• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Tipe Prasangka Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi Di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Tipe Prasangka Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi Di Kota Medan"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PRIBUMI DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH

PUTRI DAMAYATI

041301111

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

dengan judul ”Gambaran Tipe Prasangka Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi Di Kota Medan”. Terimakasih atas cinta-Mu yang sungguh tak pantas kuterima dengan segala beban dosa yang kupunya dalam hidup. Izinkan aku Rabb, untuk melangkah dalam naungan cinta-Mu. Sholawat beriring salam penulis sampaikan kepada insan utama, kekasih Illahi, Muhammad SAW.

Skripsi ini pertama kupersembahkan sebagai hadiah kecil untuk keluarga besar H. Napsun, terimakasih Tuhan karena menitipkan penulis di keluarga besar yang sangat luar biasa. Tak pernah hati merasa hilang dengan cinta yang bak air bah tertumpah tak pernah henti. Terimakasih Nenek Anang dan Nenek Ino, Bunda dan Papah, Mamah dan Papah Endut, Uwak Anang dan Uwak Ino, Pakcik dan Bukcik, Om dan Tante, Adek, Kakak, Ayuk, semua. I love you all.

(3)

dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Msi selaku dosen pembimbing atas waktu yang beliau luangkan untuk membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi. Penulis meminta maaf atas kesalahan dan tingkah laku yang kurang berkenan selama proses penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Rika Eliana Barus, M.Si dan Bapak Ferry Novliadi, M.Si untuk bimbingan dan kesediaannya menjadi dosen penguji skripsi penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih Pak Ari Widyanta Msi, Ibu Etty Rahmawati, M.Si dan semua dosen fakultas psikologi USU atas bimbingan dan semua ilmu yang diberi.

(4)

6. Sahabat-sahabat angkatan 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008 yang penuh semangat memberikan dukungan. Saudaraku di jalan Allah, terimakasih atas ukhuwah yang indah (Mutia, Cici, Keke Maya, Cinta, Debi, Hanifa, Sukma, Kak Reni, Syifa, Dona, Dara dan semuanya). Sahabat yang menjadi saksi semua kisahku di Fakultas Psikologi tercinta (Onyak, Zu, Nofri, Destia, Desti, dan Suci). Sahabat-sahabat yang telah membantu menyebarkan skala (teman-teman mahasiswa USU dari FKG, Ekonomi dan Farmasi)

7. Keluarga tercinta di Medan yang menemani hari-hari penat dan panas di kota Medan, Winda Kirana Ade Putri (essensi dari manusia adalah harapan, disitulah dibutuhkan perjuangan), drg Rani Purba (sahabatku, saudaraku), Ichsan A.Y (Semangat mencari redho Illahi ya Dek).

8. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih Semoga semua bantuan yang diberikan dibalas oleh limpahan kasih oleh Allah SWT. Sebagai manusia, penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalam Skripsi ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penelitian ini dapat dilakukan sesuai dengan standar-standar penelitian yang berlaku. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 22 September 2008

(5)

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 10

C. Manfaat Penelitian ... 10

D. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II. LANDASAN TEORI ... 13

A. Prasangka ... 13

1. Definisi prasangka ... 13

2. Komponen-komponen prasangka ... 14

3. Sumber prasangka ... 15

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi prasangka ... 18

5. Tipe-tipe prasangka ... 19

B. Etnis Tionghoa ... 20

1. Definisi etnis Tionghoa ... 20

2. Sejarah etnis Tionghoa di Indonesia ... 21

(6)

BAB III. METODE PENELITIAN ... 34

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 35

B. Definisi Operasional ... 35

C. Populasi, Sampel Dan Teknik Pengambilan Sampel ... 38

D. Alat Ukur Yang Digunakan ... 40

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 47

1. Tahap persiapan ... 47

2. Pelaksanaan penelitian ... 48

3. Tahap pengolahan data ... 49

F. Metode Analisa Data ... 49

BAB IV. HASIL DAN INTERPRETASI DATA ... 51

A. Gambaran Subjek Penelitian ... 51

1. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 51

2. Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 52

3. Gambaran subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan . 52 4. Gambaran subjek penelitian berdasarkan agama ... 53

5. Gambaran subjek penelitian berdasarkan pekerjaan ... 54

(7)

terhadap etnis Pribumi di kota Medan

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 63

A. Kesimpulan ... 63

B. Diskusi ... 64

C. Saran ... 67

1. Saran untuk pengembangan penelitian ... 67

2. Saran bagi etnis Tionghoa ... 68

3. Saran bagi etnis Pribumi ... 69

4. Saran bagi pemerintah ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

LAMPIRAN A ... ix

LAMPIRAN B ... xxiii

(8)

Tabel 2. Blue Print Skala Tipe Prasangka Etnis Tionghoa ... 41

Terhadap Etnis Pribumi Sebelum Diujicoba Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Tipe Prasangka Etnis Tionghoa ... 42

Terhadap Etnis Pribumi Sebelum Diujicoba Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Tipe Prasangka Etnis Tionghoa ... 46

Terhadap Etnis Pribumi Setelah Diujicoba Tabel 5. Persentase Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 51

Tabel 6. Persentase Subjek Berdasarkan Usia ... 52

Tabel 7. Persentase Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 52

Tabel 8. Persentase Subjek Berdasarkan Agama ... 53

Tabel 9. Persentase Subjek Berdasarkan Pekerjaan ... 54

Tabel 10.Tipe Prasangka Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi ... 56

Di Kota Medan Tabel 11. Kriteria Kategorisasi Skor Tipe Prasangka ... 57

Tabel 12.Deskripsi Data Tipe Prasangka Dominative Etnis Tionghoa ... 57

Terhadap Etnis Pribumi Di Kota Medan Tabel 13. Hasil Kategorisasi Tingkat Kecenderungan Tipe Prasangka ... 58

(9)

Tabel 16. Deskripsi Data Tipe Prasangka Aversive Etnis Tionghoa ... 61 Terhadap Etnis Pribumi Di Kota Medan

Tabel 17. Hasil Kategorisasi Tingkat Kecenderungan Tipe Prasangka ... 61

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki masyarakat multi-etnis. Terdapat lebih dari 360 kelompok etnis yang berbeda di Indonesia, setara dengan variasi bahasa yang dipakai (Liem, 2000). Dari sejumlah golongan etnis (suku bangsa) tersebut, secara garis besar bangsa Indonesia dapat dibagi ke dalam dua golongan yakni golongan etnis Pribumi seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Minang dan golongan etnis pendatang seperti etnis India, Arab, Eropa (yang diwakili Portugis dan Belanda) serta etnis Cina (Sanjatmiko, 1999).

Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi Tionghoa (sesuai ucapanya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk pada orang Cina dan “Tiongkok” untuk negara Cina (Liem, 2000). Meskipun demikian, beberapa buku dan literatur masih banyak menggunakan kata “Cina” untuk etnis tersebut. Masyarakat Indonesia pada umumnya lebih akrab dengan kata “Cina” merujuk kepada etnis Tionghoa dalam percakapan sehari-hari. Masyarakat

Indonesia menggunakan kata “Tionghoa” hanya pada media formal. Lubis (1995) menyatakan bahwa keadaan negara Indonesia yang

(11)

selama bertahun-tahun khususnya terjadi pada etnis Tionghoa dalam kaitannya dengan pendikotomian Pribumi dan non-Pribumi.

Sejarah sosial negara Indonesia menuliskan bahwa etnik Tionghoa adalah etnik yang selalu menjadi sasaran olok olok, prasangka, diskriminasi, dan kambing hitam atas berbagai kegagalan kebijakan sosial, ekonomi, dan politik penguasa (Suparlan dalam Sismanto, 2007). Diantara berbagai peristiwa menyakitkan yang dialami oleh etnik Tionghoa, tercatat dua peristiwa yang paling menyakitkan, yaitu peristiwa G30S PKI tahun 1965 dan kerusuhan Mei 1998 (Susetyo dalam Susetyo 2002).

Menurut Lan (dalam Susetyo 2002), peristiwa tahun 1965 merupakan trauma paling berat bagi orang Tionghoa di Indonesia. Sementara tahun 1998, merupakan peristiwa yang dikatakan sebagai titik terendah sejarah Etnik Tionghoa di Indonesia. Sentimen anti-Tionghoa yang telah bertahun-tahun dipupuk dan sengaja dikembangkan diantara masyarakat berpuncak pada kerusuhan rasial 14-15 Mei 1998. Pada peristiwa tersebut, banyak keturunan Tionghoa yang menjadi sasaran perusakan, pembakaran, penjarahan dan perkosaan. Hal ini cukup menjadi bukti adanya suatu bentuk diskriminasi rasial untuk menjadikan orang-orang keturunan Tionghoa traumatik. Dalam kerusuhan itu, seseorang diperkosa bukan karena dia perempuan, tapi karena dia adalah keturunan Tionghoa (Liem, 2000).

(12)

hampir setiap dekade yang merupakan pengalaman tidak menyenangkan pada etnis Tionghoa, akan menjadi pupuk subur dari generasi ke generasi etnis Tionghoa bahwa etnis Tionghoa merupakan etnis minoritas yang terancam untuk selalu dijadikan kambing hitam dan sasaran perusakan etnis Pribumi. Sears et al. (1991) menyatakan bahwa individu yang paling merasa terancam adalah individu yang akan memiliki prasangka yang paling tinggi. Ancaman-ancaman yang datang terhadap etnis minoritas, seperti halnya etnis Tonghoa, menyebabkan etnis Tionghoa memiliki kecurigaan yang lebih tinggi terhadap orang lain dan menjadi lebih tertutup dalam pergaulan sosial (Brehm dan Kassim, 1993).

Baron dan Byrne (2000), menyatakan bahwa pengalaman masa lalu dan proses belajar merupakan salah satu sumber adanya prasangka. Menurut pandangan Social Learning, anak mendapat sikap negatif terhadap berbagai kelompok sosial karena belajar dari pandangan yang diekspresikan oleh orang tua, teman, guru dan significant other lainnya. Kemudian, hal ini diperkuat dengan pemberian reward secara langsung (dengan pujian dan persetujuan) kepada anak bila meniru pandangan (sikap negatif) tersebut (Baron dan Byrne 2000).

(13)

Kondisi di atas juga tercermin dalam wawancara prapenelitian dengan salah satu mahasiswa etnis Tionghoa di Medan, Jo (20), pada tanggal 25 Agustus 2007.

“Aku rasa ya, orang Cina lebih berprasangka daripada Pribumi. Temen- temen Cina aku aja pada kaget ngeliat aku foto dengan rombongan ‘X’. “lho kok kamu bisa foto dengan orang Pribumi??? ”Ya aku bilang aja, “ini kan temen aku!!!” Ya bisa dimengerti sih, biasanya dulu masih kecil aja orang itu suka dimarahi orangtuanya kalo betemen dengan orang Pribumi... Kata orang tua mereka orang Pribumi itu tukang meres, mau untungnya sendiri, perampok, pokoknya macem-macem. Apalagi kejadian 13 Mei kemaren, wuah makin

ngebuat mereka percaya dengan omongan orang tua mereka. Apalagi orang

Cinakan sering dimintai duit lebih sama polisi, petugas-petugas apa aja deh, Cuma karena mereka Cina. Mungkin karena mereka kira Cina pasti banyak duitnya kali ya.... Ya karena itu juga mereka jadi males sama orang Pribumi!! ”(Komunikasi Personal, Agustus 2007).

Menurut Baron dan Byrne (1997), prasangka dapat menimbulkan stereotip dan stereotip dapat memperkuat prasangka yang berkembang dalam kelompok sosial tertentu. Stereotip sendiri diartikan Baron dan Byrne (1991) sebagai suatu kepercayaan tentang anggota kelompok sosial tertentu berdasarkan keanggotaan individu tersebut dalam kelompok tertentu. Warnaen (dalam Soeboer, 1990) menyatakan bahwa stereotip terhadap kelompok tertentu merupakan indikator dari adanya prasangka.

(14)

Tionghoa di kota Medan di atas dengan jelas mencerminkan adanya stereotipe etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi.

“Kata orang tua mereka orang Pribumi itu tukang meres, mau untungnya sendiri, perampok, pokoknya macem-macem”

Pettigrew (dalam Baron dan Byrne, 2000) mengemukakan bahwa adanya norma sosial berupa peraturan dalam sebuah kelompok yang menyatakan tindakan atau sikap apa saja yang pantas dilakukan, merupakan hal yang penting dalam pengekspresian prasangka. Hampir sebagian orang memilih untuk konform terhadap norma sosial kelompok mereka. Peningkatan dan ekspresi prasangka terhadap orang lain diperoleh dari kecenderungan untuk konform dengan norma sosial ini.

Sebagai contoh, prasangka mengakibatkan orangtua etnis Tionghoa melarang anaknya untuk menikah dengan seseorang dari etnis Pribumi. Hal ini merupakan cermin adanya prasangka pada etnis Tionghoa (Mendatu, 2007). Ekspresi prasangka yang berupa larangan untuk menikah di luar etnis Tionghoa terungkap dari wawancara prapenelitian dengan salah satu etnis Tionghoa, Jo (20), pada tanggal 25 Agustus 2007.

“Wah kalo di keluarga aku, oke-oke aja kalo betemen dengan orang Pribumi, tapi kalo untuk pacaran apalagi menikah... wah, ngga banget. Soalnya orang-orang Cina yang punya pasangan orang Pribumi cuma dipandang sebelah mata, bahkan ga dipandang sama sekali. Mereka ga bakal diundang di acara-acara kumpul orang Tionghoa...”(Komunikasi Personal, Agustus 2007).

(15)

Prasangka adalah salah satu faktor yang menghambat terjadinya akulturasi dalam kebhinekaan Indonesia. Kehancuran dari suatu bangsa dimulai dari adanya prasangka (Mendatu, 2007).

Medan sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia juga menunjukkan fenomena yang tidak jauh berbeda. Kota Medan tidak mempunyai kebudayaan dominan sehingga setiap etnis mempertahankan budayanya masing-masing. Hal ini menyebabkan terjadinya proses penguatan rasa kesatuan etnik sebagai suatu komunitas. Setiap kelompok etnik membuat kampung baru dan mempergunakan norma, aturan, serta ideologi tradisional daerah asal masing-masing. Keadaan ini menyebabkan terjadinya suatu proses penguatan ikatan primordial pada setiap kelompok etnis. Masing-masing etnis mengembangkan gaya hidup dan sikap eksklusif antara satu dengan yang lain (Lubis 1999)

Kondisi masyarakat kota Medan yang heterogen dan mempunyai pola pemukiman segretif dapat menjadi ladang subur tumbuh kembangnya prasangka. Pola pemukiman kota Medan yang segretif akan menimbulkan hambatan psikologis bagi etnis Tionghoa untuk berinteraksi dengan etnis lainnya dan membuat prasangka yang dipupuk dari generasi ke generasi semakin subur (Lubis, 1999).

(16)

Tionghoa) dan outgroup (etnis Pribumi) dan juga sebaliknya dapat dengan mudah terbentuk dalam kondisi masyarakat tersegresi seperti di kota Medan.

Dampak yang terlihat dari penguatan rasa kesatuan etnis ini adalah kurangnya interaksi etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi. Etnis Tionghoa di kota Medan pada umumnya tidak bisa berbicara bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan sejak kecil mereka hidup di lingkungan etnisnya dan bersekolah di lingkungannya juga (Manurung dan Lina, 2005). Interaksi etnik Tionghoa di Medan contohnya di pusat-pusat belajar dan keramaian hanya berputar pada teman sesama etnik Tionghoa. Etnis Tionghoa dikota Medan pergi dan pulang, atau mengelompok di tempat duduk tertentu dengan teman-teman sesama etnis Tionghoa (Lubis, 1995). Hal tersebut mengakibatkan etnis Tionghoa di kota Medan tampak berbeda dari etnis Tionghoa di kota lain. Etnis Tionghoa di kota Medan akhirnya di beri label berbeda dengan sebutan “Cina Medan”. Media masa pun juga tak jarang memberi pelabellan tersebut (Pemillianna, 2007).

(17)

Hal ini senada dengan profil etnis Tionghoa di kota Medan yang dikemukakan oleh Lubis (1995) bahwa motif sosial etnik Tionghoa di kota Medan hanya dominan pada motif berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif persahabatan, itu hanya dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih diarahkan pada sesama etnik Tionghoa sendiri.

Fazio dan Towles-Schewen (dalam Baron dan Byrne 2004) mengemukakan ekspresi dari prasangka dapat dilihat dari bagaimana individu mempertahankan perilaku berdasarkan prasangka dan menahan diri ketika berinteraksi (menghindari interaksi) dengan orang yang berasal dari luar kelompok (terutama untuk menghindari pertengkaran dan kejadian yang tidak menyenangkan). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa prasangka menyebabkan seseorang enggan bertemu dan menghindari interaksi dengan yang diprasangkai. Penghindaran itu beraneka macam, misalnya menghindari jalan-jalan yang banyak digunakan oleh etnis lain, tidak mau bekerja sama dengan etnis lain, selalu menutup pintu rumah, tidak mau berbicara dengan etnis lain, menghindari terjadinya pernikahan dengan etnis lain, dan sebagainya.

Di kota Medan penghindaran etnis Tionghoa untuk bergaul dengan etnis Pribumi mudah terlihat. Hal ini terungkap antara lain dari wawancara dengan etnis Tionghoa di kota Medan Jo (20), tanggal 25 Agustus 2007

“Asal tau aja temen-temen aku banyak lho yang pinter-pinter kalo dia mau, dia bisa aja masuk sini (USU). Tapi dia gak mau, dia malah milih universitas swasta. Tau alasannya apa? katanya di sana banyak Pribumi...”(Komunikasi personal, Agustus 2007).

(18)

antara-etnik tidak akan pernah terjalin. Bila hal ini terus berlangsung, maka selanjutnya antara etnis yang berbeda akan kehilangan kesempatan untuk bergaul secara akrab hal mana yang menurut Pettigrew & Tropp (dalam Fraser & Burchell, 2004) merupakan faktor penting dalam mengurangi prasangka. Hal senada diungkapkan oleh Rimmerman (dalam Akrami, 2005) yang menyatakan bahwa kontak antar kelompok merupakan faktor utama dalam mengembangkan sikap yang lebih positif dan toleran terhadap kelompok tertentu. Penghindaran terhadap obyek prasangka akan semakin meneguhkan prasangka yang ada.

Prasangka sendiri menurut Baron dan Byrne (2000), adalah suatu tipe khusus dari sikap (yang biasanya negatif) terhadap anggota kelompok sosial tertentu berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok tersebut. Sebagai suatu sikap, prasangka mempunyai tiga komponen dasar yaitu kognitif, afektif, dan konatif (Mann dalam Azwar 2003).

(19)

Berbagai tinjauan dan problematika diatas merupakan alasan diadakannya penelitian ini. Peneliti ingin mendapatkan gambaran mengenai tipe prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi di kota Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kuantitatif .

B. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran Tipe prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi di kota Medan dilihat dari berbagai tipe yang kemukakan oleh Geartner, Jones dan Kovel (dalam Soeboer, 1990).

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yakni manfaat teoritis dan praktis.

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang Psikologi Sosial dalam rangka perluasan teori, terutama yang berkaitan dengan interaksi antara etnis.

(20)

2. Manfaat praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum tentang prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi sehingga nantinya dapat dijadikan wacana untuk memperkecil jurang pemisah dan mencegah bahkan mengurangi prasangka yang berkembang antara etnis Tionghoa dan etnis Pribumi.

b. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi gambaran pada pemerintah, khususnya kota Medan, bagaimana proses sosial yang terjadi antar etnis di kota Medan. Prasangka adalah salah satu hambatan terjadinya akulturasi antar etnis dan hambatan interaksi antar etnis. Prasangka adalah awal dari kehancuran suatu negara. Dengan hasil dari penelitian ini, diharapkan pemerintah cepat mengambil solusi yang cerdas dan nyata tentang masalah ini.

D Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I adalah Pendahuluan yang terdiri dari empat sub bab meliputi latar belakang, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II adalah Landasan Teori. Bab ini meliputi pembahasan tentang prasangka, etnis Tionghoa, etnis Pribumi dan prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi di kota Medan.

(21)

sampel, alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur dan metode analisis data.

Bab IV terdiri dari analisa dan interpretasi data yang berisikan mengenai subjek penelitian dan hasil penelitian.

Bab V merupakan kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

(22)

  BAB II

LANDASAN TEORI

A. Prasangka

1. Definisi prasangka

Secara terminologi, prasangka (prejudice) merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin. Prae berarti sebelum dan Judicium berarti keputusan (Hogg, 2002). Chambers English Dictionary (dalam Brown, 2005) mengartikan prasangka sebagai penilaian atau pendapat yang diberikan oleh seseorang tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Hal senada juga diberikan oleh Hogg (2002), yang menyatakan bahwa prasangka merupakan sikap sosial atau keyakinan kognitif yang merendahkan, ekspresi dari perasaan yang negatif, rasa bermusuhan atau perilaku diskriminatif kepada anggota dari suatu kelompok sosial tertentu sebagai akibat dari keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Karakteristik dan perilaku aktual dari individu hanya sedikit berperan.

Baron dan Graziano (1991) mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu. Dalam hal ini, Baron dan Graziano (1991) menyatakan bahwa prasangka merupakan aspek yang penting dari hubungan antar kelompok. Burchell dan Fraser (2001) juga mendefinisikan prasangka sebagai sikap negatif atau sikap tidak suka terhadap suatu kelompok dan anggotanya.

(23)

 

kelompok. Definisi yang dikemukakan oleh Baron dan Graziano (1991) serta Burchell dan Fraser (2001) telah mengkhususkan prasangka sebagai bagian dari kajian ilmu-ilmu sosial yang membahas tentang dinamika kelompok, sehingga dapat disimpulkan bahwa objek prasangka adalah kelompok sosial tertentu.

Berdasarkan definisi prasangka menurut beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa prasangka adalah suatu bentuk sikap negatif terhadap anggota suatu kelompok tertentu yang dapat menimbulkan perilaku diskriminasi hingga kekerasan. Penilaian ini didasarkan hanya pada keanggotaan seseorang (individu) dalam suatu kelompok bukan karena karakteristik individu maupun perilaku aktualnya.

2. Komponen-komponen prasangka

Baron dan Graziano (1991) mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu. Sebagai suatu sikap, prasangka mempunyai tiga komponen dasar yaitu kognitif, afektif, dan konatif (Mann dalam Azwar 2003)

a. Komponen kognitif

Komponen ini melibatkan apa yang dipikirkan dan diyakini oleh subjek mengenai objek prasangka. Stereotip adalah salah satu contoh bentuk dari komponen kognitif.

b. Komponen afektif

(24)

 

yang tidak mereka sukai. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam dan bertahan sebagai komponen sikap. Komponen ini sering disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun, perasaan pribadi seringkali dapat berbeda perwujudannya dengan perilaku aktual individu. Azwar (2003) menambahkan bahwa reaksi emosional banyak dipengaruhi oleh kepercayaan (apa yang dipercayai) sebagai sesuatu yang benar dan berlaku bagi objek tertentu.

c. Komponen konatif

Komponen ini melibatkan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu (negatif) atau bermaksud untuk melakukan tindakan (negatif) tersebut terhadap kelompok yang menjadi target prasangka.

3. Sumber prasangka

Baron dan Byrne (2000) mengemukakan beberapa pandangan yang menjadi sumber dari prasangka, diantaranya yaitu :

(25)

 

Linville dkk (dalam Baron dan Byrne, 2000) menambahkan bahwa individu dalam kategori kita (us) dipandang sebagai seseorang yang disukai, sedangkan individu dalam kategori mereka (them) akan dipandang secara negatif. Orang-orang dalam kategori mereka (them) akan diasumsikan memiliki sifat-sifat yang negatif, dan dipandang lebih sama (lebih homogen) daripada anggota

ingroup.

b. Pengalaman masa lalu (peran dari belajar sosial)

Menurut pandangan Social Learning, anak mempunyai sikap negatif terhadap berbagai kelompok sosial karena mereka mendengar dan meniru pandangan yang di ekspresikan oleh orang tua, teman, guru dan significant other lainnya. Anak-anak tersebut akan diberi reward (dengan pujian dan persetujuan) oleh orang tua, guru, dan significant other lainnya (oleh lingkungan) karena meniru pandangan tersebut (Baron dan Byrne 2000). Theory Social Learning menyatakan bahwa berbagai tindakan adalah dipelajari dan merupakan proses dari belajar.

(26)

 

Pettigrew (dalam Baron dan Byrne, 2004) juga menyatakan bahwa norma sosial yang berupa peraturan dalam sebuah kelompok yang menyatakan tindakan atau sikap apa yang pantas juga berperan dalam pembentukan prasangka. Hampir sebagian orang memilih untuk konform terhadap norma dalam kelompok mereka. Peningkatan dan ekspresi prasangka terhadap orang lain diperoleh dari kecenderungan untuk konform dengan norma.

c. Sumber kognitif dari prasangka (stereotip dan illusory correlation)

Baron dan Byrne (1991) mengatakan bahwa stereotip dan illusory

correlation adalah sumber dari prasangka. Menurut Baron dan Byrne (1991),

stereotip adalah kepercayaan bahwa anggota kelompok tertentu memiliki karakteristik atau sifat tertentu, sedangkan Illusory correlation adalah kecenderungan individu untuk menghubungkan (korelasi) beberapa variabel yang sebenarnya tidak ada (Hamillton dan Gillford dalam Baron dan Byrne, 1991).

Illusory correlation diartikan Baron dan Byrne (2000) sebagai

penerimaan hubungan antara variabel yang dikuatkan (yang sebenarnya tidak berhubungan) daripada yang terjadi sebenarnya. Hal tersebut terjadi ketika masing-masing variabel berbeda, terjadi dalam waktu yang bersamaan. Khususnya hubungan akan terjadi dari kombinasi yang tidak biasa sehingga lebih mudah untuk dipanggil daripada kejadian-kejadian lain.

(27)

 

menimbulkan stereotip, sebaliknya stereotip dapat memperkuat prasangka yang berkembang dalam kelompok sosial tertentu.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi prasangka

Menurut Brigham (1986) prasangka dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berbeda. Pola interaksi antar kelompok dapat membuat anggota kelompok berprasangka. Pada level kognitif, membuat perbandingan antara

ingroup dan outgroup dapat meningkatkan prasangka.

Perbedaan juga dapat menimbulkan prasangka. Tajfel dan Turner (dalam Brigham, 1986) menyatakan bahwa perbedaan status dapat menimbulkan etnosentrisme dan dan hal ini dapat memicu timbulnya prasangka. Rokeach (dalam Brigham 1986) juga menambahkan bahwa orang cenderung tidak suka terhadap orang lain yang tidak memiliki kesamaan kepercayaan dan nilai dengan mereka.

(28)

 

Prasangka bisa berhubungan dengan karakteristik kepribadian individu seperti authoritarianism dan dogmatism (Brigham, 1986). Namun, ada penelitian yang menemukan bahwa faktor demografik seperti usia, tingkat pendidikan dan wilayah di mana seseorang tinggal merupakan predikator yang sangat kuat dari prasangka daripada faktor-faktor kepribadian (Maykovich dalam Brigham, 1986).

Faktor keluarga dan pengalaman masa lalu juga dapat menimbulkan adanya prasangka. Abu Ahmadi (1999), bahwa kesan yang menyakitkan dan pengalaman yang tidak menyenangkan adalah salah satu faktor yang bisa mempengaruhi timbulnya prasangka. Lebih lanjut Abu Ahmadi (1999) menyatakan bahwa prasangka dapat dipelajari anak dari orangtua mereka.

5. Tipe-tipe prasangka

Geartner, Jones, kovel (dalam Soeboer, 1990) mengemukakan tiga tipe prasangka yaitu dominative, ambivalent, dan aversive.

a. Tipe Dominative

Individu dalam tipe ini mengekspresikan sikap negatifnya (prasangka) secara terbuka terhadap target prasangka. Individu dapat melakukan tindakan berupa penyerangan atau perilaku-perilaku agresif pada target prasangka. Individu dalam tipe ini berusaha untuk memelihara posisi superior/ eksklusivitas kelompoknya.

b. Tipe Ambivalent

(29)

 

mereka. Pada tipe ini, individu dapat mengekspresikan perasaan negatif mereka pada target prasangka.

c. Tipe aversive

Individu dalam tipe ini dapat berinteraksi dan mengadakan kontak dengan ramah dan sopan terhadap objek prasangka. Individu tipe ini akan menunjukkan sikap positif dan bersedia membantu anggota kelompok target prasangka. Namun, sesungguhnya Individu dalam tipe ini berusaha sebisa mungkin untuk tidak melakukan interaksi dengan target prasangka.

B. Etnis Tionghoa

1. Definisi etnis Tionghoa

(30)

 

Menurut Liem (2000) etnis Tionghoa di Indonesia yaitu orang Indonesia yang berasal dari negara Tiongkok dan sejak generasi pertama/kedua telah tinggal di negara Indonesia, dan berbaur dengan penduduk setempat, serta menguasai satu atau lebih bahasa yang dipakai di Indonesia. Sedangkan menurut Suryadinata (1981) istilah Tionghoa Indonesia digunakan merujuk pada etnis Tionghoa yang tinggal di negara Indonesia yang memiliki nama keluarga (marga), tanpa memandang kewarganegaraannya.

2. Sejarah etnis Tionghoa di Indonesia

Menurut Suryadinata dan Sanjatmiko (dalam Meinarno, 2007) etnis Tionghoa bukanlah etnis Pribumi. Rekaman sejarah juga memperlihatkan bahwa para imigran etnis Tionghoa tiba dalam gelombang-gelombang yang berbeda, dan dalam jangka waktu yang juga bervariasi. Mereka memakai bahasa mereka sendiri, dan membawa teman-teman sedarah mereka, baik yang semarga maupun yang bukan ke bumi Indonesia.

(31)

 

Pada saat itu, perpindahan penduduk bukan berarti perpindahan keluarga. Biasanya hanya kaum pria yang pindah ke rantau (tidak membawa istri/wanita). Dalam perkembangan kemasyarakatan Indonesia, para perantau inilah yang disebut Tionghoa Peranakan. Hal ini dikarenakan setelah mereka menetap selama beberapa waktu, mereka akhirnya menikah dengan perempuan dari etnis Pribumi.

Gelombang pendatang kedua dan yang paling padat tiba pada abad ke-19. Ketika itu, banyak etnis Tionghoa terpaksa meninggalkan tanah airnya akibat kebutuhan ekonomi di bawah tekanan kolonialisme modern. Ribuan etnik Tionghoa yang merantau ini diantaranya direkrut sebagai “kuli kontrak” (Liem, 2000).

Etnik Tionghoa yang datang pada gelombang ini datang membawa serta keluarganya. Berbeda dengan Etnik Tionghoa yang datang pada gelombang pertama, ketika sampai di nusantara mereka secara fisik tidak mengadakan proses asimilasi. Mereka tetap mempertahankan gaya hidupnya, dan karena itulah mereka disebut sebagai Tionghoa totok.

3. Etnis Tionghoa di kota Medan

a. Sejarah etnis Tionghoa di kota Medan

(32)

 

dalam waktu yang cukup lama, sehingga sebagian para pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur (Lubis 1995).

Gelombang kedua berlangsung pada tahun 1863. Pada saat itu, Belanda mulai bergerak di bidang perkebunan tembakau. Usaha ini terus berkembang, tenaga kerja yang cukup banyak juga semakin dibutuhkan. Pihak Belanda merasa tidak cocok dengan buruh Pribumi. Karena itu, pengusaha perkebunan mencoba mendatangkan tenaga kerja dari negeri Tiongkok (Lubis, 1995).

Pada abad ke 19, dengan bantuan pemerintah Hindia Belanda dan kaum pengusaha di tanah Deli, orang Tionghoa dapat memonopoli seluruh sektor pengangkutan di kawasan tanah Deli. Banyak pemilik perkebunan yang memberi kesempatan pada orang Tionghoa untuk menjadi penyalur bahan makanan dan bekerja sebagai kontraktor di perkebunan (Lubis, 1995).

Pada akhirnya, Kehidupan ekonomi etnis Tionghoa mulai meningkat. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan mencolok atara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi. Kemudian, etnis Tionghoa yang mulai mempunyai ekonomi yang meningkat ini mendatangkan isteri anggota keluarga dan kerabatnya di negara Tiongkok dengan kapal (pada saat itu transportasi kapal sudah ada). Kedatangan mereka dari berbagi sub etnik menyebabkan mereka berkumpul di antara mereka sendiri, membuat perkampungan sendiri, memakai bahasa sendiri. Inilah titik awal ekslusivime orang Tionghoa (Lubis, 1999).

(33)

 

membuat blok-blok pemukiman terpisah menurut etnik. Sehingga terbentuklah hunian dengan nama Kampung Cina, Kampung Arab, kampung Keling, serta kawasan milik “Tuan Kebon” asal Eropa, sedangkan kaum Pribumi dan pendatang lain tinggal di luar blok yang disebut Pemukiman Rakyat Sultan (Tan, 2004 ).

Pada perkembangannya, kota Medan dengan masyarakat heterogen menjadi kota yang memiliki pola pemukiman segretif. Kota Medan memperlihatkan proses penguatan rasa kesatuan etnik sebagai suatu komunitas baru. Setiap kelompok etnik mempergunakan norma, aturan serta ideologi tradisional daerah asal mereka, sehingga terjadilah suatu proses penguatan ikatan primordial pada setiap kelompok etnik. Setiap etnis mulai membentuk gaya hidup masing-masing dan bersikap eksklusif antara satu dengan yang lain (Lubis, 1999).

b. Sosial-ekonomi etnis Tionghoa di kota Medan

Etnis Tionghoa di kota Medan berasal dari berbagai suku. Menurut data dari penelitian Lubis (1995), Etnis Tionghoa yang paling banyak di kota Medan adalah suku Hokkian (82,11%). Walaupun etnis Tionghoa di kota Medan terdiri dari berbagai suku, namun dalam kehidupan sehari-hari keberagaman suku tersebut tidak menonjol karena yang tampak hanyalah suatu kesatuan etnik sebagai etnis Tionghoa (Lubis, 1999).

(34)

 

yang besar. Posisi sosio-ekonomi etnik Tionghoa di Medan rata-rata berada di atas level menengah ke atas (Lubis, 1995). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Suwardi Lubis (1999), bahwa etnis Tionghoa dikota Medan termasuk kelompok masyarakat yang berhasil menguasai industri, pertokoan, perhotelan, perbankan dan perdagangan umum serta distribusi. Etnis Tionghoa dianggap kelompok masyarakat lain sebagai kelompok yang memiliki banyak uang. Etnis Tionghoa di kota Medan tidak jarang dijadikan sasaran pemerasan oleh para preman setempat tempat mereka tinggal dan membuka usaha (Lubis, 1999).

Kelompok masyarakat Tionghoa dikota Medan cenderung bertempat tinggal di pusat kota atau pusat perdagangan. Mereka lebih senang tinggal di tempat usahanya yang cukup ramai dan dekat dengan keluarganya (Lubis, 1999). Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pemukiman eksklusif kelompok-kelompok etnik di kota berfungsi sebagai “kepompong” atau yang dimanfaatkan oleh mereka sebagai benteng etnik. Orang Tionghoa yang keluar dari pemukiman Cina (Chinese Qurter) tersebut dianggap sebagai pembelotan dari jaringan sosial mereka. Dengan demikian suasana etnik dan ras (ethnic race-spaces) di perkampungan etnik tersebut menguatkan kecendrungan segresi atau pemisah diri dari kelompok lain (Pelly dalam Lubis 1999).

(35)

 

Etnis Tionghoa di kota Medan masih dominan menganut agama Budha (sekitar 80%). Sedikit sekali dari mereka yang menganut agama Kristen, Hindu, maupun Islam. Namun, persoalan agama pada etnis Tionghoa di kota Medan perlu diberi catatan kritis. Umumnya masyarakat etnis Tionghoa di kota Medan (ibukota Sumatera Utara) mencantumkan agama Budha di KTPnya, namun pada kenyataannya sebagian besar dari mereka adalah penganut ajaran Kong Hu Cu.

Etnis Tionghoa di kota Medan pada umumnya tidak bisa berbicara bahasa Indonesia, sebab dari kecil mereka hidup di lingkungan etnisnya dan bersekolah di lingkungannya juga (Manurung dan Lina, 2005). Hal ini juga diperkuat dengan data yang diperoleh dalam penelitian Lubis (1995) yang menyebutkan bahwa Etnis Tionghoa di Medan masih dominan menggunakan bahasa Cina (67-77%), baik di rumah maupun di luar rumah dengan sesama etnis Tionghoa.

(36)

 

Hasil penelitian yang ditemukan oleh Lubis (1995) menyebutkan bahwa motif sosial etnik Tionghoa di kota Medan hanya dominan pada motif berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif persahabatan itu adalah dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih diarahkan pada sesama etnik Cina sendiri.

Hal ini terlihat melalui interaksi etnis Tionghoa di kota Medan. Interaksi etnis Tionghoa hanya berputar pada teman sesama etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa pergi dan mengelompok di tempat duduk tertentu hanya dengan teman-teman sesama etnis Tionghoa, baik di pusat-pusat belajar maupun di keramaian (Lubis, 1995).

C. Etnis Pribumi

Etnis Pribumi adalah kelompok etnis yang mempunyai daerah mereka sendiri (Suryadinata, 2003). Sanjatmiko (1999) membagi masyarakat Indonesia dalam dua golongan besar yaitu golongan etnis Pribumi dan etnis pendatang (Eropa, India, Cina).

Menurut (Arief 1997) golongan Pribumi adalah golongan mayarakat yang berasal dari seluruh suku atau campuran dari suku-suku asli di wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Hal senada diberikan oleh Issamudin (2002), yang menyatakan etnis Pribumi adalah warga negara Indonesia yang tidak berkulit putih, dan bukan merupakan golongan Timur asing atau golongan Eropa.

(37)

 

kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di kota Medan.

Dari pengertian etnis Pribumi di atas dapat disimpulkan bahwa etnis Pribumi di kota Medan adalah kelompok etnis selain etnis Tionghoa dan kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di kota Medan.

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) Propinsi Sumatera Utara tahun 2000, penduduk kota Medan terdiri dari :

Tabel 1

Persentase Penduduk Kota Medan Tahun 2000

Suku Persentase Catatan : - Melayu mencakup semua suku Melayu di pulau Sumatera (Melayu

Deli, Melayu Langkat, Melayu Asahan, Melayu Riau dll) - Mandailing mencakup suku Mandailling dan Angkola

- Termasuk dalam suku Jawa adalah suku lain yang ada di pulau Jawa (Betawi, Banten, Sunda, Jawa dan Madura)

- Warga negara asing tercakup dalam lainnya

(38)

 

D Prasangka Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi Di Kota Medan

Dalam sejarah sosial Indonesia, etnis Tionghoa adalah etnik yang selalu menjadi sasaran olok-olok, prasangka, diskriminasi, dan kambing hitam atas berbagai kegagalan kebijakan sosial, ekonomi, dan politik penguasa (Suparlan dalam Sismanto, 2007). Peristiwa-peristiwa ini tentunya akan menjadi pupuk subur dari generasi ke generasi etnis Tionghoa bahwa mereka adalah kaum minoritas yang terancam dan rapuh.

Pengalaman yang tidak menyenangkan ini akan berpotensi melahirkan prasangka. Abu Ahmadi (1999) menyatakan bahwa kesan yang menyakitkan dan pengalaman yang tidak menyenangkan adalah salah satu faktor yang bisa mempengaruhi timbulnya prasangka. Brehm dan Kassim (1993) menambahkan bahwa Ancaman-ancaman yang datang terhadap kelompok etnik minoritas menyebabkan mereka memiliki kecurigaan yang lebih tinggi terhadap orang lain dan mereka juga lebih tertutup dalam pergaulan sosial.

Budi Susetyo (1999) mengamati bahwa sebenarnya hubungan antara etnik Cina dan Pribumi sejak lama memang sudah tidak baik. Generasi-generasi berikutnya dari kedua kelompok ini kemudian mewarisi perasaan tidak sukanya melalui proses sosialisasi dalam kelompok dan mengalami penguatan lewat beberapa peristiwa yang dilihat ataupun dialaminya sendiri.

(39)

 

ekspresikan oleh orang tua, teman, guru dan lainnya. Kemudian hal ini diperkuat dengan pemberian reward secara langsung (dengan pujian dan persetujuan) kepada anak karena meniru pandangan mereka (Baron dan Byrne 2000).

Pengalaman etnis Tionghoa dalam berinteraksi dengan sebagian etnis Pribumi dan kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia (terutama kejadian 1998), memperkuat prasangka yang ada. Prasangka yang ada pada etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi tampak dari stereotip-stereotip negatif tentang etnis Pribumi yang berkembang pada etnis Tionghoa. Orang Pribumi dikatakan sebagai pemalas, hidup hanya untuk mencari kesenangan, mau cari untung tanpa keluar keringat, bodoh, pemeras, dan seterusnya (Dahana dalam Susetyo, 1999).

Begitu juga halnya yang terjadi pada etnis Tionghoa di kota Medan, seperti yang dikatakan oleh Jo (20) salah satu etnis Tionghoa totok di kota Medan, bahwa larangan untuk bergaul rapat dengan etnis Pribumi didapatkan banyak etnis Tionghoa di kota Medan dari orang tua mereka. Stereotip tentang etnis Pribumi yang didapat dari orangtua mereka mendapat pembenaran dari kejadian-kejadian tak menyenangkan yang mereka alami dengan beberapa etnis Pribumi (Komunikasi personal, Agustus 2007 ).

(40)

 

Kota Medan tidak mempunyai kebudayaan dominan sehingga setiap etnis mempertahankan budayanya masing-masing. Hal ini menyebabkan terjadinya proses penguatan rasa kesatuan etnik sebagai suatu komunitas. Setiap kelompok etnik membuat kampung baru dan mempergunakan norma, aturan, serta ideologi tradisional daerah asal masing-masing. Gaya hidup dan sikap eksklusif antara satu etnis dengan yang lain berkembang subur. Pola pemukiman kota Medan yang segretif menimbulkan hambatan psikologis bagi etnis Tionghoa untuk berinteraksi dengan etnis lainnya dan membuat prasangka yang dipupuk dari generasi ke generasi semakin subur (Lubis, 1999).

Hal ini senada dengan pernyataan Brigham (1986) bahwa pada level kognitif membuat perbandingan ingroup (mereka) dan outgroup (kita) dapat meningkatkan prasangka. Prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi dapat timbul karena adanya rasa perbedaan antar kelompok Kategori ingroup (etnis Tionghoa) dan outgroup (etnis Pribumi) dan juga sebaliknya dapat dengan mudah terbentuk dalam kondisi masyarakat tersegresi seperti di kota Medan.

(41)

 

Tionghoa. Etnis Tionghoa dikota Medan pergi dan pulang, atau mengelompok di tempat duduk tertentu dengan teman-teman sesama etnis Tionghoa (Lubis, 1995).

Keengganan untuk berinteraksi rapat dengan etnis Pribumi pada sebagian etnis Tionghoa di kota Medan tampak dalam keseharian mereka. Interaksi etnik Cina di Medan contohnya di pusat-pusat belajar dan keramaian hanya berputar pada teman sesama etnik Cina. Mereka pergi dan pulang, atau mengelompok di tempat duduk tertentu, tetap saja dengan teman-teman sesama etnik Cina (Lubis, 1995).

Penelitian yang ditemukan oleh Lubis (1995), juga mengatakan bahwa motif sosial etnik Tionghoa di kota Medan hanya dominan pada motif berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif persahabatan itu adalah dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih diarahkan pada sesama etnik Cina sendiri.

Peranan norma dan lingkungan sangat mempengaruhi prasangka yang ada dan berkembang di kota Medan. Pettigrew (dalam Baron dan Byrne, 2000) menyatakan bahwa norma sosial merupakan hal yang penting dalam pengekspresian prasangka. Di kota Medan, ada norma tak tertulis bahwa keluarga etnis Tionghoa mengharapkan anak mereka untuk menikah dengan sesama etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa yang menikahi etnis selain etnis Tionghoa akan diasingkan dari komunitas mereka (Lubis, 1999).

(42)

 

lingkungan mereka tentang etnik Pribumi. Pemukiman etnis Tionghoa yang tersegresi dan eksklusif adalah salah satu faktor yang membuat prasangka yang ada berkembang subur.

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian mengenai gambaran tipe prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi di kota Medan ini akan menggunakan metode penelitian deskriptif. Punch (dalam Hasan 2003) menyatakan bahwa ada 2 kegunaan penelitian deskriptif. Pertama, untuk pengembangan teori dan area penelitian yang baru. Kedua, untuk mendapatkan deskripsi yang tepat mengenai proses-proses sosial yang kompleks sehingga dapat membantu kita untuk memahami faktor apa saja yang mempengaruhi suatu variabel dan faktor apa yang perlu diteliti lebih lanjut dalam penelitian berikutnya secara lebih mendalam. 

Tipe prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi merupakan sebuah fenomena sosial dan merupakan sebuah proses sosial yang kompleks. Peneliti ingin mendapatkan deskripsi yang lengkap sehingga diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi dan faktor apa sajakah yang perlu diteliti lebih lanjut dalam penelitian berikutnya secara lebih mendalam. 

(44)

A. Variabel Penelitian

Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah gambaran tipe prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi di kota Medan.

B. Definisi Operasional

Prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi adalah bentuk sikap negatif etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi. Penilaian negatif ini didasarkan hanya pada identitas seseorang sebagai etnis Pribumi bukan karena karakteristik individu maupun perilaku aktualnya.

Prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi memiliki komponen-komponen prasangka (Baron dan Byrne, 1991) yaitu :

1. Komponen kognitif yaitu apa yang dipikirkan dan diyakini etnis Tionghoa mengenai etnis Pribumi.

2. Komponen afektif berkaitan dengan perasaan atau emosi (negatif) etnis Tionghoa ketika berhadapan atau berpikir tentang etnis Pribumi.

3. Komponen konatif memperlihatkan kecenderungan etnis Tionghoa untuk berperilaku dengan cara tertentu (negatif) atau bermaksud untuk melakukan tindakan (negatif) tersebut terhadap etnis Pribumi.

Prasangka memiliki beberapa tipe yaitu tipe dominative, ambivalent, dan

aversive (Geartner, Jones, dan Kovel dalam Soeboer, 1990). Tipe prasangka etnis

(45)

1. Tipe Prasangka Dominative

Tipe prasangka dominative akan diukur berdasarkan komponen-komponen prasangka yaitu :

a. Kognitif, yaitu keyakinan fanatik yang mutlak pada etnis Tionghoa tentang etnis Pribumi. Keyakinan bahwa etnis Pribumi sudah sepantasnya mendapatkan perlakuan diskriminasi dan dijauhi.

b. Afektif, yaitu perasaan tidak suka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi yang secara terbuka ditunjukkan dan diekspresikan.

c. Konatif, yaitu tindakan etnis Tionghoa untuk tidak mengacuhkan etnis Pribumi seperti tidak mau berinteraksi dengan kelompok target prasangka dan tidak akan menolong etnis Pribumi apapun yang terjadi. Etnis Tionghoa berusaha untuk memelihara posisi superior/ eksklusivitas kelompoknya (ingroup) dengan memisahkan anaknya keluarganya) dari target prasangka sejauh mungkin.

Semakin tinggi skor total komponen-komponen tipe prasangka dominative pada skala tipe prasangka, maka semakin tinggi tingkat kecenderungan subjek penelitian untuk memiliki prasangka dominative.

2. Tipe Prasangka Ambivalent

Tipe prasangka ambivalent akan diukur berdasarkan komponen-komponen prasangka yaitu:

(46)

Tionghoa), maupun dari kelompok etnis Pribumi. Keyakinan bahwa berinteraksi dan bergaul secara intim dan intens dengan etnis Pribumi akan menyebabkan etnis Tionghoa dijauhi dan diasingkan oleh teman/ keluarganya. Keyakinan bahwa etnis Pribumi pasti akan menolak/memperlakukan etnis Tionghoa secara tidak adil bagaimanapun usaha etnis Tionghoa untuk mendekatkan diri pada etnis Pribumi.

b. Afektif, yaitu perasaan ingin mendekatkan diri sekaligus perasaan khawatir berinteraksi dengan etnis Pribumi dapat merugikan etnis Tionghoa. Perasaan khawatir ditolak bila berinteraksi dengan etnis Pribumi.

c. Konatif, yaitu ekspresi perasaan tidak suka etnis Tionghoa pada etnis Pribumi berupa tindakan mengurangi bahkan menghindari interaksi dengan etnis Pribumi karena khawatir berinteraksi dengan etnis Pribumi akan menimbulkan masalah.

Semakin tinggi skor total komponen-komponen tipe prasangka ambivalent pada skala tipe prasangka maka semakin tinggi tingkat kecenderungan subjek penelitian untuk memiliki prasangka ambivalent.

3. Tipe Prasangka Aversive

Tipe prasangka aversive akan diukur berdasarkan komponen-komponen prasangka yaitu;

(47)

Pribumi dan menolak adanya hubungan yang intim dan intens dengan etnis Pribumi.

b. Afektif, yaitu perasaan tidak suka etnis Tionghoa ketika harus bergaul akrab dengan etnis Pribumi, namun etnis Tionghoa bersikap ramah dan sopan dengan etnis Pribumi untuk menutupinya.

c. Konatif, yaitu sikap ramah dan sopan etnis Tionghoa ketika berinteraksi dan mengadakan kontak dengan etnis Pribumi, serta menolong etnis Pribumi yang sedang membutuhkan pertolongan, walaupun sebenarnya etnis Tionghoa berusaha untuk meminimalkan interaksi dan menolak hubungan yang lebih

intens, intim dan serius dengan etnis Pribumi.

Semakin tinggi skor total komponen-komponen tipe prasangka aversive pada skala tipe prasangka maka semakin tinggi tingkat kecenderungan subjek penelitian untuk memiliki prasangka aversive.

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk etnis Tionghoa di kota Medan. Karakteristik sampel penelitian ini adalah :

a. Etnis Tionghoa totok, dan sejak lahir berdomisili di kota Medan.

(48)

b. Berusia 18-40 tahun

Pada usia ini sikap mulai terinternalisasi dan secara mandiri individu menentukan sendiri nilai dan norma yang dianut (tidak berdasarkan harapan orangtua dan teman sebaya lagi). Pada masa ini individu berada dalam tahap sosial yang lebih luas dibandingkan usia dewasa lainnya (Hurlock, 1980). c. Belum menikah

Diasumsikan individu yang telah menikah akan terpengaruh nlai dan norma yang dianut oleh pasangannya.

d. Berpendidikan minimal lulusan SMA / sederajat.

Diasumsikan dengan pendidikan minimal SMA/sederajat, sampel dapat memahami pernyataan yang ada dalam setiap aitem.

2. Metode pengambilan sampel

Responden dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik non probability sampling secara incidental yang berarti setiap anggota populasi tidak mendapat kesempatan yang sama untuk dapat terpilih menjadi anggota sampel. Pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada faktor kebetulan dan kemudahan dijumpainya sampel yang sesuai dengan karakteristik tertentu (Hadi, 2000)

3. Jumlah sampel penelitian

(49)

sampel sebesar 100 merupakan jumlah yang minimum. Menurut Azwar (2004), secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Namun, sesungguhnya tidak ada angka yang dapat dikatakan dengan pasti.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka peneliti menggunakan 172 orang sampel dalam penelitian ini.

D. Alat Ukur Yang Digunakan

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dipenelitian ini adalah metode self-reports. Menurut Hadi (2000) metode self-reports berasumsi bahwa : 1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri.

2. Apa yang dinyatakan subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.

3. Interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh peneliti.

(50)

diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS diberi skor 1. Sedangkan skor untuk aitem yang unfavorabel adalah 4 untuk jawaban STS, 3 untuk jawaban TS, 2 untuk jawaban S, dan 1 untuk jawaban SS (Azwar, 2000).

Di dalam skala tipe prasangka ini, setiap tipe prasangka akan diukur berdasarkan komponen-komponen prasangka yaitu kognitif, afektif dan konatif sebagai berikut:

1. Tipe prasangka dominative akan diukur berdasarkan komponen-komponen prasangka yaitu kognitif, afektif, dan konatif.

2. Tipe prasangka ambivalent akan diukur berdasarkan komponen-komponen prasangka yaitu kognitif, afektif, dan konatif

3. Tipe prasangka aversive akan diukur berdasarkan komponen-komponen prasangka yaitu kognitif, afektif, dan konatif.

Berikut blue print berupa rancangan jumlah dan distribusi aitem dalam skala penelitian sebelum diujicobakan :

Tabel 2

Blue Print Skala Tipe Prasangka Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi Sebelum Diujicoba

TIPE PRASANGKA

KOMPONEN PRASANGKA JUMLAH

SOAL KOGNITIF AFEKTIF KONATIF

F UF F UF F UF

DOMINATIVE 5 5 5 5 5 5 30

AMBIVALENT 5 5 5 5 5 5 30

AVERSIVE 5 5 5 5 5 5 30

(51)

Rancangan tersebut dijadikan pedoman mendistribusikan aitem-aitem agar setiap komponen masing-masing tipe prasangka seimbang. Berikut ini adalah distribusi aitem-aitem dalam skala Tipe Prasangka Etnis Tinghoa terhadap Etnis Pribumi di kota Medan :

Tabel 3

Distribusi Aitem Skala Tipe Prasangka Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi Sebelum Uji Coba

Skala dalam penelitian ini akan diproses dengan diuji coba untuk mengetahui kualitas item-item sebelum digunakan pada penelitian yang sesungguhnya. Item-item yang kualitasnya kurang baik akan dibuang dan item-item yang berkualitas baik akan digunakan sebagai alat ukur penelitian yang sesungguhnya. Item-item yang berkualitas akan ditunjukan oleh koefisiensi korelasi yang tinggi, yaitu korelasi antara masing-masing item dengan item total.

Selain aitem-aitem tersebut, di dalam alat ukur juga tertera identitas diri yang harus diisi oleh subjek penelitian. Identitas diri itu meliputi nama, jenis

Tipe Prasangka

Komponen Prasangka Jumlah

(52)

kelamin, usia, pekerjaan dan pendidikan terakhir. Setelah uji coba selesai, maka selanjutnya peneliti melakukan penomoran kembali terhadap aitem-aitem skala untuk dijadikan sebagai alat pengumpulan data penelitian yang sebenarnya.

1. Validitas alat ukur

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrument atau alat ukur dalam menjalankan fungsi ukurnya dan memberikan hasil yang tepat dan akurat sesuai dengan maksud diadakannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas ini menunjukkan sejauh mana aitem-aitem dalam skala telah komprehensif mencakup semua aspek dalam penelitian dan tingkat relevansinya. Validitas isi dalam penelitian ini diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional (kesesuaian dengan blue print yang telah disusun oleh peneliti) dan diperkuat lewat professional judgement (dalam hal ini dilakukan oleh Dosen pembimbing) (Azwar, 2000).

(53)

ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes sebagaimana yang dikehendaki oleh penyusunnya (Azwar, 2000)

Untuk menguji daya beda dari aitem-aitem dalam skala tipe prasangka, peneliti menggunakan formula koefesien korelasi Pearson Product Moment. Prosedur pengujian ini menghasilkan koefesien korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks daya beda aitem (Azwar, 2000). Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan dengan SPSS versi 14.0 for window akan diperoleh item-item yang memenuhi persyaratan.

Item yang dinyatakan memenuhi syarat adalah item yang mempunyai indeks korelasi item total dikoreksi (corrected aaitem-total correlation) berada di atas nilai rix= 0,275 (nilai r minimum) untuk setiap item pada setiap tipe

prasangka yang hendak diukur (Hadi, 2000). Penelitian ini menggunakan batasan rix

0.40.

2. Reliabilitas alat ukur

(54)

Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1. Koefisien reliabilitas yang semakin mendekati angka 1 menandakan semakin tinggi reliabilitas. Sebaliknya, koefisien yang semakin mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitas yang dimiliki. Menurut Azwar (2000) pengukuran pada aspek-aspek sosial-psikologis yang mencapai angka koefisien reliabilitas 1 tidak pernah dijumpai, dikarenakan manusia sebagai subjek pengukuran psikologis merupakan sumber eror yang potensial.

Menurut Triton (2006) kategori reliabilitas pengukuran terbagi atas 5 (lima) bagian, yaitu:

1. 0,00 s/d 0,20 (kurang reliabel) 2. >0,20 s/d 0,40 (agak reliabel) 3. >0,40 s/d 0,60 (cukup reliabel) 4. >0,60 s/d 0,80 (reliabel)

5. >0,80 s/d 1,00 (sangat reliabel)

Teknik yang digunakan adalah teknik koefisiensi alpha Cronbach. Selanjutnya, pengujian realibilitas ini akan menghasilkan realibilitas dari skala tipe prasangka. Uji reliabilitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan program

SPSS for Windows Versi 14.0.

3. Hasil uji coba alat ukur

(55)

sampel di sekitar Universitas Sumatera Utara, Medan. Untuk melihat daya diskriminasi aitem, dilakukan analisa uji coba dengan menggunakan aplikasi komputer SPSS versi 14. Menurut Hadi (2000), semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0.275, daya pembedanya dianggap memuaskan. Semakin tinggi harga kritik, maka aitem tersebut semakin baik.

Hasil uji coba skala Tipe Prasangka Etnis Tionghoa terhadap Etnis Pribumi di kota Medan menghasilkan 73 aitem yang diterima dari 90 aitem yang diujicobakan. 73 aitem sahih yang akan digunakan dalam penelitian, memiliki koefisien korelasi yang berkisar antara rxx = 0.418 sampai dengan rxx = 0,765 (N=

63) dan reliabilitas sebesar 0.979.

Aitem-aitem yang sahih ini kemudian disusun kembali dengan melakukan penomoran ulang untuk dijadikan alat pengumpulan data penelitian yang sebenarnya Penomoran kembali ini, dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 4.

Distribusi Aitem-Aitem Skala Tipe Prasangka Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi Setelah Uji Coba

Tipe Prasangka

Komponen Prasangka Jumlah

(56)

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap persiapan

Dalam rangka pelaksanaan penelitian ini ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan oleh peneliti, antara lain:

a. Rancangan alat dan instrumen penelitian

Pada tahap ini, alat ukur yang berupa skala Tipe Prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan teori yang telah diuraikan sebelumnya dengan bimbingan profesional judgement (dalam hal ini dilakukan oleh dosen pembimbing). Skala Tipe Prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi dibuat dalam bentuk booklet ukuran kertas A4 yang terdiri dari 90 pernyataan dan setiap pernyataan memiliki 4 alternatif jawaban yang tempatnya telah disediakan sehingga memudahkan subjek dalam memberikan jawaban.

b. Uji coba alat ukur

(57)

sudah cukup banyak. Atas dasar pendapat tersebut, peneliti merasa 60 skala yang telah direspons oleh sampel sudah mencukupi untuk uji coba.

c. Revisi alat ukur

Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur yang dilakukan pada 60 subjek, peneliti menguji validitas dan reliabilitas skala tipe prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi melalui koefisien alpha cronbach dengan menggunakan SPSS version 14.0 for windows. Aitem-aitem yang sahih kemudian disusun kembali dalam bentuk booklet untuk dijadikan alat ukur yang sebenarnya.

2. Tahap pelaksanaan

Setelah skala penelitian lulus dalam uji validitas dan reliabilitas, maka aitem-aitem dalam skala tersebut disusun kembali. Selanjutnya, aitem-aitem yang sudah lulus penyaringan dijadikan alat pengumpulan data pada sampel penelitian yang sesungguhnya.

(58)

3. Tahap pengolahan data

Setelah diperoleh seluruh data dari masing-masing subjek penelitian, maka untuk pengolahan data selanjutnya, peneliti menggunakan aplikasi komputer SPSS for windows versi 14.0. Data yang diolah berbentuk skor masing-masing tipe prasangka seluruh subjek. Masing-masing-masing skor total tipe prasangka yang didapatkan oleh subjek akan dikategorikan dalam tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Selanjutnya, subjek akan digolongkan dalam salah satu tipe prasangka berdasarkan nilai Z tertinggi dari tiga tipe prasangka.

F. Metode Analisis Data

Hadi (2000) menyatakan bahwa penelitian deskriptif akan menganalisa dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh. Azwar (2000) juga menyatakan bahwa uraian kesimpulan dalam penelitian deskriptif didasari oleh angka yang diolah secara tidak terlalu mendalam.

Penelitian ini akan menggunakan bentuk analisis data deskriptif. Analisis ini bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari kelompok subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk melakukan pengujian terhadap hipotesis.

(59)

subjek akan digolongkan dalam salah satu tipe prasangka berdasarkan nilai Z tertinggi dari tiga tipe prasangka.

(60)

BAB IV

ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI

Bab ini menguraikan gambaran keseluruhan hasil penelitian. Diawali dengan pembahasan mengenai gambaran subjek penelitian yang dilanjutkan dengan analisis dan interpretasi data penelitian..

A. Gambaran Subyek Penelitian

Subjek penelitian adalah Etnis Tionghoa Medan dengan jumlah sampel keseluruhan 172 orang. Seluruh subjek dalam penelitian ini akan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan pekerjaan.

1. Gambaran subjek berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel 5.

Persentase Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin Jumlah (N) Persentase (%)

Laki-laki 73orang 43% Perempuan 99orang 57%

Total 172 orang 100 %

(61)

2. Gambaran subjek berdasarkan usia

Berdasarkan usia, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel 6

Persentase Subjek Berdasarkan Usia

Usia Jumlah (N) Persentase (%)

18-24 tahun 116 orang 67,5% 25-32 tahun 42orang 24,5% 33-40 tahun 14 orang 8 %

Total 167 orang 100 %

Tabel 6 menunjukkan persentasi subjek berdasarkan usia yang terbanyak adalah etnis Tionghoa yang berusia 18-24 tahun (67,5%), kemudian etnis Tionghoa berusia 25-32 tahun (24,5%), sedangkan yang paling sedikit adalah etnis Tionghoa yang berusia 33-40 tahun (8 %).

3. Gambaran subjek berdasarkan tingkat pendidikan

Berdasarkan tingkat pendidikan, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel 7

Persentase Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah (N) Persentase (%)

(62)

Tabel 7 menunjukkan subjek dengan tingkat pendidikan SMA lebih banyak, yaitu 132 orang (77%), kemudian tingkat pendidikan S1 sebanyak 35 orang (20 %), subjek dengan tingkat pendidikan D1 dan D3 adalah yang paling sedikit masing-masing 2 orang (1,2%) dan 3 orang (1,8%).

4. Gambaran subjek berdasarkan agama

Berdasarkan agama, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel 8

Persentase Subjek Berdasarkan Agama

Tingkat Pendidikan Jumlah (N) Persentase (%)

Budha 143orang 83% Kristen 24 orang 14% Katolik 5 orang 3%

Total 172 orang 100 %

Tabel 8 menunjukkan persentasi subjek berdasarkan agama yang terbanyak adalah Budha (83%), kemudian Kristen (14%), dan Katolik (3%), sedangkan agama Islam dan Hindu tidak ada.

5. Gambaran subjek berdasarkan pekerjaan

(63)

Tabel 9

Persentase Subjek Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Jumlah (N) Persentase (%)

Mahasiswa 86orang 50% Pegawai swasta/ karyawan 33 orang 19,2%

Wiraswasta 20 orang 11,6% Pengajar 6 orang 3,5%

Sales 6 orang 3,5%

Dokter 1 orang 0,6% Supir 1 orang 0,6%

Belum bekerja 19 orang 11%

Total 172 100%

Tabel 9 menunjukkan bahwa subjek dengan pekerjaan mahasiswa jumlahnya lebih banyak, yaitu 86 orang (50%), kemudian pegawai/karyawan sebanyak 33 orang (19,2%), wiraswasta sebanyak 20 orang (1,6%), pengajar sebanyak 6 orang (3,5 %), sales sebanyak 6 orang (3,5%), dokter sebanyak 1 orang (0,6%) dan supir sebanyak 1 orang (0,6%). Subjek yang belum bekerja berjumlah 19 orang (11%)

B. Hasil Penelitian

(64)

kumpulan data menjadi ukuran tengah dan ukuran variasi. Selanjutnya membandingkan data kelompok subjek satu dan lainnya (Hastono, 2001).

Data dalam penelitian ini adalah data numerik, maka analisis deskriptif yang akan disajikan adalah ukuran tengah meliputi nilai mean dan ukuran variasi meliputi standar deviasi, minimum dan maksimum.

Mean adalah angka rata-rata. Nilai maksimum dan nilai minimum

digunakan untuk mengetahui range (selisih antara nilai maximum dan minimum). Nilai kuadrat penyimpangan dari nilai mean disebut dengan varian. Agar satuan varian sama dengan mean, maka dikembangkan ukuran variasi yang disebut dengan standar deviasi. Standar deviasi merupakan akar dari varian, dimana standar deviasi yang semakin besar menunjukan variasi yang semakin besar pula (Hastono, 2001).

1. Gambaran tipe prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi di kota Medan

(65)

Keterangan : Z = angka standar

X= angka kasar yang diketahui (dalam hal ini skor total subjek pada masing-masing tipe prasangka)

M = mean distribusi (dalam hal ini mean teoritik)

= standar deviasi (dalam hal ini standard deviasi teoritik)

Adapun dengan memasukkan rumus nilai Z dengan mean dan standar deviasi teoritik masing-masing tipe prasangka yang telah diketahui, maka subjek dapat dikelompokan dalam salah satu tipe prasangka sebagai berikut :

Tabel 10

Tipe Prasangka Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi Di Kota Medan

Tipe Prasangka Jumlah orang (N) Presentase (%)

Dominative 7 4%

Ambivalent 50 29%

Aversive 115 67%

Total 172 100%

(66)

2. Gambaran kategorisasi tipe prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi di kota Medan

Skala tipe prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi dikelompokkan menjadi 3 (tiga) tipe yang dikemukakan oleh Geartner, Jones dan Kovel (dalam Soeboer, 1990), yaitu dominative, ambivalent dan aversive. Skor total tiap tipe prasangka yang didapatkan oleh subjek dapat dikategorisasi berdasarkan kategorisasi jenjang atau ordinal. Menurut Azwar (2000), tujuan kategorisasi ini adalah untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur. Kecenderungan tipe prasangka yang dimiliki subjek penelitian akan dikategorisasikan ke dalam tiga tingkatan yang dapat dilihat pada tabel 11 :

Tabel 11

Kriteria Kategorisasi Skor Tipe Prasangka

No. Kategorisasi

1. X  -  Rendah

2.  - <X +  Sedang

3.  + <X Tinggi

a. Gambaran tipe prasangka dominative etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi di kota Medan

(67)

Tabel 12

Deskripsi Data Tipe Prasangka Dominative Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi Di Kota Medan

Tipe Prasangka

Dominative

Skor Empirik Skor Hipotetik

Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD 36 91 59,35 10,695 27 108 67,5 13,5

Tabel 12 menunjukkan bahwa mean empirik tipe prasangka dominative pada skala tipe prasangka adalah 59,35 dengan standard deviasi empirik 10,95. Sedangkan mean hipotetiknya adalah 67,5 dengan standard deviasi hipotetik sebesar 13,5.

Hasil kategorisasi tingkat kecenderungan tipe prasangka dominative berdasarkan mean dan standar deviasi hipotetik dapat dilihat pada tabel 13 berikut:

Tabel 13

Hasil Kategorisasi Tingkat Kecenderungan Tipe Prasangka Dominative

No.

(68)

masing-masing subjek, maka akan terlihat subjek penelitian paling banyak berada pada kategori sedang yaitu berjumlah 110 orang (64%), kemudian subjek dengan kecenderungan tipe prasangka dominative rendah berjumlah 59 orang (34%), sedangkan yang paling sedikit adalah subjek dengan kecenderungan tipe prasangka dominative tinggi yaitu 3 orang (2%).

b. Gambaran tipe prasangka ambivalent Etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi di kota Medan

Aitem tipe prasangka ambivalent pada skala tipe prasangka berjumlah 22 aitem dengan rentang nilai 1 sampai 4. Deskripsi data penelitian tipe prasangka

ambivalent etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi di kota Medan dapat dilihat

pada tabel 14.

Tabel 14

Deskripsi Data Tipe Prasangka Ambivalent Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi Di Kota Medan

Tipe Prasangka

Ambivalent

Skor Empirik Skor Hipotetik Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD

29 76 51,76 8,362 22 88 55 10

(69)

Hasil kategorisasi tingkat kecenderungan tipe prasangka ambivalent berdasarkan mean dan standar deviasi hipotetik dapat dilihat pada tabel 15 berikut:

Tabel 15

Hasil Kategorisasi Tingkat Kecenderungan Tipe Prasangka Ambivalent

No.

Berdasarkan tabel 15 dapat dilihat bahwa mean empirik subjek penelitian pada tipe prasangka ambivalent berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa subjek penelitian secara umum memiliki kecenderungan tipe prasangka ambivalent sedang. Jika dilihat lebih rinci dari skor total masing-masing subjek, maka akan terlihat subjek penelitian paling banyak berada pada kategori sedang yaitu berjumlah 127 orang (74%), kemudian subjek dengan kecenderungan tipe prasangka ambivalent rendah berjumlah 38 orang (22%), sedangkan yang paling sedikit adalah subjek dengan kecenderungan tipe prasangka ambivalent tinggi yaitu 7 orang (4%).

c. Gambaran Tipe Prasangka Aversive Etnis Tionghoa terhadap etnis

Pribumi di kota Medan

Gambar

Tabel 1
Tabel 2 Blue Print Skala Tipe Prasangka Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi
Tabel 3
Tabel 4.
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Arus kas dari bunga dan dividen yang diterima dan dibayarkan, masing- masing harus diungkapkan tersendiri. Bunga dan dividen harus diklasifikasikan secara konsisten antar

Oleh karena itu, pengukuran pangsa pasar di pasar bersangkutan menjadi penting untuk melihat apakah tindakan penetapan syarat-syarat perdagangan tersebut dapat digunakan untuk

Untuk menguji dampak mekanisasi panen terhadap penggunaan tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja, mutu teh, harga jual dan pendapatan unit kebun Sidamanik sebelum dan

Tidak hanya pemerintahan Indonesia dan Korea Selatan yang bekerjasama dalam bidang kepariwisataan, pemerintahan provinsi yang didukung oleh pemerintahan negara

Informasi pihak terkait dalam Laporan Kualitas Aset Produktif dan Informasi Lainnya disajikan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.7/3/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005

2) Anda dapat mencari orang dengan mengetikkan nama, alamat email, nomor telepon atau lingkaran. Centang kotak di samping untuk setiap orang yang ingin Anda

Dengan cara mempertautkan atau menghubungkan satu dengan yang lain untuk memberi arti pada phenomena-penomena atau data yang telah dilambangkan ke dalam fikiran baik

Pembayaran Retribusi Daerah adalah besarnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Retribusi sesuai dengan SKRD dan STRD ke Kas Daerah atau ketempat lain yang ditunjuk dengan