang akan uang kontan (dan juga, harus ditambahkan juga, hasrat konsumsi
seseorang). dengan demikian akan mengarah pada penurunan investasi. Yang jelas,
tingkat bunga yang rendah dapat melakukan keduanya: meningkatkan dan
menurunkan investasi secara bersamaan.
2.3. Nilai Tukar
Perdagangan yang dilakukan antara dua negara tidaklah semudah yang
dilakukan dalam satu negara, karena mesti memakai dua mata uang yang berbeda
misalnya antara negara Indonesia dan Amerika Serikat. Pengimpor Amerika harus
membeli Rupiah untuk membeli barang-barang dari Indonesia, sebaliknya pengimpor
Indonesia harus membeli dolar Amerika untuk menyelesaikan pembayaran terhadap
barang yang dibelinya di Amerika. Besarnya jumlah mata uang tertentu yang
diperlukan untuk memperoleh satu unit valuta asing disebut dengan kurs mata uang
Nilai tukar adalah nilai mata uang suatu negara diukur dari nilai satu unit mata
mata uang terhadap mata uang negara lain. Apabila kondisi ekonomi suatu negara
mengalami perubahan, maka biasanya diikuti oleh perubahan nilai tukar secara
substansional. Masalah mata uang muncul saat suatu negara mengadakan transaksi
dengan negara lain, di mana masing-masing negara menggunakan mata uang yang
berbeda. Jadi nilai tukar merupakan harga yang harus dibayar oleh mata uang suatu
negara untuk memperoleh mata uang negara lain.
Nilai tukar dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat suku bunga dalam
negeri, tingkat inflasi, dan intervensi bank sentral terhadap pasar uang jika
diperlukan. Nilai tukar yang lazim disebut kurs, mempunyai peran penting dalam
rangka stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar yang
stabil diperlukan untuk tercapainya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan
dunia usaha. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, bank sentral pada waktu-waktu
tertentu melakukan intervensi di pasar-pasar valuta asing, khususnya pada saat terjadi
gejolak yang berlebihan.
Para ekonom membedakan nilai tukar menjadi dua yaitu nilai tukar nominal
dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif
dari mata uang dua negara. Sebagai contoh, jika antara dolar Amerika Serikat dan yen
Jepang adalah 120 yen per dolar, maka orang Amerika Serikat bisa menukar 1 dolar
untuk 120 yen di pasar uang. Sebaliknya orang Jepang yang ingin memiliki dolar
pada “kurs” diantara kedua negara, mereka biasanya mengartikan kurs nominal
(Mankiw, 2003).
Nilai tukar riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang
diantara dua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat di mana kita bisa
memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara
lain. Nilai Tukar (exchange rate) atau kurs adalah harga satu mata uang suatu negara
terhdap mata uang negara lain (Krugman dan Obsfelt, 2000). Nilai tukar nominal
(nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara (Mankiw,
2003). Nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga
relatif yaitu harga-harga didalam negeri dibandingkan dengan harga-harga di luar
negeri. Nilai tukar dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini: Q =
SP/P* dimana Q dalah nilai tukar riil, S adalah nilai tukar nominal, P adalah tingkat
harga domestik dan P* adalah tingkat harga di luar negeri.
2.3.1. Fungsi Nilai Tukar
Penentuan sistem nilai tukar merupakan suatu hal bagi perekonomian suatu
negara karena hal tersebut merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara dari gejolak perekonomian global.
Pada dasarnya kebijakan nilai tukar yang ditetapkan suatu negara mempunyai
beberapa fungsi utama.
Pertama, berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan neraca pembayaran,
dengan sasaran akhir menjaga kecukupan cadangan devisa. Oleh karena itu, dalam
menjaga daya saing ekspor dalam upaya untuk memperkecil defisit current account
atau memperbesar surplus current account.
Fungsi kedua adalah untuk menjaga kestabilan pasar domestik. Fungsi ini
untuk menjaga agar nilai tukar tidak dijadikan sebagai alat untuk spekulasi, dalam arti
bahwa dalam hal nilai tukar suatu negara mengalami overvalued maka masyarakat
akan terdorong menjual valuta asing. Ketidakstabilan pasar domestik yang demikian
dapat menimbulkan kegiatan spekulatif seperti perkembangan akhir-akhir ini, yang
pada gilirannya dapat mengganggu kestabilan makro.
Fungsi ketiga sebagai instrumen moneter khususnya bagi negara yang
menerapkan suku bunga dan nilai tukar sebagai sasaran operasional kebijakan
moneter. Dalam fungsi ini depresiasi dan apresiasi nilai tukar digunakan sebagai alat
untuk sterilisasi dan ekspansi jumlah uang beredar.
Fungsi keempat adalah sebagai nominal anchor dalam pengendalian inflasi.
Nilai tukar banyak digunakan oleh negara-negara yang mengalami chronic inflation
sebagai nominal anchor baik melalui pengendalian depresiasi nilai tukar maupun
dengan mem-peg-kan nilai tukar suatu negara dengan satu mata uang asing. Sebagai
gambaran pada akhir tahun 1970-an, orthodox programs dilaksanakan di Argentina,
Chili dan Uruguay dan pada pertengahan tahun 1980-an; heterodox program
dilaksanakan di Argentina, Brazil, Israel dan Mexico, selain itu juga pada tahun 1991
convertibility plan diterapkan di Argentina.
Kebijakan nilai tukar mata uang di dunia sangat dipengaruhi oleh sistem
tempat di New Hampshire, Amerika Serikat. Dari perjanjian di Bretton Wood
tersebut kemudian diperkenalkan sebuah konsep mengenai sistem nilai tukar (fixed
exchange rate) yang diyakini oleh para ahli pada waktu itu dapat memberikan
kepastian dan stabilitas bagi kegiatan perdagangan dan investasi dalam bisnis
internasional. Namun sistem ini berakhir saat pemerintahan Presiden Nixon pada 15
Agustus 1971 mengeluarkan dekrit dengan dicanangkannya bahwa nilai USD tidak
dikaitkan dan tidak convertible terhadap seberat tertentu emas. Dengan berakhirnya
dekrit tersebut maka berakhirlah sistem kurs tetap dan dimulailah era kurs
mengambang (floating rate system).
2.3.2. Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia
Dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 1964, di Indonesia mulai
diberlakukan sistem kurs tetap dengan mematok nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
dengan kurs resmi sebesar Rp. 250/USD. Selama diberlakukannya fixed exchange
rate di Indonesia maka selama periode resmi kurs tetap Bank Indonesia telah
melakukan 3 kali tindakan devaluasi mata uangnya terhadap dolar Amerika. Sehingga
pada tahun 1978, Indonesia mulai menganut sistem nilai tukar mengambang
terkendali (floating exchange rate). Dengan nilai tersebut nilai tukar rupiah
diambangkan terhadap berbagai mata uang mitra dagang utama Indonesia.
Sistem nilai tukar mengambang yang dianut di Indonesia adalah sistem kurs
mengambang yang dipengaruhi oleh campur tangan pemerintah atau yang sering
disebut dengan managed float. Sistem ini berbeda dengan sistem kurs mengambang
tetapi nilai tukar suatu valas ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran
pada bursa valas. Perjalanan sistem kurs mengambang terkendali di Indonesia
bertahan cukup lama yaitu periode 1977 sampai 1997. Selama periode pemerintah,
Indonesia membuat suatu indikator kurs mata uang dengan cara menetapkan spread
pada pergerakan kurs di pasar uang. Sampai pada akhirnya terjadi krisis ekonomi dan
moneter di Indonesia yang berawal pada bulan Juli 1997, kemudian pemerintah
menetapkan sistem nilai tukar mengambang bebas (freely float) pada 14 Agustus
1997, yang artinya mulai saat itu, pemerintah melepaskan Rupiah pada kekuatan
permintaan dan penawaran uang.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang ekonom Amerika Goff
Riley mengungkapkan bahwa pergerakan nilai tukar ditentukan berdasarkan
permintaan dan penawaran valas. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar
disebabkan terjadinya ekses permintaan. Sumber permintaan valas yang berasal dari
perusahaan digunakan antara lain untuk melakukan pembayaran cicilan dan bunga
Pinjaman Luar Negeri Swasta. Semakin besar pembayaran Pinjaman Luar Negeri
Swasta, akan memperbesar permintaan valas dan mengakibatkan depresiasi nilai
tukar rupiah yang selanjutnya akan menyebabkan perusahaan akan mengurangi dan
cenderung enggan melakukan pinjaman. Dengan kata lain hubungan nilai tukar
2.4. Ekspor dan Impor
Perekonomian terbuka merupakan sebuah sistem ekonomi di mana
orang-orang secara bebas dan aktif terlibat dalam perdagangan barang dan jasa serta
memungkinkan adanya arus masuk dan keluar faktor-faktor produksi. Dengan sistem
ekonomi terbuka, suatu negara bisa melakukan pengeluaran lebih banyak daripada
produksinya dengan meminjam dana dari luar negeri, atau bisa melakukan
pengeluaran lebih kecil daripada produksinya dengan memberi pinjaman kepada
negara lain. Dalam perekonomian terbuka juga memungkinkan adanya alokasi
sumber daya di mana di setiap negara memiliki kelimpahan faktor produksi yang
berbeda-beda. Adanya pengalokasian ini akan memberi dampak positif bagi setiap
negara yang membuka negaranya untuk sistem perekonomian bebas. Dalam sistem
perekonomian yang terbuka perdagangan internasional tidak terlepas dari
perkembangan ekonomi dunia secara keseluruhan.
Perkembangan ekonomi dunia sangat penting untuk dipertimbangkan
terutama implikasinya terhadap sisi permintaan termasuk permintaan terhadap
komoditas ekspor. Ekspor adalah arus keluar sejumlah barang dan jasa dari suatu
negara ke pasar internasional. Sedangkan impor merupakan kebalikan dari ekspor
yaitu arus masuk sejumlah barang dan jasa ke dalam suatu negara. Ekspor terjadi
terutama karena kebutuhan akan barang dan jasa sudah tercukupi di dalam negeri atau
karena barang dan jasa tersebut memiliki daya saing baik dalam harga maupun mutu
dengan produk sejenis di pasar internasional. Dengan demikian ekspor memberikan
untuk membiayai kebutuhan impor maupun pembiayaan program pembangunan
di dalam negeri.
Dalam perekonomian tertutup, seluruh output yang dihasilkan di dalam negeri
dijual ke pasar domestik dan komponen pengeluaran dibagi atas tiga jenis, yaitu
konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah. Dalam perekonomian terbuka,
sebagian output dijual ke pasar domestik dan sebagian lagi diekspor ke luar negeri,
sehingga dalam perekonomian terbuka, pengeluaran (Y) terdiri dari empat komponen,
yakni konsumsi (C), Investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G) serta ekspor barang
dan jasa (X). Hal ini dapat diidentitaskan sebagai berikut:
Y = C + I + G + X. (2.1)
Selanjutnya di dalam perekonomian terbuka, nilai konsumsi total adalah nilai
konsumsi langsung barang dan jasa di pasar domestik ditambah konsumsi barang dan
jasa di mancanegara, demikian pula dengan investasi dan pengeluaran pemerintah.
Karena impor dimasukkan ke dalam pengeluaran domestik dan karena barang dan
jasa yang diimpor dari luar negeri adalah bagian dari output suatu negara maka
persamaan ini mengurangi pengeluaran pada impor sehingga dapat didefinisikan
bahwa ekspor bersih (net eksport) adalah nilai ekspor dikurangi impor. Identitasnya
dapat dituliskan menjadi:
Y = C + I + G + (X-M). (2.2)
Persamaan di atas merupakan fungsi pendapatan nasional yang dihitung
berdasarkan pos pengeluaran. Persamaan ini juga menunjukkan bahwa jika output
jika output lebih kecil dari pengeluaran domestik, maka kekurangan itu akan diimpor.
Terdapat beberapa alasan yang mendesak mengapa suatu negara perlu menggalakkan
ekspor adalah untuk meningkatkan kekayaan negara yang berarti pula meningkatkan
pendapatan perkapita masyarakat. Ekspor sebagai bagian dari perdagangan
internasional bisa dimungkinkan oleh beberapa kondisi:
1. Adanya kelebihan produksi dalam negeri sehingga kelebihan tersebut dapat
dijual ke luar negeri melalui kebijakan ekspor.
2. Adanya permintaan luar negeri untuk suatu produk ataupun untuk dalam
negeri masih mengalami kekurangan.
3. Adanya keuntungan yang lebih besar dari penjualan ke luar negeri daripada
penjualan di dalam negeri karena harga pasar dunia yang lebih
menguntungkan.
4. Adanya barter antara produk tertentu dengan produk lain yang diperlukan dan
yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri.
5. Adanya kebijakan ekspor yang bersifat politik.
Besarnya impor suatu negara tergantung pada pendapatan, di mana semakin
tinggi pendapatan maka makin tinggi impor baik berupa barang maupun jasa sebagai
akibat perkembangan aktivitas perekonomian. Faktor lain yang juga mempengaruhi
impor adalah daya saing produksi dalam negeri, selera masyarakat dan faktor lainnya.
Misalnya saja inflasi dan perubahan nilai tukar Rupiah yang secara langsung maupun
tidak langsung sangat berdampak pada jumlah impor. Dalam kondisi ekspor
meningkat perusahaan akan cenderung menambah modal kerja yang salah satu
sumbernya adalah Pinjaman Luar Negeri. Sedangkan dalam kondisi investasi yang
meningkat mengharuskan perusahaan menambah investasi, khususnya untuk
perusahaan yang bahan bakunya didominasi impor (akibat dari kegiatan ekonomi)
akan mengakibatkan perusahaan membutuhkan modal kerja yang salah satu
alternatifnya adalah Pinjaman Luar Negeri Swasta.
2.5. Tabungan
Defisit Investasi Tabungan seringkali menjadi penyebab utama bagi negara-
negara sedang berkembang untuk melakukan pinjaman luar negeri. Hal tersebut
didasari pada pemikiran bahwa modal mempunyai peran yang penting dalam
pembangunan ekonomi. Dalam rangka pembentukan modal tersebut, terdapat
beberapa alternatif yang dapat digunakan yaitu melalui tabungan baik dari dalam
negeri, luar negeri ataupun keduanya. Sumber dalam negeri pada hakekatnya
merupakan prioritas utama yang yang digunakan untuk pembentukan modal tersebut
namun apabila tabungan domestik jauh lebih kecil dari investasi yang dibutuhkan
maka alternatif sumber dari luar negeri perlu dicari untuk mengatasi kesenjangan
tersebut (Widodo, 2004). Hal inilah yang mendukung meningkatnya pinjaman luar
negeri swasta di Indonesia.
Sesuai dengan teori Keynes, Hicks mengatakan bahwa tabungan tidak hanya
dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, tetapi juga tingkat pendapatan (marginal
dan investasi naik bila tingkat suku bunga turun. Tingkat suku bunga yang tinggi juga
akan mempengaruhi nilai sekarang (present value) aliran kas perusahaan, sehingga
kesempatan investasi yang ada tidak menarik lagi. Tingkat bunga yang tinggi juga
akan meningkatkan biaya modal yang harus ditanggung perusahaan. Di samping itu
tingkat bunga yang tinggi juga akan menyebabkan return yang diisyaratkan investor
dari suatu investasi akan meningkat. Bank indonesia sebagai otoritas moneter
menggunakan SBI (Sertifikat Bank Indonesia), surat berharga atas unjuk dalam
Rupiah yang dikeluarkan BI sebagai pengakuan utang jangka pendek.
Menurut teori Harrod Domar, hutang luar negeri di negara berkembang
disebabkan oleh ketidakcukupan tabungan domestik untuk membiayai pembangunan
(Williamson dalam Setyawan, 2005). Angka pertumbuhan (growth), diperoleh
dengan membagi tabungan domestik (saving) dengan rasio output kapital. Apabila
tabungan domestik tidak mencukupi, untuk mengejar proyeksi angka pertumbuhan
tinggi diperlukan hutang luar negeri.
Teori Harrod-Domar menerangkan ada syarat yang harus dipenuhi supaya
suatu perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang teguh atau steady growth
dalam jangka panjang. Pertumbuhan itu sendiri bisa direalisasikan dengan mengikuti
rumus matematis Harrod Domar melalui pemupukan tabungan nasional (kapitalisasi)
yang terus menerus. Rumus Harrod-Domar ini oleh ahli ekonomi pembangunan
dipelbagai belahan dunia manapun termasuk Indonesia dijadikan patokan untuk
menetapkan tingkat efisiensi pembangunan lewat formula besaran ICOR
anggaran pemerintah yang merupakan kelebihan pengeluaran pembangunan (yang
merupakan investasi) atas tabungan pemerintah dan peranan hutang luar negeri dalam
mencukupi tabungan pemerintah untuk membiayai investasi di dalam negeri
dilengkapi pula oleh peranan sumber-sumber dana dari swasta asing dalam menutupi
kekurangan tabungan swasta. Berdasarkan teori Harrord Domar di atas dapat
disimpulkan bahwa bahwa tabungan berpengaruh negatif terhadap Pinjaman Luar
Negeri Swasta.
2.6. Tinjauan Studi Terdahulu
Dari hasil penelitian Arif dan Sasono dalam Antoni (2007) menyatakan
bahwa hutang luar negeri bersama dengan investasi asing langsung berpengaruh
negatif dan hutang luar negeri ternyata juga terus menerus mengalami penurunan
kemampuan dalam membiayai impor barang dan jasa. Kemampuan impor ini yang
diukur dengan membandingkan nilai hutang luar negeri bersih dengan nilai impor
barang dan jasa telah turun sebesar 24% untuk periode 1970/1971 dan menjadi 7%
tahun 1978/1979. Akibatnya Indonesia terpaksa harus melakukan pinjaman baru
untuk membiayai surplus impor sehingga masuk ke dalam perangkap hutang. Dengan
menggunakan metodologi yang dikembangkan Dornbusch dan Click sebab-sebab
kenaikan stok jumlah hutang dan kewajiban mencicilnya yaitu dari aspek domestik
dan aspek eksternal serta faktor perubahan nilai tukar mata uang dunia.
Aspek domestik seperti defisit anggaran pemerintah yang merupakan
pemerintah dan peranan hutang luar negeri dalam mencukupi tabungan pemerintah
untuk membiayai investasi di dalam negeri dilengkapi pula oleh peranan
sumber-sumber dana dari swasta asing dalam menutupi kekurangan tabungan swasta.
Sedangkan dari faktor eksternal yang menyebabkan kenaikan hutang luar negeri
adalah kenaikan stok hutang luar negeri digunakan untuk membiayai bagian defisit
neraca berjalan yang tidak dibiayai oleh sumber-sumber lain seperti arus modal
masuk jangka panjang. Pinjaman luar negeri dipakai juga untuk menumpuk cadangan
devisa atau membiayai pelarian modal keluar.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (1979), Weiskoft (1972) Chenery dan
Strout (1979), Hujman (1968) dan Mudrajat Kuncoro (1982) menunjukkan bahwa
modal asing berpengaruh negatif terhadap tabungan domestik di berbagai negara
berkembang termasuk Indonesia. Di samping itu, arus modal asing juga dapat
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, walaupun secara statistik tidak
signifikan. Studi-studi tersebut juga menemukan bahwa tabungan domestik lebih
penting peranannya daripada modal asing, baik secara kuantitatif maupun statistik
dalam menentukan pertumbuhan ekonomi (Sugiri, 2009).
Manzoochi (2001), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa eksternal
finance dapat memberikan kontribusi positif pada proses transmisi dan meningkatkan
dana kesejahteraan pada negara negara yang dahulu memiliki perekonomian terpusat,
khususnya di mana domestic saving belum berjalan dengan baik setelah adanya
kontraksi awal perekonomian, tetapi seperti apa yang telah ditunjukkan pada proses
kapasitas utang luar negeri negara negara di Eropa Tengah dan Timur. Jurnal ini
membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pinjaman eksternal pada sepuluh negara
selama periode 1990 - 1995, dan menghitung efek-efek dari outstanding stock dari
foreign liabilities atas net financial inflow.
Achsani (2004) menyimpulkan bahwa pinjaman dalam bentuk dolar juga bisa
membunuh, suatu sistem perbankan tidak akan mengalami krisis jika ia menerapkan
regime mata uang mengambang dan memiliki kewajiban membayar utang dalam
bentuk mata uang lokal. Dalam hal demikian, bank sentral memiliki kredibilitas kuat
untuk membayar utang dalam mata uang yang dikendalikannya. Akan tetapi jika kurs
mata uang dibuat mengambang dan kewajiban membayar utang dalam bentuk dollar,
maka ada kemungkinan negara akan mengalami krisis keuangan apabila kurs mata
uang ambruk secara tiba-tiba, hal inilah yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 s.d
1998.
Direktorat Internasional Bank Indonesia (2005) dalam penelitiannya yang
berjudul Pembayaran Pinjaman Luar Negeri Korporasi dan Pergerakan Rupiah
menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa melalui pendekatan kuantitatif menunjukkan
bahwa pembayaran Pinjaman Luar Negeri korporasi hanya berpengaruh signifikan
terhadap nilai tukar Rupiah dalam jangka panjang, sementara dalam jangka pendek
pergerakan Rupiah lebih dipengaruhi oleh variabel harga minyak dunia, Interest Rate
Differensial dan Country Risk.
Hasen dan Rand (2004) memperlihatkan bahwa FDI memiliki pengaruh
hanya memperlihatkan pengaruh jangka pendek terhadap FDI. Sementara penelitian
Chowdhury dan Mavrotas (2003) untuk kasus Thailand dan Malaysia dengan analisis
Todar-Yamamoto dalam kurun waktu 1969-2000 menemukan bahwa terdapat
hubungan kausalitas dua arah antara FDI dengan GDP.
Teori Harrod-Domar menerangkan ada syarat yang harus dipenuhi supaya
suatu perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang teguh atau steady growth
dalam jangka panjang. Pertumbuhan itu sendiri bisa direalisasikan dengan mengikuti
rumus matematis Harrod Domar melalui pemupukan tabungan nasional (kapitalisasi)
yang terus menerus. Rumus Harrod-Domar ini oleh ahli ekonomi pembangunan
dipelbagai belahan dunia manapun termasuk Indonesia dijadikan patokan untuk
menetapkan tingkat efisiensi pembangunan lewat formula besaran ICOR
(Incremental Capital Output Ratio).
ICOR (Incremental Capital Output Ratio) adalah suatu besaran yang
menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk
menaikkan/menambah satu unit output. Besaran ICOR diperoleh dengan
membandingkan besarnya tambahan kapital dengan tambahan output. Karena unit
kapital bentuknya berbeda-beda dan beraneka ragam sementara unit output relatif
tidak berbeda, maka untuk memudahkan penghitungan keduanya dinilai dalam
bentuk uang (nominal). Pengkajian mengenai ICOR menjadi sangat menarik karena
ICOR dapat merefleksikan besarnya produktivitas kapital yang pada akhirnya
investasi yang diperlukan untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi dapat
dilihat dengan pendekatan ICOR (Incremental Capital Ouput Ratio).
k = s/g atau g = s/k
g = target pertumbuhan ekonomi
s = saving ratio
k = ICOR
Bila ICOR suatu negara sebesar 4 dan laju pertumbuhan ekonomi pada tingkat
6,5% maka diperlukan saving ratio (s) sebesar 26% untuk dapat memertahankan
pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%. Apabila sumber dalam negeri yang dapat
dihimpun sebesar 20% maka diperlukan sumber dana luar negeri sebesar 6%.
Dalam penelitian yang dilakukan Antoni (2007) menyatakan bahwa kenaikan
hutang luar negeri Indonesia dapat disebabkan oleh tiga hal. Pertama defisit neraca
berjalan disebabkan defisit neraca jasa yang terlalu besar yang tidak dibiayai dengan
arus modal masuk yang berjangka panjang. Dalam hal ini diasumsikan bahawa defisit
neraca berjalan dibiayai terutama dengan arus modal berjangka panjang yang tidak
berbentuk hutang kemudian sisanya baru dengan pinjaman luar negeri, kedua
penggunaan pinjaman luar negeri untuk menambah cadangan devisa yang dimiliki
baik oleh otoritas moneter maupun bank-bank umum dan ketiga pelarian modal
swasta yang mencakup seluruh kehilangan devisa dari sistem moneter. Kemudian
Moh. Rizal dalam penelitiannya yang berjudul analisis pengaruh pinjaman luar negeri
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia menyatakan bahwa (1) Ada pengaruh
ekonomi di Indonesia, tidak terbukti kebenarannya, (2) Ada pengaruh positif dan
signifikan pinjaman luar negeri swasta terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia,
(3) Ada pengaruh signifikan secara simultan pinjaman luar negeri pemerintah dan
swasta terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, terbukti kebenarannya, dan
Adanya kecenderungan penggunaan pinjaman luar negeri Pemerintah dan swasta
yang meningkat, menyebabkan semakin berat beban hutang yang harus ditanggung.
Hal ini akan mempengaruhi perekonomian Indonesia untuk membiayai
pembangunan.
Makhlani dalam tulisannya yang berjudul Pola Pembangunan Ekonomi
dengan Pinjaman Luar Negeri (2007) menyatakan bahwa:
(i) Terdapat hubungan kausalitas antara Pinjaman Luar Negeri dengan
pertumbuhan ekonomi, Pinjaman Luar Negeri pemerintah, dan Pinjaman Luar
Negeri swasta.
(ii)Sifat kausalitas antara PLN dan pertumbuhan ekonomi telah membentuk pola
pembangunan dengan PLN dan dapat menjadi penyebab akumulasi PLN yang
besar.
(iii)Karakteristik PLN pemerintah dan PLN swasta tidak sama sehingga
berdampak beda atas pertumbuhan ekonomi dan sifat kausalitas antara PLN
pemerintah dan PLN swasta dapat membentuk kombinasi PLN yang efektif.
Pinjaman luar negeri swasta yang semakin hari terus meningkat akibat
kurangnya kontrol dari pemerintah patut diperhatikan agar krisis ekonomi yang
Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Edy Suandi Hamid
mengatakan, pemerintah perlu membuat suatu mekanisme yang bertujuan
mengendalikan utang luar negeri yang ditarik sektor swasta dan pemerintah. Edy
berpendapat pemerintah harus belajar darit krisis ekonomi yang terjadi 1997 silam.
Ketika kontrol lalu lintas utang luar negeri sedemikian lemah, utang luar negeri yang
ditarik swasta menjadi tidak bisa dikendalikan. “Bahkan kemudian menjadi separuh
dari total utang luar negeri Indonesia. Fatalnya, sebagian besar macet”. Adapun
mekanisme yang dimaksud Edy adalah semacam intervensi dalam bentuk peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang dilakukan pemerintah pada pemerintah
2.7. Kerangka Pemikiran Interest Rate
Differensial (X1)
Kurs Riil (X2)
Pinjaman Luar Negeri
NET EKSPOR (X3) Swasta (Y)
TABUNGAN
SWASTA (X4)
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran 2.8. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah serta tujuan penelitian yang
telah dipaparkan maka hipotesa yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah:
1. Interest Rate Differensial berpengaruh positif terhadap pinjaman luar negeri
swasta, ceteris paribus.
2. Kurs riil berpengaruh negatif terhadap pinjaman luar negeri swasta, ceteris
paribus.
3. Net Ekspor berpengaruh positif terhadap pinjaman luar negeri swasta, ceteris
4. Tabungan Swasta berpengaruh negatif terhadap pinjaman luar negeri swasta,