• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU POLITIK PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN GUBERNUR SUMATERA UTARA TAHUN 2013

(STUDI KASUS DI KECAMATAN TIGABINANGA KABUPATEN KARO)

Oleh :

TOMMY APRIANTA 080906086

DOSEN PEMBIMBING : Dra. T. IRMAYANI, M.Si

DOSEN PEMBACA : HUSNUL ISA HARAHAP, S.Sos., M.Si

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Nama : TOMMY APRIANTA (080906086)

PERILAKU PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN GUBERNUR SUMATERA UTARA TAHUN 2013

(Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

ABSTRAK

Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilih pemula dalam kategori politik adalah kelompok yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya. Dalam menggunakan hak pilih politiknya itu, mengikuti tipologi model Almond dan Verba maka orientasi politik pemula ini dikategorikan menjadi, (1) orientasi kognitif, yaitu pengetahuan tentang dan kepercayaan pada kandidat, (2) orientasi politik afektif, yaitu perasaan terhadap pemilu, pengaruh teman terhadap penentuan pilihan, dan (3) orientasi politik evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat pemilih pemula terhadap parpol/kandidat pilihannya. Orientasi politik pemilih pemula ini selalu dinamis dan akan berubah-ubah mengikuti kondisi yang ada dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Penelitian ini dibatasi pada apakah ada pengaruh kampanye, identifikasi kepartaian dan orientasi terhadap kandidat dalam menentukan pilihan bagi pemilih pemula di Kecamatan Tigabinanga pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel bertujuan (purposive sampling). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden dengan kuisioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dokumentasi, data demografi, kondisi geografis, data pemilu dan data lain yang memberikan informasi.

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Name : TOMMY APRIANTA (080906086)

VOTER BEHAVIOR BEGINNERS ON ELECTION GOVERNOR OF NORTH SUMATRA IN 2013

(Research Case In Tigabinanga Subdistrict, Karo District)

ABSTRACT

Election is held to choose representatives of government at both central and local governments, as well as to form a democratic government, stronger, and gained popular support in order to achieve national goals as mandated by the preamble to the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 Voters novice in the political category is a group for the first time voting. In the political voting, following the model of Almond and Verba typology of the political orientation is categorized into beginner, (1) cognitive orientation, ie knowledge of and confidence in the candidates, (2) affective political orientation, the feeling of the elections, the influence of friends on determination of choice, and (3) evaluative political orientation, decision and opinion of the voters against the political party/candidate of his choice. Political orientation of voters is always dynamic and will change following the existing conditions and the factors that influence it.

This study is limited to whether there is an influence campaign, party identification and orientation of the candidate in determining the choice for voters in Tigabinanga Subdistrict at the election of the Governor of North Sumatra in 2013 sampling technique in this study using a sampling technique aims (purposive sampling). The data collected in this study are primary data and secondary data. Primary data was obtained directly from the questionnaire respondents. While the secondary data obtained documentation, demographic data, geographic conditions, election data and other data that provide information.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)”.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh

gelar sarjana pendidikan bagi mahasiswa program S1 pada program studi Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak

demi kesempurnaan skripsi ini.

Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga

pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah

memberikan bantuan moril maupun materil secara langsung maupun tidak langsung

kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai, terutama kepada yang

saya hormati:

1. Bapak Prof Dr Syahril Pasaribu, DTMH, MSc (CTM), SpA(K)selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Drs. Zakaria, M.SP selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Ibu Dra. Rosmiani, M.A selaku Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Drs. Edward, M.SP selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

6. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Pemerintahan

Universitas Negeri Medan sekaligus dosen pembimbing.

7. Bapak Husnul Isa Harahap, S.Sos., M.Siselaku dosen pembaca dari skripsi ini.

8. Bapak /Ibu dosen dan staff di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

(5)

9. Bapak Satria Ginting, SH selaku Camat dari Kecamatan Tigabinanga yang

telah banyak membantu dengan memberikan segala informasi yang telah

dibutuhkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Teristimewa kepada Orang Tua penulis Alm. Juneidi Rulih Sebayang dan

Setiawati Br. Sembiring yang selalu mendoakan, memberikan motivasi dan

pengorbanannya baik dari segi moril, materi kepada penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini.

11.Terima kasih kepada adikku Febiola Renata Br. Sebayang yang selalu

memberikan motivasi, dan dukungan moril serta doa demi terlesainya skripsi

ini.

12.Buat sahabat–sahabatku Gorby, Kevin, Ridho, juga tak lupa buat Banhg

Faisal Andry, Bang Indra Fauzan dan teman-teman lain serta semua pihak

yang tidak dapat disebutkan satu per satu terimakasih buat dukungan dan

doanya kepada penulis semoga persahabatan yang kita jalin selama ini dapat

terus terjaga dengan baik.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua

dan menjadi bahan masukan bagi dunia pendidikan.

Medan, Agustus

2014

Penulis,

TOMMY APRIANTA

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Batasan Masalah ... 7

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 7

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Kerangka Teori ... 9

1.5.1 Perilaku Memilih... 9

1.5.2 Teori Perilaku Memilih ... 12

1.5.2.1 Pendekatan Sosiologis ... 12

1.5.2.2 Pendekatan Psikologis ... 16

1.5.2.3 Pendekatan Rasional ... 19

1.5.3 Pemilih dan Pemilih Pemula ... 24

1.5.4 Isu Dalam Kampanye Politik ... 25

1.5.5 Identifikasi Kepartaian ... 27

1.5.6 Orientasi Terhadap Kandidat ... 27

1.5.7 Pemilihan Umum (PEMILU) ... 28

1.6 Definisi Konseptual ... 34

1.7 Metodologi Penelitian ... 35

1.7.1 Jenis Penelitian ... 35

1.7.2 Lokasi Penelitian ... 36

1.7.3 Populasi dan Sampel ... 36

1.7.4 Teknik Pengumpulan Data ... 44

(7)

BAB II DESKRIPSI KECAMATAN TIGABINANGA ... 46

2.1 Kondisi Geografis ... 46

2.2 Struktur Organisasi Kecamatan Tigabinanga ... 47

2.3 Jumlah Penduduk... 50

2.4 Mata Pencaharian ... 51

2.5 Tingkat Pendidikan ... 52

2.6 Jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kecamatan Tigabinanga... 52

2.7 Jumlah Suara Sah di Kecamatan Tigabinanga ... 54

2.8 Jumlah TPS di Kecamatan Tigabinanga... 55

2.9 Jumlah Suara Pemilih Pemula Yang Sah Kecamatan Tigabinanga ... 56

BAB III ANALISIS DATA PERILAKU PEMILIH PEMULA ... 57

3.1 Identitas Responden... 57

3.1.1 Umur Responden... 57

3.1.2 Jenis Kelamin Responden ... 58

3.1.3 Pendidikan Responden ... 59

3.1.4 Agama Responden ... 59

3.1.5 Pekerjaan Responden ... 60

3.1.6 Keikutsertaan Responden Dalam Partai ... 61

3.2 Analisis dan Penelitian ... 61

3.3 Pembahasan ... 78

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

4.1 Kesimpulan ... 85

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Populasi Penelitian ... 37

Tabel 1.2 Jumlah Sampel Di Tiap Desa/Kelurahan ... 43

Tabel 2.1 Luas Desa dan Kelurahan di Kecamatan Tigabinanga ... 46

Tabel 2.2 Camat Kecamatan Tigabinanga ... 47

Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Di Kecamatan Tigabinanga ... 50

Tabel 2.4 Agama dan Aliran Kepercayaan Di Kecamatan Tigabinanga ... 50

Tabel 2.5 Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Tigabinanga ... 51

Tabel 2.6 Srana Pendidikan Di Kecamatan Tigabinanga ... 52

Tabel 2.7 Daftar Pemilih Tetap Di Kecamatan Tigabinanga ... 53

Tabel 2.8 Jumlah Suara Sah Di Kecamatan Tigabinanga ... 54

Tabel 2.9 Jumlah TPS Di Kecamatan Tigabinanga ... 55

Tabel 2.10 Jumlah Suara Pemilih Pemula yang Sah Di Kecamatan Tigabinanga ... 56

Tabel 3.1 Umur Responden ... 57

Tabel 3.2 Jenis Kelamin Responden ... 58

Tabel 3.3 Pendidikan Responden ... 59

Tabel 3.4 Agama Responden ... 60

Tabel 3.5 Pekerjaan Responden ... 60

Tabel 3.6 Keikutsertaan Responden Dalam Partai ... 61

Tabel 3.7 Pertanyaan No. 1 ... 62

Tabel 3.8 Pertanyaan No. 2 ... 63

Tabel 3.9 Pertanyaan No. 3 ... 63

Tabel 3.10 Pertanyaan No. 4 ... 64

Tabel 3.11 Pertanyaan No. 5 ... 65

Tabel 3.12 Pertanyaan No. 6 ... 66

Tabel 3.13 Pertanyaan No. 7 ... 67

Tabel 3.14 Pertanyaan No. 8 ... 67

Tabel 3.15 Pertanyaan No. 9 ... 68

Tabel 3.16 Pertanyaan No. 10 ... 69

Tabel 3.17 Pertanyaan No. 11 ... 69

Tabel 3.18 Pertanyaan No. 12 ... 70

(9)

Tabel 3.20 Pertanyaan No. 14 ... 72

Tabel 3.21 Pertanyaan No. 15 ... 73

Tabel 3.22 Pertanyaan No. 16 ... 74

Tabel 3.23 Pertanyaan No. 17 ... 75

Tabel 3.24 Pertanyaan No. 18 ... 75

Tabel 3.25 Pertanyaan No. 19 ... 76

(10)

DAFTAR GAMBAR

(11)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Nama : TOMMY APRIANTA (080906086)

PERILAKU PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN GUBERNUR SUMATERA UTARA TAHUN 2013

(Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

ABSTRAK

Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilih pemula dalam kategori politik adalah kelompok yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya. Dalam menggunakan hak pilih politiknya itu, mengikuti tipologi model Almond dan Verba maka orientasi politik pemula ini dikategorikan menjadi, (1) orientasi kognitif, yaitu pengetahuan tentang dan kepercayaan pada kandidat, (2) orientasi politik afektif, yaitu perasaan terhadap pemilu, pengaruh teman terhadap penentuan pilihan, dan (3) orientasi politik evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat pemilih pemula terhadap parpol/kandidat pilihannya. Orientasi politik pemilih pemula ini selalu dinamis dan akan berubah-ubah mengikuti kondisi yang ada dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Penelitian ini dibatasi pada apakah ada pengaruh kampanye, identifikasi kepartaian dan orientasi terhadap kandidat dalam menentukan pilihan bagi pemilih pemula di Kecamatan Tigabinanga pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel bertujuan (purposive sampling). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden dengan kuisioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dokumentasi, data demografi, kondisi geografis, data pemilu dan data lain yang memberikan informasi.

(12)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Name : TOMMY APRIANTA (080906086)

VOTER BEHAVIOR BEGINNERS ON ELECTION GOVERNOR OF NORTH SUMATRA IN 2013

(Research Case In Tigabinanga Subdistrict, Karo District)

ABSTRACT

Election is held to choose representatives of government at both central and local governments, as well as to form a democratic government, stronger, and gained popular support in order to achieve national goals as mandated by the preamble to the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 Voters novice in the political category is a group for the first time voting. In the political voting, following the model of Almond and Verba typology of the political orientation is categorized into beginner, (1) cognitive orientation, ie knowledge of and confidence in the candidates, (2) affective political orientation, the feeling of the elections, the influence of friends on determination of choice, and (3) evaluative political orientation, decision and opinion of the voters against the political party/candidate of his choice. Political orientation of voters is always dynamic and will change following the existing conditions and the factors that influence it.

This study is limited to whether there is an influence campaign, party identification and orientation of the candidate in determining the choice for voters in Tigabinanga Subdistrict at the election of the Governor of North Sumatra in 2013 sampling technique in this study using a sampling technique aims (purposive sampling). The data collected in this study are primary data and secondary data. Primary data was obtained directly from the questionnaire respondents. While the secondary data obtained documentation, demographic data, geographic conditions, election data and other data that provide information.

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang

dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai

dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang

diamanatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2.

Menurut Prof Dr. H. Zainuddin Ali, MA Pemilihan umum adalah salah satu

mekanisme demokratis untuk melakukan pergantian pemimpin. Hal tersebut tidak

dapat dipungkiri bahwa Selepas rezim Orde Baru, Pemilu dengan segera diyakini

oleh banyak kalangan di indonesia bahwa pemilihan umum merupakan sebagai salah

satu instrumen untuk mendorong proses demokratisasi di Indonesia. Karena

demokrasi yang semakin matang akan mengurangi ketidakadilan dan membuat

pengorganisasian kehidupan bersama semakin menjamin kebebasan warga Negara

dan mendorong terciptanya tatanan yang lebih adil, termasuk pemberantasan KKN.1

Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik

ditingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk

pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam

rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh

pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu

dilaksanakan oleh negara Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat

sekaligus penerapan prinsip-prinsip atau nilai-nilai demokrasi, meningkatkan

1

(14)

kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum demi

terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis.

Pemilu adalah bagian penting dalam demokrasi. Pemilu jika diartikan secara

sederhana adalah cara individu warga negara melakukan aktivitas politik ataupun

kontrak politik dengan orang lain atau partai politik yang diberikan mandat atau

wewenang untuk melaksanakan sebagian kekuasaan rakyat/pemilih. Pemilu

bukanlah pemberian mandat kekuasaan secara total. Klaim partai politik yang

menyatakan bahwa partainya telah memiliki pemilih dengan jumlah total tertentu

dalam pemilu adalah tidak tepat. Untuk menjalankan mandat tersebut partai politik

atau eksekutif partai politik harus melakukan komunikasi politik dalam menentukan

kebijakan-kebijakan untuk kepentingan rakyat dengan persetujuan warga. Di

berbagai negara, pemilihan umum merupakan salah satu wadah yang bertujuan untuk

memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan siapa yang akan mewakili

mereka dalam lembaga legislatif, dan siapa yang akan memimpin mereka dalam

lembaga eksekutif. Pemilihan umum juga merupakan wadah untuk menjaring

orang-orang yang benar-benar bisa dan mampu untuk masuk kedalam lingkaran elit politik,

baik itu di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.

Salah satu parameter pemilu yang demokratis adalah dengan adanya

komponen pemilih yang semakin plural seiring dengan semakin kompleknya pemilu.

Ini artinya pemilih adalah pendukung utama yang sangat penting dalam proses

pemilu yang demokratis, sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat. Setiap

pemilih dalam pemilihan umum tidak akan terlepas dari latar belakang politis

maupun sosiologis pada saat itu, sehingga hal ini sangat berpengaruh dalam

(15)

Dinamika prilaku pemilih sangat kompleks dalam setiap pemilihan umum.

Apalagi Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu lebih dari lima kali. hal ini

dipengaruhi oleh pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tungkat

ekonomi pemilih dalam pemilihan umum. Tingkat pendidikan maupun ekonomi

Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa pemilu setelah masa reformasi sangat

berpengaruh, inilah yang menimbulkan maraknya praktek menyimpang

seperti Money Politic. Yang kemudian sangat mencederai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta good governance. Sehingga, tujuan dari diadakanya pemilihan umum untuk mewujudkan demokratisasi, mewujudkan

hak-hak rakyat dan mewujudkan partisipasi rakyat dalam politik untuk melakukan

pendidikan dan pembangunan politik tidak akan pernah tercapai dengan baik.2

Pemilihan Gubernur Sumatera Utara yang dilaksanakan pada tanggal 7 Maret

2013 adalah manifestasi dari kekuasaan rakyat. Pada pemilihan ini rakyatlah yang

mempunyai kekuasaan untuk menentukan siapa yang akan menjadi Gubernur

Sumatera Utara. Dan berdasarkan hasil perolehan suara yang diumumkan KPU pada

tanggal 15 Maret 2013 maka diketahui bahwa Gatot Pujo Nugroho-Erry Nuradi

meraih suara terbanyak dengan meraih 1.604.337 suara atau 33%, Effendi

Simbolon-Jumiran Abdi dengan 1.183.187 suara atau 24,34%, Gus

Irawan-Soekirman yang meraih 1.027.433 suara atau 21,13%, Amri Tambunan-RE

Nainggolan yang mendapatkan 594.414 suara atau 12,23%, dan Chairuman

Harahap-Fadly Nurzal meraih 452.096 suara atau 9,30%.

Menurut pasal 1 ayat (22) UU No 10 tahun 2008, pemilih adalah warga

negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau

sudah/pernah kawin, kemudian pasal 19 ayat (1 dan 2) UU No. 10 tahun 2008

2

(16)

menerangkan bahwa pemilih yang mempunyai hak memilih adalah warga negara

Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih dan pada

hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau

sudah/pemah kawin. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

pemilih pemula adalah warga negara yang didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam

daftar pemilih, dan baru mengikuti pemilu (memberikan suara) pertama kali sejak

pemilu yang diselenggarakan di Indonesia dengan rentang usia 17-21 tahun.

Layaknya sebagai pemilih pemula, mereka tidak memiliki pengalaman voting pada pemilu sebelumnya, namun ketiadaan pengalaman bukan berarti mencerminkan

keterbatasan menyalurkan aspirasi politik.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik jumlah penduduk di Sumatera Utara

adalah mencapai 15.977.383 jiwa.3 Dan untuk jumlah pemilih potensial sebanyak

11.300.526 jiwa. Sementara untuk jumlah penduduk Kecamatan Tigabinanga

Kabupaten Karo bulan Juni 2013 adalah 19.472 jiwa. Dari jumlah tersebut yang

mempunyai hak untuk memilih adalah sejumlah 15.526 pemilih dengan rinciannya

7.549 pemilih laki-laki dan 7.977 pemilih perempuan, dengan 20% diantaranya

adalah pemilih yang termasuk dalam kategori pemilih pemula.

Pemilih pemula dalam kategori politik adalah kelompok yang baru pertama

kali menggunakan hak pilihnya. Dalam menggunakan hak pilih politiknya itu,

mengikuti tipologi model Almond dan Verba maka orientasi politik pemula ini

dikategorikan menjadi, (1) orientasi kognitif, yaitu pengetahuan tentang dan

kepercayaan pada kandidat, (2) orientasi politik afektif, yaitu perasaan terhadap

pemilu, pengaruh teman terhadap penentuan pilihan, dan (3) orientasi politik

evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat pemilih pemula terhadap parpol/kandidat

3

(17)

pilihannya.4 Orientasi politik pemilih pemula ini selalu dinamis dan akan

berubah-ubah mengikuti kondisi yang ada dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Orientasi politik sebenarnya merupakan suatu cara pandang dari suatu

golongan masyarakat dalam suatu struktur masyarakat. Timbulnya orientasi itu

dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat maupun dari luar

masyarakat yang kemudian membentuk sikap dan menjadi pola mereka untuk

memandang suatu obyek politik. Orientasi politik itulah yang kemudian membentuk

tatanan dimana interaksi-interaksi yang muncul tersebut akhirnya mempengaruhi

perilaku politik yang dilakukan seseorang. Orientasi politik tersebut dapat

dipengaruhi oleh orientasi individu dalam memandang obyek-obyek politik.

Memahami kesadaran politik masyarakat pemilih pemula dalam pemilihan

Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 maka penulis tertarik untuk meneliti perilaku

pemilih pemula. Alasan lain yang membuat penulis tertarik untuk melakukan

penelitian terhadap pemilih pemula karena sebagai pemilih pemula tentu banyak

hal–hal yang mempengaruhi para pemilih pemula dalam memilih pasangan gubernur

seperti : (1) pengaruh isu dalam kampanye, (2) pengaruh identifikasi kepartaian, dan

(3) pengaruh orientasi terhadap kandidat. Dan hal–hal yang mempengaruhinya inilah

yang akan penulis bahas dalam penelitian ini.

Objek orientasi politik meliputi keterlibatan seseorang terhadap : (1) sistem

yaitu sebagai suatu keseluruhan dan termasuk berbagai perasaan tertentu seperti

patriotisme dan alienansi, kognisi dan evaluasi suatu bangsa, dan (2) pribadi sebagai

aktor politik, isi dan kualitas, norma-norma kewajiban politik seseorang. Orientasi

politik yang dimiliki seseorang akan mendorong terjadinya partisipasi politik.

Termasuk juga yang terjadi dengan orientasi politik pemilih pemula di Kecamatan

4

(18)

Tigabinanga Kabupaten Karo dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun

2013.

Dalam penelitian ini ada alasan yang kuat yang melatarbelakangi penulis

untuk melakukan penelitian yaitu karena penulis melihat bahwa tingkat pemilihan

khususnya pada pemilih pemula sangat signifikan. Maka dari itu penulis menjadi

tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang perilaku pemilih pemula itu sendiri.

Selain itu penulis memilih Kecamatan Tigabinanga sebagai lokasi penelitian karena

jumlah pemilih pemula yang ada di Kecamatan Tigabinanga cukup banyak yaitu

berjumlah 9505 orang dan mereka cukup antusias dalam mengikuti pemilihan

gubernur Sumatera Utara karena peristiwa ini adalah pengalaman pertama bagi

mereka dapat menggunakan hak politik mereka. Dan mengapa penulis memilih

Pemilihan Gubernur Sumatera Utara karena Pemilihan Sumatera Utara baru saja

berlangsung dan bagaimana perilaku dari pemilih pemula yang cukup antusias dalam

mengikuti pemulihan ini ini menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk diteliti.

Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis dalam hal ini

terdorong untuk mengkaji lebih dalam dan memfokuskan pada perilaku pemilih

pemula pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 di Kecamatan

Tigabinanga Kabupaten Karo. Untuk itu penulis melakukan penelitian dengan judul

“Perilaku Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun

2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)”

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah itu merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan

(19)

ini berdasarkan penelitian menurut tingkat eksplanasi.5 Dari uraian latar belakang

diatas maka permasalahan yang akan penulis teliti secara rinci adalah :

Bagaimana perilaku pemilih pemula pada pemilihan gubernur Sumatera Utara tahun

2013 di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo.

1.3. Batasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis memberikan batasan masalah agar dalam

penjelasannya nanti akan lebih mudah, terarah dan sesuai dengan yang diharapkan

serta terorganisir dengan baik. Pembuatan skripsi ini dibatasi pada masalah berikut :

Apakah ada pengaruh kampanye, identifikasi kepartaian dan orientasi terhadap

kandidat dalam menentukan pilihan bagi pemilih pemula di Kecamatan Tigabinanga

pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui pengaruh kampanye kandidat, identifikasi kepartaian dan

orientasi terhadap perilaku memilih pemilih pemula di Kecamatan Tigabinanga pada

pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan dan

dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat selama kuliah pada permasalahan

5

(20)

dan kondisi di masyarakat, sehingga mendapatkan suatu pengalaman antara

teori dengan kenyataan di lapangan.

b. Bagi civitas akademika, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang

Ilmu Politik.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang bagaimana

perilaku politik para pemilih pemula pada pemilihan Gubernur Sumatera

Utara tahun 2013.

b. Bagi pemilih pemula (generasi muda)

Para generasi muda mengetahui pentingnya partisipasi mereka dalam pemilu

yang demokratis.

c. Bagi aktivis partai politik dan tokoh politik

Agar mereka lebih meningkatkan peran serta pemilih pemula pada kegiatan

partai politik pada masa yang akan datang.

d. Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)

Bermanfaat untuk menambah kepustakaan dan dapat digunakan sebagai

bahan acuan dalam penelitian yang sejenis.

e. Bagi masyarakat

Dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi

masyarakat umum yang tertarik terhadap ilmu Politik dan menambah

(21)

1.5. Kerangka Teori 1.5.1. Perilaku Memilih

Perilaku memilih berkaitan dengan tingkah laku individu dalam hubungannya

dengan proses pemilu. Menurut Jack Plano, perilaku memilih adalah salah satu

bentuk perilaku politik yang terbuka.6 Sementara itu, Huntington dan Nelson

menyebutkan perilaku memilih sebagai electoral activity, yakni termasuk pemberian suara (votes), bantuan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, menarik masuk atas nama calon, atau tindakan lain yang direncanakan untuk mempengaruhi

proses pemilihan umum.7

Selanjutnya perilaku memilih disini dikaitkan dengan proses pemungutan

atau pemberian suara (Voting) dalam suatu pemilihan umum (pemilu). Voting

merupakan kegiatan pengambilan keputusan dengan satu orang satu suara dalam

pemilu yang diselenggarakan. Sedangkan menurut Haryanto, Voting adalah kegiatan warga negara yang mempunyai hak untuk memilih dan didaftar sebagai seorang

pemilih, memberikan suaranya untuk memilih atau menentukan wakil-wakilnya.8

Pemberian suara kepada salah satu kontestan merupakan suatu kepercayaan

untuk membawa aspirasi pribadi, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Kepercayaan yang diberikan, juga karena adanya kesesuaian nilai yang dimiliki arah

tempat memberikan suara. Nilai yang dimaksud disini adalah preferensi yang

dimiliki organisasi terhadap tujuan tertentu atau cara tertentu melaksanakan sesuatu.

Jadi kepercayaan pemberi suara akan ada, jika seseorang telah memahami makna

nilai yang dimiliki dalam rangka mencapai tujuan. Untuk penelitian ini, konsep

6

Jack Plano. Kamus Analisa Politik. Jakarta: Rajawali, 1985. hal. 161 7

Huntington Samuel P. Dan Joan Nelson. Partisipasi Politik Di Negara Berkembang. Jakarta. Rineka Cipta. 1990.

8

(22)

perilaku memilih yang digunakan dibatasi hanya sebagai bentuk pemberian suara

(voting) dalam sebuah pemilihan umum.

Perilaku pemilih erat kaitannya dengan bagaimana individu berprilaku dan

berinteraksi dalam sebuah pemilihan umum, terutama terkait dengan ketertariakan

dan pilihan politik mereka terhadap suatu partai politik yang akan dipilihnya. Dalam

berperilaku secara umum dapat dibagi menjadi dua macam perilaku, yaitu perilaku

yang baik atau yang normal dan perilaku yang tidak baik atau menyimpang. Dalam

kaitannya dengan pemilihan umum, perilaku normal adalah perilaku politik yang

mengikuti tata cara dan aturan main dalam berpolitik, sementara perilaku politik

menyimpang adalah pola perilaku politik yang tidak mengikuti aturan main. Bahkan

dalam hal ini mungkin mereka melakukan berbagai prilaku yang membuat pihak

atau orang lain terganggu dan terintimidasi. Sebagai contoh adalah perilaku

kekerasan politik yang sering terjadi di tengah kampanye pemilu, seperti bentriok

antara pendukung parpol, intimidasi pendukung partai politik lain.

Menurut Kartini Kartono, perilaku normal adalah perilaku yang dapat

diterima oleh masyarakat umum atau sesuai dengan pola kelompok masyarakat

setempat, sehingga tercapai relasi personal da interpoersonal yang memuaskan.

Sedangkan perilaku menyimpang (abnorma) adalah perilaku yang tidak sesuai atau

tidak dapat diterima oleh masyarakat umum dan tidak sesuai dengan norma

masyarakat.9

Menurut pendapat Ramlan Surbakti, perilaku politik adalah interaksi antara

pemerintah dan masyarakat, diantara lembaga-lembaga pemerintah dan diantara

9

(23)

kelompok dan individu dalam masyarakat, dalam rangka proses pembuatan

pelaksanaan dan penegakan keputusan politik.10

Tidak semua individu atau kelompok masyarakat itu mengerjakan kegiatan

politik. Karena ada pihak yang memerintah dan ada pula yuang mentaati perintah,

yang satu mempengaruhi dan yang lain menentang dan hasilnya berkompromomi.

Yang lain menjanjikan, yang lain kecewa karena janji tidak dipenuhi, berunding dan

tawar menawar, yang satu memaksakan keputusan berhadapan dengan pihak lain

yang mewakili kepentingan rakyat yang berusaha membebaskan. Yang satu

menutupi kenyataan yang sebenarnya (yang merugikan masyarakat), sementara

pihak lain berusaha memaparkan kenyataan yang sebenarnya dan mengajukan

tuntutan, memperjuangkan kepentingan, mencemaskan apa yang terjadi. Perilaku

politik menurut pendapat Ramlan Surbakti dibagi 2 (dua), yaitu :11

1. Perilaku politik lembaga dan para pejabat pemerintah yang bertanggung

jawab membuat, melaksanakan dan menegakan keputusan politik.

2. Perilaku politik warga negara maupun individu kelompok yang berhak

mempengaruhi pemerintah dalam melaksanakan fungsinya karena pa yang

dilakukan pemeritnah menyangkut kehidupan warga negara tersebut.

Salah satu perilaku politik yang dilakukan masyarakat adalah dalam benruk

pemilihan umum. Dalam pemilihan umum masyarakat berpartisipasi untuk memilih

para wakil rakyat yang akan memperjuangkan kepentingan mereka.

10

Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. 1992. Hal. 12

11

(24)

1.5.2. Teori Perilaku Memilih

Isu-isu dan kebijakan politik sangat menentukan perilakau pemilih, namun

terdapat faktor-faktor lain yang juga berpengaruh. Para pemilih dapat saja memilih

seorang calon baik calon kepala daerah maupun calon anggota dewan, karena

dianggap sebagai refresentatif dari keagamaan. Namun dapat juga ia memilih karena

ikatan kepartaian dan juga mewakili kelompoknya. Atau ada juga pemilih yang

memilih calon karena ikatan emosional misalnya taat dan kepatuhan terhadap

seseorang dengan ikatan loyalitas terhadap figur bersangkutan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan tersebut, diperlukan dalam rangka

calon dalam menyusun strategi pemasaran dirinya atau juga programnya. Informasi

mengenai berbagai variabel tersebut jelas berguna dalam menyusun strategi

komunikasi, manejmen kandidat, dan penyusunan isu serta kebijakan yang akan

ditawarkan kepada para pemilih. Efektivitas dan efisiensi penyampaian pesan-pesan

politik tersebut sangat tergantung pada pemahaman si calon tentang perilaku pemilih

di daerah yang akan diwakili atau dipimpinnya. Ini jelas bahwaakan membuat

strategi misalnya siapa, apa dan bagaimana menarik massa akan ditentukan oleh

perilaku pemilih. Singkatnya, perilaku pemilih dimana masyarakat yang akan di

wakili atau akan dipimpin menjadi informasi penting dalam merencanakan

kampanye dan alokasi sumber daya yang dimiliki seseorang mengkajinya yakni

pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan rasionalias.

1.5.2.1. Pendekatan Sosiologis

Subkultur tertentu memiliki kognisi sosial tertentu yang pada akhirnya

(25)

karena sepanjang hidup mereka dipengarui lingkungan fisik dan sosio kultural yang

relatif sama. Mereka dipengaruhi oleh kelompok-kelompok referensi yang sama.

Karena itu, mereka memiliki kepercayaan, nilai, dan harapan yang juga

relatif sama, termasuk dalam kaitannya dengan preferensi pilihan politik. Dengan

pendekatan ini, para anggota subkultur yang sama cenderung mempunyai prefensi

politik yang sama pula.

Kepercayaan, nilai, dan harapan masing-masingnya sering juga disebut

sebagai unsur kognitif, afektif, dan konatif, akan menunjukan arah perilaku

seseorang. Kepercayaan mengacu kepada apa yang diterima sebagai benar atau tidak

benar tentang sesuatu. Kepercayaan didasarkan pada pengalaman masa lalu

pengetahuan dan informasi sekarang, dan persepsi yang sinambung. Nilai melibatkan

kesukaan dan ketidaksukaan, cinta dan kebencian, hasrat dan ketakutan seseorang.

Sementara itu, pengharapan mengandung citra seseorang tentang akan separti

apa keadaannya setelah tindakan. Pengharapan diutarakan dalam pertimbangan : apa

yang terjadi dimasa lalu, seperti apa keadaan sekarang, dan apa kiranya yang akan

terjadi jika dilakukan tindakan tertentu.

Pendekatan sosiologis menjelaskan, karakteristik dan pengelompokan sosial

merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih dan pemberian suara pada

hakikatnya adalah pengalaman kelompok.

Model ini dikenal sebagai model perilaku memilih Mazhab Columbia.12

Cikal-bakalnya berasal dari Eropa, model ini kemudian dikembangkan oleh para

sosiolog Amerka Serikat yang mempunyai latar belakang Eropa, khususnya di

Univesitas Columbia. Menurut Mazhab Columbia, pendekatan sosiologis pada

dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial-usia,

12

(26)

jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan dalam

kelompok formal dan informal, dan lainnya memberi pengaruh cukup signifikan

terhadap pembentukan perilaku pemilih.

Kelompok-kelompok sosial itu memiliki peranan besar dalam membentuk

sikap, persepsi, dan orientasi seseorang. Dalam banyak penelitian, faktor agama,

aspek geografis (kedaerahan), dan faktor kelas atau status ekonomi (khususnya di

negara-negara maju) memang mempunyai korelasi nyata dengan perilaku pemilih.

Menurut Bone dan Ranney, ada 3 (tiga) tipe utama pengelompokan sosial, yaitu :13

1. Kelompok Kategorial

Kelompok kategorial terdiri dari orang-orang yang memiliki satu atau

beberapa karakter khas, tetapi tidak mengorganisasikan aktifitas politik dan tidak

menyadari identifikasi dan tujuan kelompoknya. Setiap kelompok memiliki

karakteristik politik yang berbeda. Secara umum, perbedaan perilaku politik setiap

kategori terjadi karena masing-masing kategori memberi reaksi yang berbeda

terhadap berbagai faktor berikut :

a. Peristiwa politik, misalnya dampak kebijakan pemerintah menghapuskan

subsidi makanan pokok lebih dirasakan para ibu dibandingkan kaum laki-laki

karena, dalam kultur Indonesia, umumnya alokasi pengeluaran untuk bahan

pokok diatur kaum ibu. Karena itu, kaum ibu lebih peka dengan isu-isu

tersebut dibandingkan demngan kaum lelaki.

b. Pengalaman politik, misalnya bagaimana heroisme dan pahit-getir

mempertahankan kemerdekaan, lebih dirasakan oleh pemilih usia tua

dibandingkan dengan pemilih pemula. Karena itu, para pemilih yang berusia

relatif tua lebih reaktif terhadap isu yang berkaitan dengan nasionalisme.

13

(27)

c. Peran-peran sosial, misalnya, masih adanya anggapan bahwa masalah politik

adalah urusan kaum laki-laki, terutama didaerah-daerah dengan tingkat

pendidikan tidak terlalu tinggi, hingga pola pilihan politik ditentukan oleh

para suami dan istri mengikuti pilihan suaminya.

2. Kelompok Sekunder

Kelompok sekunder terdiri dari orang-orang, yang memiliki ciri yang sama

yang menyadari tujuan dan indentifikasi kelompoknya, dan bahkan sebagian

membentuk organisasi untuk memajukan kepentingan kelompoknya. Kelompok

sekunder mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan kelompok kategorial.

Kekuatan pengaruh kelompok sekunder kepada para anggotanya tergantung pada

empat faktor psikologis.

Pertama, kuat-lemahnya identifikasi individual terhadap kelompok. Jika identifikasi seseorang dengan kelompoknya kuat, maka pengaruh kelompok terhadap

individual tersebut akan kuat pula. Kedua, berkaitan dengan lamanya seseorang menjadi anggota kelompok : semakin lama seseorang menjadi anggota suatu

kelompok, kian kuat keterlibatan psikologis yang bersangkutan dengan kelompok

tersebut. Ketiga, pengutamaan politik bagi para pemimpin suatu kelompok : semakin penting makna politik, maka semakin kuat para pemimpin tersebut mendesakkan

tindakan politis tertentu untuk meningkatan loyalitas kelompok. Keempat, tingkat kepentingan politik bagi anggota-anggota individual.

3. Kelompok Primer

Kelompok primer terdiri dari orang-orang yang sering dan secara teratur

(28)

yang paling kuat dan langsung terhadap perilaku politik seseorang, khususnya dari

keluarga dan teman-teman dekat.

1.5.2.2. Pendekatan Psikologis

Meskipun sangat berguna dalam menyujsun strategis kampanye, pendekatan

sosiologis tidak memuaskan semua pakar politik. Kelemahan pendekatan sosiologis

antara lain terletak pada sulitnya mengukur secara tepat indikator kelas sosial,

tingkat pendidikan, dan agama. Secara materi patut dipersoalkan apakah benar

variabel-variabel sosiologis seperti status sosial-ekonomi keluarga,

kelompok-kelompok primer atau sekunder itu memberi sumbangan pada prilaku pemilih.

Tidakkah variabel-variabel itu baru dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih jika

ada proses sosialisasi? Untuk itu, sosialisasilah yang sebenarnya menentukan bukan

karakteristik sosiologis.

Karena kelemahan itu, muncul model perilaku pemilih berdasarkan

pendekatan psikologis. Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku politiknya.

Sikap itu terbentuk melalui sosisalisasi yang berlangsung lama, bahkan bisa jadi

sejak seorang calon pemilih masih berusia dini. Pada usia dini, seorang calon pemilih

telah menerima “pengaruh” politik dari orang tuanya, baik dari komunikasi langsung

maupun dari pandangan politik yang diekpresikan orang tuanya. Sikap tersebut

menjadi lebih mantap ketika menghadapi pengaruh berbagai kelompok acuan seperti

pekerjaan, kelompok pengajian, dan sebagainya. Proses panjang sosialisasi itu

kemudian membentuk ikatan yang kuat dengan partai politik atau organisasi

kemasyarakatan lainnya.

Identifikasi merupakan dorongan untuk menjadi identik atau sama dengan

(29)

dianggapnya ideal dalam suatu segi. Bagi seorang anak, misalnya identifikasi dengan

orang tuannya bukan sekedar untuk menjadi seperti ayah dan ibu secara lahiriah saja,

melaikkan justru secara batiniah. Tujuannya tak lain untuk memperoleh sistem,

norma, sikap, dan nilai yang dianggapnya ideal. Nyata bahwa saling hubungan sosial

yang berlangsung pada identifikasi itu lebih mendalam daripada hubungan yang

berlangsung melalui proses-proses sugesti maupun imitasi.

Kuatnya pengaruh identifikasi terhadap perilaku pemilih berkaitan dengan

fungsi sikap. Menurut Greenstein, seperti dikutip Agger, sikap memiliki 3 (tiga)

fungsi.14 Pertama, fungsi kepentingan, bahwa penilaian terhadap suatu objek diberikan berdasarkan motivasi, minat, dan kepentingan orang tersebut. Kedua, fungsi penyesuaian diri, bahwa seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan

orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang disegani atau kelompok

panutannya. Ketiga, fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, bahwa upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujudmekanisme

pertahanan dan eksternalisasi seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi, dan

identifikasi.

Lebih lanjut, Agger menguraikan sikap tidak terjadi begitu saja, melainkan

melalui proses yang panjang. Proses ini dimulai dari masa kanak-kanak saat dimana

seseorang pertama kali mendapat pengaruh politik dari orang tua dan kerabat dekat.

Lalu, seseorang mendapat pengaruh politik dari berbagai kelompok dari dunia di luar

keluarga seperti kelompok sebaya, teman sekolah, dan sebagainya. Kemudian sikap

politik terbentuk oleh kelompok acuan seperti pekerjaan, masjid, partai politik, dan

sebagainya. Proses sosialisasi inilah yang membentuk ikatan psikologis seseorang

dengan partai politik tertentu yang kemudian dikenal sebagai identifikasi partai.

14

(30)

Identifikasi partai merupakan faktor yang penting untuk memahami perilaku

pemilih. Akan tetapi, dengan teori identifiksi partai, seolah-olah semua pemilih

relatif mempunyai pilihan yang tetap. Dari Pemilu ke Pemilu, seseorang selalu

memilih partai atau kandidat yang sama. Orang tersebut seolah-olah bergeming atau

tidak terpengaruh oleh perubahan dunia sekitar. Dengan sendirinya pula, seolah-olah

seseorang tidak terpengaruh komunikasi politik menjelang dan saat kampanye

politik.

Berdasarkan konsep tindakan komunikasi, para pemilih yang dipengaruhi

oleh faktor identifikasi partai ini digolongkan sebagai pemberi suara yang reaktif.

Konsep ini juga mengaitkan pendekatan sosiologis dengan pendekatan psikologis.

Identifikasi partai berkaitan dengan pengelompokan sosial.15

Asumsinya adalah bahwa manusia beraksi terhadap rangsangan secara pasif

dan terkondisi. Perilaku pemberi suara dibentuk oleh faktor-faktor jangka panjang,

terutama faktor sosial. Pengelompokan sosial dan demografi berkolerasi dengan

proses identifikasi partai. Ini tak lain karena karakter kelompok sosial dan demografi

dimana pemilih itu berada, memberi pengaruh sangat penting dalam proses

pembentukan ikatan emosional pemilih dengan simbol-simbol partai, terutama pada

awal sosialisasi.

Simbol-simbol kelompok dan ikatan-ikatan kesejarahan, dengan proses

tertentu, dapat melekat pada simbol-simbol partai sehingga terciptalah identifikasi

partai. Sebagian anggota kelompok etnis dan agama tertentu, misalnya, memiliki

hubungan emosional yang kuat dan panjang dengan partai tertentu. Contoh lainnya,

suatu kelompok masyarakat dengan proses tertentu, dapat memiliki ikatan emosional

dengan tokoh tertentu, dapat memiliki ikatan emosional dengan tokoh tertentu yang

15

(31)

menjadi ikon partai tertentu. Ikatan itu seringkali tak tergoyahkan, jika tidak ada

proses sosialisasi simbol-simbol yang panjang dari partai lainnya. Hanya saja,

perilaku reaktif hanyalah sebatang pohon dari sebuah hutan konsep perilaku pemilih.

Diberbagai belahan dunia, proporsi pemilih yang mendasarkan tindakannya pada

identifikasi partai cenderung berkurang.

1.5.2.3. Pendekatan Rasional

Pada kenyataannya, sebagian pemilih mengubah pilihan politiknya dari suatu

pemilu ke pemilu lainnya. Peristiwa-peristiwa politik tertentu bisa saja mengubah

preferensi pilihan politik seseorang. Komunikasi politik, dengan substansi dan

strategi yang tepat mungkin saja mempengaruhi pilihan seseorang. Pengubahan ini,

meskipun harus melalui usaha yang keras, bukan hal yang mustahil. Dengan kata

lain, perilaku pemilih bukan hanya ditentukan oleh faktor karakteristik sosial dan

identifikasi partai.

Perilaku pemilih di Inggris tampaknya merupakan salah satu bukti adanya

peluang untuk mempengaruhi pemilih diluar “jalur” karakteristik sosial dan

identifikasi. Kavanagh mengemukakan, dewasa ini perilaku pemilih Inggris lebih

sulit diprediksi karena tiga alasan. Pertama, menurunnya jumlah orang yang mengidentifikasi diri mereka secara kuat dengan partai-partai. Kedua, loyalis kelas melemah, dan kelas pekerja berkurang jumlahnya. Ketiga, terjadi perubahan sosial, yang antara lain ditandai dengan perubahan pekerjaan dan pemukiman.

Dengan tiga faktor tersebut, dukungan para pemilih ke pada partai-partai

bersifat ‘mudah menguap’ (volatil). Survei jajak pendapat membuktikan, rating

dukungan kepada suatu partai pada awal pekan kampanye bisa berubah secara

(32)

dalam perilaku pemilih. Pilihan isu yang merupakan “mainan” utama juru kampanye

tak bisa diabaikan.

Hanya saja, pilihan isu politik tidak serta merta menjadi daya pikat kuat dan

satu-satunya faktor yang mustahak. Satu dan lain hal ialah karena adanyanya

skeptisisme tentang kemampuan para kandidat untuk menghela dan mewujudkan isu

dalam agenda pemerintahan bila kelak terpilih. Walhasil, “pesona” kandidat juga

menjadi faktor penting dalam menentukan perilaku pemilih.

Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan mendapat

informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena faktor kebetulan atau

kebiasaan, bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk kepentingan umum,

menurut fikiran dan pertimbangan yang logis. Ciri-ciri pemberi suara yang rasional

itu meliputi lima hal :

1) Dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif

2) Dapat membandingkan apakah sebuah alternatif lebih disukai, sama saja,

atau lebih rendah dibandingkan dengan alternatif lain

3) Menyusun alternatif dengan cara transitif : jika A lebih disukai daripada B,

dan B lebih baik daripada C, maka A lebih disukai daripada C.

4) Memilih alternatif yang tingkat preferensinya lebih tinggi

5) Selalu mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan pada

alternatif-alternatif yang sama.

Apakah para pemilih benar-benar rasional? Secara hipotesis dapat dikatakan,

pemilih rasional yang memenuhi syarat sangat kecil jumlahnya. Rasionalitas yang

terjadi ketika seseorang membeli produk konsuntif amat jarang terjadi ketika ia

(33)

yang memadai untuk mencari informasi maksimal sebagai input untuk mengambil

keputusan.

Seseorang memiliki motivasi memadai untuk mencari atau mengolah

informasi tentang merek pesawat televisi yang akan dibelinya. Sebaliknya, tidak

banyak pemilih yang memiliki perhatian penuh terhadap tawaran partai-parati atau

kandidat politik. Masyarakat awam diberbagai pelosok negeri, dimanapun didunia

ini, jarang mendiskusikan isu politik dan kandidat legislative secara mendalam.

Konsep Kristiadi mengenai pemberi suara responsip, agaknya dapat

menjelaskan perbedaan antara pendekatan rasional dengan pendekatan sosiologis dan

psikologis.16 Bahwa perilaku pemberi suara yang responsip tidak permanen, tetapi

berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan peristiwa politik.

Dengan demikian, para pemilih sanagat dikondisikan oleh berbagai

rangsangan luar. Apa yang mereka pilih pada hari pemilihan ditentukan oleh

rangsangan yang diberikan oleh pemimpin politik, partai dan kandidat. Karakter

pemberi suara responsip adalah sebagai berikut :

1) Walaupun dipengaruhi karakteristik sosial dan demografis tapi pengaruhnya

tidak deterministik,

2) Pemberi suara responsip memiliki kesetian kepada partai, tetapi afiliasi ini

tidak menentukan perilaku pilihan,

3) Pemberi suara yang responsip lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jangka

pendek yang penting dalam suatu pemilihan umum tertentu ketimbang

kesetiaan jangka panjang kepada kelompok atau kepada partai yang lebih

penting daripada semua pemilihan umum.

16

(34)

Sekali lagi, penjelasan ini berguna untuk mejelaskan perbedaan pendekatan

rasional dengan pendekatan sosiologis dan psikologis. Tetapi penjelasan ini-dan juga

pendekatan rasional secara umum-perlu diberi catatan tambahan dengan merujuk

kepada Popkin. Bahwa para pemilih memang menyerap informasi tetapi mereka

tidak mencari dan mengolah informasi dengan aktif.

Mereka mendapat informasi sebagai produk sampingan dari berbagai aktifitas

sehari-hari. Mereka tidak memperoleh informasi yang cukup. Mereka juga tidak

memiliki waktu untuk memeriksa akurasi informasi yang diresapnya. Fenomena

inilah yang dipostulatkan Popkin sebagai hukum low-information rationality (rasionalitas berdasarkan informasi terbatas) atau gut-rationality (logika perut).

Walaupun ketiga pendekatan tersebut telah menjadi pakem yang menjadi

acuan dalam meneliti dan memahami perilaku pemilih dinegara-negara seperti

Amerika, Eropa dan Asia. Tetapi pendekatan ini, tampaknya tidak dapat secara

persis dapat diterapkan untuk memahami perilaku pemilih di Indonesia, karena

beberapa alasan, antara lain : Pertama, mazhab sosiologi terlalu menekankan peranan kelas (Marxian dan Weberian), sebagai faktor yang menentukan prefrensi

politik. Mazhab ini juga percaya bahwa kelas merupakan basis atau landasan

pengelompokan politik, sebab partai-partai politik tumbuh dan berkembang

berdasarkan kelompok-kelompok masyarakat yang berlainan karena kepentingan

ekonomi tertentu. Hal itu jelas tidak dikenal di Indonesia. Kalaupun terdapat “kelas

-kelas” dalam masyarakat, mereka lebih merupakan pemilahan dari kelompok yang

berkuasa (birokrat) dengan yang dikuasai (rakyat), serta pengelompokan berdasarkan

primordial. Kedua, mazhab psikologis menitik beratkan identifikasi kepartaian, khususnya sikap seseorang terhadap isu-isu politik, calon presiden atau anggota

(35)

memungkinkan berkembangnya isu-isu politik yang dapat menjadi pilihan alternatif,

mengingat masih dimungkinkannya dominasi isu politik oleh kekuatan sosial politik

tertentu. Ketiga, mazhab ekonomis atau rasionalitas perilaku pemilih dalam Pemilu, kurang realistis mengingat sebagian besar masyarakat belum mengenal dengan baik

calon-calon anggota parlemen dan isu-isu politik yang berkembang sehingga tidak

mungkin melakukan penelitian mengenai keuntungan dan kerugian yang diperoleh

karena pemilu lebih dipusatkan kepengenalan tanda gambar.

Mazhab Sosiologis digunakan untuk meneliti pemilahan masyarakat yang

secara besar dibagi dua kelompok yaitu penguasa (pimpinan) dan yang dikuasai

(anggota masyarakat). Selain itu pengelompokan masyarakat dari aspek tingkat

pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal (desa dan kota), dan lain-lain dapat membantu

menjelaskan perilaku pemilih di Indonesia.

Sementara itu, dengan penggunaan mazhab psikologis diharapkan dapat

memberikan prespektif internalisasi dan sosialisasi nilai budaya, adat istiadat dan

kebiasaan yang membentuk budaya politik masyarakat yang pada gilirannya akan

mempengaruhi perilaku pemilih. Penggabungan kedua pendekatan ini selanjutnya

disebut pendekatan sosio cultural.

Mazhab rasionalitas dapat memberikan kontribusi tentang berkembangnya

praktek politik uang yang sering dilakukan oleh si calon dalam mempengaruhi

massa. Untuk itu dapat diketahui apakah politik uang ini merupakan juga budaya si

pemilih dalam menjelang pemilu, atau itu merupakan imbas dari globalisasi yang

kesemuanya diukur dari uang, atau juga dapatdiketahui apakah politik uang

hanyamerupakan fenomena dari masyarakat dari negara yang sedang berkembang

(36)

1.5.3. Pemilih dan Pemilih Pemula

Pengertian pemilih dalam penelitian ini mengacu kepada Undang-Undang

Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dimana dijelaskan bahwa pemilih

adalah Warga Negara Indonesia yang telah memiliki hak pilih/hak bersuara dengan

memilih wakil rakyat yang dipercayai untuk duduk di lembaga pemerintahan.17

Syarat menjadi pemilih menurut UU No.12 Tahun 2003 Pasal 14 ayat 1-3 adalah :

1. WNI yang pada hari pemungutan suara telah berusia 17 tahun atau

sudah/pernah menikah.

2. Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.

3. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

4. Terdaftar sebagai pemilih.

5. Perubahan status dari anggota TNI atau Polri menjadi sipil/purnatugas

sehingga punya hak pilih

6. Apabila telah terdaftar dalam Daftar Pemilih namun tidak lagi memenuhi

syarat, maka ia tidak dapat menggunakan hak pilihnya.

7. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

8. Berdomisili di daerah tersebut sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum

disahkannya daftar pemilih sementara yang dibuktikan dengan Kartu Tanda

Penduduk (KTP).

Kategori tentang pemilih pemula menggunakan pengertian dari Kemitraan

Partnership for Governance Reforms yang menyebutkan bahwa pemilih pemula

17

(37)

adalah pemilih yang mengikuti pemilu untuk pertama kali yang berusia muda sekitar

17-22 tahun maupun yang belum berumur 17 tahun tapi sudah pernah menikah.

1.5.4. Isu Dalam Kampanye Politik

Kampanye politik adalah sebuah upaya yang terorganisir bertujuan untuk

memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih dan kampanye politik

selalu merujuk pada kampanye pada pemilihan umum.

Sedangkan kampanye dipilih sebagai salah satu variabel yang menjadi faktor

utama pemilih menentukan pilihannya pada pemilihan umum karena pada dasarnya

kampanye merupakan salah satu langkah kritis dalam pemilu. Dalam langkah ini,

kampanye dapat mempengaruhi perilaku memilih seseorang, dimana kampanye

berperan dalam menyampaikan isu-isu maupun program yang akan diangkat oleh

partai ataupun tokoh tertentu.

Kampanye pemilu menurut Santoso Sastropoetra pada dasarnya adalah

“penyebaran pesan dan mempunyai keinginan untuk membentuk dan mengubah

sikap, pendapat dan tingkah laku dari sesama manusia yang menjadi objeknya”.

Disamping itu kampanye pemilu adalah bentuk komunikasi politik yang “halal”

diselenggarakan oleh setiap partai politik.18

Sebagai suatu bentuk komunikasi, menurut A. W. Widjaja dalam kampanye

terdapat sejumlah unsur dan komponen yang memungkinkan bagi terjadinya

komunikasi. Unsur dan komponen tersebut adalah sumber source), komunikator/penyampai pesan (communicator), pesan (message), saluran (chanel), komunikan/penerima pesan (communican) dan hasil (effect). Sumber dapat dianggap

18

(38)

sebagai lembaga tetap atau partai politik peserta pemilu, sedangkan hasil akan

terlihat pada perilaku pemberian suara.19

Pesan dari kampanye adalah penonjolan ide bahwa sang kandidat atau calon

ingin berbagi dengan pemilih. Pesan sering terdiri dari beberapa poin berbicara

tentang isu-isu kebijakan. Poin ini akan dirangkum dari ide utama dari kampanye

dan sering diulang untuk menciptakan kesan abadi kepada pemilih. Dalam banyak

pemilihan, para kandidat partai politik akan selalu mencoba untuk membuat para

kandidat atau calon lain menjadi "tanpa pesan" berkaitan dengan kebijakannya atau

berusaha untuk pengalihan pada pembicaraan yang tidak berkaitan dengan poin

kebijakan atau program.

Menurut Lock dan Harris, kampanye politik bertujuan untuk pembentukan

image politik. Untuk itu Partai politik harus menjalin hubungan internal dan

eksternal.20 Hubungan Internal adalah suatu proses antara anggota-anggota partai

dengan pendukung untuk memperkuat ikatan ideologis dan identitas

partai Hubungan eksternal dilakukan untuk mengkomunikasikan image yang akan dibangun kepada pihak luar partai termasuk media massa dan masyarakat.

Kampanye politik harus dilakukan secara permanen ketimbang periodik.

Perhatian kampanye politik tidak hanya terbatas menjelang pemilu tetapi sebelum

dan sesudah Pemilu juga berperan penting. Sebagian besar strategis kampanye

menjatuhkan kandidat atau calon lain yang lebih memilih untuk menyimpan pesan

secara luas dalam rangka untuk menarik pemilih yang paling potensial. Sebuah pesan

yang terlalu sempit akan dapat mengasingkan para kandidat atau calon dengan para

pemilihnya atau dengan memperlambat dengan penjelasan rinci programnya. Dalam

tekhnik kampanye politik kemenangan kandidat atau calon yang dilakukan di dalam

19

A.W. Widjaja. Komunikasi dan Hubungan Masyarakat,. Jakarta. PT. Bumi Aksara. 2002. 20

(39)

jajak pendapatkan hanya dipergunakan sebagai agenda politik di kantor staf

pemenangan kandidat atau calon.

1.5.5. Identifikasi Kepartaian

Identifikasi kepartaian dipilih sebagai variabel penentu seorang pemilih

menentukan pilihannya pada pemilihan umum, karena sebagai sebuah negara yang

terdiri dari berbagai kelompok masyarakat atau etnis yang berbeda, maka pemilih di

Indonesia, seperti dijelaskan diatas, memiliki kecenderungan-kecenderungan tertentu

untuk mendasari hubungannya dengan sifat yang emosional dengan orang lain

seperti keluarga, tokoh bahkan organisasi tertentu.

Identifikasi kepartaian diartikan sebagai bentuk perasaan seseorang secara

personal terhadap partai yang dipilihnya. Faktor identifikasi kepartaian adalah faktor

jangka panjang yang penting dalam mempengaruhi pemberian suara pada pemilu.

Metode Michigan menekankan pada aspek psikologis dari identifikasi kepartaian

bahwa orang belajar mengidentifikasi partai politik melalui proses sosialisasi

gradual, kemudian pembentukan identifikasi kepartaian tersebut dianggap sama

dengan cara seseorang mengembangkan afiliasi keagamaan pada masa kanak-kanak.

Lebih lanjut Campbell menyatakan bahwa pemilih mengidentifikasikan diri mereka

dan ini mempengaruhi serta menentukan perilaku pemilih.

1.5.6. Orientasi Terhadap Kandidat

Orientasi terhadap kandidat dipilih sebagai variabel karena dalam

pelaksanaan pemilihan langsung seperti yang dilaksanakan pada Pemilihan Gubernur

dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013 ini, pengenalan diri kandidat sangat

(40)

terpengaruh untuk memilih kandidat itu. Popularitas dan reputasi seorang kandidat

memegang kunci penting dalam hal ini.

Dalam metode Michigan, orientasi terhadap kandidat menjadi variabel

dominan dalam memilih. Pengetahuan pemilih terhadap keberadaan kandidat akan

berdampak pada hasil yang diperoleh kandidat tersebut dalam pemilihan. Biasanya

pemilih akan memilih kandidat yang mereka kenal dan itu berarti popularitas

dibutuhkan agar masyarakat dapat memilih kandidat itu, selain itu reputasi dan

kemampuan (capability) kandidat juga memegang peranan penting.

Orientasi terhadap kandidat menjadi penting dalam sistem pemilihan

langsung. Biasanya kandidat yang memiliki reputasi yang baik dihadapan

pemilihnya akan berpeluang dipilih. Apalagi kandidat yang berasal dari partai yang

memerintah akan memiliki peluang yang lebih besar menempati jabatan-jabatan

politik tertentu dibanding partai oposisi.

1.5.7. Pemilihan Umum (Pemilu)

1. Pengertian Pemilihan Umum (Pemilu)

Berdasarkan UUD 1945 Bab I Pasal 1 ayat (2) kedaulatan berada di tangan

rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam demokrasi moderen

yang menjalankan kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat yang ditentukan sendiri

oleh rakyat. Untuk menentukan siapakah yang berwenang mewakili rakyat maka

dilaksanakanlah pemilihan umum. Pemilihan umum adalah suatu cara memilih

wakil-wakil rakyat yang akan duduk dilembaga perwakilan rakyat serta salah satu

pelayanan hak-hak asasi warga negara dalam bidang politik.21

(41)

Dalam Undang-Undang Repubilik Indonesia Nomor 22 tahun 2007 tentang

penyelenggara pemilihan umum dinyatakan bahwa pemilihan umum, adalah sarana

pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil dalam NegaraKesatuan Republik Indonesia berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu hak asasi warga negara yang

sangat prinsipil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi adalah suatu

keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilu. Sesuai dengan asas bahwa

rakyatlah yang berdaulat maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat

untuk menentukannya. Adalah suatu pelanggaran suatu hak asasi apabila pemerintah

tidak mengadakan pemilu atau memperlambat pemilu tanpa persetujuan dari

wakil-wakil rakyat.22

Dari pengertian diatas bahwa pemilu adalah sarana mewujudkan pola

kedaulatan rakyat yang demokratis dengan cara memilih wakil-wakil rakyat,

Presiden dan Wakil Presiden serta kepala daerah secara langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil. Karena pemilu merupakan hak asasi manusia maka pemilu

2009 warga negara yang terdaftar pada daftar calon pemilih berhak memilih

langsung wakil-wakilnya Presiden dan Wakil Presidennya dan juga memilih

langsung kepala daerah, kemudian dijabarkan dalam UU RI Nomor 22 tahun 2007

bahwa pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat sesuai dengan

amanat konstitusional yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,

jujur, dan adil dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui pemilu

dan hasilnya, masyarakat mengharapkan perubahan yang berarti untuk memperbaiki

kehidupan mereka sehari-hari.

22

(42)

2. Asas Pemilihan Umum

Berdasarkan pasal 22 E ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,

jujur, dan adil. Pengertian asas pemilu adalah :

a. Langsung

Yaitu rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk secara langsung

memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

b. Umum

Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam

usia, yaitu sudah berumur 17 tahun atau telah pernah kawin, berhak ikut

memilih dalam pemilu. Warga negara yang sudah berumur 21 tahun berhak

dipilih dengan tanpa ada diskriminasi (pengecualian)

c. Bebas

Setiap warga negara yang memilih menentukan pilihannya tanpa tekanan dan

paksaan dari siapapun/dengan apapun. Dalam melaksanakan haknya setiap

warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan

kehendak hati nurani dan kepentingannya.

d. Rahasia

Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan

diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan

suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada

siapapun suarnanya akan di berikan.

e. Jujur

Dalam penyelenggaraan pemilu setiap penyelenggara/pelaksana pemilu,

(43)

termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung harus

bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

f. Adil

Berarti dalam penyelenggaraan pemilu setiap pemilih dan parpol peserta pemilu

mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

Gambar

Tabel 1.1 Populasi Penelitian
Tabel 1.2 Jumlah Sampel Di Tiap Desa/Kelurahan
Tabel 2.1 Luas Desa dan Kelurahan di Kecamatan Tiga Binanga
Tabel 2.2 Camat Tigabinanga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tentang aktivitas penangkap radikal ekstrak etanol, fraksi-fraksi kulit buah dan biji rambutan serta penetapan kadar fenolik dan flavonoid totalnya perlu untuk

Latar belakang: Penyakit ginjal kronik (PGK) sebagai akibat kerusakan struktural dan fungsional ginjal memiliki progresifitas tinggi berlanjut sebagai end stage

Berdasarkan data yang diperoleh dari kedua lokasi di Desa Besole dan Desa Tanggul Kundung, bentuk penyampaian kiai dalam melakukan pembelajaran dalam rangka membelajarkan

Ada satu permasalahan yang terjadi di dalam proses pengadaan barang/jasa yang ada di UPN “Veteran” Jawa Timur yaitu dengan proses pengajuan yang masih manual, biasanya

Skripsi Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual .... Dian

Sedangkan menurut istilah, term amanah mempunyai makna yang luas, karena mencakup hal-hal yang berkaitan tentang hubungan interpersonal antara manusia dan sang Maha

BPIW Kementerian PUPR Hadi Sucahyono menambahkan fokus pelaksanaan Rakorbangwil untuk mendapatkan rumusan Kawasan Strategis Prioritas dan Usulan Program Prioritas