• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kinerja Pelaksanaan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Laban (GERHAN) di Pulau Ambon Provinsi Maluku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kinerja Pelaksanaan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Laban (GERHAN) di Pulau Ambon Provinsi Maluku"

Copied!
356
0
0

Teks penuh

(1)

AMBON PROVINSI MALUKU

RICHARD HUMPRY AMANUPUNNJO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kinerja Pelaksanaan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) Di Pulau Ambon Provinsi Maluku adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Richard Humpry Amanupunnjo

(3)

RICHARD HUMPRY AMANUPUNNJO. Performance Analysis of National Forest and Land Rehabilitation Movement (GERHAN) in Ambon. Supervised by BRAMASTO NUGROHO and HARIADI KARTODIHARDJO.

Critical land areas increasing vast by year accros Indonesia because of forest and land degradation. Those phenomenon and its negative impact also happened in the Province of Moluccas. Critical land occupied 59.24% from the total area of Moluccas. Due to this situation, since 2004 Indonesian Ministry of Forestry made Moluccas as one of the priority target for GERHAN. This study aimed to analyze the technical, sosioeconomics, and institutional aspect of GERHAN, analyze factors that cause fluctuations on GERHAN achievment, and formulate a stategic recomendations for the future implementation of forest and land rehabilitation. The study used an evaluation approach by comparing the implementation of GERHAN at Moluccas with a standard performances for GERHAN setting up by Indonesian Ministry of Forestry. Study result showed that GERHAN were carried out on three types of tenure, wich is private land, clans land, and state forest area. The community whose join the program generally did not understand the technical aspect, especially in the planning stages. From financial point of view referring to the analysis of BCR, NPV, and IRR, using 15% interest rate and 30 years as a program period, GERHAN are feasible on all typologies, with first typology as an exception. The failure of investment in GERHAN mainly caused by forest fire and without any involvement from the local institutions. The farmer institusion is ad hoc and not permanent.

(4)

Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (GERHAN) di Pulau Ambon Provinsi negatifnya terjadi pula di wilayah Provinsi Maluku yang memiliki lahan kritis seluas sekitar 59,24% atau 2.762.754 ha dari luas wilayah daratnya 5.418.500 ha. teknis terkait. Medote analisis data yang digunakan meliputi analisis deskriptif, analisis kelayakan finansial, analisis sensitivitas, analisis interaktif dan analisis gap.

Hasil analisis menunjukan bahwa penyusunan rencana teknis kegiatan GERHAN disusun oleh aparat Dishutlanak Kota Ambon dan pihak BPDAS Waehapu. Selanjutnya untuk memudahkan pelaksanaan kegitan tersebut di lapangan maka pihak Dishutlanak Kota Ambon menyusun petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana. Lokasi yang dipilih untuk kegiatan GERHAN yaitu lahan-lahan yang memiliki persentase kritis sebesar 80% dengan topografi bergelombang hingga bergunung serta kemiringan mencapai 20%. Sesuai dengan analisis pada aspek teknis dapat dikemukakan bahwa kegiatan penanaman yang dilakukan belum sesuai dengan petunjuk teknis yang ada, yaitu pada proses penanaman tidak didahului dengan pemupukan, di samping itu pada proses penggalian lubang, tidak dibedakan antara horizon A dan B. Akibatnya banyak tanaman yang tidak dapat tumbuh dengan baik.

(5)

GERHAN di lokasi penelitian mampu memberikan keuntungan kepada responden sebagai pengelola, dengan nilai BCR pada luasan 1,5 ha hingga 5 ha (tipologi 2 sampai dengan tipologi 6) menunjukan > 1, yaitu 1,09 sampai dengan 2,67 namun pada luasan tipologi 1 tidak layak secara finansial yaitu dengan luas kepemilikan lahan 1 ha tidak melebihi 1 yaitu 0,75 (dapat dilihat pada Tabel 16). Melalui perhitungan nilai BCR telah diketahui bahwa pengelolaan hutan rakyat GERHAN di lokasi penelitian menguntungkan secara ekonomi. Besarnya keuntungan yang diperoleh tersebut dapat dinilai melalui perhitungan NPV. Nilai NPV merupakan nilai diskonto dari selisih manfaat dan biaya untuk setiap aliran keluar masuknya uang. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa NPV pengusahaan hutan rakyat GERHAN pada luasan 1 ha (tipologi 1) bernilai negatif yaitu sebesar ( -11.32. 038) sedangkan pada luasan 1,5 ha hingga 5 ha (tipologi 2 sampai dengan 6) menunjukan nilai positif Rp. 4.507.946 hingga Rp. 107.449.436 (lihat tabel 16). Sehingga dapat diketahui bahwa jika terjadi perubahan akan berpengaruh terhadap ketahanan suatu usaha terhadap fenomena pasar yang terjadi. Dengan melihat persen tumbuh yang terjadi dilokasi penelitian yaitu % sampai dengan %, maka dapat disimpulkan bahwa ketertarikan masyarakat pada program GERHAN rendah.

Pada aspek Kelembagaan kepemilikan lahan dibagi menjadi tiga yaitu 1) lahan milik individu; 2) lahan milik Marga; dan 3) lahan milik negara.

Selanjutnya aksi bersama (collective action) dapat terwujud apabila dalam

pembentukan kelompok tani perlu dipertimbangkan homogenesitas masyarakat. Kelompok tani yang homogen lebih mudah digerakkan dalam pelaksanaan kegiatan GERHAN. Agar kegiatan GERHAN dapat berjalan dengan baik maka diperlukan keterbukaan informasi dari pihak pemerintah terhadap masyarakat maupun sebaliknya. Selain itu perlu memaksimalkan pelibatan masyarakat sesuai kearifan-kearifan lokal yang ada.

Selanjutnya kegagalan penanaman disebabkan oleh kebakaran hutan, penanaman tidak didahului dengan pemupukan dan tidak adanya pengawasan yang berkelanjutan. Di samping itu waktu penanaman tidak sesuai dengan musim penghujan dan perekrutan tenaga kerja bukan dari masyarakat setempat dapat menimbulkan akibat kecemburuan sosial. Karena itu pelibatan masyarakat dalam kegiatan GERHAN sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan sosial budaya dan kelembagaan masyarakat setempat, sehingga mengurangi tingkat kegagalan pelaksanaan kegiatan tersebut.

Dengan demikian agar kegiatan GERHAN dapat mencapai hasil yang ditargetkan maka perlu pelibatan masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam proses penyusunan rencana sampai pada evaluasi kegiatan tersebut.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

AMBON PROVINSI MALUKU

RICHARD HUMPRY AMANUPUNNJO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

Segala puji, hormat dan syukur kepada Bapa di Sorga, karena atas kasih dan

anugerah-Nya sehingga tesis dengan judul : Analisis Kinerja Pelaksanaan

Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) Di Pulau Ambon

Provinsi Maluku ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan

tinggi kepada :

1. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS dan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

selaku dosen pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku

dosen penguji.

2. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

yang telah membantu penyelesaian tesis.

3. Rekan-rekan mahasiswa Ilmu Pengelolaan Hutan Angkatan 2008 untuk

kebersamaan, persahabatan dan masukannya dalam mempertajam analisis tesis

ini.

4. Pemerintah Daerah Provinsi Maluku dan Pemerintah Kota Ambon yang telah

mendukung penelitian ini.

5. Pimpinan beserta staf Dinas Kehutanan Provinsi Maluku, Dinas Kehutanan,

Pertanian dan Peternakan Kota Ambon, yang telah membantu dalam

pengumpulan data.

6. Keluarga tercinta, kedua orang tuaku, Semuel Matheus Amanupunnjo dan

Juliana Christina Amanupunnjo/M (alm), istriku Fenthy Yourika

Amanupunnjo/L, anak-anakku Craig Justin Amanupunnjo dan Kimberly

Sharon Amanupunnjo, serta seluruh keluargaku atas dukungan doa, kesabaran

dan dukungannya selama ini.

7. Pemerintah Provinsi Maluku melalui program beasiswa untuk penelitian dan

penyelesaian studi S2 di IPB.

8. Teman-teman PERMAMA yang telah memberikan dorongan dan dukungan

doa.

Bogor, Agustus 2011

(11)

Penulis dilahirkan di Ambon (Maluku), 22 Januari 1978 dari Bapak Semuel

Matheus Amanupunnjo dan Mama Juliana Christina Amanupunnjo/M. Penulis

merupakan putra kedua dari dua bersaudara. Pada tanggal 21 Januari 2006

penulis menikah dengan Fenthy Yourika Amanupunnjo/L dan dikaruniai dua

orang anak, yaitu Craig Justin Amanupunnjo dan Kimberly Sharon Amanupunnjo.

Penulis lulus dari SD Xaverius B Ambon pada Tahun 1990, SMP Katolik

Ambon 1993, SMA Xaverius Ambon Tahun 1996. Menyelesaikan pendidikan

sarjana kehutanan di Universitas Pattimura, lulus pada Tahun 2001. Pada tahun,

2008 penulis melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah Pascasarjana Institut

(12)

I.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kerusakan hutan dan lahan mendorong munculnya lahan kritis yang

semakin luas setiap tahun di seluruh Indonesia. Kekritisan lahan ditunjukan oleh

meningkatnya bencana alam seperti banjir, kekeringan, erosi, sedimentasi, dan

tanah longsor. Kerugian yang timbul akibat bencana tersebut mencakup kerugian

jiwa dan harta dalam jumlah yang sangat besar. Berdasarkan pengukuran luas

hutan pertengahan tahun 1980 (program pemetaan RePPProt) dan MoFEC tahun

1996, dalam jangka waktu 12 tahun telah terjadi penurunan luas hutan di

Indonesia sebesar ± 20 juta hektar atau rata-rata sebesar 1,7 juta hektar per tahun

(World Bank, 2001). Angka tersebut telah melebihi taksiran laju deforestasi yang

dapat diterima yaitu berkisar antara 0,6 – 1,3 juta hektar per tahun (World Bank

2001). Laju deforetasi ini diperkirakan semakin besar dan tidak terkendali karena

semakin meningkatnya kegiatan illegal logging dan konversi hutan menjadi areal

penggunaan lain. Luas hutan indonesia mengalami penurunan rata-rata 1,872 juta

hektar (1,7%) per tahun pada periode tahun 1990-2000, dan 1,871 juta hektar

(2%) per tahun pada periode tahun 2000-2005 (FAO 2007).

Persoalan penurunan luas hutan ini sebenarnya bukan hanya dihadapi oleh

Indonesia saja, tapi negara-negara lainnya juga mengalami hal serupa, walaupun

dalam degradasi dan masa yang berbeda. Hutan tropis Indonesia (dan negara Asia

serta negara berkembang lainnya) sebenarnya mengalami tekanan serupa dengan

yang dialami negara-negara maju beberapa abad yang lalu (Maini dan Ullsten

1993).

Upaya untuk memerangi laju deforestasi dan degradasi hutan serta

melakukan recovery hutan yang rusak telah banyak dilakukan melalui berbagai

cara. Diantara upaya tersebut adalah rehabilitasi hutan dan lahan yang telah

dilakukan Indonesia sejak tahun 1950-an. Hingga kini prestasi rehabilitasi

memang terus bertambah luas setiap tahun, namun ternyata tidak mampu

mengejar laju pertambahan luas deforestasi. Sehingga ketimpangan laju

(13)

Oleh karena itu, Departemen Kehutanan menempatkan Program

Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) sebagai prioritas yang strategis dalam

rangka memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan

(Peraturan Menhut No.P.03/Menhut-V/2010). Telah banyak upaya yang dilakukan

pemerintah dalam meredam laju degradasi hutan, utamanya melalui kegiatan

reboisasi hutan dan penghijauan. Namun, upaya tersebut hingga saat ini belum

juga mampu memberikan hasil nyata. Hal ini disebabkan pemerintah masih

memandang masalah deforestasi sebagai masalah fisik semata, sehingga

pendekatan teknologi selalu diandalkan untuk memecahkannya.

Kegagalan tersebut di atas dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, deforestasi

hanyalah gejala dari masalah lain, baik ekonomi, sosial, politik dan kebijakan.

Tanpa upaya untuk memecahkan masalah yang sebenarnya, kegiatan rehabilitasi

akan terus mengalami kegagalan; Kedua, kegiatan rehabilitasi tidak menarik

(atraktif) bagi masyarakat pengguna lahan untuk berpatisipasi, karena tidak

mampu memecahakan masalah mereka secara langsung, misalnya meningkatkan

pendapatan atau mengurangi resiko kegagalan panen (Kartodihardjo 2006).

Fenomena kerusakan hutan dan lahan dan dampak negatifnya terjadi pula di

wilayah Provinsi Maluku yang memiliki lahan kritis sekitar 59,24% atau

2.762.754 ha dari luas wilayah daratnya 5.418.500 ha, sementara itu untuk Kota

Ambon luas lahan kritis adalah 25.344 ha yang terdapat, di dalam kawasan

adalah 9.755 ha diluar kawasan adalah 15.589 ha (Dinas Kehutanan Provinsi

Maluku 2005). Oleh karena itu Provinsi Maluku merupakan salah satu satu

wilayah sasaran kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan

(GERHAN).

Secara Nasional kegiatan GERHAN mulai dilaksanakan sejak tahun 2003,

sedangkan di Provinsi Maluku baru dilaksanakan tahun 2004. Handadhari (2004)

menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan akselerasi upaya Rehabilitasi

Hutan dan Lahan (RHL), maka mulai tahun 2003 Pemerintah mencanangkan

suatu Gerakan yang akan melibatkan seluruh instansi dan lapisan masyarakat

dalam upaya pemulihan sumberdaya alam melalui GERHAN yang dilakukan pada

Daerah Aliran Sungai (DAS). Pemulihan fisik hutan dan lahan yang rusak serta

(14)

teknis. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut, lapangan kerja dan kesempatan

usaha akan tercipta dari kegiatan yang bersifat langsung maupun

kegiatan-kegiatan lain yang terkait. Disamping itu, hasil-hasil kegiatan-kegiatan penanaman hutan

dan lahan pada saatnya nanti akan menghasilkan produksi berupa bahan baku

kayu dan hasil buah-buahan .

Program GERHAN juga dirancang untuk implementasi good governance

dalam kegiatan reboisasi hutan dan lahan, artinya sistem rehabilitasi hutan dan

lahan tersebut dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi,

akuntabilitas, profesionalisme, efektifitas dan efisiensi (Dinas Kehutanan Provinsi

Maluku 2005). Secara prinsip, good governance menghendaki proses transformasi

struktural dan transaksi proses pengelolaan hutan dan lahan yang merupakan

prasyarat dan prakondisi bagi berlangsungnya upaya pemulihan mutu sumberdaya

hutan dan lahan berkelanjutan. Dari sisi proses, kegiatan GERHAN dimaksudkan

untuk menstimulir kesadaran semua pihak baik pemerintah, swasta maupun

masyarakat. Kesadaran yang akan ditumbuh-kembangkan adalah bahwa

disamping memanfaatkan hutan maka budaya menanam sangat diperlukan sebagai

respon untuk memulihkan mutu sumberdaya hutan dan lahan yang menurun

akibat pemanfaatan yang eksesif (Dinas Kehutanan Provinsi Maluku 2005). Dari

sisi struktur, GERHAN memuat tujuan mendorong transformasi struktural

pengelolaan bibit, pembuatan tanaman, bangunan konservasi tanah, kegiatan

spesifik (percontohan tanaman unggul, renovasi persemaian, pengelolaan tanaman

dengan silvikultur intensif, serta kegiatan pendukung antara lain koordinasi antar

departemen (interdep), pengembangan kelembagaan serta pengawasan dan

pengendalian).

Bentuk pembagian peran dan tanggungjawab pelaksanaan GERHAN

dilakukan melalui penjenjangan peran dan tanggungjawab baik dalam proses

pengendalian, pembinaan maupun pelaksanaan. Agar kegiatan GERHAN dapat

dikembangkan secara berkelanjutan dan terlembagakan dalam kehidupan

masyarakat, maka diperlukan upaya pebaikan dan penyempurnaan melalui

mekanisme umpan balik (negative feedback). Untuk memperoleh data dan

(15)

monitoring dan evaluasi kinerja tiap satuan kerja (Satker) yang telah ditetapkan

sebagai pelaksanaan kegiatan melalui penilaian kinerja.

Penilaian kinerja adalah proses utnuk mengukur kinerja setiap tahapan

kegiatan GERHAN. Hasil penilaian kinerja adalah informasi kinerja pelaksanaan

yang menggambarkan seberapa besar standar prosedur telah dilaksanakan dan

standar hasil telah dapat dicapai. Pencapaian kinerja unit satker diukur dari

pencapaian keberhasilan pelaksanaan setiap unsur pengelolaan kegiatan yaitu

perencanaan, pelaksanaan dan pengedalian baik ketetapan prosedur maupun

hasilnya dari unit-unit petak/blok kegiatan yang berada di wilayah satker.

Dengan demikian, pada prinsipnya penilaian kinerja pelaksanaan

kegiatan-kegiatan dalam rangka GERHAN adalah proses audit manajemen kegiatan-kegiatan

GERHAN. Aspek-aspek manajemen kegiatan yang dinilai meliputi aspek

perencanaan, pelaksanaan, pembinaan administrasi, pembinaan teknis dan

pengedalian.

Teknik penilaian dilakukan terhadap sistem manajemen kegiatan mulai dari

input, proses dan output. Dalam teknik penilaian sistem yang demikian maka

dibutuhkan pemahaman tentang prosedur kegiatan, tupoksi unit-unit manajemen

terkait dan kemampuan merekonstruksi proses pelaksanaan dan melakukan

pengambilan keputusan berdasarkan professional judgment. Hal ini menjadi kunci

validitas penilaian mengingat kegiatan yang dinilai adalah kegiatan-kegiatan yang

telah dilaksanakan. Penilaian kinerja dilakukan secara berjenjang dari penilaian

setiap petak/unit kegiatan, penilaian per jenis kegiatan diukur dari pencapaian

aspek-aspek perencanaan, pelaksanaan, pembinaan dan pengedalian untuk jenis

kegiatan yang bersangkutan. Pencapaian kinerja unit satker diukur dari

pencapaian keberhasilan pelaksanaan setiap jenis kegiatan.

Dalam pelaksanaannya, program GERHAN tidak terlepas dari beberapa

masalah baik yang bersifat teknis maupun non-teknis. Permasalahan teknis yang

dihadapi GERHAN antara lain terjadi pada hal-hal yang berkaitan dengan

pelaksanaan reboisasi kawasan hutan “remote area”, proses pembuatan tanaman

serta pemeliharaan pada lokasi-lokasi reboisasi yang terisolir, ketersediaan tenaga

kerja dan kualitas bibit serta persen hidup tanaman yang rendah. Dalam aspek

(16)

keterlambatan turunnya dokumen anggaran GERHAN, kurang optimalnya peran

Tim Pengendali Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan masih rendahnya dukungan

Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota terutama dalam penyediaan anggaran

pendamping. Sampai dengan saat ini Departemen Kehutanan masih “sendiri”

dalam menyelenggarakan GERHAN. Departemen terkait lainnya bahkan belum

mengalokasikan anggaran untuk GERHAN. Permasalahan non-teknis lainnya

ialah masih lemahnya kelembagaan masyarakat serta masih belum lancarnya

aliran laporan dari daerah. Meskipun demikian, pada dasarnya GERHAN dapat

dikatakan sebagai sebuah “Gerakan Moral” yang berskala Nasional. Idealnya

Gerakan Moral ini memerlukan komitmen publik, komitmen institusional,

komitmen kelompok masyarakat dan akhirnya komitmen masyarakat/publik.

Komitmen-komitmen ini penting agar pada saatnya nanti masyarakat menjadi

tahu, mau, mampu dan sadar melaksanakan upaya RHL secara mandiri

(Dephut 2006).

1.2Kerangka Pemikiran

Berdasarkan data statistik kehutanan (2008), degradasi dan deforestasi hutan

tahun 2000 – 2005 adalah 5.447.800 ha dengan rata-rata tahunan 1.089.560 ha.

Degradai dan deforestasi yang terjadi di dalam kawasan hutan seluas 766.602 ha

dan di luar kawasan hutan seluas 1.303.935 ha. Provinsi Maluku memiliki luas

5.418.500 ha yang terdiri dari areal hutan seluas 4.663.346 ha, dan areal tak

berhutan seluas 775.154 ha. Selanjutnya pada areal berhutan seluas 4.663.346 ha

tersebut terdiri dari hutan suaka alam (HAS) seluas 475.443, hutan lindung (HL)

dan hutan konversi (HPK) seluas 1.633.646 ha. Berdasarakan data Dinas

Kehutanan (Dishut) Provinsi Maluku (2007) bahwa terdapat 2.762.754 ha atau

59,24 % dari kawasan hutan merupakan kawasan kritis yang perlu direhabilitasi.

Disamping itu masih terdapat areal di luar kawasan yang juga perlu direhabilitasi

seluas 310.071 ha.

Secara nasional, upaya untuk mengendalikan laju kerusakan hutan

dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) melalui

pencanangan program GERHAN pada tanggal 31 Maret 2003 oleh Presiden RI

(17)

rehabilitasi pada lahan kritis seluas 3 juta hektar yang pelaksanaannya dari tahun

2003-2007. Untuk mendukung keberhasilan kegiatan tersebut maka telah

ditetapkan Surat Keputusan Bersama tiga menteri koordinator yakni Menteri

Koodinator Kesejahteraan Rakyat. Nomor 09/KEP/MENKO/KESRA/III/2003,

Menteri Ekonomi melalui keputusan Nomor KEP.16/M.EKON/03/2003, dan

Menteri Koordinator Politik dan Keamanan melalui keputusan Nomor

KEP.08/MENKO/POLKAM/III/2003, tentang Tim Koordinasi Perbaikan

Lingkungan melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional (Dephut 2008) .

Di Provinsi Maluku target pelaksanaan GERHAN sejak tahun 2004 – 2007

mencapai luas 3.072.825 ha. Untuk kawasan berhutan 2.762.754 ha dan di luar

kawasan hutan 310.071 ha (59 %). Realisasinya sebesar 27.534 ha atau hanya

0,896 % dari total luasan yang harus direhabalitasi dalam kurun waktu 5 tahun.

Hal Ini berarti bahwa capaian kegiatan rehabilitasi setiap tahunnya hanya sekitar

5.506,8 ha dan ini merupakan suatu angka yang sangat kecil. Dengan demikian

luas hutan yang rusak ini memerlukan sekitar 553 tahun untuk dapat direhabilitasi

secara menyeluruh, itupun dengan catatan tidak ada pertambahan luasan hutan

yang rusak, serta dana pemerintah yang disediakan untuk penanganan program ini

masih seperti begini (Limba 2007). Ironis memang, tapi itulah kenyataan yang

harus dihadapi oleh dunia kehutanan di daerah ini.

Di Pulau Ambon luas kawasan hutan yang perlu direhabilitasi berdasarkan

kelompok penutupan lahan pada seluas 9.755 ha, sedangkan luas lahan yang perlu

direhabilitasi di luar kawasan hutan berdasarkan kelompok penutupan lahan pada

seluas 15.589 ha, dan target pelaksanaan GERHAN 2004 – 2007 sebesar 1.335 ha.

Fakta di atas menunjukan bahwa pemerintah memiliki keterbatasan dana yang

dialokasikan untuk merehabilitasi kawasan hutan terdegradasi dan lahan kritis

lainnya. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran sebagai warga negara untuk ikut

peduli terhadap kondisi kerusakan hutan. Disamping itu masyarakat harus

menyadari bahwa kerusakan hutan akan sangat sulit untuk direhabilitasi atau

diperbaiki. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian untuk mencoba

membangun model pelaksanaan RHL yang sesuai dengan kondisi biofisik Pulau

(18)
(19)

1.3Perumusan Masalah

Deforestasi dan degradasi hutan telah menimbulkan kerugian dari aspek

sosial, ekonomi, dan lingkungan. Salah satu upaya untuk menanggulanginya telah

dilaksanakan berbagai program rehabilitasi hutan dan lahan, yang mana salah

satunya adalah GERHAN. Sebagaimana telah diuraikan di depan, GERHAN

adalah program nasional untuk perbaikan kualitas lingkungan yang dalam

pelaksanaannya melibatkan banyak pihak.

Pembangunan kehutanan merupakan salah satu bagian dalam pembangunan

yang terintegrasi ke dalam pembangunan wilayah secara keseluruhan. Program

GERHAN yang merupakan upaya pemerintah dalam rangka pembangunan

kehutanan seharusnya memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan di

samping aspek teknis dan biologi. Perhatian pada aspek-aspek tersebut diyakini

akan memberikan kontribusi positif dalam pencapaian tujuan program GERHAN

pada khususnya dan pembangunan masyarakat (baik sekitar hutan maupun

keseluruhan) pada umumnya. Berdasarkan hasil laporan Lembaga Penilaian

Independen (LPI) diperoleh presentase keberhasilan GERHAN pada tahun 2004

adalah sebesar 29,26 % (sangat jelek),

tahun 2005 adalah 78,51 % (baik), tahun 2006 adalah 66,87 % (cukup/sedang),

tahun 2007 adalah 25,9 % (sangat jelek).

Gap antara laporan dan kenyataan di lapangan merupakan permasalahan

yang perlu untuk dipecahkan. Permasalahan kegagalan program kehutanan, dapat

terjadi karena aplikasi teknologi yang kurang tepat/tidak sesuai dengan kondisi

biofisik setempat, atau dapat pula disebabkan oleh persoalan-persoalan sosial

lainnya. Perlu dicermati bahwa di Provinsi Maluku khususnya Pulau Ambon

kegiatan GERHAN telah dilakukan sejak tahun 2004 dan berakhir tahun 2007.

Karena itu, bagaimana memikirkan masa transisi setelah program GERHAN ini

dan juga bagaimana memperoleh pembelajaran untuk pelaksanaan kegiatan

serupa.

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia (Permenhut)

Nomor: P.08/Menhut-II/2010 Tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementrian

Kehutanan Tahun 2010 – 2014, penyusunan rencana rehabilitasi hutan dan lahan

(20)

dalam pedoman penyusunan Renstra, serta sejalan dengan proses restrukturisasi

program dan kegiatan yang merupakan bagian dari reformasi perencanaan

pembangunan nasional. Sebagai dokumen perencanaan lima tahun, renstra

kementerian tersebut, telah dirumuskan visi yang menggambarkan keadaan yang

ingin dicapai sampai dengan akhir masa renstra. Selanjutnya renstra tersebut juga

telah merumuskan misi yang merupakan upaya-upaya yang akan dilaksanakan

untuk mewujudkan visi, dan tujuan dari masing-masing misi serta sasaran

strategis pembangunan kehutanan tahun 2010-2014. Salah satunya adalah

Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di 32 Provinsi dengan luasan 1.600.000 ha

pada DAS, 2.000.000 ha pada HKm, dan 500.000 ha pada Hutan Desa. Untuk

Provinsi Maluku RHL DAS dengan luasan 31.800 ha dan 2.600 ha untuk Hutan

Desa.

Apabila RHL yang dimulai tahun 2010 tersebut diharapkan akan berhasil

atau sukses khususnya di Maluku, maka Program GERHAN yang telah

dilaksanakan sebelumnya dijadikan ukuran untuk pelaksanaan RHL yang akan

berjalan. Dengan demikian, kinerja GERHAN pada waktu lampau di Maluku

perlu diketahui untuk memastikan rekomendasi yang tepat bagi rencana program

RHL berikutnya.

Dari laporan pelaksanaan GERHAN sebelumnya (Dinas Kehutanan Provinsi

Maluku 2006), dipaparkan bahwa kinerja GERHAN di Maluku khususnya Kota

Ambon berhasil. Namun demikian, permasalahannya adalah indikator yang

digunakan, penilaian kinerja tersebut masih perlu untuk memasukkan indikator

pendukung lainnya, disamping hanya menggunakan faktor teknis, guna

menentukan kinerja GERHAN secara lebih komprehensif. Untuk itu penelitian ini

dibangun dalam rangka menganalisis kinerja GERHAN di Pulau Ambon dengan

mempertimbangkan beberapa faktor seperti aspek teknis, aspek sosial ekonomi,

dan aspek kelembagaan. Pulau Ambon merupakan wilayah yang menarik dan

strategis untuk di teliti, karena lokasi kegiatan GERHAN di pulau tersebut

memiliki aksessibilitas yang sangat baik dengan berbagai stakeholder yang

(21)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana aspek teknis, sosial

ekonomi, dan kelembagaan yang mempengaruhi pelaksanaan GERHAN,

permasalahan-permasalahan yang menyebabkan terjadinya fluktuasi keberhasilan

GERHAN dan rekomendasi apa saja yang dihasilkan bagi pelaksanaan RHL di

Maluku. Untuk mencapai tujuan dimaksud, diperlukan beberapa kajian sebagai

berikut :

1. Mengkaji aspek teknis, sosial ekonomi dan kelembagaan pelaksanaan

GERHAN.

2. Menganalisis permasalahan-permasalahan apa saja yang menyebabkan

terjadinya fluktuasi keberhasilan GERHAN.

3. Menyusun rekomendasi bagi pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan

berdasarkan kinerja GERHAN yang telah diketahui.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna :

1. Sebagai acuan dan sumber informasi terkait pengembangan Rehabilitasi Hutan dan Lahan ke depan di Pulau Ambon.

2.Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi kebijakan dan kelembagaan untuk meningkatkan peranan masyarakat dalam kegitan rehabilitasi hutan dan lahan. 3. Memberikan informasi yang dapat memperkaya Khasanah ilmu pengetahuan

(22)

2.1 Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN)

Untuk memulihkan kembali fungsi hutan dan lahan yang kritis diperlukan

upaya rehabilitasi hutan dan lahan. Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan

untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan

sehingga daya dukung, produktifitas, dan peranannya dalam mendukung sistem

penyangga kehidupan tetap terjaga (Undang-undang Nomor 41 tahun 1999).

Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem

pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran

sungai (DAS). Rehabilitasi mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika

sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan

lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi fungsi hutan dan lahan

(Departemen Kehutanan, 2003b).

Departemen Kehutanan, menggunakan istilah khusus untuk mendefenisikan

upaya rehabilitasi berdasarkan status dan lokasi lahan atau area proyek

rehabilitasi. Pertama adalah reboisasi, atau reforestasi atau rehabilitasi hutan

yaitu kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan. Kedua

adalah penghijauan atau aforestasi atau rehabilitasi lahan yaitu kegiatan

rehabilitasi yang dilaksanakan di luar kawasan hutan yaitu pada lahan masyarakat.

Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia telah dilaksanakan di 400

lokasi. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut

dapat diklasifisikan sebagai berikut (Departemen Kehutanan dalam Tim CIFOR

dan Litbang Dephut, 2004) :

a. 1950 – 1980 : Pendekatan top down.

b. 1990 – pertengahan 1990 : transisi dari pendekatan top-down menuju

pendekatan partisipatif.

c. Akhir 1990 – sampai sekarang : penekanan pada pendekatan partisipatif.

Untuk mengatasi masalah kerusakan hutan yang semakin parah,

Departemen Kehutanan telah mencanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan

(23)

GERHAN merupakan upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta perbaikan

yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama dan terkoordinasi dengan

melibatkan semua stakeholders melalui suatu perencanaan, pelaksanaan serta

pemantauan yang efektif dan efisien (Kementrian Koordinator Kesejahteraan

Rakyat, 2003). Program ini bertujuan untuk mewujudkan perbaikan lingkungan

dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan

secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumberdaya hutan dan lahan

berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air Daerah

Aliran Sungai (DAS), serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat.

(Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2003). GERHAN ini meliputi

dua ruang lingkup yaitu :

1. Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup kegiatan GERHAN ini meliputi dua kegiatan pokok yaitu,

a. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan

Kegiatan pencegahan perusakan lingkungan adalah kegiatan sosialisasi

kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan penegakan

hukum.

b. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi

Kegiatan ini meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi

dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan

rakyat, pemeliharaan tanaman,dan lain-lain) dan pembuatan bangunan

konservasi tanah (dam pengendali, dam penahan, pembuatan teras

(terasering), sumur resapan, dan lain-lain), penyusunan rencana dan

rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan

dan penyuluhan) dan pembinaan.

2. Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah kegiatan GERHAN diarahkan pada daerah-daerah

aliran sungai yang kritis. Pemerintah telah mengidentifikasikan 68 DAS kritis

(24)

2.2 Aspek Teknis

Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Maluku (2006), aspek teknis yang

sangat penting dalam merealisasi kegiatan GERHAN adalah perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan serta pengendalian. Tahapan teknis selanjutnya

dijabarkan ke dalam komponen-komponen kegiatan, dengan memperhatikan

kelayakan lokasi, kelayakan jenis tanaman sesuai kondisi biofisik wilayah, dan

pelaksanaan teknis kegiatan di lapangan merupakan faktor yang sangat perlu

diperhatikan.

2.3 Aspek Sosial Ekonomi

Pembangunan kehutanan merupakan salah satu bagian dalam pembangunan

yang terintegrasi ke dalam pembangunan wilayah secara keseluruhan. Program

GERHAN yang merupakan upaya pemerintah dalam rangka pembangunan

kehutanan seharusnya memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan di

samping aspek teknis dan biologi. Perhatian pada aspek-aspek tersebut diyakini

akan memberikan kontribusi positif dalam pencapaian tujuan program GERHAN

pada khususnya dan pembangunan masyarakat (baik sekitar hutan maupun

keseluruhan) pada umumnya (Departemen Kehutanan 2005).

Dalam perkembangannya, upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk

merehabilitasi hutan dan lahan kritis telah dimulai pada tahun 1960-an. Secara

nasional program ini dicanangkan sebagai program penyelematan hutan dan air.

Dalam pelaksanaannya selama masa orde baru, bahkan sampai masa Reformasi,

program ini belum berhasil dengan baik. Luasan lahan yang direhabilitasi dan

hutan yang terselamatkan belum maksimal (Kartasubrata 1986).

Bila dicermati lebih jauh, fakta ketidakberhasilan tersebut karena

faktor-faktor teknis (teknik pertanian/silvikultur yang tidak sesuai dengan lokasi),

maupun faktor kesesuaian teknik dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat

setempat (Departemen Kehutanan 2005). Misalnya disebabkan karena

kemungkinan oleh keterlibatan petani dalam tahapan perancangan kegiatan,

tanaman yang diberikan tidak disukai petani karena mengurangi ruang untuk

tanaman semusim (yang dibutuhkan petani untuk kehidupan sehari-hari),

(25)

minimnya bimbingan dan penyuluhan dalam hal perawatan/pemeliharaan

tanaman. Selain itu , motif ekonomi juga turut mewarnai dimana penduduk

menganggap lahan tersebut potensial untuk perladangan dan peternakan.

Dalam program ini, diharapkan disamping penerapan aspek kesesuaian

tanaman dengan lokasi setempat, dipertimbangkan juga aspek kesesuaian dengan

sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat.

Menurut Departemen Kehuatanan 2005, Pengelolaan hutan berbasis

masyarakat alternatif pelaksanaan GERHAN, perbedaan persepsi dan cara

pengelolaan serta pemanfaatan hutan seringkali menimbulkan konflik, baik secara

vertikal (pemerintah dengan masyarakat) maupun horisontal (masyarakat dengan

masyarakat). Sebagai catatan sejak tahun 1973 sampai 2003, berbagai kasus

benturan kepentingan dalam pengelolaan hutan telah terjadi, dimana yang paling

banyak adalah benturan kepentingan ekonomi pada kawasan hutan hutan bahkan

termasuk pada kawasan yang harusnya dilindungi.

Untuk menghindarkan konflik dalam pengelolaan hutan diperlukan

perubahan pendekatan pengelolaan, dimana kehutanan bukan lagi semata-mata

dimonopoli oleh negara saja, tetapi milik seluruh pelaku kehutanan yakni

masyarakat, pengusaha dan pemerintah. Diperlukan kerjasama dan keterlibatan

para pihak tersebut untuk mengurangi laju degradasi hutan serta memperbaikinya

dengan menghindari konflik.

Inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah dalam kerangka tersebut adalah

merancang GERHAN, yang dalam pelaksanaanya membuka ruang yang sangat

besar bagi para pihak untuk berpartisipasi. Masyarakat sebagi pelaku, pelaksana

serta sasaran program tersebut seyogianya menangkap peluang tersebut,

berpartisipasi dan berperan aktif untuk mengembangkannya.

2.4Aspek Kelembagaan

2.4.1 Pengertian Kelembagaan

Kelembagaan/institusi didefenisikan sebagai aturan dalam masyarakat atau

organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar individu dalam mengadakan

hubungan-hubungan (Rodgers 1994 diacu dalam Nugroho 2003). Sedangkan

(26)

kelembagaan/institusi adalah aturan main pada suatu masyarakat, atau suatu cara

manusia untuk membentuk hubungan-hubungan di antara sesamanya dengan

membangun insentif-insentif di dalam pertukaran, baik sosial, politik maupun

ekonomi. Ada dua arti berbeda menyertai defenisi tersebut, pertama merujuk

pada organisasi dan kedua merujuk pada aturan main, norma-norma dan

larangan-larangan dalam mengatur perilaku, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Kedua-duanya sangat relevan untuk membahas masalah-masalah pertukaran, karena

dalam pertukaran terjadi interaksi antar individu yang memerlukan aturan main

sekaligus pengorganisasian.

Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang

membungkus aturan main tersebut seperti organisasi pemerintah, bank, koperasi,

pendidikan dan sebagainya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa organisasi

dapat dipandang sebagai perangkat keras dari kelembagaan sedangkan aturan

main merupakan perangkat lunaknya. Karena itu, masih banyak hal yang perlu

dipelajari untuk membangun kelembagaan secara utuh, termasuk mengidentifikasi

kemitraan yang terjadi, kontrak yang melandasi kemitraan, principalagents

relationship, property rights, collecticve action dan lain-lain.

Kelembagaan didefenisikan sebagai suatu pranata sosial yang mengatur

sistem perilaku dan hubungan-hubungan untuk memenuhi kebutuhan khususnya

dalam kehidupan masyarakat. Menurut Kartodihardjo (2006), kelembagaan adalah

perangkat lunak, aturan main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi

kebijakan yang diterapkan di dalamnya. Para pengambil keputusan tidak dapat

memperbaiki penyelenggaraan kehutanan hanya dengan melihat perangkat keras,

hokum yang berlaku dan instruksi-instruksi yang terkandung dalam kebijakan.

Melainkan juga sangat tergantung pada perangkat lunak sebagai bagian penting

untuk menumbuhkan rasa saling percaya, patuh karena peduli yang dapat

diwujudkan dalam bentuk komunikasi serta keterbukaan informasi.

Menurut Wibowo dan Soetino (2003) kelembagaan mengandung 3

komponen utama yaitu :

1. Kepemilikan, hal ini mengandung makna sosial yang berasal dari adanya

(27)

didefenisikan atau diatur oleh hukum, adat/tradisi/konsesus, norma atau

peraturan.

2. Kewenangan, wilayah atau otoritas suatu lembaga atau mengadung

kedua-duanya. Hal ini sangat penting dalam suatu organisasi/institusi untuk

menetukan siapa yang tercakup dan apa yang diperoleh.

3. Representasi, mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi

terhadap apa dan bagaimana proses pengambilan keputusan.

2.4.2 Konsep Hak Kepemilikan (Property Right)

Hak kepemilikan merupakan kumpulan hak‐hak (bundle of rights) yang

diatur melalui aturan tertentu. North (1990) diacu dalam Nugroho (2003) yang

menyatakan bahwa hak kepemilikan merupakan institusi, karena di dalamnya

mengandung norma‐norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat

pengatur hubungan antar individu. Hak tersebut dapat diperoleh melalui

pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasi

pemerintah.

Nugroho dan Kartodihardjo (2009) menyebutkan bahwa konsep hak

kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban

(obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap

sumberdaya. Konsekuensinya diperlukan persyaratan‐persyaratan tertentu agar

hak dapat ditegakkan, yaitu:

1) Adanya pengakuan atas hak dan kewajiban atas sumberdaya. Dalam banyak

hal hak kepemilikan merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam

masyarakat atau pengaturan administratif pemerintah, sehingga tidak

seorangpun dapat menyatakan hak milik tanpa pengakuan dari masyarakat dan

negara. Dengan demikian, hak seseorang harus mampu menumbuhkan

kewajiban orang lain untuk menghormatinya dan hak seseorang harus dapat

menjadi sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang

dimaksud.

2) Memperoleh perlindungan komunitas dan Negara. Konsep pengakuan dan

(28)

komunitas dan Negara melalui pemberian sanksi‐sanksi atas pelanggarannya.

Sepanjang sanksi‐sanksi tersebut tidak dapat dihadirkan dan ditegakkan atau

kalau toh ditegakkan memerlukan biaya transaksi dan penegakan hak

(transaction and enforcement costs) yang sangat mahal, maka kelembagaan

hak kepemilikan yang mengatur hubungan antar individu tersebut akan sia‐sia.

Kasper dan Streit (1998) mengingatkan bahwa institusi tanpa sanksi adalah

tidak ada artinya (institution without sactions is useless).

3) Hak kepemilikan memerlukan biaya penegakan dan biaya eksklusi (exclusion

costs). Semakin mahal biaya‐biaya tersebut, semakin tidak berharga suatu asset/sumberdaya. Demikian pula apabila manfaat yang dapat diperoleh dari

sumberdaya tersebut jauh lebih rendah dari biaya penegakan dan eksklusi,

maka sumberdaya tersebut akan ditinggalkan dan tidak terurus.

4) Karakteristik manfaat sumberdaya menentukan tingkat kesulitan

penegakannya. Menurut North (1990) hak relatif mudah ditegakkan apabila

aliran manfaat dapat diketahui dan konstan, atau aliran manfaat bervariasi ‐

tetapi dapat diprediksi. Sebaliknya hak tidak mudah ditegakkan (biaya

penegakan hak mahal) apabila aliran manfaat dengan mudah dapat dinikmati

pihak lain dan aliran manfaat bervariasi dan tidak dapat diprediksi, maka biaya

untuk menegakkan hak akan sangat mahal, akibatnya masing‐masing pihak

akan berlomba mengeksploitasi manfaat tersebut.

Menurut Nugroho dan Kartodihardjo (2009) Institutional arrangement

(property regime) atas hak kepemilikan dapat bermacam‐macam, yaitu (1) hak

milik pribadi (private property), (2) milik Negara (state property), (3) hak milik

komunal/ adat/ulayat (communal property), (4) milik umum (public property), (5)

hak atas manfaat (user rights), dan (6) tidak berpemilik (open access property or

no‐property right). Syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah (1) dapat

diperjual belikan (tradable), (2) dapat dipindah tangankan (transferable); (3)

dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable) dan (4) dapat

(29)

Menurut FAO (2002), sistem tenurial atas tanah dan sumberdaya alam dapat

digolongkan ke dalam empat kategori umum kepemilikan sebagai berikut:

a. Milik Pribadi (Private Property )

Kepemilikan diberikan kepada suatu badan privat yang terdiri dari satu

orang/individu, suami istri dari suatu keluarga, sekelompok orang, suatu lembaga

baik perusahaan swasta maupun nirlaba. Pada golongan tanah ini badan privat

tersebut dapat mengambil manfaat dari tanah tersebut (sesuai dengan aturan yang

berlaku) untuk kepentingan mereka. Sebagai contoh, dalam suatu masyarakat

dapat diberikan hak kepada individu untuk membuka kebun.

b. Milik Komunal– Adat, Ulayat (Communal (common) Property)

Tanah jenis ini dimiliki secara komunal yang hanya dapat digunakan oleh

anggota dari masyarakat tersebut. Misalnya tanah itu digunakan untuk

menggembalakan ternak oleh masyarakat yang merupakan anggota kelompok.

Anggota masyarakat dari luar hanya dapat memperoleh akses atas tanah komunal

bila memenuhi syarat yang berlaku dalam komunal tersebut.

c. Tidak Berpemilik (Open Access Property or no-property right)

Pada dasarnya tidak ada yang dapat dikatakan sebagai “pemilik” dari tanah

atau sumberdaya alam tersebut. Dengan demikian siapa saja dapat mengambil

manfaat dari sumber daya tersebut. Sebagai contoh perairan laut lepas dimana

nelayan dapat mengambil ikan.

d. Milik Publik atau Umum (Public Property)

Lahan jenis ini merupakan lahan yang hak kepemilikannya diklaim oleh

negara. Tanggung jawab pengelolaannya diserahkan pada satu sektor tertentu

dalam pemerintah. Contohnya adalah di Indonesia, sebagain besar wilayah hutan

yang diklaim sebagai hutan negara berada di bawah tanggung jawab Departemen

Kehutanan.

2.4.3 Konsep Aksi Kolektif (Collective Action)

Nugroho dan Kartodihardjo (2009) menyebutkan bahwa kawasan hutan

(30)

non‐excludable, sangat berisiko menghadapi persoalan hadirnya penunggang

gratis (free rider). Pada situasi demikian, CPRs cenderung akan dieksploitasi dan

dimanfaatkan secara berlebihan untuk memaksimumkan utilitas para individu

yang dapat mengakses (Hardin, 1968). Namun, Gautam dan Shivakoti (2005)

melaporkan bahwa para ahli kelembagaan yaitu Ostrom (1990); Thompson

(1992); McGinnis and Ostrom (1996); Gibson and Koontz (1998); Agrawal and

Gibson (1999); dan Gibson et al. (2000) tidak sepenuhnya menyetujui premis

Hardin tersebut (Nugroho dan Kartodihardjo 2009). Mereka mengatakan bahwa

banyak bukti‐bukti empiris menunjukkan bahwa para pemanfaat CPRs sering

menciptakan tatanan kelembagaan yang dapat melindungi sumberdaya CPRs yang

dimilikinya dan mengatur alokasi pemanfaatan hasil-hasilnya secara efisien dan

lestari melalui aksi‐aksi kolektif yang mereka bangun. Tentu saja bahwa tidak

semua pengguna CPRs berhasil dalam melindungi dan mengelola sumberdaya

mereka secara lestari. Seperti halnya tidak semua pemilik sumberdaya pribadi

(private property) mampu melindungi dan melestarikan sumberdayanya.

Nugroho dan Kartodihardjo (2009) menyebutkan bahwa dalam membangun

aksi kolektif bukan merupakan persoalan mudah. Ada beberapa kompleksitas

dalam membangun aksi kolektif yang perlu diperhatikan, antara lain adalah:

1) Ukuran kelompok (group size) sangat menentukan keefektifan aksi kolektif.

2) Penunggangan gratis (free riders) yang muncul seringkali tidak segera

ditindak sehubungan dengan kedekatan‐kedekatan hubungan sosial dan

persaudaraan serta filosofi menjunjung tinggi keharmonisan dalam

menjalankan kehidupan sehari‐hari masyarakat pedesaan. Ibarat virus perilaku

penunggangan gratis mudah menular, karena penunggang gratis yang tidak

segera ditindak akan segera membangun “aliansi strategis” dengan pihak‐

pihak lain.

3) Heterogenitas komunitas sangat mempengaruhi tingkat kemudahan dalam

membangun aksi kolektif. Semakin homogen masyarakat diharapkan, semakin

mudah membangun aksi kolektif, walaupun tidak berarti tidak mungkin untuk

(31)

4) Aksi‐aksi kolektif membutuhkan kesepakatan multi pihak yang pada banyak

kejadian memerlukan biaya transaksi (transaction costs) yang lebih mahal

dibanding kesepakatan-kesepakatan bilateral.

5) Keberagaman kepentingan dan preferensi individu pada dasarnya sulit

diagregasikan maupun dirata‐ratakan, kecenderungan ini menyebabkan

pengambil keputusan untuk membuat satu aturan untuk semua (one size fits

all), padahal pada kenyataannya multi aspirasi.

6) Aksi kolektif memerlukan multilateral give and take, manfaat‐manfaat yang

dihasilkan tidak secara langsung mudah diperoleh (indirect benefits) dan tidak

selamanya bersifat saling menguntungkan (non mutual), serta hasil‐hasil

kerjasama kolektif sering tidak segera dapat dirasakan. Kondisi demikian akan

menyebabkan kerusakan moral (moral hazard), penunggangan gratis dan

perilaku oportunistik, yang pada akhirnya akan menyebabkan munculnya

tragedy of the common.

7) Kepentingan dan preferensi kolektif sering disampaikan secara tidak sempurna

yang mengakibatkan pengambilan keputusan dilakukan secara voting yang

pada dasarnya tidak menjamin terwakilinya preferensi individu‐individu yang

terlibat.

8) Pengambilan keputusan kolektif sering dilakukan dengan sistem perwakilan

yang rentan menimbulkan principal‐agent problem dan memerlukan agency

costs yang mahal.

9) Apabila wakil yang ditunjuk adalah partai politik dan birokrat cenderung akan

memunculkan fenomena “exploitation of the majority by minorities”, karena

pada dasarnya mereka memiliki kepentingan‐kepentingan sendiri yang sulit

dideteksi.

10)Apabila biaya keikutsertaan dalam pengambilan keputusan bersama dan biaya

informasi untuk mengetahui keragaan, motif dan kepentingan para wakil

mahal dan tidak tertanggulangi oleh individu‐individu yang terlibat, maka

principals jadi tidak aktif dan mentoleransi keputusan yg dibuat wakil‐

wakilnya (rationally ignorant).

Nugroho dan Kartodihardjo 2009, tentu saja identifikasi kompleksitas

(32)

menghindari aksi kolektif dalam penerapan mekanisme pengelolaan CPRs.

Mengingat kemanfaatan aksi kolektif yang sangat strategis dalam penerapan

pengelolaan CPRs, maka kompleksitas-kompleksitas tersebut perlu dicarikan jalan

keluarnya. Untuk itu beberapa langkah perlu dilakukan, antara lain:

1) Membangun kesaling‐percayaan (trust) di antara para pihak yang akan terlibat

dalam mekanisme pengelolaan CPRs. Dengan adanya kesaling‐percayaan

akan mengurangi minat individu‐individu untuk berperilaku penunggangan

gratis, biaya transaksi (information, bargaining, monitoring, and enforcement

costs) dapat diminimalkan, akan memudahkan membagun koordinasi antar pihak, dan sosial cohesion dapat ditingkatkan.

2) Penetapan skala penerapan mekanisme pengelolaan CPRs yang tepat. Hal ini

akan mempengaruhi ukuran kelompok. Apabila penerapan mekanisme

pengeloaan CPR mengharuskan skalanya besar, maka perlu dipertimbangkan

untuk memecah ukuran kelompok ke dalam sub‐sub kelompok yang lebih

kecil, namun masih tetap memiliki kemampuan investasi yang memadai.

3) Memastikan bahwa mekanisme pengelolaan CPRs yang dibangun benar‐benar

dapat memecahkan masalah kolektif yang sedang dihadapi. Hal ini berkaitan

dengan ketepatan pendifinisian akar masalah, tawaran solusi dan enabling

condition yang diperlukan. Ketepatan mekanisme yang dibangun akan

semakin mendekati kebutuhan lokal apabila identifikasi dilakukan oleh

individu/ kelompok/ lembaga‐lembaga yang mempunyai basis pendampingan

masyarakat lokal dengan mekanisme partisipatif.

4) Untuk menumbuhkan partisipasi yang benar, maka diperlukan penguatan

kapasitas para pihak baik melalui pembangkitan kesadaran (raising

awareness), penjelasan konsepsi maupun penyediaan informasi yang tepat dan

akurat. Tanpa kapasitas yang sepadan di antara para actor, maka proses

partisipatif dalam arti sesungguhnya akan sulit dicapai. Dengan demikian

perbedaan kepentingan‐kepentingan para pihak dapat didekatkan dan mampu

diekspresikan dengan sempurna.

5) Aturan dalam mekanisme pengelolaan CPRs yang dibangun memungkinkan

(33)

keterlibatan pemerintah diperlukan, maka harus dipastikan bahwa biaya

partisipasi para pihak yang terlibat dapat diminimalkan.

6) Aturan dalam mekanisme pengelolaan CPRs harus dapat mendefinisikan hak

dan kewajiban secara jelas dan tidak multi‐interpretatif, serta menjamin

adanya keadilan distribusi manfaat, tranparans, dan akuntabel.

2.4.4 Teori Kemitraan (Agency Theory)

Enggertsson (1990) diacu dalam Nugroho (2003) menyebutkan teori

kemitraan yang biasanya digunakan untuk menjelaskan hubungan-hubungan

hierarkis, tetapi secara umum dapat dimanfaatkan pula untuk menjelaskan

berbagai bentuk pertukaran (exchange). Dengan demikian, terdapat dua aspek

penting untuk menjelaskan tentang teori ini yaitu : (1) institusi pertukaran

(institutional exchange) yang menyangkut masalah pemindahan hak kepemilikan

(transfer of property rights), dan (2) masalah-masalah ketidaksepadanan

informasi (asymmetric information).

Kelembagaan didefenisikan sebagai suatu aturan dalam masyarakat atau

organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar individu dalam mengadakan

hubungan-hubungan (Rodgers 1994) diacu dalam Nugroho (2003). Sedangkan

North (1990) menjelaskan bahwa kelembagaan adalah aturan main pada suatu

masyarakat, atau suatu cara manusia untuk membentuk hubungan-hubungan di

antara sesamanya dengan membangun insentif-insentif di dalam pertukaran, baik

sosial, politik maupun ekonomi.

Pertukaran menyangkut hal kompleks, tidak saja menyangkut jual-beli

barang dan jasa. Tampaknya teori ekonomi mikro tidak cukup lengkap untuk

dapat menjelaskan masalah pertukaran yang kompleks tersebut. Pertama semua

barang yang dipertukarkan homogenya, khususnya produk-produk pertanian.

Kedua, tidak saja menyangkut pemindahan barang dan jasa tetapi juga meliputi

pula pemindahan hak kepemilikan. Ketiga, apabila jual-beli diikat kontrak, pada

kenyataannya sulit untuk meninggalkan kontrak tanpa adanya suatu

kompensasi-kompensasi. Keempat, pembelian suatu barang tidak saja berarti memperoleh fisik

barang tersebut, tetapi meliputi pula karakteristik-karakteristik barang yang

(34)

adalah ketidaksepadanan informasi antara pembeli dan penjual, sehingga rentan

terhadap perilaku oportunis.

Menurut Eggertsson (1990) diacu dalam Nugroho (2003), terdapat tiga

kategori hak kepemilikan, yaitu :

1. Hak guna (user rights) yaitu hak untuk menggunakan manfaat potensial yang

sah oleh seseorang, termasuk mentransformasi secara fisisk, bahkan untuk

merusaknya.

2. Hak untuk memperoleh pendapatan atau uang sewa atas asset.

3. Hak untuk memindahtangankan secara permanen ke pihak lain.

Teori keagenan (Agency theory) merupakan basis teori yang mendasari

praktek bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari

sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip

utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi

wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang

(agensi) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut ”nexus of

contract” (Swadayamandiri 2008).

Implikasi penerapan teori ini dapat menimbulkan perilaku efisiensi ataukah

perilaku opportunistik bagi si Agen. Implikasi penerapan teori keagenan dapat

menimbulkan hal positif dalam bentuk efisiensi, tetapi lebih banyak yang

menimbulkan hal negatif dalam bentuk perilaku opportunistik (opportunistic

behaviour). Mengapa hal ini terjadi? Karena pihak agensi memiliki informasi keuangan daripada pihak prinsipal (keunggulan informasi), sedangkan dari pihak

prinsipal boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri

(self-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary power). Jensen & Meckling, (1976) diacu dalam Nugroho (2003) mengemukakan

hubungan di mana satu orang atau lebih sebagai pemberi kepercayaan principal(s)

mempengaruhi orang lain sebagai mitra yang menerima kepercayaan agent(s)

untuk melaksanakan beberapa tugas principal(s) melalui pendelegasian wewenang

pengambilan keputusan kepada mitra yang dimaksud agent(s). Hubungan ini

selalu memunculkan masalah ketidak sepadanan informasi, karena agents (s)

umumnya memiliki informasi yang lebih lengkap dan sempurna tentang keragaan

(35)

Hubungan prinsipal-agen terjadi whenever one individual’s actions have an effect on another individual atau whenever one individual depends on the action of another (Gilardi 2001). Stiglitz (1999) menyatakan bahwa masalah keagenan terjadi pada semua organisasi, baik publik maupun privat. Menurut Lane (2003),

“…the modern democratic state is based on a set of principal-agent relationships in the public sector.” Principal-agent framework merupakan pendekatan yang menjanjikan untuk menganalisis komitmen kebijakan publik karena pembuatan

dan pengimplementasiannya melibatkan persoalan kontraktual yang berkaitan

dengan asimetri informasi, moral hazard, bounded rationality, and adverse

selection.

Teori keagenan berfokus pada persoalan asimetri informasi: agents

mempunyai informasi lebih banyak tentang kinerja aktual, motivasi, dan

tujuannya yang sesungguhnya, yang berpotensi menciptakan moral hazard dan

adverse selection. Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya (costs) untuk

memonitor kinerja agents dan menentukan struktur insentif dan monitoring yang

efisien (Petrie 2002). Kasper dan Streit (1999) mengemukakan bahwa adanya

asimetri informasi di antara eksekutif-legislatif dan legislatif-pemilih

menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik dalam

proses penyusunan anggaran, yang justru lebih besar daripada di dunia bisnis yang

memiliki automatic checks berupa persaingan.

2.4.5 Ketidaksepadanan Informasi (Asymmetric Information)

Pada umumnya pihak agent menguasai informasi tentang keragaan (work

effort), keinginan-keinginan (preferences) dan motivasi (motives) yang ada pada

dirinya, sedangkan informasi tentang keragaan, keinginan dan motivasi agent

yang dimiliki oleh principal umumnya sangat terbatas. Manajer sebagai pengelola

perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan

di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena

itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi

perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui

pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan.

Laporan keuangan dimaksudkan untuk digunakan oleh berbagai pihak,

(36)

dengan laporan keuangan sebenarnya adalah para pengguna eksternal (di luar

manajemen). Para pengguna internal (para manajer) memiliki kontak langsung

dengan entitas atau perusahannya dan mengetahui peristiwa-peristiwa signifikan

yang terjadi, sehingga tingkat ketergantungannya terhadap informasi akuntansi

tidak sebesar para pengguna eksternal.

Masalah agensi timbul karena adanya konflik kepentingan antara

shareholder dan manajer, karena tidak bertemunya utilitas yang maksimal antara

mereka. Sebagai agent, manajer secara moral bertanggung jawab untuk

mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal), namun disisi yang lain

manajer juga mempunyai kepentingan memaksimumkan kesejahteraan mereka.

Sehingga ada kemungkinan besar agent tidak selalu bertindak demi kepentingan

terbaik principal (Jensen dan Meckling 1976).

Tindakan earnings management telah memunculkan dalam beberapa kasus

skandal pelaporan akuntansi yang secara luas diketahui, antara lain Enron, Merck,

WorldCom dan mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat (Cornett et al,

2006). Dalam kasus Enron misalnya, satu dampak yang sangat jelas yaitu

kerugian yang ditanggung para investor dari ambruknya nilai saham yang sangat

dramatis dari harga per saham US$ 30 menjadi hanya US$ 10 dalam waktu dua

minggu. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa suatu perusahaan

kelas dunia dapat mengalami hal yang sangat tragis dengan mendeklarasikan

bangkrut justru setelah hasil audit keuangan perusahaannya dinyatakan “wajar

tanpa syarat”. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT. Lippo Tbk

dan PT. Kimia Farma Tbk juga melibatkan pelaporan keuangan (financial

reporting) yang berawal dari terdeteksi adanya manipulasi (Gideon 2005).

Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai

asimetri informasi (information asymmetry), yaitu suatu kondisi di mana ada

ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai

penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan stakeholder

pada umumnya sebagai pengguna informasi (user). Adanya asimetri informasi

memungkinkan adanya konflik yang terjadi antara principal dan agent untuk

saling mencoba memanfatkan pihak lain untuk kepentingan sendiri. Eisenhardt

(37)

umunya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir

terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3)

manusia selalu menghindari resiko (risk adverse). Berdasarkan asumsi sifat dasar

manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi yang dihasilkan manusia untuk

manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapat dipercaya tidaknya

informasi yang disampaikan.

2.5 Analisis Biaya dan Kelayakan Finansial Hutan Rakyat GERHAN

Menurut Gittinger (1986), proyek adalah kegiatan yang menggunakan

sumber-sumber untuk memperoleh manfaat (benefit), atau suatu kegiatan dimana

dikeluarkan biaya dengan harapan untuk memperoleh hasil pada waktu yang akan

datang. Suatu proyek atau kegiatan hendaknya dipandang dari berbagai kelayakan

(feasibility) diantaranya kelayakan finansial dan kelayakan ekonomi. Untuk mengevaluasi kelayakan proyek digunakan analisis manfaat-biaya.

Analisa biaya-manfaat adalah suatu pendekatan untuk rekomendasi

kebijakan yang memungkinkan analisis membandingkan dan menganjurkan suatu

kebijakan dengan cara menghitung total biaya dan total keuntungan dalam bentuk

uang (Dunn 2003). Secara sederhana konsep analisa manfaat-biaya adalah

mengenali manfaat (benefit) dan biaya (cost) atas proyek kemudian mengukurnya

dalam ukuran yang dapat diperbandingkan. Apabila nilai manfaat lebih besar

daripada nilai biaya, maka proyek tersebut menuju alokasi faktor produksi yang

efisien (Suparmoko 2006).

Gittenger (1986) menyebutkan bahwa biaya dalam analisa proyek adalah

tiap barang dan jasa yang digunakan dalam suatu proyek yang akan mengurangi

tujuan yang harus ditempuh tergantung dari sisi mana analisa dilakukan,

sedangkan manfaat adalah tiap barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu proyek

yang dapat meningkatkan pendapatan petani atau perusahaan atau menaikkan

(38)

Bahan pertimbangan yang menjadi kriteria kelayakan investasi proyek

adalah :

(1) Net Present Value(NPV)

Net Present Value (NPV) adalah analisis manfaat finansial yang digunakan untuk mengukur layak tidaknya suatu usaha dilaksanakan dilihat dari nilai

sekarang arus kas bersih yang akan diterima dibandingkan dengan nilai sekarang

dari jumlah investasi yang dikeluarkan. Konsep net present value merupakan

metode evaluasi investasi yang menghitung nilai bersih saat ini dari uang masuk

dan keluar dengan tingkat diskonto atau tingkat bunga yang disyaratkan. Kriteria

penilaian adalah, jika NPV>0 maka usaha yang direncanakan atau yang diusulkan

layak untuk dilaksanakan dan jika NPV<0, jenis usaha yang direncanakan tidak

layak untuk dilaksanakan.

(2) Benefit Cost Ratio (BCR)

Metode analisa kelayakan usaha yang kedua adalah Benefit Cost Ratio

(BCR) atau Profitability index. Metode ini memprediksi kelayakan suatu proyek

dengan membandingkan nilai penerimaan bersih dengan nilai investasi. Apabila

nilai BCR lebih besar dari 1 (satu) maka rencana investasi dapat diterima,

sedangkan apabila nilai BCR lebih kecil dari 1 (satu) maka rencana investasi tidak

layak diusahakan. NPV dan BCR akan selalu konsisten. Dengan kata lain, kalau

NPV mengatakan diterima, maka BCR juga mengatakan diterima dan sebaliknya

kalau NPV mengatakan ditolak, maka BCR juga akan menolak

(3) Internal Rate Return (IRR),

Teknik perhitungan dengan IRR banyak digunakan dalam suatu analisis

investasi, namun relatif sulit untuk ditentukan karena mendapatkan nilai yang

akan dihitung diperlukan trial and error hingga pada akhirnya diperoleh tingkat

bunga yang akan menyebabkan NPV sama dengan nol. IRR dapat didefenisikan

sebagai tingkat bunga yang akan menyamakan present value cash inflow dengan

jumlah initial investment dari proyek yang sedang dinilai. Dengan kata lain, IRR

adalah tingkat bunga yang akan menyebabkan NPV sama dengan nol. Kriteria

penilain digunakan tingkat bunga bank, maka usaha yang direncanakan atau yang

diusulkan layak untuk dilaksanakan, dan jika sebaliknya usaha yang direncanakan

(39)

2.6 Analisis Kepekaan (Sensitivity Analysis)

Menurut Nugroho (2003), analisis kepekaan (sensitivity analysis) adalah

suatu teknik untuk menguji sejauh mana hasil analisis yang telah dilakukan peka

terhadap perubahan faktor-faktor yang berpengaruh. Kepekaan (sensitivity) sendiri

diartikan sebagai besaran perubahan relatif ukuran imbalan atau keuntungan

(misalnya nilai kini, nilai tahunan, tingkat pengembalian) yang disebabkan oleh

adanya perubahan estimasi faktor-faktor yang berpengaruh.

Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan teknik analisis ini sering

digunakan analis, antara lain :

1. Disadari bahwa di dalam membuat proyeksi aliran kas terdapat

ketidaksempurnaan estimasi yang menyangkut aliran kas masuk

(manfaat-manfaat) dan keluar (biaya-biaya).

2. Adanya ketidakpastian (uncertainty) baik yang menyangkut harga-harga input

dan output maupun estimasi produksi (produktivitas).

3. Adanya kemungkinan perubahan tingkat suku bunga bank, inflasi dan

risiko-risiko di masa akan datang yang pada akhirnya berpengaruh terhadap besarnya

tingkat pengembalian minimum aktraktif (TPMA). Pada analisis nilai kini,

nilai rataan tahunan, dan rasio manfaat terhadap biaya, TPMA ditetapkan

terlebih dahulu, untuk itu analis memandang perlu menguji hasil analisisnya

Gambar

Tabel 1 Tujuan, Indikator, Metode Pengumpulan Data, Metode Analisis Data, Output  penelitian Analisis Kinerja GERHAN di Pulau Ambon
Tabel 5 Kegiatan GERHAN (Vegetatif) di Pulau Ambon
Gambar 3 Proses pengesahan dokumen rancangan teknis GERHAN
Tabel 6 Target dan realisasi alokasi GERHAN 2003 -2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 10 merupakan hasil dari kombinasi 3 responden dalam penilaian untuk menentukan alternatif terbaik pada sub kriteria Motivasi pada Kriteria Sikap &amp;

Hasil bawang merah hektar -1 yang lebih tinggi pada perlakuan pemupukan organik disebabkan oleh peningkatan komponen hasil seperti jumlah umbi tanaman -1 , berat segar

Sasaran tinjauan pelaksanaan evaluasi dalam penelitian ini, adalah menciptakan kemampuan guru sebagai evaluator dalam mengupayakan semaksimal mungkin mengaplikasikan prinsip-prinsip

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang

19 Saifudin Azwar, Metode Penelitian ,(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1998) hlm.. mengajar, serta teknik atau instrumen observasi dan evaluasi yang akan digunakan. Ketiga,

Mendapatkan pengalaman dalam berinteraksi dengan sekolahan yang mencakup interaksi dengan guru, tata usaha, siswa, mendapatkan teman-teman baru yang sebelumnya tidak kenal

Total Harga Terkoreksi : Rp1.690.000.000 (Satu Milyar Enam Ratus Sembilan Puluh Juta Rupiah), termasuk keuntungan Penyedia Barang, pajak-pajak, dan biaya-biaya lainnya),

Praktek public relations di sekolah SMU yang ada di Kota Semarang dapat dikatakan cukup baik hal tersebut dapat disimpulkan dari jawaban responden seputar kegiatan dasar