• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Kitosan dengan Penambahan Ekstrak Bawang Putih sebagai Pengawet dan Edible Coating Bakso Sapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Kitosan dengan Penambahan Ekstrak Bawang Putih sebagai Pengawet dan Edible Coating Bakso Sapi"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

COATING BAKSO SAPI

HANA NUGRAHA SAPTARINI SRI HADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa penelitian Aplikasi Kitosan dengan Penambahan Ekstrak Bawang Putih sebagai Pengawet dan Edible Coating Bakso Sapi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang ditertibkan maupun tidak ditertibkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

(3)

HANA NUGRAHA SAPTARINI SRI HADI. The Application of Chitosan Enriched with Garlic Extract as Natural Preservative Agent and Edible Coating of Beef Meatball. Supervised by RIZAL SYARIEF, NUGRAHA EDHI SUYATMA

Chitosan is biopolymer derived by deacetylation of chitin, a major component of the shell of crustacean such crab, shrimp and crawfish. Chitosan is suitable as natural preservative and antimicrobial of edible coating. The applications of chitosan in food industries for food formulation for binding, gelling and thickening and stabilizing agent. Chitosan has the antimicrobial activity that can inhibit the growth of bacteria and fungi.

The objectives of the research were to enchance the antimicrobial capacity of chitosan by adding garlic extract and to apply it for extending the shelf life of beef meatball. Antimicrobial activities of chitosan and chitosan enriched with garlic extract were assessed by agar diffusion methods. It showed that chitosan solutions of 1% (w/v) enriched with garlic extract 2% (v/v) could inhabited

Pseudomonas aureginosa and Bacillus cereus. The application chitosan enriched with garlic extract as preservative shelf life agent could extend the shelf life of meatball only for 12 hours while its application of chitosan as edible coating could extended the shelf life of meatball until 24 hours for the same condition (stored at room temperature).

This result revealed that the application of chitosan with or without garlic extract as edible coating were more effective in controlling microbiological growth in meatball than as preservative agent. The physical analysis of the final product showed that the application of chitosan as preservative agent could increase the gel strength of meatball due to its gelling properties. The microstructure of meatball surface ware observed with SEM. The micrographs showed that the surface of meatball coated with chitosan were more smooth and compact that those of meatball without coatings.

(4)

HANA NUGRAHA SAPTARINI SRI HADI. Aplikasi Kitosan dengan Penambahan Ekstrak Bawang Putih sebagai Pengawet dan Edible Coating Bakso Sapi. Dibimbing oleh Rizal Syarief dan Nugraha Edhi Suyatma

Kitosan merupakan produk hasil deasetilasi kitin dan beberapa studi telah membuktikan kemampuan kitosan sebagai antimikroba. Penambahan ekstrak bawang putih dalam larutan kitosan membantu meningkatkan penghambat pertumbuhan mikroba tanpa mempengaruhi komponen-komponen yang terdapat pada kitosan. Kemampuan ekstrak bawang putih dalam menghambatan pertumbuhan mikroba didukung oleh kandungan senyawa allisin yang bersifat antimikroba.

Penelitian ini bertujuan pengujian kitosan terhadap aktifitas antimikroba dengan penambahan ekstrak bawang putih, pengaruh keduanya (kitosan dengan ekstrak) yang diaplikasikan dalam adonan dan sebagai edible coating terhadap kualitas bakso, serta mengetahui mikrostruktur bakso yang terlapisi (edible coating) kitosan.

Pada penelitian ini, kitosan dan penambahan ekstrak bawang putih diuji daya antimikroba pada bakteri bakteri uji (Bacillus cereus dan Pseudomonas fluorescens) dengan metode uji difusi agar. Perlakuan yang diukur adalah kitosan dengan konsentrasi kitosan 1% dan kitosan 1% dengan penambahan ekstrak bawang putih sebesar 2%, kemudian kombinasi kitosan tersebut diaplikasikan pada adonan bakso dan sebagai edible coating dengan lama penyimpanan pada rentang waktu 0, 12, 24, 36 jam. Parameter yang diukur adalah pengukuran secara kimiawi, fisik dan organoleptik.

Penambahan ekstrak bawang putih sebesar 2% pada larutan kitosan 1% mampu meningkatkan penghambatan bakteri uji (Pseudomonas aureginosa dan

Bacillus cereus) dengan zona penghambatan yang lebih besar dibandingkan hanya menggunakan larutan kitosan 1% tanpa penambahan ekstrak.

Penambahan kitosan dengan ekstrak bawang putih pada adonan mempertahankan umur simpan selama 12 jam. Sedangkan bakso dengan perlakuan edible coating mencapai umur simpan selama 24 jam. Penurunan mutu selama penyimpanan pada kedua perlakuan (adonan dan edible coating) disertai dengan penurunan nilai pH, tekstur sebaliknya akan meningkatkan aw, warna, nilai total mikroba. Berdasarkan lamanya penyimpanan dapat dilihat bahwa edible coating mampu mempertahankan umur simpan lebih lama dibandingkan dengan penambahan kitosan dalam adonan bakso.

(5)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1.Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan narasumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

BAWANG PUTIH SEBAGAI PENGAWET DAN EDIBLE

COATING BAKSO SAPI

HANA NUGRAHA SAPTARINI SRI HADI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

NRP : F 251050211

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA

Ketua Anggota

Diketahui

Tanggal Lulus : Tanggal Ujian : 14 Agustus 2008 Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Dr. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

(8)

sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan sebaik- baiknya. Penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini terselenggara atas bantuan berbagai pihak sehingga ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan membantu penulis selama penelitian, Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu membimbing dan membantu penulis dalam mengevaluasi penelitian hingga selesai. Terimakasih diucapkan kepada Ketua Program studi Ilmu Pangan (IPN) Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc atas segala bantuan, perhatian dan dukungan kepada penulis menempuh studi di Program Studi Ilmu Pangan

Papa dan Mama, Dik Dian, Adek Ira yang telah membatu memberikan doa dan semangat kepada penulis selama penelitian sampai penulisan tesis ini.

Teman seperjuangan Erni Danggi yang selalu bersama-sama dengan penulis dari penelitian sampai penyusunan tesis ini. Teman-teman di program studi Ilmu pangan angkatan 2005 (Akhyar, Feni, Chintya, Ema, Heni, Jonathan, Dian, Erismar, Fitri, Mba Anti, Mba Indah, Mba Rini, , Mba Friska, Lita dan Pak Welli), teman- teman angkatan 2006 (Yoga dan Mba Ita).

(9)

disempurnakan menjadi lebih baik.

Bogor, Agustus 2008

(10)

pasangan Bapak Sri Hadi dan Ibu Mariyana sebagai anak pertama dari 3 bersaudara.

(11)
(12)
(13)

3.3.7.6 Pengukuran Aktivitas Air... 28

DAFTAR PUSTAKA... 74

(14)

1 Penentuan Derajat Deasetilasi dengan FTIR... 6

2 Standar Bakso Daging Berdasarkan SNI 01-3818-1995... 15

3 Pengaturan Texture Analyzer TA-XT2i... 28

4 Karakteristik Kitosan Komersil... 33

5 Diameter Zona Penghambat Asam Laktat dan Ekstrak... 34

6 Diameter Zona Penghambatan Bakteri... 36

7 Data Proksimat Produk Bakso... 40

8 Hasil Pengamatan Visual Bakso dengan Penambahan Kitosan 9 dan Ekstrak... 41

10 Data Proksimat Edible Coating Bakso... 56

(15)

1 Limbah Kulit Udang... 4

2 Struktur Kimia Kitin dan Kitosan... 4

3 Konversi Senyawa Kitin menjadi Kitosan... 5

4 Tahapan Pembuatan Kitosan... 8

5 Tahapan Penelitian... 23

6 Tahapan Pembuatan Bakso Tanpa Penambahan Kitosan dan Ekstrak Bawang Putih... 24

7 Tahapan Pembuatan Bakso dengan Penambahan Kitosan dan Ekstrak Bawang Putih... 25

8 Tahapan Pembuatan Bakso sebagai edible Coating dengan Penambahan Kitosan dan Ekstrak Bawang Putih... 26

9 Kitosan Komersil... 32

10 Zona Penghambatan Antibakteri Kitosan 1% dan Kitosan 1% dengan Penambahan Ekstrak 2% pada Bakteri B. Cereus dan P.Aureginosa... 39

11 Grafik aw Bakso... 42

12 Grafik pH Bakso... 44

13 Grafik Kecerahan Bakso... 45

14 Grafik Kekerasan Bakso... 46

15 Grafik Kekenyalan Bakso... 48

16 Grafik Daya Iris Bakso... 49

17 Grafik TPC Bakso... 50

18 Histogram Nilai Warna Bakso... 52

19 Histogram Nilai Kekenyalan Bakso... 53

20 Histogram Penerimaan Umum Bakso... 54

21 Aplikasi Kitosan sebagai Edible Coating... 55

22 Grafik aw Bakso... 58

23 Grafik pH Bakso... 59

24 Grafik Kecerahan Bakso... 60

25 Grafik Kekerasan Bakso... 62

(16)

29 Histogram Nilai Warna Bakso... 67 30 Histogram Nilai Kekenyalan Bakso... 68 31 Histogram Penerimaan Umum Bakso... 69 32 Mikrostruktur Edible coating baksodengan kitosan

(17)

1 Sifat dan Karakteristik Kitosan... 81 2 Larutan Kitosan... 82 3 Zona Penghambatan Antimikroba Kitosan dan Ekstrak pada B. cereus... 83 4 Zona Penghambatan Antimikroba Kitosan dan Ekstrak pada

P.aureginosa...... 84 5 Aplikasi Edible Coating pada Bakso... 85 6 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Diameter Penghambatan

P.aureginosa...... 86 7 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Diameter Penghambatan

B. cereus...... 87 8 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan aw Bakso... 88 9 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan pH Bakso... 89 10 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Nilai Kecerahan (L)

Bakso... 90 11 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Nilai Kekerasan

Bakso... 91 12 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Nilai Kekenyalan

Bakso... 92 13 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Nilai Daya Iris

Bakso... 93 14 Hasil Analisis Statistik Organoleptik Atribut Warna Pada Bakso ... 94 15 Hasil Analisis Statistik Organoleptik Atribut Kekenyalan pada Bakso

... 95 16 Hasil Analisis Statistik Organoleptik Penerimaan Umum pada Bakso

... 96 17 Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan awEdible Coating Bakso... 97 18 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan pH Edible Coating

Bakso... 98 19 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Nilai Kecerahan (L)

(18)

21 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Nilai Kekenyalan

Edible Coating Bakso... 101 22 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Nilai Daya Iris

pada Edible Coating Bakso... 102 23 Hasil Analisis Statistik Organoleptik Atribut Warna

pada Edible Coating Bakso ... 103 24 Hasil Analisis Statistik Organoleptik Atribut Kekenyalan pada Edible

Coating Bakso ... 104 25 Hasil Analisis Statistik Organoleptik Penerimaan Umum pada

(19)

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara bahari yang memiliki potensi produksi hasil

laut yang cukup tinggi. Produksi hasil laut yang cukup tinggi ini, menjadikan

Indonesia memiliki potensi sumber bahan baku produksi kitin yang cukup besar.

Kitin dihasilkan dari limbah industri pengolahan crustacea seperti udang, kerang

dan kepiting yang memanfaatkan cangkang dan kulitnya. Angka dan Suhartono

(2000) menyebutkan bahwa cangkang dari crustacea mengandung 40-60% kitin.

Menurut Muzzarelli (1994) kandungan kitin pada cangkang kepiting sebesar 70%,

sedangkan cangkang udang mengandung kitin sebesar 35% (No dan Mayer,

1997).

Kitosan memiliki sifat yang mudah mengalami degradasi secara biologis,

tidak beracun, merupakan kation kuat, flokulan, koagulan yang baik dan mudah

membentuk membran atau film. Kitosan banyak digunakan sebagai bahan

pengental, pengikat, penstabil, pembentuk tekstur dan pembentukan gel. Kitosan

juga memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen

seperti E. coli. Konsentrasi larutan kitosan sebesar 150 ppm sampai 200 ppm

memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik)

sedangkan untuk konsentrasi larutan kitosan lebih dari 200 ppm mempunyai sifat

membunuh pertumbuhan bakteri (bakteriosidal). Kemampuan kitosan dalam

menghambat pertumbuhan bakteri, kapang dan khamir dapat diaplikasikan

sebagai pengawet dan pelapis (edible coating) pada produk pangan. Kitosan yang

ditambahkan dengan garlic oil pada pembuatan edible film dapat meningkatkan

kemampuan antimikroba sehingga tidak berpengaruh terhadap sifat mekanik dan

fisik film kitosan (Pranoto et al. 2005). Kombinasi kitosan dan ekstrak bawang

putih diharapkan dapat meningkatkan mutu produk pangan, karena bawang putih

memiliki kandungan senyawa antimikroba dan antioksidan.

Kemampuan kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih sebagai

pengawet kemudian akan diaplikasikan pada bakso, hal ini dikarenakan bakso

mempunyai masa simpan yang relatif singkat pada suhu kamar. Keawetan dari

(20)

Penyimpanan dan pemasaran bakso di pasar tradisional umumnya ditempatkan

pada suhu ruang dengan kondisi lingkungan yang kurang hegienis, sehingga

keawetan produk kurang dari dua hari, sedangkan penyimpanan bakso di pasar

swalayan mengandalkan fasilitas pendingin atau pembekuan sehingga umur

simpan bakso dapat lebih dari satu bulan. Kandungan nutrisi yang tinggi pada

daging sebagai bahan utama bakso dan aW bakso sebesar 0.99 menyebabkan

produk bakso memiliki daya simpan yang sangat singkat. Salah satu usaha untuk

memperpanjang masa simpan bakso adalah dengan penambahan bahan pengawet.

Pengawet yang digunakan dalam produk pangan adalah pengawet kimia

berbahaya yang berakibat sangat berbahaya untuk kesehatan dalam jangka

panjang. Bahan pengawet yang banyak dipakai yaitu boraks dan formalin. Dinas

perindustrian perdagangan dan koperasi (Disperindagkop) serta Dinas Agribisnis

kota Bogor melakukan survei pada bulan Oktober 2007 ke sejumlah pasar

tradisional dan swalayan, menemukan adanya pemakaian formalin dan boraks

pada beberapa bahan pangan diantaranya seperti bakso (Anonim 2007). Harjanto

(2000) melakukan survei salah satu industri bakso dengan kapasitas 200.000 butir

bakso per hari menggunakan pengawet formalin sebagai pengawet yang

ditambahkan pada saat perebusan akhir. Peraturan menteri kesehatan RI

no.22/Menkes/Per/IX/1988 menyatakan bahwa bahan tersebut sangat

membahayakan kesehatan dan tidak layak digunakan untuk campuran produk

pangan, sehingga perlu upaya menggunakan bahan pengawet lain yang mampu

memperpanjang umur simpan. Bahan pengawet yang juga sering ditambahkan ke

dalam bakso adalah benzoat. Benzoat sebenarnya hanya efektif pada pH rendah

sekitar 2.5 – 4.0 sedangkan bakso memiliki pH sekitar 6.0. Bahan pengawet ini

ditambahkan untuk memperpanjang masa simpan bakso (Winarno, 1997)

Penambahan kitosan dan ekstrak bawang putih dapat digunakan sebagai

alternatif pengawet alami pengganti borak dan formalin dan diharapkan bakso

yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik dan mampu memperpanjang umur

(21)

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mengkarakterisasi kitosan komersil dan pengujian kitosan terhadap

aktifitas antimikroba dengan penambahan ekstrak bawang putih.

2. Mengetahui pengaruh kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih

dan tanpa penambahan ekstrak bawang putih dalam adonan serta sebagai

edible coating pada suhu ruang terhadap kualitas bakso.

3. Mengetahui mikrostruktur bakso yang terlapisi (edible coating) kitosan.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah kitosan dengan

penambahan ekstrak bawang putih memiliki kemampuan meningkatkan aktifitas

antimikroba sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami

khususnya pada produk bakso.

1.4 Hipotesis

Kitosan dengan penambahanekstrak bawang putih dapat mempertahankan

mutu dan memperpanjang umur simpan bakso pada suhu ruang karena daya

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KITOSAN

Kitosan merupakan produk hasil deasetilasi kitin, senyawa kitin banyak

terdapat pada eksoskeleton dari crustacea seperti udang (Gambar 1). Eksoskeleton

dari crustacea mengandung senyawa kitin sebesar 10-55% (berat basis kering)

(Muzzarelli et al. 1994).

Gambar 1 Limbah kulit udang

Kitin merupakan biopolimer dari β-(1,4)-N-asetil-D-glukosamin (GlcNAc) (Gambar 2). Polimer kitin berbentuk miofibril berdiameter sekitar 3 nm yang

distabilkan oleh ikatan hidrogen antara gugus amina dan karboksil (Gooday1990).

(a) (b)

Gambar 2 Struktur kimia kitin (a) struktur kimia kitosan (b)

Proses deasetilasi yaitu proses penghilangan gugus asetil dari kitin

menjadi kitosan dengan proses kimiawi dan enzimatis. Proses deasetilasi secara

kimiawi dilakukan dengan penambahan NaOH sedangkan deasetilasi secara

enzimatis menggunakan enzim kitin deasetilase ( Chang et al. 1997).

Deasetilasi kitin akan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif

dan menghilangkan gugus asetil sehingga kitosan bersifat polikationik. Adanya

(23)

menyebabkab kitosan memiliki kemampuan sebagai pengawet, penstabil warna,

flokulan, dan pengawet benih (Shahidi et al. 1999). Konversi senyawa kitin

menjadi kitosan dapat dilihat pada Gambar 3. Proses dan bahan utama yang

digunakan untuk menghasilkan kitosan akan berpengaruh pada sifat kimia, fisik

dan fungsional yang berbeda (Rhazi et al. 2004). Proses pembuatan kitosan dapat

dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3 Konversi senyawa kitin menjadi kitosan (Nadarajah et al. 2002)

2.2 KARAKTERISTIK KITOSAN

Kitosan memiliki sifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam larutan

asam dengan pH kurang dari 6 dan asam organik seperti asam asetat, asam format,

asam laktat. Kitosan larut dalam 1% asam hidroklorit tetapi sukar larut dalam

asam sulfur dan asam fospat. Kitosan dapat dikarakterisasi berdasarkan pada

kualitasnya, sifat instrinsik seperti kejernihan atau kemurnian, berat molekul,

viskositas, dan derajat deasetilasi (Sanford 1989). Sifat dan kateristik kitosan

(24)

Tabel 1 Sifat dan karakteristik kitosan

Sifat Nilai

Ukuran partikel Serpihan sampai bubuk

Kadar air (% berat kering) ≤ 10%

Kadar abu (% berat kering) ≤ 2%

Warna Larutan Jernih

Derajat deasetilasi ≥ 70%

Mutu kitosan dipengaruhi oleh derajat deasetilasi. Derajat deasetilasi

merupakan suatu parameter mutu kitosan yang menunjukan persentase gugus

asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitin. Pelepasan gugus asetil kitosan

menyebabkan kitosan bermuatan positif yang mampu mengikat senyawa yang

bermuatan negatif seperti protein, anion dari polisakarida yang kemudian

membentuk ion netral (Suhartono, 1989).

Parameter mutu kitosan khususnya derajat deasetilasi dapat digunakan

untuk menentukan pemakaiannya di industri, untuk industri pengolahan kitosan

menggunakan kitosan dengan DD ≥ 70%, sedangkan untuk industri kosmetik

kitosan yang digunakan memiliki DD ≥ 80% dan bidang biomedis dibutuhkan

kitosan yang memiliki DD ≥ 90% (Tsugita 1997).

Derajat deasetilasi sangat penting untuk menentukan karakteristik dari

kitosan yang akan mempengaruhi untuk aplikasi produk. Waktu dan suhu selama

proses deasetilasi juga berpengaruh terhadap hasil akhir. Waktu deasetilasi yang

lama dengan suhu yang tinggi menyebabkan terjadinya penurunan rendemen

kitosan, berat molekul kitosan, viskositas dan kemampuan mekanik film kitosan

(Bastaman 1989).

Derajat deasetilisasi kitosan dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH dan suhu

proses (Benjakul dan Sophanodora 1993). Perendaman dalam larutan NaOH

bertujuan mengubah konfirmasi kristalin kitin yang rapat sehingga enzim mudah

berpenetrasi untuk mendeasetilasi polimer kitin (Martinou et al. 1995). Menurut

(25)

sebesar 84% dibutuhkan pemanasan pada suhu 130°C selama 4 jam atau suhu

120°C selama 6 – 7 jam. Perendamanan dengan NaOH selain dapat meningkatkan derajat deasetilasi dapat juga mengakibatkan terjadinya depolimerisasi, oleh

karena itu perendaman dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dan waktu

yang singkat. Chang et al. (1997) menemukan bahwa laju deasetilasi yang

optimum diperoleh dengan konsentrasi NaOH sebesar 60% sedangkan Rochima

(2005) menjelaskan perendaman kitosan dengan larutan NaOH 50%

menghasilkan derajat deasetilasi mencapai 99%.

Beberapa metode digunakan untuk menentukan derajat deasetilisasi

diantaranya adalah linear potentiometric titration (Ke dan Chen, 1990), infrared

spectroscopy (Baxter et al. 1992), nuclear magnetic resonance spectroscopy

(Hirai et al.1991), pyrolysis-mass spectrometry (Nieto et al.1991), first derivative

UV-spectrophotometry (Muzzarelli dan Rocchetti, 1985) dan titrimetry (Raymond

et al. 1993).

Berat molekul dan viskositas kitosan dipengaruhi oleh bahan baku utama

pembuatan kitosan. Berat molekul kitosan ditentukan dengan metode

kromatografi (Bough and others 1978), light scattering (Muzzarelli, 1977) dan

visikometri, (Maghami and Roberts, 1988). Kitosan memiliki berat molekul antara

100.000 Da dan 12.000.000 kDa (Li et al. 1992).

Viskositas kitosan tergantung dari berat molekul kitosan, konsentrasi

larutan, tingkat deasetilasi, pH dan suhu. Tinggi rendahnya viskositas dari kitosan

dapat terjadi selama proses ekstraksi kitosan. Viskositas kitosan akan meningkat

dengan meningkatnya waktu demineralisasi. No et al. (1999) menyebutkan

viskositas kitosan dipengaruhi oleh perlakuan fisik seperti (penggilingan,

pemanasan, autoklaf, ultrasonik) dan perlakuan kimia (ozon) yang diiringi dengan

(26)

Gambar 4 Tahapan pembuatan kitosan ( No dan Meyers, 1995)

Cangkang crustacea

Pencucian dan pengeringan

Penggilingan dan penyaringan

Deproteinasi

Pencucian

Demineralisasi

Pencucian

Decolorasi

Pencucian dan Pengeringan

Deasetilasi

Pencucian dan Pengeringan

KITOSAN

3.5% NaOH 1:10 (w/v) Selama 2 jam 65°C,

1 N HCl 1:15 (w/v) selama 30 menit pada suhu ruang

Bleanching dengan 0.315% NaOCl 1:10 (w/v) selama 5 menit pada suhu ruang,

(27)

2.3 SIFAT ANTIMIKROBA KITOSAN

Kitosan memiliki sifat biodegradable dan biokompetibel, tidak

mengandung racun dan banyak digunakan dalam industri. Kitosan dan turunannya

merupakan antimikroba alami dan beberapa studi telah membuktikan kemampuan

kitosan sebagai antimikroba. Secara umum mekanisme penghambatan senyawa

antimikroba diklasifikasikan menjadi 3 yaitu: (1) Interaksi dengan menghambat

membran sel, (2) inaktifasi enzim- enzim (3) perusakan bahan-bahan genetik

mikroba (Coma, 2002)

Menurut Thatte (2004) sifat kitosan sebagai antimikroba dipengaruhi oleh

beberapa hal diantaranya yaitu sumber kitosan, derajat deasetilasi (DD) kitosan,

unit monomer kitosan, mikroba uji, pH media tumbuh mikroba dan kondisi

lingkungan ( kadar air, nutrisi yang dibutuhkan mikroba). Sifat antibakteri kitosan

dengan berat molekul 479 kDa efektif untuk bakteri gram positif kecuali pada

Lactobacillus sp, sedangkan kitosan dengan berat molekul 1106 kDa lebih efektif

untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. Kitosan dengan berat

molekul yang lebih besar dari 500 kDa memiliki aktivitas antibakteri yang kurang

efektif dibandingkan dengan kitosan yang memiliki berat molekul yang rendah,

hal ini dikarenakan kitosan dengan berat molekul tinggi memiliki viskositas yang

lebih besar menyebabkan kitosan sulit untuk berdifusi dalam bahan.

Umumnya kitosan memiliki efek bakterisidal lebih kuat untuk bakteri

gram positif seperti (Listeria monocytogenes, Bacillus megaterium, B. cereus,

Staphylococcus aureus, Lactobacillus plantarum, L. brevis, and L. bulgaris)

dibandingkan bakteri gram negatif seperti (E.coli, Pseudomonas fluorescens,

Salmonella typhymurium, dan Vibrio parahaemolyticus) dengan konsentrasi

kitosan yang dibutuhkan sebesar 0,1% (No et al. 2002).

Mekanisme penghambatan pertumbuhan Gram negatif oleh kitosan

diperlihatkan menggunakan Transmission Electron Micrography (TEM), dimana

permukaan sel bakteri yang memiliki muatan negatif lebih banyak akan

menghasilkan interaksi dengan kitosan, semakin banyak muatan negatif pada

permukaan sel, maka semakin banyak kitosan yang diserap sehingga akan

(28)

Menurut Helander et al. (2001) yang mengamati mekanisme kitosan pada

bakteri menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa kitosan merusak

pelindung membran luar bakteri gram negatif, sehingga menyebabkan terjadinya

perubahan sel dan menutupi membran luar bakteri dan struktur vesikular. Kitosan

yang berikatan dengan membran luar yang menyebabkan kehilangan fungsi

barrier dan membran sel bakteri. Sifat ini memungkinkan kitosan diaplikasikan

sebagai pelindung atau pengawet makanan.

2.4 EKSTRAK BAWANG PUTIH

Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan meningkatkan cita

rasa produk. Bawang putih menghasilkan minyak yang mengandung dialliiyl

sulfide. Kata allyl berasal dari allium bawang putih. Identifikasi basis utama

minyak bawang putih yaitu mengandung diallyl sulfide sebanyak 60% dan 20%

diallyil trisulfida serta bagian sulfur lain. Bawang putih memiliki minyak volatil

tidak lebih dari 0,2% dari berat bawang putih segar (Farrell, 1990). Minyak

bawang putih dihasilkan dihasilkan dengan cara destilasi uap. Minyak bawang

putih berwarna bening sampai kuning muda. Komponen utama minyak bawang

putih adalah diallil disulfide (15%) dan diallil trisulfida (30%).

Bawang putih mengandung senyawa kimia yang disebut dengan allisin.

Kandungan allisin pada umumnya ditemukan sekitar 50% lebih besar dari pada

kandungan minyak. Alisin memiliki sifat bakterisidal dan cenderung tidak stabil.

Hanya beberapa hari saja dapat berubah menjadi senyawa sulfur yang berminyak

dan berbau tajam, seperti diallyl disulfida. Diallyl disulfidamerupakan kandungan

utama pada bawang putih. Senyawa ini menghambat pertumbuhan bakteri

Stapyllococcus aureus pada konsentrasi ekstrak bawang putih sebesar 2% dan

diinaktifkan pada konsentrasi 5% (Wilson dan Droby, 2001). Ekstrak bawang

(29)

2.5 EDIBLE COATING

Edible film dan edible coating terdiri dari tiga komponen penyusun yaitu

hidrokoloid, lemak dan komposit (gabungan antara hidrokoloid dan lemak).

Hidrokoloid banyak diperoleh dari polimer polisakarida seperti pati, alginat,

pektin, gum arabik, sedangkan hidrokoloid yang berbasis protein atau turunannya

diantaranya gelatin, casein, protein kedelai, whey, gluten gandum dan zein jagung

(Krochta et al. 1994). Komponen lemak yang sering digunakan diantaranya lilin

asilgliserol dan asam lemak lain seperti asam palmitat, asam laurat, asam oleat,

asam stearet dan asam oktanoat.

Edible coating adalah lapisan tipis bahan yang dibentuk secara langsung

dengan mencelupkan (dipping), penyemprotan (spraying) pada permukaan produk

makanan yang bertujuan melindungi serta meningkatkan nilai tambah dari produk.

Selain itu tujuan pengggunaan edible film atau edible coating adalah untuk

mencegah migrasi uap air, gas, aroma dan lipid yang membawa ingredient

makanan seperti antioksidan, antimikroba dan flavor (Krochta, 1997). Gannadios

(2002) mendefenisikan edible coating merupakan lapisan tipis yang dapat

dimakan yang digunakan pada makanan dengan cara pengukusan, pencelupan

atau penyemprotan untuk memberikan penahan yang selektif terhadap

pemindahan gas, uap air dan perlindungan terhadap kerusakan mekanik. Edible

coating biasanya langsung digunakan dan dibentuk diatas permukaan produk

seperti buah- buahan dan sayuran untuk meningkatkan mutu produk hal yang

sama juga disampaikan oleh McHugh dan Senesi (2000) yang menyebutkan

bahwa Edible coating berfungsi sebagai penahan (barrier) dalam pemindahan

panas, uap air, O2 dan CO2 atau dengan adanya penambahan bahan tambahan

seperti bahan pengawet dan zat antioksidan maka dapat dikatakan kemasan

tersebut memiliki kemampuan antimikroba dan antioksidan.

Beberapa teknik aplikasi dalam edible coating diantaranya adalah:

1. Pencelupan (dipping)

Proses ini biasanya digunakan dalam produk yang memiliki permukaan

kurang rata. Setelah pencelupan kelebihan bahan setelah coating biasanya

(30)

coating menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk

ternak buah dan sayuran.

2. Penyemprotan (sprying)

Teknik ini menghasilkan produk dengan lapisan tipis dan biasa digunakan

untuk produk yang mempunyai dua sisi, seperti pada produk pizza.

3. Pembungkusan

Teknik ini digunakan untuk pembentukan film yang berdiri sendiri atau

terpisah dari produk. Teknik ini diabsobsi dari teknik yang dikembangkan

untuk yang bukan pelapisan

4. Pemolesan (brushing).

Teknik ini digunakan untuk memoleskan edible coating pada produk Wong

et al. (1994) menyatakan bahwa secara teoritis, bahan edible coating harus

memiliki sifat (1) menahan kehilangan kelembaban produk (2) Memiliki

permeabilitas selektif terhadap gas tertentu (3) Mengendalikan perpindahan

padatan terlarut untuk mempertahankan warna pigmen alami dan gizi (4)

berfungsi sebagai pengawet, mempertahankan warna sehingga menjaga

mutu produk

Kemasan dengan sifat antimikroba diharapkan dapat mencegah kontaminasi

patogen dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang terdapat

dalam permukaan bahan pangan. Substansi antimikroba yang diformulasikan

dalam bahan pangan atau pada permukaan bahan pangan tidak cukup untuk

mencegah pertumbuhan bakteri patogen dan mikroorganisme pembusuk dalam

bahan pangan (Ouattara et al. 2000).

2.6 APLIKASI EDIBLE COATING PADA PRODUK PANGAN

Aplikasi edible film dalam bentuk coating sebagai pengemas telah banyak

dilakukan. Hilangnya uap air bahan dapat diminimalkan dengan menggunakan

pengemas yang bersifat sebagai penahan. Tingkat hilangnya uap air tergantung

pada permeabilitas uap air pengemas yang digunakan. Edible film/coating

merupakan kemasan yang cocok digunakan karena dapat mengatur transfer

kelembaban, O2 dan CO2, uap air dan aroma serta senyawa-senyawa campuran

(31)

edible film dan coating untuk menghambat kerusakan produk-produk terolah

minimal dipengaruhi oleh jenis dan varietas komoditi, jenis dan ketebalan film

serta suhu penyimpanan. Film dari kitosan mempunyai sifat barrier terhadap gas

yang baik, maka dapat digunakan sebagai bahan pengemas, terlebih lagi kitosan

mempunyai kapasitas sebagai antimikroba sehingga dapat digunakan sebagai

bahan pengawet. Beberapa penelitian yang menggunakan kitosan sebagai edible

film atau coating banyak dilakukan sebagai kemasan bahan pangan.

Kitosan film dapat digunakan untuk menjaga umur simpan dari precooked

pizza. Rodriguez et al. (2003) melaporkan kitosan yang dilarutkan dalam larutan

asam asetat untuk pembuatan edible coating (0.079 g/100 g pizza) dapat

menghambat pertumbuhan Alternaria sp, Penicillium sp, dan Cladosporium sp

(Deuteromycetes) pada precooked pizza. Perlakuan ini memberikan pengaruh

yang sama dengan penggunaan pengawet lain seperti kalsium propionat dan

potassium sorbat.

Kitosan film banyak digunakan untuk mengemas buah dan sayuran seperti

apel, pir, strawberry, tomat, kelengkeng, mangga, pisang, jamur, lada, ketimun,

wortel dan alpukat (El Ghouth et al. 1991, Zhang dan Quantick, 1998). Hasil

penelitian tersebut menunjukan adanya penurunan respirasi pada produk dan

mengahambat pematangan. Durango (2006) menyebutkan penggunaan kitosan

1.5% dengan penambahan yam starch pada pembuatan edible coating untuk

produk wortel yang diolah dengan proses minimal menjadi alternatif dalam

menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat, total koliform, kamir dan kapang

selama penyimpanan. Edible coating kitosan dengan konsentrasi 1% (b/v) dan 2%

(b/v) pada buah tomat dapat menurunkan tingkat produksi CO2 sebesar 20% dan

25% dibandingkan dengan kontrol. Disamping itu kitosan dengan konsentrasi 2%

(b/v) dan 1% (b/v) tidak memberikan pengaruh terhadap respirasi tetapi dapat

menunda klimakterik. Konsentrasi kitosan 1% (b/v) dan 2% (b/v) dapat

mempertahankan kekerasan buah tomat (El- Ghaouth et al. 1992). Menurut Zhang

dan Quantrick (1997). Konsentrasi kitosan 1% (b/v) dan 2% (b/v) untuk melapisi

buah leci mengakibatkan suplai oksigen menurun dan menghambat degradasi

(32)

Coma et al. (2002), menyebutkan bahwa edible film kitosan kemampuan

penghambatan pada film berbahan dasar kitosan menghambat pertumbuhan dua

bakteri pathogen pada makanan diantaranya Staphylococcus aureus, Listeria

monocytogenes dan Pseudomonas aeruginosa pada medium agar.

Pranoto et al. (2005)a menyebutkan bahwa kitosan yang diinkoporasi

dengan garlic oil pada pembuatan film dapat meningkatkan kemampuan

antimikroba dan tidak berpengaruh terhadap sifat mekanik dan fisik film kitosan.

Penggunaan garlic oil tergantung pada jenis bahan pangan dan tidak

mempengaruhi flavor, Pranoto et al. (2005)b menyebutkan penambahan garlic oil

0.2% pada pembuatan edible film dengan alginate memiliki kemampuan untuk

menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus dan B. cereus, dan tidak

berpengaruh terhadap sifat mekanik dan fisik dari edible film alginat.

2.7 APLIKASI PADA BAKSO

Bakso merupakan makanan yang sangat pupuler di Indonesia dan menjadi

bisnis dalam industri makanan. Beberapa industri makanan di Indonesia sangat

tertarik untuk memproduksi bakso dalam skala industri dengan memperhatikan

keamananya untuk dikomsumsi. Bakso yang dihasilkan dalam skala industri juga

memperhatikan kondisi penyimpanan seperti kemasan vakum dan penyimpanan

pada suhu beku.

Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang dihaluskan,

kemudian dicampur dengan tepung yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi,

dengan bentuk bulat kemudian dimasak dalam air panas (Tarwotjo et al. 1992).

Berdasarkan SNI 01-3818-1995, bakso didefenisikan sebagai produk makanan

dengan bentuk bulatan yang diperoleh dari campuran daging ternak (dengan kadar

daging 50%), pati atau serealia dengan atau tanpa bahan tambahan makanan

(BTM) yang diizinkan. Standar bakso daging berdasarkan SNI 01-3818-1995

dapat dilihat pada Tabel 2.

Prinsip pengolahan bakso terdiri dari 4 tahapan diantarannya (1)

penghancuran daging dengan mencincang (chopping) atau menggiling (grinding),

(33)

dan es sehingga membentuk adonan (3) pencetakan adonan dalam bentuk bulat

dan (4) pemasakan dengan cara merebus dalam air mendidih (Pandisurya, 1983).

Menurut Pandisurya (1983) pemasakan bakso umumnya dilakukan dalam

dua fase yang bertujuan agar permukaan bakso yang dihasilkan tidak keriput atau

kasar akibat perubahan suhu yang terlalu cepat. Perendaman bakso pada suhu 50 –

60°C selama 10 menit bertujuan untuk pembentukan bakso kemudian bakso

kembali direbus dalam air dengan suhu 100°C untuk mematangkan. Pada suhu 40-

50°C, miosin kehilangan kelarutannya yang diindikasi terjadinya denaturasi

protein. Sedangkan pada suhu 65 - 75°C serabut otot mengalami penyusutan

sebanyak 25-30% dan juga terbentuk gel yang optimum terutama pada pH 6.

Tabel 2 Standar bakso daging berdasarkan SNI 01-3818-1995

NO Kreteria uji Satuan Persyaratan

1

10.1 Angka lempeng total 10.2 Bakteri pembentuk koli 10.3 Escherichia coli

10.4 Enterococci

10.5 Clostridium perfringens 10.6 Salmonella

10.7 Stapylococcus aureus

(34)

Bahan- bahan yang digunakan dalam pembuatan bakso terdiri dari bahan

baku, bahan pembantu dan bahan tambahan makanan. Bahan baku bakso

diantaranya sebagai berikut : 2.7.1 Daging

Daging didefenisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada

kerangka. Daging terdiri dari tiga komponen utama yaitu jaringan otot, (Muscle

tissue), jaringan lemak (adipose tissue) dan jaringan ikat (connective tissue).

Mutu dari bakso ditentukan oleh kualitas daging yang digunakan. Bakso

dengan mutu yang baik dihasilkan dari daging segar (pre- rigor) yaitu daging yang

diperoleh segera setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses

penyimpanan (Sunarlim, 1992). Fase pre-rigor pada suhu ruang berlangsung 5

sampai 8 jam setelah pemotongan hewan (post mortem), tergantung dari besar

kecilnya hewan yang dipotong. Pada mamalia besar seperti sapi fase pre- rigor

berlangsung kurang lebih 8 jam setelah pemotongan (Forrest et al. 1975).

Menurut (Forrest et al. 1975), pada fase pre- rigor jumlah protein yang

dapat terekstrak dari daging dengan adanya perlakuan fisik dan kimia lebih besar

dibandingkan fase rigor mortis. Wilson et al. (1981) menyebutkan bahwa daging

pre-rigor memiliki daya ikat air yang lebih tinggi, sehingga permukaan produk

yang dihasilkan tidak basah dan pada kondisi ini pH daging relatif tinggi yaitu 6.5

–6.8 menyebabkan protein sarkoplasma tidak mudah rusak dan tidak mudah

kehilangan daya ikat air. Protein sarkoplasma mulai mengalami kerusakan pada

pH kurang dari 6,2. Daging sapi memiliki daya ikat air minimum pada pH 5,4 –

5,5 dimana pH tersebut merupakan titik isoelektrik protein sarkoplasma. Daging

yang telah melewati fase pre-rigor menyebabkan mutu bakso menurun terutama

pada sifat kekenyalan dan kekompakannya.

2.7.2 Bahan pengisi dan pengikat

Bahan pengisi dan bahan pengikat yang ditambahkan dalam bakso

berfungsi untuk stabilitas emulsi, mengurangi penyusutan selama pemasakan,

memperbaiki sifat irisan, meningkatkan citarasa dan mengurangi biaya produksi

(Kramlich, 1971).

Perbedaan antara bahan pengisi dan bahan pengikat terletak adalah

(35)

proteinnya yang tinggi, sedangkan pada bahan pengisi kandungan tertinggi yaitu

karbohidrat, sedangkan kadar proteinnya rendah. Bahan pengikat memiliki

kemampuan mengikat air dan mengemulsi lemak, sedangkan bahan pengisi

memiliki kemampuan dalam mengikat air tetapi tidak mengemulsikan lemak.

Bahan pengikat yang biasa digunakan adalah tepung berprotein tinggi seperti

tepung kedelai, konsentrat kedelai dan susu skim. Di Indonesia penggunaan bahan

pengikat dalam bakso tidaklah umum, bahan pengikat ini biasa digunakan pada

pembuatan sosis.

Bahan pengisi yang digunakan untuk bakso diantaranya tapioka dan pati

sagu. Bahan ini dapat mengabsobsi air sampai tiga kali lipat dari berat semula,

sehingga adonan bakso menjadi lebih besar. Berdasarkan SII 01-3818-1995

penggunaan bahan pengisi untuk bakso maksimum 50% dari berat daging. Fadlan

(2001) menyatakan bahwa penggunaan bahan pengisi untuk bakso yang optimum

sebaiknya ditambahkan sebanyak 25% dari berat daging. Sedangkan menurut

Winarno (1997) menyatakan bahwa bakso yang bermutu baik mempunyai kadar

pati rendah yaitu sekitar 15%, semakin tinggi kandungan pati maka mutu bakso

akan rendah.

2.7.3 Garam dan MSG

Garam yang ditambahkan pada pembuatan bakso selain bertujuan pemberi

rasa, juga digunakan sebagai pelarut protein dan pengawet karena dapat

menghambat pertumbuhan bakteri. Garam dapat memperbaiki sifat- sifat

fungsional produk daging dengan cara (1) mengekstrak protein miofibril dari sel-

sel otot selama perlakuan mekanik, misalnya penghancuran daging, (2) Garam

berinteraksi dengan protein otot selama pemanasan sehingga protein membentuk

matriks yang kuat, dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur

produk. Penambahan MSG pada bakso hanyalah sebagai pembentukan cita rasa

gurih. Sunarlim (1992) menyatakan penambahan garam dengan konsentrasi 3-5%

akan menghasilkan mutu yang tinggi dibandingkan dengan penambahan

(36)

2.7.4 Es atau air es

Penambahan air es pada pembentukan emulsi daging bertujuan untuk

melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian

daging, (2) es memudahkan ekstraksi protein serabut otot, (3) es membantu

pembentukan emulsi, (4) mempertahankan suhu adonan tetap rendah akibat

pemanasan mekanik. Jumlah es yang ditambahkan (30 %) ke dalam adonan

memberikan pengaruh terhadap kadar air, WHC (Water Holding Capacity),

kekenyalan dan kekompakan bakso. Makin banyak es yang ditambahkan

menyebabkan kenaikan kadar air dan penurunan WHC, kekenyalan dan

kekompakan bakso yang dihasilkan. Air es yang ditambahkan pada adonan untuk

menghasilkan sifat fisik dan organoleptik yang baik sebesar 20% dari berat daging

(Indrarmono, 1987)

2.7.5 Sodium Tripolifosfat (STPP)

STPP yang disebut juga sebagai natrium tripolipospat memiliki fungsi

untuk meningkatkan pH daging, stabilitas emulsi dan kemampuan emulsi. STPP

dapat juga berfungsi menurunkan susut masak karena dapat mengurangi air yang

hilang selama pemasakan. STPP dan garam dapur mempunyai sifat sinergisme

sehingga meningkatkan WHC (Water Holding Capacity), memudahkan

pengirisan, menstabilkan warna, menghambat ketengikan karena fosfat sebagai

antioksidan dan meningkatkan mutu produk daging. Penambahan STTP dan

natrium propionat, dapat mengawetkan bakso selama 4 hari. Tandiyono (1996)

melaporkan bahwa bakso yang dibuat dengan penambahan 0.3% STPP dan 0.2%

natrium propionat pada jam ke- 24 dalam suhu kamar telah mengandung sekitar

5.8 x106 koloni mikroba/gram.

Penggunaan STPP memiliki pembatas (self limiting) yang disebabkan

karena STPP memiliki rasa yang agak pahit, karena kandungan basa yang tinggi.

Penggunaan STPP dalam dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan

keseimbangan ion–ion terutama Ca2+, Mg2+dan K+. Pada umumnya

penggunaannya STPP berkisar 0.3 – 0.5% (Ranken 1976). Pengaturan mengenai

penggunaan STPP yang diizinkan penggunaannya adalah 3 gram untuk setiap satu

(37)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di laboratorium Rekayasa Proses Pangan, dan

Laboratorium mikrobiologi Departement Ilmu dan Teknologi Pangan Fateta-IPB.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2007 –Maret 2008.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan antara lain kitosan komersil, ekstrak bawang putih,

bakteri uji (Bacillus cereus dan Pseudomonas fluorescens), daging sapi segar.

Media agar LB dan Media agar NA. Bahan tambahan lain diantaranya adalah pati

sagu, garam, lada, MSG, Bahan kimia yang digunakan antar lain NaCl jenuh

K2SO4 , HgO, H2SO4 pekat, NaOH pekat, H3PO3, HCl 0,02 N. Alat yang

digunakan antara lain food processor, timbangan, termometer, pH meter, labu

kjedaral 100 ml, Erlenmeyer 125 m, cawan logam, cawan petri, oven, Texture

Analyzer TA-XT2i, FTIR micro-cal Messmer, Scanning Electron Microscopy

5310LV (JEOL), Chromometer CR200.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian utama yang dilakukan adalah menguji aktifitas antimikroba

kitosan dengan konsentrasi (1%, 2%) dan pengujian aktifitas antimikroba larutan

kitosan (1%, 2%) dengan dengan penambahan ekstrak bawang putih pada

konsentrasi (2%, 4% dan 6%). Aktifitas antimikroba terbaik direkomendasikan

untuk diaplikasikan pada edible coating dan adonan dalam produk bakso. Tahapan

penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

3.3.1 Pembuatan ekstrak bawang putih dengan pelarut etil asetat

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan melarutkan bubuk bawang putih

dengan perbandingan 1:4 (v/v) dengan pelarut etil asetat. Kemudian di shaker

pada suhu ruang dengan kecepatan 35 rpm selama 24 jam. Setelah 24 jam, ekstrak

(38)

kuning kemudian diuapkan untuk menghilakan pelarut menggunakan rotavapor

pada suhu 50°C.

3.3.2 Pembuatan larutan kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih

Pembuatan kitosan pada penelitian ini dilakukan dengan cara menimbang

kitosan dengan konsentrasi terbaik dan ekstrak bawang putih 2%, kemudian

dilarutkan dengan asam laktat 2% sedikit demi sedikit sampai larut dan

ditambahkan aquades mencapai konsentrasi kitosan yang sesuai.

3.3.3 Karakterisasi Kitosan (derajat deasetilasi kitosan)

Perhitungan derajat deasetilasi digunakan spektrum Fourier Transform

Infrared (FT-IR) dengan membandingkan absorbansi panjang gelombang 1655

cm-1 (absorbansi untuk gugus kabonil) dan absorbansi pada panjang gelombang

3450 cm-1 (absorbansi untuk gugus amina) (Baxter et al 1992). Lapisan tipis

kitosan dihasilkan dengan melarutkan 2 g kitosan dalam larutan asam asetat 2%.

Larutan dikeringkan dengan pada suhu kamar di atas ‘glass plate’ (keping kaca

berbentuk bulat seperti koin berwarna merah).

Puncak tertinggi diukur dari garis dasar yang dipilih untuk menentukan

absorbansi yang dihitung dengan menggunakan rumus:

%

A1655 = Nilai absorbansi pada 1655 cm-1

A3450 = Nilai absorbansi pada 3450 cm-1

3.3.4 Pengujian antimikroba kitosan dan ekstrak bawang putih 3.3.4.1 Persiapan Isolat bakteri uji

Satu ose isolat bakteri E.coli dan Pseudomonas fluorescens

(39)

Sebanyak 10μL kultur 24 jam tersebut diambil dan inokulasikan kedalam 10 ml

media LB dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 12 jam.

3.3.4.2 Uji Antibakteri metode difusi sumur agar

Metode yang digunakan mengacu pada Carson dan Riley (1995). Kultur

dengan jumlah bakteri 105 CFU/ml sebanyak 1 ml dimasukan kedalam cawan

petri dan dituangkan media agar sebanyak 20 ml, dibiarkan membeku lalu dibuat

sumur dengan diameter 8 mm. Sampel antibakteri dimasukan kedalam sumur,

diinkubasi pada 37°C dan diamati zona bening yang terbentuk setelah 20 jam.

3.3.5 Pengamatan mikrostruktur Edible Coating dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) (Lin et al 2002)

Pengukuran Scanning Electron Microscopy (SEM) dilakukan untuk

melihat mikrostruktur edible coating. Analisis SEM menggunakan alat SEM 5310

LV (JEOL). Edible coating sebelumnya dikeringkan dengan freeze drying selama

19 jam sampai kadar air 2% atau kurang. Edible coating dipotong dengan ukuran

0.5 x 0.5 cm, Setelah preparasi selesai di lakukan pelapis menggunakan emas

(Au) atau logam didalam Magnetron Sputtering Device yang dilengkapi dengan

pompa vakum, dimana pompa vakum terjadi loncatan logam emas ke arah sampel,

sehingga melapisi sampel. Selanjutnya sempel yang telah dilapisi diletakan pada

tempat sampel dalam mikroskop elektron dan dilakukan tembakan elektron

kearah sampel, maka akan terekam ke dalam monitor dan dilakukan pemotretan.

3.3.6 Aplikasi kitosan pada bakso 3.3.6.1 Pembuatan Bakso

Daging sapi segar yang telah dipisahkan lemak dan jaringan ikatnya

kemudian dicuci bersih ditimbang 250 gram. Tahap pertama yaitu daging

dimasukan ke dalam food processor dengan menambahkan 20% w/w es batu atau

air es, garam 3 % w/w, kemudian dihancurkan selama 3 menit. Tahap kedua

adalah percampuran dan penggilingan daging dengan penambahan larutan kitosan

dan larutan kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih pada proses yang

terpisah kemudian masing- masing proses ditambahkan bahan pengisi (tepung

(40)

adonan, adonan dibentuk bulat, kemudian dimasukan kedalam air panas pada suhu

70°C selama 10 menit kemudian direbus kembali pada suhu 100°C sampai

mengapung dan matang selama 15 menit. Pembuatan adonan bakso dapat dilihat

pada Gambar 6, sedangkan penambahan kitosan dan ekstrak bawang putih dapat

dilihat pada Gambar 7.

3.3.6.2 Edible coating kitosan dan ekstrak pada bakso

Bakso yang telah matang kemudian dicelupkan kedalam larutan kitosan

selama 60 detik dengan konsentrasi terbaik. Hal yang sama juga dilakukan dengan

penambahan ekstrak bawang putih pada larutan kitosan. Kemudian ditiriskan dan

diangin- anginkan. Aplikasi edible coating dapat dilihat pada Gambar 8 .

3.3.6.3 Penyimpanan Produk

Bakso yang telah matang dengan perlakuan penambahan kitosan di dalam

adonan (A) dan bakso yang telah ditambahkan edible coating (B) masing –

masing perlakuan dibagi berdasarkan konsentrasi kitosan yang dikemas dalam

(41)

Gambar 5 Tahapan penelitian Adonan bakso

Kitosan komersil

Kitosan dan ekstrak dengan aktifitas antimikroba terbaik

Aplikasi pada bakso

Edible coating bakso

Analisis produk. Kitosan (1%,2%) + ekstrak

bawang putih(2, 4, 6%)

Pengujian:

(42)

Gambar 6 Pembuatan bakso tanpa penambahan kitosandan ekstrak bawang putih dalam adonan

Daging ( 250 gram)

Penghancuran (3 menit) Es (20% )b/b

Garam (3%)

Pencampuran dan penggilingan (2 menit)

Sagu (20%)

Adonan bakso

Pencetakan bakso

Dimasukan kedalam air panas (70°C)

10 menit

Perebusan bakso (100°C) 15 menit

BAKSO

(43)

Gambar 7 Pembuatan bakso dengan penambahan kitosan

dan ekstrak bawang putih Penghancuran (3 menit) Es (20% )b/b

Garam (3%)

Pencampuran dan penggilingan (2 menit)

Adonan bakso

Pencetakan bakso

Dimasukan kedalam air panas (70°C)

10 menit

Perebusan bakso (100°C) 15 menit

BAKSO

Daging ( 250 gram)

- Sagu (10%) - Kitosan(1%) - Kitosan (1%) dan Ekstrak (2%) - Kontrol

(44)

Gambar 8 Diagram pembuatan bakso dengan edible coating kitosan

dan ekstrak bawang putih

3.3.7 Pengujian pada Bakso

3.3.7.1 Pengukuran pH (AOAC, 1984)

pH meter terlebih dahulu dikalibrasi menggunakan larutan buffer pH 7.

Sebanyak 5 gram contoh dihaluskan dan ditambahkan sedikit aquadest dan

diaduk hingga merata. Kemudian elektroda ditempatkan ke dalam sampel

sehingga dapat terbaca nilai pH yang diukur.

Kitosan (1%)

Asam laktat(2%)

Pengenceran dengan aquadest

Pencelupan bakso sesuai dengan konsentrasi (60 detik)

Bakso ditiriskan dan dianginkan

Larutan kitosan coating

Bakso berlapis edible

-ekstrak bawang putih (2%)

- Kontrol

(45)

3.3.7.2 Kadar Protein (AOAC, 1984)

Sampel ditimbang sebanyak 0,2 gram dimasukan kedalam labu kjedahl

100 ml dan ditambahkan 2 gram K2SO4 , HgO (1:1) dan H2SO4 pekat 2 ml.

Dilakukan distruksi selama 30 menit sampai diperoleh cairan hijau jernih, setelah

dingin ditambahkan air suling 35 ml dan NaOH pekat 10 ml sampai bewarna

coklat kehitaman lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer 125

ml yang berisi 5 ml H3PO3. Hasil destilasi kemudian yang tertampung kemudian

dititrasi dengan HCl 0,02 N dengan menggunakan indikator. Hal yang sama

dilakukan untuk blanko. Persentase kadar Nitrogen dan Kadar protein kasar dapat

dihitung dengan rumus.

% N = (HCl – blako) – N HCl x 14.007 x 100%

Sampel kering (mg)

% N = % N x 6.25 (Faktor koreksi)

3.3.7.3Kadar Air (AOAC 1999)

Sampel bakso seberat 3 gram dimasukan ke dalam cawan logam yang

telah diketahui beratnya. Cawan diisi sampel selanjutnya dimasukan ke dalam

oven suhu 105°C selama 4- 6 jam hingga berat cawan dan sampel konstan,

kemudian ditimbang beratnya:

Kadar air dihitung dengan rumus :

Kadar air (%) = bobot sampel awal – bobot sampel akhir x 100%

Bobot sampel awal

3.3.7.4Kadar Lemak (AOAC, 1984)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dan ditimbang. Sampel

dalam bentuk tepung sebanyak 5 gram dimasukan kedalam selubung ekstraksi.

Kemudian selubung yang sudah berisisampel dimasukan kedalam soxhlet.

Kemudian soxhlet dan kondensor dipasang pada labu ekstraksi yang tealh

ditimbang terlebih dahulu. Kemudian di tambahkan 50 ml dietil eter, lalu

dipasangkan pada pemanas. Lakukan refluks selama 5 jam sempai pelarut yang

turun kembali kedalam labu ekstraksi bewarna jernih. Kemudian solven dalam

(46)

selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 100°C selama 60 menit atau sampai beratnya tetap, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.

Kadar lemak dihitung dengan rumus:

%

3.3.7.5 Penentuan tekstur secara objektif

Kekerasan dan kekenyalan bakso diukur dengan Texture Analyzer

TA-XT2i menggunakan probe compress dengan cara memberikan tekanan sebanyak

dua kali. Pada pemotongan pertama akan terbentuk kurva dengan puncak tertinggi

menyatakan sebagai kekerasan sampel kemudian pada penekanan (press)

berikutnya diperoleh kurva kedua. Nilai kekenyalan adalah perbandingan Time

different dari kurva kedua dan kurva pertama.

Sedangkan untuk daya iris menggunakan probe Warner- Bratzler Blande.

Cara kerja alat ini adalah sebagai berikut pisau akan memotongsampel Pengaturan

Texture Analyzer TA-XT2i sebagai berikut:

Tabel 3 Pengaturan Texture Analyzer TA-XT2i

Parameter Setting

Measure force in compression TPA

3.3.7.6 Pengukuran Aktifitas Air

Pengukuran dilakukan dengan aw meter yang sebelumnya dikalibrasi

dengan larutan NaCl jenuh pada kertas saring dan diletakan diatas cawan. Nilai

Aw diset sampai dengan 0,7509. Sampel dipotong dengan ketebalan sekitar 0.2 cm

dan diletakan dalam cawan pengukur, lalu ditutup dan dikunci. Alat dijalankan

(47)

3.3.7.7 Uji Warna

Pengukuran warna secara objektif menggunakan alat chromometer CR200

dengan notasi hunter (L*a*b). Chromameter dikalibrasi dengan mengukur plate

kalibrasi yang berwarna putih sebanyak tiga kali. Kemudian sampel diletakkan

pada tempat pengukuran sampel, lalu ditekan tombol start dan akan diperoleh nilai

L, a, dan b dari sampel. L menyatakan kecerahan sampel dengan kisaran nilai 0

sampai 100 (putih). Semakin tinggi nilai L, maka semakin tinggi tingkat

kecerahan sampel tersebut.

3.3.7.8 Analisis Total Mikroba (Fardiaz, 1989)

Analisis total mikroba dilakukan dengan metode TPC (Total Plate

Count). Sebanyak 5 gram sampel dimasukan dalam plastik tahan panas steril yang

berisi 45 ml larutan pengencer steril. Sampel tersebut kemudian dihancurkan

dengan menggunakan alat stomacher selama 120 detik sehingga dihasilkan

sampel bakso dengan pengenceran 1 : 10. Campuran dikocok, diambil 1 ml

kemudian dimasukan dalam tabung reaksi 9 ml larutan pengencer steril sehingga

diperoleh pengenceran 10-2. Dengan cara yang sama dilakukan pengenceran

10-3,10-4 dan seterusnya.

Setiap pengenceran dipipet secara aseptis 1 ml suspensi sampel dan

dimasukan kedalam cawan petri steril. Selanjutnya ditambahkan 15 – 20 ml

medium PCA (Plate Count Agar) steril bersuhu 45- 50 °C (duplo). Setelah media membeku, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada inkubator suhu

37°C selama 2 hari.

Perhitungan jumlah total mikroba dilakukan dengan metode Harrigan,

dengan rumus :

N = C/ [(1 x n1) + (0.1 x n2)] x d

N = jumlah koloni per gram

C = Jumlah total koloni yang tumbuh dalam cawan yang dihitung

n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung

n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung

(48)

3.3.7.9 Uji Organoleptik (Rahayu, 1998)

Batas umur simpan ditentukan berdasarkan hasil uji deskriptif sensori

terhadap parameter mutu kritis. Penentuan mutu kritis didasarkan pada hasil uji

organoleptik terhadap parameter, tekstur/kekerasan, kekenyalan dan tingkat

penerimaan umum (keseluruhan) .

Bakso yang diuji adalah bakso dengan formulakitosan (X), bakso dengan

formula edible coating kitosan (Y). Uji organoleptik menggunakan panelis

sebanyak 25 orang Uji yang dilakukan adalah uji hedonik atau uji kesukaan. Uji

hedonik atau uji kesukaan merupakan salah jenis uji penerimaan. Skala hedonik

dapat direntangkan menurut skala yang dikehendaki. Pada uji ini panelis diminta

untuk mengemukakan tingkat kesukaan pada bakso, dengan 5 skala hedonik

berurutan mulai dari 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (netral), 4 (suka) dan

5 (sangat suka).

Pengujian terhadap uji hedonik harus dilakukan secara spontan. Untuk itu

panelis dapat mengisi formulir isian (Lampiran 26). Hasil uji organoleptik diolah

dengan uji statistik nonparametrik, yaitu Kruskal Wallis yang bertujuan untuk

mengetahui apakah antara perlakuan berbeda nyata (Steel dan Torrie 1993).

Apabila hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh nyata maka dilanjutkan

dengan uji Duncan yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana saja yang

memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang diukur atau

dianalisis. Model matematika uji tersebut adalah sebagai berikut :

H =

Keterangan : n = total pengamatan

ni = banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-i

(49)

3.4 Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak

Lengkap faktorial dengan perlakuan perbandingan penambahan kitosan dan lama

penyimpanan. Perlakuan dalam percobaan yaitu pada adonan dan edible coating

Rancangan percobaan pada adonan bakso terdiri dari faktor penambahan

(kitosan (1%), kitosan (1%) dengan ekstrak bawang putih (2%), serta kontrol)

dan lama penyimpanan (0, 12 dan 24 jam). Sedangkan rancangan percobaan

edible coating kitosan bakso terdiri dari faktor penambahan (kitosan (1%),

kitosan (1%) dengan ekstrak bawang putih (2%), serta kontrol) dan lama

penyimpanan (0, 12, 24 dan 36 jam). Masing- masing perlakuan (adonan dan

edible coating) dilakukan dengan 3 kali ulangan

Model statistika rancangan penelitian tersebut adalah sebagai berikut :

Yij = μ + τi + εij , dimana :

i = 1,2,3,4,5,6 dan ulangan ke-j = 1,2,3

Yijk = Nilai pengamatan pada saat percobaan ke-i yang memperoleh

perlakuan ke- j

μ = Nilai tengah umum

τi = Pengaruh perlakuan ke- i

εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke i ulangan ke j

Untuk melihat pengaruh faktor perlakuan digunakan analisis sidik ragam

(ANOVA) pada taraf 0.05. Perlakuan yang memberikan respon nyata dilakukan

uji lanjut menggunakan Uji Duncan. Analisis dilakukan dengan menggunakan

(50)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kitosan yang digunakan pada penelitian ini adalah kitosan komersil

(Gambar 9). Kitosan tersebut kemudian dilarutkan dalam asam organik yaitu asam

laktat dengan konsentrasi 2% (v/v). Pemilihan pelarut kitosan yang digunakan

untuk melarutkan kitosan yaitu asam laktat 2%, hal ini sesuai dengan pernyataan

Kim (2006) yang menyebutkan konsentrasi asam laktat yang terbaik untuk

melarutkan kitosan adalah 2%. Pemakaian pelarut asam laktat juga telah

dilakukan pada pembuatan edible film kitosan dimana hasil pengujian dengan

pelarut asam laktat 2% memperlihatkan penghambatan yang lebih besar

dibandingkan pelarut asam asetat 1% (Astuti, 2007). Tahap pertama pada

penelitian ini adalah melarutkan kitosan dengan konsentrasi 1 % dan 2% (b/v)

dalam larutan asam laktat 2%.

Gambar 9 Kitosan komersil

4.1 Karakteristik Kitosan

Persiapan sampel ini merupakan tahap pertama penelitian yang bertujuan

untuk menggetahui karateristik kitosan khususnya daya antimikroba kitosan. Hasil

pengujian karakteristik kitosan komersil yang digunakan pada penelitian ini dapat

(51)

Tabel 4 Karakteristik kitosan komersil

Karakteristik Hasil penelitian Standar mutu kitosan

(Protan Laboratories)*

Bentuk Partikel Serbuk Serpihan atau bubuk

Kadar Air 12% ≤ 10%

Kadar Abu 0.4% ≤ 2%

Kadar Nitrogen 5.88% ≤ 5%

Derajat Deasetilasi 79.70% ≥ 70%

Warna Larutan Jernih Jernih

* Sumber: Suptijah et al. (1992)

Bentuk kitosan sangat dipengaruhi oleh bahan bakunya. Bahan baku yang

berasal dari kulit udang memiliki bentuk yang lebih halus dan mudah hancur

selama proses pembuatan kitosan. Karakteristik dari kitosan telah memenuhi

standar yang telah ditetapkan diantaranya warna larutan, kadar abu dan bentuk

pertikel. Bentuk partikel akan mempengaruhi kelarutan kitosan, semakin kecil

bentuk partikel maka semakin mudah kitosan untuk larut dalam pelarut. Kadar

abu kitosan merupakan parameter yang penting untuk menentukan keefektifan

proses demineralisasi, karena secara umum kulit udang mengandung 30-50%

mineral dengan kandungan mineral yang terbesar adalah garam CaCO3 dan

CaSO4.

4.2 Pengukuran derajat deasetilasi (DD) dengan analisis FTIR (Fourier Transform Infrared )

Sepektrum kitosan diperoleh dengan absorbansi pada gelombang bilangan

1655 cm-1 yang merupakan serapan pita amida I dan absorbansi pada gelombang

3450 cm-1 merupakan serapan gugus hidroksil. Pengukuran kitosan dengan FTIR

disamping untuk melihat pola spektrum pada sampel juga menentukan derajat

deasetilasi kitosan. Hasil pengukuran kitosan komersil berdasarkan pengujian

FTIR menunjukan bahwa kitosan komersil memiliki derajat deasetilasi sebesar

79.70 %, nilai ini telah memenuhi standar Protan Laboratories. Derajat deasetilasi

menunjukkan kemurnian kitosan, dimana derajat deasetilasi kitosan menentukan

banyaknya gugus asetil yang hilang selama proses deasetilasi kitin. Semakin besar

derajat deasetilasi, maka kitosan akan semakin aktif. Keaktifan kitosan

(52)

lebih reaktif dibandingkan gugus asetil karena adanya pasangan elektron bebas

pada atom nitrogen dalam struktur kitosan. Grafik analisis FTIR dapat dilihat pada

Lampiran 1.

4.3 Penelitian Utama

4.3.1 Uji antimikroba asam laktat dan ekstrak bawang putih

Pengujian awal dari difusi sumur adalah pengujian ekstrak bawang putih,

dan asam laktat. Pengujian terlebih dahulu adalah pengujian terhadap pelarut etil

asetat, dimana pelarut ini digunakan untuk menghasilkan ekstrak bawang putih.

Hasil difusi sumur menunjukan bahwa pelarut etil asetat tidak bersifat

menghambat pertumbuhan bakteri uji, dengan demikian tidak mempengaruhi

aktifitas senyawa ekstrak bawang putih. Pengujian ekstrak bawang putih dan asam

laktat (pelarut kitosan) menunjukan sifat yang menghambat pertumbuhan bakteri

uji dengan terlihat adanya zona bening. Pengujian larutan asam laktat 2% pada

penelitian ini juga menunjukan penghambatan yang besar pada kedua mikroba.

Pemanfaatan asam laktat dengan konsentrasi 2% secara nyata dapat menurunkan

tingkat pertumbuhan bakteri pathogen Listeria monocytogenes dari 5.59 log

CFU/g menjadi 4.92 log CFU/g yang ditambahkan pada daging sapi kemasan

vakum. Pemanfaatan asam laktat yang dikombinsaikan dengan air panas juga

mampu menurunkan total bakteri secara nyata dari 2.37 log CFU/g menjadi 0.26

log CFU/g (Kang et al. 2001). Diameter zona penghambatan ekstrak bawang

putih dan asam laktat dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Diameter zona penghambatan asam laktat dan ekstrak

Sampel Diameter zona penghambatan (mm)

Pseudomonas aureginosa Bacillus cereus

Asam laktat 8.57 7.65

Ekstrak bawang putih 6.30 5.22

Kontrol 0 0

Diameter zona bening ekstrak bawang putih pada bakeri Pseudomonas dan

Bacillus 6.30 mm dan 5.22 mm. Ekstraksi yang digunakan untuk mendapatkan

ekstrak bawang putih adalah pelarut etil asetat, beberapa literatur menunjukan

(53)

menggunakan pelarut etil asetat, akan memberikan aktifitas antibakteri yang lebih

baik dibandingkan dengan pelarut lain. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Naufalin (2005) menyebutkan bahwa penghambatan ekstrak etil asetat bunga

kecombrang terhadap 7 bakteri uji berkisar 12.3 – 27.2 mm dan ekstrak etanol

sebesar 11.0 – 15.4 mm pada konsentrasi 30 mg/ml, hal ini menunjukan bahwa

ekstrak etil asetat memberikan aktifitas antibakteri yang lebih tinggi daripada

ekstrak etanol. Ekstrak etanol memiliki aktifitas yang lebih rendah daripada

ekstrak etil asetat, sesuai dengan penelitian Moshi dan Mwambo (2005) bahwa

ekstrak semipolar (etil asetat) mampu menghambat bakteri E.coli dan B. anthracis

dengan diameter hambatan lebih besar daripada ekstrak polar (etanol). Demikian

pula dengan penelitian yang dilakukan Springfield et al. (2003) ekstrak etil asetat

dari tanaman Carpobrotus muirii dan C. quadrifidus lebih berpotensi dalam

menghambat S. aureus dan Mycobacterium smegmatis daripada ekstrak air.

Secara umum mekanisme aktifitas antibakteri ekstrak bawang putih dalam

menghambat bakteri perusak makanan adalah melewati dinding sel bakteri

kemudian merusak dinding sel, selanjutnya merusak bagian membran sitoplasma.

Kerusakan pada membran sitoplasma dapat menyebabkan terganggunya

permeabilitas sel sehingga terjadi kebocoran isi sel dan mengganggu pembentukan

asam nukleat. Mehrabian dan Larry (1992) melaporkan bahwa ekstrak bawang

putih yang diuji dengan menggunakan tes difusi agar, mampu menghambat 7

macam bakteri pathogen yaitu E.Coli, S. typhimurium, S. Havana, S. para, A.

Shigella flexneri dan Shigella dysentriae.

Feldberg et al. (1998) telah menguji bahan aktif dari ekstrak bawang putih

dialil tiosulfat (alisin) sebagai antibakteri terhadap bakteri S.typhimurium dan

antijamur. Aktifitas antibakteri bawang putih diduga adanya kandungan diallyl

thiosulfinat yang biasa disebut allisin, senyawa allisin tidak ditemukan pada

tanaman utuh tetapi terbentuk oleh aktifitas enzim allin alkyl-sulfenate-lyase pada

Gambar

Tabel 2 Standar bakso daging berdasarkan SNI 01-3818-1995
Gambar 5 Tahapan penelitian
Gambar 6 Pembuatan bakso tanpa penambahan kitosan dan ekstrak
Gambar 7 Pembuatan bakso dengan penambahan  kitosan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini didapatkan bahwa terdapat homogenitas usia antara responden kelompok kontrol dan kelompok ekspe- rimen, sehingga dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa

Prioritas (2017) Lokasi Fokus Lokasi 914 Pengembangan Kawasan Industri/KEK Konektivitas / Aksesibilitas KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT Program Penyelenggaraan

Kami melihat bahwa dengan dukungan alokasi belanja modal (capex) sebesar US$4-5 juta, perusahaan mampu merealisasikan target hingga akhir tahun ini.. Pada saat ini

find the best model, first we evaluate the stationary of the data by using time series plot, Autocorrelation Function (ACF), and Unit root Test.. Then the Time Series model was

Di dalam tubuh kita terdapat miliaran sel saraf yang membentuk sistem saraf. Sistem saraf manusia tersusun dari sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat

sangat signifikan antara inteligensi dan kemandirian dengan resiliensi pada siswa kelas unggulan, dengan demikian hipotesis mayor yang diajukan dalam penelitian ini

Perlu kami informasikan bahwa biaya perjalanan (pp) kelas ekonomi, akomodasi dan konsumsi peserta akan ditanggung oleh Ditjen Sumber Daya IPTEK dan Pendidikan

Perbedaan Hasil Belajar Matematika Siswa Antara Pendekatan RME Dan Open Ended .... DAFTAR