• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Pengembang Perumahan Terhadap Konsumen Perumahan Dalam Perjanjian Jual Beli Rumah Yang Dilakukan Antara Pengembang Perumahan Dengan Konsumen Perumahan (Studi Di PT. Berkah Tawakkal)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Pengembang Perumahan Terhadap Konsumen Perumahan Dalam Perjanjian Jual Beli Rumah Yang Dilakukan Antara Pengembang Perumahan Dengan Konsumen Perumahan (Studi Di PT. Berkah Tawakkal)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL WAWANCARA

A. Wawancara dengan Bapak Endang Harcipta

Wawancara dengan Bapak Endang Harcipta selaku Direktur Utama PT Berkah Tawakkal, dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu :

1. Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 18 Nopember 2015 di Medan a. Apakah yang menjadi latar belakang PT Berkah Tawakkal

membangaun perumahan di Rantauprapat?

Latar belakang PT Berkah Tawakkal membangun perumahan di Rantauprapat adalah karena peluang bisnis yang begitu menjanjikan, dimana tingginya permintaan rumah dan semakin modernnya gaya hidup masyarakat Rantauprapat ingin tinggal dikawasan perumahan. b. Kapan PT Berkah Tawakkal memulai usaha perumahan?

Perumahan ““Azzahra Residence”” dimulai pada awal tahun 2011, dengan berbadan hukum CV. Indra Jaya. Kemudian karena kebutuhan akan kerja sama dengan Bank BTN selaku kreditur perumahan, maka diubahlah badan hukumnya menjadi PT. Berkah Tawakkal.

c. Dimana lokasi perumahan ““Azzahra Residence””?

Perumahan “Azzahra Residence” terletak dijalan Sampurna disamping jalan kampus universitas UNIVA. Lokasi ini sangat strategis karena dikelilingi oleh sekolah-sekolah ternama mulai tinggkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.

d. Bagaimana cara memasarkan rumah yang dibangun oleh pengembang?

Pada awalnya (sebelum launching) pengembang perumahan memasarkan rumah kepada kawan-kawan atau kerabat dekat manajemen PT Berkah Tawakkal, kemudian dilaunching kemasyarakat umum.

(2)

beli rumah adalah kepercayaan dan kekeluargaan.

2. Wawancara kedua dilakukan pada tanggal 30 Nopember 2015 di Rantauprapat

a. Bagaimana tanggung jawab pengembang perumahan dalam perjanjian jual beli rumah?

Tanggung jawab pengembang perumahan (developer) kepada konsumen sebenarnya tidak hanya terpaku pada isi perjanjian jual beli rumah saja, tetapi secara umum tanggung jawab pengembang perumahan (developer) sudah ada sejak pengembang ingin membangun rumah. Pengembang perumahan (developer) bertanggung jawab untuk mengurus segala persyaratan dan perijinan

yang diperlukan sebelum membangun perumahan “Azzahra

Residence”.

b. Mengapa ada klausula :

“Perjanjian yang telah disepakati tidak dapat dibatalkan oleh pihak

pemilik dalam hal ini pengembang perumahan”

Klausula diatas membuktikan komitmen pihak pengembang dalam melakukan pembangunan dan penjualan rumah. Sehingga konsumen melihat kesungguhan pengembang.

“Tanda jadi atau Down Payment yang telah dibayarkan oleh pembeli

tidak dapat ditarik kembali jika pembeli membatalkan perjanjian

secara sepihak”

Klausula tersebut sebagai balasan klausula sebelumnya, dan sebagai bukti keseriusan pihak pembeli dalam melaksankan perjanjian jual beli rumah.

c. Apakah pernah terjadi sengketa dalam dalam melaksanakan perjanjian?

(3)

Sekalipun dikemudian hari timbul masalah antara pihak pengembang dengan konsumen, maka pengembang akan menyelesaikan masalah tersebut dengan cara musyawarah (kekeluargaan) dengan konsumen.

B. Wawancara dengan Bu Helda

Wawancara dengan Bu Helda selaku Bagian Admistrasi diperumahan “Azzahra Residence”, dilakukan pada tanggal 29 Nopember 2015, dikantor pemasaran di blok B 03 komplek perumahan “Azzahra Residence”.

a. Berapa jumlah rumah dan tipe apa sajakah yang dibangun oleh pengembang perumahan?

Jumlah rumah yang dibangun sebanyak 88 unit rumah dengan berbagai tipe, yaitu tipe 50 berjumlah 31 unit rumah, tipe 45 berjumlah 19 unit rumah dan tipe 36 dengan jumlah 38 unit rumah.

b. Berapa luas lahan perumahan “Azzahra Residence”?

Perumahan “Azzahra Residence” dibangun diatas lahan seluas 2 hektar.

c. Mengapa bentuk perjanjian jual beli rumah dalam bentuk perjanjian baku dan sederhana?

pembuatan surat perjanjian atau akta perjanjian dalam bentuk baku dan sederhana, semata-mata hanya untuk mempermudah kedua belah pihak dalam melakukan perjanjian sepanjang isinya tidak merugikan kedua belah pihak.

d. Apakah pernah terjadi pembatalan perjanjian dengan konsumen?

Sejauh ini belum pernah.

e. Apakah konsumen pernah komplain mengenai kualitas bangunan atau hal-hal lain terkait perumahan?

(4)

C. Wawancara dengan Bapak H. Asmuni

Wawancara dengan Bapak H. Asmuni selaku konsumen (tinggal di Blok C 17), dilakukan pada tanggal 29 Nopember 2015 di perumahan “Azzahra Residence”

a. Apa alasan bapak membeli rumah di perumahan “Azzahra Residence”?

Alasan saya memilih perumahan “Azzahra Residence” karena perumahan “Azzahra Residence” merupakan salah satu perumahan yang termasuk program KPR BTN Sejahtera FLPP, sehingga pengembang akan melakukan pembangunan dengan baik selain itu pengembang perumahan akan diawasi oleh pihak bank dalam pembangunannya.

b. Bagaimana tanggung jawab pengembang perumahan?

Sejauh ini menurut saya, pengembang perumahan (developer) telah melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya sesuai dengan iklan atau brosur yang disebarkan.

(5)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Badrulzaman, Mariam Darus. 1993. KUHPerdata Buku III (Hukum Perikatan dengan Penjelasan). Bandung: Alumni.

Badrulzaman, Mariam Darus, Dkk. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Jakarta: Citra Aditya Bakti.

Budihardjo, Eko. 2009. Perumahan dan Permukiman di Indonesia. Bandung: Alumni.

Casnadi M, Baihaqi. 2014. Rahasia Membeli Rumah Tanpa Modal. Jakarta: Dan Idea.

Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum perjanjian. Bandung: Alumni.

H.S, Salim. 2004. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

_________. 2011. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.

Khairandy, Ridwan. 2004. Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika.

Miru, Ahmadi. 2007. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

____________. 2012. Hukum Kontrak Bernuansa Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Miru, Ahmadi dan SutarmanYodo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Rajawali Press.

Muhammad, Abdulkadir. 1992. Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2003. Seri Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Purnomo, R. Serfianto Dibyo, Iswi Hariyani dan Cita Yustisia. 2011. Kitab Hukum Bisnis Properti. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

(6)

Perumahan. Yogyakarta: Andi.

Satrio, J. 2001. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian (buku 1). Bandung: Citra Aditya Bakti.

Shidarta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo. Sidabalok, Janus. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung:

Citra Aditya Bakti.

Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Soeryatin. 1981. Hukum Perikatan. Jakarta: Pradya Paramita.

Subekti. 1987. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermassa.

_______. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. 2009. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.

Suratman dan Philips Dillah. 2013. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta.

Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Visimedia. Usman, Rachmadi. 2013. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan.

Bandung: Citra Aditya Bakti.

Widjaja, Gunawan. 2007. Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2003. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGANAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternarif Pilihan Penyelesaian Sengketa

INTERNET

(7)

BAB III

TINJAUN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI ANTARA PENGEMBANG PERUMAHAN DAN KONSUMEN

A. Perjanjian jual beli rumah 1. Pengertian Perjanjian Jual Beli

Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini.

Jual-beli menurut pasal 1457 KUHPerdata adalah “suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan

dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.43

Perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan

istilah belanda “koop en verkoop” yang mengandung pengertian bahwa pihak

yang satu “verkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Dalam

bahasa Inggris jual beli disebut dengan hanya “sale” saja yang berarti “penjualan” (hanya dilihat dari sudut si penjual), begitu pula dalam bahasa Perancis disebut

dengan “vente” yang berarti “penjualan”, sedangkan dalam bahasa Jerman

dipakainya perkataan “kauf” yangberarti “pembelian”.44

Menurut Salim H.S, perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli. Di dalam perjanjian itu pihak penjual

43

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.Cit. hal. 366.

44

(8)

berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.45

Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual-beli adalah barang dan

harga. Sesuai dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian,

perjanjian jual-beli itu dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.46

Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual, karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur esensial dan eksidentalia dari perjanjian tersebut.

Dikatakan adanya kesepakatan mengenai unsur esensial dan eksidentalia, karena walaupun para pihak sepakat mengenai barang dan harga, jika ada hal-hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut maka perjanjian jual beli tetap tidak terjadi karena tidak tercapai kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, yaitu tentang barang yang akan dijual dan harga barang tersebut dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, maka klausula-klausula yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut adalah ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan atau biasa disebut unsur naturalia.

Perjanjian jual beli dikatakan pada umumnya merupakan perjanjian konsensual, karena ada juga perjanjian jual beli yang termasuk perjanjian formal,

45

Salim H.S. (2), Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak , Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 49.

46

(9)

yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk tertulis yang berupa akta autentik, yakni jual beli barang-barang tidak bergerak.

Kesepakatan dalam perjanjian jual beli yang pada umumnya melahirkan perjanjian jual beli tersebut, juga dikecualikan apabila barang yang diperjualbelikan adalah barang yang harus dicoba dulu pada saat pembelian, karena apabila yang menjadi objek perjanjian jual beli tersebut adalah barang yang harus dicoba dulu untuk mengetahui apakah barang tersebut baik atau sesuai keinginan pembeli, perjanjian tersebut selalu dianggap dibuat dengan syarat tangguh, artinya perjanjian tersebut hanya mengikat apabila barang yang menjadi objek perjanjian adalah baik (setelah dicoba). Dengan demikian, walaupun harga telah disepakati dan barang telah ditentukan jika pada saat dicoba ternyata tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka perjanjian jual beli tersebut tidak terwujud atau tidak lahir.47

2. Subjek dan objek jual beli

Pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi objek dalam perjanjian jual beli, yaitu bertindak sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Namun, secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini.48

a. Jual beli antara suami istri

Pertimbangan hukum tidak diperkenankannya jual beli antara suami istri adalah karena mereka sejak terjadi perkawinan, maka sejak saat itulah

47

Ahmadi Miru (2), Op.Cit. hal.138.

48

(10)

terjadi percampuran harta, yang disebut harta bersama, kecuali ada perjanjian kawin. Namun :

1) Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada istri atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau istri menurut hukum.

2) Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya, juga dari siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.

3) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang telah dijanjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.

b. Jual beli oleh para hakim, jaksa, advokat, pengacara, juru sita dan notaris. Para pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal itu tetap dilakukan, maka jual beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga.

c. Pegawai yang memangku jabatan umum.

(11)

3. Hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli

Apabila kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli telah tercapai maka akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.

a. Kewajiban pihak penjual

Adapun kewajiban si penjual diatur dalam bagian kedua dari buku ke-III KUHPerdata, yang dimulai dari pasal 1473 sampai pasal 1512.

1) Menyatakan dengan tegas tentang perjanjian jual beli.49 Hal ini sesuai

dengan pasal 1473 KUHPerdata “si penjual diwajibkan dengan tegas

untuk apa ia mengikatkan dirinya, segala janji yang tidak terang dan dapat diberikan berbagai pengertian, harus ditafsirkan untuk

kerugiannya.”50

2) Menyerahkan barang

Penyerahan adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual kedalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli (pasal 1475 KUHPerdata).

Cara penyerahan barang yang diperjual belikan berbeda berdasarkan kualifikasi barang yang diperjualbelikan tersebut. Adapun cara penyerahannya sebagai berikut :51

a) Barang bergerak bertubuh, cara penyerahannya adalah penyerahan nyata dari tangan penjual atau atas nama penjual ketangan pembeli, akan tetapi penyerahan secara langsung dari tangan ke tangan tersebut dalam jumlah yang sangat banyak

49

Ibid. Hal. 55

50

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Op.cit. hal.369

51

(12)

sehingga dapat dilakukan dengan simbol-simbol tertentu (penyerahan simbolis).

Pengecualian lain yang bersifat umum atas penyerahan nyata dari tangan ke tangan tersebut adalah, jika :

(1) Barang yang dibeli tersebut sudah ada ditangan pembeli sebelum penyerahan benda tersebut dilakukan, misalnya barang tersebut sebelumnya telah dipinjam oleh pembeli; (2) Barang yang dibeli tersebut masih berada ditangan penjual

pada saat penyerahan karena adanya suatu perjanjian lainnya, misalnya barang yang sudah dijual tersebut langsung dipinjam oleh penjual;

(3) Barang yang dijual tersebut berada ditangan pihak ketiga, baik karena persetujuan penjual sebelum penyerahan, maupun atas persetujuan pembeli setelah penyerahan langsung.

b) Barang bergerak tidak bertubuh dan piutang atas nama, cara penyerahannya adalah dengan melalui akta dibawah tangan atau akta autentik. Akan tetapi, agar penyerahan piutang atas nama tersebut mengikat bagi si berutang, penyerahan tersebut harus diberitahukan kepada si berutang atau disetujui atau diakui secara tertulis oleh si berutang.

(13)

Dalam soal jual beli diatur juga masalah biaya penyerahan. Siapa yang harus memikul biaya itu diatur dalam pasal 1476 KUHPerdata. Hal ini ada sangkut-pautnya dengan kebiasaan, yang berlaku terhadap barang-barang tertentu dan juga dengan kebiasaan yang berlaku untuk tempat-tempat tertentu.

Pasal 1477 KUHPerdata menentukan bahwa biaya penyerahan harus dipikul oleh si penjual dan biaya pengambilan harus ditanggung oleh si pembeli, kecuali apabila diperjanjikan berlainan.52

Mengenai tempat, dimana barang yang bersangkutan harus diserahkan, terdapat ketentuan dalam pasal 1477 KUHPerdata, bahwa tempat itu ialah tempat dimana barang tadi berada, pada waktu terjadinya ikatan jual beli, kecuali apabila diadakan suatu ikatan lain.53 3) Kewajiban menanggung pembeli.

Kewajiban menanggung dari si penjual adalah dimaksudkan agar: a) Penguasaan benda secara aman dan tenteram, dan

b) Adanya cacat barang-barang tersebut secara tersembunyi atau sedemikian rupa sehingga menerbitkan alasan untuk pembatalan (pasal 1473 KUHPerdata).54

4) Wajib mengembalikan kepada si pembeli atau menyuruh mengembalikan oleh orang yang mengajukan tuntutan barang, segala apa yang telah dikeluarkan oleh pembeli, segala biaya yang telah

52

Soeryatin, Hukum Perikatan, Pradya Paramita, Jakarta, 1981, hal. 135.

53

Loc.it

54

(14)

dikeluarkan untuk barangnya atau semata-mata untuk perhiasaan atau kesenangan.55

5) Wajib menanggung terhadap adanya cacat tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat tersebut, kecuali telah diperjanjikan.56

6) Wajib mengembalikan harga pembelian yang diterimanya, jika penjual mengetahui barang yang dijual mengandung cacat, serta mengganti segala biaya, kerugian dan bunga kepada sipembeli.

7) Wajib mengembalikan harga pembelian, apabila ia sendiri mengetahui adanya cacat tersebut.57

8) Jika barang yang dijual musnah disebabkan karena cacat tersembunyi, maka kerugian dipikul oleh si penjual dan diwajibkan mengembalikan uang harga pembelian dan kerugian.58

b. Kewajiban pembeli

Adapun kewajiban si pembeli diatur dalam bagian ketiga dari buku ke-III KUHPerdata, yang dimulai dari pasal 1513 sampai pasal 1518. Kewajiban utama pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat yang telah diperjanjikan. Akan tetapi, apabila waktu dan tempat pembayaran tidak ditetapkan dalam perjanjian, pembayaran harus dilakukan di tempat dan pada waktu penyerahan barang dilakukan.

Apabila pembeli tidak membayar harga barang tersebut si penjual dapat menuntut pembatalan perjanjian sebagaimana halnya pembeli dapat

(15)

menuntut pembatalan perjanjian jika penjual tidak menyerahkan barangnya.59

Didalam konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang penjualan barang-barang internasional (United Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods) telah diatur tentang kewajiban antara penjual

dan pembeli. United Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods ini ditetapkan pada tanggal 7 april 1980 di Wina. Tujuan

konvensi ini adalah penetapan keseragaman pengaturan yang akan mengatur berbagai kontrak untuk penjualan barang-barang internasional memperhitungkan perbedaan sosial, ekonomi dan sistem hukum. Hal ini akan memberikan sumbangan untuk menghapuskan hambatan hukum dalam perdagangan internasional dan mendorong pengembangan perdagangan internasional. Pasal 30 sampai dengan pasal 52 United Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods mengatur tentang kewajiban

penjual dan pasal 53 sampai dengan pasal 60 United Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods mengatur tentang kewajiban

pembeli.

Ada 3 kewajiban pokok penjual, yaitu : 1) Menyerahkan barang;

2) Menyerahterimakan dokumen ; dan 3) Memindahkan hak milik.

1) Kewajiban menyerahkan barang oleh penjual kepada pembeli meliputi:

59

(16)

a) Menyerahterimakan barang kepada pengangkut pertama untuk diteruskan kepada sipembeli, jika kontrak penjualan menyangkut pengangkutan barang (pasal 31);

b) Merinci jenis-jenis barang yang dikirimkan kepada pembeli (pasal 32);

c) Menyerahkan barang sesuai dengan tanggal yang telah ditetapkan dalam kontrak (pasal 33);

d) Menyerahkan barang yang jumlahnya, mutunya dan uraian barang yang diminta dalam kontrak yang dipetikan atau dibungkus (pasal 35);

e) Menyerahkan barang yang bebas dari hak apapun atau klaim dari pihak ketiga, kecuali pembeli setuju untuk mengambil barang itu bersyarat pada hak-hak itu atau klaim (pasal 41); dan f) Menyerahkan barang yang bebas dari hak apapun atau klaim

dari pihak ketiga yang berdasarkan atas hak milik industri atau hak kekayaan intelektual lainnya (pasal 42).

2) Kewajiban pembeli adalah

a) Memeriksa barang-barang yang dikirim oleh penjual (pasal 38); b) Membayar harga barang sesuai dengan kontrak (pasal 53); dan c) Menerima penyerahan barang seperti disebut dalam kontrak

(pasal 53).

(17)

memungkinkan pelaksanaan pembayaran (pasal 54). Tempat pembayaran ditempat yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jika tidak ditentukan oleh kedua belah pihak, maka pembayaran dapat dilakukan ditempat bisnis penjual atau jika pembayaran harus dilakukan dengan penyerahan barang atau dokumen ditempat dimana serah terima itu dilakukan.60

B. Pengembang Perumahan

1. Pengertian Pengembang Perumahan

Pengembang perumahan atau biasa disebut juga dengan istilah developer menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, pengembang perumahan masuk dalam kategori penyelenggara atau pengembang pembangunan perumahan dan pemukiman yang penyelenggaraan rumah dan perumahan dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.

“Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah kegiatan

perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu. (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan

Permukiman).”

Sedangkan menurut Pasal 5 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974, disebutkan pengertian Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula masuk dalam pengertian developer, yaitu :

60

(18)

“Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan yang berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar di atas suatu areal tanah yang akan merupakan suatu kesatuan lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh

masyarakat penghuninya.”

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, developer masuk dalam kategori sebagai pelaku usaha. Pengertian Pelaku Usaha dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik

yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Pengembang perumahan (real estate developer) atau biasa juga disingkat pengembang (developer) adalah orang perorangan atau perusahaan yang bekerja mengembangkan suatu kawasan permukiman menjadi perumahan yang layak huni dan memiliki nilai ekonomis sehingga dapat dijual kepada masyarakat.61

Secara umum, pengembang (developer) dapat digolongkan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu :

a. Pengembang besar : membangun perumahan dengan harga satuan rumah diatas Rp. 800 juta;

b. Pengembang menengah : membangun perumahan dengan harga per satuan antara Rp. 300 juta hingga Rp. 800 juta; dan

c. Pengembang kecil mengkhususkan pembangunan perumahan dengan harga satuan rumah maksimal Rp. 300 juta.62

61

R. Serfianto Dibyo Purnomo; Iswi Hariyani; Cita Yustisia, Kitab Hukum Bisnis Properti, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011, hlm. 11

62

(19)

Pengembang (developer) dapat terdiri dari orang-perorangan maupun perusahaan, baik perusahaan yang belum berbadan hukum (seperti CV atau Firma) maupun perusahaan yang sudah berbadan hukum (seperti PT atau Koperasi).

2. Hak dan Kewajiban Pengembang Perumahan

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha63 dan menciptakan hubungan yang sehat antara produsen dan konsumennya, sekaligus menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi perkembangan usaha dan perekonomian pada umumnya.64 Maka undang-undang perlindungan konsumen memberikan sejumlah hak dan membebankan sejumlah kewajiban dan larangan kepada pelaku usaha (pengembang perumahan).

a. Hak Pengembang Perumahan

Hak pelaku usaha (pengembang perumahan) diatur dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

a. Hak untuk menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

63

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. Hal.33

64

(20)

b. Kewajiban Pengembang Perumahan

Kewajiban pelaku usaha (pengembang perumahan) diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif;

d. Memperlakukan mutu barang dan/jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, berdasarkan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau garansi atas barang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti kerugian dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti kerugian dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima dan dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

c. Larangan dalam pengembang perumahan

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur larangan pelaku usaha (pengembang perumahan) yang sifatnya umum dan secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen.

(21)

C. Konsumen Perumahan

1. Pengertian Konsumen Perumahan

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris- Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.

Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.65

Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan transaksi ekonomi yang hak-haknya sering diabaikan (oleh sebagian pelaku usaha). Akibatnya, hak-hak konsumen perlu dilindungi.66 Menurut Undang-Undang

Perlindungan Konsumen pasal 1 angka 2, “Konsumen adalah setiap orang

pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga orang lain, maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan.’’ Sebelum muncul Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yang diberlakukan pemerintah mulai 20 april 2000, praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di indonesia. Dalam garis-garis besar haluan negara (ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan. Sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah ini dalam ketetapan tersebut.

Diantara ketentuan normatif itu terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan 5 maret 2000; satu tahun setelah diundangkan). Undang-undang ini

65

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal.22

66

(22)

memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.67

Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai, pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goederen en dienten). Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir.68

2. Hak dan Kewajiban Konsumen

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban.

a. Hak konsumen

Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak sebagai berikut :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang/jasa;

b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif;

67

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2006. Hal. 2

68

(23)

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Disamping itu Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union) memdeklarasikan 4 (empat) hak dasar

konsumen lainnya, yaitu :69

1) Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; 2) Hak untuk memperoleh ganti rugi;

3) Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

4) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. b. Kewajiban konsumen

Kewajiban konsumen dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adalah sebagai berikut :

a. Membaca dan mengikuti petunjuk pemakaian dan pemanfaatan barang/jasa. Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa. Itikad baik sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; dan

d. Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman tidak membedakan secara jelas tentang hak dan kewajiban antara pengembang perumahan dan konsumen, dimana hak pengembang perumahan dan konsumen diatur didalam Pasal 129, yaitu :

69

(24)

“Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman,

setiap orang berhak:

a. menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur;

b. melakukan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; c. memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan

perumahan dan kawasan permukiman;

d. memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;

e. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; dan

f. mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang

merugikan masyarakat.”

Sedangkan Pasal 130 mengatur tentang kewajiban pengembang perumahan dan konsumen, dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang wajib :

a. menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan, dan kesehatan di perumahan dan kawasan permukiman;

b. turut mencegah terjadinya penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan dan membahayakan kepentingan orang lain dan/atau kepentingan umum;

c. menjaga dan memelihara prasarana lingkungan, sarana lingkungan, dan utilitas umum yang berada di perumahan dan kawasan permukiman; dan

(25)

BAB IV

TANGGUNG JAWAB PENGEMBANG PERUMAHAN TERHADAP KONSUMEN PERUMAHAN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH YANG DILAKUKAN ANTARA PENGEMBANG PERUMAHAN DENGAN

KONSUMEN PERUMAHAN

E. Gambaran Umum Tentang Perumahan “Azzahra Residence”

Perumahan “Azzahra Residence” merupakan salah satu perumahan yang terdapat di jalan Sampurna, kecamatan Rantau Selatan, Rantauprapat, yang hadir untuk menjawab atas kebutuhan rumah oleh masyarakat di Rantauprapat khususnya dan dikabupaten Labuhan Batu pada umumnya. Berdiri dilahan seluas 2 hektar dan membangun sebanyak 88 unit rumah yang terdiri dari 3 tipe rumah, yaitu tipe 50 sebanyak 31 unit, tipe 45 sebanyak 19 unit dan tipe 36 sebanyak 38 unit. Harga setiap unit bervariasi sesuai dengan luas yang berbeda pula. Termurah adalah tipe 36 yang merupakan salah satu tipe rumah yang termasuk dalam program KPR BTN Sejahtera FLPP, yaitu kredit pemilikan rumah program kerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan suku bunga rendah dan cicilan ringan dan tetap sepanjang jangka waktu kredit, terdiri atas KPR Sejahtera Tapak untuk pembelian rumah Tapak dan KPR Sejahtera Susun untuk pembelian Rumah Susun.70 Harga tipe 36 ini sebesar 110 juta Sesuai Kepmen PUPR No. 348/KPTS/M/2015 tentang Batasan Harga Jual Rumah yang dapat diperoleh melalui Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah

70

(26)

Sejahtera. Selanjutnya ada tipe 45 berjumlah 19 unit yang dijual dengan harga 145 juta. Dan yang termahal adalah tipe 50 dengan harga 170 juta.

Perumahan “Azzahra Residence” memiliki letak yang strategis di

Sampurna, yaitu dikelilingi oleh beberapa sekolah mulai tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan dekat dengan pusat perbelanjaan. Hal ini menjadi nilai tambah yang membuat perumahan azzahra residence terjual habis hanya dalam waktu 3 bulan sejak launching.71

Perumahan “Azzahra Residence” pada awalnya berbadan hukum CV. Indra

Jaya, tapi seiring dengan berjalannya waktu dan adanya kebutuhan untuk bekerja sama dengan Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai pihak yang akan menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), maka manajemen CV. Indra Jaya merubah badan hukumnya menjadi PT. Berkah Tawakkal.

F. Pelaksanaaan perjanjian jual beli rumah antara pengembang perumahan (developer) dengan konsumen perumahan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, ternyata bentuk perjanjian jual beli rumah dibuat dan lazim dipergunakan dalam dunia usaha adalah berbentuk perjanjian baku. Hal tersebut dibuat semata-mata hanya untuk memudahkan dalam transaksi perjanjian jual beli rumah. Pelaku usaha dalam hal ini pengembang tidak perlu setiap kali melakukan perjanjian, harus membuat terlebih dahulu surat perjanjian. Demikian pula halnya dengan konsumen, belum tentu mau direpotkan untuk membuat draft perjanjian secara bersama-sama mengingat tidak adanya waktu luang. Oleh karenanya pembuatan surat perjanjian

71

(27)

atau akta perjanjian dalam bentuk baku bukan sesuatu yang buruk, tetapi justru mempermudah kedua belah pihak dalam melakukan perjanjian sepanjang isinya tidak merugikan kedua belah pihak.

Ditinjau dari aspek hukum perjanjianpun, perjanjian baku yang dibuat oleh pegembang perumahan (developer) tetap dianggap sah asal telah memenuhi ketentuan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Perjanjian baku atau dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebut dengan klausula baku

adalah “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan

ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh

konsumen.”

Para pelaku usaha pada prinsipnya tidak dilarang untuk memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian, selama dan sepanjang perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (1) undang-undang perlindungan konsumen,72 yaitu : (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

72

(28)

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Dan perjanjian baku tersebut juga, tidak “berbentuk” sebagaimana dilarang

dalam pasal 18 ayat (2).73

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

Dengan demikian dengan ditandatanganinya perjanjian jual beli rumah antara pengembang perumahan (developer) dengan konsumen maka terjadilah hubungan hukum antara keduanya.

Dalam praktek di lapangan, perjanjian jual beli rumah antara pengembang perumahan (developer) dengan konsumen didahului oleh Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), yakni suatu perjanjian awal adanya kesepakatan jual beli rumah.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli atau PPJB ini merupakan salah satu bentuk perikatan yang berasal dari perjanjian dan lahir dari adanya sepakat diantara para pihak yang membuatnya. Dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, juga mengatur dengan jelas mengenai Perjanjian Pengikatan/Pendahuluan Jual Beli, yaitu :

73

(29)

(1) Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perjanjian merupakan sumber perikatan yang penting, karena melalui perjanjian para pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yang tidak dilarang oleh undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

Istilah atau sebutan lain yang berkembang dalam penggunaan istilah perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian akan jual beli atau perjanjian pendahuluan jual beli (Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman). Perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian pendahuluan yang dibuat oleh calon penjual dan calon pembeli atas dasar kesepakatan sebelum jual beli dilakukan, dalam rangka untuk meminimalisir benih sengketa yang mungkin muncul dikemudian hari. Perjanjian ini dilakukan sebelum terjadinya peristiwa hukum jual beli, dan objek perjanjiannya dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Tapi, dalam skripsi ini perjanjian pengikatan jual beli yang dibahas adalah perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan pada jual beli rumah baik bangunan dan tanahnya.

(30)

1. Bahwa objek yang hendak dijual kepada konsumen, dalam hal ini bangunan masih dalam tahap proses pembangunan sehingga walaupun konsumen kemungkinan bisa melakukan pelunasan pembayaran tetapi karena bangunan belum dapat diserahterimakan sehingga dibuat PPJB terlebih dahulu;

2. Bahwa sertipikat tanah yang hendak dijual kepada konsumen masih dalam proses pemecahan sertipikat, begitu pula dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);

3. Kemampuan pembeli untuk membeli rumah dengan cara mencicil/angsuran ; dan

4. Strategi pemasaran yang dilakukan oleh pihak pengembang dengan memberikan cara pembayaran dengan cara angsuran yang ringan dan jangka waktu yang panjang serta sudah dapat menempati bangunan/rumah tersebut. Format atau isi perjanjian pengikatan jual beli yang ditawarkan oleh pengembang perumahan kepada konsumen yaitu terdiri dari 4 pasal, yaitu :

a. Pasal 1 berisi mengenai obyek perjanjian pengikatan jual beli, yaitu jenis properti yang akan diperjualbelikan;

1. Properti

Properti : ... Type : ... LT/LB : ... ... b. Pasal 2 mengatur mengenai harga jual rumah serta tata cara pembayaran

yang akan dilakukan diantara para pihak yang akan mengikatkan diri; 2. Harga jual : ...

(31)

Tata cara pembayaran

- Tanda jadi : ... - DP (Down Payment): ... - Pelunasan : ... ... c. Pasal 3 perjanjian pengikatan jual beli berisi mengenai identitas pihak

penjual dalam hal ini pihak pengembang perumahan serta biaya-biaya yang menjadi tanggungan pihak penjual yaitu pembuatan sertifikat, pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pemasangan instlasi listrik dan air; 3. Penjual / pemilik property

Nama lengkap : ... Biaya yang menjadi tanggungan penjual/pemilik property

a. ... b. ... c. ... d. ... e. ... d. Pasal 4 mengatur mengenai identitas pihak pembeli yang berisikan

mengenai nama lengkap, alamat, nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP), nomor telepon dan biaya-biaya yang menjadi tanggungan pihak pembeli rumah. Biaya yang menjadi tanggungan pembeli

(32)

dapat dibatalkan oleh pemilik dalam hal ini pihak pengembang, menurut bapak Endang Harcipta, hal ini membuktikan komitmen pihak pengembang dalam melakukan pembangunan dan penjualan rumah.74

Dengan komitmen penuh dari pihak pengembang diatas maka pada klausual berikutnya memuat bahwa uang tanda jadi (Down Payment) pihak pembeli yang telah sepakat melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli akan hangus apabila perjanjian tersebut dibatalkan secara sepihak oleh pihak pembeli.

Hangusnya uang tanda jadi (Down Payment) akibat pembatalan secara sepihak oleh pembeli atau konsemen ini sesuai dengan Pasal 1464 KUHPerdata,

yaitu : “ jika pembelian dibuat dengan memberi uang panjar tak dapatlah salah

satu pihak meniadakan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya.”75

Secara legal formal pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli rumah antara pengembang perumahan (developer) dengan konsumen umumnya berjalan dengan baik. Hal tersebut disebabkan bahwa pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli rumah lebih mengarah pada proses beralihnya hak kepemilikan atas tanah dan bangunan dari pengembang perumahan (developer) selaku penjual kepada konsumen selaku pembeli.

G. Tanggung Jawab PT Berkah Tawakkal Dalam Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli dengan Konsumen Perumahan

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak

74

Wawancara dengan Bapak Endang Harcipta selaku Direktur Utama PT. Berkah Tawakkal di Rantauprapat.

75

(33)

konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.76

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault)

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya pasal 1365, 1366 dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.

Prinsip ini menyatakan, seorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu :

a. Adanya perbuatan; b. Adanya unsur kesalahan; c. Adanya kerugian yang diderita;

d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

76

(34)

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat buktikan, ia tidak

bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. 3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara umum dibenarkan.

4. Prinsip tanggung jawab mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeure.

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

Dengan adanya prinsip tanggung jawab ini, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, maka harus berdasarkan pada perundang-undangan yang berlaku.

Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang- Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur dalam Pasal 19, yaitu:

(35)

mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi :

a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran,

c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti, bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.77

Dalam Pasal 151 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dipertegas dengan prinsip perlindungan konsumen dalam Pasal 8 ayat (1) huruf (f) dan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mulai mengenal dan menuju dianutnya prinsip tanggung jawab mutlak (strict product liability). Prinsip ini adalah suatu jawaban atas konsep tanggung jawab pelaku usaha, dalam hal ini

77

(36)

adalah pihak pengembang perumahan, yang didasarkan pada adanya suatu hubungan kontrak antara produsen dan konsumen. Pemikiran utama yang mendasari prinsip tanggung jawab mutlak adalah bahwa pihak pelaku usaha atau pengembang memiliki posisi yang lebih kuat dibandingkan pihak konsumen untuk mengetahui dan mengawasi rumah. Pengembang atau pelaku usaha memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mengawasi rumah yang cacat atau tidak layak supaya tidak sampai kepada konsumen. Tanggung jawab yang harus diemban oleh pelaku usaha atau pengembang perumahan jika rumah yang cacat atau tidak layak telah sampai pada konsumen dan mengakibatkan kerugian bagi konsumen adalah memberikan ganti rugi atas kerusakan atau kerugian konsumen akibat rumah yang dibangun atau dijual.

Pada umumnya permasalahan yang muncul dalam jual beli rumah adalah masalah kualitas bangunan. Kualitas bangunan biasanya baru diketahui ketika rumah tersebut telah ditempati. Misalkan saja penyerahan dilakukan pada musim kemarau. Pada saat musim penghujan ternyata ada dinding yang retak dan rembes. Oleh karena itu dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen PT Berkah Tawakkal selaku pengembang perumahan memberikan jaminan dan ganti rugi.

(37)

dan tanggung jawabnya sesuai dengan iklan atau brosur yang disebarkan.78 Konsumen tidak mengalami permasalahan mulai dari proses pemecahan sertifikat tanah dan Sertifikat Hak Milik (SHM) serta fasilitas rumah seperti instalasi air dan listrik maupun fasilitas umum lainnya.

Menurut Endang Harcipta, tanggung jawab pengembang perumahan (developer) kepada konsumen sebenarnya tidak hanya terpaku pada isi perjanjian

jual beli rumah saja, tetapi secara umum tanggung jawab pengembang perumahan (developer) sudah ada sejak pengembang ingin membangun rumah. Pengembang

perumahan (developer) bertanggung jawab untuk mengurus segala persyaratan

dan perijinan yang diperlukan sebelum membangun perumahan “Az-zahra

Residence”.79

H. Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Pelanggaran Perjanjian Jual Beli Rumah

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Pasal 45 ayat (1) sampai ayat (4) mengatur mengenai penyelesaian sengketa. Pasal 45 ayat (1) sampai ayat (4) UUPK menyebutkan bahwa:

(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

78

Wawancara dengan Bapak H. Asmuni selaku konsumen perumahan Azzahra Residence di Rantauprapat.

79

(38)

(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.

(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Dalam penyelesaian sengketa di bidang perumahan, penyelesaian sengketa pertama-tama dilakukan dengan penyelesaian secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Hal ini sesuai dengan Pasal 147 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menjelaskan mengenai penyelesaian sengketa secara musyawarah yang berbunyi: “Penyelesaian sengketa di bidang perumahan terlebih dahulu diupayakan berdasarkan musyawarah untuk

mufakat.”

Jika proses penyelesaian sengketa secara musyawarah tidak tercapai, maka pihak konsumen dapat melakukan gugatan melalui lembaga pengadilan umum atau di luar pengadilan. Dalam Pasal 148 ayat (1) sampai ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menjelaskan, bahwa:

(1) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pihak yang dirugikan dapat menggugat melalui pengadilan yang berada di lingkungan pengadilan umum atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa.

(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisiasi, dan/atau penilaian ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(39)

1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan diatur dalam Pasal 48

Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu : “Penyelesaian sengketa konsumen

melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang

berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45 diatas.”

Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, penunjukan Pasal 45 dalam hal ini, lebih banyak tertuju pada ketentuan tersebut dalam ayat (4). Artinya penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan hanya dimungkinkan apabila:

a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, atau

b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Satu hal yang harus diingat bahwa cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan menggunakan hukum acara yang umum berlaku.80

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan memiliki beberapa kekurangan, yaitu :81

1) Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang pada umumnya lambat diakibatkan oleh proses pemeriksaan yang sangar formalistik dan sangat teknis. Disamping itu, arus perkara yang semakin deras mengakibatkan pengadilan dibebani dengan beban yang terlampau banyak. 2) Biaya perkara yang mahal

80

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, hal.234

81

(40)

Biaya perkara dalam proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan dirasakan sangat mahal, lebih-lebih jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa, semakin banyak pula biaya yang harus dikeluakan. Biaya ini akan diperhitungkan biaya pengacara yang juga tidak sedikit. 3) Pengadilan pada umumnya tidak responsif

Tidak responsif atau tidak tanggapnya pengadilan dapat dilihat dari kurang tanggapnya pengadilan dalam membela dan melindungi kepentingan umum. Demikian pula pengadilan dianggap sering berlaku tidak adil, karena hanya memberi pelayanan dan kesempatan serta keleluasaan kepada

“lembaga besar” atau “orang kaya”.

4) Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah

Putusan pengadilan dianggap tidak menyelesaikan masalah, bahkan dianggap semakin memperumit masalah karena secara objektif putusan pengadilan tidak mampu memuaskan, serta tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada para pihak.

5) Kemampuan para hakim yang bersifat generalis

Para hakim dianggap mempunyai kemampuan terbatas, terutama dalam abad iptek dan globalisasi sekarang, karena yang dimiliki hanya dibidang hukum, sedangkan diluar itu pengetahuannya bersifat umum, bahkan awam.

(41)

Berdasarkan berbagai kekurangan penyelesaian sengketa melalui pengadilan itulah, sehingga dalam dunia bisnis, pihak yang bersengketa dapat lebih memilih menyelesaikan sengketa yang dihadapi di luar pengadilan.

2. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan diatur dalam Pasal 47

Undang-Undang Perlindungan Konsumen, “Penyelesaian sengketa konsumen diluar

pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh

konsumen.”82

Dalam hal penyelesaian sengketa perumahan Pasal 148 ayat (2) Undang-Undang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman mengatur bahwa penyelesaian diluar pengadilan,

“Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan melalui arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisiasi, dan/atau penilaian ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Dari pasal tersebut dijelaskan media penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui :

a. Arbitrase

Arbitrase dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternarif Pilihan Penyelesaian Sengketa

“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan

82

(42)

umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”83

Keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase :84 1) Penyelesaian lebih cepat

Umumnya prosedur arbitrase dicantumkan dengan batas-batas waktu penyelesaian dalam setiap tahap penyelesaian sengketa. Disamping itu, keputusan arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding) sehingga tidak tersedia upaya naik banding.

2) Terjaga kerahasiaannya

Proses pemeriksaan sengketa melalui arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup (Pasal 27) dan tidak ada publikasi. Para arbiter juga terikat oleh ketentuan untuk tidak memberitahukan materi sengketa tanpa seizin seluruh pihak yang bersengketa.

3) Biaya lebih rendah

Biaya arbitrase ditentukan oleh arbiter (Pasal 76). Biaya itu meliputi: (a) Honorarium;

(b) Biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa; dan

(c) Biaya administrasi.

Disamping itu, para arbiter adalah para ahli dan praktisi dibidang yang menjadi pokok sengketa, serta memiliki reputasi tinggi sehingga diharapkan mampu memberikan putusan dengan cepat dan objektif.

b. Negosiasi

83

Salim HS, op.cit, hal.142

84

(43)

Dalam bahasa sehari-hari kata negosiasi sering kita dengar yang

sepadan dengan istilah “berunding”, “bermusyawarah”, atau “bermufakat”.

Kata negosiasi ini berasal dari bahasa Inggris “negotiation” yang berarti perundingan. Adapun orang yang melakukan perundingan dinamakan dengan negotiator.85

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia negosiasi :

1) Proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain;

2) Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa.

Dalam Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, tidak menjelaskan secara jelas mengenai pengertian negosiasi, namun dalam Pasal 6 ayat (2) disebutkan :

“Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif

penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam

suatu kesepakatan tertulis.”

Kata “pertemuan langsung” sebagaimana tersebut dalam ketentuan

Pasal 6 ayat (2) tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa atau beda pendapat dilakukan melalui negosiasi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa negosiasi itu adalah cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa atau kuasanya secara langsung, tanpa keterlibatan pihak

85

(44)

ketiga sebagai penengah. Para pihak yang bersengketa langsung melakukan perundingan atau tawar-menawar sehingga menghasilkan suatu kesepakatan bersama. Pada umumnya kesepakatan bersama tersebut dituangkan secara tertulis.86

c. Mediasi

Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa mediasi adalah pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa. Dalam proses itu pihak ketiga bertindak sebagat penasihat.

Steven Rosenberg, Esq. Mengartikan mediasi sebagai :

“Method of dispute resolution that is voluntery, confidencial generaly, and cooperative. Yang secara bebas diartikan bahwa mediasi adalah metode penyelesaian masalah yang dilakukan secara sukarela, rahasia

dan kooperatif, tidak ada unsur paksaan.”87

Sehubungan dengan pengertian mediasi, ketentuan dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan sebagai berikut :

“Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan

seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.”

Dari beberapa rumusan pengertian mediasi diatas, dapat disimpulkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (non-intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang

86

Ibid, hal. 66

87

(45)

bersengketa serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa. Tugas pihak ketiga hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak yang bersengketa, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada ditangan mediator, tetapi ditangan para pihak yang bersengketa.88

d. Konsiliasi

Salah satu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah konsiliasi. Konsiliasi diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternarif Pilihan Penyelesaian Sengketa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian konsiliasi adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut.89

Sedangkan menurut Oppenheim, konsiliasi adalah

“Suatu proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kepada

suatu komisi orang-orang yang bertugas menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dann (biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan suatu penyelesain, namun keputusan tersebut tidak

mengikat.”(dalam Huala Adolf dan A. Chanderawulan, 1995: 186).

Inti konsiliasi dalam definisi diatas adalah penyelesaian sengketa kepada sebuah komisi dan keputusan dibuat oleh komisi tersebut tidak

88

Rachmadi Usman, op.cit, hal. 99

89

(46)

mengikat para pihak. Artinya bahwa para pihak dapat menyetujui atau menolak isi keputusan tersebut.

e. Penilaian ahli

Dalam proses penyelesaian sengketa melalui penilaian ahli, para pihak yang bersengketa menunjuk seorang ahli yang netral untuk membuat penemuan fakta-fakta yang mengikat ataupun tidak, atau bahkan membuat pengarahan materi tersebut secara mengikat. Penunjukan ini dilakukan sebelum memulai ligitasi.

(47)

Sekalipun dikemudian hari timbul masalah antara pihak pengembang dengan konsumen, maka pengembang akan menyelesaikan masalah tersebut dengan cara musyawarah dengan konsumen.90

90

(48)

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pelaksanaan Tanggung Jawab Pengembang Perumahan Terhadap Konsumen Perumahan Dalam Perjanjian Jual Beli Rumah yang Dilakukan antara Pengembang Perumahan dengan Konsumen Perumahan ( Studi di PT. Berkah Tawakkal ) dapat disimpulkan :

1. Pelaksanaaan perjanjian jual beli rumah antara pengembang perumahan (developer) dengan konsumen semuanya berjalan dengan baik. Perlu diketahui bahwa ternyata dalam prakteknya bentuk perjanjian jual beli rumah dibuat dan lazim dipergunakan dalam dunia usaha adalah berbentuk perjanjian baku. Hal tersebut dibuat semata-mata hanya untuk memudahkan dalam transaksi perjanjian jual beli rumah. Pelaku usaha dalam hal ini pengembang tidak perlu setiap kali melakukan perjanjian, harus membuat terlebih dahulu surat perjanjian. Demikian pula halnya dengan konsumen, belum tentu mau direpotkan untuk membuat draft perjanjian secara bersama-sama mengingat tidak adanya waktu luang.

Referensi

Dokumen terkait

Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) ini bertjuan untuk meningkatkan wawasan dan keterampilan guru-guru mata pelajaran PPKn dalam mengembangkan Media Pembelajaran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diagram scatter pada variabel pengetahuan dan kepatuhan membentuk pola yang menyerupai garis lurus. Hal ini mengindikasikan bahwa

Bentuk produk keuangan lain termasuk kontrak investasi yang sedang beredar di masyarakat yang tidak terdaftar dalam bursa efek, tidak tersebutkan dalam

Pada konteks penelitian ini, gagasan Berger dalam konstruksi realitas yang terdapat di lirik lagu Ode Buat Kota, proses yang pertama kali terjadi adalah

Oleh karena itu, peneliti memilih media surat kabar Kompas sebagai media untuk melihat tingkat keobjektifan media terhadap pemberitaan sosok Ahok dan Rizieq

Now, when you reload the project, it will look exactly like it did before you added any customizations, and it now uses your own custom build of Bootstrap that you just

Perencana, sudah selayaknya memahami berbagai masalah yang berkaitan erat dengan aspek pembentukan rupa pada produk yang hendak dibuat dalam hubungannya dengan

diantaranya yakni kebijakan pemerintah, penetapan peraturan perundang-undangan, atau bahkan putusan pengadilan. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Warga Negara