• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS PENERAPAN PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Tanjung Karang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS PENERAPAN PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Tanjung Karang)"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS PENERAPAN PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA

MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Tanjung Karang)

Oleh: M. Fadilah

Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang baik bersama-sama maupun seorang diri terhadap orang ataupun barang semakin meningkat dan meresahkan masyarakat serta aparat penegak hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku II Bab V mengatur tentang kejahatan terhadap ketertiban umum yang terdapat dalam Pasal 153-181. Dalam Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP.

(2)

M. Fadilah

terhadap orang atau barang, dan menyebabkan orang lain luka telah terpenuhi semua setelah diperiksa hakim di persidangan. Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang terhadap Terdakwa Nur Cahyono bin Paino yang melakukan tindak pidana pengeroyokan sesuai dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP relative lebih ringan dari tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yaitu 2 (dua) bulan lebih 15 (lima belas) hari dikurangi masa tahanan sebelumnya. Dasar pertimbangan hakim pada kasus tindak pidana pengeroyokan dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP yang dilakukan oleh Terdakwa Nur Cahyono berdasarkan dari tiga sudut pandang hakim dalam menentukan lamanya pidana, yaitu yuridis, sosiologis, dan filosofis, dan berpedoman Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP, dengan adanya alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, serta pertimbangan atas dasar keyakinan atau hati nurani dari diri hakim. Unsur-unsur pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP telah terpenuhi, hal yang memberatkan dan hal yang meringankan terdakwa, tidak terdapatnya alasan-alasan yang dapat menghapus pidana terdakwa baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf di dalam diri terdakwa sangat dipertimbangkan oleh hakim dalam memberikan pidana.

(3)

ANALISIS YURIDIS PENERAPAN PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA

MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Tanjung Karang)

Oleh M. Fadillah

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

ANALISIS YURIDIS PENERAPAN PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA

MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Tanjung Karang)

(Skripsi)

Oleh : M. Fadillah

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………. 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………. 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 8

E. Sistematika Penulisan ………. 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana ……… 14

B. Pengertian Tindak Pidana dengan Terang-terangan dan Tenaga Bersama Melakukan Kekerasan (Pengeroyokan) ………. 24

C. Tinjauan tentang Pidana ……… 30

D. Tinjauan Perbedaan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang Penyertaan dengan Pasal 170 KUHP tentang Tindak Pidana yang Dilakukan dengan Tenaga Bersama ……… 32

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ……….…………..……….. 38

B. Sumber dan Jenis Data ……….…………..……….. 38

C. Penentuan Polupasi dan Sampel ... 39

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ….…..…….……….. 40

(6)

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Narasumber ………... 44 B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang

Nomor : 101/Pid.B/2007/PN.Tk ………...….. 45 C. Implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP Tentang Tindak Pidana

Dengan Tenaga Bersama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang Yang Mengakibatkan Luka Di Pengadilan Negeri Tanjung

Karang... 49 D. Dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang

Dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Dengan Tenaga Bersama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang Yang Mengakibatkan Luka Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 170

ayat (2) ke-1 KUHP……….………... 57

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ………..………. 65

B. Saran ……….……… 66

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar. AK. Moch, 1981. Beberapa Ketentuan Umum dalam Buku I Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bandung : Alumni.

Chazawi. Adami, 2002. Pelajaran Hukum Pidana bagian I. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta

Hamzah. Andi, 1994. Asas-Asas Hukum Pidana edisi revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

____________, dan Siti Rahayu, 2007, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Akademika Pressindo. Jakarta.

Muhammad. Abdulkadir, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Mustafa. Abdullah, 1983. Intisari Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia. Marpaung. Leden. 2005. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana. Jakarta : Sinar

Grafika.

Moeljatno. 2002. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta.

Muladi, dan Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung : Alumni.

Mulyadi, Lilik, 2007, Hukum Acara Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti.

Prakoso. Djoko, 1984. Masalah Pemberian Pidana dalam Teori dan Praktek Peradilan. Jakarta : ghalia Indonesia.

Prodjodikoro. Wirjono, 2002. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung : Refika Aditama.

Lamintang. P.A.F, 2004. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Grafika.

(8)

Saleh. Roeslan, 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana. Jakarta : Aksara Baru.

Soekanto. Soerjono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press).

Soenarto Soerodibroto. 1991. KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi, Mahkamah Agung, Hoge Raad Edisi 4. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung : Alumni.

Sugandhi. R. 1981. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya : Usaha nasional. Susanto. Thomas, 2002. Teori-teori Kekerasan. Jakarta : Ghalia Indonesia. Waluyo. Bambang, 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

(9)

MOTTO

Yakin Usaha Sampai

(10)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Firganefi, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heriyandi, S.H., M.S. NIP 196211091987031003

(11)

PERSEMBAHAN

Dengan ketulusan dan kerendahan hati kupersembahkan karya kecil ini kepada orang-orang yang terkasih dan mengasihiku :

Kedua orang tuaku tercinta, untuk tiap tetes keringat yang keluar untuk keberhasilanku dan untuk semangat, nasihat, dorongan dan doa disetiap shalat dan

sujudnya.

Ketiga kakakku yang tersayang, Ermayuli, Dewi Marniati dan Septiani yang selalu memberi masukan – masukan yang membangun, memotifasi dan dorongan

semangat untuk kebaikanku dan kesuksesanku.

Dan untuk seseorang yang menyayangiku dan aku sayangi.

(12)

Judul Skripsi : ANALISIS YURIDIS PENERAPAN PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Tanjung Karang) Nama Mahasiswa : M. Fadilah

No. Pokok Mahasiswa : 0912011340 Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H. NIP 196208171987032003 NIP 196112311989031023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(13)

RIWAYAT HUDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 03 Maret 1991. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak H. M. Syakir Supi dan Ibu Hi. Buniyah Zawawi.

Penulis memulai jenjang pendidikan dari taman Kanak–Kanak (TK) Pertiwi Bandar Lampung diselesaikan tahun 1997, pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri 2 Rawa Laut (Teladan) yang diselesaikan tahun 2003, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 25 Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2006, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 4 Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2009.

(14)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “ Analisis Yuridis Penerapan Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 KUHP Tentang Tindak Pidana Dengan Tenaga Bersama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Tanjung Karang)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(15)

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini.

5. Ibu Rini Fatonah, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini.

6. Bapak Eddy Rifai, S.H.,M.H. Yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Ahmad Soleh, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

8. Seluruh Dosen, staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, membimbing serta memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis.

9. Mbak Sri, Mbak Yanti, Mbak Yani, Mbak Rita dan Bang Indra, terima kasih atas bantuannya selama ini.

10.Seluruh responden yang telah bersedia memberikan info dan masukan sehingga skripsi ini bisa diselesaikan oleh penulis dengan baik.

11.Terima kasih juga untuk semua keluarga besar serta semua saudara sepupuku terima kasih atas bantuan, doa serta memberika dorongan dan semangat yang tanpa batas.

12.Teman – Teman di SMA, terima kasih untuk kebersamaannya bersama kalian, sukses selalu buat kita semua.

13.Seluruh sahabat – sahabatku Ferdiansyah ”doy‟, Lindra, Agung, Jiwa, Yudi,

(16)

Joko, Dika ”ahok”, Darmen, Noris, Iman, Taka ”tekew”, Alfa ”cacing”, Riksa,

Tama, Jeni, Defrinda, Marnedi, Sonny, Tray, Eko, Avin, Suntan, Galuh, Azam, Mas Yoga Mbak Tia, Mas Yono, Kak Bali, Kak Aan, Mas Agus, Kak

Samsudin ”lesyam”, Om Yanto, Bang Ria, terima kasih atas motifasi,

semangat, serta dorongan buat menjadi manusia yang berhasil.

14.Seluruh teman – temanku di Posko gang pesing, terima kasih untuk saling membantu selama ini, terus semangat kawan.

15.Kanda, Yunda dan dinda Komisariat Hukum Unila yang tidak dapat penulis sebukan satu persatu, terima kasih untuk motifasi, dorongan semangat dan persaudaraannya selama ini, sukses untuk keberhasilan kita semua.

16.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan semangat dan dorongan dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

17.Teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas persahabatannya, terus semangat kawan.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 8 Mei 2013 Penulis

(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan suatu negara hukum, pernyataan tersebut termuat dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat)”, sebagai negara hukum maka Indonesia mempunyai serangkaian peraturan atau hukum supaya kepentingan masyarakat dapat terlindungi. Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan konstitusional negara ini memuat bahwa tujuan negara salah satunya antara lain adalah menciptakan kesejahteraan umum. Jadi semua usaha dan pembangunan yang dilakukan negara ini harus mengarah pada tujuan ini sehingga tercipta kesejahteraan rakyat.

Hukum sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial suatu masyarakat dimana hukum tersebut terbentuk. Dapat dikatakan bahwa hukum adalah fungsi sejarah sosial suatu masyarakat, namun hukum bukanlah bangunan sosial yang statis, melainkan ia dapat berubah dan perubahan ini terjadi karena fungsinya untuk melayani masyarakat1. Suatu hukum dalam masyarakat tidak

1

(18)

2

selalu bertindak sebagai suatu penghalang terhadap perubahan sosial. Adanya sikap masyarakat yang peduli terhadap hukum dapat berfungsi sebagai sumber kekuatan yang luar biasa untuk ketentraman dari pergaulan masyarakat itu sendiri.

Kurangnya kesadaran hukum dalam masyarakat dewasa ini menyebabkan terjadinya ketidakpercayaan antara anggota masyarakat itu sendiri maupun ketidakpercayaan dengan aparat penegak hukum dan pemerintah. Terlebih dengan kondisi perekonomian negara kita yang sulit saat ini, mengakibatkan timbulnya kriminalitas yang terjadi dalam masyarakat yang dilatarbelakangi karena kebutuhan hidup yang semakin meningkat dalam setiap anggota masyarakat tersebut. Kondisi yang terjadi setiap hari dan dialami oleh masyarakat misalnya penjambretan, penodongan, pencurian, perampokan, penganiayaan, perkosaan, pembunuhan, tawuran remaja, atau lebih dikenal dengan “kejahatan jalanan” atau

street crime” menjadi tantangan bagi proses penegakan hukum.

Perkembangan kejahatan seperti diuraikan diatas, maka hukum menempati posisi yang penting untuk mengatasi adanya persoalan kejahatan ini. Perangkat hukum diperlukan untuk menyelesaikan konflik atau kejahatan yang ada dalam masyarakat. Salah satu usaha pencegahannya dan pengendalian kejahatan itu ialah dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.2

Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang baik bersama-sama maupun seorang diri terhadap orang ataupun barang semakin meningkat dan meresahkan masyarakat serta aparat penegak hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku II Bab V mengatur tentang kejahatan terhadap ketertiban umum yang

2

(19)

3

terdapat dalam Pasal 153-181. Dalam Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebutkan bahwa : “Barangsiapa di muka umum, bersama-sama

melakukan kekerasan terhadap orang atau barang …” dapat dilihat dalam pasal

tersebut memiliki unsur-unsur yang memberi batasan untuk dapat menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana kekerasan.

Dibandingkan dengan tindak pidana kekerasan lainnya yang terdapat juga dalam KUHP, Pasal 170 KUHP memiliki ancaman pidana yang lebih berat daripada pasal-pasal yang mengatur tentang bentuk kekerasan yang lain dalam KUHP. Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP lebih menegaskan lagi bahwa “. Yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, kalau ia dengan sengaja merusak barang atau jikalau kekerasan yang dilakukanya itu

menyebabkan orang mendapat luka”. Dalam pasal ini bukan hanya unsur

kekerasan saja, namun unsur menyebabkan orang mendapat luka termasuk didalamnya. Dilihat dari unsurnya, Pasal 170 KUHP memiliki suatu perbedaan terhadap Pasal 55 ayat (1) KUHP mengenai tindak pidana yang dilakukan lebih dari satu orang.

(20)

4

mampu menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana. Putusan hakim sangatlah penting karena merupakan tolak ukur pemahaman hakim atas suatu perkara dari tindak pidana yang dipersidangkan dalam pengadilan serta menjadi puncak dalam perjuangan memperoleh keadilan.

Sebagai contoh pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 101/Pid.B/2007/PN.Tk. Kasus berawal dari Terdakwa Nur Cahyono dan saudaranya yang tiba-tiba didatangi Supriyanto yang mengatakan bahwa Sarno alias Itheng bertengkar dengan Warga Kampung Sawah. Mendengar hal tersebut Terdakwa dan saudara beserta Supriyanto pergi ke tempat dimana Sarno ditahan oleh warga untuk melerai perkelahian. Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto langsung memukul Semi yang mengenai mata sebelah kanan. Tukimin yang melihat Semi dipukul oleh Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto berusaha melerai lagi, namun belum sempat melerai mereka, Tukimin malah dipukul Terdakwa dengan tangan kosong sebanyak kurang lebih 4 (empat) kali dan dipukul Sdr. Nur Cahyanto dengan menggunakan batu sebesar kepalan tangan orang dewasa yang mengenai bagian atas mata sebelah kiri dan kening hingga mengeluarkan darah, kemudian Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto mendorong Tukimin hingga jatuh, selanjutnya Tukimin ditendangi dengan menggunakan kedua kaki Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto sebanyak kurang lebih 10 (sepuluh) kali.

(21)

5

perkara ini memutuskan Terdakwa Nur Cahyono terbukti bersalah melakukan tindak pidana pengeroyokan, sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 89 KUHP.

Pada kasus di atas terdapat suatu kesalahan yaitu terlihat dalam unsur melakukan kekerasan dimana pengertian kekerasan dalam Pasal 89 KUHP secara tersirat masih digunakan, melainkan Pasal 170 ayat (3) KUHP. Implementasi pidana yang dijatuhkan oleh hakim di Pengadilan Negeri Tanjung Karang terhadap pelaku tindak pidana Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang menyebabkan luka atau pengrusakan pada barang (pengeroyokan), hakim harus mempunyai implementasi dalam pasal tersebut yang nantinya dapat memberikan putusan yang terbaik bagi pelaku tindak pidana tersebut.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil seperti yang diharapkan. Dalam penelitian ini perumusan masalah dari masalah-masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Tanjung Karang?

(22)

6

tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Pidana. Sedangkan lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan penelitian pastilah mempunyai tujuan, dimana tujuan-tujuan yang hendak dipakai penulis dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

(23)

7

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana mengenai implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat khususnya mengenai dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.3

Pasal 170 KUHP mengatur tentang sanksi hukum bagi para pelaku kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum. Kalau boleh dikatakan pasal ini

3

(24)

8

adalah gabungan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dan Pasal 55 KUHP tentang turut serta melakukan suatu perbuatan. Pasal 170 KUHP berbunyi demikian:

(1) Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.

(2) Tersalah dihukum:

a) dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka.

b) dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh

c) dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang.

(25)

9

pidana seperti biasanya yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana.4

Menentukan kedudukan para pelaku tindak pidana yang dilakukan secara bersama dapat menggunakan empat macam bentuk dalam delik penyertaan yaitu turut serta (medapleger), menyuruh lakukan (doen pleger), menganjurkan lakukan (uitlokker), dan membantu melakukan (medeplichtigheid). Adapun dengan keempat macam bentuk penyertaan tersebut apabila dikontekskan dengan bentuk-bentuk tindak pidana yang dilakukan secara bersama, yang pada akhirnya memperoleh suatu kejelasan terhadap hubungan dan kedudukan para pelaku tersebut, khusunya apabila dalam hal dihadapkan pada banyaknya jumlah pelaku yang tidak jelas berapa besarnya.5

Pertimbangan hukum hakim dalam memutus suatu perkara, tidak terlepas dari kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu Negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan

4

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm 87

5

(26)

10

perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.6

Ketentuan hukum yang selalu ketinggalan dibandingkan dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat mengharuskan hakim untuk melakukan sebuah kajian hukum komprehensif yang disebut penafsiran hukum.7 Konsepsi hakim dalam melakukan penafsiran hukum dapat dibagi menjadi 2 (dua) teori yaitu teori penemuan hukum yang heteronom dan teori penemuan hukum yang otonom. Perbedaan mendasar dari kedua teori tersebut terletak pada sejauh mana hakim terikat pada ketentuan hukum tertulis. Teori penemuan hukum heteronom lebih menempatkan hakim sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi) sedangkan teori penemuan hukum otonom menempatkan hakim pada satu kebebasan untuk memahami dan mengkaitkan hukum sesuai perkembangan masyarakat.

Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung jawabkan putusannya. Hakim dalam membuat putusan berpedoman pada 3 hal, yaitu :

a. Unsur Yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama. b. Unsur Filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan.

6

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 102

7

(27)

11

c. Unsur Sosiologis, yang mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.8

2. Konseptual

Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Impelentasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci.9

b. Analisis adalah upaya penelitian hukum terhadap suatu peristiwa atau keadaan sebanarnya.10

c. Penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya.11

d. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma-norma dalam 3 (tiga) bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana,12

8

Ahmad Rifai, Op, Cit., hlm. 94.

9

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta, 1991, hlm 423

10

Ibid, hlm 56.

11

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op, Cit., hlm. 405.

12

(28)

12

e. Tenaga bersama atau secara bersama-sama yaitu dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama melakukan suatu perbuatan.13

f. Kekerasan mengandung pengertian menggunakan tenaga fisik atau jasmaniah tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul, menyepak, menendang dengan tangan atau senjata dan sebagainya.14

E. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 5 (lima) bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : I. PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang hukum acara pidana dan tinjauan umum tentang tindak pidana pencucian uang.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu

13

R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya. Usaha nasional, Surabaya, 1981, hlm. 190.

14

(29)

13

dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu mengenai dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP.

V. PENUTUP

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Istilah Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut.14 Adapun beberapa tokoh yang memiliki perbedaan pendapat tentang

peristilahan “strafbaarfeit” atau tindak pidana, antara lain :

1) Simons

Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.15

2) Wirjono Prodjodikoro

Tindak pidana merupakan pelanggaran norma-norma dalam 3 (tiga) bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata

14

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2002, hlm. 71.

15

(31)

15

usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana.16

3) Pompe

Tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.17

4) R Tresna

Peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.18

Beberapa peristilahan dan definisi di atas yang paling tepat digunakan adalah

“Tindak Pidana dan Perbuatan Pidana”, dengan alasan selain mengandung

(32)

16

1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan), dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.20

Sudradjat Bassar menyimpulkan pengertian perbuatan pidana yang didefinisikan oleh Moeljatno bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut :

1) melawan hukum, 2) merugikan masyarakat, 3) dilarang oleh aturan pidana,

4) pelakunya diancam dengan pidana. 21

Unsur melawan hukum dan merugikan masyarakat menunjukkan sifat perbuatan, sedangkan dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana

20

Adam Chazawi, Op, Cit, hlm. 71

21

(33)

17

merupakan pemastian dalam suatu tindak pidana. Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum.22 Beliau membedakan istilah perbuatan pidana dengan strafbaarfeit. Ini dikarenakan perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifat perbuatan yang terlarang oleh peraturan perundang-undangan. Soedarto memakai istiah tindak pidana sebagai pengganti dari pada strafbaarfeit, adapaun alasan beliau karena tindak pidana sudah dapat diterima oleh masyarakat.

Terdapat kelompok sarjana yang berpandangan monistis dan dualistis dalam kaitannya dengan tindak pidana. Pandangan monistis berpendapat bahwa semua unsur dari suatu tindak pidana yaitu unsure perbuatan, unsur memenuhi ketentuan undang-undang, unsur sifat melawan hukum, unsur kesalahan dan unsur bertanggungjawab digunakan sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga memungkinkan untuk dijatuhkan pidana kepada pelakunya. Mereka yang berpandangan dualistis, memisahkan perbuatan dengan pertanggungajawaban pidana dalam pengertian jika perbuatan tersebut telah memenuhi unsur yang terdapat dalam rumusan undang-undang, maka perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Mengenai pelaku tersebut, dalam hal pertanggungjawaban pidana, masih harus ditinjau secara tersendiri, apakah pelaku tersebut mempunyai kualifikasi tertentu sehingga ia dapat dijatuhi pidana. Sebagai contoh apabila pelaku mengalami gangguan jiwa maka ia tidak dapat dipidana.

22

(34)

18

Adanya pandangan tentang kedua paham tersebut diatas, maka sangat berpengaruh terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang (penyertaan). Sebagai contoh, A bersama dengan B melakukan pengrusakan terhadap barang milik C, maka menurut pandangan monistis maka A dan B semua dipenjara. Sedangkan menurut pandangan dualistis, jika A dan B (sehat akalnya semua), maka A dan B dapat dipidana tetapi apabila A (sehat akalnya) dan B (tidak sehat akalnya) maka A dapat dipidana dan B tidak dapat dipidana karena mengalami gangguan jiwa (tidak sehat akalnya) sesuai dengan Pasal 44 KUHP yang dalam pasal tersebut seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya. Ini dikarenakan dalam pandangan dualistis, pertanggungjawaban pidana dipisahkan dengan perbuatan pidana para pelaku.

2.1.1 Unsur-unsur Tindak Pidana

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tindak pidana yang diberikan beberapa tokoh memiliki perbedaan, tetapi secara prinsip intinya sama. Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) segi yaitu :23

a. Unsur Subyektif

Yaitu hal-hal yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subyektif tindak pidana meliputi :

a) Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa);

23

(35)

19

b) Niat atau maksud dengan segala bentuknya; c) Ada atau tidaknya perencanaan;

b. Unsur Obyektif

Merupakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah yaitu dalam keadaan mana tindak pidana itu dilakukan dan berada diluar batin si pelaku.

a) Memenuhi rumusan undang-undang b) Sifat melawan hukum;

c) Kualitas si pelaku;

d) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab tindakan dengan akibatnya.

Pada dasarnya unsur tindak pidana tidak terlepas dari dua faktor yaitu faktor yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri dan faktor yang timbul dari luar diri si pelaku atau faktor lingkungan.

2.1.2 Jenis Tindak Pidana

Menurut sistem KUHP, dibedakan antara Kejahatan terdapat dalam Buku II dan Pelanggaran dimuat dalam Buku III. Kejahatan adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan meskipun peraturan perundang-undangan tidak mengancamnya dengan pidana. Sedangkan Pelanggaran atau tindak pidana undang-undang adalah perbuatan yang oleh masyarakat baru dirasa sebagai tindak pidana karena ada peraturan perundangundangan yang mengaturnya. Kejahatan

adalah “rechtsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak

(36)

20

sebagi perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran

adalah “wetsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifatnya melawan

hukumnya baru dapat diketahui setelah ada ketentuan yang menentukan demikian.24

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pembagian atas kejahatan dan pelanggaran didasarkan pada berat ringannya pidana. Kejahatan terdapat dalam Buku II, dan Pelanggaran diatur dalam Buku III. Ancaman pidana dalam kejahatan relatif lebih berat daripada pelanggaran. Beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat dari : a) Dalam hal percobaan, hanya kejahatan yang dapat dipidana, sedangkan

percobaan dalam pelanggaran tidak dipidana.

b) Hal pembantuan, pembantuan dalam hal melakukan tindak pidana kejahatan dapat dipidana, dalam hal pembantuan melakukan tindak pidana pelanggaran tidak dipidana.

c) Dalam hal penyertaan yang dilakukan terhadap tindak pidana menggunakan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan, sedangkan dalam pelanggaran tidak berlaku.

d) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya diberlakukan bagi setiap pegawai negeri yang di luar wilayah hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan, dan bukan pelanggaran jabatan.

e) Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan.

f) Dalam hal perbarengan perbuatan (concursus), system penjatuhan pidana dalam concursus kejahatan menggunakan sistem absorbsi yang diperberat,

24

(37)

21

sedangkan dalam concursus pelanggaran menggunakan sistem kumulasi murni.25

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Jika seseorang telah berbuat sesuai dengan rumusan delik maka orang itu telah melakukan tindak pidana (delik), tidak dipermasalahkan bagaimana akibat dari perbuatan itu. Contoh : Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, yang dirumuskan sebagai perbuatan yang berwujud

„mengambil barang‟ tanpa mempersoalkan akibat tertentu dari pengambilan

barang tersebut.

Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitikberatkan pada akibat yang dilarang atau tidak dikehendaki. Tindak pidana ini baru selesai jika akibatnya sudah terjadi sedangkan cara melakukan perbuatan itu tidak dipermasalahkan. Contoh : Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, yang

dirumuskan sebagai perbuatan yang „mengakibatkan matinya‟ orang lain.

Terdapat tindak pidana formil materiil yaitu terdapat dalam pasal 378 KUHP tentang penipuan dimana selain menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang yaitu memakai nama palsu/peri keadaan yang palsu juga menitikberatkan pada akibat untuk menghapuskan piutang atau membuat hutang yang merupakan akibat yang dilarang.

Tindak pidana dolus adalah tindak pidana yang memuat unsur kesengajaan dalam rumusannya. Contoh : Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan (sengaja), dan Pasal 187 KUHP tentang kesengajaan membakar atau menyebabkan peletusan atau

25

(38)

22

banjir. Tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang memuat unsur kealpaan dalam perumusannya. Contoh : Pasal 359 KUHP tentang kealpaan yang menyebabkan orang mati atau luka.

Tindak pidana Comissionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan aktif. Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Contoh : Pasal 362, 338, dan 378 KUHP. Tindak pidana Omisionis yaitu tindak pidana yang berupa tidak berbuat sesuatu. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum.26 Contoh : Pasal 531 KUHP tentang Pelanggaran terhadap orang yang perlu ditolong.

Terdapat delicta commisionis perommisionem commissa yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat.27 Sebagai contoh seorang ibu sengaja tidak memberi makan kepada bayinya, lalu anak itu mati kelaparan, maka ibu tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 338 KUHP.

(39)

23

Tindak Pidana Communia adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang pada umumnya, tindak pidana memang diberlakukan pada semua orang. Tindak Pidana Propia adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu.28 Contoh : Pasal 346 KUHP tentang seorang wanita yang menggugurkan kandungannya sendiri.

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsur yang tercantum dalam rumusan pasalnya telah ditulis secara lengkap dengan kata lain terkandung pengertian yuridis dari tindak pidana tersebut, contoh Pasal 362 tentang pencurian. Sedangkan dalam bentuk yang diperberat maupun yang diperingan menyebutkan kualifikasi pasal dalam bentuk pokoknya, yang kemudian ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan.

Adanya faktor yang memberatkan maupun faktor yang meringankan, maka ancaman pidana menjadi lebih berat maupun menjadi lebih ringan daripada dalam pasal bentuk pokoknya. Contoh tindak pidana yang diperberat : Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana (unsur yang memperberat ialah adanya perencanaan terlebih dahulu), contoh tindak pidana yang diperingan : Pasal 341 KUHP tentang pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya yang baru lahir (unsur yang memperingan yaitu terletak pada subyek hukumnya : seorang ibu).

28

(40)

24

B. Pengertian Tindak Pidana dengan Terang-terangan dan Tenaga Bersama Melakukan Kekerasan (Pengeroyokan)

1. Pengertian dengan terang-terangan

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tindak pidana pengeroyokan diatur dalam Pasal 170 KUHP yang menyatakan:

ayat (1) :

Barangsiapa dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

ayat (2) :

Yang bersalah diancam :

ke-1 dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;

ke-2 dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;

ke-3 dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut;

ayat (3) :

Pasal 89 tidak diterapkan.

(41)

25

Pasal 170 ayat (1) KUHP dijelaskan bahwa terang-terangan dalam pengertian tidak bersembunyi, ini berarti tidak perlu di muka umum tetapi cukup apabila tidak diperlukan apa ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya.29 Dapat dikatakan apabila terjadi suatu kekerasan dilakukan dalam suatu rumah dan publik melihatnya, maka itu juga dapat dikatakan sebagai terang-terangan. Dalam hal melakukan kekerasan yang dilakukan di tempat yang sunyi dan tidak diketahui oleh orang atau umum, maka tidak dapat digolongkan dalam Pasal 170 KUHP ini.

Kejahatan yang diatur dalam Pasal 170 KUHP ini termasuk kejahatan terhadap ketertiban umum. Sedangkan bagi yang melakukan kekerasan yang tidak terlihat oleh umum maka dapat digolongkan sebagai penganiayaan. Menurut Simon yang dikutib oleh Moeljatno tentang kata “terang-terangan” atau (openlijk) diartikan apabila dilakukan di depan umum namun tidak ada publik yang melihatnya, disitu tidak dapat dikatakan terang-terangan, sedangkan apabila perbuatan kekerasan tersebut dilakukan dalam rumah dan sempat terlihat oleh publik melalui jendela rumah maka itu sudah dapat dikatakan terang-terangan.30

2. Pengertian Tenaga Bersama

Arti kata „tenaga bersama‟ atau „secara bersama-sama‟ dalam penjelasan Pasal

170 KUHP yaitu dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama melakukan suatu perbuatan.31 Sedangkan apabila dalam melakukan suatu kekerasan yang dilakukan oleh satu orang saja maka pelaku tersebut tidak dapat dituntut dengan Pasal 170 ayat (1) ke-2 KUHP ini. Dalam melakukan tindak pidana yang

29

Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi, Mahkamah Agung, Hoge Raad Edisi 4. Jakarta : Raja GrafindoPersada. 199, hlm. 105

30

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta, 2002, hlm. 129

31

(42)

26

dikualifikasikan sebagai tindak pidana pengeroyokan, harus memuat pelaku yang dilakukan oleh dua otang atau lebih. Noyon Langemeyer berpendapat bahwa untuk dikenai Pasal 170 ayat(1) ke-2 KUHP adalah 2 (dua) orang sudah cukup. Pendapat Noyon Langemeyer didukung oleh Moeljatno bahwa menggunakan tenaga bersama, dimana 2 (dua) orang sudah dapat merupakan tenaga bersama.32

Tenaga bersama disini menunjuk pada bentuk penyertaan atau medeplegen (turut serta melakukan), dan untuk mengadakan kerjasama kekerasan harus dilakukan setidak-tidaknya minimal 2 (dua) orang secara bersekutu. Para pelaku masing-masing mengetahui bahwa terdapat orang-orang lain yang turut serta melakukan perbuatan tersebut. Para pelaku tersebut harus menginsafi bahwa ia bekerja sama dengan orang-orang lain, sebab hanya dengan demikianlah dapat diadakan pertanggungjawaban atas perbuatannya orang lain.33

3. Melakukan Kekerasan

(43)

27

Menurut Thomas Susanto, terdapat jenis-jenis kekerasan yang terbagi dalam 4 (empat) bentuk yaitu :

a) Kekerasan Terbuka, merupakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang dapat dilihat oleh public secara kasat mata, seperti perkelahian antar pelajar.

b) Kekerasan Tertutup, merupakan kekerasan yang dilakukan secara tersembunyi atau tidak dilakukan secara fisik. Publik tidak mengetahui adanya dilakukan kekerasan jenis ini. Kekerasan ini lebih ditujukan pada psikologis korban seperti perilaku mengancam.

c) Kekerasan Agresif, merupakan kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan tetapi untuk mendapatkan sesuatu.

d) Kekerasan Defensif, merupakan kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan, pelindung diri. Baik kekerasan agresif maupun kekerasan defensif dapat bersifat terbuka ataupun tertutup.35

Pengertian kekerasan yang terdapat dalam Pasal 170 KUHP ini tidak dijelaskan secara detail hanya dijelaskan cara dilakukannya kekerasan dalam beberapa cara yaitu : perusakan terhadap barang; penganiayaan terhadap orang atau hewan; melemparkan batu-batu kepada orang atau rumah; membuangbuang barang-barang hingga berserakan dan lain sebagainya (R. Sugandhi, 1981:190).

Pengaturan mengenai pengertian kekerasan dalam KUHP terdapat pada Pasal 89 KUHP yang menyatakan :

35

(44)

28

“Yang dimaksud dengan melakukan kekerasan, yaitu membuat orang

menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi”.

Pasal 89 KUHP tersebut arti dari melakukan kekerasan adalah dengan menggunakan tenaga secara jasmani sekuat mungkin secara tidak sah yang menyebabkan orang yang menjadi korban dari kekerasan tersebut merasakan sakit akibat kekerasan tersebut. Namun pengertian kekerasan dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP memiliki perbedaan pengertian kekerasan yang terdapat dalam Pasal 89 KUHP, dimana dalam Pasal 170 ayat (3) KUHP menyatakan “Pasal 89 KUHP

tidak diterapkan”. Perbedaan tersebut terletak pada obyek yang dimaksudkan.

Pasal 89 KUHP dijelaskan bahwa obyek yang menjadi sasaran dalam melakukan kekerasan ditujukan terhadap orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.

Sedangkan obyek sasaran yang menjadi inti dari pengertian kekerasan dalam Pasal 170 KUHP lebih meluas, tidak hanya ditujukan kepada orang tetapi juga barang yang menjadi sasaran kekerasan termasuk di dalamnya serta penggunaan alat dalam melakukan tindak pidana kekerasan tersebut. Berdasarkan 4 (empat) pengertian kekerasan yang diutarakan oleh Thomas Susanto, kekerasan yang terdapat dalam Pasal 170 KUHP termasuk kekerasan terbuka dimana kekerasan tersebut dilakukan oleh seseorang ataupun beberapa orang melakukan kekerasan secara fisik yang dilakukan di tempat dimana dapat diketahui atau dilihat oleh publik.

(45)

29

mengatakan tentang “kekerasan”. Di tempat mana publik mengetahui orang

tersebut sedang melaksanakan kekerasan tersebut kepada orang lain atau barang maka orang tersebut dapat dikenai Pasal 170 KUHP.

4. Menyebabkan Luka

Pengertian luka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Tahun 1991 yaitu pertama, belah (pecah, cedera, lecet, dsb) pada kulit karena kena barang tajam; kedua, menderita luka. Definisi luka yang terdapat dalam Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP merujuk pada Pasal 90 KUHP dimana termasuk memiliki pengertian luka berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 90 KUHP yang menyatakan Luka berat berarti :

a) penyakit atau luka yang tak dapat diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut;

b) senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian;

c) tidak dapat lagi memakai salah satu pancaindera; d) mendapat cacat besar;

e) lumpuh (kelumpuhan);

f) akal (tenaga paham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu;

g) gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.”

Khusus Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP, kata „luka‟ bukan merupakan pengertian

dari „luka berat‟ yang diatur dalam Pasal 90 KUHP yang mana penyembuhannya

(46)

30

bahaya maut yang diderita oleh seseorang akibat dari suatu tindak pidana kekerasan dikarenakan tergolong luka ringan. Seseorang yang mengalami luka, baik luka berat maupun luka ringan perlu didukung dengan adanya visum et repertum dari rumah sakit yang digunakan yang ditanda tangani oleh seorang dokter sebagai bukti surat dalam penanganan tindak pidana terkait dalam Pasal 170 KUHP ini maupun tindak pidana kekerasaan yang lain dalam KUHP.

C. Tinjauan tentang Pidana

1. Pengertian Pidana

Istilah “hukuman” dalam lingkungan masyarakat terkadang disamaartikan dengan

istilah “pidana”, padahal kenyataannya kedua istilah tersebut memiliki makna

yang berbeda. Istilah “hukuman” memiliki pengertian yang lebih luas sehingga

bidang yang dicakup juga luas. Istilah “hukuman” sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari misalnya dalam bidang pendidikan, moral, agama, dan

sebagainya. Sedangkan istilah “pidana” digunakan khusus dalam bidang hukum

sehingga memiliki makna yang lebih tegas terhadap setiap pelanggar hukum.

(47)

31

sengaja diberikan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Menurut Roeslan Saleh, memberikan definisi pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat tindak pidana tersebut.36

Berdasarkan definisi dari 2 (dua) tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :

a) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh orang yang berwenang).

c) Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau korporasi yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-undang.37

2. Jenis-jenis Pidana

Dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946, pidana dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, antara pidana pokok dan pidana tambahan. Urutan dari pidana menunjukan berat ringannya pidana. Pidana terberat adalah pidana yang pertama kali disebutkan, dan urutan berikutnya menunjukan pidana yang semakin ringan. Pidana pokok terdiri dari :

(48)

32

5) pidana tutupan (Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946).

Pidana tambahan terdiri dari :

1) pidana pencabutan hak-hak tertentu; 2) pidana perampasan barang-barang tertentu; 3) pidana pengumuman putusan hakim.

D. Tinjauan Perbedaan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang Penyertaan dengan Pasal 170 KUHP tentang Tindak Pidana yang Dilakukan dengan Tenaga Bersama

Suatu tindak pidana yang dirumuskan dalam undang-undang baik sebagai kejahatan maupun pelanggaran ditujukan pada orang (subyek hukum pidana) dan hanya sebagian kecil terdapat tindak pidana yang ditujukan pada suatu badan hukum yang terdapat diluar KUHP. Subyek hukum yang disebutkan dan dimaksudkan dalam rumusan tindak pidana adalah hanya satu orang, bukan beberapa orang. Namun sering terjadi subyek suatu tindak pidana dilakukan lebih dari satu orang. Dalam hal ini dinamakan sebagai suatu penyertaan atau deelneming.

Penyertaan atau deelneming adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.38 Menurut Van Hamel, memberikan definisi penyertaan sebagai ajaran pertanggungjawaban atau pembagian pertanggungjawaban dalam hal suatu tindak

38

(49)

33

pidana yang menurut pengertian undang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku dengan tindakan sendiri.39

Permasalahan penyertaan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Buku I Bab V yaitu dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Pasal 55 KUHP mengatur tentang apa yang disebut dengan pelaku atau dader, sedangkan Pasal 56 KUHP mengatur tentang pembantuan atau medeplichtigheid. Melihat Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP apabila ditinjau maka suatu penyertaan bukan hanya satu orang saja yang tersangkut dalam terjadinya tindak pidana, akan tetapi beberapa orang. Menurut Moeljatno, selain peserta yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut maka tidak ada peserta lain yang dapat dipidana.40

1. Pelaku (Dader)

Pasal 55 KUHP merumuskan sebagai berikut :

1) Dipidana sebagai pembuat sesuatu tindak pidana ;

ke-1. orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan;

ke-2. orang yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

39

AK Moch Anwar, Beberapa Ketentuan Umum dalam Buku I Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bandung : Alumni. 2001, hlm. 3

40

(50)

34

Pasal 55 KUHP dapat dikelompokkan orang-orang yang disebut sebagai pembuat yaitu :

1) mereka, yang melakukan perbuatan pidana. Arti kata dari „melakukan‟ adalah secara lengkap memenuhi semua unsur delik dan merupakan suatu bentuk tunggal dari pengertian „berbuat‟.Orang itu sendiri yang melakukan delik tersebut.

2) mereka, yang menyuruh melakukan perbuatan pidana. Arti kata

„menyuruhlakukan‟ adalah bukan pelaku utama yang melakukan delik

tersebut, namun pelaku utama tersebut menggerakkan orang lain, yang (dengan alasan apapun) tidak dapat dikenai pidana, melakukan suatu delik; 3) mereka, yang turut serta melakukan perbuatan pidana. Arti kata „turut (serta)

melakukan adalah bersepakat dengan orang lain membuat rencana untuk melakukan suatu delik dan secara bersama-saman melaksanakannya;

4) mereka, yang membujuk supaya dilakukan perbuatan pidana. Arti dari

„membujuk‟ adalah meminta orang lain untuk melakukan suatu delik dengan

bantuan yang secara limitatif terdapat dalam Pasal 55 ayat (2) KUHP yang biasa disebut sarana-sarana pembujukan, membujuk orang lain yang memang dapat dipidana.

(51)

35

sendiri, pelaku tersebut harus bertanggungjawab penuh atas perbuatan yang telah dilakukannya sesuai dengan aturan hukum yang mengaturnya.

2. Pembantu (Medeplichtigheid)

Pasal 56 KUHP merumuskan sebagai berikut :

Sebagai pembantu melakukan kejahatan dipidana :

ke-1 orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan; ke-2 orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Pasal 56 KUHP menjelaskan tentang medeplichtigheid atau pembantuan dimana ancaman pidana bagi mereka yang terlibat dalam tindak pidana kejahatan, secara sengaja memberikan bantuan atau memberikan kesempatan serta daya upaya atau keterangan sehubungan dengan pelaksanaan tindak pidana. Medeplichtigheid atau pembantuan terjadi apabila terdapat 2 (dua) orang yang satu sebagai pembuat (dader) sedangkan yang lain sebagai pembantu (medeplichtigheid).

Orang yang membantu dalam Pasal 56 KUHP ini khusus mereka yang membantu tindak pidana kejahatan. Sedangkan pembantuan dalam hal pelanggaran tidak dipidana karena terdapat ketentuan dalam Pasal 60 KUHP. Pengertian orang yang membantu adalah mereka yang dengan sengaja memberi bantuan untuk melakukan kejahatan, sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

(52)

36

memberi bantuan. Menurut Simons, medeplichtigheid merupakan suatu onzelfstandige deelneming atau suatu keturutsertaan yang tidak berdiri sendiri.41 Maksud dari yang diutarakan Simons memiliki pengertian bahwa dalam hal pemidanaan bagi pembantu, ancaman pidananya akan tergantung pada apa yang dilakukan oleh si pembuat. Apabila si pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana maka pembantuan tersebut tidak dipidana, begitu juga sebaliknya. Suatu Pembantuan atau medeplichtigheid terjadi pada saat sebelum terjadinya suatu kejahatan dan pada saat kejahatan tersebut dilaksanakan.

Dikatakan secara jelas bahwa dalam suatu penyertaan diperlukan 2 (dua) orang atau lebih dalam hal melakukan suatu tindak pidana sama seperti kata ”dengan

tenaga bersama” yang terdapat dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP. Namun dengan

demikian terdapat suatu perbedaan yang mendasar antara penyertaan yang diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan penyertaan dalam Pasal 170 KUHP. Penyertaan membahas tentang peranan atau hubungan tiap-tiap peserta dalam suatu pelaksanaan tindak pidana, sumbangan apa yang diberikan oleh tiap-tiap peserta agar tindak pidana tersebut dapat dilaksanakan/diselesaikan serta pertanggungjawabannya atas sumbangan/bantuan tersebut. Hubungan antara peserta dalam penyelesaian tindak pidana tersebut dapat bermacam-macam yaitu : a. Bersama-sama melakukan sesuatu kejahatan;

b. Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan sesuatu kejahatan, sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut;

41

(53)

37

c. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu dalam melaksanakan tindak pidana tersebut.42

Menurut Wirjono Projodikoro, Pasal 170 KUHP tergolong bentuk pidana yang merupakan penyertaan mutlak perlu (Noodzakelijke Deelneming) yang dapat dipidana.43 Penyertaan mutlak perlu bukan merupakan penyertaan dalam arti yang telah diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, melainkan suatu bentuk tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, dimana untuk mewujudkan tindak pidana itu diperlukan lebih dari 1 (satu) pembuat.44

Pasal 170 KUHP dalam hal dilakukan oleh lebih dari satu orang tidak memenuhi unsur dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang turut serta melakukan dimana unsur dalam pasal tersebut adalah adanya „niat‟ dalam melaksanakan suatu perbuatan dengan kesadaran yang kemudian terjadi suatu kerjasama dalam melakukan perbuatan tersebut. Apabila dalam kerjasama tersebut dilakukan tanpa kesadaran,

perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan “turut serta melakukan” menurut

pengertian Pasal 55 ayat (1) KUHP.45

Pasal 170 KUHP yang termasuk penyertaan mutlak tidak selalu diperlukan kerjasama yang diinsyafi seperti pada penyertaan dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, hal ini tergantung pada bunyi dari isi pasal-pasal yang termasuk dalam tindak pidana penyertaan mutlak. Dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP hanya dijelaskan cara melakukan suatu kekerasan yang dilakukan lebih dari satu orang yang mana tidak disebutkan apakah melakukan kekerasan tersebut berdasarkan

42

AK. Moch Anwar, Op, Cit., hlm. 2-3

43

Wirjono Projodikoro, Op, Cit., hlm. 169

44

Adami Chazawi, Op, Cit., hlm. 160

45

(54)

38

(55)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini yang berdasarkan pokok permasalahan dilakukan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris sebagai penunjang. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah dan menelusuri berbagai peraturan perundang-undangan, teori-teori, kaidah hukum dan konsep-konsep yang ada hubungannya dengan permasalah yang akan dibahas. Sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah hukum terhadap objek penelitian sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan bentuk-bentuk perilaku yang akan dibahas dalam skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu :

(56)

40

terhadap beberapa penegak hukum dari Kehakiman, dan juga Dosen yang terkait dengan pembahsan dalam skripsi ini.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas, yang terdiri antara lain:

a. Bahan hukum primer yaitu :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3) Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dikemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang.

c. Bahan Hukum Tersier

(57)

41

C. Penetuan Narasumber

Penentuan narasumber dalam penelitian ini diambil dari beberapa orang populasi

secara “purposive sampling” atau penarikan sample yang bertujuan dilakukan

dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada permasalahan yang dibahas dalam penenlitian ini. Adapun narasumber dalam penelitian ini sebanyak 3 (tiga) orang, yaitu :

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang 2. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Proses dalam melakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder dipergunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi Pustaka

Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan membaca, mencatat, merangkum, untuk dianalisa lebih lanjut.

b. Studi Dokumen

(58)

42

c. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

E. Analisis Data

(59)

43

(60)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada perumusan masalah dan pembahasan masalah yang telah penulis uraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam kasus yang diteliti oleh penulis telah sesuai dengan unsur-unsur dalam pasal tersebut. Unsur-unsur dalam pasal tersebut adalah barang siapa, secara terang-terangan dengan tenaga bersama, Melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dan menyebabkan orang lain luka telah terpenuhi semua setelah diperiksa hakim di persidangan. Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang terhadap Terdakwa Nur Cahyono bin Paino yang melakukan tindak pidana pengeroyokan sesuai dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP relative lebih ringan dari tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yaitu 2 (dua) bulan lebih 15 (lima belas) hari dikurangi masa tahanan sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Penipuan berdasarkan pada Pasal 378 KUHP dan apa yang mendasari hakim Pengadilan Negeri

TK adalah berdasarkan pertimbangan yuridis yaitu sesuai dengan teori dasar pertimbangan hakim teori ratio decidendi dimana hakim mempertimbangkan segala aspek yang

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan akademisi hukum Pidana Fakultas

BAB II : PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PUTUSAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sleman).. Pertimbangan Hukum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis, khususnya mengenai pertimbangan putusan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana

Permasalahan yang muncul adalah apakah dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menjatuhkan putusan pernyataan pailit

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pertimbangan hakim pengadilan negeri Bondowoso dalam memutus sanksi bagi kedua pelaku penadahan hasil hutan berupa kayu sesuai dengan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada praktisi hukum maupun pembaca, mengenai disparitas yang terjadi dalam putusan oleh