SKRIPSI
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara
MAHASISWA dan POLITIK:
SUATU ANALISA GERAKAN SOSIAL MAHASISWA MELAWAN POLITIK HEGEMONI NEGARA ORDE BARU 1998
D I S U S U N OLEH
ASINA ULI SINAGA 040906077
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk diuji dan dipertahankan.
Nama : Asina Uli Sinaga
NIm : 040906077
Departemen : Ilmu Politik
Judul : “ MAHASISWA dan POLITIK: SUATU ANALISA
GERAKAN SOSIAL MAHASISWA MELAWAN POLITIK HEGEMONI NEGARA ORDE BARU 1998 “
Medan, Desember 2008
Ketua Departemen Ilmu Politik
( Drs. Heri Kusmanto, MA ) NIP. 132 215 084
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
( Drs. Anthonius P.Sitepu ) ( Warjio S.S, MA )
NIP. 131 485 245 NIP. 132 316 810
Dekan
KATA PENGANTAR
Skripsi ini merupakan sebagian dari hasil diskusi dan pengamatan yang
dilakukan oleh penulis terhadap gerakan mahasiswa pada saat ini. Ketertarikan
penulis membahas penelitian ini adalah untuk mengeksplorasikan bahwa negara
telah kehilangan fungsi sosialnya dan lebih dominan pada fungsi ekonomi
sehingga menyingkirkan faktor utama terbentuknya ( melahirkan ) negara yaitu
rakyatnya. Gerakan yang dilakukan secara sadar dan terorganisir oleh mahasiswa
selama ini adalah salah satu dari bentuk pengapresiasian diri dan perlawanan
terhadap rezim yang memangkas hak berpolitik rakyat dalam melihat realita
kondisi basis material massa rakyat.
Selain itu dalam skripsi ini juga menjelaskan bagaimana perlawanan yang
dilakukan oleh mahasiswa pada masa Orde Baru tahun 1998 yang dapat
merobohkan simbol kediktatoran Soeharto. Gerakan mahasiswa mampu
mengganti era kepemimpinan otoritarian dengan era reformasi. Meskipun secara
kenyataannya, era reformasi yang dijalani sekarang belumlah membawakan hasil
apa-apa bagi perubahan kesejahteraan rakyat.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna. Namun karena
waktu yang mendesak untuk menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Ilmu Politik bagi penulis. Karenanya
peneliti berharap mendapatkan masukan, kritik atau apapun namanya yang
sifatnya membangun intelektualitas yang berkarakter kerakyatan.
Medan, 10 Desember 2008
Ucapan Terima Kasih
Ketika seorang bayi mampu berteriak dengan tangisannya yang melengking dan membuat pekak telinga karena haus dan lapar akan air susu ibunya, maka hal yang sama pun dapat dilakukan oleh seorang mahasiswa yang juga haus dan lapar akan kembalinya hak berpolitik mereka dan rakyat pada umumnya. Seharusnya seorang mahasiswa mampu dan sudah cukup mapan menjadi seorang kaum pelopor yang tangguh di antara basis massa rakyat. Karena keintelektualan dan kecerdasan yang dimiliki oleh mahasiswa sejatinya nanti akan dipergunakan oleh kaum pemilik modal sebagai seorang buruh. Atau dengan bahasa yang sedikit mengangkat martabat karena begelar sarjana, karyawan atau pegawai. Dengan dilemma yang dihadapi oleh kaum intelektual ini maka sudah sepantasnya mahasiswa dapat bangkit dari keterpurukannya dan melakukan gejolak perlawanan untuk merebut kesejahteraannya sendiri dari tangan kaum pemilik modal.
Yang kukagumi dan kukasihi orang tuaku (S. Sinaga dan N. br Nainggolan) yang telah mengajarkan kepadaku bagaimana seharusnya aku menghadapi gejolak hidup ini. Aku sangat berterima kasih atas semua yang telah kalian lakukan selama 22 tahun ini. Banyak sudah rintangan dan hambatan yang ada selama ini dalam keluarga kita. Dan kuharap ini menjadi satu motivasi bagiku untuk tetap berkarya agar dapat membanggakan kalian. Aku juga berterima kasih atas pengertian yang telah kalian berikan selama aku mengikuti gerakan ini. Aku tahu sedikit banyak pasti mengecewakan harapan kalian. Tapi yakinlah bahawa apa yang kulakukan selama ini juga untuk kalian. Perubahan dan ideology yang kuyakini dan kupegang ini akan kupertahankan hingga aku tidak lagi bisa berkata dan berbuat apa-apa lagi. Doakan jalanku ini ya Pak, Ma…
Yang kusayangi dan selalu kurindukan adik-adikku (Bob, Maria, Dewi). Terima kasih atas dorongan dan semangat yang luar biasa besar yang telah kalian berikan selama ini. Mungkin aku bukan kakak yang baik yang pernah kalian miliki. Tapi dengan kesadaran itu aku ingin mencoba menjadi yang terbaik yang pernah kalian miliki. Agar kelak nantinya kalian akan dapat bercerita dan membanggakanku di depan semua saudara dan teman-teman kalian. Untuk Bob, cepat tamatkan kuliahmu ya, Dek. Gantikan posisiku yang saat ini belum mampu untuk menanggung jawabi keluarga kita. Untuk Maria, jangan bandel lagi ya. Juga cobalah untuk lebih sabar dalam bertindak. Untuk Dewi, pudanku, jangan banyak kali keluyurannya. Cepat-cepat tamat sekolah terus kuliah. Biar bisa buat bangga. Ingat perjuangan yang udah dilakukan boz untuk kita. Tidak ada lagi jalan lain untuk kita selain membuat orang-orang yang menganggap remeh boz selama ini jadi tunduk malu dan bersujud minta maaf selain dengan prestasi yang selama ini telah kita ukir. Ini sudah jadi kesepakatan kita kan dek?
Saya juga tidak luput mengucapkan terimakasih kepada:
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP-USU) Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA.
Ketua Departemen Ilmu Politik Drs. Heri Kusmanto.
Warjio S.S, MA sebagai dosen pembaca.
Seluruh Pegawai FISIP-USU ( terutama Bang Rusdi Yang Baek Hati, luar biasa support dan bantuan abang. Maaf sampai merepotkan abang pagi-pagi sekali di hari Sabtu, semoga sukses juga Bang . Dan kak Uci yang udah membantu percepatan administrasi saya ).
Untuk kawan-kawan Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM) Se-Indonesia mulai dari nasional hingga ke daerah.
Untuk kawan-kawan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Politik Rakyat Miskin (LMND PRM) mulai dari nasional hingga eksekutif komisariat. Terutama untuk Surya, maaf ya Sur bukan gak mau balas sms tapi aku kemarin sedang cuti. Jadi agak takut dimarahin. Heheee…
Untuk kawan-kawan PPRM yang ada di Sumut ini terutama: Johan, Ida, Zoel, Irink, Ruslan, Nenni, Joni Nias, Pak Edi, Melli, Suci, Satria, Siti, Ucay, Muktar, Yudi, Niko, Aii, Pendi dan Lilis, Yohani, Heri “Adit”, Gomen, Toni, Budi, Evi, Iwan Dundung, Bang Supron dan keluarga, Bang Saino, Bang Maulana, Indra, Kak Hilda, Ozi dan Fitri, kawan-kawan buruh di Medan Deli, kawan-kawan kelompok tani KTB, KTTM, KTM, KTPHS dan lainnya yang tidak dapat aku sebutkan satu per satu. Terima kasih karena kalian telah mengajarkan aku untuk tetap berada di garis massa dan tetap mengabdi di barisan rakyat miskin.
Untuk keluarga besar Sinaga (Bapatua (Alm.), Inangtua, Bang Patar, Meylin dan keponakan baruku Johan, Namboru dan AmangBoru di Tolping serta keluarga besarnya, Bapatua (Alm.) dan Inangtua Ikkut di Nainggolan serta keluarga besarnya, Namboruku Mawan (Alm.), Bobo maaf kemarin aku gak datang, Bapatua dan Inangtua Togi).
Untuk keluarga besar Nainggolan (Bapatua (Alm.) dan Inangtua (Alm.) Ani, Tulang dan Nantulang Nelly, Tulang dan Nantulang Sanny, Inangtua dan Bapatua Mei, Inangtua dan Bapatua Sandro, Inanguda dan Bapauda Agus, Inanguda dan Bapauda Dira, Tulang dan Nantulang Andre).
yang aneh-aneh. Juga semua tetangga yang ada di Pekanbaru dan keluarga tetangga yang ada di jalan Nenas dulu.
Untuk kawan-kawan kos Mamre: ada Ivan (Pak Harapan), Kang Ipul (Garuda), Maria, Hendrik, Beny “Riko”, Ony, Vera, Sarma, Mpok Ibe, Kak Fatima dan Espol (Eks Mamre), Anton Penjaitan yang ngebet ma adekku. Ayo kita tek-tek an makan pizza lagi….
Untuk kawan-kawan ilmu politik mulai dari angkatan 01-08. Terutama untuk kawan-kawan 04 dan 05..
Dan kawan yang tidak tersebutkan satu persatu namanya saya mengucapkan ribuan terimakasih atas segala dukungan, doa, saran dan masukannya…..!!!
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Ucapan Terima Kasih ... ii
Daftar Isi ... vi
Daftar Tabel ... viii
Abstraksi ... ix
BAB I : PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ... 1
2. Perumusan Masalah ... 28
3. Tujuan Penelitian ... 29
4. Manfaat Penelitian... 29
5. Kerangka Teori ... 30
5. 1. Teori Demokrasi dan Demokratisasi ... 31
5. 2. Teori Negara ... 39
5. 3. Teori Gerakan Sosial ... 47
6. Metode Penelitian ... 51
6. 1. Jenis Penelitian ... 51
6. 2. Teknik Pengumpulan Data ... 52
6. 4. Teknik Analisa Data ... 53
BAB III: ANALISA GERAKAN MAHASISWA SEBAGAI
GERAKAN SOSIAL TERHADAP NEGARA
1.
2. Gerakan Mahasiswa Dalam Perspektif Kepentingan Kelas ... 103 Gerakan Mahasiswa Dalam Teori Gerakan Sosial ... 86
3. Gerakan Mahasiswa Dalam Teori Demokrasi dan Demokratisasi ... 144
BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN.
1 Kesimpulan ... 135
2. Saran ... 137
Daftar Tabel
Tabel
Tabel 1.1 : Sekolah Dasar di Hindia Belanda Sekitar Tahun 1900
Tabel 2.1 : Economic Crisis, Macro-Economic Indicator, Indonesia 1994-1998.
Tabel 2.2 : Indonesian GNP Per Capita (US$).
Abstraksi
Sampai saat ini, dalam kenyataannya, negara tak pernah menjalankan secara konsekuen dengan amanat UUD 1945 dalam persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini justru lebih terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru, pendidikan mulai secara perlahan dikomersialkan. Sebagai anak kandung dari kapitalisme, mahasiswa yang lahir dari system kepemilikan modal itu perlahan menjadi seorang anak durhaka yang mengkhianti sendiri ibu kandungnya dengan mulai melakukan pergolakan perlawanan di basis massa rakyat.
Sistem pendidikan yang selama ini membimbing dan mengajarkan manusia menjadi senjata balik bagi kaum kapitalisme. Dengan kecerdasan dan keintelektualan mereka, mahasiswa yang langsung bersentuhan dengan masalah-masalah ekonomi masyarakat berubah menjadi kaum pelopor yang diharapkan dapat memberikan perubahan.
Sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga akhir-akhir ini mahasiswa Indonesia dapat dikatakan sebagai pelopor perubahan pergantian rezim yang ada selama negara ini berdiri. Kejatuhan Soeharto sendiri juga merupakan andil dari kelompok mahasiswa yang sudah lama gerah dengan kepemimpinan otoritariannya.
Resesi ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 juga sebagai salah satu akibat dari kepemimpinan Soeharto. Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Soeharto sejak kepemimpinannya sama sekali hanya mementingkan kaum kapitalis dan dirinya sendiri. Juga dalam kepemimpinannya Soeharto memaksakan rakyat Indonesia untuk tidak terlibat dalam segala bentuk kegiatan politik. Depolitisasi yang dilakukan oleh Soeharto bahkan menjalar hingga ke tingkatan kampus dengan program NKK/BKK. Dengan ini mahasiswa dipaksa untuk terlibat aktif dalam kegiatan di dalam kampusnya sendiri dan meninggalkan basis massa rakyat yang merupakan tempat pengabdiannya setelah menjadi seorang sarjana.
Gerakan sosial yang dilakukan mahasiswa pada tahun 1998 merupakan salah satu cara mahasiswa melakukan perjuangan yang dianggap mampu memberikan angin segar bagi politik di Indonesia. Namun gerakan yang sangat progresif dari mahasiswa ini dihadang dengan berbagai isu dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh negara. Berbagai tindakan refresif ( kekerasan ) negara terhadap rakyatnya ( kaum tani ) melalui aparattusnya menjadi makanan pokok dalam setiap gerak perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa pada tahun 1998.
Abstraksi
Sampai saat ini, dalam kenyataannya, negara tak pernah menjalankan secara konsekuen dengan amanat UUD 1945 dalam persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini justru lebih terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru, pendidikan mulai secara perlahan dikomersialkan. Sebagai anak kandung dari kapitalisme, mahasiswa yang lahir dari system kepemilikan modal itu perlahan menjadi seorang anak durhaka yang mengkhianti sendiri ibu kandungnya dengan mulai melakukan pergolakan perlawanan di basis massa rakyat.
Sistem pendidikan yang selama ini membimbing dan mengajarkan manusia menjadi senjata balik bagi kaum kapitalisme. Dengan kecerdasan dan keintelektualan mereka, mahasiswa yang langsung bersentuhan dengan masalah-masalah ekonomi masyarakat berubah menjadi kaum pelopor yang diharapkan dapat memberikan perubahan.
Sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga akhir-akhir ini mahasiswa Indonesia dapat dikatakan sebagai pelopor perubahan pergantian rezim yang ada selama negara ini berdiri. Kejatuhan Soeharto sendiri juga merupakan andil dari kelompok mahasiswa yang sudah lama gerah dengan kepemimpinan otoritariannya.
Resesi ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 juga sebagai salah satu akibat dari kepemimpinan Soeharto. Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Soeharto sejak kepemimpinannya sama sekali hanya mementingkan kaum kapitalis dan dirinya sendiri. Juga dalam kepemimpinannya Soeharto memaksakan rakyat Indonesia untuk tidak terlibat dalam segala bentuk kegiatan politik. Depolitisasi yang dilakukan oleh Soeharto bahkan menjalar hingga ke tingkatan kampus dengan program NKK/BKK. Dengan ini mahasiswa dipaksa untuk terlibat aktif dalam kegiatan di dalam kampusnya sendiri dan meninggalkan basis massa rakyat yang merupakan tempat pengabdiannya setelah menjadi seorang sarjana.
Gerakan sosial yang dilakukan mahasiswa pada tahun 1998 merupakan salah satu cara mahasiswa melakukan perjuangan yang dianggap mampu memberikan angin segar bagi politik di Indonesia. Namun gerakan yang sangat progresif dari mahasiswa ini dihadang dengan berbagai isu dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh negara. Berbagai tindakan refresif ( kekerasan ) negara terhadap rakyatnya ( kaum tani ) melalui aparattusnya menjadi makanan pokok dalam setiap gerak perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa pada tahun 1998.
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejarah gerakan mahasiswa Indonesia tidak berbeda dengan sejarah
gerakan mahasiswa lainnya diberbagai belahan dunia manapun. Gerakan
mahasiswa yang didominasi oleh pemuda yang memang memiliki watak muda
menginginkan adanya suatu perubahan yang cukup signifikan dalam suatu
pemerintahan rezim yang berkuasa. Dan hampir seluruh gerakan mahasiswa yang
ada di belahan dunia manapun tidaklah dilakukan secara matang tapi lebih
dikarenakan adanya suatu momentum. Jadi tidak salah jika banyak orang yang
akhirnya menyimpulkan bahwa gerakan mahasiswa hanya bersandar pada
momentum semata, bukanlah atas kesadaran dan telah dipersiapkan secara
matang.
Seperti halnya gerakan mahasiswa yang terjadi di Indonesia. Sejak zaman
pra kemerdekaan hingga sekarang, gerakan mahasiswa di Indonesia bersandar
pada momentum. Zaman pra kemerdekaan, gerakan mahasiswa ditandai dengan
munculnya organisasi-organisasi modern pada masa pemerintahan kolonial
Belanda. Di mana pada masa pemerintahan kolonial, tenaga-tenaga rakyat
Indonesia dihisap dan dipaksa bekerja tanpa ampun dengan sistem penjajahan
yang memaksa bangsa Indonesia menjadi budak di negerinya sendiri. Dan untuk
kedasar-dasarnya, mereka (pemerintahan kolonial) membangun sekolah-sekolah
yang bisa melahirkan tenaga-tenaga ahli baru yang kelak akan dipergunakan
kembali oleh mereka. Misalnya, seperti sekolah militer yang dibangun di
Semarang pada tahun 1819. Belanda membutuhkan militer untuk alat menindas
yang akan menjadi sekrup-sekrup kapitalisme. Baru kemudian setelah itu, Belanda
membuka sekolah-sekolah umum seperti Sekolah Tinggi Leiden (1826), Institut
Bahasa Jawa Surakarta (1832), Sekolah Pegawai Hindia-Belanda di Delft (1842),
Sekolah Guru Bumiputra di Surakarta (1852).1 Sekolah-sekolah ini jelas-jelas
dibuka untuk tangan-tangan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, dan
sekolah-sekolah ini tentu saja hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan
pegawai Tinggi Pribumi. Selain membuka sekolah-sekolah tinggi, di Hindia mulai
dibangun sekolah dasar—tetapi sekali lagi khusus untuk golongan Belanda—
dengan membuka sekolah dasar yang sekuler di Weltervreden pada 24 Februari
1817.2 Dan baru 1871—bersamaan dengan liberalisme di Hindia Belanda—
dikeluarkan UU Pendidikan pertama, pendidikan dan pengajaran semakin
diarahkan bagi kepentingan Bumiputra.3
Seiring dengan pekembangan liberalisme di Hindia Belanda—yang
ditandai dengan disahkan UU Pokok Agraria yang memberikan keleluasaan
kepada modal swasta Belanda masuk ke Hindia Belanda—mau tidak mau
pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam pembangunan sistem Dan hingga tahun 1850 telah terdapat
lebih kurang 562 sekolah dasar yang mana setengahnya dikuasai oleh Belanda dan
swasta.
1
Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, Hal.185. 2
kapitalisme. Dengan kedok Politik Etis, dibukalah sekolah-sekolah dasar sampai
sekolah tinggi bagi pribumi yang tujuan pokoknya adalah sebagai tenaga-tenaga
bagi industrailisasi modal-modal swasta Belanda di tanah jajahan. Ini seiring
dengan prinsip liberalisme dimana koloni bukan hanya sebagai penghasil
produk-produk yang menguntungkan seperti kopi, teh, gula, tembakau, tetapi juga sumber
suplai bahan mentah seperi baja, minyak, batu bara, dll bagi industrialisasi di
Belanda.4
Dengan dibukanya sekolah-sekolah tersebut, semakin membuka
kesempatan bagi masyarakat Indonesia pada masa itu untuk mengetahui tentang
dunia luar, perkembangan teknologi dan bahkan sampai kepada teori-teori tentang
pentingnya nasionalisme bagi rakyat Pribumi. Perluasan pengajaran tingkat atas
mulai terjadi secara berangsur-angsur. Dan pada tahun 1902 didirikanlah
STOVIA, dimana Tirto Adi Suryo yang merupakan pelopor pendiri organisasi
modern pertama Indonesia adalah jebolan atau tamatan dari sekolah ini. Disusul
kemudian NIAS pada tahun 1913 yang setahun kemudian menjadi sekolah
kedokteran hewan. Dan pada tahun 1927 sekolah kedokteran diubah menjadi GHS
(Geneeskundige Hoogeschool). Sedangkan untuk perguruan tinggi sendiri
belumlah muncul di Nusantara. Hanya beberapa pribumi yang mampu dan kaya Sumber-sumber bahan mentah tersebut sebagian besar ada diluar Jawa
sehingga banyak membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru, maka bergandenganlah
program politik etis—edukasi, irigrasi dan emigrasi—untuk mengekploitasi
sumber bahan mentah tersebut.
4
yang mampu mengirimkan anaknya untuk bersekolah di Eropa.5
Daerah
Namun setelah
kepulangan mereka dari Eropa, mereka malah menjadi bibit-bibit baru yang siap
untuk mendobrak penindasan yang selama ini telah mengakar dan menghisap
setiap tetes keringat bangsa Indonesia. Politik Etis akhirnya menjadi senjata balik
atau menjadi bumerang balik bagi kaum kolonial pada masa itu. Bukannya
menjadi taktik yang menguntungkan. Karena pada awalnya Politik Etis hanya
untuk mendapatkan tenaga terdidik yang murah dari masyarakat pribumi.
Tabel 1. Sekolah Dasar di Hindia Belanda Sekitar Tahun 1900
Sekolah Negeri Sekolah Swasta Sekolah Misi Total Populasi (dalam ribuan)
Jawa dan Madura 269 231 62 562 28386
Sumatera (kecuali Daerah Batak) 77 17 4 98 2862
Daerah Batak 19 6 175 200 321
Kalimantan 12 3 21 36 1076
Sulawesi (kecuali Manado) 14 - - 14 1442
(1895)
Manado 115 14 237 366 423
Ternate 2 2 9 13 133
Ambon 74 75 17 166 271
Timur 15 10 16 41 306
(1905)
Bali dan Lombok 4 1 - 5 1039
Total 601 359 541 1501 36259
Sumber: Bernhard Dahm, Bergerak Bersama Rakyat, 200. Hal 51.
5
Berjamurnya sekolah-sekolah yang ada di Nusantara pada saat itu juga
turut mendorong munculnya organisasi-organisasi modern di Indonesia.
Organisasi yang pertama kali muncul adalah Sarekat Priyayi pada tahun 1906.
Pendirinya pada saat itu adalah Tirto Adi Suryo yang merupakan jebolan dari
STOVIA. Dalam perkembangannya Sarekat Priyayi berkembang pesat menjadi
sebuah organisasi modern pertama Nusantara yang memiliki semangat
kebangsaan yang besar dalam melawan kolonialisme pada saat itu. Akan tetapi
keberadaan organisasi ini pun tidak terlalu lama. Sarekat Priyayi akhirnya hancur
dan bubar. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah meletakkan
kepemimpinan kepada kaum priyayi sebagai unsur yang dianggap mampu untuk
melakukan perubahan. Golongan priyayi ini merupakan golongan yang beku,
yang hanya mengharapkan kedudukan dari gubermen, impian-impian mereka
hanya sebatas pada kenaikan gaji dan kenaikan pangkat6, yang dunia pikirannya
berlindung di bawah kewibawaan gubermen7, tanpa kewibawan, mereka tidak ada
artinya8. Sedangkan sifatnya yang paling progresif adalah gonta-ganti istri,
sebelum kawin ‘sesungguhnya’, sebagai latihan, para priyayi-priyayi ini
melakukan ‘gladi bersih’ dengan menikahi perempuan dari keturunan orang
kebanyakan.9
6 Pramodya Ananta Toer, Rumah Kaca, Jakarta: Hasta Mitra, 1998. Hal.264 7 Pamodya Ananta Toer, Ibid, hal.300
8
Pramodya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Jakarta: Hasta Mitra,1998. Hal. 169
9 Pramodya Ananta Toer, Gadis Pantai, Jakarta: Hasta Mitra,1998. Hal.62.
Kegagalan Sarikat Priyayi juga dikarenakan ketidakmampuan
menggerakkan kaum priyayi yang sudah mapan dan tidak mau bergerak tanpa
Setelah kegagalan itu, mulai tumbuh satu benih baru dalam perjuangan
rakyat Nusantara. Tahun 1908 berdirilah Boedi Oetomo dengan tokoh-tokohnya
antara lain E. Douwes Dekker dan Wahidin Soediro Hoesodo. Sama seperti
Sarikat Priyayi, Boedi Oetomo juga dipelopori oleh pemuda dan mahasiswa yang
berada di STOVIA. Dalam sejarah resmi Indonesia, Boedi Oetomo dikatakan
sebagai organisasi modern pertama Nusantara. Sejalan dengan perkembangannya,
Boedi Oetomo bergerak hanya dalam kawasan terbatas di Jawa dan Madura.
Namun akhirnya gerakan ini meluas ke seluruh Hindia. Cita-cita Boedi Oetomo
saat itu masih hanya diterapkan tentang rasa nasionalisme terhadap Hindia
melawan penjajahan kolonialisme Belanda.
Boedi Oetomo memandang bahwa intelektualitas dan budaya merupakan
bagian dari jati diri sebuah bangsa dan dari sanalah maka kebijakan dan wawasan
terhadap bangsa ditumbuhkan. Keberadaan Boedi Oetomo yang lahir pada masa
penjajahan kolonial yang berkarakter menindas, menghisap dan tidak memberikan
hak kepada kaum pribumi untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik
yang menyangkut nasib bangsanya sendiri membuat Boedi Oetomo tidak hanya
disenangi oleh kaum muda tapi juga mendapat simpati luas dari masyarakat
Hindia. Dan ketika itu, posisi pelajar menjadi tergeser oleh generasi yang lebih
tua. Dan saat kongres Boedi Oetomo dibuka di Yogyakarta, pimpinan organisasi
beralih kepada golongan tua dan terutama kaum priyayi rendahan.10
10 Suharsih, Ing Mahendra K, op.cit., Hal 55.
Banyak dari
mereka meluaskan pendidikan Barat dan terutama kepada pengetahuan terhadap
Bahasa Belanda yang merupakan sebagai suatu syarat untuk bisa memasuki
menjadi semakin lemah dan mengulang kembali sejarah terdahulu yang salah
yang meletakkan kepemimpian ditangan kaum priyayi. Bahkan sekolah-sekolah
yang didirikan oleh Boedi Oetomo pun ikut memasukkan kurikulum sekolah dasar
Belanda dengan penyesuaian pada kondisi asal murid dan mendapat subsidi dari
pemerintahan kolonial.
Setelah dua organisasi di atas, mulai menjamurlah organisasi-organisasi
modern di Indonesia. Sarekat Priyayi setelah bubar berubah menjadi Serikat
Dagang Islamiah (SDI) dengan basis utamanya kaum pedagang—yang kemudian
berkembang menjadi SI dan dalam perkembangan selanjutnya sebagai embrio dari
PKI. Organisasi ini bukan hanya sebagai wadah bagi masyarakat Pribumi untuk
melakukan perlawanan terhadap pedagang-pedagang Cina yang pada masa itu
menguasai hampir setiap pintu masuk perdagangan Nusantara. Organisasi ini juga
merupakan wadah bagi masyarakat pribumi untuk melakukan perlawanan
terhadap segala bentuk penghinaan yang dilakukan terhadap masyarakat. SI tidak
lagi bersifat elitis seperti Sarikat Priyayi. Hampir setiap lapisan masyarakat bisa
menjadi anggotanya. Dan tujuan SI didirikan pada waktu itu adalah:11
• Mengembangkan jiwa berdagang
• Memberi bantuan kepada anggota-anggotanya yang menderita
kesukaran
• Memajukan pengajaran dan semua yang dapat mempercepat
naiknya derajat bumiputera
• Menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang Islam
SI berkembang dengan sangat pesat dan mengaku memiliki 2.000.000
orang anggota sehingga menjadikannya sebagai organisasi massa yang terbesar
pada saat itu. Namun konflik internal yang ada ditubuh SI sendiri yang
menyebabkan SI terpecah menjadi dua. Adalah Semaoen, seorang buruh muda
yang bekerja di perusahaan kereta api pada saat itu yang mampu membawa SI
menjadi lebih revolusioner. SI akhirnya terpecah menjadi SI Merah dan SI Putih.
Dan diputuskan dalam kongres pada bulan Oktober 1921 bahwa yang merupakan
anggota SI tidak boleh merangkap dua keanggotaan di organisasi lainnya.
Keputusan ini akhirnya membawa anggota SI yang juga merupakan anggota PKI
dikeluarkan oleh SI. Selanjutnya, setelah perpecahan tersebut, SI Merah yang
merupakan SI yang massif menentang segala bentuk penindasan dan penghisapan
yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial, berubah nama menjadi Syarikat
Rakyat (SR).
Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua mahasiswa lulusan
STOVIA, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang
Indo (keturunan Indonesia), E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia
atau Indishe Partij (IP).12 Maka semakin maraklah organisasi-organisasi
kebangsaan yang dipelopori oleh mahasiswa. Tidak ketinggal,
mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda antara bulan Januari-Pebruari 1925
didirikan organisasi yaitu Perhimpunan Indonesia (PI)—organisasi ini merupakan
kelanjutan dari Indische Vereeniging13
12
Parakitri T Simbolon, opcit. Hal 246-247. 13
John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1938, Jakarta: LP3ES. Hal. 2.
. PI sangat dipengaruhi oleh ideologi
diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia seperti Semaoen.14
1. Hanya suatu kesatuan Indonesia yang mengesampingkan
perbedaan-perbedaan sempit dapat menghancurkan kekuasaan
penjajah. Tujuan bersama untuk membentuk suatu Indonesia yang
merdeka menuntut pembinaan tata kebangsaan yang didasarkan
kepada suatu aksi-massa yang sadar dan percaya diri.
Dalam
program perjuangannya, PI menyatakan:
2. Syarat mutlak untuk mencapai tujuan itu ialah adanya partisipasi
seluruh lapisan rakyat Indonesia dalam suatu perjuangan yang
terpadu untuk mencapai kemerdekaan.
3. Unsur yang pokok dan dominan dalam setiap masalah politik dan
penjajahan ialah konflik kepentingan antara penguasa dan yang
dijajah. Kecenderungan pihak penguasa untuk mengaburkan dan
menutupi masalah ini harus dilawan dengan mempertajam dan
mempertegas konflik kepentingan tersebut.
4. melihat adanya dislokasi dan demoralisasi sebagai akibat pengaruh
pemerintah kolonial terhadap kesehatan fisis dan psikologis dari
kehidupan orang Indonesia, diperlukan sejumlah besar usaha untuk
memulihkan kondisi rohani dan kondisi material menjadi normal.
Selain organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study
club misalnya yang terdapat di Surabaya dan di Bandung. Sekembalinya dari
Eropa, mahasiswa-mahasiswa Indonesia mulai mempraktekkan apa yang mereka
pelajari untuk dapat diterapkan di Indonesia sesuai dengan geo-politik Indonesia
pada saat itu. Berjamurlah study clubs saat itu. Study Club yang ada di Bandung
dengan nama Algemeene Studie Club didirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925
dan kemudian berkembang menjadi Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang juga
dipimpin oleh Soekarno.
Apabila kita amati, organisasi-organisasi yang dipelopori oleh mahasiswa
di atas condong kepada ideologi kebangsaan. Kerangka organisasi yang dibuat
oleh gerakan mahasiswa ketika itu tidak semata-mata hanya melibatkan
mahasiswa, tetapi berusaha melibatkan massa rakyat secara luas untuk
kepentingan kemerdekaan, bahkan sudah sampai pada pendirian partai politik.
Dalam kerangka gerakan, konsep yang dibangun oleh mahasiswa-mahasiswa
ketika itu untuk membangun format gerakan adalah tepat, bahwa tulang punggung
dari gerakan adalah massa rakyat yang terlibat aktif dalam organisasi modern.
Sikap sektarian, dalam artian hanya melibatkan mahasiswa dalam gerakan
pembebasan nasional tidak terjadi, tetapi yang tumbuh adalah sikap kebangsaan
untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Sejarah juga mencatat bahwa pada masa pendudukan Jepang organisasi
pemuda yang ada dibubarkan dan pemuda dimasukkan ke dalam; Seinendan
dan Keibodan (Barisan Pelopor) dan PETA (Pembela Tanah Air) untuk dididik
politik untuk kepentingan fasisme. Yang menjadi topik menarik pada zaman ini
adalah ramainya bermunculan Gerakan Bawah Tanah (GBT) dengan rapat-rapat
gelap, dan penyebaran pamflet. GBT ini dikombinasikan dengan gerakan legal
jalan keluar yang mencekam dan tidak memassa. Tingkat kesadaran massa untuk
mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner. Penguasa
baru ini melarang semua kegiatan yang berbau politik, dan membubarkan semua
organisasi pelajar dan mahasiswa, serta partai politik. Banyak perguruan tinggi
juga ditutup. Karena kondisi yang lebih represif itu, mahasiswa memilih
melakukan kegiatan berkumpul dan berdiskusi di asrama-asrama. Tiga asrama
yang terkenal dalam sejarah kemerdekaan adalah Asrama Menteng Raya, Asrama
Kebon Sirih, dan Asrama Cikini. Para mahasiswa inilah yang kemudian menjadi
pemuda generasi ’45, yang bangkit merebut dan mempertahankan kemerdekaan
dengan cara pemuda.
Masa 1945-1950 merupakan momentum yang penting dalam gerakan
pemuda dan pelajar: selain melucuti senjata Jepang, juga memunculkan
organisasi-organisasi seperti: Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda
Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI),
Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi.
Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar, yang berbentuk federasi,
diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II (1946). Dan
Gerakan Pemudalah yang berhasil mendesak Soekarno-Hatta melalui penculikan
untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan RI.
Dalam situasi seperti inilah gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali.
Gerakan mahasiswa yang timbul pasca revolusi didasari pada ideologi yang
berbeda-beda. Pada tanggal 5 Februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan
Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan kemudian disusul
dengan pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
(PMKRI).15 Organisasi-organisasi mahasiswa ini mengunakan ideologi agama—
Islam atau Katolik/Kristen. Kemunculan organisasi-organisasi yang berideologi
agama ini sebetulnya mengikuti kemunculan partai politik yang seideologi yaitu
Masyumi ( 7 Nopember 1945)—yang berideologi Islam dan Partai Katolik ( 8
Desember 1945)—yang berideologi Katolik.16
Pada masa demokrasi terpimpin, organisasi-organisasi yang berafiliasi
dengan partai politiklah yang banyak meramaikan panggung perpolitikan. Mereka Sementara itu partai besar lainya
yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) mempunyai ormas mahasiswa Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri pada tanggal 23 Maret 1954,
sedngkan Partai Komunis Indonesia (PKI) membangun ormas mahasiswa yaitu
Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).
Selain organisasi yang didasarkan pada ideologi tertentu, juga banyak
bermunculan organisasi mahasiswa yang berdasarkan profesi dan komunitas.
Dalam kategori ini, kita dapat mengambil contoh Perhimpunan Mahasiswa
Kedokteran Hewan (PMKH) di Bogor, Perhimpunan Mahasiswa Djakarta (PMD),
Perhimpunan Mahasiswa Jogyakarta (PMJ), Masyarakat Mahasiswa Malang
(MMM). Kemudian di UGM pada tanggal 11 Januari 1950 terbentuk Dewan
Mahasiswa (DM) yang merupakan lembaga mahasiswa tingkat universitas, dan
kemudian diikuti dengan berdirinya Dewan Mahasiswa di UI pada 20 Nopember
1955.
15
Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Jakarta: Lingkar Studi Indonesia, hal.84.
saling berlomba-lomba, adu program untuk mendapatkan basis massa yang besar.
Pertarungan semakin ramai ketika Soekarno lebih dekat pada
organisasi-organisasi yang berideologi komunis dan nasionalis radikal. Organisasi-organisasi-organisasi
mahasiswa yang berbasiskan agama—HMI, PMKRI—semakin terpinggirkan.
Pada tahun 1963, ketegangan politik di dalam kampus semakin memanas setelah
GMNI, CGMI, Germindo, Permi semakin mendominasi senat fakultas dan dewan
mahsiswa universitas di perguruan-pergurun tinggi yang ada.17Konflik yang
terjadi misalnya ketika kongres nasional keempat Majelis Mahasiswa Indonesia
(MMI) pada bulan April 1964 di Malino, dalam kongres ini GMMI memenangkan
18 dari 24 kursi esekutif. Sementara itu, kelompaok mahasiswa dari UI dan ITB
yang non-GMNI tidak mendapatkan posisi yang menyebabkan mereka menolak
hasil kongres, dan akibatnya dewan mahasiswa dari kedua universitas ini
dikeluarkan dari MMI.18 Pertentangan-pertentangan terus terjadi sampai tahun
1965. Sebuah pertarungan di tingkat fakultas misalnya terjadi di fakultas sastra UI
ketika GMNI dan sekutu-sekutunya menuntut agar senat yang baru terbentuk
dibubarkan karena terdapat unsur-unsur kontra-revolusioner seperti HMI.19
Mahasiswa yang semakin tersingkir semakin membenci konsepsi
Soekarno sendiri tentang demokrasi terpimpin, yang mereka anggap sebagai biang
keladi semakin tersingkirnya posisi mereka. Mahasiswa-mahasiswa ini, yang telah
mendapatkan pendidikan tentang demokrasi liberal, yang sayup-sayup mereka
peroleh dari barat, merasakan bahwa demokrasi tepimpin sangat merantai
kebebasan mereka, tidak sesuai dengan teori yang pernah mereka dapatkan.
17 John Maxwell, Soe Hok-Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Jakarta: Grafiti. Hal. 140.
18
Apalagi kedekatan pemerintahan Soekarno dengan Soviet maupun Cina Komunis
yang membuat gerah banyak kalangan—termasuk mahasiswa. Ruang-ruang bagi
golongan non komunis dan non nasionalisme radikal seakan-akan telah tertutup.
Golongan-golongan mahasiswa yang merasa senasib sepenanggungan ini
kemudian bersatu, mengorganisasikan di dalam kesatuan-kesatuan aksi.
Sementara itu, situasi tahun 1960-an semakin memanas dengan adanya
konfontrasi dengan Malaysia yang menyebabkan hubungan dengan negara-negara
barat—khususnya Amerika dan Inggris—semakin memburuk. Amerika yang
melihat Indonesia sebagai tempat yang strategis karena letaknya pada jalur
perdagangan internasional dan mempunyai jumlah penduduk yang besar sangat
potensial bagi pasar produk-produk Amerika. Namun, situasi yang semakin
berkembang semakin menunjukkan Indonesia semakin jatuh dalam genggaman
komunis yang selalu mengusung isu-isu anti imperialisme. Dan apabila Indonesia
sampai jatuh ke tangan kaum komunis, maka semakin sulitlah bagi bangsa-bangsa
barat untuk mendominasi ekonomi di negara-negara Asia Tenggara.
Kekuatan lain yang merasa terdesak pada masa demokrasi terpimpin ini
adalah tentara. Mereka yang sejak demokrasi parlementer merasa disingkirkan,
dalam beberapa hal memang mendukung demokrasi terpimpin yang
menguntungkan mereka. Namun, karena kedekatan Soekarno dengan kelompok
komunis, menyebabkan tentara semakin gerah karena secara ideologi mereka
sangat berseberangan dengan ideologi komunis, apalagi setelah kaum komunis
Akhirnya, ketiga kekuatan di atas—mahasiswa yang berideologi liberal,
Amerika dan tentara—bersatu ketika pecah peristiwa 30 September 1965—yang
dianggap sebagai pemberontakan PKI. Histeria anti komunis kemudian ditiupkan
keseluruh pelosok negeri, dibentuklah Kesatuan Aksi Penggayangan Gestapu
(KAP-Gestapu). Badan ini dipimpin oleh politikus NU Subchan dan aktivis
katolik Harry Tjan dengan dukungan penuh dari tentara.20 Dalam perkembangan
selanjutnya, setelah pertemuan terakhir dirumah Menteri Pendidikan Tinggi,
Brigjen. Syarief Thayep, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1965 dibentuklah
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Organisasi ini didominasi oleh
organisasi seperti PMKRI, SOMAL, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII), dan Mahasiswa Pancasila (Mapancas)—organisasi ini dekat dengan
tentara, ketuanya David Napitupulu dekat dengan Brigjen Sukendro dan Jendral
Nasution.21
20
John Maxwell, Ibid, hal.154. 21 John Maxwell, Ibid, hal 159.
Maka, sejak saat ini, pemburuan terhadap orang-orang komunis atau
simpatisanya dimulai. Inilah prestasi dari Gerakan Mahasiswa 1966, bersama
tentara dan Amarika, berhasil menggulingkan kekuasaan Soekarno dan menaikkan
Soeharto dengan tumbal jutaan rakyat yang tidak berdosa. Salah satu pimpinan
GM ’66, Soe Hok-Gie merasa ngeri sendiri setelah melihat dari
demostrasi-demontrasi pengganyangan terhadap komunis selama delapan belas bulan:
Mereka tidak bisa mengerti mengapa tiba-tiba mereka dipecat, dibunuh, diasingkan masyarakat dan diusir dari pergaulan. Dan hampir tak ada yang mau memberikan kerja baru untuk mereka karena mereka ex-SOBSI. Lowongan yang tersedia untuk mereka adalah (yang tak perlu tanda tidak terlibat Gestapu) tukang beca, kuli harian, pedagang kecil (tukang loak) dan untuk wanita babu atau pelacur (bagi yang masih muda dan lumayan wajahnya).
Di desa di aman kesempatan kerja lebih sulit biasanya mereka menjadi pedagang kecil atau lari ke kota. Saya pernah menjumpai di sebuah desa di Jawa tengah seorang istri “Gestapu” yang membuka warung kopi mulai jam 3 pagi untuk memberikan makan 9 orang anaknya. Kehidupan mereka sangat berat. Anak-anaknya juga “punya inferiority complex” karena ayahnya ada di penajara. Kesembilan anak ini tidak berani bermain-main disawah atau jalan-jalan karena “malu” diejek oleh kawan-awan sebayanya. Mereka bermain-main sesama saudara di rumah mereka sendiri. Anak-anak kecil ini telah belajar betap “pahitnya” politik.
Bagi yang keluarganya yang dibunuh keadaanya lebih parah. Mereka diam dan tak banyak berkata. Tetapi dalam hati kecilnya tumbuh dendam kebencian terhadap golongan yang telah membunuh sanak mereka. Dan saat kebencian ini kebencian akan mengambil bentuknya. Kita tidak tahu berapa jumlah mereka. Tetapi kalau kita ambil angka 300 ribu orang mati terbunuh selama masa-masa tersebut dan pembunuhan ini menimbulkan bekas pada 3 atau 4 orang sanaknya yang terdekat (istri-anak-saudara kandung, ayah) maka dewasa ini terdapat kira-kira satu juta orang yang hidup menyimpan dendam untuk masa kemudian”.22
22 John Maxwell, Ibid, hal.273.
Gerakan mahasiswa kembali memberi warna dalam ritme politik nasional
ketika di tahun 1974 mahasiswa kembali bergerak, Bandung, Jakarta, dan
Yogyakarta adalah kota dimana para mahasiswa mulai merasakan depolitisasi
yang dilakukan oleh Orde Baru. Pergolakan kembali dilakukan dengan menolak
Soeharto menjadi Presiden untuk yang kedua kali. Beberapa mahasiswa di
Pada 19 April 1978, sebagai bagian dari upaya depolitisasi kampus dan
meredam aktivitas politik mahasiswa, konsep Normalisasi Kehidupan
Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) diterapkan secara resmi
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DR. Daoed Joesoef, melalui Surat
Keputusan Menteri P dan K No. 01/V/1978. NKK/BKK ini baru diakhiri secara
formal oleh Mendikbud Prof. DR. Fuad Hassan pada 28 Juli 1990, dengan
keluarnya Surat Keputusan No. 403/U/1990 tentang Senat Mahasiswa Perguruan
Tinggi (SMPT).
Iklim politik nasional sementara itu makin menunjukkan penguatan rezim
Orde Baru, yang ditandai dengan kemenangan Golkar yang didukung militer pada
Pemilu 1971, 1977, dan 1982. Penguatan rezim Orde Baru ini diperkokoh dengan
pencanangan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh organisasi politik dan
kemasyarakatan pada 1982, penyeragaman pemahamannya sebagai ideologi
melalui Tap MPR No. II/MPR/1978, serta pemberlakuan Paket 5 UU Politik pada
tahun 1985, yang membatasi jumlah partai politik dan merampas kedaulatan
rakyat. Melalui Tap MPR No. II/MPR/1978 juga diberlakukan Penataran P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) kepada berbagai kalangan
masyarakat, birokrat sipil/militer, dengan metode indoktrinasi.
Mahasiswa dilarang berpolitik, ataupun melakukan aktivitas yang berbau
politik, kebebasan intelektual kampus di kebiri, dan kontrol yang kuat kepada
organisasi – organisasi mahasiswa diperketat. Kampus menjadi sebuah penjara
Praktis sejak diberlakukan NKK/BKK, gerakan mahasiswa “tertidur”.
Kebijaksanaan NKK/BKK ini kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud
dijabat oleh Nugroho Notosusanto, pemerintah memberlakukan transpolitisasi
yaitu ketika mahasiswa ingin berpolitik, mahasiswa harus disalurkan melalui
organisasi politik resmi macam Senat, BEM, dll, diluar itu dianggap ilegal. Dalam
kurun waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS), sehingga
aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP
yang tinggi. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin mengalami
depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya.
Implikasi konsep NKK/BKK adalah pembubaran DEMA, yang merupakan
simbol demokrasi kampus. Segala kegiatan kemahasiswaan tidak lagi dibawah
asuhan DEMA tapi langsung di bawah kontrol BKK. Alhasil semua kegiatan pun
langsung dibawah kontrol pejabat teras Universitas, Rektor dan para dosen.
Ditambah lagi salah satu peraturan dalam NKK/BKK, jabatan Pemimpin Umum
Pers Mahasiswa harus dipegang oleh dosen yang ditunjuk langsung oleh rektorat.
Yang terjadi kemudian adalah demoralisasi di tingkatan mahasiswa.
Mahasiswa dipaksa kembali ke dunia akademik --mengajar, berbangku kuliah
lagi, belajar ke luar negeri, -- membentuk NGOs yang pada tahun 1982 sudah ada
ribuan NGO, berbisnis, berkolaborasi dengan rejim dan sebagainya. NGO
menjajakan kemanusiaan borjuis-kecil --mengemis reformasi ekonomi-politik
pada rejim diktator/korup, bahkan ada yang masih bermimpi membangun pulau
luar negeri mengajarkan -- di tengah kemampuan bahasa Inggris kaum muda
yang menyedihkan-- teori-teori baru sosial-demokrasi, neo-marxis, new-left ….23
Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian. Pertama, kembali kepada
gerakan awal 1900: munculnya kembali kelompok-kelopok diskusi. Kehadiran
kelompok-kelompok diskusi inipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi,
karena apabila diketahui oleh rejim bisa berakibat fatal. Kita dapat melihat nasib
yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho24
….(kebanyakan mahasiswa) mencerahkan sel-sel otaknya dalam kelompok-kelompok studi untuk menemukan makna demokrasi (walau sering tak bisa menerima sifat blak-blakannya), makna egalitarian (walau tak bisa menerima radikalisme dalam mewujudkannya). Semua nilai-nilai budaya baru itu diserap dan dimuntahkan dalam dunia bacaan --betapa militannya mereka (yang bisa berbahasa Ingris) mencari buku-buku langka yang baru…..
dari kelompok
diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya
Ananta Toer. Rejim memang tidak ambil peduli kepada siapapun yang akan
kembali mengusik ketenangannya. Marlin menggambarkan sebagai berikut:
25
Kedua, mereka yang “melarikan” ke luar negeri setelah represi 1978
membawa ide-ide kiri baru (New Left). Teori-teori yang sebetulnya sudah usang
ini diterapkan dengan apa adanya, “seperti halnya anak kecil yang baru melihat
hal yang baru, ditiru begitu saja”. Ditengah rasa demoralisasi, mereka mengatakan
metode perjuangan harus diubah, perjungan harus melalui “pemberdayaan”
rakyat. Maka dalam kurun waktu itu beratus-ratus LSM (Lembaga Swadaya
23 John Maxwell, Ibid. 24
Bambang Isti Nugroho, seorang droup-out kelas 3 SMA, yang kemudian bekerja di fakultas MIPA UGM. Dia diadili karena memperdagangkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan menyimpan buku-buku Pram, Marxim Gorky, Frans Magnis Suseno.
Masyarakat) didirikan. Tapi dalam kenyataanya, LSM ini hanya dijadikan kedok
untuk memperoleh kekayaan pribadi dengan membuat proposal dengan kata-kata
indah, “memperjuangkan” rakyat miskin.
Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan organisasi LSM
karena bagaimanapun berpengaruh kepada gerakan mahasiswa sampai saat ini.
Berbarengan dengan terjadinya represi terhadap gerakan mahasiswa 1978, Barat
yang merupakan pusat dari kapitalisme mulai menyadari bahwa kebijaksanaan
mereka mulai menimbulkan keresahan sosial. Keadaan ini tentunya tidak dapat
dibiarkan karena apabila dibiarkan bisa menjadi picu ledak bagi perlawanan
rakyat. Maka mulailah disiapkan dana untuk membangun organisasi-organisasi
yang seolah-olah anti negara, berasal dari arus bawah,26
26 Lihat James Petras, Kritik Terhadap Kaum Post Marxis, LINK.
. Organisasi inilah yang
dipakai untuk masuk ke daerah-daerah “api” dan kemudian digunakan untuk
menjaga “api” tersebut supaya tidak membesar. Organisasi ini juga digunakan
untuk mendemoralisasi perlawanan rakyat. Lembaga-Lembaga Swadaya
Masyarakat ini mempunyai hubungan simbiosis mutualisme dengan kapitalis
internasional. Kapitalis butuh LSM untuk mencegah terjadinya konflik sosial,
sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk memperbesar “perut” mereka. Sampai
saat ini menjadi anggota LSM adalah kecenderungan mantan aktivis mahasiswa
yang sudah selesai kuliah. Ini terjadi karena perspektif ideologi mereka lemah –
setelah selesai studi di universitas berarti sudah tidak pantas lagi terlibat aktif
dalam gerakan mahasiswa – padahal apabila mereka mempunyai kesadaran
Walau bagaimanapun ketatnya rejim berusaha “memagari” gerak
mahasiswa, lambat laun mahasiswa bisa lepas juga dari kungkungan yang ada.
Perlahan namun pasti, mahasiswa yang mempunyai kesadaran politis, keluar dari
“ruang-ruang” diskusi dan kembali mulai turun ke jalan. Seperti yang dijelaskan
diatas, gerakan mahasiswa mengambil strategi “melingkar”, melakukan aksi-aksi
advoksi terhadap kasus-kasus rakyat, hal ini mengingat depolitisasi kampus yang
amat kronis. Gerakan mahasiswa mencoba menyadarkan mayoritas mahasiswa
yang terkena trauma dan mengalami depolitisasi dengan menunjukkan
realitas-realitas yang ada di masyarakat, bahwa penindasan, pelanggaran HAM,
kesewenang-wenangan dilakukan oleh penguasa. Memang dalam kurun waktu ini
banyak kasus-kasus seperti penghapusan becak dan angling darmo, pengusuran
tanah, masalah perburuhan, pem-PHK-an yang kesemuanya tanpa perlawanan
pihak yang ditindas.
Strategi “melingkar” ini memang berhasil – walaupun tidak maksimal,
seperti yang dijelaskan diatas, kampus tidak mampu untuk diliberalisasikan --
mengusik hati para mahasiswa yang masih ada di dalam kampus untuk kembali
terlibat dalam gerakan-gerakan mengkritisi, menentang kebijaksanaan penguasa.
Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa “ilegal” bagi rejim. Ini
merupakan perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa
akhir 1986–1990, yang berupa komite-komite aksi. Gerakan mahasiswa mencoba
melakukan konsolidasi ditingkat nasional dan mulai mempermanenkan organ
yang ada. Di Yogyakarta muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta
di Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM), dan
organ-organ lain di Jakarta, Bandung, Solo, Semarang.
Dalam periode diatas, pers mahasiswa juga memberikan sumbangan yang
cukup besar dalam menumbuhkan semangat demokratisasi. Ditengah membeonya
pers-pers umum, pers mahasiswa berani muncul sebagai pers alternatif dalam
melihat kondisi yang terjadi di Indonesia. Kritik-kritik pedas dan bahkan
dilakukan secara terus terang terhadap rejim Soeharto seringkali membuat gerah
pengguasa, sehingga banyak pers-pers mahasiswa yang ditutup oleh penguasa
lewat tangan rektorat.
Sejak munculnya organisasi-organisasi diatas, gerakan mahasiswa semakin
menguat. Aksi-aksi mahasiswa mulai membesar kembali, energi perlawanan
mahasiswa timbul kembali. Di Yogyakarta pertengahan tahun 1992, 12 ribu
mahasiswa Universitas Gajah Mada dan universitas lain di Yogya didampingi
rektor UGM -- Prof. Koesnadi Harjosoemantri -- melakukan rally dari kampus
UGM menuju DPRD I Yogyakarta, memprotes diberlakukanya Undang-undang
Lalu Lintas No. 14/1992. Tahun 1993 ribuan mahasiswa – mayoritas mahasiswa
Islam – menduduki Gedung DPR/MPR, menuntut SDSB dihapuskan. Menteri
Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata mencabut
pemberlakuan SDSB di depan anggota DPR sementara diluar gedung, ribuan
mahasiswa terus menjalankan aksinya.
Satu tahun kemudian, mahasiswa diberbagai daerah memprotes
dibredelnya Tempo, Detik, dan Editor. Beberapa aksi direpresif oleh militer,
berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung Pandang, mahasiswa yang
memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh militer,
sekitar 7 mahasiswa tewas dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan
solidaritas di kalangan mahasiswa lain di berbagai daerah, seperti Jakarta,
Surabaya, Lampung, Yogyakarta, Solo, Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat
terjadi bentrokan dengan militer.
Sentimen anti kediktoran rejim Orde Baru Soeharto mulai meluas.
Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh. Jaringan
dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat dan sektor
masyarakat. Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul
sebagai pendorong utama untuk memaksakan keterbukaan dengan mulai
terangkatnya isu perburuhan dan tani (pertanahan). Unsur-unsur demokratik dan
kerakyatan dalam perlawanan telah mampu berkembang dan berdiri di garda
depan, baik dalam skala sektoral maupun wilayah tertentu.
Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor
kampus. Sebelumnya selama kurun waktu 1979-1995 hanya ada lembaga
mahasiswa formal yang diakui oleh pemerintah, yaitu Senat Mahasiswa Perguruan
Tinggi (SMPT). Tahun 1995 mulai dirintis berdirnya kembali Dewan Mahasiswa
(Dema), yang sejak diberlakukannya NKK/BKK dimatikan keberadaannya. Maka
muncullah Dema UGM, Dema UI, Dema USD. Namun sebelum konsolidasi ini
selesai, meletuslah peristiwa 27 Juli 1996. Setelah “Peristiwa Sabtu Kelabu”,
rejim Soeharto memburu-buru aktivis mahasiswa radikal dan aktivis PRD yang
dapat dikatakan gerakan mahasiswa tiarap. Kalaupun ada aksi, hanya sebatas
dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa radikal dengan kembali memakai
komite aksi yang bersifat “musiman” untuk terus melakukan perlawanan.
Sejak September 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia, nilai
rupiah melemah terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai
merangkak naik, banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh
yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama
mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang
tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut.
Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan
tuntutan-tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok
mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan
tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi
ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin
memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran
“ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang
semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun.
Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tuntutan
yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan
Aspinal tentang tuntutan mahasiswa yang semakin politis:
Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang,
menuntut dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi.
sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran
gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11
Maret).27
Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan
kualitatif gerakan mahasiswa naik secara dratis, dengan tuntutan yang sudah
politis. Di kampus UI, Depok, dari tanggal 19-26 Maret terjadi aksi besar yang
hampir menyamai aksi di tahun 1966 28. Pada hari terakhir Sidang Umum MPR
1998, di Yogyakarta, sebuah patung raksasa berwajah Soeharto dibakar oleh para
demonstran, sekitar 50 ribu mahasiswa memenuhi Balairung UGM dalam aksi
tersebut. Pada hari yang sama juga terjadi aksi-aksi di Solo, Surabaya, Malang,
Manado, Ujung Pandang, Denpasar, Padang, Purwokerto, Kudus 29
Dalam perkembangannya aksi-aksi mahasiswa semakin radikal.
Diberbagai wilayah terjadi bentrokan antara demostran dengan militer. Di
Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus Universitas Lampung, pada
tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara mahasiswa-- yang ingin
melanjutkan rally keluar kampus-- dengan militer. Sementara di Yogyakarta,
tanggal 2 - 3 April bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang
pada tanggal 13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer
sampai ke dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM dikusai oleh militer. Di
Medan juga terjadi bentrokan serupa, dalam aksi tanggal 24 April demosntran
melempari militer dengan molotov, akibatnya kampus Universitas Sumatera
Utara (USU) diliburkan beberapa hari. Pada bulan Mei aksi-aksi mahsiswa .
27
The Indonesia Student Uprising of 1998, Edwad Aspinal . 28
semakin bertambah banyak, kampus-kampus yang selama ini apolitis ikut terlibat
dalam aksi-aksi. Peristiwa paling tragis terjadi tanggal 12 Mei ketika terjadi aksi
di Universitas Trisakti, Jakarta, 6 mahasiswa gugur diterjang peluru militer.
Peristiwa ini kemudian menyulut perlawanan dari sektor rakyat lain, tanggal
13-14 Mei Jakarta lumpuh total dengan adanya kerusuhan masal. Sementara pada
peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi bentrokan di Jakarta,
Medan, Yogyakarta, Jember, Malang dan beberapa kota lain. Antara tanggal 1
Maret sampai 2 Mei tercatat 14 bentrokan antara mahasiswa dan militer yang
terjadi di Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok. Ketika hari-hari terakhir Soeharto
akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa, ratusan ribu mahasiswa
menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari
sebelum Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa
Yogyakarta -- memenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur.
Masa-masa ini merupakan masa-masa yang revolusioner bagi gerakan
mahasiswa. Aksi-aksi mahasiswa dibeberapa tempat bahkan sudah menguasai
RRI seperti yang terjadi di Surabaya, Semarang, Padang. Sementara di Medan,
mahasiswa menguasai bandar udara. Dapat dikatakan aktivitas penerbangan,
terutama penerbangan internasional, lumpuh total. Dalam kurun waktu ini juga
bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa, besar maupun kecil. Namun
sayangnya gerakan yang sudah membesar ini hanya mampu menghasilkan
pengalihan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie. Kelemahan-kelemahan apa
yang menyebabkan gerakan mahasiswa gagal melakukan perubahan total, nanti
Setelah berhasil “melengserkan” Soeharto, secara kualitatif dan kuantitatif
gerakan mahasiswa menurun, hampir 6 bulan gerakan seperti tenggelam tertelan
tanah. Gerakan kembali bangkit mendekati Sidang Istimewa MPR, pertengahan
Nopember. Pada tanggal 13-14 Nopember 1998 aksi besar-besaran terjadi di
Jakarta. Sekitar satu juta mahasiswa dan rakyat berkumpul didepan kampus
Universitas Atmajaya, Jakarta. Mereka akan melakukan rally ke gedung
DPR/MPR. Kemudian meletuslah insiden Semanggi, ketika mahasiswa yang akan
meninggalkan Universitas Atma Jaya ditembaki oleh militer, korban kembali
berjatuhan. Gerakan kali ini disokong penuh oleh rakyat – disamping rakyat
terlibat aktif dalam aksi-aksi, ikut membuat barikade, mengejar pamswakarsa,
juga memberikan bantuan logistik --, kerusuhan seperti Mei tidak terjadi karena
mahasiswa berhasil memimpin. Gerakan tidak hanya terjadi di Jakarta, dibeberapa
daerah seperti Yogyakarta, markas militer seperti Korem sempat dikuasai
mahasiswa selama beberapa jam, sementara di tempat lain mahasiswa berhasil
memaksa RRI menyiarkan tuntutan-tuntutan mereka. Represi memang hanya
terjadi di Jakarta, sedangkan gerakan di daerah tidak mengalami represi, secara
kualitatif dan kuantitatif gerakan di daerah juga tidak membesar seperti di bulan
Mei ’98. Kembali tuntutan mahasiswa seperti cabut Dwi Fungsi ABRI, Tolak SI
dan pemerintahan transisi belum berhasil digolkan.
Merujuk pada masalah diatas, penulis tertarik untuk menganalisa lebih
mendalam mengenai gerakan perlawanan mahasiswa dalam merubuhkan simbol
kediktatoran pada masa Orde Baru. Gerakan yang secara spontan terjadi pada
masa tersebut terjadi juga karena momentum dimana ketika itu krisis ekonomi
ini. Segala kebijakan ekonomi yang ditetapkan oleh Soeharto menjadi boomerang
kembali kepadanya dengan hadirnya perlawanan dari semua basis-basis massa
yang dipelopori oleh mahasiswa. Meskipun masih bersifat momentuman,
sektarian dalam artian hanya didominasi oleh kaum intelektual kampus dan tidak
melibatkan massa rakyat luas tapi gebrakan dari gerakan ini mampu
mengantarkan Indonesia ke dalam suatu system pemerintahan baru yakni
reformasi dan menjatuhkan symbol kediktatoran selama 32 tahun. Namun strategi
taktik seperti apa yang telah dilakukan oleh mahasiswa pada masa itu serta
bagaimana peran, keterlibatan dan keberpihakan Negara pada mahasiswa?
2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, Penulis merumuskan masalah
penelitiannya sebagai berikut:
a. Bagaimana deskripsi sejarah gerakan mahasiswa Indonesia pada
masa Orde Baru periode 1998.
b. Bagaimana analisis politik gerakan mahasiswa sebagai gerakan
3. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Membuat gambaran gerakan mahasiswa Indonesia pada periode
1998.
b. Menganalisis perlawanan gerakan mahasiswa sebagai gerakan
social melawan Negara.
4. MANFAAT PENELITIAN
Disamping tujuan yang hendak dicapai maka suatu penelitian harus
mempunyai manfaat. Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Manfaat Praktis, bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk
mengembangkan kemampuan penulis dalam membuat karya ilmiah
dalam menganalisis kondisi social masyarakat.
2. Manfaat Akademis, bagi FISIP USU, khususnya Departemen Ilmu
Politik, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi perkembangan ilmu sosial secara umum dan secara khusus.
3. Manfaat praksis, penelitian ini bermanfaat sebagai sebuah
konsumsi dan referensi bagi gerakan sosial mahasiswa dan gerakan
5. KERANGKA TEORI
Kerangka teori diperlukan dalam setiap penelitian untuk memberikan
landasan teoritis bagi penulis dalam menyelesaikan masalah dalam proses
penelitian.30 Kerangka teori juga membantu seorang peneliti dalam menentukan
tujuan dan arah penelitian serta sebagai dasar penelitian agar langkah yang
ditempuh selanjutnya dapat jelas dan konsisten.31 Dekripsi teori disini
menerangkan tentang variable yang diteliti, baik yang bersifat deskripstif (satu
variable) atau lebih dari dua variable (hubungan, pengaruh dan komparatif)32
Kerangka teori berisi uraian tentang telaahan teori dan hasil penelitian
terdahulu yang terkait. Telaahan ini bisa dalam arti membandingkan,
mengkontraskan atau meletakkan tempat kedudukan masing-masing dalam
masalah yang sedang diteliti, dan pada akhirnya menyatakan posisi atau pendirian
peneliti disertai dengan alasan-alasannya. Dan bukan bermaksud untuk
memamerkan teori dan hasil penelitian ilmiah para pakar terdahulu dalam satu
adegan verbal sehingga pembaca ‘diberitahu’ mengenai sumber tertulis yang telah
dipilih oleh peneliti. Hal ini juga dimaksudkan untuk menampilkan mengapa dan
bagaimana teori hasil penelitian para pakar terdahulu digunakan peneliti dalam .
38
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, hal. 21.
31 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1990, hal. 65.
32
penelitiannya, termasuk dalam merumuskan asumsi-asumsi dalam
penelitiannya.33
5.1 Teori Demokrasi dan Demokratisasi
Teori-teori atau tinjauan pustaka yang dipakai oleh penulis sebagai
landasan berfikir dan titik tolak menyoroti masalah yang diteliti adalah sebagai
berikut:
Demokrasi bukanlah sebatas dunia politik, tetapi juga harus diberlakukan
dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kerja-kerja pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari. Dalam bekerja, dalam menentukan produksi, dan hal-hal yang
selama ini dianggap rutin dan remeh-temeh yang justru sebenarnya adalah
penentu keberadaan manusia di dunia ini.
Dalam perkembangannya begitu banyak para ahli yang memberikan
definisi yang beragam mengenai demokrasi. Menurut Abraham Lincoln
demokrasi merupakan sistem dimana ada pemisahan antara eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Demokrasi merupakan sistem dimana rakyat bebas mengeluarkan
pendapatnya. Abdul Ghani Ar Rahhal di dalam bukunya, Al Islamiyyun wa Sarah
Ad Dimuqrathiyyah mendefinisikan demokrasi sebagai “kekuasaan rakyat oleh
rakyat”. Rakyat adalah sumber kekuasaan. Menurut Robert Dahl, Demokrasi
adalah suatu sistem politik dimana para anggotanya saling memandang antara
yang satu dengan yang lainnya sebagai orang-orang yang sama dipandang dari
segi politik, dan mereka itu secara bersama-sama adalah berdaulat,dan memiliki
33
segala kemampuan, sumberdaya dan lembaga-lembaga yang mereka perlukan
demi untuk memerintah diri merekas sendiri. Dan lain sebagainya para ahli
mengemukakan teori mereka tentang demokrasi yang pada hakikatnya memiliki
nilai atau esensi yang sama mengenai kekuasaan dan kedaulatan yang seutuhnya
ditangan rakyat.
Demokrasi sering dikaitkan dengan pola pemerintahan dalam Athena, dan
polis-polis lainnya di Yunani. Bahkan kata demokrasi inipun dari kata Yunani
demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan). Masyarakat Athena dan polis-polis
lainnya adalah masyarakat yang terlibat dalam persaingan-persaingan ekonomi
yang kemudian melahirkan konflik-konflik bersenjata. Kenyataan sejarah seperti
inilah yang mengkondisikan pembentukan sebuah organisasi masyarakat yang
bernama polis itu sendiri, di mana segala persoalan-persoalan publik dibicarakan
dalam forum-forum yang melibatkan anggota masyarakat. Bentuk seperti ini akan
menjamin tersedianya angkatan perang untuk membela kota mereka ataupun
menyerang kota lain.
Pada awalnya, para tuan tanah merupakan penduduk asli daerah tengah
perkotaan. Lalu perdagangan telah dibangun, harga-harga tanah melambung tinggi
dan para tuan tanah menggunakan posisinya untuk mengontrol pemasaran hasil
produksi dan sudah barang pasti mereka menggunakan posisi dominan mereka
untuk meminjamkan bibit kepada penduduk-penduduk miskin yang tinggal
dipinggiran dan untuk menambah perbudakan.Semua Negara kota di Yunani dan
Romawi dijalankan atas dasar dan prinsip yang sama, seluruh penghuni Negara
tapi sebenarnya terbelah didalam dirinya sendiri, dibedakan menjadi dua kaum:
antara wargakota dan budak.
Warga kota yang miskin (mereka disebut Plebeian dalam bahasa Romawi )
sama sekali tidak memiliki hak-hak politik. Perjuangan mereka adalah perjuangan
politik, perjuangan untuk meraih posisi yang dapat penentu kebijaksanaan di
negara-kota mereka. Kemenangan demokrasi tak terelakkan di Athena, hal ini
terjadi setelah warga negara kota yang miskin mampu memenangkan perang laut
di Salamis melawan orang persia yang ingin merebut kota itu. Meskipun mereka
terlalu miskin untuk mempersenjatai diri mereka sendiri, mereka menyediakan
pendayung-pendayung yang handal kepada Armada Laut Athena. Sebuah
persatuan yang rapuh telah tebentuk antara warga negara yang kaya dan yang
miskin melalui ekspansi keluar dan penaklukan budak-budak. Kemudian
penduduk yang miskin tidak terlalu tertekan, karena orang-orang kaya memiliki
cadangan tenaga kerja.
Tapi Demokrasi Athena –Demokrasi untuk warga kota – berbasiskan pada
eksploitasi terhadap kaum-kaum non warga kota: yaitu para budak yang tidak
memiliki hak-hak politik. Demokrasi Athena sebenarnya adalah sebuah
mekanisme untuk memaksakan kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa
kepada kaum-kaum yang tertindas dan untuk mempertahankan
kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa di dalam perang.
Negara berpihak kepada kaum yang berkuasa, struktur masyarakat berdiri
di atas kerja kaum budak –semua perkembangan pesat dalam bidang seni, budaya
menyebabkan para pemilik budak memiliki banyak waktu untuk istirahat,
masyarakat kemudian berkembang. Namun model demokrasi kuno yang ada di
awal peradaban ini tidaklah dapat dikatakan sebagai demokrasi sejati yang
meletakkan kepentingan mayoritas diatas minoritas.
Dalam perkembangan masyarakat manusia, telah berulang kali bagian
terbesar masyarakat dipaksa untuk tunduk baik secara kesadaran maupun karena
penggunaan alat-alat kekerasan seperti senjata. Tak jarang penggunaan kekerasan
sebagai alat pemaksa kehendak dilakukan karena kehendak minoritas masyarakat
memang bertentangan dengan kebutuhan mayoritas masyarakat.
Sering kali, sebuah tirani hanya terfokus pada satu orang diktator, seorang
tiran. Namun kenyataan yang terjadi selama berkuasanya sang Tiran tersebut, ia
hanyalah perwakilan ataupun penampakan dari sekelompok minoritas yang ingin
mendapatkan hak-hak khusus di atas penindasan terhadap mayoritas rakyat.
Bagi sebagian besar orang Eropa di bawah Imperium Romawi, Julius
Caesar adalah seorang tiran. Legiun-legiunnya yang membawa pedang dan
tameng merah sangat efektif menaklukkan suku-suku primitif di dataran Eropa
Barat. Sistem pajak dan kerja paksa diberlakukan tanpa perlawanan yang berarti.
Tapi apakah Julius Caesar bertindak atas kehendaknya sendiri? Dari mana asalnya
para legiuner-legiuner, perwira-perwira, dan jendral-jendral pasukan Romawi
yang tak terkalahkan itu? Sangat jelas, mereka adalah orang-orang yang dibiayai
ataupun memang berasal dari keluarga-keluarga tuan tanah di Roma. Caesar
berkuasa atas dukungan Senat, sebuah badan permusyawaratan kaum patricia
kemudian menghasilkan pajak dan budak, mustahil Romawi dapat berkembang.
Dan para patricia pemilik colonate (perkebunan besar) pun akan kesulitan
memperkaya diri karena mereka akan selalu membutuhkan budak-budak untuk
mengerjakan colonate mereka.34
Menurut Dahl, negara yang demokratis tidak hanya mengakomodasi
kompetisi politik secara ekstensi dan partisipatif, namun juga terdapat kebebasan
berbicara didalamnya, pers serta pluralisme yang memudahkan rakyat untuk
membentuk dan mengekspresikan pilihan-pilihan politik mereka dalam sebuah Gubernur-gubernur jendral Hindia Belanda juga memiliki latar belakang
yang sama. Di tanah jajahan mereka adalah tiran, yang menggunakan bala tentara
untuk menaklukan perlawanan-perlawanan reaksioner dan sia-sia para bangsawan
Jawa dan untuk memastikan rakyat jajahan membayar pajak tanah dan pajak
kepala. Tetapi siapakah pendukung mereka sebenarnya di tanah jajahan, apakah
para prajurit “londo” dan setengah “londo”? Mereka adalah justru orang-orang
yang dipaksa secara ekonomi menjadi prajurit di tanah air mereka. Pendukung
kebijakan-kebijakan para gubernur jendral adalah para pemilik (perampas tanah)
perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik baik di tanah jajahan ataupun negara
induk mereka. Gubernur Jendral Hindia Belanda adalah wakil dari minoritas
masyarakat Belanda, para bangsawan dan pemilik moda