• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh selenoproteinat pada produksi susu dan respons kekebalan sapi perah laktasi pada berbagai kondisi pakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh selenoproteinat pada produksi susu dan respons kekebalan sapi perah laktasi pada berbagai kondisi pakan"

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)

PENGARUH SELENOPROTEINAT PADA PRODUKSI SUSU

DAN RESPONS KEKEBALAN SAP1 PERAH LAKTAST

PADA BERBAGAI KONDISI PAKAN

OLEH :

CARIIIU HA111 PRAYITNO

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANWN BOGOR

(113)

Caribu Hadi Prayitno. PENGARUH SELENOPROTEINAT PADA PRODUKSI SUSU DAN RESPONS KEKEBALAN SAP1 PERAH LAKTASI PADA BERBAGAI KONDISI PAKAN. Dibimbing oleh : Toha Sutardi, Muhilal dan Wasmen Manalu.

ABSTRAK

Perkembangan sapi perah menghadapi kelangkaan pakan akibat penyempitan lahan pertanian dan penurunan respons kekebalan akibat defisensi mineral. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji pengaruh selenoproteinat pada produksi susu dan respons kekebalan pada berbagai kondisi pemberian pakan. Ransum Kontrol (K)

merupakan ransum standar yang mengandung 65 % TDN dan 13% PK, Se = K

+

2.5 mglkg selenoproteinat, SeF = ransurn perbaikan yang mengandung 67%TDN, 14 %

PK, 3 % hidrolisat bulu ayarn dan 2.5 mglkg selenoproteinat, SeFU = SeF

+

0.7 %

urea, dan SeFUZn = SeFU

+

10 g/kg Zn-lisinat. Dari percobaan In vifro
(114)

Caribu Hadi Prayitno. EFFECT OF YEAST SELENOPROTEINAT ON MILK PRODUCTION AND IMMUNE RESPONSE OF LACTATING DAIRY COWS UNDER DIFFERENT DIETARY REGIMENTS. Under supervised by : Toha Sutardi, Muhilal and Wasmen Manalu.

ABSTRACT

Dairying is impeded by feed shortage due to the decline in agricultural land and the lack of immune respones associated with mineral deficiencies. This experiment was designed to test the efficacy of yeast selenoprotein in promoting milk production and immune response under five dietary regiments. Diet control (K) was a control containing 65% TDN and 13% CP, Se =

K

+

2.5 mg/kg yeast selenoproteinate, SeF = improved diet containing 67%TDN, 14 5 CP, and 3%

hydrolysed poultry feather, SeFU = SeF

+

0.7% urea, and SeFUZn = SeFU

+

10 g/kg

Zn-lysinate. In vitro evaluation of the diets revealed that supplementation of selenoproteinate into diet

K

increased DM digestibility (51.4 vs 59.6%). All diets containing poultry feather had higher DM digestibility than diet

K

and Se. The Zn- lysinate diet (SeFUZn) was the most fermentable (VFA : 168 vs 134 mM; NH 3 : 4.49
(115)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

N a m a : Caribu Hadi Prayitno

NRP

: 985037

Program Studi : llmu Ternak

Menerangkan bahwa disertasi dengan judul :

PENGARUH SELENOPROTEINAT TERHADAP PRODUKSI SUSU DAN RESPONS KEKEBALAN SAP1 PERAH LAKTASI

PADA BERBAGAI KONDlSI PEMBERIAN PAKAN

Adalah benar-benar karya ilmiah saya, dan belum pernah dipublikasikan oleh

(116)

PENGARUH SELENOPROTEINAT PADA PRODUKSI

SUSU DAN RESPONS KEKEBALAN SAP1 PERAH LAKTASI

PADA BERBAGAI KONDISI PAKAN

OLEH :

CARIBU HAD1 PRAYITNO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(117)

Judul Disertasi : Pengaruh Selenoproteinat pada Produksi Susu dan Respons Kekebalan Sapi Perah Laktasi pada Berbagai Kondisi Pakan

Nama Mahasiswa : Caribu Hadi Prayitno

Nomor Pokok : 985037

Program Studi : Ilmu Ternak

Menyetu jui :

1. Komisi Pembimbing

/prof. Dr. Toha Sutardi, MSe. Ketua

Prof. Dr. H. Muhilal - Prof. Dr. Wasmen Manalu .5

Anggota Anggota

Mengetahui :

2. Ketua Program Studi Ilmu Tern ektur Program Pascasarjana

(118)

RIWAYAT

HIDUP

Penulis dilahirkan di Pemalang, Jawa Tengah tanggal 17 Februari 1965

dan merupakan putra kedua dari tiga bersaudara, dengan ayah bernama M.

Rasyid (Almarhum) dan Ibu Hj. Sutinah.

Pada tahun 1971 penulis masuk Sekolah Dasar I, Klareyan Pemalang dan tamat tahun 1976. Pada tahun 1981, penulis lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri I, Pemalang dan pada tahun 1983 lulus dari Sekolah Menengeh Atas Negeri I, Pemalang. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi

mahasiswa di Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto,

dan meraih gelar Sarjana pada tahun 1988.

Penulis menjadi staf pengajar tetap di Fakultas Peternakan, Universitas

Jenderal Soedirman tahun 1989. Pada tahun 199 1 penulis melanjutkan studi pada Program Pascasarjana, Universitas Pajajaran Bandung dengan sponsor dana dari

Tim Managemen Program Doktor (TMPD) dan memperoleh gelar Magister

Pertanian pada tahun 1994. Pada tahun 1998, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Pascasarjana, lnsitutut Pertanian Bogor program Doktor dalam bidang

Ilmu Nutrisi Ternak dengan sponsor Tim Managemen Program Doktor (TMPD).

Penulis menikah dengan Dra. Titi Sumarti dan dikaruniai empat orang

anak, yaitu Erina Azmi Rahmadiana, Nia Aulia Fitriana, Hanifan Imaddudin dan

(119)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadlirat Allah s.w.t. atas segala petunjuk,

rahmat dan bimbinganNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

penulisan disertasi.

Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat selesai atas bimbingan dari Tim

Komisi Pembimbing. Oleh karena sudah semestinya penulis menyampaikan

terima kasih kepada ProfDr. Toha Sutardi, MSc., selaku Ketua Komisi, ProfDr.

H. Muhilal dan Prof. Dr. M'asmen Manalu masing-masing sebagai anggota komisi

pembimbing yang dengan penuh kesabaran membimbing dan dengan tulus pula

menularkan ilmu yang dimilikinya untuk penulisan tugas akhir ini.

Ucapan terima kasili penulis sampaikan kepada Rektor IPB dan Pimpinan

Program Pascasarjana IPB, atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti studi

program Doktor. Icepada Rektor Universitas Jenderal Soedirman dan Dekan

Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, disampaikan terima kasih

atas ijin yang diberikan untuk melanjutkan Program Doktor di IPB. Ucapan

terima kasih juga penulis sampaikan kepada Tim Managemen Program Doktor,

Dirjen Dikti yang telah memberikan beasiswanya untuk studi di IPB. Kepada

Direktur P3M Dikti penulis juga sampaikan ucapan terima kasih atas dukungan

dananya melalui proyek penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi tahun 2001-

2003 Pcnulis juga ~~ic~iyampaikan ucapan terima kasih kepada Yayasan

(120)

Kepada istri dan anak-anakku, ayahanda (Almarhum) dan Ibunda tercinta,

Bapak H. Fachrudin, kakak dan adik-adikku penulis mengucapkan banyak terima

kasih atas pengertian, doa dan bantuannya.

Kepada Dr. Anis Muktiani dan Ir. B.I.Tampoubolon penulis sampaikan

ucapkan terima kasih yang mendalam atas peran sertanya dalam kegiatan

penelitian Domestic Collaborative Research Grants yang mendukung penelitian

untuk disertasi. Penulis juga menyampaikan banyak terima kasih kepada banyak

pihak yang tidak dapat penulis sebut satu per satu atas dukungan, bantuan dan

kolaborasinya sehingga disertasi ini dapat selesai.

Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi

pembangunan peternakan di Indonesia khususnya perkembangan sapi perah.

Bogor, Mei 2002

Penulis,

(121)

DAFTAR

IS1

...

DAFTAR TABEL

...

DAFTAR GAMBAR

...

DAFTAR LAMPIRAN

...

PENDAHULUAN

...

TINJAUAN PUSTAKA

...

.

...

1 Pencernaan Pakan Ternak Ruminansia

..

2

.

Pencernaan dan Absorbsi Karbohidrat pada Ruminansia

...

...

3

.

Pencernaan dan Absorbsi Lemak

...

.

4 Pencernaan dan Absorbsi Protein

...

5

.

Biosintesis Komponen Susu

6

.

Selenium dan Fungsinya dalam Tubuh Ternak

...

...

7

.

Penyerapan dan Ekskresi Se dalam Tubuh

8

.

Hubungan Mineral Selenium dengan Kekebalan Tubuh

...

9

.

Potensi Tepung Bulu Sebagai Sumber Protein Sapi Perah

...

10.Fungsi dan Peranan Seng dalam Tubuh Ternak

...

Halaman

X

xii

MATERI DAN METODE

...

34

1

.

Tahap Persiapan

...

34

2

.

Percobaan In Vitro

...

34 3

.

Percobaan Pemberian Pakan pada Sapi Perah Laktasi

...

36

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

39

1

.

Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi dan Fermentabilitas

Ransum

...

48

2

.

Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi Triiodotironin clan 47

Produksi Susu

...

(122)

4

.

Pendapatan Setelah Dikurangi Biaya Pakan (Income Over Feed

cost)

...

KESIMPULAN ... 64

DAFTAR PUSTAKA

...

65

...

(123)

DAFTAR

TABEL

...

1

.

Komposisi ingredien dan nutrien ransum perlakuan 40

2

.

Pengaruh pakan pada konsumsi clan fermentabilitas pakan

...

49

...

3

.

Pengaruh perlakuan pada fisiologi darah dan produksi susu

53

...

(124)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1

.

Pencernaan protein dan utilisasi N di dalam Rumen

...

15

...

2

.

Sintesis lemak susu 20

3

.

Inkorporasi Se ke dalarn protein A

.

oryzae

...

35
(125)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalam Ransum Sapi Perah Laktasi pada Kecernaan Bahan Kering (%) in vitro

2.

Anova Pengaruh Selenoproteinat dalam Ransum Sapi Perah Laktasi pada Kecernaan Bahan Organik (%) in vitro

3. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalam Ransum Sapi Perah Laktasi pada NH3 (mM) in vitro

4. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalarn Ransum Sapi Perah Laktasi pada VFA (mM) in vitro

5. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalam Ransum Sapi Perah Laktasi pada terhadap Konswnsi Bahan Kering (kg/hari)

6 . Anova Pengaruh Selenoproteinat dalam Ransum Sapi Perah Laktasi pada Konsum Protein Kasar (kghari)

7. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalam Ransum Sapi Perah Laktasi pada Produksi Susu, 4% FCM (kg)

8. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalam Ransum Sapi Perah Laktasi pada Produksi Kolostrunl (kgll~ari)

9. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalarn Ransum Sapi Perah Laktasi pada Globulin Kolostrum (g/hari)

10. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalarn Ransurn Sapi Perah Laktasi pada terhadap Bahan Kering Susu (kglhari)

11. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalarn Ransum Sapi Perah Laktasi pada Bahan Kering Tanpa Lemak Susu

(kghari)

12. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalam Ransurn Sapi Perah Laktasi pada Lemak Susu (ghari)

13. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalam Ransum Sapi Perah Laktasi pada Protein Susu (g/hari)

14. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalarn Ransum Sapi Perah Laktasi pada Laktosa Susu (dhari)

(126)

15. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalam Ransum Sapi Perah Laktasi pada Glutation Susu (mg/L)

16. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalam Ransum Sapi Perah Laktasi pada Jumlah Sel Somatik (SCC, 10' sel/ml)

17. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalam Ransum Sapi Perah Laktasi pada Triiodotironin (T3, darah)

18. Anova Pengaruh Selenoproteinat dalam Ransum Sapi Perah Laktasi pada Imunoglobulin (Ig-G, darah, Unit Elisa)

(127)

1

PENDAHULUAN

Perkembangan sapi perah di Indonesia menghadapi tantangan yang sangat

berat, antara lain : (1) Menyempitnya lahan pertanian, (2) Ketergantungan pada komponen bahan pakan impor dan (3) Impor susu yang mencapai 66 persen dari konsumsi susu nasional. Penyempitan lahan pertanian terjadi akibat meluasnya

daerah hunian pada lahan-lahan subur serta pembangunan penunahan pada daerah-

daerah hijau. Penyusutan lahan menyebabkan perluasan areal tanaman pakan nyaris

tidak mungkin dan persediaan limbah tanaman pangan makin berkurang. Kondisi ini

menyebabkan terjadinya banjir akibat kemampuan tanah untuk mengikat air sangat

berkurang. Erosi aki bat banj ir mengakibatkan pengikisan lapisan tanah bagian atas

yang merupakan sumber mineral esensial, darnpaknya tanah mengalami defisiensi

mineral. Akibat yang lebih fatal yaitu tersedianya logam berat yang toksik untuk

tanaman.

Impor jagung, bungkil kedelai, pollard, tepung bulu, tepung daging tulang,

tepung ikan mencapai 4

-

5 juta ton setiap tahunnya (Sudardjat, 2000) atau mencapai

60-70% komponen konsentrat merupakan komponen impor, sehingga harga pakan

tidak seimbang dengan harga susu. lmpor susu dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan akibat meningkatnya perrnintaan konsumen (peningkatan konsumsi

protein hewani), semakin menekan perkembangan sapi perah di Indonesia.

Situasi yang demikian menyebabkan populasi sapi perah pada tahun 1997

-

2001 hanya tumbuh sekitar 1.24% per tahun dan produksi susu hanya mampu

(128)

mengakibatkan peternakan sapi perah lumpuh total. Salah satu pendekatan yang

dapat dilakukan adalah pemanfaatan surnber bahan pakan lokal dan penggunaan

mineral yang mampu meningkatkan kinerja produksi susu.

Produksi susu selama laktasi bergantung pada dua ha1 yaitu penyediaan substrat

untuk perakitan komponen air susu (Davis dan Collier, 1983; Collier, 1985) dan laju

kematian sel-sel kelenjar ambing (involusi) (Anderson, 1985; Wilde dan Knight,

1989). Oleh karenanya penyedian substrat untuk sintesis susu dan pemeliharan sel-

sel sekretoris kelenjar ambing menjadi penting. Penyediaan substrat yang cukup dapat

dilakukan melalui penyediaan nutrien dalam bentuk energi dan protein yang memadai

untuk sintesis susu. Sumber energi pada sapi perah dapat dipenuhi dari hasil

fermentasi mikroba rumen berupa asam lemak atsiri (VFA), sumber protein dapat

dipenuhi dari protein pakan maupun non protein nitrogen. Di sisi lain hijauan pakan

di Indonesia defisien akan mineral Seng (Zn) (Little, 1986), padahal mineral ini

mempunyai fungsi penting dalam metabolisme (Georgievskii et al., 1982; Tillman et

al., 1983; Larvor, 1993). Di sisi lain produksi susu yang rendah di Indonesia juga

diakibatkan oleh kondisi sapi perah yang 60% diantaranya telah terkena mastitis

subklinis sampai klinis (Mirnawati, 1985; Sutardi, 2002).

Hidrolisat bulu ayam merupakan sumber protein potensial untuk ruminansia

karena sifat proteinnya yang tahan terhadap degradasi mikroba nunen. Hidrolisat

bulu ayam mempunyai protein (81%) dan TDN (70%) yang tinggi (NRC, 1988),

kaya akan asam amino sistin, namun defisien asam amino lisin dan metionin (Han

dan Parsons, 1991). Oleh karenanya suplementasi Zn-lisinat diharapkan mampu

(129)

Selenium (Se) dalam bentuk fisiologisnya sebagai glutation peroksidase (GSH-

Px) berperanan melindungi sel dan subseluler dari kerusakan oksidatif dengan jalan

mereduksi senyawa-senyawa peroksida menjadi senyawa yang aman bagi sel,

termasuk sel kelenjar ambing. Peroksida-peroksida terbentuk selama proses

metabolisme berlangsung. Glutation (GSH) adalah tripeptida yang mengandung tiga

asam amino yaitu glutamat, sistin dan glisin, yang dalam kelenjar ambing digunakan

sebagai sumber asam amino bersulfur (Baumrucker, 1985). GSH berperan dalam

sintesis protein susu. Dijelaskan oleh Combs dan Combs (1986) di samping Se

berperan sebagai antioksidan, mineral ini juga terlibat dalam sistem kekebalan.

Sehingga kehadiran Se dalam pakan diharapkan dapat mendukung upaya

peningkatan sistem kekebalan tubuh untuk menjamin produksi yang optimal.

Penggunaan selenoproteinat dalam penelitian ini dengan pertimbangan

penggunaan sodium selenite yang biasa digunakan sebagai sumber Se dalam pakan

baru-baru ini dikctahui bcrsifat mcrugikan (Mahan, 1995). Dengan valensi yang

besar, Se dalam tubuh dapat mengikat protein (enzim

dan

atau hormon), sehingga enzim menjadi tidak aktif. Secara umum Se organik dapat dideposisikan dalam

jaringan lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk anorganik. Bentuk selenometionin

dan selenosistein lebih mudah diabsorbsi oleh ternak karena sel-sel tubuh secara aktif

memanfaatkannya sebagai nutrien organik.

Selenit kurang dapat diabsorbsi pada ruminansia dibandingkan monogastrik.

Absorbsi yang rendah ini mungkin karena selenit diredksi menjadi senyawa yang

tidak larut dalam rumen. Windisch el ul. (1998) menyatakan bentuk Se sangat

(130)

jaringan lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk anorganik. Bentuk selenometionin

dan selenosistein lebih mudah diabsorbsi oleh ternak karena sel-sel tubuh secara aktif

memanfaatkannya sebagai nutrien organik. Dikemukakan lebih lanjut bahwa

suplementasi selenometionin menghasilkan konsentrasi Se yang tinggi pada seluruh

jaringan, dengan rataan peningkatannya 19 persen lebih tinggi dibandingkan selenit.

Hampir 75 persen Se dalam kapang merupakan selenometionin (Stone, 1998) dan

sisanya berikatan dengan protein ataupun asam amino yang lain.

Selenium dalam bentuk selenosistein menempati tempat aktif (active site)

pada enzim deiodinase tipe I (Iodothyronine-5'-deiodinase) yang terlibat dalam

konversi (deiodinasi) tiroksin (T4) menjadi 3,3"5-triiodothyronine (T3) dalam ginjal

dan hati (Arthur et ul., 1993; Aro, 1994). Dikemukakan oleh Beckett et ul. (1993).

bahwa defisiensi selenium dan iodium erat kaintannya dengan metabolisme hormon

tiroid yang abnormal. Selanjutnya dilaporkan oleh Rimbawan et al. (2000) bahwa di

daerah GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) selalu diikuti oleh defisiensi

selenium, yang menurunkan konversi T4 menjadi T3, Padahal hormon ini

mempunyai pean yang vital dalam penyediaan energi (ATP) (Utiger, 1987;

McDonald, 1980) dalam setiap proses perakitan senyawa kecil (glukosa, asam mino,

asam lemak, dan gliserol). Tiroksin telah lama diketahui mampu meningkatkan

produksi susu dan aktivitas metabolisme dalam kelenjar susu (Davis et al., 1987;

Davis et al., 1988; Manalu dan Sumaryadi, 1995; Sumaryadi dan Manalu, 1996

Sintesis selenoproteinat dapat dilakukan melalui proses fermentasi dengan

mikroba. Strategi pembatasan sulfur pada substrat fermentasi digunakan supaya

(131)

antagonisnya. Mikroba akan mcmanl'aatkan selcniutn sebagai pengganti sulfur pada

saat konsentrasi sulfur dalam media tidak cukup mengingat mineral ini mempunyai

kemiripan fungsi.

Tujuan penelitian ini adatah mengkaji penggunaan selenoproteinat dalam

ransum sapi perah yang mengandung hidrolisat bulu ayam pada berbagai kondisi

pakan terhadap produksi susu dan respons kekebalan. Kondisi pakan dibatasi pada

pakan dengan energi dan prodtein yang rendah dan kondisi energi dan protein yang

cukup baik dengan kecukupan ammonia (ditambah urea) dan atau kecukupan mineral

Seng (Zn). Suplementasi Zn dalam bentuk garam Zn-lisinat diharapkan mampu 1010s

dari degradasi mikroba rumen, sehingga meningkatkan kernanfaatan kedua nutrien

(132)

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kebutuhan Mineral untuk Mikroba Rumen

Mineral di dalam rumen dibutuhkan oleh mikroba untuk pembentukan

komponen sel, komponen enzim dan kofaktor. Mengingat aktivitas mikroba

rumen memegang peranan penting dalam proses fermentasi, maka defisiensi

mineral akan mempengaruhi fermentabilitas pakan. Kebutuhan mikroba rumen

pada mineral sampai saat ini masih didasarkan pada kebutuhan ternak inang.

Berdasarkan rekomendasi NRC (1988) kebutuhan mineral untuk sapi perah

dengan produksi susu sebesar 13 - 27 kglhari adalah sebagai berikut : Ca 0.5 1 %,

P 0.33%, Mg 0.20%, K 0.90%, Na 0.1 8%, C1 0.25%, S 0.20%, Fe 50 ppm, Co

0.1 0 ppm, Cu 10 ppm, Mn 40 ppm, Zn 40 ppm, I 0.60 pprn dan Se 0.3 ppm. Ca

dan P merupakan dua mineral makro yang berkaitan erat baik secara fisiologis

maupun fungsinya.

Kalsium (Ca) merupakan mineral yang diperiukan untuk pembentukan

tulang kerangka dan gigi, dan juga terdistribusi pada jaringan lunak serta cairan

ekstraseluler. Hewan membutuhkan Ca untuk pembentukan tulang dan gigi,

transmisi impuls syaraf, kontraksi otot, regulasi gerak jantung, pembekuan darah

dan aktivitas serta stabilisasi enzim. Tulang merupakan sumber dan cadangan Ca.

Pada awal laktasi dapat terjadi keseimbangan kalsium yang negatif, karena

pengeluaran Ca dalam air susu lebih besar dibandingkan pasokan Ca dalam

pakannya.

Ketersediaan Ca bagi ternak bergantung pada : konsumsi Ca, status Ca dan

umur ternak, jumlah Ca yang dibutuhkan, bentuk kimia dan sumber kalsium serta

(133)

peneliti sebelumnya, rasio Ca dan P dalam ransum 1 : I sampai 7 : 1 masih berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh ternak. Hibbs dan Conrad (1983)

melaporkan bahwa sapi laktasi dapat menyerap 1.71 g Ca untuk setiap 1 g P.

Pakan yang tinggi lemaknya akan meningkatkan Ca fecal yang hilang melalui

pembentukan sabun, oleh karenanya kebutuhan dalam pakan meningkat.

I:osfor (P) mcri~pakan ~iiiricral kunci dalam metabolisme energi dan

merupakan komponen yang esensial pada sistem buffer dalam darah dan cairan

tubuh lainnya. Halnpir 85% P dalam tubuh sapi ditemukan dalam tulang rangka,

gigi dan jaringan Iunak. Jumlah P yang diserap ternak sangat berganti~ng pada sumber P, jumlah konsumsi ransum, rasio Ca:P, pH usus dan level kalsium (NRC,

1988). Penyerapan fosfat terjadi di usus halus, melalui transport aktif yang

dirangsang oleh bentuk aktif vitamin D. Kebutuhan P untuk sapi perah yang

berproduksi susu 13-27 kglhari adalah 0.33 %, namun tidak ada masalah jika sapi

mengkonsu~iisi P dua kali dari yang direkomendasikan. U

Salah salu kcutamaan ternak ruminansia adalah kernampuannya dalaln

riicngi~bah pakan serat inenjadi senyawa organik sebagai sumber energinya.

Proses pencernaan pada ruminansia merupakan interaksi antara pakan, populasi

mikroorganisme dan aktivitas enzim serta hormonal. Sutardi (1980) menyatakan

bahwa proses pencernaan pada ruminansia terjadi secara mekanis (di mulut),

fermentasi (oleh enzim-enzim yang berasal dari mikroorganisme rumen) dan

hidrolisis (oleh enzim-enzim hewan induk semang).

Mikroorganisme yang dominan dalam proses fermentasi terdiri atas

bakteri, protozoa dan fungi. Popi~lasi bakteri dalam rumen berkisar antara 10'

-

(134)

Pada proses ini serat pakan akan mengalami proses fermentasi yang sangat luas

sehingga menghasilkan Volatil Fafty Acid (VFA). Proses ini sebagian besar

dilakukan oleh adanya aktivitas bakteri selulolitik yang perannya diinduksi oleh

substrat pakan (Prayitno, 1994), sedangkan protein akan dirombak menjadi

NH3

dengan tidak mengenal batas, meskipun ammonia yang dihasilkan sudah cukup

untuk pertumbuhannya (Sutardi, 1977).

Produk fermentasi retikulorumen akan disalurkan ke organ selanjutnya

yaitu omasum dan abomasum. Pencernaan abomasum merupakan tahapan

lanjutan, pada organ ini dihasilkan HCI dan pepsin yang berperan di dalam

perombakan protein, sedangkan pada omasum akan terjadi penyerapan air,

ammonia. elektrolit dan ~nungkin VFA. Pada organ pencernaan bagian belakang

seperti sekum, kolon dan rektum juga terjadi aktivitas fermentasi, tapi informasi

mengenai ha1 itu belum banyak terungkap (Forbes dan France, 1993).

2. Pencernaan dan Absorbsi Karbohidrat pada Ruminansia

Karbohidrat pada pakan ruminansia merupakan nutrien yang dominan

dala~n menycdiakan sil~iiber eriergi untuk proses faali, di samping menyediakan

bahan yang bersifat bulky yang berguna untuk memelihara kelancaran proses

pencernaan. Kandungan karbohidrat dalam pakan ternak ruminansia dapat

mencapai 60

-

75% dari bahan kering ransum yang berasal dari isi sel (gula dan

pati) dan dinding sel (selulosa dan hemiselulosa) (Sutardi, 1980). Komponen

karbohidrat berupa selulosa, hemiselulosa, pektin, pati, fruktan dan sukrosa di

dalam rumen mengalami pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh

(135)

Proses metabolisme karbohidrat dalam retikulorumen sangat komplek.

Pertama-tama selulosa dan hemiselulosa akan mengalami hidrolisis oleh enzim

P-

I -4-glukosidase yang dihasilkan oleh mikroba menjadi sakarida sederhana seperti

heksosan, pentosan, maitosa, sul<,rosa, selobiosa. Sakarida sederhana yang

terbentuk akan diubah menjadi asam piruvat melalui jalur lintasan Embden-

Meyerhol' ('l'i llman e/ a/. , 1 983; 1:rancc dan Siddons, 1 993). Piruvat selanjutnya diubah menjadi VFA yang terdiri atas asetat, butirat, propionat dan sejumlah kecil

valerat serta asam lemak rantai cabang yaitu isobutirat, isovalerat dan 2-

metilbutirat ( Sutardi, 1977; Church dan Pond, 1988; Van Soest, 1994). Perubahan piruvat menjadi VFA terjadi melalui beberapa lintasan. Asetat dihasilkan melalui

jalur yang sederhana (Chesworth el al., 1998). Piruvat bereaksi dengan KoA

membentuk asetil KoA dan kehilangan asam format. Asam format dipecah

menjadi C 0 2 dan gas Hz Gas hidrogen dikonversi menjadi metan. Pembentukan

asetat juga dapat melalui jalur laktat.

Stokiomctri reaksi I'crmcntasi hcksosa met~jadi tiga kolnponen utama VFA

dalam rumen terdiri atas 3 macam yaitu (Orskov dan Ryle 1990):

1. Asam asetat : ChH , 2 0 6

+

2H20

+

2 CH3COOH

+

2 C02 +

4H2

2. Asam propionat : C6Hl206+ 2 H2 3 2 CH3CH2COOH

+

2H20

3. Asam butirat : C6HI206 3 CH3(CH2)2COOH +2C02+2H2

4 Hz+ COz

+

CH4

+

2 H20

Reaksi tersebut menunjukkan bahwa produksi propionat lebih

menguntungkan dibandingkan asetat, ha1 ini karena pada pembentukan asetat

selalu disertai prodi~ksi hidrogen, yang akan bereaksi dengan C02 membentuk

metan yang tidak bermanfaat bagi ternak. Pada pembentukan 2 mol propionat

(136)

dibutuhkan 1 mol heksosa dan hidrogen. Jadi pembentukan propionat dapat

digunakan sebagai "hidrogen sink" dan menurunkan energi yang hilang dalam

bentuk metan. Leng (1991) menambahkan bahwa proses fermentasi di dalarn

rumen menghasilkan sel mikroba (merupakan 113 bagian bahan organik) dan

sisanya VFA, COz dan CH4 Prinsip penggunaan substrat dan hasil produknya

dari proses fermentasi 4 kg karbohidrat adalah sebagai berikut : 1. Karbohidrat menjadi VFA

16.7 CHO -, 21 Asam asetat

+

6 Asam Propionat

+

3 Asam Butirat

+

7.5 CI-IJ

+

78ATP

2. Karbohidrat menjadi precilrsor sel mikroba

8.3 CHO

+

1.4 polisakarida

+

13.8 piruvat

+

2CH 4

+

I7ATP 3. Reaksi keseluruhan :

25 CHO

+=

2 1 Asam asetat

+

6 Asam propionat

+

3 Asam butirat

+

9.5 CH4 + 1300 g sel kering

Propionat merupakan satu-satunya VFA yang dapat digunakan sebagai

sumber glukosa. Chesworth et a1.(1998) menyatakan bahwa pembentukan

propinat dapat melalui dua jalur, yang sangat ditentukan oleh jenis mikroba. Jalur

pertama, piruvat diubah menjadi laktat. Laktat selanjutnya diaktivasi oleh

pembentukan ester KoA (Laktil KoA), selanjutnya akan kehilangan C02 dan Hz0

untuk membentilk propernoil KoA. Proses selanjutnya propernoil KoA

dihidrogenasi menjadi propionil KoA. Langkah yang terakhir dengan kehilangan

KoA sehingga terbentuk propionat. Jalur kedua merupakan jalur kebalikannya,

jalur ini digunakan pada sel-sel hewan, utamanya hati untuk mensintesis glukosa

(137)

Pembentukan butirat melalui 3 tahapan utama, yaitu piruvat dehidrogenasi

menghasilkan asetoasetil KoA. Asetoasetil KoA akan direduksi menghasilkan 3-

hidroksilbutiril KoA dengan menggunakan NADH dan NAD'. Tahapan

selanjutnya yaitu pembentukan Krotonil KoA. Krotonil KoA direduksi untuk

menghasilkan ester KoA dan asam butirat. Ester dihidrolisis untuk menghasilkan

butirat dan KoA bebas. Selain tiga komponen VFA di atas proses fermentasi

karbohidrat dalam rumen juga menghasilkan metan. Chesworth et al. (1998) menyatakan bahwa 8% energi dalam pakan yang dikonsumsi oleh ternak diubah

menjadi metan.

Fermentasi dalam rumen akan menghasilkan asetat dalam jumlah banyak,

dengan laju sekitar 20-25 mol per hari pada sapi perah, laju produksi asam

propionat sekitar 113 laju produksi asain asetat. Asam butirat diproduksi sekitar

10% dari total VFA, sedangkan asam valerat dan isovalerat masing-masing

sekitar 1 % (Forbes dan France, 1993).

Konsentrasi VFA total dalam cairan rumen secara normal adalah 70 - 130 mM, dan konsentrasi parsial yang terbentuk selalu berbeda sesuai pola produk

VFA cairan rumen yang sangat dipengaruhi oleh jenis karbohidrat yang

dikonsumsi. Konsentrasi asetat yang tinggi dalam cairan rumen erat kaitannya

dengan peningkatan kandungan hijauan atau pakan serat yang dikonsumsi,

sebaliknya peningkatan konsentrasi propionat dalam cairan rumen berkaitan

dengan peningkatan konsentrat dalam pakan (Banerjee, 1978; Tillman et al.,

1983; Arora, 1989; Forbes dan France, 1993).

Produk akhir pencernaan karbohidrat dalain bentuk VFA selanjutnya

diabsorbsi ke dalam jaringan tubuh ternak untuk digunakan sebagai sumber energi

(138)

dan bahan sintesis lemak. Asam propionat diabsorbsi melalui epitel rumen dan

~nasilk kc sirkulasi clurall clan Jibawu kc hati ilntuk sclanjutnya diubah n~cl~jacli glukosa dan menjadi bagian dari cadahgan glukosa hati. Asam butirat sebelum

masuk ke sirkulasi darah untuk dibawa ke hati bersama-sama asetat, terlebih

dahulu dikonversi menjadi asam beta hidroksi butirat (BHBA) di dalam epitel

rumen (Banerjee, 1978; Crampton et a]., 1978). Asetat dan BHBA dari hati

disalurkan ke sistem sirkulasi dan dipakai oleh jaringan terutama sebagai sumber

energi melalui siklus asam sitrat (Tillman et al., 1983; Forbes dan France, 1993).

Forbes dan France (1993) menalnbahkan bahwa asetat dan propionat yang

diabsorbsi masing-nlasing digunakan sebagai sumber energi dan bahan untuk

sintesis glukosa. Di samping itu asetat juga digunakan sebagai substrat untuk

lipogenesis dan propionat untuk glukoneogenesis. Oleh sebab itu asam propionat

dikatakan bersi fat glukogeni k karena asam tersebut dapat dikatabolisme menjadi

glukosa dan juga sebagai prekursor glukosa, sedangkan asetat dan butirat bersifat

ketogenik (Orskov, 1 977).

3. Pencernaan dan Absorbsi Lemak

Ada dua ha1 penting nasib asaln lemak selama berada dalam rumen, yaitu

liposisis dan biohidrogenasi (Jenkins, 1993; Scott dan Ashes, 1993). Lipolisis

akan menyebabkan pelepasan asarn lemak bebas (FFA) dari hasil esterifikasi lipid

tanaman yang dikonsumsi ternak ruminansia. Dalam proses liposisis, lipase

mikroba berperan menghidrolisis asilgliserol hasil esterifikasi lemak menjadi

FFA, gliserol dan galaktosa (Palmquist dan Jenkins, 1980; Scott dan Ashes,

1993). FFA yang terbentuk selanjutnya secara cepat dihidrogenasi oleh sejumlah

(139)

hidrogenasi terjadi pengurangan asam lemak tidak jenuh dan berubah menjadi

asam lemak jenuh melalui beberapa aksi yaitu isomerase, kemudian hidrogenasi

ikatan rangkap sis, pada C 18:2 terjadi reduktase dan selanjutnya dengan trans

pada CIS: I dihidrogenasi menjadi C18:O. Menurut Moir (1991) dari hasil

penulusuran pustakanya menyebutkan bahwa dalam proses hidrogenasi, selain

terjadi perubahan asam linolenat, linoleat dan oleat menjadi asam stearat juga

terdapat sejumlah kecil asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap trans, di

mana asam lemak tersebut resisten terhadap mikroba yang berperan dalam

hidrogenasi dan menambah karotinoid yang dapat mensuplai betakarotin untuk

ternak.

Produk akhir lipolisis dan biohidrogenasi sebagian diserap oleh dinding

rumen dan sebagian lagi mengalir ke abomasum. Banerjee (1978) menyatakan

bahwa asam lemak rantai pendek dan VFA hasil hidrolisis dan fermentasi Lipid,

diserap melalui dinding rumen sedangkan asam lemak rantai panjang terus

mengalir ke abomasum. Proses di abomasum, digesta lipid pasca rumen yang

sebagian besar (70%) terdiri atas asam lemak jenuh pakan dan dari sintesis lemak

"de-novo" serta sedikit (1 0%) fosfolipid mikroorganisme akan bergabung dengan

benda padat lainnya (Bauchart, 1973). Selanjutnya setelah dari abomasum

campuran digesta mengalir ke usus halus. Di dalam usus halus garam-garam

empedu akan mengemulsikan lemak dan diikuti dengan gerakan peristaltik,

sehingga lemak terdispersi menjadi butir-butir kecil dan diikuti dengan masuknya

lipase (Linder, 1992). Lemak yang sebagian sudah dicerna, terutama dalam

bentuk yang larut dalam air membentuk misel-misel yang stabil (asam lemak

(140)

permukaan sel mukosa usus halus dan melepaskan materi untuk siap diserap.

Asam - asam lemak dan monogliserida oleh mukosa usus diubah kembali menjadi trigliserida dan membentuk kilomikron. Kilomikron selanjutnya dibebaskan ke

dalam jaringan limfe dan masuk ke peredaran darah untuk ditransport ke dalam

sel jaringan yang membutuhkan yaitu jaringan perifer, adiposa dan ambing

(Linder, 1992; Collier, 1985).

4. Pencernaan dan Absorbsi Protein

Sumber protein untuk ruminansia dapat berasal dari protein pakan maupun

non protein nitrogen (NPN). Perombakan protein oleh enzim proteolitik di dalam

rumen menghasilkan peptida dan asam-asam amino. Produk ini sebagian besar

akan mengalami katabolisme lebih lanjut (deaminasi) sehingga dihasilkan amonia

(NH,). Amonia asal perombakan pakan sangat besar kontribusinya terhadap pool

amonia rumen. Proses proteolitik dan deaminasi asam-asam amino menghasilkan

amonia diduga bersifat konstitutif, artinya tidak ada kontrol metabolik. Degradasi

protein dan deaminasi terhadap asam amino akan terus berlangsung, walaupun

telah terjadi akumulasi amonia yang cukup tinggi di dalam rumen (Sutardi, 1976).

Manfaat proses proteolitik tidak hanya memberi pasokan amonia untuk mikroba,

tetapi juga pasokan peptida. Beberapa spesies bakteri rumen mampu

menggunakan peptida secara langsung untuk sintesis protein (Chalupa, 1975).

Leng ( 1 991) menambahkan bahwa suplementasi urea dalam ransum diperlukan

i ~ n t u k mencukupi kebutuhan a~iionia ~ ~ n t u k pertumbuhan organisme fibrolitik dan sakarolitik dalam rumen.

Amonia adalah su~nber nitrogen utama dan sangat penting untuk sintesis

(141)

optimal untuk sintesis protein mikroba rumen pada kultur kontinyu menggunakan

cairan rumen sapi adalah 5 mg% atau setara dengan 3.57 mM, sedangkan Preston

dan Leng (1987) menyatakan bahwa kisaran optimum untuk sintesis mikroba

adalah 150 -200 mglliter (I 0.7 - 14.3 mM).

[image:141.563.56.502.23.772.2]

Asam Amino Oligopeptida

... . ... .. ... . .... . ... . ... . ... .- ... . ... " ... ""." ....-. ".." ,.... ".-" ...-.- "" ...," ...

Gambar 1. Pencernaan protein dan utilisasi N di dalam rumen (Sutardi, 1977)

Sintesis protein mikroba di samping membutuhkan NH3 sebagai sumber N, juga dibutuhkan asam keto-cc sebagai kerangka karbon dan VFA sebagai sumber

(142)

rumen membutuhkan N-NH3 untuk mensintetis protein tubuhnya. Oleh karenanya

perombakan asam amino menjadi NH3 lebih disukai.

Penggunaan NPN sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein mikroba

rumen akan efektif pada ransum dengan berprotein rendah, dan cukup tersedia

energi. Cappock et al. (1976) mengemukakan bahwa pembatas utama efisiensi penggunaan urea adalah pelepasan amonia yang begitu cepat ketika terjadi kontak

dengan enzim urease di dalaln cairan rumen. Kecepatan pelepasan amonia dapat

mencapai 4 kali lebih cepat daripada kecepatan penggunaannya oleh mikroba

rumen (Bloomfield el al., 1960). Manalu (1 999) menyatakan terdapat dua syarat

agar amonia yang terbentuk dalam rumen efisien untuk sintesis protein mikroba :

pertama, konsentrasi amonia awal harus di bawah optimal, kedua :

mikroorganisme rumen harus mempunyai sumber energi yang mudah tersedia

untuk sintesis protein.

Maiga el al. (1996) menyatakan bahwa asam amino yang tersedia untuk

absorbsi usus pada ruminansia disuplai dari protein mikroba yang disintesis di

dalam rumen, protein yang tidak terdegradasi dalam rumen dan sekresi endegenus

dari saluran pencernaan. Laju aliran senyawa nitrogen ke dalam usus dipengaruhi

oleh intensitas degradasi protein pakan dan sintesis protein mikroba dalam rumen.

Jumlah protein mikroba tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan asam amino dari

sapi perah yang berproduksi tinggi (Sutardi, 198 1).

5. Biosintesis Komponen Susu

Komponen dalam susu dapat dikelompokan berdasarkan sumbernya, yaitu :

1. Yang khas organ (kelenjar) ambing dan yang khas spesies (contohnya

(143)

2. Yang khas organ tetapi tidak khas spesies (laktosa)

3. Yang khas spesies tetapi tidak khas organ (beberapa protein)

4. Tidak khas organ dan juga tidak khas spesies (air, garam, dan vitamin).

Komponen laktosa, lipid dan beberapa protein disintesis pada kelenjar

ambing yang berasal dari nutrien yang ada dalam darah. Nutrien utama yang

diserap oleh kelenjar ambing adalah glukosa, asam amino, asam lemak

(kilomikron, LDL, NEFA), asetat, P-hidroksi butirat dan mineral (Collier, 1985;

Fox dan McSweeney, 1996;).

Laktosa adalah disakarida yang terdiri atas galaktosa dan glukosa melalui

ikatan /3 1-4 glikosidik. Nama sistematiknya adalah f3-0-D-galaktopiranosil

(1-)-P-D-glukopiranosa (P-laktosa) atau dalam bentuk a-laktosa (Fox dan

McSweeney, 1996). Glukosa dapat berasal dari perombakan glikogen hati dan

pembentukan glukosa dari propionat serta asam amino melalui proses

glukoneogenesis (Collier, 1985; Mepham, 1988). Wikantadi (1977) menyebutkan

bahwa glukosa meri~pakan bahan pembentuk utama laktosa pada susu sapi dan

kambing. Beberapa atom karbon dari laktosa terutama residu galaktosa, berasal

dari senyawa lain misalnya asetat dan gliserol. Perbedaan darah arteri-vena untuk

glukosa lebih kurang dua kali dari yang diperlukan untuk sintesis laktosa, dengan

demikian kelebihan glukosa akan digunakan untuk sumber energi dan

pembentukan gliserol. Karena glukosa merupakan sumber utama sintesis laktosa

dan tekanan osinotik air susu harus dipertahankan tekanan osmotiknya agar

isotonis dengan darah, peningkatan atau penurunan produksi laktosa akan

(144)

susu juga akan berkurang (Fox dan McSweeney, 1996), sehingga glukosa juga

dapat dikatakan sebagai faktor pembatas sekresi susu.

Sumber utama sintesis protein susu berasal dari peptida-peptida, plasma

protein dan asam-asam amino bebas (Wikantadi, 1977; Larson, 1985; Chesworth

el al., 1998; Fox dan McSweeney, 1996). Asam-asam amino yang bebas yang

diserap oleh kelenjar ambing dari darah merupakan sumber utama untuk sintesis

protein susu, sedangkan plasma protein menyumbang sekitar 10%. Kasein, beta

laktoglobulin dan alfa laktalbumin merupakan 90-95% protein susu.

5.1. Sintesis Lemak Susu

Sintesis asam lemak susu utamanya berasal dari asetat, P-hidroksi butirat

dan trigliserida plasma dalam bentuk ki!omikron, Low Density Lipoprotein (LDL)

dan Non Esterified Fatty Acids (NEFA). Berbeda dengan ternak monogastrik

sintesis asam lemak SLISLI pada ternak ruminansia tidak berasal dari glukosa. Ilal

ini karena pada sitoplasma sel sekretoris kelenjar ambing ruminansia tidak

terdapat enzim sitrut liase, sehingga asam sitrat tidak dapat diubah menjadi

asetill-KoA dalam taliapan sintesis asam lemak. Sitrat yang terbentuk sebagian

diserap ke dalatn Aparatus Golgi dan disekresikan ke dalam lumen kelenjar susu.

Hal ini menyebabkan kandungan sitrat susu ruminansia lebih tinggi dibandingkan

ternak monogastrik (Collier, 1985).

Kadar lemak susu ternak mamalia sangat bervariasi antar spesies, dengan

kisaran konsentrasi 2% sampai 50% (Larson, 1985; Fox dan McSweeney, 1996).

Dikatakan lebih lanjut bahwa susu sapi tnengandung 3.5% lemak dan konsentrasi

(145)

periode laktasi, musim, status nutrisi, tipe pakan, kesehatan, umur ternak dan

interval pemerahan.

5.2. Sintesis Protein Susu

Tiga sumber utama pembentuk protein susu yang berasal dari darah yaitu

peptida-peptida, plasma protein dan asam-asam amino bebas. Kasein,

P-laktoglob~~lin dan K-laktalbumin disintesis di dalam sel kelenjar ambing,

sedangkan imniunoglobulin, seroalbumin dan gamma kasein tidak disintesis di

dalam kelenjar ambing tetapi langsilng diserap dari darah dalam bentuk yang sama

tanpa mengalami perubahan (W ikantadi, 1977; Fox dan McSweeny, 1996).

Sintesis protein dapat dibagi menjadi empat tahapan yaitu : aktivasi asam amino, inisiasi pembentukan rantai peptida, pemanjangan rantai dan penutupan

rantai (Chesworth el al., 1998; McDonald, 1980). Pada tahap aktivasi asam

amino bereaksi dengan ATP membentuk aminoasil denilat, selanjutnya gugus

aminoasil dikopel molekul tRNA untuk membentuk aminoasil tRNA, kedua

reaksi ini dikatalisis oleh enzim yang sama (amino asil tRNA sintetase) dan ATP.

Amino-asil

+

ATP

+

Enzitn

-+

Aminoasil-AMP-Enzim

+

pirofosfat

Jika asam amino sudah dikopel dengan tRNA maka asam amino akan dibawa ke

ribosom. Kombinasi ini akan membentuk struktur polisom, di mana ribosom akan

terikat pada untaian messenger RNA (mRNA).

Tahap inisiasi : pada tahap ini akan terbentuk kompleks komponen ribosom

yang lebih kecil, mRNA dan tRNA dengan formil metionin atau metionin sebagai

asam amino yang terikat (AAI). Asam amino yang terikat oleh t-RNA

mempunyai antikodon tertentu, ditempatkan pada m-RNA sesuai dengan

(146)

Tahap pemanjangan : t-RNA kedua membawa asam amino ke kodon kedua dari

mRNA dengan bantuan GTP. Molekul basa tRNA berpasangan dengan kodon

kedua dari mRNA. Pada tahap ini enzim peptidil transferase mengkatalisis

pembentukan ikatan peptida antara dua molekul asam amino pada sisi A dari

ribosom. Penempatan asam amino diikuti pergerakan ribosom sepanjang m-RNA

hingga terjadi pemanjangan rantai asam amino dan t-RNA dilepaskan kembali ke

sitoplasma. Tahap terminasi : tahap pemanjangan rantai peptida terus berlanjut sampai salah satu dari kodon itu konsentrasinya tinggi pada mRNA. Apabila

ribosoin sudah inelnpunyai salah sat11 kodon itu (UAA, UAG, UGA) dalam

jumlah yang tinggi maka ikatan polipeptida akan putus dan polipeptida

dilepaskan. tRNA dan subunit ribosom berdisosiasi dan siap memulai sintesis

protein yang lain.

5.3. Sintesis Laktosa Susu

Laktosa adaiah disakarida yang terdiri atas galaktosa dan glukosa melalui

ikatan

p

1-4 glikosidik. Nama sistematiknya adalah P-0-D-galaktopiranosil (1 -)-

P-D-glukopiranosa (P-laktosa) atau dalam bentuk a-laktosa (Fox dan

McSweeney, 1996). Suplai glukosa dengan mudah tersedia akan tetapi galaktosa

harus disintesis, dari glukosa yang melibatkan perubahan kontigurasi atom karbon

(147)

lGlukosa

h e w a s e

,

Glukosa 6 fosfat

n

I

ATP ADP

Fosfoglukomutase

Glukosa- l -fosfat UDP-Glukosa

1

UDP-glukosa

UDP glukosa-epimerase UDP Ga:akfosal

gaIaklosiItlnnslbrasc

1

~ l u k o s a

J

Laktosa [image:147.570.58.487.54.759.2]

a-laktalbumin

Gambar 2. Lintasan pembentukan laktosa

Konsentrasi laktosa untuk susu sapi 'adalah 4.8% (Fox dan McSweeney, 1996).

Jalur sintesis laktosa dan sejumlah enzim yang terlibat disajikan dalam Gambar 2.

Galaktosil transferase bersama-sama dengan a-laktalbumin sering disebut juga

laktosasintetase. Kepentingan petnbentukan laktosa pada mamalia bertujuan

sebagai regulasi dan kontrol tekanan osmotik susu agar isotonik dengan darah.

Oleh karenanya produksi laktosa mempengaruhi volume air yang dialirkan ke

dalain lumen susu.

>.

6. Selenium dan Fungsinya dalam Tubuh Ternak

Selenium (Se) adalah unsur penting dari glutathione peroksidase (GSH-

Px), dengan 4 g atom Se per mol enzim (Rotruck et al., 1973; Ian Lean, 1987,

(148)

bilangan oksidasi +6, Se dalam bentuk asam selenit (H2Se03, merupakan asam

kuat) dan garam selenat (se0i2). Pada bilangan oksidasi +4, Se dalam bentuk

Selenium dioksida (SeOz), asam seleniuos (H2Se03) dan garam selenit (se0i2).

Garam selenit kurang larut dibandingkan garam selenat, khususnya pada pH

1

alkali, sedangkan selenit mudah direduksi pada pH rendah menjadi selenium

elemental dan selenat tidak mildah direduksi menjadi selenit (Smith, 1988).

McDowell (1 992) menyatakan unsur Se dapat direduksi menjadi

selenide (se2? atau dioksidasi menjadi selenite (se43 atau selenate (se6+).

Selenium kurang dapat diabsorbsi pada rulninansia dibandingkan monogastrik.

Rendahnya absorbsi ini mungkin karena selenite direduksi menjadi senyawa yng

tidak larut dalam rumen. Retensi absorbsi Se dipengaruhi oleh status ternak dan

bentuk Se. Secara umuln Se organik dapat dideposisikan dalam jaringan lebih

tinggi dibandingkan dalam bentuk anorganik. Gerloff (1992) menambahkan

baliwa di dala~n rumcn bentuk Sc anorganik akan direduksi dari selenite menjadi

selenide oleh proses hidrogenasi. Selenide tidak diabsorbsi di dalam rumen dan

juga tidak di dalam usus. Hampir 75 persen Se dalam kapang merupakan

selenometionin (Stone, 1998). Ditambahkan oleh Carolyn Berdanier (1998)

bahwa sintesis selenoprotein melibatkan asam-asam amino yang mengandung

sulfur dan selenium. Proses ini melibatkan selenofosfat untuk membentuk

selenosistein, di mana reaksinya dikatalisis oleh selenofosfat sintetase dan vitamin

B berperan sebagai koenzimnya.

Kira-kira 40 persen Se dalam tubuh tikus sebagai komponen GSH-Px.

Aktivitas GSH-Ps ekstraseluler hanya 111 0 dari intraseluler (Xin Gei Lei, 1995).

(149)

adalah sulfhidril yang mengandung tripeptida yang dibentuk dari asam glutamat,

sistein dan glisin (Krogmeier et al., 1993; Stamler dan Slivka, 1996; Groff dan Gropper, 2000). Reaksi pembentukannya membutuhkan adenosin trifosfat (ATP),

dengan tahapan reaksi sebagai beri~ut :

ATP

1. L-glutamat

+

L-sistein

---

-+

L- y -glutamil-L-sistein

~ g ~ +

Enzim yang berperan : y-glutamilsistein sintetase

ATP

2. L- y -glutamil-L-sistein

+

glisin

---

+

glutation

~ g ~ +

Enzim yang berperan : glutation sintctase

Persson-Moschos el al. (1 996) dan Carolyn Berdainer (1 998) menggolongkan selenoprotein pada mamalia menjadi 8, yaitu :

1. Glutation peroksidase sitosol

2. Glutat ion peroksidase ekstrseluler

3. phospholipid hydroperoxide glutathione peroxidase (phGSHPx)

4. Glutation peroksidase gastrointestinal

5. Tipe I 5'iodothyronine deiodonase (5'-1-DI)

6. Selenoprotein P (SeP)

7. Selenoprotein W (Sew)

8. Mitochondria1 capsule selenoprotein (MCS)

Fungsi GSH-Px dalam sel adalah melindungi membran sel dan subseluler

dari kerusakan oksidatif (Rotruct el al., 1973; Williams dan Dickerson, 1990;

McDowell, 1992; Brody, 1994; Ellis et crl., 1995; Stamler dan Slivka, 1996; Smith

(150)

maupun radikal bebas dengan jalan mereduksinya menjadi senyawa yang aman

bagi sel. Hidrogen peroksida dikonversi menjadi air, lipid peroksida dikonversi

menjadi alkohol dan air (Combs dan Combs, 1986; Stamler dan Slivka, 1996,

Carolyn Berdanier, 1998; Surai et al., 2001).

2GSH GSH-PX GS-SG

Hz0 2 atau

LOOHIROOH LOHIROH H20

+

H20

Groff dan Gropper (2000) menatnbahkan bahwa GSH-Px lebih aktif

dibandingkan dengan katalase dalani mereduksi hidrogen peroksida dan organik

peroksida. Peroksida-peroksida harus dinetralisir karena dapat merusak membran

sel. Dikemukakan oleh Brzezinska-Slebodzinska et a1.(1994) pada sapi perah

menjelang proses partus akan terjadi stress oksidatif yang akan menghasilkan

ketidakseimbangan antara produksi oksigen dan radikal bebas. Radikal bebas

merupakan metabolit oksigen reaktif (MOR) yang dalam metabolisme normal

metnpunyai fungsi fisiologis yang penting, namun pada saat kekurangan substansi

alami yang bersifat proteksi, maka akan terjadi peningkatan

MOR

yang dapat

menurunkan kekebalan dan performans, di sini peranan Se menjadi penting di

samping antioksidan yang lain. Ditambahkan oleh Miller et al. (1993) jika MOR

tidak dapat dinetralisir maka akan menurunkan kesehatan sapi perah baik

langsung maupun tidak langsung. Secara langsung MOR akan merusak lipida-

lipida penting serta makromolekul, sedangkan secara tidak langsung MOR akan

mengi~bah membral sel, sehingga mengubah jalur metabolisme yang

(151)

Smith et al. (1997) menyatakan bahwa glutation berfungsi dalam sitosol

sel sedangkan vitamin E di dalam membran, keduanya berfungsi dalam

melindungi poliunsaturated fatty acid (PUFA) membran sel. Groff dan Grapper

(2000) menambahkan bahwa GSH-Px ditemukan utamanya di dalam sitosol

(70%). scdangkan lainnya tcrdapat pada matrik mitokondria (30%).

Bentuk selenoprotein lain yang mempunyai arti penting dalam

metabolisme adalah enzim tipe I S'iodothyronine deiodonase (5'-I-DI), di mana

selenosistein menempati pusat aktifnya (Arthur et al., 1993; Aro, 1996). Enzim ini

dite~nukan di dalam retikulum endoplasmik hati, ginjal dan otot. Enzim ini

~iiengkonversi tiroksin (T 4) rnenjadi 3.3.5-triiodotironin (T3) (Arthur et al., 1993,

Groff dan Gropper, 2000). T3 merupakan bentuk aktif hormon tiroid yang

berperan dalam metabolis~ne (Nunez, 1988; Rose dan Obara, 2000; Surai et al.,

2001). McDonald (1980) menyatakan bahwa salah satu pengaruh penting dari

tiroksin adalah dalam menstimulasi penggunaan oksigen, konsekuensinya akan

terjadi peningkatan laju metabolisme basal. Hormon ini juga berfungsi dalam

peningkatan jumlah mitokhondria per unit jaringan tubuh, akibatnya akan terjadi

peningkatan aktivitas metabolisme mengingat organel ini merupakan mesin dari

sel. Aktivitas hormon ini juga dapat melenturkan mitokhondria sehingga akan

terjadi peningkatan permeabilitas dari membran mitokhondria. Permeabilitas

membran berkaitan erat dengan reaksi fosforilasi. Sehingga akan terjadi

peningkatan fungsi organ ini sebagai tranduser energi dan konversi aliran

elektron ke bentuk energi kimia (ATP). Cartens et al. (1996) menegaskan bahwa

T 3 mampu meningkatkan sintesis protein. T3 masuk dalam sel dan mengikat

(152)

mempengaruhi laju transkripsi dari mRNA di dalam nukleus (Brody, 1994).

Swecker et al. (1995) menambahkan bahwa bentuk kimia Se mempengaruhi

konsentrasi T 3 dan ratio antara T3:T4 dalam plasma sapi. Dari hasil penelitiannya

selama 22 bulan membuktikan bahwa Se bentuk organik (yeast) menghasilkan

konsentrasi T3 yang lebih tinggi. ,

McNabb (1995) menyatakan bahwa hormon tiroid berperan dalam

metabolisme intermedier yaitu sebagai regulator enzim malat pada hati. Enzim ini

mengkatalisis konversi malat menjadi piruvat, yang merupakan reaksi kunci

dalam pembentukan NADPH pada lipogenesis. Hormon tiroid merupakan

pengontrol utama enzim malat di samping hormon insulin, dengan kontrol

penghambatnya oleh hormon glukagon.

7. Absorbsi dan Ekskresi Se dalam Tubuh

Absorbsi Se dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh bentuknya. Combs

dan Combs ( 1 986) menyatakan bahwa L-selenometionin ditransport lnelalui

gradien dari mukosa ke sisi serosa usus, yang dihambat oleh L-metionin.

Kecepatan tranport DL,-selenometionin setengah kali dibandingkan L-

selenometionin dengan carrier yang sama dengan L-metionin. Selenit tidak dapat

melalui mukosa jika konsentrasi di dalam mukosa sama dengan konsentrasi

serosa. Reasbeck et al. ( 198 1) menyatakan bahwa selenometionin diabsorbsi 2 kali lebih banyak dibandingkan seienosistein atau 4 kali lebih banyak

dibandingkan selenit. Whanger el al. (1 976) menyatakan bahwa selenit dan

selenometionin diabsorbsi pada seluruh segmen intestin dengan absorbsi tertinggi

pada duodenum. Wright dan Bell (1966) menginformasikan bahwa tidak ada

(153)

Abdelrahman dan Kincaid (1995) menyatakan bahwa suplementasi Se

secara nyata meningkatkan konsentrasi Se darah induk, Se kolostrum dan kasein.

Gerloff (1992) membakukan kisaran konsentrasi ideal dalam serum adalah 70

-

100 ngSeIml serum. Konsentrasi ini dapat dicapai dengan suplementasi lebih

dari 6 mg Se per hari. Knowles el ul. (1999) menambahkan bahwa

suplementasi Se ragi lebih efektif 2-3 kali dibandingkan Na $5eO4 dalam

meningkatkan status Se dan kandungan Se dalam susu serta kasein. Transfer Se ke

kelenjar ambing dapat tercapai apabila ternak mendapat Se lebih banyak di atas

kebuti~han kritisnya (Gerloff, 1992). 'Ellis c/ (11. (1 997) nienyatakan konsi~~nsi Se

dalam bentuk sodium selenite dalam jumlah 10

-

30 kali dari kebutuhan tidak akan

menyebabkan problem kesehatan pada sapi muda. Suplementasi Se dalam bentuk

sodium selenite sebanyak 3 mglkg bahan kering ransum selama 90 hari

meningkatkan sel darah putih. Ditambahkan lebih lanjut konsentrasi Se dalam

serum dan darah juga ~neningkat sejalan dengan peningkatan suplementasi Se.

I'enggunaan Sc organik, karena bentuknya terikat dengan molekul

protcin, makn aknn digi~nakan olch ~nikroorganisme di dalam rumen atail bypass

ke dalam usus halus dan akan dihidrolisis oleh enzim-enzim usus halus. Senyawa

Se organik secara aktif ditransfer ke enterosit usus halus. Aktivitas GSH-Px

pada eritrosit sapi perah dara yang mendapat Se-kapang jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan selenometionin, kobalt selenit ataupun sodium selenit. Sapi

perah yang mengkonsumsi Se organik menghasilkan susu yang lebih tinggi

dibandingkan dengan yang mengkonsumsi anorganik (Awadeh et al., 1999).

Mahan ( 1 995) menyatakan bahwa GSH-Px dalam plasma mRNAnya

(154)

dipengaruhi oleh supplai Se. Oleh karenanya ada prioritas penggunaan Se dalam

jaringan tubuh dan dalam bentuk GSH-Px aktivitasnya dalam jaringan

mempunyai prioritas sesuai dengan bentuknya. Enjalbert et al. (1999)

menambahkan bahwa aktivitas GSH-Px di dalam sel darah merah meningkat

secara cepat dengan suplementasi 45.5 mg Selhari. Aktivitas GSH-Px dapat

digunakan sebagai estimasi yang baik dari status Se, karena enzim ini merupakan

fungsi fisiologi dari selenium. 98% aktivitas GSH-Px di dalam darah berasosiasi

dengan eritrosit, oleh karenanya analisis GSH-Px di dalam sel darah akan efektif

menggambarkan status Se dalain jangka waktu yang lama.

Kandungan tertinggi glutation ditemukan dalam hati, yang merupakan

organ utama dalatn detoksifikasi dan eliminasi xenobiotik. Glutation disintesis di

dalam hati dari komponen asam amino dan diedarkan ke plasma darah dan

empedu. Ketersediaan asam amino sistein nampaknya merupakan tahapan

pembatasan sintesis. Kelebihan protein pakan atau asam amino bersulfur tidak

akan meningkatkan konsentrasi maksimum glutation hati melebihi level maksimal

secara fisiologi. Meskipun demikian dua asam amino lain yaitu asam glutamat

dan glisin merupakan dua asam amino lain yang diperlukan untuk sintesisnya.

Glutation penting dalam aktivitas limposit, khususnya sel T dan respons

kekebalan (Combs dan Combs, 1986; Larsen, 1993; Ellis et al., 1997).

Dikemukakan oleh Baumrucker (1985) bahwa glutation darah pertama-

tama dihidrolisis oleh y-glutam il transpeptidase (GTP-ase) ektraseluker pada sel-

sel mem bran kelenjar am bing dan kemudian dihidrolisis lebih jauh menjadi asam-

asam amino bebas oleh peptidase nonspesifik. Tiga komponen asam amino

(155)

amino. Glutamat ditransport rnelalui sistem anion, sistin melalui sistem ASC dan

glisin melalui sistem A. Akhirnya ketiga asam amino masuk dalam pool asam

amino dan tersedia untuk sintesis protein susu atau resintesis glutation

intraseluler. Jaringan kelenjar ambing mempunyai konsentrasi glutation 4

-

6

mM. Ditambahkan oleh Baumrucker (1985) bahwa darah menggunakan GSH

(reduce GSH) untuk pertahanan dari oksidasi hidrogen peroksida maupun lipid

peroksida atau mempertahankan status redok dari sel darah merah (Carolyn

Berdanier, 1998).

Combs dan Combs (1986) menyatakan bahwa eksresi Se dari tubuh dapat

melalui tiga jalur utama, yaitu : paru-paru, urin dan saluran pencemaan (melalui feses). Mahan dan Parrett (1 996) menyatakan bahwa

urin

merupakan jalur

Gambar

Gambar 1. Pencernaan protein dan utilisasi N di dalam rumen (Sutardi, 1977)
Gambar 2. Lintasan pembentukan laktosa
Tabel 1. Komposisi ingredien dan nutrien ransum perlakuan
Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi dan fermentabilitas pakan
+5

Referensi

Dokumen terkait

untuk antena adalah yang memiliki konstanta dielektrik yangpaling rendah dari rentang tersebut karena akan menghasilkan efisiensi yang lebih baik, bandwidth yang lebar serta

[r]

Dengan hormat, disampaikan kepada saudara agar dapat menghadiri acara Pembuktian Kualifikasi dan Klarifikasi Harga Penawaran untuk paket pekerjaan tersebur diatas dengan membawa

kalangan, mulai dari anak – anak, remaja dan dewasa dengan konsep pesta ulang. tahun yang

Alifatun Qoyyimah yang selalu ada untuk memberikan semangat, kritik dan saran bagi penulis, Nandya Diva Onawa dan Virginia Fadillah yang memperkenalkan penulis pada drama

Jadi, level organisasi menunjukkan bahwa berita tentang kabut asap yang dikritik dalam Pojok Atan Sengat karena tujuan dari dibentuknya pojok tersebut adalah

CaCO3(s) → CaO(s) + CO2(g) …(1) Setelah proses kalsinasi, batu kapur didinginkan dalam furnance sampai suhu menunjukkan suhu ruang karena penurunan panas yang

Microstress level was estimated in iron-based alloys with precipitates of coherent intermetallides Ni3Ti (type 16Cr-15Ni-3Mo-Ti and 36Ni-3Ti steels) and coherent carbides