PERILAKU POLITIK PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN GUBERNUR SUMATERA UTARA TAHUN 2013
(STUDI KASUS DI KECAMATAN TIGABINANGA KABUPATEN KARO)
Oleh :
TOMMY APRIANTA 080906086
DOSEN PEMBIMBING : Dra. T. IRMAYANI, M.Si
DOSEN PEMBACA : HUSNUL ISA HARAHAP, S.Sos., M.Si
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
Nama : TOMMY APRIANTA (080906086)
PERILAKU PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN GUBERNUR SUMATERA UTARA TAHUN 2013
(Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)
ABSTRAK
Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilih pemula dalam kategori politik adalah kelompok yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya. Dalam menggunakan hak pilih politiknya itu, mengikuti tipologi model Almond dan Verba maka orientasi politik pemula ini dikategorikan menjadi, (1) orientasi kognitif, yaitu pengetahuan tentang dan kepercayaan pada kandidat, (2) orientasi politik afektif, yaitu perasaan terhadap pemilu, pengaruh teman terhadap penentuan pilihan, dan (3) orientasi politik evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat pemilih pemula terhadap parpol/kandidat pilihannya. Orientasi politik pemilih pemula ini selalu dinamis dan akan berubah-ubah mengikuti kondisi yang ada dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Penelitian ini dibatasi pada apakah ada pengaruh kampanye, identifikasi kepartaian dan orientasi terhadap kandidat dalam menentukan pilihan bagi pemilih pemula di Kecamatan Tigabinanga pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel bertujuan (purposive sampling). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden dengan kuisioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dokumentasi, data demografi, kondisi geografis, data pemilu dan data lain yang memberikan informasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
Name : TOMMY APRIANTA (080906086)
VOTER BEHAVIOR BEGINNERS ON ELECTION GOVERNOR OF NORTH SUMATRA IN 2013
(Research Case In Tigabinanga Subdistrict, Karo District)
ABSTRACT
Election is held to choose representatives of government at both central and local governments, as well as to form a democratic government, stronger, and gained popular support in order to achieve national goals as mandated by the preamble to the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 Voters novice in the political category is a group for the first time voting. In the political voting, following the model of Almond and Verba typology of the political orientation is categorized into beginner, (1) cognitive orientation, ie knowledge of and confidence in the candidates, (2) affective political orientation, the feeling of the elections, the influence of friends on determination of choice, and (3) evaluative political orientation, decision and opinion of the voters against the political party/candidate of his choice. Political orientation of voters is always dynamic and will change following the existing conditions and the factors that influence it.
This study is limited to whether there is an influence campaign, party identification and orientation of the candidate in determining the choice for voters in Tigabinanga Subdistrict at the election of the Governor of North Sumatra in 2013 sampling technique in this study using a sampling technique aims (purposive sampling). The data collected in this study are primary data and secondary data. Primary data was obtained directly from the questionnaire respondents. While the secondary data obtained documentation, demographic data, geographic conditions, election data and other data that provide information.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)”.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh
gelar sarjana pendidikan bagi mahasiswa program S1 pada program studi Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
demi kesempurnaan skripsi ini.
Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga
pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan moril maupun materil secara langsung maupun tidak langsung
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai, terutama kepada yang
saya hormati:
1. Bapak Prof Dr Syahril Pasaribu, DTMH, MSc (CTM), SpA(K)selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Bapak Drs. Zakaria, M.SP selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Ibu Dra. Rosmiani, M.A selaku Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.
5. Bapak Drs. Edward, M.SP selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.
6. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Pemerintahan
Universitas Negeri Medan sekaligus dosen pembimbing.
7. Bapak Husnul Isa Harahap, S.Sos., M.Siselaku dosen pembaca dari skripsi ini.
8. Bapak /Ibu dosen dan staff di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
9. Bapak Satria Ginting, SH selaku Camat dari Kecamatan Tigabinanga yang
telah banyak membantu dengan memberikan segala informasi yang telah
dibutuhkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10.Teristimewa kepada Orang Tua penulis Alm. Juneidi Rulih Sebayang dan
Setiawati Br. Sembiring yang selalu mendoakan, memberikan motivasi dan
pengorbanannya baik dari segi moril, materi kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
11.Terima kasih kepada adikku Febiola Renata Br. Sebayang yang selalu
memberikan motivasi, dan dukungan moril serta doa demi terlesainya skripsi
ini.
12.Buat sahabat–sahabatku Gorby, Kevin, Ridho, juga tak lupa buat Banhg
Faisal Andry, Bang Indra Fauzan dan teman-teman lain serta semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu per satu terimakasih buat dukungan dan
doanya kepada penulis semoga persahabatan yang kita jalin selama ini dapat
terus terjaga dengan baik.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua
dan menjadi bahan masukan bagi dunia pendidikan.
Medan, Agustus
2014
Penulis,
TOMMY APRIANTA
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Batasan Masalah ... 7
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
1.4.1 Tujuan Penelitian ... 7
1.4.2 Manfaat Penelitian ... 7
1.5 Kerangka Teori ... 9
1.5.1 Perilaku Memilih... 9
1.5.2 Teori Perilaku Memilih ... 12
1.5.2.1 Pendekatan Sosiologis ... 12
1.5.2.2 Pendekatan Psikologis ... 16
1.5.2.3 Pendekatan Rasional ... 19
1.5.3 Pemilih dan Pemilih Pemula ... 24
1.5.4 Isu Dalam Kampanye Politik ... 25
1.5.5 Identifikasi Kepartaian ... 27
1.5.6 Orientasi Terhadap Kandidat ... 27
1.5.7 Pemilihan Umum (PEMILU) ... 28
1.6 Definisi Konseptual ... 34
1.7 Metodologi Penelitian ... 35
1.7.1 Jenis Penelitian ... 35
1.7.2 Lokasi Penelitian ... 36
1.7.3 Populasi dan Sampel ... 36
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data ... 44
BAB II DESKRIPSI KECAMATAN TIGABINANGA ... 46
2.1 Kondisi Geografis ... 46
2.2 Struktur Organisasi Kecamatan Tigabinanga ... 47
2.3 Jumlah Penduduk... 50
2.4 Mata Pencaharian ... 51
2.5 Tingkat Pendidikan ... 52
2.6 Jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kecamatan Tigabinanga... 52
2.7 Jumlah Suara Sah di Kecamatan Tigabinanga ... 54
2.8 Jumlah TPS di Kecamatan Tigabinanga... 55
2.9 Jumlah Suara Pemilih Pemula Yang Sah Kecamatan Tigabinanga ... 56
BAB III ANALISIS DATA PERILAKU PEMILIH PEMULA ... 57
3.1 Identitas Responden... 57
3.1.1 Umur Responden... 57
3.1.2 Jenis Kelamin Responden ... 58
3.1.3 Pendidikan Responden ... 59
3.1.4 Agama Responden ... 59
3.1.5 Pekerjaan Responden ... 60
3.1.6 Keikutsertaan Responden Dalam Partai ... 61
3.2 Analisis dan Penelitian ... 61
3.3 Pembahasan ... 78
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 83
4.1 Kesimpulan ... 85
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Populasi Penelitian ... 37
Tabel 1.2 Jumlah Sampel Di Tiap Desa/Kelurahan ... 43
Tabel 2.1 Luas Desa dan Kelurahan di Kecamatan Tigabinanga ... 46
Tabel 2.2 Camat Kecamatan Tigabinanga ... 47
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Di Kecamatan Tigabinanga ... 50
Tabel 2.4 Agama dan Aliran Kepercayaan Di Kecamatan Tigabinanga ... 50
Tabel 2.5 Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Tigabinanga ... 51
Tabel 2.6 Srana Pendidikan Di Kecamatan Tigabinanga ... 52
Tabel 2.7 Daftar Pemilih Tetap Di Kecamatan Tigabinanga ... 53
Tabel 2.8 Jumlah Suara Sah Di Kecamatan Tigabinanga ... 54
Tabel 2.9 Jumlah TPS Di Kecamatan Tigabinanga ... 55
Tabel 2.10 Jumlah Suara Pemilih Pemula yang Sah Di Kecamatan Tigabinanga ... 56
Tabel 3.1 Umur Responden ... 57
Tabel 3.2 Jenis Kelamin Responden ... 58
Tabel 3.3 Pendidikan Responden ... 59
Tabel 3.4 Agama Responden ... 60
Tabel 3.5 Pekerjaan Responden ... 60
Tabel 3.6 Keikutsertaan Responden Dalam Partai ... 61
Tabel 3.7 Pertanyaan No. 1 ... 62
Tabel 3.8 Pertanyaan No. 2 ... 63
Tabel 3.9 Pertanyaan No. 3 ... 63
Tabel 3.10 Pertanyaan No. 4 ... 64
Tabel 3.11 Pertanyaan No. 5 ... 65
Tabel 3.12 Pertanyaan No. 6 ... 66
Tabel 3.13 Pertanyaan No. 7 ... 67
Tabel 3.14 Pertanyaan No. 8 ... 67
Tabel 3.15 Pertanyaan No. 9 ... 68
Tabel 3.16 Pertanyaan No. 10 ... 69
Tabel 3.17 Pertanyaan No. 11 ... 69
Tabel 3.18 Pertanyaan No. 12 ... 70
Tabel 3.20 Pertanyaan No. 14 ... 72
Tabel 3.21 Pertanyaan No. 15 ... 73
Tabel 3.22 Pertanyaan No. 16 ... 74
Tabel 3.23 Pertanyaan No. 17 ... 75
Tabel 3.24 Pertanyaan No. 18 ... 75
Tabel 3.25 Pertanyaan No. 19 ... 76
DAFTAR GAMBAR
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
Nama : TOMMY APRIANTA (080906086)
PERILAKU PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN GUBERNUR SUMATERA UTARA TAHUN 2013
(Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)
ABSTRAK
Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilih pemula dalam kategori politik adalah kelompok yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya. Dalam menggunakan hak pilih politiknya itu, mengikuti tipologi model Almond dan Verba maka orientasi politik pemula ini dikategorikan menjadi, (1) orientasi kognitif, yaitu pengetahuan tentang dan kepercayaan pada kandidat, (2) orientasi politik afektif, yaitu perasaan terhadap pemilu, pengaruh teman terhadap penentuan pilihan, dan (3) orientasi politik evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat pemilih pemula terhadap parpol/kandidat pilihannya. Orientasi politik pemilih pemula ini selalu dinamis dan akan berubah-ubah mengikuti kondisi yang ada dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Penelitian ini dibatasi pada apakah ada pengaruh kampanye, identifikasi kepartaian dan orientasi terhadap kandidat dalam menentukan pilihan bagi pemilih pemula di Kecamatan Tigabinanga pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel bertujuan (purposive sampling). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden dengan kuisioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dokumentasi, data demografi, kondisi geografis, data pemilu dan data lain yang memberikan informasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
Name : TOMMY APRIANTA (080906086)
VOTER BEHAVIOR BEGINNERS ON ELECTION GOVERNOR OF NORTH SUMATRA IN 2013
(Research Case In Tigabinanga Subdistrict, Karo District)
ABSTRACT
Election is held to choose representatives of government at both central and local governments, as well as to form a democratic government, stronger, and gained popular support in order to achieve national goals as mandated by the preamble to the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 Voters novice in the political category is a group for the first time voting. In the political voting, following the model of Almond and Verba typology of the political orientation is categorized into beginner, (1) cognitive orientation, ie knowledge of and confidence in the candidates, (2) affective political orientation, the feeling of the elections, the influence of friends on determination of choice, and (3) evaluative political orientation, decision and opinion of the voters against the political party/candidate of his choice. Political orientation of voters is always dynamic and will change following the existing conditions and the factors that influence it.
This study is limited to whether there is an influence campaign, party identification and orientation of the candidate in determining the choice for voters in Tigabinanga Subdistrict at the election of the Governor of North Sumatra in 2013 sampling technique in this study using a sampling technique aims (purposive sampling). The data collected in this study are primary data and secondary data. Primary data was obtained directly from the questionnaire respondents. While the secondary data obtained documentation, demographic data, geographic conditions, election data and other data that provide information.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai
dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang
diamanatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2.
Menurut Prof Dr. H. Zainuddin Ali, MA Pemilihan umum adalah salah satu
mekanisme demokratis untuk melakukan pergantian pemimpin. Hal tersebut tidak
dapat dipungkiri bahwa Selepas rezim Orde Baru, Pemilu dengan segera diyakini
oleh banyak kalangan di indonesia bahwa pemilihan umum merupakan sebagai salah
satu instrumen untuk mendorong proses demokratisasi di Indonesia. Karena
demokrasi yang semakin matang akan mengurangi ketidakadilan dan membuat
pengorganisasian kehidupan bersama semakin menjamin kebebasan warga Negara
dan mendorong terciptanya tatanan yang lebih adil, termasuk pemberantasan KKN.1
Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik
ditingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk
pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam
rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu
dilaksanakan oleh negara Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat
sekaligus penerapan prinsip-prinsip atau nilai-nilai demokrasi, meningkatkan
1
kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum demi
terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis.
Pemilu adalah bagian penting dalam demokrasi. Pemilu jika diartikan secara
sederhana adalah cara individu warga negara melakukan aktivitas politik ataupun
kontrak politik dengan orang lain atau partai politik yang diberikan mandat atau
wewenang untuk melaksanakan sebagian kekuasaan rakyat/pemilih. Pemilu
bukanlah pemberian mandat kekuasaan secara total. Klaim partai politik yang
menyatakan bahwa partainya telah memiliki pemilih dengan jumlah total tertentu
dalam pemilu adalah tidak tepat. Untuk menjalankan mandat tersebut partai politik
atau eksekutif partai politik harus melakukan komunikasi politik dalam menentukan
kebijakan-kebijakan untuk kepentingan rakyat dengan persetujuan warga. Di
berbagai negara, pemilihan umum merupakan salah satu wadah yang bertujuan untuk
memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan siapa yang akan mewakili
mereka dalam lembaga legislatif, dan siapa yang akan memimpin mereka dalam
lembaga eksekutif. Pemilihan umum juga merupakan wadah untuk menjaring
orang-orang yang benar-benar bisa dan mampu untuk masuk kedalam lingkaran elit politik,
baik itu di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.
Salah satu parameter pemilu yang demokratis adalah dengan adanya
komponen pemilih yang semakin plural seiring dengan semakin kompleknya pemilu.
Ini artinya pemilih adalah pendukung utama yang sangat penting dalam proses
pemilu yang demokratis, sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat. Setiap
pemilih dalam pemilihan umum tidak akan terlepas dari latar belakang politis
maupun sosiologis pada saat itu, sehingga hal ini sangat berpengaruh dalam
Dinamika prilaku pemilih sangat kompleks dalam setiap pemilihan umum.
Apalagi Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu lebih dari lima kali. hal ini
dipengaruhi oleh pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tungkat
ekonomi pemilih dalam pemilihan umum. Tingkat pendidikan maupun ekonomi
Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa pemilu setelah masa reformasi sangat
berpengaruh, inilah yang menimbulkan maraknya praktek menyimpang
seperti Money Politic. Yang kemudian sangat mencederai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta good governance. Sehingga, tujuan dari diadakanya pemilihan umum untuk mewujudkan demokratisasi, mewujudkan
hak-hak rakyat dan mewujudkan partisipasi rakyat dalam politik untuk melakukan
pendidikan dan pembangunan politik tidak akan pernah tercapai dengan baik.2
Pemilihan Gubernur Sumatera Utara yang dilaksanakan pada tanggal 7 Maret
2013 adalah manifestasi dari kekuasaan rakyat. Pada pemilihan ini rakyatlah yang
mempunyai kekuasaan untuk menentukan siapa yang akan menjadi Gubernur
Sumatera Utara. Dan berdasarkan hasil perolehan suara yang diumumkan KPU pada
tanggal 15 Maret 2013 maka diketahui bahwa Gatot Pujo Nugroho-Erry Nuradi
meraih suara terbanyak dengan meraih 1.604.337 suara atau 33%, Effendi
Simbolon-Jumiran Abdi dengan 1.183.187 suara atau 24,34%, Gus
Irawan-Soekirman yang meraih 1.027.433 suara atau 21,13%, Amri Tambunan-RE
Nainggolan yang mendapatkan 594.414 suara atau 12,23%, dan Chairuman
Harahap-Fadly Nurzal meraih 452.096 suara atau 9,30%.
Menurut pasal 1 ayat (22) UU No 10 tahun 2008, pemilih adalah warga
negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau
sudah/pernah kawin, kemudian pasal 19 ayat (1 dan 2) UU No. 10 tahun 2008
2
menerangkan bahwa pemilih yang mempunyai hak memilih adalah warga negara
Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih dan pada
hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau
sudah/pemah kawin. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
pemilih pemula adalah warga negara yang didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam
daftar pemilih, dan baru mengikuti pemilu (memberikan suara) pertama kali sejak
pemilu yang diselenggarakan di Indonesia dengan rentang usia 17-21 tahun.
Layaknya sebagai pemilih pemula, mereka tidak memiliki pengalaman voting pada pemilu sebelumnya, namun ketiadaan pengalaman bukan berarti mencerminkan
keterbatasan menyalurkan aspirasi politik.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik jumlah penduduk di Sumatera Utara
adalah mencapai 15.977.383 jiwa.3 Dan untuk jumlah pemilih potensial sebanyak
11.300.526 jiwa. Sementara untuk jumlah penduduk Kecamatan Tigabinanga
Kabupaten Karo bulan Juni 2013 adalah 19.472 jiwa. Dari jumlah tersebut yang
mempunyai hak untuk memilih adalah sejumlah 15.526 pemilih dengan rinciannya
7.549 pemilih laki-laki dan 7.977 pemilih perempuan, dengan 20% diantaranya
adalah pemilih yang termasuk dalam kategori pemilih pemula.
Pemilih pemula dalam kategori politik adalah kelompok yang baru pertama
kali menggunakan hak pilihnya. Dalam menggunakan hak pilih politiknya itu,
mengikuti tipologi model Almond dan Verba maka orientasi politik pemula ini
dikategorikan menjadi, (1) orientasi kognitif, yaitu pengetahuan tentang dan
kepercayaan pada kandidat, (2) orientasi politik afektif, yaitu perasaan terhadap
pemilu, pengaruh teman terhadap penentuan pilihan, dan (3) orientasi politik
evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat pemilih pemula terhadap parpol/kandidat
3
pilihannya.4 Orientasi politik pemilih pemula ini selalu dinamis dan akan
berubah-ubah mengikuti kondisi yang ada dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Orientasi politik sebenarnya merupakan suatu cara pandang dari suatu
golongan masyarakat dalam suatu struktur masyarakat. Timbulnya orientasi itu
dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat maupun dari luar
masyarakat yang kemudian membentuk sikap dan menjadi pola mereka untuk
memandang suatu obyek politik. Orientasi politik itulah yang kemudian membentuk
tatanan dimana interaksi-interaksi yang muncul tersebut akhirnya mempengaruhi
perilaku politik yang dilakukan seseorang. Orientasi politik tersebut dapat
dipengaruhi oleh orientasi individu dalam memandang obyek-obyek politik.
Memahami kesadaran politik masyarakat pemilih pemula dalam pemilihan
Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 maka penulis tertarik untuk meneliti perilaku
pemilih pemula. Alasan lain yang membuat penulis tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap pemilih pemula karena sebagai pemilih pemula tentu banyak
hal–hal yang mempengaruhi para pemilih pemula dalam memilih pasangan gubernur
seperti : (1) pengaruh isu dalam kampanye, (2) pengaruh identifikasi kepartaian, dan
(3) pengaruh orientasi terhadap kandidat. Dan hal–hal yang mempengaruhinya inilah
yang akan penulis bahas dalam penelitian ini.
Objek orientasi politik meliputi keterlibatan seseorang terhadap : (1) sistem
yaitu sebagai suatu keseluruhan dan termasuk berbagai perasaan tertentu seperti
patriotisme dan alienansi, kognisi dan evaluasi suatu bangsa, dan (2) pribadi sebagai
aktor politik, isi dan kualitas, norma-norma kewajiban politik seseorang. Orientasi
politik yang dimiliki seseorang akan mendorong terjadinya partisipasi politik.
Termasuk juga yang terjadi dengan orientasi politik pemilih pemula di Kecamatan
4
Tigabinanga Kabupaten Karo dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun
2013.
Dalam penelitian ini ada alasan yang kuat yang melatarbelakangi penulis
untuk melakukan penelitian yaitu karena penulis melihat bahwa tingkat pemilihan
khususnya pada pemilih pemula sangat signifikan. Maka dari itu penulis menjadi
tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang perilaku pemilih pemula itu sendiri.
Selain itu penulis memilih Kecamatan Tigabinanga sebagai lokasi penelitian karena
jumlah pemilih pemula yang ada di Kecamatan Tigabinanga cukup banyak yaitu
berjumlah 9505 orang dan mereka cukup antusias dalam mengikuti pemilihan
gubernur Sumatera Utara karena peristiwa ini adalah pengalaman pertama bagi
mereka dapat menggunakan hak politik mereka. Dan mengapa penulis memilih
Pemilihan Gubernur Sumatera Utara karena Pemilihan Sumatera Utara baru saja
berlangsung dan bagaimana perilaku dari pemilih pemula yang cukup antusias dalam
mengikuti pemulihan ini ini menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk diteliti.
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis dalam hal ini
terdorong untuk mengkaji lebih dalam dan memfokuskan pada perilaku pemilih
pemula pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 di Kecamatan
Tigabinanga Kabupaten Karo. Untuk itu penulis melakukan penelitian dengan judul
“Perilaku Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun
2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)”
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah itu merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan
ini berdasarkan penelitian menurut tingkat eksplanasi.5 Dari uraian latar belakang
diatas maka permasalahan yang akan penulis teliti secara rinci adalah :
Bagaimana perilaku pemilih pemula pada pemilihan gubernur Sumatera Utara tahun
2013 di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo.
1.3. Batasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, penulis memberikan batasan masalah agar dalam
penjelasannya nanti akan lebih mudah, terarah dan sesuai dengan yang diharapkan
serta terorganisir dengan baik. Pembuatan skripsi ini dibatasi pada masalah berikut :
Apakah ada pengaruh kampanye, identifikasi kepartaian dan orientasi terhadap
kandidat dalam menentukan pilihan bagi pemilih pemula di Kecamatan Tigabinanga
pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui pengaruh kampanye kandidat, identifikasi kepartaian dan
orientasi terhadap perilaku memilih pemilih pemula di Kecamatan Tigabinanga pada
pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013.
1.4.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan dan
dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat selama kuliah pada permasalahan
5
dan kondisi di masyarakat, sehingga mendapatkan suatu pengalaman antara
teori dengan kenyataan di lapangan.
b. Bagi civitas akademika, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
Ilmu Politik.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang bagaimana
perilaku politik para pemilih pemula pada pemilihan Gubernur Sumatera
Utara tahun 2013.
b. Bagi pemilih pemula (generasi muda)
Para generasi muda mengetahui pentingnya partisipasi mereka dalam pemilu
yang demokratis.
c. Bagi aktivis partai politik dan tokoh politik
Agar mereka lebih meningkatkan peran serta pemilih pemula pada kegiatan
partai politik pada masa yang akan datang.
d. Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Bermanfaat untuk menambah kepustakaan dan dapat digunakan sebagai
bahan acuan dalam penelitian yang sejenis.
e. Bagi masyarakat
Dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi
masyarakat umum yang tertarik terhadap ilmu Politik dan menambah
1.5. Kerangka Teori 1.5.1. Perilaku Memilih
Perilaku memilih berkaitan dengan tingkah laku individu dalam hubungannya
dengan proses pemilu. Menurut Jack Plano, perilaku memilih adalah salah satu
bentuk perilaku politik yang terbuka.6 Sementara itu, Huntington dan Nelson
menyebutkan perilaku memilih sebagai electoral activity, yakni termasuk pemberian suara (votes), bantuan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, menarik masuk atas nama calon, atau tindakan lain yang direncanakan untuk mempengaruhi
proses pemilihan umum.7
Selanjutnya perilaku memilih disini dikaitkan dengan proses pemungutan
atau pemberian suara (Voting) dalam suatu pemilihan umum (pemilu). Voting
merupakan kegiatan pengambilan keputusan dengan satu orang satu suara dalam
pemilu yang diselenggarakan. Sedangkan menurut Haryanto, Voting adalah kegiatan warga negara yang mempunyai hak untuk memilih dan didaftar sebagai seorang
pemilih, memberikan suaranya untuk memilih atau menentukan wakil-wakilnya.8
Pemberian suara kepada salah satu kontestan merupakan suatu kepercayaan
untuk membawa aspirasi pribadi, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Kepercayaan yang diberikan, juga karena adanya kesesuaian nilai yang dimiliki arah
tempat memberikan suara. Nilai yang dimaksud disini adalah preferensi yang
dimiliki organisasi terhadap tujuan tertentu atau cara tertentu melaksanakan sesuatu.
Jadi kepercayaan pemberi suara akan ada, jika seseorang telah memahami makna
nilai yang dimiliki dalam rangka mencapai tujuan. Untuk penelitian ini, konsep
6
Jack Plano. Kamus Analisa Politik. Jakarta: Rajawali, 1985. hal. 161 7
Huntington Samuel P. Dan Joan Nelson. Partisipasi Politik Di Negara Berkembang. Jakarta. Rineka Cipta. 1990.
8
perilaku memilih yang digunakan dibatasi hanya sebagai bentuk pemberian suara
(voting) dalam sebuah pemilihan umum.
Perilaku pemilih erat kaitannya dengan bagaimana individu berprilaku dan
berinteraksi dalam sebuah pemilihan umum, terutama terkait dengan ketertariakan
dan pilihan politik mereka terhadap suatu partai politik yang akan dipilihnya. Dalam
berperilaku secara umum dapat dibagi menjadi dua macam perilaku, yaitu perilaku
yang baik atau yang normal dan perilaku yang tidak baik atau menyimpang. Dalam
kaitannya dengan pemilihan umum, perilaku normal adalah perilaku politik yang
mengikuti tata cara dan aturan main dalam berpolitik, sementara perilaku politik
menyimpang adalah pola perilaku politik yang tidak mengikuti aturan main. Bahkan
dalam hal ini mungkin mereka melakukan berbagai prilaku yang membuat pihak
atau orang lain terganggu dan terintimidasi. Sebagai contoh adalah perilaku
kekerasan politik yang sering terjadi di tengah kampanye pemilu, seperti bentriok
antara pendukung parpol, intimidasi pendukung partai politik lain.
Menurut Kartini Kartono, perilaku normal adalah perilaku yang dapat
diterima oleh masyarakat umum atau sesuai dengan pola kelompok masyarakat
setempat, sehingga tercapai relasi personal da interpoersonal yang memuaskan.
Sedangkan perilaku menyimpang (abnorma) adalah perilaku yang tidak sesuai atau
tidak dapat diterima oleh masyarakat umum dan tidak sesuai dengan norma
masyarakat.9
Menurut pendapat Ramlan Surbakti, perilaku politik adalah interaksi antara
pemerintah dan masyarakat, diantara lembaga-lembaga pemerintah dan diantara
9
kelompok dan individu dalam masyarakat, dalam rangka proses pembuatan
pelaksanaan dan penegakan keputusan politik.10
Tidak semua individu atau kelompok masyarakat itu mengerjakan kegiatan
politik. Karena ada pihak yang memerintah dan ada pula yuang mentaati perintah,
yang satu mempengaruhi dan yang lain menentang dan hasilnya berkompromomi.
Yang lain menjanjikan, yang lain kecewa karena janji tidak dipenuhi, berunding dan
tawar menawar, yang satu memaksakan keputusan berhadapan dengan pihak lain
yang mewakili kepentingan rakyat yang berusaha membebaskan. Yang satu
menutupi kenyataan yang sebenarnya (yang merugikan masyarakat), sementara
pihak lain berusaha memaparkan kenyataan yang sebenarnya dan mengajukan
tuntutan, memperjuangkan kepentingan, mencemaskan apa yang terjadi. Perilaku
politik menurut pendapat Ramlan Surbakti dibagi 2 (dua), yaitu :11
1. Perilaku politik lembaga dan para pejabat pemerintah yang bertanggung
jawab membuat, melaksanakan dan menegakan keputusan politik.
2. Perilaku politik warga negara maupun individu kelompok yang berhak
mempengaruhi pemerintah dalam melaksanakan fungsinya karena pa yang
dilakukan pemeritnah menyangkut kehidupan warga negara tersebut.
Salah satu perilaku politik yang dilakukan masyarakat adalah dalam benruk
pemilihan umum. Dalam pemilihan umum masyarakat berpartisipasi untuk memilih
para wakil rakyat yang akan memperjuangkan kepentingan mereka.
10
Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. 1992. Hal. 12
11
1.5.2. Teori Perilaku Memilih
Isu-isu dan kebijakan politik sangat menentukan perilakau pemilih, namun
terdapat faktor-faktor lain yang juga berpengaruh. Para pemilih dapat saja memilih
seorang calon baik calon kepala daerah maupun calon anggota dewan, karena
dianggap sebagai refresentatif dari keagamaan. Namun dapat juga ia memilih karena
ikatan kepartaian dan juga mewakili kelompoknya. Atau ada juga pemilih yang
memilih calon karena ikatan emosional misalnya taat dan kepatuhan terhadap
seseorang dengan ikatan loyalitas terhadap figur bersangkutan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan tersebut, diperlukan dalam rangka
calon dalam menyusun strategi pemasaran dirinya atau juga programnya. Informasi
mengenai berbagai variabel tersebut jelas berguna dalam menyusun strategi
komunikasi, manejmen kandidat, dan penyusunan isu serta kebijakan yang akan
ditawarkan kepada para pemilih. Efektivitas dan efisiensi penyampaian pesan-pesan
politik tersebut sangat tergantung pada pemahaman si calon tentang perilaku pemilih
di daerah yang akan diwakili atau dipimpinnya. Ini jelas bahwaakan membuat
strategi misalnya siapa, apa dan bagaimana menarik massa akan ditentukan oleh
perilaku pemilih. Singkatnya, perilaku pemilih dimana masyarakat yang akan di
wakili atau akan dipimpin menjadi informasi penting dalam merencanakan
kampanye dan alokasi sumber daya yang dimiliki seseorang mengkajinya yakni
pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan rasionalias.
1.5.2.1. Pendekatan Sosiologis
Subkultur tertentu memiliki kognisi sosial tertentu yang pada akhirnya
karena sepanjang hidup mereka dipengarui lingkungan fisik dan sosio kultural yang
relatif sama. Mereka dipengaruhi oleh kelompok-kelompok referensi yang sama.
Karena itu, mereka memiliki kepercayaan, nilai, dan harapan yang juga
relatif sama, termasuk dalam kaitannya dengan preferensi pilihan politik. Dengan
pendekatan ini, para anggota subkultur yang sama cenderung mempunyai prefensi
politik yang sama pula.
Kepercayaan, nilai, dan harapan masing-masingnya sering juga disebut
sebagai unsur kognitif, afektif, dan konatif, akan menunjukan arah perilaku
seseorang. Kepercayaan mengacu kepada apa yang diterima sebagai benar atau tidak
benar tentang sesuatu. Kepercayaan didasarkan pada pengalaman masa lalu
pengetahuan dan informasi sekarang, dan persepsi yang sinambung. Nilai melibatkan
kesukaan dan ketidaksukaan, cinta dan kebencian, hasrat dan ketakutan seseorang.
Sementara itu, pengharapan mengandung citra seseorang tentang akan separti
apa keadaannya setelah tindakan. Pengharapan diutarakan dalam pertimbangan : apa
yang terjadi dimasa lalu, seperti apa keadaan sekarang, dan apa kiranya yang akan
terjadi jika dilakukan tindakan tertentu.
Pendekatan sosiologis menjelaskan, karakteristik dan pengelompokan sosial
merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih dan pemberian suara pada
hakikatnya adalah pengalaman kelompok.
Model ini dikenal sebagai model perilaku memilih Mazhab Columbia.12
Cikal-bakalnya berasal dari Eropa, model ini kemudian dikembangkan oleh para
sosiolog Amerka Serikat yang mempunyai latar belakang Eropa, khususnya di
Univesitas Columbia. Menurut Mazhab Columbia, pendekatan sosiologis pada
dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial-usia,
12
jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan dalam
kelompok formal dan informal, dan lainnya memberi pengaruh cukup signifikan
terhadap pembentukan perilaku pemilih.
Kelompok-kelompok sosial itu memiliki peranan besar dalam membentuk
sikap, persepsi, dan orientasi seseorang. Dalam banyak penelitian, faktor agama,
aspek geografis (kedaerahan), dan faktor kelas atau status ekonomi (khususnya di
negara-negara maju) memang mempunyai korelasi nyata dengan perilaku pemilih.
Menurut Bone dan Ranney, ada 3 (tiga) tipe utama pengelompokan sosial, yaitu :13
1. Kelompok Kategorial
Kelompok kategorial terdiri dari orang-orang yang memiliki satu atau
beberapa karakter khas, tetapi tidak mengorganisasikan aktifitas politik dan tidak
menyadari identifikasi dan tujuan kelompoknya. Setiap kelompok memiliki
karakteristik politik yang berbeda. Secara umum, perbedaan perilaku politik setiap
kategori terjadi karena masing-masing kategori memberi reaksi yang berbeda
terhadap berbagai faktor berikut :
a. Peristiwa politik, misalnya dampak kebijakan pemerintah menghapuskan
subsidi makanan pokok lebih dirasakan para ibu dibandingkan kaum laki-laki
karena, dalam kultur Indonesia, umumnya alokasi pengeluaran untuk bahan
pokok diatur kaum ibu. Karena itu, kaum ibu lebih peka dengan isu-isu
tersebut dibandingkan demngan kaum lelaki.
b. Pengalaman politik, misalnya bagaimana heroisme dan pahit-getir
mempertahankan kemerdekaan, lebih dirasakan oleh pemilih usia tua
dibandingkan dengan pemilih pemula. Karena itu, para pemilih yang berusia
relatif tua lebih reaktif terhadap isu yang berkaitan dengan nasionalisme.
13
c. Peran-peran sosial, misalnya, masih adanya anggapan bahwa masalah politik
adalah urusan kaum laki-laki, terutama didaerah-daerah dengan tingkat
pendidikan tidak terlalu tinggi, hingga pola pilihan politik ditentukan oleh
para suami dan istri mengikuti pilihan suaminya.
2. Kelompok Sekunder
Kelompok sekunder terdiri dari orang-orang, yang memiliki ciri yang sama
yang menyadari tujuan dan indentifikasi kelompoknya, dan bahkan sebagian
membentuk organisasi untuk memajukan kepentingan kelompoknya. Kelompok
sekunder mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan kelompok kategorial.
Kekuatan pengaruh kelompok sekunder kepada para anggotanya tergantung pada
empat faktor psikologis.
Pertama, kuat-lemahnya identifikasi individual terhadap kelompok. Jika identifikasi seseorang dengan kelompoknya kuat, maka pengaruh kelompok terhadap
individual tersebut akan kuat pula. Kedua, berkaitan dengan lamanya seseorang menjadi anggota kelompok : semakin lama seseorang menjadi anggota suatu
kelompok, kian kuat keterlibatan psikologis yang bersangkutan dengan kelompok
tersebut. Ketiga, pengutamaan politik bagi para pemimpin suatu kelompok : semakin penting makna politik, maka semakin kuat para pemimpin tersebut mendesakkan
tindakan politis tertentu untuk meningkatan loyalitas kelompok. Keempat, tingkat kepentingan politik bagi anggota-anggota individual.
3. Kelompok Primer
Kelompok primer terdiri dari orang-orang yang sering dan secara teratur
yang paling kuat dan langsung terhadap perilaku politik seseorang, khususnya dari
keluarga dan teman-teman dekat.
1.5.2.2. Pendekatan Psikologis
Meskipun sangat berguna dalam menyujsun strategis kampanye, pendekatan
sosiologis tidak memuaskan semua pakar politik. Kelemahan pendekatan sosiologis
antara lain terletak pada sulitnya mengukur secara tepat indikator kelas sosial,
tingkat pendidikan, dan agama. Secara materi patut dipersoalkan apakah benar
variabel-variabel sosiologis seperti status sosial-ekonomi keluarga,
kelompok-kelompok primer atau sekunder itu memberi sumbangan pada prilaku pemilih.
Tidakkah variabel-variabel itu baru dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih jika
ada proses sosialisasi? Untuk itu, sosialisasilah yang sebenarnya menentukan bukan
karakteristik sosiologis.
Karena kelemahan itu, muncul model perilaku pemilih berdasarkan
pendekatan psikologis. Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku politiknya.
Sikap itu terbentuk melalui sosisalisasi yang berlangsung lama, bahkan bisa jadi
sejak seorang calon pemilih masih berusia dini. Pada usia dini, seorang calon pemilih
telah menerima “pengaruh” politik dari orang tuanya, baik dari komunikasi langsung
maupun dari pandangan politik yang diekpresikan orang tuanya. Sikap tersebut
menjadi lebih mantap ketika menghadapi pengaruh berbagai kelompok acuan seperti
pekerjaan, kelompok pengajian, dan sebagainya. Proses panjang sosialisasi itu
kemudian membentuk ikatan yang kuat dengan partai politik atau organisasi
kemasyarakatan lainnya.
Identifikasi merupakan dorongan untuk menjadi identik atau sama dengan
dianggapnya ideal dalam suatu segi. Bagi seorang anak, misalnya identifikasi dengan
orang tuannya bukan sekedar untuk menjadi seperti ayah dan ibu secara lahiriah saja,
melaikkan justru secara batiniah. Tujuannya tak lain untuk memperoleh sistem,
norma, sikap, dan nilai yang dianggapnya ideal. Nyata bahwa saling hubungan sosial
yang berlangsung pada identifikasi itu lebih mendalam daripada hubungan yang
berlangsung melalui proses-proses sugesti maupun imitasi.
Kuatnya pengaruh identifikasi terhadap perilaku pemilih berkaitan dengan
fungsi sikap. Menurut Greenstein, seperti dikutip Agger, sikap memiliki 3 (tiga)
fungsi.14 Pertama, fungsi kepentingan, bahwa penilaian terhadap suatu objek diberikan berdasarkan motivasi, minat, dan kepentingan orang tersebut. Kedua, fungsi penyesuaian diri, bahwa seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan
orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang disegani atau kelompok
panutannya. Ketiga, fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, bahwa upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujudmekanisme
pertahanan dan eksternalisasi seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi, dan
identifikasi.
Lebih lanjut, Agger menguraikan sikap tidak terjadi begitu saja, melainkan
melalui proses yang panjang. Proses ini dimulai dari masa kanak-kanak saat dimana
seseorang pertama kali mendapat pengaruh politik dari orang tua dan kerabat dekat.
Lalu, seseorang mendapat pengaruh politik dari berbagai kelompok dari dunia di luar
keluarga seperti kelompok sebaya, teman sekolah, dan sebagainya. Kemudian sikap
politik terbentuk oleh kelompok acuan seperti pekerjaan, masjid, partai politik, dan
sebagainya. Proses sosialisasi inilah yang membentuk ikatan psikologis seseorang
dengan partai politik tertentu yang kemudian dikenal sebagai identifikasi partai.
14
Identifikasi partai merupakan faktor yang penting untuk memahami perilaku
pemilih. Akan tetapi, dengan teori identifiksi partai, seolah-olah semua pemilih
relatif mempunyai pilihan yang tetap. Dari Pemilu ke Pemilu, seseorang selalu
memilih partai atau kandidat yang sama. Orang tersebut seolah-olah bergeming atau
tidak terpengaruh oleh perubahan dunia sekitar. Dengan sendirinya pula, seolah-olah
seseorang tidak terpengaruh komunikasi politik menjelang dan saat kampanye
politik.
Berdasarkan konsep tindakan komunikasi, para pemilih yang dipengaruhi
oleh faktor identifikasi partai ini digolongkan sebagai pemberi suara yang reaktif.
Konsep ini juga mengaitkan pendekatan sosiologis dengan pendekatan psikologis.
Identifikasi partai berkaitan dengan pengelompokan sosial.15
Asumsinya adalah bahwa manusia beraksi terhadap rangsangan secara pasif
dan terkondisi. Perilaku pemberi suara dibentuk oleh faktor-faktor jangka panjang,
terutama faktor sosial. Pengelompokan sosial dan demografi berkolerasi dengan
proses identifikasi partai. Ini tak lain karena karakter kelompok sosial dan demografi
dimana pemilih itu berada, memberi pengaruh sangat penting dalam proses
pembentukan ikatan emosional pemilih dengan simbol-simbol partai, terutama pada
awal sosialisasi.
Simbol-simbol kelompok dan ikatan-ikatan kesejarahan, dengan proses
tertentu, dapat melekat pada simbol-simbol partai sehingga terciptalah identifikasi
partai. Sebagian anggota kelompok etnis dan agama tertentu, misalnya, memiliki
hubungan emosional yang kuat dan panjang dengan partai tertentu. Contoh lainnya,
suatu kelompok masyarakat dengan proses tertentu, dapat memiliki ikatan emosional
dengan tokoh tertentu, dapat memiliki ikatan emosional dengan tokoh tertentu yang
15
menjadi ikon partai tertentu. Ikatan itu seringkali tak tergoyahkan, jika tidak ada
proses sosialisasi simbol-simbol yang panjang dari partai lainnya. Hanya saja,
perilaku reaktif hanyalah sebatang pohon dari sebuah hutan konsep perilaku pemilih.
Diberbagai belahan dunia, proporsi pemilih yang mendasarkan tindakannya pada
identifikasi partai cenderung berkurang.
1.5.2.3. Pendekatan Rasional
Pada kenyataannya, sebagian pemilih mengubah pilihan politiknya dari suatu
pemilu ke pemilu lainnya. Peristiwa-peristiwa politik tertentu bisa saja mengubah
preferensi pilihan politik seseorang. Komunikasi politik, dengan substansi dan
strategi yang tepat mungkin saja mempengaruhi pilihan seseorang. Pengubahan ini,
meskipun harus melalui usaha yang keras, bukan hal yang mustahil. Dengan kata
lain, perilaku pemilih bukan hanya ditentukan oleh faktor karakteristik sosial dan
identifikasi partai.
Perilaku pemilih di Inggris tampaknya merupakan salah satu bukti adanya
peluang untuk mempengaruhi pemilih diluar “jalur” karakteristik sosial dan
identifikasi. Kavanagh mengemukakan, dewasa ini perilaku pemilih Inggris lebih
sulit diprediksi karena tiga alasan. Pertama, menurunnya jumlah orang yang mengidentifikasi diri mereka secara kuat dengan partai-partai. Kedua, loyalis kelas melemah, dan kelas pekerja berkurang jumlahnya. Ketiga, terjadi perubahan sosial, yang antara lain ditandai dengan perubahan pekerjaan dan pemukiman.
Dengan tiga faktor tersebut, dukungan para pemilih ke pada partai-partai
bersifat ‘mudah menguap’ (volatil). Survei jajak pendapat membuktikan, rating
dukungan kepada suatu partai pada awal pekan kampanye bisa berubah secara
dalam perilaku pemilih. Pilihan isu yang merupakan “mainan” utama juru kampanye
tak bisa diabaikan.
Hanya saja, pilihan isu politik tidak serta merta menjadi daya pikat kuat dan
satu-satunya faktor yang mustahak. Satu dan lain hal ialah karena adanyanya
skeptisisme tentang kemampuan para kandidat untuk menghela dan mewujudkan isu
dalam agenda pemerintahan bila kelak terpilih. Walhasil, “pesona” kandidat juga
menjadi faktor penting dalam menentukan perilaku pemilih.
Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan mendapat
informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena faktor kebetulan atau
kebiasaan, bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk kepentingan umum,
menurut fikiran dan pertimbangan yang logis. Ciri-ciri pemberi suara yang rasional
itu meliputi lima hal :
1) Dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif
2) Dapat membandingkan apakah sebuah alternatif lebih disukai, sama saja,
atau lebih rendah dibandingkan dengan alternatif lain
3) Menyusun alternatif dengan cara transitif : jika A lebih disukai daripada B,
dan B lebih baik daripada C, maka A lebih disukai daripada C.
4) Memilih alternatif yang tingkat preferensinya lebih tinggi
5) Selalu mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan pada
alternatif-alternatif yang sama.
Apakah para pemilih benar-benar rasional? Secara hipotesis dapat dikatakan,
pemilih rasional yang memenuhi syarat sangat kecil jumlahnya. Rasionalitas yang
terjadi ketika seseorang membeli produk konsuntif amat jarang terjadi ketika ia
yang memadai untuk mencari informasi maksimal sebagai input untuk mengambil
keputusan.
Seseorang memiliki motivasi memadai untuk mencari atau mengolah
informasi tentang merek pesawat televisi yang akan dibelinya. Sebaliknya, tidak
banyak pemilih yang memiliki perhatian penuh terhadap tawaran partai-parati atau
kandidat politik. Masyarakat awam diberbagai pelosok negeri, dimanapun didunia
ini, jarang mendiskusikan isu politik dan kandidat legislative secara mendalam.
Konsep Kristiadi mengenai pemberi suara responsip, agaknya dapat
menjelaskan perbedaan antara pendekatan rasional dengan pendekatan sosiologis dan
psikologis.16 Bahwa perilaku pemberi suara yang responsip tidak permanen, tetapi
berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan peristiwa politik.
Dengan demikian, para pemilih sanagat dikondisikan oleh berbagai
rangsangan luar. Apa yang mereka pilih pada hari pemilihan ditentukan oleh
rangsangan yang diberikan oleh pemimpin politik, partai dan kandidat. Karakter
pemberi suara responsip adalah sebagai berikut :
1) Walaupun dipengaruhi karakteristik sosial dan demografis tapi pengaruhnya
tidak deterministik,
2) Pemberi suara responsip memiliki kesetian kepada partai, tetapi afiliasi ini
tidak menentukan perilaku pilihan,
3) Pemberi suara yang responsip lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jangka
pendek yang penting dalam suatu pemilihan umum tertentu ketimbang
kesetiaan jangka panjang kepada kelompok atau kepada partai yang lebih
penting daripada semua pemilihan umum.
16
Sekali lagi, penjelasan ini berguna untuk mejelaskan perbedaan pendekatan
rasional dengan pendekatan sosiologis dan psikologis. Tetapi penjelasan ini-dan juga
pendekatan rasional secara umum-perlu diberi catatan tambahan dengan merujuk
kepada Popkin. Bahwa para pemilih memang menyerap informasi tetapi mereka
tidak mencari dan mengolah informasi dengan aktif.
Mereka mendapat informasi sebagai produk sampingan dari berbagai aktifitas
sehari-hari. Mereka tidak memperoleh informasi yang cukup. Mereka juga tidak
memiliki waktu untuk memeriksa akurasi informasi yang diresapnya. Fenomena
inilah yang dipostulatkan Popkin sebagai hukum low-information rationality (rasionalitas berdasarkan informasi terbatas) atau gut-rationality (logika perut).
Walaupun ketiga pendekatan tersebut telah menjadi pakem yang menjadi
acuan dalam meneliti dan memahami perilaku pemilih dinegara-negara seperti
Amerika, Eropa dan Asia. Tetapi pendekatan ini, tampaknya tidak dapat secara
persis dapat diterapkan untuk memahami perilaku pemilih di Indonesia, karena
beberapa alasan, antara lain : Pertama, mazhab sosiologi terlalu menekankan peranan kelas (Marxian dan Weberian), sebagai faktor yang menentukan prefrensi
politik. Mazhab ini juga percaya bahwa kelas merupakan basis atau landasan
pengelompokan politik, sebab partai-partai politik tumbuh dan berkembang
berdasarkan kelompok-kelompok masyarakat yang berlainan karena kepentingan
ekonomi tertentu. Hal itu jelas tidak dikenal di Indonesia. Kalaupun terdapat “kelas
-kelas” dalam masyarakat, mereka lebih merupakan pemilahan dari kelompok yang
berkuasa (birokrat) dengan yang dikuasai (rakyat), serta pengelompokan berdasarkan
primordial. Kedua, mazhab psikologis menitik beratkan identifikasi kepartaian, khususnya sikap seseorang terhadap isu-isu politik, calon presiden atau anggota
memungkinkan berkembangnya isu-isu politik yang dapat menjadi pilihan alternatif,
mengingat masih dimungkinkannya dominasi isu politik oleh kekuatan sosial politik
tertentu. Ketiga, mazhab ekonomis atau rasionalitas perilaku pemilih dalam Pemilu, kurang realistis mengingat sebagian besar masyarakat belum mengenal dengan baik
calon-calon anggota parlemen dan isu-isu politik yang berkembang sehingga tidak
mungkin melakukan penelitian mengenai keuntungan dan kerugian yang diperoleh
karena pemilu lebih dipusatkan kepengenalan tanda gambar.
Mazhab Sosiologis digunakan untuk meneliti pemilahan masyarakat yang
secara besar dibagi dua kelompok yaitu penguasa (pimpinan) dan yang dikuasai
(anggota masyarakat). Selain itu pengelompokan masyarakat dari aspek tingkat
pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal (desa dan kota), dan lain-lain dapat membantu
menjelaskan perilaku pemilih di Indonesia.
Sementara itu, dengan penggunaan mazhab psikologis diharapkan dapat
memberikan prespektif internalisasi dan sosialisasi nilai budaya, adat istiadat dan
kebiasaan yang membentuk budaya politik masyarakat yang pada gilirannya akan
mempengaruhi perilaku pemilih. Penggabungan kedua pendekatan ini selanjutnya
disebut pendekatan sosio cultural.
Mazhab rasionalitas dapat memberikan kontribusi tentang berkembangnya
praktek politik uang yang sering dilakukan oleh si calon dalam mempengaruhi
massa. Untuk itu dapat diketahui apakah politik uang ini merupakan juga budaya si
pemilih dalam menjelang pemilu, atau itu merupakan imbas dari globalisasi yang
kesemuanya diukur dari uang, atau juga dapatdiketahui apakah politik uang
hanyamerupakan fenomena dari masyarakat dari negara yang sedang berkembang
1.5.3. Pemilih dan Pemilih Pemula
Pengertian pemilih dalam penelitian ini mengacu kepada Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dimana dijelaskan bahwa pemilih
adalah Warga Negara Indonesia yang telah memiliki hak pilih/hak bersuara dengan
memilih wakil rakyat yang dipercayai untuk duduk di lembaga pemerintahan.17
Syarat menjadi pemilih menurut UU No.12 Tahun 2003 Pasal 14 ayat 1-3 adalah :
1. WNI yang pada hari pemungutan suara telah berusia 17 tahun atau
sudah/pernah menikah.
2. Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.
3. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
4. Terdaftar sebagai pemilih.
5. Perubahan status dari anggota TNI atau Polri menjadi sipil/purnatugas
sehingga punya hak pilih
6. Apabila telah terdaftar dalam Daftar Pemilih namun tidak lagi memenuhi
syarat, maka ia tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
7. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
8. Berdomisili di daerah tersebut sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum
disahkannya daftar pemilih sementara yang dibuktikan dengan Kartu Tanda
Penduduk (KTP).
Kategori tentang pemilih pemula menggunakan pengertian dari Kemitraan
Partnership for Governance Reforms yang menyebutkan bahwa pemilih pemula
17
adalah pemilih yang mengikuti pemilu untuk pertama kali yang berusia muda sekitar
17-22 tahun maupun yang belum berumur 17 tahun tapi sudah pernah menikah.
1.5.4. Isu Dalam Kampanye Politik
Kampanye politik adalah sebuah upaya yang terorganisir bertujuan untuk
memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih dan kampanye politik
selalu merujuk pada kampanye pada pemilihan umum.
Sedangkan kampanye dipilih sebagai salah satu variabel yang menjadi faktor
utama pemilih menentukan pilihannya pada pemilihan umum karena pada dasarnya
kampanye merupakan salah satu langkah kritis dalam pemilu. Dalam langkah ini,
kampanye dapat mempengaruhi perilaku memilih seseorang, dimana kampanye
berperan dalam menyampaikan isu-isu maupun program yang akan diangkat oleh
partai ataupun tokoh tertentu.
Kampanye pemilu menurut Santoso Sastropoetra pada dasarnya adalah
“penyebaran pesan dan mempunyai keinginan untuk membentuk dan mengubah
sikap, pendapat dan tingkah laku dari sesama manusia yang menjadi objeknya”.
Disamping itu kampanye pemilu adalah bentuk komunikasi politik yang “halal”
diselenggarakan oleh setiap partai politik.18
Sebagai suatu bentuk komunikasi, menurut A. W. Widjaja dalam kampanye
terdapat sejumlah unsur dan komponen yang memungkinkan bagi terjadinya
komunikasi. Unsur dan komponen tersebut adalah sumber source), komunikator/penyampai pesan (communicator), pesan (message), saluran (chanel), komunikan/penerima pesan (communican) dan hasil (effect). Sumber dapat dianggap
18
sebagai lembaga tetap atau partai politik peserta pemilu, sedangkan hasil akan
terlihat pada perilaku pemberian suara.19
Pesan dari kampanye adalah penonjolan ide bahwa sang kandidat atau calon
ingin berbagi dengan pemilih. Pesan sering terdiri dari beberapa poin berbicara
tentang isu-isu kebijakan. Poin ini akan dirangkum dari ide utama dari kampanye
dan sering diulang untuk menciptakan kesan abadi kepada pemilih. Dalam banyak
pemilihan, para kandidat partai politik akan selalu mencoba untuk membuat para
kandidat atau calon lain menjadi "tanpa pesan" berkaitan dengan kebijakannya atau
berusaha untuk pengalihan pada pembicaraan yang tidak berkaitan dengan poin
kebijakan atau program.
Menurut Lock dan Harris, kampanye politik bertujuan untuk pembentukan
image politik. Untuk itu Partai politik harus menjalin hubungan internal dan
eksternal.20 Hubungan Internal adalah suatu proses antara anggota-anggota partai
dengan pendukung untuk memperkuat ikatan ideologis dan identitas
partai Hubungan eksternal dilakukan untuk mengkomunikasikan image yang akan dibangun kepada pihak luar partai termasuk media massa dan masyarakat.
Kampanye politik harus dilakukan secara permanen ketimbang periodik.
Perhatian kampanye politik tidak hanya terbatas menjelang pemilu tetapi sebelum
dan sesudah Pemilu juga berperan penting. Sebagian besar strategis kampanye
menjatuhkan kandidat atau calon lain yang lebih memilih untuk menyimpan pesan
secara luas dalam rangka untuk menarik pemilih yang paling potensial. Sebuah pesan
yang terlalu sempit akan dapat mengasingkan para kandidat atau calon dengan para
pemilihnya atau dengan memperlambat dengan penjelasan rinci programnya. Dalam
tekhnik kampanye politik kemenangan kandidat atau calon yang dilakukan di dalam
19
A.W. Widjaja. Komunikasi dan Hubungan Masyarakat,. Jakarta. PT. Bumi Aksara. 2002. 20
jajak pendapatkan hanya dipergunakan sebagai agenda politik di kantor staf
pemenangan kandidat atau calon.
1.5.5. Identifikasi Kepartaian
Identifikasi kepartaian dipilih sebagai variabel penentu seorang pemilih
menentukan pilihannya pada pemilihan umum, karena sebagai sebuah negara yang
terdiri dari berbagai kelompok masyarakat atau etnis yang berbeda, maka pemilih di
Indonesia, seperti dijelaskan diatas, memiliki kecenderungan-kecenderungan tertentu
untuk mendasari hubungannya dengan sifat yang emosional dengan orang lain
seperti keluarga, tokoh bahkan organisasi tertentu.
Identifikasi kepartaian diartikan sebagai bentuk perasaan seseorang secara
personal terhadap partai yang dipilihnya. Faktor identifikasi kepartaian adalah faktor
jangka panjang yang penting dalam mempengaruhi pemberian suara pada pemilu.
Metode Michigan menekankan pada aspek psikologis dari identifikasi kepartaian
bahwa orang belajar mengidentifikasi partai politik melalui proses sosialisasi
gradual, kemudian pembentukan identifikasi kepartaian tersebut dianggap sama
dengan cara seseorang mengembangkan afiliasi keagamaan pada masa kanak-kanak.
Lebih lanjut Campbell menyatakan bahwa pemilih mengidentifikasikan diri mereka
dan ini mempengaruhi serta menentukan perilaku pemilih.
1.5.6. Orientasi Terhadap Kandidat
Orientasi terhadap kandidat dipilih sebagai variabel karena dalam
pelaksanaan pemilihan langsung seperti yang dilaksanakan pada Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013 ini, pengenalan diri kandidat sangat
terpengaruh untuk memilih kandidat itu. Popularitas dan reputasi seorang kandidat
memegang kunci penting dalam hal ini.
Dalam metode Michigan, orientasi terhadap kandidat menjadi variabel
dominan dalam memilih. Pengetahuan pemilih terhadap keberadaan kandidat akan
berdampak pada hasil yang diperoleh kandidat tersebut dalam pemilihan. Biasanya
pemilih akan memilih kandidat yang mereka kenal dan itu berarti popularitas
dibutuhkan agar masyarakat dapat memilih kandidat itu, selain itu reputasi dan
kemampuan (capability) kandidat juga memegang peranan penting.
Orientasi terhadap kandidat menjadi penting dalam sistem pemilihan
langsung. Biasanya kandidat yang memiliki reputasi yang baik dihadapan
pemilihnya akan berpeluang dipilih. Apalagi kandidat yang berasal dari partai yang
memerintah akan memiliki peluang yang lebih besar menempati jabatan-jabatan
politik tertentu dibanding partai oposisi.
1.5.7. Pemilihan Umum (Pemilu)
1. Pengertian Pemilihan Umum (Pemilu)
Berdasarkan UUD 1945 Bab I Pasal 1 ayat (2) kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam demokrasi moderen
yang menjalankan kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat yang ditentukan sendiri
oleh rakyat. Untuk menentukan siapakah yang berwenang mewakili rakyat maka
dilaksanakanlah pemilihan umum. Pemilihan umum adalah suatu cara memilih
wakil-wakil rakyat yang akan duduk dilembaga perwakilan rakyat serta salah satu
pelayanan hak-hak asasi warga negara dalam bidang politik.21
Dalam Undang-Undang Repubilik Indonesia Nomor 22 tahun 2007 tentang
penyelenggara pemilihan umum dinyatakan bahwa pemilihan umum, adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil dalam NegaraKesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu hak asasi warga negara yang
sangat prinsipil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi adalah suatu
keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilu. Sesuai dengan asas bahwa
rakyatlah yang berdaulat maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat
untuk menentukannya. Adalah suatu pelanggaran suatu hak asasi apabila pemerintah
tidak mengadakan pemilu atau memperlambat pemilu tanpa persetujuan dari
wakil-wakil rakyat.22
Dari pengertian diatas bahwa pemilu adalah sarana mewujudkan pola
kedaulatan rakyat yang demokratis dengan cara memilih wakil-wakil rakyat,
Presiden dan Wakil Presiden serta kepala daerah secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil. Karena pemilu merupakan hak asasi manusia maka pemilu
2009 warga negara yang terdaftar pada daftar calon pemilih berhak memilih
langsung wakil-wakilnya Presiden dan Wakil Presidennya dan juga memilih
langsung kepala daerah, kemudian dijabarkan dalam UU RI Nomor 22 tahun 2007
bahwa pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat sesuai dengan
amanat konstitusional yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui pemilu
dan hasilnya, masyarakat mengharapkan perubahan yang berarti untuk memperbaiki
kehidupan mereka sehari-hari.
22
2. Asas Pemilihan Umum
Berdasarkan pasal 22 E ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Pengertian asas pemilu adalah :
a. Langsung
Yaitu rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk secara langsung
memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
b. Umum
Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam
usia, yaitu sudah berumur 17 tahun atau telah pernah kawin, berhak ikut
memilih dalam pemilu. Warga negara yang sudah berumur 21 tahun berhak
dipilih dengan tanpa ada diskriminasi (pengecualian)
c. Bebas
Setiap warga negara yang memilih menentukan pilihannya tanpa tekanan dan
paksaan dari siapapun/dengan apapun. Dalam melaksanakan haknya setiap
warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan
kehendak hati nurani dan kepentingannya.
d. Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan
diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan
suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada
siapapun suarnanya akan di berikan.
e. Jujur
Dalam penyelenggaraan pemilu setiap penyelenggara/pelaksana pemilu,
termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung harus
bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
f. Adil
Berarti dalam penyelenggaraan pemilu setiap pemilih dan parpol peserta pemilu
mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun.