• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISOLASI DAN KARAKTERISASI ENZIM AMILASE DARI ACTINOMYCETES ISOLAT LUMPUR HUTAN BAKAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ISOLASI DAN KARAKTERISASI ENZIM AMILASE DARI ACTINOMYCETES ISOLAT LUMPUR HUTAN BAKAU"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN FORMAL (SD s.d S1)

Tahun 2005 – 2010 : Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Lampung

Periode 2006-2007 : Anggota HIMAKI UNILA

Tahun 2006-2007 : Beasiswa Supersemar

Tahun 2007-2008 : Beasiswa BBM

NAMA

: Fera Yuliyantina

Tempat, Tanggal Lahir : Bandar Lampung, 10 Februari 1987

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Penikahan : Belum menikah

(2)

ASISTEN PRAKTIKUM YANG PERNAH DIJABAT

HOBI

PELATIHAN YANG PERNAH DIIKUTI

 Isolasi Dan Karakterisasi Enzim Amilase Dari Actinomycetes Isolat Lumpur Hutan Bakau

 Kimia Dasar I dan 2 untuk Fakultas Pertanian

 Traveling

 Internet

 Kunjungan Ilmiah Mahasiswa (HIMAKI UNILA, 2006)

 Kunjungan Ilmiah Mahasiswa (HIMAKI UNILA, 2007

 Karya Wisata Ilmiah (BEM FMIPA UNILA, 2007)

(3)

ABSTRAK

ISOLASI DAN KARAKTERISASI ENZIM AMILASE DARI ACTINOMYCETES

ISOLAT LUMPUR HUTAN BAKAU

Oleh Fera Yuliyantina

Pada penelitian ini enzim amilase diisolasi dari isolat actinomycetes yang berasal dari lumpur hutan bakau, Pantai Teluk Lampung. Isolat terpilih yang mempunyai aktivitas amilolitik terbesar yaitu isolat ANLd-2b-3. Penelitan ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi enzim amilase yang ditumbuhkan pada mineral salt medium. Enzim amilase yang dikeluarkan oleh actinomycetes diisolasi dengan sentrifugasi, kemudian ekstrak kasar enzim tersebut dimurnikan dengan pengendapan terfraksi menggunakan amonium sulfat dan dilanjutkan dengan dialisis. Aktivitas enzim amilase ditentukan dengan Metode Mendels dan kadar protein ditentukan dengan Metode Lowry. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan actinomycetes menghasilkan enzim amilase dengan aktivitas tertinggi pada waktu 120 jam dan pada pH 7. Isolasi enzim amilase dari isolat

actinomycetes meningkatkan aktivitas enzim, berturut-turut dari aktivitas unit sebesar 1,4 U/mL, dengan aktivitas spesifik 5,4 U/mg pada ekstrak kasar enzim menjadi aktivitas unit sebesar 2,6 U/mL, dan aktivitas spesifik 7,4 U/mg pada fraksi amonium sulfat, dengan tingkat kemurnian yang lebih tinggi yaitu 1,37 kali lebih murni dibandingkan ekstrak kasar enzim. Hasil karakterisasi terhadap enzim amilase hasil pemurnian memberikan nilai optimum pada suhu 50 oC, pH 7 dan waktu inkubasi 30 menit. Perhitungan kinetika reaksi enzim amilase menunjukkan harga KM sebesar 3,15 mg mL-1 dan Vmaks sebesar 30,6 mol

(4)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar terdiri dari lautan. Banyak

keanekaragaman mikroorganisme yang terkandung didalamnya, salah satu yang dimiliki

adalah ekosistem hutan bakau. Menurut Das et al., (2006) hutan bakau merupakan

ekosistem yang memiliki situasi ideal pada interfase antara daratan dengan lingkungan laut

dan kaya akan mikroorganisme yang beragam seperti bakteri, jamur, dan actinomycetes.

Hutan bakau merupakan salah satu daerah yang termasuk ke dalam lingkungan laut yang

didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu tumbuh berkembang pada

daerah pasang surut pantai berlumpur serta bertoleransi terhadap kadar garam.

Bakau dapat tumbuh dengan baik pada habitat atau kondisi lingkungan yang relatif sulit,

yaitu lingkungan yang memiliki abrasi air laut tinggi, kadar air yang berubah-ubah pada

saat pasang dan surut, dan lingkungan yang rawan pencemaran, dimana tanaman lain tidak

dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu hutan bakau merupakan ekosistem dengan

karakteristik unik, yang memiliki keanekaragaman organisme akuatik dan

mikroorganisme-mikroorganisme. Salah satu mikrorganisme tersebut adalah actinomycetes

(5)

Actinomycetes adalah suatu kelompok mikroorganisme yang morfologinya merupakan

bentuk peralihan antara bakteri dan fungi (Alexander, 1977). actinomycetes merupakan

mikroorganisme yang paling efisien dalam menggunakan substrat. Atas dasar

kemampuannya yang jarang dijumpai pada mikroorganisme lain itulah, maka dipilih

actinomycetes pada penelitian kali ini dan karena itu pula para ahli telah mengembangkan

media isolasi yang hanya menguntungkan bagi pertumbuhan actinomycetes dibandingkan

mikroorganisme yang lain (Suwandi, 1993). Isolasi mikroorganisme dari lumpur laut telah

menghasilkan mikroorganisme yang tidak ditemukan pada lingkungan terestrial (Magarvey

et al., 2004).

Suhartono (1989) mengatakan bahwa enzim ekstraseluler yang diperoleh dari

mikroorganisme lebih menguntungkan karena mikoorganisme dapat berkembang biak

dengan cepat, tidak memerlukan lahan yang luas, biaya produksi relatif murah dan mudah

dikontrol. Salah satu cara untuk memproduksi enzim yang sering dilakukan pada saat ini

adalah dengan cara membiakkan mikroba penghasil enzim yang dikehendaki pada media

tertentu. Enzim yang dihasilkan actinomycetes dipengaruhi jenis senyawa organik yang

diuraikan sebagai sumber karbon maupun energi (Alexander, 1977).

Sebagian besar actinomycetes menghasilkan berbagai macam enzim berupa enzim

ekstraseluler, salah satunya adalah enzim amilase. Amilase merupakan enzim yang paling

penting dan keberadaannya paling besar, pada bidang bioteknologi, enzim ini

diperjualbelikan sebanyak 25% dari total enzim yang lainya. Amilase didapatkan dari

(6)

Amilase yang berasal dari mikroorganisme banyak digunakan dalam industri, hal ini

dikarenakan mikroorganisme periode pertumbuhanya pendek (Oliveira, 2008).

Menurut McTigue, et al. (1995), isolasi mikroorganisme penghasil enzim amilase makin

banyak dilakukan karena peranan enzim amilase dalam dunia industri sangat penting.

Untuk memproduksi enzim dalam jumlah yang banyak dan memiliki aktivitas yang tinggi,

maka perlu diperhatikan faktor-faktor yang penting seperti kondisi pertumbuhan

mikroorganisme, cara isolasi serta jenis substrat yang digunakan.

Pada penelitian ini dilakukan isolasi dan karakterisasi enzim amilase dari actinomycetes

isolat yang berasal dari endapan lumpur hutan bakau. Enzim amilase ekstraseluler dari

actinomycetes diisolasi dengan sentrifugasi, kemudian ekstrak kasar enzim tersebut

dimurnikan dengan metode fraksinasi menggunakan ammonium sulfat dan dilanjutkan

dengan dialisis. Selanjutnya enzim yang dihasilkan dilakukan karakterisasi meliputi

penentuan: pH optimum, suhu optimum, waktu inkubasi optimum, penentuan nilai Km dan

Vm. Aktivitas enzim ditentukan dengan metode Mendels dan kadar protein ditentukan

dengan metode Lowry.

(7)

Tujuan Penelitian ini adalah :

1. Mempelajari pH, temperatur, dan waktu inkubasi optimum kondisi pertumbuhan

actinomycetes untuk memproduksi enzim amilase.

2. Mengisolasi dan memurnikan enzim amilase dari isolat actinomycetes yang berasal dari

endapan lumpur hutan bakau.

3. Menentukan karakteristik enzim amilase hasil isolasi dan pemurnian.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan agar dapat memanfaatkan potensi lumpur hutan bakau

sebagai sumber mikroorganisme potensial penghasil enzim amilase yang belum digali

secara keseluruhan serta menambah informasi mengenai actinomycetes lumpur hutan

(8)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan Bakau

Hutan bakau merupakan suatu kelompok jenis tumbuhan yang hidup dengan baik di pesisir

pantai tropis sampai subtropis yang memiliki fungsi istimewa pada lingkungan yang

mengandung kadar garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan kondisi tanah anaerob

(Irwanto, 2007). Hutan bakau tumbuh pada habitat atau kondisi lingkungan yang relatif

sulit, yaitu lingkungan yang memiliki abrasi air laut tinggi, kadar air yang berubah-ubah

pada saat pasang dan surut, dan lingkungan yang rawan pencemaran, dimana tanaman lain

tidak dapat tumbuh dengan baik (Tomlinson, 1999).

Indonesia merupakan tempat komunitas bakau terbaik dan terluas di dunia, lebih kurang

3,7 juta ha atau 21,8 % dari luas bakau di dunia yang berkisar 15.429.000 ha, dimiliki

Indonesia. Hutan bakau berfungsi menjaga daratan dari gerusan ombak serta tempat hidup

dan berkembang biaknya biota laut, termasuk mikroorganisme. Hutan bakau merupakan

ekosistem dengan karakteristik unik, yang memiliki keanekaragaman organisme akuatik

dan mikroorganisme-mikroorganisme, seperti bakteri, jamur, dan actinomycetes dan

lumpur adalah salah satu sumber daya lingkungan bakau (Magarvey et al., 2004; Suryanto

(9)

B. Mikroorganisme

Sel merupakan unit struktural dan fungsional organisme hidup. Organisme terkecil terdiri

dari sel tunggal. Ada dua kelas utama sel, yaitu sel prokariotik dan sel eukariotik (Albert et

al., 1994). Sel prokariot memiliki struktur sederhana, pertumbuhan selnya cepat dan

mudah, serta mekanisme yang relatif sederhana dalam proses reproduksi. Sel prokariot

bereproduksi dengan cara aseksual yang sangat sederhana. Organisme ini tumbuh hingga

ukurannya berlipat ganda, kemudian membelah diri menjadi sel anak yang identik

(Lehninger, 1998). Sel eukariot merupakan divisi terbesar dari organisme hidup, yaitu

seluruh organisme yang ada di bumi, termasuk hewan, tumbuhan, fungi, dan protozoa.

Termasuk pada sel eukariotik, nukleus dan sitoplasma terdapat sebagai dua kompartemen

yang terpisah oleh membran inti (Wolfe dan Stephen, 1993).

1. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme

Faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme yaitu suhu,

konsentrasi substrat, waktu inkubasi, dan pH. Di dalam proses metabolisme terjadi suatu

rangkaian reaksi kimia, dimana kenaikan temperatur sampai pada nilai batas tertentu, dapat

mempercepat proses metabolisme. Tetapi temperatur tinggi melebihi temperatur

maksimum akan menyebabkan denaturasi protein dan enzim. Hal ini akan mengakibatkan

terhentinya metabolisme (Suriawira, 2003). Pada dasarnya mikroorganisme dapat tumbuh

jika kemampuan adaptasi mikroorganisme terhadap perubahan lingkungan sangat tinggi

(10)

oleh tempat hidup awal mikroorganisme dan tempat mikroorganisme tersebut

dikembangkan guna untuk pembelajaran.

Nilai pH dari lingkungan juga sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Pada

mikroorganisme tertentu yang hidup pada pH yang tinggi maka mikroorganisme ini tidak

akan hidup pada pH yang rendah. Hal ini disebabkan adanya nilai pH yang tinggi maka

mikroorganisme ini tidak akan dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme (Chan,

2001). Konsentrasi substrat juga sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Semakin banyak kandungan substrat maka pertumbuhan akan mikroorganisme semakin

cepat dengan semakin cepatnya perkembangkan fisiologis mikroorganisme.

2. Nutrien Bagi Pertumbuhan Mikroorganisme

Mikroorganisme memerlukan nutrien dengan komposisi tertentu untuk tumbuh dan

membelah diri. Keperluan nutrien meliputi unsur makro esensial dan unsur mikro asensial.

Unsur makro esensial terlibat dalam proses metabolisme sel, sedangkan unsur mikro

esensial digunakan untuk mengaktifkan enzim, mensintesis vitamin, dan berperan dalam

sporulasi (Suhartono, 1989). Nutrien dasar bagi mikroorganisme harus mengandung sunber

energi untuk tumbuh seperti unsur karbon, unsur nitrogen dan logam. Sejumlah mineral

dan unsur hara terdapat dalam tubuh mikroba untuk menjalankan fungsi khusus yaitu : K,

Ca, Mg, Fe, Co, Cu, Zn, dan Mo. Dengan sendirinya kandungan kimiawi ini

mempengaruhi kebutuhan nutrien untuk menunjang pegadaan sel dan pertumbuhannya

(11)

Nutrien yang tergolong sebagai sumber energi diantaranya adalah senyawa hasil oksidasi

dari lemak, protein, ammonium, karbohidrat, dan gula-gula sederhana, selain itu beberapa

mikroorganisme dapat memanfaatkan metana dan methanol sebagai sumber energi.

Kebutuhan akan sumber karbon dipenuhi oleh adanya CO2 atau gula, pati dan karbohidrat

lainnya (Wang et al., 1978).

Sumber karbon, nitrogen, dan mineral utama fosfat, merupakan zat makanan utama bagi

pertumbuhan mikroorganisme. Berbagai sumber makanan baik yang bersifat organik

maupun anorganik tersedia di alam. Pemilihan sumber makanan untuk menumbuhkan

mikroorganisme yang diinginkan dalam produksi enzim tergantung pada jenis

mikroorganisme dan kebutuhannya serta ketersediannya di lingkungan industri fermentasi

dan faktor ekonomis lainnya (Suhartono, 1989).

3. Fase Pertumbuhan Mikroorganisme

Pertumbuhan mikroorganisme untuk menghasilkan produk tertentu mempunyai siklus

pertumbuhan tertentu tergantung produk yang akan dihasilkan. Fase pertumbuhan

mikroorganisme dibagi menjadi empat diantaranya fase lag (adaptasi), fase eksponensial,

fase stasioner, dan fase menurun (Dwidjoseputro, 2003).

a. Fase adaptasi, pada saat ini mikroorganisme baru beradaptasi dengan lingkungan

barunya. Pada fase ini belum terjadi pembelahan sel dan berlangsung cepat atau lambat

(12)

b. Fase eksponensial, pada saat ini mikroorganisme memulai pertumbuhan dan

pembelahan guna perbanyakan populasinya sesuai kondisi lingkungannya. Saat ini

mikroorganisme mengalami pertumbuhan yang tertinggi tetapi tidak berlangsung lama

karena pertumbuhan dibatasi oleh jumlah nutrien dan penimbunan zat racun sebagai

hasil metabolisme sekunder.

c. Fase stasioner, pada saat ini mikroorganisme memiliki jumlah yang tidak berimbang

dengan jumlah substrat sehingga bakteri akan mengalami kematian. Pertumbuhan

mikroorganisme terhenti dan terjadi akumulasi produk didalam sel atau media

fermentasi. Dengan terakumulasinya produk pada media fermentasi akan mengganggu

proses sintesis enzim. Pada fase ini sel-sel menjadi lebih tahan terhadap keadaan

ekstrim seperti panas, dingin, radiasi, dan bahan kimia.

d. Fase menurun (kematian), pada fase ini sebagian mikroorganisme mulai mengalami

kematian. Jumlah sel yang mati semakin lama akan semakin banyak, dan kecepatan

kematian dipengaruhi oleh kondisi nutrien, lingkungan, dan jenis jasad renik.

Pada setiap fase pertumbuhan mikroorganisme selalu melakukan pembelahan yang bersifat

mitosis terhadap inti sehingga dapat menghasilkan dua organisme yang morfologis identik

dan memiliki sifat fisiologis yang identik.

(13)

Actinomycetes merupakan mikroorganisme tanah yang memiliki sifat-sifat yang umum

dimiliki oleh bakteri dan jamur. Terlihat dari luar seperti jamur (eukariotik), namun

organisme ini sesuai dengan semua kriteria untuk sel prokariotik, yaitu : dinding selnya

mengandung asam muramat, tidak mempunyai mitokondrion, mengandung ribosom 70s,

tidak mempunyai pembungkus nukleus, garis tengah selnya berkisar dari 0,5 – 2,0 m, dan

dapat dimatikan atau dihambat oleh banyak antibiotik bakteri (Rao, 1994). Menurut

Alexander, 1997, actinomycetes memiliki dinding sel fungi terdiri dari selulosa dan kitin.

Hal tersebut sejalan dengan Lay dan Hastowo (1992), yang mengatakan bahwa

actinomycetes merupakan kelompok bakteri bersifat gram positif.

Walaupun actinomycetes dikatakan sebagai mikroorganisme peralihan antara bakteri dan

fungi (Alexander, 1977), tetapi actinomycetes mempunyai ciri yang khas, yang cukup

membatasinya menjadi satu kelompok yang jelas berbeda. Pada medium cair,

pertumbuhan actinomycetes ditandai dengan keruhnya medium dan terbentuk lapisan tipis

di permukaan medium. Menurut Rao (1994), pada lempeng agar, actinomycetes dapat

dibedakan dengan mudah dari bakteri, dimana koloni bakteri tumbuh dengan cepat dan

berlendir, sedangkan actinomycetes muncul perlahan dan berbubuk serta melekat erat pada

permukaan agar, berikut merupakan isolat actinomycetes yang ditumbuhakan pada agar

plate dalam media ISP-2 seperti terlihat pada Gambar 1. Rentang pH dan temperatur yang

cocok untuk pertumbuhan actinomycetes ini sekitar 6,5 – 8,0 dan 25 – 300C. Namun, ada

(14)

Gambar 1. Isolat Actinomycetes pada media ISP-2 (Guntari, 2009)

Actinomycetes umumnya terdapat di tanah, tanah kompos, di air tawar maupun air laut.

Beberapa contoh actinomycetes dari genus Streptomycetes, Micromonospora,

Nocardioform, dan Actinomaduras diketahui dapat hidup di air laut. Actinomycetes tidak

toleran terhadap tanah asam dan jumlahnya menurun pada pH 5,0 (Rao, 1994). Habitat

actinomycetes tersebar luas di alam biasanya bersifat aerob, artinya memerlukan oksigen

bebas, sehingga untuk pertumbuhannya tergantung pada persediaan oksigen. Tetapi ada

juga beberapa spesies yang dapat hidup pada keadaan kurang oksigen, dan dijumpai juga

anggota genus actinomycetes yang bersifat anaerob (Alexander, 1977).

Sumber energi bagi pertumbuhan actinomycetes dapat berupa karbohidrat, asam amino,

asam lemak, steroid, dan bahan organik lainnya, tetapi beberapa actinomycetes ada yang

menggunakan selulosa, hemiselulosa sebagai sumber

karbon. Pada umumnya bahan mineral yang dibutuhkan actinomycetes untuk pertumbuhan

adalah fosfor, kalsium, dan sulfur, sedangkan magnesium, sodium, seng dan besi berperan

(15)

Menurut jutono (1980), medium yang baik untuk menumbuhkan actinomycetes adalah

medium yang mengandung glukosa, gliserol atau tepung sebagai sumber karbon; nitrat atau

kasein sebagai sumber nitrogen dan mineral-mineral tertentu seperti NaCl, K2HPO4,

MgSO4.7H2O, CaCo3, FeSO4.7H2O. Inkubasi biasanya selama 2-7 hari.

D. Enzim

Enzim adalah biokatalis yang diperlukan oleh semua sel hidup untuk melangsungkan

berbagai reaksi kimia di dalam, di luar, dan antar sel. Enzim berfungsi sebagai biokatalis

untuk reaksi-reaksi pokok metabolisme didalam sel seperti metabolisme protein dan

metabolisme glukosa (Judoamijojo et al, 1989).

Setiap sel mengandung banyak macam enzim, yang masing-masing mempunyai

kemampuan serta spesifitas tertentu untuk mengubah suatu molekul kimia menjadi

molekul lain yang berbeda sifat, dan kimianya (Wirahadikusuma, 1987). Enzim memiliki

beberapa keistimewaan dibandingkan katalis kimia dalam reaksinya enzim memiliki

substrat spesifik tertentu yang dapat dikatalisis, enzim dapat

bekerja pada suhu ruang, pH tertentu, serta tidak menimbulkan masalah pencemaran dalam

penggunaannya (Judoamijojo et al, 1989).

Berdasarkan tempat kerjanya enzim dapat dikelompokkan dalam enzim intraselluler atau

endoenzim yang bekerja di dalam sel dan tidak disekresikan keluar sel dan bertujuan untuk

mengkatalisis reaksi kimia yang terjadi di luar sel. Enzim ekstraselluler berfungsi

(16)

sehingga dapat mudah dimanfaatkan oleh mikroba tersebut, oleh karena itu semua enzim

hidrolase (Judoamijojo et al, 1989).

Klasifikasi enzim terdiri dari dua cara yaitu, penamaan enzim secara trivial atau secara non

.sistematik misalnya pepsin, tripsin, katalase tidak menerangkan sifat dan macam reaksi

yang terjadi sedangkan penamaan dan klasifikasi enzim secara sistematik telah ditentukan

oleh suatu badan internasional bernama : Commission on Enzim of the international union

of Biochemistry (CEIUB). Dalam sistim yang baru ini enzim dibagi menjadi sub bagian.

Dalam beberapa hal tertentu, penanaman trivial masih dipakai, yaitu bila nama

sistematiknya terlalu panjang. Klasifikasi enzim CEIUB meliputi nama golongan , nomor

kode dan cara reaksi yang dikatalisernya dan tiap golongan utama terbagi menjadi

kelompok kelompok enzim berdasarkan gugus substrat yang diserangnya (Lehninger,

1988).

1. Enzim Amilase

Enzim Amilase ( E.C.3.2.1 ) adalah enzim yang dapat menghidrolisis pati. Hidrolisis

enzim oleh amilase pertama-tama menghasilkan polimer berantai pendek

yang disebut dekstrin, kemudian disakarida, maltosa, dan glukosa (Rahman, 1992).

Berdasarkan penamaan dan klasifikasi secara CEIUB, amilase merupakan enzim kelas 3,

hidrolase, dan subkelas 2.1, glukosa hidrolase, sehingga dapat ditulis enzim amilase

(17)

Beberapa sel mikroorganisme melepaskan enzim yang berperan di dalam dan di luar sel.

Fungsi utama eksoenzim adalah untuk melangsungkan perubahan nutrien di lingkungan

sehingga memungkinkan nutrien tersebut memasuki sel. Misalnya amilase mengurai pati

menjadi unit-unit gula yang lebih sederhana (Pelezar, 1986 dalam Mariana, 2003). Enzim

amilase termasuk enzim hidrolase, yaitu suatu enzim yang memerlukan air untuk memecah

pati menjadi molekul-molekul yang lebih kecil, produk akhir pemecahan berupa glukosa

seperti terlihat pada Gambar 2.

(C6H10O5)n + n(H2O) n(C6H12O6)

Pati air amilase glukosa

Gambar 2. Reaksi penguraian pati yang bereaksi dengan air menghasilkan glukosa dengan

bantuan amilase (Winarno, 1986)

Selama ini mikroorganisme penghasil enzim amilase banyak dihasilkan dari bakteri dan

jamur, tetapi ternyata actinomycetes juga dapat menghasilkan enzim hidrolase salah

satunya yaitu amilase. Selain itu actinomycetes berpotensi menghasilkan

senyawa metabolit sekunder, enzim selulase,enzim protease dan enzim kitinase (Magarvey

et al., 2004).

Pada uji aktivitas dasar hidrolisis pati pada enzim amilase, mikroorganisme ditumbuhkan

pada media yang mengandung nutrien dan pati. Mikroorganisme yang mampu membentuk

amilase dalam media yang mengandung zat pati, akan menghidrolisis pati yang ada pada

medium uji sehingga terbentuk zona bening di sekitar daerah pertumbuhan mikroorganisme

(18)

warna biru kehitaman di sekitar pertumbuhan mikroorganisme, namun bila pati

terhidrolisis, maka daerah-daerah yang tidak mengandung pati lagi akan tampak jernih

(Lay, 1994).

2. Mekanisme Katalisis Enzim

Enzim dapat mengkatalisi suatu reaksi jika enzim dapat terlebih dahulu membentuk

kompleks enzim-substrat. Secara langsung pengikatan enzim dengan substrat pada enzim

terjadi pada bagian sisi aktif enzim ini dapat digambarkan sebagi proses awal katalisis

enzim. Jika enzim telah melakukan pembentukan ikatan antara enzim dengan substrat

dengan membentuk molekul kompleks enzim substrat, pembentukan molekul ini sangat

dipengaruhi oleh bentuk dari sisi aktif enzim dan kespesifikan substrat. Ada dua jenis teori

yang mendukung dalam penjelasan pembentukkan kompleks enzim substrat, teori pertama yang diajukan oleh Fisher yaitu teori “Lock and Key”, seperti yang terlihat pada Gambar 3.

Pada teori ini kerja katalitik enzim dapat terjadi jika sisi aktif enzim memiliki kecocokan

dengan substrat.

Gambar 3. Mekanisme Reaksi enzim model Lock and Key (Collins, 2001)

Sedangkan teori kedua adalah teori yang diajukan oleh Koshland yaitu teori “Induced Fit”.

(19)

menginduksi suatu perubahan bentuk pada bentuk sisi aktif enzim (Fersht, 1977). Selain

sisi aktif terdapat juga sisi lain pada enzim yang dapat membentuk ikatan dengan molekul

lain. Enzim yang memiliki sisi pengikatan selain sisi aktif inilah yang biasa disebut sebagi

enzim alosterik seperti terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Mekanisme Reaksi Enzim Model Induced Fit (Carr, 2005)

3. Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim

Inhibitor dapat meminimalkan kerja enzim karena membentuk ikatan dengan sisi aktif

enzim sehingga mengganggu proses pembentukkan dan kestabilan ikatan kompleks

enzim-substrat. Mekanisme inhibitor yang berkaitan dengan sisi aktif enzim dapat bersifat

kompetitif dan nonkompetitif. Inhibitor bersifat kompetitif

jika inhibitor memiliki kemiripan dengan substrat sehingga sisi aktif enzim akan terhalang

untuk melakukan pengikatan dengan substrat, lain halnya dengan inhibitor nonkompetitif

yang hanya memilki sedikit kemiripan dengan substrat sehingga sisi aktif masih dapat

berikatan dengan substrat. Sedangakan induser adalah suatu zat tertentu yang dapat

mengaktifkan kerja dari enzim.

Pada proses kerja katalisis enzim suhu inkubasi sangat mempengaruhi kerja dari enzim,

suhu inkubasi yang lebih tinggi dari suhu optimum kerja enzim dapat menyebabkan

(20)

protein enzim. Nilai pH juga dapat mempengaruhi kerja dari enzim adanya perubahan pH

akan menyebabkan adanya efek zwitter ion, yaitu keadaan dimana pH muatan positif dan

negatif jumlahnya sama yang dapat mempengaruhi titik isoelektrik protein enzim sehingga

enzim akan mengalami perubahan konformasi dan perubahan bentuk sisi aktif.

Konsentrasi substrat juga mempengaruhi aktivitas enzim, pada keadaan substrat yang

berlebih maka akan terjadi kejenuhan pembentukkan kompleks enzim substrat sehingga

substrat tidak diubah menjadi produk (Arbianto, 1989).

4. Pengukuran parameter reaksi enzim

Didalam perhitungan kinetika reaksi enzim jumlah senyawa yang terlibat perlu diketahui

untuk memperoleh kesimpulan kuantitatif. Jumlah enzim yang diperlukan untuk

mengkatalisi reaksi biokimia jauh lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi substrat

yang digunakan dan produk yang dihasilkan.

Konsentrasi substrat dan produk biasanya dinyatakan dalam satuan molar, milimolar atau

mikromolar (Suhartono, 1989). Menurut perjanjian internasional satu unit aktivitas enzim

adalah jumlah enzim yang mengakibatkan transformasi satu mikromol (10-6 mol) substrat permenit pada suhu 25oC dalam keadan optimum system tersebut. Wirahadikusumah (1981), menyatakan bahwa aktifitas spesifik adalah jumlah unit aktifitas enzim permiligram

protein.

(21)

Dalam sejarah kinetika enzim yang menjadi tonggak penting adalah penelitian Leonard

Michaelis dan Menten pada tahun 1913, menghasilkan persamaan Michaelis-Menten.

Dalam menjalakan aktifitasnya, enzim (E) mula-mula bergabung dengan substrat (S) untuk

membentuk komplek enzim substrat (ES) dalam reaksi reversible. Komplek (ES) lalu

terurai dalam reaksi reversible selanjutnya menghasilkan produk pereaksi (P) dan enzim

bebas (E) (Lehninger, 1988).

E + S ES E + P

Untuk menyatakan hubungan yang tepat antara konsentrasi substrat dengan kecepatan

reaksi enzimatik. Michaelis-Menten menyatakan sebagai berikut:

V maks [S]

Pada saat V mencapai ½ Vmaks maka persamaan menjadi

Vmak [S]

½ Vmaks =

Km + [S]

(22)

Km = [S]

Jadi Km dapat diartikan konsentrasi substrat yang dibutuhkan untuk mencapai ½ Vmak.

Harga Km yang tetap untuk keadaan reaksi tertentu (pH dan suhu terentu) merupakan salah

satu ukuran yang mencirikan enzim tersebut. Harga Km tidak tergantung kepada

konsentrasi substrat maupun konsentrasi enzim yang bereaksi (Suhartono, 1989) seperti

ditunjukan pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik antara V dan [S] pada Persamaan Michaelis-Menten.

6. Grafik linier persamaan Michaelis-Menten

Lineweaver dan Burk pada tahun 1934 dan beberapa peneliti telah mengadakan

transformasi linier dari persamaan Michaelis-Menten tersebut menjadi :

1 Km 1 1

= + V Vmaks Vmaks S

(23)

Gambar 6. Grafik Lineweaver-Burk.

Grafik pada gambar 6 dikenali sebagi Grafik Lineweaver-Burk. Grafik ini digunakan secara

luas dalam menghitung nilai-nilai Km dan Vmaks dari suatu reaksi enzimatis (Suhartono,

1989).

E. Isolasi Dan Pemurnian Enzim

Dalam pengerjaan isolasi, hal yang harus diperhatikan adalah lokasi enzim tersebut pada

organisme. Menurut lokasinya, enzim dapat bersifat intraseluler yaitu enzim yang

sekresikan oleh organisme dan bekerja di luar sel organisme tersebut (Chan dan Pelezar,

1998). Ekstraksi enzim ekstraseluler lebih mudah daripada yang

intraseluler, karena tidak memerlukan pemecahan sel. Disamping itu, enzim yang

dikeluarkan dari sel mudah dipisahkan dari pengotor lain dan tidak banyak bercampur

dengan bahan-bahan isi sel lainnya (Gumbira, 1987). Tahapan proses isolasi serta

pemurnian enzim yang paling dasar menurut Darwis dan Sukara (1990) serta Judoamijojo

et al (1989) adalah sebagai berikut

(24)

Proses ini bertujuan untuk mengeluarkan enzim dari sel atau konstituen seluler. Pada

proses ini diperlukan perusakan atau penghancuran dinding sel secara fisik, mekanik, atau

kimiawi. Proses ini dilakukan untuk mengeluarkan enzim intraseluler dari dalam sel.

b. Sentrifugasi (pemusingan)

Molekul-molekul dengan berat molekul tinggi dapat mengendap dengan cepat bila

disentrifugasi dengan kecepatan tinggi. Kecepatan pengendapan molekul bergantung pada

beberapa faktor seperti besar molekul, bentuk molekul, dan viskositas larutan. Tetapi

kecepatan pengendapan molekul tersebut sangat bergantung pada berat molekulnya. Makin

besar berat molekulnya maka akan semakin cepat suatu zat terendapkan.

c. Fraksinasi

Cara pemurnian enzim yang umum dilakukan adalah dengan proses pengendapan bertahap

atau biasa disebut fraksinasi. Pengendapan protein yang sering dilakukan adalah

pengendapan dengan senyawa elektrolit menggunakan garam ammonium

sulfat. Penambahan senyawa elektrolit kedalam larutan enzim akan menyebabkan

menurunnya kelarutan enzim tersebut, sehingga terbentuk endapan protein. Garam

amonium sulfat sering digunakan dalam pengendapan enzim dan protein. Hal ini

disebabkan kebanyakan enzim tahan terhadap garam tersebut, memiliki daya pengendapan

yang cukup besar, mempunyai efek penstabil terhadap kebanyakan enzim (Soedigdo,

1998). Selain itu, garam ammonium sulfat memiliki kelarutan yang besar dalam air, dapat

(25)

Penambahan ammonium dilakukan dengan meningkatkan kejenuhan dari larutan enzim.

Pembagian fraksinya sebagai berikut: (0-20)%jenuh; (20-40)%jenuh; (40-60)%jenuh;

(60-80)%jenuh; (80-100)%jenuh. Pengendapan ini dikenal sebagai salting out.

d. Dialisis

Pada isolasi enzim sering dilakukan dialisis untuk memisahkan protein atau enzim dari

ion-ion (garam) dengan menggunakan membrane berdasarkan difusi. Proses ini terjadi karena

adanya perbedaan tekanan osmosa antara cairan yang ada di dalam membran dengan cairan

yang berada di luar membran. Membran yang digunakan adalah selofan berbentuk selang.

Sampel dimasukkan ke dalam kantung selofan, kemudian kantung tersebut dimasukkan ke

dalam larutan buffer. Molekul dengan berat molekul lebih kecil dari

20000 dalton dapat melewati membran, sedangkan molekul dengan berat molekul yang

lebih besar akan tertahan di dalam. Molekul-molekul kecil akan terdifusi keluar dari

membran sampai tekanan osmotic antara sample dan buffer yang digunakan telah seimbang

(Reed et al, 1998). Sehingga buffer atau air di luar membrane dialysis harus diganti

beberapa kali supaya semua ion dalam larutan dapat dihilangkan (Lehninger, 1998).

F. Karakterisasi Enzim

Kebutuhan industri terhadap enzim yang semakin meningkat dan bervariasi selain

menuntut adanya upaya peningkatan produksi jumlah enzim, juga mengharuskan adanya

(26)

kondisi yang tepat sehingga aktivitas enzim maksimum. Sebagian besar proses

karakterisasi yang dilakukan berdasarkan penentuan pH, suhu, dan jenis substrat (Long-Liu

et al, 1998).

Tingkat aktivasi enzim di pengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain suhu, konsentrasi

protein, kondisi buffer dan penambahan ion-ion tertentu (McDonald, 1996). Untuk

menjaga stabilitas aktivitas enzim hal yang perlu diperhatikan adalah integritas struktur tiga

dimensi dari sisi aktif. Selain itu juga harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi

stabilitas enzim antara lain suhu, kekuatan ion, pH, buffer, ada atau tidaknya substratnya

konsentrasi protein, waktu inkubasi dan ada atau tidaknya activator dan inhibitor (Long-Liu

et al, 1998). Faktor pH perlu diperhatikan didalam karakteristik enzim karena perubahan

pH pada reaksi enzim

sangat mempengaruhi stabilitas enzim, aktivitas enzim terhadap activator dan inhibitor,

aktivitas enzim terhadap substrat dan kecepatan konversi substrat menjadi produk

(27)

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biomassa, Jurusan Kimia Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung, dimulai dari bulan November 2009

sampai Mei 2010.

B. Alat dan Bahan

Dalam penelitian ini alat-alat yang digunakan adalah, shaker, spektrofotometer UV,

incubator (Memmer Germany INCO2), autoklaf (speed clave model HV-25L), magnetic

stirrer (Wiggen Hauser), sentrifus (HITACHI CF16RX II), neraca analitik, lemari

pendingin, Micro Plate Reader (Hospitex Diagnostix), laminar air flow Cabinet (ESCO),

penangas air (Wiggen Hauser), kertas saring, termometer, cawan petri, dan peralatan gelas

lainnya seperti labu erlenmeyer, gelas beker, labu takar, tabung reaksi, spatula, pipet tetes

dan lain-lain.

Bahan-bahan yang digunakan adalah medium ISP-2 (yeast extract, malt ekstrak, dekstrosa,

dan agar), air laut steril, Mineral salt medium (FeSO4.7H2O, K2HPO4, MgSO4.7H2O,

(28)

tartarat, Reagent Folin-Ciocelteau, alkohol 70 %, BSA, aquades, dan kantung selofan.

C. Metode Penelitian

1. Penyiapan Media dan Larutan Pereaksi

a. Pembuatan Media Pemeliharaan Actinomycetes (Media ISP-2)

Sebanyak 4 g yeast extract, 10 g malt ekstrak, 4 g dekstrosa, dan 20 g agar dilarutkan

dalam 1 L air laut steril kemudian disterilisasi pada temperatur 121 oC, 1 atm, selama 15 menit (Margavey, et al., 2004).

b. Pembuatan Media Produksi (Mineral Salt Medium)

Dalam 1 L air laut steril pada pH 7 ditambahkan komposisi Mineral salt medium (w/v) %

yaitu FeSO4.7H2O, K2HPO4, MgSO4.7H2O, CaCl2, NaCl, dan pati. Kemudian disterilisasi

pada temperatur 121 oC, 1 atm, selama 15 menit.

c. Pembuatan Pereaksi Untuk Pengukuran Aktivitas Amilase Metode Mendels

Pereaksi asam dinitrosalisilat : 1 % asam dinitrosalisilat, 0,2 % fenol, 0,05 % Na2SO3, 1 %

NaOH, 40 % 1 mL garam Rochel (Na-K tartarat). Semua zat dicampurkan dan

ditambahkan volumenya hingga 100 ml.

(29)

2. Larutan B : 5 ml larutan 1% CuSO4.5H2O ditambahkan ke dalam larutan 1% Na-K

tartarat.

3. Larutan C : 2 ml larutan B ditambahkan 100 ml larutan A

4. Larutan D : Reagent Folin-Ciocelteau 1N dengan aquades 1 : 1

2. PeremajaanIsolat Actinomycetes

Isolat actinomycetes yang digunakan yaitu isolat actinomycetes yang berasal dari lumpur

hutan bakau. Isolat actinomycetes yang telah diberi nama ANLd-2b-3, 12, dan

ANL-4, adalah isolat actinomycetes yang didapatkan dari penelitian sebelumnya dan digunakan

pada penelitian kali ini (Guntari, 2009). Dari ketiga isolat actinomycetes tersebut,

selanjutnya dilakukan peremajaan isolat actinomycetes dengan megunakan media

pemeliharaan actinomycetes, yaitu Media ISP-2.

3. Uji Amilolitik

Uji kemampuan actinomycetes dalam menghidrolisis amilum dengan menggunakan

mineral salt medium yang menggandung 1% pati dalam air laut. Setelah disterilisasi dan

media dibiarkan memadat dalam cawan petri, selanjutnya diambil masing-masing 1 ose

isolat actinomycetes dan ditanam dalam media yang telah memadat tersebut dengan metode

tusuk. Selanjutnya setelah diinkubasi selama 7 hari, media tersebut dialirkan larutan iodin

dan diamati terbentuknya zona bening disekitar koloni actinomycetes tersebut dan diukur

indeks amilolitik zona bening dari masing-masing media dengan isolat actinomycetes yang

(30)

4. Penentuan Kondisi Optimum Pertumbuhan Actinomycetes.

Media yang digunakan untuk mengetahui kondisi pertumbuhan optimum produksi enzim

amilase adalah Mineral Salt Medium. Pada media diberikan kondisi pertumbuhan yang

diamati meliputi pH dan waktu inkubasi. Variasi pH yang dilakukan adalah 6; 6,5; 7; 7,5

dan 8. Variasi waktu inkubasi yang dilakukan adalah 24, 48, 72, 96, 120, 144, 168, 192,

216 dan 240 jam.

Pada seluruh perlakuan diukur aktivitas amilase dan jumlah selnya. Uji ini positif bila

menghasilkan larutan kompleks berwarna merah bata/kuning. Untuk mengukur jumlah sel

dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Dari

data hasil pengukuran OD600 dapat diketahui kondisi pertumbuhan optimum yang tepat

untuk pertumbuhan actinomycetes. Kondisi pertumbuhan optimum yaitu keadaan optimum

yang mempunyai aktivitas enzim amilase paling tinggi pada seluruh perlakuan yang

meliputi variasi pH, temperatur dan waktu.

5. Penyiapan Inokulum.

Isolat bakteri yang telah ditumbuhkan pada media ISP-2 selama 2-7 hari diinokulasi ke

dalam Erlenmeyer 250 ml yang berisi 100 ml Mineral Salt Medium

pada pH optimum, temperatur optimum, dan waktu inkubasi optimum. Biakan ini yang

disebut starter atau inokulum.

(31)

Sebanyak 2 % inokulum dipindahkan ke dalam 500 mL media fermentasi secara aseptis

dan diinkubasi pada temperatur pertumbuhan optimum, pH optimum dan waktu inkubasi

optimum, untuk memperoleh jumlah maksimum enzim yang diproduksi actinomycetes

tersebut.

7. Isolasi Enzim Amilase

Isolasi protein enzim dilakukan dengan menggunakan metode sentrifugasi. Metode ini

digunakan untuk memisahkan enzim dari sel-selnya. Media fermentasi yang telah

diinkubasi menggunakan shaker inkubator selanjutnya disentrifugasi dengan

kecepatan 3500 rpm selama 30 menit pada suhu 40 C. Filtrat yang diperoleh disebut ekstrak kasar enzim, terhadap ekstrak kasar enzim tersebut dilakukan pengukuran volume,

uji aktifitas enzim dan pengukuran kadar protein menggunakan metode Lowry.

8. Pemurnian Enzim Amilase

a. Fraksinasi Dengan Amonium Sulfat

Proses pemurnian berikutnya adalah fraksinasi ekstrak kasar enzim dengan menggunakan

garam ammonium sulfat.

Ekstrak kasar enzim amilase

+ (NH4)2SO4 (0-20)%

(32)

+ (NH4)2SO4 (20-40)%

Gambar 7. Skema Proses Fraksinasi Enzim dengan Penambahan Ammonium Sulfat

Skema proses pengendapan dengan penambahan ammonium sulfat dijelaskan seperti

Gambar 7 diatas. Setelah itu endapan protein enzim dipisahkan dari cairannya dengan

sentrifugasi pada kecepatan 6500 rpm selama 15 menit. Kemudian endapan yang diperoleh

dari tiap fraksi dilarutkan dalam buffer pospat pH 7.

b. Dialisis

Endapan enzim dari tiap fraksi yang telah dilarutkan dalam buffer pospat pH 7,

dimasukkan ke dalam kantung selofan dan didialisis dengan buffer pospat pH 7 selama ±30

jam dalam suhu dingin. Terhadap hasil dialisis dilakukan pengujian aktifitas enzim metode

Mandels dan ditentukan kadar proteinnya.

9. Karakterisasi Enzim

Semua pengukuran pada seluruh perlakuan yang meliputi variasi pH, temperatur, waktu

(33)

a. Penentuan Temperatur Optimum

Untuk mengetahui suhu optimum dari enzim hasil isolasi,maka dilakukan pengukuran

aktifitas enzim dengan metode mendels dan variasi suhu yang digunakan adalah 40, 50, 60,

70 dan 80oC.

b. Penentuan pH Optimum

Untuk mengetahui pH optimum dari enzim hasil isolasi, dilakukan pengukuran aktifitas

enzim dengan metode Mandels, dengan variasi pH yang digunakan adalah 6,0; 6,5; 7,0;

7,5; dan 8,0.

c. Penentuan Waktu Inkubasi Maksimum

Untuk mengetahui waktu inkubasi optimum dari hasil isolasi, dilakukan pengukuran

aktifitas enzim menggunakan metode Mandels dengan variasi waktu inkubasi 10, 20, 30,

40 dan 50 menit.

d. Penentuan Nilai Km dan Vmaks

Ke dalam beberapa tabung reaksi dimasukkan larutan substrat (amilum) dengan konsentrasi

berturut-turut 0,50; 1; 1,50; 2,0; 2,5 dan 3 mg/ml. Pengerjaan selanjutnya sama dengan

pengukuran aktifitas enzim metode Mandels, dengan menggunakan data hasil penentuan

suhu, pH, dan waktu inkubasi maksimum

optimum. Nilai Km dan Vm ditentukan dengan menggunakan kurva Lineweaver-burk.

(34)

Metode ini didasarkan atas glukosa yang terbentuk dari hasil hidrolisis pati oleh amilase

(Mandels et al., 1976). Sebanyak 0,5 ml enzim, 0,5 ml larutan 0,1 % pati dicampur lalu

diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60oC. Setelah itu ditambahkan 2 ml pereaksi DNS (asam dinitrosalisilat) didihkan selama 10 menit pada penangas air dan didinginkan.

Sedangkan kontrol 0,5 ml enzim amilase dipanaskan sampai mendidih, lalu ditambahkan 2

ml DNS dan 0,5 ml substrat. Pengukuran aktifitas enzim meliputi aktivitas unit dan

aktivitas spesifik. Setelah dingin serapannya diukur menggunakan spektrofotometer

UV-VIS pada 540 nm. Kadar glukosa yang terbentuk ditentukan dengan menggunakan kurva

standar glukosa.

11. Penentuan Kadar Protein Metode Lowry

Sebanyak 0,1 ml larutan enzim dan 0,9 ml air direaksikan dengan 5 ml larutan C. Larutan

didiamkan selama 10 menit dalam suhu kamar, kemudian ditambahkan 1 mL reagent

Folin-Ciocelteau 1 N. Larutan didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar. Warna biru

yang terbentuk dibaca serapannya pada panjang gelombang 660 nm dengan menggunakan

spektrofotometer. Konsentrasi protein ditentukan dengan menggunakan larutan standar

Bovin Serum Albumin (Lowry, 1951).

Pembiakan actinomycetes pada media pertumbuhan optimum

(35)

Keterangan :

* : Hanya Uji aktifitas enzim dengan metode Mandels

(36)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Isolat Actinomycetes Amilolitik Terpilih

1. Isolat Actinomycetes Terpilih

Peremajaan isolat actinomycetes dilakukan dengan tujuan sebagai pemeliharaan isolat

actinomycetes agar nantinya dapat terus digunakan sampai pada akhir penelitian dan

menjaga kelangsungan hidup isolat actinomycetes itu sendiri. Biasanya peremajaan

actinomycetes ini dilakukan 3-4minggu sekali setelah dilihat pada sumber-sumber nutrien

makanan bagi pertumbuhan actinomycetes tersebut akan mulai habis digunakan. Isolat

yang digunakan pada proses peremajaan isolat actinomyetes ini didapatkan dari penelitian

sebelumnya, yaitu isolat ANLd-2b-3, ANL-14 dan ANL-12 (Lina, 2009). Dipilihnya ketiga

isolat actinomycetes tersebut berdasarkan pertumbuhan yang lebih baik karena tidak

adanya kontaminan dibandingkan dengan isolat-isolat actinomycetes yang ada.

Pertumbuhan isolat actinomycetes yang sempurna baru dapat terlihat selama 7 hari. Biakan

(37)

ANLd-2b-3 ANL-12 ANL-4

Gambar 9. Isolat Actinomycetes

Isolat actinomycetes ANLd-2b-3 mempunyai warna keabu-abuan, isolat actinomycetes

ANL-12 mempunyai warna kuning keabuan dan isolat actinomycetes ANL-4 mempunyai

warna kuning kecoklatan. Sedangkan bentuk dari ketiga isolat diatas mempunyai bentuk

yang hampir sama yaitu ketiganya memiliki hifa atau percabangan, berbubuk, tebal, dan

pertumbuhannya lebih lama di bandingkan bakteri, oleh sebab itu pertumbuhan isolat

actinomycetes ini umumnya muncul dengan perlahan antara 7-10 hari baru dapat terlihat

bentuk isolatnya.

2. Aktivitas Amilolitik Terpilih

Uji amilolitik dilakukan dengan tujuan memilih salah satu isolat actinomycetes dari ketiga

isolat actinomycetes yang ada, yang kemudian akan digunakan sebagai sumber enzim

amilase yang akan dihasilkan, dengan cara melihat isolat actinomycetes mana yang

mempunyai aktivitas enzim amilase paling besar. Pengujiannya dilakukan dengan melihat

(38)

Amilase merupakan enzim yang mampu menghidrolisis molekul amilum menjadi glukosa

atau oligosakarida. Dengan indikator larutan Iodin tersebut akan memberikan warna bening

yang menandakan bahwa isolat actinomycetes dapat menghidrolisis amilum.

Ketiga isolat menunjukkan hasil yang positif dengan larutan iodin yang membentuk zona

bening. Daerah zona bening tersebut adalah daerah hasil hidrolisis amilum. Kemudian

ketiga isolat itu dihitung indeks amilolitiknya. Indeks amilolitik diartikan sebagai hasil bagi

diameter zona bening dengan diameter koloni.

Dari hasil yang telah dilakukan pada ketiga isolat actinomycetes maka diperoleh gambar

hasil zona bening dan data indeks amilolitiknya, seperti disajikan pada Gambar 10 dan

Tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat ANLd-2b-3 mempunyai kemampuan

amilolitik yang lebih besar dibandingkan dua isolat lainnya.

ANLd-2b-3 ANL-12 ANL-4

Gambar 10. Hasil Uji Amilolitik pada actinomycetes

Tabel 1. Indeks Amilolitik dari berbagai isolat actinomycetes

Nama Isolat

Diameter Koloni (cm)

Diameter Zona Bening

(39)

ANLd-2b-3 1,7 2,6 1,529

ANL-12 1,4 2,0 1,428

ANL-4 1,6 1,8 1,128

B. Kondisi waktu dan pH optimum pertumbuhan Actinomycetes.

Penentuan kondisi optimum pertumbuhan actinomycetes perlu dilakukan untuk mengetahui

lingkungan optimum pertumbuhan actinomycetes dan mendapatkan kondisi terbaik dalam

memproduksi enzim. Diharapkan enzim yang diproduksi akan lebih maksimal atau

mempunyai aktivitas enzim yang tinggi. Proses ini dilakukan sebelum proses isolasi

enzim.

Pada proses penentuan kondisi optimum pertumbuhan actinomycetes isolat ANLd-2b-3

didapatkan pH optimum dan waktu optimumnya yaitu pada pH 7 dan waktu 120 jam.

Sedangkan dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bruhlmann, et al

didapatkan pH dan waktu inkubasi optimum actinomycetes yaitu pada pH 7,3 dan waktu 4

hari (96 jam).

Berikut merupakan kurva pertumbuhan actinomycetes dapat dilihat pada Gambar 11 (dari

(40)

0

Gambar 11. Hubungan antara jumlah sel (OD600) dan aktivitas unit amilase

dengan lama waktu fermentasi

Dari Gambar 11 dapat dilihat fase eksponensial pertumbuhan actinomycetes tercapai pada

waktu inkubasi 96 jam. Produksi enzim amilase dengan aktivitas tertinggi pada waktu

inkubasi 120 jam, atau pada awal fase stasioner pertumbuhan actinomycetes.

Setelah didapatkan waktu pertumbuhan optimum actinomycetes dalam menghasilkan

enzim amilase dengan aktivitas tertinggi, kemudian ditentukan pH optimum pertumbuhan

actinomycetes. Hasil pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 600nm menggunakan metode densitas optikal (OD600) didapatkan pH optimum pada pH 7 dengan absorbansi sebesar

OD600 = 0,165. Kurva kondisi optimum actinomycetes pada variasi pH dapat dilihat pada

(41)

0

Gambar 12. Hubungan antara jumlah sel (OD600) dengan pH pada saat fermentasi

C. Inokulum dan Enzim Amilase Hasil Produksi

Penyiapan inokulum atau media starter ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan

enzim yang diproduksi lebih banyak dan maksimal. Media starter atau inokulum diinkubasi

selama waktu inkubasi pertumbuhan optimum dan pH optimum, yaitu waktu inkubasi

selama 120 jam dengan pH 7.

D. Aktivitas Enzim Amilase Hasil Isolasi

Setelah actinomycetes diinkubasi selama 120 jam dengan pH 7 dalam media fermentasi,

setelah itu dilakukan pemisahan enzim amilase dari konstituen seluler lainnya sehingga

diperoleh ekstrak kasar enzim. Proses isolasi enzim dilakukan dengan mensentrifugasi

media fermentasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Pada proses isolasi ini

diperoleh ekstrak kasar enzim sebanyak 469 ml dari 500 ml media fermentasi, dengan

aktivitas unit 1,4 U/mL, kadar protein 0,26 mg/mL, dan aktivitas spesifik 5,4 U/mg.

(42)

1. Hasil Fraksinasi dengan Amonium Sulfat

Proses fraksinasi dengan penambahan garam ammonium sulfat kedalam larutan enzim akan

menyebabkan menurunnya kelarutan enzim tersebut, sehingga terbentuk endapan protein.

Dengan adanya penambahan garam, kelarutan protein akan meningkat hal ini dikarenakan

karena pada konsentrasi garam yang tinggi, garam akan lebih cenderung mengikat air dan

menyebabkan agregasi Sehingga molekul protein mengalami pengendapan. Peristiwa ini

disebut salting out. Proses fraksinasi ini dilakukan pada suhu 0-4oC, hal ini betujuan agar kemungkinan hilangnya aktivitas enzim oleh adanya denaturasi dapat diminimalkan.

Pemurnian enzim pada tahap pertama ini dilakukan dengan menambahkan garam amonium

sulfat dalam 5 tingkat fraksi kejenuhan Fraksi kejenuhan amonium sulfat yang digunakan

pada penelitian ini adalah (0-20)%, (20-40)%, (40-60)%, (60-80)%, dan (80-100)% jenuh.

Pada tahapan pemurnian ini tidak dilakukan uji aktivitas unit, kadar protein dan aktivitas

spesifiknya tetapi pengujiannya dilakukan setelah tahap dialisis. Hal ini dilakukan agar

garam yang ada dalam larutan enzim dapat terpisah terlebih dahulu, sehingga garam yang

digunakan untuk mengendapkan protein tidak mempengaruhi pengukuran aktivitas enzim

amilasenya, yang menyebabkan aktivitas unit enzim amilase menurun.

2. Aktivitas Dialisis Terpilih

Proses pemurnian dialisis dilakukan karena adanya molekul garam dari hasil fraksinasi

yang dapat mempengaruhi aktivitas dan kestabilan enzim. Oleh karena itu, dengan

(43)

agar didapatkan enzim dengan aktivitas lebih tinggi dan kemurnian meningkat. Tahapan

dialisis ini dilakukan pada kondisi dingin untuk mencegah terjadinya kerusakan protein

enzim yang dimurnikan dan juga dilakukan dengan menggunakan membran berdasarkan

difusi partikel zat terlarut yang menyebabkan protein enzim akan terpisah dari ion-ion

garamnya dan membran yang digunakan adalah kantung selofan (Reed et al, 1998).

Pada setiap pergantian buffer phospat yang dilakukan setiap 4 jam sekali, dilakukan

pengujian dengan cara meneteskan larutan Ba(OH)2 0,1M pada buffer untuk mengetahui

masih ada tidaknya garam ammonium sulfat pada enzim. Jika pada larutan buffer tersebut

tidak terdapat endapan putih setelah ditetesi larutan Ba(OH)2, maka tahap dialisis telah

selesai.

Gambar 13 (Lampiran 2, Tabel 6) menunjukan hubungan antara fraksi enzim pada berbagai

tingkat kejenuhan amonium sulfat setelah didialisis dengan aktivitas unit enzim amilase.

0

(44)

Pada Gambar diatas dapat dilihat enzim amilase yang memiliki aktivitas unit tertinggi yaitu

pada fraksi (40-60)% sebesar 2.6 U/mL. Pada fraksi-fraksi sesudah fraksi (40-60)%, masih

terlihat tinggi aktivitas enzimnya, yang menandakan bahwa amonium sulfat masih dapat

mengendapkan protein enzim pada fraksi-fraksi tersebut. Aktivitas unit tiap fraksi berbeda

karena dipengaruhi oleh tinkat kejenuhan garam amonim sulfat yang semakin meningkat.

Berikut adalah Tabel Pemurnian enzim amilase dari actinomycetes pada berbagai tahap

pemurnian. Dapat dilihat bahwa pada Tabel di bawah ini terjadi peningkatan aktivitas dan

tingkat kemurnian enzim amilase pada tahap pemurnian dialisis dari fraksi (40-60) %

dibandingkan dengan ekstrak kasar.

Tabel 2. Hasil Pemurnian Enzim Amilase

Tahap

Volume Aktivitas Aktivitas Kadar Aktivitas Tingkat

Perolehan (%) Enzim Unit Total Protein Spesifik kemurnian

(mL) (U/mL) (U) (mg/mL) (U/mg) (kali)

Hasil dialisis menunjukan aktivitas enzim yang meningkat dengan tingkat kemurnian yang

lebih tinggi yaitu 1,37 kali lebih murni dibandingkan ekstrak kasar dan dengan perolehan

10 %.

(45)

Pada proses karakterisasi enzim ini dilakukan agar dapat diaplikasikan pada kebutuhan

industri terhadap enzim yang semakin meningkat dan bervariasi yang menuntut adanya

upaya peningkatan produksi jumlah enzim.

1. Suhu Optimum Enzim Amilase

Aktivitas tertinggi (U/mL) enzim hasil pemurnian dari actinomycetes dapat dilihat pada

Gambar 14. Suhu optimum enzim amilase berdasarkan Gambar 14 adalah 500C (dari data tabel 7, Lampiran 2 ).

Gambar 14. Penentuan suhu optimum enzim amilase

Pada Gambar di atas, aktivitas enzim semakin meningkat seiring dengan kenaikan suhu

sampai pada suhu optimum. Setelah mencapai aktivitas maksimum pada suhu optimum,

aktivitas enzim akan menurun seiring dengan kenaikan suhu. Pada suhu kurang dari 50 oC kestabilan enzim cukup tinggi namun kemampuan hidrolisis pati oleh enzim tidak berjalan

secara maksimal. Dengan meningkatnya temperatur (suhu) akan menyebabkan

(46)

rotasi dari enzim sehingga peluang enzim dan substrat untuk bertumbukan dan bereaksi

meningkat, dan produk yang dihasilkan akan semakin bertambah pula.

Akan tetapi diatas temperatur optimum, aktivitas enzim menurun tajam. Hal ini terjadi

karena enzim mulai mengalami perubahan konformasi yang menyebabkan sisi aktifnya

tidak sesuai lagi dengan substrat. Hal ini dikarenakan gugus reaktifnya mengalami

hambatan untuk memasuki sisi aktif enzim sehingga struktur enzim akan mengalami

kerusakan dan aktivitas enzim semakin menurun (Suhartono, 1989).

2. pH Optimum Enzim Amilase

Aktivitas optimum amilase dicapai pada pH 7, hal ini disebabkan karena pada kondisi pH

7, gugus pemberi atau penerima proton yang penting pada sisi katalitik enzim berada pada

tingkat yang diinginkan sehingga aktivitas katalitiknya tinggi dan karena terjadinya

perubahan ionisasi pada gugus ionik sisi enzim tersebut yang

mempengaruhi sisi aktifnya, maka hal ini menyebabkan enzim dapat mengikat substrat

lebih efektif dan mengubahnya menjadi produk.

Dibawah pH optimum, ion H+ akan berikatan dengan gugus NH2- bebas membentuk NH3+,

sehingga ikatan hidrogen dari amina (NH2) dengan gugus karbonil dalam molekul protein

enzim akan putus dan menyebabkan perubahan konformasi pada pusat aktif enzim.

Sedangkan diatas pH optimum , ion OH- akan berikatan dengan atom hidrogen dari molekul enzim membentuk H2O, sehingga ikatan hidrogen yang ada dalam molekul protein

(47)

mengalami penurunan aktivitas hingga laju reaksi mencapai nol. Laju reaksi akan menurun

dikarenakan perubahan gugus yang bermuatan akan menyebabkan perubahan konformasi

lipatan pada enzim sehingga konformasi sisi aktif enzim ikut terpengaruh akibatnya

aktivitas enzim akan menurun dengan adanya perubahan konformasi dari sisi aktif enzim.

Hal ini juga disebabkan karena telah berkurangnya komponen didalam medium yang

menjadi penginduksi sintesis enzim atau substrat (Abianto, 1989).

0

Gambar 15. Penentuan pH optimum enzim amilase

Aktivitas unit amilase (U/mL) optimum hasil pemurnian dari actinomycetes adalah pada

pH 7 (Tabel 8, lampiran 2) dapat dilihat pada Gambar 15.

3. Waktu Optimum Enzim Amilase

Aktivitas tertinggi (U/mL) enzim hasil pemurnian dari actinomycetes dapat dilihat pada

Gambar 16. Waktu optimum enzim amilase berdasarkan Gambar 16 adalah 30 menit (dari

(48)

0

Gambar 16. Penentuan waktu inkubasi optimum enzim amilase

Pada Gambar di atas, aktivitas enzim semakin meningkat seiring dengan bertambahnya

waktu inkubasi sampai pada waktu optimum. Setelah mencapai aktivitas maksimum pada

waktu optimum, aktivitas enzim akan menurun seiring dengan bertambahnya waktu

inkubasi. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan waktu yang dibutuhkan oleh setiap

enzim untuk bereaksi dengan substrat. Namun ada saatnya jumlah produk menjadi konstan

sementara waktu terus meningkat, yang biasa dikenal sebagai istilah turunnya laju reaksi

(product over time). Hal ini disebabkan karena jumlah substrat yang berkurang ataupun

hasil dari reaksi enzim

atau produk menghambat pembentukkan dari kompleks enezim substrat sehingga aktivitas

enzim akan semakin menurun nilainya.

4. KM dan Vmaks Enzim Hasil Pemurnian.

Kecepatan reaksi enzim akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi substrat

sampai pada suatu harga yang memberikan kecepatan reaksi tetap. Pada keadaan tersebut,

(49)

menjadi lebih jenuh dan tidak dapat bereaksi lebih cepat. Harga KM dari suatu enzim

berfungsi untuk mengetahui konsentrasi dari subsrat yang menghasilkan laju reaksi

maksimum.

Grafik Penentuan harga KM dan Vmaks enzim amilase dapat dilihat pada Gambar 17.

y = 0.103x + 0.0327

Gambar 17. Grafik Lienweaver-Burk enzim amilase

Berdasarkan data pada Gambar tersebut, laju reaksi meningkat seiring dengan

meningkatnya konsentrasi substrat. Jika konsentrasi substrat terus dinaikan, akan ada suatu

saat enzim jenuh dengan substratnya sehingga peningkatan konsentrasi substrat tidak lagi

meningkatkan laju reaksi dan walaupun substrat terus mengalami penambahan,

pembentukan kompleks enzim substrat tidak lagi dimungkinkan, keadaan ini disebut laju

(50)

Dari persamaan Lineweaver-burk diperoleh harga Vmaks hasil pemurnian sebesar 30,6 mol

mL-1 menit-1 , sedangkan nilai KM sebesar 3,15 mg mL-1 (dari data pada Tabel 10,

Lampiran 3).

(51)
(52)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Isolat ANLd-2b-3 mempunyai kemampuan menghidrolisis amilase yang lebih besar

dibandingkan isolat ANL-14 dan ANL-12. Kondisi optimum pertumbuhan isolat

ANLd-2b-3 dalam memproduksi enzim amilase optimum pada pH 7 dan waktu 120

jam.

2. Pada ekstrak kasar enzim amilase didapatkan aktivitas unit sebesar 1,4 U/mL, kadar

protein 0,26 mg/mL, dengan aktivitas spesifik 5,4 U/mg dan pada fraksinasi dengan

amonium sulfat fraksi (40-60)% jenuh setelah didialisis didapatkan aktivitas unit

sebesar 2,6 U/mL, kadar protein 0,35 mg/mL, dan aktivitas spesifik 7,4 U/mg dengan

tingkat kemurnian 1,37 kali.

3. Kondisi optimum kerja enzim amilase dari actinomycetes isolat ANLd-2b-3 pada suhu

500C, pH 7 dan waktu inukubasi optimum 30 menit. Nilai Vmaks sebesar 30,6 mol mL-1

(53)

5.2 Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disarankan adanya penentuan kondisi suhu

optimum pertumbuhan actinomycetes dan diharapkan adanya penelitian lanjutan mengenai

(54)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Tujuan Penelitian... 4

C. Manfaat Penelitian... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA... 5

A. Hutan Bakau ... 5

B. Mikroorganisme ... 6

1. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme ... 6

2. Nutrien bagi pertumbuhan mikroorganisme ... 7

3. Fasepertumbuhan mikroorganisme ... 8

C. Actinomycetes...10

D. Enzim ...12

1. Enzim Amilase ... 13

2. Mekanisme Katalisis Enzim ...15

(55)

5. Persamaan Michaelis-Menten ... 18

6. Grafik Linier Persamaan Michaelis-Menten ... 20

E.. Isolasi dan Pemurnian Enzim ... 20

F. Karakterisasi Enzim ... 23

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 25

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

B. Alat dan Bahan ... 25

C. Metode Penelitian... 26

1. Penyiapan Media dan Larutan Pereaksi ... 26

2. Peremajaan Isolat Actinomycetes ... 27

3. Uji Amilolitik ... 27

4. Penentuan Kondisi Optimum Pertumbuhan... 28

5. Penyiapan Inokulum ... 28

6. Produksi Enzim Amilase ... 29

7. Isolasi Enzim Amilase ... 29

8. Pemurnian Enzim Amilase ... 29

a. Fraksinasi dengan Amonium Sulfat ... 29

b. Dialisis ... 30

9. Karakterisasi Enzim ... 31

10. Pengujian Aktifitas Amilase Metode Mendels... 32

(56)

A. Isolat Actinomycetes Amilolitik Terpilih ... 34

1. Isolat Actinomycetes Terpilih ... 34

2. Aktivitas Amilolitik Terpilih ... 35

B. Kondisi Waktu dan pH Optimum Pertumbuhan Actinomycetes ... 37

C. Inokulum dan Produksi Enzim Amilase ... 39

D. Aktivitas Enzim Amilase Hasil Isolasi ... 39

E. Enzim Amilse Hasil Pemurnian ... 40

1. Hasil Fraksinasi dengan Amonium Sulfat ... 40

2. Aktvitas Dialisis Terpilih... 41

F. Enzim Amilase Hasil Karakterisasi... 43

1. Suhu Optimum Enzim Amilase ... 43

2. pH Optimum Enzim Amilase ………...…..… 44

3. Waktu Optimum Enzim Amilase ………... 46

4. KM dan Vmaks Enzim Hasil Pemurnian………... 47

V. SIMPULAN DAN SARAN………...………... 49

A. Simpulan ... 49

B. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(57)
(58)

DAFTAR PUSTAKA

Albert, B., Bray, D., Lewis, J., Raff, M., Roberts, K., and Watson, J. D. 1994. Biologi Molekular Sel, edisi kedua, jilid I. Alih Bahasa oleh Alex Tri Kanjono W. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal : 278-281

Alexander, M. 1977. Introduction of soil Microbiology, Second Edition. John Willey and Sons. Inc. New York. Hal : 467-468

Arbianto, P. 1989. Biokimia Konsep-Konsep Dasar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta. Hal : 48-50

Blaber, M. 1998. Molecular Biology and Biotechnology. Sb.fsu.edu.com.

Boyer, F. R. 1993. Modern Experimental Biochemistry. The Benjamn/Cummings Publishing Company, Inc. California. Hal : 275-276

Bruhmann, F., Kim, K.S., Zimmerman, W., and Fietcher, A. 1993. Pectinolytic Enzyme from actinomycetes for the Degumming of Ramie Bast Fibers. Appliedd and environmetal microbiology. P. 2107-2112 Vol 60, No.6.

Carr, S. M. 2005. Induced Fit Model. www. Noun.ca/biology/scar/Induced-Fit. Model.html. Diakses pada tanggal 22 Juni 2009. 16.19 WIB.

Chan, E. C. S., dan Pelezar, M. J. Jr. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. UI Press. Jakarta. Hal : 33-34

Collins, E.M. 2001. Lock and Key Model. http:/waynesword.palomar/molecul.htm. Diakses pada tanggal 22 Juni 1009. 16.08 WIB.

Darwis, A. A dan Sukara. 1990. Teknologi Mikrobial. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal : 71-74

Das, S., Lyla, P.S. dan Ajmal, K. 2006. Marine Microbial Diversity and Ecology : Importance and future perspectives. Current Science. Vol. 90 No.10. (2006)

(59)

Fersht, A. 1977. Enzyme Structure and Mechanism. W.H Freeman and Company. San Franscisco. Hal : 45-47

Foster, R. L. 1980. The Nature Enzymology. Halsted Press Book. John Willey and sons. New York. Hal : 65-69

Frobisher. 1970. Fundamentals of Microbiology. WB SaundersCompany. Phidelphia. London. Toronto. Hal : 52-58

Gumbira, S.E. 1987. Bioindustri, Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Hal : 124-126

Guntari, L.F. 2009. Isolasi dan Seleksi Actinomycetes Penghasil Enzim Selulase Dari Lumpur Hutan Bakau Pantai Ringgung Perairan Teluk Lampung. [Skripsi]. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Irwanto, 2007. Suksesi Hutan Mangrove Pulau Marsegu. Http://Irwantoshut.Com/ Dibuka pada 10 September 2009, pukul 14.00 WIB

Judoamijojo, M., A.A Darwis, dan E.G. Said. 1992. Teknologi Fermentasi. PAU Bioteknologi. IPB. Rajawali Press. Jakarta. Hal : 54-58

Jutono. 1980. Penentun Mikrobiologi Umum Untuk Perguruan Tinggi. Departemen Mikrobiologi Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Hal : 211-213

Laay, B. dan S. Hastowo., 1992. Mikrobiologi. Rajawali Press. Jakarta.Hal : 28-31

Lehninger, A. 1988. Dasar-dasar Biokimia. Penerjemah: Thenawidjaya M. Erlangga. Jakarta. Hal : 84-89

Long-Liu, L., Charng-Cherng, C and Wen-Hwei, H. 1998. Production and Properties of raw atarch-degrading amylase from the thermophilic and alkalophilic Bacillus sp.

TS-23.Biotechnol.appl. biochem. 28:61-68.

Lowry, O.H., N.J., Rosebrough, A.L., Farr, and R.J. Randall. 1951. Protein measurement with the Folin phenol reagent, J. Biol. Chem., 193-265.

Mandels, M., A. Raymond, and R. Charles. 1976. Measurement of Saccharyfying Celluase.

Biotech & Bioeng. Symp. No 6. Jhon Willey & Sons Inc.

Gambar

Gambar 1.  Isolat Actinomycetes pada media ISP-2 (Guntari, 2009)
Gambar 2. Reaksi penguraian pati yang bereaksi dengan air menghasilkan glukosa dengan
Gambar 3. Mekanisme Reaksi enzim model Lock and Key (Collins, 2001)
Gambar 4. Mekanisme Reaksi Enzim Model Induced Fit (Carr, 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

8 Konsentrasi substrat optimum untuk aktivitas enzim polyphenoloxidase dan plot Lineweaver-Burk untuk enzim polyphenoloxidase 14 9 Pengaruh ion logam terhadap

34tuef cdh$nhftp sdiKri{. DjkPhdidmhi

Pengisolasian bakteri termofolik dari sumber air panas Rimbo Panti dan Kili-kili, propinsi Sumatera Barat, dilakukan metoda total Plate Count (TPC), seleksi bakteri termofilik

Dari hasil percobaan diketahui bahwa enzim protease dihasilkan pada waktu produksi optimum 18 jam dengan aktivitas protease sebesar 0,09 U/mL.. Suhu optimum enzim ini yaitu pada

Perhitungan aktivitas enzim dilakukan dengan mensubtitusikan absorbansi larutan yang diperoleh pada pengujian aktivitas enzim ke dalam persamaan regresi kurva kalibrasi

Maka diperoleh kondisi optimum produksi enzim amilase untuk isolat FM 134 adalah pada pH inkubasi 8 selama 60 jam dengan suhu inkubasi 40 ℃.4. Untuk isolat FM 3022 pH inkubasi

Beberapa penelitian telah dilakukan dalam upaya isolasi enzim amilase dari sumber air panas diantaranya isolasi enzim amilase ekstrak kasar termofilik dari sumber air

Telah dilakukan penelitian tentang penentuan pH dan suhu optimum dari aktivitas ekstrak kasar enzim selulase hasil isolasi bekicot terhadap hidrolisa substrat selulosa, kertas HVS