SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Supandri
NIM 1111048000014
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iv
INDONESIA (Analisis Sengketa Lembaga KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia). Program Studi Ilmu Hukum. Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara.
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436
H / 2105 M. + 77 halaman + lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan
lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia. Hal ini terkait
dengan sengketa kewenangan lembaga negara bantu khususnya KPK dengan Kepolisian
Republik Indonesia. Kehadiran lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD
Negara RI 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar
hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada
pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan mengedapankan pendekatan
perundangan, yaitu menggali data dan mencari sumber informasi melalui
undang-undang. Selain itu, data dari penelitian ini juga diperoleh melalui data yang sudah
terkodifikasi dalam bentuk buku, jurnal, maupun artikel yang memiliki keterkaitan
dengan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa lembaga negara bantu yaitu
KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki kedudukan konstitusional.
Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUDN RI
Tahun 1945, maka terdapat lembaga yudisial untuk menyelesaikannya, yaitu Mahkamah
Konstitusi. Namun, bilamana yang terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI Tahun 1945, maka terjadi kekosongan
hukum.
Kata Kunci : Kedudukan, Sengketa Lembaga Negara
Pembimbing : Feni Arifiani, S.Ag, M.H dan Zezen Zainal Muttaqin, SH.I,
LLM
v Assalamualaikum Wr, Wb
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta
alam yang dengan rahmat dan karunia-Nya memberikan kesempatan bagi kita
semua untuk mengenyam pendidikan. Shalawat serta salam penulis tujukan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa zaman kebodohan menuju
zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Banyak ujian yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini,
namun atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA BANTU DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (ANALISIS SENGKETA
LEMBAGA KPK DENGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA)” ini dengan baik. Selesaianya skripsi ini tidak terlepas dari keilmuan yang penulis
dapatkan dari jenjang pendidikan yang komprehensif, serta dukungan banyak
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Asep Syaifuddin Hidayat, S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin, S.H.,
M.Hum, selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu
vi
4. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu
pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan
bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau
serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau
semua.
6. Orang tua, khususnya Ibunda tersayang Ipah dan ayahanda Narin serta
sanak saudara, terima kasih atas dukungan semangat yang tidak pernah
padam serta do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian, dan bantuan (moril,
materiil, dan spiritual) yang telah diberikan dengan tulus, sehingga penulis
dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri.
7. Kekasih tercinta Ike Apriliyani yang memberi semangat dan dukungan
penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi.
8. Teman-teman yang memberi semangat dan dukungan Amy Nurul Azmi,
vii
Semoga skripsi ini ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya
bagi penulis dan umunya bagi pembaca. Sekian dan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 22 Juni 2015
viii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulisan ... 7
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 8
E. Metode Penelitian ... 11
F. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II LANDASAN TEORI A. Negara Hukum ... 14
B. Konsep Pemisahan Kekuasaan ... 18
C. Konsep Lembaga Negara ... 21
1. Lembaga Negara Bantu ... 24
2. Sengketa Lembaga Negara ... 29
ix
BAB IV SENGKETA LEMBAGA NEGARA
A. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga
Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 48
B. Sengketa Kewenangan Lembaga KPK dengan Lembaga Kepolisian
Republik Indonesia... 58
C. Penyelesaian Sengketa Lembaga KPK dengan POLRI ... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 76
B. Saran ... 77
1
Salah satu hasil dari perubahan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah
beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi
supremasi konstitusi. Akibatnya sejak masa reformasi, Indonesia tidak lagi
menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara sehingga semua
lembaga Negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and
balances. Hal ini merupakan konsekuensi dari supremasi konstitusi, dimana konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan
membatasi kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggaraan negara.1
Sistem ketatanegaraan Indonesia UUD 1945 dengan jelas
membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif,
eksekutif dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR,
DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai
lembaga-lembaga negara yang utama (main state organ, principal state
organ). Lembaga-lembaga negara yang dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan perlembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara
yang utama, sehingga lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut
sebagai lembaga negara utama (main state organs, atau main state
institutions) yang hubunganya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip checks and balances.2
Disamping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau
yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud diatas,
dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang
bersifat konstitusional lainnya selain Komisi Yudisial, Kepolisian Negara,
Tentara Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum,
Dewan Pertimbangan Presiden, dan sebagainya. Namun, pengaturan
lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya
mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD
1945 tersebut, termasuk KY, harus dipahami dalam pengertian lembaga
tinggi negara sebagai lembaga utama (main organs).
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan
sebagai salah satu dari fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara
universal dipahami. Dengan kata lain, bahwa lembaga-lembaga negara
sebagaimana disebutkan diatas, dalam ketatanegaraan disebut dengan
auxiliary state organs (lembaga negara bantu).3 Walaupun tugasnya
melayani atau membantu, akan tetapi menurut Sri Soemantri M, secara
nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan
penting dalam mewujudkan tujuan nasional.4
2 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 178
3 Ibid, h. 179
Salah satu lembaga negara bantu yaitu Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu agenda penting
dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia.5 Cita-cita gerakan
reformasi akan adanya suatu pemerintah yang bersih (clean government)
dari korupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang efisien, terbuka, dan
bertanggung jawab kepada rakyat (good governance), didorong oleh semakin menguatnya tuntutan demokrasi dan penghormatan hak asasi
manusia, serta partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
publik. Akibat korupsi, rakyat harus membayar mahal untuk pelayanan
publik yang buruk.
Di dalam suatu rezim yang memiliki mesin otoritas yang kuat,
sudah harus disadari bahwa pendekatan pemberantasan korupsi secara
konvensional yang berbasis pada penegakan hukum dan perbaikan
pengawasan melalui institusi kenegaraan, seperti yang sekarang tengah
ditempuh, terbukti sudah tidak efektif lagi. Di sinilah rakyat, yang
merupakan korban sesungguhnya dari perbuatan penyalahgunaan
kekuasaan harus mengambil inisiatif untuk mengembangkan pengawasan
massal, yang melibatkan peran serta masyarakat di semua lapisan sosial
dan profesi.6
Melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, komisi ini pun sah didirikan dan
memiliki legitimasi untuk menjalankan tugasnya. KPK dibentuk sebagai
5 Mahmuddin Muslim, Jalan Panjang Menuju KPTPK, (Jakarta: Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Indonesia, 2004), h. 33
respon atas tidak efektifnya kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas
korupsi yang semakin merajarela. Adanya KPK diharapkan dapat
mendorong penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).7
Kekuasaan KPK yang dianggap sangat besar dalam praktiknya
tidak jarang menimbulkan masalah atau bahkan konflik dengan lembaga
negara lain, terutama lembaga kepolisian sebagaimana dapat dilihat dari
beberapa konflik antar dua lembaga ini. Konflik ini muncul karena
masing-masing lembaga memiliki kewenangan untuk menangani kasus
korupsi tertentu.
Konflik yang pernah terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi
dengan Polisi Republik Indonesia terkait kewenangan penyelidikan dan
penyidikan kasus korupsi simulator surat izin mengemudi (SIM) yang
melibatkan kedua lembaga tersebut. berawal dari adanya perbedaan
penafsiran terkait wewenang yang dimiliki oleh kedua lembaga antara
KPK dan POLRI, perbedaan penafsiran tersebut menjadi latar belakang
timbulnya overlapping (tumpang tindih) kewenangan penyidikan terhadap
kasus tersebut. Secara garis besar, Polri berwenang terhadap semua tindak
pidana yang berlaku dalam KUHP maupun diluar KUHP (termasuk tindak
pidana korupsi) namun, perlu disadari adanya asas lex specialis derogate lex generalis membuat kedudukan KPK semakin kuat dalam penyelidikan,
penyidikan bahkan penuntutan.
Konflik antara institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Komisi
Pemberantasa Korupsi (KPK) telah beberapa kali terjadi, dan setiap
kasusnya itu terjadi memberi dampak yang cukup luas dalam perpolitikan
dan hukum di Indonesia. Masing-masing pihak dan pendukungnya
memegang dasar argumentasi yang mengacu pada kewenangan institusi
yang dijamin oleh hukum. Baik Polri maupun KPK merupakan institusi
yang memiliki wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi. KPK yang khusus bertugas di area tindak pidana korupsi
ditambah dengan wewenang penuntutan. Selain Polri dan KPK, ada pula
Kejaksaan yang memiliki wewenang penyidikan dan penuntutan tindak
pidana korupsi. Selintas, ada potensi konflik kewenangan antara ketiga
institusi tersebut. Belakangan ini terjadi buntut dari penetapan status
“tersangka” bagi calon tunggal Kapolri oleh KPK, bukan hanya beraroma
benturan kewenangan antara Polri dan KPK, tetapi juga penggunaan
kewenangan untuk kepentingan masing-masing institusi. KPK dituding
menggunakan wewenangnya untuk melemahkan pimpinan Polri, dan Polri
dituding menggunakan wewenangnya untuk melemahkan pimpinan KPK.
Kedua pihak ini membawa dasar hukumnya masing-masing.8
Dengan demikian, kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem
ketatanegaraan yang dianut Indonesia masih menjadi topik yang menarik
untuk diperbincangkan, Karena lembaga negara bantu ini adalah sebagai
salah satu institusi penegak hukum akan menjadi tema sentral dalam
pembahasan ini. Sebab, secara filosofis maupun praktis kedudukan dan
legitimasi penegakan hukum merupakan pintu masuk baik bagi penegakan
hukum maupun tata kelola kenegaraan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga
dapat mengakibatkan ketidak jelasan maka penulis membuat
pembatasan masalah yakni kedudukan lembaga negara bantu dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia UUD 1945. Serta sengketa
kelembagaan KPK dengan lembaga negara Kepolisian Republik
Indonesia, dalam menangani kasus tindak pidana korupsi.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, penulis merumuskan permasalahan
kedudukan lembaga negara bantu khususnya KPK dalam sistem
ketatanegaraan republik Indonesia dan sengketa kelembagaan antara
KPK dengan Kepolisian RI.
Bagaimana penyelesaian sengketa yang telah dilakukan
C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Secara umum tujuan penulisan adalah untuk mendalami tentang
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan
masalah, secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui kedudukan lembaga KPK sebagai negara bantu
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
b. Untuk mengetahui upaya penyelesaian konflik kelembagaan antara
KPK dan lembaga Kepolisian.
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan khasanah
ilmu pengetahuan hukum tata negara dalam bidang
lembaga-lembaga negara bantu (auxiliary state organs) dalam hal ini studi analisis kedudukan KPK, utamanya yang mengenai sengketa
kelembagaan antara KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia
dan segala aspek yang menyangkut kedudukan serta kewenangan
lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Selain dari pada itu adanya tulisan ini dapat menambah
perbendaharaan koleksi karya ilmiah dengan memberikan
b. Manfaat Praktis
Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat menjadi
kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan mengenai
sengketa kelembagaan KPK sebagai lembaga negara bantu dengan
Polri, dan mudah-mudahan dapat memberikan masukan bagi
pembaca terutama bagi pembentuk hukum khususnya
Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan penelitian ini
diharapkan akan menghilangkan atau setidaknya mereduksi
perdebatan dan argumen yang cenderung negatif terkait
kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu serta hubungan
kerja komisi tersebut dengan organ-organ kekuasaan lain di negara
indonesia.
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Adapun skripsi dan buku yang terkait dengan judul diatas sebagai
berikut:
1. Buku berjudul Memberantas Korupsi Bersama KPK yang ditulis oleh
Dr. Ermansjah Djaja. Didalam buku ini Ermansjah Djaja menjelaskan
tentang pemberantasan korupsi versi KPK, karena masih banyaknya
masyarakat atau kelompok masyarakat yang belum mengetahui dan
memahami tentang tugas dan kewajiban serta independensi KPK.
mendalam tentang landasan filosofis, teoritis dan yurudis
penyelenggaraan kepolisian dan mengaji konsep-konsep dasar untuk
mewujudkan kepolisian yang baik serta konsep penyelenggaraan
kepolisan dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik.
3. Buku berjudul Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945 yang ditulis oleh Dr. Patrialis Akbar, S.H. M.H. didalam buku ini dibahas mengenai sejarah kelembagaan sebelum dan sesudah
amandemen UUD 1945 juga membahas tentang hubungan antar
cabang kekuasaan negara menurut UUD 1945.
4. Skripsi Sri Hayati Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, dengan judul skripsi
“Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi”. Sri
Hayati membahas tentang bagaimana tugas dan wewenang serta
perbandingan tugas dan wewenang antara KPK dengan Kepolisian
Republik Indonesia, adapun perbedaanya dalam skripsi ini membahas
tentang kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia studi analisis KPK sebagai lembaga negara
bantu dan membahas sengketa KPK dengan lembaga Polri.
5. Skripsi Lintang Octiariska pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, dengan
Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Lintang Octiariska membahas
tentang eksistensi KPK dan membahas tentang kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi selama kurun waktu 10 tahun berdirinya
komisi KPK. Adapun perbedaannya dengan judul skripsi yaitu
membahas tentang kedudukan KPK dan analisis sengketa KPK
dengan Polisi Republik Indonesia.
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Studi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan
jenis penelitian hukum terkait dengan kedudukan lembaga negara
bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia khususnya analisis
kedudukan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penulis
mencari dan menelaah peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan judul skripsi ini. Sedangkan sifat dari penelitian
ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat
membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau
mencoba merumuskan teori baru.
2. Pendekatan
a. Pendekatan Perundang-undangan
2) Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi
3) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Republik Indonesia
3. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu
data yang diperoleh dari sumber pertama, yang diperoleh dari UUD
NRI 1945, Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK,
Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari
dokumen-dokumen resmi, makalah, skripsi, jurnal hukum dan sebagainya.
4. Metode Pengumpulan Data
Penuli menggunakan metode pengumpulan data melalui studi
dokumen/kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang
berkaitan dengan hukum kelembagaan negara dan lembaga negara
bantu (KPK), pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga
berita yang penulis peroleh dari internet.
5. Metode Pengelolaan dan Analisa Data
Penulis menggunakan analisa deskriptif kualitatif, yaitu metode
analisa data yang mengelompokan dan menyeleksi data yang diperoleh
objek penelitian, kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan,
kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab
permasalahan yang ada.
6. Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penulisan sesuai
dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi
skripsi, maka sistematika penulisan skripsi sebagai berikut:
Bab I, Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan kajian terdahulu,
kegunaan penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan skripsi.
Bab II, Landasan Teori. Dalam bab ini dibahas mengenai negara
hukum, konsep pemisahaan kekuasaan, lembaga negara dan lembaga
negara bantu serta sengketa kelembagaan negara.
Bab III, Tinjauan Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas dan wewenang KPK, tugas dan
Bab IV, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada bab ini merupakan inti atau
subtansi dari keseluruhan penelitian skripsi, bab ini membahas kedudukan
KPK sebagai lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Sengketa kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum
lainnya, dan upaya penyelesaian sengketa lembaga KPK dengan Polri.
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Negara Hukum
Penegasan Indonesia adalah negara hukum yang selama ini diatur
dalam penjelasan UUD 1945, dalam perubahanya telah diangkat ke dalam
UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), sebagai berikut: “Negara Indonesia adalah
negara hukum”, konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap,
kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasar dan
sesuai dengan hukum. Bahkan, ketentuan ini untuk mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan baik yang dilakukan oleh
alat negara maupun penduduk.
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh
para filsuf dari zaman Yunani Kuno, Plato dalam bukunya “the statesman” dan “the law” menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk paling
baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan. Senada dengan Plato, tujuan negara menurut Aristoteles adalah untuk
mencapai kehidupan yang paling baik yang dapat dicapai (the best life possible) dengan supremasi hukum. Hukum merupakan wujud
kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukannya.1
1
Konsep rechstaat lahir dari satu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner. Hal ini tampak dari isi atau kriteria
rechstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law. Konsep the rule of law
dalam karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan common law adalah judicial.2 Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi
kekuasaan negara atau pemerintahan diartikan sebagai hukum yang dibuat
atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Begitu eratnya hubungan
antara paham negara hukum dan kerakyatan sehingga ada sebutan negara
hukum demokratis atau democratische rechstaat.3
Sebagai ciri negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dari
pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. Untuk
ciri ini dapat dilihat pada Pasal 24 Undang-Undang Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Di dalam penjelasan
terhadap Pasal 24 ini dijelaskan bahwa “kekuasaan kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah”. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan di dalam
undang-undang tentang kedudukan para hakim. Dengan begitu maka untuk
ciri negara hukum dapat dipenuhi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Ciri
lain dari negara hukum adalah legalitas dalam arti hukum dalam
2
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 72
3
bentuknya. Ini dimaksudkan bahwa untuk segala tindakan seluruh warga
negara, baik rakyat biasa maupun penguasa haruslah dbenarkan oleh
hukum, di Indonesia berbagai peraturan untuk segala tindakan sudah ada
ketentuannya, sehingga untuk setiap tindakan itu harus sah menurut aturan
hukum yang telah ada.
Untuk mengamankan ketentuan-ketentuan tersebut maka di
Indonesia telah dibentuk berbagai badan peradilan untuk memberi
pemutusan (peradilan) terhadap hal-hal yang dianggap melakukan hal-hal
yang tidak dibenarkan oleh hukum. Jadi semua landasan yang menjadi cirii
dari negara hukum dapat ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945
sehingga untuk disebut sebagai negara hukum UUD 1945 cukup
memberikan jaminan. Yang sering menjadi persoalan adalah
pelaksanaanya di lapangan yang kerapkali menimbulkan pertanyaan
tentang relevansinya.4
Paham negara hukum harus dibuat jaminan bahwa hukum itu
sendiri dibangun dan ditegakan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Oleh
karena itu, prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri,
pada dasarnya berasal dari kedaulatan rakyat. Hukum tidak boleh dibuat,
ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakan dengan tangan besi berdasarkan
kekuasaan belaka (machtsstaat).5
4 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 86-87
5Yusril Ihza Mahendra, “Dinamika Tata Negara Indonesia”, (Jakarta: Gema Insani Press
Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat dan negara. Professor Utrecht membedakan
dua macam negara hukum, yaitu negara hukum formal atau negara hukum
klasik, dan negara hukum material atau negara hukum modern. Negara
hukum formal menyangkut pengertian hukum yang bersifat formal dan
sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undang tertulis. Tugas
negara adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut
untuk menegakan ketertiban. Tipe negara tradisional ini dikenal dengan
istilah negara penjaga malam. Negara hukum material mencakup
pengertian yang lebih luas termasuk keadilan didalamnya. Tugas negara
tidak hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum tetapi juga
mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan (welfarestate).6
Konsepsi negara hukum Indonesia berangkat dari prinsip dasar
bahwa ciri khas suatu negara hukum adalah negara memberikan
perlindungan kepada warganya dengan cara berbeda. Negara hukum
adalah suatu pengertian yang berkembang, terwujud sebagai respon atas
masa lampau. Oleh karena itu, unsur negara hukum berakar pada sejarah
dan perkembangan suatu bangsa. Setiap bangsa atau negara memiliki
sejarah tersendiri yang berbeda.7
B. Konsep Pemisahan Kekuasaan
Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa
kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan
demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin. Doktrin
ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan
Montesquieu (1689-1755) dan pada taraf itu ditafsikan sebagai pemisahan
kekuasaan (separation of power). Filsuf inggris John Locke mengemukakan konsep ini dalam bukunya berjudul Two Treatis on Civil
Government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absolut dari raja-raja Stuart serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun
1688 (the Gloriuos Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh
parlemen inggris. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga
kekuasaan yaitu: kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif, yang
masing-masing terpisah satu sama lain.8
Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1748, filsuf prancis
Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam
bukunya L’Espirit des Lois (the Spirit of the Laws). Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi
tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang
atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya: “kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan
8Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1977), h.
penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan. Merupakan malapetaka kalau
seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum
bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahkan untuk menyelenggarakan
ketiga kekuasaan tersebut. Secara garis besar ajaran Montesquieu sebagai
berikut. Pertama, terciptanya masyarakat yang bebas. Keinginan seperti ini muncul karena Montesquieu hidup dalam kondisi sosial dan politik
yang tertekan di bawah kekuasaan Raja Lodewijk XIV yang memerintah
secara absolut.. Kedua, jalan untuk mencapai masyarakat yang bebas adalah pemisahaan antara kekuasaan legislatif dengan kekuasaan
eksekutif. Montesquieu tidak membenarkan jika kedua fungsi berada di
satu orang atau badan karena dikhawatirkan akan melaksanakan
pemerintahan tirani. Ketiga, kekuasaan yudisial harus dipisah dengan
fungsi legislatif. Hal ini dimaksud agar hakim dapat bertindak secara bebas
dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Ketiga kekuasaan tersebut,
menurut Montesquieu, harus terpisah satu sama lain, mulai dari fungsi
maupun mengenai alat perlengkapannya.
Pendapat tersebut tentu berbeda dengan John Locke yang
memasukan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif.
Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri karena
kekuasaan tersebut dianggapnya sangat berbeda dengan kekuasaan
yang disebut oleh John Locke “federatif” dimasukannya ke dalam
kekuasaan eksekutif.9
Kenyataannya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar
cabang kekuasaan tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif bersifat sederajat dan saling
mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Teori pemisahan kekuasaan trias politica Baron de Montesquieu
yang membagi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif)
dinilai kurang relevan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan yang
terus mengalami perkembangan tuntutan demokrasi. Kemudian muncullah
trend di berbagai negara untuk membentuk lembaga-lembaga bantu yang
bersifat independen. Di Indonesia lembaga-lembaga ini diperlukan untuk
kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokrasi yang lebih
efektif.10 Lembaga-lembaga semacam ini kemudian disebut-disebut
sebagai the fourth branch of the government (cabang kekuasaan keempat). Istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga ini juga bervariasi mulai
dari state auxiliary organ (U.S.A), quasi outonomous governmental
organization-quangos (Prancis), agencies (Inggris), lembaga negara bantu dan lainnya. Di Indonesia sendiri umumnya menggunakan istilah komisi
untuk menyebut lembaga ini.11
9 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h.11
10Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 217
C. Konsep Lembaga Negara
Secara sederhana, istilah organ negara atau lembaga negara dapat
dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat,
atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Nonpemerintahan yang
dalam bahasa inggris disebut Government Organization atau
Non-Governmental Organization (NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai
lembaga negara.
Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa
disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut juga dengan organ negara.
Dalam Kamus Besar Indonesia (KBBI 1997), kata “lembaga” diartikan sebagai (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk
asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan; (iv) badan atau organisasi yang
bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha;
dan (v) pola perilaku yang mapan yang terdiri dari atas interaksi sosial
yang berstruktur.12 Dalam kamus hukum Belanda-Indonesia,13 kata
staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam
kamus hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh
Adiwinata dkk., kata organ juga diartikan sebagai perlengkapan. Oleh
12 Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat H.A.S. Natabaya, dalam Jimly Asshiddiqie dkk. (editor Refly Harun dkk.)., Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2004, h. 60-61. Lihat juga Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antar Lembaga-Lembaga Negara, Sekretariat Jendral MKRI dan KRHN, Jakarta, 2005, h. 29-30
karena itu, istilah lembaga negara, organ negara, dan alat perlengakapan
sering kali dipertukarkan satu sama lain. Akan tetapi, menurut Natabaya,
penyusun UUD 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten
menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ
negara. Untuk maksud yang sama, Konstitusi RIS (Republik Indonesia
Serikat) Tahun 1949 tidak menggunakan istilah lain kecuali alat
perlengkapan negara. Sedangkan UUD 1945 setelah perubahan keempat
(tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi
dengan tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ
negara, dan badan negara.
Untuk memahami pengertian organ atau lembaga negara secara
lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen
mengenai the concept of the Staate-Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever ful lls a Function determined by the legal order is an organ”.14 Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentuka oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya organ negara itu tidak selalu berbentuk
organik. Disamping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap
jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan
fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). “These functions, be they of
a norm-creating or of a norm-applying character, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanction”.
Lembaga-lembaga negara yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945
tampaknya perumus UUD NRI Tahun 1945 dalam BPUPKI dan PPKI
sangat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga sejenis yang ada dalam sistem
ketatanegaraan kerajaan Belanda. Kecuali MPR, lembaga-lembaga negara
lain dalam UUD NRI Tahun 1945 dapat dibandingkan dengan
lembaga-lembaga di negeri belanda, yaitu Kepala Negara (Ratu), Kepala
Pemerintahan Eksekutif (Perdana Menteri), Staten Generaal (parlemen)
Rekenkamer (pemeriksaan Keuangan), Raad van State (Dewan Pertimbangan Negara), dan Hogerechtshof (Mahkamah Agung).15
Lembaga negara terkadang disebut sebagai istilah lembaga
pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen, atau lembaga
negara saja. ada lembaga negara yang dibentuk berdasarkan atau karena
diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan
mendapatkan kekuasaanya dari Undang-Undang, dan bahkan ada pula
yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hierarki atau
ranking kedudukanya tentu saja tergantung pada derajat pengaturanya
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga negara
yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar merupakan organ
konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
merupakan organ Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk
Karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan
derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya.
Teori pemisahan kekuasaan trias politica Baron de Montesquieu yang membagi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif)
dinilai kurang relevan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan yang
terus mengalami perkembangan tuntutan demokrasi. Kemudian muncullah
trend di berbagai negara untuk membentuk lembaga-lembaga bantu yang
bersifat independen. Di Indonesia lembaga-lembaga ini diperlukan untuk
kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokrasi yang lebih
efektif.16 Lembaga-lembaga semacam ini kemudian disebut-disebut
sebagai the fourth branch of the government (cabang kekuasaan keempat). Istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga ini juga bervariasi mulai
dari state auxiliary organs (U.S.A), quasi outonomous governmental organization-quangos (Prancis), agencies (Inggris), lembaga negara bantu
dan lainnya. Di Indonesia sendiri umumnya digunakan istilah komisi
untuk menyebut lembaga ini.17
1. Lembaga Negara Bantu
Kemunculan lembaga negara yang dalam pelakasanaan fungsinya
tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga
trias politica mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad
16Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 217
ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika
Serikat dan Prancis. Banyak istilah untuk menyebut jenis
lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang apabila diterjemahkan secara harfiah ke dalam
bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang.18
Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum
digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada
kenyataanya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk
menyebut jenis lembaga tersebut. Mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga
negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada
dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai
organisasi swasta ataupun lembaga-lembaga non-pemerintah yang lebih
sering disebut ornop (organisasi pemerintah) atau NGO
non-governmental organization).
Secara teoritis lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara
untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil
dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan di biayai oleh negara
tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu
sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika
berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk mengawasi. Adanya lembaga negara bantu
dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya
prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan
melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya. Selain
itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah
terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk
mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi
bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut,
John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu:
a. Regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan
supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan
b. Advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada
pemerintah;
Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini
secara umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap
lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan
ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataanya, lembaga-lembaga negara
yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan
persoalan yang ada berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.19
19T.M. Luthfi Yazid, “Komisi-Komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”,
Colin Talbot, Profesor Kebijakan Publik dari Universitas
Nottingham Inggris mengemukakan pendapat mengenai kriteria-kriteria
terbentuknya lembaga-lembaga independen20 :
a. Merupakan kepanjangan tangan dari lembaga pemerintahan
utama/pusat
b. Pejabat yang mengisinya tidak termasuk PNS tetapi melayani
publik
c. Keuangannya berasal dari anggaran negara
d. Tidak bisa membuat peraturan yang mengikat ke luar, tetapi
mereka diatur oleh aturan tertentu.
Apabila ditelaah kriteria yang diberikan oleh Colin Talbot
mengenai lembaga independen ini dan menerapkanya pada keberadaan
lembaga KPK maka dapat terlihat bahwa KPK memenuhi
kriteria-kriteria tersebut. Keberadaan KPK yang berwenang melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi sebenarnya merupakan kepanjangan
tangan dari kewenangan yang dimiliki oleh Polri sebagai lembaga
Utama (Polri) dianggap kurang efektif menjalankan tugasnya dengan
wewenangnya yang luas maka dibentuklah lembaga baru yang
mempunyai spesialisasi tugas tertentu dengan mengambil sebagian
kewenangan lembaga utama agar lebih bersifat independen.
Berikut pembagian lembaga negara berdasarkan Pembentukanya ;
a. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
4. Presiden dan Wakil Presiden
5. Mahkamah Agung (MA)
6. Mahkamah Konstitusi (MK)
7. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
8. Komisi Yudisial
b. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang
1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
3. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
5. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
6. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
7. Komisi Kepolisian Nasional
8. Komisi kejaksaan
9. Dewan Pers
c. Lembaga Negara Menurut Peraturan Di Bawah Undang-Undang
1. komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan)
2. Dewan Maritim Nasional (DMN)
4. Dewan Ekonomi Nasional (DEN)
5. Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN)
6. Dewan Riset Nasional (DRN)
7. Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS)
8. Dewan Buku Nasional (DBN), serta lembaga-lembaga non
departemen.
Lembaga negara yang disebutkan dalam kelompok 2 dan 3, dapat
dikatakan sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Selain
lembaga tersebut di atas, masih terdapat banyak
lembaga-lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan perppu.
Jumlah ini kemungkinan dapat bertambah dan berkurang mengingat
lembaga negara dalam kelompok ini tidak bersifat permanen melainkan
bergantung pada kebutuhan Negara.
2. Sengketa Lembaga Negara
Hubungan antar satu lembaga dengan lembaga negara yang lainnya
diikat oleh prinsip checks and balances. Dalam prinsip tersebut, lembaga-lembaga negara itu diakui sederajat dan saling mengimbangi
satu sama lain.
Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada
hubungan yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan
kewenangan masing-masing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau
perselisihan dalam menafsirkan Undang-Undang Dasar. Jika timbul
diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Sistem ketatanegaraan
yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian
sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata
negara, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan
nama Mahkamah Konstitusi.21
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945, disamping melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD,
pada dasarnya merupakan kewenangan konstitusional yang dibentuk
dengan tujuan untuk menegakan ketentuan yang terdapat dalam UUD.
Ini disebabkan karena dari dua hal inilah persoalan konstitusionalitas
dapat timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi
tercermin dalam dua kewenangan tersebut, yaitu: (1) kewenangan untuk
menguji Undang-Undang terhadap UUD; dan (2) kewenangan untuk
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya
bersumber dari UUD.22
Luthfi Widagdo Eddyono membagi lembaga negara/organ negara:
a. Lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara
atribusi (oleh UUD 1945);
b. Lembaga negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh
pembuat peraturan perundang-undangan (termasuk komisi
21 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2010), h. 150
independen, independent regulatory agencies) yang tidak
bertanggung jawab kepada siapapun.
c. Lembaga negara yang wewenangnya diberika secara delegasi
pembuat peraturan perundang-undangan termasuk komisi negara
eksekutif (executive branch agencies) yang bertanggung jawab kepada Presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari
eksekutif.23
Lembaga negara organ kategori pertama dapat berperkara di
Mahkamah Konstitusi. Lembaga negara kategori kedua dapat pula
berperkara di Mahkamah Konstitusi, sedangkan lembaga negara
kategori ketiga tidak mempunyai subjectum litis maupun objectum litis untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi karena telah jelas, lembaga
negara kategori ketiga bersifat hierarkis dengan Presiden atau menteri
dan/atau merupakan bagian dari eksekutif.
32
A. Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Korupsi di Indonesia, bukanlah hal yang baru namun telah ada
sejak era tahun 1950-an. Kegagalan penanggulangan korupsi di masa lalu
disebabkan berbagai institusi dan Tim-tim Pemberantasan Korupsi yang
dibentuk untuk maksud tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan
efektif, perangkat hukumnya lemah, faktor pemerintah dan aparat penegak
hukum yang tidak menyadari bahaya dari korupsi.1
Korupsi sudah dianggap sebagai masalah internasional.
Pemberantasan korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih besar
dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Secara umum, tindak pidana
ini tidak hanya mengakibatkan kerugian negara (keuangan negara), tetapi
dapat mengakibatkan dampak yang sangat luas, baik di bidang sosial,
ekonomi, keamanan, politik, dan budaya.2
Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh UU KPK yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK didirikan untuk mengatasi
permasalahan tentang korupsi yang selama ini dirasa gagal dalam
1 Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, cet.I, (Jakarta, Tim Pakar Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Bersama Sekretariat Jendral Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002), h. 31.
2Romli Atmasasmita, “Perspektif Pengadilan Korupsi di Indonesia”. Dalam Seminar, ed.,
penegakan hukumnya. Melihat dari sifatnya, KPK adalah lembaga ad hoc yang merupakan salah satu komisi negara bersifat membantu dalam
mengawal dan mengawasi penegakan hukum serta mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Pembentukan sebuah institusi khusus untuk menanggulangi
masalah korupsi di Indonesia, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru.
Akan tetapi pembentukan sebuah badan khusus dengan kewenangan yang
demikian luas, di samping melakukan penyidikan, sekaligus melakukan
penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi, patut dicatat sebagai
suatu aspek pembaruan dalam hukum dan sistem peradilan pidana
Indonesia. Untuk membentuk badan khusus seperti itu tidak dapat
dilepaskan dari latar belakang pemikiran untuk mengatasi masalah
pemberantasan tindak pidana korupsi yang belum dilaksanakan secara
optimal. Badan-badan penegak hukum yang ada, yang selama ini diserahi
tugas dan kewenangan untuk menangani perkara tindak pidana korupsi,
belum berfungsi secara efektif.3
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dibentuk
dengan misi utama melakukan penegakan hukum, yakni dalam
pemberantasn korupsi. Dibentuknya lembaga ini dikarenakan adanya
pemikiran bahwa lembaga penegak hukum konvensional, seperti
Kejaksaan dan Kepolisian, dianggap belum mampu memberantasan
korupsi.4 Oleh karena itu, perlu dibentuk lembaga khusus yang
mempunyai kewenangan luas dan independen serta bebas dari kekuasaan
manapun.
Secara khusus urgensi pembentukan KPK dapat dilihat dari
pokok-pokok pikiran pembentukan KPK. Dalam pokok-pokok pikiran tersebut
dijelaskan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang
sistemik dan meluas tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi juga
melanggar hak ekonomi dan hak sosial masyarakat. Oleh karena itu,
penyelesaian korupsi tidak dapat dilaksanakan hanya dengan
menggunakan metode dan lembaga yang konvensional, tetapi harus
dengan metode dan lembaga baru.5 Komisi Pemberantasan korupsi yang
memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun mengenai
pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban,
tugas dan wewenang keanggotaannya diatur dengan undang-undang.
B. Tugas dan Wewenang KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas-tugas
sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002. Sebagai berikut:
4 Teten Masduki dan Danang Widoyoko, Menunggu Gebrakan KPK, Jantera 8 Tahun III, (T.t., T.p., Maret, 2005), h. 41
5 Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia
1. Melakukan tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; instansi yang berwenang adalah
termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara, inspektorat pada Departemen atau lembaga Pemerintah
Non-Departemen.
3. Dalam melaksanakan tugas supervisi terhadap instansi yang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, komisi
pemberantasan Korupsi berwenang:
4. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi
yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam
melakasanakan pelayanan public dan mengambil alih penyidikan atau
penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang
dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan.
5. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi
6. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
7. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.
Kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan
dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, pendukung pelaksana
tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang :
1. Dalam melaksanakan tugas koordinasi yang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
Pasal 7 berwenang :
a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan
korupsi
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait
d. Melakukan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
e. Meminta laporan instansi terkait pencegahan tindak pidana
korupsi
2. Wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13 dan 14
undang-undang nomor 30 tahun 2002
a. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf b dan diatur dalam Pasal 8, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau
wewenang yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana
korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
b. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), komisi pemberantasan korupsi berwenang mengambil alih
penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
yang sedang dilakukan oleh kepolisian.
c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih
penyidikan dan penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib
menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat
bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama
14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan
komisi pemberantasan korupsi.
Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat 3 bahwa :
3. Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan
wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau
kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam
tahanan kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat
ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejakasaan atau
komisi pemberantasan korupsi meminta bantuan kepada kepala rumah
tahanan Negara untuk menempatkan di rumah tahanan tersebut.
a. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dilakukan dengan
segala tugas dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat
penyerahan tersebut beralih kepada komisi pemberantasan korupsi.
b. Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 8 dan diatur dalam Pasal 9, dilakukan oleh
komisi pemberantasan korupsi (KPK) dengan alasan:
1) Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
dilanjuti
2) Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut atau
tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
3) Penanganan tindak pidana korupsi ditunjukan untuk
melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya
(a) Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur
korupsi
(b) Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena
campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislative
atau
(c) Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau
kejaksaan penanganan tindak pidana korupsi sulit
dilaksanakan secara baik dan dapat di pertanggung
jawabkan.
4. Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana
korupsi yang sedang ditangani vii
5. Dalam melakasanaka tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
yang di atur dalam Pasal 12 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf c, komisi pemberantasan korupsi berwenang:
a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan
b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang
seseorang berpergian ke luar negeri
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang
diperiksa
d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
untuk meblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik
tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait
e. Memerintahkan kepada pemimpin atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatanya
f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau
terdakwa kepada instansi terkait
g. Menghentikan suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan,
dan perjanjian lainya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi
yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang
diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya
h. Dalam penjelasan Pasal 12 huruf g dijelaskan bahwa:
Ketentuan ini dimaksud untuk menghindari penghilangan atau
penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidikan,
penyidikan, atau penuntutan atau untuk menghindari kerugian
Negara yang lebih besar.
1) Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak
hukum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan,
dan penyitaan barang bukti di luar negeri
2) Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait
untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan
dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi
Dalam penjelasan Pasal 12 huruf I disebutkan:
Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal
komisi pemberantasan korupsi melakukan penahanan
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi,
komisi pemberantasan korupsi meminta bantuan kepada kepala
rutan tahanan Negara untuk menrima penempatan tahananan
tersebut dalam rumah tahanan.
3) Dalam melaksanakan tugas pencegahan diatur dalam Pasal 13
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, komisi
pemberantasan korupsi berwenang melaksanakan langkah atau
1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan
kekayaan penyelenggara Negara
2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi
3. Menyelenggaraan program pendidikan anti korupsi pada
setiap jenjang pendidikan
4. Merancang dan mendorong terlaksananya program
sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi
5. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat
umum
6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam
pemberantasan korupsi
4) Dalam melaksanakan tugas monitor diatur dalam Pasal 14
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, komisi
pemberantasan korupsi berwenang melaksanakan langkah atau
upaya pencegahan sebagai berikut:
1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan
administrasi di semua lembaga Negara dan pemerintah
2. Memberi saran kepada pemimpin lembaga Negara dan
pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan
hasil pengkajian, hasil pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi
3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan
Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak
diindahkan.
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas dapat diketahui
bahwa kehadiran KPK diharapkan menjadi pemicu terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga Kepolisian dan Kejaksaan
menjadi terpacu untuk bergerak cepat mengusut kasus-kasus korupsi.
Kemudian pembentukan KPK merupakan a temporary way-out, jalan keluar sementara. Sejatinya, KPK bukan bagian dari sistem peradilan
pidana (criminal justice system) di Indonesia. KPK tidak didesain untuk menggantikan peran kepolisian dan kejaksaan sebagai penegak hukum,
sehingga keberadaanya bersifat temporal. Oleh sebab itu, keberadaan KPK
juga harus memperkuat keberadaan institusi lain, yaitu Kepolisian dan
Kejaksaan. Dalam konteks inilah, terdapat tunggakan pekerjaan terhadap
fungsi KPK yang lain, yaitu melakukan koordinasi dan supervisi terhadap
penegak hukum lainnya.6
C. Tugas dan Wewenang POLRI
Tugas dan wewenag Polri secara umum diamanatkan langsung oleh
UUD NRI Tahun 1945 pada amandemen ketiga, yaitu “sebagai alat negara
yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum”. Tugas-tugas
tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Kepolisian
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Tugas pokok Polri seperti tercantum dalam Pasal 13
Undang-Undang Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat.
Dalam rangka menyelenggarakan tugas khusus di bidang proses
pidana seperti yang diatur dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Polri berwenang
untuk :
1. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
2. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
10.Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak
atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka
melakukan tindak pidana;
11.Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai
negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri
sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
12.Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
D. Hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Lembaga Negara Lainnya
Mengenai hubungan kewenangan antar lembaga negara pasca
amandemen UUD 1945 tercantum dalam konstitusi. Hal ini dikarenakan
atas Perubahan UUD 1945 yang menerapkan konsep pemisahan kekuasaan
dengan prinsip check and balances, sehingga antara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lain bisa saling mengontrol. Prinsip check and
balances itu telah memberikan peluang kepada kekuasaan yang satu untuk bisa ikut dalam kekuasaan yang lain.
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki independensi dan
kebebasan dalam melakasanakan tugas dan kewenangannya, namun KPK
tetap bergantung kepada cabang kekuasaan lain dalam hal yang bekaitan