LAMPIRAN
1. Beberapa Spesies Hasil Analisis Vegetasi
2. Pengukuran Tebal Humus
3. Penggalian Akar
5. Macam-macam Jenis Akar Pohon.
A. Gersap (Strombosia javanica) D. Rasamala (Altingia excelsa)
B.Puspa (Schima wallichi) E. Kepeng/Cepeng indot (Canarium litturale)
C. Ndelleng (Sapium baccatum) F. Macaranga (Macaranga tanarius)
G. Kecing Bunga (Lithocarpus elegans)J. Randu (Porterandia anisophylla)
H. Samari (Dacryodes rugosa) K. Medang Payung (Actinodaphe glomerata)
6. Pengukuran Kemampuan Penyerapan Air Oleh Humus di Laboratorium A.Disediakan humus sebanyak 100 gram B. Humus dalam keadaan berat
basah.
C.Pengovenan D.Humus hutan dalam keadaan
kering oven
Porterandia anisophylla Rubiaceae 16 6,4 10 3,8 4 0,76 0,04 0,76 2,01 0,79 2,32
Porterandia anisophylla Rubiaceae 13 6,2 9 3,5 4 0,76 0,04 0,76 1,33 0,52 2,05
Shorea gibbosa Dipterocarpaceae 17 5,2 9,5 5,3 4 0,76 0,04 0,76 2,27 0,89 2,42
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Arifin. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. hlm.
40,51.
Awang, S. A. 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat dan
Keadilan Lingkungan. Bigrafi Publishing. Yogyakarta.
Bardgett, R.D. 1989. The Biology of Soil. Oxford University Press. Inggris.
Daniel, T.W., J.A. Helms, F.S. Baker. 1992. Prinsip-Prinsip Silvinatural.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan.
Ernayati dan Juliaty, N. 2007. Keanekaragaman Jenis Tingkat Pancang pada
Kawasan Bekas Pembalakan dengan Sistem Konvensional dan RIL di PT.
INHUTANI LABANAN. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol
4, No 2.
Ewusie, J.Y. 1990. Ekologi Tropika. Bandung: Penerbit ITB.
Fachrul, M.F.2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Gardner, FP., R. Brent., Roger, LM. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Universitas Indosesia
Hakim, dkk., 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung.
Lampung.
Kartika NH. 1997. Pengaruh pemotongan akar dan sifat fisik media tanam
terhadap pertumbuhan setek panili Vanilla planifolia Andrews [skripsi].
Kuswandi, dkk.,2015. Keanekaragaman Struktur Tegakan Hutan Alam Bekas
Tebangan Berdasarkan Biogeografi Papua, Jurnal manusia dan lingkungan ,
Vol. 22, No. 2, Juli 2015: 151-159
Kuswanda, W dan Antoko, B. 2008. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan pada
Berbagai Tipe Hutan Untuk Mendukung Pengelolaan Zona Rimba di Taman
Nasional Batang Gadis, Jurnal PenelitianHutan dan Konservasi Alam, Vol
V, No.4 :337-354, 2008.
Lakitan, B. 1991. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Raja
M. Mad jid B. Damanik, dkk. 2010. Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU
Press. Medan.
Marsono, 1977. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Tiga. Terjemahan Tjahjono
Samingan.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Nopandry, B., Pian Z. A, dan Rahmawaty. 2005. Pengambilan Humus hutan oleh
Masyarakat. Peronema Forestry Science journal Vol.1, No.1:1-8.
Nurmi, 2005. Pengikatan (Sequestrasi) Karbon Melalui Pengolahan Konservasi
dan Pengelolaan Residu Tanaman. Makalah Individu Pengantar Falsafah
Sains. Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pratiwi dan Garsetiasih, 2007. Sifat Fisik dan Kimia Tanah Serta Komposisi
Vegetasi di Taman Wisata Alam Tangkuban Perahu, Provinsi Jawa Barat.
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol 4, No. 5.
Santoso, L dan Robert Nasi, 2002. Indonesian Polex (Indopolex)
http://www.cifor.cgiar.org/dock/_ref/polex/Indonesia (20 September 2014).
Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Soerianegara, I, dan Inderawan A, 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor:
Departemen Managemen Hutsn. Fakultas Kehutanan.
Song Ai, N dan Torey Patricia. 2013. Karakter morfologi akar sebagai indikator
kekurangan air pada tanaman. 32 Jurnal Bioslogos, februari 2013, Vol 3
No. 1.
Sudaryoko, Y. 1987. Pedoman Penanggulangan Banjir. Departemen Pekerjaan
Umum
Sundawiati, A. 2004. Aspek Ekologi Harendog Raja (Bellucia axinanthera
Triana) di Hutan Pendidikan Gunug Walat, Kabupaten Sukabumi, Provinsi
Jawa Barat. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan
IPB. Tidak dipublikasikan.
Syahbudin, 1987. Dasar-Dasar Ekologi Tumbuhan. Padang: Universitas Andalas
Press.
Vickery, A. 1984. Ekologi Hutan Indonesia. UGM Press. Jogjakarta.
Widiyono, W. dan Riswan, S. 1997. Pengenalan Pemberdayaan Pohon Hutan.
Penerbit Prosea Indonesia. Bogor.
Wirakusuma, R. S. 1980. Citra & Fenomena Hutan Tropika Humida Kalimantan
Timur. Jakarta: PradyaParamita
Yamani, A. 2010. Kajian Tingkat Kesuburan Tanah Pada Hutan Lindung Gunung
Sebatung di Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Jurnal Hutan Tropis
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 01 April 2016 hiangga tanggal 10
Juni 2016, dan dilaksanakan pada kawasan Hutan Simpulan Angin Kabupaten
Deli Serdang dan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara.
Peralatan Penunjang Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah parang, cangkul, meteran,
walking stick, kamera digital, GPS, tali plastik, alat tulis, tallysheet, saringan 80
mesh, neraca digital, dan oven.
Prosedur Penelitian
1. Di Hutan Simpulan Angin
1.1. Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode
jalur, yang terdiri dari 5 jalur. Jarak antar jalur sebesar 50 meter. Petak di dalam
tiap jalur terdiri dari 5 petak, sehingga total panjang jalur = 5 m x 20 m = 100 m.
Petak contoh dengan ukuran 20 m x 20 m digunakan sebagai petak contoh
untuk pengamatan tingkat pohon. Petak contoh tersebut kemudian dibagi menjadi
petak contoh kecil lainnya untuk pengukuran tingkat semai, pancang dan tiang,
yang masing-masing dengan ukuran petak sebesar 2 m x 2 m, 5 m x 5 m dan 10 m
Gambar 2. Desain Metode Jalur
Kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan menghitung (1) Kerapatan
(K), (2) Kerapatan Relatif (KR), dan (3) Frekuensi (F), (4) Frekuensi Relatif
(FR), (5) Dominansi (D), (6) Dominansi Relatif (DR), serta Indeks Nilai Penting
(INP) dari tiap jenis.
Rumus-rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Kerapatan (K) = ∑individu suatu jenis luas petak contoh
2. Kerapatan Relatif (KR) = K suatu jenis
K total seluruh jenisx 100%
3. Frekuensi (F) = ∑petak ditemukan suatu spesies ∑seluruh petak contoh
4. Frekuensi Relatif (FR) = F suatu jenis
F seluruh jenisx100%
5. Dominansi (D) = luas bidang dasar suatu jenis luas petak ukur 20 m
10 m 2 m
6. Dominansi Relatif (DR) = dominansi suatu jenis
dominansi seluruh jenisx100%
7.Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR (tingkat semai dan pancang) 8. Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR (tingkat tiang dan pohon)
1.2. Pengukuran Panjang Akar Lateral
Pengukuran panjang akar lateral dilakukan pada 12 pohon sampel yang
telah dipilih untuk mewakili tiap jenis pohon yang tumbuh pada Hutan Simpulan
Angin. Pohon sampel yang telah dipilih kemudian diukur diameter batang, tinggi
bebas cabang, tinggi tajuk, serta lebar tajuknya terlebih dahulu dan kemudian
dilanjutkan dengan penggalian perakaran.
Penggalian perakaran pada 12 pohon sampel dilakukan dengan cara terlebih
dahulu memilih sisi tajuk terpanjang pada pohon sampel yang akan diukur
panjang akar lateralnya. Penggalian perakaran dilakukan menggunakan cangkul
dan dilakukan secara perlahan untuk menghindari terjadinya luka pada akar yang
disebabkan penggalian, penggalian perakaran dilanjutkan hingga akar terdekat
pada batang pohon. Penggalian perakaran juga dilakukan pada bagian perakaran
yang dengan sisi berlawanan dari penggalian akar sebelumnya.
Akar yang telah ditemukan dari proses penggalian kemudian diukur
menggunakan meteran untuk mengetahui panjang akar lateral dari pohon tersebut.
Pengukuran panjang akar lateral dilakukan dengan cara mengukur panjang akar
lateral dari batang hingga ujung akar lateral, kemudian ditambah dengan
pengukuran panjang akar lateral yang diperoleh dari sisi yang berlawanan.
panjang akar lateral yang telah diperoleh digambarkan dalam bentuk diagram
batang serta diilustrasikan ke dalam bentuk gambar.
1.3. Pengukuran Ketebalan Humus
Pengukuran pada ketebalan humus hutan dilakukan pada petak contoh yang
ada pada tiap jalur, sehingga pengukuran ketebalan humus dilakukan sebanyak 25
kali yang dilakukan pada tiap lubang pengukuran. Pembuatan lubang pengukuran
dilakukan dengan penggalian menggunakan cangkul hingga ditemukannya lapisan
lain yang berbeda dari humus hutan yang ditandai dengan perbedaan warna dan
tekstur dari lapisan humus hutan.
Pengukuran ketebalan dilakukan dengan cara mengukur dari permukaan
humus hutan hingga pada bagian terdalam humus hutan yang telah berbatasan
dengan lapisan yang lainnya yang ditunjukkan dengan perbedaan warna dan
tekstur. Selanjutnya dilakukan pengambilan humus hutan sebanyak 300 gram
yang akan akan dibawa ke laboratorium untuk dihitung kemampuan penyerapan
airnya.
2. Di Laboratorium
Humus hutan yang diperoleh sebesar 300 gram kemudian ditimbang dan
dijadikan menjadi 3 sampel, yang tiap sampel terdiri dari 100 gram. Tiap sampel
kemudian dimasukkan ke dalam saringan 80 mesh yang selanjutnya direndam di
dalam air, kemudian setelah humus dalam saringan terendam secara keseluruhan,
saringan diangkat dan ditiriskan kemudian di tunggu beberapa saat hingga tidak
ada lagi tetesan air yang keluar dari peroses penyaringan, hal ini dilakukan guna
Humus hutan yang dalam kondisi kapasitas lapang kemudian dimasukkan
ke dalam cawan yang telah diketahui massa cawannya, kemudian dihitung
massanya. Selanjutnya dihitung massa humus kondisi kapasitas lapang dengan
cara mengurangkan antara massa total cawan yang berisi humus pada kondisi
kapasitas lapang dengan massa cawan.
Cawan yang berisi humus kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan
suhu 105°C selama 2 x 24 jam. Humus hutan yang telah dikering ovenkan
dihitung jumlah massanya dengan cara mengurangkan massa total cawan yang
berisi humus dalam kondisi kering oven dengan massa cawan.
Penentuan kemampuan penyerapan air pada humus dilakukan dengan cara
menghitung selisih antara massa humus dalam kondisi kapasitas lapang dengan
massa humus pada kondisi kering oven. Penentuan persentase kemapuan
penyerapan air pada humus hutan di hitung dengan rumus sebagai berikut:
Berat basah- Berat kering
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. Kekayaan Jenis
Hasil analisis vegetasi menunjukkan ada 12 jenis tumbuhan yang tumbuh pada seluruh stadium pertumbuhan. Yaitu jenis: Strombosia javanica, Schima wallichi, Sapium baccatum, Altingia excelsa, Canarium littorale, Macaranga
tanarius, Lithocarpus elegans, Dacryodes rugosa, Castanopsis motleyana,
Porterandia anisophylla, Actinodaphne glomerata dan Shorea gibbosa.
Jenis Famili Jumlah K/ha KR F FR D DR INP
Data yang disajikan pada Tabel 1. yang menunjukkan bahwa hasil analisis
vegetasi pada tingkat semai terdiri dari 12 jenis tumbuhan yang tumbuh. Indeks
Nilai Penting (INP) tertinggi pada tingkat semai terdapat pada jenis ndelleng
(Sapium baccatum) sebesar 35,27 % dan INP yang terendah terdapat pada jenis
macaranga (Macaranga tanarius), randu (Porterandia anisophylla) dan
kepeng/cepeng indot (Canarium littorale). Hal ini menunjukkan bahwa jenis
ndelleng (Sapium baccatum) merupakan jenis yang paling banyak tumbuh di
ndelleng (Sapium baccatum) mempunyai tingkat kemampuan adaptasi dan
reproduksi yang tinggi pada tingkat semai.
Hasil analisi vegetasi pada tingkat pancang yang menunjukkan bahwa
pada tingkat pancang terdapat 12 jenis tumbuhan yang tumbuh. Indeks Nilai
Penting (INP) tertinggi pada tingkat pancang terdapat pada jenis ndelleng (Sapium
baccatum) sebesar 36,99% dan INP yang terendah terdapat pada jenis gersap
(Strombosia javanica) sebesar 7,24 %. Hal ini menunjukkan bahwa jenis ndelleng
(Sapium baccatum) merupakan jenis yang paling banyak tumbuh di tingkat
pancang dengan jumlah 14 pancang dan dengan frekuesi tertinggi sebesar 0,64 %
yang menunjukkan bahwa jenis ndelleng (Sapium baccatum) mempunyai tingkat
kemampuan adaptasi dan reproduksi yang tinggi pada tingkat pancang.
Data analisi vegetasi pada tingkat tiang yang menunjukkan bahwa ada 12
jenis tumbuhan yang tumbuh pada tingkat tiang. Indeks Nilai Penting (INP)
tertinggi pada tingkat tiang terdapat pada jenis kecing bunga (Lithocarpus
elegans) sebesar 83,8361 % yang terdiri dari 27 tumbuhan tingkat tiang. INP
yang terendah terdapat pada jenis meranti (Shorea gibbosa) sebesar 2,9114
%yang dengan jumlah 2 buah tumbuhan tingkat tiang.
Tanaman tingkat tiang yang terdiri dari 12 jenis seluruhnya tergolong
menjadi Stratum C, yang dimana pada pada Stratum C dibentuk oleh tanaman
yang memiliki tinggi 4-20 m. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengamatan
tinggi tanaman pada tingkat tiang adalah berkisar 11 m hingga 19 m. Jumlah
tanaman pada tingkat tiang yang ditemukan pada seluruh petak contoh adalah
Data analisi vegetasi pada tingkat pohon yang menunjukkan bahwa pada
tingkat pohon terdapat 12 jenis pohon yang tumbuh. Indeks Nilai Penting (INP)
tertinggi pada tingkat pohon terdapat pada jenis samari (Dacryodes rugosa)
sebesar 82,24% yang terdiri dari 25 tumbuhan tingkat pohon. INP yang terendah
terdapat pada jenis randu (Porterandia anisophylla) sebesar 4,02 %yang dengan
jumlah 4 buah tumbuhan tingkat pohon.
Tanaman tingkat pohon yang terdiri dari 12 jenis terdiri dari dua Stratum,
yakni Stratum A dan Stratum B , yang dimana pada pada Stratum A dibentuk oleh
pepohonan yang memiliki tinggi lebih dari 30 m. Startum B yaitu lapisan tajuk
yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20-30 m.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pengamatan tinggi tanaman pada
tingkat pohon yang memiliki tinggi lebih dari 30 m terdiri dari 23 pohon dan
pada Stratum B ditemukan sebanyak 128 poho. Jumlah tanaman pada tingkat
pohon yang ditemukan pada seluruh petak contoh adalah sebesar 151 pohon.
2. Dominansi
Pengamatan dominansi relatif tertinggi pada tingkat tiang dan pohon dari
hasil analisis vegetasi dilakukan secara deskriptif, dominansi relatif tertinggi pada
tingkat tiang ditemukan pada jenis kecing bunga (Lithocarpus elegans) sebesar
20,62 % dengan jumlah sebanyak 27 tanaman tingkat tiang dan dominansi
terendah terdapat pada jenis (Shorea gibbosa) sebesar 1,59 %. Hasil analisis
vegetasi pada tingkat pohon yang dilakukan pada tiap petak contoh menunjukkan
(Dacryodes rugosa) sebesar 31,59 % dengan jumlah sebanyak 25 pohon dan
dominansi terendah terdapat pada jenis (Porterandia anisophylla) sebesar 1,46 %.
3. Pengukuran Panjang Akar Lateral Pada 12 Pohon Sampel
Pengamatan panjang akar lateral yang dilakukan pada 12 pohon sampel
yang mewakili jenis-jenis pohon yang ditemukan tumbuh pada Hutan Simpulan
Angin dilakukan secara deskriptif dengan mengukur panjang akar lateral yang
ditemukan pada tiap jenis serta tinggi bebas cabang, diameter, tinggi tajuk serta
lebar tajuknya pada tiap pohon sampel, seperti yang disajikan dalam Tabel
berikut :
Tabel 2. Data 12 Pohon Sampel di Hutan Simpulan Angin
Strombosia javanica Schima wallichi Sapium baccatum Altingia excelsa Canarium litturales Macaranga tanarius
Gambar 2. Sketsa Pohon Strombosia javanica, Schima wallichi, Sapium baccatum, Altingia excelsa, Canarium litturales, Macaranga tanarius
Lithocarpus elegans Dacryodes rugosa Castanopsis motleyana Porterandia anisophylla
Actinodaphe glomerata
Shorea gibbosa
Gambar 4. Grafik perbandingan Lebar Tajuk dan Panjang Akar Lateral pada Pohon Strombosia javanica, Schima wallichi, Sapium baccatum, Altingia excelsa, Canarium littorale, Macaranga tanarius.
0 2 4 6 8 10 12
Strombosia javanica Schima wallichi Sapium baccatum Altingia excelsa Canarium littorale Macaranga tanarius
Lebar Tajuk (m)
Gambar 5. Grafik perbandingan Lebar Tajuk dan Panjang Akar Lateral pada Pohon Lithocarpus elegans, Dacryodes rugosa, Castanopsis motleyana, Porterandia anisophylla, Actinodaphne glomerata dan Shorea gibbosa.
0 2 4 6 8 10 12 14
Lithocarpus elegans Dacryodes rugosa Castanopsis motleyana
Porterandia anisophylla
Actinodaphne glomerata
Shorea gibbosa
Lebar Tajuk (m)
1.Gersap (Strombosia javanica)
Panjang akar pada pohon gersap (Strombosia javanica) yang memiliki
ketinggian sebesar 15 m adalah sebesar 10,7 m, dimana tinggi bebas cabang dari
pohon tersebut sebesar 10 m, dengan diameter batang sebesar 50 cm serta lebar
tajuk sebesar 9,5 m. Hasil penggalian akar pada pohon gersap menunjukkan
bahwa panjang akar lebih dari lebar tajuk pohon sebesar 1,2 m, dimana panjang
akar lebih yang dari tajuk pada sisi kiri sebesar 70 cm dan pada sisi kanan sebesar
50 cm.
2.Puspa (Schima wallichi)
Panjang akar lateral pada jenis pohon puspa (Schima wallichi) yang
memiliki tinggi pohon sebesar 18 m dan tinggi bebas cabang 11 m dengan
diameter batang sebesar 66 cm serta lebar tajuk sebesar 6,5 m adalah 7,8 m. Hasil
penggalian akar lateral yang dilakukan pada pohon puspa ditemukan bahwa
panjang akar yang lebih dari lebar tajuk sebesar 1,3 m, yang dimana pada sisi kiri
lebih panjang 70 cm, dan pada sisi kanan lebih panjang 60 cm.
3.Ndelleng (Sapium baccatum)
Panjang akar pada pohon ndelleng yang memiliki tinggi sebesar 17,4 m,
dimana tinggi bebas cabang sebesar 9,4 m dan diameter batang sebesar 25 cm
serta juga lebar tajuk sebesar 7,7 m adalah sebesar 8,9. Hasil penggalian akar
pohon ndelleng menunjukkan bahwa panjang akar lebih panjang 120 cm dari
lebar tajuk pohon, yang dimana pada sisi kiri sebesar 75 cm dan pada sisi kanan
4.Rasamala (Altingia excelsa)
Panjang akar pada pohon rasamala (Altingia excelsa) yang memiliki
ketinggian sebesar 14 m, yang tinggi bebas cabangnya sebesar 9 m dan diameter
batang 30 cm serta lebar tajuk sebesar 6,3 m adalah sebesar 7,6 m. Hasil
penggalian akar pada pohon rasamala, menunjukkan bahwa panjang akar lateral
pohon lebih panjang dari tajuk pohon yakni sebesar 1,3 m, yang dimana pada sisi
kiri sebesar 60 cm dan pada sisi kanan sebesar 70 cm.
5.Kepeng/Cepeng indot (Canarium littorale)
Panjang akar lateral dari pohon kepeng/cepeng indot (Canarium littorale)
yang memiliki tinggi tajuk 24 m dan tinggi bebas cabang sebesar 15 m serta
diameter batang sebesar 32 cm adalah sebesar 10,2 m, yang dimana lebar tajuk
pohon tersebut adalah sebesar 9 m. Hasil penggalian akar pada pohon
kepeng/cepeng indot (Canarium littorale) ditemukan bahwa panjang akar yang
lebih dari lebar tajuk pada sisi kiri sebesar 65 cm dan 55 cm pada sisi kanan dari
pohon kepeng/cepeng indot (Canarium littorale) .
6.Macaranga (Macaranga tanarius)
Panjang akar lateral pada pohon macaranga (Macaranga tanarius) yang
memiliki tinggi sebesar 25 m, dimana tinggi bebas cabang sebesar 17 m dan
diameter batang sebesar 65 cm serta juga lebar tajuk sebesar 8,5 m adalah sebesar
9,3 m.Hasil penggalian akar pohon macaranga menunjukkan bahwa panjang akar
yang lebih dari lebar tajuk pada sisi kiri pohon sebesar 45 cm dan pada sisi kanan
7.Kecing Bunga (Lithocarpus elegans)
Panjang akar lateral pada pohon kecing bunga (Lithocarpus elegans) yang
memiliki ketinggian sebesar 19 m, dimana tinggi bebas cabang dari pohon
tersebut adalah 8 m dan diameter batang sebesar 50 cm serta lebar tajuk 11 m
adalah sebesar 12,1 m. Hasil penggalian akar pada pohon kecing bunga
menunjukkan bahwa panjang akar lateral pohon yang lebih dari lebar tajuk
sebesar 1,1 m, yang dimana pada sisi kiri sebesar 60 cm dan pada sisi kanan 50
cm.
8.Samari (Dacryodes rugosa)
Panjang akar lateral pada pohon samari (Dacryodes rugosa) yang memiliki
tinggi pohon sebesar 29 m, yang dimana tinggi bebas cabangnya sebesar 17 m dan
dengan diameter batang sebesar 68 cm serta lebar tajuk sebesar 7,5 m adalah 8,7
m. Hasil penggalian akar pada pohon samari menunjukkan panjang akar lateral
yang lebih dari lebar tajuk sebesar 1,2 m, dimana pada sisi kiri sebesar 50 cm dan
pada sisi kanan sebesar 70 cm.
9.Ordong-ordong (Castanopsis motleyana)
Panjang akar pada pohon macaranga (Macaranga tanarius) yang memiliki
tinggi sebesar 15,5 m, dimana tinggi bebas cabang sebesar 9,5 m dan diameter
batang 48 cm serta juga lebar tajuk sebesar 5 m adalah 6,7 m. Hasil penggalian
akar pohon macaranga(Castanopsis motleyana) menunjukkan bahwa panjang
akar lateral yang lebih dari lebar tajuk pohon sebesar 1,7 m, dimana pada sisi kiri
10.Randu (Porterandia anisophylla)
Panjang akar pada pohon randu (Porterandia anisophylla) yang memiliki
ketinggian sebesar 16,4 m, dimana tinggi bebas cabang pohon tersebut sebesar 8,4
m serta diameter batang sebesar 27 cm dan lebar tajuk 4 m adalah 5,4 m. Hasil
penggalian akar pada pohon randu (Porterandia anisophylla) menunjukkan bahwa
panjang akar lateral pohon yang lebih dari lebar tajuk sebesar 1,4 m, yang dimana
pada sisi kiri pohon sebesar 70 cm dan pada sisi kanan sebesar 70 cm.
11.Medang Payung (Actinodaphne glomerata)
Panjang akar lateral pohon medang payung (Actinodaphe glomerata) yang
memiliki tinggi pohon sebesar 25 m, yang dimana tinggi bebas cabangnya sebesar
16 m dan diameter batang sebesar 56 cm serta lebar tajuk sebesar 7,2 m adalah
sebesar 8,1 m. Hasil penggalian akar pada pohon medang payung menunjukkan
bahwa panjang akar lateral yang melebih lebar tajuk sebesar 90 cm, yakni sebesar
50 cm pada sisi kiri pohon dan 40 cm pada sisi kanan pohon.
12.Meranti (Shorea gibbosa)
Panjang akar lateral pada pohon meranti (Shorea sp) yang memiliki tinggi
sebesar 22 m, dimana tinggi bebas cabang sebesar 14 m dan diameter batang
sebesar 40 cm serta juga lebar tajuk sebesar 5,4 m adalah sebesar 6,1 m. Hasil
penggalian akar pohon meranti menunjukkan bahwa panjang akar lateral yang
melebihi lebar tajuk pohon adalah sebesar 70 cm, dimana pada sis kiri sebesar 30
4. Ketebalan Humus Hutan
Hasil pengukuran ketebalan humus pada Hutan Simpulan Angin yang
dilakukan pada seluruh petak contoh yang terdapat pada 5 jalur disajikan dalam
bentuk diagram batang seperti berikut :
Gambar 6. Grafik Ketebalan Humus Hutan
Hasil pengukuran terhadap ketebalan humus hutan yang disajikan pada
Gambar 6. menunjukkan bahwa ketebalan humus yang ditemukan pada tiap petak
contoh beragam. Ketebalan humus yang tertinggi ditemukan pada jalur satu petak
dua yakni sebesar 13 cm, sedangkan ketebalan humus hutan yang terendah
ditemukan pada jalur dua petak tiga, jalur tiga petak lima dan jalur lima petak dua
dan lima yakni sebesar 7 cm.
0
Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5
5. Kemampuan Penyerapan Air oleh Humus
Hasil pengukuran kemampuan penyerapan air oleh humus hutan yang
dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Data Kemampuan Peyerapan Air Oleh Humus
Ulangan Berat Basah (gr) Berat Kering Oven (gr) Selisih Berat (gr) Persentase (%)
1 123,363 16,504 106,859 647,473
2 123,036 16,332 106,704 653,343
3 116,961 15,855 101,106 637,691
Rata-rata hasil persentase 646,169
Tabel 3. menyajikan data kemampuan penyerapan air oleh humus yang
dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan, menunjukkan bahwa humus pada
ulangan satu memiliki selisih berat basah dengan berat kering oven sebesar
106,859 gram yang sama dengan 647,473 %. Ulangan dua yang dengan berat
basah sebesar 123,036 gram dan berat kering oven sebesar 16,332 gram memiki
selisih berat sebesar 106,704 gram yang setara dengan 653,343 %, sedangkan
pada ulanga tiga yang dengan berat basah 116,961 gram dan berat kering oven
sebesar 15,855 gram ditemukan selisih berat sebesar 101,106 gram atau setara
dengan 637,691 %.
Besar massa awal ketiga ulangan humus hutan yang di uji kemampuan
penyerapan airnya ialah 100 gram. Hasil rata-rata dari ketiga ulangan yang
dilakukan untuk mengetahui kemampuan penyerapan air pada humus hutan
Pembahasan
Hasil dari analisis vegetasi yang dilakukan pada tingkat semai, pancang,
tiang dan pohon pada tiap petak contoh yang ada pada lima jalur, yang disajikan
dalam Tabel.1 menunjukkan bahwa ada 12 jenis tanam baik dari tingkat semai,
pancang, tiang maupun pohon. Analisis vegetasi yang dilakukan menunjukkan
Dacryodes rugosa, Lithocarpus elegans, Sapium baccatum, Castanopsis
motleyana, Altingia excelsa, Macaranga tanarius, Shorea gibbosa, Strombosia
javanica, Canarium littorale, Actinodaphne glomerata, Schima wallichi dan
Porterandia anisophylla sebagai jenis-jenis tanaman yang tumbuh pada Hutan
Simpulan Angin.
INP dari tiap tingkat tumbuhan selalu beragam, pada tingkat semai Indeks
Nilai Penting (INP) tertinggi terdapat pada jenis ndelleng (Sapium baccatum)
sebesar 35,27 % dan INP yang terendah terdapat pada jenis macaranga
(Macaranga tanarius), randu (Porterandia anisophylla) dan kepeng/cepeng indot
(Canarium littorale). Tingkat pancang Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi
terdapat pada jenis ndelleng (Sapium baccatum) sebesar 36,99% dan INP yang
terendah terdapat pada jenis gersap (Strombosia javanica) sebesar 7,24 %. Hasil
analisis vegetasi pada tingkat tiang menunjukkan Indeks Nilai Penting (INP)
tertinggi pada tingkat tiang terdapat pada jenis kecing bunga (Lithocarpus
elegans) sebesar 83,84 % dan. INP yang terendah terdapat pada jenis meranti
(Shorea gibbosa) sebesar 2,91 %. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon
menunjukkan Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada tingkat pohon terdapat
pada jenis samari (Dacryodes rugosa) sebesar 82,24% dan INP yang terendah
Dominansi relatif tertinggi pada tingkat tiang terdapat pada jenis kecing
bunga (Lithocarpus elegans) sebesar 20,62 % dengan jumlah sebanyak 27
tanaman tingkat tiang dan dominansi terendah terdapat pada jenis (Shorea
gibbosa) sebesar 1,59 %. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kecing bunga
(Lithocarpus elegans) merupakan jenis yang paling banyak berada pada tingkat
tiang dan menunjukkan bahwa kecing bunga mempunyai kemampuan adaptasi
dan reproduksi yang tinggi pada tingkat tiang.
Dominansi relatif tertinggi pada tingkat pohon terdapat pada jenis samari
(Dacryodes rugosa) sebesar 31,59 % dengan jumlah sebanyak 25 pohon dan
dominansi terendah terdapat pada jenis (Porterandia anisophylla) sebesar 1,46 %.
Hal ini menunjukkan bahwa jenis samari (Dacryodes rugosa) merupakan jenis
yang paling banyak berada pada tingkat pohon dan menunjukkan bahwa samari
(Dacryodes rugosa) mempunyai kemampuan adaptasi dan reproduksi yang tinggi
pada tingkat pohon yang sesuai dengan pernyataan Ernayati dan Juliaty N (2007)
yang menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan kemampuan suatu jenis untuk
hidup dan menyesuaikan diri dengan keadaan tempat tumbuhnya dan masyarakat
tumbuhan yang ada disekitarnya.
Spesies dominan yang ditemui pada tingkat tiang dan tingkat pohon adalah
spesies dengan jumlah tertinggi pada lokasi tersebut. Kemampuan adaptasi yang
baik dan juga interaksi yang baik dengan komponen-komponen dalam ekosistem
tempat tumbuh suatu spesies menjadi faktor yang pendukung. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Kuswandi, dkk, (2015) yang menyatakan bahwa dominansi
suatu jenis menggambarkan tingkat dominansinya terhadap jenis-jenis lain dalam
Jenis-jenis yang mempunyai INP tertinggi berpeluang besar untuk dapat
mempertahankan pertumbuhan dan kelestarian jenisnya dan pernyataan Pratiwi
dan Garsetiasih (2007) yang menyatakan bahwa secara ekologis, nilai suatu
vegetasi ditentukan oleh fungsi spesies dominan, yang merupakan hasil interaksi
dari komponen-komponen yang ada di dalam ekosistem tersebut. Spesies dominan
merupakan spesies yang mempunyai nilai tertinggi di dalam ekosistem yang
bersangkutan.
Hasil analisi vegetasi yang dilakukan menunjukkan struktur dan komposisi
tumbuhan yang tumbuh pada Hutan Simpulan Angin. Hal ini sesuai pernyataan
Marsono (1977) yang menyatakan bahwa analisis vegetasi adalah suatu cara
mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk (struktur)
vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan.
Data yang disajikan pada Tabel 2. menunjukkan tentang tinggi bebas
cabang, diameter batang, tinggi tajuk, lebar lajuk dan panjang akar lateral yang
diamati pada 12 pohon sampel yang masing-masing mewakili spesies yang
tumbuh pada hutan simpulan angin. Pada bagian pengukuran panjang akar lateral
pada 12 jenis pohon sampel, diperoleh panjang masing-masing akar lateral.
Panjang akar lateral yang ditemukan dari tiap pengukuran tidak berbanding jauh
dengan lebar tajuk, hal ini membuktikan bahwa suplai air pada Hutan Simpulan
Angin masih memadai bagi tanaman, hal ini sesuai dengan pernyataan Song Ai
dan Torey (2013) yang menyatakan bahwa pada saat kekurangan air pertumbuhan
sistem perakaran umumnya meningkat, sedangkan pertumbuhan tajuk menurun .
Gardner,dkk, (1991) menyatakan bahwa akar merupakan organ vegetatif
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Walaupun memiliki sumbangan yang
sangat penting, sering kali akar tidak diperdulikan karena tidak tampak. Lakitan,
(1991) juga meyatakan bahwa akar merupakan pintu masuk bagi hara dan air dari
tanah, yang sangat penting untuk proses fisiologi pohon. Sehingga ketersedian
suplai air yang memadai dari humus hutan sangat mempengaruhi keadaan akar.
Ditinjau dari sisi ekosistem, Silalahi (1992) menyatakan bahwasannya hal
yang paling penting dari ekologi ini ialah konsep ekosistem. Ekosistem ialah suatu
sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup
dengan lingkungannya. Dalam sistem ini, semua komponen bekerja secara teratur
sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup (biotik) dan
tak hidup (abiotik) di suatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan
yang teratur. Keteraturan terjadi disebabkan adanya arus materi dan energi yang
terkendali oleh arus informasi antara komponendalam ekosistem itu. Keteraturan
ekosistem memungkinkan adanya keseimbangan tertentu dari ekosistem.
Sehingga keadaan ekosistem hutan baik akan mempengaruhi panjang akar lateral
pohon dengan baik.
Hasil analisis vegetasi yang dilakukan pada tingkat tiang dan pohon
menunjukkan adanya tiga Stratum yang menyusun lapisan tajuk pada Hutan
Simpulan Angin yakni Stratum A, Stratum B dan Stratum C. Masing-masing
Stratum dibedakan berdasarkan tinggi pohon, hal ini sesuai pernyataan Arief,
1994; Ewusie, 1990; Soerianegara dan Indrawan, 1998 yang masing-masing
menguraikan stratum hutan hujan tropis sebagai berikut:
1. Stratum A, yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh
pada stratum tersebut lebar, tidak bersentuhan ke arah horizontal dengan
tajuk pohon lainnya dalam stratum yang sama, sehingga stratum tajuk itu
berbentuk lapisan diskontinu. Pohon pada stratum A umumnya berbatang
lurus, batang bebas cabang tinggi, dan bersifat intoleran (tidak tahan
naungan). Menurut Ewuise (1994), sifat khas bentuk-bentuk tajuk pohon
tersebut sering digunakan untuk identifikasi spesies pohon dalam suatu
daerah.
2. Stratum B, yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh
pepohonan yang tingginya 20-30 m. Bentuk tajuk pohon pada stratum B
membulat atau memanjang dan tidak melebar seperti pada tajuk pohon
pada stratum A. Jarak antar pohon lebih dekat, sehingga tajuk-tajuk
pohonnya cenderung membentuk lapisan tajuk yang kontinu. Spesies
pohon yang ada, bersifat toleran (tahan naungan) atau kurang memerlukan
cahaya. Batang pohon banyak cabangnya dengan batang bebas cabang
tidak begitu tinggi.
3. Stratum C, yaitu tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang
tingginya 4-20 m. Pepohonan pada stratum C mempunyai bentuk tajuk
yang berubah-ubah tetapi membentuk suatu lapisan tajuk yang tebal.
Selain itu, pepohonannya memiliki banyak percabangan yang tersusun
dengan rapat, sehingga tajuk pohon menjadi padat. Menurut Vickery
(1984), pada stratum C, pepohonan juga berasosiasi dengan berbagai
populasi epipit, tumbuhan memanjat dan parasit.
4. Stratum D, yaitu lapisan tajuk ke empat dari atas yang dibentuk oleh
stratum ini juga terdapat dan dibentuk oleh spesies pohon yang masih
muda atau dalam fase anakan (seedling), terdapat palma-palma kecil,
herba besar, dan paku-pakuan besar.
5. Stratum E, yaitu tajuk paling bawah atau lapisan ke lima dari atas yang
dibentuk oleh spesies-spesies tumbuhan penutup tanah (groun cover) yang
tingginya 0-1 m. Keadaan spesies pada stratum E lebih sedikit
dibandingkan dengan stratum lainnya.
Adanya lapisan-lapisan Stratum yang terdapat pada hutan sangat berperan
sebagi kanopi bagi hutan yang dapat memperkecil debit air yang langsung jatuh
ke lantai hutan pada saat hujan terjadi di daerah hutan. Lengkapnya seluruh
Stratum dan semakin banyaknya jumlah pohon yang terdapat pada setiap Stratum
akan semakin memperkecil debit air hujan yang langsung akan jatuh pada lantai
hutan saat hujan, hal ini di sebabkan lapisan-lapisan Stratum yang terdapat pada
hutan mampu menahan dan memperkecil debit air hujan yang jatuh sehingga tidak
langsung jatuh kepermukaan lantai hutan.
Dari data yang disajikan pada Gambar .6 yang menunjukkan data tentang
ketebalan humus pada Hutan Simpulan Angin, maka diperoleh data ketebalan
humus dari tiap petak contoh dengan ketebalan humus yang tertinggi ditemukan
pada jalur satu petak dua yakni sebesar 13 cm, sedangkan ketebalan humus hutan
yang terendah ditemukan pada jalur dua petak tiga, jalur tiga petak lima dan jalur
lima petak dua dan lima yakni sebesar 7 cm yang menunjukkan keadaan dan
komposisi vegetasi dari hutan simpulan angin sebagai salah satu bahan pembentuk
Komposisi vegetasi hutan yang baik akan mempengeruhi unsur-unsur
lain yang ada pada hutan, salah satunya yaitu keadaan dari humus hutan yang
terdapat pada hutan tersebut, adapun humus yang tersedia berasal dari vegetasi
yang tumbuh pada hutan tersebut. Pada analisi vegetasi yang dilakukan pada
hutan simpulan angin dapat diketahui bahwa ada 12 jenis tumbuhan yang tumbuh
mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon dengan masing-masing INP
yang berbeda-beda, yang dimana vegetasi yang tumbuh pada hutan tersebut akan
menjadi bahan pembentuk humus hutan kedepannya, hal ini sesuai dengan
pernyataan Hakim, dkk, (1986) yang menyatakan bahwa humus merupakan
senyawa kompleks agak resisten terhadap pelapukan, berwarna cokelat, amorfus
bersifat kolodial dan berasal dari jaringan tumbuhan atau binatang yang telah
dimodifikasikan dan disintesiskan oleh berbagai jasad renik. Yamani (2010) juga
menyatakan bahwa banyaknya jenis dan jumlah tanaman diduga juga dapat
memberikan banyak kontribusi bagi kesuburan tanah, baik secara fisik maupun
kimia pada tanah dibawahnya.
Ketersediaan humus hutan sebagai salah satu komponen penyusun hutan
yang memadai akan memberiakan manfaat tersendiri bagi ekosistem hutan, yang
dimana hutan dengan segala komponennya memiliki fungsi, seperti yang
dinyatakan Kuswanda dan Antoko (2008) bahwa hutan merupakan suatu kawasan
yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Hutan dapat
berfungsi sebagai penampung karbondoksida (carbon dioxide sink), habitat satwa
liar, modulator arus hidrologika, pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek
biosfera bumi yang paling penting. Sebagai modulator arus hidrologika, humus
guna memenuhi kebutuhan air bagi tumbuhan. Seperti yang tersaji dalam Pada
Tabel 3. Tentang data persentase dari kemampuan penyerapan air pada humus,
dengan nilai persentase tiap ulangan tidak berbeda jauh dengan ulangan lainnya,
maka diperoleh nilai rata-rata persentase kapasitas lapang sebesar 646,169 %. Hal
ini sesuai dengan pernyataan dari Nopandry dkk (2005) yang menyatakan bahwa
humus merupakan bagian dari komponen penyusun hutan yang memiliki fungsi
tersendiri dalam menjaga keseimbanagan alam. Tanpa humus, maka hutan akan
kehilangan fungsinya dalam menjaga kestabilan siklus hidrologi dan daur hara
tanah.
Stratum yang beragam dan lengkap serta ditumbuhi banyak pohon dan
tanaman sebagi komposisi penyusun yang dibantu dengan ketersediaan humus
hutan yang memadai akan sangat memperkecil terjadinya aliran permukaan yang
terjadi pada hutan. Hal ini terjadi karena hadirnya Stratum sebagai kanopi hutan
yang memperkecil debit air yang selanjutnya ketersediaan humus hutan pada
dasar lantai hutan yang juga memiliki kemampuan penyerapan air, sehingga
dengan demikian akan memperkecil terjadinya limpasan permukaan dan
mencegah terjadinya banjir. Tersedianya Stratum yang baik dan humus hutan
yang memadai menjadikan hutan tidak mengalami banjir seperti yang sering kali
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Keadaan hutan yang baik dan belum terganggu yang tersusun dari
berbagai macam faktor yang diantaranya adalah stratum yang menjadi atap
hutan dan humus hutan sebagai lantai hutan, berperan memperkecil debit
air pada saat hujan sehingga memperkecil limpasan permukaan dan
mencegah banjir pada hutan.
2. Panjang lateral pada pohon hutan yang belum terganggu keadaannya tidak
berbeda jauh dengan lebar tajuk dikarenakan suplai air dan hara yang
dibutuhkan tanaman melalui akar lateral masih terpenuhi.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor lain yang
terdapat pada hutan yang berfungsi mencegah terjadinya banjir pada hutan pada
saat hujan dan perlunya penelitian lanjutan guna menerapkan sistem yang terjadi
pada hutan dalam penanggulangan banjir di hutan untuk mengatasi banjir di
TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi
Sundawati (2004) menyatakan bahwa ekologi sering disebut sebagai
biologi lingkungan karena ekologi menekankan bagaimana fakto-faktor luar
mempengaruhi organisme. Lingkungan adalah suatu kombinasi khusus dari
keadaan luar yang mempengaruhi organisme. Pertumbuhan, perkembangan dan
reproduksi organisme dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan berarti semua
faktor eksternal yaitu bersifat biologi dan fisik.
Hal yang paling penting dari ekologi ini ialah konsep ekosistem.
Ekosistem ialah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik
antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Dalam sistem ini, semua komponen
bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh komponen
hidup (biotik) dan tak hidup (abiotik) di suatu tempat yang berinteraksi
membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan terjadi disebabkan adanya
arus materi dan energi yang terkendali oleh arus informasi antara komponendalam
ekosistem itu. Keteraturan ekosistem memungkinkan adanya keseimbangan
tertentu dari ekosistem Silalahi (1992)
Hutan
Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh-tumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan dibumi ini. Hutan juga merupakan suatu asosiasi dari tumbuh-tumbuhan yang sebagian besar terdiri atas pohon-pohon atau vegetasi berkayu yang menempati areal luas. Hutan juga sebagai suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon da mempunyai keadaan lingkungan berbeda dengan keadaan di luar hutan. Di dalam hutan juga akan terjadi persaingan antar anggota-anggota yang hidup saling berdekatan, misalnya persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, sinar matahari, ataupun tempat tumbuh. Persaingan tidak hanya terjadi pada tumbuhan saja, tetapi juga pada binatang (Arief, 2001).
Fungsi hutan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh manusia dalam memanipulasi penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan kehidupan dan lingkungan. Dengan diterimanya posisi masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan sumberdaya hutan di semua fungsi hutan (produksi, lindung, dan konservasi), maka semangat dan kesadaran masyarakat dapat didorong untuk membangun, memelihara, dan memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari. Ketergantungan antara hutan dan masyarakat dapat dilihat dari ketergantungan masyarakat terhadap produksi dan jasa hasil hutan. Hutan sebagai sumberdaya juga memerlukan masyarakat untuk pengelolaannya (Awang, 2004).
Hutan mempunyai banyak manfaat (multi benefit) yang sangat berguna
bagi kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Manfaat hutan luar
biasa besarnya selain menyediakan kayu dan produk-produk lainnya, hutan
menyimpan sejumlah besar informasi genetik, mengatur iklim dan tata air,
melindungi dan memperkaya tanah, mengendalikan hama dan penyakit, mengatur
air, menyediakan pemandangan indah dan memperkaya kita secara spritual
(Santoso dan Robert, 2002).
Struktur dan Komposisi Hutan
Struktur merupakan lapisan vertikal dari suatu komunitas hutan dalam
komunitas selalu terjadi kehidupan bersama saling menguntungkan sehingga
dikenal adanya lapisan-lapisan bentuk kehidupan (Syahbudin, 1987). Selanjutnya
(Daniel, dkk,1992), menyatakan struktur tegakan atau hutan menunjukkan sebaran
umur atau kelas diameter dan kelas tajuk.
Komposisi hutan merupakan penyusun suatu tegakan atau hutan yang meliputi
jumlah jenis spesies maupun banyaknya individu dari suatu jenis tumbuhan
(Wirakusuma, 1980). Komposisi hutan sangat ditentukan oleh faktor-faktor
kebetulan, terutama waktu-waktu pemencaran buah dan perkembangan biji. Pada
daerah tertentu komposisi hutan berkaitan erat dengan ciri habitat dan topografi
(Damanik,dkk, 2010).
Masing-masing menguraikan stratum hutan hujan tropis sebagai berikut.
1. Stratum A, yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh
pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Pada umumnya tajuk pohon
pada stratum tersebut lebar, tidak bersentuhan ke arah horizontal dengan
tajuk pohon lainnya dalam stratum yang sama, sehingga stratum tajuk itu
berbentuk lapisan diskontinu. Pohon pada stratum A umumnya berbatang
lurus, batang bebas cabang tinggi, dan bersifat intoleran (tidak tahan
naungan). Menurut Ewuise (1994), sifat khas bentuk-bentuk tajuk pohon
tersebut sering digunakan untuk identifikasi spesies pohon dalam suatu
2. Sratum B, yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan
yang tingginya 20-30 m. Bentuk tajuk pohon pada stratum B membulat
atau memanjang dan tidak melebar seperti pada tajuk pohon pada stratum
A. Jarak antar pohon lebih dekat, sehingga tajuk-tajuk pohonnya
cenderung membentuk lapisan tajuk yang kontinu. Spesies pohon yang
ada, bersifat toleran (tahan naungan) atau kurang memerlukan cahaya.
Batang pohon banyak cabangnya dengan batang bebas cabang tidak begitu
tinggi.
3. Stratum C, yaitu tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang
tingginya 4-20 m. Pepohonan pada stratum C mempunyai bentuk tajuk
yang berubah-ubah tetapi membentuk suatu lapisan tajuk yang tebal.
Selain itu, pepohonannya memiliki banyak percabangan yang tersusun
dengan rapat, sehingga tajuk pohon menjadi padat. Menurut Vickery
(1984), pada stratum C, pepohonan juga berasosiasi dengan berbagai
populasi epipit, tumbuhan memanjat dan parasit.
4. Stratum D, yaitu lapisan tajuk ke empat dari atas yang dibentuk oleh
spesies-spesies tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1-4 m. Pada
stratum ini juga terdapat dan dibentuk oleh spesies pohon yang masih
muda atau dalam fase anakan (seedling), terdapat palma-palma kecil,
herba besar, dan paku-pakuan besar.
5. Stratum E, yaitu tajuk paling bawah atau lapisan ke lima dari atas yang
dibentuk oleh spesies-spesies tumbuhan penutup tanah (groun cover) yang
tingginya 0-1 m. Keadaan spesies pada stratum E lebih sedikit
(Arief, 1994; Ewusie, 1990; Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau
komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat
tumbuh-tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan
penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis,
diameter, dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun
komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi
kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.
Kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan
dominasi setiap jenis (Marsono 1977).
Analisis vegetasi berfungsi untuk mengetahui struktur vegetasi dan
komposisi jenis tumbuhan. Menurut Fachrul (2007), analisis vegetasi dapat juga
digunakan untuk mengetahui pengaruh dampak lingkungan merupakan suatu cara
pendekatakan yang khas, karena pengamatan terhadap berbagai aspek vegetasi
yang dilakukan harus secara mendetail dan terdiri atas vegetasi yang belum
terganggu (alamiah). Aspek-aspek vegetasi yang perlu diketahui antara lain:
a. Ada atau tidaknya jenis tumbuhan tertentu,
b. Luas basal area,
c. Luas daerah penutup (cover),
d. Frekuensi,
e. Kerapatan,
f. Dominansi,
Analisis vegetasi yang dilakukan pada area luas tertentu umumnya
berbentuk segi empat, bujur sangkar, lingkaran serta titik-titik. Untuk tingkat
semai serta tumbuhan bawah yang rapat digunakan petak contoh titik atau bentuk
kuadrat untuk tumbuhan yang tidak rapat.
Humus Hutan
Humus merupakan senyawa kompleks agak resisten terhadap pelapukan,
berwarna cokelat, amorfus bersifat kolodial dan berasal dari jaringan tumbuhan
atau binatang yang telah dimodifikasikan dan disintesiskan oleh berbagai jasad
renik. Penggunaan humus sebagai media tanam pembibitan sangat baik karena
humus adalah bahan organik yang telah mengalami dekomposisi akan
berpenagruh terhadap pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap sifat
fisika, kimia dan biologi tanah. Selain itu merupakan sumber N, P, K dan S serta
karbon sekitar 55%-60% yang diperlukan tanaman untuk pertumbuhannya
(Hakim, dkk, 1986).
Humus merupakan bagian dari komponen penyusun hutan yang memiliki
fungsi tersendiri dalam menjaga keseimbanagan alam. Tanpa humus, maka hutan
akan kehilangan fungsinya dalam menjaga kestabilan siklus hidrologi dan daur
hara tanah. Pengambilan humus hutan oleh masyarakat merupakan gangguan
terhadap kestabilan fungsi hutan. Berbagai dampak kelak di kemudian hari akan
timbul bila permasalahan ini tidak pernah diselesaikan dengan pendekatan dan
tinjauan yang ilmiah (Nopandry, dkk, 2005).
Bahan organik berperan dalam perbaikan sifat fisik dan kimia tanah.
Peranannya terhadap perbaikan sifat fisik menyangkut pemeliharaan struktur
dan kapasitas tanah menyimpan air (water holding capacity), serta meningkatkan
daya retensi air. Adapun peranan bahan organik terhadap perbaikan sifat kimia,
diantaranya menyangkut peningkatan kapasitas tukar kation atau cation exchange
capacity (CEC), dan pelepasan unsur N, P, S dan unsur-unsur hara mikro dalam
proses mineralisasinya. Disamping itu, bahan organik dapat mengimmobilisasi
bahan-bahan kimia buatan yang diberikan ke tanah sehingga tidak memberi
dampak merugikan terhadap pertumbuhan tanaman, mengkomplek logam-logam
berat sehingga mengurangi tingkat pencemaran terhadap tanah dan air tanah, serta
meningkatkan kapasitas sangga (buffer capacity) tanah. Bahan organik tanah
merupakan indikator kunci kualitas tanah, baik untuk fungsi pertanian (produksi
dan ekonomi) maupun fungsi lingkungan. Kandungan bahan organik tanah
merupakan penentu aktivitas biologi tanah. Jumlah, keragaman dan aktivitas
fauna dan mikrobia tanah secara langsung berhubungan dengan bahan organik.
Agregasi dan kestabilan struktur tanah meningkat dengan meningkatnya
kandungan bahan organik tanah (Nurmi, 2005).
Akar
Akar merupakan organ vegetatif utama yang memasok air, mineral dan
bahan-bahan yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Walaupun memiliki sumbangan yang sangat penting, sering kali akar tidak
diperdulikan karena tidak tampak (Gardner,dkk,1991).
Akar merupakan pintu masuk bagi hara dan air dari tanah, yang sangat
penting untuk proses fisiologi pohon. Dengan demikian apabila fungsi akar
terganggu maka pertumbuhan bagian pucuk akan terganggu pula.Untuk dapat
Dari permukaan akar ini air (bersama bahan-bahan terlarut) diangkut menuju
pembuluh xylem. Lintasan pergerakan air dari permukaan akar menuju pembuluh
xylem ini disebut lintasan radial pergerakan air. Xylem dan floem dikelilingi oleh
satu lapisan sel-sel yang hidup yang disebut perisikel. Jaringan vaskular dan
perisikel membentuk suatu tabung yang disebut stele. Ujung akar akan terus
tumbuh di dalam tanah. Hal ini tentunya juga akan memperluas permukaan kontak
antara akar dan tanah. Juga memperluas wilayah penjelajahan akar di dalam tanah.
Pada bagian ujung akar terdapat tudung akar yang berfungsi melindungi sel-sel
meristematik pada bagian ujung akar tersebut (Lakitan, 1991).
Pertumbuhan akar sangat dipengaruhi oleh keadaan fisik tanahnya. Adanya
pemadatan tanah, misalnya yang ditimbulkan oleh kegiatan eksploitasi, akan
merubah struktur tanah dan pori-pori tanah, sehingga kandungan air tanahpun ikut
berubah. Karena tanah merupakan tempat berkembangnya akar pohon serta
interaksi hara dengan pohon, maka pemadatan tanah dan kandungan air tanah
akan mempengaruhi pertumbuhan akar pohon. Pada tingkat berapa kepadatan
tanah dan kandungan air tanah tersebut bisa mengganggu pertumbuhan
akar.Sistem pembuluh pada akar berkembang secara terpisah dari organ lateral
dan prokambium berkembang secara akropetal sebagai kelanjutan tak terputus
jaringan pembuluh pada bagian-bagian akar yang lebih matang. Diferensiasi dan
pematangan xilem dan floem juga secara akropetal dan mengikuti proses pada
prokambium. Pada umumnya diferensiasi jaringan akar dibelakang promaristem
apikal dapat dirangkum sebagai berikut : pembelahan periklinal dalam korteks
berhenti dekat tingkatan dengan unsur tipis menjadi matang; diluar daerah ini akar
berlangsung pada saat proses pemanjangan hampir selesai; jalur caspari
berkembang dalam sel-sel endodermis sebelum pematangan unsur-unsur
protoxilem dan pada umumnya juga sebelum timbulnya rambut-rambut akar
(Bardgett, 1989).
Akar lateral adalah bagian organ yang penting peranannya bagi
pertumbuhan tanaman karena pada bagian ini terdapat bulu-bulu akar yang
berfungsi untuk meyerap air dan unsur hara dari dalam tanah. Apabila akar lateral
berkembang dengan baik maka penyerapan unsur hara dan air akan baik pula
sehingga kebutuhan tanaman akan terpenuhi dan semakin banyak akar lateral
maka semakin banyak pula jumlah bulu-bulu akar sehingga luas bidang
penyerapan air dan mineral bagi tanaman makin besar pula Kartika (1997).
Perbandingan tajuk akar mempunyai pengertian bahwa pertumbuhan suatu
tanaman diikuti dengan pertumbuhan bagian tanaman lainnya, dimana tajuk akan
meningkat secara rasio tajuk akar mengikuti peningkatan berat akar. Namun,
pertumbuhan tajuk dan akar dapat berjalan secara seimbang, sehingga nilai rasio
akar : tajuk tidak dapat menentukan pertumbuhan yang optimum. Nilai rasio akar
: tajuk menunjukkan pertumbuhan yang dominan ke tajuk atau ke perakaran
(Gardner, dkk, 1991).
Penelitian ini dilaksankan di Hutan Simpulan Angin Kabupaten Deli
Serdang. Suhu rata-rata 26º c dan curah hujan 3500mm. Iklimnya sejuk, Bulan
Januari sampai dengan akhir Bulan Desember mempunyai musim sebagai berikut
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini hampir pada seluruh wilayah perkotaan yang ada di Indonesia
sering kali mengalami bencana banjir yang muncul pada saat musim hujan tiba.
Hal ini tidak terjadi pada masa-masa lampau dimana kepadatan penduduk masih
terbilang jarang. Banjir banyak melanda daerah pusat perkotaan sehingga
mengganggu aktivitas masyarakat dikarenakan menggenangi pemukiman
penduduk, pusat pemerintahan, dan pusat-pusat perdagangan.
Pengertian banjir secara umum adalah apabila daratan yang biasanya
kering menjadi terbenam oleh air yang berasal dari sumber-sumber air disekitar
daerah tersebut dan bersifat sementara. Kejadian banjir mengisyaratkan telah
terjadi ketidakseimbangan di alam. Berdasarka tinjauan secara ekologis banjir
adalah peristiwa fisik yang terjadi di dalam lingkungan manusia, yang bisa
mengancam keberadaan manusia sebagai organisme. Banjir memepengaruhi
hidup manusia, sedangkan manusia adalah penyebaba langsung atau tidaknya
banjir (Sudaryoko, 1987).
Keadaan banjir terjadi ketika ketidakcukupan antara kapasitas
pembuangan air yang tidak sebanding lagi dengan ketersediaan air yang harus
dibuang. Besarnya pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan yang mendirikan
bangunan, merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya
bencana banjir di perkotaan. Berdirinya bangunan-bangunan pada daerah
perkotaan akan menurunkan laju infiltrasi tanah, sehingga meningkatkan debit
Pertumbuhan kepadatan penduduk yang akan terus bertambah, terkhusus
pada daerah perkotaan yang rawan terkena bencana banjir pada saat musim hujan
mengajak dilakukannya penelitian ini untuk mempelajari kondisi hidrologi yang
terjadi pada hutan alam. Kondisi hidrologi yang terdapat pada hutan alam yang
belum terganggu, menjadikan hutan alam tidak pernah mengalami banjir seperti
yang ada pada daerah perkotaan.
Tata cara hutan memperlakukan air perlu dipelajari untuk mengetahui
bagaimana hutan dalam memperoleh air hujan, menyimpan dan meresapkannya
ke dalam tanah. Hutan alam yang tidak terganggu memiliki kemampuan yang
cukup baik dalam mengendalikan air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santoso
dan Robert (2002) yang menyatakan bahwa manfaat hutan luar biasa besarnya
selain menyediakan kayu dan produk-produk lainnya, hutan menyimpan sejumlah
besar informasi genetik, mengatur iklim dan tata air, melindungi dan memperkaya
tanah, mengendalikan hama dan penyakit, mengatur penyerbukan tumbuhan
bermanfaat dan menyebarkan benihnya, menjaga kualitas air, menyediakan
pemandangan indah dan memperkaya kita secara spiritual.
Hutan Simpulan Angin merupakan hutan alam yang masih dijaga
kelestariannya serta masih dianggap keramat oleh masyarakat yang bermukin
disekitar hutan. Masyarakat Desa Perkentangen sebagai salah satu kelompok
masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan hutan simpulan angin,
berpandangan apabila keadaan hutan Simpulan Angin terjaga tentu juga akan
memberikan dampak baik terhadap keadaan mereka yang hidup di daerah yang
Masyarakat Desa Perkentangen paham apabila hutan Simpulan Angin
masih terjaga kelestariannya, maka lahan pertanian yang mereka miliki akan tetap
terhindar dari berbagai bencana, baik longsor maupun banjir dan juga gangguan
hewan-hewan yang ada di dalam hutan. Masyarakat selalu berusaha menjaga dan
membatasi aktifitas yang dapat merugikan terhadap keadaan hutan simpulan
angin, seperti penebangan terhadap pohon yang ada, pembakaran lahan, perburuan
atau pengambilan humus hutan dan .
Hutan Simpulan Angin juga tetap terjaga kelestariannya dikarena pada
lokasi hutan ini tidak ditemukannya lokasi yang dapat dijadikan sebagai tempat
rekreasi atau camping, seperti pada bukit ataupun gunung lain yang sering
digunakan sebagai tempat rekreasi atau camping. Hal ini tentunya semakin
memperkecil aktifitas manusia pada lokasi hutan dan pengrusakan terhadap hutan,
sehingga keadaan alami pada hutan Simpulan Angin tetap terjaga.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi vegetasi dan tajuk
hutan alam yang belum terganggu yang dilaksanakan pada hutan Simpulan Angin.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi
vegetasi dan tajuk hutan alam yang belum terganggu sehingga hasil yang
diperoleh dapat digunakan sebagai cara untuk menanggulangi masalah-masalah
ABSTRAK
CHRISTOVORUS SINTONG SITUMORANG: Kajian Kondisi Vegetasi Dan Tajuk
Hutan Alam Yang Belum Terganggu. Dibimbing oleh BUDI UTOMO dan AFIFUDDIN
DALIMUNTHE.
Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Simpulan Angin Kabupaten Deli Serdang. Yang bertujuan untuk mengetahui kondisi vegetasi dan tajuk hutan alam yang belum terganggu. Penelitian ini adalah suatu langkah awal untuk mengkaji kondisi hutan alam yang belum terganggu yang tidak mengalami banjir pada saat hujan. Faktor yang diamati dalam penelitian ini yaitu vegetasi yang tumbuh pada hutan dan humus hutan serta panjang akar lateral pada pohon sampel.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 12 jenis vegetasi yang tumbuh pada Hutan Simpulan Angin. Ketersedian humus hutan yang memadai di lantai hutan mampu berperan besar dalam penyerapan air. Panjang akar lateral pada 12 pohon sampel yang tumbuh Hutan Simpulan Angin tidak berbanding jauh dengan lebar tajuk pohon yang diamati.
ABSTRACT
CHRISTOVORUS SINTONG SITUMORANG: Condition Assessment Heading Natural Forest Vegetation And The Not Impaired. Supervised by BUDI UTOMO and AFIFUDDIN DALIMUNTHE.
This research was conducted at the Simpulan Angin Forest Deli Serdang. Which aims to determine the condition of the vegetation and the natural forest canopy undisturbed. This study is a first step to assess the condition of natural forests undisturbed were not flooded during the rains. Factors that observed in this study is the vegetation that grows in the forest and forest humus and root length lateral on the sample tree.
The results showed that there are 12 types of vegetation growing on the Simpulan Angin Forest. Availability of adequate forest humus on the forest floor is able to play a major role in the absorption of water. Lateral root length at 12 sample trees that grow Simpulan Angin Forest was not much compared with the observed width of the tree canopy.
KAJIAN KONDISI VEGETASI DAN TAJUK HUTAN ALAM
YANG BELUM TERGANGGU
SKRIPSI
CHRISTOVORUS SINTONG SITUMORANG 121201047
BUDIDAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Kajian Kondisi Vegetasi Dan Tajuk Hutan Alam Yang Belum
Terganggu
Nama : Christovorus Sintong Situmorang
NIM : 121201047
Program studi : Kehutanan
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Dr. Budi Utomo, S.P., M.P Afifuddin Dalimunthe, S.P.,
M.P NIP.197008202003121002 NIP.197311052002121001
Mengetahui
Ketua Program Studi Kehutanan
ABSTRAK
CHRISTOVORUS SINTONG SITUMORANG: Kajian Kondisi Vegetasi Dan Tajuk
Hutan Alam Yang Belum Terganggu. Dibimbing oleh BUDI UTOMO dan AFIFUDDIN
DALIMUNTHE.
Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Simpulan Angin Kabupaten Deli Serdang. Yang bertujuan untuk mengetahui kondisi vegetasi dan tajuk hutan alam yang belum terganggu. Penelitian ini adalah suatu langkah awal untuk mengkaji kondisi hutan alam yang belum terganggu yang tidak mengalami banjir pada saat hujan. Faktor yang diamati dalam penelitian ini yaitu vegetasi yang tumbuh pada hutan dan humus hutan serta panjang akar lateral pada pohon sampel.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 12 jenis vegetasi yang tumbuh pada Hutan Simpulan Angin. Ketersedian humus hutan yang memadai di lantai hutan mampu berperan besar dalam penyerapan air. Panjang akar lateral pada 12 pohon sampel yang tumbuh Hutan Simpulan Angin tidak berbanding jauh dengan lebar tajuk pohon yang diamati.
ABSTRACT
CHRISTOVORUS SINTONG SITUMORANG: Condition Assessment Heading Natural Forest Vegetation And The Not Impaired. Supervised by BUDI UTOMO and AFIFUDDIN DALIMUNTHE.
This research was conducted at the Simpulan Angin Forest Deli Serdang. Which aims to determine the condition of the vegetation and the natural forest canopy undisturbed. This study is a first step to assess the condition of natural forests undisturbed were not flooded during the rains. Factors that observed in this study is the vegetation that grows in the forest and forest humus and root length lateral on the sample tree.
The results showed that there are 12 types of vegetation growing on the Simpulan Angin Forest. Availability of adequate forest humus on the forest floor is able to play a major role in the absorption of water. Lateral root length at 12 sample trees that grow Simpulan Angin Forest was not much compared with the observed width of the tree canopy.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 22 April 1994 dari ayah Drs.
Ganda T Situmorang dan ibu Veronica R Simarmata. Penulis merupakan putra
pertama dari tiga bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak Swasta St. Maria
Sidikalang pada tahun 2000, dan pendidikan tingkat Sekolah Dasar Swasta St.
Yosef Sidikalang tahun 2006, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama
Swasta St. Paulus Sidikalang tahun 2009, pendidikan tingkat Sekolah Menengah
Atas dari SMA Swasta St. Petrus Sidikalang 2012 dan pada tahun yang sama
masuk ke Program Studi Kehutanan Universitas Sumatera Utara melalui jalur
tertulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Pada
semester VII memilih minat studi Budidaya Hutan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Rimbawan
Pecinta Alam (RIMBAPALA) USU dan menjabat sebagai Sekretaris Badan
Pengurus Harian periode tahun 2013-2015 dan sebagai Majelis Perwakilan
RIMBAPALA periode tahun 2015-2016. Penulis mengikuti Praktik Pengenalan
Ekosistem Hutan (P2EH) di Pulau Sembilan Kabupaten Langkat selama 10 hari.
Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani KPH
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang atas berkat dan rahmat serta karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Kajian Kondisi Vegetasi Dan Tajuk Hutan Alam Yang Belum Terganggu”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi vegetasi dan tajuk hutan alam yang belum terganggu di Hutan Simpulan Angin.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih kepada:
1. Dr. Budi Utomo, S.P., M.P dan Afifuddin Dalimunthe, S.P., M.P selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberi masukan dan saran berharga dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Orang tua tercinta (Drs. Ganda T Situmorang dan Veronica R Simarmata) yang telah membesarkan dan mendidik penulis selama ini serta selalu memberi dukungan, doa dan motivasi untuk tetap semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Uwak Dameria Rita Simarmata dan Elisabeth Simarmata yang selalu membimbing dan menjadi wali saya selama masa perkuliahan .
4. Adik-adik tercinta William Christanto Situmorang dan Cecilia Situmorang. 5. RIMBAPALA KEHUTANAN USU terkhusus teman seperjuangan dan
seangkatan saya di RSH (RIMBAPALA SELALU di HATI) Indra Elieser Permana Sembiring dan Alamsyah Pohan.
6. Teman-teman kelas HUT B 2012 (BIMBO) terkhusus Oscard Pardosi, Andre Pratama Ginting, Krisdianto Damanik dan Tommy Silaen.
7. Semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Kehutanan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Ekologi ... 4
Hutan ... 4
Struktur dan Komposisi Hutan ... 6
Analisis Vegetasi ... 8
Humus Hutan ... 9
Akar ... 10
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 14
Peralatan Penunjang Penelitian ... .14
Prosedur Penelitian ... 14
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 19
Kekayaan Jenis ... 19
Dominansi ... 22
Pengukuran Panjang Akar Lateral ... 23
Ketebalan Humus ... 32
Kemampuan Penyerapan Air Oleh Humus ... 33
Pembahasan ... 34
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 42
Saran ... 42
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Denah Lokasi Penelitian ... 13
2. Sketsa Pohon Strombosia javanica, Schima wallichi, Sapium baccatum, Altingia
excelsa, Canarium litturales, Macaranga tanarius ... 24
3. Sketsa Pohon Lithocarpus elegans, Dacreyodes rugosa, Castanopsis motleyana,
Porterandia anisophylla, Actinodaphe glomerata, Shorea gibbosa ... 25
4. Grafik perbandingan Lebar Tajuk dan Panjang Akar Lateral pada Pohon Strombosia
javanica, Schima wallichi, Sapium baccatum, Altingia excelsa, Canarium littorale, Macaranga tanarius. ... 26
5. Grafik perbandingan Lebar Tajuk dan Panjang Akar Lateral pada Pohon Lithocarpus
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.Beberapa Spesies Hasil Analisis Vegetasi ... 46
2. Pengukuran Ketebalan Humus ... 46
3. Penggalian Akar ... 46
4. Pengukuran Panjang Akar ... 46
5. Macam-Macam Jenis Akar Pohon ... 47
6. Pengukuran Kemampuan Penyerapan Air ... 49
7. Data Tingkat Tiang di Hutan Simpulan Angin ... 50