• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahasiswa Dan Politik: Suatu Analisa Gerakan Sosial Mahasiswa Melawan Politik Hegemoni Negara Orde Baru 1998

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Mahasiswa Dan Politik: Suatu Analisa Gerakan Sosial Mahasiswa Melawan Politik Hegemoni Negara Orde Baru 1998"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara

MAHASISWA dan POLITIK:

SUATU ANALISA GERAKAN SOSIAL MAHASISWA MELAWAN POLITIK HEGEMONI NEGARA ORDE BARU 1998

D I S U S U N OLEH

ASINA ULI SINAGA 040906077

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk diuji dan dipertahankan.

Nama : Asina Uli Sinaga

NIm : 040906077

Departemen : Ilmu Politik

Judul : “ MAHASISWA dan POLITIK: SUATU ANALISA

GERAKAN SOSIAL MAHASISWA MELAWAN POLITIK HEGEMONI NEGARA ORDE BARU 1998 “

Medan, Desember 2008

Ketua Departemen Ilmu Politik

( Drs. Heri Kusmanto, MA ) NIP. 132 215 084

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

( Drs. Anthonius P.Sitepu ) ( Warjio S.S, MA )

NIP. 131 485 245 NIP. 132 316 810

Dekan

(3)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini merupakan sebagian dari hasil diskusi dan pengamatan yang

dilakukan oleh penulis terhadap gerakan mahasiswa pada saat ini. Ketertarikan

penulis membahas penelitian ini adalah untuk mengeksplorasikan bahwa negara

telah kehilangan fungsi sosialnya dan lebih dominan pada fungsi ekonomi

sehingga menyingkirkan faktor utama terbentuknya ( melahirkan ) negara yaitu

rakyatnya. Gerakan yang dilakukan secara sadar dan terorganisir oleh mahasiswa

selama ini adalah salah satu dari bentuk pengapresiasian diri dan perlawanan

terhadap rezim yang memangkas hak berpolitik rakyat dalam melihat realita

kondisi basis material massa rakyat.

Selain itu dalam skripsi ini juga menjelaskan bagaimana perlawanan yang

dilakukan oleh mahasiswa pada masa Orde Baru tahun 1998 yang dapat

merobohkan simbol kediktatoran Soeharto. Gerakan mahasiswa mampu

mengganti era kepemimpinan otoritarian dengan era reformasi. Meskipun secara

kenyataannya, era reformasi yang dijalani sekarang belumlah membawakan hasil

apa-apa bagi perubahan kesejahteraan rakyat.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna. Namun karena

waktu yang mendesak untuk menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu

syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Ilmu Politik bagi penulis. Karenanya

peneliti berharap mendapatkan masukan, kritik atau apapun namanya yang

sifatnya membangun intelektualitas yang berkarakter kerakyatan.

Medan, 10 Desember 2008

(4)

Ucapan Terima Kasih

Ketika seorang bayi mampu berteriak dengan tangisannya yang melengking dan membuat pekak telinga karena haus dan lapar akan air susu ibunya, maka hal yang sama pun dapat dilakukan oleh seorang mahasiswa yang juga haus dan lapar akan kembalinya hak berpolitik mereka dan rakyat pada umumnya. Seharusnya seorang mahasiswa mampu dan sudah cukup mapan menjadi seorang kaum pelopor yang tangguh di antara basis massa rakyat. Karena keintelektualan dan kecerdasan yang dimiliki oleh mahasiswa sejatinya nanti akan dipergunakan oleh kaum pemilik modal sebagai seorang buruh. Atau dengan bahasa yang sedikit mengangkat martabat karena begelar sarjana, karyawan atau pegawai. Dengan dilemma yang dihadapi oleh kaum intelektual ini maka sudah sepantasnya mahasiswa dapat bangkit dari keterpurukannya dan melakukan gejolak perlawanan untuk merebut kesejahteraannya sendiri dari tangan kaum pemilik modal.

(5)

Yang kukagumi dan kukasihi orang tuaku (S. Sinaga dan N. br Nainggolan) yang telah mengajarkan kepadaku bagaimana seharusnya aku menghadapi gejolak hidup ini. Aku sangat berterima kasih atas semua yang telah kalian lakukan selama 22 tahun ini. Banyak sudah rintangan dan hambatan yang ada selama ini dalam keluarga kita. Dan kuharap ini menjadi satu motivasi bagiku untuk tetap berkarya agar dapat membanggakan kalian. Aku juga berterima kasih atas pengertian yang telah kalian berikan selama aku mengikuti gerakan ini. Aku tahu sedikit banyak pasti mengecewakan harapan kalian. Tapi yakinlah bahawa apa yang kulakukan selama ini juga untuk kalian. Perubahan dan ideology yang kuyakini dan kupegang ini akan kupertahankan hingga aku tidak lagi bisa berkata dan berbuat apa-apa lagi. Doakan jalanku ini ya Pak, Ma…

Yang kusayangi dan selalu kurindukan adik-adikku (Bob, Maria, Dewi). Terima kasih atas dorongan dan semangat yang luar biasa besar yang telah kalian berikan selama ini. Mungkin aku bukan kakak yang baik yang pernah kalian miliki. Tapi dengan kesadaran itu aku ingin mencoba menjadi yang terbaik yang pernah kalian miliki. Agar kelak nantinya kalian akan dapat bercerita dan membanggakanku di depan semua saudara dan teman-teman kalian. Untuk Bob, cepat tamatkan kuliahmu ya, Dek. Gantikan posisiku yang saat ini belum mampu untuk menanggung jawabi keluarga kita. Untuk Maria, jangan bandel lagi ya. Juga cobalah untuk lebih sabar dalam bertindak. Untuk Dewi, pudanku, jangan banyak kali keluyurannya. Cepat-cepat tamat sekolah terus kuliah. Biar bisa buat bangga. Ingat perjuangan yang udah dilakukan boz untuk kita. Tidak ada lagi jalan lain untuk kita selain membuat orang-orang yang menganggap remeh boz selama ini jadi tunduk malu dan bersujud minta maaf selain dengan prestasi yang selama ini telah kita ukir. Ini sudah jadi kesepakatan kita kan dek?

Saya juga tidak luput mengucapkan terimakasih kepada:

 Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP-USU) Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA.

 Ketua Departemen Ilmu Politik Drs. Heri Kusmanto.

(6)

 Warjio S.S, MA sebagai dosen pembaca.

 Seluruh Pegawai FISIP-USU ( terutama Bang Rusdi Yang Baek Hati, luar biasa support dan bantuan abang. Maaf sampai merepotkan abang pagi-pagi sekali di hari Sabtu, semoga sukses juga Bang . Dan kak Uci yang udah membantu percepatan administrasi saya ).

 Untuk kawan-kawan Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM) Se-Indonesia mulai dari nasional hingga ke daerah.

 Untuk kawan-kawan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Politik Rakyat Miskin (LMND PRM) mulai dari nasional hingga eksekutif komisariat. Terutama untuk Surya, maaf ya Sur bukan gak mau balas sms tapi aku kemarin sedang cuti. Jadi agak takut dimarahin. Heheee…

 Untuk kawan-kawan PPRM yang ada di Sumut ini terutama: Johan, Ida, Zoel, Irink, Ruslan, Nenni, Joni Nias, Pak Edi, Melli, Suci, Satria, Siti, Ucay, Muktar, Yudi, Niko, Aii, Pendi dan Lilis, Yohani, Heri “Adit”, Gomen, Toni, Budi, Evi, Iwan Dundung, Bang Supron dan keluarga, Bang Saino, Bang Maulana, Indra, Kak Hilda, Ozi dan Fitri, kawan-kawan buruh di Medan Deli, kawan-kawan kelompok tani KTB, KTTM, KTM, KTPHS dan lainnya yang tidak dapat aku sebutkan satu per satu. Terima kasih karena kalian telah mengajarkan aku untuk tetap berada di garis massa dan tetap mengabdi di barisan rakyat miskin.

 Untuk keluarga besar Sinaga (Bapatua (Alm.), Inangtua, Bang Patar, Meylin dan keponakan baruku Johan, Namboru dan AmangBoru di Tolping serta keluarga besarnya, Bapatua (Alm.) dan Inangtua Ikkut di Nainggolan serta keluarga besarnya, Namboruku Mawan (Alm.), Bobo maaf kemarin aku gak datang, Bapatua dan Inangtua Togi).

 Untuk keluarga besar Nainggolan (Bapatua (Alm.) dan Inangtua (Alm.) Ani, Tulang dan Nantulang Nelly, Tulang dan Nantulang Sanny, Inangtua dan Bapatua Mei, Inangtua dan Bapatua Sandro, Inanguda dan Bapauda Agus, Inanguda dan Bapauda Dira, Tulang dan Nantulang Andre).

(7)

yang aneh-aneh. Juga semua tetangga yang ada di Pekanbaru dan keluarga tetangga yang ada di jalan Nenas dulu.

 Untuk kawan-kawan kos Mamre: ada Ivan (Pak Harapan), Kang Ipul (Garuda), Maria, Hendrik, Beny “Riko”, Ony, Vera, Sarma, Mpok Ibe, Kak Fatima dan Espol (Eks Mamre), Anton Penjaitan yang ngebet ma adekku. Ayo kita tek-tek an makan pizza lagi….

 Untuk kawan-kawan ilmu politik mulai dari angkatan 01-08. Terutama untuk kawan-kawan 04 dan 05..

 Dan kawan yang tidak tersebutkan satu persatu namanya saya mengucapkan ribuan terimakasih atas segala dukungan, doa, saran dan masukannya…..!!!

(8)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Ucapan Terima Kasih ... ii

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... viii

Abstraksi ... ix

BAB I : PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ... 1

2. Perumusan Masalah ... 28

3. Tujuan Penelitian ... 29

4. Manfaat Penelitian... 29

5. Kerangka Teori ... 30

5. 1. Teori Demokrasi dan Demokratisasi ... 31

5. 2. Teori Negara ... 39

5. 3. Teori Gerakan Sosial ... 47

6. Metode Penelitian ... 51

6. 1. Jenis Penelitian ... 51

6. 2. Teknik Pengumpulan Data ... 52

6. 4. Teknik Analisa Data ... 53

(9)

BAB III: ANALISA GERAKAN MAHASISWA SEBAGAI

GERAKAN SOSIAL TERHADAP NEGARA

1.

2. Gerakan Mahasiswa Dalam Perspektif Kepentingan Kelas ... 103 Gerakan Mahasiswa Dalam Teori Gerakan Sosial ... 86

3. Gerakan Mahasiswa Dalam Teori Demokrasi dan Demokratisasi ... 144

BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN.

1 Kesimpulan ... 135

2. Saran ... 137

(10)

Daftar Tabel

Tabel

Tabel 1.1 : Sekolah Dasar di Hindia Belanda Sekitar Tahun 1900

Tabel 2.1 : Economic Crisis, Macro-Economic Indicator, Indonesia 1994-1998.

Tabel 2.2 : Indonesian GNP Per Capita (US$).

(11)

Abstraksi

Sampai saat ini, dalam kenyataannya, negara tak pernah menjalankan secara konsekuen dengan amanat UUD 1945 dalam persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini justru lebih terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru, pendidikan mulai secara perlahan dikomersialkan. Sebagai anak kandung dari kapitalisme, mahasiswa yang lahir dari system kepemilikan modal itu perlahan menjadi seorang anak durhaka yang mengkhianti sendiri ibu kandungnya dengan mulai melakukan pergolakan perlawanan di basis massa rakyat.

Sistem pendidikan yang selama ini membimbing dan mengajarkan manusia menjadi senjata balik bagi kaum kapitalisme. Dengan kecerdasan dan keintelektualan mereka, mahasiswa yang langsung bersentuhan dengan masalah-masalah ekonomi masyarakat berubah menjadi kaum pelopor yang diharapkan dapat memberikan perubahan.

Sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga akhir-akhir ini mahasiswa Indonesia dapat dikatakan sebagai pelopor perubahan pergantian rezim yang ada selama negara ini berdiri. Kejatuhan Soeharto sendiri juga merupakan andil dari kelompok mahasiswa yang sudah lama gerah dengan kepemimpinan otoritariannya.

Resesi ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 juga sebagai salah satu akibat dari kepemimpinan Soeharto. Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Soeharto sejak kepemimpinannya sama sekali hanya mementingkan kaum kapitalis dan dirinya sendiri. Juga dalam kepemimpinannya Soeharto memaksakan rakyat Indonesia untuk tidak terlibat dalam segala bentuk kegiatan politik. Depolitisasi yang dilakukan oleh Soeharto bahkan menjalar hingga ke tingkatan kampus dengan program NKK/BKK. Dengan ini mahasiswa dipaksa untuk terlibat aktif dalam kegiatan di dalam kampusnya sendiri dan meninggalkan basis massa rakyat yang merupakan tempat pengabdiannya setelah menjadi seorang sarjana.

Gerakan sosial yang dilakukan mahasiswa pada tahun 1998 merupakan salah satu cara mahasiswa melakukan perjuangan yang dianggap mampu memberikan angin segar bagi politik di Indonesia. Namun gerakan yang sangat progresif dari mahasiswa ini dihadang dengan berbagai isu dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh negara. Berbagai tindakan refresif ( kekerasan ) negara terhadap rakyatnya ( kaum tani ) melalui aparattusnya menjadi makanan pokok dalam setiap gerak perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa pada tahun 1998.

(12)

Abstraksi

Sampai saat ini, dalam kenyataannya, negara tak pernah menjalankan secara konsekuen dengan amanat UUD 1945 dalam persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini justru lebih terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru, pendidikan mulai secara perlahan dikomersialkan. Sebagai anak kandung dari kapitalisme, mahasiswa yang lahir dari system kepemilikan modal itu perlahan menjadi seorang anak durhaka yang mengkhianti sendiri ibu kandungnya dengan mulai melakukan pergolakan perlawanan di basis massa rakyat.

Sistem pendidikan yang selama ini membimbing dan mengajarkan manusia menjadi senjata balik bagi kaum kapitalisme. Dengan kecerdasan dan keintelektualan mereka, mahasiswa yang langsung bersentuhan dengan masalah-masalah ekonomi masyarakat berubah menjadi kaum pelopor yang diharapkan dapat memberikan perubahan.

Sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga akhir-akhir ini mahasiswa Indonesia dapat dikatakan sebagai pelopor perubahan pergantian rezim yang ada selama negara ini berdiri. Kejatuhan Soeharto sendiri juga merupakan andil dari kelompok mahasiswa yang sudah lama gerah dengan kepemimpinan otoritariannya.

Resesi ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 juga sebagai salah satu akibat dari kepemimpinan Soeharto. Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Soeharto sejak kepemimpinannya sama sekali hanya mementingkan kaum kapitalis dan dirinya sendiri. Juga dalam kepemimpinannya Soeharto memaksakan rakyat Indonesia untuk tidak terlibat dalam segala bentuk kegiatan politik. Depolitisasi yang dilakukan oleh Soeharto bahkan menjalar hingga ke tingkatan kampus dengan program NKK/BKK. Dengan ini mahasiswa dipaksa untuk terlibat aktif dalam kegiatan di dalam kampusnya sendiri dan meninggalkan basis massa rakyat yang merupakan tempat pengabdiannya setelah menjadi seorang sarjana.

Gerakan sosial yang dilakukan mahasiswa pada tahun 1998 merupakan salah satu cara mahasiswa melakukan perjuangan yang dianggap mampu memberikan angin segar bagi politik di Indonesia. Namun gerakan yang sangat progresif dari mahasiswa ini dihadang dengan berbagai isu dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh negara. Berbagai tindakan refresif ( kekerasan ) negara terhadap rakyatnya ( kaum tani ) melalui aparattusnya menjadi makanan pokok dalam setiap gerak perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa pada tahun 1998.

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH

Sejarah gerakan mahasiswa Indonesia tidak berbeda dengan sejarah

gerakan mahasiswa lainnya diberbagai belahan dunia manapun. Gerakan

mahasiswa yang didominasi oleh pemuda yang memang memiliki watak muda

menginginkan adanya suatu perubahan yang cukup signifikan dalam suatu

pemerintahan rezim yang berkuasa. Dan hampir seluruh gerakan mahasiswa yang

ada di belahan dunia manapun tidaklah dilakukan secara matang tapi lebih

dikarenakan adanya suatu momentum. Jadi tidak salah jika banyak orang yang

akhirnya menyimpulkan bahwa gerakan mahasiswa hanya bersandar pada

momentum semata, bukanlah atas kesadaran dan telah dipersiapkan secara

matang.

Seperti halnya gerakan mahasiswa yang terjadi di Indonesia. Sejak zaman

pra kemerdekaan hingga sekarang, gerakan mahasiswa di Indonesia bersandar

pada momentum. Zaman pra kemerdekaan, gerakan mahasiswa ditandai dengan

munculnya organisasi-organisasi modern pada masa pemerintahan kolonial

Belanda. Di mana pada masa pemerintahan kolonial, tenaga-tenaga rakyat

Indonesia dihisap dan dipaksa bekerja tanpa ampun dengan sistem penjajahan

yang memaksa bangsa Indonesia menjadi budak di negerinya sendiri. Dan untuk

(14)

kedasar-dasarnya, mereka (pemerintahan kolonial) membangun sekolah-sekolah

yang bisa melahirkan tenaga-tenaga ahli baru yang kelak akan dipergunakan

kembali oleh mereka. Misalnya, seperti sekolah militer yang dibangun di

Semarang pada tahun 1819. Belanda membutuhkan militer untuk alat menindas

yang akan menjadi sekrup-sekrup kapitalisme. Baru kemudian setelah itu, Belanda

membuka sekolah-sekolah umum seperti Sekolah Tinggi Leiden (1826), Institut

Bahasa Jawa Surakarta (1832), Sekolah Pegawai Hindia-Belanda di Delft (1842),

Sekolah Guru Bumiputra di Surakarta (1852).1 Sekolah-sekolah ini jelas-jelas

dibuka untuk tangan-tangan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, dan

sekolah-sekolah ini tentu saja hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan

pegawai Tinggi Pribumi. Selain membuka sekolah-sekolah tinggi, di Hindia mulai

dibangun sekolah dasar—tetapi sekali lagi khusus untuk golongan Belanda—

dengan membuka sekolah dasar yang sekuler di Weltervreden pada 24 Februari

1817.2 Dan baru 1871—bersamaan dengan liberalisme di Hindia Belanda—

dikeluarkan UU Pendidikan pertama, pendidikan dan pengajaran semakin

diarahkan bagi kepentingan Bumiputra.3

Seiring dengan pekembangan liberalisme di Hindia Belanda—yang

ditandai dengan disahkan UU Pokok Agraria yang memberikan keleluasaan

kepada modal swasta Belanda masuk ke Hindia Belanda—mau tidak mau

pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam pembangunan sistem Dan hingga tahun 1850 telah terdapat

lebih kurang 562 sekolah dasar yang mana setengahnya dikuasai oleh Belanda dan

swasta.

1

Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, Hal.185. 2

(15)

kapitalisme. Dengan kedok Politik Etis, dibukalah sekolah-sekolah dasar sampai

sekolah tinggi bagi pribumi yang tujuan pokoknya adalah sebagai tenaga-tenaga

bagi industrailisasi modal-modal swasta Belanda di tanah jajahan. Ini seiring

dengan prinsip liberalisme dimana koloni bukan hanya sebagai penghasil

produk-produk yang menguntungkan seperti kopi, teh, gula, tembakau, tetapi juga sumber

suplai bahan mentah seperi baja, minyak, batu bara, dll bagi industrialisasi di

Belanda.4

Dengan dibukanya sekolah-sekolah tersebut, semakin membuka

kesempatan bagi masyarakat Indonesia pada masa itu untuk mengetahui tentang

dunia luar, perkembangan teknologi dan bahkan sampai kepada teori-teori tentang

pentingnya nasionalisme bagi rakyat Pribumi. Perluasan pengajaran tingkat atas

mulai terjadi secara berangsur-angsur. Dan pada tahun 1902 didirikanlah

STOVIA, dimana Tirto Adi Suryo yang merupakan pelopor pendiri organisasi

modern pertama Indonesia adalah jebolan atau tamatan dari sekolah ini. Disusul

kemudian NIAS pada tahun 1913 yang setahun kemudian menjadi sekolah

kedokteran hewan. Dan pada tahun 1927 sekolah kedokteran diubah menjadi GHS

(Geneeskundige Hoogeschool). Sedangkan untuk perguruan tinggi sendiri

belumlah muncul di Nusantara. Hanya beberapa pribumi yang mampu dan kaya Sumber-sumber bahan mentah tersebut sebagian besar ada diluar Jawa

sehingga banyak membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru, maka bergandenganlah

program politik etis—edukasi, irigrasi dan emigrasi—untuk mengekploitasi

sumber bahan mentah tersebut.

4

(16)

yang mampu mengirimkan anaknya untuk bersekolah di Eropa.5

Daerah

Namun setelah

kepulangan mereka dari Eropa, mereka malah menjadi bibit-bibit baru yang siap

untuk mendobrak penindasan yang selama ini telah mengakar dan menghisap

setiap tetes keringat bangsa Indonesia. Politik Etis akhirnya menjadi senjata balik

atau menjadi bumerang balik bagi kaum kolonial pada masa itu. Bukannya

menjadi taktik yang menguntungkan. Karena pada awalnya Politik Etis hanya

untuk mendapatkan tenaga terdidik yang murah dari masyarakat pribumi.

Tabel 1. Sekolah Dasar di Hindia Belanda Sekitar Tahun 1900

Sekolah Negeri Sekolah Swasta Sekolah Misi Total Populasi (dalam ribuan)

Jawa dan Madura 269 231 62 562 28386

Sumatera (kecuali Daerah Batak) 77 17 4 98 2862

Daerah Batak 19 6 175 200 321

Kalimantan 12 3 21 36 1076

Sulawesi (kecuali Manado) 14 - - 14 1442

(1895)

Manado 115 14 237 366 423

Ternate 2 2 9 13 133

Ambon 74 75 17 166 271

Timur 15 10 16 41 306

(1905)

Bali dan Lombok 4 1 - 5 1039

Total 601 359 541 1501 36259

Sumber: Bernhard Dahm, Bergerak Bersama Rakyat, 200. Hal 51.

5

(17)

Berjamurnya sekolah-sekolah yang ada di Nusantara pada saat itu juga

turut mendorong munculnya organisasi-organisasi modern di Indonesia.

Organisasi yang pertama kali muncul adalah Sarekat Priyayi pada tahun 1906.

Pendirinya pada saat itu adalah Tirto Adi Suryo yang merupakan jebolan dari

STOVIA. Dalam perkembangannya Sarekat Priyayi berkembang pesat menjadi

sebuah organisasi modern pertama Nusantara yang memiliki semangat

kebangsaan yang besar dalam melawan kolonialisme pada saat itu. Akan tetapi

keberadaan organisasi ini pun tidak terlalu lama. Sarekat Priyayi akhirnya hancur

dan bubar. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah meletakkan

kepemimpinan kepada kaum priyayi sebagai unsur yang dianggap mampu untuk

melakukan perubahan. Golongan priyayi ini merupakan golongan yang beku,

yang hanya mengharapkan kedudukan dari gubermen, impian-impian mereka

hanya sebatas pada kenaikan gaji dan kenaikan pangkat6, yang dunia pikirannya

berlindung di bawah kewibawaan gubermen7, tanpa kewibawan, mereka tidak ada

artinya8. Sedangkan sifatnya yang paling progresif adalah gonta-ganti istri,

sebelum kawin ‘sesungguhnya’, sebagai latihan, para priyayi-priyayi ini

melakukan ‘gladi bersih’ dengan menikahi perempuan dari keturunan orang

kebanyakan.9

6 Pramodya Ananta Toer, Rumah Kaca, Jakarta: Hasta Mitra, 1998. Hal.264 7 Pamodya Ananta Toer, Ibid, hal.300

8

Pramodya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Jakarta: Hasta Mitra,1998. Hal. 169

9 Pramodya Ananta Toer, Gadis Pantai, Jakarta: Hasta Mitra,1998. Hal.62.

Kegagalan Sarikat Priyayi juga dikarenakan ketidakmampuan

menggerakkan kaum priyayi yang sudah mapan dan tidak mau bergerak tanpa

(18)

Setelah kegagalan itu, mulai tumbuh satu benih baru dalam perjuangan

rakyat Nusantara. Tahun 1908 berdirilah Boedi Oetomo dengan tokoh-tokohnya

antara lain E. Douwes Dekker dan Wahidin Soediro Hoesodo. Sama seperti

Sarikat Priyayi, Boedi Oetomo juga dipelopori oleh pemuda dan mahasiswa yang

berada di STOVIA. Dalam sejarah resmi Indonesia, Boedi Oetomo dikatakan

sebagai organisasi modern pertama Nusantara. Sejalan dengan perkembangannya,

Boedi Oetomo bergerak hanya dalam kawasan terbatas di Jawa dan Madura.

Namun akhirnya gerakan ini meluas ke seluruh Hindia. Cita-cita Boedi Oetomo

saat itu masih hanya diterapkan tentang rasa nasionalisme terhadap Hindia

melawan penjajahan kolonialisme Belanda.

Boedi Oetomo memandang bahwa intelektualitas dan budaya merupakan

bagian dari jati diri sebuah bangsa dan dari sanalah maka kebijakan dan wawasan

terhadap bangsa ditumbuhkan. Keberadaan Boedi Oetomo yang lahir pada masa

penjajahan kolonial yang berkarakter menindas, menghisap dan tidak memberikan

hak kepada kaum pribumi untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik

yang menyangkut nasib bangsanya sendiri membuat Boedi Oetomo tidak hanya

disenangi oleh kaum muda tapi juga mendapat simpati luas dari masyarakat

Hindia. Dan ketika itu, posisi pelajar menjadi tergeser oleh generasi yang lebih

tua. Dan saat kongres Boedi Oetomo dibuka di Yogyakarta, pimpinan organisasi

beralih kepada golongan tua dan terutama kaum priyayi rendahan.10

10 Suharsih, Ing Mahendra K, op.cit., Hal 55.

Banyak dari

mereka meluaskan pendidikan Barat dan terutama kepada pengetahuan terhadap

Bahasa Belanda yang merupakan sebagai suatu syarat untuk bisa memasuki

(19)

menjadi semakin lemah dan mengulang kembali sejarah terdahulu yang salah

yang meletakkan kepemimpian ditangan kaum priyayi. Bahkan sekolah-sekolah

yang didirikan oleh Boedi Oetomo pun ikut memasukkan kurikulum sekolah dasar

Belanda dengan penyesuaian pada kondisi asal murid dan mendapat subsidi dari

pemerintahan kolonial.

Setelah dua organisasi di atas, mulai menjamurlah organisasi-organisasi

modern di Indonesia. Sarekat Priyayi setelah bubar berubah menjadi Serikat

Dagang Islamiah (SDI) dengan basis utamanya kaum pedagang—yang kemudian

berkembang menjadi SI dan dalam perkembangan selanjutnya sebagai embrio dari

PKI. Organisasi ini bukan hanya sebagai wadah bagi masyarakat Pribumi untuk

melakukan perlawanan terhadap pedagang-pedagang Cina yang pada masa itu

menguasai hampir setiap pintu masuk perdagangan Nusantara. Organisasi ini juga

merupakan wadah bagi masyarakat pribumi untuk melakukan perlawanan

terhadap segala bentuk penghinaan yang dilakukan terhadap masyarakat. SI tidak

lagi bersifat elitis seperti Sarikat Priyayi. Hampir setiap lapisan masyarakat bisa

menjadi anggotanya. Dan tujuan SI didirikan pada waktu itu adalah:11

• Mengembangkan jiwa berdagang

• Memberi bantuan kepada anggota-anggotanya yang menderita

kesukaran

• Memajukan pengajaran dan semua yang dapat mempercepat

naiknya derajat bumiputera

• Menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang Islam

(20)

SI berkembang dengan sangat pesat dan mengaku memiliki 2.000.000

orang anggota sehingga menjadikannya sebagai organisasi massa yang terbesar

pada saat itu. Namun konflik internal yang ada ditubuh SI sendiri yang

menyebabkan SI terpecah menjadi dua. Adalah Semaoen, seorang buruh muda

yang bekerja di perusahaan kereta api pada saat itu yang mampu membawa SI

menjadi lebih revolusioner. SI akhirnya terpecah menjadi SI Merah dan SI Putih.

Dan diputuskan dalam kongres pada bulan Oktober 1921 bahwa yang merupakan

anggota SI tidak boleh merangkap dua keanggotaan di organisasi lainnya.

Keputusan ini akhirnya membawa anggota SI yang juga merupakan anggota PKI

dikeluarkan oleh SI. Selanjutnya, setelah perpecahan tersebut, SI Merah yang

merupakan SI yang massif menentang segala bentuk penindasan dan penghisapan

yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial, berubah nama menjadi Syarikat

Rakyat (SR).

Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua mahasiswa lulusan

STOVIA, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang

Indo (keturunan Indonesia), E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia

atau Indishe Partij (IP).12 Maka semakin maraklah organisasi-organisasi

kebangsaan yang dipelopori oleh mahasiswa. Tidak ketinggal,

mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda antara bulan Januari-Pebruari 1925

didirikan organisasi yaitu Perhimpunan Indonesia (PI)—organisasi ini merupakan

kelanjutan dari Indische Vereeniging13

12

Parakitri T Simbolon, opcit. Hal 246-247. 13

John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1938, Jakarta: LP3ES. Hal. 2.

. PI sangat dipengaruhi oleh ideologi

(21)

diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia seperti Semaoen.14

1. Hanya suatu kesatuan Indonesia yang mengesampingkan

perbedaan-perbedaan sempit dapat menghancurkan kekuasaan

penjajah. Tujuan bersama untuk membentuk suatu Indonesia yang

merdeka menuntut pembinaan tata kebangsaan yang didasarkan

kepada suatu aksi-massa yang sadar dan percaya diri.

Dalam

program perjuangannya, PI menyatakan:

2. Syarat mutlak untuk mencapai tujuan itu ialah adanya partisipasi

seluruh lapisan rakyat Indonesia dalam suatu perjuangan yang

terpadu untuk mencapai kemerdekaan.

3. Unsur yang pokok dan dominan dalam setiap masalah politik dan

penjajahan ialah konflik kepentingan antara penguasa dan yang

dijajah. Kecenderungan pihak penguasa untuk mengaburkan dan

menutupi masalah ini harus dilawan dengan mempertajam dan

mempertegas konflik kepentingan tersebut.

4. melihat adanya dislokasi dan demoralisasi sebagai akibat pengaruh

pemerintah kolonial terhadap kesehatan fisis dan psikologis dari

kehidupan orang Indonesia, diperlukan sejumlah besar usaha untuk

memulihkan kondisi rohani dan kondisi material menjadi normal.

Selain organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study

club misalnya yang terdapat di Surabaya dan di Bandung. Sekembalinya dari

Eropa, mahasiswa-mahasiswa Indonesia mulai mempraktekkan apa yang mereka

(22)

pelajari untuk dapat diterapkan di Indonesia sesuai dengan geo-politik Indonesia

pada saat itu. Berjamurlah study clubs saat itu. Study Club yang ada di Bandung

dengan nama Algemeene Studie Club didirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925

dan kemudian berkembang menjadi Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang juga

dipimpin oleh Soekarno.

Apabila kita amati, organisasi-organisasi yang dipelopori oleh mahasiswa

di atas condong kepada ideologi kebangsaan. Kerangka organisasi yang dibuat

oleh gerakan mahasiswa ketika itu tidak semata-mata hanya melibatkan

mahasiswa, tetapi berusaha melibatkan massa rakyat secara luas untuk

kepentingan kemerdekaan, bahkan sudah sampai pada pendirian partai politik.

Dalam kerangka gerakan, konsep yang dibangun oleh mahasiswa-mahasiswa

ketika itu untuk membangun format gerakan adalah tepat, bahwa tulang punggung

dari gerakan adalah massa rakyat yang terlibat aktif dalam organisasi modern.

Sikap sektarian, dalam artian hanya melibatkan mahasiswa dalam gerakan

pembebasan nasional tidak terjadi, tetapi yang tumbuh adalah sikap kebangsaan

untuk mencapai Indonesia Merdeka.

Sejarah juga mencatat bahwa pada masa pendudukan Jepang organisasi

pemuda yang ada dibubarkan dan pemuda dimasukkan ke dalam; Seinendan

dan Keibodan (Barisan Pelopor) dan PETA (Pembela Tanah Air) untuk dididik

politik untuk kepentingan fasisme. Yang menjadi topik menarik pada zaman ini

adalah ramainya bermunculan Gerakan Bawah Tanah (GBT) dengan rapat-rapat

gelap, dan penyebaran pamflet. GBT ini dikombinasikan dengan gerakan legal

(23)

jalan keluar yang mencekam dan tidak memassa. Tingkat kesadaran massa untuk

mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner. Penguasa

baru ini melarang semua kegiatan yang berbau politik, dan membubarkan semua

organisasi pelajar dan mahasiswa, serta partai politik. Banyak perguruan tinggi

juga ditutup. Karena kondisi yang lebih represif itu, mahasiswa memilih

melakukan kegiatan berkumpul dan berdiskusi di asrama-asrama. Tiga asrama

yang terkenal dalam sejarah kemerdekaan adalah Asrama Menteng Raya, Asrama

Kebon Sirih, dan Asrama Cikini. Para mahasiswa inilah yang kemudian menjadi

pemuda generasi ’45, yang bangkit merebut dan mempertahankan kemerdekaan

dengan cara pemuda.

Masa 1945-1950 merupakan momentum yang penting dalam gerakan

pemuda dan pelajar: selain melucuti senjata Jepang, juga memunculkan

organisasi-organisasi seperti: Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda

Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI),

Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi.

Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar, yang berbentuk federasi,

diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II (1946). Dan

Gerakan Pemudalah yang berhasil mendesak Soekarno-Hatta melalui penculikan

untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan RI.

Dalam situasi seperti inilah gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali.

Gerakan mahasiswa yang timbul pasca revolusi didasari pada ideologi yang

berbeda-beda. Pada tanggal 5 Februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan

(24)

Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan kemudian disusul

dengan pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia

(PMKRI).15 Organisasi-organisasi mahasiswa ini mengunakan ideologi agama—

Islam atau Katolik/Kristen. Kemunculan organisasi-organisasi yang berideologi

agama ini sebetulnya mengikuti kemunculan partai politik yang seideologi yaitu

Masyumi ( 7 Nopember 1945)—yang berideologi Islam dan Partai Katolik ( 8

Desember 1945)—yang berideologi Katolik.16

Pada masa demokrasi terpimpin, organisasi-organisasi yang berafiliasi

dengan partai politiklah yang banyak meramaikan panggung perpolitikan. Mereka Sementara itu partai besar lainya

yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) mempunyai ormas mahasiswa Gerakan

Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri pada tanggal 23 Maret 1954,

sedngkan Partai Komunis Indonesia (PKI) membangun ormas mahasiswa yaitu

Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).

Selain organisasi yang didasarkan pada ideologi tertentu, juga banyak

bermunculan organisasi mahasiswa yang berdasarkan profesi dan komunitas.

Dalam kategori ini, kita dapat mengambil contoh Perhimpunan Mahasiswa

Kedokteran Hewan (PMKH) di Bogor, Perhimpunan Mahasiswa Djakarta (PMD),

Perhimpunan Mahasiswa Jogyakarta (PMJ), Masyarakat Mahasiswa Malang

(MMM). Kemudian di UGM pada tanggal 11 Januari 1950 terbentuk Dewan

Mahasiswa (DM) yang merupakan lembaga mahasiswa tingkat universitas, dan

kemudian diikuti dengan berdirinya Dewan Mahasiswa di UI pada 20 Nopember

1955.

15

Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Jakarta: Lingkar Studi Indonesia, hal.84.

(25)

saling berlomba-lomba, adu program untuk mendapatkan basis massa yang besar.

Pertarungan semakin ramai ketika Soekarno lebih dekat pada

organisasi-organisasi yang berideologi komunis dan nasionalis radikal. Organisasi-organisasi-organisasi

mahasiswa yang berbasiskan agama—HMI, PMKRI—semakin terpinggirkan.

Pada tahun 1963, ketegangan politik di dalam kampus semakin memanas setelah

GMNI, CGMI, Germindo, Permi semakin mendominasi senat fakultas dan dewan

mahsiswa universitas di perguruan-pergurun tinggi yang ada.17Konflik yang

terjadi misalnya ketika kongres nasional keempat Majelis Mahasiswa Indonesia

(MMI) pada bulan April 1964 di Malino, dalam kongres ini GMMI memenangkan

18 dari 24 kursi esekutif. Sementara itu, kelompaok mahasiswa dari UI dan ITB

yang non-GMNI tidak mendapatkan posisi yang menyebabkan mereka menolak

hasil kongres, dan akibatnya dewan mahasiswa dari kedua universitas ini

dikeluarkan dari MMI.18 Pertentangan-pertentangan terus terjadi sampai tahun

1965. Sebuah pertarungan di tingkat fakultas misalnya terjadi di fakultas sastra UI

ketika GMNI dan sekutu-sekutunya menuntut agar senat yang baru terbentuk

dibubarkan karena terdapat unsur-unsur kontra-revolusioner seperti HMI.19

Mahasiswa yang semakin tersingkir semakin membenci konsepsi

Soekarno sendiri tentang demokrasi terpimpin, yang mereka anggap sebagai biang

keladi semakin tersingkirnya posisi mereka. Mahasiswa-mahasiswa ini, yang telah

mendapatkan pendidikan tentang demokrasi liberal, yang sayup-sayup mereka

peroleh dari barat, merasakan bahwa demokrasi tepimpin sangat merantai

kebebasan mereka, tidak sesuai dengan teori yang pernah mereka dapatkan.

17 John Maxwell, Soe Hok-Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Jakarta: Grafiti. Hal. 140.

18

(26)

Apalagi kedekatan pemerintahan Soekarno dengan Soviet maupun Cina Komunis

yang membuat gerah banyak kalangan—termasuk mahasiswa. Ruang-ruang bagi

golongan non komunis dan non nasionalisme radikal seakan-akan telah tertutup.

Golongan-golongan mahasiswa yang merasa senasib sepenanggungan ini

kemudian bersatu, mengorganisasikan di dalam kesatuan-kesatuan aksi.

Sementara itu, situasi tahun 1960-an semakin memanas dengan adanya

konfontrasi dengan Malaysia yang menyebabkan hubungan dengan negara-negara

barat—khususnya Amerika dan Inggris—semakin memburuk. Amerika yang

melihat Indonesia sebagai tempat yang strategis karena letaknya pada jalur

perdagangan internasional dan mempunyai jumlah penduduk yang besar sangat

potensial bagi pasar produk-produk Amerika. Namun, situasi yang semakin

berkembang semakin menunjukkan Indonesia semakin jatuh dalam genggaman

komunis yang selalu mengusung isu-isu anti imperialisme. Dan apabila Indonesia

sampai jatuh ke tangan kaum komunis, maka semakin sulitlah bagi bangsa-bangsa

barat untuk mendominasi ekonomi di negara-negara Asia Tenggara.

Kekuatan lain yang merasa terdesak pada masa demokrasi terpimpin ini

adalah tentara. Mereka yang sejak demokrasi parlementer merasa disingkirkan,

dalam beberapa hal memang mendukung demokrasi terpimpin yang

menguntungkan mereka. Namun, karena kedekatan Soekarno dengan kelompok

komunis, menyebabkan tentara semakin gerah karena secara ideologi mereka

sangat berseberangan dengan ideologi komunis, apalagi setelah kaum komunis

(27)

Akhirnya, ketiga kekuatan di atas—mahasiswa yang berideologi liberal,

Amerika dan tentara—bersatu ketika pecah peristiwa 30 September 1965—yang

dianggap sebagai pemberontakan PKI. Histeria anti komunis kemudian ditiupkan

keseluruh pelosok negeri, dibentuklah Kesatuan Aksi Penggayangan Gestapu

(KAP-Gestapu). Badan ini dipimpin oleh politikus NU Subchan dan aktivis

katolik Harry Tjan dengan dukungan penuh dari tentara.20 Dalam perkembangan

selanjutnya, setelah pertemuan terakhir dirumah Menteri Pendidikan Tinggi,

Brigjen. Syarief Thayep, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1965 dibentuklah

Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Organisasi ini didominasi oleh

organisasi seperti PMKRI, SOMAL, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

(PMII), dan Mahasiswa Pancasila (Mapancas)—organisasi ini dekat dengan

tentara, ketuanya David Napitupulu dekat dengan Brigjen Sukendro dan Jendral

Nasution.21

20

John Maxwell, Ibid, hal.154. 21 John Maxwell, Ibid, hal 159.

Maka, sejak saat ini, pemburuan terhadap orang-orang komunis atau

simpatisanya dimulai. Inilah prestasi dari Gerakan Mahasiswa 1966, bersama

tentara dan Amarika, berhasil menggulingkan kekuasaan Soekarno dan menaikkan

Soeharto dengan tumbal jutaan rakyat yang tidak berdosa. Salah satu pimpinan

GM ’66, Soe Hok-Gie merasa ngeri sendiri setelah melihat dari

demostrasi-demontrasi pengganyangan terhadap komunis selama delapan belas bulan:

(28)

Mereka tidak bisa mengerti mengapa tiba-tiba mereka dipecat, dibunuh, diasingkan masyarakat dan diusir dari pergaulan. Dan hampir tak ada yang mau memberikan kerja baru untuk mereka karena mereka ex-SOBSI. Lowongan yang tersedia untuk mereka adalah (yang tak perlu tanda tidak terlibat Gestapu) tukang beca, kuli harian, pedagang kecil (tukang loak) dan untuk wanita babu atau pelacur (bagi yang masih muda dan lumayan wajahnya).

Di desa di aman kesempatan kerja lebih sulit biasanya mereka menjadi pedagang kecil atau lari ke kota. Saya pernah menjumpai di sebuah desa di Jawa tengah seorang istri “Gestapu” yang membuka warung kopi mulai jam 3 pagi untuk memberikan makan 9 orang anaknya. Kehidupan mereka sangat berat. Anak-anaknya juga “punya inferiority complex” karena ayahnya ada di penajara. Kesembilan anak ini tidak berani bermain-main disawah atau jalan-jalan karena “malu” diejek oleh kawan-awan sebayanya. Mereka bermain-main sesama saudara di rumah mereka sendiri. Anak-anak kecil ini telah belajar betap “pahitnya” politik.

Bagi yang keluarganya yang dibunuh keadaanya lebih parah. Mereka diam dan tak banyak berkata. Tetapi dalam hati kecilnya tumbuh dendam kebencian terhadap golongan yang telah membunuh sanak mereka. Dan saat kebencian ini kebencian akan mengambil bentuknya. Kita tidak tahu berapa jumlah mereka. Tetapi kalau kita ambil angka 300 ribu orang mati terbunuh selama masa-masa tersebut dan pembunuhan ini menimbulkan bekas pada 3 atau 4 orang sanaknya yang terdekat (istri-anak-saudara kandung, ayah) maka dewasa ini terdapat kira-kira satu juta orang yang hidup menyimpan dendam untuk masa kemudian”.22

22 John Maxwell, Ibid, hal.273.

Gerakan mahasiswa kembali memberi warna dalam ritme politik nasional

ketika di tahun 1974 mahasiswa kembali bergerak, Bandung, Jakarta, dan

Yogyakarta adalah kota dimana para mahasiswa mulai merasakan depolitisasi

yang dilakukan oleh Orde Baru. Pergolakan kembali dilakukan dengan menolak

Soeharto menjadi Presiden untuk yang kedua kali. Beberapa mahasiswa di

(29)

Pada 19 April 1978, sebagai bagian dari upaya depolitisasi kampus dan

meredam aktivitas politik mahasiswa, konsep Normalisasi Kehidupan

Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) diterapkan secara resmi

oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DR. Daoed Joesoef, melalui Surat

Keputusan Menteri P dan K No. 01/V/1978. NKK/BKK ini baru diakhiri secara

formal oleh Mendikbud Prof. DR. Fuad Hassan pada 28 Juli 1990, dengan

keluarnya Surat Keputusan No. 403/U/1990 tentang Senat Mahasiswa Perguruan

Tinggi (SMPT).

Iklim politik nasional sementara itu makin menunjukkan penguatan rezim

Orde Baru, yang ditandai dengan kemenangan Golkar yang didukung militer pada

Pemilu 1971, 1977, dan 1982. Penguatan rezim Orde Baru ini diperkokoh dengan

pencanangan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh organisasi politik dan

kemasyarakatan pada 1982, penyeragaman pemahamannya sebagai ideologi

melalui Tap MPR No. II/MPR/1978, serta pemberlakuan Paket 5 UU Politik pada

tahun 1985, yang membatasi jumlah partai politik dan merampas kedaulatan

rakyat. Melalui Tap MPR No. II/MPR/1978 juga diberlakukan Penataran P4

(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) kepada berbagai kalangan

masyarakat, birokrat sipil/militer, dengan metode indoktrinasi.

Mahasiswa dilarang berpolitik, ataupun melakukan aktivitas yang berbau

politik, kebebasan intelektual kampus di kebiri, dan kontrol yang kuat kepada

organisasi – organisasi mahasiswa diperketat. Kampus menjadi sebuah penjara

(30)

Praktis sejak diberlakukan NKK/BKK, gerakan mahasiswa “tertidur”.

Kebijaksanaan NKK/BKK ini kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud

dijabat oleh Nugroho Notosusanto, pemerintah memberlakukan transpolitisasi

yaitu ketika mahasiswa ingin berpolitik, mahasiswa harus disalurkan melalui

organisasi politik resmi macam Senat, BEM, dll, diluar itu dianggap ilegal. Dalam

kurun waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS), sehingga

aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP

yang tinggi. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin mengalami

depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya.

Implikasi konsep NKK/BKK adalah pembubaran DEMA, yang merupakan

simbol demokrasi kampus. Segala kegiatan kemahasiswaan tidak lagi dibawah

asuhan DEMA tapi langsung di bawah kontrol BKK. Alhasil semua kegiatan pun

langsung dibawah kontrol pejabat teras Universitas, Rektor dan para dosen.

Ditambah lagi salah satu peraturan dalam NKK/BKK, jabatan Pemimpin Umum

Pers Mahasiswa harus dipegang oleh dosen yang ditunjuk langsung oleh rektorat.

Yang terjadi kemudian adalah demoralisasi di tingkatan mahasiswa.

Mahasiswa dipaksa kembali ke dunia akademik --mengajar, berbangku kuliah

lagi, belajar ke luar negeri, -- membentuk NGOs yang pada tahun 1982 sudah ada

ribuan NGO, berbisnis, berkolaborasi dengan rejim dan sebagainya. NGO

menjajakan kemanusiaan borjuis-kecil --mengemis reformasi ekonomi-politik

pada rejim diktator/korup, bahkan ada yang masih bermimpi membangun pulau

(31)

luar negeri mengajarkan -- di tengah kemampuan bahasa Inggris kaum muda

yang menyedihkan-- teori-teori baru sosial-demokrasi, neo-marxis, new-left ….23

Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian. Pertama, kembali kepada

gerakan awal 1900: munculnya kembali kelompok-kelopok diskusi. Kehadiran

kelompok-kelompok diskusi inipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi,

karena apabila diketahui oleh rejim bisa berakibat fatal. Kita dapat melihat nasib

yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho24

….(kebanyakan mahasiswa) mencerahkan sel-sel otaknya dalam kelompok-kelompok studi untuk menemukan makna demokrasi (walau sering tak bisa menerima sifat blak-blakannya), makna egalitarian (walau tak bisa menerima radikalisme dalam mewujudkannya). Semua nilai-nilai budaya baru itu diserap dan dimuntahkan dalam dunia bacaan --betapa militannya mereka (yang bisa berbahasa Ingris) mencari buku-buku langka yang baru…..

dari kelompok

diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya

Ananta Toer. Rejim memang tidak ambil peduli kepada siapapun yang akan

kembali mengusik ketenangannya. Marlin menggambarkan sebagai berikut:

25

Kedua, mereka yang “melarikan” ke luar negeri setelah represi 1978

membawa ide-ide kiri baru (New Left). Teori-teori yang sebetulnya sudah usang

ini diterapkan dengan apa adanya, “seperti halnya anak kecil yang baru melihat

hal yang baru, ditiru begitu saja”. Ditengah rasa demoralisasi, mereka mengatakan

metode perjuangan harus diubah, perjungan harus melalui “pemberdayaan”

rakyat. Maka dalam kurun waktu itu beratus-ratus LSM (Lembaga Swadaya

23 John Maxwell, Ibid. 24

Bambang Isti Nugroho, seorang droup-out kelas 3 SMA, yang kemudian bekerja di fakultas MIPA UGM. Dia diadili karena memperdagangkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan menyimpan buku-buku Pram, Marxim Gorky, Frans Magnis Suseno.

(32)

Masyarakat) didirikan. Tapi dalam kenyataanya, LSM ini hanya dijadikan kedok

untuk memperoleh kekayaan pribadi dengan membuat proposal dengan kata-kata

indah, “memperjuangkan” rakyat miskin.

Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan organisasi LSM

karena bagaimanapun berpengaruh kepada gerakan mahasiswa sampai saat ini.

Berbarengan dengan terjadinya represi terhadap gerakan mahasiswa 1978, Barat

yang merupakan pusat dari kapitalisme mulai menyadari bahwa kebijaksanaan

mereka mulai menimbulkan keresahan sosial. Keadaan ini tentunya tidak dapat

dibiarkan karena apabila dibiarkan bisa menjadi picu ledak bagi perlawanan

rakyat. Maka mulailah disiapkan dana untuk membangun organisasi-organisasi

yang seolah-olah anti negara, berasal dari arus bawah,26

26 Lihat James Petras, Kritik Terhadap Kaum Post Marxis, LINK.

. Organisasi inilah yang

dipakai untuk masuk ke daerah-daerah “api” dan kemudian digunakan untuk

menjaga “api” tersebut supaya tidak membesar. Organisasi ini juga digunakan

untuk mendemoralisasi perlawanan rakyat. Lembaga-Lembaga Swadaya

Masyarakat ini mempunyai hubungan simbiosis mutualisme dengan kapitalis

internasional. Kapitalis butuh LSM untuk mencegah terjadinya konflik sosial,

sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk memperbesar “perut” mereka. Sampai

saat ini menjadi anggota LSM adalah kecenderungan mantan aktivis mahasiswa

yang sudah selesai kuliah. Ini terjadi karena perspektif ideologi mereka lemah –

setelah selesai studi di universitas berarti sudah tidak pantas lagi terlibat aktif

dalam gerakan mahasiswa – padahal apabila mereka mempunyai kesadaran

(33)

Walau bagaimanapun ketatnya rejim berusaha “memagari” gerak

mahasiswa, lambat laun mahasiswa bisa lepas juga dari kungkungan yang ada.

Perlahan namun pasti, mahasiswa yang mempunyai kesadaran politis, keluar dari

“ruang-ruang” diskusi dan kembali mulai turun ke jalan. Seperti yang dijelaskan

diatas, gerakan mahasiswa mengambil strategi “melingkar”, melakukan aksi-aksi

advoksi terhadap kasus-kasus rakyat, hal ini mengingat depolitisasi kampus yang

amat kronis. Gerakan mahasiswa mencoba menyadarkan mayoritas mahasiswa

yang terkena trauma dan mengalami depolitisasi dengan menunjukkan

realitas-realitas yang ada di masyarakat, bahwa penindasan, pelanggaran HAM,

kesewenang-wenangan dilakukan oleh penguasa. Memang dalam kurun waktu ini

banyak kasus-kasus seperti penghapusan becak dan angling darmo, pengusuran

tanah, masalah perburuhan, pem-PHK-an yang kesemuanya tanpa perlawanan

pihak yang ditindas.

Strategi “melingkar” ini memang berhasil – walaupun tidak maksimal,

seperti yang dijelaskan diatas, kampus tidak mampu untuk diliberalisasikan --

mengusik hati para mahasiswa yang masih ada di dalam kampus untuk kembali

terlibat dalam gerakan-gerakan mengkritisi, menentang kebijaksanaan penguasa.

Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa “ilegal” bagi rejim. Ini

merupakan perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa

akhir 1986–1990, yang berupa komite-komite aksi. Gerakan mahasiswa mencoba

melakukan konsolidasi ditingkat nasional dan mulai mempermanenkan organ

yang ada. Di Yogyakarta muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta

(34)

di Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM), dan

organ-organ lain di Jakarta, Bandung, Solo, Semarang.

Dalam periode diatas, pers mahasiswa juga memberikan sumbangan yang

cukup besar dalam menumbuhkan semangat demokratisasi. Ditengah membeonya

pers-pers umum, pers mahasiswa berani muncul sebagai pers alternatif dalam

melihat kondisi yang terjadi di Indonesia. Kritik-kritik pedas dan bahkan

dilakukan secara terus terang terhadap rejim Soeharto seringkali membuat gerah

pengguasa, sehingga banyak pers-pers mahasiswa yang ditutup oleh penguasa

lewat tangan rektorat.

Sejak munculnya organisasi-organisasi diatas, gerakan mahasiswa semakin

menguat. Aksi-aksi mahasiswa mulai membesar kembali, energi perlawanan

mahasiswa timbul kembali. Di Yogyakarta pertengahan tahun 1992, 12 ribu

mahasiswa Universitas Gajah Mada dan universitas lain di Yogya didampingi

rektor UGM -- Prof. Koesnadi Harjosoemantri -- melakukan rally dari kampus

UGM menuju DPRD I Yogyakarta, memprotes diberlakukanya Undang-undang

Lalu Lintas No. 14/1992. Tahun 1993 ribuan mahasiswa – mayoritas mahasiswa

Islam – menduduki Gedung DPR/MPR, menuntut SDSB dihapuskan. Menteri

Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata mencabut

pemberlakuan SDSB di depan anggota DPR sementara diluar gedung, ribuan

mahasiswa terus menjalankan aksinya.

Satu tahun kemudian, mahasiswa diberbagai daerah memprotes

dibredelnya Tempo, Detik, dan Editor. Beberapa aksi direpresif oleh militer,

(35)

berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung Pandang, mahasiswa yang

memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh militer,

sekitar 7 mahasiswa tewas dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan

solidaritas di kalangan mahasiswa lain di berbagai daerah, seperti Jakarta,

Surabaya, Lampung, Yogyakarta, Solo, Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat

terjadi bentrokan dengan militer.

Sentimen anti kediktoran rejim Orde Baru Soeharto mulai meluas.

Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh. Jaringan

dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat dan sektor

masyarakat. Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul

sebagai pendorong utama untuk memaksakan keterbukaan dengan mulai

terangkatnya isu perburuhan dan tani (pertanahan). Unsur-unsur demokratik dan

kerakyatan dalam perlawanan telah mampu berkembang dan berdiri di garda

depan, baik dalam skala sektoral maupun wilayah tertentu.

Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor

kampus. Sebelumnya selama kurun waktu 1979-1995 hanya ada lembaga

mahasiswa formal yang diakui oleh pemerintah, yaitu Senat Mahasiswa Perguruan

Tinggi (SMPT). Tahun 1995 mulai dirintis berdirnya kembali Dewan Mahasiswa

(Dema), yang sejak diberlakukannya NKK/BKK dimatikan keberadaannya. Maka

muncullah Dema UGM, Dema UI, Dema USD. Namun sebelum konsolidasi ini

selesai, meletuslah peristiwa 27 Juli 1996. Setelah “Peristiwa Sabtu Kelabu”,

rejim Soeharto memburu-buru aktivis mahasiswa radikal dan aktivis PRD yang

(36)

dapat dikatakan gerakan mahasiswa tiarap. Kalaupun ada aksi, hanya sebatas

dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa radikal dengan kembali memakai

komite aksi yang bersifat “musiman” untuk terus melakukan perlawanan.

Sejak September 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia, nilai

rupiah melemah terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai

merangkak naik, banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh

yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama

mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang

tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut.

Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan

tuntutan-tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok

mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan

tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi

ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin

memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran

“ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang

semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun.

Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tuntutan

yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan

Aspinal tentang tuntutan mahasiswa yang semakin politis:

Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang,

menuntut dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi.

(37)

sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran

gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11

Maret).27

Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan

kualitatif gerakan mahasiswa naik secara dratis, dengan tuntutan yang sudah

politis. Di kampus UI, Depok, dari tanggal 19-26 Maret terjadi aksi besar yang

hampir menyamai aksi di tahun 1966 28. Pada hari terakhir Sidang Umum MPR

1998, di Yogyakarta, sebuah patung raksasa berwajah Soeharto dibakar oleh para

demonstran, sekitar 50 ribu mahasiswa memenuhi Balairung UGM dalam aksi

tersebut. Pada hari yang sama juga terjadi aksi-aksi di Solo, Surabaya, Malang,

Manado, Ujung Pandang, Denpasar, Padang, Purwokerto, Kudus 29

Dalam perkembangannya aksi-aksi mahasiswa semakin radikal.

Diberbagai wilayah terjadi bentrokan antara demostran dengan militer. Di

Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus Universitas Lampung, pada

tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara mahasiswa-- yang ingin

melanjutkan rally keluar kampus-- dengan militer. Sementara di Yogyakarta,

tanggal 2 - 3 April bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang

pada tanggal 13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer

sampai ke dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM dikusai oleh militer. Di

Medan juga terjadi bentrokan serupa, dalam aksi tanggal 24 April demosntran

melempari militer dengan molotov, akibatnya kampus Universitas Sumatera

Utara (USU) diliburkan beberapa hari. Pada bulan Mei aksi-aksi mahsiswa .

27

The Indonesia Student Uprising of 1998, Edwad Aspinal . 28

(38)

semakin bertambah banyak, kampus-kampus yang selama ini apolitis ikut terlibat

dalam aksi-aksi. Peristiwa paling tragis terjadi tanggal 12 Mei ketika terjadi aksi

di Universitas Trisakti, Jakarta, 6 mahasiswa gugur diterjang peluru militer.

Peristiwa ini kemudian menyulut perlawanan dari sektor rakyat lain, tanggal

13-14 Mei Jakarta lumpuh total dengan adanya kerusuhan masal. Sementara pada

peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi bentrokan di Jakarta,

Medan, Yogyakarta, Jember, Malang dan beberapa kota lain. Antara tanggal 1

Maret sampai 2 Mei tercatat 14 bentrokan antara mahasiswa dan militer yang

terjadi di Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok. Ketika hari-hari terakhir Soeharto

akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa, ratusan ribu mahasiswa

menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari

sebelum Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa

Yogyakarta -- memenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur.

Masa-masa ini merupakan masa-masa yang revolusioner bagi gerakan

mahasiswa. Aksi-aksi mahasiswa dibeberapa tempat bahkan sudah menguasai

RRI seperti yang terjadi di Surabaya, Semarang, Padang. Sementara di Medan,

mahasiswa menguasai bandar udara. Dapat dikatakan aktivitas penerbangan,

terutama penerbangan internasional, lumpuh total. Dalam kurun waktu ini juga

bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa, besar maupun kecil. Namun

sayangnya gerakan yang sudah membesar ini hanya mampu menghasilkan

pengalihan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie. Kelemahan-kelemahan apa

yang menyebabkan gerakan mahasiswa gagal melakukan perubahan total, nanti

(39)

Setelah berhasil “melengserkan” Soeharto, secara kualitatif dan kuantitatif

gerakan mahasiswa menurun, hampir 6 bulan gerakan seperti tenggelam tertelan

tanah. Gerakan kembali bangkit mendekati Sidang Istimewa MPR, pertengahan

Nopember. Pada tanggal 13-14 Nopember 1998 aksi besar-besaran terjadi di

Jakarta. Sekitar satu juta mahasiswa dan rakyat berkumpul didepan kampus

Universitas Atmajaya, Jakarta. Mereka akan melakukan rally ke gedung

DPR/MPR. Kemudian meletuslah insiden Semanggi, ketika mahasiswa yang akan

meninggalkan Universitas Atma Jaya ditembaki oleh militer, korban kembali

berjatuhan. Gerakan kali ini disokong penuh oleh rakyat – disamping rakyat

terlibat aktif dalam aksi-aksi, ikut membuat barikade, mengejar pamswakarsa,

juga memberikan bantuan logistik --, kerusuhan seperti Mei tidak terjadi karena

mahasiswa berhasil memimpin. Gerakan tidak hanya terjadi di Jakarta, dibeberapa

daerah seperti Yogyakarta, markas militer seperti Korem sempat dikuasai

mahasiswa selama beberapa jam, sementara di tempat lain mahasiswa berhasil

memaksa RRI menyiarkan tuntutan-tuntutan mereka. Represi memang hanya

terjadi di Jakarta, sedangkan gerakan di daerah tidak mengalami represi, secara

kualitatif dan kuantitatif gerakan di daerah juga tidak membesar seperti di bulan

Mei ’98. Kembali tuntutan mahasiswa seperti cabut Dwi Fungsi ABRI, Tolak SI

dan pemerintahan transisi belum berhasil digolkan.

Merujuk pada masalah diatas, penulis tertarik untuk menganalisa lebih

mendalam mengenai gerakan perlawanan mahasiswa dalam merubuhkan simbol

kediktatoran pada masa Orde Baru. Gerakan yang secara spontan terjadi pada

masa tersebut terjadi juga karena momentum dimana ketika itu krisis ekonomi

(40)

ini. Segala kebijakan ekonomi yang ditetapkan oleh Soeharto menjadi boomerang

kembali kepadanya dengan hadirnya perlawanan dari semua basis-basis massa

yang dipelopori oleh mahasiswa. Meskipun masih bersifat momentuman,

sektarian dalam artian hanya didominasi oleh kaum intelektual kampus dan tidak

melibatkan massa rakyat luas tapi gebrakan dari gerakan ini mampu

mengantarkan Indonesia ke dalam suatu system pemerintahan baru yakni

reformasi dan menjatuhkan symbol kediktatoran selama 32 tahun. Namun strategi

taktik seperti apa yang telah dilakukan oleh mahasiswa pada masa itu serta

bagaimana peran, keterlibatan dan keberpihakan Negara pada mahasiswa?

2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, Penulis merumuskan masalah

penelitiannya sebagai berikut:

a. Bagaimana deskripsi sejarah gerakan mahasiswa Indonesia pada

masa Orde Baru periode 1998.

b. Bagaimana analisis politik gerakan mahasiswa sebagai gerakan

(41)

3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Membuat gambaran gerakan mahasiswa Indonesia pada periode

1998.

b. Menganalisis perlawanan gerakan mahasiswa sebagai gerakan

social melawan Negara.

4. MANFAAT PENELITIAN

Disamping tujuan yang hendak dicapai maka suatu penelitian harus

mempunyai manfaat. Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Manfaat Praktis, bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk

mengembangkan kemampuan penulis dalam membuat karya ilmiah

dalam menganalisis kondisi social masyarakat.

2. Manfaat Akademis, bagi FISIP USU, khususnya Departemen Ilmu

Politik, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi perkembangan ilmu sosial secara umum dan secara khusus.

3. Manfaat praksis, penelitian ini bermanfaat sebagai sebuah

konsumsi dan referensi bagi gerakan sosial mahasiswa dan gerakan

(42)

5. KERANGKA TEORI

Kerangka teori diperlukan dalam setiap penelitian untuk memberikan

landasan teoritis bagi penulis dalam menyelesaikan masalah dalam proses

penelitian.30 Kerangka teori juga membantu seorang peneliti dalam menentukan

tujuan dan arah penelitian serta sebagai dasar penelitian agar langkah yang

ditempuh selanjutnya dapat jelas dan konsisten.31 Dekripsi teori disini

menerangkan tentang variable yang diteliti, baik yang bersifat deskripstif (satu

variable) atau lebih dari dua variable (hubungan, pengaruh dan komparatif)32

Kerangka teori berisi uraian tentang telaahan teori dan hasil penelitian

terdahulu yang terkait. Telaahan ini bisa dalam arti membandingkan,

mengkontraskan atau meletakkan tempat kedudukan masing-masing dalam

masalah yang sedang diteliti, dan pada akhirnya menyatakan posisi atau pendirian

peneliti disertai dengan alasan-alasannya. Dan bukan bermaksud untuk

memamerkan teori dan hasil penelitian ilmiah para pakar terdahulu dalam satu

adegan verbal sehingga pembaca ‘diberitahu’ mengenai sumber tertulis yang telah

dipilih oleh peneliti. Hal ini juga dimaksudkan untuk menampilkan mengapa dan

bagaimana teori hasil penelitian para pakar terdahulu digunakan peneliti dalam .

38

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, hal. 21.

31 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1990, hal. 65.

32

(43)

penelitiannya, termasuk dalam merumuskan asumsi-asumsi dalam

penelitiannya.33

5.1 Teori Demokrasi dan Demokratisasi

Teori-teori atau tinjauan pustaka yang dipakai oleh penulis sebagai

landasan berfikir dan titik tolak menyoroti masalah yang diteliti adalah sebagai

berikut:

Demokrasi bukanlah sebatas dunia politik, tetapi juga harus diberlakukan

dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kerja-kerja pemenuhan kebutuhan

hidup sehari-hari. Dalam bekerja, dalam menentukan produksi, dan hal-hal yang

selama ini dianggap rutin dan remeh-temeh yang justru sebenarnya adalah

penentu keberadaan manusia di dunia ini.

Dalam perkembangannya begitu banyak para ahli yang memberikan

definisi yang beragam mengenai demokrasi. Menurut Abraham Lincoln

demokrasi merupakan sistem dimana ada pemisahan antara eksekutif, legislatif,

dan yudikatif. Demokrasi merupakan sistem dimana rakyat bebas mengeluarkan

pendapatnya. Abdul Ghani Ar Rahhal di dalam bukunya, Al Islamiyyun wa Sarah

Ad Dimuqrathiyyah mendefinisikan demokrasi sebagai “kekuasaan rakyat oleh

rakyat”. Rakyat adalah sumber kekuasaan. Menurut Robert Dahl, Demokrasi

adalah suatu sistem politik dimana para anggotanya saling memandang antara

yang satu dengan yang lainnya sebagai orang-orang yang sama dipandang dari

segi politik, dan mereka itu secara bersama-sama adalah berdaulat,dan memiliki

33

(44)

segala kemampuan, sumberdaya dan lembaga-lembaga yang mereka perlukan

demi untuk memerintah diri merekas sendiri. Dan lain sebagainya para ahli

mengemukakan teori mereka tentang demokrasi yang pada hakikatnya memiliki

nilai atau esensi yang sama mengenai kekuasaan dan kedaulatan yang seutuhnya

ditangan rakyat.

Demokrasi sering dikaitkan dengan pola pemerintahan dalam Athena, dan

polis-polis lainnya di Yunani. Bahkan kata demokrasi inipun dari kata Yunani

demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan). Masyarakat Athena dan polis-polis

lainnya adalah masyarakat yang terlibat dalam persaingan-persaingan ekonomi

yang kemudian melahirkan konflik-konflik bersenjata. Kenyataan sejarah seperti

inilah yang mengkondisikan pembentukan sebuah organisasi masyarakat yang

bernama polis itu sendiri, di mana segala persoalan-persoalan publik dibicarakan

dalam forum-forum yang melibatkan anggota masyarakat. Bentuk seperti ini akan

menjamin tersedianya angkatan perang untuk membela kota mereka ataupun

menyerang kota lain.

Pada awalnya, para tuan tanah merupakan penduduk asli daerah tengah

perkotaan. Lalu perdagangan telah dibangun, harga-harga tanah melambung tinggi

dan para tuan tanah menggunakan posisinya untuk mengontrol pemasaran hasil

produksi dan sudah barang pasti mereka menggunakan posisi dominan mereka

untuk meminjamkan bibit kepada penduduk-penduduk miskin yang tinggal

dipinggiran dan untuk menambah perbudakan.Semua Negara kota di Yunani dan

Romawi dijalankan atas dasar dan prinsip yang sama, seluruh penghuni Negara

(45)

tapi sebenarnya terbelah didalam dirinya sendiri, dibedakan menjadi dua kaum:

antara wargakota dan budak.

Warga kota yang miskin (mereka disebut Plebeian dalam bahasa Romawi )

sama sekali tidak memiliki hak-hak politik. Perjuangan mereka adalah perjuangan

politik, perjuangan untuk meraih posisi yang dapat penentu kebijaksanaan di

negara-kota mereka. Kemenangan demokrasi tak terelakkan di Athena, hal ini

terjadi setelah warga negara kota yang miskin mampu memenangkan perang laut

di Salamis melawan orang persia yang ingin merebut kota itu. Meskipun mereka

terlalu miskin untuk mempersenjatai diri mereka sendiri, mereka menyediakan

pendayung-pendayung yang handal kepada Armada Laut Athena. Sebuah

persatuan yang rapuh telah tebentuk antara warga negara yang kaya dan yang

miskin melalui ekspansi keluar dan penaklukan budak-budak. Kemudian

penduduk yang miskin tidak terlalu tertekan, karena orang-orang kaya memiliki

cadangan tenaga kerja.

Tapi Demokrasi Athena –Demokrasi untuk warga kota – berbasiskan pada

eksploitasi terhadap kaum-kaum non warga kota: yaitu para budak yang tidak

memiliki hak-hak politik. Demokrasi Athena sebenarnya adalah sebuah

mekanisme untuk memaksakan kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa

kepada kaum-kaum yang tertindas dan untuk mempertahankan

kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa di dalam perang.

Negara berpihak kepada kaum yang berkuasa, struktur masyarakat berdiri

di atas kerja kaum budak –semua perkembangan pesat dalam bidang seni, budaya

(46)

menyebabkan para pemilik budak memiliki banyak waktu untuk istirahat,

masyarakat kemudian berkembang. Namun model demokrasi kuno yang ada di

awal peradaban ini tidaklah dapat dikatakan sebagai demokrasi sejati yang

meletakkan kepentingan mayoritas diatas minoritas.

Dalam perkembangan masyarakat manusia, telah berulang kali bagian

terbesar masyarakat dipaksa untuk tunduk baik secara kesadaran maupun karena

penggunaan alat-alat kekerasan seperti senjata. Tak jarang penggunaan kekerasan

sebagai alat pemaksa kehendak dilakukan karena kehendak minoritas masyarakat

memang bertentangan dengan kebutuhan mayoritas masyarakat.

Sering kali, sebuah tirani hanya terfokus pada satu orang diktator, seorang

tiran. Namun kenyataan yang terjadi selama berkuasanya sang Tiran tersebut, ia

hanyalah perwakilan ataupun penampakan dari sekelompok minoritas yang ingin

mendapatkan hak-hak khusus di atas penindasan terhadap mayoritas rakyat.

Bagi sebagian besar orang Eropa di bawah Imperium Romawi, Julius

Caesar adalah seorang tiran. Legiun-legiunnya yang membawa pedang dan

tameng merah sangat efektif menaklukkan suku-suku primitif di dataran Eropa

Barat. Sistem pajak dan kerja paksa diberlakukan tanpa perlawanan yang berarti.

Tapi apakah Julius Caesar bertindak atas kehendaknya sendiri? Dari mana asalnya

para legiuner-legiuner, perwira-perwira, dan jendral-jendral pasukan Romawi

yang tak terkalahkan itu? Sangat jelas, mereka adalah orang-orang yang dibiayai

ataupun memang berasal dari keluarga-keluarga tuan tanah di Roma. Caesar

berkuasa atas dukungan Senat, sebuah badan permusyawaratan kaum patricia

(47)

kemudian menghasilkan pajak dan budak, mustahil Romawi dapat berkembang.

Dan para patricia pemilik colonate (perkebunan besar) pun akan kesulitan

memperkaya diri karena mereka akan selalu membutuhkan budak-budak untuk

mengerjakan colonate mereka.34

Menurut Dahl, negara yang demokratis tidak hanya mengakomodasi

kompetisi politik secara ekstensi dan partisipatif, namun juga terdapat kebebasan

berbicara didalamnya, pers serta pluralisme yang memudahkan rakyat untuk

membentuk dan mengekspresikan pilihan-pilihan politik mereka dalam sebuah Gubernur-gubernur jendral Hindia Belanda juga memiliki latar belakang

yang sama. Di tanah jajahan mereka adalah tiran, yang menggunakan bala tentara

untuk menaklukan perlawanan-perlawanan reaksioner dan sia-sia para bangsawan

Jawa dan untuk memastikan rakyat jajahan membayar pajak tanah dan pajak

kepala. Tetapi siapakah pendukung mereka sebenarnya di tanah jajahan, apakah

para prajurit “londo” dan setengah “londo”? Mereka adalah justru orang-orang

yang dipaksa secara ekonomi menjadi prajurit di tanah air mereka. Pendukung

kebijakan-kebijakan para gubernur jendral adalah para pemilik (perampas tanah)

perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik baik di tanah jajahan ataupun negara

induk mereka. Gubernur Jendral Hindia Belanda adalah wakil dari minoritas

masyarakat Belanda, para bangsawan dan pemilik moda

Gambar

Tabel 2.1: Economic Crisis, Macro-Economic Indicator, Indonesia 1994-1998.
Tabel 2.2: Indonesian GNP Per Capita (US$).
Tabel 2.3: Frequency of Events, September 1997-February 1998 (the first six months)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul " Strategi Pemasaran Produk Produk BMT Dalam Menarik Minat Calon Nasabah (Studi Komparasi Pada BMT

Hasil penelitian adalah sistem TOT + glifosat 1,08-2,16 kg ha -1 dapat digunakan dalam persiapan lahan jagung dengan sistem TOT karena dapat menekan pertumbuhan gulma total,

[r]

Hasil uji coba lapangan menunjukkan t hitung > t tabel yaitu 1,83 > 1,67 maka, hipotesis H 0 ditolak,sehingga dapat disimpulkan pembelajaran dengan menggunakan

pada diri dan lingkungan sekitarnya, tidak semua siswa mampu memaksimalkan kecerdasan emosionalnya sehingga dalam pembelajaran di kelas sering terdapat siswa yang kurang mampu

This study aims to determine the influence of cooperative learning in type of Student Teams Achievement Division by aid of finding my secret word game toward the

Refleksi kritis pada diri (mengembangkan perbaikan diri secara terus menerus). Refleksi kritis dapat dianggap sebagai proses analisis, mempertimbangkan kembali

Makalah pertama membahas tentang pengembangan eksplorasi uranium dan thorium di Pulau Singkep dengan judul “Identifikasi Keterdapatan Mineral Radioaktif pada