LAMPIRAN 1
. Hasil Wawancara Dengan Tokoh Agama, Tokoh Budaya dan Orang Tua1. Nama : Pt. Tandan Sinulingga Umur : 50 Tahun
Jenis Kelamin : laki-laki Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Membuat Gula Merah
Beliau merupakan salah satu tokoh agama dalam masyarakat, dimana
beliau menjelaskan bahwa nangkih dalam masyarakat karo sudah ada sejak
zaman dahulu (sejak ada orang karo, nangkih sudah ada). awalnya nangkih
ada karena tidak mau dijodohkan dengan impal nya sehingga nangkih
merupakan sebuah jalan keluarnya. Hal ini mulai ditinggalkan setelah masuk
agama ke dalam masyarakat karo, dimana beliau menjelaskan bahwa di dalam
ajaran agama Kristen, perkawinan yang terjadi harus didasarkan oleh kasih
sayang atau cinta bukan karena dipaksa atau dijodohkan sehingga perjodohan
terhadap impal mulai bergeser apalagi ditanmbah dengan perkembangan
zaman yang anak mudanya tidak mau lagi dijodohkan seperti zaman Siti
Nurbaya. Namun nangkih tetap ada yang melakukan sampai dengan sekarang,
biasanya disebabkan dua faktor utama yaitu: orang tua yang tidak setuju dan
biaya perkawinan, yang mana bila melalui proses lamaran segala tuntutan atau
keinginan dari keluarga pihak perempuan harus dipenuhi agar mereka
memberikan anaknya untuk dipersunting dalam artian menerima lamaran dari
pihak cowok sehingga mereka yang kurang biaya melakukan proses nangkih
karena bila nangkih maka dilakukan secara arih dan tuntutan dari pihak
Dari penjelasan beliau paling besar alasan seseorang melakukan nangkih
ada dua yaitu takut tidak disetujui orang tua bila melalui proses lamaran dan
faktor biaya dimana jika melakukan proses lamaran semua keinginan dari
pihak perempuan harus dilaksanakan tetapi kalau nangkih secara arih sehingga
biaya lebih sedikit. Adapun menurut beliau, praktek nangkih dulu dan sekarang
sama saja, misalnya malam ini mereka nangkih, besok pihak anak beru
laki-laki harus menyerahkan penading ke rumah orang tua perempuan. Penading
tersebut berupa kain atau uis kapal, belo cawir, pisau atau besi mersik, yang
maknanya adalah bahwa si perempuan sudah berada di rumah laki-laki.
Kemudian setelah itu kedua belah pihak melakukan pudun untuk menentukan
hari pernikahan atau adat kerjanya. Beliau menjelaskan dalam aturan gereja
seseorang yang melakukan nangkih hanya bisa diberkati apabila saat nangkih
mereka pergi ke rumah serayan gereja (pengurus gereja seperti pertua dan
diaken) untuk menjelaskan keinginan mereka untuk diberkati dalam gereja,
dan jika salah satu pasangannya berasal dari gereja atau agama lain maka
pasangan harus beberapa bulan berlajar baru dapat diterima dan diberkati
dalam gereja. Walaupun dalam prakteknya ada juga yang tidak sesuai aturan
tetapi tetap diberkati. Hal ini disebabkan yang pertama karena masih saudara
dekat dan yazng kedua karena anggota gerejanya yang sedikit, dikhawatirkan
bila tidak diterima jemaatnya berkurang karena ada kemungkinan orang tua
dari anak tersebut juga tidak mau lagi gereja atau pindah anggota gereja.
Adapun nangkih bila dilihat dalam masyarakat karo harus dilanjutkan ke
pernikahan karena menyangkut nama baik keluarga karena jika tidak jadi
akan menjadi pembicaraan dan sindiran dalam keluarga. Menurut beliau,
nangkih sebenarnya memiliki makna yang tidak bagus namun tetap saja
banyak yang melakukannya. Beliau juga mengakui bahwa dulu juga untuk
menikah dengan istrinya beliau melakukan dengan cara nangkih. Hal ini
disebabkan pak Tandan takut apabila meminta secara baik (lamaran) akan
ditolak oleh orang tua perempuan karena saat muda dulu, beliau terkenal
sebagai orang yang bandel dan suka main judi namun karena serius dan saling
suka beliau melakukan nangkih sebagai jalan keluarnya. Menurut beliau
nangkih dapat dikatan sebagai kawin paksa dimana dalam hal ini yang dipaksa
adalah orang tua untuk menyetujui keinginan mereka untuk menikah atau
berkeluarga.
Awal pernikahannya, beliau mengakui sangat sulit untuk menjalin
hubungan dengan orang tua terutama dengan mertua, karena awalnya orang tua
tidak mau diajak bicara ketika bertemu. Namun setelah beliau tobat dan
meninggalkan judi lambat laun hubungan dengan mertua semakin membaik
dan terjalin baik sampai dengan sekarang. Beliau juga mengakui peran anak
(kehadiran cucu) memiliki pengaruh besar terhadap sikap orang tua yang mulai
memaafkan dan tidak bersikap dingin lagi terhadap beliau. Nangkih diakui
beliau sebagai perilaku yang menyimpang karena tidak sesuai dengan
keinginan dari orang tua, dimana seharusnya dilakukan melalui proses
lamaran, laki-laki berserta orang tua dan anak beru datang ke rumah orang tua
perempuan dengan membawa luah dan melamar si perempuan secara resmi
tidak tertulis umur berapa seseorang dapat menikah dalam artian tidak
dilarang. Namun dalam masyarakat dianggap tidak pantas karena masih sangat
muda dan labil dimana cara berpikirnya juga masih seperti anak muda yang
memikirkan senangnya saja. Adapun menurut beliau di desa ini, banyak yang
menikah dini disebabkan oleh kurangnya minat anak-anak untuk sekolah,
ditambah rumah sekolahnya yang jauh dan tidak ada keinginan untuk maju
serta juga dipengaruhi faktor ekonomi masyarakat.
2. Nama : Rebeka br. Sembiring
Umur : 46 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : SMA Pekerjaan : Petani
Ibu Rebeka dulunya menikah di usia 20 tahun dengan cara nangkih. Ibu
mamilih melakukan nangkih karena tahu orang tuanya terutama mamak (ibu)
dari ibu Rebeka tidak akan menyetujuinya dengan alasan tidak suka dengan
calon menantu dan ingin ibu Rebeka yang baru lulus SMA untuk berkerja
terlebih dahulu. Oleh karena itu, ibu memilih ikut dengan orang menjadi
pilihannya untuk melakukan nangkih atas dasar saling menyukai dan ingin
lanjut ke jenjang pernikahan karena tidak ingin lagi dipisahkan. Awal mulanya
Ibu Rebeka dan suaminya berbicara mengenai pernikahan dan sepakat untuk
menikah, namun karena tahu jalannya akan sulit maka mereka sepakat
melakukan nangkih dimana ibu mengikuti suaminya ke rumah anak berunya
untuk menjelaskan maksud mereka yang ingin menikah. Di malam mereka
nangkih, anak beru kemudian membawa mereka ke serayan gereja untuk
Rebeka untuk menyerahkan penading sebagai tanda ibu Rebeka sudah
melakukan nangkih dan berada di rumah pihak laki-laki. Awalnya orang tua
ibu Rebeka marah dan tidak senang begitu mengetahui anaknya nangkih
sehingga awal pertama sekali bertemu ibu Rebeka mengakui sangat takut,
takut dimarahi atau tidak diakui anak lagi. Namun untungnya kemarahan orang
tua tidak berlangsung lama, walaupun hubungan mereka sempat renggang
setelah menikah namun setelah beberapa tahun ditambah dengan kehadiran
anak lambat laun hubungan dengan orang tua mulai terjalin baik kembali
seperti biasa sampai dengan sekarang, dimana usia perkawinan ibu Rebeka
sudah 25 tahun dan anaknya yang paling tua juga sudah menikah.
Bagi Ibu Rebeka nangkih dapat dikatakan jalan terakhir untuk bisa
menikah pada saat itu, namun ibu mengakui bahwa hal tersebut sebenarnya
tidak bagus dan menyimpang karena melawan orang tua. Hanya saja karena
sudah saling suka dan serius maka nangkih mejadi jalan pintas bagi ibu
Rebeka. Namun ibu tidak termasuk ke dalam pernikahan dini, dan dia tidak
menyetujui bila anaknya menikah di usia dini karena merupakan usia sekolah
untuk menuntut ilmu, selain itu juga melanggar UU yang ada. Hanya saja
karena rendahnya minat sekolah dan rumah sekolah sangat jauh dimana di desa
hanya sampai tingkat SD, banyak anak yang putus sekolah. Dalam keluarga
ibu Rebeka, dua dari empat anaknya sudah putus sekolah dimana tidak sampai
tingkat SMA karena bandel dan sering bolos sekolah. Ibu Rebeka mengatakan
pengaruh lingkungan sekolah dan teman yang tidak baik menjadi faktor utama
terserah anaknya hanya saja ketika sudah mengambil keputusan tersebut harus
berani bertanggung jawab dan mandiri, dimana ibu mengatakan bahwa harus
sudah bisa berpikir dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan keluarganya
sendiri.
3. Nama : Malem Pagi br Ginting Umur : 48 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : SMP Pekerjaan : Petani
Sejarah nangkih sudah ada sejak lama dari para nenek moyang yang telah
diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya sampai dengan sekarang dan
masih banyak dijumpai orang-orang yang melakukan nangkih. Menurut Ibu
Malem banyak hal mengapa seseorang melakukan nangkih namun biasanya
adanya hambatan dari pihak luar seperti orang tua dan keluarga besar dan
adanya pengaruh dari lingkungan seperti teman sebaya. Pengaruh teman
sebaya dirasakan betul oleh ibu Malem, dimana ibu Malem dua kali melakukan
pernikahan yang pertama dilakukan di usia 17 tahun dan yang kedua di usia 24
tahun. Di pernikahan pertama ibu Malem melakukannya secara nangkih,
dimana pada saat itu teman-teman menjadi mak comblang yang
memperkenalkan mereka berdua, dimana temannya mengatakan hal-hal yang
baik tentang si pria dan membujuknya untuk mau jika diajak nangkih oleh
laki-laki tersebut, karena melihat temanya yang kebanyakan sudah menikah dan
ada juga melakukan nangkih ibu Malem mengakui ia mau diajak nangkih.
Namun namanya masih muda dan masih cinta monyet, ibu Malem mengakui
mau lagi lanjut ke pernikahan, tetapi karena sudah sampai ke pudun maka
tidak bisa lagi karena sudah ada campur tangan penghulu atau kepala desa dan
di dalam adat bila perempuan memutuskan tidak jadi menikah harus membayar
ganti rugi kepada pihak laki-laki minimal dua kali dari semua biaya
pengeluaraan dari pihak laki-laki, selain itu keluarga harus menanggung malu.
Oleh sebab itu, walaupun tidak lagi suka Ibu Malem harus tetap melanjutkan
ke pernikahan. Setelah menikah ibu Malem mengatakan bahwa rumah
tangganya sangat tidak harmonis sehingga baru beberapa bulan (5 bulan)
mereka kemudian memutuskan bercerai.
Setelah itu, ibu Malem memutuskan kembali ke orang tua dan memilih
lebih selektif dalam menikah baru kemudian di umur 24 tahun ibu Malem baru
secara mantap menikah dan memiliki seorang anak perempuan. Adapun
pandangan ibu Malem terhadap mereka yang menikah secara nangkih adalah
mereka yang secara terburu-buru ingin menikah dimana sebagian besar mereka
yang melakukan nangkih adalah mereka yang berada di usia belasan. Orang
tua menyetujui anaknya melakukan pernikahan karena mereka telah
melakukan nangkih, dimana nangkih bila dilihat dari segi adat bukan suatu
yang menyimpang karena diadat dibenarkan atau sudah menjadi tradisi karena
sudah ada sejak zaman dahulu (nenek moyang) dan di desa ini memang banyak
yang melakukan nangkih sehingga sudah dianggap biasa. Ibu Malem
mengatakan nangkih dapat dikatakan menyimpang bila dilihat dari
keluarganya dimana anaknya dianggap menyimpang karena menikah tanpa
dari pihak orang tua dan keluarganya ada juga yang tidak mendapatkan sanksi
dimana tetap di pesta adatkan dengan mengundang seluruh warga kampung
yang ada.
4. Nama : Teguh br. Ginting Umur : 84 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : Tidak sekolah Pekerjaan : Petani
Nenek Teguh mengatakan bahwa nangkih sudah ada sejak zaman dahulu
dimana merupakan adat kebudayaan masyarakat setempat, orang Karo.
Seseorang yang melakukan nangkih itu adalah ikut dengan laki-laki ke rumah
anak berunya dengan ada maksud serius untuk menikah. Sebelumnya mereka
ke rumah anak beru, mereka sudah melakukan pembicaraan dan sepakat untuk
menikah dan memilih melakukan jalan nangkih. Biasanya mereka melakukan
nangkih karena ada halangan dari orang tua yang jika tidak melakukan nangkih
mereka bisa tidak jadi menikahnya. Dahulu seseorang yang melakukan
nangkih ada beberapa adat yang dilakukan seperti membuat cimpa (makanan
tradisional orang karo), dan lain sebagainya yang di zaman sekarang sebagian
masyarakat tidak melakukannya lagi karena faktor waktu dan biaya dimana
seperti cimpa dibuat pada saat pudunnya saja. Adapun nangkih menurut nenek
Teguh tidak bagus dimana mereka yang sudah nangkih wajib melanjut ke
pernikahan karena sudah melket (tidak suci lagi), dimana bisa saja mereka
sudah melakukan hubungan suami istri sehingga si perempuan mau diajak
nangkih oleh laki-laki. Jika tidak jadi akan menikah akan menjadi aib bagi
menyetujui pernikahan tersebut, dimana ada kekecewaan dari orang tua
terhadap ananknya yang melakukan nangkih.
Menurut nenek sendiri nangkih merupakan perbuatan yang tidak baik
karena seseorang yang nangkih tidak menghormati orang tuanya dimana
mereka menikah tanpa bertanya atau meminta izin terlebih dahulu kepada
kedua orang tuanya. Nangkih merupakan jelas sebagai suatu perilaku yang
menyimpang. Adapun sanksi yang diterima dapat berupa karma dimana nenek
mengatakan bisa saja rumah tangganya nantinya tidak harmonis. Nenek juga
mengatakan bahwa benar banyak sekarang yang menikah masih muda hal ini
sama saja di zaman dahulu juga seperti itu, kalau di zaman dahulu dianggap
wajar tetapi sekarang tidak lagi, karena sekolah. Kalau dulu orang-orang tidak
sekolah sehingga dianggap wajar menikah muda tetapi sekarang karena masih
sekolah dianggap tidak lagi wajar. Menurut nenek seseorang yang nangkih
seharusnya tidak bisa diberkati di gereja tetapi banyak juga yang diberkati
tetapi ada juga yang tidak diberkati. Tetapi nenek mengatakan jika sewajarnya
seseorang yang ingin menikah harus melalui proses pelamaran, dimana si
cowok datang bersama keluarganya ke rumah cewek untuk meminta anak
perempuan untuk menikah dengannya.
5. Nama : Mesti Sinulingga Umur : 68 Tahun
Jenis Kelamin : laki-laki Pendidikan : SD Pekerjaan : Petani
merupakan adat dalam masyarakat Karo dan merupakan sebuah tradisi yang
sudah ada sejak orang karo ada. artinya nangkih sudah ada sejak zaman dahulu
kala dan menjadi sebuah tradisi bagi orang Karo. Seseorang yang melakukan
nangkih biasanya didasarkan suka sama suka, dimana karena sudah saling
mencintai dan tidak mau lagi dipisahkan sehingga untuk bisa bersatu dalam
ikatan perkawinan mereka melakukan nangkih sebagai jalan keluar atau
solusinya. Dimana sebelum melakukan nangkih sudah ada kesepakatan dari
mereka yang ingin menikah. Adapun prakteknya dulu dan sekarang sama saja
hanya saja ada beberapa yang mulai ditinggalkan sesuai dengan kesepekatan
bersama kedua belah pihak keluarga. Laki-laki akan membawa perempuan
idamannya ke rumah anak berunya untuk ngendesken, ngendesken disini
maknanya adalah menyerahkan yaitu laki-laki menyerahkan segala masalah
yang sedang dihadapinya karena membawa anak perempuan orang tanpa
sepengetahuan dari keluarganya untuk segera dinikahkan.oleh karena pihak
laki-laki dan perempuan sudah membuat suatu perencananaan dan keputusan
menikah maka pihak anak beru memberitahukan pihak orang tua laki-laki
bahwa anak mereka sudah membawakan perempuan untuk nangkih. Setelah itu
keesokah harinya anak beru akan pergi menjumpai anak beru dari pihak
perempuan untuk sama-sama memberitahukan kepada orang tua perempuan
bahwa anaknya sudah nangkih bersama si laki-laki. Dan pada saat itulah
mereka membuat kesepakatan kapan membuat pudun biasanya dilakukan pada
hari ke 3, 5, dan 7, dimana beliau mengatakan sesuai dengan kesepatan dari
kedua keluarga.
Pak Mesti menjelaskan bahwa dahulu orang melakukan nangkih karena
sudah menyukai orang lain yang bukan impal menjadi pilihannya. Biasanya
reaksi orang btua mendengar anaknya nangkih akan marah dan merasa tidak
senang hanya saja karena anaknya sudah besar dan membuat keputusan
tersebut maka orang tua mau tidak mau harus menyetujui anaknya yang ingin
menikah. Beberapa orang tua akan mencoba atau membujuk anaknya untuk
kembali pulang. Dalam arti tidak jadi menikah, jika orang tua berhasil
membujuk anak dimana belum sampai ke tahap pudun maka pernikahan dapat
dibatalkan tetapi jika sampai kepudun penikahan tetap bisa dibatalkan dengan
syarat pihak perempuan harus siap membayar semua biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak laki-laki dua kali lipat dan harus menanggung malu
karena sudah nangkih tidak jadi sehingga sangat jarang ditemui mereka yang
nangkih tetapi tidak melanjut ke pernikahan. Adapun nangkih dalam
masyarakat Karo merupakan bagian dari tradisi yang diakui keberadaannya
dan masih banyak dilakukan masyarakat, nangkih merupakah tahapan awal
seseorang menuju jenjang perkawinan dalam masyarakat Karo. Beliau
menjelaskan bahwa nangkih tidak semua merupakan perilaku menyimpang
karena dalam orang Karo juga ada nangkih yang dinangkih-nangkihkan
tujuannya biar serasi. Maksudnya mereka yang ingin menikah disuruh oleh
orang tuanya untuk nangkih karena merupakan tradisi dalam keluarga mereka
secara turun temurun bahwa mereka yang ingin menikah harus dinangkihkan
terlebih dahulu, karena di dalam keluarga mereka yang nangkih justru lebih
awet dalam berumah tangga dibandingkan dengan yang tidak. Namun untuk
sanksi dan hukuman bagi mereka yang melakukan nangkih di dalam
masyarakat tidak ada hanya saja di dalam keluarga mungkin ada karena orang
tua mereka yag tidak setuju bisa saja si perempuan tidak lagi dianggap anak
dan hubungan orang tua dan anak bisa renggang. Namun untuk masyarakat
sekitar tidak ada yang penting tidak melanggar adat seperti menikah dengan
sesama marga atau turangnya. Jika hal itu yang terjadi bisa saja mendapat
sindiriran dan pengucilan dari masyarakat bahkan bisa saja di usir dari
kampung dimana dahulu orang yang melakukan tersebut diusir ke daerah
sunggal, sehingga di sana banyak ditemui mereka yang menikah sesama
marga.
Beliau juga menjelaskan bahwa memang banyak orang di sini yang
menikah di usia muda atau dini, dalam masyarakat karo sebenarnya bukan tabu
hanya saja bagi masyarakat kurang pantas dalam artian belum tepat waktunya
untuk menikah di umur tersebut ditambah karena masih sekolah. Mereka yang
menikah dini biasanya tidak dicatat atau tercatat dengan dilakukan kompensasi
ke kantor urusan agama atau ditunggu umurnya cukup baru diurus surat
nikahnya. Adapun faktor-faktornya menurut beliau adalah karena cepat
pacaran dimana masih SD dan SMP sudah pacaran, kurangnya minat terhadap
pendidikan dan ekonomi masyarakat yang sebagian besar memang berkerja di
sektor pertanian. Adapun mereka yang nangkih diberkati atau tidak itu sesuai
dengan kesepakatan dan keinginan dari kedua belah pihak karena banyak juga
kasusnya mereka yang nangkih hanya dikerja adatkan dan tidak di pasu-pasu
(diberkati), tetapi ada juga yang hanya memakai tangan raja yaitu melalui
penghulu, dicatat secara sipil bahwa mereka sudah menikah. Untuk mereka
mesti mereka bayar nantinya, dimana mereka yang mereka yang menikah
belum dipesta adatkan anaknya nantinya jika ingin menikah belum bisa jika
kedua orang tuanya belum dikerja adatkan, walaupun dalam kasus mungkin
salah satu pasangannya sudah meninggal. Adapun kerja adatnya biasanya
dilakukan sebulan setelah dilakukan pudunnya tetapi semua itu tergantung
darti kesepakatan bersama dari kedua belah keluarga yang bersangkutan.
6. Nama : Salim Ginting Umur : 45 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Pendidikan : SMA Pekerjaan : Petani
Bapak Salim Ginting merupakan anak beru yang dari pihak laki-laki yang
saya jumpai yang saat itu ingin memberikan penading ke rumah orang tua
perempuan. nangkih menurut beliau sudah ada sejak lama sekali dan
merupakan adat orang karo. Beliau menjelaskan alasan permen
(keponakannya) melakukan nangkih karena alasan suka sama suka (saling
mencintai). Dalam prakteknya nangkih dilakukan sama saja seperti dahulu
dimana si laki-laki membawa perempuan yang mau dinikahinya ke rumah anak
beru tetapi sekarang ada juga yang membawa ke rumah pertua atau serayan
gereja. Adapun dibawa ke serayan gereja dengan tujuan ingin diberkati atau
dipasu-pasu di dalam gereja. Adapun nangkih ada beberapa hal yang mulai
ditinggalkan atau ditambahi sesuai kesepakatan bersama hal ini tidak lepas
juga dari adanya modernisasi, seperti cimpa seharusnya orang yang nangkih
acara pudun. Pudun adalah acara yang dilakukan untuk menentukan hari yang
tepat untuk melangsungkan kerja adatnya. Ketika diserahkan penading kepada
keluarga perempuan maka keluarga perempuan akan menyerahkan beberapa
baju milik si perempuan kepada anak beru laki-laki sebagai laporan kepada
pihak kalimbubu bahwa mereka telah memberikan penading dan penading
telah diterima keluarga dari pihak perempuan.
Nangkih dalam masyarakat karo ada dua yaitu nangkih yang dilakukan
karena tidak direstui orang tua dan nangkih karena disuruh orang tua. Dimana
nangkih yang disuruh orang tua karena nangkih serasi di dalam keluarganya
dan sudah dilakukan secara terus menerus. Hal ini bisa terjadi karena di dalam
keluarga mereka yang justru ada yang menikah tidak nangkih malah bercerai
atau salah satu pasangannya meninggal. Namun hal ini jarang dimana
kebanyakan mereka yang nangkih karena takut jika dengan lamaran tidak
disetujui oleh orang tuanya. Adapun orang tua akan menyetujui nangkih
karena sesuai adat seseorang yang melakukan nangkih harus dilanjutkan ke
pernikahan kalau tidak akan menjadi pembicaraan dalam masyarakat sehingga
harus cepat dinikahkan. Menurut pak Salim jika berbicara sanksi dia tidak tahu
itu tergantung bagaimana keluarga menyikapinya dalam hal ini orang tua dari
pasangan yang melakukan nangkih.
Pak Salim mengatakan memang kebanyakan dari mereka yang melakukan
nangkih adalah mereka yang menikah di usia muda karena kalau mereka
meminta izin kepada orang tua kemungkinan tidak diberikan izin sangat besar
karena faktor umur yang menurut orang tua masih muda dan masih labil.
Adapun seseorang yang melakukan nangkih masih bisa diberkati di gereja
untuk menikah dan sudah dibaptis dan ngawan. Sedangkan kerja adatnya wajib
dilakukan walaupun secara sederhana karena itu merupakan ketentuan jika
tidak dilakukan merupakan utang adat yang harus dibayar walaupun mereka
sudah tua atau salah satu pasangannya sudah meninggal, jika tidak anak atau
keturunan dari mereka tidak dapat menikah secara adat dan bisa jadi mereka
tidak akan dianggap tidak beradat jika tidak melakukan kerja adatnya. Pak
Salim juga mengatakan dalam agama Kristen tidak memandang umur
seseorang untuk menikah yang terpenting mereka sudah dibaptis dan
dingawankan, dimana ngawan merupakan proses belajar mereka tentang
agama dan menjadi orang dewasa yang siap menanggung segala dosa dari
perbuatannya yang dilarang dalam ajaran agama Kristen.
7. Nama : Morang Ginting Umur : 53 Tahun
Jenis Kelamin : laki-laki Pendidikan : SMP Pekerjaan : Petani
Bapak Morang Ginting mengatakan bahwa nangkih sudah ada sejak zaman
dahulu, nangkih merupakan laki-laki yang membawa perempuan ke rumah
anak beru untuk segera dinikahkan. Adapun alasan mereka melakukan nangkih
karena cinta kasih mereka tidak disertujui oleh orang tua sehingga nangkih
merupakan jalan pintas bagi mereka untuk dapat segera menikah. Adapun
praktek dari nangkih adalah laki-laki dan perempuan yang sudah sepakat
berdua memutuskan untuk menikah namun karena tahu akan tidak direstui
Nangkih harus dilanjutkan kejenjang perkawinan karena Bapak Morang
menjelaskan bahwa tidak ada jaminan kalau mereka tidak melakukan
hubungan intim ditakutkan jika nanti tidak dinikahkan ternya si perempuan
sudah hamil. Hal ini akan lebih mencoreng nama baik keluarga.
Selain tidak direstui pak Morang juga menjelaskan bahwa alasan biaya bisa
menjadi salah satu mengapa seseorang melakukan nangkih, dimana seperti
salah satu sanak keluarga. Beberapa bulan sebelumnya abangnya baru
melakukan kerja adat dan orang tuanya banyak habis sehingga dia mengajak
pacarnya nangkih untuk menekan biaya karena jika melakukan dengan
nangkih biaya yang dikeluarkan lebih sedikit. Nangkih dalam adat karo bukan
suatu yang menyimpang, nangkih dikatakan menyimpang karena menikah
tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua, yang bagusnya adalah
melalui proses lamaran. Selain itu nangkih juga dilakukan karena mereka
melarang adat yaitu menikah dengan sesama marga, dimana dalam hal ini pak
Morang mengatakan sanksi yang dapat diberikan adalah mereka yang tidak
lagi dianggap sebagai anak dan orang tua akan bersikap dingin atau cuek
ketika anak datang berkunjung ke rumah orang tuanya.
Pak Morang juga menyetujui banyak juga yang melakukan nangkih adalah
mereka yang menikah dini tetapi tidak semua yang nangkih yang menikah dini.
Dalam pandangannya seseorang yang menikah di usia muda diangggap belum
siap menjalani kehidupan keluarga dan juga karena masih sekolah tetapi tidak
semua juga menikah kartena nangkih tetapi ada juga karena sudah hamil di
luar nikah. Ini juga yang dikhawatirkan orang tua perempuan karena kenapa
anakku mau ikut laki-laki itu nangkih apakah karena mereka sudah melakukan
yang mau menikah. Faktor-faktor banyaknya pernikahan dini disebabkan
keinginan mereka sendiri yang ingin segera menikah tanpa ada perjodohan dari
orang tua.
8. Nama : Basita Sembiring Umur : 40 Tahun
Jenis Kelamin : laki-laki Pendidikan : SMA
Pekerjaan : berdagang membuka kedai Kopi
Bapak Basita mengatakan bahwa nangkih merupakan adat yang sudah ada
sejak adanya orang karo, dari nenek moyang. Dimana pada umumnya nangkih
dilakukan karena takut tidak jadi yang artinya mereka takut jika melalui proses
lamaran bakalan tidak jadi karena bakalan tidak akan direstui oleh kedua orang
tuanya sehingga tidak jadi menuju ke perkawinan. Di sini nangkih dianggap
sebagai jalan satu-satunya dan terbaik untuk dapat menikah karena bisa jadi
cinta mereka adalah cinta yang terlarang dari orang tua mereka dan juga bisa
dari adat karena mereka menikah dengan sesama marga atau turangnya.
Adapun dalam prakteknya sama saja yang dulu dengan sekarang, dimana
awalnya laki-laki membawa perempuan ke rumah anak beru dan anak beru
memberikan penading kepada orang tua perempuan dengan tujuan
memberitahu kepada orang tua bahwa anaknya berada di rumah laki-laki dan
mereka ingin segera menikah. Setelah ada restu maka dilakukan kesepakatan
kapan untuk dilaksanakan pudun biasa itu di hari ke lima atau sembilan setelah
nangkih.
kembali, namun di sini sangat jarang seseorang yang nangkih tidak jadi ke
pernikahan karena akan menanggung malu jika anak nangkih dan tidak jadi
menikah selain itu bisa jadi nanti anaknya sudah hamil sehingga melakukan
nangkih. Namun dalam pandangan masyarakat Karo nangkih merupakan adat
sehingga seseorang melakukan nangkih dan menuju ke pernikahan dianggap
wajar karena merupakan tahapan awal dalam menikah. Alasan besar
seseoramg melakukan nangkih karena tidak disetujui orang tua. Nangkih
dianggap menyimpang karena tidak sesuai dengan kinginan atau harapan dari
orang tua atau keluarga besarnya. Hukuman yang diterima tergantung dari
orang tuanya karena ada yang sampai diusir dan tidak dianggap sebagai anak
lagi.
Bapak Basita juga mengakui bahwa sebagian mereka yang melakukan
nangkih adalah mereka yang menikah muda karena jika minta izin pasti tidak
akan diberikan karena usia yang dianggap belum dewasa dan belum siap untuk
menikah. Orang tua yang melihat anaknya melakukan nangkih melihat
kesungguhan anaknya untuk dapat menikah sehingga dengan terpaksa mereka
menyetujui dengan harapan ini merepakan jalan terbaik bagi anaknya dan tidak
menyesal nantinya karena bisa saja mereka yang tidak disetujui jadi gila atau
bunuh diri. Adapun faktor-faktor banyak menikah muda adalah faktor
kemauan sendiri, menurut beliau menikah muda merupakan pilihan mereka
sendiri tanpa ada paksaan dari orang tua. Seseorang yang melakukan nangkih
tetap akan diberkati di gereja dengan syarat ketika mereka nangkih harus
diantar ke rumah pengurus gereja dan mereka yang dapat diberkati bila telah
seseorang itu harus berlajar sekitar sebulan atau dua bulan sampai dapat
diberkati di dalam gereja. Tetapi walaupun gitu ada juga yang diberkati karena
pengurus gereja termaqsuk manusia juga, dimana jika di daspat kesepakatan
maka akan tetap diberkati. Hal ini bisa kari pertimbangan jemaat gereja karena
takut bila tidak diberkati jemaat gerejanya berkurang atau bahkan tidak ada
karena gerejanya yang kecil dan jemaatnya yang sedikit.
9. Nama : Sartar br. Tarigan Umur : 51 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : SMP Pekerjaan : Petani
Ibu Sartar tidak tahu pasti sejak kapan nangkih itu ada dalam masyarakat
Karo karena nangkih merupakat adat orang Karo sehingga sudah ada sejak
zaman dahulu, zaman nenek moyang orang karo. Nangkih dilakukan sebagai
pilihan atau jalan keluar dari mereka agar dapat menikah dengan wanita atau
pria idaman yang menjadi pilihan hatinya. Praktek nangkih itu dimana dua
orang yang sepakat untuk menikah pergi ke rumah anak beru untuk
memberitahukan maksud dan tujuan mereka yang ingin dapat menikah nanti
anak beru yang akan menjadi penengah untuk memberitahukan keinginan
mereka kepada orang tua dari kedua belah pihak dan menentukan kapan
dilakukan pudun dan kerja adatnya. Adapun orang yang melakukan nangkih
biasanya memang dilanjutkan ke jejang pernikahan karena dalam adat karo
memang harus seperti itu karena jika tidak akan jadi pembicaraan tetapi ada
biasanya memang lanjut ke pernikahan. Kaum muda melakukan nangkih
karena takut orang tua tidak menyetujui dan kaum tua menyetujui karena
menyangkut nama baik keluarga. Nangkih dalam adat dibenarkan, nangkih
dianggap menyimpang karena sesorang yang melakukan nangkih karena takut
tidak mendapat restu dari orang tua dan orang tua tidak menyetujui karena
tidak sesuai dengan keinginan dan harapan mereka terhadap anak. Adapun
hukuman atau sanksi itu diberikan orang tua mereka sendiri disebabkan rasa
kecewa terhadap anak mereka. Menurut ibu Sartar seseorang yang ingin
menikah seharusnya meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua melalui
proses lamaran, pihak laki-laki beserta keluarganya dating ke rumah orang tua
perempuan untuk meminangnya.
Pernikahan dini di usia sekolah memang banyak ditemukan, dalam karo
sebenarnya pernikaqhan dini dianggap biasa hanya saja dianggap terlalu cepat
ditambah anak-anak sekarang hanya memikirkan saat yang senang saja.
Adapun faktor mendorong seseorang yang melakukan pernikahan dini karena
masyarakat desa ini kebanyakan sekolah tidak tinggi hanya sampai tingkat
SMP sehingga kebanyakan dari mereka yang tidak sekolah kemudian memilih
untuk menikah. Adapun proses mereka dari nangkih sampai ke pesta adat sama
saja dengan yang tidak nangkih dimana melalui proses pudun yang tujuaqn
dibuat pudun untuk menentukan hari baik dilakukannya kerja adatnya sesuai
dengan kesepakatan dari dua keluarga. Dalam agama seseorang yang menikah
dini dapat dilegal apabila sudah melalui proses baptis dan ngawanken baru bisa
10.Nama : Persadan Sinulingga Umur : 63 Tahun
Jenis Kelamin : laki-laki Pendidikan : SD Pekerjaan : Petani
Bapak Persadan Sinulingga merupakan tokoh adat di dalam masyarakat
setempat. Beliau menjelaskan bahwa orang yang melakukan nangkih adalah
orang yang mendapat halangan atau hambatan dari luar untuk dapat bersatu
atau menikah, yaitu: pertama dari orang tua tidak setuju dan di dalam adat
juga tidak harus tetapi keduanya sudah saling mencintai dan membuat
kesepakatan untuk menikah. Tidak harus di sini maksudnya bukan impal
karena darah tetapi impal karena berbeda marga saja. Impal karena darah
maksudnya adalah mereka berimpal karena ibu dari pihak laki-laki dan ayah
dari pihak perempuan merupakan saudara kandung, dimana dalam adat karo
mereka dianggap impal dan dapat menikah. Adapun alasan orang tidak senang
berbagai macam ada karena adanya perbedaan sosial ekonomi, umur, adat, dan
sebagainya. Kedua orang tua merestui jalinan cinta mereka tetapi karena
mereka ingin supaya cepat terlaksana pernikahan mereka melakukan nangkih,
di sini beliau menjelaskan bahwa faktor biaya yang menjadi alasan orang karo
melakukan nangkih. Dimana kalau mereka tidak nangkih mungkin
pernikahannya bisa setahun lagi baru terlaksana karena ada faktor biaya yang
harus dipertimbangkan orang tuanya tetapi kalau mereka melakukan nangkih
pernikahannya dapat segera terlaksana karena harus diselesaikan terutama
untuk kerja adatnya. Ketiga ada pernangkih-nangkih yaitu karena tidak
mengambil impal nya atau anak mamanya padahal anak perempuan mamanya
sehingga jika ditanya oleh mamanya karena ada alasan bahwa anaknya sudah
melakukan nangkih dengan membawa lari anak orang. Sekarang ini jarang
dilakukan tetapi dulu sering dilakukan karena kalau dulu tidak bisa mengambil
anak orang lain kalau ada impalnya, anak mamanya. Sekarang memang ada
juga dipernangkih-nangkih supaya serasi tetapi menurut beliau itu juga sangat
jarang. Serasi maksudnya sudah tradisi di dalam keluarga mereka agar
pernikahan mereka harmonis.
Adapun beliau menjelaskan bahwa sejarah nangkih tidak dapat dituliskan
dalam bentuk tahun karena nangkih sudah ada jauh jauh lamanya, dahulu kala
dan sejak zaman nenek moyang orang karo, yang telah diwariskan secara
turum temurun dari satu generasi ke generasi lainnya, dan tidak diketahui
orang karo sekarang sudah mencapai generasi ke berapa dari nenek
moyangnya, yang jelas beliau mengatakan bahwa nangkih sudah ada sejak
dahulu kala dan menjadi bagian dari adat orang karo. Satu malam setelah
perempuan dibawa ke rumah pihak laki-laki, maka keluarga dalam hal ini anak
beru laki-laki keesokan harinya wajib datang ke rumah perempuan untuk
memberitahukan keberadaan anaknya agar orang tua dari perempuan tidak
mencari-cari keberadaan anaknya dan laki-laki juga tidak diadukan orang tua
perempuan dengan alasan membawa lari anak perempuan orang karena ada
pertanggung jawaban penuh dari pihak laki-laki untuk menikahi anaknya.
Kedatangan anak beru tujuannya untuk menyerahkan penading sebagai tanda
anaknya sudah melakukan nangkih dan melakukan musyawarah kedua belah
selambar). Penading yang diserahkan anak beru laki-laki adalah berupa satu
buah uis kapal, satu buah pisau kecil dan daun sirih dan pinang.
Biasanya pudun dilaksanakan di hari ke 4 sampai 7 malam setelah
nangkih. Adapun ketika pudun keluarga pihak laki-laki akan membawa luah ke
pada pihak perempuan berupa cimpa atau rires dimana luah ini akan dimakan
terlebih dahulu di rumah perempuan secara bersama-sama sebelum mereka
pergi ke jambur untuk melakukan acara pudun. Luah yang dibawa memiliki
arti jika luahnya berupa cimpa maka pesta kawinnya dilakukan dengan biasa
saja, jika rires maka pesta pernikahannya dilakukan dengan sangat meriah atau
mewah dan jika luah yang dibawa adalah cimpa dan rires maka pesta
pernikahannya dilakukan secara besar-besaran dan sangat mewah. Pudun
berisi acara musyawarah untuk menentukan hari pernikahan dan menuju ke
jenjang lebih serius pudun bisa dikatakan sebagai pertunangan kedua
pasangan. Dalam masyarakat karo sebelum dilakukan pembicaraan untuk
pernikahan kedua pasangan terlebih dahulu diberikan enam sumpit yang berisi
daun sirih, kapur, pinang dan rokok, dimana ke enam sumpit itu diberikan
kepada bapa dari pihak perempuan, kalimbubu biak senina, kalimbubu singalo
bere-bere, perninin perkempun, anak beru perempuan dan kalimbubu singalo
ulu emas dari pihak laki-laki. Adapun fungsi dari sumpit adalah membuka
pembicaraan atau musyawarah, ketika sudah di dapat kesepakatan hari dan
tanggal kerja adatnya dilaksanakan maka acara pudun selesai dan ditutup
dengan acara makan bersama. Adapun jenjang dari pudun sampai ke pesta
dilaksanakan dikerja adat sudah dibahas semuanya di dalam pudun termasuk
tukor atau mahar dari perempuan.
Dalam kasusnya tidak semua orang tua akan menyetujui walaupun anaknya
sudah melakukan nangkih, ketika anak beru datang memberikan penading juga
di tolak oleh orang tua.dalam hal ini sesuai kesepakatan kedua pasangan bila
mereka ingin berlajut akan terus berlansung dimana mereka akan diserahkan
ke penghulu (kepala desa) karena dalam hal ini kepala desa bertanggung jawab
karena warganya telah membawa lari anak orang sehingga kepala desa akan
segera menikahkan mereka sehingga dalam artian pihak laki-laki tidak
menculik dan tetap bertanggung jawab terhadap pihak perempuan. Adapun
mereka yang menikah tidak bisa dikerja adatkan jika tidak ada keluarga dari
pihak perempuan yang bersedia menjadi wali sehingga hanya melalui tangan
raja ataupun penghulu (kepala desa) dan bila ingin dipasu-pasu atau diberkati
maka saat mereka melakukan nangkih mereka harus pergi ke rumah serayan
(pertua) gereja, dimana perempuan akan tinggal di rumah serayan selama
nangkih. Si laki-laki dan perempuan tidak dapat jalan berdua-duaan ke ladang
atau kemana pun itu dimana mereka harus ada yang menemani sampai nanti
mereka sah dan sudah diberkati di dalam gereja.
Beliau menjelaskan bahwa padangan masyarakat karo mengenai nangkih
tidak bagus dan menyimpang bahkan sebenarnya sudah melanggar adat,
dimana yang sebaiknya itu melakukan nungkun, nungkun dalam masyarakat
karo artinya pihak laki-laki membawa keluarganya ke rumah perempuan untuk
nungkuni atau meminta izin kepada orang tua peremuan untuk menikahi
nungkun dimana berlajut ke pudun setelah itu ke pasu-pasu dan kerja adatnya,
acara yang dilaksanakan di dalamnya juga sama saja. Hanya saja beliau
mengatakan orang yang melakukan nangkih dianggap menurunkan martabat
keluarga terutama dari pihak perempuan karena anaknya mau diajak lari oleh
laki-laki ke rumah pihak laki-laki sehingga perempuan dianggap sudah tidak
suci atau bersih lagi. Sanksi yang diberikan kepada mereka yang melakukan
nangkih karena bisa saja mereka tidak akan lagi dianggap sebagai anak atau
tidak lagi dihargai di dalam keluarga.
Bapak Persadan juga setuju bahwa nangkih merupakan media penyelamat
bagi mereka yang saling mencintai tetapi mendapat halangan dari orang tua
tetapi karena mereka saling mencintai dan tidak harus maka nangkih menjadi
jalan satu-satunya bagi mereka untuk dapat bersatu atau menikah, karena
ketika sudah ada campur tangan dari anak beru mereka harus lanjut ke
pernikahan. Apalagi tekad mereka menikah sudah bulat dimana biarpun orang
tua tidak menyetujui akan lanjut ke pernikahan. Mereka yang melakukan
nangkih dan pudun bisa saja tidak jadi namun ada sanksi yang harus mereka
terima, untuk pihak perempuan yang membatalkan pernikahan harus
membayar semua biaya dari awal sampai akhir dua kali lipat kepada pihak
laki-laki dan acara makan tetap dilaksana. Pihak laki-laki jika membatalkan
juga harus membayar biaya dua kali lipat dan bisa juga diadukan kepada pihak
berwajib oleh pihak perempuan. namun sangat jarang seseorang yang nangkih
tidak lanjut ke pernikahan karena selain sanksi tersebut mereka juga akan
pembicaraan dan aib bagi keluarga sehingga menurut beliau seseorang yang
melakukan nangkih kemudian batal karena orang tuanya keras kepala sekali.
Mereka yang menikah dini apalagi di usia sekolah menurut beliau memang
rata-rata melakukan nangkih karena kalau tidak nangkih maka tidak akan jadi
karena tidak ada orang tua yang senang anaknya yang masih sekolah tiba-tiba
menikah. Faktor yang mendorong banyaknya yang menikah dini adalah
pergaulan dan pendidikan juga orang tua. Pergaruh teman yang dilihatnya
banyak sudah menikah dan terlalu cepat pacaran masih SD sudah tahu pacaran.
Minat untuk sekolah yang masih sangat rendah. Kurangnya perhatian orang tua
LAMPIRAN 2.
Gambaran Keluarga yang Menikah Dini dengan Cara Nangkih1. Nama : Rasmita Sari br sitepu Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : SMP Pekerjaan : Petani
Perasaan Rasmita saat akan menikah sangat kacau balau dan tidak jelas
antara perasaan senang dan sedih, dimana sebenarnya saat itu Rasmita merasa
belum siap untuk menikah tetapi ini dihadapinya sebagai jalan hidupnya.
Menikah dengan cara nangkih sebenarnya bukan sebuah pilihan namun
merupakan sebuah jalan terbaik untuk dapat segera menikah. Rasmita
mengakui bahwa peran nangkih terhadap keberhasilan pernikahannya sangat
besar, karena dengan nangkih ia dan pasangannya dapat menikah, dimana
beberapa minggu setelah nangkih mereka di kerja adatkan dan di sah kan
sebagai pasangan suami istri.
Walaupun pernikahannya dilakukan dengan nangkih tidak ada kesulitan
yang dirasakannya dari pihak keluarga atau masyarakat ketika dia sudah
menikah, dimana walaupun orang tuanya yang awalnya marah sudah
memaafkannya karena melihat bahwa pernikahaannya berjalan dengan baik
dan harmonis dan hampir tidak pernah berantam, walaupun berantam paling
sering disebabkan salah paham atau komunikasi antar pasangan. Hal ini
dianggap wajar karena usia mereka yang masih muda dan terkadang egois.
karenanya tidak dipasu-pasu di gereja. Hal ini diakuinya sebagai kesalahan,
namun dibalik itu Rasmita mengatakan bahwa pernikahan merupakan suatu
yang sakral kalau bisa sekali seumur hidup sampai mati sehingga hubungan
yang ada harus dijaga jangan sampai berujung pada perceraian. Sehingga jika
ada permasalahan harus diselesaikan bersama dengan bersikap lebih dewasa,
karena menurut nya untuk bisa menjalani peran yang ada harus diawali dengan
bersikap lebih dewasa karena sudah menikah dan berumah tangga.
2. Nama : Triyani Umur : 19 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : SMA Pekerjaan : Petani
Perasaan Triyani saat akan menikah merasa senang karena didasari
perasaan suka sama suka. Saat itu Triyani merasa sudah siap untuk menikah
dan menempuh hidup baru. Adapun pernikahan dengan cara nangkih
merupakan pilihan sekaligus jalan terbaik karena jika meminta izin orang tua
pasti tidak dikasih atau direstui dikarenakan umur yang masih muda. Dimana
nangkih berperan besar terhadap keberhasilan pernikahannya, nangkih
merupakan jalan agar dia diberi izin untuk menikah dari orang tua. Nangkih
merupakan media penyelamat agar Triyani dan pasangannya untuk dapat
menikah. Nangkih tidak akan mendapat kesulitan dari orang luar atau
masyarakat, apalagi memang rata di kampung ini pemuda/i memang
rata-rata menikah dengan cara nangkih.
Triyani juga mengatakan bahwa dengan cara nangkih masih bisa
dipasu-pasu di gereja dengan catatan memang diberitahukan kepada pihak gereja dan
lebih sampai dengan pemberkatan, dimana isi pembelajaran tentang Alkitab
dan tentang kehidupan dalam berumah tangga sesuai ajaran agama. Sejauh ini
Triyani merasa cukup puas dengan pernikahannya, walaupun terkadang ia
cukup kesal dengan mertuanya yang ikut campur terhadap kehidupan rumah
tangganya. Hal ini dianggapnya wajar dikarenakan mereka tinggal bersama di
rumah mertuanya.
Adapun makna pernikahan yang dikatakan Triyani sebagai suatu dilema
yang tidak dapat dihentikan. Alasannya mengatakan hal tersebut karena
Triyani melihat bahwa pernikahan dini memang telah lama terjadi dari tahun
ke tahun tetap ada dari generasi ke generasi karena seperti ada anggapan
bahwa mereka yang belum menikah adalah mereka yang tidak laku-laku
sedangkan mereka yang cepat menikah adalah mereka yang cantik sehingga
cepat laku. Walaupun sebenarnya mereka yang menikah dini cemburu terhadap
mereka yang belum menikah karena masih bebas, dan mereka yang belum
menikah cemburu atau kesal karena ditanya kapan menikah sehingga akhirnya
memilih menikah. Hal ini juga diakui oleh Triyani sebagai hal yang
melatarbelakangi ia menikah muda walaupun terkadang ia juga menyesal
menikah dini.Untuk menjalani peran sebagai seseorang yang sudah menikah
dan mempunyai anak dirasakan Triyani agak susah dijalankan dan semakin
sulit karena banyak hal yang menjadi rintangan terutama dalam mengurus anak
yang bandel dan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sarniti saat akan menikah merasa bahagia dan merasa sudah siap untuk
menempuh hidup baru walaupun saat itu masih banyak yang meragukan
karena terlalu muda untuk menikah. Menikah dengan cara nangkih bukan
pilihan namun terpaksa karena merupakan satu-satunya jalan agar dapat
persetujuan dari orang tua karena kalau tidak nangkih bisa tidak jadi menikah,
sehingga tidak terpungkiri peran nangkih sangat besar terhadap keberhasilan
pernikahannya.
Walaupun dengan jalan nangkih masih bisa dipasu-pasu atau diberkati
dengan catatan mengikuti persyaratan dari pihak gereja namun Sarniti tidak
mengaku diberkati digereja hanya dipesta adatkan secara sederhana. Walaupun
begitu Sarniti kurang setuju jika diakatakan bahwa nangkih merupakan media
penyelamat karena sebenarnya maknanya yang kurang bagus dan tidak
dianjurkan untuk dilakukan. Banyak yang melakukan nangkih mendapat
permasalahan dari luar terutama orang tua karena hubungan dengan orang tua
bisa renggang dan tidak lagi sedekat dulu dan komunikasi dengan orang tua
tidak lagi berjalan baik.
Sarniti mengatakan sebelumnya dalam kuesioner bahwa pernikahan adalah
sesuatu yang membanggakan karena tandanya sebagai perempuan sudah laku
dan sudah memiliki pasangan hidup, Sarniti sebagai perempuan sudah merasa
sempurna dengan menikah ditambah lagi dengan sekarang sudah memiliki
anak. Hal ini membanggakan ketimbang menjadi perempuan yang sudah tua
tetapi tidak menikah karena nanti dianggap tidak laku. Hal ini memang yang
perasaan menyesalnya saat melihat temannya yang belum menikah masih
bebas berteman dengan siapa saja. Adapun peran sebagai seorang istri dan ibu
walaupun diakui Sarniti sulit tetapi harus tetap di jalani karena memang
sewajarnya harus dijalani sebagai orang yang sudah menikah, dimana peran
paling penting adalah peran dalam mengurus rumah tangga berikut dengan
suami dan anak.
4. Nama : R br. Sinulingga Umur : 28 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta/ Ibu Rumah Tangga
R br. Sinulingga awalnya merasa senang saat akan menikah karena artinya
ia akan menempuh suatu kehidupan baru yang membahagiakan, dimana R.
Sinulingga merasa sudah siap untuk memasuki kehidupan yang baru. Dimana
R.Sinulingga mengatakan bahwa nangkih menjadi pilihannya untuk dapat
segera menikah walaupun itu merupakan pilihan terakhir atau jalan sat-satunya
baginya saat itu untu mendapat persetujuan dari orang tuanya, karena nangkih
berperan besar terhadap keberhasilan pernikahannya, dimana dengan nangkih
orang tua pasti setuju. Disebabkan memang seperti itu secara adat.
R. Sinulingga walaupun dengan cara nangkih namun tetap diberkati di
gereja karena saat nangkih, pihak keluarga melapor ke pihak gereja dan
mereka diberkati di gereja. Walaupun begitu ia merasa tidak puas dengan
seperti tidak ada lagi kecocokan diantara mereka setiap hal kecil bisa menjadi
permasalahan ditambah dengan kehidupan ekonomi keluarga yang diakui oleh
R.sinulingga sangat buruk, sehingga ia merasa menyesal menikah muda. Oleh
sebab itu juga R. Sinulingga menyesal melakukan nangkih karena seperti yang
dikatakan banyak orang tua kepadanya bahwa pernikahan dengan cara nangkih
membawa kehidupan orang tersebut makin sukar. Hal itu dirasakannya, rumah
tangganya tidak harmonis. Makna pernikahan sebagai sebuah mimpi buruk di
dapatkannya sesudah ia menikah, sebelum ia menikah ia melihat pernikahan
sebagai suatu yang wah dan bisa dibanggakan , namun hal tersebut salah
karena sebenarnya segala beban dan peran yang harus dijalaninya sebenarnya
belum siap dijalaninya saat itu, namun R. Sinulingga mengaku tetap enjoy saja
dalam menjalaninya segala peranan dalam rumah tangga dan jika terjadi
pertengkaran ia hanya mencoba mengalah saja.
5. Nama : Elita Wati Umur : 26 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : SMA Pekerjaan : Bertani
Elita mengatakan bahwa ia merasa senang saat mengetahui akan menikah
apalagi dengan pasangan yang memang disukainya. Ia merasa sudap siap
menikah dan menempuh hidup baru apalagi saat itu Elita mengaku sudah tidak
sekolah lagi. Nangkih bukan pilihan baginya, dimana walaupun Elita
mengetahui bahwa dengan cara nangkih merupakan suatu kesalahan di mata
orang tua tetapi itu merupakan jalan terbaik bagi Elita dan pasangannya yang
Dengan cara nangkih memang masih dapat diberkati di dalam gereja
bahkan ada yang nangkih tidak pergi ke anak berunya tetapi kepada pihak
gereja karena hal ini juga sah. Di gereja juga akan ditanyakan keseriusan
dalam berumah tangga sebelum akhirnya pihak gereja menerima pasangan
untuk diberkati di gereja. Adapun kesusahan yang di dapat dengan menikah
secara nangkih adalah orang tua yang sedih mengetahui kita nangkih dan
kemudian kurang suka juga dengan pasangannya sehingga hubungan dengan
orang tua tidak lagi seintim dulu namun seiring berjalannya waktu Elita
mengatakan hubungan mereka mulai membaik.
Elita mengatakan cukup puas dengan pernikahannya walau terkadang iri
jika melihat temannya sukses teruta dalam bidang pendidikan dan perkerjaan,
sehingga ada prinsip yang dibangunnya bahwa jika ia hanya tamatan SMA,
anaknya nantinya harus lebih tinggi darinya sehingga ia melarang anaknya
menikah muda dan mengajarkan pada anaknya untuk menikah dini tidak baik.
Adapun makna pernikahan baginya adalah dapat melakukan banyak hal
dengan pasanganya seperti saling bertukar pikiran, saling sayang-menyayangi,
perubahan sifat yang semakin dewasa dan rasa ingin mandiri untuk
bertanggung jawab atas keluarga. Hal itu merupakan salah satu dasar ia
memilih menikah selain faktor tidak lagi sekolah. Peran yang dilakukannya
sebagai istri dan ibu adalah dengan membangun rasa tanggung jawab
mengurus keluarga dan bersikap lebih dewasa karena tidak mungkin dapat
6. Nama : Susan Marheni br. Tarigan Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : SMP Pekerjaan : Petani
Susan mengatakan bahwa perasaan saat mengetahui akan menikah
sebenarnya sangat sedih dan malu namun ia juga merasa sedikit senang.
Dimana sebenarnya ia mengakui siap tidak siap untuk memasuki kehidupan
baru berumah tangga karena ia sudah berisi duluan sebelum menikah. Ia
melakukan nangkih dengan pasanganya bukan sebagai pilihan tetapi jalan
terakhir karena tidak berani juga mengatakan langsung kepada orang tua
bahwa dia sudah berbadan dua. Nangkih memang memiliki peran besar
terhadap keberhasilan pernikahan karena nangkih merupakan jalan bagi
mereka yang ingin menikah namun terhalang restu dari orang tua. Alasan
orang tua tidak setuju tentu saja karena masih sekolah dan terlalu muda untuk
menikah.
Susan mengatakan bahwa ia tidak melalui proses pemberkatan hanya
melalui proses kerja adat yang sederhana. Begitu mengetahui bahwa ia
nangkih orang tua merasa kecewa sehingga susan mengakui orang tuanya
sempat bersikap dingin terhadapnya saat itu, namun seiring berjalannya waktu
orang tua mulai memaafkannya. Adapun dalam pernikahannya, Susan merasa
tidak puas, karena mereka sering berantam bahkan hampir setiap hari sehingga
pernikahannya kurang harmonis. Susan mengatakan bahwa ia memang sering
membanding-bandingkan suaminya dengan orang lain dikarenakan ingin
suaminya bisa lebih baik lagi. Selain itu, ia merasa sering menyesal dalam diri
bebas, sehingga timbul pemikiran bahwa anaknya kelak tidak boleh menikah
muda karena ia tidak ingin anaknya menderita seperti dia. Susan mengatakan
bahwa sangat sulit untuk menjalani peran sebagai orang yang sudah menikah
dan mempunyai anak. Banyak hal yang tidak diketahuinya terturatama dalam
mengurus anaknya yang bayi sehingga cara dia mengatasinya dengan
bergabung dengan orang lebih tua darinya dan lebih berpengalaman dalam
berumah tangga.
7. Nama : Purna Ginting Umur : 21 tahun Jenis Kelamin : laki-laki Pendidikan : SMP Pekerjaan : Petani
Purna merasa senang saat akan menikah dan siap akan memasuki
kehidupan baru dalam berumah tangga. Namun perasaannya itu tidak
berlangsung lama dimana dalam berumah tangga mereka sering bertengkar dan
sering pisah tempat tinggal dimana saat berantam sang istri pergi balik ke
rumah orang tuanya begitu juga dengan dirinya. Namun sekarang mereka
sudah akur kembali, anak menjadi alat pemersatu mereka karena rasa sayang
terhadap anak mereka. Adapun nangkih merupakan pilihan bagi mereka untuk
dapat segera menikah karena kalau tidak nangkih tidak akan mendapat restu
dari orang tua perempuan sehingga nangkih berperan besar terhadap
keberhasilan pernikahannya, saat menikah ia dan istrinya tetap diberkati di
berantam ditambah ada sikap egois diantara keduanya yang menjadi pemicu
mereka sering berantam.
Purna mengatakan bahwa makna pernikahan adalah sudah memiliki pasang
atau pendamping hidup dimana ada ikatan pernikahan yang menandakan
bahwa ia tidak lajang lagi sehingga ada tanggung jawab yang harus
dijalankannnya terutama bekerja untuk mercari uang memenuhi kebutuhan
keluarga. Dalam membina rumah tangga Purna merasa tidak puas dimana ia
merasa kehidupan pernikahannya kurang harmonis dan terkadang ia menyesal
apalagi di saat berantam dengan pasangannya. Purna mengatakan bahwa peran
yang dimilikinya sebagai suami dan ayah mengharuskan dia untuk berkerja
LAMPIRAN 3.
Foto Orang Nangkih di Adat Mbah Belo Selambar (Pudun)Gambar 1
baru dua bulan yang lalu melangsungkan pernikahan sehingga jika minta izin mereka belum tentu dapat melaksanakan pernikahan.
perkawinan adat nantinya.
Gambar 8
Setelah berdoa dan kampil dibagikan maka seseorang bertugas sebagai protokol atau moderator untuk memimpin dan menengahi pembicaraan, dan
pembicaraan mengenai waktu, tempat, biaya dan acara perkawinan nantinya. Setelah dicapai kesepakatan acara ditutup dengan makan siang bersama.
Gambar 9
Masyarakat Karo dalam acara ini biasanya memotong 1 ekor babi untuk menu makan siang setelah acara, dimana biayannya berasal dari pihak laki-laki.
LAMPIRAN 4.
Interview Guide (Pedoman Wawancara)a. Tokoh Agama, Tokoh Budaya dan Orang Tua
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pendidikan :
Pekerjaan :
1. Sejak kapankah nangkih dalam masyarakat karo ada (sejarahnya)?
2. Pada umumnya mengapa seseorang melakukan nangkih?
3. Bagaimanakah praktek nangkih dalam masyarakat karo dari dulu sampai
dengan sekarang?
4. Apakah setiap orang yang nangkih harus dilanjutkan ke pernikahan?
Mengapa?
5. Bagaimana pandangan masayarakat karo terutama Anda tentang mereka
yang melakukan nangkih?
6. Apa alasan kaum muda melakukan nangkih? Dan Apa alasan kaum tua
menyetujui nangkih dalam masyarkat karo di desa ini?
7. Apakah orang yang melakukan nangkih dianggap sebagai perilaku yang
menyimpang karena menikah tanpa meminta izin orang tua? Jika ia
bagaimana yang seharusnya?
8. Apakah ada sanksi atau hukuman yang diberikan kepada orang yang
melakukan nangkih dari orang tua atau keluarganya?
9. Beberapa temuan, di desa ini orang yang melakukan nangkih adalah orang
yang melakukan pernikahan dini, apakah pernikahan dini (usia sekolah) pada
orang Karo termasuk tabu? Alasannya?
10.Apakah faktor-faktor yang paling mendorong seseorang melakukan
pernikahan dini di desa ini?
11.Apakah benar seseorang yang melakukan nangkih akan tetap diberkati di
13.Mayoritas masyarakat desa ini adalah orang Kristen, apakah dalam Kristen
pernikahan dini itu juga disahkan (dilegalkan)? Mengapa?
b. Orang yang Menikah Dini dengan Cara Nangkih
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pendidikan :
Pekerjaan :
1. Ketika saat itu Anda akan menikah, Bagaimana perasaan anda?
2. Apakah pada saat itu Anda sudah merasa siap untuk menempuh hidup baru
dalam berumah tangga?
3. Menikah dengan cara nangkih apakah menjadi pilihan Anda?
4. Bagaimanakah peranan nangkih terhadap keberhasilan Anda untuk bersatu
dan dapat menikah?
5. Anda yang menikah dengan cara nangkih terlebih dahulu, apakah Anda
diberkati atau dipasu-pasu dalam gereja?
6. Anda yang menikah dengan cara nangkih, apakah ada keulitan yang anda
rasakan dari pihak orang tua atau masyrakat sekitar Anda setelah Anda
menikah?
7. Dalam kesioner sebelumnya, Anda menuliskan bahwa makna pernikahan
bagi Anda adalah …….. , Apakah hal tersebut melatarbelakangi anda
menikah dini atau ada faktor lain?
8. Apakah Anda puas terhadap pernikahan Anda setelah Anda menjalaninya
sampai dengan sekarang?
9. Bagaimana Anda menjalani peran Anda sebagai orang yang sudah menikah
LAMPIRAN 5.
KuesionerNama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pendidikan :
pekerjaan :
Di bawah ini berisi beberapa pertanyaan yang dapat Anda jawab dengan memberikan tanda silang (><) sesuai dengan kebenarannya dan jika pilihan jawaban yang ada tidak sesuai dengan jawaban Anda, Anda dapat memilih lain-lain dan menuliskan jawaban Anda sendiri serta membuat alasannya. Adapun pertayaan ini bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk mengumpulkan informasi untuk penelitian skripsi saya. Sebelumnya atas kesediaan saudara/i Saya ucapkan terima kasih.
1. Pada umur berapakah Anda menikah dengan pasangan Anda?
a. 10-14 Tahun c. 20-24 Tahun e. diatas 30
Tahun
b. 15-19 Tahun d. 25-29 Tahun
2. Mengapa Anda memilih menikah di usia tersebut?
a. Karena sudah tidak sekolah d. kecelakaan (sudah berisi)
b. Ingin atau sudah mandiri e. lain-lain: ……….
c. Pengaruh teman
3. Berapa lamakah masa pengenalan atau pacaran yang Anda lalui sampai Anda
memutuskan menikah dengan pasangan Anda?
a. Beberapa hari c. beberapa bulan e.
beberapa tahun
4. Apakah Anda melakukan nangkih untuk dapat menikah?
a. Ya b. Tidak
5. Apakah yang menjadi alasan anda melakukan nangkih?
a. Karena sudah menemukan pria atau perempuan idaman
b. Karena tidak direstui orang tua
c. Karena kecelakaan (sudah berisi)
d. Karena ingin menikah muda
e. Lain-lain:………
6. Ketika orang tua Anda tahu bahwa Anda melakukan nangkih bagaimanakah
reaksi mereka?
a. Terkejut c. Kecewa e. menangis
b. Marah d. Biasa saja
7. Bagaimana perasaan Anda saat bertemu pertama kali dengan orang tua
setelah anda melakukan nangkih?
a. Takut c. sedih e. merasa menang
b. Merasa bersalah d. biasa saja
Alasannya:…………
8. Biasanya seseorang yang melakukan nangkih karena tidak mendapat restu
orang tua, apakah yang menjadi sebab orang tua Anda tidak setuju sehingga
Anda melakukan nangkih?
a. Adanya perbedaan ekonomi keluarga
b. Adanya perbedaan status dalam masyarakat
c. Karena masih sekolah dan terlalu muda untuk menikah
d. Adanya perbedaan agama
e. Lain-lain:……….
9. Apakah Anda setuju jika nangkih dikatakan sebagai media penyelamatan
a. Setuju c. kurang setuju e. Setuju sekali
b. Sangat setuju d. tidak setuju
Alasannya:…………..
10.Berapakah kira-kira pendapatan Anda dalam sebulan?
a. < Rp. 500ribu c. Rp. 1juta- Rp. 2juta e. > Rp. 3juta
b. Rp. 500ribu- Rp. 1juta d. RP. 2juta- Rp. 3juta
11.Apakah pendapatan Anda cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
keluarga?
a. Cukup c. tidak cukup e. berlebih/ lebih dari cukup
b. Pas-pasan d. sangat tidak cukup
12.Apakah Anda Sering berantam dengan pasangan Anda, (jika difrekuensikan
dalam sebulan berapa kali Anda berantam dengan pasangan Anda)?
a. Tidak pernah (0x /bulan) d. sangat sering (11-20x /bulan)
b. Jarang (1-3x /bulan) e. hampir setiap hari (20-30x /bulan)
c. Sering (4-10x /bulan)
13.Apa permasalahan yang paling sering membuat Anda berantam dengan
pasangan Anda?
a. Kebutuhan ekonomi d. adanya campur tangan orang tua
b. Komunikasi antar pasangan e. lain-lain: ………
c. Mengasuh anak
14.Ketika terjadi permasalahan hingga berujung ke percecokan dengan
pasangan Anda, apa yang akan Anda lakukan (solusi)?
a. Mengalah kepada pasangan d. minggat dari rumah
b. Mencoba menyelesaikannya bersama e. lain-lain:………
15.Setelah Anda menjalani pernikahan, apakah rumah tangga Anda termasuk
harmonis atau tidak?
a. Sangat harmonis c. kurang harmonis e. sangat tidak harmonis
b. Harmonis d. tidak harmonis
Alasannya: ………..
16.Apakah ketika Anda menikah adakah ada perasaan menyesal dalam diri
Anda karena memilih menikah muda?
a. Sering b. tidak pernah c. kadang-kadang
Alasannya:……….
17.Ketika anak Anda memilih menikah muda seperti anda apakah yang Anda
lakukan?
a. Mendukung sepenuh hati c. biasa saja
b. melarang d. lain-lain:……….
Alasannya:………
18.Menurut Anda umur berapa seseorang baru dikatakan ideal untuk menikah?
a. 10-14 tahun c. 20-24 tahun e. > 30 tahun
b. 15-19 tahun d. 25-29 tahun
Alasannya:……….
19.Menurut Anda, apakah makna nilai sebuah pernikahan itu sendiri bagi Anda?
Jawab:……….
20.Setelah anda menikah, anda akan mengalami perpindahan status dari lajang
menjadi orang yang sudah menikah, bagaimana anda memaknai hal tersebut
dan bagaimana anda mejalani peran sebagai orang yang sudah menikah atau
mempunyai anak?
LAMPIRAN 6.
Peta Desa Suka Dame dan Perbatasannya
Utara
Barat Timur
Selatan
DAFTAR PUSTAKA
Aisyarah, Noveri. 2010. Kesehatan Reproduksi Remaja. Semarang: Fakultas Ilmu Keperwatan Universitas Sulatan Agung.
Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Arif, M. Nasution, dkk. 2008.metodologi Penelitian.Medan: Fisip USU Press.
Arikunto, Suharsini. 1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Arsal, Thirwaty. 2012. Nikah Siri dalam Tinjauan Demografi. Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6 (2), 160-168. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Insitut Pertanian Bogor.
Bangun, Tridah. 1990. Penelitian dan Pencatatan Adat Istiadat Karo. Jakarta: Yayasan Merga Silima.
Dariyo, A. 2003. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Gresindo.
Dwi, J. Narwoko dan Bagong Suyanto. 2010. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Surabaya: Kencana Prenada Media Group.
Landung, Juspin, dkk. 2009. Studi Kasus Kebiasaan Pernikahan Usia Dini Pada Masyarakat Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja. Jurnal IIIKi, 5 (4), 89-94. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar.
Leleury, R. 2010. Kewajiban Perkawinan Levirat. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana. Fakultas Teologi.
Maleong, Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Penerbit Kencana.
Pasaribu, PJ. 2009. Perubahan Adat Perkawinan pada Masyarakat Pakpak Kelasen: Studi Deskriptif di Desa Si Onom Hudon Taruan Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan. Medan: USU.
Poloma, Margaret M. 2000. Sosiologi Kontemporer. Jakata: PT. Raja Grafinda Persada.
Rifiani, Dwi. 2011. Pernikahan Dini dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Syariah dan Hukum, 3 (2), 125-134. Malang: Kementeran Pendidikan dan Kebudayaan.
Ritzer, George. 2011. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT. Raja Grafinda Persada.
RK, Ardhikari.1996. Early Marriage And Childbearing: Risks And Consequences.
Jeddah : http://www.popline.org/node/233254#sthash.SCllQPK8.dpuf.
Rofidah.E.O. dan Wahyuni. B. 2009. “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pernikahan Usia Dini di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah”. Dalam Berita Kedokteran Masyarakat, 25 (2).
Roqib, Mohammad. 2010. Pernikahan Dini dan Lambat. Jurnal studi gender dan anak, 5 (2), 298-311. Purwokerto: Yin Yang.
Sarwadi,J. 2009. Hakikat Perkawinan Menurut Komunitas Kejawen Urip Sejati. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
Suhadi. 2010. Etika Masyarakat Pedalaman dalam Pembangunan. Semarang:Unnes. Fak. Ilmu Sosial.
Suhadi. 2012. Pernikahan Dini, Perceraian, dan Pernikahan Ulang: Sebuah Telaah dalam Perspektif Sosiologi. Komunitas, 4 (2): 168:177. Jawa Tengah: http://journal.unnes.ac.idnju/index.php/komunitas.
Sumbulah, Umi dan Faridatul Jannah. 2010. Pernikahan Dini dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Keluarga pada Masyarakat Madura. Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, 7 (1), 83-101. Malang: Fakultas Syariah UIN Maliki.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Universitas Indonesia.
Suryaningrum., MA. 2009. Analisis Status Ekonomi Sebagai Salah Satu Faktor Resiko Pengambilan Keputusan Menikah Usia Dini Remaja Puteri di Kecamatan Ngilipar Kabupaten Gunung Kidul. Yogyakarta: UGM. Fakultas Kedokteran. Tesis.
Tarigan, Sarjani. 2009. Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya. Medan.
Wardany, T. 2009. Konflik Perkawinan pada Istri Perwira Polisi yang Menikah pada Usia Muda. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata. Fak. Psikologi.
Wismono, Pandhu. 2012. Konstruksi Gender daam Masyarakat Sebagai Suatu Bentuk Politik Seksual Sepihak. Jurnal academia. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Fakultas Sastra Inggris.
Wulandari, Kristy. 2007. Penyesuaian Pernikahan Remaja Putri yang Melakukan Pernikahan Dini. Medan: USU. Fakultas Psikologi.
Internet
Al- Hafizh, Mushlihin. 2011. Pernikahan Dini di Indonesia. (http://www. referensimakalah.com/2011/08/pernikahan-dini-di-indonesia_1271 .html/ diakses tanggal 25 Agustus 2013, pukul 10:47 WIB).
Shawaky, S dan Milaat W. 2000. Early Teenage Marriage ad Subsequent Prenancy Outcame. East Medeter Health J. WIB)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode
yang dimaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya
secara holistik dan dengan menggunakan pendekatan deskriptif dalam bentuk
kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah (Maleong, 2006:6). Adapun pendekatan kualitatif yang akan
dilakukan, digunakan untuk menggambarkan bagaimana makna pernikahan usia dini
bagi masyarakat terutama bagi mereka yang melakukan pernikahan tersebut dan
makna nangkih bagi masyarakat etnis karo di kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten
Deli Serdang.
3.2 Lokasi Penelitian
Kecamatan Kutalimbaru merupakan wilayah yang termasuk bagian dari
Kabupaten Deli Serdang yang terdiri dari empat belas desa, yaitu desa Kuala
Laubicik, desa kutalimbaru, desa lau bakeri, desa Namo mirik, desa Namo Rambe
Julu, desa Pasar X, desa Perpanden, desa Sampe Cita, desa Sawit Rejo, desa Sei
Mericim, desa Silebo-lebo, desa Suka Dame, desa Suka Makmur dan desa Suka