KABUPATEN KEDIRI Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Disusun oleh :
MUHAMMAD RIFKI 109051000045
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi persyratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlalu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 1 juli 2014
i
Pola Komunikasi Organisasi Aksi Cepat Tanggap (ACT) Dalam Penanganan Bencana Gunung Kelud di Kecamatan Pare Kabupaten Kediri.
Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah organisasi kemanusiaan yang menggerakkan humanity (kemanusiaan), philanthropy (kedermawanan), dan volunteerism (kerelawanan). Komunikasi dalam suatu organisasi sangat diperlukan. Dengan adanya komunikasi, maka tujuan dari suatu organisasi akan mudah tercapai. Karena itu, diperlukan pola komunikasi yang efektif dan efisien baik melalui lisan dan tulisan. Dalam menyampaikan informasi perusahaan kepada semua karyawan.
Berdasarkan konteks di atas, maka pertanyaan mayornya adalah bagaimana pola komunikasi organisasi ACT dalam penanganan bencana gunung Kelud di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri? Adapun pertanyaan minornya adalah apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian pra-bencana? Apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian saat bencana? Apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian pasca-bencana?
Pola komunikasi organisasi yang digunakan oleh ACT adalah pola lingkaran. Pola lingkaran adalah semua anggota organisasi dapat berkomunikasi dengan yang lainnya, tidak mempunyai pemimpin serta setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya. Dimana semua anggota ACT dapat berkomunikasi dengan siapa saja baik secara langsung maupun tidak langsung. Serta adanya komunikasi berjenjang yang dilakukan tiap harinya. Sehingga komunikasi berjalan dengan baik.
Teori yang digunakan adalah pola komunikasi organisasi. Pola adalah bentuk (struktur) yang tepat. Komunikasi adalah pesan yang disampaikan dari komunikator kepada komunikan melalui lisan atau tulisan kemudian terjadinya feedback. Organisasi adalah sejumlah individu yang diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Pola komunikasi ini terbagi menjadi lima yaitu pola roda, rantai, Y, lingkaran, dan bintang atau semua saluran. (DeVito, 2011).
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Tahapan penelitiannya menggunakan pedoman wawancara dan dokumentasi. Waktu penelitiannya adalah Desember 2013 sampai Maret 2014. Teknik pengumpulan datanya adalah data primer dan data sekunder.
Pola komunikasi pada saat pra-bencana, saat bencana dan pasca-bencana cenderung menggunakan pola lingkaran. Ini tampak pada rapat-rapat manajemen dan saat mitigasi bencana. Pada saat bencana dan pasca-bencana, pola lingkaran ini digunakan berdasarkan struktur yang dibuat dilapangan. Tetapi tetap melakukan briefing yang menjadi pola dasar dari ACT. Briefing dilakukan untuk evaluasi dan persiapan tim dilapangan agar tidak ada kendala dalam berkomunikasi dilapangan.
Pola komunikasi yang digunakan ACT adalah pola lingkaran. Pola lingkaran, komunikasi yang dilakukan secara berjenjang melalui rapat-rapat manajemen. Komunikasi yang dilakukan tidak hanya pekerjaan. Tetapi kedekatan emosional dan spritual serta campaign, mengedukasi masyarakat, happening art, dan unjuk kepedulian di area publik pun mereka lakukan. Media yang digunakan adalah bbm, e-mail, group facebook, , maupun secara langsung.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohim
Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur Alhamdulillah kepada
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, Dialah Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan nikmat Iman, Islam dan Ihsan kepada seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini. Dialah Tuhan
yang menciptakan akal sebagai mediator untuk berfikir dan merenung tentang kekuasaan-Nya, untuk mempelajari lautan ilmu-Nya, dan yang terpenting, untuk
menyadari, mengetahui, mengingat dan menyaksikan akan eksistensi-Nya setiap saat.
Bersama rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dan merupakan kewajiban akademis di Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan seluruh pengikutnya
yang senantiasa istiqamah dalam mengikuti dan memegang teguh ajaran-Nya dan menjalankan agama Allah SWT. Semoga uswatu hasanah yang beliau contohkan, menjadikan penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya pengikut yang
ii Assalamu’alaikumWr. Wb.
Tiada kata yang patut kita lantunkan selain puji syukur kehadirat Allah SWT
Tuhan yang Maha Agung yang dengan limpahan anugerah dan nikmat yang tak
terukur kepada peneliti, sehingga dapat memulai dan menyelesaikan penelitian ini.
Shalawat teriring salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan baginda Nabi
Besar Muhammad SAW. Amin.
Peneliti menyadari adanya kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri
peneliti, khususnya pada penyelesaian skripsi ini. Namun, Alhamdulillah dengan
keterbatasan dan kekurangan ini akhirnya peneliti bias menyelesaikan penelitian ini.
Hal ini tidak terwujud sendirinya melainkan karena dukungan dan bantuan dari
banyak pihak baik moril maupun materil, sehingga banyak ucapan terimakasih
peneliti ucapkan kepada:
1. Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Pembantu Dekan Bidang Akademik Dr. Suprato, M.ED,
Pembantu Dekan Bidang Adminitrasi Drs. Jumroni, M.SI, Pembantu
Dekan Bidang Kemahasiswaan Drs. Sunandar MAg.
2. Rachmat Baihaky, MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam yang telah memberikan sarana dan prasarana yang baik selama
iii di kampus tercinta ini.
4. Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D. selaku pembimbing yang telah sabar
dalam membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik
dan telah meluangkan waktunya untuk membolehkan dating kerumah,
hingga lebih dari 10 kali untuk mengarahkan, membimbing, dan
membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi.
5. Bapak Drs. Masran, MA selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah
memandu dan memberikan dukungan sejak pertama kuliah hingga penulis
dapat menyelesaikan perkuliahan.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, khususnya
jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang telah memberikan
wawasan keilmuan, mendidik dan mengarahkan peneliti selama peneliti
berada pada masa kuliah.
7. Segenap staf akademik dan staf Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi yang telah membantu peneliti dalam mencari berbagai
literatur yang menunjang untuk skripsi ini.
8. Terimakasih kepada aktivis dan pimpinanACT beserta stafnya sebagai
objek penelitian, dan yang telah membantu peneliti dalam observasi,
iv sampai mana skripsi yang peneliti buat.
10.Terimakasih kepada Ibu saya, Ibu Mulyani yang telah menyarankan
peneliti untuk berdiskusi, meminta bantuan dengan saudara-saudara, dan
ikut membantu mendoakan peneliti supaya cepat menyelesaikan skripsi.
11.Terimakasih kepada Adik dan Kakak saya yang ikut memberikan
semangat setiap hari kepada peneliti.
12.Teman-teman KPI B angkatan 2009 yang telah bersama-sama berjuang
dan menimba ilmu di kampus tercinta dan terus menjaga kekompakkan
satu sama lain.
13.Teman-teman KKN Ceria 2009 yang telah memberikan ilmu pendidikan
kepada masyarakat di daerahCisarua Bogor.
14.Teman-teman dekat yang selalu membantu, mendukung, dan bertukar
pikiran sehari-hari.
15.Serta pihak-pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan
skripsi ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu namun tidak
mengurangi rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada mereka semua.
Peneliti merasa perlu memberikan ucapan terimakasih yang
sebanyak-banyaknya kepada mereka yang telah peneliti sebutkan di atas, berkat dukungan,
semangat, serta do’a yang tulus kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
v Wassalamu’alaikumWr. Wb.
Jakarta, 31 Maret2014
Muhammad Rifki
vi
B. Identifikasi, Batasan, danRumusanMasalah ... 5
C. TujuandanManfaatPenelitian ... 6
D. TinjauanPustaka ... 8
E. BingkaiTeori ... 10
F. MetodePenelitian... 12
G. SistematikaPenulisan ... 15
BAB II LANDASAN TEORITIS A. PolaKomunikasiOranisasi ... 17
1. PengertianPolaKomunikasiOrganisasi ... 17
2. Macam-macamPolaKomunikasiOrganisasi ... 20
B. Bencana ... 24
1. PengertianBencana ... 24
2. Jenis-jenisBencana ... 25
3. LetusanGunungKelud ... 25
C. TahapanPenangananBencana ... 27
D. PenangananBencananTerpadu ... 30
BAB III GAMBARAN UMUM AKSI CEPAT TANGGAP A. SejarahBerdirinyaOrganisasiAksiCepatTanggap (ACT) ... 39
B. VisidanMisiAksiCepatTanggap (ACT) ... 40
C. StrukturOrganisasiAksiCepatTanggap (ACT) ... 41
vii
A. PolaKomunikasi ... 47
1. Pra-Bencana ... 50
2. SaatBencana ... 56
3. Pasca-Bencana... 60
B. Interpretasi... 62
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 68
viii
1
A. Latar Belakang
Sebuah bencana yang disebabkan oleh manusia menciptakan serangkaian "bencana alam" yang merangsang bencana sosial dalam jangka waktu yang
panjang yang melebihi masa hidup manusia normal. Bencana ini sangat berdampak pada kelangsungan hidup orang banyak serta membuat peradaban manusia menjadi rusak. Para manusia yang mendapatkan dampak besar seperti
kehilangan tempat tinggal, keluarga, harta benda maupun yang lainnya. hal ini di sebabkan perubahan iklim yang ekstrim, perang, sistem ekonomi yang terjebak
dunia dalam krisis global. Ini tentu mendapat perhatian khusus bagi setiap Negara untuk membentuk sebuah tim pemerintahan dalam mengantisipasi maupun memberikan pertolongan dengan cepat kepada para korban.
Di Indonesia sendiri telah banyak instansi pemerintah maupun lembaga-lembaga lokal untuk ikut berpartisipasi dalam menangani bencana tersebut. Salah satunya adalah Aksi Cepat Tangap (ACT). yang berdiri di Jakarta tahun 2005.
Sebuah organisasi kemanusiaan yang menggerakkan humanity (kemanusiaan), philanthropy (kedermawanan), dan volunteerism (kerelawanan). Humanity adalah wujudnya desain program kemanusiaan, kedermawanan menjadi salah satu sumber pembiayaannya yang digalang dengan mekanisme kampanye diberbagai media komunikasi, dan kerelawanan menjadi sumber daya
pelaksanaan/implementasi program kemanusiaan.1
1
ACT berdiri pada tahun 2005 sebagai institusi resmi dan mandiri. Program
yang ditangani berkembang tidak lagi hanya berkisar pada bencana alam, namun juga mengembangkan konsentrasinya pada bencana sosial atau bencana
kemanusiaan. Termasuk di antaranya, gizi buruk, rawan pangan, anak-anak, masalah kesehatan dan sanitasi lingkungan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi, pembangunan masyarakat, hingga konflik sosial. Tak hanya memberikan bantuan
kepada para korban bencana, ACT juga memiliki aktivitas yang meliputi: pelatihan, konsultasi, dan penelitian berbasis keahlian akademis praktis dan
empiris di bidang penanganan bencana alam dan sosial secara terpadu. Pelatihan, konsultasi, dan penelitian yang dilakukan mencakup mitigasi, kesiapsiagaan, emergensi, rehabilitasi, rekonstruksi, hingga prosedur mutu dalam tugas-tugas
kemanusiaan dan kebencanaan.
Hal ini tentu tidak lepas dari hubungan komunikasi yang dibangun antara
pegawai dan manajemen ACT, sehingga terhindar dari masalah konflik yang biasanya sering terjadi dalam sistem organisasi dan hubungan antara bawahan dan atasan sangat akrab dan harmonis. Komunikasi merupakan suatu aktivitas
manusia yang sanga penting. Bukan hanya dalam suatu organisasi, tetapi dalam kehidupan manusia secara umum. Tiada hari tanpa komunikasi, sepanjang nafas
dan detak jantung masih ada komunikasi sangat diperlukan. Tanpa komunikasi, kita tidak dapat berinteraksi dengan sesama manusia dan memahami apa yang sedang dilakukan oleh manusia. Komunikasi tidak hanya melalui lisan, tetapi
utama karena susunan keluasan dan cakupan organisasi secara keseluruhan
ditentukan oleh teknik komunikasi.2
“Komunikasi memberikan sesuatu kepada orang lain dengan kontak tertentu
atau dengan memergunakan sesuatu alat. Banyak komunikasi terjadi dan berlangsung tetapi kadang-kadang tidak tercapai kepada sasaran tentang apa yang dikomunikasikan itu.”3
Menurut William J. Seller komunikasi adalah proses dengan di mana simbol verbal dan nonverbal dikirimkan, diterima, dan diberi arti. Hakikatnya komunikasi
merupakan pengiriman pesan yang akan diinterpretasikan oleh si penerima pesan.4 Sementara itu menurut Harold Lasswell, “dalam berkomunikasi dia menggunakan lima pertanyaan yang perlu dipertanyakan dan dijawab dalam bila komunikasi,
yaitu who (siapa), says what (mengatakan apa), in which medium (melalui media apa), to whom (kepada siapa), dan dengan what effect (apa efeknya).”5
Komunikasi menjadi lebih terstruktur dan terhubung saat dikaitkan dengan organisasi. Suatu pendekatan objektif yang menyarankan bahwa sebuah organisasi adalah sesuatu yang bersifat fisik dan kongkrit, dan merupakan sebuah wadah
yang mengumpulkan orang-orang dan mempunyai tujuan yang sama. Sementara itu, pendekatan yang subjektif memandang organisasi adalah proses atau
tindakan-tindakan, yang dilakukan orang-orang dalam struktur organisasi.6
2 Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006), h. 337.
3
H.A.W. Widjaja, Komunikasi & Hubungan Masyarakat (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h..5.
4 Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 4-5. 5
Michael Burgoon, Approachingn Spech/Communication Process (New York, Holt, Rinehart dan Winston, 1974), h. 10
6 R. Wayne Pace dan Doon F. Faules, Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan
Untuk memajukan organisasi, maka sangat diperlukan komunikasi yang
baik. Oleh karena itu, kita harus mengetahui lebih banyak mengenai sistem secara keseluruhan dan bagaimana mencocokkan ke dalam sistem yang lebih luas.7
Dalam organisasi, manusia membutuhkan komunikasi yang efektif agar cepat mencapai tujuan yang diinginkan. Setiap individu harus mampu berkomunikasi yang baik agar terciptanya keharmonisan sehinga terhindar dari konflik.
Keharmonisan komunikasi dan kepuasan kerja menunjukkan secara tidak langsung bahwa pegawai haruslah mempunyai informasi yang diperlukan untuk
megerjakan pekerjaan.
Komunikasi memungkinkan orang untuk mengoordinir kegiatan untuk mencapai tujuan bersama, tetapi komunikasi itu tidak hanya menyampaikan
informasi atau mentransfer makna saja.8 Dalam suatu organisasi, diperlukan komunikasi yang efektif dan efisien. Karena, jika dalam suatu organisasi tidak
melakukan komunikasi kepada atasan maupun sesama pegawai, maka organisasi tersebut tidak dapat mengoordinasi tugas yang harus dilaksanakan, tidak adanya keterbukaan di antara para pegawai, dan tidak tercapainya tujuan bersama.
Komunikasi dalam organisasi menjadi sistem aliran yang menghubungkan dan membangkitkan kinerja antar bagian dalam organisasi sehingga menghasilkan
sinergi.
Dibandingkan pada lembaga lain, ACT merupakan lembaga nonprofit sehingga dibangun komunikasi yang baik di dalamnya. Dalam mencapai tujuan
dan harapan di suatu organisasi, maka organisasi tersebut harus membangun komunikasi yang efektif dan efesien di dalam internal organisasi tersebut. Oleh
7Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, h. 92.
8
karena itu, sebuah organisasi tidak terlepas dari adanya komunikasi. Tanpa
komunikasi organisasi, tidak akan berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan bersama. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian
dengan judul “Pola Komunikasi Organisasi Aksi Cepat Tanggap (ACT) dalam Penanganan Bencana Gunung Kelud di Kecamatan Pare Kabupaten Kediri.”
B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Masalah yang ingin diteliti adalah hanya pada pola komunikasi yang digunakan ACT dalam menangani bencana. Kendala dalam komunikasi yang biasa terjadi adalah miss komunikasi, yang menimbulkan konflik maupun salah
paham, keadaan alam sekitar yang tidak mendukung, alat komunikasi yang minim, dan adanya kesenjangan jabatan yang membuat komunikasi menjadi tidak
efektif. Masalah-masalah ini yang perlu diminimalir dalam komunikasi, oleh karena itu peneliti mencoba membahas pola komunikasi apa yang digunakan dalam penanganan bencana di gunung Kelud.
2. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pembatasan masalah hanya
menekankan pada pola komunikasi yang digunakan Aksi Cepat Tanggap (ACT) saat menangani bencana di fase pra-bencana, fase saat bencana, dan fase pasca-bencana pada kejadian letusan gunung Kelud di Kecamatan Pare Kabupaten
3. Rumusan Masalah
Pertanyaan utama penelitian ini adalah bagaimana pola komunikasi organisasi Aksi Cepat Tangap (ACT) dalam penanganan bencana letusan gunung Kelud?
sedangkan pertanyaan minor adalah:
a. Pola komunikasi apa yang digunakan pada bagian pra-bencana? b. Pola komunikasi apa yang digunakan pada bagian saat bencana?
c. Pola komunikasi apa yang digunakan pada bagian pasca-bencana?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan
Dengan mengacu pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adala mengetahui bagaimana pola komunikasi
organisasi di Aksi Cepat Tanggap (ACT) dalam penanganan bencana letusan gunung Kelud, khususnya:
a. Mengetahui apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian pra-bencana.
b. Mengetahui apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian saat
bencana.
c. Mengetahui apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian
pasca-bencana. 2. Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
b. Manfaat praktis, secara praktis penelitian ini diharapkan akan menjadi
sebuah masukan dan menambah wawasan bagi mahasiswa dan masyarakat. Serta bagi para praktisi komunikasi dalam hal pola
komunikasi organisasi penangan bencana, tulisan ini dapat dijadikan masukan buat lembaga kemanusian lain di Indonesia.
3. Pernyataan Penelitian
Pada dasarnya ACT telah menggunakan pola komunikasi yang berstruktur dalam berkomunikasi sesama karyawan. Pada saat
penangangan bencana di gunung Kelud, pola komunikasi yang digunakan oleh ACT adalah pola lingkaran dan pola rantai. Pola lingkaran terjadi pada saat
pra-bencana, di mana terjadi komunikasi berjenjang. Sedangkan, pola rantai
terjadi pada saat bencana dan pasca-bencana karena adanya komunikasi ke atas
dan ke bawah melalui tingkatan hirarki yang bersifat kaku. Keadaan terpusat juga
terdapat di sini. Orang yang berada di posisi tengah lebih berperan sebagai
pemimpin dari pada mereka yang berada di posisi lain.
Pola komunikasi ini memungkinkan para relawan dan aktivis penanganan bencana yang ada untuk mempermudah mengoordinir kegiatan mereka di lapangan untuk mencapai tujuan bersama. Komunikasi
itu dilakukan berdasarkan tingkatan hirarki yang beralaku. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tingkat penyimpangan dalam berkomunikasi
D. Tinjauan Pustaka
Langkah awal sebelum melakukan penelitian suatu karya ilmiah adalah proses penelaahan peneliti terlebih dahulu, kemudian peneliti memeriksa skripsi
dan penelitian sebelumnya yang mempunyai judul atau objek dan subjek penelitian yang sama atau hampir sama dengan yang diteliti. Dengan demikian, peneliti dapat mengetahui apa yang diteliti sebelumnya. Sehingga, penelitian
karya ilmiah ini tidak sama dengan penelitian skripsi terdahulu.
Setelah mengadakan suatu penelitian kepustakaan skripsi yang memiliki judul
hampir sama dengan yang akan diteliti, judul skripsi tersebut adalah:
1. Maulisa Suderajat, mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam angkatan tahun 2014 berjudul, “Pola Komunikasi Organisasi Di Lembaga
Kemanusiaan Nasional Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU).” Skripsi ini menjelaskan tentang pola komunikasi yang digunakan dalam PKPU
adalah pola bintang. PKPU menggunakan komunikasi dua arah. Teknik ini Perbedaan skripsi ini dengan yang diteliti ini terletak pada subjek penelitiannya.9
2. Dini Novianti, mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam angkatan tahun 2009 berjudul, “Pola Komunikasi Organisasi Di Balai Besar
Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Kampung utan Tangerang.” Skripsi ini menjelaskan bahwa pola komunikasi yang digunakan adalah komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas, komunikasi horizontal dan
informal. Media yang digunakan adalah melalui website, telepon, radio,
9
fax, email, brosur dan koran untuk pelayanan jasa. Perbedaan skripsi ini dengan yang diteliti terletak pada objek penelitian.10
3. Ika Soleha, mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam angkatan tahun 2013 berjudul, “Pola Komunikasi Organisasi Di PT. Arga Bangun Bangsa ESQ Leadership Center.” Skripsi ini menjelaskan tentang pola komunikasi yang digunakan PT. Arga Bangun Bangsa ESQ Leadership Center adalah pola bintang. Perbedaan pada skripsi ini adalah objek penelitiiannya.11 4. Andreas Meissner, dkk, pada tahun 2002 membuat jurnal yang berjudul
“Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System.” 12 Jurnal ini menjelaskan bahwa pola komunikasi yang digunakan dalam penanganan bencana secara terpadu menggunakan komunikasi buttom-up. Perbedaan skripsi ini dengan yang diteliti terletak pada objek penelitian.
10 Dini Novianti, “Pola Komunikasi di Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah II
Kampung Utan Tangerang.” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 59.
11
Ika Soleha, “Pola Komunikasi Organisasi Di PT. Arga Bangun Bangsa ESQ Leadership Center.” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 80.
12
Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
E. Bingkai Teori GAMBAR 1.1
Pola komunikasi organisasi
Aksi Cepat Tanggap (ACT)
Korban Letusan Gunung Kelud
Pra-Bencana) Saat
Bencana
Pasca-Bencana
Pola Roda Pola Bintang
Pola Lingkaran Pola Y Pola Rantai
Gambar 0.1 menjelaskan, bahwa pola komunikasi merupakan bentuk yang
digunakan dalam memberikan informasi. Beberapa teori digunakan untuk mengetahui pola yang digunakan sebuah organisasi tanggap bencana. ACT adalah
lembaga kemanusiaan yang bergerak membantu korban bencana alam maupun bencana sosial. Sejak berdirinya pada tahun 2005, ACT telah banyak ikut berpartisipasi dalam membantu wilayah-wilayah yang terkena bencana, seperti di
gunung Sinabung, gunung Merapi, dan banjir Jakarta. Hal ini tentu saja tidak lepas dari komunikasi yang dibangun ACT. Pola komunikasi yang digunakan
ACT inilah yang membuat ACT lebih dikenal masyarakat. Pola yang di bangun ACT memudahkan proses penyampaian informasi kepada semua pegawai dan relawan ACT.
Dalam proses penyampaian pesan, biasanya dalam komunikasi internal organisasi, proses penyampaiannya terbagi menjadi dua, yakni vertikal dan
horizontal. Proses penyampaian pesan vertikal, yakni komunikasi ke bawah berupa tugas-tugas, maupun intruksi, dan ke atas yang berupa laporan maupun masukan untuk perusahaan. Sedangkan horizontal adalah penyampaian pesan ke
sesama kayawan berupa koordinasi maupun kesiapan yang dibutuhkan. Dalam menyampaikan informasi, baik komunikasi ke bawah, ke atas, dan horizontal
membutuhkan sarana komunikasi, baik media elektronik maupun non elektronik, sehinga komunikasi dalam menyampaikan informasi ke semua pegawai ACT dapat menghemat cost, tenaga, dan waktu. Hal inilah yang hendak diteliti, yakni
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian ini dilaksanakan sejak tanggal 20 Desember sampai tanggal 20 Maret pada tahun 2014. Lokasi penelitian dalam hal ini bertempat
di perkantoran Ciputat Indah Peramai, Tangerang Selatan dan Menara ESQ Center 165, jalan TB Simatupang Kav. 1 Cilandak Timur, Jakarta Selatan,
dan sempat melakukan observasi di lokasi bencana letusan gunung Kelud kecamatan Pare kabupaten Kediri, tanggal 23 Febuari 2014.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek peneltian ini adalah organisasi ACT dan okjek penelitiannya adalah bagaimana pola komunikasi yang diterapkan oleh ACT dalam
penanganan bencana letusan gunung Kelud.
3. Metode Penelitian
Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, dengan
pendekatan kualitatif. Peneliti berusaha untuk menggambarkan secara jelas yang terjadi di lapangan dan kemudian dianalisis untuk mendapatkan hasil
yang digunakan sebagai bahan penelitian. Pendekatan kualitatif ini menitik beratkan pada data-data penelitian yang akan dihasilkan melalui pengamatan, dan wawancara. Selain itu, jenis penelitian ini bersifat deskriptif, yakni
Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum
yang ada. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dan gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dan
masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh kategorisasi.13
4. Data Penelitian
a. Field Research (penelitian lapangan)
Penelitian ini dilaksanakan dengan terjun langsung ke lokasi penelitian yang dalam hal ini bertempat di Menara ESQ Center 165 lantai 11 dan 14
juga tempat kejadian bencana letusan gunung Kelud di Kediri Jawa Timur tanggal 23 Febuari 2014.
b. Library Research (penelitian kepustakaan)
Peneliti mengumpulkan dan menelaah beberapa literatur seperti, buku-buku ilmiah, jurnal, surat kabar, majalah, brosur, dan sumber-sumber lain
yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai kerangka teoritis dan pendapat para ahli dan lembaga yang terkait dengan masalah ini.
5. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi
Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat berkerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi.14 Observasi merupakan pengamatan
dan pencatatan dengan sistematika dengan fenomena yang diselidiki.
13 Jumroni. Metode-Metode Penelitian Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h.
28.
14
Dengan metode ini penulis akan mengetahui tentang bagaimana pola
komunikasi organisasi di ACT dalam penanganan bencana letusan gunung Kelud.
b. Wawancara
Wawancara adalah salah satu alat untuk mengumpulkan atau memperoleh informasi langsung tentang beberapa jenis data.15 Wawancara
ini berkaitan dengan masalah penelitian, sehingga dapat menemukan data atau keterangan mengenai pola komunikasi organisasi dalam lembaga
ACT dalam penanganan bencana letusan gunung Kelud. Wawancara ini dilakukan di menara ESQ 165 bersama bapak Iqbal Setyarso Direktur Komunikasi ACT, serta Insan Nurrahman Vice Presiden ACT, Erlid
Riandilanta Relawan ACT, Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro.
c. Studi Dokumentasi
Studi ini digunakan untuk mengambil data dari berbagai dokumen yang telah dimiliki kantor ACT berupa buku, bulletin, dan foto-foto yang
kemudian akan menjadi rujukan untuk kemudian diteliti lebih lanjut. “Dokumen-dokumen ini dapat mengungkapkan bagaimana subjek
mendefinisikan dirinya sendiri, lingkungan, dan situasi yang dihadapinya suatu saat, dan bagaimana kaitan antara definisi diri tersebut dalam hubungan dengan orang-orang di sekelilingnya dengan
tindakan-tindakannya.”16
15 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Jogjakarta: Andi Offset, 1983), h. 49.
16 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
6. Teknik Pengolahan Data
Dalam menyederhanakan data, peneliti melakukan beberapa tahap, yaitu data dikelompokkan, disederhanakan, lalu dikemas dalam tabel, grafik,
maupun bagan. Dan dalam penulisan ini, peneliti berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) terbitan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance).17
7. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah menganalisis proses berlangsungnya suatu
fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut dan menganalisis makna yang ada di balik informasi, adat, dan proses suatu fenomenan sosial itu.18
G. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis menguraikannya ke dalam
beberapa bab sebagai berikut:
Peneliti memulai skripsi ini dengan sebuah pendahuluan. Bab I ini berisikan: latar belakang masalah, identifikasi masalah, fokus dan rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, pernyataan penelitian, bingkai teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan yang merupakan gambaran umum dalam
penulisan skripsi.
Selanjutnya, kajian teoritis peneliti tempatkan pada bab II, yang meliputi: penjelasan teori yang relevan digunakan untuk menganalisis dan merancang
sistem yang diperoleh dari berbagai sumber seperti buku referensi maupun
17
Tim Penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Jakarta: CeQDA, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).
internet yang menjadi landasan penulisan skripsi ini di antaranya tentang pola
komunikasi organisasi.
Adapun gambaran umum lembaga Aksi Cepat Tanggap, diuraikan pada bab
III. Dalam bab ini, penulis kemukakan aspek sejarah ACT, kemudian visi dan misi ACT, selanjutnya program-progam kegiatan ACT, serta struktur lembaga ACT.
Inti skripsi ini ada pada bab temuan dan analisis. Bab IV ini berisi tentang pola komunikasi organisasi di ACT, pola komunikasi bintang, pola komunikasi y,
pola komunikasi rantai, pola komunikasi lingkaran, dan pola komunikasi roda. Akhirnya, peneliti tutup skripsi ini, dengan format kesimpulan dan saran. Bab V ini, penulis menjawab pertanyaan minor yang dikemukakan pada bab
pendahuluan.
17 BAB II
TINJAUAN TEORITIS A. Pola Komunikasi Organisasi
1. Pengertian Pola Komunikasi Organisasi
Pola komunikasi terdiri atas pola dan komunikasi. Pola dikatakan sebagai
model, yaitu cara untuk menunjukkan sebuah objek yang mengandung kompleksitas proses di dalamnya dan hubungan antara unsur-unsur pendukungnya.1 Sementara, komunikasi organisasi merupakan serangkaian kata
dari dua kata, yaitu komunikasi dan organisasi. Untuk lebih jelasnya, dari dua kata tersebut akan diuraikan dengan penjelasan masing-masing.
Menurut Onong Uchjana Effendi “istilah komunikasi berasal dari bahasa Inggris yaitu communication yang berarti ‘pemberitahuan’ atau ‘pertukaran pikiran.’ Maka hakikat dari communication itu berarti ‘sama’ atau ‘kesamaan
arti.”’2
Sedangkan secara terminologi, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain yang disampaikan baik secara
langsung yakni berupa lisan atau tatap muka maupun secara tidak langsung melalui media yang bertujuan untuk memberitahukan atau mengubah sikap,
pendapat, dan prilaku, orang lain.3
Organisasi berasal dari bahasa Latin organigare, yang secara umum berarti sistem dari bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bergantung. Organisasi
adalah orang-orang yang berkumpul yang mempunyai suatu tujuan yang sama
1
Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 9.
2 Onong Uchjana Effendi, Spektrum Komunikasi (Bandung: Bandar Maju, 1992), h. 1. 3 Onong Uchayana Effendi, Dinamika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
dengan melalui pembagian tugas kerja dan saling bergantungan dengan yang lain untuk mencapai tujuannya.4
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang yang berkomunikasi
berarti mengharapkan agar orang lain ikut berpartisipasi atau bertindak sesuai dengan tujuan, harapan, dan isi pesan yang disampaikan. Jadi di antara orang yang
terlibat dalam kegiatan komunikasi harus memiliki kesamaan makna atau arti pada lambang-lambang yang digunakan untuk berkomunikasi, dan harus bersama-sama mengetahui hal-hal yang dikomunikasikan.
Menurut Veithzal Rivai, organisasi adalah wadah yang memungkinkan masyarakat dalam meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu
secara sendiri-sendiri. Organisasi merupakan suatu unit yang terkoordinasi yang terdiri setidaknya dua orang berfungsi mencapai satu sasaran tertentu atau serangkaian sasaran.5
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, organisasi adalah kesatuan (susunan dsb) yang terdiri atas bagian-bagian (orang dsb) dalam perkumpulan untuk tujuan tertentu, kelompok kerjasama antara orang-orang yang diadakan
untuk mencapai tujuan bersama.6
Sondang P. Siagian dalam bukunya yang berjudul Peranan Staf dan
Manajemen menyatakan bahwa:
“organisasi adalah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama, dan terkait secara formal dalam satu ikatan hirarki di mana selalu terdapat hubungan antara seseorang
4
Nurani Suyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 179
5 Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, h. 188.
6 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-tiga
atau sekelompok orang yang disebut pimpinan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut bawahan.”7
Sementara itu komunikasi organisasi dapat dikatakan juga komunikasi antar manusia (human communication) yang terjadi dalam konteks organisasi di mana terjadi jaringan-jaringan pesan satu sama lain yang saling bergantung satu sama
lain untuk mencapai tujuan yang sama. Dengan demikian, komunikasi organisasi adalah “komunikasi yang terjadi dalam suatu organisasi antara pemimpin dengan
pegawai atau sesama pegawai untuk mencapai suatu tujuan tertentu baik melalui media maupun face to face.”8
Sementara itu menurut Dedy Mulyana, komunikasi organisasi adalah
komunikasi yang terjadi yang berlangsung di dalam jaringan kelompok yang besar dan komunikasinya bersifat formal mapun informal.9
R. Wayne Pace dan Don F. Faules mendefinisikan komunikasi organisasi menjadi dua bagian penting yaitu definisi fungsional yang menyatakan bahwa komunikasi organisasi sebagai suatu bentuk hubungan yang hirarkis dalam proses
kegiatan penafsiran pesan dalam unit-unit komunikasi yang menjadi bagian dari struktur organisasi tertentu. Sedangkan definisi interpretatif menyatakan komunikasi organisasi lebih berfokus kepada sebuah proses kegiatan penafsiran
pesan lebih lanjut yang terdapat dalam ruang lingkup batasan organisasi dilihat dari dua aspek pandangan subjektif dan objektif.10
7Sondang P. Siagian, Peranan Staf dan Manajemen (Jakarta: Gunung Agung, 1976), cet.
ke-satu, h. 20.
8
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2007), h. 274. 9
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007),h.83.
10
Dari berbagai definisi pola komunikasi organisasi di atas, dapat disimpulkan bahwa pola komunikasi organisasi adalah bentuk pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks. Yang mencakup dalam bidang ini
adalah komunikasi internal, komunikasi eksternal, hubungan persatuan pengelola, komunikasi ke bawah atau komunikasi dari atasan kepada bawahan, komunikasi
ke atas atau dari bawahan kepada atasan dan komunikasi dari orang-orang yang sama tingkatnya dalam organisasi, menulis dan komunikasi evaluasi program. Karena dengan adanya komunikasi ke bawah, ke atas, dan horizontal, koordinasi
pekerjaan dapat berjalan lancar dan tujuan organisasi bisa dicapai.
2. Macam-macam Pola Komunikasi Organisasi
Pola komunikasi organisasi adalah bentuk komunikasi yang digunakan dalam
organisasi yang kompleks. Dalam suatu organisasi para anggota pasti saling bertukar pesan dengan anggota lainnya. Pertukaran pesan tersebut terjadi dengan
melalui suatu jalan yang dinamakan pola aliran informasi atau jaringan komunikasi.11
Dalam organisasi ada beberapa pola yang biasa digunakan untuk
berkomunikasi, menurut Joseph A. DeVito dan Sthephen P. Robbins ada lima pola komunikasi yang biasa digunakan dalam berkomuniikasi, yakni:
a. Pola Lingkaran
Menurut Joseph A. DeVito dalam pola lingkaran semua anggota organisasi dapat berkomunikasi dengan yang lainnya, mereka tidak
mempunyai pemimpin serta setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya.12
Di sisi lain menurut Stephen P. Robbins pola lingkaran adalah adanya
interaksi pada setiap tiga tingkatan hirarki, namun tidak adanya interaksi lanjutan pada hirarki yang lebih tinggi. Misalnya komunikasi terjadi secara
interaksi antar sesama bawahan dengan atasannya langsung (komunikasi berjenjang).13
b. Pola Roda
Menurut Joseph A. DeVito, pola roda disini memiliki pimpinan yang jelas, sehingga kekuatan pimpinan berada pada posisi sentral dan
berpengaruh dalam proses penyampaian pesannya yang mana semua informasi yang berjalan harus terlebih dahulu disampaikan kepada pimpinan.14
Sementara itu Stephen P. Robbins, pola roda merupakan sistem jaringan komunikasi yang menjadikan semua laporan, instruksi, perintah kerja dan kepengawasan terpusat satu orang yang memimpin dengan empat bawahan
atau lebih dan tidak adanya komunikasi sesama bawahan yang lain.15
c. Pola Rantai
Menurut Joseph A. DeVito, pola rantai ini tidak memiliki pemimpin sama halnya pola lingkaran. Tetapi orang yang berada diposisi tengah
12
Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, Penerjemah Agus Maulana (Pamulang: KARISMA Publising Grup, 2011), edisi ke-lima, h. 383.
13
Stephen P. Robbins, Organization Behaviour (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2009), h. 134.
14
Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, h. 383.
15
lebih berperan sebagai pemimpin daripada orang yang berada di posisi lain. Serta orang yang paling ujung hanya dapat berkomunikasi dengan satu orang saja.16
Sedangkan menurut Stephen P. Robbins, pola komunikasi rantai di sini terdapat lima tingkatan dalam jenjang hirarkisnya dan hanya dikenal
sebagai sistem komunikasi arus ke atas (upward) dan ke bawah (downward) begitu juga sebaliknya. Artinya model tersebut menganut hubungan komunikasi garis langsung (komando) baik ke atas atau ke
bawah tanpa terjadi suatu penyimpangan.17 d. Pola Bintang atau Semua Saluran
Menurut Joseph A. DeVito, dalm pola ini semuanya anggota memiliki kekuatan yang sama untuk memengaruhi anggota lainnya dan setiap anggota lainnya memungkinkan adanya partisipasi anggota secara
optimum.18
Sedangkan menurut Stephen P. Robbins dalam pola ini semua tingkatan dalam jaringan ini dapat melakukan interaksi timbal balik tanpa melihat
siapa yang menjadi tokoh sentralnya. dan setiap staf/bawahan tidak dibatasi dan bebas melakukan interaksi dengan berbagai pihak/pimpinan
atau sebaliknya.19 e. Pola Y
16
Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, h. 383.
17
Stephen P. Robbins, Organization Behaviour, h. 134.
18
Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, h. 383.
19
Menurut Joseph A. DeVito, pola Y juga terdapat pimpinan yang jelas dan setiap anggota dapat mengirimkan dan menerima pesan dari dua orang lainnya.20
Menurut Stephen P. Robbins, pola Y ini terdapat empat level jenjang hirarki, satu supervisor mempunyai dua bawahan dan dua atasan yang
mungkin berbeda devisi atau department.21
Bagan 02. Pola Komunikasi
Sumber: Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia.22
Pola-pola yang telah disebutkan merupakan pola aliran informasi yang biasa digunakan dalam organisasi dan digunakan hanya untuk berkomunikasi secara
internal, atau hanya dalam lingkup organisasi saja.
20
Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, h. 383.
21
Stephen P. Robbins, Organization Behaviour, h. 134.
22
B. Bencana
1. Pengertian Bencana
Istilah bencana dapat diartikan sebagai sesuatu yang “menimbulkan
kesusahan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan marabahaya.”23 Bencana merupakan “kejadian yang luar biasa, di luar kemampuan normal
seseorang menghadapinya, menakutkan dan juga mengancam keselamatan jiwa. Akibatnya, berbagai bangunan penting hancur, korban jiwa berjatuhan dan memengaruhi kondisi psikologis dari mereka yang terkena dampak bencana.”24
“Bencana merupakan gangguan atau kekacauan pada pola normal kehidupan. Gangguan atau kekacauan ini biasanya hebat, terjadi tiba-tiba, tidak
disangka-sangka dan wilayah cangkupan sangat luas.” 25 Adapun dampak kepada manusia seperti kehilangan jiwa, luka-luka dan kerugian harta benda. Dampak yang paling utama yakni struktur sosial dan ekonomi seperti kerusakan infrastruktur berupa
sistem jalan, air bersih, listrik, komunikasi dan pelayanan penting lainnya. Dalam UU RI No. 24 tahun 2007 dikatakan bahwa:
“bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat yang disebabkan baik faktor alam atau non-alam maupun faktor manusia sendiri, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.”26
Dengan demikian, maka dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian bencana yaitu suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
dapat menimbulkan ancaman dan gangguan terhadap kehidupan masyarakat yang
23 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005) h. 100.
24 Nani Nurrachman, ed. Pemulihan Trauma: Pandan Praktis Pemulihan Trauma Akibat
Bencana Alama (Jakarta, LPSP3Fakultas Psikologi UI, 2007), h. 3.
25 Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, h. 67. 26 Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI;
melebihi batas kemampuannya, sehingga mengakibatkan kerusakan, kerugian serta penderitaan bahkan sampai jatuhya korban jiwa, baik terjadi karena alam ataupun non-alam ataupun karena faktor keduanya.
2. Jenis-Jenis Bencana
Dalam UU RI No. 24/2007 berdasarkan jenis dan klasifikasinya, bencana
yang terjadi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:27 a. Bencana Alam
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angina topan, dan tanah longsor.
b. Bencana Non-Alam
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik,
dan wadah penyakit. c. Bencana Sosial
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
karena manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan terorisme.
3. Letusan Gunung Kelud
“Letusan gunung merupakan peristiwa yang terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi.”28
Dari letusan-letusan seperti inilah gunung berapi terbentuk. Letusannya yang
27
Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI;
Penanggulangan Bencana, h. 10. 28
“Letusan Gunung,” diakses pada hari Sabtu 1 Maret 20014 dari
membawa abu dan batu menyembur dengan keras sejauh radius 18 km atau lebih, sedangkan lavanya bisa membanjiri daerah sejauh radius 90 km. Letusan gunung berapi bisa menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang besar sampai ribuan
kilometer jauhnya dan bahkan bisa memengaruhi putaran iklim di bumi ini. Hasil letusan gunung berapi berupa; gas vulkanik, lava dan aliran pasir serta batu panas,
Lahar, Abu Letusan.29
Letusan gunung api adalah bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah erupsi. Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas,
lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir lahar.30
“Gunung Kelud (sering disalah tuliskan menjadi Kelut yang berarti "sapu" dalam Bahasa Jawa; dalam Bahasa Belanda disebut Klut, Cloot, Kloet, atau Kloete) adalah sebuah gunung berapi di Provinsi Jawa Timur, Indonesia, yang
tergolong aktif.”31 Gunung ini berada di perbatasan antara Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang , kira-kira 27 km sebelah timur pusat Kota Kediri. Gunung Kelud dikenal sebagai gunung api dengan kawah berupa
danau yang terbentuk akibat dari letusan pada tahun 2007.32
Gunung Kelud merupakan salah satu gunung aktif di Jawa Timur yang
“erupsinya didominasi oleh erupsi-erupsi eksplosif yang menghasilkan endapan
29
Abdillah Rikito, “Pengertian Gunung Meletus,” diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari http://alampenuhbencana.blogspot.com/p/gunung-meletus.html.
30 Pusat Data dan Informasi dan Humas, “Definisi dan Jenis Bencana”, diakses pada
hari Sabtu 1 Maret 2014 dari www.bnpb.go.id.
31
Faiz Wildan, “Sejarah Letusan Gunung Kelud diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari http://guswildancenter.blogspot.com/2014/02/sejarah-letusan-gunung-kelud.html .
32
Palupi Annisa Auliani, “Gunung Kelud, Sejarah Panjang dan Anomali Letusan,”
aliran dan jatuhan piroklastik.”33 Oleh karena itu di sebagian utama bentuk gunung tersebut banyak dikelilingi oleh endapan-endapan tersebut. Sehingga kubah lava, sumbat lava, dan aliran lava yang ada hanya terdapat di daerah sekitar
pusat erupsi utama dan erupsi samping gunung Kelud.
Sementara itu, Gubernur Jawa Timur, Bapak Soekarwo menyatakan, masa
tanggap darurat erupsi gunung Kelud mulai 13 Februari hingga 12 Maret 2014 sedangkan Pemerintah Daerah Provinsi DIY memutuskan masa tanggap darurat berlaku selama tujuh hari dimulai 14 Februari hngga 20 Februari 2014.34
C. Tahapan Penanganan Bencana
Tahapan penanggulangan bencana dapat diartikan sebagai suatu proses yang
berkelanjutan untuk meminimalisir dampak suatu bencana, hal ini ditandai dengan “serangkaian kegiatan berupa pencegahan bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekontruksi.”35 Berikut tahapan penanggulangan bencana, yang meliputi
kegiatan pra-bencana (pencegahan, kesiapsiagaan, mitigasi), tanggap darurat (saat bencana), dan pasca-bencana (rehabilitas, rekonstruksi).
1. Pra-Bencana
Persiapan menghadapi bencana adalah berbagai kegiatan yang dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya bahaya dari
bencana.36 Upaya yang dilakukan pada saat pra bencana antara lain:
33
Akhmad Zaennuddin, “Prakiraan Bahaya Erupsi Gunung Kelud,” Bulletin Vulkanologi
dan Bencana Geologi, Vol. 4 No. 2, Agustus 2009, h. 1.
34 Dompet Dhuafa, “Situasi Respons Erupsi Gunung Kelud,” Disaster Manangement
Dompet Dhuafa (14-17 Februari 2014), h. 2.
35
Warto, dkk, Uji Coba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada
Era Otonomi Daerah (Yogyakarta: Departemen Sosial RI, 2003), h. 15.
36 Warto, dkk, Uji Coba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada
a. Pencegahan, adalah “serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik melalui pengurangan bencana maupun kerentanan pihak yang terancam
bencana.”37
b. Kesiapsiagaan, adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencan melalui pengorganisasian dan langkah yang tepat guna serta berdaya guna.38
c. Mitigasi, adala segala “kegiatan yang bertujuan memperkecil kerugian
yang timbul akibat peristiwa bencana, terutama terhadap jiwa raga manusia, harta benda dan berbagai bangunan.”39
2. Saat Bencana
Penanganan saat terjadi bencana adalah kegiatan yang dilakukan ketika bencana melanda, yang tujuannya adalah menyelamatkan korban manusia
(jiwa-raga) dan harta benda untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa. Kegiatan yang biasanya dilakukan saat kejadian yaitu; evakuasi korban ke tempat penampungan sementara, penyelenggaraan dapur umum, distribusi
atau penyaluran bantuan dalam bentuk pangan, sandang, obat-obatan, bahan bangunan, peralatan ekonomis-produktif (seperti alat pertanian dan
pertukangan), serta uang sebagai modal awal hidup pasca-bencana, pendataan korban dan jumlah kerugian material.40
37
Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI;
Penanggulangan Bencana, h.12.
38 Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI;
Penanggulangan Bencana, h.11.
39
Warto, dkk, Uji Coba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada
Era Otonomi Daerah, h. 15.
40 Warto, dkk, Uji Coba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada
Rencana darurat biasanya dibangun dan disesuaikan dengan konteks di mana rencana darurat itu beroperasi, biasanya rencana darurat yang “mencangkup komunikasi, search and rescue, mengoordinasikan tugas-tugas
emergency, sektor transportasi, kesejahteraan sosial, kesehatan dan tenaga medis, polisi dan keamanan, militer dan tenaga sukarelawan.”41
Fase tanggap darurat adalah di mana pemerintah bersama-sama
masyarakat melakukan langkah tanggap darurat, termasuk diantaranya mengumumkan status bencana. Kemudian melakukan penyelamatan
dokumen-dokumen Negara, menyediakan informasi kepada publik mengenai korban bencana, melakukan prosesi pemakaman korban meninggal, menyediakan posko informasi, menyediakan rumah sakit darurat, melakukan
koordinasi sesama lembaga terkait, masyarakat dan instansi pemerintah.42
“Jangka waktu masa tanggap darurat, beragam sesuai dengan besar
kecilnya skala bencana. Umumnya adalah dua minggu sampai satu bulan setelah terjadinya bencana dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan
dari Presiden/Kepala Daerah.”43
3. Pasca-bencana
Pasca-bencana lebih disebut dengan massa recovery. Recovery menurut
UU RI No. 24/ 2007 adalah “serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan
41
A.B. Susanto, Sebuah pendekatan strategi manajemen: disaster Manangement di
Negeri Rawan Bencana (Jakarta: PT Aksara Grafika Pratama, 2006), h. 76.
42
Saru Arifin, “Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Difabel: Studi Kasus di Kabupaten Bantul”, Yogyakarta,” Jurnal Fenomena Volume 6-Nomor 1 (Maret 2008): h. 8.
43 Syamsul Maarif, “Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor
memfungsikan kembali kelembagaan, pra-sarana dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi.”44
Rehabilitasi menurut UU RI NO. 24/ 2007 adalah “perbaikan pemulihan
semua aspek pelayanan publik atau masyarakat untuk normalisasi semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pasca-bencana.”45 Tindakannya meliputi; perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan dan lain-lain.
Rekonstruksi Menurut UU RI No. 24/ 2007 adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama yaitu
tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pasca-bencana.46
D. Penanganan Bencana Terpadu
Secara geografis Indonesia berada di kawasan rawan bencana alam, akibat
kegagalan teknologi dan akibat ulah manusia lainnya. Masalah yang terjadi akibat bencana alam menyebabkan timbulnya kerugian berupa gangguan kehidupan dan
penghidupan manusia dan kerusakan lingkungan. Adanya diskoordinasi dan kelemahan manajemen penanggulangan bencana merupakan hal yang harus
44
Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI;
Penanggulangan Bencana, h.12.
45
Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI;
Penanggulangan Bencana, h. 33.
46 Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI;
diatasi. Perbaikan koordinasi dan manajemen penanggulangan di daerah rawan bencana merupakan salah satu prioritas upaya kesiapsiagaan.
Upaya kesiapsiagaan dan penaggulangan bencana dijelaskan Andreas
Meissner, dkk, mereka mengidentifikasi sebuah sketsa komunikasi dan sistem informasi terpadu untuk tanggap bencana dan pemulihan bencana, mereka juga memasukan pokok pembahasan mengenai jaringan, layanan dan konfigurasi
perangkat, manajemen data dan penjadwalan sumber daya. Dalam rangka menerapkan arsitektur sistem tersebut.47
Lebih jauh Meissner, dkk membuat sebuah gambar sketsa komunikasi “Lembaga Pemadam Kebakaran” yang digunakan dalam penangan bencana kebakaran. Mereka mengambarkan secara deskriptif bagaimana aliran informasi
dan komunikasi saling terhubung di antara personil garis depann, pos komando kantor pusat yang terhubung satu sama lain dengan pemerintah yang saling
berkomunikasi menggunakan alat komunikasi tertentu.48 Bagan 03. Sketsa Komunikasi
47 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System,” The First IEEE Workshop on Disaster Recovery Network, New York City, 24 Juni 2002. h. 1.
48 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Bagan 03. menunjukkan sebuah hubungan komunikasi yang tersambung secara sistematis antara pemerintah, kantor pusat (HQs), pos komando dan personil garis depan. Andreas Meissner, dkk, menggambarkan “ketika pos
komando menetapkan lokasi bencana, mereka terhubung oleh link nirkabel atau satelit terestrial ke markas masing-masing. Untuk "hot spot" di tempat
komunikasi, LAN nirkabel (infrastruktur, ad hoc, atau keduanya) sudah diatur.”49 Maksudnya, saat bencana terjadi pos komando membuat sebuah jaringan nirkabel (wireless) yang terhubung dengan markas masing-masing. “hot spot” berguna
sebagai penghubung komunikasi antar personil garis depan dan antar pos komando. Hal ini digunakan untuk menciptakan konektivitas dan untuk
mambantu personil garis depan mengindentifikasi masalah-masalah yang mereka hadapi saat proses penanganan bencana.
Menciptakan konektivitas komunikasi saat menanggulangi bencana
memang menghendaki kecepatan dan keefektifan kerja. Maka dari itu dalam proses tersebut memerlukan alat komunikasi yang dapat menyelesaikan masalah komunikasi. Dengan dukungan teknologi, keanekaragaman pesan dapat
disebarkan dengan baik, sebagaimana pendapat Wood, bahwa “teknologi komunikasi dapat mempercepat laju pengaruh interaksi antar manusia, bagaimana
kita berpikir, bekerja dan membentuk hubungan yang lebih kohesif.”50 Dengan mempercepat laju informasi, diharapkan proses penanggulangan bencana dapat berjalan cepat dan terkoordinasi dengan baik.
49
Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System,” h. 2.
50 Julia T. Wood. Communication Theories in Action, (Canada: Thomson – Wadsworth
Meissner, dkk, mengambil pendekatan bottom-up untuk menggambarkan bagaimana arus informasi mengalir dari personil garis depan seperti petugas pemadam kebakaran dan pekerja penyelamat saat beroperasi di medan yang sulit.
Berikut penerjemahan penulis atas kutipan meissner, dkk :
"Peralatan pemadam kebakaran sering kali berisi sensor dan detektor, misalnya untuk radiasi atau gas mudah meledak. Pembacaan secara tradisional ditularkan oleh komunikasi suara kepada para pemimpin skuad. Transmisi data yang lebih cepat dan handal dapat dicapai dengan menggunakan sensor cerdas terkait, melalui jaringan, ke komputer di dalam kendaraan pemimpin regu, di mana mereka akan segera dianalisis dan dimasukkan ke dalam konteksnya."51
Ungkapan di atas menjelaskan sistem komunikasi dari petugas pemadam sebagai sumber data. Sebagai sumber data petugas akan menginformasikan segala
kendala yang dihadapinya di lokasi. Setiap informasi itu kemudian akan diolah dan diinformasikan kembali kepada petugas, sehingga mereka dapat bertugas dengan cepat dan terkoordinasi dengan baik. Petugas akan mendapatkan data
seperti, pesan, peringatan tentang bahan-bahan berbahaya, peta, dan data orang hilang yang ditransmisikan ke perangkat mobile yang mereka gunakan.52
Di sisi lain, staf di kantor pusat harus sering membuat penjadwalan dan
melakukan koordinasi pekerjaan, dan mereka bertindak sebagai penghubung untuk instansi dan masyarakat, karena jarak fisik mereka ke lokasi bencana yang
jauh, sehinga mereka bergantung pada informasi-informasi baru. Dalam terjemahan penulis, Meissner, dkk mengatakan:
“HQs biasanya memiliki sejumlah besar data yang tersimpan, misalnya pada bahan-bahan berbahaya, yang mungkin perlu diakses secara on-site personil. Ini panggilan untuk aplikasi terintegrasi bangunan di area luas link data antara kantor pusat dan pos komando situs. Jika bencana
51
Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System,” h. 2.
52 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
meluas, bahkan HQs mungkin perlu direlokasi, atau direktur operasi dapat memutuskan untuk bergerak lebih dekat ke tempat kejadian, sehingga sangat penting untuk menyediakan "lingkungan informasi portabel" siap untuk relokasi. Ini menempatkan persyaratan tambahan pada database dan lingkungan koperasi disediakan untuk HQs.”53
Kantor pusat harus selalu menyimpan data-data penting yang dapat membantu petugas. Hal ini, untuk membangun aplikasi yang terintegrasi pada
jaringan antara kantor pusat dan pos komando. Sehingga jika bencana menyebar sudah dapat diatasi bagaimana langkah untuk merelokasi tempat bantuan bencana.
1. Jaringan Komunikasi (Communication Networks)
a. Komunikasi Luas (Wide Area Communications)
Meissner, dkk mengusulkan “Dengan demikian akan, misalnya,
memanfaatkan panggilan grup, prioritas, dan enkripsi kemampuan TETRA (alat komunikasi internet) ini.”54 Namun menurutnya, setiap peralatan yang digunakan mempunyai kelemahan. Penggunaan
satelitpun bisa menjadi alternatif setidaknya untuk komunikasi dua arah. Di sini pos komando bertindak sebagai gateway antara WAN dan jaringan situs hot spot.
b. Hot Spot Communications (Komunikasi Hot spot)
Komunikasi Hot spot di daerah bencana dibagi oleh Meissner, dkk,
menjadi dua kategori yaitu sebagai daerah kritis dan komunikatif. Menurut Meissner, dkk yang penulis terjemahkan sebagai berikut:
" Sebagian besar daerah kritis: ini adalah tempat pusat bahaya dan titik fokus untuk menghentikan atau mengendalikan bagian utama dari bencana. Terutama di daerah yang paling kritis personil garis depan yang terlibat dalam memerangi bencana perlu
53
Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System,” h.2. 54
Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
berkonsentrasi sebanyak mungkin pada sumber bencana dan jelas dalam situasi yang paling berbahaya dan kritis. Oleh karena itu mereka perlu diinformasikan segera dan tanpa penundaan dalam kasus situasi meningkat dan baik parameter lingkungan mendekati ambang kritis atau orang tertentu parameter penting menjadi kritis. Selain itu mereka perlu untuk tetap berhubungan dengan tim pengawas memberikan informasi yang dikumpulkan dari sumber-sumber tidak langsung tersedia bagi personil garis depan. Dalam hal apapun semua informasi harus diberikan kepada orang-orang ini tanpa mengharuskan mereka untuk secara manual berinteraksi dengan setiap jenis perangkat. Informasi harus diberikan secara otomatis dan sebagian pidato dikontrol melalui teknologi tampilan yang sesuai, pengeras suara dan indikator lainnya.”55
Ungkapan di atas menjelaskan bentuk komunikasi hot spot sebagai
daerah kritis. Dapat digambarkan bahwa bentuk komunikasi hot spot saat daerah kritis adalah sebagai tempat pusat bahaya dan "focal point"
untuk menghentikan bagian utama dari bencana. Di sana personil garis depan yang terlibat dalam menangani bencana perlu berkonsentrasi sebanyak mungkin pada sumber bencana. Oleh kerena itu mereka
memerlukan informasi dengan segera dan tanpa penundaan. Bagaimana pun informasi harus diberikan secara otomatis tanpa harus setiap personil bergerak sendiri.56
Sebagai daerah komunikatif, penulis terjemahkan ungkapain Meissner, dkk:
"Ini adalah tempat di mana informasi dari semua sumber yang berbeda yang relevan harus tersedia, dianalisis, dikombinasikan atau, dalam istilah umum, segera diproses. Sumber informasi mungkin statis seperti sistem lokal komputer atau peralatan pengukuran, semi-dinamis seperti informasi yang diterima melalui koneksi berbasis jaringan (telepon, internet), atau dinamis seperti perangkat mobile (misalnya komputasi berbasis PDA atau perangkat penyimpanan) bergerak masuk dan keluar dari
55
Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System,” h. 3.
56 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
komunikatif hot spot. Dalam rangka untuk mengumpulkan, menggabungkan dan mengolah informasi dari berbagai sumber, mekanisme dinamis, jaringan sebagian nirkabel ad hoc harus dikembangkan dan diimplementasikan untuk berbagai perangkat dan teknologi jaringan. "57
Meissner, dkk, menjelaskan ini sebagai tempat informasi dari semua sumber yang berbeda, yang relevan dan harus tersedia,
dianalisis, dikomunikasikan atau, dalam istilah umum, segera diproses.58
2. Service and Device Configuration
Dalam pandangan Meissner, dkk, sistem yang diusulkan harus dapat mengelola data dalam jumlah besar di semua tingkatan. bertukar
data secara real time antara entitas yang tepat adalah tantangan utama.59
a. Motivation for Auto-configuration (Motivasi untuk konfigurasi otomatis)
Meissner, dkk, menyebutkan “Tanpa konfigurasi yang benar dari host dalam jaringan, mereka tidak dapat menemukan satu
sama lain, atau untuk berkomunikasi satu sama lain”.60 Maka tanpa konfigurasi dari host dalam jaringan, mereka tidak dapat
berkomunikasi satu sama lain. Oleh karena itu, konfigurasi perangkat adalah penting. Hal ini dapat dilakukan baik statis atau
57
Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System,” h. 3.
58 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System,” h. 4.
59
Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System,” h. 4.
60 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management