KAJIAN TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH KEDELAI
PADA BERBAGAI AGROEKOLOGI LAHAN
DI PROVINSI JAMBI
HERY NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Kajian Teknologi Produksi Benih Kedelai pada Berbagai Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.
Bogor, Juli 2011
Province. Under direction of MEMEN SURAHMAN and M. RAHMAD SUHARTANTO.
The national soybean production tend to decline in the last decade. This problem requires attention and research to find some solutions. The aim of this research is to Study the characteristic of seed grower of soybean farmers in the three agro-ecological land; Learning the technology that used by the seed grower of soybean farmers in different agro-ecological; Studying the analysis of farming technology that used and the costs incurred; and Studying the relationship between the technology and financial analysis in several agro-ecological land. This research was conducted from October 2010 through January 2011 in East Tanjung Jabung (Swamp Land), West Tanjung Jabung (Wetland irrigation) and Tebo Regency (Dryland). The method used in this research is secondary data collection on soybean seed production technology, that is the recommendation of Legume and Tuber Crops Research Institute. Furthermore, the survey method to collect primary data that obtained through interviews with seed grower directly. Purposive sampling method by seed grower as respondents, were taken of ten seed grower at each region. The results showed that age characteristics of seed grower more productive, low education levels and experience became a certified seed grower is still under four years; the implementation percentage of seed production technology in three different agroecology in the application of technology; financial analysis in three agro-ecological land is valuable as a profitable farm seed production; and there is a strong relationship between the using of seed production technology and the revenue.
Berbagai Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi. Di bawah bimbingan MEMEN SURAHMAN dan M. RAHMAD SUHARTANTO.
Luas panen kedelai nasional dalam dekade terakhir cenderung menurun. Hal ini memerlukan perhatian dan pengkajian untuk mendapatkan solusi dari permasalahan yang ada. Kawasan sentra produksi benih kedelai di Jambi berada di tiga kabupaten yang memiliki tiga agroekologi lahan yang berbeda, yaitu lahan pasang surut, lahan sawah irigasi dan lahan kering. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik petani penangkar benih kedelai pada tiga agroekologi lahan; mempelajari teknologi yang digunakan oleh petani penangkar benih kedelai pada agroekologi yang berbeda; mempelajari analisa usahatani teknologi yang digunakan dengan biaya yang dikeluarkan pada agroekologi yang berbeda; dan mempelajari hubungan antara teknologi yang digunakan pada beberapa agroekologi lahan dengan analisis pendapatan dan produksi hasil berupa benih. Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011 di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tebo.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengambilan data sekunder mengenai teknologi rekomendasi produksi benih kedelai dari Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Selanjutnya metode survey untuk pengambilan data primer yang didapat melalui wawancara langsung dengan petani di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Lahan Pasang Surut), Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Lahan Sawah irigasi) dan Kabupaten Tebo (Lahan kering) Provinsi Jambi. Metode pengambilan contoh secara purposive dengan petani responden diambil masing-masing tiap daerah 10 petani penangkar. Faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam penggunaan teknologi produksi benih dianalisis secara deskriptif. Perhitungan analisis biaya dan keuntungan dilakukan dengan analisis R/C ratio. Hubungan antara harga, penerimaan dan volume produksi dapat diketahui dengan melakukan analisis break even point (BEP) yang meliputi BEP Price/TIH (Titik Impas Harga) dan BEP Yield/TIP (Titik Impas Produk). Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara teknologi budidaya dengan produksi hasil yaitu berupa benih dan pendapatan dalam produksi benih kedelai dianalisis dengan menggunakan análisis korelasi pada taraf nyata α 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik umur petani penangkar lebih banyak yang berusia produktif sebesar 83,33%, tingkat pendidikan masih rendah yaitu sebesar 56,67%, pengalaman usaha tani kedelai antara 5-10 tahun sebesar 70% dan pengalaman menjadi penangkar benih yang bersertifikat di bawah 4 tahun sebesar 90%.
agroekologi lahan karena menguntungkan, dengan nilai R/C di lahan pasang surut 2,09, lahan sawah irigasi 2,04, dan lahan kering 1,95. Terdapat korelasi positif dan hubungan yang kuat antara persentase penggunaan teknologi dengan pendapatan, semakin banyak presentase petani yang menerapkan teknologi tersebut semakin tinggi pendapatan yang diperoleh di masing masing lahan, yaitu: di lahan pasang surut persentase penerapan teknologi PHT; di lahan sawah irigasi persentase penerapan teknologi penggunaan benih bersertifikat dan pembersihan dan sortasi benih; dan di lahan kering persentase penerapan teknologi pengolahan tanah, pemupukan sesuai rekomendasi, PHT, pembersihan dan sortasi benih, dan
roguing. Terdapat korelasi positif dan hubungan yang kuat antara persentase penggunaan teknologi (pengolahan tanah, pemupukan, pembersihan & sortasi biji dan rouging) dengan produksi hasil yang berupa benih di lahan kering. Semakin banyak persentase petani yang menerapkan teknologi tersebut semakin tinggi produksi hasil yang berupa benih.
© Hak cipta milik IPB, Tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut Pertanian Bogor.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh hasil karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
DI PROVINSI JAMBI
HERY NUGROHO
Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada
Program Studi Magister Profesional Perbenihan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Hery Nugroho
NRP : A254090135
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Memen Surahman, M.Sc. Agr.
Anggota
Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, M.S.
Diketahui
Ketua Program Studi
Magister Profesional Perbenihan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kedelai termasuk salah satu komoditas pangan yang penting di Indonesia.
Banyak produk pangan yang menjadi menu sehari-hari masyarakat baik di
pedesaan maupun di perkotaan yang terbuat dari kedelai seperti tempe, tahu,
kecap dan tauco. Bahan pangan ini selain mempunyai rasa yang enak, juga
mengandung gizi dan harga yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Ketersediaan kedelai dapat mempengaruhi ketahanan pangan nasional,
apalagi pertumbuhan jumlah penduduk yang relatif masih tinggi yaitu sebesar
1,6% per tahun akan berdampak pada peningkatan permintaan pangan. Untuk itu,
pemerintah melalui Kementerian Pertanian menjalankan program swasembada
berkelanjutan menuju swasembada kedelai tahun 2014.
Gubernur Provinsi Jambi telah mencanangkan program Bangkit Kedelai
2007-2011 dengan sasaran menjadikan Provinsi Jambi sebagai salah satu sentra
produksi kedelai di Indonesia (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi
2007). Hingga saat ini Provinsi Jambi belum mampu mandiri dalam memenuhi
kebutuhaan benih dan konsumsi kedelai. Ada tiga elemen yang dapat
meningkatkan produksi kedelai yaitu; 1) adanya kebijakan dari pemerintah
daerah, 2) tersedianya teknologi dan 3) tumbuhnya kelembagaan penangkar yang
profesional dan mandiri.
Rata-rata produktivitas kedelai di Provinsi Jambi 1,2 t/ha (BPS Provinsi
Jambi 2009). Rata-rata produktivitas nasional kedelai 1,3 ton/ha dengan kisaran
0,6-2,0 ton/ha di tingkat petani, sedangkan di tingkat penelitian telah mencapai 1,7-3,2
ton/ha, tergantung pada kondisi lahan dan teknologi yang diterapkan. Angka-angka
ini menunjukkan bahwa produksi kedelai di tingkat petani masih bisa ditingkatkan
melalui inovasi teknologi (LITBANG PERTANIAN 2008). Produksi kedelai
dalam negeri dapat ditingkatkan melalui upaya-upaya seperti peningkatan luas
areal pertanaman (ekstensifikasi) dan juga penerapan teknologi budidaya kedelai
Pembangunan pertanian secara subtantif melibatkan lima faktor utama yaitu
(1) sumberdaya lahan, air dan manusia, (2) modal atau kapital, (3) teknologi
pertanian, (4) infrastruktur pertanian, dan (5) kebijakan pemerintah. Pengalaman
selama ini telah membuktikan bahwa faktor teknologi memiliki peran yang sangat
besar dan menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan dan perkembangan usaha
agribisnis untuk berbagai komoditas pertanian.
Sumberdaya manusia sebagai penggerak utama industri benih masih lemah
terutama sektor perbenihan informal, tenaga pengawas mutu benih dari Balai
Sertifikasi Pengawasan Benih (BPSB) masih kurang, produsen benih seperti Balai
benih Induk (BBI) dan Balai Benih Utama (BBU) juga masih perlu meningkatkan
kinerjanya termasuk sarana dan prasarana produksi benih, seperti lahan dan
pengairan. Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya sub-sistem yang ada dalam
sistem penyediaan benih bermutu secara berkelanjutan. Sub-sistem tersebut
diantaranya 1) penelitian dan pengembangan (R&D), 2) sub-sistem produksi
benih, 3) sub-sistem pengawasan mutu dan sertifikasi benih, 4) sub-sistem,
penyuluhan dan distribusi benih, 5) sub-sistem pendidikan dan pelatihan, dan 6)
sub-sistem pengguna benih (Anwar 2005).
Penambahan pengetahuan dan keterampilan petani atau kelompok tani
penangkar benih masih lemah dan tidak kontinyu. Tidak konsistennya komitmen
pemerintah dalam menumbuh-kembangkan kelompok tani penangkar benih. Hal
ini terlihat dari pengadaan benih dari proyek pemerintah (pengguna benih) tidak
diarahkan pada benih yang dihasilkan oleh petani setempat. Dalam kaitan tersebut
efektifitas dan efisiensi dalam proses penyampaian inovasi pertanian kepada para
penggunanya memiliki peranan yang tidak kalah penting (Wirawan 2006).
Dalam rangka mempercepat pertumbuhan dan pengembangan berbagai
komoditi utama maka Pemerintah Provinsi Jambi memandang perlu menyusun
rencana pengembangan kawasan sentra produksi. Kawasan sentra produksi
berguna untuk meningkatkan pemerataan pembangunan dan sebagai acuan lokasi
investasi bagi pemerintah dan swasta, khususnya dalam upaya mencapai efisiensi,
efektifitas dan nilai tambah dari investasi di bidang pertanian (BAPPEDA 2000).
Pengembangan kawasan sentra produksi merupakan suatu pola
komprehensif menganut aspek tata ruang, mekanisme perencananan dan pola
koordinasi pembangunan. Kawasan sentra produksi benih kedelai di Jambi berada
di tiga kabupaten yang memiliki tiga agroekologi lahan yang berbeda, yaitu lahan
pasang surut, lahan sawah irigasi dan lahan kering. Oleh karena itu diperlukan
kajian teknologi produksi benih kedelai di berbagai agroekologi untuk
mendukung program strategis peningkatan produksi benih kedelai di wilayah
Provinsi Jambi.
1.2.Perumusan Masalah
Provinsi Jambi belum mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhaan benih
dan konsumsi kedelai. Pemerintah mempunyai keterbatasan untuk menyediakan
benih unggul bermutu untuk seluruh areal pertanaman kedelai. Jumlah sektor
perbenihan baik informal maupun formal masih kurang untuk memproduksi benih
sesuai kebutuhan. Tumbuhnya kelembagaan penangkar yang profesional dan
mandiri diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan benih kedelai.
Karakteristik petani penangkar benih memberikan pengaruh yang besar
terhadap penyediaan benih kedelai secara enam tepat. Hal ini apabila tidak
dilihat secara jeli permasalahan yang dihadapi oleh petani penangkar maka akan
menghambat program peningkatan produktivitas kedelai dalam kaitannya dengan
swasembada kedelai.
Pembangunan pertanian secara subtantif melibatkan faktor teknologi
pertanian. Teknologi memiliki peran yang sangat besar dan menjadi pendorong
utama bagi pertumbuhan dan perkembangan usaha agribisnis untuk berbagai
komoditas pertanian. Kondisi agroekologi yang berbeda akan memberikan
pengaruh terhadap teknologi yang akan digunakan.
Pengetahuan petani penangkar dalam memproduksi benih masih terbatas.
Teknologi yang digunakan dalam memproduksi benih kedelai berbeda dengan
untuk tujuan konsumsi. Petani penangkar sebagai produsen benih juga kurang
termotivasi untuk memproduksi benih dalam jumlah dan kualitas yang cukup.
Efisiensi dan keefektifan dari teknologi tersebut akan saling berhubungan dengan
Permasalahan perbenihan tersebut sebagai indikator bahwa masih lemahnya
salah satu atau lebih dari sub-sistem produksi benih. Penelitian ini menggunakan
pendekatan agroekologi, agribisnis, dan wilayah. Penggunaan pendekatan
agroekositem berarti penelitian ini memperhatikan kesesuaian dengan kondisi
biofisik lokasi yang meliputi aspek sumber daya lahan, air, wilayah komoditas
dan komoditas dominan. Pendekatan agribisnis berarti dalam implementasi
produksi benih kedelai diperhatikan struktur dan keterkaitan sub-sistem
penyediaan input, sistem usahatani, pasca panen dan pengolahan serta pemasaran
dan penunjang dalam satu sistem. Pendekatan wilayah berarti optimasi
penggunaan lahan untuk pertanian dalam satu kawasan (desa atau kecamatan).
Cakupan masalah teknologi produksi benih kedelai dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik petani penangkar benih kedelai pada tiga agroekologi
lahan.
2. Teknologi apa yang digunakan oleh petani penangkar benih kedelai pada
agroekologi yang berbeda.
3. Apakah teknologi yang digunakan petani penangkar benih kedelai memenuhi
kelayakan usaha tani.
4. Apakah terdapat hubungan antara teknologi yang digunakan dengan analisis
finansial pada tiga agroekologi lahan.
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mempelajari karakteristik petani penangkar benih kedelai pada tiga
agroekologi lahan;
2. Mempelajari teknologi yang digunakan oleh petani penangkar benih kedelai
pada agroekologi yang berbeda;
3. Mempelajari analisa usahatani teknologi yang digunakan dengan biaya yang
dikeluarkan pada agroekologi yang berbeda; dan
4. Mempelajari hubungan antara teknologi yang digunakan pada beberapa
agroekologi lahan dengan analisis pendapatan dan produksi hasil berupa
1.4.Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi teknologi
produksi benih yang digunakan oleh petani penangkar pada agroekologi yang
berbeda sebagai bahan kebijakan dalam meningkatkan produksi benih kedelai
melalui teknologi yang spesifik lokasi.
1.5.Kerangka Pemikiran
Provinsi Jambi belum mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan benih
dan konsumsi kedelai. Pada tahun 2008 Provinsi Jambi menghasilkan benih 65
ton. Benih yang dibutuhkan untuk menanam kedelai seluas 1 ha adalah 40 kg,
maka produksi benih yang dihasilkan tersebut hanya mampu untuk memenuhi
pertanaman kedelai seluas 1.625 hektar. (Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Provinsi Jambi 2009). Pada musim tanam 2009 Provinsi Jambi membutuhkan 700
ton benih kedelai untuk sasaran luas pertanaman 17.500 ha. Hal ini menunjukkan
bahwa ketersediaan benih masih sangat kurang, sehingga kekurangan benih dapat
dipenuhi dengan meningkatkan produktivitas kedelai. Ketersediaan teknologi
produksi benih kedelai dapat meningkatkan produktivitas kedelai.
Pengembangan kedelai di Provinsi Jambi tahun 2009 diantaranya berada di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur (lahan pasang surut), Kabupaten Tanjung
Jabung Barat (lahan sawah irigasi), dan di Kabupaten Tebo, Muaro Jambi, Bungo,
Merangin dan Sarolangun (lahan kering masam). Kondisi seperti ini masih
berpeluang untuk diintroduksikan teknologi yang dapat meningkatkan
produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani. Teknologi yang dapat
diintroduksikan merupakan teknologi yang sesuai dengan kondisi biofisik dan
lingkungan setempat, sosial ekonomi, sosial budaya dan sesuai dengan kebutuhan
pengguna. Penerapan teknologi baik budidaya dan pascapanen diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas usahatani petani.
Kajian teknologi produksi benih kedelai pada berbagai agroekologi tidak
terlepas dari teknik budidaya yang digunakan dan usaha tani secara ekonomi. Hal
ini disebabkan pada kondisi agroekologi yang berbeda, dimana kondisi tanah dan
iklim akan sangat berpengaruh dalam perlakuan teknologi dan modal yang
karakteristik yang berbeda pula. Kerangka pemikiran dari kajian teknologi
produksi benih kedelai pada berbagai agroekologi lahan dapat dilihat seperti pada
Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran
Keterangan:
= Variabel yang diteliti = Hubungan yang diteliti
= Hubungan yang tidak diteliti (pembatasan masalah)
Teknologi Budidaya
16.Pemeriksaan oleh pegawai BPSB
KAJIAN TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH KEDELAI PADA BERBAGAI AGROEKOLOGI LAHAN DI PROVINSI JAMBI
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebutuhan dan Ketersediaan Benih Kedelai di Provinsi Jambi
Kebutuhan kedelai nasional pada saat ini mencapai 2,2 juta ton per tahun,
sedangkan produksi kedelai dalam negeri hanya 0,8 juta ton per tahun sehingga
untuk memenuhi kekurangan tersebut diperlukan impor sebanyak 1,4 juta ton per
tahun yang berdampak menghabiskan devisa negara sekitar 3 triliun rupiah per
tahun. Selain itu, impor bungkil kedelai telah mencapai kurang lebih 1,3 juta ton
per tahun yang menghabiskan devisa negara sekitar 2 triliun rupiah per tahun
(Alimoeso 2006).
Menurut Partohardjono (2005), terdapat berbagai kendala untuk
meningkatkan produksi kedelai di Indonesia, antara lain: (a) faktor fisik, seperti
tanah dan iklim terutama curah hujan, sebaran hujan, dan suhu udara; (b) faktor
biologis, terutama hama, penyakit, dan gulma; (c) faktor sosial yang meliputi
rendahnya adopsi teknologi oleh petani yang berakibat beragamnya pengelolaan
tanaman kedelai di lapang; (d) faktor ekonomi yang mencakup rendahnya
keuntungan (profitabilitas) usahatani dan lemahnya daya saing kedelai terhadap
komoditas pertanian lainnya; dan (e) kurang berkembangnya kelembagaan
penunjang usahatani kedelai, diantaranya sistem perbenihan, kurang tersedianya
sarana produksi penting lainnya seperti penyediaan inokulum rhizobium bagi
daerah-daerah pengembangan.
Usahatani kedelai di tingkat lapang dijumpai beberapa masalah antara lain:
(a) benih bermutu dan varietas unggul yang dianjurkan tidak tersedia; (b)
pengolahan tanah tidak optimal, terutama pada lahan tegalan; (c) penyiangan yang
tidak sempurna mengakibatkan persaingan berat antara tanaman kedelai dengan
gulma; (d) terjadi cekaman kekeringan; (e) keterlambatan pengendalian hama; (f)
kurangnya tenaga kerja sehingga budidaya kedelai menjadi ekstensif; (g)
perluasan areal kedelai mengarah pada lahan kering masam/pasang surut; dan (h)
kurang dipahami teknik budidaya, penyediaan rhizobium, dan minat petani yang
Sentra pertanaman kedelai di Jambi berada di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur (lahan pasang surut) dan di Tebo (lahan kering masam), dengan luas areal
masing-masing adalah 1.187 ha dan 490 ha atau 54% dan 22% dari luas areal
pertanaman kedelai di Jambi dengan produktivitas 1,0–1,3 t/ha (BPS Jambi,
2006). Berdasarkan peta skala tinjau (1:250.000), di Provinsi Jambi terdapat
lahan sawah dan non-sawah yang mempunyai potensi tinggi untuk pengembangan
kedelai seluas 24.000 ha, potensi sedang seluas 45.500 ha, dan potensi rendah
seluas 669.000 ha (Abdurachman et al. 2007).
Peningkatan produksi kedelai baik kuantitas maupun kualitas yang
dicanangkan Pemerintah Provinsi Jambi dengan program bangkit kedelainya
memerlukan benih bermutu dalam jumlah yang cukup dan waktu yang tepat, serta
tidak terlalu menggantungkan kepada sentra produksi dari daerah (provinsi),
sehingga di daerah (Provinsi Jambi) ini perlu dibangun sistem produksi benih
bermutu yang mampu menyediakan kebutuhannya secara mandiri.
Benih kedelai bermutu tinggi dapat diperoleh dengan pengelolaan
pertanaman maksimal meliputi pemilihan lokasi yang tepat, musim tanam, kultur
teknik, waktu tanam, penanganan pascapanen, dan seleksi yang ketat. Beberapa
varietas unggul yang telah dilepas dapat dipilih dan diproduksi untuk memenuhi
kebutuhan benih.
Pengembangan kedelai di Provinsi Jambi tahun 2009 adalah 18.000 ha,
12.660 ha diantaranya berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (lahan pasang
surut), Kabupaten Tanjung Jabung Barat (lahan sawah irigasi), dan di Kabupaten
Tebo, Muaro Jambi, Bungo, Merangin dan Sarolangun (Lahan kering masam).
Salah satu langkah yang akan ditempuh oleh Dinas Pertanian Provinsi Jambi
dalam meningkatkan produksi kedelai tahun 2009 dengan meningkatkan rata-rata
produktivitas sampai dengan 1,4 ton/ha. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
dengan teknik budidaya kedelai yang sesuai rata-rata produktivitas mencapai 2,11
ton/ha atau meningkat 26,3% dibandingkan rata-rata hasil yang dicapai petani
(Adie & Yardha 2008).
Kebutuhan benih di Provinsi Jambi, terutama benih sebar benih, selama ini
sebagian besar didatangkan dari sentra produksi benih daerah lain seperti dari
beberapa aspek kondisi ini kurang menguntungkan, karena: (1) harga benih
menjadi relatif lebih mahal, karena memerlukan biaya transportasi (angkutan) dari
sentra produksi benih ke lokasi program/proyek; (2) kemungkinan mengalami
penurunan mutu karena sistem pengangkutan yang kurang baik, cukup besar;
(3) kemurniannya tidak bisa dijamin, dan; (4) memerlukan adaptasi dengan lokasi
(Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi 2009)
Pola pengusahaan perbenihan, terbagi kepada pola pengusahaan perbenihan
formal dan non-formal (Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007) yang
dibedakan oleh ciri sebagai berikut:
A. Pola pengusahaan benih formal:
1. Pola produksi benih dengan memproduksi sendiri.
Produksi benih disesuaikan dengan kelasnya. Produksi benih pokok
menghasilkan benih label ungu, dan produksi benih sebar menghasilkan
benih label biru, Produksi benih di lahan sendiri dengan modal perusahaan
dan dengan mengikuti aturan-aturan sertifikasi benih.
2. Pola jalinan benih antar lapang dan musim (Jabalsim)
Benih dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan benih pada waktu yang
bersamaan. Proses penyediaan benih yang cepat tidak lebih dari satu
bulan. Biaya proses rendah, harga jual rendah, tingkat keuntungan kecil,
label merah jambu, asal usul benih kurang jelas, penyediaan benih tidak
teratur, benih tersedia tepat waktu.
3. Pola penyediaan melalui penyimpanan jangka panjang
Benih terpenuhi dalam kondisi yang mendadak atau sewaktu-waktu.
Benih di simpan dalam waktu yang cukup lama (lebih dari 5 bulan), maka
kadar air benih diatur ±9% dan daya tumbuh awal benih harus di atas 90%,
supaya daya tumbuhnya masih cukup tinggi pada saat akan digunakan.
Pengadaan benih kedelai melalui penyimpanan membutuhkan proses
waktu yang cukup lama, biaya proses sangat mahal, harga jual tinggi,
tingkat keuntungan cukup tinggi, risiko benih tidak tumbuh cukup besar
karena kondisi benih kurang segar, label biru, asal-usul benih jelas, proses
B. Pola Pengusahaan Benih non-formal:
1. Operasi lapangan hasil panen
Pengusaha benih mendatangi lokasi pertanaman untuk membeli hasil
panen kedelai yang bijinya bagus dengan harga (10% di atas harga pasar).
Biji kedelai diproses sehingga menjadi benih.
2. Kerja sama dengan petani
Pengusaha benih menyediakan benih untuk ditanam oleh petani
terpercaya. Hasil panen dibeli pengusaha benih, pembayarannya dipotong
harga benih yang ditanam.
3. Penanamani produksi benih sendiri
Benih ditanam di lahan sendiri atau sewa seluas 5-10 ha yang sesuai untuk
tanaman kedelai, satu musim sebelum tanam raya.
4. Kontrak beli dan mitra usaha dengan petani
Pengusaha benih menyediakan sarana produksi tanaman untuk ditanam
petani. Petani melakukan penanaman dan pemeliharaan. Pada saat panen,
hasil kedelai dibeli oleh pengusaha benih dengan memperhitungkan
pemotongan harga kredit sarana produksi.
5. Pembuatan benih saat panen raya dengan penyimpanan
Pada musim panen raya, ketersediaan biji kedelai cukup banyak sehingga
pembelian calon benih lebih mudah dan harga sedikit lebih murah. Biji
yang terkumpul diproses dan dijemur hingga mencapai kadar air 9-10%.
benih dikemas dalam wadah kantong semen dilapisi plastik, kemudian
disimpan rapih dan teratur.
2.2. Benih Kedelai Bermutu
Menurut Sadjad (1993) mutu benih meliputi mutu fisik, fisiologis dan mutu
genetik. Mutu fisik meliputi kebersihan benih dari kotoran dan campuran lain,
penampilan benih dan warna kulit benih. Mutu fisiologis dilihat dari kemampuan
benih untuk berproduksi dengan normal dalam kondisi yang serba normal pula.
Wirawan & Wahyuni (2002) menambahkan bahwa secara fisik, benih bermutu
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Benih bersih dan terbebas dari kotoran, seperti potongan tangkai, biji-bijian
lain, debu dan kerikil.
2. Benih murni, tidak tercampur dengan varietas lain.
3. Warna benih terang dan tidak kusam.
4. Benih mulus, tidak berbercak, kulit tidak terkelupas.
5. Sehat, bernas, tidak keriput, ukurannya normal dan seragam.
Selain itu benih dianggap bermutu tinggi jika memiliki daya tumbuh (daya
berkecambah) lebih dari 80% (tergantung jenis dan kelas benih) dan nilai kadar
air di bawah 13% (tergantung jenis benih). Dalam industri benih, pengendalian
mutu memiliki tiga aspek penting yaitu :
1. Penetapan standar minimum mutu benih yang dapat diterima.
2. Perumusan dan implementasi sistem dan prosedur untuk mencapai standar
mutu yang telah ditetapkan dan memeliharanya.
3. Pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi sebab-sebab adanya masalah
dalam mutu dan cara memecahkannya.
Aspek pertama merupakan kewajiban dari lembaga pengawas benih, yang di
Indonesia secara operasional dilakukan oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi
Benih (BPSB) dan disebut sebagai Badan Pengendalian Mutu Eksternal.
Sedangkan aspek kedua dan ketiga merupakan kewajiban produsen benih yang
disebut dengan Pengendalian Mutu Internal (Mugnisjah & Setiawan, 1995).
Benih dalam pelaksanaannya memiliki kelas-kelas yang dimaksudkan supaya alur
penyebaran benih dari pemulia, penangkar benih sampai petani sebagai konsumen
dapat berjalan dengan baik dan benih pun dapat tersedia dalam jumlah yang
sesuai. Kelas-kelas benih tersebut adalah sebagai berikut :
1. Benih Penjenis (Breeder Seed/BS) yaitu benih yang diproduksi di bawah
pengawasan pemulia tanaman yang merakit atau peneliti yang diberi
kewenangan untuk mengembangkan benih dari varietas tersebut. Saat ini
benih penjenis kedelai dikelola oleh Unit Produksi Benih Sumber (UPBS)
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
sertifikasi, benih penjenis kedelai diberi label berwarna kuning yang
ditandatangani oleh pemulia dan Kepala Institusi penyelenggara pemuliaan
varietas dari benih yang diproduksi.
2. Benih Dasar (Foundation Seed/FS) yaitu benih yang diproduksi oleh
produsen benih, seperti Balai Benih Induk (BBI), Balai Benih Utama (BBU),
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), perusahaan benih Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), swasta atau penangkar profesional, dan
pengendalian mutunya melalui sertifikasi oleh Balai Pengawasan dan
Sertifikasi Benih (BPSB) atau Sistem Manajemen Mutu Benih. Benih dasar
digunakan untuk perbanyakan benih pokok.
3. Benih Pokok, BP (Stock Seed, SS) yaitu benih yang diproduksi oleh Balai
Benih atau pihak swasta yang telah terdaftar dan diawasi oleh BPSB.
4. Benih Sebar, BR (Extension Seed, ES) yaitu benih yang diproduksi oleh Balai
Benih dan penangkar benih dengan bimbingan, pengawasan dan sertifikasi
dari BPSB.
Untuk mendapatkan benih bermutu perlu dilakukan sertifikasi benih, yaitu dengan
memberikan persyaratan khusus atau standarisasi pada kelas-kelas benih tersebut
dengan pemberian standar di lapangan dan standar di laboratorium (Mugnisjah &
Setiawan 1995).
Penyediaan benih kedelai yang bermutu secara kontinyu merupakan salah
satu permasalahan di Indonesia. Hal ini disebabkan benih kedelai mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
1. Daya simpan benih rendah, sehingga benih yang disimpan selama enam bulan
mempunyai daya tumbuh yang lebih rendah dari benih yang diperoleh setelah
panen.
2. Bersifat higroskopis, akibatnya kadar air mudah terpengaruh oleh kelembaban
udara lingkungan.
3. Daya tumbuh cepat menurun karena sering terjadi respirasi dalam benih saat
kondisi suhu dan kelembaban tinggi.
4. Kulit benih kedelai amat tipis sehingga mudah terinfeksi oleh cendawan,
Benih kedelai akan memiliki daya berkecambah dan vigor tinggi apabila
dipanen tepat pada saat matang fisiologis. Oleh sebab itu benih kedelai dipanen
tidak pada saat matang fisiologis karena akan menyulitkan dalam pengeringan,
akibatnya daya berkecambah benih pun menurun (Sumarno & Harnoto 1995).
Benih bermutu dihasilkan melalui prosedur produksi benih yang berawal
dari persiapan lahan yang bebas dari kontaminasi genetik, penyediaan benih yang
terjamin sumber mutunya, pengolahan benih setelah panen dan penanganannya
sampai ke konsumen. Pengadaan benih kedelai yang bermutu masih sulit karena
benih kedelai yang beredar pada umumnya benih label merah jambu yang
mutunya rendah.
Benih kedelai yang di perjualbelikan harus melalui tahapan sertifikasi benih,
yaitu untuk menguji viabilitas dan vigor benih tersebut, seperti: kadar air
maksimum 11%, daya berkecambah lebih dari 80%, memiliki kemurnian minimal
97%, kotoran benih maksimal 3%, benih varietas lain maksimal 0.5% - 0.7%,
memiliki sifat yang unggul dan seragam, memiliki vigor tinggi, sehat tidak
terinfeksi cendawan dan tidak terinfeksi virus.
Menurut Wirawan & Wahyuni (2002), permasalahan pengadaan benih
kedelai yang bermutu dan benar secara berkelanjutan disebabkan kurang
tertariknya para investor untuk memproduksi benih kedelai dengan beberapa
alasan sebagai berikut:
1. Produktivitas tanaman kedelai masih rendah sehingga secara usaha tani
kurang menguntungkan.
2. Harga kedelai konsumsi nasional rendah sehingga petani kurang tertarik
mengusahakannya.
3. Masa edar (waktu pemasaran) benih kedelai sangat singkat karena daya
simpannya yang sangat singkat.
4. Harga kedelai impor yang lebih murah dari harga kedelai lokal semakin
mengecilkan minat petani dan penangkar benih kedelai.
2.3. Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi
Pertanaman kedelai di Indonesia dibudidayakan pada lahan sawah, lahan
diperkirakan mencapai 55,6 juta ha (Hidayat & Mulyani 2002). Sebaran lahan
kering tersebut meliputi 41% di Sumatera, 28% di Kalimantan, dan 24% di
Sulawesi dan Jawa, dan kira-kira 24,3% lahan kering tersebut didominasi oleh
podsolik merah kuning (ultisol). Di Sumatera, luas lahan kering sekitar 5 juta
hektar dan lahan terlantar sekitar 2,5 juta hektar (Atman 2006).
Lahan merupakan lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief tanah,
hidrologi, dan tumbuhan yang sampai batas tertentu akan mempengaruhi
kemampuan penggunaan lahan. Sifat lahan menunjukkan bagaimana
kemungkinan penampilan lahan jika digunakan untuk penggunaan lahan. Sifat
lahan akan mempengaruhi keadaan yaitu bagaimana ketersediaan air, peredaran
udara, perkembangan akan kepekaan erosi, ketersediaan unsur hara, dan
sebagainya. Perilaku lahan yang menentukan pertumbuhan tersebut disebut
kualitas lahan
Dalam rangka mempercepat pertumbuhan dan pengembangan berbagai
komoditi utama (andalan) maka Pemerintah Provinsi Jambi memandang perlu
menyusun rencana pengembangan kawasan sentra produksi (P-KSP) guna
meningkatkan pemerataan pembangunan dan sebagai acuan lokasi investasi bagi
pemerintah dan swasta, khususnya dalam upaya mencapai efisiensi, efektifitas dan
nilai tambah dari investasi di bidang pertanian (BAPPEDA 2000). Pengembangan
KSP merupakan suatu pola pembangunan dengan pendekatan wilayah terpadu,
secara menyeluruh dan komprehensif menganut aspek tata ruang, mekanisme
perencananan dan pola koordinasi pembangunan. KSP merupakan wadah yang
menampung berbagai program kegiatan pengembangan sektor, pengembangan
komoditi unggulan, kawasan strategis dan pengembangan sistem prasarana
pendukungnya.
Pengembangan KSP dilakukan atas dasar upaya peningkatan pertumbuhan
ekonomi daerah dan nasional sekaligus meningkatkan pemerataan pembangunan
wilayah. Dalam jangka pendek, upaya ini diharapkan dapat mendorong
pemanfaatan sumberdaya pertanian dan pengembangan infrastruktur penunjang
komoditas pangan dan perikanan secara optimal melalui usaha intensifikasi,
rehabilitasi, diversifikasi, dan peningkatan produksi hasil pertanian. Dalam jangka
pemulihan perekonomian nasional (BAPPEDA JAMBI 2000). Dalam rangka
mendukung rencana P-KSP Provinsi Jambi, maka sangat diperlukan data dan
informasi sumberdaya lahan dan sosial ekonomi yang handal dan akurat, sehingga
dapat disusun perencanaan pembangunan pertanian daerah yang rasional
(Soeharno et al. 1998).
Menurut Rencana Induk Pemerintah daerah Provinsi Jambi, Kabupaten
Batanghari, Muara Jambi, Bungo dan Tebo merupakan salah satu wilayah KSP
Provinsi Jambi Bagian Tengah. Potensi sumberdaya pertanian meliputi ereal
379.078 ha, terdiri dari 329.676 ha lahan kering dan 49.402 ha lahan basah. Jenis
tanah terdiri dari Podsolik Merah Kuning, Gley humus, Aluvial dan Hidromofik
Kelabu (BAPPEDA Jambi 2000). Dari luas lahan potensial tersebut, yang sudah
dimanfaatkan mencapai 235.542 ha atau 62,14%. Sisanya 143.536 ha belum
dimanfaatkan dan masih merupakan lahan perladangan dan semak belukar. Dari
luas wilayah yang ada 84% adalah dataran rendah (0-100 m dpl) dan hanya 4,5%
yang lahannya terletak antara 110-500 m dpl. Beberapa komoditas pertanian dan
perikanan yang potensial menjadi unggulan antara lain tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, perikanan (kolam dan tambak), serta ternak sapi,
kerbau, domba, kambing, dan unggas (BAPPEDA Jambi 2000).
Lahan rawa pada umumnya dinilai sebagai ekosistem yang marjinal dan
rapuh, namun lahan tersebut memiliki potensi untuk dimanfaatkan bagi
pengembangan komoditas tanaman pangan. Menurut Widjaya Adhi et al. (1992)
bahwa lahan rawa dibedakan berdasarkan sampainya pengaruh air pasang surut di
musim hujan dan pengaruh air laut di musim kemarau, terbagi atas tiga zone yaitu
: (1) pasang surut payau/salin (zone I), (2) pasang surut air tawar (zone II) dan (3)
non pasang surut/lebak (zone III). Selanjutnya Djafar (1992) mengatakan bahwa
lahan pasang surut adalah daerah rawa yang dalam proses pembentukannya
dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut, terletak dibagian muara sungai atau
sepanjang pantai.
Lahan pasang surut berdasarkan hidrotopografi dibedakan menjadi empat
tipe yang membutuhkan manajemen yang berbeda. Tipe A merupakan daerah
rawa yang selalu terluapai air pasang besar maupun pasang kecil. Tipe B adalah
terluapi air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil tetapi kedalaman air
tanah kurang dari 50 cm dari permukaan tanah. Tipe D adalah lahan tidak terluapi
air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil tetapikedalaman air tanah lebih
dari 50 cm dari permukaan tanah. Penataan lahan dan sistem tata air merupakan
salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan pertanian dilahan pasang
surut dalam kaitannya dengan optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian
sumberdaya lahan. Lahan pasang surut dapat ditata sebagai sawah, tegalan dan
surjan disesuaikan dengan tipe luapan air dan tipologi lahan serta
tujuan pemanfaatannya.
Menurut Marschner (1995) dan Hidayat & Mulyani (2002) tanah podsolik
merah kuning (ultisol) mempunyai tingkat kemasaman tinggi, kandungan hara
makro dan mikro rendah. Selain itu sering terjadi kekurangan air terutama pada
musim kemarau yang menyebabkan terjadinya cekaman kekeringan. Keadaan ini
akan mempengaruhi perkembangan morfologi dan proses fisiologi tanaman
kedelai sehingga menyebabkan rendahnya hasil. Keadaan tersebut dapat diatasi
dengan melakukan berbagai usaha antara lain, dengan cara budidaya dan
mengadakan seleksi terhadap genotip kedelai untuk tanah masam dan tahan
kondisi kering.
Menurut Zaini (2005), pengembangan pertanaman kedelai dapat diarahkan
pada tiga agroekologi utama yaitu lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah hujan,
dan lahan kering. Luas lahan kering yang diusahakan di Indonesia dalam bentuk
tegalan, kebun, ladang atau huma sekitar 10 juta hektar (DEPTAN 2005).
Permasalahan lahan kering ini didominasi oleh tanah masam. Distribusi perakaran
tanaman relatif dangkal, sehingga tanaman kurang tahan terhadap kekeringan dan
banyak terjadi pencucian hara ke lapisan bawah (Hairiah et al. 2005). Menurut
Hilman (2005), pada lahan kering masam, masalah ketersediaan fosfor (P)
menjadi kendala utama dalam meningkatkan hasil.
Tanaman kedelai memerlukan P lebih besar dibandingkan dengan
komoditas lainnya seperti gandum dan jagung. Cekaman kahat P biasanya terjadi
pada fase awal pertumbuhan tanaman, yaitu akar tanaman kurang berkembang
sehingga tidak mampu menyediakan seluruh kebutuhan P. Daun tua pada kedelai
antosianin (pigmen ungu). Kelarutan almunium meningkat pada tanah bereaksi
masam. Kelarutan almunium yang tinggi dapat meracuni tanaman kedelai.
Toksisitas pada tanaman kedelai ditandai dengan rusaknya (terganggunya) sistem
perakaran.
Sumarno (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman kedelai pada
tanah masam menderita akibat cekaman abiotik dan biotik, seperti: (a)
pertumbuhan vegetatif terhambat sebagai akibat kekurangan hara makro dan
mikro; (b) keracunan Al atau Mn; (c) pembentukan nodul terhambat; (d) tanaman
mudah mendapat cekaman kekeringan; dan (e) pertumbuhan akarnya terhambat.
Gejala yang sangat jelas adalah pertumbuhan yang sangat kerdil, daun berwarna
kuning kecoklatan, pertumbuhan akar sangat terbatas, bunga yang terbentuk
minimal dan jumlah polong juga minimal, produktivitas sangat rendah atau
bahkan gagal menghasilkan biji. Gejala tersebut sering terlihat pada pertanaman
kedelai di daerah transmigrasi di Sumatera Barat (Kabupaten Dharmasraya) dan
Jambi yang tanahnya tidak dikapur dan kandungan organik tanahnya rendah.
Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau
tergenang air pada sebagian waktu selama setahun (Hidayat et al. 2000). Pada
saat ini pemanfaatan lahan kering untuk keperluan pertanian baik tanaman
semusim maupun tanaman tahunan/ perkebunan sudah sangat berkembang.
Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat menyebabkan
kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan meningkat. Sejalan
dengan itu pengembangan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan dan
perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan. Usaha
intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan dan upaya
lainnya dengan pembukaan lahan.
Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian,
baik tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman tahunan/perkebunan.
Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah
satu pilihan strategis untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan
pangan nasional. Secara umum, lahan kering dapat dibedakan menjadi lahan
kering masam dan tidak masam. Lahan kering tergolong masam bila tanahnya
kering masam cukup luas, terutama pada wilayah beriklim basah seperti
Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Berdasarkan Atlas Sumberdaya Tanah
Eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000 terbitan Puslitbangtanak tahun 2000, dari
sekitar 148 juta ha lahan kering di Indonesia, 102,8 juta ha (69,4%) berupa tanah
masam.
Lahan kering masam umumnya memiliki pH rendah (< 5,5) yang berkaitan
dengan kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa dapat tukar dan KTK
rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni, peka erosi, dan
miskin elemen biotic (Adiningsih dan Sudjadi 1993; Soepardi 2001). Kendala
teknis tersebut relatif mudah diatasi yaitu dengan pemupukan, pengapuran, serta
pengelolaan bahan organik. Kendala teknis lainnya adalah ketersediaan air
terutama di musim kemarau, sehingga indeks pertanaman di lahan kering lebih
rendah daripada di lahan sawah. Upaya untuk menyediakan air pada musim
kemarau dengan memanfaatkan air permukaan atau air tanah (pompanisasi) belum
banyak dilakukan sehingga lahan dibiarkan bera. Upaya petani untuk menerapkan
teknologi budidaya (pemupukan, konservasi tanah dan air, serta pengairan)
terbentur pada modal khususnya untuk usaha tani tanaman palawija, sayuran dan
buah-buahan semusim.
Lahan kering pada umumnya memiliki tingkat kesuburan tanah yang
rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah
menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk
dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan
semusim. Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis
cepat menurun, mencapai 30−60% dalam waktu 10 tahun (Brown dan Lugo 1990
dalam Suriadikarta et al. 2002). Bahan organik memiliki peran penting dalam
memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur hara
dari bahan organik tanah relatif rendah, peranannya cukup penting karena selain
unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C,
Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si (Suriadikarta et al. 2002).
Teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang penting salah satunya adalah
pemupukan berimbang, yang mampu memantapkan produktivitas tanah pada level
pemupukan berimbang dan pemantauan status hara tanah secara berkala.
Penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat, misalnya takaran tidak seimbang,
serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat mengakibatkan
kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun (Santoso dan Sofyan
2005). Di samping pemupukan, pengapuran juga penting untuk meningkatkan
produktivitas tanah masam, antara lain untuk mengurangi keracunan aluminium
(Al). Cara untuk menentukan takaran kapur yang perlu diberikan adalah dengan
menentukan sensitivitas tanaman dan kemudian mengukur kejenuhan Al dalam
tanah dengan analisis tanah (Dierolf dalam Santoso dan Sofyan 2005).
Kelangkaan air sering kali menjadi pembatas utama dalam pengelolaan
lahan kering. Oleh karena itu, inovasi teknologi pengelolaan air dan iklim sangat
diperlukan, meliputi teknik panen hujan (water harvesting), irigasi suplemen,
prediksi iklim, serta penentuan masa tanam dan pola tanam. Pemanenan air dapat
dilakukan dengan menampung air hujan atau aliran permukaan pada tempat
penampungan sementara atau permanen, untuk digunakan mengairi tanaman
(Subagyono et al. 2004).
Tanaman kedelai dapat diusahakan di lahan pasang surut. Hasilnya cukup
memadai, namun cara mengusahakannya berbeda daripada di lahan sawah irigasi
dan lahan kering. Tanaman ini tidak tahan genangan. Oleh sebab itu, tidak
dianjurkan menanam kedelai di lahan pasang surut yang bertipe luapan air A yang
selalu terluapi baik saat pasang besar maupun pasang kecil. Luas lahan rawa
pasang surut dan rawa lebak yang sesuai untuk pertanian diperkirakan 5,6 – 9,9
juta hektar, dan dari luas tersebut sekitar 0,9 juta ha berada di Sumatera. Provinsi
Jambi merupakan salah satu sasaran kawasan pengembangan kedelai nasional.
Sentra pertanaman kedelai di Jambi berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
dan Tebo, dengan luas areal masing-masing adalah 1.187 ha dan 490 ha atau 54%
dan 22% dari luas kedelai di Provinsi Jambi tahun 2005 dengan produktivitas 1,0–
1,3 ton/ha. Hasil survei kegiatan di Kecamatan Rantau Rasau dan Berbak
Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2007 yang dilakukan oleh Balai
Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (BALITKABI)
menunjukkan bahwa produktivitas kedelai di lahan pasang surut tergolong rendah,
Jambi disebabkan oleh banyak hal, yaitu tata air, kualitas benih, pengendalian
hama-penyakit, pemupukan, pasca panen, dan harga (Taufiq et al. 2007).
Penanaman kedelai di lahan sawah dilaksanakan pada musim kemarau
setelah tanaman padi pada bulan Mei/Juni dan panen pada bulan
Agustus/September. Pada musim kemarau tahun 2009 penanaman kedelai
dilaksanakan pada bulan Juni/Juli dan panen dilakukan pada bulan
Oktober/Nopember. Varietas Unggul Baru (VUB) yang dikembangkan di lahan
sawah adalah Anjasmoro. Realisasi Penanaman kedelai pada musim kemarau
tahun 2009 dilakukan pada areal seluas 20 ha yang merupakan program Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikulura Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Produktivitas kedelai pada musim kemarau tahun 2009 dengan varietas
Anjasmoro adalah 1,5 t/ha. Dengan penggunanan varietas unggul baru yang
adaptif dan teknologi yang tepat diantaranya pemupukan, ameliorasi, dan
penggunaan pupuk kandang produktivitas kedelai di lahan sawah dapat mencapai
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (lahan pasang
surut), Kabupaten Tanjung Jabung Barat (lahan sawah irigasi), dan Kabupaten
Tebo (lahan kering). Penentuan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive)
dengan pertimbangan bahwa ketiga lokasi tersebut merupakan sentra produksi
kedelai di Provinsi Jambi yang dapat mewakili ketiga agroekosistem. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 sampai Januari 2011.
3.2. Penarikan Contoh
Jenis responden terdiri atas petani penangkar benih kedelai yang merupakan
contoh dalam penelitian ini. Kriteria responden yaitu: 1) melakukan kegiatan
penangkaran benih kedelai dua tahun terakhir, 2) menguasai teknologi produksi
benih kedelai, 3) mengetahui jadwal musim tanam 4) bersedia untuk dijadikan
contoh penelitian.
Jumlah petani penangkar pada tiga agroekologi lahan tersebut dipilih secara
purposive sebagai daerah yang diambil datanya mewakili agroekologi lahan yang
digunakan untuk produksi benih kedelai di Provinsi Jambi. Jumlah responden
sebanyak 10 orang petani penangkar di setiap lokasi lahan yang berbeda, yaitu
agroekologi lahan pasang surut, sawah irigasi dan lahan kering.
3.3. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder.
Data primer diperoleh langsung dari kuesioner yang ditanyakan kepada petani
penangkar. Data primer yang diperoleh dengan bantuan kuesioner meliputi:
karakteristik penangkar benih, agroekologi lahan yang digunakan, teknologi
budidaya, dan analisis usaha tani.
Data sekunder diperoleh dari gambaran umum lokasi penelitian.
terkait. seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Balai Pengawasan dan
Sertifikasi (BPSB) benih.
3.4. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode diskriptif dengan SPSS
17 sesuai dengan tujuan penelitian. Perhitungan analisis biaya dan keuntungan
dilakukan dengan analisis R/C ratio, dengan rumus sebagai berikut :
Total penerimaan R/C ratio = --- Total Biaya
Usahatani perbenihan kedelai layak diusahakan jika memiliki R/C ratio lebih
besar dari satu, dan semakin besar semakin layak diusahakan.
Hubungan antara harga, penerimaan dan volume produksi dapat diketahui
dengan melakukan analisis break even point (BEP) yang meliputi BEP Price/TIH
(Titik Impas Harga) dan BEP Yield/TIP (Titik Impas Produk). Sedangkan untuk
mengetahui hubungan antara teknologi budidaya dengan produksi hasil yaitu
berupa benih dan pendapatan dalam produksi benih kedelai dianalisis dengan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Petani
Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki seseorang pada
semua aspek dengan lingkungannya. Pemberdayaan masyarakat terhadap sesuatu
obyek tertentu serta karakteristik individu merupakan salah satu faktor yang
penting untuk diketahui, dalam rangka mengetahui suatu perilaku dalam
masyarakat. Selanjutnya Nelly (1988) mendefinisikan karakteristik individu
sebagai hasil pembawaan dan lingkungan sosialnya sehingga menentukan pola
aktivitas dalam meraih cita-citanya. Karakteristik petani menentukan pemahaman
petani terhadap informasi pertanian. Karakteristik individu merupakan ciri-ciri
atau sifat-sifat individual yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan
lingkungan seseorang.
Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh individu yang
ditampilkan melalui pola pikir, pola sikap dan pola tindakan terhadap lingkungan
hidupnya. Karakteristik identitas petani dibedakan menurut umur, pendidikan,
dan pengalaman berusahatani kedelai di lokasi kajian.
4.1.1 Umur Petani
Umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu
perubahan harus terjadi. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri
seseorang sehingga terdapat keragaman tindakannya berdasarkan usia
yang dimiliki (Halim 1992). Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebanyak
83,3% petani responden berumur 30 - 50 tahun yang merupakan umur
produktif, dimana di lahan pasang surut sebesar 90%, lahan sawah irigasi
70% dan lahan kering 90%. Umur produktif adalah usia dimana seseorang
berada dalam keadaan fisik dan psikis optimal untuk bekerja. Kelompok
usia produktif adalah petani yang secara potensial memiliki kesiapan dan
menghasilkan pendapatan untuk mendukung kehidupan dirinya,
keluarganya dan masyarakatnya.
Komposisi petani berumur kurang dari 30 tahun adalah 6,7%, dan
10% petani berumur lebih dari 50 tahun (merupakan umur tidak produktif
Tabel 1 Persentase komposisi umur petani penangkar kedelai di lokasi kajian
Agroekologi Umur Petani (%) Total (%)
< 30 30 - 50 >50
Lahan pasang surut 10,0 90,0 0,0 100,0
Lahan sawah irigasi 10,0 70,0 20,0 100,0
Lahan kering 0,0 90,0 10,0 100,0
Rata-rata (%) 6,7 83,3 10,0 100,0
Kemampuan kerja petani sangat ditentukan oleh umur petani.
Menurut Mulyasa (2003), perkembangan kemampuan berpikir terjadi
seiring dengan bertambahnya umur. Usaha tani di bidang pertanian
idealnya ditekuni oleh petani yang berusia lebih muda. Kecenderungan ini
dikarenakan perlunya kekuatan fisik dan proses adopsi inovasi baru,
dimana petani yang berumur muda akan lebih tanggap bila dibandingkan
dengan petani yang berumur lebih tua. Menurut Wiriaatmadja (1986),
bahwa umur petani akan mempengaruhi penerimaan petani terhadap
hal-hal baru. Lebih lanjut Padmowihardjo (1994) mengemukakan bahwa
kemampuan umum untuk belajar berkembang secara gradual semenjak
dilahirkan sampai saat kedewasaan. Hal ini berarti pada umur lebih lanjut
orang akan belajar lebih cepat dan berhasil mempertahankan retensi dalam
jumlah besar daripada usia lebih muda. Setelah mencapai umur tertentu,
maka kemampuan belajar akan berkurang secara gradual dan terasa nyata
diatas 50 tahun dan setelah itu penurunan akan lebih cepat lagi.
4.1.2 Tingkat Pendidikan Petani
Pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang
sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku
(Winkel 1986). Tingkat pendidikan petani responden di lokasi kajian
tergolong masih rendah yaitu sebanyak 56,7% berpendidikan SD/sederajat,
33,3% berpendidikan SMTP/Sederajat, dan 10% berpendidikan
Tabel 2 Persentase komposisi petani penangkar kedelai menurut tingkat
Pendidikan adalah usaha mengadakan perubahan perilaku
berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman yang sudah diakui masyarakat
(Wiriatmadja 1986). Tingkat pendidikan rendah (tamat SD/sederajad) di
lahan pasang surut sebesar 50%, lahan sawah irigasi 80% dan lahan kering
40%. Tingkat pendidikan petani kedelai yang rendah lebih senang
menerapkan teknik berusaha tani kedelai yang telah biasa mereka lakukan
secara turun-temurun.
Komposisi tingkat pendidikan tersebut menunjukkan bahwa petani
pada agroekologi lahan pasang surut dan lahan kering lokasi kajian dapat
dengan mudah mengadopsi teknologi yang lebih modern daripada petani
yang berada di agroekologi lahan sawah irigasi. Pendidikan formal
mempercepat proses belajar, memberikan pengetahuan, kecakapan dan
keterampilan yang diperlukan dalam masyarakat. Menurut Mulyasa
(2003), bahwa pendidikan berperan dalam mewujudkan masyarakat yang
berkualitas, dimana individu-individu memiliki keunggulan yang tangguh,
kreatif, mandiri, dan profesional dalam bidangnya masing-masing.
Tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan rendahnya
keterampilan, sehingga menyebabkan produktivitas usahatani juga rendah,
karena tidak dapat menjangkau dan mengadopsi sumberdaya, teknologi
dan keterampilan manajemen.
Tingginya tingkat pendidikan seseorang memberikan wawasan pola
berpikir yang semakin rasional dan kompeten dalam pengambilan
keputusan berusahatani. Pendidikan yang relatif tinggi dan umur yang
semakin banyak teknik berusahatani yang lebih baik dan menguntungkan.
Selanjutnya Mardikanto (1993) mengatakan bahwa pendidikan petani
umumnya mempengaruhi pola pikir petani dalam mengelola usahatani.
4.1.3 Tingkat Pengalaman Usaha Tani
Pengalaman berusahatani merupakan faktor yang mempengaruhi
aktivitas petani, dimana yang diinginkan petani berdasarkan pengalaman
yang baik, mengenai cara bercocok tanam yang baik dan menguntungkan.
Menurut Mardikanto (1993) pengalaman seorang petani berpengaruh
dalam mengelola usahatani. Petani yang memiliki pengalaman
berusahatani lebih lama cenderung sangat selektif dalam proses
pengambilan keputusan.
Pada umumnya pengalaman berusahatani kedelai petani responden
adalah 5-10 tahun yaitu sekitar 70%, sedangkan kurang dari 5 tahun
sebanyak 6,7%, dan yang berusahatani lebih dari 10 tahun sebesar 23,3%
(Tabel 3). Kondisi ini menggambarkan bahwa petani penangkar kedelai
memiliki pengalaman yang cukup untuk mendukung pengembangan
usahatani kedelai.
Tabel 3 Persentase komposisi petani penangkar menurut pengalaman usahatani kedelai di lokasi kajian
Agroekologi Pengalaman Usaha Tani (%) Total (%)
< 5 5 - 10 > 10
Lahan pasang surut 0,0 50,0 50,0 100,0
Lahan sawah irigasi 10,0 90,0 0,0 100,0
Lahan kering 10,0 70,0 20,0 100,0
Rata-rata (%) 6,7 70,0 23,3 100,0
Pengalaman adalah hasil dari proses mengalami oleh seseorang yang
mempengaruhi terhadap informasi yang diterima. Pengalaman akan
menjadi dasar terhadap pembentukan pandangan individu untuk
memberikan tanggapan dan penghayatan. Middlebrook (1974) mengatakan
bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali terhadap suatu objek secara
psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek
lebih terampil dan cenderung menghasilkan suatu hasil yang lebih baik
daripada orang yang baru.
Berdasarkan pengalaman usahatani untuk menghasilkan benih yang
bersertifikat ternyata di semua agroekologi lahan menunjukkan
pengalaman antara 2 - 4 tahun sebanyak 90% sedangan 10 persennya
berpengalaman lebih dari 4 tahun (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa
petani penangkar yang aktif sekarang relatif masih baru dalam
menghasilkan benih kedelai yang bersertifikat.
Tabel 4 Persentase komposisi petani penangkar kedelai menurut pengalaman usahatani benih bersertifikat di lokasi kajian
Agroekologi Menghasilkan Benih Sertifikat (%)
Total (%)
2-4 >4
Lahan pasang surut 90,0 10,0 100,0
Lahan sawah irigasi 100,0 0,0 100,0
Lahan kering 80,0 20,0 100,0
Rata-rata (%) 90,0 10,0 100,0
Menurut Padmowihardjo (1994) pengalaman adalah suatu
kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang
tidak ditentukan. Pengalaman seorang petani akan mempengaruhi dalam
mengelola usahatani yang dilakukan. Pengalaman berusahatani memiliki
peranan yang sangat penting bagi petani dalam mengembangkan
usahataninya, menerima dan menerapkan teknologi baru.
Perencanaan usahatani memiliki arti penting bagi keberhasilan
proses produksi dan hasil produksi yang diinginkan. Pengalaman
usahatani benih yang bersertifikat dapat membantu petani dalam
mengorganisasikan dan mengoperasikan usahatani dengan maksud untuk
meningkatkan produksi dan pendapatan, pemanfaatan sumber-sumber
produksi dan dalam menaksir biaya produksi dan pendapatan. Menurut
Asngari (2001) mengatakan bahwa petani sebagai manajer diharuskan
menguasai ketrampilan pengelolaan usahatani yang dilakukan.
Keterampilan merupakan inti dari kompetensi seseorang pada
pekerjaannya, semakin lengkap maka semakin sempurna keterampilan
Petani penangkar yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru lebih
inovatif dari masyarakat yang pasif, sehingga kemampuan petani yang
sudah bertahun-tahun lamanya kalau mereka sangat pasif maka benih
kedelai yang dihasilkan pun akan sangat beragam. Berdasarkan Tabel 5
dapat diketahui bahwa pelatihan yang diikuti petani dalam memproduksi
benih juga sangat minim pada agroekologi lahan sawah irigasi. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan petani untuk berusahatani kedelai di
lahan sawah irigasi relatif sangat baru.
Tabel 5 Persentase komposisi petani penangkar kedelai yang mengikuti pelatihan produksi benih kedelai di lokasi kajian
Pengetahuan tentang produksi benih kedelai harus diupayakan, agar
tanaman tumbuh sehat dan bebas dari tekanan organisme pengganggu
serta harus diikuti oleh teknologi penanganan pascapanen yang benar.
Penanganan pra panen sama pentingnya dengan penanganan pasca
panen untuk tujuan produksi benih. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam produksi benih kedelai adalah perbenihan dilakukan
pada sentra produksi dan dipilih dari lahan yang subur dengan irigasi
yang cukup serta bukan daerah endemik hama penyakit, menanam
pada waktu yang tepat, pemeliharaan tanaman harus dilakukan optimal
supaya tanaman tumbuh normal, dihindari penanaman dari lahan bekas
varietas yang berbeda, dan panen tepat waktu serta penanganan pasca
panen yang benar.
Berbagai kendala yang dihindari dalam peningkatan produktivitas
ini diantaranya menyangkut inovasi teknologi yang belum atau kurang
sempurna diadopsi oleh petani sebagai pengguna. Menurut Rogers &
diri seseorang sejak mengenal inovasi sampai memutuskan mengadopsi
inovasi tersebut. Berkaitan dengan itu Mardikanto (1993) menyampaikan
bahwa adopsi adalah proses perubahan perilaku pada seseorang setelah
menerima inovasi yang disampaikan sumber informasi, baik media cetak
maupun interpersonal. Dengan kata lain mempercepat adopsi inovasi dapat
dilakukan dengan menggunakan media komunikasi, baik satu media atau
gabungan beberapa media seperti media cetak, media eletronik dan
interpersonal.
Pengalaman usahatani dapat diperoleh dari peranan media dalam
menyampaikan informasi ke petani, namun komunikasi timbal balik tidak
terjadi akibatnya tidak ada interaksi diantara sumber dengan pengguna.
Khusus untuk tanaman kedelai, petani menerapkan teknologi berdasarkan
program dinas, bukan hasil pertimbangan sendiri. Secara umum petani
menyukai varietas Anjasmoro, tetapi petani akan menanam varietas lain
apabila itu diberikan oleh dinas. Hal ini berarti petani bukan mengadopsi
teknologi namun menerapkan teknologi bila itu diberikan secara gratis.
Petani kedelai dalam hal proses percepatan adopsi sangat tergantung dengan :
musim dan ketersediaan varietas dan sarana.
Keberadaan kelembagaan penunjang belum memadai untuk
mencapai hasil yang lebih baik dan menyeluruh bagi petani penangkar,
sehingga diperlukan perbaikan dan perhatian petani serta pemerintah
daerah yang diselaraskan dengan perbaikan teknologi. Selanjutnya
diperlukan pengkajian teknologi spesifik lokasi, baik yang bersifat
komponen maupun berupa paket demi peningkatan produktivitas usahatani
pada lahan kering.
Teknologi usahatani yang diterapkan petani saat ini perlu perbaikan.
Prioritas perbaikan menyangkut teknologi budidaya, termasuk varietas
unggul. Perbaikan sistem usahatani meliputi kegiatan perbaikan paket
teknologi, perbaikan kelembagaan, pemanfaatan infrastruktur penunjang
secara maksimal dan peningkatan kesadaran serta kerjasama antar
masyarakat yang semuanya dijalankan dengan pembinaan dan pengawasan
Dalam melaksanakan usahatani kedelai, petani masih menerapkan
teknologi yang sangat tergantung pada kemampuan pengadaan masukan
produksi, sehingga hasil yang diperoleh masih rendah. Sementara adopsi
teknologi usahatani secara baik dan utuh akan dapat meningkatkan hasil
dan pendapatan. Pencapaian peningkatan produksi akan lebih baik bila
pengelolaan lahan terus ditingkatkan.
4.2 Teknologi Produksi Benih Kedelai
Tanaman kedelai dapat tumbuh di berbagai agroekosistem dengan jenis
tanah, kesuburan tanah, iklim dan pola tanam yang berbeda, sehingga kendala satu
agroekosistem (lahan pasang surut, lahan sawah irigasi dan lahan kering) akan
berbeda dengan agro ekosistem yang lain. Teknologi produksi benih kedelai
meliputi teknologi penggunaan benih, persiapan lahan, penanaman, pemupukan,
pengendalian hama dan penyakit, seleksi (roguing), pasca panen, dan pengujian
mutu benih pada tiga agroekologi lahan. Persentase penggunaan teknologi ini
dapat dikategorikan ke dalam kisaran sangat rendah (0 – 20%), rendah (21 –
40%), cukup (41 – 60%), tinggi (61-80%) dan selalu (81-100%)
4.2.1 Teknologi penggunaan benih pada tiga agroekologi lahan
Dalam produksi benih kedelai yang baik, diperlukan pengetahuan
tentang penanganan benih yang meliputi tiga aspek yaitu aspek genetis,
fisiologis dan fisik. Aspek genetis benih artinya benih memiliki sifat-sifat
sesuai dengan deskripsi varietas yang bersangkutan, sedangkan untuk
mendapatkan mutu fisiologi dan fisik yang tinggi diperlukan penanganan
pratanam dan pascapanen yang baik. Benih kedelai yang digunakan, pada
dasarnya harus benih yang unggul dan bermutu tinggi. Benih yang unggul
dan bermutu tinggi akan menjamin pertanaman yang bagus dan hasil
panen yang tinggi, yang dicerminkan oleh tingginya tingkat keseragaman
benih, daya tumbuh dan tingkat kemurnian.
Gambar 2 menunjukkan bahwa benih bersertifikat selalu digunakan,
yaitu pada kisaran 81%-100%. Pada lahan pasang surut sebesar 94%,
lahan sawah irigasi sebesar 96% dan lahan kering 92%. Persentase
dibanding pada lahan pasang surut dan lahan kering. Secara keseluruhan
ketersediaan benih sumber yang bersertifikat pada ketiga agroekologi
lahan tersebut masih bisa terpenuhi.
Gambar 2 Persentase petani yang menggunakan benih bersertifikat pada tiga agroekologi lahan.
Persentase penggunaan benih bersertifikat di lahan kering lebih
rendah dikarenakan pola tanam tiga kali dalam setahun, sehingga
membutuhkan benih sumber yang bersertifikat yang banyak. Selain itu,
lokasi lahan kering tidak mudah dijangkau dibanding lokasi daerah lahan
sawah irigasi dan pasang surut. Penggunaan benih bersertifikat,
merupakan faktor yang dapat mempercepat terjadinya kenaikan
produktivitas kedelai. Selain itu penggunaan benih bersertifikat yang
spesifik lokasi dan perluasan areal dalam skala usaha tani dapat
meningkatkan produksi tanaman kedelai.
Syarat benih bermutu meliputi kemurnian dan diketahui nama
varietasnya, daya tumbuhnya tinggi (minimal 80%) serta vigornya baik,
biji sehat, bernas, mengkilat, tidak keriput dan dipanen dari tanaman yang