• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Tanggung Jawab Direktur PT. Terhadap Kepailitan PT. Dikaitkan Dengan Prinsip Business Judgment Rule

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Tanggung Jawab Direktur PT. Terhadap Kepailitan PT. Dikaitkan Dengan Prinsip Business Judgment Rule"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku :

Ais, Chatamarasyid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan, Citra Aditya Abadi,Bandung, 2004.

Ali, Chaidir, Badan Hukum, Alumni Bandung, 1976.

Ali, Mohammad Chidir, Kepailitan dan penundaan Pembayaran, Bandung: Mandar Maju, 1995.

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta: Penerbit Rajawali Pers, 1991.

Bismar, Nasution, UU No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis; Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule.

Budiarto, Agus, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Jakarta : GhaliaIndonesia, 2002.

Denis J. Block, et al.(Ed) The Business Judgment Rule : Fiduciaty duti and Corporate Directur,(united state: PrenticeHall Law & Busine, 1989). Dine, Janet, Company Law, Macmillan Press Ltd, 1998.

Dirjdosisworo Soejono, Hukum Perusahaaan Mengenai Bentuk-bentuk Perusahaan di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997.

Fuadi, Munir, Doktin-doktrin Modern dalam Corporate Law , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Fuadi, Munir, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung 2005.

Fuadi Munir, Perseroan Terbatas Paradigma baru, Citra Adiya Dakti, 2003. Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Penerbit UMM Press, Malang, 2008.

Huizink, J.B, Insolventie, Terjemahan Linus Doludjawa, Penerbit Pusat Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, Jakarat, 2004.

Jusaf, Amir Abadi, Tanggung jawab Direksi dan Komisaris Perusahaan Pailit. Jakarta, 2004.

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta: Pradnya Paramita, 1974.

Kusuaatmaja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Bandung: PT Alumni, 2002.

Muhammad Abdul Kadir, Hukum Perseroan Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996,

Pramono, Nindyo, Sertifikasi Saham PT Go Publik dan Hukum Pasar Modal di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, cet . II, 2001.

Pramono, Nindyo, Tanggung jawab dan kewajiban pengurus Perseroan terbatas, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan. Voleme 5 no.3, 2007. Prasetya, Rudhi (1996), Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Adytia Bakti, Bandung.

(2)

Retnowulan, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia Yustisia, 1996.

Ryan, Cristopepher L, Company Directors, Liabilities, Right and Duties, CCH Edition Limited, Third Edition, 1990.

Sastarwidjaja, H.Man S, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Bandung; PT Alumni, 2006.

Shubhan, M.Hadi, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, & praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana, 2008.

Sianturi, S.R, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996.

Simanjuntak, Ricardo, Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan Dalam Persfektif Pengacara, Jurnal Huukum Bisnis Vol 17, Januari 2002.

Simanungkit, Parasian, RUPS Kaitannya dengan Tanggung jawab Direksi pada PT, Jakarta: Yayasan Wajar Hidup, 2006.

Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002. Sjadeini, Sutan Remy, Tanggung jawab Pribadi Direksi dan Komisaris, Dalam

Jurnal Hukum Bisnis Volume 14, 2001.

Soemitro, Rahmat, Penuntun Perseroan Terbatas dan Undang-undang Pajak Perseroan, PT Erosco, Bandung, 1982.

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Medan: USU Press, 2009.

Tumbuan, Fred B.G, Pembagian Kewenangan Antara Kurator dan Organ-Organ Perseroan Terbatas, Jakarta: PPH, 2004.

Tumbuan, Fred B.G, Perseroan Terbatas dan Organ-organnya, Makalah, Surabaya, 1998.

Widiyono, Tri, Direksi Perseroan Terbatas; bank dan persero, Bogor: Ghalia Indonesia,2005.

Widiyono, Try, Direksi PT, Keberadaan, tugas, wewenang dan tanggung jawab, Bogor, Ghalia Indonesia.

Widjaja, Sofjan Sastra, Hukum Pidana (Asasa Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan Pidana), Bandung: Armico, 1996.

Wijaya, Gunawan & Yani Ahmad, “Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas”, Jakarta: Rajawali Pers,2000.

Widjaya, I.G Ray, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2000.

Widjaya, Gunawan, Hak Individu dan Kolektif para Pemegang Saham, Jakarta; Forum Sahabat, 2008.

Widjaya, Gunawan, 150 tanya jawab tentang Perseroan Terbatas, Jakarta: Forum Sahabat 2008.

Widjaya, Gunawan, Risiko Hukum Pemilik, Direksi dan Komisaris Perseroan terbatas, Jakarta: Forum Sahabat, 2008.

Widjaya, Gunawan, Tanggung jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Jakarta: PT Raja Grafindo apersada, 2003.

(3)

Undang-Undang :

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penendaan Kewjiban Pembayaran Utang

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)

Internet :

(4)

BAB III

PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE DALAM UU NO.40 TAHUN 2007

A. Pengertian

Doktrin putusan bisnis (Business Judgment Rule) yang merupakan cermin dari kemandirian dan diskresi dari Direksi dalam memberikan putusan bisnisnya merupakan perlindungan bagi Direksi yang beritikad baik dalam menjalankan tugas-tugasnya selaku Direksi. Hanya salah dalam mengambil putusan (mere error of judgment), atau kesalahan yang jujur (honest mistake) tidak dapat dipikulkan tanggung jawabnya kepada direksi.74

Doktrin Business Judgment Rule ini berlaku berdampingan dengan doktrin lain yang lebih memberatkan posisi Direksi, seperti doktrin fiducia duty, due care and loyalty, derivative suit, piercing the corporate veil, ultra vires, proper purpose dan lain-lain. Seperti yang telah dijelaskan di atas, Business Judgment Rule adalah suatu

"Business Judgement Rule" merupakan salah satu doktrin dalam hukum perusahaan yang menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan Direksi tersebut didasari itikad baik dan sifat hati-hati. Dengan prinsip ini, Direksi mendapatkan perlindungan, sehingga tidak perlu memperoleh justifikasi dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan mereka dalam pengelolaan perusahaan.

74

(5)

aturan yang memberikan kebebasan dan perlindungan bagi manajemen perseroan dari setiap tanggung jawab yang lahir sebagai akibat dari transaksi atau kegiatan yang dilakukan olehnya sesuai dengan batas-batas kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya, dengan mempertimbangkan bahwa kegiatan tersebut telah dilaksanakan dengan memperhatikan standart kehati-hatian dan itikad baik.75

Pada sisi lain Business Judgment Rule dapat dilihat sebagai suatu standart of conduct yang memberitahukan apa dan bagaimana seorang Direksi harus bertindak Dapat dikatakan bahwa Business Judgment Rule memeng dikonsep untuk melindungi kepentingan anggota Direksi dari pertanggung jawaban, dari setiap keputusan usaha tertentu yang diambilnya yang menerbitkan atau mengakibatkan kerugian bagi perseroan. Business Judgment Rule adalah salah satu aturan main dalam Corporate Governance. Ini berarti siapa yang menyangkal berlakunya

Business Judgment Rule bagi Direksi, dalam suatu keputusan atau tindakan bisnis tertentu yang mengatasnamakan perseroan, maka orang tersebut harus membuktikannya. Yang harus dibuktikannya adalah bahwa Direksi dalam mengambil keputusan atau tindakan tidak berdasarkan semata-mata pada kepentingan perseroan (terdapat kepentingan pribadi), melakukannya dengan tidak kehati-hatian yang sewajarnya atau tidak dengan itikad baik. Itu berarti, dalam menjalankan kegiatan usaha perseroan, melakukan pengurusan dan mewakili perseroan, Direksi perseroan senantiasa dilindungi Business Judgment Rule.

75

(6)

dalam suatu keadaan tertentu untuk memutus suatu hal tertentu (dalam kegiatan mengurus, menjalankan dan mengelola perusahaan.

Doktrin putusan bisnis (Business Judgment Rule) ini merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa suatu putusan Direksi mengenai aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, meskipun putusan tersebut merugikan perseroan, sepanjang putusan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut :76

1. Putusan sesuai hukum yang berlaku.

2. Dilakukan dengan iktikad baik.

3. Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose)

4. Putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional (rasional basis)

5. Dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan oleh orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa.

6. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya sebagai yang terbaik bagi perseron.

Berbeda tapi tidak bertentangan dengan doktrin-doktrin lain yang lebih memberatkan Direksi semisal doktrin fiducia duty, due care and loyalty, derivative suit, piercing the corporate veil, ultra vires, proper purpose dan lain-lain. Doktrin putusan bisnis ini lebih memihak kepada Direksi, tetapi masih dalam koridor hukum perseroan yang umum bahwa pengadilan dapat melakukan scrutiny (penilaian) terhadap setiap putusan dari Direksi, termasuk putusan bisnis yang telah disetujui

76

(7)

oleh rapat umum pemegang saham, sepanjang untuk memutuskan apakah putusan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku atau tidak. Akan tetapi, tidak untuk menilai sesuai atau tidaknya dengan kebijaksanaan bisnis.

Ide dasar dari tidak berlakunya perlindungan Business Judgment Rule bagi anggota Direksi perseroan dalam hal terdapat kecurangan (fraud) dan terdapat benturan kepentingan (conflict of interest) sedangkan para anggota Direksi itu ternyata telah berupaya untuk mengedepankan kepentingan pribadinya atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat transaksi yang dilakukannya demi kepentingan pribadinya adalah karena judgment yang telah diambilnya itu tidak dapat dikatakan sebagai ”discretionary exercises of power on behalf of the corporation” yang ingin dilindungi dengan rule tersebut. Sedangkan ide yang berada dibelakang pengecualian terhadap berlakunya Business Judgment Rule apabila terdapat perbuatan yang melanggar hukum (illegality exception).77

Sepintas tampaknya doktrin Business Judgment Rule menyisihkan kekuatan berlakunya doktrin-doktrin duty of care. Praktis semua pengadilan di Amerika Serikat sepakat bahwa anggota Direksi tidak harus bertanggungjawab atas terjadinya kerugian perseroan apabila anggota Direksi dalam mengambil suatu pertimbangan (judgment) dilakukan dengan itikad baik. Namun kebanyakan dari pengadilan juga berpendapat bahwa tidak seharusnya para anggota Direksi itu bertindak sembrono (act negligently) atau melakukan kelalaian yang berat (act in a grossly negligently

77

(8)

way). Bila demikian halnya, maka anggota Direksi yang bersangkutan harus bertanggungjawab atas kerugian perseroan yang telah ditimbulkannya.

B. Latar Belakang Yuridis Prinsip Business Judgment Rule

Selain doktrin duty of care, di Amerika Serikat juga dianut doktrin lain yang disebut Business Judgment Rule. Berlakunya doktrin ini (menurut pendapat beberapa ahli hukum) telah duty of care telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam para anggota direksi perseroan di amerika serikat.78

Latar belakang dari berlakunya doktrin putusan bisnis ini adalah karena di antara semua pihak dalam perseroan, sesuai dengan kedudukannya selaku Direksi, maka pihak direksilah yang paling berwenang dan yang paling profesional untuk

Business Judgment Rule adalah sebuah prinsip dalam kepemimpinan perusahaan yang menjadi tujuan dari Common Law sejak 150 tahun yang lalu.

Business Judgment Rule telah lama diterapkan sebagai awan yang melindungi Direksi dari tanggung jawab yang diambil dari keputusan-keputusan bisnis mereka. Apabila Direksi-direksi dalam pelaksanaan tanggung jawab yang dimandati atas perlindungan tersebut, maka pengadilan tidak boleh mencampuri hal tersebut atau memberikan pendapat lain atas keputusan direksi. Sebaliknya jika direksi tidak dimandati atas perlindungan Business Jugdment Rule maka pengadilan wajib memeriksa keputusan-keputusan tersebut apakah perilaku Direksi memang untuk kepentingan perusahaan dan dengan itikad baik serta memperhatikan pemegang saham minoritas perusahaan..

78

(9)

memutuskan apa yang terbaik dilakukan untuk perseroannya, sementara jika karena putusan bisnis dari Direksi terjadi kerugian bagi perseroan, sampai batas-batas tertentu masih dapat ditoleransi mengingat tidak semua bisnis harus mendapat untung. Dengan perkataan lain, perseroan juga harus menanggung resiko bisnis, termasuk risiko kerugian.79

Business Judgment Rule merupakan sebuah doktrin yang telah lama diterapkan untuk melindungi Direksi dalam pertanggungjawaban hukum yang diambil dari keputusan-keputusan bisnis mereka, yang melibatkan pemegang saham yang mengajukan gugatan minoritas dan/atau melawan Direksi-direksi perusahaan yang diduga melanggar prinsip-prinsip keadilan dalam pengambilalihan saham kepada perusahaan lain.

Karena itu, Direksi tidak dapat diminta tanggung jawabnya hanya karena alasan salah dalam memutuskan (mere error of judgment) atau hanya karena alasan kerugian perseroan. Direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena adanya tindakan yang termasuk ke dalam kategori miscalculation atau

mismanagement.

80

Besarnya pengaruh prinsip Business Judgment Rule telah menyebabkan beberapanegara bagian di Amerika Serikat mengecualikan berbagai kerugian perseroan dari tanggung jawab Direksi, namun demikian sebagaiman berlaku di negara bagian Delaware, kerugian yang terbit sebagai akibat perbuatan Direksi

79

Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Dalam Corporate Law, Op. Cit. Hal. 199

80

(10)

tersebut di bawah ini, tidak dapat diberlakukan prinsip Business Judgment Rule. Tindakan-tindakan tersebut adalah :81

1. Pelanggaran terhadap duty of loyaliti, khususnya terkait dengan keterbukaan informasi dari transaksi yang mengandung benturan kepentingan.

2. Melakukan atau tidak melakukan suatu hal tidak dengan itikad baik atau melibatkan perbuatan yang dengan sengaja melawan hukum atau patut diduga perbuatan akan melawan hukum.

3. Pembagian Deviden atau pembelian kembali saham yang tidak layak.

4. Transaksi yang membawa akibat Direksi mendapat keuntungan secara tidak layak.

Menurut ajaran dari doktrin putusan bisnis ini, karena Direksi yang paling berkompeten untuk menjalankan dan memutuskan terhadap bisnis perusahaan, maka tidak ada 1 (satu) orang lagi pun yang berwenang memberi kepurusan tentang bisnis perseroan. Bahkan, pengadilan tidak boleh melakukan pendapat bandingan terhadap putusan bisnis dari Direksi tersebut. Karena itu, gugatan terhadap Direksi dalam hubungan dengan putusan bisnisnya dengan berdalilkan kelirunya putusan Direksi, sering kali ditolak pengadilan berdasarkan doktrin putusan bisnis ini, meskipun kepada Direksi dibebankan fiducia duty, yang membebankan tanggung jawab yang besar kepada pundak Direksi.

Sebenarnya inti dari pemberlakuan doktrin putusan bisnis adalah bahwa semua pihak, termasuk pengadilan harus menghormati putusan bisnis yang diambil

81

(11)

oleh orang-orang yang memang mengerti dan berpengalaman di bidang bisninya, terutama sekali terhadap maslah-masalah bisnis yang kompleks. Karena itu, kepada mereka patut diberikan diskresi yang besar. Mereka yang berpengalaman dan mempunyai pengetahuan tentang bisnis tentunya adalah pihak Direksi, paling tidak mereka telah berpengalaman dari pada hakim dipengadilan, yang sama sekali tidak mengetahui bisnis dan memutuskan hanya berdasarkan sejumlah petunjuk dan pendapat dari pengacara.

Yurisprudensi pengadilan Ameriaka Serikat menawarkan pedoman yang sangat berguna untuk dijadikan rujukan setiap anggota Direksi perseroan dalam menjalankan tugasnya, yaitu bahwa anggota direksi harus :82

a. Memiliki pemahaman yang baik mengenai bisnis perseroan yang dipimpinnya b. Dari waktu ke waktu mengetahui mengenai kegiatan usaha perseroan;

c. Melakukan pemantauan kegiatan perseroan; d. Menghadiri rapat-rapat direksi secara teratur;

e. Melakukan review atas laporan-laporan keuangan perseroan secara teratur; f. Menanyakan apabila menjumpai masalah-masalah yang meragukan;

g. Menyatakan keberatan terhadap dilakukannya perbuatan-perbuatan yang jalas-jelas melanggar hukum;

h. Berkonsultasi dengan penasehat (counsel) perseroan;

i. Mengundurkan diri apabila perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan ternyata tidak dilakukan.

82

(12)

Jika sebenarnya dengan berlakunya atau diberlakukannya prinsip Business Judgment Rule adalah terjadinya beban pembuktian terbalik, dimana pihak yang menduga bahwa Direksi (dan atau anggotanya) tidak boleh bertindak secara baik untuk keuntungan perseroan wajib membuktikan adanya dugaan tersebut.

C. Tujuan Prinsip Business Judgment Rule

Disamping konsepsi fiduciary duty, khususnya duty of care and skill/diligence, dalam konsepsi Business Judgment Rule, seorang anggota Direksi tidak dengan mudah dianggap telah melakukan pelanggaran atas duty of care and skill, selama ia dalam mengambil suatu tindakan telah didasarkan pada iktikad baik, kecuali jika terdapat kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan melawan hukum ( ilegallity).83

Perseroan Terbatas sebagai suatu perusahaan atau suatu entitas ekonomi dimana salah satu karakteristiknya adalah terpusatnya manajemen di bawah struktur Dewan Direksi. Oleh karena itu sangat penting untuk mengontrol prilaku dari para Direktur yang mempunyai posisi dan kekuatan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standart prilaku (standart of conduct) untuk melindungi pihak-pihakyang akan dirugikan apabila seorang direktur berprilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berprilaku tidak jujur.84

83

Gunawan Widjaya, Tanggung jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Op. Cit, hal. 152

84

(13)

Konsep Business Judgment Rule, yang berasal dari Amerika Serikat ini, mencegah peradilan-peradilan di Amerika untuk mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh Direksi, yang diambil dengan itikad baik, tanpa kepentingan pribadi, dan keyakinan yang dapat dipertanggung jawabkan bahwa mereka telah mengambil suatu keputusan yang mengntungkan perseroan.85

Jadi, sudah sepantasnya jika seorang Direktur perseroan tidak di generalisir untuk bertanggung jawab atas kesalahannya dalam mengambil keputusan (mere error of judgment) tanpa pertimbangan unsur manusiawinya.86

Doktrin Business judgment Rule secara tradisional, juga di konsep untuk melindungi kepentingan anggota Direksi dari pertanggung jawaban diambilnya keputusan usaha tertentu yang mengakibatkan kerugian bagi perseroan.87

Sutan Remi Syahdeini dalam makalahnya “Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris” yang dimuat dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, juli 2001, mengatakan bahwa menurut Business Judgment Rule, pertimbangan bisnis (business judgment) para anggota Direksi tidak dapat di tantang (diganggu gugat) atau ditolak oleh pengadilan atau oleh pemegang saham. Para anggota Direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambinya suatu

Doktrin Business Judgment Rule memberikan perlindungan kepada Direksi perseroan atas kemungkinan adanya kesalahan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi.

85

Gunawan Widjaya, Op. Cit, hal. 37

86

Tri Widiyono, Op. Cit, hal. 123

87

(14)

pertimbangan bisnis (business judgment) oleh anggota Direksi yang bersangkutan, sekalipun apabila pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu.88

Fungsi kontrol terhadap Direktur tidak terlepas dari perkembangan teory pemisahan kekayaan dalam hukum perusahaan itu sendiri. Teori ini berasal dari teori Salomon yang muncul dari putusan pengadilan kasus Solomon v Salomon & Co Ltd

Berdasarkan hal tersebut di atas, Business Judgement Rule pada pokoknya mengasumsikan bahwa, dalam membuat suatu keputusan bisnis, Direksi dari suatu perusahaan bertindak atas dasar informasi yang dimikinya, dengan itikad baik dan dengan keyakinan bahwa tindakan yang diambil adalah semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Doktrin ini pada prinsipnya mencegah campur tangan judisial terhadap tindakan Direksi yang didasari itikad baik dan kehati-hatian, dalam rangka mencapai tujuan perusahaan yang sah menurut hukum.

Business Judgement Rule dimaksudkan untuk memberikan dorongan bagi Direksi agar dalam melakukan tugasnya, tidak perlu takut terhadap ancaman tanggung jawab pribadi, dengan kata lain, Business Judgement Rule mendorong direksi untuk lebih berani mengambil risiko ketimbang terlalu hati-hati. Prinsip tersebut juga mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat keputusan yang lebih baik dalam bidang bisnis ketimbang direksi. Sebab, para hakim pada umumnya tidak memiliki keterampilan kegiatan bisnis dan baru mulai mempelajari permasalahan setelah terjadi fakta-fakta.

88

(15)

(1897). Teoti ini mengungkapkan bahwa pada sebuah pembentukan perseroan terbatas, perusahaan menjadi bagian terpisah dari orang yang membentuknya atau menjalankannya, dimana perusahaan tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan aktivitasnya bukan kepada orang memiliki atau menjalankannya.89

Dalam perkenbangannya teori Solomon tersebut sering disalah gunakan oleh para pemilik dan Direktur yang beritikad buruk untuk kepentingan sendiri. Pemegang ini sering kali hanya mempunyai pengawasan yang kecil atau bahkan tidak sama sekali terhadap prilaku seorang Direktur. Oleh karena itu, dengan adanya pemisahan kekayaan antara Direktur dan perusahaannya, para Direktur mempunyai moral hazard yang tinggi karena mereka tidak dapat konsekwensi finansial yang serius apabila keputusan mereka merugikan perusahaan. Akibatnya banyak para direktur yang menggunakan kekuasaanya untuk memperkaya diri sendiri yang sering kali menyebabkan perusahaan mereka mengalami kerugian.90

Dalam hal ini maka dibutlah pengecualian terhadap teori ini, misalkan dalam hal para pemilik dan Direktur berada dalam posisi tidak terlindungi (exposed position) maka mereka bertanggung jawab secara pribadi kepada akibat-akibat hukum dari perbuatan mereka.91

89

Cristopepher L. Ryan, Company Directors, Liabilities, Right and Duties, (CCH Edition Limited, Third Edition, 1990), hal. 215

90 Ibid 91

Ibid, hal. 216

(16)

bertindak. Prinsip tersebut tidak dapat diterapkan dalam hal tidak ada keputusan bisnis yang diambil. Namun, sejauh mana Bisniss Judgement Rule dapat diterapkan oleh pengadilan di luar konteks pengambilan keputusan, merupakan sesuatu yang tidak dapat dipastikan.

Doktrin Business Judgment Rule menyisihkan kekuatan berlakunya doktrin

duty of care, dimana praktis semua pengadilan di Amerika Serikat sepakat bahwa anggota Direksi tidak harus bertnggung jawab atas kerugian perseroan, apabila anggota Direksi dalam mengambil suatu pertimbangan diketahui telah melakukannya dengan iktikad baik.

Tidak ada yang dapat menguji perbuatan atau tindakan yang diambil oleh direksi tersebut, sehingga tidak ada pula yang dapat meminta kepadanya untuk mempertanggung jawabkan hasil perbuatan atau tindakan atau keputusan yang diambil tersebut kecuali jika terbukti ada terdapat kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan melawan hukum (ilegallity). Dalam konteks yang demikian, berarti tidak semua kepailitan akan membawa direksi ke arah pertanggung jawaban yang ditentukan dalam Pasal 104 kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan melawan hukum (ilegallity), yang memungkinkan dimintakannya pertangggungjawaban anggota direksi secara pribadi.

(17)

akhirnya jatuh pada keadaan pailit, berdasarkan putusan pengadilan jelas dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap konsepsi Business Judgment Rule.92

Seperti yang telah disebutkan bahwa doktrin putusan Business Judgment Rule, maka jika karena putusan bisnis dari Direksi terjadi kerugian bagi perseroan, sampai Beberapa pengadilan di Amerika Serikat berpendapat bahwa pertimbangan

(judgment) seorang anggota Direksi tidak dapat di ganggu gugat kecuali apabila pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan atas kecurangan (fraud), atau menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan melawan hukum (ilegallity).

Perlindungan Business Judgment Rule dikatakan tidak berlaku bagi anggota direksi perseroan, jika dalam transaksi bisnis yang dilakukan oleh Direksi, diketahui bahwa Direksi tersebut telah berupaya untuk mengendapkan kepentingan pribadinya, atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat transaksi yang diberlakukan demi kepentingan pribadinya.

Tindakan anggota Direksi yang sangat sengaja tidak membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo sehingga menyebabkan perseroan dimohonkan kepailitan dan apda akhirnya jatuh berada dalam keadaan pailit, berdasarkan putusan pengdilan jelas dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap konsepsi Business Judgment Rule ini.

D. Kontradiksi Dari Prinsip Business Judgment Rule

92

(18)

batas-batas tertentu masih dapat ditoleransi mengingat semua bisnis harus mendapat untung. Dengan perkataan lain, perseroan harus juga menanggung risiko bisnis, termasuk risiko kerugian. Karena itu, Direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena alasan-alasan salah dalam memutuskan (mere error of judgment).

Toleransi hukum terhadap kesalahan Direksi hanya sampai batas-batas tertentu saja, Artinya, ada kesalahan Direksi yang diberikan toleransi, tetapi ada jaga kesalahan Direksi yang sama sekali tidak dapat di toleransi, dan karenanya kepadanya harus dimintakan pertanggung jawaban hukum.93

Dalam literatur hukum perseroan sering disebut-sebut bahwa kesalahan direksi yang dapat di toleransi adalah sebagai berikut :94

a. Hanya salah dalam mengambil putusan (mere error of judgment) b. Kesalahan yang jujur (honesrt mistake, honest error in judgment)

c. Kerugian perusahaan karena kesalahan pegawai perusahaan (kecuali jika tidak ada system pengawasan yang baik)

Sebagai bahan acuan kiranya patut diketahui bahwa sebenarnya dalam setiap saat, Direktur harus bertindak jujur (honest) dan bertugas dengan menggunakan ketekunan yang pantas (reasonable diligent) dalam melaksanakan tugas jabatannya. Direktur harus bertindak dengan pertimbangan yang jujur berdasarkan kepentingan perusahaan dan bukan atas dasar kepentingan kelompok orang atau badan, tidak

93

Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Dalam Corporate Law, Op. Cit, hal. 200

(19)

menempatkan dirinya dalam posisi yang mengakibatkan terjadinya pertentangan antara kepentingan perusahaan dan kepentingan pribadi atau antar tugas dan kepentingannya, dan Direktur harus menggunakan wewenang dan aset yang dipercayakan kepadanya untuk maksud yang telah diberikan dan bukan untuk tujuan lain.95

Sementara kesalahan-kesalahan Direksi yang mesti diminta pertanggung jawaban adalah :96

a. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip fiduciary duty. Dalam hal ini termasuk jika ada unsur benturan kepentingan (conflict of interest).

b. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian (due care). Dalam hal ini termasuk jika ada unsur kesengajaanatau kelalaian.

c. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip putusan yang bijaksana (prudence).

d. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip itikad baik.

e. Kesalahan yang bertentangan dengan tujuan bisnis yang benar (proper purpose)

f. Kesalahan direksi karena tidak kompeten.

g. Kesalahan karena melanggar hukum dan perundang-undangan yang berlaku. h. Kesalahan karena direksi kurang informasi (ill informed)

i. Kesalahan karena dalam mengambil tindakan/putusan, direksi terlalu tergesa-gesa

(hasty action).

95

I.G Ray, Op. Cit, hal. 72

96

(20)

j. Kesalahan karena keputusan diambil tanpa investigasi dan pertimbangan yang rasional.

Jika dibandingkan dengan fiduciary duty Direksi, maka semua hal yang dikatakan sebagai pelanggaran yang menyebabkan tidak berlakunya Business Judgment Rule adalah pelanggara terhadap fiduciary duty Direksi, dengan demikian dapat dikatakan secara sederhana Direksi yang melanggar fiduciari duty tidak dilindungi oleh prinsip Business Judgment Rule.

Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk mendapat perlindungan

Business Judgment Rule ada beberapa syarat yang harus diperhatikan Direksi yaitu :97 1. Direksi harus mengambil keputusan (judgment). Kelalaian Direksi untuk meminta

dokumen yang diperlukan untuk mengambil suatu keputusan sudah cukup untuk membuat Direksi yang bersangkutan dikeluarkan dari perlindungan Business Judgment Rule.

2. Direksi dalm mengambil keputusan harus sudah memperoleh masukan yang menurutnya selayaknya diperlukan yang terkait dengan keputusan yang akan diambil tersebut dan bahwa proses atau langkah-langkah yang sewajarnya untuk mengambil suatu keputusan bisnis sudah juga ditempuh.

3. Keputusan yang diambil tersebut harus berdasarkan pada itikad baik, dengan pengertian tidak ada seorang pun dari anggota Direksi yang mengetahui bahwa

97

(21)

akibat dari keputusan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi perseroan secar nyata, yang merupakan perbuatan curang atau melawan hukum.

4. Tidak ada seorang anggota Direksi pun yang mempunyai benturan kepentingan secara finansial dengan kepentingan perseroan terhadap keputusan yang diambi tersebut.

Doktrin Business Judgment Rule lebih melindungi Direksi dalam menjalankan tugasnya, khususnya dalam mengambil putusan-putusan bisnisnya. Karena itu, selintas kelihatannya prinsip Business Judgment Rule ini akan berdiri berhadapan atau bertentangan dengan teori-teori hukum lain yang lebih membebankan tanggung jawab kepada Direksi, yaitu dengan teori-teori hukum sebagai berikut :98

1. Teori fiduciary duty dari Direksi 2. Teori due care and loyalty dari Direksi

3. Teori derivative suit

4. Teori piercing the corporate veil 5. Teori ultra vires

6. Teori tujuan yang benar (proper purpose)

7. Teori tanggung jawab promotor perusahaan

Akan tetapi, sebenarnya semua teori tersebut tidak bertentangan, tetapi sejalan dengan teori Business Judgment Rule adalah juga putusan bisnis yang diambil dengan kehati-hatian, sesuai dengan anggaran dasar, dengan tujuan yang benar, dan

98

(22)

sebagainya sebagaimana juga yang disyaratkan oleh doktrin fiduciary duty, due care and loyalty, piercing the corporate veil, ultra vires, dan lain-lain sebagainya.

E. Business Judgmet Rule Menurut Hukum Indonesia

Dalam hukum perseroan, fiduciary duty mengandung arti dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk mengurus perseroan, Direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan wewenang yang diperolehnya didasarkan pada dua prinsip. Kedua prinsip itu adalah kepercayaan yang diberikan perseroan dan prinsip yang merujuk kepada kemampuan dan kehati-hatian dari tindakan Direksi.

Untuk dimengerti, dalam konsep fiduciary duty, seorang Direksi bertanggung jawab terhadap perseroan, bukan organ perseroan lainnya, baik rapat umum pemegang saham ataupun dewan komisaris, apalagi pemegang saham. Hal ini diperkuat dengan bunyi Pasal 1 angka 5 UUPT yang berbunyi:

Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuanperseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan ketentuan anggaran dasar.99

Karena kedudukannya yang bersifat fiduciary duty, yang dalam Undang-Undang Oerseroan Terbatas sampai batas-batas tertentu diakui, maka tanggung jawab Direksi menjadi sangat tinggi. Tidak hanya dia bertanggung jawab terhadap ketidak jujuran yang disengaja (dishonesty), tetapi juga bertanggung jawab secara hukum

99

(23)

terhadap tindakan mismanagement, kelalaian atau gagal atau tidak melakukan sesuatu yang penting bagi perusahaan.100

Pasal 99 UUPT yang bebunyi sebagai berikut :

Fiduciary duty merupakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada dari Direksi oleh perseroan dan dasar bertindak dari kegiatan direksi dalam mengambil keputusan berkenaan dengan tugasnya menjalankan kegiatan (bisnis) perseroan.

Seperti yang telah dijelaskan bahwa indikasi berlakunya teori fiduciary duty

ini terlihat dari beberapa pasal dari Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, yaitu sebagai berikut :

Pasal 97 ayat (1) yang berbunyi :

Direksi betanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud Pasal 92 ayat (1).

Pasal 98 ayat (1) yang berbunyi :

Direksi mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan. 101

1. Anggota direksi tidak bewenang mewakili perseroan apabila :

a. Terjadi perkara di pengadilan antara perseroan dengan anggota direksiyang bersangkutan; atau

b. Anggota direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingandengan perseroan

2. Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud pada pasal (1), yang tidak mewakili perseroan adalah :

a. Anggota direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan;

b. Dewan komisaris dalam hal seluruh anggota direksi mempunyai benturan kepentingandengan perseroan; atau

c. Pihal lain yang ditunjuk RUPS dalam hal seluruh anggota direksi atau dewan komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan.

100

Munir Fuadi, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Op. Cit, hal. 82

101

(24)

Tanggung jawab Direksi pada dasarnya dilandasi oleh 2 (dua) prinsip penting, yaitu prinsip yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercayakan kepadanya oleh perseroan (fiduciary duty) dan prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan Direksi (Duty of skill and care). Kedua prinsip ini menuntut Direksi untuk bertindak secara hati-hati dan disertai itikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan. pelanggaran terhadapnya membawa konsekuensi yang berat bagi bagi Direksi, karena itu dapat dimintai pertanggung jawaban pribadi.102

Pasal-pasal tersebut di atas terutama Pasal 97 menekankan akan tugas

fiduciary duty dari Direksi, tetapi sebenarnya dari pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang berlaku tidaknya doktrin Business Judgment Rule. Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) UUPT Tahun 2007 mengindikasikan bahwa Undang-undang Perseroan Terbatas tersebut memberlakukan doktrin Business Judgment Rule. Dari ketentuan dalam pasal Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) UUPT Tahun 2007 dapat disimpulkan bahwa tindakan direksi terhadap perseroan haruslah dilakukan dengan memenuni ketiga syarat yuridis sebagai berikut:

Dalam hal tindakan Direksi merugikan perseroan, maka pemegang saham yang memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 97 ayat (6) UUPT dapat mewakili perseroan untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap Direksi melalui pengadilan.

103

102

www. hukum online.com, di akses pada tanggal 8 Juli 2010

103

(25)

1. Itikad baik (good faith),

2. Penuh tanggung jawab, dan

3. Untuk kepentingan dan usaha perseroan (proper purpose)

Manakala salah satu dari ketiga unsur yuridis tersebut tidak dipenuhi, maka direksi tersebut dianggap bersalah (dalam arti kesengajaan) atau setidaknya dalam keadaan lalai (negligence) dalam menjalankan tugasnya itu, sehingga dia harus bertanggung jawab secara pribadi.104

Dapat ditarik suatu kesimpulan yuridis miscalkulasi, kesalahan yang jujur

(honest mistake) atau kesalahan dalam melakukan judgment (mere error of judgment), selama tidak melanggar salah satu atau lebih dari 3 (tiga) unsur tersebut di atas, belumlah dapat dibebankan kewajiban hukum kepada Direksi secara pribadi, meskipun mungkin saja pihak perseroan atau pemegang saham telah dirugikan secara materil maupun nonmaterial. Karena itu dapat dikatakan bahwa sampai batas-batas tertentu, Undang-undang Perseroan terbatas Nomor 40 Tahun 2007 memang memberlakukan doktrin putusan bisnis (business judgment rule) ini.105

Dalam menjalankan fiduciary duty, Direksi mutlak memiliki diskresi dan kebebasan dalam membuat keputusan, yang menurutnya adalah yang paling baik untuk kepentingan perseroan. Apabila ternyata keputusan tersebut salah, maka

104

Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Dalam Corporate Law, Op. Cit, hal. 206

(26)

keputusan tersebut akan dinilai dengan mekanisme yang dikenal dengan Business Judgment Rule.106

Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para Direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi Direksi untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan usaha. Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, Direksi melakukannya dengan jujur dan itikad yang baik. Untuk melindungi para Direksi yang beritikad baik tersebut maka mucul prinsip Business Judgment Rule yang merupakan salah satu prinsip yang sangat populer untuk menjamin keadilan bagi para Direksi yang mempunyai itikad baik. Penerapan prinsip Business Judgment Rule mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para Direksi sebuah Perseroan dalam mengambil keputusan bisnis.107

Prinsip Business Judgment rule merupakan ketentuan yang dapat dikesampingkan jika Direktur bertindak lebih baik dari pada pengadilan yang akan mendalilkan Business Judgment Rule dan apabila direksi bertindak dalam keputusan bisnis yang bebas dari self-dealing (atau untuk kepentingan pribadi) dan dapat menunjukan tindakan tersebut dilaksanakan berdasarkan alasan yang wajar serta itikad baik. Pihak yang menggugat keputusan dewan direksi menghadapi risiko akan

106

www. hukumonline.com, di aksess pada tanggal 8 Juli 2010

107

(27)
(28)

BAB IV

TANGGUNG JAWAB DIREKTUR PT TERHADAP KEPAILITAN PT DIKAITKAN DENGAN PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE

A. Kepailitan Perseron Menurut UU No 37 Tahun 2004 dan UU No. 40 Tahun 2007

Kepailitan perusahaan merupakan suatu fenomena hukum perseroan yang sering sangat ditakuti, baik oleh pemilik perusahaan atau oleh mamajemennya. Karena dengan kepailitan perusahaan, berarti perusahaan tersebut telah gagal dalam berbisnis atau setidak-tidaknya telah gagal dalam membayar utang.108

Istilah pailit dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Didalam bahasa Belanda dipergunakan istilah failit yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail, dan didalam bahasa Latin dipergunakan istilah failire.109

Kepailitan menurut pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita umum atas semua kekayaan dibitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.110

108

Munir Fuadi, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 75

109

Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 20

110

(29)

Menurut Retnowulan, dalam bukunya kapita selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, seri Varia Yustisia, yang dimaksud dengan kepailitan adalah eksekusi masal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua direktur, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib.111

Mohammad Chidir berpendapat bahwa kepailitan adalah pembeslahan masal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya di antara para kreditor dengan di bawah pengawasan pemerintah.112

Sementara itu Kartono mengemukakan, kepailitan adalah suatu sitaan umum dan eksekusi terhadap seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.113

Zainal Asikin menyebutkan bahwa hukum kepailitan mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu melalui hukum kepailitan akan diadakan suatu penyitaan umum Undang-undang kepailitan tidak merinci secara spesifik mengenai ketentuan yang membedakan antara kepailitan orang perorangan dengan kepailitan badan hukum. Namun demikian, jika dikaji lebih mendalam banyak terdapat suatu norma yang sebenarnya hanya dapat diberlakukan terhadap kepailitan perseroan terbatas.

111

Retnowulan, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, (Seri Varia Yustisia, 1996), hal. 88

112

Mohammad Chidir Ali, Kepailitan dan penundaan Pembayaran, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 10

113

(30)

(eksekusi masal) terhadap seluruh harta kekayaan debitor, yang selanjutnya akan dibagikan kepada kreditor secara seimbang dan adil dibawah kewenangan petugas yang berwenang.114

Undang-undang kepailitan dapat juga berfungsi untuk melindungi kepentingan, pihak-pihak terkait dalam hal ini Kreditor dan Debitor, atau juga masyarakat. Mengenai hal ini Undang-Undang Kepailitan menyebutkan beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan yaitu:115

1. Untuk menghindari perbuatan harta Debitor apabila dalam hal waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menegih piutangnya dari Debitor.

2. Untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.

3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri.

Mengutip Mochtar Kusumaatmadja yang berpendapat bahwa hukum harus merupakan sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat, diharapkan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang juga berperan dalam pembaharuan masyarakat untuk menyelesaikan utang piutangnya.116

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia , (Jakarta: Penerbit Rajawali Pers, 1991), hal. 24

115

H.Man S. Sastarwidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: PT Alumni, Bandung, 2006), hal. 72

116

(31)

Prinsip commercial exit from financial ditress dari kepailitan memberikan makna bahwa kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru dugunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha.117

Dari pengertian kepailitan seperti disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa :

Untuk mempailitkan debitor sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip ini sepanjang kemudahan untuk mempailitkan adalah dalam konteks penyelesaian utang karena adanya kesulitan finansial dari usaha debitor.

118

1. Kepailitan dimaksud untuk mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan kreditor secara perorangan.

2. Kepailitan hanya mengenai harta benda dibitur, bukan pribadinya. Jadi, ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum di luar hukum kekayaan.

Kepailitan dapat dimohonkan apabila Direktur mempunyai dua atau lebih kreditor yang tidak membayar setidaknya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Utang yang tidak dapat dibayar oleh debitor sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 tersebut adalah utang pokok atau bunganya.

Fred B.G Tumbuan berpendapat bahwa keharusan sedikitnya ada 2 (dua) kreditor dalam UU. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan sesuai dengan ketentuan Pasal

117

M.Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, & praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2008), Jakarta, hal. 189

118

(32)

1132 KUHPerdata, yang pada dasarnya menetapkan bahwa pembagian kekayaan debitor diantara kreditor harus dilaksanakan secara pari passu parte.

Dalam UU No. 37 Tahun 2004 ditentukan pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit yaitu :119

1. Debitor sendiri;

2. Seorang atau beberapa kreditor (Pasal 2 ayat 1); 3. Kejaksaan demi kepentingan umum (Pasal 2 ayat 1);

4. Bank Indonesia dalam hal menyangkut debitor yang merupakan bank (pasal 2 ayat 3);

5. Badan Pengawas pasar Modal dalam hal menyangkut debitor yang merupakan Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penjaminan dan Penyelesaian (Pasal 2 ayat 4);

6. Menteri Keuangan dalam hal debitor adlah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik (Pasal 2 ayat 5)

Ketentuan Pasal 2 ayat (5) yang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan sebagai satu-satunya pihak yang berhak mengajukan pailit Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik ini merupakan sesuatu yang baru yang

119

(33)

tidak dijumpai dalam UU No. 4 Tahun 1998.120

Harta kekayaan pailit meliputi seluruh harta kekayaan debitor yang ada pada saat pernyataan pailit maupun harta kekayaan yang diperoleh selama kepailitan itu.

Dalam hal debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaiman dimaksud dalam anggaran dasarnya (Pasal 2 UUK). Pengurusan dan atau pemberesan harta palit yang meliputi penyelamatan, pengelolaan, penjaminan dan penjualan harta pailit dilakuan oleh kurator (Pasal 13 jo Pasal 67 UUK).

121

Akibat dengan dinyatakan pailit, debitor demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap kekayaan yang dimasukkan kedalam kepailitan terhitung sejak tanggal pernyataan pailit itu (Pasal 12 UUK). Dalam UUK No. 37 Tahun 2004 Pasal 24 ayat (2) disebutkan bahwa tanggal putusan dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat. Yang dimaksud waktu waktu setempat adalah waktu tempat putusan pernyataan pailit di ucapkan oleh Pengadilan Niaga.122

Sebaliknya menurut Pasal 7 UUK selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan, setiap kreditor atau kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan niaga untuk :123

1. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor.

Upaya pengamanan ini bersifat prefentif dan sementara dan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan debitor untuk melakukan tindakan hukum terhadap

(34)

kekayaan sehingga dapat merugikan kepentingan kreditor dalam rangka pelunasan utangnya.

2. Menunjuk kurator sementara untuk :

a. Mengawasi pengelolaan usaha debitor dan

b. Mengawasi pembayaran kepada kreditor, pengadilan atau penggunaan kekayaan debitor yang dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan kurator. Permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan apabila hal tersebut diperlukan untuk melindungi kepentingan kreditor.

Sementara itu debitor pailit dapat mengajukan akur yaitu restrukturisasi dan penghapusan sebagian utang-utangnya kepada para kreditor (Pasal 134 UUK). Jika akur ini disetujui oleh mayoritas kreditor dan Pengadilan Niaga mengesahkan dalam bentuk homologasi, kepailitan berakhir (Pasal 156 UUK). Akan tetapi jika tidak ada akur sita jaminan menjadi sita eksekutorial (Pasal 168 UUK) apabila hal ini yang terjadi proses kepailitan tersebut memasuki tahap insolvensi (harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar). Dan pada tahap ini dilakukan verifikasi terhadap tagihan-tagihan dan pencairan asset harta kekayaan pailit serta pembayaran utang-utang secara tuntas, terhadap ini akan bermuara pada pembubaran perseroan terbatas tersebut.124

124

(35)

Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat dijatuhi putusan kepailitan.

Debitor disini terdiri orang atau badan maupun badan hukum, maka berdasarkan hal tersebut diatas pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit adalah :125 1. Orang perorangan

2. Perserikatan-perserikatan atau perkumpulan-perkumpulan yang bukan badan hukum seperti maatschap, firma dan perkumpulan komanditer.

3. Perseroan-perseroan atau perkumpulan-perkumpulan yang berbadan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), koperasi dan Yayasan.

4. Harta Peninggalan. Harta peninggalan atau warisan dapat dinyatakan pailit oleh hakim.

Dalam hal badan hukum yang dinyatakan pailit organ badan hukum tersebut akan kehilangan hak untuk mengurus kekayaan badan hukum. Pengurusan kekayaan badan hukum yang dinyataka pailit beralih pada kurator. Apabila yang dipailitkan suatu perseroan terbatas yang mempunyai status badan hukum, maka pengurus yang mempunyai kewajiban untuk mempertanggung jawabkan kepailitan tersebut.

Tujuan utama proses kepailitan terhadap persoran terbatas adalah untuk mempercepat proses likuidasi dalam rangka pendistribusian aset perseroan dalam rangka membayar utang-utang perseroan karena perseroan telah mengalami kesulitan

125

(36)

keuangan yang menyebabkan insolvensi perseroan tersebut. Dengan demikian eksistensi perseroan terbatas yang dipailitkan segera berakhir dengan percepatan pemberesan proses likuidasi tersebut. Prinsip utama kepailitan perseroan terbatas adalah menyegerakan proses likuidasi aset perseroan untuk kemudian membagikannya kepada segenap kreditornya.126

Menurut Fred BG Tumbuan, pernyataan pailit tidak dengan sendirinya mengakibatkan perseroan menjadi bubar, hanya apabila terjadi salah satu dari dua kejadian berkanaan dengan kepailitan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117ayat (1) c.1) dan 2) UUPT Lama, Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan atas permohonan kreditor. Oleh karana itu, perseroan pailit yang belum

Dengan dinyatakannya pailit tidak mutatis mutandis badan hukum perseroan menjadi tidak ada.

Kepailitan Perseroan Terbatas tidak mesti berakhir dengan likuidasi dan pembubaran badan hukum perseroan. dalam hal harta kekayaan telah mencukupi seluruh tagihan-tagihan kreditor dan biaya-biaya yang timbul dari kepailitan, maka langkah berikutnya adalah pengakhiran kepailitan dengan jalan rehabilitasi terhadap Perseroan Terbatas tersebut dan kepailitan diangkat serta berakibat perseroan terbatas itu kembali pada keadaan semula sebagaimana perseroan sebelum adanya kepailitan.

Dalam proses kepailitan perseroan terbatas, maka perseroan terbatas tersebut masih dapat melakukan transaksi hukum terhadap pihak kedua, dimana tentunya yang melakukan perbuatan hukum perseroan tersebut adalah kurator atau setidaknya atas mandat kurator.

126

(37)

bubar, tetap cakap dan berwenang melakukan perbuatan hukum. Kepailitan badan hukum tidak mengurangi kewenangan dan kecakapan bertindak pengurusnya. Kepailitan tidak menyentuh status hukum badan hukum, mengingat bahwa kepalitan berkaitan dengan dan hanya mencakup harta kekayaan badan hukum. Direksi perseroan tetap berwenang mewakili perseroan secara sah dalam melakukan setiap perbuatan hukum, baik yang berhubungan dengan hak dan kewajibannya, sejauh perbuatan tersebut bukan melakukan perbuatan pengurusan (beheerdaden) dan perbuatan pengalihan (beschikkingsdaden) berkenaan dengan kekayaan perseroan yang tercakup dalam harta pailit.127

Kemudian pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Amir Abadi Jusuf, bahwa kurator tidak menggantikan kedudukan direksi/komisaris sehubungan dengan pengurusan kekayaan perusahaan pailit. Kurator hanya bertanggung jawab atas pengurusan dan pemberesan kekayaan perusahaan, tetap berada di tanga Direksi dan Komisaris.128

Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Sutan Remi Sjahdeini, bahwa dalam kaitannya dengan perseroan debitor. Kurator berkedudukan sama dengan direksi perseroan tersebut karena kurator menggantikan kedudukan Direksi perseroan setelah perseroan dinyatakan pailit.129

127

Fred B.G Tumbuan, Pembagian Kewenangan Antara Kurator dan Organ-Organ Perseroan Terbatas, (Jakarta: PPH, 2004), hal. 246-247

128

Amir Abadi Jusaf, Tanggung jawab Direksi dan Komisaris Perusahaan Pailit, (Jakarta, 2004), hal. 253

129

(38)

Kepailitan perseroan tidak berarti status badan hukum perseroan menjadi hilang. Eksisnya badan hukum Perseroan Terbatas berarti organ-organ perseroan juga harus tetap eksis. Status badan hukum perseroan yang pailit, tetap eksis, sebelum perseroan tersebut dibubarkan yang dilanjutkan dengan likuidasi.

Pasal 143 ayat (1) UUPT secara tegas menentukan pembubaran Perseroan Terbatas tidak mengkibatkan perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggung jawaban likuidator diterima oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau pengadilan.130

Pada prisipnya kepilitan Perseroan Terbatas adalah merupakan salah satu dari bentuk pembubaran Perseroan Terbatas yang berujung pada likuidasi perseroan tersebut dan bukan pranata hukum yang terpisah sama sekali dengan pengakhiran Perseroan Terbatas pada umumnya. Prinsip ini tidak dianut dalam hukum kepailitan Indonesia.

Munir Fuady mengatakan bahwa, pembubaran adalah suatu tindakan yang menyebabkan perusahaan berhenti eksistensinya dan tidak lagi menjalankan bisnis untuk selama-lamanya, diikuti dengan proses administrasinya berupa pemberitahuan, pengumuman, dan pemutusan hubungan kerja dengan karyawannya.

131

Dalam Pasal 142 ayat (2) menuntukan dalam hal pembubaran perseroan sebagaimana dimaksud ayat (1) :132

130

Lihat Pasal 143 ayat (1) UUPT

131

M. Hadi Shubhan , Op. Cit, hal. 191

132

(39)

a. Wajib diikuti dengan likudasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator ; dan

b. Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan perseroan dalam rangka likuidasi.

Dari pasal tersebut diatas, dapat ditafsirkan bahwa meskipun pembubaran mengakibatkan suatu perseroan menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, tetapi dalam hal untuk membereskan kekayaannya yaitu dalam proses likuidasi, perseroan masih tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum dalam rangka likuidasi.133

133

Lihat Pasal 142 ayat (2) UUPT

Ini menggambarkan bahwa pembubaran tidak mengakibatkan status badan hukum perseroan langsung menjadi hilang. Kedudukan hukum Direksi dan Komisaris selaku organ perseroan yang pailit tetap eksis dan tetap dapat melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama perseroan, sepanjang perbuatan hukum tersebut tidak menyangkut harta kekayaan perseroan. Kurator hanya berwenang untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta perseroan, dan tidak berwenang untuk menggantikan kedudukan Direksi sebagai organ perseroan. Tetapi statusnya baru berakhir setelah selesainya likuidasi dan pertanggung jawaban likuidator diterima oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

(40)

Dalam hukum perseroan terbatas di Indonesia, pembubaran perseroan terbatas merupakan pranata hukum yang diatur dalam pasal 142 ayat (1) UUPT dinyatakan bahwa perseroan bubar karena :134

a. Berdasarkan keputusan RUPS;

b. Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;

c. Berdasarkan penetapan pengadilan;

d. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap, harta pailit perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;

e. Karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadan insolvensi sebagaiman diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

f. Karena dicabutnya izin usaha perseroan, sehingga mewajibkan perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal perseroan terbatas bubar karana Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), maka Direksi perseroan dapat mengajukan usul pembuburan perseroan kepada RUPS, yaitu diikuti oleh proses likuidasi yang dilakukan oleh likuidator.

Sedangkan dalam hal pembubaran Perseroan Terbatas karena putusan pengadilan, dalam Pasal 146 ayat (1) UUPT dikatakan bahwa pembubaran tersebut diajukan atas inisiatif adanya permohonan dari pihak kejaksaan berdasarkan alasan kuat perseroan melanggar kepentingan umum atau perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan, adanya permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian perseroan, adanya permohonan pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan.

134

(41)

Perseroan Terbatas yang dalam status dalam likuidasi masih eksis badan hukumnya seperti dalam kepailitan. Hanya saja perusahaan dalam likuidasi tidak boleh menjalankan bisnis baru melainkan hanya menyelesaikan tugas-tugasnya dalam rangka proses pemberesan dan likuidasi tersebut dan tidak bisa melakukan kegiatan diluar tugas tersebut.

Dalam hal perseroan bubar yang diikuti dengan likuidasi, maka tidak dimungkinkan untuk dicabut status likuidasi tersebut apalagi direhabilitasi untuk kemudian menjadi badan hukum normal seperti sedia kala. Proposisi ini jelas berbeda dengan status pailit perseroan terbatas tersebut.

Munir Fuadi menjabarkan konsekwensi hukum dari penempatan perseroan menjadi PT (dalam likuidasi), yakni antara lain :135

1. Yang paling pokok adalah bisnis dari perusahaan tersebut dihentikan; 2. Semua kekuasaan direksi beralih kepada likuidator;

3. Kekuasaan Komisaris dibekukan;

4. Kekauasaan RUPS dibekukan, kecuali dalam hal laporan terakhir dari likuidator, yang memang harus diberikan kepada RUPS;

5. Perusahaan tetap jalan sejauh untuk kepentingan pemberesan dan pembubarannya saja;

6. Perusahaan tidak dapat lagi mengubah status asetnya, kecuali yang dilakukan oleh likuidator dalam rangka pemberesan;

135

(42)

7. Menjadi restriksi terhadap kekuasaan kreditornya untuk memproses dengan proses hukum lainnya.

Jika kepailitan Perseroan Terbatas akan berujung pada likuidasi perseroan, apakah masih bermanfaat makna kepailitan karena pada satu sisi dalam rezim hukum perseroan terbatas dikenal dengan lembaga pembubaran perseroan melalui likuidasi perusahaan. Justru disinalah funsi kepailitan untuk mempercepat likuidasi.

Suatu Perseroan Terbatas yang telah dilikuidasi, maka eksistensi badan hukum dari perseroan terbatas masih tetap ada sampai proses likuidasi tersebut beres sama sekali yang berujung pada bubarnya perseroan terbatas tersebut. Karena itu, dalam proses pembubaran Perseroan Terbatas yang masih dalam proses likuidasi atau dalam bahasa teknis hukum disebut sebagai PT (dalam likuidasi) masih dapat digunakan lembaga kepailitan di dalamnya. Hal ini berarti bahwa PT (dalam likuidasi) masih bisa diajukan permohonan untuk dipailitkan dan pengadilan masih dapat menyatakan pailit atas permohonan tersebut.136

Dalam kasus-kasus tertentu kepailitan perseroan bisa dimungkinkan tanpa likuidasi. Hal terakhir ini jika dipandang perlu untuk meneruskan kegiatan usaha perseroan sehingga menghasilkan keuntunganyang lebih yang pada akhirnya hasil Kepailitan terhadap PT (dalam likuidasi) memiliki makna untuk lebih mempercepat proses likuidasi tersebut, disamping karena PT (dalam likuidasi) ini masih eksis status badan hukumnya.

136

(43)

keuntungan tersebut digunakan untuk membayar utang-utang perseroan. melanjutkan perusahaan ini merupaka langkah yang sangat strategis dalam terjadinya kepailitan perseroan adalah karena kesulitan likuidasi jangka pendek sementara prospek perusahaan tersebut masih baik.

Pelanjutan perusahaan akan sangat bermanfaat terhadap perseroan yang pailit karena masalah keuangan. Dengan diberlanjutkannya usaha perseroan, maka akan jauh lebih menguntungkan dari pada langsung diadakan pemberesan harta perseroan. keuntungan ini bukan hanya pihak debitor pailit (dalam hal ini perseroan terbatas yang dipailitkan) melinkan juga bagi para kreditor perseroan.

Sedangkan dalam tataran praktis, manfaat dari perseroan terbatas pailit yang melanjutkan usaha adalah untuk menghentikan tindakan-tindakan kreditor yang secara a priori menginginkan perseroan terbatas tersebut bubar serta menggunakan kepailitan tidak pada tempatnya. Tidak sedikit kreditor yang tidak mau tahu terhadap kondisi perusahaan apakah perusahaan itu tidak mampu membayar kewajiban utangnya ataukah tidak mau membayar kewajiban utangnya. Ketidak mampuan perseroan untuk memenuhi kewajiban membayar utang juga harus diklasifikasikan apakah karena perseroan tersebut sedang mengalami kesulitan likuidasi jangka pendek ataukah memang perseroan tersebut masuk pada tahap penuaan seperti teori

(44)

Oleh karena itu yang menjadi pertimbangan Pengadilan Niaga untuk menyatakan seorang debitor pailit, tidak saja oleh karena ketidak mampuan debitor tersebut untuk membayar utang-utangnya, tetapi juga termasuk ketidakmauan debitor tersebut untuk melunasi uatang-utang tersebut seperti yang telah diperjanjikan.137

Adapun mengenai manfaat pelanjutan usaha perusahaaan yang pailit sebagaimana dikemukakan oleh J.B Huiizink bahwa nilai suatu perusahaan sering lebih tinggi dari pada jumlah nilai dari masing-masing unitnya. Jika suatu perusahaan dibekukan, karyawannya diberhentikan seta aktivanya dilikuidasi, maka hasil yang diperoleh jelas lebih sedikit dari pada jika perusahaan itu dijual sebagai suatu on going concern.

Pertimbangan utama untuk melanjutkan kegiatan usaha terhadap perseroan terbatas yang telah dinyatakan pailit adaalah bahwa nilai ekonomis (economic value)

perusahaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai aset fisik dari perusahaan tersebut. Kepailitan sebenarnya diperuntukan terhadap perusahaan yang mempunyai aset negative dan tidak ditujukan terhadapa perusahaan yang hanya sekedar bermasalah dalam kinerja cash flow-nya.

138

137

Ricardo Simanjuntak, Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan Dalam Persfektif Pengacara, (Jurnal Hukum Bisnis Vol 17, 2002), hal. 6

138

J.B Huizink, Insolventie, Terjemahan Linus Doludjawa, (Jakarta; Penerbit Pusat Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, 2004), hal. 10-11

(45)

Alasan kedua, yang lebih umum adalah untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjan yang sedang berjalan atau untuk mewujudkan tercapainya hasil yang lebih besar dalam rangka pencairan perusahaan tersebut.139 Namun demikian, jika Perseroan Terbatas dalam pailit memutuskan untuk tidak melnjutkan usaha, maka akan memasuki tahap-tahap kepailitan selanjutnya yang pada gilirannya nanti sampai pada pemberesan perseroan. Pada tahap pemberesan ini pula masih terjadi dua kemungkinan yakni perseroan tersebut dilikuidasi dan bubar atau perseroan tersebut mencukupi harta pailitnya untuk membayar seluruh tagihannya sehingga kepailitan perseroan terbatas tersebut berakhir dan dilakukan rehabilitasi serta eksistensi perseroan tersebut kembali kepada posisi semula seperti sebelum kepailitannya dan kemli pada subjek hukum mandiri dan penuh.140

B. Pemberlakuan Business Judgment Rule Terhadap Direktur PT

Sebelum keluarnya UUPT , Indonesia tidak secara jelas mengadopsi prinsip

Business Judgment Rule. Dalam Pasal 82 UU No. 1 Tahun 1995 (UUPT Lama) menyatakan, bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan, sedangkan Pasal 85 UUPT Lama menetapkan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Pelanggaran terhadap hal

139

Ibid, hal. 70

140

(46)

ini dapat menyebabkan Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut.141

Dalam prakteknya penerapan UUPT tersebut mengalami banyak kendala, khususnya dalam hal pertanggung jawaban Direktur. Hal ini terjadi karena masih belum adanya standar yang jelas untuk mengukur pertanggung jawaban Direktur. Misalnya, ukuran “itikad baik” dalam Pasal 85 UUPT belum ada ukuran yang jelas, sehingga dalam penerapannya sulit untuk menentukan ukuran kapan seorang Direktur bertindak dengan itikad baik atau tidak.142

Sebagai salah satu doktrin yang diakui dan diterapkan dalam Corporate Law, Business Judgment Rule atau yang disebut dengan Doktrin putusan bisnis mempunyai peranan yang cukup penting dalam melindungi kemandirian wewenang Direksi dan atau Dewan Komisaris. Doktrin putusan bisnis ini tidak terpisahkan dengan prinsip

fiduciary duty yang diemban oleh seorang Direksi di dalam melaksanakan tugasnya dan diwenangnya sebagai pengurus perusahaan. Prinsip perlindungan terhadap Direksi perusahaan memang dianggap perlu untuk menentukan jalannya perusahaann itu sendiri. Sebagai seorang manusia biasa yang tidak pernah dari kesalahan atau

human error, wajarlah bila seorang Direksi pernah melakukan kelalaian di dalam Oleh karena itu masuknya prinsip Business Judgment Rule dalam UUPT adalah hal yang sangat positif untuk mendukung perkembangan iklim usaha di Indonesia.

141

Bismar Nasution, UU No. 40 Tahun 2007 dalm perspektif Hukum Bisnis; Pembelaan Direksi melalau Prinsip Business Judgment Rule, hal. 9

(47)

menentukan putusan bisnis yang akan diterapkan untuk mencapai tujuan perusahaan.143

Untuk dapat menggunakan doktrin Putusan Bisnis ini sebagai pembelaan bagi Direksi, Direksi atau Dewan Komisaris harus bertindak dengan itikad baik dan dengan kepercayaan yang wajar dalam melakukan tindakan yang secara sah dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam mencapai tujuan-tujuan perusahaan. Direksi juga harus melaksanakan putusan bisnis yang jujur terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dipertimbangkan secara rasional berdasarkan faktor-faktor yang ada.

Doktrin putusan bisnis ditetapkan untuk memutuskan apakah Direksi atau Dewan Komisaris telah melaksanakan tugasnya dengan benar dan menaati tugas dan kewenangannya sebagai organ perusahaan. Tidak semua putusan bisnis yang ditetapkan Direksi selalu menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Oleh karena itu Direksi atau Dewan Komisaris lah yang pada akhirnya akan bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan dalam perusahaan. Direksi harus bertanggung jawab apabila unsur-unsur yang terkandung dalam doktrin putusan bisnis tidak dapat dibuktikan seluruhnya.

144

143

www.hukumonline.com, di akses pada tanggal 8 Juli 2010

144

www.hukumonline.com di akses pada tanggal 8 Juli 2010

(48)

Hanya perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Direksi dan Dewan Direksi yang dilindungi oleh doktrin Business judgment Rule sedangkan untuk perbuatan yang dilakukan oleh selain pihak Direksi tidak akan dilindungi dalam pembelaan melalui doktrin putusan bisnis ini.

Doktrin putusan bisnis ini tidak meliputi baik dalam hal seorang Direksi yang tidak menjalankan fungsinya atau gagal dalam bertindak untuk kepentingan perusahaan. Akan tetapi doktrin ini dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan yang wajar yang telah ditetapkan oleh perusahaan.145

Doktrin putusan bisnis melindunmgi Direksi yang tidak memiliki kepentingan pribadi dalam pengambilan keputusan. Seorang Direksi yang betindak bukan berdasarkan kepentingan pribadi dalam melakukan transaksi-transaksi bisnis ataupun keuntungan-keuntungan financial yang diperoleh dari pihak lain untuk kepentingan perusahaan dan pemegang saham pada umumnya akan dilindungi pada doktrin ini. Perbuatan-perbuatan bisnis serta putusan bisnis yang telah diambil seorang Direksi juga harus bebas dari unsur kepentingan pribadi dari mayoritas Dewan Direksi dan pemegang saham. Unsur pembuktian ada tidaknya personal interest dari seorang Direksi harus dibuktikan oleh para pihak yang merasa dirugikan.146

Dalam keitannya dengan prinsip kehati-hatian, doktrin putusan bisnis

Business Judgment Rule hanya akan melindungi Direksi apabila Direksi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya secara hati-hati sehingga terhindar dari

145

Dennis J. Block, Op. Cit, hal. 12-13

146

(49)

perbuatan kelalaian yang merugikan pihak lain. Dalam teori ilmu hukum perseroan prinsip kehati-hatian (due care) dari Direksi terhadap perseroan memiliki 2 (dua) persyaratan sebagai berikut :147

1. Syarat Prosedural

Syarat prosedural yang dipersyaratkan oleh hukum kepada Direksi suatu perseroann adalah bahwa seorang Direksi harus selalu menaruh perhatian dengan sunggung-sungguh kepada jalannya perseroan. disamping itu, dia harus selalu mendapatkan informasi yang lengkap (well informed) terhadap perseroannya. 2. Syarat Subtantif

Sementara itu, syarat subtantif yang timbul dari prinsip kehati-hatian (due care)

terhadap Direksi perusahaan adalah bahwa dalam mengambil keputusan perseroan, pihak Direktur haruslah dilakukannya berdasarkan pertimbangan yang rasional. Akan tetapi pertimbangan yang rasional tersebut tidak berarti bahwa Direksi harus mengambil keputusan yang benar-benar optimal.

Agar terpenuhinya unsur duty of care, maka terhadap Direksi berlaku standart kepedulian (standard of care) yaitu selalu beritikad baik, tugas-tugas dilakukannya dengan penuh kepedulian seperti yang dilakukan oleh orang biasa yang berhati-hati dalam posisi dan situasi yang sama.atau seperti yang dilakukan orang tersebut untuk kepentingan bisnis pribadinya dan tugastugas harus dilakukan oleh Direksi dengan

147

(50)

cara yang dipercaya secara logis (reasonably believe) merupakan kepentingan yang terbaik dari perseroan.

Secara hukum, Direksi perseroan tidak akan bertanggung jawab semata-mata atas salah dalam mengambil keputusan. Bahkan asalkan dia beritikad baik dan cukup berhati-hati, keputusan yang salah tidak dapat dibebankan kepada Direksi, sungguhpun kesalahan tersebut akibat kurang pengalaman atau kurang konprehensif dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, suatu honest mistake yang dilakukan oleh Direksi masih dapat ditoleransi oleh huku m.

Doktrin Business Judgment Rule menghendaki Direksi atau Dewan Komisaris bertindak dalam putusan bisnisnya dengan itikad baik dan dengan kejujuran di dalam bertindak untuk kepentingan perusahaan. Kewajibannya, tugas dan wewenang Direktur harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab yang nantinya akan mengarahkan perusahaan dalam mencapai keuntungan dan tujuan akhir perusahaan, serta memberikan kekuasaan bisnis terhadap seluruh pemegang saham yang terikat. Seluruh putusan dan tindakan Direksi harus bebas dari pengaruh pribadi maupun pihak luar.

Referensi

Dokumen terkait

Motor 3 Fasa bekerja dalam hubungan Delta (  ), dengan ditandai lampu indikator warna hijau menyala1. Untuk mematikan Motor 3 Fasa, tekan

Kategori Subjek pada Self Regulated Learning dan Persepsi Dukungan Sosial

Aulia Rahmah, 201210235078, aulia.ferdiansyah05@gmail.com, Fakultas Teknik Program Studi Teknik Kimia Universitas Bhayangkara Jakarta Raya Pengaruh Suhu Temper Terhadap

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui Locus of Control ( LOC ) dari mahasiswa Universitas Muria Kudus (UMK) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Al-Anwar,

bahwa banyaknya pengguna facebook pada usia 13-19 mencapai 26

Sebagaimana yang telah diuraikan diatas mengenai jenis dari model pembelajaran ini, dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran

In vitro spectrophotometric enzyme assays for 3␤-HSD and 17␤- HSD demonstrated that the treatment of animals with test chemical caused a statistically significant decrease in

12/2008, harus menegaskan bahwa: (1) Pilkada yang seharusnya diselenggarakan sepanjang Januari 2015 sampai Mei 2016, penyelenggaraannya diundur sampai dengan penyelenggaraan Pemilu