• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Kromium Serum Darah Pada Penyandang Diabetes Mellitus Tipe 2 Dan Non Diabetes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penilaian Kromium Serum Darah Pada Penyandang Diabetes Mellitus Tipe 2 Dan Non Diabetes"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

DIABETES MELLITUS TIPE 2 DAN NON DIABETES

SUSI NUROHMI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penilaian Kromium Serum Darah pada Penyandang Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Non Diabetes adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

(4)

RINGKASAN

SUSI NUROHMI. Penilaian Kromium Serum Darah pada Penyandang Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Non Diabetes. Dibimbing oleh RIMBAWAN, FAISAL ANWAR, dan ADI TERUNA EFFENDI.

Gaya hidup yang dipengaruhi oleh era modern yang terjadi saat ini menggiring seseorang memiliki kebiasaan yang kurang sehat. Rendahnya aktivitas fisik dan makanan instan yang padat energi dan tinggi lemak tidak jarang menjadi suatu pilihan gaya hidup modern (Seddon et al. 2001). Data hasil Riset kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa proporsi penduduk ≥15 tahun dengan diabetes mellitus (DM) adalah 5.7% (DepKes RI 2007). Pada tahun 2013 dilakukan survei kembali dan terdapat peningkatan proporsi penduduk ≥15 tahun dengan diabetes mellitus (DM) yakni sebesar 6.9% (Kemenkes 2013).

Mineral kromium dalam beberapa penelitian dinyatakan memiliki hubungan yang berlawanan dengan resistensi insulin (Kim dan Song 2014). Hal inilah yang mendasari penelitian ini untuk dilakukan yaitu melihat perbedaan nilai kromium serum darah pada penyandang DM tipe 2 dan non DM dapat digunakan untuk menjadi salah satu pertimbangan perlu atau tidaknya dilakukan suplementasi guna memperbaiki mekanisme kerja insulin pada penderita diabetes. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mengetahui karakteristik subjek DM tipe 2 dan non DM; 2) menilai status gizi subjek DM tipe 2 dan non DM; 3) mengetahui tingkat aktivitas fisik subjek DM tipe 2 dan non DM; 4) mengetahui tingkat kecukupan energi dan zat gizi subjek diabetes dan non diabetes; 5) menilai kadar kromium serum, glukosa darah puasa, dan HbA1c subjek DM tipe 2 dan non DM; 6) menguji keterkaitan antara asupan kromium dengan kadar kromium serum; 7) menguji keterkaitan antara status gizi, aktivitas fisik, dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan glukosa darah puasa dan HbA1c; 8) menguji keterkaitan antara kadar kromium serum darah dengan glukosa darah puasa dan HbA1c.

Penelitian dilakukan dengan desain cross sectional survey dan dilakukan pada bulan Juni 2015-Februari 2016 bertempat Puskesmas I Denpasar Timur dan Puskesmas I Denpasar Barat Kota Denpasar. Kriteria inklusi untuk kelompok DM tipe 2 adalah pria dan wanita usia 50-65 tahun, penyandang DM tipe 2, sudah mengalami menopause untuk wanita ≥1 tahun terhitung saat penelitian dilakukan, dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan pada inform concent. Adapun kriteria eksklusi meliputi penyandang DM tipe 1, menderita anemia, dan menggunakan terapi insulin pada penyandang DM tipe 2. Subjek dipilih secara purpossive dari sebanyak 432 calon subjek terpilih sejumlah 42 orang untuk kelompok DM tipe 2 dan 45 orang kelompok non DM. Data yang dikumpulkan berupa Indeks Massa Tubuh (IMT), komposisi lemak tubuh, lemak visceral, lingkar pingang, gambaran konsumsi pangan sumber kromium, tingkat kecukupan energi dan zat gizi, aktivitas fisik, glukosa darah puasa, HbA1c, dan kadar kromium serum darah.

(5)

berdasarkan IMT antara subjek DM tipe 2 dan non DM tidak berbeda secara signifikan. Rataan nilai IMT pada kelompok DM tipe 2 (26.4±4.5) lebih tinggi dibandingkan kelompok non DM (25.5±5.0). Nilai rataan komposisi lemak tubuh pada perempuan DM tipe 2 lebih tinggi (38.3%) dibandingkan pada perempuan non DM (35.4%). Demikian pula pada laki-laki, nilai rataan komposisi lemak tubuh pada laki-laki DM tipe 2 lebih tinggi (25.3%) dibandingkan pada kelompok non DM (22.9%). Sebesar 52.4% subjek pada kelompok DM tipe 2 memiliki kadar lemak visceral berlebih begitu pula pada kelompok non DM (46.0%). Nilai rataan lingkar pinggang pada perempuan berbeda signifikan. Lingkar pinggang perempuan DM tipe 2 lebih tinggi (91.9 cm) dibandingkan dengan subjek perempuan non DM (83.4 cm) meskipun kedua kelompok tergolong dalam kategori tinggi untuk perempuan. Adapun lingkar pinggang pada laki-laki tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok. Namun nilai rataan lingkar pinggang laki-laki DM tipe 2 lebih tinggi (90.5 cm) dibandingkan dengan laki-laki non DM (87.2 cm).

Aktivitas fisik yang ditunjukkan dengan nilai PAL menunjukkan bahwa pada kelompok non DM tingkat aktivitas fisiknya lebih tinggi (PAL 1.68±0.09) dibandingkan pada kelompok DM tipe 2 (PAL 1.58±0.11). Nilai rataan tingkat kecukupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat pada kedua kelompok tergolong normal. Tingkat kecukupan serat pangan kedua kelompok tergolong rendah. Tingkat kecukupan serat pangan untuk kelompok DM tipe 2 lebih rendah (55.4 ± 15.9%) jika dibandingkan dengan kelompok non DM (62.1 ± 15.5%).

Tingkat kecukupan energi, protein, dan karbohidrat tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok subjek DM tipe 2 dan non DM. Namun tingkat kecukupan serat dan kromium memiliki perbedaan yang bermakna. Jenis pangan mengandung kromium yang paling banyak dikonsumsi dan memberikan kontribusi terhadap tingkat kecukupan adalah beras, ayam, tomat, dan kangkung. Rata-rata kromium pada kelompok non DM adalah 65.1 µg/L. Kadar kromium serum pada kelompok DM tipe 2 tidak terkontrol (35.6 µg/L) lebih rendah dibandingkan dengan DM tipe 2 terkontrol (46.6 µg/L). Subjek dengan glukosa darah puasa dan kadar HbA1c sebagai kontrol tingkat glikemik yang semakin tinggi memiliki kadar kromium serum yang semakin rendah.

Terdapat hubungan yang signifikan antara GDP dan HbA1c dengan lingkar pinggang, aktivitas fisik, kadar kromium serum, dan serat makanan. Indeks massa tubuh dan lemak visceral memiliki hubungan yang signifikan dengan kadar HbA1c. Variabel yang paling dominan terhadap profil glukosa darah adalah aktivitas fisik dengan OR 6.248 (1.795-21.995) terhadap glukosa darah puasa dan 3.590 (1.153-11.182) terhadap HbA1c .

(6)

SUMMARY

Assessment of Serum Chromium Levels in Normal and Type 2 Diabetes Mellitus Patients. Supervised by RIMBAWAN, FAISAL ANWAR, and ADI TERUNA EFFENDI.

Nowadays, modern lifestyles lead people to have unhealthy habits. Low physical activity, high energy-dense food, and high fat diet and not infrequently become a modern lifestyle choice (Seddon et al. 2001). Based on Basic Health Survey 2007 prevalence of type 2 diabetes mellitus in Indonesia among 15 years or older was 5.7%. This percentage increased and became 6.9% in 2013 (Kemenkes 2013).

Chromium in several studies revealed to have the opposite relationship with insulin resistance (Kim and Song 2014). General objectives of this research was to analyze the different value of blood serum chromium in diabetic and normal subjects. Specific objectives of this research were to: 1) identify characteristics of diabetic and normal subjects; 2) assess nutritional status of diabetic and normal subjects; 3) identify physical activity level among diabetes and normal subjects; 4) determine nutrients and energy requirment levels among diabetic and normal subjects; 5) assess serum chromium levels, fasting blood glucose, and HbA1c among diabetes and normal subjects; 6) identify the association between chromium requirment level and serum chromium levels; 7) identify the association between nutritional status, physical activity, and nutrients and energy requirment levels and fasting blood glucose and HbA1c; 8) identify the association between serum chromium levels and fasting blood glucose and HbA1c.

Design of this study was cross-sectional survey, conducted from June 2015 to February 2016 in Puskesmas I Denpasar Barat and Puskesmas I Denpasar Timur. The number of subjects were 42 for diabetic group and 45 for normal group. The inclusion criterias for diabetic group were men and women aged 50-65 years, suffering from type 2 diabetes, having menopause for women ≥1 years from the time of the study, and willing to participate in this research evidenced by inform concent approval. Data collected in the form were Body Mass Index (BMI), body fat composition, visceral fat, waist circumference, consumption of chromium source, nutrient and energy requirment levels, physical activity levels, fasting blood glucose, HbA1c, and serum chromium levels.

Statistical analysises were performed using SPSS for windows. Univariate analysis was used for describing the independent variables (nutritional status, physical activity levels, nutrients and energy requirment levels as well as serum chromium levels) and dependent variables (fasting blood glucose and HbA1c). Spearman and Pearson Correlation were used for analyzing the relationship between independent and dependent variables while multivariate analysis using logistic regression.

(7)

different. Women waist circumference (91.9 cm) was higher than normal female subjects (83.4 cm). Both groups were classified as high category. The waist circumference in men did not show any significant differences in both groups. The average diabetic men waist circumference (90.5 cm) was higher than normal men (87.2 cm).

Physical activity showed that normal group (1.68±0.09) had greater than diabetic group (1.58±0.11). The mean value of energy, protein, fats, and carbohydrates requirment levels in both groups were classified as normal, and between the two groups did not differ significantly. Dietary fiber requirment levels of both groups were low. Dietary fiber requirment level of diabetic group (55.4±15.9%) was lower than normal group (62.1±15.5%).

Adequacy level of energy, protein, and carbohydrates did not show a significant difference between both groups. But on the level of adequacy of fiber and chromium there were significant differences. Type of foods containing chromium that were the most consumed and contributed to the level of adequacy were rice, chicken, tomatoes, and spinach. Chromium values observed in non diabetic group were diabetic group 65.1 µg/L. The average of chromium values among diabetic group with poor glycemic control (35.6 µg/L) were significantly lower in comparison to diabetic group with good glycemic control.

There was a significant correlation between GDP and HbA1c with waist circumference, physical activity, serum chromium levels, and dietary fiber. BMI and visceral fat had significant association with HbA1c. The most dominant variable toward fasting blood glucose and HbA1c was physical activity by OR 6.248 (1.795-21.995) and 3.590 (1.153-11.182).

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam

(9)

SUSI NUROHMI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)
(13)

Alhamdulillaahi Rabbil’alamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT yang tanpa henti memberikan nikmat berupa hidayah dan rahmat hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis yang berjudul ―Penilaian Kromium Serum Darah pada Penyandang Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Non Diabetes‖ ini disusun sebagai tugas akhir pada Program Studi S2 Ilmu Gizi Masyarakat.

Terselesaikannya tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Dr Rimbawan, Prof. Dr Faisal Anwar, MS, dan Dr. dr. Adi Teruna Effendi, Sp. PD sebagai dosen pembimbing sekaligus sebagai guru yang senantiasa memberikan motivasi, bimbingan, arahan, dan doa serta mengajarkan kebijaksanaan dan kerendahan hati sebagai orang yang berilmu. Terimakasih kepada Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS sebagai dosen penguji dan Prof. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS. selaku sekretaris prodi Pascasarjana Gizi Masyarakat dan moderator yang telah berkenan memberikan saran demi perbaikan tesis ini.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada dr. Lina, dr. Ni Nyoman Lilik Ardani, dan bu Madu atas bantuan yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian di Puskesmas serta Bu Agung, Bu Dayu, Mbak Febri, Pak Wayan, dan Pak Yoga atas bimbingan yang diberikan kepada penulis saat melaksanakan uji laboratorium. Penulis menghaturkan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas beasiswa BPPDN (Beasiswa Program Pascasarjana Dalam Negeri) yang telah diberikan serta kepada pihak Nutrifood dan Laboratorium Klinik Prodia selaku pemberi sponsorship.

Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada para dosen Pascasarjana program studi Ilmu Gizi Masyarakat atas sumbangsih ilmu yang bermanfaat dan para staf Departemen Gizi Masyarakat, Program Studi S2 Ilmu Gizi masyarakat, dekanat FEMA, dan SPs IPB atas bantuan , kemudahan, dan pelayanan yang penuh kesabaran. Kepada ibuk, bapak, dek Rizal, dan keluarga besar, ucapan terimakasih saja yang baru bisa penulis berikan atas kasih sayang, doa, dan dukungan yang tak pernah mengenal kata selesai. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bu Ketut Sutiari atas masukan dan saran yang diberikan serta telah menjadi sahabat sekaligus rekan kerja yang memberikan motivasi serta sahabat-sahabat Pascasarjana Gizi Masyarakat tahun 2013 serta semua pihak yang membantu, memberikan doa dan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Kesempurnaan bukanlah capaian yang mampu diraih dalam penulisan tesis ini. Namun besar harapan, tulisan ini mampu menjadi keberkahan dan membawa manfaat bagi penulis dan para pembaca.

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN iii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Tujuan umum 3

Tujuan khusus 3

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Diabetes 4

Mekanisme Pengambilan Glukosa Darah 5

HbA1c (Glycosylated haemoglobin) 6

Kromium 7

Kromium pada bahan pangan 7

Metabolisme kromium 8

Penilaian kadar kromium 10

Kadar kromium serum 11

Komposisi Lemak Tubuh 13

Aktivitas Fisik 13

4 METODE 17

Desain, Waktu, dan Tempat 17

Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek 17

Jenis dan Cara Pengambilan Data 19

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 27

Karakteristik subjek 27

Status Gizi 29

Aktivitas Fisik 33

Konsumsi Pangan 34

Profil Darah 37

Hubungan antar Variabel 41

Hubungan antara status gizi dengan profil glukosa darah 41 Hubungan aktivitas fisik dengan profil glukosa darah 42 Hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan profil

glukosa darah 43

Hubungan antara kadar kromium serum dengan profil glukosa darah 45

Faktor Dominan terhadap Profil Glukosa Darah 46

6 SIMPULAN DAN SARAN 48

Simpulan 48

Saran 49

DAFTAR PUSTAKA 50

(16)

DAFTAR TABEL

1 Kandungan kromium beberapa jenis bahan pangan 8

2 Penelitian mengenai status kromium dan diabetes 12

3 Jenis dan cara pengumpulan data 20

4 Pengkatagorian karakteristik subjek 21

5 Pengkatagorian status gizi subjek 22

6 Pengkatagorian nilai aktivitas fisik subjek 22

7 Pengkatagorian tingkat kecukupan energi dan zat gizi subjek 24

8 Pengkatagorian profil darah subjek 24

9 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik 27

10 Konsumsi pangan olahan subjek 28

11 Sebaran subjek berdasarkan aktivitas fisik 33

12 Asupan kromium berdasarkan konsumsi pangan mengandung kromium 35 13 Asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi 36

14 Sebaran profil glukosa darah subjek 37

15 Kadar kromium serum subjek 38

16 Hubungan antara tingkat kecukupan kromium dengan kadar kromium

serum 40

17 Hubungan antara status gizi dengan profil glukosa darah 41 18 Hubungan antara aktivitas fisik dengan profil glukosa darah 43 19 Hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan profil

glukosa darah 43

20 Hubungan antara kadar kromium dengan profil glukosa darah 45 21 Faktor dominan terhadap profil glukosa darah 46

DAFTAR GAMBAR

1 Mekanisme pengambilan glukosa oleh GLUT-4 6

2 Metabolisme kromium 9

3 Kerangka pemikiran 16

4 Diagram penarikan subjek penelitian 18

5 Sebaran subjek berdasarkan IMT 29

6 Sebaran subjek berdasarkan komposisi lemak tubuh 30

7 Nilai rataan komposisi lemak tubuh 31

8 Sebaran subjek berdasarkan kadar lemak visceral 32

9 Sebaran subjek berdasarkan lingkar pinggang 32

10 Nilai rataan lingkar pinggang 33

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner penelitian 57

2 Nilai PAR (Physical Activity Rate) 62

3 Ethical clearence penelitian 63

4 Formulir persetujuan berpartisipasi (Informed Consent) 64

5 Prosedur Penilaian Glukosa Darah Puasa 67

6 Prosedur Penilaian HbA1c 68

(18)
(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gaya hidup yang dipengaruhi oleh era modern yang terjadi saat ini dapat menggiring seseorang memiliki kebiasaan yang kurang sehat. Rendahnya aktivitas fisik dan tingginya konsumsi makanan instan yang padat energi dan tinggi lemak tidak jarang menjadi suatu pilihan gaya hidup modern (Seddon et al. 2001). Asupan makan yang salah dapat berujung pada penyakit degeneratif yang merugikan. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa penyakit degeneratif tersebut saat ini tidak hanya menyerang kelompok lansia saja tetapi juga masyarakat usia produktif sudah mengalami beberapa penyakit degeneratif seperti hipertensi, jantung koroner, stroke, dan diabetes mellitus (Wild et al. 2004; Peng et al. 2009; Ambady et al. 2012; Rubin & Borden 2012).

Diabetes Mellitus (DM) di Amerika Serikat telah menyerang sebanyak 2 juta penduduk atau sekitar 3% dari populasi orang dewasa dan diprediksi akan terus bertamah menjadi 3 juta di awal tahun 2010 sebagaimana prevalensi diabetes meningkat dua kali lipat setiap 20 tahun sejak perang dunia II (Holt & Hanley 2009). Data hasil Riset kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa proporsi penduduk ≥15 tahun dengan DM adalah 5.7% (DepKes RI 2007). Pada tahun 2013 dilakukan survei kembali dan terdapat peningkatan proporsi penduduk ≥15 tahun dengan DM yakni sebesar 6.9% (Kemenkes 2013).

DM adalah gangguan metabolik kompleks dengan ciri-ciri adanya hiperglikemia (tingkat glukosa darah yang lebih dari normal sebagai akibat dari defisiensi insulin atau resistensi insulin. American Diabetes Association (2013) menjelaskan bahwa DM merupakan sebuah kondisi saat gula darah puasa melebihi 125 mg/dl. Taylor (2012) menyatakan bahwa resistensi insulin penting bukan hanya dalam hal keterkaitannya dengan perkembagan DM tipe 2 tetapi juga sebagai target pengobatan kondisi hiperglikemia pada seseorang. DM tipe 2 dapat didahului oleh status gizi lebih atau obesitas pada seseorang terutama yang berkaitan dengan lemak visceral. Jaringan adiposa yang berlebih dapat berkontribusi pada peningkatan asam lemak pada sirkulasi darah yang kemudian dapat menurunkan penggunakaan glukosa sebagai sumber utama energi selular. Kelebihan asam lemak juga dapat meningkatkan deposit lemak pada otot dan hati serta dapat meningkatkan senyawa-senyawa metabolit yang mengganggu pensignalan insulin dalam sel. Jika peningkatan lemak terjadi secara terus-menerus maka dapat merusak fungsi sel islet β pankreas (Day dan Bailey 2011).

(20)

pengambilan glukosa ke dalam sel. Mineral kromium dalam beberapa penelitian dinyatakan memiliki hubungan yang berlawanan dengan resistensi insulin (Kim dan Song 2014).

Studi metaanalisis oleh Abdollahi et al. (2013) menyebutkan bahwa suplementasi kromium dapat memperbaiki parameter gula darah puasa. Namun studi metaanalisis lain oleh Suksomboon et al. (2014) menyimpulkan bahwa terdapat bukti-bukti yang kuat bahwa suplementasi kromium berpengaruh baik terhadap pengendalian gula darah pada penyandang diabetes. Monosuplemen kromium dapat memperbaiki parameter trigliserida dan kolesterol HDL pada penyandang DM tipe 2.

Penyandang DM tipe 2 telah melakukan banyak cara agar tetap mempertahankan kesehatan tubuhnya. Pengaturan pola makan baik dalam jumlah, kualitas, serta waktunya perlu diperhatikan sebagai upaya penanggulangan DM tipe 2. Selain itu, peningkatan aktivitas fisik yang sebelumnya kurang juga perlu dilakukan untuk membantu proses penanggulangan DM tipe 2. Toleransi glukosa dan sirkulasi insulin dan glukagon pada kelompok hiperglikemia mengalami perbaikan setelah pemberian suplemen kromium sedangkan kelompok kontrol tidak mengalami perubahan (Anderson et al. 1991). Balk et al. (2007) menjelaskan bahwa suplementasi kromium secara signifikan memperbaiki respon glikemik pada penyandang DM tipe 2. Namun demikian terdapat sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa suplementasi kromium pada non DM ternyata tidak berdampak apapun pada konsentrasi insulin maupun glukosa darah (Althuis et al. 2002). Adanya perbedaan hasil penelitian ini menjadi salah satu dasar untuk meneliti kadar kromium serum pada penyandang DM tipe 2 dan non DM.

Penelitian mengenai kromium di Indonesia dilakukan oleh Rustan (1998) dengan subjek penderita jantung koroner. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tingkat oklusi koroner <50%, tidak ada korelasi yang bermakna antara kromium serum dengan faktor-faktor risiko. Pada tingkat oklusi koroner >50% ada korelasi yang bermakna kromium serum dengan gula puasa, trigliserida dan HDL kolesterol. Ngaisyah (2010) menyatakan bahwa rata-rata asupan kromium subjek masih berada di bawah standar RDA. Sebesar 78% subjek laki-laki pada kelompok DM tipe 2 memiliki asupan kromium yang tergolong kurang sedangkan pada wanita sebesar 62.8%. Asupan kromium di bawah angka kecukupan yang dianjurkan merupakan faktor risiko bagi diabetes dengan nilai OR 2,02 pada kelompok perempuan. Sedangkan pada kelompok laki-laki memiliki OR 0,05. Asupan kromium pada subjek perempuan DM tipe 2 dan non DM memiliki perbedaan yang signifikan dengan nilai rataan asupan kromium pada subjek non DM lebih besar dibandingkan subjek diabetes. Namun demikian, penelitian ini tidak melakukan penilaian mengenai kadar kromium serum darah pada kedua kelompok subjek.

(21)

Perumusan Masalah

Kromium diketahui sebagai salah satu mineral mikro yang berhubungan dengan pengaturan kadar glukosa darah pada penyandang DM tipe 2. Namun beberapa studi menyebutkan bahwa pemberian mineral kromium ini hanya efektif pada penyandang DM, adapun untuk non DM tidak berdampak apapun. Data mengenai status kromium pada penyandang DM tipe 2 di Indonesia masih terbatas sehingga perlu adanya data awal yang menyediakan gambaran status kromium pada penyandang DM tipe 2. Adanya penelitian ini juga untuk melihat

1. Bagaimana status kromium penyandang DM tipe 2 dan non DM?

2. Adakah keterkaitan antara status kromium darah dengan status DM tipe 2? 3. Berapa kadar kromium pangan yang banyak dikonsumsi dan memberikan

kontribusi terhadap kromium bagi tubuh?

4. Jenis pangan apa saja yang memberikan kontribusi kromium pada masyarakat?

5. Bagaimana kecukupan asupan kromium pada penyandang DM tipe 2 dan non DM?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan penilaian kadar kromium pada penyandang DM tipe 2 dan non DM.

Tujuan khusus

1. Mengetahui karakteristik subjek DM tipe 2 dan non DM 2. Menilai status gizi dan aktivitas subjek DM tipe 2 dan non DM

3. Mengetahui gambaran konsumsi pangan sumber kromium dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi subjek DM tipe 2 dan non DM

4. Menilai kadar kromium serum, glukosa darah puasa, dan HbA1c subjek DM tipe 2 dan non DM

5. Menguji keterkaitan antara asupan kromium dengan kadar kromium serum 6. Menguji keterkaitan antara status gizi, aktivitas fisik, dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi serta kadar kromium dengan glukosa darah puasa dan HbA1c

Manfaat Penelitian

(22)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes Mellitus (DM)

DM merupakan suatu gangguan kronis pada hormon insulin yang mengakibatkan tubuh tidak mampu menggunakan glukosa sehingga tidak dapat dimanfaatkan menjadi sumber energi. DM dapat terjadi apabila pankreas tidak mampu memproduksi cukup insulin (kurangnya hormon insulin) atau insulin yang kurang efektif dalam membantu proses konversi glukosa menjadi energi (resistensi insulin). Insulin dalam hal ini berfungsi untuk membantu masuknya glukosa dalam sel agar kemudian dapat digunakan untuk menghasilkan energi. Jika glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel tubuh maka akan terjadi peningkatan glukosa dalam darah (hiperglikemia). Kondisi DM ini dipengaruhi oleh genetik atau lingkungan dan dapat juga keduanya (Leslie et al. 2012).

American Diabetes Association (2015) mengklasifikasikan diabetes mellitus menjadi:

1. DM tipe 1 (disebabkan oleh kerusakan sel beta, biasanya mengarah pada defisiensi insulin absolut).

DM tipe 1 muncul karena adanya mediasi dari sistem imun yang mengakibatkan kerusakan pada sel β pankreas. Diabetes ini sebelumnya disebut dengan Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau juvenil-onset diabetes. Sebesar 5-10% penyandang diabetes mellitus merupakan jenis diabetes mellitus tipe 1. Diabetes mellitus tipe 1 ini terjadi karena adanya kerusakan yang disebabkan oleh autoimun tingkat selular yang ditandai oleh autoantibodi sel islet, autoantibodi insulin, autoantibodi GAD (GAD65), autoantibodi tirosin fosfatase IA-2 dan IA-2b, serta autoantibodi transporter zinc 8 (ZnT8). DM tipe 1 bisa terjadi jika terdapat salah satu atau lebih penanda autoimun tersebut. Tingkat kerusakan sel β berbeda pada masing-masing individu. Pada anak-anak atau remaja dapat disertai adanya ketoasidosis sebagai manifestasi awal dari penyakit ini. 2. DM tipe 2 (karena gangguan sekresi insulin yang didahului oleh adanya

resistensi insulin)

(23)

karena kondisi hiperglikemia yang terus berkembang. Penyandang DM mungkin memiliki kadar insulin yang normal atau tinggi, namun seharusnya dengan kadar glukosa darah yang tinggi diharapkan mampu menghasilkan sekresi insulin yang lebih tinggi lagi pada kondisi sel β pankreas yang normal sehingga sekresi insulin tidak lagi efektif. Risiko DM tipe 2 akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, obesitas, dan rendahnya aktivitas fisik.

3. DM Gestasional

DM gestasioanal adalah kondisi hiperglikemia yang terjadi pada masa kehamilan. Hiperglikemia ini terjadi karena intoleransi glukosa dan hanya berlangsung sementara. Penyandang DM gestasional diperkirakan sekitar 7% dari total penyandang diabetes dan pada umumnya dapat dideteksi setelah trimester kedua.

4. DM tipe lain

DM ini terjadi akibat faktor-faktor lain dan terjadi pada sekitar 1-2% dari keseluruhan kasus DM. Penyebab lain yang dapat mengakibatkan diabetes diantaranya gangguan genetik fungsi sel beta, kerja insulin, adanya penyakit eksokrin pankreas seperti cystic fibrosis serta pengaruh obat atau zat kimia yang dapat menginduksi diabetes seperti glukokortikoid.

Mekanisme Pengambilan Glukosa Darah

Glukosa merupakan molekul hidrofilik yang tidak dapat berdifusi sepanjang lapisan lipid bilayer pada permukaan membran sel. Oleh sebab itu, pengambilan glukosa dalam sel difasilitasi oleh transporter membran. Manusia memiliki dua macam transporter glukosa, yaitu transporter glukosa yang bergantung pada sodium/natrium (Sodium dependent glucose transporter/SGLT) dan transporter glukosa fasilitatif (Fasilitative glucose transporter/GLUT). SGLT berperan dalam membantu penyerapan glukosa pada usus dan ginjal sedangkan GLUT bertanggungjawab pada pengambilan glukosa pada sel-sel otot skeletal. Terdapat 14 gen yang termasuk dalam family GLUT. Adapun yang berperan dalam pengambilan glukosa pada sel-sel otot adalah GLUT-4 (Karlsson 2005). Proses dan mekanisme pengambilan glukosa ke dalam sel dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(24)

dalam vesikel intraseluler otot skeletal dan lemak akan dihancurkan. Sebaliknya ketika kadar insulin plasma tinggi GLUT-4 akan ditranslokasikan dari vesikel ke membran plasma. Sejalan dengan translokasi GLUT-4, vesikel berfusi ke membran plasma sehingga menyebabkan GLUT-4 tertanam pada membran plasma, membuat GLUT-4 siap untuk fungsi absorbsi atau ambilan glukosa. Dengan terekspresinya GLUT-4, difusi glukosa ke dalam otot skeletal dan sel-sel lemak akan terfasilitasi. Namun gangguan pada ekspresi GLUT-4 dapat menyebabkan gangguan metabolik berupa resistensi insulin.

Gambar 1 Mekanisme pengambilan glukosa oleh GLUT-4

HbA1c (Glycosylated haemoglobin)

HbA1c merupakan biomarker untuk mengukur rata-rata glukosa yang berikatan dengan hemoglobin dalam sel darah merah (glycated hemoglobin) dalam periode tertentu. Dinamakan HbA1C karena hemoglobin, pigmen merah pada sel darah berikatan dengan oksigen dalam sel darah merah. Sementara itu molekul-molekul glukosa juga akan tertaut pada molekul hemoglobin pada sel darah merah yang memiliki usia 120 hari. Selama masa tersebut, jumlah glukosa yang terikat pada hemoglobin pada sel darah merah bergantung pada kadar glukosa darah dalam waktu tertentu. Persentase hemoglobin yang berikatan dengan glukosa ini memberikan estimasi rata-rata kadar glukosa darah selama usia sel darah merah itu sendiri (Hanas dan Fox 2008). Adanya perbaikan kontrol glikemik menunjukkan pengurangan kadar HbA1C setelah empat pekan (Nitin 2010).

(25)

dengan glukosa (Little et al. 2007). Selain itu menurut Sabanayagam et al. (2009) HbA1c dapat divalidasi sebagai biomarker risiko terhadap komplikasi diabetes kronis dan mortalitas.

American Diabetes Association (2016) menyatakan bahwa pengukuran HbA1c sebagai salah satu parameter penanda diabetes memiliki beberapa keuntungan dibandingkan pemeriksaan glukosa darah puasa dan pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah post prandial. Pengukuran HbA1c tidak memerlukan kondisi tertentu seperti puasa dan lebih stabil dari pengaruh fisiologis seperti stress atau kondisi sakit. Cut off point untuk HbA1c lebih rendah dibandingkan glukosa darah puasa. Seseorang diindikasikan diabetes jika memiliki kadar HbA1c ≥6.5% (48 mmol/mol).

Kromium

Kromium adalah elemen alami yang dapat ditemukan di alam dengan bentuk 3 valensi, yaitu kromium elemental (0), kromium trivalen (+3), dan kromium heksavalen (+6). Kromium trivalen merupakan bentuk yang secara alami dapat ditemukan sedangkan kromium elemental dan heksavalem merupakan tipe kromium yang biasanya dihasilkan dari proses industri (Williams PL 2000). Zat gizi kromium adalah kromium dengan bentuk trivalen karena bentuk heksavalen merupakan salah satu produk sampingan dari industri seperti baja (stainless steel) dan logam-logam campuran. Bentuk heksavalen ini dapat memicu terjadinya kanker. Namun demikian bentuk heksavalen ini tidak berkaitan dengan zat gizi kromium dan sebaliknya zat gizi kromium dalam bentuk trivelen tidak dapat berubah menjadi heksavalen dalam tubuh manusia (Challem 2003).

Kromium pada bahan pangan

Kromium trivalen merupakan bentuk kromium yang stabil dan paling banyak ditemukan di alam. Kromium trivalen dinyatakan sebagai trace element esensial (tidak dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh) pada mamalia dan terlibat dalam metabolisme lemak dan glukosa. Tubuh menyerap kromium (III) dalam jumlah yang terbatas (<0.5-2%) dari diet normal. Tubuh akan menyerap dalam jumlah yang lebih jika kandungan kromium dalam diet rendah dan sedikit sedangkan kebutuhan tubuh terhadap asupan kromium meningkat (IPCS 2009).

(26)

Tabel 1 Kandungan kromium beberapa jenis bahan pangan (Souci et al. 2008))

Jenis pangan Kadar Cr

(µg/100 g)

Makanan pokok

Beras 2

Beras merah 2

Jagung 8.8

Oat 6

Kentang 2.5

Protein hewani

Daging sapi 5.3

Ayam 5

Telur 2.5

Udang 26

Protein nabati

Kacang hijau 2.2

Kedelai 6.1

Kacang tanah 8

Buah

Apel 4.1

Pear 27

Pisang 2

Tomat 20

Sayur

Bayam 8.8

Kangkung 8.5

Selada 6.6

Wortel 4

Jamur 17

Buncis 36

Brokoli 16

Kembang kol 2

Kacang panjang 2.2

Metabolisme kromium

(27)

terjadi peningkatan penyerapan apabila berada dalam bentuk organik (Cefalu dan Hu 2004). Metabolisme kromium dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Metabolisme kromium

Gambar 2 menunjukkan bahwa setelah diserap, kromium akan didistribusikan pada berbagai jaringan dalam tubuh namun lebih terkonsentrasi pada ginjal, otot, dan hati. Protein utama pembawa kromium adalah transferin yang berperan penting dalam pemindahan kromium dalam darah ke kromodulin. Perpindahan reseptor transferin pada membran plasma sel yang tidak sensitif terhadap insulin setelah stimulasi insulin merupakan tahap permulaan. Transferin yang mengandung kromium akan terikat pada reseptor transferin masuk dalam endositosis. Perpindahan kromium dari transferin ke kromodulin dibantu dengan adanya penurunan pH pembuluh darah dengan cara pemanfaatan pompa ATP (Cefalu dan Hu 2004).

(28)

glutamat. Kompleks apokromodulin ini disebut dengan holokromodulin atau kromodulin (Gropper dan Smith 2009).

Insulin signaling dalam sel dapat dilakukan melalui proses fosforilasi residu tirosin pada protein khusus. Insulin dan growth factors sebagai ligand membentuk ikatan dengan reseptor insulin sehingga memfosforilasi tirosin kinase. Secara lebih spesifik, insulin pada awalnya berikatan dengan sub-unit α pada reseptor insulin, ikatan ini akan memicu terjadinya fosforilasi residu tirosin spesifik pada sub-unit β pada reseptor insulin dan menstimulasi aktivitas tirosin kinase pada reseptor dan pada protein substrat intraseluler pada sitosol (sebagai substrat 1 reseptor insulin) yang terlibat dalam proses transduksi sinyal. Sebagai contoh, aktivasi fosfatidilinositol-3-kinase merupakan akibat dari ikatan substrat reseptor insulin pada sub-unit regulator enzim. Pada akhirnya hal ini akan memungkinkan terjadinya aktivitas sel-sel insulin-dependent seperti translokasi GLUT 4 untuk pengambilan glukosa, sintesis protein, dan sebagainya. Kromodulin berikatan dengan sub-unit β yang kemudian akan menstimulasi aktivitas kinase pada sub-unit β pada reseptor insulin. Kromodulin juga akan menstimulasi aktivitas tirosin kinase pada beberapa enzim yang terlibat dalam pensinyalan insulin dan dapat berefek pada translokasi GLUT4 serta memperbaiki pengambilan glukosa seluler (Effendi dan Waspadji 2013). Sel-sel yang mengandung kromium menunjukkan adanya peningkatan ekspresi gen reseptor insulin, perbaikan anabolisme protein, penurunan degradasi protein, dan memperbaiki sensitivitas insulin (Gropper dan Smith 2009).

Penilaian kadar kromium

Kromium merupakan elemen mikro yang keberadaannya sangat kecil dalam tubuh akibatnya sulit untuk mengetahui seberapa besar tingkat keparahan jika terjadi defisiensi kromium pada sebuah populasi. Hingga saat ini belum ada enzim atau biomarker lain dalam tubuh yang dapat digunakan sebagai penanda untuk mendeteksi kromium dalam melakukan penilaian status kromium. Oleh karena itu pengukuran status kromium yang memungkinkan untuk dilakukan adalah memeriksa konsentrasi kromium pada serum darah, urin, dan rambut (Gibson 2005). Kadar kromium pada darah juga dapat diketahui dari sel darah merah. Namun demikian konsentrasi kromium pada sel darah merah memiliki rentang yang lebar dan nilainya hampir tidak dapat dibedakan antara orang normal dengan diabetes. pemeriksaan kromium pada sel darah merah dianjurkan untuk dijadikan biomarker terhadap paparan Cr6+ dari industri (Vaglenov et al. 1999)

Keberadaan kromium pada serum darah berbentuk Cr3+ yang terikat pada transferin yang membantu transportasi kromium dari darah menuju jaringan-jaringan tubuh. Kromium serum menggambarkan asupan kromium dan tidak menggambarkan simpanan kromium pada jaringan. Kadar kromium serum darah berada pada rentang 1-3 nmol/L pada kelompok dewasa (Gibson 2005).

(29)

Penilaian kadar kromium juga dapat dilakukan dengan melihat konsentrasi kromium pada rambut. Penelitian yang menggunakan rambut sebagai bahan biopsi dalam menilai status kromium sangat terbatas. Hal ini dikarenakan kulit kepala dapat terpapar oleh kontaminasi sehingga standardisasi pengumpulan sampel dan prosedur pembersihan sampel sangat penting dilakukan sebelum analisis. Konsentrasi kromium pada rambut lebih besar dibandingkan pada serum dan urin sehingga mempermudah analisis (Gibson 2005). Namun Magson et al. (2013) menunjukkan bahwa status kromium pada rambut tidak berbeda signifikan antara penyandang DM tipe 2 dan non DM sehingga disarankan untuk meneliti dan menginvestigasinya lebih lanjut lagi.

Kadar kromium serum

Telah banyak penelitian yang memberikan informasi keterkaitan antara diabetes dengan mineral kromium maupun mineral lain. Akhuemokhan et al. 2010 menyebutkan bahwa status kromium pada serum darah berkaitan dengan diabetes subjek yang dinilai berdasarkan kadar HbA1c (p-value<0.001). Pada rata-rata kadar kromium mencapai 0.4 μg/L kadar HbA1c sebagai penanda diabetes mencapai 8.8%. Adapun penelitian-penelitian lain yang menjelaskan keterkaitan antara kromium dengan diabetes disajikan pada Tabel 2.

Secara keseluruhan tabel 2 menunjukkan bahwa penyandang diabetes atau seseorang yang mengalami resistensi insulin memiliki keterkaitan dengan kromium. Hal tersebut dibuktikan pada kromium serum darah yang rendah pada subjek diabetes maupun pada subjek yang mengalami resistensi insulin yang dinilai berdasarkan beberapa biomarker seperti kadar gula darah puasa, kadar kolesterol HDL maupun LDL atau penanda lain yang menunjukkan tingkat keparahan diabetes yaitu HbA1c

(30)

Absorbtion Spectrophotometer (AAS) atau dengan Inductively coupled plasma mass spectrometry (ICP-MS).

Tabel 2 Penelitian mengenai status kromium dan diabetes

No Jurnal Subjek Kadar Cr (µg/L)

1 Systematic Review: Clinical and biochemical aspects of chromium deficiency (Wallach S 1985)

- 0.075-4.7 (Diabetes) 0.16-6.1 (Normal) 2 Serum Chromium, Manganese, Zinc and

Hemoglobin A 1c % in Sudanese with Type 2 Diabetes (Elabid & Ahmed 2014)

Sudan 0.06±0.02 (Diabetes) 0.11±0.02 (Normal) 3 Chromium in Blood Evaluation (Buyder

2010)

Canada 0.27±0.15 (Diabetes) 0.27±0.08 (Normal) 4 Chromium supplementation in non-obese

non-diabetic subjects is associated with a decline in insulin sensitivity (Masharani et al 2012)

Amerika <0.5-0.6 (Placebo) 0.8 to 5.5

(Suplementasi Cr) 5 Trace mineral status related to Levels of

glycated hemoglobin of type 2 diabetic subjects in Jeddah, Saudi Arabia. (Farid & Abulfaraj 2013)

Saudi Arabia

41.3±5.2 (Diabetes) 63.1±4.2 (Normal) 6 Role of chromium supplementation in

Indians with type 2 diabetes mellitus (Ghosh et al. 2002)

India 1.59±0.48 (Diabetes) 2.32±0.39 (Normal) 7 Evaluation of Serum Chromium Levels in

Patients with Type1 and 2 Diabetes Mellitus and insulin resistance (Hasan et al. 2012)

Iraq 0.038±0.024 (Diabetes) 0.50±0.1 (Normal) 8 Assessment of the Serum Chromium Level

inPatients with Type 2 Diabetes Mellitus (Hemati 2011)

Iran 4.58 (Diabetes) 7.92 (Normal) 9 Serum Chromium, Zinc and Testosterone

Levels in Diabetics in University of

Calabar Teaching Hospital Calabar Nigeria (Umeribe et al. 2012)

Nigeria 0.032±0.019 (Diabetes) 0.046±0.021 (Normal) 10 Text book: Tietz Clinical Guide to

Laboratory Tests (Wu et al. 2006)

- <0.05–0.5 (Normal) 11 Serum Chromium, Copper, and Manganese

Levels of Diabetic Subjects in Katsina, Nigeria (Adewumi et al. 2007)

(31)

Komposisi Lemak Tubuh

Effendi 2013 menjelaskan bahwa terdapat dua jenis jaringan lemak, yaitu jaringan lemak putih (white adipose tissue, WAT) dan jaringan lemak coklat (brown adipose tissue, BAT). Jaringan lemak atau adiposa pada mamalia tidak hanya mencakup satu bagian yang homogen namun terdistribusi pada seluruh tubuh. Keberadaan jaringan adiposa tidak hanya tersimpan pada satu bagian tertentu pada tubuh dengan fungsi biologis yang spesifik tetapi juga tersimpan pada hampir keseluruhan bagian tubuh. Jaringan adiposa subkutan atau lemak subkutan merupakan simpanan lemak yang ditemukan antara jaringan dermis dengan jaringan otot dan terdistribusi pada kulit (Mc Manus dan Mitchell 2014). Adapun jaringan lemak visceral merupakan lemak yang berada di rongga perut (pelvis, abdomen, dan dada) dan lemak bagian dalam yang lainnya yang tersimpan sebagai intramuskular dan paroseal (Mc Manus & Mitchell 2014).

Lemak abdomen menurut Depres (2012) dapat dibagi menjadi lemak visceral dan lemak subkutan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lemak visceral abdomen ini mempengaruhi proses metabolik dan merupakan faktor risiko penyebab kematian. Effendi (2013) juga menyebutkan bahwa risiko penyakit jantung koroner, stroke iskemik, serta DM tipe II meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat obesitas sentral. Sejalan dengan meningkatnya deposit lemak visceral , stres oksidatif turut pula meningkat yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan sekresi adipokin proinflamatoris dan adipokin prokoagulatif namun menekan sekresi adiponektin. Hal ini akan berakibat pada ketidakseimbangan yang bersifat pro kardiometabolik detrimental yang pada akhirnya akan mendorong timbulnya resistensi insulin. Akumulasi lemak abdominal baik jaringan adiposa visceral maupun subkutan diketahui memiliki keterkaitan yang erat dengan berkembangnya penyakit atau gangguan metabolik (Anan et al. 2008; Umegaki et al. 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Tyrovolas et al. (2015) menemukan bahwa obesitas dan rasio lingkar pinggang dengan tinggi badan memiliki keterkaitan yang erat dengan kejadian DM tipe II (p-value < 0.0001). Adapun rasio lingkar pinggang dengan tinggi badan yang bernilai >0.5 merupakan faktor risiko dari DM tipe II di beberapa negara dengan OR 1.68 (CI 1.03-2.74) hingga 5.40 (CI 2.06-14.12).

Aktivitas Fisik

(32)

kesehatan. Aktivitas fisik dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker kolon dan payudara serta depresi. Selain itu, aktivitas fisik yang cukup akan menurunkan risiko fraktur tulang belakang dan panggul dan membantu mengontrol berat badan (WHO 2010).

Tingkat aktivitas fisik pada seseorang dapat dinyatakan dengan nilai Physical Activity Level (PAL) yang merupakan perkalian dari Phisical Activity Rasio (PAR) dengan durasi melakukan aktivitas. Adapun PAR pada dasarnya merupakan jumlah energi yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas setiap satuan waktu (menit/jam). FAO/WHO/UNU mengklasifikasikan aktivitas fisik menjadi tiga, yaitu rendah, sedang, dan berat (FAO/WHO/UNU Expert Consultation 2001).

(33)

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Diabetes mellitus tipe 2 dapat muncul karena adanya pengaruh faktor genetik dan lingkungan. Diabetes mellitus tipe 2 merupakan manifestasi dari gaya hidup yang yang tidak sehat. Gaya hidup seseorang merupakan subuah perilaku yang banyak dipengaruhi oleh pengetahuan gizi sehingga pengetahuan gizi dan beberapa factor lain yang memungkinkan akan menentukanjenis pangan yang dikonsumsi oleh seseorang serta tingkat aktivitas fisik. Pangan yang sehat serta aktivitas fisik yang cukup akan menentukan status gizi seseorang dan membantu dalam penatalaksanaan diet bagi para penyandang diabetes disamping konsumsi obat diabetes untuk membantu mengurangi gejalanya. Namun jika perilaku hidup yang kurang sehat terus dilakukan maka akan berdampak pada status gizi yang tidak normal serta dapat mengakibatkan disfungsi pengaturan homeostasis dalam tubuh salah satunya adalah resistensi insulin yang banyak dijumpai pada diabetes.

Pangan yang dikonsumsi oleh seseorang akan menentukan bagaimana asupan kromium orang tersebut. Mineral kromium ini menurut beberapa penelitian memiliki keterkaitan dengan diabetes atau resistensi insulin. Ketidakmampuan insulin melakukan fungsinya dalam menjaga homeostasis glukosa dalam darah juga disebabkan oleh defisiensi mikromineral yang berperan dalam pengaturan masuknya glukosa ke dalam sel. Hoffman et al. (2014) menjelaskan bahwa kromium dapat memperbaiki resistensi insulin dalam menjaga homeostasis glukosa darah dengan meningkatkan aktivasi Activated Monophosphat Protein Kinase (AMPK) serta meningkatkan fungsi GLUT 4 sebagai transporter glukosa.

(34)

Gambar 3 Kerangka pemikiran

Keterangan

: variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti : hubungan yang diteliti : hubungan yang tidak diteliti

Pengetahuan gizi

Aktivitas fisik Konsumsi

pangan (Riwayat Diabetes

Keluarga)

Profil darah:

1. Glukosa darah puasa

2. HbA1C

Obat diabetes Kadar kromium

darah

Asupan kromium

Faktor Genetik Lingkungan

Diabetes Mellitus Tipe II

(35)

4 METODE

Desain, Waktu, dan Tempat

Penelitian dilakukan dengan desain cross sectional survey pada bulan Juni 2015-Februari 2016. Pengambilan data berupa pemeriksaan, penentuan subjek penyandang diabetes/non diabetes, dan pengambilan sampel darah yang dilakukan di Puskesmas I Denpasar Timur dan Puskesmas I Denpasar Barat Kota Denpasar. Analisis kadar glukosa darah puasa dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Kota Denpasar, analisis kadar HbA1c dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia kota Denpasar dan analisis kromium dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta. Penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan Ethical Clearance dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan Nomor: 356/UN2.F1/ETIK/2015. Persetujuan etik penelitian ini ditunjukkan pada Lampiran 3.

Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek

Populasi dalam penelitian ini adalah penyandang diabetes Kota Denpasar yang merupakan anggota paguyuban diabetes Puskesmas Kota Denpasar. Subjek digolongkan ke dalam dua kelompok yakni penyandang diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) dan non diabetes (non DM). Subjek dipilih secara purpossive dengan jumlah minimal 36 orang untuk masing-masing kelompok dengan kriteria inklusi adalah:

1. Pria dan wanita usia 50-65 tahun 2. Didiagnosis DM tipe 2

3. Sudah mengalami menopause untuk wanita ≥1 tahun terhitung saat penelitian dilakukan

4. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan pada inform concent (Lampiran 4).

Adapun kriteria eksklusi yang tidak memungkinkan responden untuk dipilih adalah:

1. Didiagnosis DM tipe 1 dengan komplikasi beberapa penyakit 2. Menderita anemia

3. Menggunakan terapi insulin bagi penyandang DM tipe 2

Jumlah subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus uji hipotesis rerata dua populasi.

n =

[

]

=

[

]

=

[

]

= 35.

5 ≈ 36

Keterangan :

n : jumlah sampel minimal yang diperlukan α : derajat kepercayaan yang diambil adalah 0.05

(36)

kromium serum pada penelitian sebelumnya dengan nilai μ = 30.6 nmol/L (Gosh et al. 2002)

s : simpangan baku pada penelitian sebelumnya (s = 9.3 nmol/L) z1- α/2 : 1.96

Kerangka penarikan subjek dapat dilihat pada Gambar 4. Jumlah pralansia dan lansia yang mendapatkan pelayanan Puskesmas 1 Denpasar Timur dan Barat sebanyak 2641 orang. Calon subjek merupakan pralansia dan lansia yang mengikuti paguyuban Prolanis (Program pengelolaan penyakit kronis) Puskesmas 1 Denpasar Timur dan Barat yang berjumlah 432 orang. Calon subjek yang berasal dari Puskesmas I Denpasar Timur sebanyak 187 orang sedangkan dari Puskesmas I Denpasar Barat adalah 245 orang. Adapun subjek yang memenuhi kriterian inklusi dan eksklusi sebanyak 45 orang (DMT2 = 10 orang; non DM = 34 orang) dari Puskesmas I Denpasar Timur dan 54 orang (DMT2 = 32 orang; non DM = 21 orang) dari Puskesmas I Denpasar Barat. Diagnosis calon subjek telah dilakukan oleh dokter umum yang bertugas di puskesmas yaitu dr. Ni Nyoman Lilik Ardani dan dr. Lina. Diagram berikut ini menggambarkan cara penarikan subjek penelitian.

Gambar 4 Diagram penarikan subjek penelitian Pralansia dan lansia yang

mendapatkan pelayanan dari Puskesmas I Denpasar Barat dan Puskesmas I Denpasar Timur (2 641 orang)

Kriteria inklusi DMT2 : 10 orang Non DM : 37 orang Puskesmas I Denpasar Timur calon subjek: 187 orang Puskesmas I Denpasar Barat

calon subjek: 245 orang

Kriteria inklusi DMT2 : 32 orang Non DM : 22 orang

Subjek penelitian DMT2 : 42 orang Non DM : 49 orang Anggota Paguyuban Prolanis : 432 orang (Diagnosa dokter)

(37)

Jenis dan Cara Pengambilan Data

Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi pendidikan formal, penghasilan yang dinilai dengan pendekatan pengeluaran total, pengeluaran pangan, rasio pengeluaran pangan, status gizi, konsumsi pangan, aktivitas fisik, dan profil darah. Data sekunder pada penelitian ini didapat dari catatan medis puskesmas yang meliputi usia, jenis kelamin, dan status kesehatan (DMT2 atau non DM). Data karakteristik subjek didapatkan dengan wawancara menggunakan kuesioner yang dapat dilihat pada Lampiran 1.

Status gizi dalam penelitian ini dinilai dengan menggunakan metode antropometri berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), komposisi lemak tubuh, lemak visceral, dan lingkar pinggang. Pengukuran IMT dilakukan dengan terlebih dahulu menimbang berat badan (BB) dan mengukur tinggi badan (TB). Penimbangan BB dilakungan dengan mengunakan Bioelectrical Impedance Analisys (OMRON Body Composition Monitor BF508) sedangkan tinggi badan diukur dengan microtoise yang memiliki ketelitian 0.1 cm. Komposisi lemak tubuh dan lemak visceral pada penelitian ini dinilai dengan menggunakan Bioelectrical Impedance Analyzer (OMRON Body Composition Monitor BF508) . Mekanisme kerja BIA adalah mengestimasi resistensi arus listrik pada alat yang melewati permukaan lemak dan komponen organ lain dalam tubuh. Lingkar pinggang diukur dengan menggunakan alat ukur panjang (meteran) yang memiliki ketelitian 0.1 cm. Bagian yang diukur adalah bagian pinggang yang terletak di antara bagian atas pinggul dan pangkal tulang rusuk yang dihitung secara melingkar (keliling).

Aktivitas fisik dinyatakan dalam Physical Activity Level (PAL). Penilaian aktivitas fisik menggunakan formulir recall aktivitas fisik selama 2 x 24 jam. Data yang diambil adalah macam-macam aktivitas fisik yang dilakukan oleh subjek beserta durasi melakukan aktivitas tersebut. Macam-macam aktivitas fisik ini memiliki nilai Physical Activity Rate (PAR) yang dapat dilihat pada Lampiran 2.

Data konsumsi pangan diperoleh dengan menggunakan Food Recall 2 x 24 jam untuk mengetahui asupan energi, protein, lemak, dan serat. Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQ FFQ) digunakan untuk memberikan gambaran asupan dan konsumsi pangan sumber kromium. Kandungan kromium pangan diperoleh dari Tabel Komposisi dan Gizi Bahan Pangan, Souci et al. (2008). Konsumsi makanan dicatat dalam satuan URT (Ukuran Rumah Tangga) kemudian dikonversi dalam bentuk gram. Berat bahan pangan dalam satuan gram merupakan intake makanan subjek. Intake ini kemudian dikonversi menjadi asupan energi dan zat gizi.

(38)

Serum inilah yang kemudian dianalisis kadar glukosa darah puasanya. Prosedur analisis kadar glukosa darah puasa dapat dilihat pada Lampiran 5.

Pengukuran HbA1c menggunakan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dengan prinsip dasar pemisahan HbA1c berdasarkan warna untuk membedakannya dengan jenis-jenis hemoglobin lain dalam darahSampel darah untuk analisis kadar HbA1c diambil bersamaan dengan pengambilan darah untuk pengukuran karah glukosa puasa. Banyaknya sampel yang diambil untuk analisis HbA1c adalah 3 ml. Prosedur analisis HbA1c dapat dilihat pada Lampiran 6.

Sampel yang digunakan dalam analisis Cr adalah serum. Serum yang digunakan untuk analisis kromium adalah serum hasil sentrifuse darah sebanyak 2 ml yang digunakan untuk analisis glukosa darah puasa. Analisis kromium pada penelitian ini menggunakan alat Atomic Absorption Spectrophotometer-Flame. Prosedur analisis kadar glukosa darah puasa dapat dilihat pada Lampiran 7. Jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data

No Variabel Indikator Cara Pengumpulan Data 1 Karakteristik

subjek

Usia Catatan medis puskesmas

Jenis kelamin

2. Status gizi IMT Bioelectrical Impedance

Analyzer (BIA) Komposisi lemak tubuh

Lemak visceral

Lingkar pinggang Pita ukur 3. Aktivitas fisik PAL (Physical Activity

Level)

5. Profil darah Glukosa darah puasa Analisis di laboratorium (Labkesda Kota Denpasar

HbA1c Analisis di laboratorium

(Prodia)

(39)

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah diperoleh diolah dengan tahapan-tahapan, meliputi editing, coding, entri, cleaning untuk dianalisis selanjutnya. Pengolahan data menggunakan program microsoft excell 2010 dan SPSS 16 for windows. Dari keseluruhan data yang diperoleh, adapun yang merupakan variabel bebas adalah karakteristik subjek, status gizi, aktivitas fisik, konsumsi pangan, aktivitas fisik, dan kadar kromium serum darah. Data profil darah yang berupa kadar glukosa darah puasa dan HbA1c merupakan variabel terikat dalam penelitian ini.

Pengolahan data karakteristik subjek

Karakteristik subjek yang diamati adalah usia, pendidikan formal, penghasilan yang dinilai dengan pendekatan pengeluaran, pengeluaran pangan dan non pangan, serta rasio pengeluaran pangan. Pengkatagorian karakteristik subjek dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Pengkatagorian karakteristik subjek

No Variabel Kategori

1. Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan 2. Jenjang pendidikan 1. SD

2. SMP 3. SMA

4. Perguruan tinggi 3. Total pengeluaran 1. ≤ Rp 2 100 00

2. Rp 2 100 001 – Rp 3 000 000 3. > Rp 3 000 000

4. Pengeluaran pangan

1. ≤ Rp 1 000 00

2. Rp 1 000 001 – Rp 2 000 000 3. > Rp 2 000 000

5. Rasio pengeluaran - Pengolahan data status gizi

Status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) didapatkan dengan menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan subjek kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Keterangan:

IMT : Indeks Massa Tubuh (kg/m2) BB : Berat badan (kg)

TB : Tinggi badan (m2)

(40)

Tabel 5 Pengkatagorian status gizi subjek

No Variabel Kategori

(laki-laki ≤90 cm; perempuan ≤80 cm) 2. Tinggi

(laki-laki >90 cm; perempuan >80 cm)

Pengolahan aktivitas fisik

Tingkat aktivitas fisik dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) selama 2 hari (2x24 jam). Pengukuran aktivitas fisik dilakukan terhadap jenis aktivitas yang dilakukan subjek dan lama waktu melakukan aktivitas dalam sehari. FAO/WHO/ UNU Expert Consultation (2001) menyatakan bahwa aktivitas fisik adalah variabel utama setelah angka metabolisme basal dalam penghitungan pengeluaran energi. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

PAL =∑ Keterangan:

PAL : Physical activity level (tingkat aktivitas fisik)

PARi : Physical activity rate dari masing-masing aktivitas yang dapat dilihat

pada Lampiran 2 (PAR merupakan jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis aktivitasper jam)

Wi : Alokasi waktu tiap aktivitas

Klasifikasi nilai PAL dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6 Pengkatagorian nilai aktivitas fisik subjek

(41)

Pengolahan konsumsi pangan

Data konsumsi pangan sumber kromium diperoleh dengan menggunakan Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQ FFQ) dengan tujuan untuk memberikan gambaran konsumsi sumber kromium dan jumlah asupannya. Adapun asupan zat gizi lain diperoleh dengan Recall konsumsi pangan 2x24 jam. Berat pangan yang dikonsumsi oleh subjek dikonversi menjadi asupan energi dan zat gizi dengan rumus sebagai berikut:

Kgij = {(Bj/100) x Gij x (BDDj/100)}

Keterangan:

Kgij : Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j yang dikonsumsi Bj : Berat bahan makanan j yang dikonsumsi (g)

Gij : Kandungan zat gizi i dalam 100 g BDD bahan makanan j BDDj : Persen bahan makanan j yang dapat dimakan (%BDD)

Angka kecukupan energi subjek dihitung berdasarkan angka metabolisme basal (AMB), tingkat aktivitas fisik, dan faktor stress. Perhitungan AMB menggunakan rumus Harris-Benedict berikut ini:

AMB laki-laki (kkal) : 66.5 + 13.75 (BB) + 5.0 (TB) – 6.78 (U) AMB perempuan (kkal) : 655 + 9.56 (BB) + 1.85 (TB) – 4.68 (U)

Angka kecukupan energi dihitung menggunakan rumus: AKE : AMB x FA x FS

Keterangan

AMB : Angka metabolisme basal (kkal) BB : Berat badan (kg)

TB : Tinggi badan (cm) U : Usia (tahun) FA : Faktor aktivitas FS : Faktor stress

Asupan zat gizi setiap subjek yang diperoleh dari konsumsi makanan sehari kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi 2013 sehingga diperoleh tingkat kecukupan gizi dengan rumus sebagai berikut:

TKG = (K/AKGi) x 100%

Keterangan:

TKG : Tingkat kecukupan zat gizi K : Konsumsi zat gizi subjek

(42)

Tingkat kecukupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat diklasifikasikan menjadi defisit, normal, dan lebih. Klasifikasi serat pangan dan kromium adalah defisit dan cukup. Tabel 7 menunjukkan klasifikasi dari tingkat kecukupan energi dan zat gizi.

Tabel 7 Pengkatagorian tingkat kecukupan energi dan zat gizi subjek

No Variabel Kategori

4. Serat (KEMENKES 2014) 1. Defisit (perempuan <28 g; laki-laki <33 g) 2. Cukup (perempuan ≥ 28 g; laki-laki ≥ 33 g) 5. Mineral (Gibson 2005) 1. Defisit <77%AKG (AKG 2013)

2. Cukup ≥ 77%AKG

Pengolahan data profil glukosa darah

Kadar glukosa darah puasa dan HbA1c dikategorikan berdasarkan nilai ambang batas seseorang dinyatakan diabetes. Kadar glukosa darah puasa seseorang dikatakan diabetes adalah di atas 125 mg/dL sedangkan untuk HbA1c

≥6.5%. Pengkatagorian masing-masing variabel profil darah dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Pengkatagorian profil darah subjek

No Variabel Kategori

(43)

korelasi Pearson dan Spearman digunakkan untuk menganalisis hubungan antara dua variabel. Hubungan antara kecukupan serat dengan kadar gula darah puasa dan HbA1c dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Pearson. Hal ini dikarenakan keseluruhan subjek memiliki tingkat kecukupan serat yang defisit. Uji korelasi Pearson ini juga dilakukan pada analisis hubungan antara tingkat kecukupan kromium dengan kadar kromium serum. Uji korelasi Spearman digunakan untuk uji korelasi pada variabel selain serat terhadap glukosa darah puasa dan HBA1c. Analisis bivariat juga dimaksudkan untuk memilih variabel-variabel yang potensial untuk dimasukkan kedalam model regresi logistik ganda. Variabel yang memiliki p-value < 0,25 dan variabel-variabel yang telah diketahui secara teoritis bermakna, dipertimbangkan sebagai kandidat untuk model multivariat (Dahlan 2009). Adapun analisis multivariat akan digunakan uji regresi logistik. Analisis multivariat dilakukan untuk memperoleh hubungan yang paling baik (fit model) dan model paling sederhana yang dapat menggambarkan hubungan antara variabel independen secara bersama-sama dengan variabel dependen (Hastono 2007).

Keterangan:

y1 : Kadar glukosa darah puasa (tinggi: 0; normal: 1)

y2 : Kadar HbA1c (tinggi: 0; normal: 1) α : Konstanta

β : Koefisien regresi

x1 : Indeks Massa Tubuh (overweight/obesitas: 0; Normal: 1) x2 : Komposisi lemak tubuh (overweight/obesitas: 0; Normal: 1) x3 : Lemak visceral (overweight/obesitas: 0; Normal: 1)

x4 : Lingkar pinggang (overweight/obesitas: 0; Normal: 1) x5 : Aktivitas fisik (rendah: 0; sedang/tinggi: 1)

x6 : Tingkat kecukupan kromium (kurang: 0; cukup: 1)

Definisi Operasional

Populasi adalah pralansia dan lansia yang merupakan anggota paguyuban prolanis di Puskesmas I Denpasar Barat dan Puskesmas I Denpasar Timur kota Denpasar.

Subjek adalah pralansia pada rentang usia 50-65 tahun yang merupakan anggota prolanis di Puskesmas I Denpasar Barat dan Puskesmas I Denpasar Timur kota Denpasar.

Subjek DM tipe 2 adalah subjek yang mengalami diabetes mellitus tipe 2 berdasarkan diagnosa dokter puskesmas yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

(44)

Aktivitas fisik adalah tingkat aktivitas fisik yang didapatkan dari perkalian antara nilai physical activity rate dengan durasi yang kemudian diklasifikasikan menjadi aktivitas fisik ringan, sedang, dan berat berdasarkan WHO (2001).

Kadar GDP adalah kadar glukosa darah yang diambil dari pembuluh darah vena dalam kondisi puasa 8 jam.

HbA1c adalah biomarker untuk mengukur rata-rata glukosa yang berikatan dengan hemoglobin selama 120 hari yang lalu (sesuai dengan usia sel darah merah), disebut juga hemoglobin terglikosilasi (glycated hemoglobin) dan dapat digunakan untuk mengindikasikan tingkat gangguan glikemik kronik.

Kadar kromium serum adalah hasil pengukuran kadar kromium serum darah dengan menggunakan alat Atomic Absorption Spectrophotometer-Flame. Status gizi adalah karakteristik antropometri pada subjek yang meliputi Indeks

Massa Tubuh, komposisi lemak tubuh, lemak visceral, dan lingkar pinggang.

Indeks Massa Tubuh adalah salah satu cara pengukuran status gizi metode antropometri dengan membandingkan antara berat badan dengan kuadrat tinggi badan yang menunjukkan kondisi status gizi berdasarkan WHO (2004).

Komposisi lemak tubuh adalah persentase lemak tubuh pada subjek (Gomez et al 2011) yang diukur dengan menggunakan Bioelectrical Impedance Analyzer

Lemak visceral adalah distribusi lemak pada rongga abdomen dengan angka

relatif yang diukur dengan menggunakan Bioelectrical Impedance Analyzer.

Lingkar pinggang adalah salah satu pengukuran lemak tubuh yang menandakan distribusi lemak abdominal sebagai salah satu parameter obesitas (WHO 2008).

(45)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik subjek

Prevalensi diabetes meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Insiden diabetes akan terus meningkat pada dewasa akhir dan pralansia yaitu menjelang usia 65 tahun atau lebih (Halter et al. 2014). Subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah 87 orang yang secara keseluruhan berada pada rentang usia 50-65 tahun. Karakteristik berupa jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, pengeluaran pangan, dan rasio pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik

Karakteristik subjek nDMT2% NNon DM%

Jenis kelamin

Laki-laki 17 40.5 11 24.4 Perempuan 25 59.5 34 75.6

Pendidikan

SD 7 16.7 11 24.4

SMP 6 14.3 3 6.7

SMA 17 40.5 20 44.4

Perguruan Tinggi 12 28.6 11 24.4

Total pengeluaran

≤ 2 100 000 9 21.4 13 28.9 2 100 001-3 000 000 23 54.8 23 51.1 >3 000 000 10 23.8 9 20.0

Rataan 3 064 286 3 004 444

SD 1 417 800 1 271 891

Pengeluaran pangan

≤1 000 000 12 28.6 20 44.4 1 000 001 - 2 000 000 22 52.4 21 46.7 >2 000 000 8 19.0 4 8.9

Rataan ± SD 1 588 095 1 402 222

SD 682 607 562 660

Rasio pengeluaran pangan 52.9±11.3 48.1±10.4

(46)

non DM adalah 14.3% dan 6.7%. Pendapatan subjek pada penelitian ini menggunakan pendekatan pengeluaran/bulan. Klasifikasi pengeluaran berdasarkan nilai kuartil yaitu pengeluaran ≤Q1, Q1< pengeluaran ≤Q3, dan pengeluaran >Q3. Kelompok DM tipe 2 maupun non DM memiliki persentase terbanyak pada tingkat pengeluaran di atas Rp 2 100 000 hingga Rp 3 000 000 yakni 54.8% untuk kelompok DM tipe 2 dan 51.1% untuk kelompok non DM. Rata-rata pengeluaran kelompok DM tipe 2 adalah Rp 3 064 284 per kapita/bulan. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan kelompok non DM yaitu Rp 3 004 444 per kapita/bulan.

Sebagaimana pengeluaran, pengeluaran pangan dikompokkan berdasarkan nilai kuartil. Pengeluaran pangan dalam penelitian ini merupakan pengeluaran yang dialokasikan untuk membeli pangan yang dikonsumsi oleh subjek dalam jangka waktu satu bulan. Sebagian besar (52.4%) kelompok DM tipe 2 memiliki pengeluaran pangan pada kisaran Rp 1 000 000 hingga Rp 2 000 000. Sebesar 46.7% subjek non DM juga memiliki pengeluaran pangan pada kisaran tersebut. Sebesar 44.4% subjek non DM memiliki pengeluaran pangan ≤ Rp 1 000 000 per kapita/bulan.

Rasio pengeluaran pangan kelompok DM tipe 2 lebih tinggi dibandingkan kelompok non DM. Pada awalnya, hal ini diduga karena alokasi pengeluaran digunakan untuk mengkonsumsi pangan padat energi. Namun setelah dilakukan analisis konsumsi beberapa pangan olahan, subjek DM tipe 2 maupun subjek non DM ternyata sama-sama memiliki kebiasaan mengkonsumsi pangan padat energi. Tabel 10 menunjukkan beberapa pangan olahan yang dikonsumsi oleh subjek.

Gambar

Tabel 1 Kandungan kromium beberapa jenis bahan pangan (Souci et al. 2008))
Gambar 2  Metabolisme kromium
Tabel 2 Penelitian mengenai status kromium dan diabetes
Gambar 3 Kerangka pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Namun hasil analisa dari metode-metode tersebut, memperlihatkan ketidak konsistensian antara rock type dengan , Seperti yang diperlihatkan pada metode Windland 35, dimana pada

Berdasarkan pada permasalahan yang telah dijelaskan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan merumuskan judul “ Meningkatkan

Berbagi pengalaman persalinan juga merupakan hal penting untuk dilakukan, dengan hal ini para ibu dan suami merasa terbantu dalam menjalani proses persalinan nantinya, untuk

Berdasarkan hasil dari simulasi, dari 100 citra yang diujikan terdiri dari 50 mata glaukoma dan 50 mata normal didapatkan akurasi terbaik 96% yang dapat dilihat dari hasil

Dari pertanyaan ini, Maka rumusan masalahnya ialah bagaimana makna pengampunan yang diberikan Yesus terhadap perempuan berzinah yang dipaparkan Injil Yohanes 7:53-8:11

Segala puji dan syukur penulis ucapkan yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk merasakan dan mengikuti pendidikan

[r]

Pengaruh Kepemimpinan, Kompensasi, dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus di Maya Ubud Resort &amp; SPA).. Manajemen Sumber Daya