cover
PEMIKIRAN
ISLAM
KONTEMPORER
Oleh:
Dr. Muhammad Azhar, MA.
PRAKATA
Seiring dengan dinamika sosial yang terus dan semakin berkembang, sesuai natur alam semesta, maka berbagai perubahan tersebut seharusnya diimbangi dengan upaya peningkatan refleksi intelektualisme keislaman di negeri ini. Negara republik Indonesia yang dihuni oleh mayoritas muslim ini semestinya ikut bertanggungjawab terhadap masa depan peradaban bangsa muslim terbesar di dunia ini. Harapan tertinggi untuk tercapainya masa depan peradaban bangsa yang cerah tersebut, pertama dan paling utama tentunya diamanahkan ke pundak calon intelektual muslim yang tersebar di berbagai perguruan tinggi – khususnya PT Islam – di tanah air. Dalam realitas sosial dan akademik selama ini, sering terjadi adanya kesenjangan, di satu sisi semakin meluasnya tantangan sosial yang ada, dengan lambannya perkembangan refleksi pemikiran keislaman di sisi yang lain. Padahal secara ideal, gerak cepat dinamika sosial yang ada harus dapat diimbangi bahkan sejajar dengan gerak dinamika pemikiran Islam itu sendiri. Dengan demikian, ajaran mulia agama Islam tidak berhenti pada dataran normatif-metafisis, namun dapat lebih membumi serta menjadi acuan solutif atas berbagai tantangan sosial yang terus berkembang.
ketidakpedulian dengan perubahan sosial; kurang berempati dengan isu lingkungan hidup; ketidakcermatan dalam merespon isu sekularisme, pluralisme dan fundamentalisme; pengabaian terhadap gagasan tentang kesejahteraan social; cuek atau kurang memahami jejaring korupsi di tanah air; abai terhadap pentingnya wawasan tentang sains; jender; merupakan isu-isu mendasar yang sangat signifikan bagi kehadiran naskah buku ini nantinya.
Pada awalnya, buku ini merupakan hasil renungan penulis terhadap berbagai isu sosial yang berkembang di tanah air, yang sedapat mungkin penulis berikan jawabannya dari kekayaan khazanah pemikiran Islam yang lebih kontekstual dengan perkembangan yang ada. Sebenarnya banyak isu yang berkembang di negeri ini, namun dalam naskah ini penulis lebih focus pada pengantar ke pemikiran Islam, yang secara khusus mengkaji tentang logosentrisme pemikiran Islam yang tradisional, modern maupun postmodern; sebagai basis intelektualisme keislaman kontemporer dalam memahami isu-isu aktual selanjutnya. Setelah itu, pembahasan penulis lanjutkan dengan perspektif Islam tentang berbagai isu (current issues) sebagaimana yang telah penulis kemukakan terdahulu.
Sepanjang pelacakan penulis, masih amat minim buku-buku teks perkuliahan
di perguruan tinggi yang berupaya mengaitkan antara wawasan pemikiran Islam dengan berbagi isu kontemporer yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian, buku ini diharapkan menjadi buku pengayaan bagi mahasiswa yang mengikuti mata kuliah PIK (Pemikiran Islam Kontemporer); MSI (Metodologi Studi Islam), maupun MK keislaman terkait lainnya. Secara lebih luas, buku ini juga dapat menjadi sumber tambahan informasi wawasan keislaman bagi mahasiswa umum, para peneliti, pengkaji dan pemerhati sosial maupun para pengambil kebijakan di negeri ini.
Akhirnya, penulis ucapan terimakasih kepada Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberi kesempatan untuk menyusun dan mempublikasikan naskah ini kelak. Tak lupa juga ucapan terimakasih yang sama penulis sampaikan kepada LP3M UMY atas dukungan untuk pengajuan naskah ini. Demikian pula halnya atas dukungan moril dari isteri dan keluarga.
Wallahu a’lam
bisshawab.-DAFTAR ISI
BAB I: PENGANTAR PEMIKIRAN ISLAM
1.Logosentrisme Pemikiran Islam
………
2. Tipologi Pemikiran Islam: Tradisional dan Modern
………
3. Posmodernisme Pemikiran Islam
………..
BAB II: PEMIKIRAN ISLAM DAN SOSIAL POLITIK
1. Pluralitas Mazhab Siyasah dalam Pemikiran Politik
Islam ………
2. Demokrasi dan Modernitas
………..
3. Pengembangan Nilai-Nilai Demokrasi dalam Keluarga
dan Masya-
rakat
4. Politik Islam di Indonesia: Ideologisasi, Substansiasi,
Objektivikasi
dan Transformasi
………
5. Telaah tentang Fundamentalisme Islam
………..
6. Nalar Fundamentalisme Politik dan Fundamentalisme
Autentik ..
BAB III: PEMIKIRAN ISLAM DAN SOSIAL
KEMASYARAKATAN
1. Pemikiran Islam tentang Pembangunan dan
Perubahan Sosial ….
2. Problematika Lingkungan Hidup
……… ……….. ..
3.Pemahaman tentang Sekularisme
……… ………
4.Masyarakat Kitab dan Pluralisme
……….
5. Kepedulian Terhadap Anak Jalanan
……….. ………..
6. Kapabilitas dan Akseptabilitas Kepemimpinan Kaum
Puan
………
………
1.Korupsi Kebudayaan dan Budaya Korupsi ……..
………...
2. Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia ..
……….
3. Beberapa Peluang Pengembangan Ekonomi Islam
………
BAB V: PEMIKIRAN ISLAM TENTANG SAINS DAN
FUTUROLOGI
- Wacana Agama dan Sains dalam Epistemologi
Islam
Kontemporer
………. ………..
-
Bibliograf
……….
-
Glossary
………
….
-
Daftar
Riwayat
Hidup
BAB I
PENGANTAR
PEMIKIRAN
1. Logosentrisme Pemikiran Islam
Istilah Logosentrisme mengandung dua arti, pertama, tradisi yang mencirikan pemikiran Barat dan berdasarkan anggapan bahwa “ada” sama dengan kehadiran dan yang benar adalah yang riil atau hadir. Kedua, kenyataan bahwa manusia tidak dapat mengungkapkan diri dan malahan tidak dapat berpikir kecuali melalui bahasa, tradisi kebahasaan, tradisi teks tertentu: “manusia berada di dalam kungkungan logosentris” (clôture logocentrique). Istilah logosentrisme kedua ini merupakan gambaran yang dipakai Jacques Derrida33
Aspek logosentrisme yang ditekankan Arkoun adalah kecenderungan manusia untuk membicarakan – yang dianggap sebagai – kenyataan (realitas) dengan mengulang-ulangi teks sebagai preteks (sebagaimana tersebut di atas) dan memaparkan kenyataan itu secara mensistematisir dan mengotak-ngotakkan dalam tradisi teologi dan fikih Islam, tetapi tidak terbatas padalingkungan Muslim.34
Dalam pandangan Arkoun, ketika membaca sebuah, teks kita harus melihat unsur informasi yang tersirat (implicit information) di dalamnya yang menggambarkan adanya struktur mental serta keterkaitan teks dengan ruang budaya tertentu. Untuk dapat meneliti hal tersebut tentu dibutuhkan adanya transdisiplin ilmu (sejarah, sosiologi, etnologi, antropologi, linguistik, dan lain-lain). Ketika menemukan sebuah teks maka di situ ada tiga hal yang tak boleh dilupakan yakni: tulisan (writing), teks (text) dan pembacaan
(reading).35
33 Lihat Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,
Jakarta: INIS, 1994, hlm. 311
34 Lihat Johan Meuleman, “Beberapa Catatan Kritis tentang Karya Mohammed Arkoun”, dalam Tradisi,
Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, Yogyakarta: LKiS, hlm. 160
35 Lihat juga, Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif
Dalam logika Yunani kita mengenal konsep logos (tuturan-nalar) yang dalam bahasa Arabnya identik dengan nuthq yang berarti wicara yang terungkap. Dalam konteks wicara dan nalar di sana ada logika (manthiq) serta penutur (nathiq).
Mengutip pandangan Aristoteles, Arkoun mengemukakan bahwa konsep logos sudah tidak lagi bersifat profetik maupun bersifat dialektis. Logos cenderung mengabaikan pendengar. Pada abad pertengahan, lanjut Arkoun, logos kenabian yang (open minded) bergeser ke wacana pengajaran (closed minded).36
Lebih lanjut, wacana pengajaran tentang segala realitas – termasuk tentang Allah – telah didominasi oleh prinsip kategori Aristotelian37. Dampak yang
dimunculkan dari fenomena ini adalah munculnya berbagai upaya penyelarasan, polemik, apologi serta pengkotakan berbagai mentalitas. Walhasil, pelbagai dialektika dan logika berpikir dalam studi keislaman telah dikungkung oleh prinsip kategori dan hegemoni Aristotelianistik. Lebih lanjut, wacana tentang eksistensi sesuatu maupun realitas duniawi lebih bersifat morfologik dan sintaksis, belum beranjak jauh pada tataran ontologik. Di lingkungan pengguna bahasa Arab belum muncul upaya riset baru secara lebih mendalam tentang hal ini.38 Di sinilah, menurut
Arkoun, perlu adanya analisis wacana39 dalam studi keislaman baik yang bersifat
mitis-puitis (wilayah para penyair), maupun yang bersifat “ilmiah” dan logis (seperti yang ditekuni Arkoun selama ini).
36 Ibid, hlm. 75. Bandingkan juga dengan Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary
Islamic Thought, New York: The Institute of Ismaili Studies 2002, p. 179-203
37 Bandingkan dengan al-Farabi, Kitab al-Huruf, Beirut: M. Mahdi, 1970. Ibnu Taimiyah, Radd
‘ala-al-Manthiqiyyin, Bombay, 1949. Josep Van Ess, The Logical Structure of Islamic Theology, 1970, Reprinted by Permission of Otto Harrassowitz. Lihat juga, Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles, Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqh, Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004
38 Lihat Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern … , hlm. 3
39 Untuk contoh kajian analisis wacana, baik juga dibandingkan dengan Eriyanto, Analisis Wacana,
Konsekwensi logis dari metode analisis wacana ini adalah perlunya studi sejarah gagasan (the history of ideas) yang di dalamnya terkait tentang tulisan, teks dan pembacaan. Menurut Arkoun, sebuah wacana begitu ditulis, ia lepas dari pengawasan penulisnya dan memulai kehidupannya sendiri. Pembacalah yang menentukan kekayaan/kehampaan sebuah teks, perluasan atau keringnya teks serta pengabaian maupun pengaktifan kembali teks tersebut. Pembaca jarang sekali menerima sebuah teks dengan memahami semua maknanya sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulis. Kata Arkoun, dalam perspektif analisis wacana, penulis awalnya adalah pembaca, tetapi pembaca tidak selamanya penulis (every author is originally a reader, while not every reader is an author)..Interaksi pembaca dengan teks menentukan logos dan roh dalam satu bahasa yang kelak melahirkan pluralitas bahasa. Dalam kaitan ini, bahasa ada yang bersifat terbuka yakni dalam wicara (the spoken word atau kalam), dan ada yang bersifat tertutup yakni bahasa yang telah dibakukan dalam sebuah tulisan (teks). Dengan kata lain, bahasa wicara tentunya jauh lebih kaya dan mengandung banyak nuansa ketimbang bahasa tulisan. Intinya, wicara jelas berbeda dengan tulisan.40
Dalam hal ini bisa dimaklumi bahwa bahasa berbeda dengan pemikiran, dimana pemikiran tetap merupakan kegiatan bebas dan mampu memperbaharui secara terus-menerus kemungkinan-kemungkinan baru ungkapan bahasa. Sebagaimana terlihat dampaknya dalam wilayah pemikiran Yunani maupun pengembangan sains pada era sesudahnya. Maka ketika kita melihat sebuah teks, sikap kritis dan pembacaan secara produktif (production of meaning) harus diterapkan, sebaliknya sikap pengulangan (reproduction of meaning)41 harus
dihindari demi ditemukannya berbagai kemungkinan baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan di masa depan, tidak terkecuali di dalamnya pengembangan studi-studi ilmu keislaman.
40 Bandingkan dengan Muhammad Azhar, “Pemikiran Ludwig Wittgenstein tentang Bahasa dan
Makna” dalam Wawasan Sosial Politik Islam Kontekstual, Yogyakarta: UPFE UMY, 2005, hlm. 3-14
41 Untuk kajian komprehensif tentang pembacaan reproduction of meaning/qiraah mutakarrirah dan
production of meaning/qiraah muntijah ini, baca, Nasr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif. Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan (Jakarta: ICIP, 2004)
Berdasarkan analisis di atas Arkoun berpandangan bahwa pemikiran Islam sudah lama mengalami kungkungan logosentrisme seperti yang terlihat dalam tradisi ushul fiqh yang telah lama memenjarakan proses ijtihad. Proses ijtihad melalui mekanisme ijma’, qiyas dan “sunnah Nabi”42 lalu diklaim sebagai representasi wahyu
Allah. Padahal dalam mekanisme atau proses ijtihad itu sendiri pada hakikatnya tidak terlepas dari pemikiran manusiawi para ulama juga yang tidak lepas dari proses pembacaan terhadap kehendak Tuhan sebagaimana tercermin dalam al-Qur’an. Apa yang selama ini dianggap wahyu Tuhan sebenarnya juga merupakan hasil refleksi pemikiran ulama juga. Konsep “kebenaran” yang ditransendenkan ke dataran ilahiah sebenarnya juga bagian dari bentuk konkrit dari adanya keterkungkungan logosentrisme. Dengan keras Arkoun bahkan menyatakan bahwa banyak mujtahid yang telah menipu diri dan para pengikutnya karena mengharuskan adanya tafsir monolitik tentang paham keagamaan yang sering menafikan adanya pluralitas penafsiran. Bahkan al-Ghazali sendiri, oleh Arkoun, dianggap kurang memahami mana wilayah transenden dan imanen dalam agama. Kalam Allah yang imanen dianggap transenden.43
Lebih lanjut Arkoun menyatakan bahwa pemahaman tentang agama
(religion), budaya (culture) dan negara (state)44 telah lama terpenjara oleh
logosentrisme yang akhirnya mengabaikan local genius atau pluralitas pemahaman yang mungkin bisa diekspresikan. Pada akhirnya agama dan budaya menjadi sandi-sandi yang formalistik dan resmi. Pemahaman agama dan budaya menjadi terikat dengan pemaknaan yang sudah mapan (statis), lalu lupa pada upaya proses
pencarian makna secara terus-menerus (dinamis). Agama dan budaya sudah menjadi tulisan (teks), fosil keilmuan. Kekayaan nuansa agama dan budaya yang terefleksikan dalam wacana (discourse) menjadi tereliminasi dan hilang.
42 Contoh nalar-nalar aksiomatik yang mencerminkan kungkungan logosentrisme terlihat dalam
beberapa pandangan seperti berikut: ‘seorang sahabat Nabi tidak mungkin bohong”; “umat tidak mungkin sepakat mengenai kesalahan (laa tajtami’u ummati ‘ala al-dlalalah)’; semua benar pada masa nubuwwah; para sahabat mengetahui segalanya mengenai kehidupan dan ajaran Nabi; kontradiksi antara al-Qur’an dan Sunnah hanya mungkin diakibatkan oleh perubahan sebuah teks oleh seorang perawi; dan sebagainya). Bagi Arkoun, semua model penalaran ini harus dikaji secara lebih kritis.
43 Lihat Arkoun, Nalar Islami, hlm. 80
44 Bahasan secara khusus dan mendalam tentang hubungan agama dan Negara dapat dilihat dalam bab
IV
Sejalan dengan keterpenjaraan logosentrisme model Arkoun di atas, ada baiknya juga kita kemukakan di sini pandangan Francis Bacon (1561-1626) tentang
Idols of the Mind. Menurut Bacon, ada empat model penjara pikiran yang sering membelenggu nalar kritis manusia: Pertama, Arca-arca Suku (Idols of the Tribe)
yang mengandung makna tentang seseorang atau sekelompok orang yang cenderung menerima bukti-bukti atau kejadian-kejadian yang menguntungkan pihak atau kelompoknya sendiri. Kedua, Arca-arca Gua (Idols of the Cave). Kita cenderung untuk memandang diri kita sebagai pusat dunia dan menekankan pendapat kita yang terbatas. Ketiga, Arca-arca Pasar (Idols of the Market), yang mendorong kita untuk terpengaruh oleh kata-kata atau nama-nama yang kita kenal dalam percakapan kita sehari-hari. Kita disesatkan oleh kata-kata yang diucapkan secara emosional. Misalnya, bagi masyarakat (bangsa) Amerika, kata-kata komunis dan radikal.
Keempat, Arca Panggung (Idols of the Theatre) yang ditimbulkan karena sikap kita yang berpegang pada partai, kepercayaan atau keyakinan (pemahaman agama). Tingkah laku, cara-cara dan aliran-aliran pikiran adalah seperti panggung, dalam pengertian bahwa mereka membawa kita kepada dunia khayal. Akhirnya arca panggung membawa kita kepada kesimpulan yang salah arah. Penjara atau hambatan pemikiran yang jernih ini dapat juga dikembangkan dengan istilah atau kata-kata lain, seperti: purbasangka (prejudice), kerawanan terhadap propaganda
(susceptibility to propaganda), dan sumonggo-dawuhisme, ABS-isme, ketaatan mutlak tanpa reserve kepada seseorang atau suatu badan, pemikiran atau
authoritarianism.45
45 Lihat Titus, Smith dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),hlm.
193-194
2. Tipologi Pemikiran Islam
Menurut Prof. Dr. Fazlur Rahman, paling tidak, ada empat tipologi pemikiran keislaman yang pernah berkembang di dunia Islam. Tipologi gerakan pemikiran yang pertama adalah Revivalisme Pra Modernis yang muncul pada abad ke-18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan yang tidak terkena sentuhan Barat ini memperlihatkan ciri-ciri umum: a) Keprihatinan yang mendalam tentang degradasi sosio moral ummat Islam dan usaha untuk mengubahnya; b) Imbauan untuk kembali kepada Islam sejati dan mengenyahkan tahyul-tahyul yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berusaha untuk melaksanakan ijtihad; c) Imbauan untuk mengenyahkan corak predeterministik; d) Imbauan untuk melaksanakan pembaruan ini lewat kekuatan bersenjata (jihad) jika perlu.
Menurut Rahman, dasar pembaruan Revivalisme Pra Modernis ini kemudian diambil alih oleh gerakan kedua, Modernisme Klasik, yang muncul pada
pertengahan abad ke-19 dan awalke-20 di bawah pengaruh ide-ide Barat. Yang baru pada gerakan ini adalah perluasannya terhadap ‘isi’ ijtihad, seperti hubungan antara akal dan wahyu, pembaruan sosial, khususnya dalam bidang pendidikan dan status wanita serta pembaruan politik dan bentuk-bentuk pemerintahan yang representatif serta konstitusional lantaran kontaknya dengan pemikiran dan masyarakat Barat. Usaha modernisme klasik dalam menciptakan yang baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui sumber al-Qur’an dan Nabi, menurut Rahman, merupakan suatu prestasi besar yang tidak bersifat artifisial atau terpaksa. Hakikat penafsiran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ‘Sunnah Historis’ (yakni biografi Nabi) sebagaimana dibedakan dengan ‘Sunnah teknis’ (yakni yang terdapat di dalam hadits-hadits). Mereka umumnya skeptis terhadap hadits, tetapi skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah.
Modernisme Klasik telah memberikan pengaruh terhadap gerakan ketiga,
Neo Revivalisme atau Revivalisme Pasca Modernis, seperti dalam mendukung gagasan demokrasi dan percaya serta mempraktekkan bentuk pendidikan Islam yang relatif telah dimodernisir. Bahkan gerakan ketiga ini telah mendasari dirinya pada basis pemikiran Modernisme Klasik bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kolektif. Namun karena usahanya untuk membedakan diri dari Barat, maka Neo Revivalisme merupakan reaksi terhadap Modernisme Klasik. Mereka tidak menerima metode atau semangat Modernisme Klasik; tetapi sayangnya, mereka tidak mampu mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan posisinya, selain berusaha membedakan Islam dari Barat
Di bawah pengaruh Neo Revivalisme , tetapi juga merupakan tantangan terhadapnya, Neomodernisme Islam muncul, dan Rahman mengklaim dirinya sebagai juru bicara gerakan baru ini. Dengan tegas Rahman mengatakan bahwa Neomodernisme Islam harus mengembangkan sikap kritis tentang Barat maupun warisan-warisan kesejarahannya sendiri. Kaum muslimin harus mengkaji dunia Barat serta gagasan maupun ajaran-ajaran dalam sejarah keagamannya sendiri. Bila hal ini tidak dikaji secara obyektif, maka keberhasilannya dalam menghadapi dunia modern
merupakan suatu hal yang mustahil, bahkan kelangsungan hidupnya sebagai Muslim-Muslim akan sangat meragukan.1
Neomodernisme Islam ini, sebagaimana dinyatakan Rahman sendiri, ingin merajut kembali kekayaan tradisi Muslim lalu dikemas secara metodologis untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam kaitan ini Rahman menyatakan: “Bersama-sama dengan rancangan ekonomi dan rencana-rencana lima tahun, sekarang kaum Muslimin di seluruh dunia sedang mengalihkan perhatian mereka kepada penafsiran kembali Islam sesuai dengan konteks zaman modern … maka satu-satunya jalan, yang dapat mereka tempuh adalah merumuskan kembali garis-garis kebijaksanaan yang positif sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kontemporer dan berdasarkan petunjuk-petunjuk sosial dan moral yang diberikan oleh Islam … Karena kita menyadari bahwa dalam beberapa abad ini ilmu pengetahuan Islam dapat dikatakan lebih bersifat mekanis dan semantik daripada interpretasi ilmiah, maka betapapun kecil dan bersahajanya perjuangan kita adalah untuk mencairkan kebekuan di dalam dunia pemikiran Islam baik di dalam religius maupun moral.2
Selanjutnya Rahman mengemukakan bahwa ‘satu-satunya jalan yang mungkin untuk melakukan pembaruan adalah dengan cara merombak kembali asal-usul dan pengembangan keseluruhan tradisi Islam, dengan cara dimana al-Qur’an dan Sunnah Rasul didekati, ditangani dan ditafsirkan.3
Fazlur Rahman dengan Neomodernismenya mengingatkan umat Islam untuk dapat membedakan secara jeli antara Islam normatif dan Islam historis. Dalam memahami al-Qur’an perlu dibedakan aspek ideal moral (sebagai tujuan) dengan ketentuan legal-spesifik; dimana aspek ideal moral yang lebih pantas diterapkan. Ciri lain dari Neomodernisme Islam ini adalah metodologi penafsiran al-Qur’an harus dilakukan dengan gerakan ganda (double movement) dari sitausi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan kembali ke masa kini.4 Sampai di sini kita cukupkan
1 Lihat Taufik Adnan Amal, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman (Bandung:
Mizan, l987), hlm. 18-19
2 Lihat Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. (Bandung: Pustaka, l983), hlm. v-vii
3 Lihat Fazlur Rahman, Islam & Modernitas, tentang Transformasi Intelektual (Bandung: Pustaka,
l982), hlm. 173
4 Lihat Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur
sekedar pengantar awal perkembangan pemikiran Islam modern sebelum kita memasuki wacana pemikiran Islam kontemporer sebagaimana yang ditawarkan oleh Mohammed Arkoun. Menurut Penulis, refleksi metodologis dan epistemologis pemikiran Islam modern pra Arkoun belum tampak secara serius menawarkan keterkaitan antara pemikiran Islam dengan wacana ilmu-ilmu sosial kontemporer, misalnya. Bahkan Fazlur Rahman sendiri belum begitu intensif mendalaminya, walaupun telah mulai mencoba untuk menawarkannya.5 Pada tahap perkembangan
pemikiran keislaman selanjutnya, Mohammed Arkoun tampaknya mulai merealisir tentang persentuhan antara Islam dan wacana ilmu-ilmu sosial dimaksud, sebagai salah satu prasyarat signifikansi dan relevansi wacana pemikiran keislaman kontemporer.6
3. Posmodernisme Pemikiran Islam
Dalam wilayah studi Islam posmodern ini pada hakikatnya merupakan
penekanan secara lebih rigid lagi tentang pentingnya saling keterkaitan antara pola
studi Islam tradisional dan studi Islam modern. Kedua pola Islamic studies ini, pada
hakikatnya tidak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri (paralel), maupun bersifat linier,
5 (… di antara kelemahan Fazlur Rahman adalah kekurang-akrabannya dengan ilmu-ilmu sosial
modern. Rahman kurang mengapresiasi Ibnu Khaldun sebagai peletak dasar ilmu sosial dimaksud.). Lihat, Nurcholish Madjid, “Fazlur Rahman dan Usaha Penyingkapan Kembali Etika Al-Qur’an: Kesan dan Pengamatan Seorang Murid”, makalah seminar yang diadakan oleh LSAF, Jakarta: 3 Desember l988.
6 Bandingkan, Muhammad Azhar, “Pendekatan Empirik dalam Tradisi Pemikiran Islam”, Suara
dalam pengertian studi Islam tradisional maupun studi Islam modern merasa
memiliki kelebihan dalam dirinya sendiri, dibanding model studi lainnya. Mengingat
semakin meluasnya persoalan yang dihadapi umat dan bangsa, serta semakin
kompleksnya permasalahan yang ada, maka untuk format studi keislaman mendatang
mau tidak mau harus bersifat saling melengkapi,65 yang dalam bahasa penulis, studi
Islam mendatang harus dirumuskan secara lebih integratif.
Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa masih adanya ketegangan (tension)
antara mazhab Islamization of Knowledge (Islamisasi Ilmu) dan Scientification of
Islam (Saintifikasi Islam), namun ketegangan yang ada tidak dapat mengabaikan satu
hal, yakni: betapa mendesaknya upaya pengayaan bahkan pengembangan dari
model-model studi keislaman yang ada, yang selama ini masih cenderung didominasi oleh
pola studi keislaman normatif-teologik-apologetik. Upaya ini merupakan sebuah
kemestian, sejalan dengan dinamika perkembangan zaman dan tantangan sosial yang
ada. Setiap angkatan generasi keilmuan, diharuskan untuk melahirkan format studi
keislaman yang baru, sesuai dengan semangat zamannya.66
Adapun masih ditemukannya ketegangan dalam penggunaan studi Islam
tradisional maupun modern, dapat diselesaikan melalui adanya sikap tenggang rasa
dan mentalitas akademis dari masing-masing aliran yang “berseteru”, untuk terus
melakukan berbagai eksperimen studi keislaman melalui pengayaan berbagai
pendekatan dan metode keilmuan oleh masing-masing penganut aliran pada lembaga
65 Lihat Amin Abdullah, Islamic Studies, hlm. 223.
66 Perlu pembacaan productive of meanning/qiraah muntijah yang kontinu dalam studi Islam,
kajian keislaman yang diminati, baik yang bersifat formal, seperti ISTAC/IIUM67
maupun IAIN/UIN/STAIN, PTAIS.68 Bahkan dimungkinkan pula dikembangkan di
lembaga PTU seperti program ICRS UGM, selain studi Islam kontekstual69 yang
sudah ada. Berbagai eksperimen di lembaga kajian Islam non-formal lainnya serta
berbagai media informasi keislaman yang digunakan, akan sangat membantu dalam
mempercepat proses pengayaan sekaligus pengembangan dari berbagai pola studi
keislaman yang sudah mapan. Secara jangka panjang, semuanya akan tumbuh
berkembang secara alami, sebagai bentuk upaya penyemaian benih-benih peradaban
Islam di masa depan.
Adapun mengenai pendapat penulis di atas, pada hakikatnya sejalan dengan
apa yang telah dirumuskan para pengkaji Islamic studies terdahulu, seperti Mukti Ali
dengan scientific-cum-doctriner; Nurcholish Madjid dengan Islam Peradaban;
Kuntowijoyo dengan Islam Ilmu; Amin Abdullah dengan Epistemologi studi
keislaman.70
Berdasarkan telaah di atas, tradisi baru studi keislaman masa depan
mengandaikan pentingnya untuk melakukan beberapa kerja ilmiah sebagai berikut:
67 Alumni ISTAC akan mendirikan perpustakaan Islam terlengkap di Indonesia melalui
wadah INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization), lihat iklannya dalam jurnal Islamia, Thn I/No.4, Januari-Maret 2005, dan nomor-nomor berikutnya.
68 Program Doktor/S3 UMY, misalnya, akan menggabungkan dua aliran tersebut. Lihat
proposal S3 UMY 2006.
69 Program Pascasarjana ICRS (Indonesian Concorsium for Religious Studies), maupun studi
Islam Kontekstual pada strata 1 UGM Yogyakarta telah berjalan beberapa tahun yang lalu.
70 Lihat teori “spider web” dan tri “hadlãrah” versi Amin Abdullah dalam,
1. Merumuskan berbagai redefinition terhadap konsepsi keislaman yang sudah
ada atau sama sekali baru melalui pengadaan kamus-kamus dan berbagai
ensiklopedi keislaman yang baru dan kontekstual.
2. Upaya kompilasi berbagai metode keilmuan bersumber dari berbagai hasil
penelitian ilmiah terutama yang termuat dalam berbagai khazanah tesis
maupun disertasi yang sudah mulai menjamur di perguruan tinggi Islam.
Berbagai temuan metode keilmuan tersebut sudah saatnya untuk lebih
diintensifkan model aplikasinya bagi pengembangan keilmuan maupun sosial
kemasyarakatan di masa mendatang. Dengan demikian, berbagai hasil riset
yang ada akan dapat berhasil guna, tidak semata-mata menjadi bahan
pajangan di perpustakaan.
Terkait dengan pengembangan dimensi signifikansi metode keilmuan dalam
ruang lingkup studi keislaman dewasa ini, penggunaan sebanyak mungkin metode
keilmuan tersebut menjadi sangat dimungkinkan, sebagaimana yang disepakati
Fazlur Rahman maupun Mohammed Arkoun. Karena setiap metode atau pendekatan
keilmuan yang ada, selalu terbuka untuk dianalisis dan dikaji ulang secara terus
menerus.71 Secara konvensi akademis, setiap topik kajian akan dianggap benar bila
sesuai dengan metoda yang telah dirumuskan sesuai dengan topik yang telah
ditentukan. Namun demikian, setiap pengkaji studi Islam diharuskan untuk
melakukan kajian dengan metode critical thought, tidak hanya terpaku pada metode
pemikiran tertentu yang digunakan maupun objek pemikiran yang menjadi fokus
71 Lihat pernyataan Rahman berikut: “jelas tidak perlu bahwa sesuatu penafsiran yang telah
diterima harus diterima terus; selalu ada ruang maupun kebutuhan bagi penafsiran-penafsiran baru, karena hal ini, sebenarnya adalah suatu proses yang terus berlanjut” (Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1982, hlm. 173); Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj.Rahayu S. Hidayat (Jakarta:INIS, 1994), hlm. 311; Amin Abdullah, Islamic Studies, hlm. 214.
penelitian. Bahkan dari hasil studi Islam yang ada – idealnya- selalu dapat dihasilkan
nuansa atau metode maupun konsepsi pemikiran keislaman yang baru. Hal ini sejalan
dengan kecenderungan era posmodernisme dan post-colonial theory, di mana faktor
pembaca (reader/qãri’) menjadi jauh lebih penting, lebih dari sekedar teks dan
penulis (author/muallif).72
Pada era posmodernisme ini, harus bisa dibedakan antara Islam ansich, as a
text/”absolute”, dengan Islam as a thought/al-madzhab/relative, Islam era klasik,
modern, dan postmodern. Di era posmodernisme Islam bermunculan beberapa ulama
atau intelektual muslim, yang masing-masing memberikan tawaran pendekatan
dalam studi keislaman, diantaranya: Fazlur Rahman (Pakistan) dengan paradigma
Neomodernisme Islam; Hassan Hanafi (Mesir) dengan “al-Yasar al-Islamy/Islamic
Left”; Asghar Ali Engineer (India) dengan teologi pembebasannya; Mahmoud Thaha,
Abdullahi Ahmed an-Na’im dengan “dekonstruksi syariahnya”; Nashr Hamid Abu
Zayd (Mesir) dengan kritik teks al-Qur’an; Mohamed Abed al-Jabiri (Maroko)
dengan teori bayānî, burhānĩ dan ‘irfãnĩ; Muhammad Syahrur (Suriah) yang dikenal
dengan teori nazhariyyat al-hudūd; Abdulkarim Soroush (Iran) dengan teori
penyusutan dan pengembangan Islam; Khaled Abou El-Fadl (otoritarianisme dalam
pemikiran keagamaan).
Terkait dengan penulisan disertasi ini, di sini peneliti memfokuskan pada
pemikiran Islam posmodernisme dalam perspektif Mohammed Arkoun. Bagi Arkoun,
72 Bandingkan dengan, Khaled M. Abou Al-Fadl, Speaking in God’s Name:
Islamic Law, Authority and Women (Oxford: One World Publications, 2001) (reprinted 2003); Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitãb ad-Dĩnĩ (Kairo: Dar Sina li al-Nasyr, 1992).
cara berpikir dogmatis (dogmatic mind) pada hakikatnya tidak saja menimpa ranah
teologi agama-agama tradisional namun juga mencakup agama-agama sekuler
kontemporer. Hal yang sama juga menerpa pemikiran Islam yang telah didominasi
oleh dogmatic mind selama berabad-abad.Lebih lanjut Arkoun mengingatkan bahwa
penting sekali bagi para pengkaji agama khususnya Islam untuk tidak semata-mata
mencermati khazanah Islam secara tekstual belaka namun juga melihat aspek
psikologi, sosiologi, bahasa politik dan sistem keberagamaan dalam Islam. Dengan
perspektif itu pula kita dituntut untuk melihat berbagai fenomena kontemporer.
Arkoun mengemukakan pertanyaan seberapa penting para sosiolog mencermati
fenomena Islam yang menyejarah tersebut. Apakah perlu dirumuskan secara baru
nalar Islam sesuai dengan kondisi kekinian?
Di sini Arkoun dengan serius mengemukakan pendapatnya tentang
pentingnya mencermati fenomena Islam yang bersifat historis. Dengan kritis Arkoun
mempertanyakan tentang warisan pemikiran Islam yang seolah-olah sudah dianggap
baku oleh para ulama, baik dalam bentuk kodifikasi kitab suci al-Quran maupun
hadis-hadis Nabi, dimana kedua sumber tersebut menjadi rujukan berbagai khazanah
pemikiran Islam baik yang bersifat ritual, akhlaq, hukum, sosial kemasyarakatan,
ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Arkoun juga mengkritik para orientalis yang
mengkaji berbagai sumber rujukan Islam secara terbatas dan lahiriah saja, sehingga
para pengamat sosial dari Barat juga terjebak dengan model kajian orientalis yang
terbatas dimaksud.
Pada gilirannya model pengkajian orientalis tersebut lebih bercorak:
unilateral, backward dan dogmatic, yang sumber kajian Islam juga lebih banyak
diperoleh dari para pekerja muslim yang merantau ke dunia Barat. Di sini Arkoun
mengkritik hasil pengkajian para sosiolog itu sendiri.73 Berdasarkan fenomena studi
Islam klasik di atas Arkoun ingin membongkar apa yang disebut dengan mindset atau
nasaq al-‘uqūl. Dalam konteks inilah Arkoun menawarkan perlunya kajian pemikiran
Islam dilakukan dengan pendekatan yang kombinatif antara pendekatan filologi,
linguistik, etnologi, sosiologi dan antropologi. Bukan semata-mata dengan
pendekatan filologi klasik seperti kaum orientalis.74 Bagi Arkoun untuk lebih dapat
memahami Islam maka semua cabang ilmu bisa digunakan.
Arkoun juga mengingatkan betapa mustahilnya melakukan teologisasi dalam
pemikiran Islam. Pendekatan teologisasi tersebut sangat sulit memahami pluralisme
sosial dewasa ini tanpa menggunakan dimensi psikologi, filosofis maupun
antropologis. Selama ini, lanjut Arkoun, terdapat dua model pendekatan dalam
memahami masalah kemanusiaan yakni model religius dan model sains. Arkoun
menggugat model religius Islami di mana struktur “aqidah”75 menjadi aspek
penghambat pengembangan pemikiran dikaitkan dengan kontribusi Islam dalam
penyelesaian masalah kemanusiaan universal. Dimensi akidah bagi semua agama
termasuk Islam merupakan struktur puncak yang dianggap sakral, dominatif,
legitimatif dan autentik Islam. Dengan demikian struktur akidah ini menjadi sumber
rujukan utama para ulama termasuk para kepala Negara dan birokrasinya. Konsep
73 Mohammed Arkoun, Fikr Ushûly wa Istihãlah Ta’shîl, Nahwa Tãrikh Ākhar li
al-Fikr al-Islãmy, (London: Dar al-Saqi, 2002), hlm. 329-333.
74 Adapun pengertian dari pendekatan filologi, yakni memahami kajian keislaman melalui
semata-mata pendekatan teks kebahasaan, tanpa secara lebih jauh melihat konteks ketika teks tersebut ditulis. Pendekatan tekstual seperti yang sering dikaji orientalis cenderung mengabaikan dimensi historisitas kehidupan umat di masa teks tersebut ditulis.
75 Arkoun memberi dua tanda kurung terhadap konsep “Aqidah”, karena bagi Arkoun
pentingnya mempersoalkan atau menjadikannya suatu hal yang problematis dalam kajian aqidah.
akidah ini menjadi suatu legitimasi religius terhadap suatu kekuasaan politik Islam.
Dengan demikian, menurut Arkoun, kedudukan ulama hampir mirip dengan
kedudukan pendeta atau uskup,76 di mana para ulama yang dianggap paling berhak
merumuskan hukum-hukum dan undang-undang melalui metode ijtihad, dengan
kembali pada al-Quran dan Hadis bagi kaum Sunni, maupun pola imamah di
kalangan Syiah. Bila muncul perlawanan terhadap pandangan ulama tersebut berarti
dianggap melawan otoritas spiritual dan politik keagamaan umat.77
Dalam konteks ini Arkoun memberikan dua solusi: pertama, metode maupun
hasil ijtihad sepenuhnya diserahkan pada otoritas keagamaan tanpa harus
mengaitkannya dengan legitimasi suatu kekuasaan politik. Kedua, sebaliknya para
penguasa seharusnya memberikan kebebasan bagi para ulama untuk berijtihad. Di
sini dengan tegas Arkoun menolak pemaksaan paham keagamaan, baik oleh ulama
maupun oleh kekuasaan terhadap umat. Biarkanlah umat sendiri yang memberikan
penilaian terhadap berbagai pandangan atau hasil ijtihad para ulama. Umat Islam
harus belajar dari munculnya tirani kekuasaan yang terkait dengan teks al-Quran
maupun Hadis.78 Menurut Arkoun, para ulama yang memaksakan kehendaknya
76 Pernyataan Arkoun ini dibantah oleh para ideolog atau konservatif muslim bahwa tidak ada
sistem kependetaan dalam Islam (lãrahbãniyyah fil Islãm). Namun Arkoun mengemukakan – dengan pendekatan sejarah – fakta historis bahwa dalam sejarah Islam juga pernah hal yang mirip terjadi dalam sistem kependetaan atau kepausan Kristiani, di mana ulama menarik legitimasi agama kepada kekuasaan politik. Seperti kasus oposisi Khawarij dan Syiah terhadap Umawiyah dan Abasiyah maupun tekanan politik kekuasaan Muktazilah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal.
77 Adapun contoh perlawanan terhadap otoritas spiritual keagamaan ini bisa dilihat dalam
contoh oposisi Khawarij dan Syiah terhadap kekuasaan politik Umawiyah dan Abbasiyah. Demikian pula contoh perlawanan yang muncul dari Ahmad bin Hanbal (w.855) dan pengikutnya terhadap para khalifah beraliran Muktazilah yang berpandangan tentang penciptaan al-Quran. Dalam konteks ini Arkoun sendiri lebih dekat ke Muktazilah dalam teori tentang penciptaan al-Quran. Namun yang membedakan Arkoun dengan Muktazilah, ia tidak sependapat dengan penguasa Muktazilah yang memaksa Imam Ahmad bin Hanbal untuk mengikuti pandangan Muktazilah tersebut. Lihat, Arkoun, al-Fikr al-Ushûly, hlm. 342-343.
78Ibid.
digolongkan sebagai ulama yang korup, karena dekat kekuasaan, dimana kekuasaan
telah memberikan para ulama tersebut posisi sosial yang menguntungkan bagi ulama.
Belajar dari sejarah mihnah dalam sejarah Islam, khususnya saat terjadinya
pembalasan kaum ortodoks muslim terhadap Mu’tazilah, maka belakangan muncul
proses takfîr terhadap Mu’tazilah yang berpandangan bahwa al-Quran diciptakan. Di
sinilah awal terbentuknya kemapanan kelompok yang belakangan disebut Sunni.
Demikian pula hal yang sama terjadi di Iran di mana Dinasti Safavid juga
memaksakan paham Syiah Imamiyah sebagai satu-satunya faham Islam yang benar.
Kemapanan Sunni-Syiah ini berdampak pada tertutupnya pluralisme paham aqidah
maupun bidang keagamaan lainnya, terlebih lagi setelah munculnya konsep takfir.
Di sini Arkoun juga mendorong para pengkaji studi keislaman untuk kembali
mengkaji secara kritis hal-hal yang selama ini dianggap tabu. Mendengar aspirasi
kaum tradisional yang selama ini diabaikan paham modernisme Barat. Perlunya riset
keislaman yang baru pasca “mazhab” filologisme orientalis. Membongkar mentalitas
dualisme dan dogmatis pengkaji Islam. Membedakan antara keberagamaan
tradisional yang murni dengan paham keagamaan yang
teologis-ideologis-fundamentalis.
Bila ditinjau secara metodologis, pada hakikatnya, Mohammed Arkoun
menawarkan agar studi keislaman era posmodernisme menggunakan empat
pendekatan baru: sejarah, antropologi, sosiologi, dan bahasa (linguistik). Keempat
pendekatan ini merupakan pendekatan ilmu-ilmu sosial yang baru muncul abad
19-20. Dalam perspektif Arkoun, corak keimanan muslim tidak semata-mata bersifat
ritual ansich, namun juga sangat terkait dengan dimensi space and time yang terkait
dengan aspek kelembagaan, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Semua metode,
kitab, tulisan yang dilahirkan ulama dalam mengkaji Islam juga sangat terkait dengan
aspek dinamika kesejarahan, sosial, budaya ketika ulama itu hidup. Maka Arkoun
mencoba menggunakan pendekatan teori ilmu sosial baru era posmodernisme
sebagaimana yang terlihat dalam berbagai karyanya yakni berupa teori-teori
antropologi, sejarah, sosiologi, psikologi, filsafat, linguistik dan semiotik.
Menurut Amin Abdullah, Mohammed Arkoun telah memasuki periode ketiga
dari perkembangan studi Islam.79 Adapun periode pertama studi Islam lebih
menggunakan pendekatan filologi yang popular di kalangan orientalis. Kajian
filologi ini bersifat kebahasaan dalam mengkaji teks-teks keislaman klasik. Arkoun
sendiri mengkritik pendekatan orientalis yang cenderung “objektif” dan melupakan
dimensi subjektivitas ulama maupun dinamika sosial yang mengitari ketika teks
keislaman tersebut diproduksi.
Adapun fase kedua, studi kemasyarakatan mirip dengan studi sains. Dengan
demikian studi keislaman, sebagai bahagian dari studi kemasyarakatan tersebut,
harus dilakukan dengan pendekatan ilmu pengetahuan juga, yakni ilmu pengetahuan
versi ilmuan sosial, bukan pendekatan bahasa. Di sini masyarakat dilihat seperti
sebuah sistem versi Talcott Parsons. Kajian dengan pendekatan ini sangat erat dengan
konsep modernisasi.
79 Lihat Arkoun dalam, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Posmodernisme,
hlm.vi.
Adapun pada fase ketiga, studi-studi keislaman (Islamic studies) mulai
memperkaya kajian dengan memanfaatkan berbagai pendekatan kontemporer,
seperti: psikologi, antropologi, sosiologi, sejarah serta berbagai pendekatan social
sciences lainnya. Pada fase ketiga inilah, Mohammed Arkoun berada.
Dari perspektif tahapan studi keislaman di atas, rekonstruksi pemikiran
Mohammed Arkoun dalam studi keislaman era posmodernisme secara umum dapat
dikemukakan mengingat berbagai tulisannya yang masih bertebaran di berbagai buku
maupun jurnal atau makalah. Adapun garis besar dari rekonstruksi pemikiran Arkoun
dapat dilihat sebagai berikut:
1. Pada tahap awal, Arkoun melakukan dekonstruksi pemikiran Islam klasik
maupun era modern dengan membongkar episteme serta logosentrisme
pemikiran Islam; sekaligus mengkritisi pola pemikiran keislaman orientalis
yang filologis-hitoris. Di samping itu juga, Arkoun mengkritisi pemikiran
kaum fundamentalis (“jihad”, violence).
2. Kemudian dari hasil kritisismenya tersebut, Arkoun membangun paradigma
baru pemikiran Islam kontemporer yang dikenal dengan Islamologi terapan
sebagaimana telah peneliti kemukakan pada ulasan terdahulu, di mana
terdapat interaksi yang saling mempengaruhi antara: bahasa, akal dan sejarah,
melalui wacana Qurani, dengan menggunakan pendekatan antropologi agama
yang juga terkait dengan mitos dan sejarah.
3. Adapun beberapa isu yang diangkat Arkoun antara lain tentang: Islamisasai
ilmu; teologi keselamatan; sekularisasi; diskursus masyarakat kitab dan
pluralisme; titik temu antara peradaban Islam-Barat (studi kawasan
Mediterania); fungsionalisasi nalar; HAM dan citizenship; khilafah dan
nation state/kerajaan. Juga tentang politik Islam kontemporer, khususnya
etika politik Islam.
Di sini penulis menyimpulkan bahwa Arkoun, beserta para pemikir muslim
posmodernis lainnya, berada pada era dekonstruksi yang menimbulkan reaksi yang
cenderung apologis, ideologis, dibanding reaksi yang lebih akademis. Adapun
beberapa implikasi pemikiran dari para posmodernis muslim, khususnya Arkoun,
antara lain: pertama, bahwa Islam sebagai teks keagamaan secara tegas harus
dibedakan dengan Islam sebagai refleksi pemikiran para ulama. Kedua, pemikiran
Islam sangat evolutif terutama dalam wilayah social sciences (SS), humanities (H)
maupun natural sciences (NS). Ketiga, semua pemikiran pasti sangat tergantung
pada tokoh, literatur, konteks ruang dan waktu, dinamika sejarah yang berdampak
pada perubahan gaya pemikiran dan bahasa. Keempat, sebagaimana yang ditengarai
oleh Arkoun sendiri, pada hakikatnya perubahan pemikiran juga sangat tergantung
pada dinamika sosial budaya, politik, ekonomi dan tingkat pengetahuan masyarakat.
Kelima, pada era pasca posmodernisme Islam kelak akan muncul lagi berbagai
pendekatan baru dalam studi Islam yang saat ini masih termasuk dalam wilayah
-meminjam istilah Arkoun - unthought.
Berikut ini penulis kemukakan skema perbandingan antara pola era
pra-posmodern dengan pola kajian Islam era pra-posmodern, sebagai berikut:
Pra Posmodernisme Islam: Posmodernisme Islam: 1. Corak keilmuan yang dogmatik
2. Struktur “Aqidah” yang monolitik 3. Fatwa keulamaan yang politis-ideologis 4. Teologi ahl al-Kitab dualistik-dikotomik,
plural-egaliter-humanis
5. Keterkaitan agama dan kekuasaan Politik 6. Mewarisi teks-teks historis apa adanya 7. Dimungkinkannya konsep mihnah dan takfîr 8. Paham keagamaan yang teologis-ideologis-
fundamentalis
9. Pengabaian terhadap aspirasi tradisional yang
murni tradisional, bukan 10. Islam dalam teks
11. Pemahaman al-Quran sebagai korpus resmi
tertutup
12. Studi keislaman orientalis yang unilateral,
backward, dogmatic dan filologis
1. Corak keilmuan yang kritis 2. Pluralitas pemahaman aqidah 3. Fatwa keulamaan akademis 4. Teologi masyarakat Kitab yang
dominatif-hegemonik
5. Menjaga jarak antara wilayah keulamaan
dan kekuasaan
6. Perlunya kajian kritik histories secara
terus-menerus
7. Mewaspadai munculnya konsep mihnah
dan takfîr
8. Paham keagamaan yang saintifik-kritis 9. Penghargaan terhadap aspirasi berdasar
teologi yang sempit
10. Fenomena Islam yang menyejarah 11. Pembacaan al-Quran sebagai korpus
terbuka
12. Studi keislaman historis-kontekstual
(antropologi, sejarah, psikologi, sosiologi,
semiotik, linguistik)
BAB II
PEMIKIRAN
ISLAM
DAN
SOSIAL POLITIK
1. Pluralitas Mazhab
Siyãsah
Dalam Pemikiran Politik Islam
Pendahuluan
Dalam kehidupan umat manusia khususnya umat Islam, politik – sebagaimana ekonomis, social, budaya – merupakan bagian yang inheren dan urgen. Hampir semua lini kehidupan umat tidak ada yang terlepas dari pemikiran dan kebijakan politik. Politik bukanlah suatu barang haram atau kotor. Baik buruknya sebuah fenomena politik sangat ditentukan oleh tampilan aktor politik itu sendiri. Bukankah Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya, khususnya khulafã al-rãsyidîn
telah mampu menampilkan wawasan dan prilaku politik yang elegan dan terhormat sesuai konteks zamannya.
Maka, tugas generasi Islam masa kini dan masa depan untuk melanjutkan tradisi positif dari politik Islam era klasik dimaksud. Namun yang perlu dipahami adalah dalam realitas historisnya, wawasan sosial politik Islam pada hakikatnya tidaklah bersifat tunggal atau monolitik, namun lebih bersifat plural dan heterogen.
Dialektika Pemikiran Politik Islam di Kalangan Ulama
Filsafat politik al-Farabi1 terlihat jelas dilandasi oleh filsafat kenabian, dalam
hal ini al-Farabi tergolong filosof politik yang idealistik. Al-Farabi cenderung menekankan baik hubungan antara politik dan pemerintah maupun hubungan antar anggota masyarakat. Bagi al-Farabi, kebahagiaan hidup warga dan masyarakat akan diperoleh melalui konsep kepemimpinan yang etis.
Menurut al-Farabi, aspek pemerintahan lebih bersifat keahlian, sedangkan aspek politik merupakan bentuk operasionalnya.2 Aspek politik ini juga merupakan
1 Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, desa di Farab (Transoxania) tahun 870 M. Menurut
keterangan, ia berasal dari Turki dan orangtuanya adalah seorang jenderal. Ia sendiri pernah jadi hakim. Dari Farab kemudian ia pindah ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan saat itu. Di sana ia belajar pada Bishr Matta ibnu Yunus (penerjemah) dan menetap di Baghdad selama 20 tahun. Selanjutnya ia pindah ke Aleppo dan tinggal di istana Saif al-Daulah, berkonsentrasi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat. Istana Saif al-Daulah adalah tempat pertemuan ahli-ahli pengetahuan dan filsafat di waktu itu. Pada usia 80 tahun al-Farabi wafat di Aleppo, pada tahun 950 M (Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet.I, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 23).
2 Abu Ahmadi, dkk, Filsafat Islam (Semarang: Toha Putra, 1988), hlm. 138
tindakan sadar serta bentuk kepatuhan terhadap pemerintah yang berkuasa.
Al-Farabi memfokuskan perhatian pada pemimpin (kepala negara) serta kaitannya dengan sistem pemerintahan “negara kota”. Bagi al-Farabi, antara negara dan masyarakat memiliki keterkaitan seperti tubuh manusia yang sifatnya saling mengisi satu sama lainnya. Lebih penting lagi menurut al-Farabi, seorang kepala negara ibarat jantung sebuah pemerintahan. Al-Farabi memberikan 12 kriteria3 bagi
seorang kepala negara yang ideal. Bahkan seorang kepala negara harus memiliki akal
fa’al (akal aktif) yang mampu menyerap ilham atau wahyu. Tentang kriteria terakhir ini keinginan al-Farabi memang terlalu ideal, dimana filosof dan nabi merupakan tokoh tertinggi yang layak sebagai kepala negara. Tetapi al-Farabi juga memberikan alternatif dari idealismenya tersebut, dalam artian, bila masyarakat atau negara kesulitan dalam mencari kepala negara yang berstatus Nabi atau filosof, bisa digantikan dengan sistem presidium.4 Di sini tampak ada pengaruh pemikiran politik
Plato atau Socrates terhadap cara berpikir al-Farabi. Dibanding dengan al-Mawardi, bila al-Farabi bersifat idealistik dan mengutamakan pemikiran politiknya tentang kualitas pemimpin (kepala negara), maka al-Mawardi cenderung lebih realistik dan berorientasi pada masalah konstitusi kenegaraan.
Bagi al-Mawardi, agar tercipta kerjasama yang baik antar warga masyarakat, maka institusi negara menjadi sangat dibutuhkan. Penyelenggaraan pemerintah (kenegaraan) harus melalui apa yang disebut dengan “kontrak sosial” (social contract) yakni kooperasi antara kepala negara (eksekutif) dengan kelompok ahl al-hall wa al-‘aqd (legislatif)5 Kepala negara merupakan khilafah kenabian.6 Beberapa
faktor pendukung utama negara adalah: penghayatan keagamaan yang kuat, penguasa yang berwibawa, tegaknya nilai keadilan, stabilitas keamanan, basis ekonomi serta sistem pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Sistem
3 Al-Farabi, Ãrã’ Ahl al-Madînah al-Fadlîlah, diterjemahkan dan diberi komentar oleh Richard
Walzer, al-Farabi on the Perfect State (Oxford: Clarendon Press, 1985), hlm. 248 (Adapun 12 kriteria dimaksud yakni kepala negara harus: 1) sehat jasmani; 2) baik inteligensianya; 3)kualitas intelektual; 4) piawi dalam mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti; 5) pecinta pendidikan dan gemar mengajar; 6) tidak loba; 7) pecinta kejujuran; 8) berbudi luhur; 9) tidak mengutamakan keduniaan; 10) bersifat adil; 11) optimisme dan besar hati; 12) kuat pendirian, penuh keberanian, antusiasme dan tidak berjiwa kerdil).
4Ibid. 5Ibid, hlm. 67
6 Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, terj. (Yogyakarta: Pustaka LSI), 1991, hlm. 32
pemerintahan a la al-Mawardi bersifat realis karena berangkat dari kondisi riel masyarakat itu sendiri. Al-Mawardi juga menekankan pentingnya suku Quraisy sebagai prasyarat seorang pemimpin negara. Yang dimaksud di sini tentu karena waktu itu suku Quraisy dianggap mewakili golongan elit sosial yang mahir dalam memimpin, di samping karismatis.7 Bagi al-Mawardi konsep suksesi haruslah
melalui dewan legislatif (ahl al-ikhtiyãr). Menurut al-Mawardi ada tujuh syarat kepala negara yang laik memimpin negara.8 Bentuk operasional suksesi bisa juga
melalui cara wasiat atas penunjukan. Tampaknya al-Mawardi tidak memastikan secara mutlak bagaimana konsep suksesi itu dilaksanakan, karena tergantung situasi dan kondisi. Jadi suksesi bisa dilaksanakan secara pemilihan, tergantung situasi dan kondisi. Jadi situasi bisa dilakukan baik secara pemilihan (pemilu), team formateur maupun penunjukan secara langsung.
Al-Mawardi ternyata telah lebih dulu memperkenalan teori kontrak sosial9
pada awal abad XI M, dan baru lima abad kemudian (pertengahan abad XVI) mulai bermunculan teori kontrak sosial di Barat, seperti Hubert Languet (1519-1581 M). Thomas Hobbes (1588-1679 M), John Locke (1632-1704 M) dan Jean Jaques Rousseau (1712-1778 M). Al-Mawardi juga merupakan satu-satunya pemikir politik Islam sampai abad pertengahan
yang berpendapat bahwa kepala negara dapat diganti kalau ternyata tidak mampu lagi melaksanakan tugas dengan baik disebabkan oleh persoalan moral, misalnya, maupun oleh masalah-masalah lainnya. Namun Al-Mawardi belum memberikan sistem atau mekanisme yang jelas tentang itu.10
7 Hak prerogatif bagi suku Quraisy menurut al-Mawardi didukung oleh sabda Rasulullah s.a.w.:
“Dahulukanlah orang Quraisy dan janganlah kalian mendahuluinya”. Teks ini diterima oleh semua pihak, tidak ada yang meragukannya, dan tidak pula disanggahnya. Lihat al-Mawardi, Al-Ahkãm al-Sulthãniyyah (Beirut: Dar el-Fikr, 1966), hlm.4-5
8Ibid, hlm. 6
9 Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993),
hlm. 67
10 Munawir Syadzali. Islam dan Tatanegara. hlm. 67-69.
Pemikiran politik al-Ghazali11 memiliki kekhasan tersendiri baik dibanding
al-Farabi maupun al-Mawardi; al-Ghazali menekankan soal profesi kerja yakni: pertanian, pemintalan (tenun), pembangunan dan politik. Tentang profesi politik, menurut al-Ghazali, merupakan profesi terbaik, tentunya sesuai dengan kondisi waktu itu. Al-Ghazali memperkenalkan empat departemen pokok dari profesi politik ini yakni bidang agraria, hankam, kehakiman dan kejaksaan.12
Menurut al-Ghazali, kehidupan dunia ini merupakan ladang akhirat. Karena itu negara butuh seorang pemimpin yang dapat menjamin terselenggaranya berbagai profesi rakyat (soal lapangan kerja). Bagi al-Ghazali, agama dan negara (penguasa) ibarat selain fondasi juga pelindung. Agama dan negara itu menyatu dan tidak sekularistis. Agama dipimpin oleh Nabi, sedangkan negara dipimpin oleh raja; keduanya merupakan manusia
11 Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad al-Tusi al-Ghazali (1058-1111) terkenal dengan Ihyã
‘Ulûm al-Dinnya. Ia juga dikenal dengan gelar hujjah al-Islãm, karena pandangannya yang luas tentang agama. Dalam bidang politik ia dijuluki amîr al-muslimîn. Salah satu karya politiknya adalah al-Ţibr al-Masbûk fi Naşîhah al-Mulk (Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 74).
12Ibid, hlm. 74-75
pilihan Tuhan.13 Al-Ghazali juga mencetuskan bahwa Sultan merupakan bayangan Tuhan di bumi
(zhillullãh fî al-ardl). Konsep atau pemikiran politik al-Ghazali ini cenderung berwatak teokratis.14
Al-Ghazali mengemukakan tujuh syarat kepala negara (sebagaimana telah terdahulu keterangannya), dan kaum wanita tidak berhak untuk menjabat sebagai kepala negara berdasarkan hadits Nabi: “Tidak akan sukses suatu masyarakat yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada perempuan”.15 Ada indikasi bahwa ketika hadits tersebut
disabdakan, secara kondisional dan situasional maupun sosio-geografis-kulturalderajat wanita dalam masyarakat masih berada di bawah derajat lelaki; hanya laki-laki yang dianggap mampu mengurus kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan seperti itu tidak saja terjadi di Persia, tetapi juga di jazirah Arab dan wilayah-wilayah sekitarnya.16
Dalam keadaan wanita telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, serta masyarakat bersedia menerima mereka sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya wanita dipilih dan diangkat menjadi pemimpin, termasuk kepala negara.17 Di sisi lain, karena dekat
dengan sistem teokrasi, al-Ghazali tidak perlu berbicara tentang mekanisme suksesi kepala
13 Al-Ghazali, Al-Iqtişad fî al-I’tiqâd ,(Kairo, 1320 H), hlm. 125 14 Munawir Syadzali,Islam dan Tatanegara, hlm. 71-72
15 Ketujuh syarat itu adalah: 1) merdeka; 2) laki-laki; 3) mujtahid; 4) berwawasan luas; 5) adil; 6) dewasa; dan 7)
bukan perempuan, orang buta, anak-anak, orang fasik, orang jahil dan pembeo. (Lihat al-Ghazali, al-Wajiz, juz II, Beirut: Dar al-Fikr, tt., hlm. 237. Lihat juga Abu Ishâq al-Syairâzî, al-Muhâdz, juz II, hlm. 240). Tentang hadits Nabi yang melarang perempuan menjadi pemimpin tersebut, lihat dalam al-Bukhari, Şahîh al-Bukhârî, juz IV, hlm.228. Musnad Ahmad, juz V, hlm.38 dan 47; Sunan Turmudzî, juz III, hlm. 360. Jumhur ulama memahami hadits tersebut – juga berdasarkan QS. An-Nisâ’: 34 - secara tekstual bahwa kaum perempuan dilarang menjadi baik hakim maupun kepala Negara. Mereka menyatakan bahwa menurut syara’, perempuan hanya diberi tanggungjawab untuk menjaga harta suaminya (al-Şan’ânî, Subul al-Salâm, juz IV, hlm. 123; Fath al-Bârî, juz VIII, hlm. 128). Namun perlu dicatat bahwa hadits tersebut disabdakan Nabi tatkala beliau mendengar penjelasan dari sahabat tentang pengangkatan seorang perempuan menjadi ratu di Persia, namanya Buwaran binti Şairawaih bin Kisrâ bin Barwayz yang ketika itu secara politik belum dianggap capable dan acceptable khususnya dalam konteks sosio-antropo-historis bangsa Arab dan Persia (Bandingkan Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 65; juga Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1986, hlm.314)
16 Qasim Amin telah menulis sejarah tentang kedudukan wanita dalam pandangan Islam, dalam dua buku: Tahrîr
al-Mar’ah (Kairo: tt.), h. 25-289; dan Al-Mar’ah al-Jadîdah (Kairo: tt.), h 3—223). Di Indonesia lahirnya UU No. 1/74 tentang perkawinan, menghendaki adanya hakim wanita. Karena itu Menteri Agama saat itu mengadakan pertemuan ulama tingkat nasional untuk membicarakan boleh tidaknya wanita menjadi hakim, dan ternyata oleh pertemuan itu -meskipun cukup alot - dapat disetujui yang ketika itu KH Ibrahim Hosen membolehkannya. Lihat Ibrahim Hosen, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Putra Harapan, 1990), hlm. 146.
17 Syuhudi Ismail, ibid,hlm. 58. menjelaskan pandangan masyarakat terhadap wanita makin meningkat dan akhirrnya
negara dan tidak pula menyinggung soal dapat dan tidaknya kepala negara digantikan dari kedudukannya.18
Ibnu Taimiyah19 mengemukakan filsafat politik terutama yang berkaitan dengan teori
khilãfah. Ia mengatakan bahwa konsep khilãfah sebagaimana pemahaman di masa dinasti Abbasiyah bukanlah bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Pemahaman konsep khilafah di masa klasik (awal Islam) lebih ideal ketimbang masa Abbasiyah. Walaupun bagi Taimiyah, historisitas khilafah hanya sebuah aksiden politik dan bukan suatu keharusan normatif.20 Sikapnya ini
cenderung sering dinilai bahwa pemikiran politik Ibnu Taimiyah lebih dekat kepada kaum Khawarij. Menurut Ibnu Taimiyah, konsep negara tidak ada dalam al-Qur’an, yang ada adalah unsur-unsur negara itu sendiri seperti: keadilan, persaudaraan, pertahanan, kedamaian, kepatuhan dan lain-lain. 21
Ibnu Taimiyah tidak mengakui adanya konsep negara tunggal seluruh dunia Islam,22 dan
ini memang sangat utopis. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Ibnu Taimiyah tidak mengakui, secara implisit, istilah negara Islam atau sistem khilafah negara-negara Islam. Bagi Ibnu Taimiyah, yang penting, setiap negara (secara nasional) tetap sebagai penyelenggara syariah. Konsepsi Islam Ibnu Taimiyah mirip bentuk nomokrasi; ia menyatakan Islam bukan monarki, aristokrasi dan bukan demokrasi. Ibnu Taimiyah agaknya bergeser dari pemikiran sistem khilafah ke sistem pemerintahan modern yang lebih pragmatis, fungsional dan rasional.23
Sungguh pun demikian, secara tekstual pemikiran Ibnu Taimiyah identik dengan al-Ghazali dalam hal kepala negara, dimana eksistensi kepala negara itu diperlukan bukan saja sekedar menjamin keselamatan jiwa serta harta rakyat dan telah terpenuhinya kebutuhan bidang material. Namun, lebih dari itu, yaitu untuk menjamin berlakunya syariat.
18 Munawir Syadzali. Islam dan Tata Negara. hlm. 79
19 Ia lahir 22 Januari 1262 di Haran dekat Damaskus, dan meninggal di penjara pada tanggal 26 September 1328 M.
Nama lengkapnya Taqy al-Dîn Abu ‘Abbâs Ahmad Ibnu ‘Abd al-Halîm Ibnu ‘Abd al-Salâm Ibnu Taimiyah. Umur 25 tahun ia sudah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru dan khatib di masjid-masjid. Taimiyah dikenal sebagai pemikir yang tajam, bebas, piawai dalam berpidato, penuh keberanian dan ketekunan (Khâlid Ibrâhîm Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintah, terj., Masrohin ( Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 21).
20 Qomaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah (Islamabad:, Islamic Research Institute, 1973), p.
106-107
21 Khalid Ibrahim Jindan, Ibid., hlm. 47
Kepala negara adalah bayangan Allah di muka bumi (zhillullãh fî al-ardl), sebagai wakil yang berkuasa dan berwenang memerintah atas dasar syariat. Pada dimensi kontekstualnya, ia lebih jauh ke depan daripada al-Ghazali. Ia pernah mengatakan bahwa keberadaan kepala negara sekalipun zalim, masih lebih baik daripada tanpa kepala negara.24
Kalau saja kepala negara sebagai bayangan Allah di muka bumi, tentu tidak ada kepala negara yang zalim. Namun karena Ibnu Taimiyah melihat dari analisis fungsional sosiologis, bisa saja terjadi hal yang demikian. Bahkan lebih jauh lagi, bukan mustahil kepala negara yang adil sekalipun kafir, lebih baik daripada kepala negara yang tidak adil kendatipun muslim.
Adapun Ibnu Khaldun25 mengemukakan bahwa sistem politik itu sangat diperlukan untuk
terwujudnya stabilitas, dan nuansa politik tersebut amat relevan dengan kondisi manusia sebagai makhluk sosial politik. Negara amat memerlukan adanya solidaritas politik. Agama juga termasuk pendorong lahirnya solidaritas bahkan lebih dominan ketimbang aspek lainnya. Konsep solidaritas yang pertama kali dicetuskan oleh Ibnu Khaldun ini demi terciptanya rasa kebersamaan dari setiap warga negara.26
Adapun hakekat eksistensi penguasa dan rakyat, terletak pada adanya hubungan btin atau solidaritas kepercayaan. Bagi seorang kepala negara, cara dan teknik memimpin (personal approach) amat diutamakan oleh Ibnu Khaldun. Pemimpin tidak harus memiliki jarak yang jauh dengan rakyat.27 Konsep kepemimpinan primus interpares ternyata telah diperkenalkan oleh Ibnu
Khaldun. Ini berarti bahwa kepemimpinan yang terlalu karismatik (Bapak bangsa) pada hakikatnya kurang disetujui oleh Ibnu Khaldun. Selain itu, Ibnu Khaldun mensyaratkan etnis Quraisy sebagai kepala negara, karena aspek kemampuan dan kecerdasannya (sesuai kondisi waktu itu). Ibnu Khaldun juga menyatakan bahwa kepala negara harus dibantu dan didukung
24 Ibnu Taimiyah, Log.cit
25 Ibnu Khaldun dikenal sebagai sejarawan, filosof dan sosiolog yang diakui baik di dunia Timur maupun Barat. Ia
dilahirkan di Tunisia, Afrika Utara pada tahun 1332 M dan meninggal dunia pada tahun 1406 M. Dua pertiga umurnya tidak pernah menikmati stabilitas politik, melainkan tempat kancah perebutan kekuasaan antar dinasti. Ibnu Khaldun selalu berpindah-pindah jabatan dan sering pula bergeser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Hal itu pula yang memperkaya wawasannya tentang jatuh bangunnya sebuah dinasti atau pemerintahan (Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 91-92). Karyanya yang cukup terkenal adalah Muqaddimah yang berisi pemahaman mendasar tentang masalah negara dan kekuasaan (A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Ibn Khaldun, Jakarta: Gramedia, 1992, hlm. ix-x).
26Ibid, hlm. 160, 191
27 Bagi Ibnu Khaldun, penguasa yang terbaik bukanlah yang paling pintar, tetapi yang bersifat “di tengah-tengah”
oleh para menteri serta beberapa departemen. Mekanisme kontrol terhadap kepala negara juga amat diperlukan. Aturan kenegaraan tidak mesti bersifat normatif (wahyu) belaka dan sistem perundang-undangan yang rasional dan berdasarkan sistem konvensi dibenarkan oleh Ibnu Khaldun. Agak berbeda dari para pendahulunya, Ibnu Khaldun sangat menekankan aspek solidaritas, mekanisme kontrol dan sistem perundang-undangan yang rasional (konvensional), yang banyak segi kesamaan dengan sistem politik modern.28
Dalam konteks filsafat politik Islam era modern, dapat penulis kemukakan beberapa corak pemikiran politik Islam seperti yang ditampilkan oleh baik Afghani, Abduh Ridha, Al-Raziq, Al-Ikhwan, Haikal maupun Al-Maududi. Pada pemaparan berikut ini, penulis kemukakan secara umum dari berbagai pemikiran mereka sekaligus beberapa catatan kritis.
Afghani29 dikenal sebagai tokoh inti bagi bangkitnya sentimen politik di dunia Islam
terutama pada abad XIX. Ia dikenal sebagai - oleh sementara ahli - agitator politik, bukan pemikir.30 Hal ini karena reaksi yang diberikannya terhadap berbagai dominasi Barat di dunia
Islam. Namun tak dapat dipungkiri bahwa berbagai refleksi pemikirannya sangat besar pengaruhnya di kalangan kaum muslimin. Afghani juga dikenal sangat selektif dan kritis terhadap ideologi-ideologi sekuler.
Secara umum filsafat politik Afghani didasarkan pada ide Pan-Islamisme (Jâmi’ah al-Islãmiyyah).31 Filsafat politiknya ini, dalam rangka menggalang solidaritas dunia Islam tanpa
menafikan eksistensi negara nasional umat Islam masing-masing. Untuk contoh kasus di jaman sekarang, kehadiran lembaga Organisasi Konferensi Islam (OKI)32 merupakan implikasi lanjut
dari filsafat Pan Islamisme-nya Afghani. Bila Pan-Islamisme a la Sultan Hamid II (Turki), lebih bersifat internationalism, maka Pan-Islamisme al-Afghani lebih bercorak nasionalisme Islam. Dalam pengertian solidaritas negara-negara Islam tanpa menafikan aspek nasionalitas negara
28 Bandingkan, Ibid, hlm. 198
29 Jamaluddin al-Afghani lahir di As’adabad, Afghanistan, pada tahun 1838 M. Dia mempelajari segala cabang ilmu
keislaman, filsafat dan ilmu eksakta. Ia banyak mengunjungi negeri-negeri seperti: India, Mesir, Inggris, Paris, Persia, Rusia, Eropa, Turki (Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 116-120). Ia dikenal sebagai seorang pemimpin pembaharuan politik di dunia Islam pada abad ke-19 (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Binta