• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Analisis Sengketa Lembaga KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Analisis Sengketa Lembaga KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia)"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

Supandri

NIM 1111048000014

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

INDONESIA (Analisis Sengketa Lembaga KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia). Program Studi Ilmu Hukum. Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara.

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436

H / 2105 M. + 77 halaman + lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan

lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia. Hal ini terkait

dengan sengketa kewenangan lembaga negara bantu khususnya KPK dengan Kepolisian

Republik Indonesia. Kehadiran lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD

Negara RI 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar

hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada

pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang. Penelitian ini

menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan mengedapankan pendekatan

perundangan, yaitu menggali data dan mencari sumber informasi melalui

undang-undang. Selain itu, data dari penelitian ini juga diperoleh melalui data yang sudah

terkodifikasi dalam bentuk buku, jurnal, maupun artikel yang memiliki keterkaitan

dengan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa lembaga negara bantu yaitu

KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki kedudukan konstitusional.

Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUDN RI

Tahun 1945, maka terdapat lembaga yudisial untuk menyelesaikannya, yaitu Mahkamah

Konstitusi. Namun, bilamana yang terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI Tahun 1945, maka terjadi kekosongan

hukum.

Kata Kunci : Kedudukan, Sengketa Lembaga Negara

Pembimbing : Feni Arifiani, S.Ag, M.H dan Zezen Zainal Muttaqin, SH.I,

LLM

(6)

v Assalamualaikum Wr, Wb

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta

alam yang dengan rahmat dan karunia-Nya memberikan kesempatan bagi kita

semua untuk mengenyam pendidikan. Shalawat serta salam penulis tujukan

kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa zaman kebodohan menuju

zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Banyak ujian yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini,

namun atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA BANTU DALAM SISTEM

KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (ANALISIS SENGKETA

LEMBAGA KPK DENGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA)” ini dengan baik. Selesaianya skripsi ini tidak terlepas dari keilmuan yang penulis

dapatkan dari jenjang pendidikan yang komprehensif, serta dukungan banyak

pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Asep Syaifuddin Hidayat, S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin, S.H.,

M.Hum, selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu

(7)

vi

4. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi

kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah

memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu

pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan

bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau

serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau

semua.

6. Orang tua, khususnya Ibunda tersayang Ipah dan ayahanda Narin serta

sanak saudara, terima kasih atas dukungan semangat yang tidak pernah

padam serta do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian, dan bantuan (moril,

materiil, dan spiritual) yang telah diberikan dengan tulus, sehingga penulis

dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri.

7. Kekasih tercinta Ike Apriliyani yang memberi semangat dan dukungan

penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi.

8. Teman-teman yang memberi semangat dan dukungan Amy Nurul Azmi,

(8)

vii

Semoga skripsi ini ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya

bagi penulis dan umunya bagi pembaca. Sekian dan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 22 Juni 2015

(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II LANDASAN TEORI A. Negara Hukum ... 14

B. Konsep Pemisahan Kekuasaan ... 18

C. Konsep Lembaga Negara ... 21

1. Lembaga Negara Bantu ... 24

2. Sengketa Lembaga Negara ... 29

(10)

ix

BAB IV SENGKETA LEMBAGA NEGARA

A. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga

Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 48

B. Sengketa Kewenangan Lembaga KPK dengan Lembaga Kepolisian

Republik Indonesia... 58

C. Penyelesaian Sengketa Lembaga KPK dengan POLRI ... 67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 77

(11)

1

Salah satu hasil dari perubahan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah

beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi

supremasi konstitusi. Akibatnya sejak masa reformasi, Indonesia tidak lagi

menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara sehingga semua

lembaga Negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and

balances. Hal ini merupakan konsekuensi dari supremasi konstitusi, dimana konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan

membatasi kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggaraan negara.1

Sistem ketatanegaraan Indonesia UUD 1945 dengan jelas

membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif,

eksekutif dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR,

DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

lembaga-lembaga negara yang utama (main state organ, principal state

organ). Lembaga-lembaga negara yang dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan perlembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara

yang utama, sehingga lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut

sebagai lembaga negara utama (main state organs, atau main state

(12)

institutions) yang hubunganya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip checks and balances.2

Disamping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau

yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud diatas,

dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang

bersifat konstitusional lainnya selain Komisi Yudisial, Kepolisian Negara,

Tentara Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum,

Dewan Pertimbangan Presiden, dan sebagainya. Namun, pengaturan

lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya

mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD

1945 tersebut, termasuk KY, harus dipahami dalam pengertian lembaga

tinggi negara sebagai lembaga utama (main organs).

Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan

sebagai salah satu dari fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara

universal dipahami. Dengan kata lain, bahwa lembaga-lembaga negara

sebagaimana disebutkan diatas, dalam ketatanegaraan disebut dengan

auxiliary state organs (lembaga negara bantu).3 Walaupun tugasnya

melayani atau membantu, akan tetapi menurut Sri Soemantri M, secara

nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan

penting dalam mewujudkan tujuan nasional.4

2 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 178

3 Ibid, h. 179

(13)

Salah satu lembaga negara bantu yaitu Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu agenda penting

dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia.5 Cita-cita gerakan

reformasi akan adanya suatu pemerintah yang bersih (clean government)

dari korupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang efisien, terbuka, dan

bertanggung jawab kepada rakyat (good governance), didorong oleh semakin menguatnya tuntutan demokrasi dan penghormatan hak asasi

manusia, serta partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan

publik. Akibat korupsi, rakyat harus membayar mahal untuk pelayanan

publik yang buruk.

Di dalam suatu rezim yang memiliki mesin otoritas yang kuat,

sudah harus disadari bahwa pendekatan pemberantasan korupsi secara

konvensional yang berbasis pada penegakan hukum dan perbaikan

pengawasan melalui institusi kenegaraan, seperti yang sekarang tengah

ditempuh, terbukti sudah tidak efektif lagi. Di sinilah rakyat, yang

merupakan korban sesungguhnya dari perbuatan penyalahgunaan

kekuasaan harus mengambil inisiatif untuk mengembangkan pengawasan

massal, yang melibatkan peran serta masyarakat di semua lapisan sosial

dan profesi.6

Melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, komisi ini pun sah didirikan dan

memiliki legitimasi untuk menjalankan tugasnya. KPK dibentuk sebagai

5 Mahmuddin Muslim, Jalan Panjang Menuju KPTPK, (Jakarta: Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Indonesia, 2004), h. 33

(14)

respon atas tidak efektifnya kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas

korupsi yang semakin merajarela. Adanya KPK diharapkan dapat

mendorong penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).7

Kekuasaan KPK yang dianggap sangat besar dalam praktiknya

tidak jarang menimbulkan masalah atau bahkan konflik dengan lembaga

negara lain, terutama lembaga kepolisian sebagaimana dapat dilihat dari

beberapa konflik antar dua lembaga ini. Konflik ini muncul karena

masing-masing lembaga memiliki kewenangan untuk menangani kasus

korupsi tertentu.

Konflik yang pernah terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi

dengan Polisi Republik Indonesia terkait kewenangan penyelidikan dan

penyidikan kasus korupsi simulator surat izin mengemudi (SIM) yang

melibatkan kedua lembaga tersebut. berawal dari adanya perbedaan

penafsiran terkait wewenang yang dimiliki oleh kedua lembaga antara

KPK dan POLRI, perbedaan penafsiran tersebut menjadi latar belakang

timbulnya overlapping (tumpang tindih) kewenangan penyidikan terhadap

kasus tersebut. Secara garis besar, Polri berwenang terhadap semua tindak

pidana yang berlaku dalam KUHP maupun diluar KUHP (termasuk tindak

pidana korupsi) namun, perlu disadari adanya asas lex specialis derogate lex generalis membuat kedudukan KPK semakin kuat dalam penyelidikan,

penyidikan bahkan penuntutan.

(15)

Konflik antara institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Komisi

Pemberantasa Korupsi (KPK) telah beberapa kali terjadi, dan setiap

kasusnya itu terjadi memberi dampak yang cukup luas dalam perpolitikan

dan hukum di Indonesia. Masing-masing pihak dan pendukungnya

memegang dasar argumentasi yang mengacu pada kewenangan institusi

yang dijamin oleh hukum. Baik Polri maupun KPK merupakan institusi

yang memiliki wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi. KPK yang khusus bertugas di area tindak pidana korupsi

ditambah dengan wewenang penuntutan. Selain Polri dan KPK, ada pula

Kejaksaan yang memiliki wewenang penyidikan dan penuntutan tindak

pidana korupsi. Selintas, ada potensi konflik kewenangan antara ketiga

institusi tersebut. Belakangan ini terjadi buntut dari penetapan status

“tersangka” bagi calon tunggal Kapolri oleh KPK, bukan hanya beraroma

benturan kewenangan antara Polri dan KPK, tetapi juga penggunaan

kewenangan untuk kepentingan masing-masing institusi. KPK dituding

menggunakan wewenangnya untuk melemahkan pimpinan Polri, dan Polri

dituding menggunakan wewenangnya untuk melemahkan pimpinan KPK.

Kedua pihak ini membawa dasar hukumnya masing-masing.8

Dengan demikian, kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem

ketatanegaraan yang dianut Indonesia masih menjadi topik yang menarik

untuk diperbincangkan, Karena lembaga negara bantu ini adalah sebagai

salah satu institusi penegak hukum akan menjadi tema sentral dalam

(16)

pembahasan ini. Sebab, secara filosofis maupun praktis kedudukan dan

legitimasi penegakan hukum merupakan pintu masuk baik bagi penegakan

hukum maupun tata kelola kenegaraan.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga

dapat mengakibatkan ketidak jelasan maka penulis membuat

pembatasan masalah yakni kedudukan lembaga negara bantu dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia UUD 1945. Serta sengketa

kelembagaan KPK dengan lembaga negara Kepolisian Republik

Indonesia, dalam menangani kasus tindak pidana korupsi.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, penulis merumuskan permasalahan

kedudukan lembaga negara bantu khususnya KPK dalam sistem

ketatanegaraan republik Indonesia dan sengketa kelembagaan antara

KPK dengan Kepolisian RI.

 Bagaimana penyelesaian sengketa yang telah dilakukan

(17)

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Secara umum tujuan penulisan adalah untuk mendalami tentang

permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan

masalah, secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:

a. Untuk mengetahui kedudukan lembaga KPK sebagai negara bantu

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

b. Untuk mengetahui upaya penyelesaian konflik kelembagaan antara

KPK dan lembaga Kepolisian.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan khasanah

ilmu pengetahuan hukum tata negara dalam bidang

lembaga-lembaga negara bantu (auxiliary state organs) dalam hal ini studi analisis kedudukan KPK, utamanya yang mengenai sengketa

kelembagaan antara KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia

dan segala aspek yang menyangkut kedudukan serta kewenangan

lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Selain dari pada itu adanya tulisan ini dapat menambah

perbendaharaan koleksi karya ilmiah dengan memberikan

(18)

b. Manfaat Praktis

Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat menjadi

kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan mengenai

sengketa kelembagaan KPK sebagai lembaga negara bantu dengan

Polri, dan mudah-mudahan dapat memberikan masukan bagi

pembaca terutama bagi pembentuk hukum khususnya

Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan penelitian ini

diharapkan akan menghilangkan atau setidaknya mereduksi

perdebatan dan argumen yang cenderung negatif terkait

kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu serta hubungan

kerja komisi tersebut dengan organ-organ kekuasaan lain di negara

indonesia.

D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Adapun skripsi dan buku yang terkait dengan judul diatas sebagai

berikut:

1. Buku berjudul Memberantas Korupsi Bersama KPK yang ditulis oleh

Dr. Ermansjah Djaja. Didalam buku ini Ermansjah Djaja menjelaskan

tentang pemberantasan korupsi versi KPK, karena masih banyaknya

masyarakat atau kelompok masyarakat yang belum mengetahui dan

memahami tentang tugas dan kewajiban serta independensi KPK.

(19)

mendalam tentang landasan filosofis, teoritis dan yurudis

penyelenggaraan kepolisian dan mengaji konsep-konsep dasar untuk

mewujudkan kepolisian yang baik serta konsep penyelenggaraan

kepolisan dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik.

3. Buku berjudul Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945 yang ditulis oleh Dr. Patrialis Akbar, S.H. M.H. didalam buku ini dibahas mengenai sejarah kelembagaan sebelum dan sesudah

amandemen UUD 1945 juga membahas tentang hubungan antar

cabang kekuasaan negara menurut UUD 1945.

4. Skripsi Sri Hayati Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, dengan judul skripsi

“Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi”. Sri

Hayati membahas tentang bagaimana tugas dan wewenang serta

perbandingan tugas dan wewenang antara KPK dengan Kepolisian

Republik Indonesia, adapun perbedaanya dalam skripsi ini membahas

tentang kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia studi analisis KPK sebagai lembaga negara

bantu dan membahas sengketa KPK dengan lembaga Polri.

5. Skripsi Lintang Octiariska pada Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, dengan

(20)

Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Lintang Octiariska membahas

tentang eksistensi KPK dan membahas tentang kinerja Komisi

Pemberantasan Korupsi selama kurun waktu 10 tahun berdirinya

komisi KPK. Adapun perbedaannya dengan judul skripsi yaitu

membahas tentang kedudukan KPK dan analisis sengketa KPK

dengan Polisi Republik Indonesia.

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Studi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan

jenis penelitian hukum terkait dengan kedudukan lembaga negara

bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia khususnya analisis

kedudukan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penulis

mencari dan menelaah peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan judul skripsi ini. Sedangkan sifat dari penelitian

ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang

seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat

membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau

mencoba merumuskan teori baru.

2. Pendekatan

a. Pendekatan Perundang-undangan

(21)

2) Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi

3) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Republik Indonesia

3. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu

data yang diperoleh dari sumber pertama, yang diperoleh dari UUD

NRI 1945, Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK,

Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik

Indonesia. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari

dokumen-dokumen resmi, makalah, skripsi, jurnal hukum dan sebagainya.

4. Metode Pengumpulan Data

Penuli menggunakan metode pengumpulan data melalui studi

dokumen/kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang

berkaitan dengan hukum kelembagaan negara dan lembaga negara

bantu (KPK), pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga

berita yang penulis peroleh dari internet.

5. Metode Pengelolaan dan Analisa Data

Penulis menggunakan analisa deskriptif kualitatif, yaitu metode

analisa data yang mengelompokan dan menyeleksi data yang diperoleh

(22)

objek penelitian, kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan,

kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab

permasalahan yang ada.

6. Metode Penulisan

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penulisan sesuai

dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan

Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi

skripsi, maka sistematika penulisan skripsi sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar

belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan kajian terdahulu,

kegunaan penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan skripsi.

Bab II, Landasan Teori. Dalam bab ini dibahas mengenai negara

hukum, konsep pemisahaan kekuasaan, lembaga negara dan lembaga

negara bantu serta sengketa kelembagaan negara.

Bab III, Tinjauan Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang pembentukan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas dan wewenang KPK, tugas dan

(23)

Bab IV, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada bab ini merupakan inti atau

subtansi dari keseluruhan penelitian skripsi, bab ini membahas kedudukan

KPK sebagai lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia. Sengketa kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum

lainnya, dan upaya penyelesaian sengketa lembaga KPK dengan Polri.

(24)

14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Negara Hukum

Penegasan Indonesia adalah negara hukum yang selama ini diatur

dalam penjelasan UUD 1945, dalam perubahanya telah diangkat ke dalam

UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), sebagai berikut: “Negara Indonesia adalah

negara hukum”, konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap,

kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasar dan

sesuai dengan hukum. Bahkan, ketentuan ini untuk mencegah terjadinya

kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan baik yang dilakukan oleh

alat negara maupun penduduk.

Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh

para filsuf dari zaman Yunani Kuno, Plato dalam bukunya “the statesman” dan “the law” menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk paling

baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan. Senada dengan Plato, tujuan negara menurut Aristoteles adalah untuk

mencapai kehidupan yang paling baik yang dapat dicapai (the best life possible) dengan supremasi hukum. Hukum merupakan wujud

kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukannya.1

1

(25)

Konsep rechstaat lahir dari satu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner. Hal ini tampak dari isi atau kriteria

rechstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law. Konsep the rule of law

dalam karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan common law adalah judicial.2 Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi

kekuasaan negara atau pemerintahan diartikan sebagai hukum yang dibuat

atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Begitu eratnya hubungan

antara paham negara hukum dan kerakyatan sehingga ada sebutan negara

hukum demokratis atau democratische rechstaat.3

Sebagai ciri negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dari

pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. Untuk

ciri ini dapat dilihat pada Pasal 24 Undang-Undang Mahkamah Agung dan

lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Di dalam penjelasan

terhadap Pasal 24 ini dijelaskan bahwa “kekuasaan kehakiman ialah

kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah”. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan di dalam

undang-undang tentang kedudukan para hakim. Dengan begitu maka untuk

ciri negara hukum dapat dipenuhi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Ciri

lain dari negara hukum adalah legalitas dalam arti hukum dalam

2

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 72

3

(26)

bentuknya. Ini dimaksudkan bahwa untuk segala tindakan seluruh warga

negara, baik rakyat biasa maupun penguasa haruslah dbenarkan oleh

hukum, di Indonesia berbagai peraturan untuk segala tindakan sudah ada

ketentuannya, sehingga untuk setiap tindakan itu harus sah menurut aturan

hukum yang telah ada.

Untuk mengamankan ketentuan-ketentuan tersebut maka di

Indonesia telah dibentuk berbagai badan peradilan untuk memberi

pemutusan (peradilan) terhadap hal-hal yang dianggap melakukan hal-hal

yang tidak dibenarkan oleh hukum. Jadi semua landasan yang menjadi cirii

dari negara hukum dapat ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945

sehingga untuk disebut sebagai negara hukum UUD 1945 cukup

memberikan jaminan. Yang sering menjadi persoalan adalah

pelaksanaanya di lapangan yang kerapkali menimbulkan pertanyaan

tentang relevansinya.4

Paham negara hukum harus dibuat jaminan bahwa hukum itu

sendiri dibangun dan ditegakan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Oleh

karena itu, prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri,

pada dasarnya berasal dari kedaulatan rakyat. Hukum tidak boleh dibuat,

ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakan dengan tangan besi berdasarkan

kekuasaan belaka (machtsstaat).5

4 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 86-87

5Yusril Ihza Mahendra, “Dinamika Tata Negara Indonesia”, (Jakarta: Gema Insani Press

(27)

Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan

perkembangan masyarakat dan negara. Professor Utrecht membedakan

dua macam negara hukum, yaitu negara hukum formal atau negara hukum

klasik, dan negara hukum material atau negara hukum modern. Negara

hukum formal menyangkut pengertian hukum yang bersifat formal dan

sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undang tertulis. Tugas

negara adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut

untuk menegakan ketertiban. Tipe negara tradisional ini dikenal dengan

istilah negara penjaga malam. Negara hukum material mencakup

pengertian yang lebih luas termasuk keadilan didalamnya. Tugas negara

tidak hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum tetapi juga

mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan (welfarestate).6

Konsepsi negara hukum Indonesia berangkat dari prinsip dasar

bahwa ciri khas suatu negara hukum adalah negara memberikan

perlindungan kepada warganya dengan cara berbeda. Negara hukum

adalah suatu pengertian yang berkembang, terwujud sebagai respon atas

masa lampau. Oleh karena itu, unsur negara hukum berakar pada sejarah

dan perkembangan suatu bangsa. Setiap bangsa atau negara memiliki

sejarah tersendiri yang berbeda.7

(28)

B. Konsep Pemisahan Kekuasaan

Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa

kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk

mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan

demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin. Doktrin

ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan

Montesquieu (1689-1755) dan pada taraf itu ditafsikan sebagai pemisahan

kekuasaan (separation of power). Filsuf inggris John Locke mengemukakan konsep ini dalam bukunya berjudul Two Treatis on Civil

Government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absolut dari raja-raja Stuart serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun

1688 (the Gloriuos Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh

parlemen inggris. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga

kekuasaan yaitu: kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif, yang

masing-masing terpisah satu sama lain.8

Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1748, filsuf prancis

Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam

bukunya L’Espirit des Lois (the Spirit of the Laws). Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi

tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang

atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya: “kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan

8Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1977), h.

(29)

penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan. Merupakan malapetaka kalau

seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum

bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahkan untuk menyelenggarakan

ketiga kekuasaan tersebut. Secara garis besar ajaran Montesquieu sebagai

berikut. Pertama, terciptanya masyarakat yang bebas. Keinginan seperti ini muncul karena Montesquieu hidup dalam kondisi sosial dan politik

yang tertekan di bawah kekuasaan Raja Lodewijk XIV yang memerintah

secara absolut.. Kedua, jalan untuk mencapai masyarakat yang bebas adalah pemisahaan antara kekuasaan legislatif dengan kekuasaan

eksekutif. Montesquieu tidak membenarkan jika kedua fungsi berada di

satu orang atau badan karena dikhawatirkan akan melaksanakan

pemerintahan tirani. Ketiga, kekuasaan yudisial harus dipisah dengan

fungsi legislatif. Hal ini dimaksud agar hakim dapat bertindak secara bebas

dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Ketiga kekuasaan tersebut,

menurut Montesquieu, harus terpisah satu sama lain, mulai dari fungsi

maupun mengenai alat perlengkapannya.

Pendapat tersebut tentu berbeda dengan John Locke yang

memasukan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif.

Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri karena

kekuasaan tersebut dianggapnya sangat berbeda dengan kekuasaan

(30)

yang disebut oleh John Locke “federatif” dimasukannya ke dalam

kekuasaan eksekutif.9

Kenyataannya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar

cabang kekuasaan tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan

lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif bersifat sederajat dan saling

mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Teori pemisahan kekuasaan trias politica Baron de Montesquieu

yang membagi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif)

dinilai kurang relevan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan yang

terus mengalami perkembangan tuntutan demokrasi. Kemudian muncullah

trend di berbagai negara untuk membentuk lembaga-lembaga bantu yang

bersifat independen. Di Indonesia lembaga-lembaga ini diperlukan untuk

kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokrasi yang lebih

efektif.10 Lembaga-lembaga semacam ini kemudian disebut-disebut

sebagai the fourth branch of the government (cabang kekuasaan keempat). Istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga ini juga bervariasi mulai

dari state auxiliary organ (U.S.A), quasi outonomous governmental

organization-quangos (Prancis), agencies (Inggris), lembaga negara bantu dan lainnya. Di Indonesia sendiri umumnya menggunakan istilah komisi

untuk menyebut lembaga ini.11

9 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h.11

10Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 217

(31)

C. Konsep Lembaga Negara

Secara sederhana, istilah organ negara atau lembaga negara dapat

dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat,

atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Nonpemerintahan yang

dalam bahasa inggris disebut Government Organization atau

Non-Governmental Organization (NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai

lembaga negara.

Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa

disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut juga dengan organ negara.

Dalam Kamus Besar Indonesia (KBBI 1997), kata “lembaga” diartikan sebagai (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk

asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan; (iv) badan atau organisasi yang

bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha;

dan (v) pola perilaku yang mapan yang terdiri dari atas interaksi sosial

yang berstruktur.12 Dalam kamus hukum Belanda-Indonesia,13 kata

staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam

kamus hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh

Adiwinata dkk., kata organ juga diartikan sebagai perlengkapan. Oleh

12 Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat H.A.S. Natabaya, dalam Jimly Asshiddiqie dkk. (editor Refly Harun dkk.)., Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2004, h. 60-61. Lihat juga Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antar Lembaga-Lembaga Negara, Sekretariat Jendral MKRI dan KRHN, Jakarta, 2005, h. 29-30

(32)

karena itu, istilah lembaga negara, organ negara, dan alat perlengakapan

sering kali dipertukarkan satu sama lain. Akan tetapi, menurut Natabaya,

penyusun UUD 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten

menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ

negara. Untuk maksud yang sama, Konstitusi RIS (Republik Indonesia

Serikat) Tahun 1949 tidak menggunakan istilah lain kecuali alat

perlengkapan negara. Sedangkan UUD 1945 setelah perubahan keempat

(tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi

dengan tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ

negara, dan badan negara.

Untuk memahami pengertian organ atau lembaga negara secara

lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen

mengenai the concept of the Staate-Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever ful lls a Function determined by the legal order is an organ”.14 Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentuka oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya organ negara itu tidak selalu berbentuk

organik. Disamping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap

jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan

fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). “These functions, be they of

(33)

a norm-creating or of a norm-applying character, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanction”.

Lembaga-lembaga negara yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945

tampaknya perumus UUD NRI Tahun 1945 dalam BPUPKI dan PPKI

sangat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga sejenis yang ada dalam sistem

ketatanegaraan kerajaan Belanda. Kecuali MPR, lembaga-lembaga negara

lain dalam UUD NRI Tahun 1945 dapat dibandingkan dengan

lembaga-lembaga di negeri belanda, yaitu Kepala Negara (Ratu), Kepala

Pemerintahan Eksekutif (Perdana Menteri), Staten Generaal (parlemen)

Rekenkamer (pemeriksaan Keuangan), Raad van State (Dewan Pertimbangan Negara), dan Hogerechtshof (Mahkamah Agung).15

Lembaga negara terkadang disebut sebagai istilah lembaga

pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen, atau lembaga

negara saja. ada lembaga negara yang dibentuk berdasarkan atau karena

diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan

mendapatkan kekuasaanya dari Undang-Undang, dan bahkan ada pula

yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hierarki atau

ranking kedudukanya tentu saja tergantung pada derajat pengaturanya

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga negara

yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar merupakan organ

konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang

merupakan organ Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk

(34)

Karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan

derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya.

Teori pemisahan kekuasaan trias politica Baron de Montesquieu yang membagi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif)

dinilai kurang relevan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan yang

terus mengalami perkembangan tuntutan demokrasi. Kemudian muncullah

trend di berbagai negara untuk membentuk lembaga-lembaga bantu yang

bersifat independen. Di Indonesia lembaga-lembaga ini diperlukan untuk

kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokrasi yang lebih

efektif.16 Lembaga-lembaga semacam ini kemudian disebut-disebut

sebagai the fourth branch of the government (cabang kekuasaan keempat). Istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga ini juga bervariasi mulai

dari state auxiliary organs (U.S.A), quasi outonomous governmental organization-quangos (Prancis), agencies (Inggris), lembaga negara bantu

dan lainnya. Di Indonesia sendiri umumnya digunakan istilah komisi

untuk menyebut lembaga ini.17

1. Lembaga Negara Bantu

Kemunculan lembaga negara yang dalam pelakasanaan fungsinya

tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga

trias politica mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad

16Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 217

(35)

ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika

Serikat dan Prancis. Banyak istilah untuk menyebut jenis

lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang apabila diterjemahkan secara harfiah ke dalam

bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang.18

Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum

digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada

kenyataanya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk

menyebut jenis lembaga tersebut. Mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga

negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada

dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai

organisasi swasta ataupun lembaga-lembaga non-pemerintah yang lebih

sering disebut ornop (organisasi pemerintah) atau NGO

non-governmental organization).

Secara teoritis lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara

untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil

dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan di biayai oleh negara

tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu

(36)

sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika

berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan

kepada masyarakat untuk mengawasi. Adanya lembaga negara bantu

dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya

prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan

melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya. Selain

itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah

terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk

mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi

bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut,

John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu:

a. Regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan

supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan

b. Advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada

pemerintah;

Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini

secara umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap

lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan

ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataanya, lembaga-lembaga negara

yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan

persoalan yang ada berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.19

19T.M. Luthfi Yazid, “Komisi-Komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”,

(37)

Colin Talbot, Profesor Kebijakan Publik dari Universitas

Nottingham Inggris mengemukakan pendapat mengenai kriteria-kriteria

terbentuknya lembaga-lembaga independen20 :

a. Merupakan kepanjangan tangan dari lembaga pemerintahan

utama/pusat

b. Pejabat yang mengisinya tidak termasuk PNS tetapi melayani

publik

c. Keuangannya berasal dari anggaran negara

d. Tidak bisa membuat peraturan yang mengikat ke luar, tetapi

mereka diatur oleh aturan tertentu.

Apabila ditelaah kriteria yang diberikan oleh Colin Talbot

mengenai lembaga independen ini dan menerapkanya pada keberadaan

lembaga KPK maka dapat terlihat bahwa KPK memenuhi

kriteria-kriteria tersebut. Keberadaan KPK yang berwenang melakukan

penyidikan tindak pidana korupsi sebenarnya merupakan kepanjangan

tangan dari kewenangan yang dimiliki oleh Polri sebagai lembaga

Utama (Polri) dianggap kurang efektif menjalankan tugasnya dengan

wewenangnya yang luas maka dibentuklah lembaga baru yang

mempunyai spesialisasi tugas tertentu dengan mengambil sebagian

kewenangan lembaga utama agar lebih bersifat independen.

Berikut pembagian lembaga negara berdasarkan Pembentukanya ;

a. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

(38)

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

4. Presiden dan Wakil Presiden

5. Mahkamah Agung (MA)

6. Mahkamah Konstitusi (MK)

7. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

8. Komisi Yudisial

b. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang

1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

3. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

5. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)

6. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

7. Komisi Kepolisian Nasional

8. Komisi kejaksaan

9. Dewan Pers

c. Lembaga Negara Menurut Peraturan Di Bawah Undang-Undang

1. komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas

Perempuan)

2. Dewan Maritim Nasional (DMN)

(39)

4. Dewan Ekonomi Nasional (DEN)

5. Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN)

6. Dewan Riset Nasional (DRN)

7. Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS)

8. Dewan Buku Nasional (DBN), serta lembaga-lembaga non

departemen.

Lembaga negara yang disebutkan dalam kelompok 2 dan 3, dapat

dikatakan sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Selain

lembaga tersebut di atas, masih terdapat banyak

lembaga-lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan perppu.

Jumlah ini kemungkinan dapat bertambah dan berkurang mengingat

lembaga negara dalam kelompok ini tidak bersifat permanen melainkan

bergantung pada kebutuhan Negara.

2. Sengketa Lembaga Negara

Hubungan antar satu lembaga dengan lembaga negara yang lainnya

diikat oleh prinsip checks and balances. Dalam prinsip tersebut, lembaga-lembaga negara itu diakui sederajat dan saling mengimbangi

satu sama lain.

Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada

hubungan yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan

kewenangan masing-masing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau

perselisihan dalam menafsirkan Undang-Undang Dasar. Jika timbul

(40)

diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Sistem ketatanegaraan

yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian

sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata

negara, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan

nama Mahkamah Konstitusi.21

Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD

1945, disamping melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD,

pada dasarnya merupakan kewenangan konstitusional yang dibentuk

dengan tujuan untuk menegakan ketentuan yang terdapat dalam UUD.

Ini disebabkan karena dari dua hal inilah persoalan konstitusionalitas

dapat timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi

tercermin dalam dua kewenangan tersebut, yaitu: (1) kewenangan untuk

menguji Undang-Undang terhadap UUD; dan (2) kewenangan untuk

memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya

bersumber dari UUD.22

Luthfi Widagdo Eddyono membagi lembaga negara/organ negara:

a. Lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara

atribusi (oleh UUD 1945);

b. Lembaga negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh

pembuat peraturan perundang-undangan (termasuk komisi

21 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2010), h. 150

(41)

independen, independent regulatory agencies) yang tidak

bertanggung jawab kepada siapapun.

c. Lembaga negara yang wewenangnya diberika secara delegasi

pembuat peraturan perundang-undangan termasuk komisi negara

eksekutif (executive branch agencies) yang bertanggung jawab kepada Presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari

eksekutif.23

Lembaga negara organ kategori pertama dapat berperkara di

Mahkamah Konstitusi. Lembaga negara kategori kedua dapat pula

berperkara di Mahkamah Konstitusi, sedangkan lembaga negara

kategori ketiga tidak mempunyai subjectum litis maupun objectum litis untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi karena telah jelas, lembaga

negara kategori ketiga bersifat hierarkis dengan Presiden atau menteri

dan/atau merupakan bagian dari eksekutif.

(42)

32

A. Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Korupsi di Indonesia, bukanlah hal yang baru namun telah ada

sejak era tahun 1950-an. Kegagalan penanggulangan korupsi di masa lalu

disebabkan berbagai institusi dan Tim-tim Pemberantasan Korupsi yang

dibentuk untuk maksud tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan

efektif, perangkat hukumnya lemah, faktor pemerintah dan aparat penegak

hukum yang tidak menyadari bahaya dari korupsi.1

Korupsi sudah dianggap sebagai masalah internasional.

Pemberantasan korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih besar

dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Secara umum, tindak pidana

ini tidak hanya mengakibatkan kerugian negara (keuangan negara), tetapi

dapat mengakibatkan dampak yang sangat luas, baik di bidang sosial,

ekonomi, keamanan, politik, dan budaya.2

Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh UU KPK yang dibentuk

berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK didirikan untuk mengatasi

permasalahan tentang korupsi yang selama ini dirasa gagal dalam

1 Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, cet.I, (Jakarta, Tim Pakar Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Bersama Sekretariat Jendral Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002), h. 31.

2Romli Atmasasmita, “Perspektif Pengadilan Korupsi di Indonesia”. Dalam Seminar, ed.,

(43)

penegakan hukumnya. Melihat dari sifatnya, KPK adalah lembaga ad hoc yang merupakan salah satu komisi negara bersifat membantu dalam

mengawal dan mengawasi penegakan hukum serta mewujudkan

kesejahteraan rakyat.

Pembentukan sebuah institusi khusus untuk menanggulangi

masalah korupsi di Indonesia, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru.

Akan tetapi pembentukan sebuah badan khusus dengan kewenangan yang

demikian luas, di samping melakukan penyidikan, sekaligus melakukan

penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi, patut dicatat sebagai

suatu aspek pembaruan dalam hukum dan sistem peradilan pidana

Indonesia. Untuk membentuk badan khusus seperti itu tidak dapat

dilepaskan dari latar belakang pemikiran untuk mengatasi masalah

pemberantasan tindak pidana korupsi yang belum dilaksanakan secara

optimal. Badan-badan penegak hukum yang ada, yang selama ini diserahi

tugas dan kewenangan untuk menangani perkara tindak pidana korupsi,

belum berfungsi secara efektif.3

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dibentuk

dengan misi utama melakukan penegakan hukum, yakni dalam

pemberantasn korupsi. Dibentuknya lembaga ini dikarenakan adanya

pemikiran bahwa lembaga penegak hukum konvensional, seperti

Kejaksaan dan Kepolisian, dianggap belum mampu memberantasan

(44)

korupsi.4 Oleh karena itu, perlu dibentuk lembaga khusus yang

mempunyai kewenangan luas dan independen serta bebas dari kekuasaan

manapun.

Secara khusus urgensi pembentukan KPK dapat dilihat dari

pokok-pokok pikiran pembentukan KPK. Dalam pokok-pokok pikiran tersebut

dijelaskan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang

sistemik dan meluas tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi juga

melanggar hak ekonomi dan hak sosial masyarakat. Oleh karena itu,

penyelesaian korupsi tidak dapat dilaksanakan hanya dengan

menggunakan metode dan lembaga yang konvensional, tetapi harus

dengan metode dan lembaga baru.5 Komisi Pemberantasan korupsi yang

memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun mengenai

pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban,

tugas dan wewenang keanggotaannya diatur dengan undang-undang.

B. Tugas dan Wewenang KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas-tugas

sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002. Sebagai berikut:

4 Teten Masduki dan Danang Widoyoko, Menunggu Gebrakan KPK, Jantera 8 Tahun III, (T.t., T.p., Maret, 2005), h. 41

5 Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia

(45)

1. Melakukan tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

2. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi; instansi yang berwenang adalah

termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara

Negara, inspektorat pada Departemen atau lembaga Pemerintah

Non-Departemen.

3. Dalam melaksanakan tugas supervisi terhadap instansi yang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, komisi

pemberantasan Korupsi berwenang:

4. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi

yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan

pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam

melakasanakan pelayanan public dan mengambil alih penyidikan atau

penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang

dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan.

5. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi

6. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.

7. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.

Kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan

(46)

dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, pendukung pelaksana

tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang :

1. Dalam melaksanakan tugas koordinasi yang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam

Pasal 7 berwenang :

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

terhadap tindak pidana korupsi

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan

korupsi

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana

korupsi kepada instansi yang terkait

d. Melakukan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

e. Meminta laporan instansi terkait pencegahan tindak pidana

korupsi

2. Wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13 dan 14

undang-undang nomor 30 tahun 2002

a. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 huruf b dan diatur dalam Pasal 8, Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau

(47)

wewenang yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana

korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.

b. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), komisi pemberantasan korupsi berwenang mengambil alih

penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi

yang sedang dilakukan oleh kepolisian.

c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih

penyidikan dan penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib

menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat

bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama

14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan

komisi pemberantasan korupsi.

Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat 3 bahwa :

3. Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan

wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau

kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam

tahanan kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat

ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejakasaan atau

komisi pemberantasan korupsi meminta bantuan kepada kepala rumah

tahanan Negara untuk menempatkan di rumah tahanan tersebut.

a. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dilakukan dengan

(48)

segala tugas dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat

penyerahan tersebut beralih kepada komisi pemberantasan korupsi.

b. Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 8 dan diatur dalam Pasal 9, dilakukan oleh

komisi pemberantasan korupsi (KPK) dengan alasan:

1) Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak

dilanjuti

2) Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut atau

tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan

3) Penanganan tindak pidana korupsi ditunjukan untuk

melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya

(a) Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur

korupsi

(b) Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena

campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislative

atau

(c) Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau

kejaksaan penanganan tindak pidana korupsi sulit

dilaksanakan secara baik dan dapat di pertanggung

jawabkan.

4. Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,

(49)

penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana

korupsi yang sedang ditangani vii

5. Dalam melakasanaka tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

yang di atur dalam Pasal 12 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

huruf c, komisi pemberantasan korupsi berwenang:

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang

seseorang berpergian ke luar negeri

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya

tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang

diperiksa

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya

untuk meblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik

tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait

e. Memerintahkan kepada pemimpin atau atasan tersangka untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatanya

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau

terdakwa kepada instansi terkait

g. Menghentikan suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan,

dan perjanjian lainya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi

yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang

diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya

(50)

h. Dalam penjelasan Pasal 12 huruf g dijelaskan bahwa:

Ketentuan ini dimaksud untuk menghindari penghilangan atau

penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidikan,

penyidikan, atau penuntutan atau untuk menghindari kerugian

Negara yang lebih besar.

1) Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak

hukum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan,

dan penyitaan barang bukti di luar negeri

2) Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait

untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan

dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi

Dalam penjelasan Pasal 12 huruf I disebutkan:

Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal

komisi pemberantasan korupsi melakukan penahanan

seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi,

komisi pemberantasan korupsi meminta bantuan kepada kepala

rutan tahanan Negara untuk menrima penempatan tahananan

tersebut dalam rumah tahanan.

3) Dalam melaksanakan tugas pencegahan diatur dalam Pasal 13

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, komisi

pemberantasan korupsi berwenang melaksanakan langkah atau

(51)

1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan

kekayaan penyelenggara Negara

2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi

3. Menyelenggaraan program pendidikan anti korupsi pada

setiap jenjang pendidikan

4. Merancang dan mendorong terlaksananya program

sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi

5. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat

umum

6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam

pemberantasan korupsi

4) Dalam melaksanakan tugas monitor diatur dalam Pasal 14

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, komisi

pemberantasan korupsi berwenang melaksanakan langkah atau

upaya pencegahan sebagai berikut:

1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan

administrasi di semua lembaga Negara dan pemerintah

2. Memberi saran kepada pemimpin lembaga Negara dan

pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan

hasil pengkajian, hasil pengelolaan administrasi tersebut

berpotensi korupsi

3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan

(52)

Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan

Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak

diindahkan.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas dapat diketahui

bahwa kehadiran KPK diharapkan menjadi pemicu terhadap upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga Kepolisian dan Kejaksaan

menjadi terpacu untuk bergerak cepat mengusut kasus-kasus korupsi.

Kemudian pembentukan KPK merupakan a temporary way-out, jalan keluar sementara. Sejatinya, KPK bukan bagian dari sistem peradilan

pidana (criminal justice system) di Indonesia. KPK tidak didesain untuk menggantikan peran kepolisian dan kejaksaan sebagai penegak hukum,

sehingga keberadaanya bersifat temporal. Oleh sebab itu, keberadaan KPK

juga harus memperkuat keberadaan institusi lain, yaitu Kepolisian dan

Kejaksaan. Dalam konteks inilah, terdapat tunggakan pekerjaan terhadap

fungsi KPK yang lain, yaitu melakukan koordinasi dan supervisi terhadap

penegak hukum lainnya.6

C. Tugas dan Wewenang POLRI

Tugas dan wewenag Polri secara umum diamanatkan langsung oleh

UUD NRI Tahun 1945 pada amandemen ketiga, yaitu “sebagai alat negara

yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,

mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum”. Tugas-tugas

(53)

tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Kepolisian

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Tugas pokok Polri seperti tercantum dalam Pasal 13

Undang-Undang Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan

pelayanan kepada masyarakat.

Dalam rangka menyelenggarakan tugas khusus di bidang proses

pidana seperti yang diatur dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Polri berwenang

untuk :

1. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

2. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

penyidikan;

4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri;

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

(54)

9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

10.Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang

berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak

atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka

melakukan tindak pidana;

11.Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai

negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri

sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

12.Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

D. Hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Lembaga Negara Lainnya

Mengenai hubungan kewenangan antar lembaga negara pasca

amandemen UUD 1945 tercantum dalam konstitusi. Hal ini dikarenakan

atas Perubahan UUD 1945 yang menerapkan konsep pemisahan kekuasaan

dengan prinsip check and balances, sehingga antara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lain bisa saling mengontrol. Prinsip check and

balances itu telah memberikan peluang kepada kekuasaan yang satu untuk bisa ikut dalam kekuasaan yang lain.

Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki independensi dan

kebebasan dalam melakasanakan tugas dan kewenangannya, namun KPK

tetap bergantung kepada cabang kekuasaan lain dalam hal yang bekaitan

Gambar

Grafika, 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Citizen science programs may not use financial technologies directly, but they work to enhance understanding of ecosystems, fill information gaps, create big data,

• Nilai guna yang diberikan Akun Twitter @infobdg dalam pemenuhan kebutuhan informasi bagi para followers nya di Kota Bandung memiliki nilai guna, sesuai kebutuhan

PENGARUH SISTEM PENILAIAN KINERJA TERHADAP SEMANGAT KERJA PEGAWAI PADA SUB BAGIAN KEPEGAWAIAN DAN UMUM DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA BARAT.. Universitas Pendidikan Indonesia

Fitur laporan rawat jalan berfungsi untuk menampilkan semua data-data pasien rawat jalan atau berdasarkan tanggal masuk, tanggal keluar, nama pasien, ruang dan dokter. Fitur

waktu 4 (Empat) Tahun terakhir, baik dilingkungan Pemerintah maupun Swasta termasuk pengalaman subkontrak, Kecuali Penyedian yang baru berdiri kurang dari 3

Panitia Pengadaan Barang/Jasa Direktorat Kesehatan Hewan akan melaksanakan Pelelangan Umum dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan pengadaan barang sebagai berikut:..

[r]

Haryono, kami Pokja ULP pada kegiatan di lingkungan Pemerintah Kota Samarinda, mengundang Perusahaan Saudara untuk menghadiri acara PEMBUKTIAN KUALIFIKASI/