• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Risiko Penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan, Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Risiko Penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan, Medan"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN 1

RIWAYAT HIDUP PENELITI

Nama : Thushaanthinii M. Sundaralingam Tempat/Tanggal Lahir : Malaysia/ 24 Februari 1992

Pekerjaan : Mahasiswi

Agama : Hindu

Alamat : Jalan Tanjung Rejo, No 7 & 9, Setia Budi Medan

Orang tua :

1. Ayah : Sundaralingam Manickam 2. Ibu : Palaniammah Palanysamy Riwayat Pendidikan : 1. Tadika Seri Mutiara

(1998)

2. Sekolah Rendah Kebangsaan Hicom (1999-2004)

3. Sekolah Menengah Kebangsaan Seksyen 27 (2005-2009)

4. Sekolah Menengah Kebangsaan Alam Megah (2010-2011)

(2)

LAMPIRAN 3: HASIL OUTPUT

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

LAMPIRAN 9

SURAT PERSETUJUAN IKUT DALAM SURVEY UNTUK MENGETAHUI GAMBARAN RISIKO PENDERITA DIABETES

MELLITUS DI PUSKESMAS PADANG BULAN, MEDAN TAHUN 2015. (INFORMED CONSENT)

Salam sejahtera,

Dengan hormat,

Saya, Thushaanthinii M Sundaralingam, mahasiswa semester VI Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, saat ini sedang melakukan penelitian yang berjudul “Gambaran Risiko Penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan, Medan Tahun 2015”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran risiko penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi kepada pihak Puskesmas Padang Bulan untuk peningkatan pelayanan kesehatan dalam penyediaan fasilitias perawatan dan pengobatan bagi penderita Diabetes Mellitus. Hasil dari penelitian ini juga dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya.

Saya akan memberikan lembar pertanyaan (kuesioner) mengenai faktor risiko penyakit diabetes mellitus kepada Ibu/Bapak yang mengandung 0 pertanyaan. Pengisian kuesioner ini akan dilakukan sekitar 20 menit.

Partisipasi Ibu/Sdri bersifat sukarela dan tanpa paksaan. Setiap data yang ada dalam penelitian ini akan dirahasiakan dan digunakan untuk kepentingan penelitian. Untuk penelitian ini Ibu/Bapak tidak akan dikenakan biaya apapun. Bila Ibu/Bapak membutuhkan penjelasan, maka dapat menghubungi saya:

Nama : Thushaanthinii M Sundaralingam.

Alamat : Resident K, Jalan Kamboja, No 7&9, Setia Budi , Medan, Indonesia.

No. HP : +6285922150680.

(9)

akan menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi ilmu pengetahuan. Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini diharapkan Ibu/Bapak bersedia mengisi lembar persetujuan yang telah kami persiapkan.

Medan, ……….. 2015

(10)

LAMPIRAN 10

SURAT PERNYATAAN

PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama :

Usia :

Kelas : Kelamin :

Telah mendapatkan penjelasan sepenuhnya mengenai penelitian,

Judul penelitian : Gambaran Risiko Penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan, Medan, Tahun 2015. Nama peneliti : Thushaanthinii M Sundaralingam.

Jenis penelitian : Deskriptif.

Lokasi penelitian : Puskesmas Padang Bulan, Medan.

Dengan ini saya menyatakan (bersedia/tidak bersedia) untuk mengikuti penelitian.

Medan, …………..2015

(11)

39

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association, 2004. Diagnosis and Classification of diabetes mellitus. Diab Care. 27(Suppl 1):S5-S10.

American Diabetes Association, 2015. Standards of Medical Care in diabetes mellitus. Diab Care. 38(Suppl 1):S5

Anna, M.S., Pradono, Y., Toruan, L.I., 2010. Perilaku Merokok ( Analisis Data Susenas). http://www.promosikesehatan.com/perilakumerokok. [diakses pada 27 Oktober 2015].[Updated: 15 March 2015].

Azad, K., 2015. Type 1 Diabetes: The Bangladesh Perspective. IJEM, 40(5): 322-330.

Chiolero, F.D., Paccaud, F., Cornuz, J., 2008. Consequences of smoking for body weight, body fat distribution and insulin resistance. AJCN. 8(5): 801-809.

Dahlan, M.S., 2013. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika, 20-55.

Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 22-28.

Diabetes UK, 2010. Diagnosis. Management and Monitoring Diabetes, Available From: http://www.diabetes.org.uk/About_us/What-we-say/Diagnosis-ongoing-management-monitoring/Diabetes/ [diakses pada 9 November 2015]. [Updated: 7 April 2015].

Fatmawati, A., 2010. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 Pasien Rawat Jalan di RSUD Sunan Kalijaga Demak. [Thesis]. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Semarang: 23-27.

Ford, E.S., Giles, W.H., and Dietz, W.H., 2002. Prevalence of the Metabolic Syndrome Among US Adults: Findings from the Third National Health And Nutrition Examination Survey. JAMA. 287(3):356-359.

(12)

40

John, M.F., Adam., 2006. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru. CDK. 127:37-40.

Kementerian Kesehatan, 2013. Petunjuk Teknis Pengukuran Faktor Risiko Diabetes Mellitus.

Kementerian Kesehatan RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.

Lanywati, E., 2011. Komplikasi Terapi Diabetes Mellitus In: Diabetes Mellitus Penyakit Kencing Manis. Edisi 11, Yogyakarta. 21(7): 134-155.

Madina, 2011. Diabetes Mellitus Ancaman Umat Manusia di Dunia, Available From: http://madina.co.id/kesejahteraan-rakyat/4659-

diabetes-mellitus-ancaman-umat-manusia-di-dunia.html)[diakses pada 15 Mei 2015].[Updated: 30 March 2015].

Marelli, T.M., 2009. Buku Saku Dokumentasi Keperawatan. Edisi 4. Jakarta: EGC, 71(45): 287-340.

Misnadiarly, 2006. Diabetes Mellitus: Gangren, Ulcer, Infeksi. Mengenal Gejala, Menanggulangi dan mencegah komplikasi, Edisi 1. Jakarta

Pustaka Populer Obor, 57-74.

Munadi and Ardinata, D., 2008. Perubahan Kadar Glukosa Darah Penderita Dibates Mellitus Tipe 2 di kalangan Peminum Kopi di Kota Madya

Palembang Tahun 2006-2007. MKI. 2(2): 54-60.

Murdiningsih, S.D., and Ghofur, A.G., 2013. Pengaruh Kecemasan terhadap Kadar Glukosa Darah pada penderita Diabetes Mellitus di Wilayah Puskesmas Banyuanyar Surakarta. Tarenta Psikologi. 2(2): 180-198. Pierre, J., and Creutzfeldt, W., 2011. Cell Biology of Insulin action on Glucose

Transport and its Pertubation. In: Khan, B.B., ed. Diabetes Mellitus: Pathophysiology and Theraphy. 3rd ed. Bayer AG, CA: Symposium, 420-430.

Perkumpulan Endokrinologi Indoneisa, 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB. PERKENI.

(13)

41

Rahman, W.A., Amiruddin, R., and Noor, B.N., 2004. Faktor Risiko dan Deteksi Dini Kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 di Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo. MKM. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin Makassar. Sulawesi Selatan: 32-40.

Santoso, S.S., Waluyo, I., and Kasnodihardjo., 2000. Profil Penderita Diabetes Mellitus yang berobat ke Pengobat tradisional di DKI Jakarta, Di Yogyakartadan Surabaya. Buku Peneliti Kesehatan. 27(3&4): 333-345. Soebardi, Yuni., Suharko, E.M., 2006. Terapi Non Farmakologis Pada Diabetes

Mellitus, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Ed ke-4, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1002-1350.

Soeatmadji, W.D., 2009. Buku Panduan Pengelolaan dan Pencegahan Prediabetes di Indonesia. Cetakan pertama. Pengurus Besar Persatuan Diabetes Indonesia (PB PERSEDIA).

Sue, K., Milchovich., 2005. Diabetes Mellitus: A Practical Handbook 10th ed. USA: Barbara DunnLong RN, BSN, CDE, 199-230.

Sudaryanto, A., Setiyadi, A.N., Frankilawati, A.D., 2014. Hubungan antara pola makan, genetik dan kebiasaan olaharaga terhadap Kejadian Diabetes mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Nusukan, Banjarsari. Prosiding SNST. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah: 2-6.

The Diabetes Unit AHPI, 2008. Evidence Based Guideline for The Primary Prevention of Type 2 Diabetes Melitus. The University of Sydney: Sydney. Available From: http://www.diabetesaustralia.com.au/For-health-Professionals/Diabetes-National-Guidelines/ [diakses pada 4 Mei 2015][Updated: 2 February 2015].

Tjekyan, R.M.S., 2007. Risiko Penyakit Diabetes Mellitus di kalangan Peminum Kopi di Kota Madya Palembang Tahun 2006-2007. MKI. (2)2: 54-60. Trisnawati, S.K., and Setyorogo, S., 2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes

Mellitus Tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012. JIKM, 5(1):6-11.

(14)

42

WHO, 2014. Department of Non communicable Disease Surveillance Geneva. Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications. Report of a WHO Consultation Part 1: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.

Wicaksono, P.R., 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Kariadi. Artikel Hasil Penelitian. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Jawa Tengah: 64-71

Winter, E.W., and Signorino, R.M., 2002. Diabetes Mellitus: Pathophysiology, Etiologies, Complications, Management and Laboratory Evaluation. JAACC, 125: 560-575.

(15)

23

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya maka kerangka konsep dalam penelitian “Gambaran Risiko Penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan, Medan” dapat digambarkan berikut:

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2. Definisi Operasional 1. Usia

(16)

24

Skala Ukur : Interval 2. Jenis Kelamin

Definisi Operasional : Responden terdiri dari dua jenis jantina. Cara Ukur : Angket

Definisi Operasional : Tingkat ilmu pengetahuan responden yang didapat secara formal.

Cara Ukur : Angket Alat Ukur : Kuesioner

Hasil Ukur : a) Tidak/belum pernah sekolah b) Tidak tamat SD/MI

Definisi Operasional : Mengetahui apakah responden mempunyai riwayat merokok

Cara Ukur : Angket Alat Ukur : Kuesioner Hasil Ukur : a) Ya,setiap hari.

b) Ya, kadang-kadang

(17)

25

Skala Ukur : Ordinal 5. Riwayat Keluarga

Definisi Operasional : Keluarga responden yang mempunyai riwayat Diabetes Mellitus sebelumnya.

Definisi Operasional : Berapa lama responden melakukan jenis olahraga pada waktu lapang.

Cara Ukur : Angket Alat Ukur : Kuesioner

Hasil Ukur : a) <3x/minggu (30-50 menit) b. >3x/minggu (30-50 menit)

Skala Ukur : Nominal. 7. Obesitas

Definisi Operasional : Mengetahui berat badan responden ideal atau tidak ideal.

Cara Ukur : Angket Alat Ukur : Kuesioner

Hasil Ukur : 1. Berat badan normal ( 18.50-24-99)

2. Berat badan melebihi nilai normal ( >25.00) 3. Pre-obesitas(25.00-29.99)

4. Obesitas (> 30.00)

(18)

26

8. Konsumsi Serat

Definis Operasional : Kebiasaan mengkonsumsi serat per hari yang terdiri dari buah dan sayur.

Cara Ukur : Angket Alat Ukur : Kuesioner Hasil Ukur : 1. <5porsi/hari

(19)

27

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan potong lintang.

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Padang Bulan,Medan. Waktu penelitian dan pengumpulan data dilakukan pada periode bulan Juni sampai September 2015.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien Diabetes Mellitus yang berobat ke Puskesmas Padang Bulan, Medan.

4.3.2. Sampel

Seluruh populasi yang berkunjung ke Puskesmas Padang Bulan, Medan dari tanggal 30 Juni 2015 sampai dari 30 September 2015 dijadikan sampel.

1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Pasien Diabetes Mellitus rawat jalan yang berkunjung ke Puskesmas Padang Bulan.

b. Bersedia ikut dalam penelitian. 2. Kriteria Ekslusi

Kriteria esklusi dalam penelitian ini adalah:

(20)

28

4.3.3. Jumlah Sampel

Semua penderita Diabetes Mellitus rawat jalan.

4.3.4. Besar Sampel

Besar sampel penelitian dihitung dengan rumus besar sampel untuk penelitian belah lintang. Rumus besar sampel adalah sebagai berikut:

Rumus besar sampel deskriptif kategorik: n = Zα2 x P x Q d2 Q = 1 – P Keterangan:

N = Besar sampel

Zα = Nilai Z pada derajat kemaknaan ( 95%=1,96)

P = Proporsi sesuatu kasus terhadap populasi, bila tidak diketahui proporsinya, 6,9% (0.069) ( Riskesdas,2013).

d = Derajat penyimpangan (0.05) Maka besar sampel adalah:

n = (1.96) X 0,069 X 0.931 (0.05)

= 98.71 (dibulatkan menjadi 99)

Melalui rumus didapati besar sampel minimal yaitu 99 responden. Cara pemilihan subyek penelitian dilakukan secara non-probability sampling dengan menggunakan consecutive sampling, dimana seluruh penderita Diabetes Mellitus yang telah memenuhi kriteria penelitian diikutsertakan dalam penelitian.

4.3.5. Cara Sampling

Teknik sampling penelitian ini adalah consecutive sampling. Consecutive sampling ini merupakan jenis non-probability sampling yang paling baik dan

(21)

29

4.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang dikumpulkan berupa lembar penelitian yang telah diisi oleh responden.

4.5. Pengolahan dan analisis data

Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah yaitu: (1) editing, dilakukan untuk memeriksa ketetapan dan kelengkapan data; (2) coding, data yang telah terkumpul kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer; (3) entry, data tersebut dimasukkan ke dalam program komputer; (4) cleaning data, pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data; (5) saving, penyimpanan data untuk siap dianalisis; dan (6) analisa data (Wahyuni, 2008).

Data yang telah dikumpul akan diolah menggunakan program komputer yaitu Statistical Product and Service Solutions (SPPS) kemudian dianalisis secara deskriptif menggunakan tabel distribusi dan dilakukan pembahasan data yang diperoleh sesuai dengan pustaka yang ada. Analisis univariat digunakan. (Sopiyudin,2013).

Analisis ini mengambarkan masing-masing variabel penelitian. Data yang diperoleh akan ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. (Sopiyudin,2013).

4.6. Etika Penelitian

(22)

30

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Puskesmas Padang Bulan terletak di Jalan Jamin Ginting, Kompleks Pamen, Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan. Puskesmas Padang Bulan ini dulunya bukan sebuah Puskesmas tetapi sebuah poliklinik dan rumah dokter. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Pangdam II/Bukit Barisan Bapak Sarwo Edhi Wibowo (Brigjen TNI) pada tanggal 27 Maret 1968 dan selesai pada tanggal 20 Juli 1968. Pelaksanaannya yaitu Zi Bang Ron-DIM 0212/MS. Dalam melaksanakan kegiatannya, Puskesmas Padang Bulan melayani 6 Kelurahan yang ada di wilayah kerja Kecamatan Medan Baru dengan luas 527 hektar. Jumlah penduduk yang dicakup oleh Puskesmas Padang Bulan menurut jenis kelamin sebanyak 46170 jiwa yang terdiri dari jumlah perempuan (23.547 jiwa) dan jumlah laki-laki (22.623 jiwa).

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Pada penelitian ini diperoleh sampel yang diambil per harinya mulai dari tanggal 26 Oktober 2015 sampai 20 November 2015 didapati sebanyak 100 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner kepada seluruh pasien Diabetes Mellitus yang berkunjung ke Puskesmas Padang Bulan, Medan. Pada penelitian ini yang diteliti adalah profil sampel yang berupa usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, riwayat keluarga dengan DM, riwayat melahirkan bayi >4kg, perilaku merokok, perilaku makan serat, dan olahraga.

(23)

31

5.1.3. Distribusi Data Penelitian

1. Profil Penderita Diabetes Mellitus

Table 5.1. Karakteristik Umum Penderita Diabetes Mellitus

Karakteristik n %

Pendidikan Tidak/belum pernah sekolah 30 30.0

Tidak tamat SD/MI 35 35.0

Dari tabel 5.1. mengenai karakteristik umum penderita DM yang pertama yaitu berdasarkan umur dapat dilihat bahwa kelompok umur terbanyak pasien DM di Puskesmas Padang Bulan adalah 46-55 tahun yaitu sebanyak 47 orang (47%). Angka yang paling sedikit adalah kelompok umur 35-45 tahun sebanyak 15 orang (15%). Jenis kelamin yang tertinggi adalah laki-laki dengan persentase 65% manakala perempuan dengan persentase 35% dan jenis pendidikan yang paling tinggi adalah tidak tamat SD/MI mencatatkan angka 35 dengan persentase sebanyak 35% sedangkan yang paling sedikit adalah tamat D1/D2/D3 sebanyak 1 orang (1%).

Tabel 5.2. Distribusi berdasarkan Indeks Massa Tubuh

(24)

32

Dari tabel 5.2. dapat dilihat untuk distribusi proporsi kedua berdasarkan indeks massa tubuh, bahwa kategori berat badan melebihi nilai normal terbanyak adalah 50 orang (50%). Lalu diikuti kategori Obesitas sebanyak 29 orang (29%) sedangkan yang paling sedikit adalah kategori berat badan normal sebanyak 21 orang (21%).

Tabel 5.3. Distribusi Berdasarkan Perilaku merokok

n % perilaku merokok setiap hari sebanyak 34 orang (34%) manakala pasien DM yang tidak pernah merokok sebanyak 36 orang (36%). Lalu diikuti Kadang-kadang merokok sebanyak 17 orang (17%), Tidak, sebelumnya pernah setiap hari sebanyak 8 orang (8%) sedangkan yang paling sedikit adalah tidak pernah namun kadang-kadang sebanyak 5 orang (5%).

(25)

33

Tabel 5.5. Distribusi Berdasarkan Olahraga dan Perilaku makan serat

n %

Olahraga <3x/minggu 95 95.0

>3x/minggu 5 5.0

Perilaku makan serat <5 porsi/hari 93 93.0

>5 porsi/hari 7 7.0

Total 100 100.0

Selanjutnya distribusi proporsi kelima yaitu Olahraga dan Perilaku makan serat, maka dari Tabel 5.5.dapat dilihat bahwa tempoh pasien DM melakukan olahraga di bawah 3x/minggu mencatatkan sebanyak 95 orang (95%) dan di atas 3x/minggu sebanyak 5 orang (5%) sementara perilaku makan serat pasien DM di bawah 5 porsi/hari sebanyak 93 orang (93%) manakala perilaku makan serat pasien DM di atas 5 porsi/hari berjumlah 7 orang (7%).

5.2. Pembahasan

Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran risiko penderita Diabetes Mellitus di Puskemas Padang Bulan, Medan.

Berdasarkan data, dapat dilihat bahwa kebanyakan responden yang merupakan penderita Diabetes Mellitus adalah antara kelompok usia 46-55 tahun. Umur minimum dan maksimum adalah 30 dan >55. Menurut Laporan Riskesdas (2013) penderita Diabetes Mellitus kategori kelompok umur terbanyak pada 45-54 tahun (14.7%) di daerah perkotaan manakala Diabetes Mellitus menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8% di daerah pedesaan sedangkan pada kelompok umur usia 15 tahun ke atas mencatat sebanyak 6.9%. Peningkatan Diabetes risiko Diabetes seiring dengan umur, khususnya pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan intolenransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin.

(26)

34

terhadap hormone insulin. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono (2011) menunjukkan bahwa laki-laki lebih berisiko terkena Diabetes Mellitus dibandingkan dengan perempuan. Beberapa studi di Augsburg mendapatkan hasil insidens rate yang distandardiasi menurut umur pada laki-laki sebesar 5,8 per-1000/orang-tahun dan 4,0 per-per-1000/orang-tahun pada perempuan. Diabetes secara umum untuk laki-laki datang lebih cepat dari wanita. Wanita bisa terlindungi dari diabetes sampai mencapai usia menopause karena pengaruh hormone wanita yaitu estrogen, hormone reproduksi yang membantu mengatur tingkat gula darah dalam tubuh wanita.

Hubungan antara pendidikan dan pola pikir, presepsi dan perilaku masyarakat memang sangat signifikan dalam arti bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang semakin rasional dalam pengambilan berbagai keputusan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatmawati,2010 menunjukkan pada kelompok kasus sebagian besar responden yang berpendidikan SMA dan PT cenderung memeriksakan dirinya ke RSUD Sunan Kalijaga Demak untuk mencegah faktor risiko Diabetes Mellitus. Dalam hubungan pasien DM dengan faktor risiko DM didapati bahwa pasien yang berpendidikan tinggi dapat mengetahui faktor risiko DM dan berupaya untuk mencegahnya. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pasien DM di Puskesmas Padang Bulan sangatlah rendah karena rata-rata pendidikan terakhir yang paling banyak adalah tidak tamat SD/MI (35%). Lebih dari responden (30%) yang berkunjung ke Puskesmas Padang Bulan adalah Ibu Rumah Tangga yang tidak pernah ke sekolah. Hanya 1% dari reponden telah tamat D1/D2/D3 dan selebihnya pasien (29%) telah tamat SD/MI.

(27)

35

membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita DM Tipe 2.

Dari data yang diperoleh berdasarkan perilaku merokok sejumlah 34 orang (34%) merokok setiap hari manakala 36 orang (36%) tidak merokok karena angka ini terdiri dari pasien DM wanita. Sementara kategori Tidak, namun sebelumnya pernah kadang-kadang menyumbang 5%. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Anna et al, yang menunjukkan bahwa merokok merupakan masalah dunia. Prevalensi merokok masih cukup tinggi dan berhubungan terhadap risiko penyakit dan tingginya angka kematian.( Hariadi S,2008). Begitu pula dengan penelitian oleh Houston juga mendapatkan bahwa perokok aktif memiliki risiko 76% lebih tinggi untuk terserang DM dibanding dengan yang tidak terpajan. Merokok secara langsung meningkatkan resistensi insulin. Respon insulin pada pembebanan glukosa oral lebih banyak pada perokok dibandingkan yang tidak merokok. Perokok memiliki ciri khas sindrom resistensi insulin termasuk di dalamnya gula darah puasa yang meningkat. (Chiolero, 2008).

Berdasarkan data, dapat dilihat bahwa kebanyakan responden memiliki riwayat keluarga dengan DM adalah orang tua. Kategori yang terbanyak adalah Ayah menyumbang (32%) manakala Ibu berjumlah (26%). Lalu diikuti Ayah dan Ibu sebanyak (18%). Hal ini sejalan dengan Hasil penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati, 2012 bahwa ada hubungan yang signifikan (OR 4,19 95% 1.246-14,08). Sebagian besar responden memiliki riwayat DM keluarga. Responden yang memiliki keluarga dengan DM harus berwaspada. Risiko menderita DM bila salah satu orang tuanya menderita DM adalah sebesar 15%. Jika kedua orang tua memiliki DM maka risiko untuk menderita DM adalah 75%. (Diabetes UK,2010). Risiko untuk mendapatkan DM dari ibu lebih besar 10-30% dari pada ayah dengan DM. Hal ini dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam kandungan lebih besar dari ibu. Jika saudara kandung menderita DM maka risiko untuk menderita DM adalah 10% dan 90% jika yang menderita DM adalah saudara kembar identik ( Diabetes UK,2010).

(28)

36

(5%) pasien DM melakukan olahraga di atas 3x/minggu selama 30-50 menit. Kurangnya latihan fisik atau olahraga juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya DM. Menurut penelitian yang telah dilakukan di Cina beberapa waktu yang lalu, jika seseorang dalam hidupnya kurang melakukan latihan fisik ataupun olahraga maka cadangan glikogen ataupun lemak akan tetap tersimpan di dalam tubuh, hal inilah yang memicu terjadinya berbagai macam penyakit degenratif salah satu contohnya DM. (Yuni dan Soebardi, 2008). Olahraga adalah latihan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan badan seperti bola sepak, berenang, dan lain-lain. Pengelolaan DM yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik atau olahraga merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Laporan Kemenkes 2009 menyatakan semenjak anak-anak dan remaja mengamalkan gaya hidup sehat dengan kebiasaan olahraga merupakan cara yang baik dalam pencegahan DM.

(29)

37

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang gambaran faktor risiko penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan, Medan tahun 2015 dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Mayoritas penderita DM adalah yang berusia antara 46-55 tahun.

2. Rerata penderita DM yang datang adalah dari masyarakat golongan menengah rendah yang tidak tamat SD/MI dan Jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-laki.

3. Hampir setengah dari jumlah responden mempunyai berat badan melebihi nilai normal.

4. Pasien DM mempunyai perilaku merokok setiap hari.

5. Riwayat DM dengan keluargan golongan Ayah tertinggi mencatakan nilai tetinggi.

6. Sebagian besar pasien DM berolahraga di bawah 3x/minggu antara 30-50 menit sedangkan pasien DM mengamalkan perilaku makan sehat di bawah 5porsi/hari.

6.2. Saran

1. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan data yang lebih lengkap.

2. Diperlukan penyuluhan dan konseling terhadap masyarakat untuk memiliki kebiasaan hidup sehat sejak dini.

3. Perlunya masyarakat untuk melakukan pengontrolan pada perilaku merokok untuk mencegah terjadinya Diabetes Mellitus.

(30)

38

5. Secara dini kepada anggota keluarga lainnya dengan menjauhi faktor lingkungan yang menjadi faktor pencentus terjadinya Diabetes Mellitus. 6. Deteksi dini Diabetes Mellitus yang difokuskan pada kelompok usia

berisiko tinggi diabetes, yaitu mulai usia 45 tahun ke atas dengan cara melakukan pemeriksaan gula darah secara gratis pada Hari Diabetes Internasional.

(31)

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).

DM adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolism karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Diagnosis penyakit diabetes Melitus selain berdasarkan aspek klinis yang meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik, sangatlah diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang paling sederhana adalah pemeriksaan gula darah. Tahapan preanalitik dan interpretasi hasil pemeriksaan gula darah sangatlah perlu diperhatikan agar didapatkan hasil yang bermakna sehingga diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan dan sebagai monitoring hasil pengobatan (Hawai Medical Association, 2010).

(32)

7

2.2 Epidemiologi Diabetes Mellitus

Menurut WHO tahun 2000 sekitar 171 orang di seluruh dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2.8% dari total populasi, insidennya terus meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun 2030 angka ini menjadi 366 juta jiwa atau sekitar 4.4% dari populasi dunia, DM terdapat diseluruh dunia, 90% adalah jenis Diabetes Melitus tipe 2 terjadi di negara berkembang, peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia dan di Afrika , ini akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan yang tidak sehat, di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (2007) dari 24417 responden berusia > 15 tahun , 10,2% mengalami toleransi glukosa tergangggu (kadar glukosa:140-200 mgdl setelah puasa selama 4 jam diberikan beban glukosa sebanyak 75 gram). DM lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial yang rendah, daerah dengan angka penderita DM yang tertinggi adalah Kalimantan Barat dan Maluku Utara, yaitu 11.1% sedangkan kelompok usia terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%, beberapa hal yang dihubungkan dengan faktor risiko DM adalah obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya komsumsi sayur dan buah-buahan (Riskesdas, 2007).

Hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan pada tahun 1993 di Jakarta daerah urban membuktikan adanya peningkatan prevalensi DM dari 1.7% pada tahun 1982 menjadi 5.7% kemudian tahun 2001 di Depok dan didaerah Jakarta Selatan menjadi 12.8%, demikian juga di Ujung Pandang daerah urban meningkat dari 1.5% pada tahun 1981 menjadi 3,5% pada tahun 1998, kemudian pada akhir 2005 menjadi 12.5%, di daerah rural yang dilakukan oleh Arifin di Jawa Barat 1,1% didaerah terpencil, di tanah Toraja didapatkan prevalensi DM hanya 0,8% dapat dijelaskan perbedaan prevalensi daerah urban dan rural (Soegondo dkk, 2009).

(33)

8

2.3 Klasifikasi Diabetes Mellitus (WHO 2009)

DM adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah. Secara etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain.(WHO,2009)

DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi

autoimun). Sel β pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan

sel β pankreas telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe 1 terjadi oleh karena proses autoimun dan sebagian kecil non autoimun. DM tipe 1 yang tidak diketahui penyebabnya juga disebut sebagai type 1 idiopathic, pada mereka ini ditemukan insulinopenia tanpa adanya petanda imun

dan mudah sekali mengalami ketoasidosis. DM tipe 1 sebagian besar (75% kasus) terjadi sebelum usia 30 tahun dan DM Tipe ini diperkirakan menjadi sekitar 5-10 % dari seluruh kasus DM yang ada.(WHO,2009)

DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Bentuk DM ini bervariasi mulai

yang dominan resistensi insulin, defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi insulin. Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di

jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel β. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin

relatif.(WHO,2009)

(34)

9

DM dalam kehamilan,Gestational Diabetes Mellitus(GDM) adalah kehamilan yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan euglycemia). Pada umumnya ditemukan pada kehamilan trimester kedua atau ketiga. Faktor risiko GDM yakni riwayat keluarga DM, kegemukan dan glikosuria.(WHO,2009)

GDM meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia.

Kasus GDM kira-kira 3-5% dari ibu hamil dan para ibu tersebut meningkat risikonya untuk menjadi DM di kehamilan berikutnya. Subkelas DM lainnya yakni individu mengalami hiperglikemia akibat kelainan spesifik (kelainan genetik fungsi sel beta), endokrinopati (penyakit Cushing’s, akromegali), penggunaan obat yang mengganggu fungsi sel beta (dilantin), penggunaan obat yang mengganggu kerja insulin (b-adrenergik) dan infeksi atau sindroma genetik (Down’s, Klinefelter’s).(WHO,2009)

2.4 Etiologi dan Patofisiologi Diabetes Mellitus

2.4.1 Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi insulin terjadi umumnya pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki Islet Cell Cytoplasmic Antibodies (ICCA) di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans. (Winter dan Signorino,2002)

(35)

10

sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA, Islet cell surface antibodies (ICSA) dan antibodi terhadap glutamic acid decarboxylase (GAD).

ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan yaitu sel β, sel α dan

sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justeru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau Langerhans. Walaupun merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA

makin lama makin menurun sejajar dengan perjalanan penyakit.(Winter dan Signorino,2002).

Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau ICSA ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA.

Otoantibodi terhadap enzim GAD ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi.

Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antaranya adalah Anti Insulin Antibody (IAA) ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin.

(36)

11

juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah kecepatan penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin. . (Winter dan Signorino,2002)

Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespon terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin yang menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespon insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen glucose transporter type 4 (GLUT4) protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh di

(37)

12

2.4.2 Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antaranya adalah obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. (Winter dan Signorino,2002)

Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2. Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.(Winter dan Signorino,2002)

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu, dalam penanganan umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.

Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi

(38)

13

sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin. (Winter dan Signorino,2002)

Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok:

1. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal.

2. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes).

3. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma puasa < 140 mg/dl).

4. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140 mg/dl).

Secara ringkas, perbedaan DM Tipe 1 dengan DM Tipe 2 dicatatkan dalam tabel 2.1. (Winter dan Signorino,2002)

Tabel 2.1 Perbandingan Perbedaan DM tipe 1 dan 2

DM Tipe 1 DM Tipe 2

Mula muncul umumnya Umumnya masa kanak-kanak dan remaja, walaupun ada juga pada masa dewasa < 40 tahun

Pada usia tua > 40 tahun

Keadaan klinis saat diagnosis Berat Ringan Kadar insulin darah tinggi,

normal

Rendah, tidak ada Cukup Berat badan normal Biasanya kurus Gemuk atau

(39)

14

2.4.3 Diabetes Mellitus Gestasional

Diabetes Mellitus Gestasional (GDM) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua. (Winter dan Signorino,2002)

Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat keburukan yang dapat terjadi adalah malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita GDM akan mempunyai risiko lebih besar untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut. (Winter dan Signorino,2002)

2.4.4 Pra-diabetes

Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita pradiabetes diperkirakan cukup banyak, di Amerika ada sekitar 41 juta orang yang tergolong pra-diabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes (perkiraan untuk tahun 2000). Di Indonesia, angkanya belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan cukup tinggi, jauh lebih tinggi daripada penderita diabetes. (Winter dan Signorino,2002)

(40)

15

glukosa darah puasa normal: < 100 mg/dl), atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada uji toleransi glukosa berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam kondisi diabetes. Diagnosa IGT ditetapkan apabila kadar glukosa darah seseorang dalam masa 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral yang berada diantara 140-199 mg/dl. (Winter dan Signorino,2002).

2.5 Faktor Risiko Diabetes Mellitus

Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes selayaknya waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas kesehatan, dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya pun sepatutnya memberi perhatian kepada orang-orang seperti ini, dan menyarankan untuk melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya agar tidak terlambat memberikan bantuan penanganan. Karena makin cepat kondisi DM diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan kadar glukosa darah dan mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi.

Faktor risiko tersebut dapat diklasifikasikan menjadi faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang penting adalah obesitas (terutama perut) dan kurangnya aktifitas jasmani.( Perkeni,2009)

1. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi a. Faktor genetik

Sampai sekarang gen yang berhubungan dengan risiko terjadinya DM belum bisa diidentifikasi secara pasti. Adanya perbedaan yang nyata kejadian DM antara grup etnik yang berbeda meskipun hidup di lingkungan yang sama menunjukkan adanya kontribusi gen yang bermakna dalam terjadinya DM (Alberti et al,2008)

b. Usia

(41)

16

c. Diabetes Gestasional

Pada diabetes gestasional, tolenransi glukosa biasanya kembali normal setelah melahirkan akan tetapi wanita tersebut memiliki risiko untuk menderita DM di kemudian hari.

2. Faktor risiko yang bisa dimodikasi a. Obesitas

Obesitas adalah faktor risiko yang paling penting. Beberapa penelitian longitudinal menunjukkan bahwa obesitas merupakan prediktor yang kuat untuk timbulnya Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2). Lebih lanjut, intervensi yang bertujuan mengurangi obesitas juga mengurangi insidensi DMT2. Berbagai studi longitudinal juga menunjukkan bahwa ukur lingkar pinggang atau rasio pinggang-pinggul (waist to hip ratio) yang mencerminkan keadaan lemak viseral (abdominal), merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan indeks masa tubuh sebagai faktor risiko DM. Data tersebut memastikan bahwa distribusi lemak lebih penting dibanding dengan jumlah total lemak.

b. Aktifitas jasmani

Dalam dekade-dekade akhir ini, berkurangnya intensitas aktivitas jasmani di berbagai populasi memberikan kontributor yang besar terhadap peningkatan obesitas di dunia. Berbagai penelitian potong lintang maupun longitudinal menunjukkan bahwa kurangnya aktifitas fisik maupun prediktor bebas terjadinya DMT2 pada pria atau wanita. c. Nutrisi

Kalori total yang tinggi, diit rendah serat , beban glikemik yang tinggi dan rasio poly unssaturated fatty acid ( PUFA) dibanding lemak jenuh yang rendah, merupakan faktor risiko terjadinya DM.

(42)

17

2.6 Diagnosis

Diagnosis DM tidak boleh didasarkan atas ditemukannya glukosa pada urin saja. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kadar glukosa darah dari pembuluh darah vena. Sedangkan untuk melihat dan mnegontrol hasil terapi dapat dilakukan dengan memeriksa kadar glukosa darah kapiler dengan glukometer. Seseorang didiagnosis menderita DM jika ia mengalami satu atau lebih kriteria di bawah ini :

1. Mengalami gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL

2. Mengalami gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma puasa > 126 mg/dL

3. Kadar gula plasma 2 jam setelah Tes Tolenransi Glukosa Oral ( TTGO ) > 200 mg/dL

4. Pemeriksaan HbA1C > 6.5% Keterangan :

1. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan terakhir pasien.

2. Puasa artinya pasien tidak mendapat kalori tambahan minimal selama 8 jam

3. TTGO adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan memberikan larutan 4. glukosa khusus untuk diminum. Sebelum meminum larutan tersebut akan

dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah, lalu akan diperiksa kembali 1 jam dan 2 jam setelah meminum larutan tersebut. Pemeriksaan ini sudah jarang dipraktekkan.

Jika kadar glukosa darah seseorang lebih tinggi dari nilai normal tetapi tidak masuk ke dalam kriteria DM, maka dia termasuk dalam kategori prediabetes. Yang termasuk ke dalamnya adalah :

(43)

18

dan kadar glukosa plasma 2 jam setelah meminum larutan glukosa TTGo < 140 mg/dL.

2. Toleransi Glukosa Terganggu ( TGT) yang ditegakkan bila kadar glukosa plasma 2 jam setelah meminum larutan glukosa TTGO antara 140 – 199 mg/dL.

Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya ( mass-screening = pemeriksaan penyaring) tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain ( general check up ) , adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan. Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu factor risiko untuk DM , iatu :

1. Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )

2. Kegemukan { BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 ( kg/m2)} 3. Tekanan darah tinggi ( >140 /90 mmHg)

4. Riwayat keluarga DM

5. Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram 6. Riwayat DM pada kehamilan

7. Dislipidemia ( HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl)

8. TGT ( Toleransi Glukosa Terganggu ) atau GDPT ( Glukosa Darah Puasa Terganggu)

Langkah–langkah untuk menegakkan diagnosis Diabetes Mellitus :

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

(44)

19

untuk menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral ( TTGO) yang abnormal.( Gustaviani, 2006).

Cara pelaksanaan TTGO: ( WHO,1985 ) 1. Tiga hari sebelumnya makan seperti biasa.

2. Kegiatan jasmani secukupnya seperti yang biasa dilakukan. 3. Puasa semalam , selama 10-12 jam.

4. Kadar glukosa darah puasa diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kilogram Berat badan, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum selama/ dalam waktu 5 menit.

5. Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa; selama pemeriksaan subjek yang diperiksa.

6. Tetap istirehat dan tidak merokok.

Tabel 2.2 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM.

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang sering terjadi dan harus diwaspadai. (Rhambade, et al, 2010).

1. Hipoglikemia

(45)

20

kesadaran. Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya menyebabkan kematian.

Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl, walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat rusak. (Rhambade et al,2010).

Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang dapat dialami 1 – 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan di Inggeris diperkirakan 2 – 4% kematian pada penderita diabetes tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia. Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih jarang terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin. Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita:

a. Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam). b. Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau

ahli gizi.

c. Berolah raga terlalu berat.

d. Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar daripada seharusnya.

e. Mengkonsumsi minuman alkohol. f. Stress.

g. Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia.

Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah: 1. Dosis insulin yang berlebihan.

2. Saat pemberian yang tidak tepat.

(46)

21

4. Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu terhadap insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis.

2. Hiperglikemia

Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila diketahui dengan cepat, hiperglikemia dapat dicegah tidak menjadi parah. Hipergikemia dapat memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti gastroparesis, disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antaranya adalah ketoasidosis diabetik, Diabetic Ketoacidosis (DK) dan Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS), yang keduanya dapat

berakibat fatal dan membawa kematian. Hiperglikemia dapat dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang ketat.( Rhambade et al, 2010). 3. Komplikasi Makrovaskular

Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner Coronary Heart Disease (CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh

darah perifer Peripheral Vascular Disease (PVD). Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit komplikasi makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain Syndrome X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau Insulin Resistance

Syndrome.(Rhambade et al,2010).

(47)

22

kadar kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidupnya, termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolah raga secara teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya.(Rhambade et al,2010).

4. Komplikasi Mikrovaskular

Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal ini yang mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antaranya adalah retinopati, nefropati, dan neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu, dapat terjadi dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, tetapi berbeda risiko komplikasi mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk perkembangan komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat keparahan diabetes. (Rhambade et al,2010)

(48)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).

DM adalah salah satu penyakit kronis yang paling sering mempengaruhi anak-anak dan remaja. Jumlah anak-anak yang didiagnosis dengan diabetes - terlepas dengan jenis diabetes - meningkat di seluruh dunia. Hal ini telah menjadi masalah kesehatan utama di kedua negara maju dan berkembang. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan variasi yang menonjol di seluruh dunia dalam kejadian Diabetes Mellitus Tipe 1 ( DMT1) dari 0,6 per 100.000 di Korea dan Mexico untuk 35,3 per 100.000 di Finland. Di Asia, kejadian DM tipe 1 adalah sangat rendah, dari 0,1, 0,6, dan 2,4 per 100000 orang per tahun di Cina, Korea dan Jepang. Selain tipe 1 DM, kejadian diabetes tipe 2 pada anak-anak dan remaja juga meningkat di seluruh dunia. Hal ini dapat menjadi hasil dari meningkatnya obesitas pada populasi ini sebagai bukti terbaru menunjukkan hubungan yang kuat antara obesitas dan perkembangan resistensi insulin pada awal masa dewasa.(WHO,1999)

(49)

2

mikrovaskuler tertentu, peningkatan risiko komplikasi makrovaskuler (penyakit jantung iskemik, stroke dan penyakit pembuluh darah perifer), dan berkurang kualitas hidup. The American Diabetes Association (ADA) memperkirakan biaya nasional diabetes di Amerika Serikat tahun 2002 menjadi $ US132 miliar, meningkat menjadi $ US192 miliar pada tahun 2020.( ADA,2000)

Secara global, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2004 terdapat 1,1 juta penduduk mengalami kematian akibat diabetes dengan prevalensi sekitar 1,9 % dan pada tahun 2007 dilaporkan bahwa terdapat 246 juta penderita diabetes, enam juta kasus baru DM dan 3,5 juta penduduk mengalami kematian akibat diabetes. Sepuluh dari seluruh kematian akibat DM di dunia, 70 % kematian terjadi di negara-negara berkembang.Pada tahun 2003, International Diabetes Federation (IDF) menyatakan bahwa terdapat 194 juta penduduk yang menderita DM. Angka ini diperkirakan akan meningkat mencapai 333 juta pada tahun 2025. Pada tahun 2006, IDF juga menyatakan bahwa terdapat lebih dari 250 juta penduduk menderita diabetes di seluruh dunia. Menurut Laporan Utah Diabetes Center bahwa jumlah penderita diabetes di dunia pada tahun 2007 terdapat 246 juta orang dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2025 sebesar 380 juta orang. Pada tahun 2007 prevalensi diabetes terdapat di Nauru (30,7%), Uni Emirat Arab (19,5%), Saudi Arabia (16,7%), Bahrain (15,2%.), dan Kuwait (14,4%). (IDF,2004).

(50)

3

terendah terdapat di Provinsi Papua (1,7%) dan Provinsi NTT (1,8%). (Riskedas,2007)

Melihat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, maka sangat diperlukan program pengendalian Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2). DMT2 bisa dicegah, ditunda kedatangannya atau dihilangkan dengan mengendalikan faktor risiko (Kemenkes, 2010). Faktor risiko penyakit tidak menular, termasuk DM Tipe 2, dibahagikan menjadi dua. Yang pertama adalah faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik. Yang kedua adalah faktor risiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok (Bustan, 2000). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menyatakan bahwa demografi, faktor perilaku dan gaya hidup, serta keadaan klinis atau mental juga berpengaruh terhadap kejadian DMT2 (Irawan, 2010).

Berdasarkan analisis data Riskesdas tahun 2007 yang dilakukan oleh Irawan, didapati bahwa prevalensi DM tertinggi terjadi pada kelompok umur di atas 45 tahun sebesar 12,41%. Analisis ini juga menunjukan bahwa terdapat hubungan kejadian DM dengan faktor risiko yaitu jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh, lingkar pinggang, dan umur. Sebesar 22,6 % kasus DMT2 di populasi dapat dicegah jika obesitas sentral diintervensi (Irawan,2010).

Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui faktor risiko terjadinya DMT2 di Puskesmas Padang Bulan, Medan.

1.2 Rumusan Masalah

(51)

4

1.3. Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran risiko tentang Diabetes Mellitus pada masyarakat di Puskesmas Padang Bulan Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui gambaran penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan berdasarkan umur, jenis kelamin dan pendidikan.

2. Untuk mengetahui gambaran penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan Medan berdasarkan Indeks Massa Tubuh.

3. Untuk mengetahui gambaran penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan Medan berdasarkan riwayat merokok.

4. Untuk mengetahui gambaran penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan Medan berdasarkan klasifikasi.

5. Untuk mengetahui gambaran penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan Medan berdasarkan riwayat keluarga.

6. Untuk mengetahui gambaran penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan Medan berdasarkan aktivitas fisik.

7. Untuk mengetahui gambaran berdasarkan perilaku diet serat penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Sebagai bahan informasi kepada pihak Puskesmas Padang Bulan, Medan untuk peningkatan pelayanan kesehatan dalam penyediaan fasilitas perawatan dan pengobatan bagi penderita Diabetes Mellitus.

(52)

5

3. Sebagai sarana penambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang Diabetes Mellitus serta bahan masukan peneliti lain yang akan membutuhkan data penelitian ini.

4. Sebagai pengalaman yang sangat berharga sekaligus tambahan pengetahuan bagi penulis.

5. Bagi masyarakat ilmiah, dapat dijadikan sebagai bahan bacaan mengenai penyakit Diabetes Mellitus beserta profil risiko penderita sehingga bisa menjadi sumber penelitian-penelitian seterusnya.

6. Dijadikan referensi terhadap penelitian yang akan datang mengenai Diabetes Mellitus untuk mahasiswa.

(53)

ii

ABSTRAK

Diabetes Mellitus sudah menjadi umum dialami di dunia maupun di Indonesia, dan angkanya terus bertambah akibat gaya hidup yang tidak sehat, kegemukan dan malas berolahraga. Mengingat tingginya prevalensi untuk pasien dengan Diabetes Mellitus di mana insidennya sebesar 650.00 kasus baru tiap tahunnya. Pada tipe-2, pancreas tidak cukup membuat insulin untuk menjaga level gula darah tetap normal, seringkali disebabkan tubuh tidak merespon dengan baik terhadap insulin tersebut.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran risiko penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan, Kota Medan.

Jenis penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan data primer. Populasi pasien Diabetes Mellitus yang datang berobat di Puskesmas Padang Bulan periode Juni sehingga September 2015. Jumlah sampel 100 pasien yang terdiri dari 66 laki-laki dan 34 perempuan.

Kelompok usia pasien Diabetes Mellitus yang terbanyak adalah antara 46-55 tahun (47%). Sebagian besar responden berpendidikan tidak tamat SD/MI (33%). Lebih dari separuh responden terdiri dari jenis kelamin laki-laki (66%) sementara faktor risiko yang didapatkan untuk terjadinya Diabetes Mellitus adalah IMT terbanyak pada golongan berat badan melebihi nilai normal (50%). Pasien dengan perilaku merokok sebanyak (36%) sedangkan pasien dengan riwayat keluarga Diabetes Mellitus golongan ayah sebanyak (32%). Sebagian besar pasien ( 95%) berolahraga di bawah 3x per minggu manakala (92%) pasien mempunyai perilaku makan sehat di bawah 5 porsi per hari.

Gambaran risiko yang berpengaruh terhadap kejadian Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan adalah kelompok usia, jenis kelamin, pendidikan, Indeks Massa Tubuh, riwayat keluarga dengan Diabetes Mellitus, perilaku merokok, olahraga dan perilaku makan sehat.

(54)

iii

ABSTRACT

Diabetes Mellitus has become commonly experienced in the world and in Indonesia, and the numbers continue to grow as a result of an unhealthy lifestyle, overweight and lazy to exercise.Given the high prevalence of patients with Diabetes Mellitus in which the incidence of new cases each year 650.00.In type 2, the pancreas does not make enough insulin to keep blood sugar levels normal, often because the body does not respond well to insulin.The research objective was to describe the risk factors in patients with Diabetes Mellitus in Puskesmas Padang Bulan, Medan.

This type of research is a descriptive study using primary data.Diabetes Mellitus patient population who come for treatment at Puskesmas Padang Bulan period from June to September 2015. The total sample of 100 patients consisting of 66 males and 34 females.Diabetes Mellitus patients age group that most are between 46-55 years (47%).Most respondents did not complete primary school education / MI (33%).More than half of the respondents consist of male gender (66%) while risk factors were obtained for the occurrence of Diabetes Mellitus is the highest BMI in group weight exceeds the normal value (50%).Patients with smoking behavior as much (36%), whereas patients with a family history of Diabetes Mellitus type father as much (32%).Most of the patients (95%) exercise under 3x per week when (92%) patients had healthy eating behaviors under 5portion per day.

Picture of the risks affecting the incidence of Diabetes Mellitus in Puskesmas Padang Bulan is the age group, gender, education, body mass index, family history of diabetes mellitus in family, smoking, exercise and healthy eating behaviors.

(55)

KARYA TULIS ILMIAH

GAMBARAN RISIKO PENDERITA DIABETES MELLITUS DI PUSKESMAS PADANG BULAN

PADA TAHUN 2015

Oleh :

THUSHAANTHINII A/P M.SUNDARALINGAM 120100476

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(56)

KARYA TULIS ILMIAH

GAMBARAN RISIKO PENDERITA DIABETES MELLITUS DI PUSKESMAS PADANG BULAN

PADA TAHUN 2015

“Karya Tulis Ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh:

THUSHAANTHINII A/P M.SUNDARALINGAM 120100476

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(57)

Gambar

Gambar 3.1  Kerangka Konsep
Table 5.1. Karakteristik Umum Penderita Diabetes Mellitus   Karakteristik     n
Tabel 5.3. Distribusi Berdasarkan Perilaku merokok         n
Tabel 5.5. Distribusi Berdasarkan Olahraga dan Perilaku makan serat         n
+3

Referensi

Dokumen terkait

Setyorogo (2013) Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012.. Struktur Pembiayaan Rumah Sakit, (Jakarta:

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan tingkat spiritualitas pada pasien diabetes mellitus di Puskesmas

Kesimpulan : Faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon adalah riwayat keluarga DM, pola

Hilangnya gejala akibat terapi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Pajangan Bantul Yogyakarta paling banyak adalah kategori gejala berkurang atau hilang

menderita diabetes mellitus tipe 2 mengalami xerostomia dan persentase penderita. diabetes mellitus tipe 2 yang mengalami xerostomia lebih besar

Hilangnya gejala akibat terapi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Pajangan Bantul Yogyakarta paling banyak adalah kategori gejala berkurang atau hilang

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari tenaga kesehatan Puskesmas Sukosewu masih banyak penderita diabetes mellitus kurang mengetahui tentang perawatan kaki diabetes

Faktor Risiko Kejadian Diabetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012.. Jurnal Ilmiah