MULTIPLIKASI TUNAS
SUWEG (Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson)
DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH BAP DAN NAA
SECARA KULTUR JARINGAN
TANTRI ANDARI
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
(Dennst.) Nicolson) dengan Zat Pengatur Tumbuh BAP dan NAA Secara Kultur Jaringan. Dibimbing oleh EDHI SANDRA dan YUPI ISNAINI.
Pemanfaatan suweg (Amorphophallus paeoniifolius) di Indonesia dikenal sejak masa penjajahan Jepang sebagai bahan pangan alternatif sumber karbohidrat. Suweg bermanfaat untuk penderita diabetes, pencernaan, stimulan hati (liver), dan menambah nafsu makan. Pembudidayaan suweg dilakukan dengan menanam mata tunas pada kulit umbi, mata tunas utama dari umbi, umbi seutuhnya, anakan dari umbi, dan tanaman muda suweg. Namun terdapat kendala dengan cara tersebut yaitu habitat tempat tumbuh, waktu penanaman, dan kualitas yang dihasilkan tidak seragam. Sehingga perlu upaya budidaya lain yaitu dengan teknik kultur jaringan. Berdasarkan penelitian Isnaini et al. (2012), kultur jaringan suweg menghasilkan tunas yang sedikit sehingga perlu diteliti lebih lanjut agar menghasilkan tunas yang banyak dalam satu kalus. Penelitian dilakukan dengan penambahan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) NAA dan BAP yang berpotensi untuk pertumbuhan tunas lebih banyak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian ZPT BAP dan NAA dalam multiplikasi tunas suweg.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, selama 4 bulan mulai dari bulan Juni hingga September 2012. Percobaan ini dirancang dengan menggunakan rancangan percobaan faktorial dua faktor dengan dasar rancangan acak lengkap (RAL). Faktor pertama adalah konsentrasi BAP dengan empat taraf yaitu 0 mg/l, 1 mg/l, 2 mg/l, dan 3 mg/l. Faktor yang kedua yakni konsentrasi NAA dengan empat taraf yaitu 0 mg/l, 0.25 mg/l, 0.5 mg/l, dan 0.75 mg/l. Pengamatan yang dilakukan yaitu eksplan yang mengalami pencoklatan, kontaminasi (bakteri dan jamur), warna kalus, tekstur kalus, jumlah tunas, dan jumlah akar.
Hasil penelitian menunjukkan persentase keberhasilan eksplan hidup sebesar 94.17% atau 226 eksplan. Kontaminasi oleh bakteri dan jamur sebesar 2.08% atau 5 eksplan, serta pencoklatan sebesar 3.75% atau 9 eksplan. Eksplan bertekstur kompak sebesar 34.58% dan tekstur remah sebesar 63.33%. Pertumbuhan akar terbanyak terdapat pada perlakuan 1 mg/l BAP + 0.75 mg/l NAA sejumlah 2.87 akar/minggu. Jumlah tunas terbanyak pada perlakuan 1 mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA yaitu 0.47 tunas/minggu.
Kesimpulan penelitian ini bahwa multiplikasi tunas terjadi pada tiga eksplan yaitu pada perlakuan 1 mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA, 3 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA, dan 3 mg/l BAP + 0.75 mg/l NAA.
SUMMARY
TANTRI ANDARI. Multiplication of Suweg’s Shoot (Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson) with Plant Growth Regulators BAP and NAA According to Tissue Culture. Under supervision of EDHI SANDRA and YUPI ISNAINI.
The utilization of suweg (Amorphophallus paeoniifolius) in Indonesia has been known since the Japanese colonial period as source of carbohydrate. Suweg is beneficial for diabetes, digestion, liver, and increase appetite. The cultivation of suweg is by planting its eye shoot of tuber’s skin, the main eye shoot of tuber, the whole tuber, sapling from the tuber, and seedling. But, there are some problems with that technique which are the habitat where it grows, planting time, and the quality of the result is not uniform. So another cultivation effort is needed which is tissue culture. Based on Isnaini et al. (2012), tissue culture of suweg produces few shoots so it needs further study in order to produce many shoots in a callus. This research was done by the addition of Plant Growth Regulators (PGR) NAA and BAP that is potential for shoot growth. The aim of this study is to determine the effect of BAP and NAA in suweg shoot multiplication.
This research was conducted at the Laboratory of Plant Tissue Culture Conservation Centre Bogor Botanical Garden, from June until September 2012. The research was designed by using a two-factor factorial experimental design on the basis of completely randomized design (CRD). The first factor is the concentration of BAP with four levels which are 0 mg/l, 1 mg/l, 2 mg/l, and 3 mg/l. The second factor is the NAA concentrations with four levels which are 0 mg/l, 0.25 mg/l, 0.5 mg/l, and 0.75 mg/l. Observed was done to explants browning, contamination (bacteria and fungi), callus color, callus texture, number of shoot, and the number of roots.
The result shows the percentage of successful explant survival is 94.17% or 226 explants. Contamination by bacteria and fungi are 2.08 or 5 explants, and browning are 3.75% or 9 explants. Explant with compact texture is 34.58% and explant with crumb texture is 63.33%. The most root growth was found in the treatment of 1 mg /1 BAP + 0.75 mg/l NAA is 2.87 root/ week. The highest number of shoot in the treatment of 1 mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA is 0,47 shoot/ week.
The conclusion of this study is that the shoot multiplication was occurred in three explants, which are in the treatment of 1 mg l BAP + 0.25 mg/l NAA, 3 m/l BAP + 0.5 mg/l NAA and 3 mg/l BAP + 0.75 mg/l NAA.
SECARA KULTUR JARINGAN
TANTRI ANDARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Multiplikasi
Tunas Suweg (Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson) dengan Zat
Pengatur Tumbuh BAP dan NAA secara Kultur Jaringan adalah benar-benar hasil
karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah
digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2013
Tantri Andari
Nama : Tantri Andari
NIM : E34080047
Menyetujui,
Mengetahui,
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003
Tanggal Lulus :
Pembimbing I,
Ir. Edhi Sandra, M.Si NIP. 19661019 199303 1 002
Pembimbing II,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat
rahmat dan karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul
Multiplikasi Tunas Suweg (Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson)
dengan Zat Pengatur Tumbuh BAP dan NAA secara Kultur Jaringan. Skripsi ini
disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Penyusunan skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh BAP dan NAA dalam multiplikasi
tunas. Selain itu, juga memberikan acuan mengenai konsentrasi zat pengatur
tumbuh BAP dan NAA yang efektif untuk keberhasilan tumbuh tunas.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat
membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga penulisan
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Februari 2013
Penulis dilahirkan di Bogor 18 Oktober 1990 sebagai
anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Suwarno
dan Ibu Cicilia Sri Sudarti. Penulis memulai pendidikan di
TK Syntha Kampus IPB Darmaga pada tahun 1995,
kemudian melanjutkan ke SD Negeri Babakan Dramaga 3
pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2002. Pada tahun 2002
hingga 2005 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri
4 Bogor dan selanjutnya di SMA Negeri 2 Bogor pada tahun 2005 hingga tahun
2008. Penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008 dan
diterima sebagai mahasiswi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan.
Selama menjadi mahasiswi di IPB penulis aktif di organisasi Gentra
Kaheman pada divisi infokom pada tahun 2009-2010. Organisasi Himpunan
Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai
anggota biro kekeluargaan pada tahun 2009-2010 dan anggota biro kewirausahaan
pada tahun 2010-2011 serta Kelompok Pemerhati Flora (KPF) sebagai anggota
pada tahun 2009-2010 dan sebagai bendahara pada tahun 2010-2011. Selain itu
penulis aktif dalam organisasi International Forestry Student and Assosiation
(IFSA) LC-IPB pada tahun 2009-2010 sebagai anggota kesekretariatan dan pada
tahun 2010-2011 sebagai anggota Public Relation (PR).
Adapun praktek lapang yang pernah diikuti penulis yaitu Praktek
Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cagar Alam Gunung
Papandayan-Sancang Barat Kabupaten Garut pada tahun 2010, Praktek Pengelolaan Hutan
(P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada tahun 2011, dan Praktek
Kerja Lapang di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) pada tahun
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan hidayah, karunia, cinta
dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Ibu Cicilia Sri Sudarti, Bapak Suwarno, Mas Bondan Winarno, Mbak Sri
Lestari, Mas Bondan Dwinarto, Teh Roshanty, Naila, Fadel, Ayu, Adit
atas kasih sayang dan dukungan yang telah diberikan.
2. Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si beserta keluarga dan Ibu Yupi Isnaini, S.Si,
M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan,
nasehat, dan dukungan selama penulis melakukan penelitian dan
penyusunan skripsi.
3. Ibu Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si selaku ketua sidang dan Bapak Dr. Ir.
Buce Saleh, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan
kritik yang membangun.
4. Seluruh pihak Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Konservasi Tumbuhan
LIPI-Kebun Raya Bogor: Teh Irma, Bu Popi, Bu Tini, Mba Rita, Bu Lisa,
Mba Fitri, Pak Darso, dan Pak Sulur.
5. Teman seperjuangan penelitian Fitriyana Insani atas kebersamaan susah
dan senangnya selama di Laboratorium Kultur Jaringan.
6. Sahabat-sahabatku Ajeng, Soraya, Dina, Siti Munawaroh, Rayhani, Kiki,
Fitria, Lucia, Rizka, Septi, Trisma, Ela, Amel, Nindy, dan Andien.
7. Saudari-saudariku selama 9 tahun kebersamaan Yuthika, Dea, Amatur,
Kiki, Fitria, dan Nita.
8. Arya Windujati yang selalu memberi dukungan dan doa selama menyusun
skripsi.
9. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Konservasi Tumbuhan Obat.
10.Kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat
DAFTAR ISI
2.1 Suweg (Amorphophallus paeoniifolius) ... 42.1.1 Bioekologi suweg (Amorphophallus paeoniifolius) .... 4
2.1.2 Manfaat suweg (Amorphophallus paeoniifolius) ... 6
2.2 Perbanyakan Suweg (Amorphophallus paeoniifolius) ... 7
2.2.1 Perbanyakan konvensional ... 7
2.2.2 Kultur jaringan ... 7
2.2.3 Manfaat kultur jaringan ... 8
2.3 Kultur Jaringan Amorphophallus... 8
2.4 Karakteristik BAP dan NAA ... 9
3.3.2 Sterilisasi lingkungan kerja ... 12
3.3.3 Pembuatan media tanam ... 12
3.3.4 Penanaman/ subkultur ... 13
3.4 Rancangan Percobaan ... 13
3.5 Pengambilan Data ... 14
ii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tingkat Keberhasilan Kultur dan Gangguannya ... 16
4.2 Pengaruh Pemberian BAP dan NAA ... 17
4.2.1 Warna kalus ... 17
4.2.2 Tekstur kalus ... 20
4.2.3 Jumlah akar ... 21
4.2.4 Jumlah tunas ... 23
4.3 Peran Kultur Jaringan Suweg (Amorphophallus paeoniifolius) dalam Konservasi ... 26
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 28
5.2 Saran ... 28
DAFTAR TABEL
No Halaman
1 Interaksi faktor jenis zat pengatur tumbuh dengan konsentrasinya ... 13
2 Jumlah akar suweg pada setiap perlakuan ... 21
iv
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1 Suweg di alam (a) Tumbuhan suweg (b) Batang suweg (c) Daun suweg .. 5
2 Umbi suweg (a) Umbi suweg beserta mata tunas (b) Mata tunas
(c) Bagian dalam umbi suweg ... 5
3 Buah dan Bunga suweg ... 6
4 Kondisi eksplan (a) Kontaminasi oleh bakteri (b) Kontaminasi oleh
Jamur (c) Pencoklatan (browning) ... 17
5 Warna eksplan pada awal penanaman (a) Cokelat tua (b) Putih
(c) Hijau muda (d) Kombinasi coklat dan hijau muda ... 18
6 Warna eksplan pada waktu (a) 5 MST (b) 12 MST ... 18
7 Eksplan pada perlakuan (a) 0 mg/1 BAP + 0.5 mg/1 NAA
(b) 3 mg/ 1 BAP + 0.75 mg/1 NAA ... 19
8 Tekstur kalus suweg (a) Remah (b) Kompak ... 20
9 Eksplan menghasilkan akar lebih dari satu pada satu kalus (a) Tampak
samping (b) tampak depan ... 23
10 Eksplan bertunas pada 3 MST (a) Muncul tunas merubah warna kalus
seluruhnya menjadi putih (b) Muncul dengan pembengkakan ... 23
11 Multiplikasi tunas pada perlakuan (a)1 mg/1 BAP + 0.25 mg/1 NAA tampak atas (b)1 mg/1 BAP + 0.25 mg/1 NAA dari tampak samping (c) 3 mg/1 BAP + 0.5 mg/1 NAA (d) 3 mg/1 BAP + 0.75 mg/1 NAA
(e) 3 mg/1 BAP + 0.5 mg/1 NAA (f) 3 mg/1 BAP + 0.75 mg/1 NAA ... 25
12 Hasil pengamatan visual pada perlakuan (a) 2 mg/l BAP +
0.75 mg/l NAA (b) 2 mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA ... 26
13 Produk makanan dari umbi suweg (a) Onde-onde suweg dan
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1 Hasil sidik ragam (Anova) respon perlakuan BAP dan NAA terhadap
jumlah akar ... 32
2 Hasil sidik ragam (Anova) respon perlakuan BAP dan NAA terhadap
jumlah tunas ... 32
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tumbuhan banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
sebagai sumber pangan. Masyarakat banyak memanfaatkan tumbuhan karena
tersedia di alam. Umumnya, masyarakat memanfaatkan tumbuhan sebagai sumber
vitamin dan mineral. Namun, pemanfaatan tumbuhan yang mengandung
karbohidrat sebagai bahan pangan pokok masih terbatas. Masyarakat masih
mengonsumsi nasi sebagai sumber pangan pokok padahal terdapat beberapa jenis
tumbuhan yang memiliki fungsi sama dengan nasi yaitu umbi-umbian.
Umbi-umbian dimanfaatkan oleh masyarakat ketika mereka tidak mampu membeli beras
padahal, umbian memiliki kandungan yang lebih baik dari nasi. Jenis
umbi-umbian yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain ubi jalar, ubi kayu,
dan talas. Sedangkan yang jarang dimanfaatkan adalah suweg (Amorphophalus
paeoniifolius). Suweg memiliki keunggulan untuk dimanfaatkan dan terdapat di
hutan primer Indonesia.
Pemanfaatan suweg sebagai bahan pangan di Indonesia dikenal sejak masa
penjajahan Jepang sebagai bahan pangan alternatif sumber karbohidrat (Pitojo
2007). Suweg dapat menjadi bahan pangan alternatif untuk penderita diabetes
karena kandungan karbohidrat yang rendah yaitu 23.18% (Faridah et al. 2007).
Nilai karbohidrat yang rendah menjadikan penderita diabetes cepat kenyang.
Selain itu, suweg baik untuk pencernaan dan menstimulasi hati (Nugroho 2007).
Suweg terdapat di hutan dataran rendah dan di pekarangan rumah.
Keberadaan suweg di sekitar lingkungan belum dibudidayakan oleh masyarakat
karena mereka tidak mengetahui fungsi suweg tersebut. Pembudidayaan suweg
dilakukan oleh sebagian orang yang mengetahui yaitu dengan menanam umbinya.
Namun terdapat kendala dengan cara tersebut yaitu habitat tempat tumbuh perlu
disesuaikan dengan tempat aslinya. Waktu penanaman perlu diperhatikan yaitu
ketika musim hujan. Selain itu, kualitas yang dihasilkan dari anakan tidak
seragam. Sehingga perlu adanya upaya budidaya yang dapat dilakukan yaitu
menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak dan waktu yang relatif singkat.
Teknik kultur jaringan efektif diterapkan karena memiliki beberapa keunggulan,
yaitu produksi cepat dan bebas penyakit, penyedia plasma nutfah, tanaman yang
dihasilkan seragam dan tidak membutuhkan ruang yang luas.
Kultur jaringan terhadap iles-iles (Amorphophallus muelleri) telah
dilakukan oleh Mayasari (2007) yang berasal dari tunas A. muelleri yang sudah
disubkultur dan menghasilkan tunas dengan baik. Hu dan Li (2007) melakukan
kultur jaringan A. albus dengan menggunakan zat pengatur tumbuh NAA
(Napthaleneacetic Acid) dan 6-BA (Benzyladenine), menghasilkan pertumbuhan
kalus dengan cepat. Kultur jaringan terhadap beberapa jenis Amorphophallus
dilakukan oleh Isnaini et al. (2012) yaitu A. muelleri, A. paeoniifolius, dan A.
variabilis untuk percepatan tumbuh kalus dan tunas. Penelitian Isnaini et al.
(2012) dilakukan dengan media dan zat pengatur tumbuh yang baik yaitu media
Murasighe and Skoog (MS)+ 1 mg/l NAA+ 1 mg/l BAP dan media Murasighe
and Skoog (MS)+ 2 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA. Amorphophallus muelleri dan A.
variabilis menghasilkan beberapa tunas dari setiap kalus, sedangkan A.
paeoniifolius hanya memunculkan satu tunas dari setiap kalus.
Kultur jaringan A. paeoniifolius perlu diteliti lebih lanjut berdasarkan
penelitian Isnaini et al. (2012) agar menghasilkan tunas yang banyak dalam satu
kalus seperti pada A. muelleri. Penelitian yang dapat dilakukan dengan
mengombinasikan penggunaan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) BAP dan NAA yang
berpotensi untuk pertumbuhan tunas lebih banyak.
Penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) pada kultur jaringan diperlukan
karena senyawa pada ZPT berperan untuk merangsang pertumbuhan serta
perkembangan sel, jaringan, dan organ tanaman menuju arah diferensiasi tertentu.
Zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam media adalah BAP dan NAA. BAP
adalah salah satu jenis sitokinin yang berfungsi untuk meningkatkan pembelahan
sel pada jaringan tanaman serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan
tanaman (Zulkarnain 2009). Sedangkan NAA adalah salah satu jenis auksin yang
dalam media kultur berfungsi untuk meningkatkan embriogenesis somatik pada
3
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian zat pengatur
tumbuh BAP dan NAA dalam multiplikasi tunas suweg.
1.3 Hipotesis
Pemberian zat pengatur tumbuh NAA dan BAP dengan konsentrasi yang
berbeda mempengaruhi pertumbuhan kalus menjadi tunas.
1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
2.1 Suweg (Amorphophallus paeoniifolius)
2.1.1 Bioekologi suweg (Amorphophallus paeoniifolius)
Araceae terdiri dari 106 genus yang meliputi lebih dari 3.300 jenis, dan
Indonesia merupakan kawasan yang memiliki keanekaragaman paling besar
sekitar 31 genus (Tjahyani 2010). Jenis yang terdapat di Indonesia salah satunya
adalah suweg (Amorphophallus paeoniifolius) dengan taksonomi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotiledoneae
Ordo : Arales
Famili : Araceae
Genus : Amorphophallus
Spesies : Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson
Suweg (Amorphophallus paoeniifolius) merupakan sinonim dari
Amorphophallus campanulatus, elephant yam (Inggris), beles (Sunda), dan sobek
(Madura), termasuk dalam famili talas-talasan (Araceae) memiliki daun yang
terletak di ujung tangkainya, daun majemuk terbagi dalam 3 cabang, jumlah
helaian daun tergantung pertumbuhan tanaman, dan berwarna hijau (Pitojo 2007).
Ukuran daun dari kecil hingga besar dengan diameter sampai satu meter. Tangkai
daun muda berwarna hijau muda berbelang putih panjangnya 50-150 cm (Deptan
2002), Sedangkan tangkai daun tua berwarna hijau tua berbelang putih atau
berwarna hijau kecoklatan berbelang putih keabu-abuan. Pada ujung tangkai daun
tidak terdapat umbi tetas, bubil, atau matak (Gambar 1). Suweg memiliki umbi
berbentuk bulat, berkulit cokelat kemerahan, daging umbi berwarna
5
(a) (b) (c)
Gambar 1 Suweg di alam (a) Tumbuhan suweg, (b) Batang suweg, dan (c) Daun suweg.
(a) (b) (c)
Gambar 2 Umbi suweg (a) Umbi suweg beserta mata tunas, (b) Mata tunas, dan (c) Bagian dalam umbi suweg.
Bunga muncul setelah daun hilang dari permukaan tanah, terdiri atas
tangkai bunga, seludang, dan tongkol (Gambar 3a). Tongkolnya berbau tidak enak
terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian bawah bunga betina, bagian tengah bunga
jantan, dan bagian atas adalah bagian bunga yang mandul (LIPI 1980). Buah
suweg sulit ditemukan karena bunga akan layu dan rusak setelah mekar beberapa
hari dan kematangan bunga jantan dan betina tidak serentak sehingga jarang
terjadi pembuahan (Gambar 3b).
By: isnaini
(a) (b) Gambar 3 (a) Bunga dan (b) Buah suweg.
Suweg berasal dari Asia tropika, tersebar di Malesia mulai dari Jawa,
Filipina sampai ke Pasifik. Tumbuh di daerah vegetasi sekunder, di tepi-tepi hutan
dan belukar, hutan jati, hutan desa, dengan ketinggian tempat mencapai 800 meter
dpl dan suhu antara 25-35°C (Deptan 2002). Jenis tersebut tumbuh dan
berkembang paling baik pada curah hujan 1000-1500 mm selama masa
pertumbuhan. Naungan diperlukan dalam pertumbuhan suweg untuk
meningkatkan produksi umbi sebanyak 50-60%. Jenis tanah yang cocok untuk
suweg adalah tanah lempung berpasir, pH tanah untuk pertumbuhan suweg antara
6-7.
2.1.2 Manfaat suweg (Amorphophallus paeoniifolius)
Pemanfaatan suweg telah dilakukan di Negara Filipina yaitu dengan
mengeringkan umbi suweg kemudian diolah menjadi tepung sebagai bahan dasar
pembuatan roti (Deptan 2002). Menurut Utami (2008) umbi suweg dapat menjadi
sumber pangan karena memiliki kandungan air 72.14% , abu 1.10%, protein
3.25%, lemak 0.33%, dan karbohidrat 23.18%. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Faridah et al. (2007) bahwa umbi suweg mengandung karbohidrat tergolong
rendah yaitu 23.18% sehingga dapat menekan kadar gula darah dan dapat
digunakan untuk terapi penderita diabetes mellitus. Faridah (2005) menyatakan
bahwa umbi suweg termasuk pangan dengan indeks glikemik (IG) rendah yaitu
sebesar 42 sehingga baik dikonsumsi untuk kesehatan penderita diabetes mellitus.
Menurut Nugroho (2007), umbi suweg baik untuk pencernaan, stimulan hati
(liver), dan menambah nafsu makan.
By: isnaini
7
2.2 Perbanyakan Suweg
2.2.1 Perbanyakan konvensional
Perbanyakan suweg dapat dilakukan dari lima macam benih yaitu mata
tunas pada kulit umbi, mata tunas utama dari umbi, umbi seutuhnya, anakan dari
umbi, dan tanaman muda suweg (Pitojo 2007). Perbanyakan dari mata tunas umbi
lebih mudah daripada bagian lainnya karena mudah penanganannya, mudah
dipindahkan tempatnya, mudah dikemas, dan relatif tidak memerlukan waktu
lama untuk dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman. Perbanyakan
dari benih mengalami kendala karena benih mengalami masa dormansi pada
periode 5-6 bulan dan benih tidak mudah didapatkan.
Tanah yang kompak diperlukan untuk pertumbuhan suweg dengan
pengairan atau kadar air yang baik. Ukuran lubang tanam yang diperlukan yaitu
60 cm × 60 cm × 45 cm dengan didasar lubang diberi campuran tanah dan pupuk
kandang (Flach & Rumawas 1996). Jarak tanam disesuaikan dengan jenis
perbanyakannya seperti untuk benih jarak tanam 10 cm dan umbi 35-90 cm.
Suweg memerlukan naungan untuk hidup, jenis tanaman yang menaungi
diantaranya pinus, pisang, cokelat atau kopi.
2.2.2 Kultur jaringan
Kultur jaringan merupakan cara pemuliaan konvensional guna
menghasilkan varietas-varietas baru melalui haploidisasi, penggabungan
protoplasma (protoplasmatic fusion) dan kejenteraan genetik (genetic
engineering) (Wattimena 1988). Kultur jaringan adalah istilah umum yang
ditujukan untuk budi daya secara in vitro terhadap berbagai bagian tumbuhan.
Menurut Zulkarnain (2009) teknik kultur jaringan dikemukakan oleh Schwan dan
Schleiden dengan teori totipotensi yang menyatakan bahwa sel-sel bersifat
otonom dan mampu beregenerasi menjadi tanaman lengkap.
Kultur jaringan dapat dilakukan pada setiap bagian tanaman termasuk pada
kalus hasil kultur sebelumnya. Kultur kalus memerlukan suatu lingkungan yang
terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas mikroorganisme (Santoso &
Nursandi 2001). Kultur kalus memerlukan pH asam pada media tanam, pH awal
Adapun tujuan yang diperoleh dari kultur kalus menurut Santoso dan Nursandi
(2001), yaitu:
1. Menjamin kesinambungan kerja kultur
2. Sebagai upaya konservasi penyedia bank plasma nutfah yang efisien
3. Memproduksi senyawa metabolit sekunder.
2.2.3 Manfaat kultur jaringan
Manfaat kultur jaringan yang utama adalah menghasilkan tanaman dengan
sifat fisiologis dan morfologi sama dengan induknya dalam jumlah banyak dan
waktu relatif singkat. Menurut Santoso dan Nursandi (2001) manfaat kultur
jaringan adalah (1) didapatkannya tanaman mutan yang penting dalam studi
genetik (2) mendapatkan tanaman yang bebas dan bahkan tahan terhadap serangan
bakteri dan virus (3) usaha produksi senyawa metabolit melalui kultur kalus
terutama untuk senyawa metabolit penting. Menurut Zulkarnain (2009) manfaat
kultur jaringan sebagai pelestarian plasma nutfah, memproduksi tanaman
sepanjang tahun, dan memperbanyak tanaman yang sulit diperbanyak secara
vegetatif konvensional seperti stek maupun cangkok.
2.3 Kultur Jaringan Amorphophallus
Penelitian mengenai kultur jaringan Amorphophallus yang telah dilakukan
diantaranya oleh Hu dan Li (2007), Imelda et.al (2008), Mayasari (2007), dan
Isnaini et al. (2012). Hu dan Li (2007) melakukan mikropropagasi A. albus
dengan menggunakan zat pengatur tumbuh 0.5 mg/l NAA dan 2.0 mg/l BA, kalus
menjadi padat setelah tujuh hari, dan tiga minggu kemudian muncul bakal tunas.
Bakal tunas Amorphophallus muelleri berawal dari pembengkakan pada
kalus yang membentuk tonjolan-tonjolan (Imelda et al. 2008). Jumlah tunas
dengan perpanjangan yang cepat dihasilkan pada media MS dengan penambahan
BAP dan NAA walau jumlah tunas sedikit. Kombinasi 0.2 NAA mg/l dan 2 mg/l
BAP menghasilkan 15 tunas.
Perbanyakan iles-iles (Amorphophallus mulleri Blume) secara kultur in
vitro dilakukan oleh Mayasari (2007) dengan pemberian Zat Pengatur Tumbuh
NAA (Naphtalena Acetic Acid) dan BAP (6-Benzylaminopurin) menghasilkan
9
menghasilkan jumlah tunas yang banyak yaitu sebesar 2.20. Selain itu, ZPT NAA
0.2 mg/l dan BAP 1.5 mg/l merupakan kombinasi terbaik untuk pertumbuhan
kalus iles-iles yaitu sebesar 42.68 % dengan jumlah 6 eksplan yang berkalus.
Penelitian Amorphophallus dilakukan oleh Isnaini et al. (2012) dengan
sumber eksplan berasal dari urat daun muda untuk perbanyakan famili Araceae
terhadap Amorphophallus muelleri, A. paeoniifolius, dan A. variabilis.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, bakal tunas muncul pada minggu ke 11
setelah inkubasi untuk A. paeoniifolius JW 386b dan diikuti oleh A. muelleri JW
384 dengan sebelumnya membentuk kalus. Menurut Isnaini dan Yuzammi (2012)
media MS dengan penambahan BAP 2 mg/l dan NAA 0.5 mg/l merupakan media
terbaik untuk penggandaan tunas suweg, tetapi jumlah tunas yang dihasilkan
belum optimal.
2.4 Karakteristik BAP dan NAA
Auksin didefinisikan sebagai zat tumbuh yang mendorong elongasi
jaringan koleoptil pada percobaan-percobaan bio-assay dengan avena atau
tanaman lainnya (Wattimena 1988). NAA (Naphtalena Acetic Acid) adalah auksin
sintetik yang memiliki keaktifan biologis seperti IAA, digunakan untuk
pertumbuhan akar. Menurut Wattimena (1988), aktivitas auksin sintetik
dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Kesanggupan senyawa tersebut untuk dapat menembus lapisan
kutikula atau epidermis yang berlilin
2. Sifat translokasi di dalam tanaman
3. Pengubahan auksin menjadi senyawa yang tidak aktif di dalam
tanaman (destruksi atau pengikatan)
4. Berinteraksi dengan hormon tumbuh lainnya
5. Spesies tanaman
6. Fase pertumbuhan
7. Lingkungan (suhu, radiasi, dan kelembaban).
NAA (Naphtalena Acetic Acid) merupakan auksin sintesis yang digunakan
untuk meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel, dan pembentukan akar
berarti meningkatkan. Menurut Santoso dan Nursandi (2001) auksin dalam kultur
in vitro dikenal untuk menginduksi terjadinya kalus, mendorong proses
morfogenesis kalus membentuk akar atau tunas, mendorong embriogenesis, dan
mempengaruhi kestabilan genetik sel tanaman.
Sitokinin mempengaruhi proses fisiologi tanaman yaitu mendorong
pembelahan sel sehingga aktivitas ini menggolongkan suatu zat menjadi kriteria
utama sitokinin (Wattimena 1988). Salah satu jenis sitokinin sintetik yaitu BAP
(Benzyl Amino Purin) berperan untuk memacu pertumbuhan dan morfogenesis
dalam kultur jaringan (Santoso & Nursandi 2001). Aktivitas utama sitokinin
adalah sitokinesis atau pembelahan sel. Aktivitas ini yang menjadi kriteria utama
untuk menggolongkan suatu zat pengatur tumbuh ke dalam sitokinin (Wattimena
1988). Peranan sitokinin penting dalam kultur in vitro untuk menginduksi
perkembangan dan pertumbuhan eksplan. BAP merupakan salah satu jenis
sitokinin sintetik yang banyak digunakan dalam kultur in vitro.
Interaksi antara sitokinin dan auksin dalam kultur in vitro terjadi untuk
menginteraksikan senyawa-senyawa kimia dan dipengaruhi oleh lingkungan
seperti cahaya dan suhu. Inisiasi akar, embriogenesis, dan induksi pembentukan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Konservasi
Tumbuhan Kebun Raya Bogor, selama 4 bulan mulai dari bulan Juni hingga
September 2012. Namun, pengamatan secara visual masih dilakukan sampai bulan
Desember 2012.
3.2 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini untuk membuat media
adalah timbangan, botol kultur, oven, alumunium foil, karet gelang, pH meter,
timbangan analitik, labu erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, pengaduk, pipet,
pipet volumetrik, magnetik stirer, kompor, panci, timmer dan autoclave. Peralatan
yang dibutuhkan untuk subkultur (penanaman) antara lain pinset, scalpel, laminar
air flow cabinet, api spiritus, gunting, handsprayer, tisu/ kapas, cawan petri, wrap
plastic, jas laboratorium, masker, serta rak-rak untuk menempatkan botol kultur.
Selain itu, diperlukan alat selama pengamatan antara lain alat tulis, tally sheet, dan
kamera.
Media dasar berfungsi sebagai suplai nutrisi bagi eksplan. Media dasar
yang digunakan adalah Murashige dan Skoog (MS) (Lampiran 3). Bahan yang
dibutuhkan untuk membuat media MS adalah unsur makro, mikro dan vitamin.
Jenis media tanam berupa gel padat, menggunakan agar-agar khusus yang tidak
berwarna dan bersifat netral (gelrite). Gula digunakan sebagai cadangan makanan
dan aquades sebagai pelarut seluruh media. Zat pengatur tumbuh yang digunakan
adalah BAP (Benzyl Adenin Purin) dengan taraf 1 mg/l, 2 mg/l, dan 3 mg/l, serta
NAA (Naphtalena Acetic Acid) dengan konsentrasi 0.25 mg/l, 0.5 mg/l, dan 0.75
mg/l. Selain itu, dibutuhkan HCl dan KOH untuk mendapatkan pH yang sesuai
dalam pembuatan media. Bahan tanaman yang digunakan adalah kalus suweg JW
383 koleksi Laboratorium Kultur Jaringan PKT Kebun Raya Bogor dalam media
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Sterilisasi alat
Alat-alat yang akan digunakan dalam kegiatan kultur jaringan seperti botol
kultur, pinset, scalpel, cawan petri, pipet, pengaduk, gelas piala, labu takar dicuci
bersih menggunakan sabun cair. Kemudian, alat-alat yang digunakan dalam
penanaman disterilisasi dengan membungkus alat-alat tersebut menggunakan
kertas tebal dan selanjutnya semua alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam oven
selama kurang lebih 24 jam.
3.3.2 Sterilisasi lingkungan kerja
Pembersihan laboratorium dilakukan setiap hari dengan membersihkan
lantai. Pengepelan dan penyemprotan rak kultur dengan alkohol juga dilakukan
secara berkala. Pembersihan tempat kerja (laminar air flow cabinet) dapat
dilakukan dengan mengelap permukaan atau meja kerja menggunakan kapas atau
tisu yang telah disemprot alkohol 70%. Lalu, sebelum dan selama pemakaian,
blower atau peniup udara dalam laminar air flowcabinet harus dinyalakan untuk
menghindari adanya kontaminan yang masuk ke dalam botol kultur ketika
penanaman. Kemudian sebelum melakukan pekerjaan maka dilakukan
penyemprotan dengan alkohol 70% terhadap kedua telapak tangan, botol kultur,
ataupun alat-alat yang akan digunakan dalam penanaman.
3.3.3 Pembuatan media tanam
Pembuatan media tanam dilakukan dengan mencampur seluruh bahan
yang sudah ditimbang ke dalam satu liter aquades, kemudian diaduk hingga
merata. Langkah selanjutnya mengukur pH menggunakan pH meter, hingga
didapatkan pH ±5.7. Kemudian masukkan agar gelrite 2.01 gram/liter dan
panaskan hingga mendidih, selama proses pemanasan larutan harus tetap diaduk
agar semua bahan tercampur dengan sempurna. Pemberian BAP dan NAA sesuai
dengan taraf yang direncanakan, larutan BAP yang digunakan adalah 0 mg/l, 1
mg/l, 2 mg/l dan 3 mg/l, sedangkan NAA yang digunakan adalah 0 mg/l, 0.25
mg/l, 0.5 mg/l, dan 0.75 mg/l. Pencampuran antara media dasar dengan hormon
diaduk hingga merata.
Penuangan dilakukan menggunakan wadah tuang yang berujung lancip
13
lebih 15 ml setiap botol. Botol yang telah terisi media segera ditutup
menggunakan alumunium foil dengan ukuran 10 cm x 10 cm kemudian ikat
dengan karet untuk mencegah kontaminasi, pengikatan dengan karet sebaiknya
tidak terlalu rapat untuk mencegah pecahnya tutup botol saat proses sterilisasi
dengan tekanan dan suhu tinggi.
Proses sterilisasi media dilakukan menggunakan autoclave pada suhu
121⁰C -126⁰C dan tekanan 1.5 atm selama 15 menit. Media yang sudah steril
ditempatkan pada ruang media kemudian disimpan selama 3 hari untuk
memastikan media tidak mengalami kontaminasi.
3.3.4 Penanaman / Subkultur
Penanaman eksplan suweg dilakukan di dalam laminar air flow cabinet.
Eksplan berupa kalus kemudian dipotong dan dimasukkan ke dalam botol kuljar
yang sudah terdapat media perlakuan. Setelah selesai penanaman eksplan, botol
kultur diletakan pada rak di ruang kultur.
3.4 Rancangan Percobaan
Percobaan ini dilakukan pada tahap subkultur dengan jenis eksplan kalus.
Adapun rancangan percobaan ini dirancang dengan menggunakan percobaan
faktorial dua faktor dengan dasar rancangan acak lengkap (RAL). Faktor pertama
adalah konsentrasi BAP dengan empat taraf yaitu 0 mg/l, 1 mg/l, 2 mg/l, dan 3
mg/l. Faktor yang kedua yakni konsentrasi NAA dengan empat taraf yaitu 0 mg/l,
0.25 mg/l, 0.5 mg/l, dan 0.75 mg/l. Dengan demikian terdapat 42= 16 perlakuan dan setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan sehingga seluruhnya terdapat 240
satuan percobaan. Setiap ulangan terdiri dari lima botol yang berisi satu eksplan.
Berikut merupakan gambaran interaksi antar faktor dari percobaan yang
dilaksanakan :
Tabel 1 Interaksi faktor jenis zat pengatur tumbuh dengan konsentrasinya
3.5 Pengambilan Data
Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 12 minggu setelah penanaman
dan peubah yang diamati yaitu :
a. Eksplan yang hidup dicirikan oleh adanya eksplan yang tumbuh akar dan
tumbuh tunas.
b. Eksplan yang mengalami browning (pencoklatan)
c. Eksplan yang mengalami kontaminasi dicirikan oleh adanya jamur
(cendawan) dan bakteri.
Selain itu, untuk mengetahui pengaruh pemberian ZPT pada pertumbuhan
kalus suweg maka dilakukan pengamatan terhadap:
a. Warna kalus
b. Tekstur kalus
c. Jumlah akar pada kalus
d. Jumlah tunas pada kalus
3.6 Analisis Data
Perhitungan parameter kualitatif meliputi persentase kontaminasi oleh
jamur dan bakteri, browning (pencoklatan), dan kematian pada eksplan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
% Tingkat kontaminasi = % Tingkat pencokelatan = % Tingkat keberhasilan = Keterangan : N adalah jumlah total eksplan yang tersedia pada setiap perlakuan
Adapun model linear rancangan percobaan yang digunakan yaitu sebagai
berikut (Mattjik & Sumertawijaya 2002) :
15
Keterangan :
Yijk : Hasil pengamatan terhadap eksplan Amorphophallus poeniifolius pada
perlakuan BAP ke-I, NAA ke-j, dan ulangan ke-r
μ : Nilai tengah umum (rata-rata populasi)
αi : Pengaruh perlakuan BAP ke-i
βj : Pengaruh perlakuan NAA ke-j
(αβ)ij : Pengaruh interaksi perlakuan BAP ke-i dan NAA ke-j
εijk : Pengaruh acak pada perlakuan BAP ke-i, NAA ke-j dan ulangan ke-r
Hipotesis :
H0 : P1 = P2= Pi= 0
H1 : ada satu Pi ≠ 0
Uji Hipotesis :
Terima H0 = Perlakuan pada kultur tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat
kontaminasi pada selang kepercayaan 95% (α=0.05)
Terima H1 = Sekurang-kurangnya perlakuan pada kultur berpengaruh nyata
terhadap tingkat kontaminasi pada selang kepercayaan 95% (α= 0.05)
Untuk mengetahui pengaruh yang diberikan pada percobaan dilakukan
uji-F yang diperoleh dari hasil analisis ragam atau analysis of variance (ANOVA).
Kemudian dibandingkan dengan F tabel pada selang kepercayaan 95% (α=0.05) dengan kaidah :
1. Jika F hitung < F tabel maka H0 diterima, H1 ditolak sehingga
perlakuan pada kultur tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat
kontaminasi.
2. Jika F hitung > F tabel maka H0 ditolak H1 diterima sehingga
perlakuan pada kultur berpengaruh nyata terhadap tingkat
kontaminasi.
Pengujian hasil pengamatan dilakukan uji Duncan untuk mengetahui beda
antar perlakuan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat
4.1 Tingkat Keberhasilan Kultur dan Gangguannya
Penanaman eksplan atau subkultur dilakukan secara bertahap dengan tiga
kali ulangan dalam setiap perlakuan. Setiap ulangan terdiri dari 5 eksplan pada
setiap perlakuan. Perlakuan yang digunakan sejumlah 16 sehingga terdapat 80
eksplan setiap ulangan, dan total eksplan yang diamati adalah 240 eksplan.
Selama pengamatan 12 minggu terhadap kalus suweg diperoleh keberhasilan
eksplan hidup sebesar 94.17% atau 226 eksplan.
Gangguan pada kultur jaringan sering terjadi akibat media kultur, eksplan
dan lingkungan yang kurang steril. Gangguan tersebut dapat mengakibatkan
kontaminasi dan pencoklatan (browning). Kontaminasi yang ditemukan dalam
penelitian terdiri dari kontaminasi oleh jamur dan bakteri. Kontaminasi oleh
bakteri dan jamur sebesar 2.08% atau 5 eksplan, serta pencoklatan (browning)
sebesar 3.75% atau sebanyak 9 eksplan.
Kontaminasi oleh bakteri memiliki ciri yaitu adanya cairan berwarna
bening seperti lendir (Gambar 4a). Kontaminasi oleh bakteri sulit untuk ditangani
karena belum diketahui jenis bakterinya dan sulit untuk mempertahankan jaringan
untuk tetap hidup (Mayasari 2007). Kontaminasi oleh jamur dicirikan dengan
adanya bintik-bintik hitam disekitar eksplan kemudian terdapat benang-benang
halus berwarna putih di sekitar eksplan (Gambar 4b). Kontaminasi ini terjadi
diduga karena kurang sterilnya lingkungan kerja saat penanaman dan jenis media
kultur.
Santoso dan Nursandi (2001) menyatakan bahwa kontaminasi dapat terjadi
jika semakin kaya komponen unsur hara suatu media maka semakin besar peluang
kontaminasi. Murasighe dan Skoog (MS) merupakan media kaya komponen unsur
hara yang digunakan pada penelitian sehingga potensi kontaminasi semakin besar
terjadi.
Pencoklatan (browning) merupakan kejadian yang mungkin terjadi dalam
kultur jaringan. Pencoklatan (browning) terjadi pada 8 minggu setelah tanam
17
kultur bagian bawah kemudian menjadi kecoklatan di sekitar eksplan dan seluruh
media kultur (Gambar 4c). Selain itu, menurut Santoso dan Nursandi (2001)
pencoklatan (browning) terjadi karena media dan suplemen media yang beragam,
penggunaan bahan sterilisasi, pengirisan, dan penggunaan api.
(a) (b)
(c)
Gambar 4 Kondisi eksplan (a) Kontaminasi oleh bakteri, (b) Kontaminasi oleh jamur, dan (c) Pencoklatan (browning).
4.2 Pengaruh Pemberian BAP dan NAA
Pemberian BAP dan NAA mempengaruhi keberhasilan hidup eksplan
terhadap warna kalus, tekstur kalus, jumlah akar, dan jumlah tunas.
4.2.1 Warna kalus
Pemilihan kalus tidak dilakukan berdasarkan warna kalus, karena warna
kalus tidak menunjukkan keadaan kalus tersebut mati atau hidup. Warna awal
eksplan ketika penanaman terdiri dari satu warna dan kombinasi warna (Gambar
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 5 Warna eksplan pada awal penanaman (a) Cokelat tua, (b) Putih, (c) Hijau muda, dan (d) Kombinasi cokelat dan hijau muda.
Media kontrol (0 mg/l BAP + 0 mg/l NAA) memberikan perubahan warna
yang tidak jauh berbeda dengan warna kalus saat awal penanaman. Perubahan
warna pada media kontrol terjadi pada 5 MST. Awal penanaman kalus berwarna
cokelat muda, di tengah pengamatan menjadi warna cokelat tua dan cokelat muda
hingga akhir pengamatan berwarna cokelat tua (Gambar 6).
(a) (b)
Gambar 6 Warna eksplan pada (a) 5 MST dan (b) 12 MST.
Eksplan pada perlakuan tanpa BAP pada umumnya menghasilkan warna
cokelat muda dan tua. Sedangkan Eksplan dengan 1 mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA,
2 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA, dan 3 mg/l BAP + 0.75 mg/l NAA menghasilkan
19
embriogenik (Gambar 7) . Hal ini dapat terjadi karena BAP berfungsi untuk
pembelahan sel, sehingga berpengaruh terhadap morfogenesis kalus baru (Santoso
& Nursandi 2001). Menurut Zulkarnain dan Lizawati (2011) warna kalus
didominasi oleh warna putih,kuning muda, krem dan coklat yang menandakan
adanya indikasi sifat-sifat embriogenik yang mengarah kepada perkembangan
embrio somatik. Pada penelitian Zulkarnain dan Lizawati (2011) ditemukan kalus
berwarna hitam maka kalus tersebut mati. Namun, pada hasil pengamatan kalus
suweg berwarna hitam tidak dapat diidentifikasi sebagai kalus mati karena warna
kalus yang hitam masih dapat tumbuh yang dicirikan dengan perubahan warna di
waktu selanjutnya. Kalus suweg dikatakan mati jika kalus tersebut lembek dan
mengempis jika ditekan.
(a) (b)
Gambar 7 Eksplan pada perlakuan (a) 0 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA, dan (b) 3 mg/l BAP + 0.75 mg/l NAA.
Kemampuan eksplan dalam menyerap makanan berbeda tergantung dari
umur kalus, kalus yang digunakan dalam penelitian merupakan hasil subkultur
sebelumnya sehingga umurnya berbeda-beda. Semakin lama umur eksplan maka
semakin banyak membutuhkan makanan dan fasenya berbeda. Peletakan botol
eksplan disimpan dalam rak secara memanjang dan dalam ruang kultur terdapat
air conditioner (AC) untuk mengatur suhu. Botol eksplan yang diletakan dekat AC
dengan suhu ± 240C warna eksplan kebanyakan menjadi cokelat tua dan hitam. Sedangkan eksplan yang diletakkan jauh dari AC menghasilkan warna eksplan
yang bervariasi antara lain cokelat muda, hijau muda, pink dan putih. Pada suhu
ruang 280C - 300C, warna eksplan lebih bervariasi seperti putih, merah muda, cokelat muda, dan hijau muda. Hal ini dimungkinkan karena suweg dapat hidup di
4.2.2 Tekstur kalus
Tekstur kalus pada awal penanaman tidak ditentukan, sehingga pada 240
botol eksplan terdiri dari kalus bertekstur remah dan kompak (Gambar 8). Tekstur
remah sebesar 57.5% atau 138 eksplan dan tekstur kompak sebesar 42.5% atau
102 eksplan.
Hasil yang diperoleh yaitu tekstur kalus mengalami perubahan hampir di
setiap perlakuan, kecuali perlakuan 1 mg/l BAP + 0 mg/l NAA dan 1 mg/l BAP +
0.75 mg/l NAA tidak mengalami perubahan tekstur. Pada 1 MST hingga 3 MST
banyak eksplan mengalami perubahan tekstur yang kemudian tekstur menjadi
tetap hingga 12 MST. Perubahan tekstur tersebut pada umumnya dari tekstur
kompak menjadi remah. Hasil yang diperoleh eksplan bertekstur kompak sebesar
34.58% dan tekstur remah sebesar 63.33%.
(a) (b)
Gambar 8 Tekstur kalus (a) Remah dan (b) Kompak.
Tekstur kalus dapat berubah disebabkan oleh komposisi BAP dan NAA
yang diberikan. Komposisi BAP tinggi dapat menghambat proses morfogenesis
dalam pembentukan tunas, begitu pula dengan pemberian NAA yang tinggi dapat
menghambat kerja pada kalus. Kombinasi penggunan BAP dan NAA menjadikan
tekstur kalus remah mengidentifikasikan terjadinya pembelahan sel sehingga
menghambat pembentukan akar dan tunas. Pembelahan sel terjadi sehingga kalus
menjadi remah dan membesar seperti bengkak. Pembengkakan kalus terjadi pada
perlakuan 1 mg/l BAP + 0.75 mg/l NAA, 2 mg/l BAP + 0.75 mg/l NAA, dan 3
mg/l BAP + 0.75 mg/l NAA. Menurut Zulkarnain dan Lizawati (2011)
pembentukan kalus diawali oleh terjadinya pembengkakan pada permukaan kalus,
yang kemudian dilanjutkan oleh adanya perubahan warna, struktur dan tekstur
21
Jika kalus sebelumnya berasal dari media tanpa ZPT kemudian diberi
perlakuan dengan penambahan ZPT maka akan mempengaruhi morfogenesis
kalus. Selain itu, lamanya kalus dalam media perlakuan mempengaruhi
pembentukan tekstur kalus. Penggunaaan BAP dengan konsentrasi tinggi dan
masa yang panjang sering kali menyebabkan regenerasi sulit berakar dan dapat
menyebabkan penampakan pucuk abnormal (Gunawan, 1987).
4.2.3 Jumlah akar
Pemberian BAP tidak berpengaruh pada perlakuan terhadap jumlah akar,
sedangkan pemberian NAA berpengaruh terhadap jumlah akar (Lampiran 1). Hal
ini dapat terjadi diduga karena BAP sebagai sitokinin dalam jumlah yang lebih
besar dari NAA dapat membantu pertumbuhan akar.
Kalus suweg menghasikan akar pada 16 perlakuan yang diujikan. Hasil
penelitian menunjukan pertumbuhan akar paling banyak terdapat pada perlakuan 1
mg/l BAP + 0.75 mg/l NAA sejumlah 2.87 akar/minggu (Tabel 2). Sedangkan
pada perlakuan 1 mg/l BAP + 0 mg/l NAA, 2 mg/l BAP + 0 mg/l NAA, dan 3
mg/l BAP + 0 mg/l NAA menunjukan hasil terkecil dengan nilai 0.07
akar/minggu.
Tabel 2 Jumlah akar suweg pada setiap perlakuan
BAP
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama untuk kolom yang sama pada masing-masing peubah, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada α=0.05.
Bakal akar kalus muncul pada beberapa eksplan dengan waktu dan
perlakuan yang berbeda. Bakal akar muncul saat 1 MST sebanyak 14 akar dari 12
eksplan. Terdapat 1 eksplan yang memiliki akar sebanyak 2 yaitu pada perlakuan
tanpa ZPT BAP dengan 0.25 mg/l NAA dan 0.5 mg/l NAA. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, NAA bekerja sesuai dengan fungsinya yaitu untuk
pembentukan akar. Menurut Purnamaningsih (2002), taraf auksin lebih rendah
menghasilkan akar lebih baik daripada taraf auksin yang lebih tinggi. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Zulkarnain (2009), bahwa NAA berfungsi untuk
meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel, dan pembentukan akar adventif.
Eksplan yang telah memunculkan bakal akar pada 1 MST tidak semua
tumbuh menjadi akar, namun terdapat eksplan yang menjadi kalus kembali. Akar
tersebut tidak tumbuh diduga karena kemampuan eksplan dalam menyerap
makanan untuk berkembang, interaksi dengan ZPT NAA , dan suhu ruangan.
Menurut Wattimena (1988) aktivitas auksin sintetik dipengaruhi oleh interaksi
dengan hormon tumbuh lain dalam media, fase pertumbuhan, dan lingkungan
(suhu, radiasi, dan kelembaban). Eksplan yang tumbuh menjadi bakal akar dari 1
MST sejumlah 9 eksplan. Pada 12 MST eksplan-eksplan tersebut berkembang
sehingga memiliki 2 sampai 3 bakal akar pada setiap eksplannya.
Imelda et.al (2007) menjelaskan bahwa, indole butyric acid (IBA) atau
naphthalene acetic acid (NAA) adalah zat pengatur tumbuh yang dapat
menginduksi pembentukan tunas in vitro yang ditambahkan dalam media kultur,
namun pada jenis-jenis tertentu akar dapat langsung terbentuk tanpa perlakuan.
Benzyl Amino Purin (BAP) berfungsi untuk pembelahan sel dalam morfogenesis,
sedangkan NAA berfungsi untuk mendorong proses morfogenesis kalus
membentuk akar atau tunas. Pemberian BAP dan NAA berpengaruh pada
pertumbuhan akar, karena BAP akan mengendalikan kerja NAA agar eksplan
tetap segar dan dapat melanjutkan proses morfogenesis. Menurut Santoso dan
Nursandi (2001) auksin dalam kultur in vitro dikenal untuk menginduksi
terjadinya kalus, mendorong proses morfogenesis kalus membentuk akar atau
tunas, mendorong embriogenesis, dan mempengaruhi kestabilan genetik sel
tanaman.
Pertumbuhan akar pada eksplan umumnya menghasilkan akar lebih dari
satu. Pertumbuhan akar dipengaruhi oleh auksin dalam perlakuan ini adalah NAA.
Menurut Balogun et al. (2007) pada media MS dengan penambahan BAP dan
NAA pada kalus labu menunjukkan pertumbuhan akar dengan baik. Ciri awal
akar muncul yaitu dengan pembengkakan kalus, kemudian berubah warna, dan
23
bagian bawah atau samping kalus yang kemudian akar turun hingga ke dasar
media kultur (Gambar 9).
(a) (b)
Gambar 9 Eksplan menghasilkan akar lebih dari satu pada satu kalus (a) Tampak samping dan (b) Tampak depan.
4.2.4 Jumlah tunas
Hasil menunjukkan bahwa kalus menghasilkan tunas dengan sebelumnya
memiliki ciri-ciri berubah warna kalus, membengkak, dan kemudian tumbuh
seludang berwarna hijau dengan ujung berwarna putih yang merekah (Gambar
10). Tunas merupakan bagian tumbuhan yang muncul dari bagian batang yang
ditebang, ketiak daun, dan bagian lainnya. Kalus merupakan bagian tumbuhan
yang berpotensi tumbuh tunas dari bagian mana saja, karena memiliki sifat
totipotensi. Menurut Imelda et al. (2008) bakal tunas Amorphophallus muelleri
berawal dari pembengkakan pada kalus yang membentuk tonjolan-tonjolan. Bakal
tunas mulai terlihat pada perlakuan 2 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA saat 3 MST yang
dicirikan dengan adanya tonjolan pada kalus. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian Hu dan Li (2007) pada Amorphophallus albus dengan menggunakan zat
pengatur tumbuh 0.5 mg/l NAA dan 2.0 mg/l BA, kalus menjadi padat setelah
tujuh hari, dan tiga minggu kemudian muncul bakal tunas.
(a) (b)
Pemberian BAP dan NAA memberikan pengaruh yang sama terhadap
jumlah tunas (Lampiran 2). Jika pemberian BAP dan NAA diberikan dengan
mengombinasikan keduanya maka akan terlihat konsentrasi BAP dan NAA yang
berpengaruh terhadap jumlah tunas.
Jumlah tunas dengan pemberian BAP dan NAA terbaik pada perlakuan 1
mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA yaitu 0.47 tunas/minggu (Tabel 3).Sedangkan pada
hasil penelitian Isnaini dan Yuzammi (2012), perlakuan 2 mg/l BAP + 0,5 mg/l
NAA menjadi media terbaik untuk penggandaan tunas suweg. Interaksi BAP dan
NAA yang berbeda konsentrasi akan menghasilkan pertumbuhan morfogenesis
yang berbeda. BAP dan NAA adalah salah satu ZPT yang sering digunakan dalam
multiplikasi tunas karena dapat memberikan reaksi yang cepat dalam waktu tidak
lama.
Tabel 3 Jumlah tunas suweg pada setiap perlakuan
BAP masing peubah, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada α=0.05.
Multiplikasi tunas terjadi pada tiga eksplan yaitu pada perlakuan 1 mg/l
BAP + 0.25 mg/l NAA, 3 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA, dan 3 mg/l BAP + 0.75
mg/l NAA (Gambar 11). Pertumbuhan eksplan pada tiga perlakuan tersebut
berbeda dengan eksplan lainnya. Pada eksplan tersebut, tunas telah muncul pada 3
MST namun pertumbuhannya tidak dengan bentuk yang sama. Perlakuan 3 mg/l
BAP + 0.5 mg/l NAA dan 3 mg/l BAP + 0.75 mg/l NAA menghasilkan
25
terdapat akar dan bakal tunas yang kemungkinan akan muncul menjadi tunas. Hal
ini dapat terjadi karena konsentrasi sitokinin dan auksin yang tinggi sehingga
menghasilkan pertumbuhan eksplan yang baik.
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 11 Multiplikasi tunas pada perlakuan (a) 1 mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA tampak atas, (b) 1 mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA dari tampak samping, (c) 3 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA (d) 3 mg/l BAP + 0.75 mg/l NAA, (e) 3 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA, dan (f) 3 mg/l BAP + 0.75 mg/l NAA.
Pengamatan rutin selesai pada 12 MST namun, pengamatan secara visual
masih dilakukan hingga 25 MST. Hasil pengamatan secara visual ditemukan kalus
perlakuan 2 mg/l BAP + 0.75 mg/l NAA dan 2 mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA
(Gambar 12).
(a)
(b)
Gambar 12 Hasil pengamatan visual pada perlakuan (a) 2 mg/l BAP + 0.75 mg/l NAA dan (b) 2 mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA.
4.3 Peran Kultur Jaringan Suweg (Amorphophalus paeoniifolius) dalam Konservasi
Tiga landasan konservasi yaitu perlindungan, pengawetan, dan
pemanfaatan masih mengalami kendala. Upaya konservasi untuk melestarikan
tumbuhan dengan teknik budidaya terus dikembangkan agar tetap lestari. Selama
ini tindakan konservasi yang dilakukan melalui in vivo yaitu dengan menanam biji
dan umbi.
Konservasi dengan in vivo membutuhkan lahan yang luas karena biasa
dilakukan di hutan lindung, kebun raya, dan sebagainya. Selain itu, perlu waktu
yang intensif untuk perawatan agar tumbuhan tidak terserang hama penyakit.
Sehingga perlu teknik yang menunjang teknik budidaya yang sudah ada tersebut
dengan tempat yang lebih kecil dan kondisi aseptik agar terlindung dari hama dan
penyakit.
Sehingga kultur jaringan dapat dilakukan untuk berbagai jenis tumbuhan,
termasuk tumbuhan pangan yang berasal dari hutan. Suweg merupakan tumbuhan
yang terdapat di hutan primer di Indonesia yang bermanfaat untuk pangan dan
27
Pemanfaatkan suweg sebagai pangan telah dilakukan di Negara Filipina
yaitu digunakan sebagai bahan dasar tepung roti (Deptan 2002). Faridah (2005)
menyatakan bahwa umbi suweg termasuk pangan dengan indeks glikemik (IG)
rendah yaitu sebesar 42 sehingga baik dikonsumsi untuk kesehatan penderita
diabetes mellitus. .Menurut Nugroho (2007), umbi suweg baik untuk pencernaan,
stimulan hati (liver), dan menambah nafsu makan.
Masyarakat lebih menyukai pangan dan obat yang terdapat di alam.
Pangan dan obat tersebut jika tidak dikembangbiakan maka akan terancam punah
sehingga perlu upaya konservasi. Upaya konservasi suweg melalui kultur jaringan
diharapkan dapat membantu kebutuhan masyarakat dalam pangan dan obat.
Perbanyakan suweg di Indonesia saat ini salah satunya telah dilakukan
oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan pembuatan demplot
untuk penanaman kultivar unggul hasil seleksi di Kabupaten Kulonprogo Daerah
Istimewa Yogyakarta (LIPI 2012). Hal ini untuk memperkenalkan masyarakat
terhadap tumbuhan berpotensi pangan disekitar rumah mereka. Selain itu, LIPI
memperkenalkan masyarakat pada transfer teknologi budidaya yang mudah,
murah dan efisien, serta sosialisasi teknologi pengolahan berbagai macam produk
dari suweg (Gambar 13). Upaya konservasi lain yang dilakukan yaitu dengan
teknik kultur jaringan yang dilakukan oleh para peneliti di Laboratorium Kultur
Jaringan Pusat Konservasi Kebun Raya Bogor.
(a) (b)
5.1 Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini adalah perlakuan 1 mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA
merupakan perlakuan terbaik untuk multiplikasi tunas. Namun, hasil multiplikasi
tunas masih terbatas sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menghasilkan multiplikasi
tunas yang optimal dengan penggunaan BAP dan NAA dengan konsentrasi yang
DAFTAR PUSTAKA
Balogun MO, Akande SR, Ogunbodede BA. 2007. Effects of plant growth regulators on callus, shoot and root formation in fluted pumpkin (Telfairia occidentalis). African Journal of Biotechnology Vol. 6 (4): 355-358.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2002. Pengenalan & Budidaya Talas, Garut, Ganyong, Gembili, Ubi Kelapa, Gadung, Iles-iles, Suweg/Acung. Departemen Pertanian. Jakarta.
Faridah DN. 2005. Sifat fisiko-kimia tepung suweg (Amorphophallus campanulatus B1.) dan indeks glikemiknya. Jurnal Tekno1. Dan Industri Pangan 16(3).
Faridah D, Prangdimurti E, Adawiyah DR. 2007. Pangan fungsional dari umbi suweg dan garut: kajian daya hipokolesterolemik dan indeks glikemiknya [laporan]. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. IPB Press. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Flach, Rumawas. 1996. Plants yielding non-seed carbohydrates. http://www.proseanet.org/prohati2/browser.php?docsid=474 [27 Desember 2012].
Hu J, Li J. 2007. Morphogenetic pathway in petiole derived callus of
Amorphophallus albus in vitro. Acta Physiol Plant 30:389–393.
Imelda M, Wulansari A, Poerba YS. 2007. Mikropropagasi tanaman iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume). Berita Biologi 8(4).
Imelda M, Wulansari A, Poerba YS. 2008. Regenerasi tunas dari kultur tangkai daun iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume). Biodiversitas 9(3): 173-176.
Isnaini Y, Sri W, Yuzammi. 2012. Aplikasi kultur jaringan untuk perbanyakan araceae berpotensi pangan: Amorphophallus muelleri Blume, A. poeniifolius (Dennst.) Nicolson, dan A. variabilis Blume. Makalah dipresentasikan pada Seminar Bersama di IPB International Conference Center. 1-2 Mei 2012.
Isnaini Y,Yuzammi. 2012. Aplikasi teknik kultur jaringan dalam pengadaan bibit suweg. Makalah dipresentasikan pada Seminar Pertemuan Pakar Bioteknologi.
. 2012. Budidaya dan pemanfaatan suweg (Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson) sebagai bahan pangan fungsional, kultivar hasil seleksi di Kabupaten Kulon Progo, DIY. http://pkpp.ristek.go.id/index.php/penelitian/detail/347 [26 November 2012].
Mattjik AA, Sumertasijaya M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. IPB Press. Bogor.
Mayasari I. 2007. Perbanyakan iles-iles (Amorphophallus mulleri Blume) secara kultur in-vitro dengan pemberian zat pengatur tumbuh NAA (Napthalene Acetic Acid) dan BAP (6-Benzylaminopurin) [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nugroho.2007. Potience of Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson and
Amorphophallus konjac Koch as medical food plant [laporan]. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali. LIPI.
Pitojo S. 2007. Suweg. Kanisius. Yogyakarta.
Purnamaningsih R. 2002. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dan beberapa gen yang mengendalikannya. Buletin AgroBio 5(2):51-58.
Santoso U, Nursandi F. 2001. Kultur Jaringan Tumbuhan. Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.
Tjahyani E. 2010. Studi venasi daun pada beberapa tumbuhan tergolong suku araceae di Kota Malang [skripsi]. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang. Malang.
Utami AR. 2008. Kajian indeks glikemik dan kapasitas in vitro pengikatan kolesterol dari umbi suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) dan umbi garut (Maranta arundinaceae L.) [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wattimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. PT Bumi Aksara.Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil sidik ragam (Anova) respon perlakuan BAP dan NAA terhadap jumlah akar
Lampiran 2 Hasil sidik ragam (Anova) respon perlakuan BAP dan NAA terhadap jumlah tunas
Source DF JKP JKT Fhitung Pvalue
f1 3 0.07583333 0.02527778 0.48 0.6975
f2 3 0.08916667 0.02972222 0.57 0.6413
f1*f2 9 0.48750000 0.05416667 1.03 0.4370
Keterangan: *interaksi
33
6 CuSO45H2O 0,025 0,00125
7 CoCl2.6H2O 0,025 0,00123
Vitamin 10
1 Niacin 0,5 0,025
2 Pyridoxine 0,5 0,025
3 Thiamin 0,4 0,02
4 Glycine 2 0,1