Kalsum Sari Asih
ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH
ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR:05/PID./2014/PT.TK.) Oleh
Kalsum Sari Asih
Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibat hilangnya nyawa orang lain adalah salah satu masalah yang serius di kalangan masyarakat, terlebih jika pelakunya adalah anak-anak yang usianya masih sangat muda, perkebangan jasmani, rohani, dan sosialnya belum sempurna, dalam bertindak belum didasarkan atas pertimbangan yang matang (labil), dan mudah terpengaruh oleh lingkungan pergaulan. Anak sebagai pelaku tindak pidana juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sama halnya dalam kasus pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh Merza Yuhanda, seorang anak berusia 15 tahun yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Kota Bumi dengan Nomor: 400/Pid.b/Anak/2013/PN.KB dan naik banding di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dengan Nomor:05/Pid./2014/PT.TK. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain serta apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan.
Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Penentuan narasumber dalam penelitian ini meliputi Pejabat Peradilan pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Hakim Pengadilan Negeri Kota Bumi, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung serta Dosen/ Akademisi Fakultas Hukum Bagian Pidana Universitas Lampung. Pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan studi lapangan, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan metode editing, sistematisasi dan interpretasi.
masyarakat, terdakwa dan kepentingan korban, hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi pelaku, berdasarkan pendekatan keilmuan, pendekatan pengalaman, tuntutan jaksa dan alat bukti
Saran dalam penelitian ini yaitu Hakim dalam memutus suatu perkara yang ditangannginya agar tidak keliru dan bersungguh-sungguh, karena dikhawatirkan merugikan salah satu pihak yang sedang berperkara di pengadilan.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH
ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR:05/PID./2014/PT.TK.)
Oleh
Kalsum Sari Asih
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
Kalsum Sari Asih
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 14
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana .... 16
1. Pengertian Tindak Pidana ... 16
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 17
B. Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan ... 20
C. Pengertian Anak dan Undang-undang yang Mengatur Tentang Anak ... 22
1. Pengertian Anak ... 22
2. Undang-undang yang Mengatur Tentang Anak ... 23
D. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 30
E. Dasar Pertimbangan Hakim ... 33
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 36
B. Sumber dan Jenis Data ... 37
C. Penentuan Narasumber ... 38
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Perkara Nomor:05/Pid./2014/PT.TK ... 41
B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Sebagai Pelaku
Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan yang
Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Pada Putusan
Nomor:05/Pid./2014/PT.TK. ... 45
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap
Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dengan
Kekerasan yang Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang
(Studi Kasus Putusan Nomor:05/Pid./2014/PT.TK.) ... 51
V. PENUTUP
A. Simpulan ... 64
B. Saran ... 65
MOTO
TIDAK PANTAS BAGI ORANG YANG BODOH ITU MENDIAMKAN KEBODOHANNYA DAN
TIDAK PANTAS PULA ORANG YANG BERILMU MENDIAMKAN ILMUNYA
(H.R ATH-THABRANI)
KESABARAN ITU TIADA BATAS,
DIKATAKAN MENCAPAI BATAS KETIKA KITA MULAI MENYERAH
YAKIN, USAHA, SEMANGAT DAN BERDO A (PENULIS)
AKULAH PENENTU NASIBKU, AKULAH SANG NAHKODA JIWAKU
(WILLIAM ERNEST HENRY)
HAL PALING MENYENANGKAN DI DUNIA ADALAH MELAKUKAN SESUATU, DIMANA ORANG MENGATAKAN KAMU TIDAK BISA.
Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT yang
telah memberikan kesempatan sehingga dapat ku selesaikan
sebuah karya ilmiah ini dan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang selalu kita harapkan Syafaatnya di
hari akhir kelak. Aku persembahkan karya ini kepada:
Kedua orang tua yang selalu mencintai, menyayangi,
mendo akan dan mendidikku:
Ngatori dan Marsini
Serta untuk adikku yang senantiasa memberikan dukungan
kepada ku dengan kasih sayang yang tulus, serta seluruh
keluarga yang melengkapi hari-hariku:
Riki Junaidi
Untuk sahabat dan teman-teman seperjuangan yang selalu
memberikan dukungan dan motivasi serta menemaniku
dalam suka dan duka dalam mencapai keberhasilanku.
Almamater Universitas Lampung
RIWAYAT HIDUP
Kalsum Sari Asih dilahirkan di Desa Sidosari, Kecamatan
Natar, Kabupaten Lampung Selatan, pada tanggal 02 April
1993, anak pertama dari dua bersaudara pasangan dari Bapak
Ngatori dan Ibu Marsini.
Pendidikan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sidosari yang diselesaikan pada Tahun
2005, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Al-Hidayah Sukajaya Rajabasa yang diselesaikan pada Tahun 2008, dan Sekolah
Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah 2 Bandarlampung yang diselesaikan pada
Tahun 2011.
Pada tahun yang sama peneliti terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lampung Melalui Jalur Penerimaan Mahasiswa Perluasan Akses
Pendidikan (PMPAP). Peneliti mengikuti program Kuliah Kerja Nyata periode
2014 mulai tanggal 11 Agustus 2014 sampai dengan 18 September 2014 di Desa
Alhamdulillahirobbilalamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan melantunkan nama-Mu yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul:
“Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan
Kekerasan yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan
Nomor:05/Pid./2014/PT.TK)”.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari
bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik itu secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis
mengucapkan terimakasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas
Lampung.
2. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
4. Ibu Hj. Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
5. Ibu Hj. Firganefi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I, yang telah
meluangkan waktunya juga kepada penulis untuk memberikan bimbingan,
arahan serta dukungan sehingga dapat terselesaikannya Skripsi ini.
6. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing II
yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan masukan dan
dukungan sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.
7. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas I, yang telah
memberikan masukan serta saran sehingga dapat terselesaikannya skripsi
ini.
8. Bapak Budi Riski H, S.H., M.,H., selaku Dosen Pembahas II, yang telah
memberikan masukan serta saran dan masukan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
9. Ibu Rini Fathonah selaku Pembimbing Akademik yang telah memberi
bimbingan akademik, bantuan dan saran kepada penulis selama ini.
10. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak
11. Bapak Indra Lasman Karim, S.H., Bapak Nasaruddin, S.H., Bapak
Parman, S.H., dan seluruh staf yang telah meluangkan Waktunya untuk
memberikan arahan, dukungan dan do’a pada saat penulis melakukan
reseach.
12. Teristimewa untuk Mamak dan Bapak, Marsini dan Ngatori. Terimakasih
atas semua pengorbanan, dukungan serta do’a yang tulus disetiap sujudmu
yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku. I
LOVE YOU.
13. Adiku Riki Junaidi dan semua saudaraku tercinta, terimakasih atas
dukungannya.
14. Teman-teman seperjuangan yang paling istimewa, Emilia Sari, Elsa Stella
Nova, Lasmaida Manik, Ernawati Sihombing, Tika Dolok, Nurul, Novi,
Tina, Yulia, Mimin Elsha, Mbak Yessi, Kodri Ubaidillah dan yang
lainnya. Terimakasih banyak atas dukungan, keceriaan, dan kebersamaan
kalian selama 4 tahun terakhir di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
15. Teman-teman KKN di Desa Way Gelam Kecamatan Candi Puro Kab.
Lampung Selatan, Luluk Jazila Issa, M. Iqbal Imadudin, Istiyana, Wilyan
Pratama. Terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama proses
16. MAHUSA UNILA, Terimakasih atas didikan dan dukungan Mahusa
selama ini. Angkatan 29 Mahusa Unila, Boleng, Lempem, my beloved
sister Ceti Penelope, Balung, dan Gomes. Terimakasih atas keceriaan,
kekonyolan serta kerjasamanya selama ini. Serta seluruh Senior dan
adik-adik yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terimakasih dan tetap
semangat. SALAM LESTARI!!!!!!!!!
17.Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian
skripsi yang tidak penulis sebutkan satu-persatu.
18. Almamaterku tercinta Universitas Lampung, terimakasih.
Wassalamualaikum, Wr.Wb
Bandar Lampung, Agustus 2015
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu bentuk kejahatan yang sering terjadi di masyarakat adalah pencurian.
Dimana melihat keadaan masyarakat sekarang ini sangat memungkinkan orang
untuk mencari jalan pintas dengan mencuri. Dari media-media massa dan media
elektronik menunjukkan bahwa seringnya terjadi kejahatan pencurian dengan
berbagai jenisnya dilatarbelakangi karena kebutuhan hidup yang tidak tercukupi.
Dengan berkembangnya tindak pidana pencurian maka berkembang pula
bentuk-bentuk lain dari pencurian. Salah satunya yang sering dilakukan adalah tindak
pidana pencurian dengan kekerasan.
Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa
orang lain adalah salah satu masalah yang sering muncul dikalangan masyarakat,
perbuatan tersebut sangat bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam
masyarkat yaitu norma agama dan adat-istiadat, sekaligus bertentangan dengan
norma ketentuan hukum pidana dan melanggar hak asasi manusia yaitu hak untuk
hidup.
Pasal 365KUHP menentukanbahwa:
2
(2) tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendirinatau peserta lainnya atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
(3) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.
2. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu. 3. Jika masuk ketempat melakukan kejahatan dengan merusak atau
memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
4. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
(4) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Berkaitan dengan pelaku tindak pidana tersebut adalah anak, maka berlakulah
Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang menerangkan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan
kepada Anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana
penjara bagi orang dewasa.
Anak pelaku tindak pidana juga harus mempertangungjawabkan atas
perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan
teorekenbaarheid atau criminal responsbility yang mejurus kepada pemidanaan pelaku dengan meksud untuk menentukan seseorang terdakwa atau tersangka
dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.1
Pertanggungjawaban pidana anak tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada
hukum materiil seperti yang diatur dalam KUHP, karena KUHP tersebut
ketentuan hukumnya bersifat konvensional yang mengacu kepada kepentingan
hukum kolonial Belanda, tetapi juga karena perilaku dan peradaban manusia
1
sudah sedemikian kompleks bahkan perkembangannya jauh lebih cepat dari
peraturan yang ada.2
Syarat penjatuhan pidana dalam teori hukum pidana dan praktik hukum pidana
yangmerujuk pada ajaran dualistis meliputi, syarat objektif yaitu tindak pidana
yang menunjuk padapelanggaran terhadap perbuatan yang telah ditetapkan dalam
suatu peraturan perundang-undangansebagai perbuatan terlarang dan tercela,
syarat subjektif yakni adanyapertanggungjawaban pidana yang dinilai dari adanya
kemampuan bertanggung jawab, adanyakesalahan yang terdiri dari kesengajaan
(dolus) dan atau kelalaian (culpa), dan tidak ada alasanpemaaf. Adapun 3 (tiga) unsur dari pertanggungjawaban pidana adalah sebagai berikut :Pertama, adanya
kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat (unsur mampu bertanggung
jawab). Kedua,hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang
berupa kesengajaan (dolus)atau kealpaan (culpa) ini disebut bentuk-bentuk kesalahan (unsur kesalahan). Ketiga,tidak adaalasan penghapus kesalahan atau
tidak ada alasan pemaaf.
Pertimbangan hakim tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bagian amar
putusan hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang menjadi roh dari
seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan yang
cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya hukum baik itu
banding maupun kasasi, yang dapat menimpulkan potensi putusan tersebut akan
dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.3
2
Bunadi Hidayat,Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, Bandung: P.T.Alumni, 2010, hlm. 49. 3
4
Hakim dalam menjatuhan pidanaterhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya
haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:4
1. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya.
2. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari.
3. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya.
4. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.
Proses penjatuhan putusan yang dilakukan hakim merupakan suatu proses yang
kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan
kebijaksanaan.Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus
meyakini apakahseorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak,
dengan tetap berpedomanpada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari
perbuatan yang dilakukan olehpelaku pidana. Setelah menerima dan memeriksa
suatu perkara, selanjutnya hakimakan menjatuhkan keputusan, yang dinamakan
dengan putusan hakim, pernyataanhakim yang merupakan sebagai pernyataan
pejabat negara yang diberi wewenanguntuk putusan itu. Jadi putusan hakim
bukanlah semata-mata didasarkan padaketentuan yuridis saja, melainkan juga
didasarkan pada hati nurani.5
Ada beberapa faktor kenapa orang melakukan tindak pidana pencurian dengan
kekerasan, salah satu diantaranya adalah perasaan dendam dan iri. Pelaku tindak
pidana tersebut bahkan tidak lagi mengenal batas usia, baik orang dewasa maupun
anak-anak yang belum cukup umur. Sama halnya dengan tindak pidana yang telah
4
Ibid. Hlm. 111. 5
memperoleh kekuatan hukum tetap di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Tanjung
Karang sebagaimana tertuang dalam putusan Nomor : 05/Pid./2014/PT.TK, dalam
putusan tersebut terdakwa yang bernama Merza Yuhanda dinyatakan terbukti
secara sah dan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dengan kekerasan
yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain” sebagaimana diatur dalam
Pasal 365 KUHP dan dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) tahun.
Sebelum dijatuhi Putusan Nomor : 05/Pid./2014/PT.TK, terdakwa telah di Putus
di Pengadilan Negri Kotabumi atas tindak pidana yang telah diperbuat. Dalam
Putusan Nomor : 400/Pid.b/Anak/2013/PN.KB, terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana “Pecurian dengan kekerasan
mengakibatkan mati”dan menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa berupa
menyerahkan terdakwa tersebut kepada Negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.
Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan permintaan banding terhadap putusan
Pengadilan Negri Kotabumi karena Pengadilan Negri Kotabumi dianggap sudah
salah dalam menerapkan hukuman terhadap terdakwa, dimana dampak dari
penjatuhan hukuman seperti itu tidak hanya meninggalkan luka yang mendalam
kepada keluarga korban, tetapi juga akan menghantui rasa ketakutan masyarakat
umum terhadap perbuatan terdakwa tersebut karena dimungkinkan perbuatan
sekejam itu akan terulang lagi ditengah masyarakat.
Hakim tingkat banding menilai penjatuhan tindakan terhadap terdakwa tersebut
sangat ringan jika dibandingkan dengan perbutan terdakwa yang telah
6
berteman dengan terdakwa. Sehingga penjatuhan pidana tersebut tidak memenuhi
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, karena tidak sebanding dengan
kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Pengadilan Tinggi Tanjung Karang
menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana kejahatan Pencurian dengan Kekerasan Mengakibatkan Mati dan
menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam)
tahun.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui
lebih mendalammengenai pertanggungjawaban pidana bagi anak yang melakukan
tindak pidana pencurian dengan kekerasan dan menuangkan dalam judul
penelitian “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencurian
Dengan Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan
Nomor:05/Pid./2014/Pt.Tk.)”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. BagaimanakahPertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya
2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dalam Putusan
Nomor:05/Pid./2014/PT.TK?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah kajian ilmu Hukum Pidana, khususnya
yang berkaitan dengan Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak
Pidana Pencurian dengan Kekerasan yang Dilakukan Oleh Anak dan Dasar
Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Putusan terhadap pelaku Pencurian
dengan kekerasan sebagaimana terdapat dalam Putusan
Nomor:05/Pid./2014/PT.TK. sedangkan ruang lingkup tempat penelitian yaitu
pada wilayah hukum Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Pengadilan Negeri
Kotabumi tahun 2015.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas tentang :
a. Pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelakutindak pidana
pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain
(Studi Kasus Putusan Nomor:05/Pid./2014/PT.TK.).
b. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Tindak
Pidana Pencurian dengan Kekerasan dalam Putusan
8
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat
serta sebagai bahan masukan bagi pengembangan ilmu hukum dengan
mengungkapkan secara objektif tentangkenyataan-kenyataan yang terjadi di
dalam pelaksanaan pemidanaan terhadap anak serta penjatuhan pidana
terhadap anak.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis, untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka
pelaksanaan koordinasi penegak hukum oleh hakim memberikan penjatuhan
pidana, khususnya terhadap anak di bawah umur.
D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan,
asas, keterangan dari suatu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan, dan
pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.
Menurut hukum adat seseorang dikatakan belum dewasa apabila seseorang itu
belummenikah dan belum terlepas dari tanggungjawab orang tua.Batas umur
matang untuk bersetubuh (geslachtssrijp) tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan) tahun.6
Pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Mampu Bertanggungjawab
Kemampuan bertanggung jawab (dalam arti kesalahan) ditetapkanoleh hubungan
kausal (sebab akibat) antara penyimpangan jiwa terdakwa dandelik. Untuk adanya
kemampuan bertanggung jawab harus ada:
1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang
baik dan buruknya perbuatan tadi.7
Pertama adalah faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor
perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak
diperbolehkan.
2. Kesalahan
a. Kesengajaan (dolus)
Petunjuk tentang arti kesengajaan dapat diketahui dari WvT (Meorie van Toelichting), yang memberi arti kesengajaan sebagai : “menghendaki dan mengethui”. Dengan demikian, sengaja dapat diartikan menghendaki dan
6
Maidin gultom,perlindungan hukum terhadap anak, Bandug: Rafika Aditaa, 2008, hlm.31. 7
10
mengetahui apa yang dilakukan. Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori
yang berkaitan dengan dengan kesengajaan sebagai berikut:8
1) Teori kehendak (Wilstheorie)
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik
dalam rumusan undang-undang.
2) Teori pengetahuan atau Membayangkan (Voorstel-lingtheorie)
Sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya; orang
tidak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkan.
b. Kealpaan (culpa)
Menurut Van Hamel, kealpaan mengandung dua syarat, yaitu:9
1) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaiana diharuskan oleh hukum.
2) Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Kealpaan seseorang itu harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik
atau psychis. Maksudnya adalah tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguhnya, maka haruskah ditetapkan dari luar
bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran sikapbatin orang
pada umumnya, apabila ada dalam situasi yang sama dengan si pembuat. Yang
harus memegang ukuran normatif dari kealpaan adalah haki. Hakimlah yang harus
menilai suatu perbuatan in corcreto dengan ukuran norma penghati-hati atau penduga-duga, dengan memperhitungkan di dalam segala keadaan dan keadaan
pribadi si pembuat.
8
Diah Gustiniati dan Budi Rizki H,Asas-asas dan Pemidanaan di Indonesia, Bandar Lampung: Justice Publisher, 2014, hlm. 121
9
3. Tidak Ada Alasan Pemaaf
Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsground ini manyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah
dilakukannya atau criminal responbility, alasan pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal.
Menurut Mackenzei dalam bukunya Ahmad Rifai, ada beberapa teori atau
pendekatan yang dapatdipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan
penjatuhan putusan dalam suatuperkara, yaitu sebagai berikut:10
1. Teori keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan disin adalah keseimbangan antarasyarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentinagan pihak-pihak yangtesangkut atau berakitan dengan perkara, yaitu anatara lain seperti adanyakeseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dankepentingan korban.
2. Teori pendekatan seni dan intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan darihakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengankeadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihatkeadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan senidipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan olehinstink atau intuisi dari pada penegtahuan dari hakim.
3. Teori pendekatan keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidanaharus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannyadengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusanhakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalammemutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instinksemata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasankeilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.
4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunyadalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalamanyang dimilikinya, seorang hakim dapat
10
12
mengetahui bagaimana dampak dari putusanyang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korbanmaupun masyarakat. 5. TeoriRatio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yangmempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yangdisengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan denganpokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan,serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untukmenegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
Pasal 183 KUHAP menentukan bahwa:
Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Pasal184 KUHAP menentukan bahwa:
(1) Alat bukti yang sah ialah :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa;
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Peran hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak mengabaikan
hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana
diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat”.
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pegamatan
dalam penelitian. 11 Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari
istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang harus
dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan
tindak pidana.12
b. Tindak pidana (Strafbaar feit)menurut Moeljatno dalam bukunya Tri Andrisman adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut.13
c. Pencurian adalah Barangsiapa mengambil barng sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana paling lama lima
tahun dan atau denda paling banyak enam puluh rupiah ( Pasal 362 tentang
pencurian KUHP ).
d. Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan,
pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau
dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan
hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai
11
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia: Press Jakarta, 1983, hlm.121.
12
Tri Andrisman,Hukum Pidana. Buku Ajar Universitas Lampung, 2009, hlm. 94. 13Ibid,
14
kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan
kekejaman terhadap binatang.14
e. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang dalam kandungan (Pasal 1 angka 1 Undang-undang
Nomor 23 tahun 2002). Sementara menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak adalah
orang yangdalam perkara anak nakal telah mencapai umur 12 (dua belas)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin.
E. Sistematika Penulisan
Agar skripsi ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa yang
hendak dituju dan dimaksud dengan judul skripsi, maka dalam sub bab ini penulis
akan membuat sistematika sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan gambaran umum mengenai penulisan
hukum yang mencakup latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan dan sistematika
penulisan hukum, pendekatan masalah sumber dan jenis data, lokasi penelitian,
penentuan populasi dari sempel, metode pengumpulan data dan pengolahan data,
serta analisis data.
14
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai menjelaskan teori-teori yang
berhubungan dengan judul. Pada bab II memberikan penjelasan mengenai
tinjauan umum tentang kejahatan, dan tinjauan umum tentangpemidanaan
terhadap anak.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini mengemukakan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam
melakukan penelitian, meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, lokasi
penelitian, penentuan narasumber, metode pengumpulan data dan pengolahan
data, serta analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan pembahasan terhadap permasalahan yang terdapat dalam
penulisan ini dengan menggunakan data yang diperoleh dilapangan baik berupa
data primer maupun data sekunder yang menyajikan hasil penelitian disertai
dengan pembahasan mengenai tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang
dilakukan oleh anak.
V. PENUTUP
Bab ini merupakan penutup yang merupakan kesimpulan tentang hal-hal yang
telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu, guna menjawab permasalahan yang
telah diajukan. Dalam bab ini diberikan juga sumbangan pemikiran berupa
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan dengan yang
dimaksud strafbaarfeit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam kamus hukum pembatasan delik tercantum sebagai berikut:
“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana).”1
Tindak pidana yang dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dikenal dengan istilah strafbaarfeitdan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan
1
suatu undang- undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau pebuatan
pidana atau tindakan pidana.2
Pada umumnya tindak pidana disinonimkan dengan delik , yang berasaldari
bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa Jerman disebut delict,dan dalam bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Besar BahasaIndonesia menggunakan istilah delik yaitu perbuatan yang dapatdikenakan hukuman karena
merupakan pelanggaran terhadap undang-undangtindak pidana.3
Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana” yaituperbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum, laranganmana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu,bagi barang siapa yang berupa pidana tertentu.
Sedangkan Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenaipengertian
perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yangoleh aturan hukum pidana
dinyatakan sebagai perbuatan yangdilarang.4
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut Lamintang5
,unsur delik terdiri atas dua macam, yakniunsur subjektif dan
unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur subjektifadalah unsur yang melekat
pada diri si pelaku atau yang berhubunganpada diri si pelaku dan termasuk
didalamnya segala sesuatu yangterkandung di dalam hatinya. Adapun yang
dimaksud dengan unsurobjektif adalah unsur yuang ada hubungannya dengan
2
Amir Ilyas,Op.Cit., hlm. 20. 3
Teguh Prasetyo,Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 47. 4
Mahrus Ali,Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 97-98. 5
18
keadaan-keadaan,yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku itu
harusdilakukan.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindakan itu adalah sebagai berikut:
a. Kesengajaan atau ketidaksengaajan (dolusatauculpa) b. Maksud atauvoornemenpada suatu percobaan ataupoging.
c. Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdaptmisalnya di dalam kejahatan pencurian, penipuan,pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad,seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhanmenurut Pasal 340 KUHPidana.
e. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalamrumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHPidana.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut:
a. Sifat melawan hukum atauwederrechtelijkheid
b. Kualitas dari si pelaku. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan
sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
Menurut simon, seorang penganut aliran monistis dalam merumuskan pengertian
tindak pidana, ia memberikan unsurunsur tindak pidana sebagai berikut:6
1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan.
2. Diancam dengan pidana.
3. Melawan hukum.
4. Dilakukan dengan kesalahan dan orang yang mampu bertanggungjawab.
6
Mengenai kapan unsur melawan hukum itu berupa melawan hukumobjektif atau
subjektif bergantung dari bunyi redaksi rumusan tindakpidana yang bersangkutan.
Unsur yang bersifat objektif adalah semuaunsur yang berada di luar keadaan batin
manusia atau si pembuat, yaknisemua unsur mengenai perbuatannya, akibat
perbuatan dan keadaan-keadaantertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan
objek tindakpidana. Sementara itu, unsur yang bersifat subjektif adalah semua
unsuryang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya.7
Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) hukuman dibedakan
menjadi dua, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Pengaturan ini
terdapat dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:
a. Pidana Pokok
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan.
b. Pidana Tabahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim.
Pengaturan mengenai hukuman tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan
perundang-undangan lainnya, KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa
7
20
hukuman tambahan tersebut terbatas pada 3 bentuk di atas saja. Pada prinsipnya
memang pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa
pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan tambahan dari sesuatu hal
yang pokok.
B. Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan
Tindak pidana pencurian dengan kekerasan itu telah diatur dalam Pasal 365
KUHP, yangrumusannya sebagai berikut:8
1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang
didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhdap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan
diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang
dicuri.
2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
a. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau di
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, diberjalan,
b. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu
c. Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau emanjat
atau dengan memakia anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian
jabatan palsu.
d. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
8
3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
4) Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka
berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu, disertaipula oleh salahsatu hal yang diterangkan dalam nomor 1
dan 3.
Dengan demikian maka yang diatur dalam Pasal 365 KUHPidanasesungguhnya
hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua kejahatan yangterdiri atas kejahatan
pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang, ataupun bukan
merupakan suatusamenloopdarikejahatan pencurian dengan kejagatan pemakaian kekerasan terhadaporang.
Pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP, yang pada intinya memiliki unsur :
1. Maksud untuk “mempersiapkan pencurian”, yaitu perbuatan kekerasan
atau ancaman kekerasan yang mendahului pengambilan barang. Misalnya :
mengikat penjaga rumah, memukul dan lain-lain.
2. Maksud untuk “mempermudah pencurian”, yaitu pengambilan barang
dipermudah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Misalnya :
menodong agar diam, tidak bergerak, sedangkan si pencuri lain
mengambil barang-barang dalam rumah.9
Pencurian dengan kekerasan bukanlah merupakan gabungandalam artian
gabungan antara tindak pidana pencurian dengan tindakpidana kekerasan maupun
9
22
ancaman kekerasan, kekerasan dalam hal inimerupakan keadaan yang
berkualifikasi, maksudnya adalah kekerasanadalah suatu keadaan yang mengubah
kualifikasi pencurian biasa menjadipencurian dengan kekerasan. Dengan
demikian unsur-unsurnya dikatakansama dengan Pasal 362 KUHPidana
ditambahkan unsur kekerasan atauancaman kekerasan.
C. Pengertian Anak dan Undang-Undang yang Mengatur Tentang Anak
1. Pengertian Anak
Secara umum, kita ketahui yang dimaksud dengan anak yaitu orang yang masih
belum dewasa atau masih belum kawin. Terdapat beberapa pengertian
tentanganak menurut Peraturan Perundan-undangan dan para ahli.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, penjelasan
tentang anak terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Anak adalah seorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang berada dalam kandungan.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak Pasal 1 Ayat (3) Anak adalah anak yang telah berumur 12 (duabelas)
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Nomor: 1/PUU-VII/2010, Tanggal 24
Februari 2011, Terhadap Pengadilan Anak Mahkamah Konstitusi (MK)
menyatakan bahwa frase 8 tahun dalam pasal 1 angka 1, pasal 4 ayat (1) dan pasal
bertentangan dengan UUD 1945, sehingga MK memutuskan batas minimal usia
anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun.
Sedangkan pembatasan pengertian anak menurut beberapa ahli yakni sebagai
berikut:
Menurut Sugiri sebagai mana yang dikutip dalam buku karya Maidi Gultom
mengatakan bahwa:
“selama di tubuhnya masih berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, anak
itu masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur anak-anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 (delapan belas) tahun untuk wanita dan 21 (dua puluh) tahun untuk laki-laki.”10
Pada penulisan skripsi ini penulis memberikan batasan pengertian anak yakni
seseorang telah mencapai usia 8 (delapan) tahun dan belum 18 (delapan belas)
tahun serta belum kawin.
2. Undang-Undang yang Mengatur Tentang Anak
a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anakjo
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Terdapat beberapa perubahan dan perkembangan, khususnya dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah
disahkan oleh Presiden bersama DPR pada akhir bulan juli 2012 lalu dibanding
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
10
24
Tujuannya adalah untuk semakin efektifnya perlindungan anak dalam sistem
peradilan demi terwujudnya Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu (integrated criminal justice system) atau juga bisa jadi pemunduran terhadap nilai-nilai yang telah ada sebelumnya.
Pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak terdapat perubahan-perubahan dibandingkan dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, diantaranya :
1. Definisi anak
Pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat
definisi Anak dan Anak Nakal.
“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin.”
Anak Nakal adalah :
a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.”
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak pengertian anak diperluas lagi, dan cenderung kepada
penggunaan anak dalam sistem peradilan, yaitu Anak yang Berhadapan dengan
Hukum, Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Anak yang Menjadi Korban
terlepas dengan adanya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban sehingga mempengaruhi definisi anak dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
2. Lembaga yang Mengatur Tentang Anak
Pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tidak
disebutkan secara rinci tentang lembaga-lembaga apa saja yang terdapat dalam
SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak). Tetapi dalam perkembangannya dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
terdapat lembaga-lembaga antara lain : Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), dan Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
a. Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah
lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya.
b. Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS
adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung.
c. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat
LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak.
3. Asas-asas
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak menyebut
secara khusus bahwa pengadilan anak didasarkan atas asas-asas apa saja, tetapi
dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
26
“Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
a. pelindungan;
b. keadilan;
c. nondiskriminasi;
d. kepentingan terbaik bagi Anak;
e. penghargaan terhadap pendapat Anak;
f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g. pembinaan dan pembimbingan Anak;
h. proporsional;
i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
j. penghindaran pembalasan.
4. Sanksi pidana
undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maupun
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memuat
sanksi pidana, baik pokok maupun tambahan, antara lain :
Undang-undangNo. 3 Tahun 1997 Undang-undang No. 11 Tahun 2012
5. Ketentuan pidana11
6. Diversi dan Keadilan Restoratif
Tidak adanya pengaturan secara jelas alternatif penyelesaian masalah anak
yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi. Dalam upaya diversi
ini Lembaga Kepolisian dapat menggunakan kewenangan diskresioner yang
dimilikinya. Antara lain tidak menahan anak, tetapi menetapkan suatu
tindakan berupa mengembalikan anak kepada orang tuanya atau
menyerahkannya kepada negara. Pada tingkat penuntutan, upaya diversi tidak
dapat dilakukan karena lembaga penuntutan tidak memiliki kewenangan
diskresioner. Sedangkan pada tingkatan pengadilan diversi terbatas pada
tindakan pengadilan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara atau kurungan.
Untuk itu perlu adanya pengaturan tentang upaya diversi secara jelas baik
pada tingkat kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan sebagaimana halnya
diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan
pidana anak. Sehingga aparat kepolisian tidak menggunakannya
kewenangannya itu sekehendak hatinya, tetapi berlandaskan
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Kemudian dalam pelaksanaan proses
peradilan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 belum mengutamakan
pendekatan hukum dengan keadilan Restoratif, sama halnya dengan
pendekatan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 yang
mengutamakan pendekatan keadila restorative.
11
28
7. Jangka waktu atau masa penangkapan danpenahanan
Tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan
penahanan terhadap anak nakal. Dalam prakteknya penangkapan terhadap
anak nakal disamakan dengan orang dewasa. Yang membedakan hanya
jangka waktu penahanan terhadap anak lebih singkat dari orang dewasa.
Perlunya pengaturan secara jelas terhadap penangkapan dan penahanan
terhadap anak agar lebih memberikan perlindungan yang maksimal terhadap
anak dan terhindar dari perlakuan-perlakuan yang salah dari aparat penegak
hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Pasal 81 ayat (2) telah
menetapkan bahwapidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling
lama ½ (satu per dua) dari maksimum ncaman pidana orang dewasa.
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disahkan pada
tanggal 22 Oktober 2002. Penyelenggaraan undang-undang ini berasaskan
Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak yang meliputi:
a. Non Diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik untuk anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya;
d. Penghargaan terhadap anak.
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera (Pasal 3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
memuat 20 hak anak dan keawajiban anak. Karena anak adalah subyek hukum
yang kepadanya melekat hak dan kewajiban yang harus dijamin pelaksanaannya.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur tentang Hak dan Kewajiban
Anak yang tertuang dalam Pasal 4 hingga Pasal 19.
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Anak dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
Mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpamembeda-bedakan
jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial.
Pasal 2 menentukan bahwa:
(1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
(2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa,
untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna.
(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan.
(4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya
30
Usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan,
pencegahan, dan rehabilitasi yang dilakukan oleh Pemerintah dan atau
masyarakat.
D. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak
pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu
adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban
pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.
Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku
sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah
penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas
pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tiada Pidana tanpa
kesalahan" (Geen Straf Zonder Schuld) untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan
dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai
kesalahan.Kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang
yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan
tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga
orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana.
Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari
pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin
Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana, unsur
tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana harus terpenuhi.
Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan obyektif yang diikuti oleh unsur
sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan
unsur subyektif yang terdiri dari kemampuan bertanggungjawab dan adanya
kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).
Pasal 44, 48, dan Pasal 49 ayat (2) KUHP menentukan bahwa tidak semua orang
yang telah melakukan tindak pidana dapat dipidana, hal ini terkait dengan alasan
pemaaf dan alasan pembenar. Alasan pemaaf yaitu suatu alasan tidak dapat
dipidananya seseorang dikarenakan keadaan orang tersebut secara hukum
dimaafkan. Alasan pembenar yaitu tidak dapat dipidananya seseorang yang telah
melakukan tindak pidana dikarenakan ada undang-undang yang mengatur bahwa
perbuatan tersebut dibenarkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 48, 49 ayat (1),
50 dan 51 KUHP.
Pasal 44 KUHP menentukan bahwa:
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjwabkan kepedanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepda pelakunya karenapertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang dimasukan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentun dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negri.
Pasal 48 KUHP menentukan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan karena
32
Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan
pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah
melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana tergantung pada soal, apakah
dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak apabila orang
yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu
dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia mempunyai kesalahan, walaupun dia
telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tidak dipidana. Asas
yang tidak tertulis : “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan tentu
dasar daripada dipidananya si pembuat.
Dilihat dari sudut terjadinya satu tindakan yang terlarang, seseorang akan
dipertanggungjawabkan atas tindakannya apabila tindakan tersebut bersifat
melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau
rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk orang itu dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu
bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Moeljatno, seseorang harus bertanggungjawab secara sendiri atau
bersama orang lain, karena kesengajaan atau kelalaian secara aktif atau pasif
dilakukan dalam wujud perbuatan melawan hukum, baik dalam tahap pelaksanaan
maupun dalam tahap percobaan. Pendapat para sarjana kiranya dapat diambil
kesimpulan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:12
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
benar, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.
12
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik
dan buruknya perbuatan tadi.
Pertanggungjawaban pidana tidak hanya menyangkut soal hukum semata,
melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang
dianut oleh masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Van Hemel menyatakan bahwa pertanggungjawaban yaitu keadaan normal dan
kematangan psikis yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk:13
1. Memahami arti dan akibat perbuatan sendiri
2. Memahami bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat.
3. Menetapkan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.
Pertanggungjawaban pidana adalah pengertian kesalahan yang luas, yang tidak
boleh dicampuradukan dengan yang disebutkan dalam Pasal 44 KUHP. Pasal 44
KUHP merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu
bertanggungjawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan dari
kemampuan bertanggungjawab. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila
orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
perbuatan melawan hukum.
E. Dasar Pertimbangan Hakim
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), Hakim adalah
pejabat Peradilan Negara yangdiberi wewenang oleh undang-undang untuk
13
34
mengadili. Kemudian kata “mengadili”sebagai rangakain tindakan hakim untuk
menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan
tidak memihak dalam sidang suatu perkara danmenjunjung tinggi 3 (tiga) asas
peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.
Menurut Ahmad Rifai, hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan
segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil
mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai
dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Oleh karena itu hakim tidak
berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus
mempertanggungjawabkan putusnnya.14
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan
mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak
tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim
dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus
mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang
sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai
kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula
rasa keadilan masyarakat.15
Putusan hakim haruslah berisi alasan-alasan dan pertimbanga-pertimbangan yang
bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Dimana dalam
pertimbangan-pertimbangan itudapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan yang
diambil. Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus
14
Ahmad Rifai.Op.Cit., hlm.94. 15Ibid
meyakini apakah seorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak,
dengan tetap berpedoman pada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari
✁6
III. METODE PENELITIAN
Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas, diperlukan data dan informasi
yang relevan terhadap judul dan perumusan masalah serta identifikasi masalah,
untuk itu agar diperoleh data yang akurat, penulis menggunakan metode
penelitian sebagai berikut :
A. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian ini penulis melakukan dua hal pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan Yuridis Normatif
Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan penulis dalam
usaha mencari kebenaran dengan melihat asas-asas yang terdapat dalam berbagai
peraturan undang-undang terutama yang berhubungan dengan Putusan Pengadilan
Nomor:05/Pid./2014/Pt.Tk, yang berlokasi di wilayah hukum Pengadilan Negeri
KotaBumi dan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang tentang Tindak Pidana
Pencurian dengan Kekerasan yang Mengakibatkn Orang Mati.
2. Pendekatan Yuridis Empiris
Pendekatan yuridis empiris yaitu menelaah hukum sebagai pola perilaku yang
ditunjukkan pada penerapan peraturan hukum. Pendekatan yuridis empiris
dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi-informasi di lapangan yang
Pencurian dengan Kekerasan yang Mengakibatkn Orang Mati tersebut.
Penggunaan kedua macam pendekatan tersebut dilakukan untuk memperoleh
gambaran dan pemahaman yang jelas danbenar terhadap permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian guna penulisan skripsi ini.
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber data penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan.
Sedangkan jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.1 Data
primer dalam penulisan ini diperoleh dari pengamatan atau wawancara dengan
para responden, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berhubungan langsung
dengan masalah skripsi ini.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan, yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
1
38
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Republik Indonesia.
5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
6) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
b. Bahan hukum sekunder, yaitu putusan hakim pada Pengadilan Tinggi
Tanjung Karang Nomor:05/Pid./2014/Pt.Tk, Putusan pada Pengadilan Negeri
Kotabumi Nomor:400/Pid.b/Anak/2013/PN.KB,serta bahan-bahan yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti
undang-undang, literatur-literatur, makalah-makalah, dan lain-lain yang berhubungan
dengan permasalahan yang diteliti.
c. Bahan hukum tersier, yaitu kamus-kamus yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
C. Penentuan Narasumber
Narasuber adalah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga.
Dalam penelitian ini yang menjadi narasumber yaitu Hakim pada Pengadilan
Tinggi Tanjung Karang, Hakim Pengadilan Negeri Kota Bumi, Jaksa pada
Kejaksaan Tinggi Lampung dan Dosen bagian Hukum Pidana Universitas
Lampung. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dari narasumber yang telah
Metode penentuan narasumber yang akan diteliti yaitu menggunakan metode
Purposive Sampling, yaitu penarikan narasumber yang dilakukan berdasarkan penunjukan yang sesuai dengan wewenang atau kedudukan sampel. Adapun
narasumberdalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pejabat Peradilan pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang = 1 orang
b. Hakim Pengadilan Negeri Kota Bumi = 1 orang
c. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung = 1 orang
d. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung = 1 orang
Jumlah = 4 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data ditentukan dengan cara sebagai berikut:
a. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh dataprimer. Studi lapangan ini
dilakukan dengan metode wawancara terpimpin, yaitu dengan mengajukan
pertanyaan kepada para responden yang telah ditentukan dimana pertanyaan
tersebut telah disiapkan terlebih dahulu.
b. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, dengan studi
40
dilakukan dengn cara membaca, mengutip dan menelaah bahan-bahan hukum
dan literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan yang akan dibahas.
2. Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari data sekunder maupun data primer kemudian dilakukan
metode sebagai berikut:
a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah
masih terdapat kekurangan ataupun apakah data tersebut sesuai dengan
penulisan yang akan dibahas
b. Sistematisasi, yaitu data yang diperoleh dan telah diediting kemudian
dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara
sistematis.
c. Interpensi, yaitu mehubungkan, membandingkan, dan menguraikan data serta
mendeskripsikan data dalam bentuk uraian, untuk kemudian ditarik suatu
kesimpulan.
E. Analisis Data
Data yang sudah terkumpul dan tersusun secara sistematis kemudian dianalisis
dengan metode kualitatif, yaitu mengungkapkan dan memahami kebenaran
masalah dan pembahasan dengan menafsirkan data yang diperoleh dari hasil
penelitian, lalu data tersebut diuraikan dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun
secara terperinci, sistematis dan analisis sehingga akan mempermudah dalam