• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Dan Kegiatan Pemberantasannya Tahun 2003-2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Dan Kegiatan Pemberantasannya Tahun 2003-2007"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KOTA LHOKSEUMAWE

DAN KEGIATAN PEMBERANTASANNYA TAHUN 2003-2007

SKRIPSI

OLEH:

VARA YUSWULANDARY NIM : 041000148

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KARAKTERISTIK PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KOTA LHOKSEUMAWE

DAN KEGIATAN PEMBERANTASANNYA TAHUN 2003-2007

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH:

VARA YUSWULANDARY NIM : 041000148

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul :

KARAKTERISTIK PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KOTA LHOKSEUMAWE

DAN KEGIATAN PEMBERANTASANNYA TAHUN 2003-2007

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :

VARA YUSWULANDARY NIM. 041000148

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 19 Desember 2008

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima

Tim Penguji

(dr. Ria Masniari Lubis, MSi) NIP. 131124053

Ketua Penguji

(Prof.dr. Nerseri Barus, MPH) NIP. 130365296

Penguji I

(Drs. Jemadi, M.Kes) NIP. 131996168 Penguji II

(Prof.dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH) NIP. 130702002

Penguji III

(4)

ABSTRAK

DBD merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah nasional dibidang kesehatan masyarakat, penyakit DBD saat ini cenderung meningkat dan semakin luas penyebarannya. Pada tahun 2002 di Indonesia terjadi sebanyak 40.377 kasus dengan Insidens Rate (IR) 19,24 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR 1,3%) , pada tahun 2003 sebanyak 51.439 kasus dengan IR 23,87 per 100.000 penduduk dan CFR 1,5%. Di NAD kasus DBD berfluktuatif selama 5 tahun terakhir, dan yang tertinggi yaitu pada tahun 2007 dengan IR38,55 per 100.000penduduk. Di Kota Lhokseumawe kasus DBD hampir tidak ada pada tahun 2003 dan 2004, tetapi pada tahun-tahun selanjutnya kasusnya mulai meningkat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita DBD di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dan kegiatan pemberantasannya tahun 2003-2007, penelitian bersifat deskriptif dengan desain case series, menggunakan data sekunder, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita DBD yang tercatat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe tahun 2003-2007 yang berjumlah 780 kasus (total sampling).

Insiden Rate (IR) di kota Lhokseumawe selama 5 tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang sangat tajam, pada tahun 2003 IR 5,98 per 100.000 penduduk, tahun 2004 IR 10,22 per 100.000 penduduk, tahun 2005 IR 143,9 per 100.000 penduduk, tahun 2006 IR 155,54 per 100.000 penduduk, dan pada tahun 2007 IR 156,13 per 100.000 penduduk. CFR tertinggi tahun 2006 sebanyak 6 orang (2,4%), selama 3 tahun terakhir di kota Lhokseumawe terdapat 3 kecamatan yang seluruhnya merupakan daerah endemis, yaitu Banda Sakti, Muara Dua, dan Blang Mangat.

ABJ di kota Lhokseumawe masih sangat rendah dibandingkan dengan angka indikator ABJ nasional (>95 %), yang paling rendah yaitu pada tahun 2006 (19,58%). Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe melalui Puskesmas hendaknya menghimbau kepada masyarakat pentingnya menjaga kebersihan lingkungan untuk mencegah terjadinya wabah DBD.

(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Vara Yuswulandary

Tempat/Tanggal Lahir : Lhokseumawe, 29 September 1986

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin

Jumlah Saudara : 4 (Empat) Orang

Alamat Rumah : Pasar I No.48 Desa Sidomulyo Delitua,

Kec.Sibiru-biru, 20358

Riwayat Pendidikan

1992–1998 : SD Negeri 3 Lhokseumawe, NAD

1998–2001 : SLTP Negeri 1 Lhokseumawe, NAD

2001–2004 : SMA Negeri 1 Lhokseumawe, NAD

2004–2008 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dan Kegiatan Pemberantasannya Tahun 2003 – 2007” yang merupakan salah satu prasyarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari

berbagai pihak, baik secara moril maupum materil, untuk itu pada kesempatan ini

penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada :

1. Ibu dr.Ria Masniari Lubis, MSi selaku Dekan FKM-USU

2. Bapak Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH selaku Ketua Departemen

Epidemiologi FKM-USU, dan selaku Dosen Penguji II yang telah banyak

memberikan masukan dan kritikan yang positif demi kesempurnaan penulisan

skripsi ini.

3. Ibu drh. Rasmaliah, Mkes selaku Dosen Penasehat Akademik

4. Ibu Prof. dr. Nerseri Barus, MPH selaku Dosen Pembimbing I (Ketua Penguji)

yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan

petunjuk, saran, dan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat

diselesaikan.

5. Bapak Drs. Jemadi, Mkes selaku Dosen Pembimbing II (Dosen Penguji I) yang

telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan petunjuk,

(7)

6. Ibu drh. Hiswani, Mkes selaku Dosen Penguji III yang telah banyak memberikan

masukan dan kritikan yang positif demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen dan Staf Pegawai di lingkungan FKM USU

8. Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dan Kepala Bagian P2P yang telah

memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian

9. Ayahanda dan Ibunda (Rusli Mahmud dan Sairah) yang telah memberikan doa,

motivasi, nasehat dan kasih sayang kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

10.Kepada Kakak dan Abang-abangku (Ida, Khairil, Anul, Izul, Raimun, Asnen,

Amy, Dievo), beserta keponakanku yang lucu-lucu terima kasih atas bantuan dan

dukungannya.

11.Sohibku (Ira, Tatik, dan Novi), teman-teman PBL dan LKP (unforgetable

moments), dan teman-teman mahasiswa peminatan Epidemiologi angkatan 2004.

12.Semua teman-teman yang tidak tersebutkan namanya satu persatu, terima kasih

atas bantuan dan dukungannya.

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu

pengetahuan dan dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya, dan semoga Allah

SWT memberikan berkah kepada kita semua. Amiiin.

Medan, Desember 2008 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

(9)

2.1.3. Vektor Penular ...

... 6

2.2. Penularan Virus Dengue ... ... 7

2.2.1. Mekanisme Penularan ... ... 7

2.2.2. Tempat Potensial bagi Penularan Penyakit DBD... ... 8

2.3.4. Tempat Perkembangbiakan Aedes aegypti... 12

2.4. Epidemiologi Penyakit DBD... ... 13

2.4.1. Distribusi Penyakit DBD Menurut Orang... 13

2.4.2. Distribusi Penyakit DBD Menurut Tempat... 13

2.4.3. Distribusi Penyakit DBD Menurut Waktu ... 14

2.4.4. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit DBD... 14

2.4.5. Manifestasi Klinis ... 18

2.5. Pencegahan Primer... ... 19

2.5.1. Surveilans Vektor... ... 19

2.5.2. Pengendalian Vektor ... ... 20

2.5.3. Surveilans Kasus ... ... 22

2.5.4. Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk ... ... 22

2.6. Pencegahan Sekunder... ... 23

2.6.1. Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita... ... 23

(10)

BAB 3 KERANGKA KONSEP ... 32

4.2.1. Lokasi Penelitian ... ... 35

5.2. Insiden Rate dan Case Fatality Rate penderita DBD ... 41 istribusi Penderita DBD Berdasarkan Tahun ... ... 44

5.4.2....D istribusi Penderita DBD Berdasarkan Bulan... ... 45

(11)

5.5. Distribusi

5.6.2. Kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) ... ... 47 5.7. Analisa Statistik... 48

5.7.1. Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ... ... 48 5.7.2. Berdasarkan Kecamatan dan Tahun ...

... 49 5.8.2. Banda Sakti dan Blang Mangat...

... 52 5.8.3. Muara Dua dan Blang Mangat ...

... 53

BAB 6 PEMBAHASAN ... 54 6.1. Gambaran Penyakit Demam Berdarah Dengue ... 54 6.2. Distribusi Penderita DBD Berdasarkan Orang ...

... 58 6.2.1. Umur dan Jenis Kelamin...

58

6.3. Distribusi Penderita DBD Berdasarkan Waktu ... ... 60 6.4. Distribusi Penderita DBD Berdasarkan Kecamatan ...

... 63

(12)

6.5.3. Pemantauan Jentik Berkala ... ... 67

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 69 7.1. Kesimpulan ...

69

7.2. Saran... 71

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 5.1. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin Di Kota

Lhokseumawe Tahun 2003-2007... 38

Tabel 5.2. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur di Kota

Lhokseumawe Tahun 2003-2007 ... 39

Tabel 5.3. Luas daerah, Jumlah Kelurahan, Jumlah Penduduk dan

Kepadatan Penduduk menurut kecamatan di Kota Lhokseumawe Tahun 2007 . ... 39

Tabel 5.4. Jumlah sarana Kesehatan di Kota Lhokseumawe Tahun 2007... 40

Tabel 5.5. Juimlah Penduduk, Penderita, Insiden Rate dan Case Fatality

Rate DBD di Kota Lhokseumawe Tahun 2003-2007 ... 41

Tabel 5.6. Distribusi Proporsi Penderita DBD Berdasarkan Kelompok

Umur dan Jenis Kelamin di Kota Lhokseumawe Tahun 2003-2007. ... 42

Tabel 5.7. Distribusi Penderita dan Insiden Rate Penyakit DBD

Berdasarkan Kelompok Umur di Kota Lhokseumawe Tahun 2003-2007. ... 43

Tabel 5.8. Distribusi Penderita dan Insiden Rate Penyakit DBD

Berdasarkan Jenis Kelamin di Kota Lhokseumawe Tahun 2003-2007. ... 44

Tabel 5.9. Distribusi Proporsi Penderita DBD Berdasarkan Tahun di Kota

Lhokseumawe Tahun 2003-2007 ... 44

Tabel 5.10. Distribusi Proporsi Penderita DBD Berdasarkan Bulan di Kota Lhokseumawe Tahun 2003-2007 ... 45

(14)

Tabel 5.12. Distribusi Proporsi Kegiatan Penyelidikan Epidemiologi dan Fogging Fokus di Kota Lhokseumawe Tahun 2003-2007 ... 46

Tabel 5.13. Distribusi Proporsi Penderita DBD Berdasarkan Kecamatan dan Tahun di Kota Lhokseumawe Tahun 2003-2007. ... 48

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 6.1. Diagram Garis Insiden Rate (IR) Penderita DBD di Kota

Lhokseumawe Tahun 2003-2007 ... 54

Gambar 6.2. Diagram Garis Case Fatality Rate (CFR) Penderita DBD di Kota Lhokseumawe Tahun 2003-2007 . ... 56

Gambar 6.3. Piramida Penderita DBD Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Kota Lhokseumawe Tahun 2003-2007. ... 58

Gambar 6.4. Diagram Bar Kasus DBD Per Bulan di Kota Lhokseumawe Tahun 2003-2007 . ... 60

Gambar 6.5. Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita DBD per Tahun

Berdasarkan Kecamatan di Kota Lhokseumawe

Tahun 2003-2007. ... 63

Gambar 6.6. Diagram Bar Kegiatan Fogging Fokus di Kota Lhokseumawe Tahun 2003-2007. ... 66

(16)

ABSTRAK

DBD merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah nasional dibidang kesehatan masyarakat, penyakit DBD saat ini cenderung meningkat dan semakin luas penyebarannya. Pada tahun 2002 di Indonesia terjadi sebanyak 40.377 kasus dengan Insidens Rate (IR) 19,24 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR 1,3%) , pada tahun 2003 sebanyak 51.439 kasus dengan IR 23,87 per 100.000 penduduk dan CFR 1,5%. Di NAD kasus DBD berfluktuatif selama 5 tahun terakhir, dan yang tertinggi yaitu pada tahun 2007 dengan IR38,55 per 100.000penduduk. Di Kota Lhokseumawe kasus DBD hampir tidak ada pada tahun 2003 dan 2004, tetapi pada tahun-tahun selanjutnya kasusnya mulai meningkat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita DBD di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dan kegiatan pemberantasannya tahun 2003-2007, penelitian bersifat deskriptif dengan desain case series, menggunakan data sekunder, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita DBD yang tercatat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe tahun 2003-2007 yang berjumlah 780 kasus (total sampling).

Insiden Rate (IR) di kota Lhokseumawe selama 5 tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang sangat tajam, pada tahun 2003 IR 5,98 per 100.000 penduduk, tahun 2004 IR 10,22 per 100.000 penduduk, tahun 2005 IR 143,9 per 100.000 penduduk, tahun 2006 IR 155,54 per 100.000 penduduk, dan pada tahun 2007 IR 156,13 per 100.000 penduduk. CFR tertinggi tahun 2006 sebanyak 6 orang (2,4%), selama 3 tahun terakhir di kota Lhokseumawe terdapat 3 kecamatan yang seluruhnya merupakan daerah endemis, yaitu Banda Sakti, Muara Dua, dan Blang Mangat.

ABJ di kota Lhokseumawe masih sangat rendah dibandingkan dengan angka indikator ABJ nasional (>95 %), yang paling rendah yaitu pada tahun 2006 (19,58%). Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe melalui Puskesmas hendaknya menghimbau kepada masyarakat pentingnya menjaga kebersihan lingkungan untuk mencegah terjadinya wabah DBD.

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan

kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat

kesehatan yang optimal (UU Kesehatan No.23 Tahun 1992). Untuk mencapai tujuan

tersebut diatas berbagai program telah dilaksanakan dan dikembangkan, baik oleh

pemerintah, swasta maupun masyarakat.1

Salah satu program yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan dan sasaran

pembangunan dibidang kesehatan adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit

menular. Program tersebut dilaksanakan untuk mencegah berjangkitnya penyakit,

atau mengurangi angka kematian dan kesakitan, dan sedapat mungkin menghilangkan

akibat buruk dari penyakit menular tersebut.2

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang masih

menjadi masalah nasional dibidang kesehatan masyarakat, karena penyakit ini sering

menimbulkan kematian bagi penderitanya, apalagi sampai saat ini obat dan vaksinnya

belum ditemukan.3

Penyakit DBD cenderung semakin luas penyebarannya, penyakit ini

ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang telah

terinfeksi virus dengue.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan

penyebaran kasus DBD ini sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk, urbanisasi

yang tidak terencana dan tidak terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap vektor di

(18)

Penyakit DBD di Asia pertama sekali ditemukan di Manila (Filipina) pada

tahun 1953, dan pada tahun 1958 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit

Demam Berdarah Dengue di Bangkok (Thailand), selanjutnya penyakit ini menyebar

ke berbagai negara.4

Angka kesakitan (morbidity rate) dan kematian (mortality rate) demam berdarah dengue di kawasan Asia Tenggara, selama kurun waktu 1985-2004, Indonesia berada di urutan kedua terbesar setelah Thailand (WHO 2004). Selama tahun 1985-2004, di Indonesia tercatat angka penderita demam berdarah dengue terendah 10.362 pada tahun 1989 dan tertinggi 72.133 orang pada tahun 1998, dengan angka kematian terendah 422 orang pada tahun 1999 dan tertinggi 1.527 pada tahun 1988. 6

Di Indonesia, Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama sekali dicurigai di

Surabaya pada tahun 1968. Di Jakarta, kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969.

Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Jogyakarta (1972).

Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan

Lampung, pada tahun 1973 di Riau, Sulawesi Utara dan Bali. Kemudian pada tahun

1974, epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat.5

Penyakit DBD sudah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, dengan jumlah

kasus yang masih cukup tinggi. Pada tahun 2002 sebanyak 40.377 kasus dengan

Insidens Rate (IR) 19,24 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR 1,3%) ,

pada tahun 2003 sebanyak 51.439 kasus dengan IR 23,87 per 100.000 penduduk dan

(19)

Pada tahun 2004 penyakit DBD dilaporkan di 30 provinsi pada 309

kabupaten/kota dengan jumlah penderita 70.926 kasus dengan IR 37,11 per 100.000

penduduk dan CFR 1,12% (794 kematian).3 Provinsi-provinsi yang dinyatakan KLB

DBD di Indonesia adalah sebanyak 12 provinsi yaitu NAD, DKI Jakarta, Jawa Barat,

Jawa Tengah, D.I. Jogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, NTB, NTT, Kalimantan

Timur, dan Sulawesi Utara. Kasus dan angka kesakitan tertinggi dilaporkan di

provinsi DKI Jakarta sebesar 19.569 kasus dengan IR 173,97 per 100.000 penduduk

dan 85 kematian (CFR 0,43%). Jawa Barat dengan 17.797 kasus dan 191 kematian

(CFR 1,07%), Kalimantan Timur dengan IR 72,94 per 100.000 penduduk, Bali

dengan IR 57,81 per 100.000 penduduk, dan Jogyakarta dengan IR 57,04 per 100.000

penduduk. Angka kematian tertinggi terjadi di provinsi Kalimantan Barat (CFR

6,67%), disusul NAD (CFR 4,37%), dan Sulawesi Utara (CFR 3,88%), dan pada

tahun 2005 jumlah penderita DBD di Indonesia sebanyak 95.279 kasus dengan IR

43,42 per 100.000 penduduk dan CFR 1,36%.3

Provinsi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) termasuk salah satu wilayah

endemis penyakit DBD, dari tahun 2003-2007 jumlah kasus berfluktuatif, yaitu. pada

tahun 2003 jumlah kasus 128 orang dengan IR 2,76 per 100.000 penduduk CFR 3,1%

, pada tahun 2004 jumlah kasus 252 orang dengan IR 5,43 per 100.000 penduduk

CFR 4,37%, pada tahun 2005 jumlah kasus 629 dengan IR 14,86 per 100.000

penduduk CFR 1,59%,3 pada tahun 2006 tercatat sebanyak 700 kasus DBD dengan

IR 16,53 per 100.000 penduduk CFR 1,7% dan pada tahun 2007 jumlah kasus 1.569

(20)

Kota Lhokseumawe merupakan salah satu kabupaten di NAD yang banyak

ditemukan kasus DBD. Sejak kurun waktu lima tahun terakhir (2003-2007) kasus

DBD di kota Lhokseumawe menunjukkan jumlah kasus yang semakin meningkat,

dan pada tahun 2005 telah melebihi target nasional yaitu kurang dari 20 per 100.000

penduduk.9 Tahun 2003 tercatat sebanyak 10 kasus dengan IR 5,98 per 100.000

penduduk CFR 0%, tahun 2004 sebanyak 19 kasus dengan IR 10,22 per 100.000

penduduk CFR 0%, tahun 2005 sebanyak 250 kasus dengan IR 143,9 per

100.000 penduduk CFR 0,8%, tahun 2006 sebanyak 250 kasus dengan IR 155,54 per

100.000 penduduk CFR 2,4%, dan pada tahun 2007 sebanyak 251 kasus dengan IR

156,13 per 100.000 penduduk CFR 1,59%.8

Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai

karakteristik penderita penyakit demam berdarah dengue (DBD) di wilayah kerja

dinas kesehatan Kota Lhokseumawe dan program pemberantasannya tahun

2003-2007.

1.2. Perumusan Masalah

Belum diketahui karakteristik penderita penyakit demam berdarah dengue

di wilayah kerja dinas kesehatan Kota Lhokseumawe dan kegiatan pemberantasannya

tahun 2003-2007.

(21)

Untuk mengetahui karakteristik penderita penyakit demam berdarah dengue

di kota Lhokseumawe dan kegiatan pemberantasannya tahun 2003-2004.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui Insiden Rate (IR) dan Case Fatality Rate (CFR)

penderita DBD di Kota Lhokseumawe tahun 2003-2007.

b. Untuk mengetahui distribusi penderita DBD berdasarkan umur dan jenis

kelamin di kota Lhokseumawe tahun 2003-2007.

c. Untuk mengetahui distribusi penderita berdasarkan waktu (bulan dan

tahun) di kota Lhokseumawe pada tahun 2003-2007.

d. Untuk mengetahui distribusi penderita dan stratifikasi daerah rawan DBD

berdasarkan kecamatan di kota Lhokseumawe tahun 2003-2007.

e. Untuk mengetahui kegiatan Penyelidikan Epidemiologi (PE) di kota

Lhokseumawe tahun 2003-2007.

f. Untuk mengetahui kegiatan Fogging Fokus di kota Lhokseumawe tahun

2003-2007.

g. Untuk mengetahui kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) di kota

Lhokseumawe tahun 2003-2007.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan kota Lhokseumawe,

khususnya untuk kegiatan Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit

(22)

b. Bagi penulis dapat menambah wawasan, pengalaman serta kesempatan

dalam menerapkan ilmu yang telah penulis peroleh selama perkuliahan di

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1. Definisi

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang

disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang

ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas,

lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai tanda perdarahan dikulit berupa petechie,

purpura, echymosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hepatomegali,

trombositopeni, dan kesadaran menurun atau renjatan.3

2.1.2. Agent Infeksius

Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam grup

B Antropod Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family flaviviridae,

yang terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4.

Masing-masing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat menyebabkan sakit pada manusia.

Keempat tipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. DEN 3

merupakan serotipe yang paling sering ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia

diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling

dominan yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan

gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal.10

2.1.3 Vektor Penular

Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor

(24)

Aedes aegypti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (daerah urban)

sedangkan daerah pedesaan (daerah rural) kedua spesies nyamuk tersebut berperan

dalam penularan.11

2.2. Penularan Virus Dengue 2.2.1. Mekanisme Penularan

Demam berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan

manusia. Virus dengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan

melalui nyamuk. Oleh karena itu, penyakit ini termasuk kedalam kelompok

arthropod borne diseases. Virus dengue berukuran 35-45 nm. Virus ini dapat terus

tumbuh dan berkembang dalam tubuh manusia dan nyamuk.12

Terdapat tiga faktor yang memegang peran pada penularan infeksi dengue,

yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue masuk ke dalam tubuh

nyamuk pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian

virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan

Aedes albopictus yang infeksius. 5

Seseorang yang di dalam darahnya memiliki virus dengue (infektif)

merupakan sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari

mulai 1-2 hari sebelum demam (masa inkubasi instrinsik). Bila penderita DBD digigit

nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung

nyamuk. Selanjutnya virus akan berkembangbiak dan menyebar ke seluruh bagian

tubuh nyamuk, dan juga dalam kelenjar saliva. Kira-kira satu minggu setelah

(25)

menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk

sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap

virus dengue menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya.13

Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk),

sebelum menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya

(probosis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus

dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain.13 Hanya nyamuk Aedes aegypti

betina yang dapat menularkan virus dengue.12

Nyamuk betina sangat menyukai darah manusia (anthropophilic) dari pada

darah binatang. Kebiasaan menghisap darah terutama pada pagi hari jam 08.00-10.00

dan sore hari jam 16.00-18.00. Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap

darah berpindah-pindah berkali-kali dari satu individu ke individu lain (multiple

biter). Hal ini disebabkan karena pada siang hari manusia yang menjadi sumber

makanan darah utamanya dalam keadaan aktif bekerja/bergerak sehingga nyamuk

tidak bisa menghisap darah dengan tenang sampai kenyang pada satu individu.

Keadaan inilah yang menyebabkan penularan penyakit DBD menjadi lebih mudah

terjadi.4

2.2.2. Tempat Potensial Bagi Penularan Penyakit DBD14

Penularan penyakit DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk

penularnya. Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah :

(26)

b. Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang

datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran

beberapa tipe virus dengue cukup besar.

Tempat-tempat umum itu antara lain :

i. Sekolah

Anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan kelompok

umur yang paling rentan untuk terserang penyakit DBD.

ii. Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya :

Orang datang dari berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah

penderita DBD, demam dengue atau carier virus dengue.

iii. Tempat umum lainnya seperti :

Hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat-tempat ibadah dan lain-lain.

c. Pemukiman baru di pinggiran kota

Karena di lokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka

kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa tipe virus

dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi awal.

2.3. Nyamuk Penular DBD 2.3.1. Morfologi

Nyamuk Aedes aegypti mempunyai morfologi sebagai berikut :

a. Nyamuk dewasa

Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata

(27)

Mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan

kaki.

b. Pupa (Kepompong)

Pupa atau kepompong berbentuk seperti “Koma”. Bentuknya lebih besar namun

lebih ramping dibandingkan larva (jentik)nya. Pupa nyamuk Aedes aegypti

berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain.

c. Larva (jentik)

Ada 4 tingkat (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan larva

i. Larva instar I berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm.

ii. Larva instar II berukuran 2,5-3,8 mm.

iii. Larva instar III berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II.

iv. Larva instar IV berukuran paling besar 5mm.

Larva dan pupa hidup pada air yang jernih pada wadah atau tempat air buatan

seperti pada potongan bambu, dilubang-lubang pohon, pelepah daun, kaleng

kosong, pot bunga, botol pecah, tangki air, talang atap, tempolong atau bokor,

kolam air mancur, tempat minum kuda, ban bekas, serta barang-barang lainnya

yang berisi air yang tidak berhubungan langsung dengan tanah.15 Larva sering

berada di dasar container, posisi istirahat pada permukaan air membentuk sudut

45 derajat, sedangkan posisi kepala berada di bawah.11

d. Telur

Telur berwarna hitam dengan ukuran lebih 0,80 mm. Telur berbentuk oval yang

mengapung satu persatu pda permukaan air yang jernih, atau menempel pada

(28)

pada dinding vertikal bagian dalam pada tempat-tempat yang berair sedikit,

jernih, terlindung dari sinar matahari langsung, dan biasanya berada di dalam dan

dekat rumah. Telur tersebut diletakkan satu persatu atau berderet pada dinding

tempat air, di atas permukaan air, pada waktu istirahat membentuk sudut dengan

permukaan air.16

2.3.2. Lingkungan Hidup

Nyamuk Aedes aegypti seperti nyamuk lainnya mengalami metamorfosis

sempurna yaitu telur – jentik – kepompong – nyamuk. Stadium telur, jentik dan

kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik

dalam waktu kurang lebih 2 hari setelah telur terendam air. Telur dapat bertahan

hingga kurang lebih selama 2-3 bulan apabila tidak terendam air, dan apabila musim

penghujan tiba dan kontainer menampung air, maka telur akan terendam kembali dan

akan menetas menjadi jentik. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan

stadium pupa (kepompong) berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur

menjadi dewasa 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan.16

Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan ke

tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang. Jarak terbang nyamuk betina

biasanya 40-100 meter. Namun secara pasif misalnya angin atau terbawa kendaraan

maka nyamuk ini dapat berpindah lebih jauh.14

2.3.3. Variasi Musiman

Pada musim hujan tempat perkembang biakan Aedes aegypti yang pada

musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum

(29)

penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai tempat

berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu pada musim hujan

populasi nyamuk Aedes aegypti terus meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini

merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan penyakit

dengue.14

2.3.4. Tempat Perkembangbiakan Aedes aegypti 14,17

Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti ialah pada

tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung di suatu

tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya

tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat

berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah.

Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedesaegypti dapat dikelompokkan

sebagai berikut :

a. Tempat Penampungan Air (TPA), yaitu tempat-tempat untuk menampung air

guna keperluan sehari-hari, seperti: tempayan, bak mandi, ember, dan lain-lain.

b. Bukan tempat penampungan air (non TPA), yaitu tempat-tempat yang biasa

menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti : tempat minum

hewan peliharaan (ayam, burung, dan lain-lain), barang bekas (kaleng,botol,

ban,pecahan gelas, dan lain-lain), vas bunga,perangkap semut, penampung air

dispenser, dan lain-lain.

c. Tempat penampungan air alami, seperti : Lubang pohon, lubang batu, pelepah

daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu,

(30)

2.4. Epidemiologi Penyakit DBD

2.4.1. Distribusi Penyakit DBD Menurut Orang

DBD dapat diderita oleh semua golongan umur, walaupun saat ini DBD lebih

banyak pada anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini DBD terlihat kecenderungan

kenaikan proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini

mempunyai mobilitas yang tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi

yang lancar, sehingga memungkinkan untuk tertularnya virus dengue lebih besar, dan

juga karena adanya infeksi virus dengue jenis baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan

DEN 4 yang sebelumya belum pernah ada pada suatu daerah.18

Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan

jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun

(86-95%). Namun pada wabah-wabah selanjutnya jumlah penderita yang digolongkan

dalam usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita DBD terbanyak pada

golongan anak berumur 5-11 tahun, proporsi penderita yang berumur lebih dari 15

tahun meningkat sejak tahun 1984.5

2.4.2. Distribusi Penyakit DBD Menurut Tempat

Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat

dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi

dengan suhu yang rendah perkembangbiakan Aedes aegypti tidak sempurna.17

Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan

Jakarta tahun 1968 angka kejadian sakit infeksi virus dengue meningkat dari

0,05 per 100.000 penduduk menjadi 35,19 per 100.000 penduduk tahun 1998. Sampai

(31)

Meningkatnya kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan

karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, dan

terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat

tipe virus yang menyebar sepanjang tahun.14,19

2.4.3. Distribusi Penyakit DBD Menurut Waktu

Pola berjangkitnya infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan

kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-320C) dengan kelembaban yang tinggi,

nyamuk Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama.

Di Indonesia karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat maka

pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di pulau Jawa pada

umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga

kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.18,19

2.4.4. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit DBD

Penularan penyakit DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu agent

(virus), host (pejamu), dan lingkungan, yaitu :

1. Agent (penyebab penyakit) adalah semua unsur atau elemen hidup atau mati yang

kehadirannya, apabila diikuti dengan kontak yang efektif dengan manusia rentan

dalam keadaan yang memungkinkan akan menjadi stimuli untuk mengisi dan

memudahkan terjadinya suatu proses penyakit. Dalam hal ini yang menjadi agent

dalam penyebaran DBD adalah virus dengue.19

2. Karakteristik host (pejamu) adalah manusia yang kemungkinan terjangkit

penyakit DBD. Faktor-faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia

(32)

i. Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan dari suatu tempat ke tempat

yang lainnya. Hasil penelitian Fathi (2004) di kota Mataram mobilitas

penduduk tidak ikut berperan dalam terjadinya KLB penyakit DBD di kota

Mataram, hal ini dapat dikaitkan dengan mobilitas penduduk di kota Mataram

yang relatif rendah yaitu sebagian besar adalah petani.20 Hasil penelitian

Arsunan dan Wahiduddin (2003) di kota Makassar mobilitas penduduk

berperan dalam penyebaran DBD, hal ini disebabkan mobilitas penduduk di

kota Makassar yang relatif tinggi.21 Hal ini sesuai dengan Sumarmo bahwa

penyakit biasanya menjalar dimulai dari suatu pusat sumber penularan (kota

besar), kemudian mengikuti lalu-lintas (mobilitas) penduduk. Semakin tinggi

mobilitas makin besar kemungkinan penyebaran penyakit DBD.13

ii. Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan

dan cara pemberantasan yang dilakukan, hal ini berkaitan dengan

pengetahuan. Hasil penelitian Nicolas Duma (2007) di kecamatan Baruga kota

Kendari ada hubungan yang sangat signifikan antara pengetahuan dengan

kejadian DBD.22 Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Arsunan dan

Wahiduddin (2003) di kota Makassar yang mendapatkan adanya hubungan

yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian DBD.21 Hasil penelitian

Kasnodiharjo (1997) di Subang Jawa Barat menyatakan bahwa seseorang

yang mempunyai latar belakang pendidikan atau buta huruf , pada umumnya

akan mengalami kesulitan untuk menyerap ide-ide baru dan membuat mereka

(33)

iii. Kelompok umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit

DBD. Hasil penelitian Soegeng Soegijanto (2000) di Jawa Timur dari tahun

1996 sampai dengan tahun 2000 proporsi kasus DBD terbanyak adalah pada

kelompok umur 5-9 tahun. Tetapi pada tahun 1998 dan 2000 proporsi kasus

pada kelompok umur 15-44 tahun meningkat, keadaan tersebut perlu

diwaspadai bahwa DBD cenderung meningkat pada kelompok umur remaja

dan dewasa.4 Hal ini sesuai dengan Suroso bahwa di Indonesia pada tahun

1995-1997 proporsi kasus DBD telah bergeser ke usia ≥ 15 tahun.5 Hasil

penelitian Fitri (2005) di Pekanbaru proporsi penderita terbanyak lebih sering

pada kelompok umur ≥ 15 tahun.24

iv. Jenis kelamin, berdasarkan penelitian Widyana (1998) di Bantul pada tahun

1997 menemukan bahwa proporsi penderita perempuan lebih tinggi dibanding

laki-laki yaitu sebesar 52,6 %.23 Hasil serupa juga di peroleh oleh Enny dkk

(2003) di Jakarta pada tahun 2000 sebagian besar penderita adalah perempuan

(58,2%).25 Namun secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis

kelamin penderita DBD dan sampai sekarang tidak ada keterangan yang dapat

memberikan jawaban dengan tuntas mengenai perbedaan jenis kelamin pada

penderita DBD.13 Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan

Djelantik di RSCM Jakarta (1998) menyatakan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara angka insiden laki-laki dan perempuan.11

3. Lingkungan, lingkungan yang terkait dalam penularan penyakit DBD adalah :

i. Tempat penampungan air / keberadaan kontainer, sebagai tempat perindukan

(34)

penelitian case control di kota Medan mendapatkan kondisi tempat

penampungan air mempunyai hubungan dengan kejadian DBD dengan

OR 5,706 (CI 95% 1,59 – 20,39).26

ii. Ketinggian tempat suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap

perkembangbiakan nyamuk dan virus DBD. Di wilayah dengan ketinggian

lebih dari 1.000 meter diatas permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Aedes

aegypti.

iii. Curah hujan, pada musim hujan (curah hujan diatas normal) tempat

perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak

terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang belum sempat menetas, dalam

tempo singkat akan menetas, dan kelembaban udara juga akan meningkat

yang akan berpengaruh bagi kelangsungan hidup nyamuk dewasa dimana

selama musim hujan jangka waktu hidup nyamuk lebih lama dan berisiko

penularan virus lebih besar.11,15,19 Dari hasil pengamatan penderita DBD yang

selama ini dilaporkan di Indonesia bahwa musim penularan DBD pada

umumnya terjadi pada musim hujan yaitu awal dan akhir tahun.4 Hasil

penelitian Fitri (2005) kasus penyakit DBD di kota Pekanbaru akan lebih

tinggi pada saat curah hujan tinggi yaitu diatas 300 mm.24

iv. Kebersihan lingkungan / sanitasi lingkungan, dari penelitian Yukresna (2003)

di kota Medan dengan desain penelitian case control yang mendapatkan

bahwa kebersihan lingkungan mempunyai hubungan dengan kejadian DBD

(35)

pernyataan Seogeng, S (2004) yang menyatakan bahwa kondisi sanitasi

lingkungan berperan besar dalam perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.4

2.4.5. Manifestasi Klinis5

Infeksi oleh virus dengue dapat bersifat asimtomatik maupun simtomatik yang

meliputi demam biasa (sindrom virus), demam dengue, atau demam berdarah dengue

termasuk sindrom syok dengue (DSS). Penyakit demam dengue biasanya tidak

menyebabkan kematian, penderita sembuh tanpa gejala sisa. Sebaliknya, DHF

merupakan penyakit demam akut yang mempunyai ciri-ciri demam, manifestasi

perdarahan, dan berpotensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan

kematian. Gambaran klinis bergantung pada usia, status imun penjamu, dan strain

virus.

Berikut ini adalah bagan manifestasi infeksi virus dengue :

Infeksi virus dengue

Asimtomatik Simtomatik

Demam yang tak Demam dengue Demam berdarah

jelas penyebabnya dengue

(sindrom virus) (kebocoran plasma)

Tanpa Dengan

Perdarahan perdarahan

DBD tanpa DBD dengan

syok syok (SSD)

(36)

2.5. Pencegahan Primer

Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu

pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan

orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.

2.5.1. Surveilans Vektor14,16,19

Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan

distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu

dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau

kekebalan insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk

pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan

penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk

memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah survei jentik.

Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa semua tempat

atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti

dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara

visual. Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat

genangan air tanpa mengambil jentiknya.

Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti

adalah :

a. House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan atau pupa.

HI = Jumlah Rumah Yang Terdapat Jentik x 100%

(37)

b. Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit larva atau pupa.

CI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100%

Jumlah Container Yang Diperiksa

c. Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100 rumah yang

diperiksa.

BI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100 rumah Jumlah Rumah Yang Diperiksa

Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik (ABJ),

yaitu jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah yang

diperiksa.

ABJ = Jumlah Rumah Yang Tidak Ditemukan Jentik x 100%

Jumlah Rumah Yang Diperiksa

Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi hasil

kegiatan yang dilakukan tiap 3 bulan sekali disetiap desa/kelurahan endemis

pada 100 rumah/bangunan yang dipilih secara acak (random sampling).

Angka Bebas Jentik dan House Indeks lebih menggambarkan luasnya

penyebaran nyamuk disuatu wilayah.

2.5.2. Pengendalian Vektor 4

Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi

nyamuk Aedesaegypti. Secara garis besar ada 3 cara pengendalian vektor yaitu :

a. Pengendalian Cara Kimiawi

Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada nyamuk

(38)

organoklorin, organofosfor, karbamat, dan pyrethoid. Bahan-bahan insektisida

dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumah

penduduk. Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu

dari golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk sand granules yang larut

dalam air di tempat perindukan nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi.

b. Pengendalian Hayati / Biologik

Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis dilakukan

dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme

hewan invertebrate atau vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan

sebagai patogen, parasit dan pemangsa.

Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia

affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis

golongan cacing nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan Romanomarmis

culiforax merupakan parasit yang cocok untuk larva nyamuk.

c. Pengendalian Lingkungan

Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan

mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada

pintu, lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah. Hindari

menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak

(39)

2.5.3. Surveilans Kasus 14

Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun pasif.

Di beberapa negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun sistem

surveilans pasif tidak sensitif dan memiliki spesifisitas yang rendah, namun sistem

inin berguna untuk memantau kecenderungan penyabaran dengue jangka panjang.

Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan kesehatan ( rumah sakit, Puskesmas,

poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan melaporkan

setiap penderita termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan selambat-lambatnya

dalam waktu 24 jam.

Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran dengue di

dalam masyarakat sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung

penyebaran kelompok serotipe virus yang bersirkulasi, untuk mencapai tujuan

tersebut sistem ini harus mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik.

Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki

kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD.

2.5.4. Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk16

Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat

dan pemerintah untuk mencegah penyakit DBD yang disertai pemantauan

hasil-hasilnya secara terus menerus. Gerakan PSN DBD merupakan bagian terpenting dari

keseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD, dan merupakan bagian dari upaya

mewujudkan kebersihan lingkungan serta prilaku sehat dalam rangka mencapai

masyarakat dan keluarga sejahtera. Dalam membasmi jentik nyamuk penularan DBD

(40)

1. Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan

minimal sekali dalam seminggu.

2. Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat

diterobos oleh nyamuk dewasa.

3. Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya

dapat menampung air hujan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk

Aedes aegypti.

2.6. Pencegahan Sekunder 14,18

Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :

2.6.1. Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita

Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh

petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara :

1. Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan

pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat

penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter

atau unit pelayanan kesehatan.

2. Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan

pengobatan segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut

kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan segera

melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit dilokasi

penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya

(41)

3. Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian luar

biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai

dengan cara penanggulangan seperlunya.

2.6.2. Diagnosis 4,5,18

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO

tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratorium.

1. Kriteria Klinis

a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus

selama 2-7 hari.

b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif,

petechie, echymosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi,

hematemesis dan malena.

Uji tourniquet dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah.

Selanjutnya diberikan tekanan di antara sistolik dan diastolik pada alat

pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku; tekanan ini diusahakan

menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit,

diperhatikan timbulnya petekia pada kulit di lengan bawah bagian medial

pada sepertiga bagian proksimal. Uji dinyatakan positif apabila pada 1 inchi

persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekia.13

c. Pembesaran hati (hepatomegali).

d. Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,

(42)

2. Kriteria Laboratorium

a. Trombositopeni ( < 100.000 sel/ml)

b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih.

3. Derajat Penyakit DBD, menurut WHO tahun 1997 4,5

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat, yaitu :

a. Derajat I Demam disertai dengan gejala umum nonspesifik, satu-satunya

manifestasi perdarahan ditunjukkan melalui uji tourniquet yang

positif.

b. Derajat II Selain manifestasi yang dialami pasien derajat I, perdarahan

spontan juga terjadi, biasanya dalam bentuk perdarahan kulit

dan atau perdarahan lainnya.

c. Derajat III Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai

hepatomegali dan ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi

meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (

< 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit lembab dan dingin

serta gelisah.

d. Derajat IV Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai

hepatomegali dan ditemukan gejala syok (renjatan) yang sangat

berat dengan tekanan darah dan denyut nadi yang tidak

(43)

2.6.3. Diagnosis Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang sangat penting untuk memastikan diagnosis

infeksi dengue, meliputi :

1. Pengumpulan Spesimen

Salah satu aspek yang esensial untuk diagnosis laboratorium adalah

pengumpulan, pegolahan, penyimpanan, dan pengantaran spesimen.

Persyaratan dari jenis spesimen, cara penyimpanan dan pengiriman dapat dilihat

pada tabel berikut ini : 5

Jenis spesimen Waktu pengambilan Penyimpanan Pengiriman

Spesimen darah Akut (S1)

0-5 hari setelah onset -700C dry-ice

Spesimen darah Konvelesen (S2 & S3)

2-3 minggu setelah awitan

-200C beku/es

Jaringan Secepatnya setelah

meninggal

-700C dry-ice

Spesimen S1 adalah sampel darah yang diambil pada stadium akut atau

secepatnya setelah onset penyakit atau segera setelah masuk rumah sakit.

Spesimen S2 adalah sampel darah yang diambil pada waktu penderita akan

meninggalkan rumah sakit atau secepatnya sebelum meninggal. Spesimen S3

adalah sampel darah yang diambil 2-3 minggu setelah spesimen akut. Waktu

antara yang paling baik untuk pengambilan spesimen akut dan kovalesen adalah

10 hari.

Untuk pemeriksaan serologi pengumpulan spesimen darah dapat dilakukan

(44)

a. dengan menggunakan kertas saring (filter paper khusus).

Darah diteteskan pada kertas saring sampai jenuh, bolak-balik sehingga

seluruh permukaan filter paper terisi darah rata. Darah dapat dari pembuluh

vena dapat pula darah dari ujung jari (ujung jari ditusuk). Kertas saring yang

berisi darah dibiarkan kering pada temperatur kamar. Jangan dikeringkan

dengan panas sinar matahari atau yang lainnya. Kertas saring yang berisi

darah yang telah kering disimpan dalam tempat yang kering pada suhu kamar

tidak lebih dari 3 bulan. Kirimkan dalam amplop atau kantong plastik ke

laboratorium secepatnya sebelum waktu 3 bulan tersebut.

b. dengan serum

darah diambil secara asepsis dengan menggunakan semprit. Serum dipisahkan

dengan diputar 1500-2000 putaran sekitar 10-15 menit. Serum yang terpisah

dipindahkan dalam botol kecil dengan menggunakan pipet Pasteur. Serum

tersebut disimpan pada suhu -200C sebelum dikirim ke laboratorium.

2. Isolasi Virus

Isolasi sebagian besar strain virus dengue dari spesimen klinis dapat dilakukan

pada sebagian besar kasus asalkan sampel diambil dalam beberapa hari pertama

sakit dan langsung diproses tanpa penundaan. Spesimen yang mungkin sesuai

untuk isolasi virus diantaranya serum fase akut dari pasien, autopsi jaringan dari

kasus fatal, terutama dari hati, limpa, nodus limfe.13

3. Uji Serologis

Uji hemaglutinasi inhibisi (uji HI) merupakan salah satu pemeriksaaan serologi

(45)

pemeriksaan serologi penderita DBD dibandingkan pemeriksaan serologi lainnya

seperti ELISA, uji komplemen fikasi, uji netralisasi, dan sebagainya.5 Apapun

jenis uji yang dilakukan, konfirmasi serologis sudah pasti bergantung pada

kenaikan yang signifikan (4 kali lipat atau lebih) pada antibodi spesifik dalam

sampel serum diantara fase akut dan fase pemulihan. Kumpulan antigen untuk

sebagian besar uji serologis ini harus mencakup keempat serotipe dengue.5

2.6.4. Pengobatan Penderita DBD 5,12,18

Pengobatan penderita DBD pada dasarnya bersifat simptomatik dan suportif

yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.

1. Penatalaksanaan DBD tanpa komplikasi :

a. Istirahat total di tempat tidur.

b. Diberi minum 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula atau air

ditambah garam/oralit). Bila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena

tidak mau minum, muntah atau nyeri perut berlebihan, maka cairan inravena

harus diberikan.

c. Berikan makanan lunak

d. Medikamentosa yang bersifat simptomatis. Untuk hiperpireksia dapat

diberikan kompres, antipiretik yang bersifat asetaminofen, eukinin, atau

dipiron dan jangan diberikan asetosal karena dapat menyebabkan perdarahan.

e. Antibiotik diberikan bila terdapat kemungkinan terjadi infeksi sekunder.

2. Penatalaksanaan pada pasien syok :

a. Pemasangan infus yang diberikan dengan diguyur, seperti NaCl, ringer laktat

(46)

b. Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu, dan pernapasan tiap jam,

serta Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) tiap 4-6 jam pada hari pertama

selanjutnya tiap 24 jam.

Nilai normal Hemoglobin :

Anak-anak : 11,5 – 12,5 gr/100 ml darah

Laki-laki dewasa : 13 – 16 gr/100 ml darah

Wanita dewasa : 12 – 14 gr/100 ml darah

Nilai normal Hematokrit :

Anak-anak : 33 – 38 vol %

Laki-laki dewasa : 40 – 48 vol %

Wanita dewasa : 37 – 43 vol %

c. Bila pada pemeriksaan darah didapatkan penurunan kadar Hb dan Ht maka

diberi transfusi darah.

2.6.5. Penyelidikan Epidemiologi (PE)

Penyelidikan Epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita/tersangka

DBD lainnya dan pemeriksaan jentik rumah, yang dilakukan dirumah penderita dan

20 rumah disekitarnya serta tempat-tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber

penularan, hasilnya dicatat dalam formulir PE dan dilaporkan kepada Kepala

Puskesmas selanjutnya diteruskan kepada Lurah melalui Camat dan penanggulangan

seperlunya untuk membatasi penularan. Maksud penyelidikan epidemiologi ialah

untuk mengetahui ada/tidaknya kasus DBD tanbahan dan luas penyebarannya, serta

untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit DBD lebih lanjut

(47)

Bila pada hasil PE ditemukan penderita DBD lain atau jentik dan penderita

panas tanpa sebab yang jelas lebih dari 3 orang maka akan dilakukan penyuluhan 3 M

plus, larvasida, fogging fokus / penanggulangan fokus, yaitu pengasapan rumah

sekitar tempat tinggal penderita DBD dalam radius 200 meter, yang dilaksanakan

berdasarkan hasil dari penyelidikan epidemiologi, dilakukan 2 siklus dengan interval

1 minggu. Bila pada hasil PE tidak ditemukan kasus lain maka dilakukan penyuluhan

dan kegiatan 3M.14,16

2.7. Pencegahan Tersier 18

Pencegahan tingkat ketiga ini dimaksudkan untuk mencegah kematian akibat

penyakit DBD dan melakukan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan

dengan :

a. Transfusi Darah

Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan malena

diindikasikan untuk mendapatkan transfusi darah secepatnya.

b. Stratifikasi Daerah Rawan DBD

Adapun jenis kegiatan yang dilakukan disesuaikan dengan stratifikasi daerah

rawan seperti :

i. Endemis

Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada kasus

DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah fogging Sebelum Musim Penularan

(48)

ii. Sporadis

Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD.

Kegiatan yang dilakukan adalah Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), PSN

(Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan 3M, penyuluhan tetap dilakukan.

iii. Potensial

Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir tidak ada kasus

DBD. Tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi dengan

wilayah lain dan persentase rumah yang ditemukan jentik > 5%. Kegiatan

yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.

iv. Bebas

Yaitu Kecamatan, Kelurahan yang tidak pernah ada kasus DBD. Ketinggian

dari permukaan air laut > 1000 meter dan persentase rumah yang ditemukan

(49)

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Konsep

Karakteristik Penderita Penyakit DBD dan Kegiatan Pemberantasannya

1. Karakteristik Penderita DBD berdasarkan a. Orang (Umur dan jenis kelamin)

b. Tempat (Kecamatan)

c. Waktu (Bulan dan Tahun)

2.Musim Penularan DBD

3.Stratifikasi daerah rawan DBD berdasarkan kecamatan

4.Kegiatan Pemberantasan Penyakit DBD

a. Penyelidikan Epidemiologi (PE)

b. Fogging Fokus

c. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Penderita DBD adalah penderita yang dinyatakan menderita Demam Berdarah

Dengue yang tercatat di laporan Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.

3.2.2. Umur adalah :

Usia penderita penyakit DBD yang tercatat pada laporan tahunan Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe tahun 2003-2007, dengan pembagian :8

1. 0 – 4 tahun 6. 25 – 29 tahun 11. 50 – 54 tahun

2. 5 – 9 tahun 7. 30 – 34 tahun 12. 55 – 59 tahun

3. 10 – 14 tahun 8. 35 – 39 tahun 13. 60 – 64 tahun

4. 15 – 19 tahun 9. 40 – 44 tahun 14. ≥ 65 tahun

5. 20 – 24 tahun 10. 45 – 49 tahun

Untuk melakukan uji crosstab umur dikategorikan atas :5 1. Anak-anak ( 0-14 tahun )

(50)

3.2.3. Jenis kelamin adalah :

Jenis kelamin penderita penyakit DBD yang dibedakan atas ;

1. Laki – laki

2. Perempuan

3.2.4. Kecamatan adalah :

Tempat kejadian penyakit DBD di wilayah kerja dinas kesehatan Kota

Lhokseumawe, yang terdiri dari 3 kecamatan, yaitu :

1. Banda Sakti 2. Muara Dua 3. Blang Mangat

3.2.6. Musim penularan adalah bulan dimana rata-rata kasus DBD tertinggi

(rata-rata dihitung selama 5 tahun terakhir).

3.2.7. Stratifikasi daerah rawan DBD adalah endemisitas suatu daerah berdasarkan

kriteria :

a. Endemis : Kecamatan yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada kasus DBD.

b. Sporadis : Kecamatan yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD.

c. Potensial : Kecamatan yang dalam 3 tahun terakhir tidak ada kasus DBD,

tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi dengan

wilayah lain dan persentase rumah yang ditemukan jentik > 5 %.

d. Bebas : Kecamatan yang tidak pernah ada kasus DBD, ketinggian

>1000 meter dari permukaan air laut dan persentase rumah yang

(51)

3.2.8. Kegiatan Pemberantasan Penyakit DBD adalah semua upaya untuk mencegah

dan menangani kejadian DBD termasuk tindakan untuk membatasi

penyebarannya, antara lain :

a. Penyelidikan Epidemiologi (PE), adalah kegiatan pencarian

penderita/tersangka lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular

penyakit DBD di rumah penderita/tersangka dan rumah-rumah sekitarnya

dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter.

b. Fogging fokus, adalah pengasapan rumah sekitar tempat tinggal penderita

DBD dalam radius 200 meter, yang dilaksanakan berdasarkan hasil

penyelidikan epidemiologi.

c. Pemantauan Jentik Berkala (PJB), adalah kegiatan pemeriksaan

tempat-tempat penampungan air yang dapat menjadi tempat-tempat perkembangbiakan

nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan dirumah-rumah dan tempat-tempat

umum secara teratur sekurang-kurangnya 3 bulan sekali untuk mengetahui

(52)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif dengan desain

Case Series.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Propinsi

Nanggroe Aceh Darussalam, dengan pertimbangan adanya peningkatan kasus yang

berfluktuasi dan cenderung meningkat.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2008 sampai dengan bulan Desember

2008.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua penderita penyakit DBD yang tercatat di

Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dari tahun 2003 – 2007 yang berjumlah 780

kasus.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah semua penderita DBD yang tercatat di Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe dari tahun 2003 – 2007 yang berjumlah 780 kasus

(53)

4.4. Metode Pengumpulan Data

Sumber data penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari pencatatan

dan pelaporan pada subdin P2P Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe tahun

2003-2007, dan data penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota

Lhokseumawe.

4.5. Teknik Analisa Data

Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisa secara deskriptif dan kemudian

dilakukan uji Chi-Square. Data yang sudah diolah disajikan dalam bentuk tabel

(54)

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Wilayah Kota Lhokseumawe 5.1.1. Geografis

Kota Lhokseumawe merupakan sebuah Kotamadya yang terbentuk pada

tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan UU No.2 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Kota

Lhokseumawe yang ditandatangani Presiden Abdurrahman Wahid, dengan luas

wilayah 181,1 Km2 yang mencakup 3 kecamatan, 6 kelurahan, dan 62 desa. Kota

Lhokseumawe adalah daratan rendah dan daratan rawa pantai (daerah percampuran

air asin dan air tawar) dengan ketinggian berada pada 0 m - 250 m di atas

permukaan laut.

Secara geografis Kota Lhokseumawe terletak pada garis 96°20’ - 97°21’ Bujur

Timur dan 4°54’ - 5°18’ Lintang Utara, yang diapit oleh Selat Malaka dan menempati

bagian tengah Kabupaten Aceh Utara dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Selat Malaka

b. Sebelah Selatan : Kecamatan Kuta Makmur (Kabupaten Aceh

Utara)

c. Sebelah Timur : Kecamatan Syamtalira Bayu (Kabupaten Aceh

Utara)

d. Sebelah Barat : Kecamatan Dewantara (Kabupaten Aceh Utara)

Kota Lhokseumawe merupakan suatu kota perlintasan yang menghubungkan

Ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu Banda Aceh dengan Propinsi

(55)

kesehatan tidak mengalami hambatan yang berarti karena semua wilayah sangat

mudah dijangkau.

5.1.2 Kependudukan

Penduduk Kota Lhokseumawe merupakan masyarakat yang homogen,

kebanyakan penduduknya adalah suku Aceh, tetapi ada juga suku lainnya dalam

jumlah yang sedikit seperti : Minang, Batak, Jawa, Sunda, Melayu, Cina dan

sebagainya.

Jumlah penduduk Kota Lhokseumawe tahun 2007 berdasarkan data dari Profil

Kesehatan Kota Lhokseumawe tahun 2007 yaitu, sebanyak 160.766 jiwa. Secara

terperinci distribusi penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut

ini :

Tabel 5.1. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kota Lhokseumawe Tahun 2003-2007

2 2004 88.552 47,6 97.413 52,4 185.965 100

3 2005 89.917 51,8 83.755 48,2 173.672 100

4 2006 62.673 39 98.057 61 160.730 100

5 2007 63.469 39,5 97.279 60,5 160.766 100

Sumber : Profil Kesehatan Kota Lhokseumawe

Berdasarkan tabel 5.1. dapat distribusi penduduk di kota Lhokseumawe pada

tahun 2007 lebih banyak perempuan daripada laki-laki, yaitu dengan jumlah

penduduk laki-laki sebanyak 63.469 jiwa (39,5%) dan penduduk perempuan 97.279

(56)

Secara terperinci distribusi penduduk menurut umur dapat dilihat pada tabel

berikut ini :

Tabel 5.2. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur di Kota Lhokseumawe Tahun 2003-2007

2003 2004 2005 2006 2007 NO Klmpk

Jumlah 167.026 100 185.965 100 173.672 100 160.730 100 160.766 100

Sumber : Profil Kesehatan Kota Lhokseumawe

Untuk mengetahui persebaran dan kepadatan penduduk kota

Lhokseumawe di 3 kecamatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 5.3. Luas Daerah, Jumlah Kelurahan, Jumlah Penduduk dan

Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Lhokseumawe Tahun 2007

Jumlah 181,10 68 160.766 887,7

(57)

Berdasarkan tabel 5.3. dapat dilihat persebaran penduduknya tidak

merata. Penduduk sangat padat pada kecamatan Banda Sakti dengan kepadatan

penduduk 6606,4 jiwa/km2. Kepadatan penduduk pada di kota Lhokseumawe dilihat

secara keseluruhan kecamatan adalah 887,7 jiwa/km2.

5.1.3 Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan berupa Rumah Sakit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu,

Puskesmas Keliling dan fasilitas lainnya telah menjangkau sebagian besar

masyarakat. Jumlah sarana kesehatan di Kota Lhokseumawe untuk memenuhi

pelayanan kesehatan masyarakat pada tahun 2007 tercatat sebagai berikut :

Tabel 5.4. Jumlah Sarana Kesehatan di Kota Lhokseumawe Tahun 2007

No Jenis Sarana Kesehatan Jumlah

1 Puskesmas 5

2 Puskesmas Pembantu 14

3 Puskesmas Keliling 4

4 Posyandu 90

5 Polindes 35

6 Rumah Bersalin 2

7 Balai Pengobatan / Klinik 2

8 Dokter Praktek (Umum, Gigi, Spesialis) 8

9 Rumah Sakit Bersalin 7

10 Rumah Sakit Umum (Pemerintah / Swasta) 7

Dari tabel 5.4. dapat dilihat bahwa Puskesmas di kota Lhokseumawe

sebanyak 5 unit, dengan demikian ratio Puskesmas terhadap penduduk adalah satu

Puskesmas untuk 32.153 penduduk. Dengan demikian Puskesmas di kota

Lhokseumawe tidak memenuhi standar Depkes RI yaitu satu Puskesmas untuk 30.000

(58)

5.2. Insiden Rate dan Case Fatality Rate Penderita DBD

Berdasarkan pencatatan dan pelaporan program P2P (Pencegahan dan

Pemberantasan Penyakit) DBD di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe selama 5

tahun terakhir dari tahun 2003-2007, tercatat kasus kesakitan dan kematian penyakit

DBD seperti pada tabel 5.6. Kasus yang dicatat dan dilaporkan sebagai kasus DBD

adalah penderita dengan gejala-gejala yang memenuhi kriteria diagnosa klinis DBD.

Berikut ini adalah tabel IR dan CFR kasus DBD tahun 2003-2007.

Tabel 5.5. Jumlah Penduduk, Penderita, Insiden Rate dan Case Fatality Rate Penderita DBD di Kota Lhokseumawe Tahun 2003-2007

Jumlah Kasus Tahun Jumlah

Penduduk Penderita Meninggal

Insiden Rate

2006 160.730 250 6 155,54 2,4

2007 160.766 251 4 156,13 1,59

Jumlah kasus yang ada di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe adalah

laporan dari Puskesmas dan Rumah Sakit yang ada diwilayah kerja Dinas Kesehatan

Kota Lhokseumawe yaitu sebanyak 3 kecamatan dengan 5 Puskesmas dan Rumah

Sakit pemerintah maupun swasta. Rumah Sakit melaporkan kasus demam berdarah

kepada Puskesmas, dan kemudian Puskesmas melaporkan ke Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe. Seluruh kasus yang ada dalam 5 tahun terakhir yaitu dari tahun

2003-2007 sebanyak 780 kasus.

Berdasarkan tabel 5.5. dapat dilihat bahwa penderita DBD dari tahun

Gambar

Tabel 5.1.
Tabel 5.3.
Tabel 5.4.
Tabel 5.5.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tanggal 17 Desember 2011, Perusahaan mengikat kerja sama investasi dengan Fujian Xinjifu Enterprises Group Co.,Ltd., perseroan terbatas dari RRC untuk mendirikan perseroan

In (Pasquet et al., 2016) a framework is proposed to automatically detect man- hole covers in high resolution aerial images by combining the method based on the geometrical filter

Pelelangan Sederhana di Lingkungan Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung dinyatakan GAGAL , dengan alasan peserta yang memasukan Dokumen Penawaran tidak ada yang lulus

Definisi mengenai tujuan akuntansi ini mempunyai kelemahan atau keterbatasan sebagai berikut: Pertukaran yang diakui oleh akuntansi yang konvensional tidak meliputi

Istinja’ membersihkan kotoran, setelah buang air kecil atau besar3. Aku harus membersihkan badan, pakaian, dan

Ketidaktahuan akan KAUKUS dan Peran politik anggota legislatitif sangat dibutuhkan untuk menjadikan perempuan sebagai fokus utama mereka hal ini yang disorot dalam penelitian

AKASHA WIRA INTERNATIONAL, TBK (PT.. Hal ini menjelaskan tentang hutang yang harus segera dipenuhi dengan aktiva lancar yang lebih likuid tanpa persediaan lebih besar dimiliki

Tuhan saya satu, satu Tuhan saya Kalau tidak satu, bukan Tuhan saya.. Tuhan saya Allah, Allah Tuhan saya Kalau bukan Allah, bukan