• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik fluks karbon dan kesehatan DAS dari aliran sungai sungai utama di Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik fluks karbon dan kesehatan DAS dari aliran sungai sungai utama di Jawa"

Copied!
235
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK FLUKS KARBON DAN

KESEHATAN DAS DARI ALIRAN

SUNGAI-SUNGAI UTAMA DI JAWA

DISERTASI

SUTOPO PURWO NUGROHO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul:

KARAKTERISTIK FLUKS KARBON DAN KESEHATAN DAS DARI ALIRAN SUNGAI-SUNGAI UTAMA DI JAWA

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2010

(4)

ABSTRACT

Sutopo Purwo Nugroho. Characteristics of Carbon Fluxes and Catchment Health from Java Major Rivers in Java. (Hidayat Pawitan as Chairman, Etty Riani and Edvin Aldrian as members of the Advisory Committee)

Carbon derived from land, whether from natural or the result of human production and consumption will partially be dissolved by surface flow into the river and flows into the sea. Forms of carbon in the rivers are organic and inorganic in the form of dissolved and particulate matter. Watershed condition has great influenced on the river carbon fluxes. Carbon is very important as energy source for life in coastal waters and for the process of photosynthesis. There has not been extensive research yet on the relationship between the condition of watershed and carbon. Changes in river flow patterns have significant influence on the carbon cycle, particularly the flux of carbon from rivers.

With regards to the above issue, this study aims to: a) assess characteristics of carbon flux from rivers in Java; b) identify trends and patterns in hydrological character; and c) identify level of catchment health as indicator of environmental degradation. This research is both exploratory and investigative to obtain facts of phenomena that exist, locate and disclose information in a factual, and compare with other research objects. The research on carbon flux is a kind of basic research conducted to address environmental problems, particularly in explaining state of knowledge of the carbon cycle that is always developing.

Concentration of carbon and the dissolved organic carbon yield of rivers in Java is higher compared with the rivers in the world. The average concentration of dissolved organic carbon in Java about 11.15 mg/l, while the rivers in the world of 5.62 mg/l. This is influenced by a large population and watershed conditions that have degraded. Catchment health index shows most of the watersheds in Java are in critical condition. River which flows into the north of Java is in more critical condition than that into the south of Java. This phenomenon is also reflected in the distribution of carbon flux, where the flux of carbon going to the north of Java greater than that to the south. Some of the factors that cause smaller carbon export to the south of Java are among others: lower carbon concentration, river flow, watershed area, population density, and number of industries. The rivers in Java contributes dissolved organic carbon to the sea about 6.58% of the rivers in Indonesia, or about 0.66% of the rivers in the world. Export of carbon to the north of Java Island is greater than that to the south of Java Island.

Based on calculations by the method of partial pressure of CO2 (pCO2), the rivers in Java has less than 4259 µatm. pCO2 of rivers in Java is greater than the rivers in the world, as an example of the Yangtze in China 1125 µatm, the

Rhine in Europe 1268 µatm, and Amazon 3067 µatm. While the influence of carbon on the quality of river waters in the Java environment is still very difficult to determine. Up to now there has been unknown quality standard for carbon in the waters in the world. Carbon in the river can not be used as an indicator of the watershed health. To overcome damage to watersheds in Java, it is necessary for an integrated river basin management.

(5)

RINGKASAN

Karbon merupakan unsur kunci dari kehidupan. Siklus karbon penting untuk memahami biosfer dan mekanisme dasarnya. Bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya aktivitas pembangunan telah menyebabkan karbon di atmosfer semakin meningkat. Dalam siklus karbon tersebut, sungai merupakan komponen penting karena berfungsi sebagai pemindah lateral karbon organik dan inorganik dari daratan menuju lautan, baik dalam bentuk terlarut maupun partikulat.

Sungai-sungai di Indonesia diperkirakan memasok karbon organik terlarut sekitar 21 TgC/tahun atau 10% dari total pasokan sungai-sungai di dunia (Baum et al., 2007). Kondisi sungai-sungai di Jawa memiliki karakteristik yang lebih kompleks karena jumlah penduduk yang besar, penggunaan lahan yang intensif, berkembangnya industri dan permukiman, pencemaran dan sebagainya akan berpengaruh terhadap karakteristik fluks karbon sungai.

Penelitian dilakukan dengan tujuan: a) Mengkaji karakteristik fluks karbon dari sungai-sungai di Jawa; b) Mengidentifikasi pola kecenderungan dan watak hidrologi; dan c) Menemukan indikator kesehatan DAS. Penelitian ini bersifat eksploratif-investigatif yang dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dari fenomena-fenomena yang ada, mencari dan mengungkapkan keterangan-keterangan secara faktual, serta membandingkan obyek penelitian dengan lainnya. Penelitian mengenai karakteristik fluks karbon merupakan penelitian dasar untuk menjawab permasalahan lingkungan, khususnya dalam menjelaskan state of the knowledge dari siklus karbon di Jawa.

(6)

konsentrasi dan DOC yield sungai-sungai di Jawa dipengaruhi oleh besarnya kepadatan penduduk.

Sungai-sungai di Jawa berkontribusi kurang lebih 6,58% dari total sungai-sungai di Indonesia atau kurang lebih 0,66% dari sungai-sungai-sungai-sungai di dunia dalam ekspor DOC ke lautan. Fluks karbon sungai ke utara Jawa lebih besar dibandingkan dengan selatan Jawa. Distribusinya adalah kurang lebih 27% mengalir ke Laut Jawa, 61% ke Selat Madura, dan 13% ke Samudera Hindia. Beberapa faktor yang menyebabkan kecilnya ekspor karbon ke selatan Jawa antara lain kecilnya konsentrasi karbon, debit sungai, luas DAS, kepadatan penduduk, dan jumlah industri.

Berdasarkan perhitungan dengan metode tekanan parsial CO2 (pCO2), sungai-sungai di Jawa memiliki pCO2 kurang lebih 4259 µatm. Dibandingkan dengan nilai pCO2 dari sebagian sungai-sungai di dunia, maka nilai pCO2 sungai- sungai di Jawa mempunyai nilai yang lebih besar. Rata-rata pCO2 global saat ini

kurang lebih 380 µatm (IPCC, 2007a) sehingga sungai-sungai di Jawa memiliki nilai pCO2 11,2 kali lipat dari rata-rata emisi CO2 tersebut.

Untuk kualitas perairan, pengaruh besarnya fluks karbon sungai terhadap kualitas lingkungan perairan di Jawa belum bisa diambil hubungannya. Hingga saat ini belum ada ambang batas (threshold) atau baku mutu untuk karbon di perairan di dunia. Oleh karena itu karbon di sungai belum dapat digunakan sebagai sebuah indikator dari kesehatan DAS. Berdasarkan perhitungan indeks kesehatan DAS dengan metode modifikasi dari metode yang dikembangkan oleh Departemen Kehutanan, maka sungai-sungai di Jawa telah mengalami kerusakan lingkungan. DAS yang memiliki aliran sungai ke arah utara atau bermuara di sekitar Laut Jawa dan Selat Madura sudah tergolong dalam kondisi buruk atau sakit, sedangkan yang bermuara ke selatan yaitu ke Samudera Hindia kondisinya sedang.

(7)

koefisien simpanan air (KSA), indeks penggunaan air (IPA), koefisien rejim sungai (KRS), dan indeks penutupan lahan permanen (IPLM).

Rusaknya lingkungan DAS di Jawa menyebabkan trend debit sungai-sungai di Jawa, baik di hulu, tengah dan hilir memiliki trend yang turun kecuali hilir Citarum. Rata-rata penurunan trend debit sungai di bagian hulu -6,23 m3/detik/tahun, di bagian tengah -15,65 m3/detik/tahun, dan di bagian hilir -20,5 m3/detik/tahun. Di hilir, trend penurunan debit tahunan lebih besar, namun di hulu memiliki tingkat kekritisan yang lebih besar. Trend penurunan debit belum tentu disebabkan oleh pengaruh perubahan iklim, namun lebih disebabkan oleh pengaruh antropogenik, seperti perubahan penggunaan lahan, peningkatan pemanfaatan air untuk irigasi, domestik, industri, pengaruh pembendungan dan saluran irigasi, dan menurunnya aliran dasar dari hulu dan tengah DAS. Faktor antropogenik seperti perubahan morfologi sungai dan bendungan memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan pola aliran sungai

Penurunan trend debit sungai-sungai di Jawa tersebut akan semakin meningkatkan kekeringan, krisis air dan konflik penggunaan air. Penurunan trend

debit sungai akan mempengaruhi ekosistem estuari, transpor hara, sedimen dan unsur-unsur makro dan mikro dari daratan ke lautan, sirkulasi salinitas dan karbon. Menurunnya debit tersebut, akan mengakibatkan keseimbangan ekosistem di bagian hilir terganggu. Kondisi tersebut juga akan berpengaruh pada fluks karbon sungai ke laut yang juga akan berkurang sebagai akibat pengaruh penurunan trend

debit sungai. Namun konsentrasi karbon justru akan meningkat karena berkurangnya pengenceran karbon oleh debit sehingga, perairan menjadi lebih masam dan emisi karbon semakin meningkat.

(8)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

(9)

KARAKTERISTIK FLUKS KARBON DAN

KESEHATAN DAS DARI ALIRAN

SUNGAI-SUNGAI UTAMA DI JAWA

Oleh:

SUTOPO PURWO NUGROHO

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Disertasi : Karakteristik Fluks Karbon dan Kesehatan DAS dari Aliran Sungai-Sungai Utama di Jawa

Nama : Sutopo Purwo Nugroho

NRP : P 062050614

Disetujui: Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan Ketua

Dr. Ir. Etty Riani, MS Anggota

Dr. Edvin Aldrian, B.Eng, MSc Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

(12)

Penguji Luar Komisi Pembimbing:

Penguji Ujian Tertutup (28 Desember 2009)

1. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono 2. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto

Penguji Ujian Terbuka (22 Februari 2010)

(13)

PRAKATA

Bertahun-tahun penulis menggeluti masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu kebumian menyebabkan hati, pikiran dan naluri penulis secara mudah merespon hal-hal yang berkaitan sungai, air, lahan, lingkungan dan kebencanaan. Masifnya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan di Indonesia telah menyebabkan meningkatnya berbagai bencana. Peningkatan bukan hanya frekuensi, namun intensitas, “magnitude” dan sebaran bencana juga makin meningkat. Upaya-upaya pencarian ilmu pengetahuan dan teknologi terus ditingkatkan guna mengurangi risiko bencana tersebut. Salah satu, penelitian yang sangat mendasar adalah karbon. Sebab, karbon merupakan elemen kunci kehidupan. Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari karbon, baik berkaitan dengan produksi, konsumsi maupun distribusinya. Oleh karena itu, penelitian mengenai karakteristik fluks karbon merupakan salah satu penelitian dasar yang dilakukan untuk menjawab permasalahan lingkungan, khususnya dalam menjelaskan state of the knowledge dari siklus karbon yang selalu berkembang.

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT atas ridlo dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penulis menyadari bahwa untuk menghasilkan karya ini banyak pihak yang berperan. Oleh karena itu, ucapan terima kasih pertama-tama penulis sampaikan kepada Komisi Pembimbing:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, selaku ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan pencerahan dalam kegiatan mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian disertasi.

2. Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS, selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan semangat dan arahan-arahan dalam penyelesaian disertasi. 3. Bapak Dr. Edvin Aldrian, MSc., B.Eng, selaku anggota komisi pembimbing

(14)

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang selalu memberikan semangat dan cara-cara penulisan disertasi.

5. Bapak Dr. Syamsul Ma’arif, MS, selaku penguji luar yang telah bersedia menguji dalam Sidang Terbuka ini disela-sela kesibukan yang luar biasa selaku Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Dalam setiap kesempatan berinteraksi dan berdiskusi saya banyak belajar dari Bapak tentang bagaimana mencari kesempurnaan takdir.

6. Bapak Prof. Dr. Supiandi Sabihan, selaku penguji luar yang selalu responsif dan penuh semangat setiap saya menanyakan sesuatu. Materi kuliah yang disampaikan di kelas sangat bermanfaat dalam mengetahui kekinian mengenai masalah lingkungan dan sumberdaya alam.

7. Kedua orang tua saya, Bapak Suharsono dan Ibu Sri Rosmandari. Yang selalu memberikan doa, dukungan dan restu dalam setiap apa pun. Pencapaian studi doktor ini merupakan bagian dari darma bakti saya selaku anak. Tentu hal ini merupakan kebanggaan yang luar biasa bagi kedua orang tua saya. Puluhan tahun menjadi guru SD dan pensiun sebagai Kepala SD di daerah yang cukup terpencil di Boyolali, yang ditempuh dengan berjalan kaki melalui jurang dan tegalan. Tentu merasakan kebanggaan tersendiri mendidik anaknya hingga mencapai doktor.

8. Kepada istri tercinta saya, Retno Utami Yulianingsih, SH dan kedua anak saya yaitu Ivan dan Wikan yang dengan ikhlas, pengertian dan selalu memberikan kesempatan saya untuk beresksplorasi memperdalam pemahaman ilmu pengetahuan dengan melanjutkan studi S3.

9. Bapak Prof. Dr. Jana Tjahjana Anggadireja, Dr. Ir. Agus Kristijono, MSc dan Dr. Ir. Ridwan Djamaluddin, MSc yang telah memberikan ijin sekolah. 10.Prof. Dr. Chen Tung A dari National Sun Yat-Sen University Taiwan dan Dr.

Tim Jennerjahn dari ZMT Jerman yang telah banyak memberikan bantuan dan bimbingannya.

(15)

mendapatkan balasan dari Allah SWT yang Maha Bijaksana, Maha Pemurah dan Penyayang. Amin.

Bogor, Februari 2010

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Boyolali pada tanggal 7 Oktober 1969 dari ayah Suharsono dan ibu Sri Roosmandari. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Tahun 1983 penulis lulus dari SD I Boyolali, kemudian melanjutkan pendidikan di SMP I Boyolali hingga selesai tahun 1986. Pada tahun 1989 penulis menyelesaikan pendidikan SMA I Boyolali dan selanjutnya diterima di Fakultas Geografi, Jurusan Geografi Fisik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penulis lulus pada tahun 1994 dengan predikat cum laude dan wisudawan terbaik. Selama menjadi mahasiswa S1, penulis beberapa kali memperoleh juara dalam Lomba Karya Inovatif dan Produktif Tingkat Nasional dan mahasiswa teladan. Penulis sejak kecil bercita-cita ingin menjadi guru, dosen atau peneliti.

Tanggal 1 Oktober 1994 penulis diterima bekerja sebagai staf peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) hingga sekarang. Tahun 1997, penulis menikah dengan Retno Utami Yulianingsih, SH. Penulis dikaruniai dua orang anak yaitu Muhammad Ivanka Rizaldy Nugroho dan Muhammad Aufa Wikantyasa Nugroho.

(17)

DAFTAR ISI

PRAKATA ... xiii

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 6

1.3. Perumusan Masalah ... 12

1.4. Tujuan Penelitian ... 13

1.5. Manfaat Penelitian ... 15

1.6. Kebaruan/”Novelty” ... 15

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Karbon ... 17

2.2. Fluks Karbon di Sungai ... 21

2.3. Kondisi Lingkungan Pulau Jawa ... 23

2.3.1. Kependudukan ... 25

2.3.2. Penggunaan Lahan ... 26

2.4. Hidrologi ... 29

2.4.1. Kondisi Sungai ... 29

2.4.2. Bendungan ... 35

2.5. Kesehatan DAS ... 37

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

3.2. Alat dan Bahan Penelitian ... 42

3.3. Rancangan Penelitian ... 43

3.3.1. Karakteristik Fluks Karbon dari Sungai ... 43

3.3.1.1. Tujuan ... 43

3.3.1.2. Metode Pengumpulan Data ... 43

(18)

3.3.2. Pola Kecenderungan dan Watak Hidrologi ... 47

3.3.2.1. Tujuan ... 47

3.3.2.2. Metode Pengumpulan Data ... 48

3.3.2.3. Analisis Data ... 51

3.3.3. Kesehatan DAS ... 53

3.3.3.1. Tujuan ... 53

3.3.3.2. Metode Pengumpulan Data ... 54

3.3.3.3. Analisis Data ... 54

BAB IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografi dan Klimatologi ... 57

4.2. Kondisi Hidrologi ... 58

4.3. Kondisi Umum Delapan DAS di Pulau Jawa ... 60

4.3.1. DAS Ciujung ... 60

4.3.2. DAS Cisadane ... 62

4.3.3. DAS Citarum ... 64

4.3.4. DAS Cimanuk ... 68

4.3.5. DAS Citanduy ... 71

4.3.6. DAS Serayu ... 75

4.3.7. DAS Bengawan Solo ... 80

4.3.8. DAS Brantas ... 83

BAB V. KARAKTERISTIK FLUKS KARBON 5.1. Konsentrasi Karbon ... 87

5.1.1. Konsentrasi TOC dan TIC ... 87

5.1.2. Konsentrasi DOC dan DIC ... 88

5.1.3. Konsentrasi POC dan PIC ... 90

5.2. Fluks Karbon ... 92

5.2.1. Fluks TOC dan TIC ... 93

5.2.2. Fluks DOC dan DIC ... 96

5.2.3. Fluks POC dan PIC ... 96

5.3. Dinamika Musiman Karbon ... 97

5.4. Perpindahan CO2 dari Sungai ke Atmosfer ... 102

(19)

BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI

6.1. Kecenderungan Debit Sungai di Hulu ... 108

6.1.1. Kecenderungan Debit Tahunan ... 108

6.1.2. Kecenderungan Debit Bulanan ... 110

6.2. Kecenderungan Debit Sungai di Tengah ... 114

6.2.1. Kecenderungan Debit Tahunan ... 114

6.2.2. Kecenderungan Debit Bulanan ... 115

6.3. Kecenderungan Debit Sungai di Hilir ... 118

6.3.1. Kecenderungan Debit Tahunan ... 118

6.3.2. Kecenderungan Debit Bulanan ... 121

6.4. Karakteristik Hidrologi ... 123

BAB VII. TINGKAT KESEHATAN DAS 7.1. Indikator Karakteristik DAS ... 126

7.2. Kesehatan DAS ... 129

7.3. Hubungan antara Indikator dan Kesehatan DAS ... 134

BAB VIII. PEMBAHASAN UMUM FLUKS KARBON SUNGAI TERHADAP ALIRAN SUNGAI DAN KESEHATAN DAS 8.1. Kontribusi Fluks Karbon Organik Sungai di Jawa ... 138

8.1.1. Fluks DOC ... 138

8.1.2. DOC Yield ... 142

8.1.3. Korelasi DOC dengan Penduduk ... 143

8.2. Analisis Perubahan Kecenderungan Debit Sungai di Jawa ... 145

8.2.1. Perubahan Debit ... 145

8.2.2. Dampak Perubahan Debit Sungai ... 150

8.3. Hubungan antara Kesehatan DAS dan Perubahan Kecenderungan Debit ... 154

8.4. Hubungan antara Indeks Kesehatan DAS dan Karbon Sungai ... 156

8.5. Manajemen Lingkungan ... 158

BAB IX. SIMPULAN DAN SARAN 9.1. Simpulan ... 162

(20)
(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Karakteristik hidrologi sungai-sungai di daerah penelitian ... 8

2. Daftar sungai-sungai kritis di Jawa ... 9

3. Akumulasi karbon global di atmosfer dalam GtC/tahun (CO2, 13C, O2) ... 18

4. Perbandingan kepadatan penduduk per provinsi, Jawa dan nasional dari tahun 1971 – 2000 ... 26

5. Luas konversi lahan sawah berdasarkan beberapa hasil penelitian ... 28

6. Karakteristik debit sungai-sungai utama di Pulau Jawa ... 33

7. Karakteristik bendungan-bendungan tinggi (< 30 m) di Pulau Jawa ... 36

8. Informasi pendangkalan beberapa waduk di Jawa ... 37

9. Indikator, parameter dan pembobotannya untuk monev DAS .. 39

10. Lokasi pengambilan sampel karbon sungai ... 45

11. Metode analisis fluks karbon ... 47

12. Stasiun debit sungai di hulu, tengah, dan hilir yang digunakan untuk analisis trend debit ... 50

13. Parameter dan indikator dalam karakteristik DAS ... 55

14. Pembobotan pada kriteria dan indikator ... 56

15. Kriteria tingkat kesehatan DAS ... 56

16. Pembagian wilayah sungai (WS) di Pulau Jawa ... 59

17. Profil bendungan di DAS Citarum ... 66

18. Karakteristik debit spesifik sungai-sungai di DAS Serayu ... 78

19. Karakteristik aliran Sungai Bengawan Solo ... 81

20. Perubahan tampungan efektif waduk-waduk akibat sedimentasi di DAS Brantas ... 85

21 Debit sungai pada saat pengambilan sampel karbon sungai (m3/detik) ... 92

(22)

23. Nilai pCO2 sebagian sungai-sungai besar di dunia ... 104 24. Pola kecenderungan debit sungai tahunan di bagian hulu

DAS ... 109 25. Nilai Z hasil perhitungan metode Mann-Kendall yang

menunjukkan kecenderungan naik (+) dan turun (-) dari debit

bulanan di bagian hulu DAS ... 112 26. Besarnya kenaikan (+) atau penurunan (-) debit bulanan dari

nilai Q hasil perhitungan metode Mann-Kendall di bagian

hulu DAS (m3/detik) ... 113 27. Pola kecenderungan debit sungai tahunan di bagian tengah

DAS ... 115 28. Nilai Z hasil perhitungan metode Mann-Kendall yang

menunjukkan kecenderungan naik (+) dan turun (-) dari debit

bulanan di bagian tengah DAS ... 117 29. Besarnya kenaikan (+) atau penurunan (-) debit bulanan dari

nilai Q hasil perhitungan metode Mann-Kendall di bagian

tengah DAS (m3/detik) ... 118 30. Pola kecenderungan debit sungai tahunan di bagian hilir

DAS ... 119 31. Nilai Z hasil perhitungan metode Mann-Kendall yang

menunjukkan kecenderungan naik (+) dan turun (-) dari debit

bulanan di bagian hilir DAS ... 121 32. Besarnya kenaikan (+) atau penurunan (-) debit bulanan dari

nilai Q hasil perhitungan metode Mann-Kendall di bagian

hilir DAS (m3/detik) ... 123 33. Indikator karakteristik DAS di daerah penelitian ... 128 34. Hasil evaluasi per indikator dari masing-masing karakteristik

DAS di daerah penelitian ……… 128 35 Hasil perkalian antara indikator dan bobot serta kesehatan

DAS ... 132 36 Luas, kepadatan penduduk dan fluk DOC dari beberapa

sungai-sungai di dunia ... 141 37 Indeks kesehatan DAS dan kecenderungan debit sungai di

daerah penelitian ... 156 38 Korelasi antara indeks kesehatan DAS dan parameter karbon

(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka pemikiran ... 11 2. Perumusan masalah dan keterkaitan antar bahasan ... 14 3. Siklus karbon untuk tahun 1990-an ... 19 4. Siklus karbon global yang dinyatakan dalam Pg C untuk

reservoir dan Pg C/tahun untuk fluks ... 20 5. Siklus karbon global detil untuk daratan ... 21 6. Distribusi produk domestik bruto nasional ... 24 7. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Jawa periode 1930 –

2004 ... 25 8. Perkembangan sebaran hutan alam di Jawa tahun 1891, 1963

dan 1987 ……….. 27

9. Distribusi peluang banjir puncak Citarum-Nanjung (luas DAS

= 1.675 km2) ... 31 10. Distribusi peluang banjir puncak Cisadane-Batubeulah, luas

DAS = 820 km2) ... 32 11. Hubungan antara luas DAS dan debit tahunan

rata-rata ... 33 12. Lokasi penelitian ... 42 13. Curah hujan tahunan Pulau Jawa ... 58 14. Pembagian WS di Jawa dan Madura ... 60 15. Kondisi tutupan lahan berdasarkan citra Landsat tahun 2001

di DAS Ciujung ... 62 16. Kondisi tutupan lahan berdasarkan citra Landsat tahun 2001

di DAS Cisadane ... 64 17. Kondisi tutupan lahan berdasarkan citra Landsat tahun 2001

di DAS Citarum ... 67 18. Kondisi tutupan lahan berdasarkan citra Landsat tahun 2001

di DAS Cimanuk ... 69 19. Penyusutan luas perairan Laguna Segara Anakan di sekitar

muara Citanduy dari tahun 1985 - 2003 72

20. Perbandingan tutupan lahan dari Citra Landsat tahun 1991

(24)

23. Peta batas DAS Bengawan Solo ………... 81 29. Fluks TOC dan TIC pada masing-masing stasiun pengukuran

di daerah penelitian (ton/tahun) ... 94 30. Perbandingan antara DOC, DIC, POC dan PIC pada

masing-masing stasiun pengukuran di daerah penelitian (ton/tahun) .. 95 31. Sebaran fluks karbon dari sungai ke lautan di daerah

penelitian (ton/tahun) ... 95 32. Jumlah fluks karbon terlarut pada masing-masing stasiun

pengukuran di daerah penelitian (ton/tahun) ... 96 33. Jumlah fluks karbon partikulat pada masing-masing stasiun

pengukuran di daerah penelitian (ton/tahun) ... 97 34. Dinamika konsentrasi TOC, TIC, DOC, DIC, POC dan PIC di

daerah penelitian ... 100 35. Dinamika fluks TOC, TIC, DOC, DIC, POC dan PIC di

daerah penelitian ... 101 36. Perbandingan antara rata-rata pCO2 dari sungai-sungai di

daerah penelitian dengan standar emisi atmosfer ... 103 37. Perbandingan nilai pCO2 di antara sungai-sungai di Jawa dan

sebagian sungai-sungai besar di dunia ... 105 38. Variasi musiman dari pCO2 di daerah penelitian ... 106 39. Kecenderungan debit sungai di bagian hulu DAS ... 111 40. Pola nilai Z dari debit bulanan di bagian hulu DAS ... 112 41. Pola perubahan debit per bulan dari masing-masing sungai di

bagian hulu DAS ... 114 42. Kecenderungan debit sungai di bagian tengah DAS ... 116 43. Pola nilai Z dari debit bulanan di bagian tengah DAS ... 117 44. Pola perubahan debit per bulan dari masing-masing sungai di

(25)

47. Pola perubahan debit per bulan dari masing-masing sungai di

bagian hilir DAS ... 123 48. Trend KRS di Stasiun Padas dari tahun 1974 – 2003 ……….. 125 49. Perbandingan antara konsentrasi DOC sebagian sungai-sungai

dunia (bulat putih) dan sungai-sungai di daerah penelitian

(bulat hitam)) ... 140 50. Perbandingan antara fluks DOC sungai-sungai di daerah

penelitian (bulat hitam) dengan sebagian sungai-sungai di

dunia (bulat putih) ... 142 51. Perbandingan antara DOC yield sungai-sungai di daerah

penelitian (bulat hitam) dengan sebagian sungai-sungai di

dunia (bulat putih) ... 143 52. Hubungan antara DOC yield dan kepadatan penduduk dari

sungai-sungai di daerah penelitian dan sebagian sungai-sungai

di dunia ... 144 53. Hubungan antara konsentrasi DOC dan kepadatan penduduk

dari sungai di daerah penelitian dan sebagian

sungai-sungai di dunia ... 145 54. Perubahan trend debit sungai sebelum (1972-1981) dan

sesudah (1982-1996) beroperasinya waduk Wonogiri, serta pengaruh pembangunan sudetan dan normalisasi sungai

Bengawan Solo (1997-2001) di stasiun Kauman ………….. 148 55. Hubungan antara indeks kesehatan DAS dan kecenderungan

(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Konsentrasi TOC sungai-sungai di daerah penelitian

(mg/l) ... 181 2 Konsentrasi TIC sungai-sungai di daerah penelitian

(mg/l) ... 181 3 Konsentrasi DOC sungai-sungai di daerah penelitian

(mg/l) ... 182 4 Konsentrasi DIC sungai-sungai di daerah penelitian

(mg/l) ... 182 5 Konsentrasi POC sungai-sungai di daerah penelitian

(mg/l) ... 183 6 Konsentrasi PIC sungai-sungai di daerah penelitian

(mg/l) ... 183 7 Fluks TOC sungai-sungai di daerah penelitian

(ton/tahun) ... 183 8 Fluks TIC sungai-sungai di daerah penelitian

(ton/tahun) ... 184 9 Fluks DOC sungai-sungai di daerah penelitian

(ton/tahun) ... 184 10 Fluks DIC sungai-sungai di daerah penelitian

(ton/tahun) ... 184 11 Fluks POC sungai-sungai di daerah penelitian

(ton/tahun) ... 185 12 Fluks PIC sungai-sungai di daerah penelitian

(ton/tahun) ... 185 13 Konsentrasi pCO2 dari sungai-sungai di daerah penelitian

(µatm) ... 185 14 Perbedaan antara konsentrasi TOC di bagian hulu dan hilir

(mg/l) ... 186 15 Perbedaan antara konsentrasi TIC di bagian hulu dan hilir

(mg/l) ... 186 16 Perbedaan antara konsentrasi DOC di bagian hulu dan hilir

(mg/l) ... 186 17 Perbedaan antara konsentrasi DIC di bagian hulu dan hilir

(mg/l) ... 186 18 Perbedaan antara konsentrasi POC di bagian hulu dan hilir

(27)

19 Perbedaan antara konsentrasi PIC di bagian hulu dan hilir

(mg/l) ... 187 20 Perbandingan antara TOC di bagian hulu dan hilir ... 189 21 Perbandingan antara TIC di bagian hulu dan hilir ... 190 22 Perbandingan antara DOC di bagian hulu dan hilir ... 191 23 Perbandingan antara DIC di bagian hulu dan hilir ... 192 24 Perbandingan antara POC di bagian hulu dan hilir ... 193 25 Perbandingan antara PIC di bagian hulu dan hilir ... 194 26 Prediksi debit sungai di bagian hulu DAS di daerah

penelitian ... 187 27 Prediksi debit sungai di bagian tengah DAS di daerah

penelitian ... 188 28 Prediksi debit sungai di bagian hilir DAS di daerah

(28)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Karbon merupakan unsur kunci dari kehidupan. Siklus karbon penting untuk memahami biosfer dan mekanisme dasarnya. Ketersediaan karbon berupa karbondioksida di atmosfer, karbonat di lempeng bumi, ion karbonat di laut, dan beberapa campuran organik di biota, tanah dan di laut pada dasarnya tergantung pada gas yang mengandung karbon, terutama metan dan karbodioksida yang terlepas dari interior bumi dalam kurun waktu geologi (Bolin et al., 1977; Martin and Probst, 1991). Biosfer seperti yang ada saat ini, telah berubah melalui proses yang kompleks antara karbon dan beberapa elemen lainnya, khususnya hidrogen, oksigen, elemen dasar hara seperti nitrogen, fosfor, sulfur dan beberapa logam dalam jumlah yang kecil yang merupakan dasar untuk membangun kehidupan. Atas hal tersebut, maka siklus karbon tidak dapat ditelaah secara terpisah dari siklusnya dengan elemen-elemen lainnya dalam sistem biogeokimia (Degen, 1982; Field and Raupach, 2004).

Dalam perkembangannya, khususnya setelah era industrialisasi, neraca karbon telah mengalami ketidakseimbangan. Bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya aktivitas pembangunan telah menyebabkan karbon di atmosfer semakin meningkat. Saat ini diperkirakan gas karbon di atmosfer kurang lebih 4,1 ± 0,1 GtC/tahun (4,1 ± 0,1 x 1015 gC/tahun) (IPCC, 2007a). Fluks karbon di atmosfer tersebut merupakan jumlah dari emisi karbon yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan semen sebesar 7,2 ± 0,3 GtC/tahun ditambah dengan fluks karbon di lautan-atmosfer -2,2 ± 0,5 GtC/tahun dan fluks karbon di daratan-atmosfer -0,9 ± 0,5 GtC/tahun. Adanya kelebihan karbon di atmosfer tersebut menyebabkan terjadinya pemanasan global (Field and Raupach, 2004), yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perubahan iklim global. Perubahan iklim global telah menjadi isu dunia karena merupakan suatu ancaman serius bagi kelangsungan mekanisme biosfer.

(29)

keterkaitan dalam siklus biogeokimia karbon antara daratan dan lautan. Kualitas karbon yang ditranspor oleh sungai merupakan komponen penting dalam siklus karbon global (Meybeck, 1982; Ittekkot, 1988; Ludwig et al., 1996; Meybeck and Ragu, 1996; Sempere et al., 2000, Dagg et al., 2004; Wu et al., 2007). Oleh karena itu, saat ini terjadi peningkatan riset untuk menghitung transpor karbon dari sungai ke laut (Ludwig dan Probst, 1998; Coynel et al., 2005).

Sumber karbon di sungai, baik organik maupun inorganik dalam bentuk terlarut dan partikulat karbon, berasal dari alam dan pengaruh antropogenik. Sumber-sumber alam dapat berasal dari tanah, vegetasi, serasah, pelapukan batuan, organisme, sedangkan dari antropogenik berasal dari pertanian, industri, permukiman, sampah, limbah cair dan aktivitas manusia lainnya (Bolin et al., 1977). Secara umum karbon di sungai dikenal dalam enam bentuk yaitu total karbon organik (TOC), total karbon inorganik (TIC), karbon organik terlarut (DOC), karbon inorganik terlarut, (DIC), karbon organik partikulat (POC), dan karbon inorganik partikulat (PIC).

Fluks karbon sungai menyediakan informasi yang penting dari proses-proses biogeokimia dalam DAS (Wu et al., 2007), seperti sifat-sifat tanah, iklim ekstrim, erosi batuan dan kejadian hidrologi yang menimbulkan laju perubahan yang cepat dalam transpor massa dari sungai (Spitzy and Ittekkot, 1991). Pengaruh antropogenik, seperti perubahan penggunaan lahan dapat juga mempengaruhi input karbon dari sungai (Kao and Liu, 1996).

Adanya keterbatasan data dan kesulitan memprediksi fluks karbon menyebabkan perkiraan fluks karbon dari sungai ke laut di dunia selalu berubah-ubah (McKee, 2003). Demikian pula halnya dengan masalah-masalah yang mendasar yang mengatur fluks karbon melalui sungai dan estuari-estuari besar di daerah tropis di Asia belum dipahami dengan baik (Dehairs et al., 2000, Talaue-McManus et al., 2001).

(30)

0,8 GtC/tahun. Dari total fluks karbon sungai dunia tersebut kontribusi karbon organik terlarut (DOC) diperkirakan kurang lebih 40% (Meybeck, 1993; Probst et al., 1999). Namun menurut Ludwig et al., (1996) kontribusi DOC di sungai kurang lebih 55%, sedangkan menurut Chen (2004) berkisar antara 22,7 – 36,4%.

Dalam siklus karbon global, sungai-sungai di tropis memiliki peran yang penting dalam memasok karbon ke lautan. Sebab sungai-sungai di tropis menyumbang kurang lebih 60% terhadap air, sedimen dan karbon organik ke lautan (Ludwig et al., 1996; Gillardet et al., 1999; Syvitski et al., 2005; Alkhatib

et al., 2007). Meskipun sungai tersebut tergolong dalam klasifikasi sungai-sungai kecil (Walling and Fang, 2003), namun sungai-sungai-sungai-sungai tersebut berperan penting dalam memasok DOC ke laut (Baum et al., 2007) dan daerah pesisir (Smith and Hollubough, 1992 dalam Wu et al., 2007; Opsahl and Benner, 1997). Sungai-sungai kecil di pegunungan, khususnya di daerah tropis merupakan sumber utama penting karbon organik ke lautan daripada perkiraan sebelumnya karena kondisi biogeofisik DAS dan iklim berperan dalam proses pelapukan batuan dan erosi tanah (Kao & Liu, 1996,1997; Lyons et al., 2002; Blair et al., 2003; Gomez et al., 2003; Komada et al., 2004).

Diperkirakan sungai-sungai di Indonesia memasok DOC ke laut kurang lebih 21 TgC/tahun (21 x 1012 gC/tahun) atau 10% dari total pasokan sungai-sungai di dunia (Baum et al., 2007). Selain itu, sungai-sungai di Indonesia menyumbang kurang lebih 11% atau 4,26 x 1012 m3/tahun aliran air tawar global ke laut (Syvitski et al., 2005). Perkiraan tersebut merupakan hasil ekstrapolasi perhitungan model dari data yang dikumpulkan pada sungai-sungai besar di dunia (Cauwet, 2002; Harrison et al., 2005). Terbatasnya data dan informasi mengenai sungai-sungai di Indonesia dan belum adanya penelitian dalam studi lapangan lebih mendalam (Baum et al., 2007) menyebabkan perkiraan fluks karbon sungai-sungai di Indonesia didasarkan pada bangkitan model dari sungai-sungai besar di sunia.

(31)

DAS telah dilakukan sehingga menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Adanya pengaruh perubahan iklim global bersamaan dengan adanya perubahan penggunaan lahan dalam tiga dasawarsa terakhir ini telah memberi dampak berupa peningkatan frekuensi, debit, dan volume banjir dari sungai-sungai yang ada (Pawitan, 2004).

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.18 Tahun 2005 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa luas Pulau Jawa dan Madura 129.306,48 km2 atau seluas 6,95% dari luas Indonesia yang mencapai 1.860.359,67 km2 (BPS, 2005). Sensus Penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Pulau Jawa kurang lebih 121,29 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 18% lebih penduduk tinggal di Provinsi Jawa Barat, 15% di Jawa Tengah, dan 17% di Jawa Timur. Jumlah penduduk, gabungan antara Maluku, Maluku Utara dan Papua yang memiliki luas kurang lebih 24% dari luas total Indonesia hanya dihuni kurang lebih 2%. Besarnya jumlah penduduk di Pulau Jawa tersebut menyebabkan kepadatan penduduk menjadi lebih tinggi yaitu 938 jiwa/km2 pada tahun 2000 dan 996 jiwa/km2 tahun 2004 (BPS, 2005).

Jumlah penduduk yang besar tersebut jelas memerlukan lahan untuk menopang kehidupannya. Hal ini banyak dilakukan dengan mengkonversi lahan hutan dan lahan pertanian yang ada. Perubahan penggunaan lahan di Jawa bukan hanya karena pengaruh dari tekanan penduduk, namun juga dari kebijakan pemerintahan yang dominan pada masa sebelumnya. Dari tahun 1600 - 1990, luas lahan pertanian dan permukiman berkembang pesat sejak tahun 1870-an (Smith, 1990 dalam Lavigne and Gunnel, 2007; KKP, 2006). Perkembangan tersebut terjadi dengan mengonversi lahan hutan dataran rendah menjadi pertanian dan permukiman. Jika pada tahun 1800-an, luas hutan alam mencapai 10 juta ha, namun tahun 1989 tinggal 1 juta ha. Bahkan tahun 2005 tinggal tersisa 0,4 juta ha (Baplan Dephut, 2005; KKP, 2006). Sedangkan untuk lahan pertanian, dalam tiga dekade terakhir, konversi lahan pertanian sawah menjadi permukiman dan industri semakin tidak terkendali. Data laju perubahan penggunaan lahan di Jawa cukup bervariasi. Berdasarkan penelitian Sudaryanto (2002), konversi lahan sawah di Jawa dari tahun 1981-1999 mencapai 1.002.055 ha atau 50.103 ha/tahun.

(32)

dukung lingkungan Pulau Jawa terlampaui (KKP, 2006) dan berimplikasi terhadap perubahan aliran sungai-sungai di Jawa. Perubahan iklim global juga mempengaruhi perubahan pola aliran yang ada, seperti terjadinya penurunan kecenderungan (trend) curah hujan tahunan (Aldrian, 2008). Dengan turunnya hujan, maka aliran juga akan berpengaruh. Hubungan hujan-aliran sudah banyak diteliti oleh pakar. Tanda-tanda perubahan iklim dikaitkan dengan meningkatnya debit dan aliran pemukaan dari abad sebelumnya telah diamati di berbagai wilayah (IPCC, 2007a). Hal ini juga ditunjukkan Pawitan (2004), bahwa gejala penurunan curah hujan Pulau Jawa nampak dari rataan curah hujan tahunan periode 1931-1960 dan 1968-1998 di banyak stasiun yang meliputi sepanjang Jawa bagian selatan yang mencapai selisih 1.000 mm antara dua periode pengamatan tersebut. Penelitian di DAS Citarum menunjukkan bahwa trend

penurunan curah hujan dengan laju 10 mm/tahun dan diikuti oleh penurunan debit limpasan sebesar 3 mm/tahun untuk periode 1896-1994.

Perubahan debit sungai yang ekstrim mengindikasikan bahwa kondisi hidrologi menjadi lebih mengkhawatirkan (IPCC, 2007b). Demikian pula halnya dengan berubahnya watak hidrologi sungai-sungai di Jawa (Nugroho, 2006). Kondisi hidrologi di Jawa, umumnya saat ini dicirikan oleh meningkatnya kejadian ekstrim, seperti banjir dan kekeringan. Pada saat musim penghujan, debit sungai cukup besar hingga menimbulkan banjir, namun pada saat kemarau debit sungai cukup kecil bahkan di beberapa hulu dan hilir sungai kering sehingga tidak ada aliran sama sekali. Karakteristik banjir puncak untuk sungai-sungai di Jawa juga telah mengalami perubahan atau tepatnya secara statistik mengalami pergeseran distribusi peluang (Putuhena et al., 2004).

(33)

ada aliran pada musim kemarau, maka tidak ada pula fluks karbon dari daratan ke lautan.

Salah satu pengaruh antropogenik yang berpengaruh terhadap penurunan fluks karbon di sungai adalah pembangunan bendungan (Turner et al., 1998; Ittekkot, 2000; Nixon, 2003; Chen, 2002, 2004). Bendungan dan irigasi di satu sisi bermanfaat menambah cadangan air, ternyata juga banyak menimbulkan masalah lain, seperti: a) menurunnya pasokan sedimen ke pantai di seluruh dunia (Milliman, 1997); b) meningkatnya intrusi air laut (Crossland et al., 2005); c) menurunkan pola produktivitas, keanekaragaman dan sifat-sifat ekosistem di estuari (Baird and Heymans, 1996); dan d) menurunkan kandungan silika ke perairan pesisir (Conley et al., 1993). Pasokan air, kandungan hara, karbon, sedimen dan material lain yang terlarut dalam air tertahan oleh bendungan dan mengendap di dasar bendungan, sehingga daerah hilir lebih sedikit pasokannya jika dibandingkan dengan sebelumnya ketika belum dibangun bendungan tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka penelitian mengenai karakteristik fluks karbon dan kesehatan DAS dari aliran sungai-sungai utama di Jawa perlu dilakukan lebih mendalam. Keterkaitan antara fluks karbon, tingkat kesehatan DAS dan perubahan aliran sungai merupakan hubungan yang saling mengkait dalam siklus karbon di daratan. Terlebih lagi penelitian hal tersebut belum pernah dilakukan, sehingga diharapkan dapat menjawab kekosongan informasi fluks karbon di Indonesia yang hingga saat ini masih terbatas.

1.2. Kerangka Pemikiran

(34)

dari biomassa untuk berbagai keperluan seperti kayu, pakaian, kendaraan, kertas, minyak bumi, batubara dan sebagainya.

Pada siklus karbon, sungai merupakan komponen penting karena berfungsi sebagai pemindah lateral karbon organik dan inorganik dari daratan menuju lautan, baik dalam bentuk terlarut maupun partikulat. Sumber-sumber karbon di daratan, baik yang berasal dari alam maupun hasil antropogenik dapat tererosi oleh aliran permukaan kemudian mengalir ke sungai hingga ke lautan. Dalam proses perpindahan tersebut faktor biogeofisik DAS dan penduduk cukup berperan dalam menentukan besaran fluks karbon sungai.

Kompleksnya masalah yang saling berkaitan dalam fluks karbon sungai menyebabkan perkiraan fluks karbon sungai global berbeda-beda. Dalam perkiraan fluks karbon global, sungai-sungai di Indonesia diperkirakan memasok karbon organik terlarut (DOC) kurang lebih 21 TgC/tahun atau 10% dari total pasokan sungai-sungai di dunia (Baum et al., 2007). Perkiraan ini merupakan hasil ekstrapolasi perhitungan model dari data yang dikumpulkan pada sungai-sungai besar di dunia. Tentunya perkiraan tersebut masih bersifat umum karena kondisi biogeofisik DAS dan lingkungan alam di Indonesia berbeda dengan sungai-sungai besar yang berada di daerah kontinen yang dijadikan rujukan dalam model tersebut. Perkiraan tersebut dilakukan karena terbatasnya penelitian fluks karbon dari sungai-sungai di Indonesia.

Demikian pula halnya dengan karakteristik fluks karbon sungai di Jawa masih cukup terbatas penelitiannya. Kondisi sungai-sungai di Jawa berbeda dengan pulau lainnya karena Jawa memiliki karakteristik yang lebih kompleks. Pulau Jawa dan Madura terbagi dalam 15 wilayah sungai yang didalamnya terdapat kurang lebih 160 DAS. Dari 160 DAS tersebut terdapat kurang lebih 8 DAS besar yaitu Ciujung, Cisadane, Citarum, Cimanuk, Citanduy, Serayu, Bengawan Solo dan Brantas yang memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga menjadi dasar pertimbangan penelitian dilakukan di 8 DAS tersebut, seperti:

(35)

2) Sungai-sungai tersebut mencakup sungai strategis di Jawa dan di dalam kawasan DAS tersebut telah berkembang pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan jumlah penduduk yang lebih besar dibandingkan dengan dengan DAS lainnya. Penduduk di DAS Citarum kurang lebih 11 juta jiwa, di DAS Bengawan Solo yang merupakan DAS terbesar di Pulau Jawa berpenduduk kurang lebih 17,5 juta jiwa, dan DAS Brantas terbesar kedua berpenduduk kurang lebih 16 juta jiwa.

3) Memiliki karakteristik hidrologi yang berbeda-beda setiap sungainya (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik hidrologi sungai-sungai di daerah penelitian

No Sungai - Stasiun Luas DAS

Keterangan: 1) Debit tahunan rata-rata; 2) Debit maksimum bulanan; 3) Debit maksimum bulanan rata-rata; 4) Debit minimum bulanan rata-rata

4) Adanya perbedaan dalam pengelolaan sungai di daerah penelitian, misalnya Sungai Citarum dikelola oleh Perum Jasa Tirta (PJT) II dan Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo oleh PJT I. Selain itu dalam institusi pengelolaan sungai di masing-masing wilayah sungai juga terdapat Balai PSDA, PIPWS dan dinas pemerintah daerah.

5) Adanya waduk-waduk besar di beberapa sungai seperti Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur di Sungai Citarum; Waduk Wonogiri di Sungai Bengawan Solo; Waduk Mrica di Sungai Serayu; dan waduk kaskade di Sungai Brantas yang meliputi Karangkates, Wlingi, Selorejo, Lahor dan Sengguruh.

(36)

7) Adanya perbedaaan arah aliran dari masing-masing sungai. Sungai Ciujung, Cisadane, Citarum, dan Cimanuk bermuara ke Laut Jawa. Sungai Citanduy dan Serayu bermuara ke Samudera Hindia, sedangkan sungai Bengawan Solo dan Brantas bermuara di sekitar Selat Madura.

8) Seluruh DAS tersebut tergolong sebagai DAS kritis dan super prioritas dalam pengelolaan DAS sejak tahun 1984 hingga 2003 (Tabel 2), karena: a) Daerah yang hidroorologisnya kritis, ditandai oleh besarnya angka perbandingan antara debit maksimum (musim hujan) dan debit minimum (musim kemarau) serta kandungan lumpur (sediment load) yang berlebihan; b) Daerah yang telah, sedang, atau akan dibangun bangunan vital dengan investasi besar, antara lain waduk, bendung, dan bangunan pengairan lainnya; c) Daerah yang rawan terhadap banjir dan kekeringan; dan d) Daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi.

Tabel 2. Daftar sungai-sungai kritis di Jawa No Penetapan DAS Kritis (Super Prioritas)

1984 1994 2000 2003

Bengawan Solo Bengawan Solo

3 DAS Serayu-Luk

Sumber : Departemen Kehutanan, 1984; Suwarjo et al., 1994; Suripin, 2002; Departemen Kehutanan, 2003

(37)

siklus biogeokimia, karbon tersebut cukup penting sebagai sumber energi bagi kehidupan di perairan dan pesisir untuk proses fotosintesis.

Pengelolaan DAS yang baik umumnya akan memberikan respon terhadap hidrologi yang baik, seperti kecilnya koefisien rejim sungai, koefisien varian, erosi, membaiknya kualitas air dan sebagainya. Hubungan antara kondisi DAS dan karbon sungai belum banyak dilakukan penelitian. Karbon sebagai salah satu indikator dari kualitas lingkungan merupakan salah satu kajian yang belum banyak dilakukan. Demikian pula halnya dengan perubahan dari hidrologi yang ada. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa semakin meningkatnya degradasi lingkungan, kondisi debit sungai-sungai di Jawa cenderung memiliki koefisien rejim sungai yang besar. Artinya perbedaan antara debit maksimum dan minimum cukup besar, bahkan saat musim kemarau aliran dasar (base flow) sudah tidak ada sehingga tidak ada aliran sama sekali. Perubahan pola aliran sungai tersebut cukup berpengaruh pada siklus karbon, khususnya fluks karbon dari sungai.

Pada penelitian fluks karbon di Jawa, hal yang penting dikaji lebih mendalam adalah menghitung besarnya ekspor karbon sungai ke laut. Karakteristik fluks karbon perlu dikenali, baik berdasarkan musiman, distribusi sungai, maupun pengaruh antropogenik yang ada. Perbedaan antara ke utara dan selatan Pulau Jawa, sudah pasti ada karena sistem sungai dan karakteristik DAS-nya berbeda. Selain itu fluktuasi musim, klasifikasiDAS-nya berkaitan dengan sistem sungai yang ada dan analisis jebakan karbon sungai, merupakan kajian yang perlu diteliti lebih mendalam.

(38)

11

(39)

1.3. Perumusan Masalah

Meningkatnya intensitas penggunaan lahan pada suatu DAS telah menyebabkan terlampauinya daya dukung lingkungan, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan. DAS besar yang terdapat di Jawa sebagian besar telah dikategorikan kritis atau sudah tidak sehat kondisinya karena rusaknya hidroorologis. Pada musim hujan debit sungai cukup besar dan menimbulkan banjir, namun pada musim kemarau debit sungai cukup kecil, bahkan di beberapa sungai mengalami kekeringan. Demikian pula halnya dengan masalah kualitas air yang telah menyebabkan tercemarnya air sungai. Terlebih lagi pada musim kemarau dimana pasokan air dari air hujan tidak ada dan aliran dasar sungai cukup kecil, sehingga tidak ada pengenceran.

Dalam siklus karbon, sungai berperan dalam memasok karbon dari daratan ke lautan melalui debit sungai yang ada. Karbon terlarut dalam perairan sungai berkaitan dengan jumlah dan sebaran penduduk, penggunaan lahan, industri, permukiman, pertanian dan sebagainya. Hal ini disebabkan segala aktivitas kehidupan manusia di permukaan bumi memerlukan senyawa karbon, baik untuk proses produksinya maupun konsumsi. Seluruh aktivitas manusia di daratan pada dasarnya akan menghasilkan karbon. Karbon yang tidak teremisikan dan berada di permukaan bumi akan tererosi dan terlarut oleh aliran permukaan yang selanjutnya dialirkan ke lautan oleh sungai tersebut. Erosi karbon dari lahan dan dilarutkan oleh sungai ke laut merupakan satu bagian dari siklus karbon global.

Perubahan pola hujan di berbagai tempat di Pulau Jawa yang bersamaan dengan proses terjadinya perubahan penggunaan lahan, telah menyebabkan watak sungai berubah (Nugroho, 2006). Perubahan aliran sungai ini berpengaruh terhadap fluks karbon yaitu karbon yang berasal dari daratan terlarut ke dalam aliran sungai dan terendapkan sampai pada suatu tempat (Coynel et al., 2005).

(40)

terbatas. Terlebih kondisi DAS yang memiliki perbedaan karakteristik seperti jumlah penduduk yang besar, penggunaan lahan, industri, geologi, pembangunan sungai dan pengelolaan sungai akan berpengaruh terhadap karakteristik fluks karbon sungai. Karbon sebagai salah satu indikator dari kesehatan suatu DAS belum banyak dilakukan kajian, padahal seluruh kehidupan makhluk hidup di bumi semuanya berkaitan dengan karbon. Bertitik tolak dari fenomena tersebut maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Bagaimana karakteristik fluks karbon dari delapan sungai utama di Jawa? b) Bagaimana trend aliran sungai saat ini?

c) Indikator apakah yang paling berperan dalam menentukan kesehatan DAS? d) Apakah karakteristik fluks karbon sungai dapat dijadikan sebagai indikator

degradasi lingkungan?

1.4. Tujuan Penelitian

Beberapa tujuan dari penelitian ini adalah:

(41)

`

Gambar 2. Perumusan masalah dan keterkaitan antar bahasan

Pola Aliran Sungai (8 Sungai)

Karakteristik DAS Trend dan Watak

Hidrologi

Fluks karbon (8 Sungai)

Penduduk Erosi Sedimentasi Kualitas air

Tutupan Lahan

Hidrologi Data debit sungai

Kepada-Fluks karbon Sungai di Jawa

(42)

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

• Memberikan kontribusi dalam pemahaman terhadap penelitian karakteristik fluks karbon, khususnya fluks karbon dari sungai-sungai kecil dengan topografi pegunungan dengan jumlah penduduk yang besar seperti di Jawa, mengingat penelitian mengenai hal tersebut masih terbatas.

• Membantu para pihak yang terlibat untuk lebih memahami pentingnya fluks karbon sungai dalam konteks neraca karbon.

• Memberikan pengetahuan mengenai karakteristik dan perubahan watak hidrologi dari sungai-sungai di Jawa sehingga dapat digunakan untuk penyusunan kebijakan pengelolaan DAS dan lingkungan hidup.

1.6. Kebaruan/Novelty

Dalam penelitian ini yang menjadi novelty-nya, adalah :

1.6.1. Kebaruan dari aspek pengungkapan fakta karakteristik fluk karbon sungai-sungai di Jawa yang diyakini sebagai sebagai salah satu kontributor fluks karbon sungai di daerah tropis. Sungai-sungai yang berada di daerah tropis, kepulauan dengan topografi bergunung-gunung serta memiliki jumlah penduduk yang besar diyakini memberikan kontribusi fluks karbon organik dari daratan ke lautan yang lebih besar daripada sungai-sungai di kontinen dalam siklus biogeokimia karbon dunia.

1.6.2. Kebaruan dalam mengenali perubahan trend dan watak hidrologi dari delapan sungai utama di Jawa akibat pengaruh perubahan iklim global dan antropogenik. Perubahan trend dan watak hidrologi akan berpengaruh terhadap fluks karbon sungai dari daratan ke lautan. Selain itu juga berpengaruh terhadap pasokan air untuk memenuhi berbagai kebutuhan air mengingat ketersediaan air di Jawa sudah kritis sehingga potensi konflik penggunaan air akan semakin lebih berat di masa mendatang.

(43)
(44)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siklus Karbon

Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer. Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer teresterial (biasanya termasuk pula sistem air tawar dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon), lautan (termasuk karbon inorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pergerakan karbon, pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam. Lautan mengadung kolam aktif karbon terbesar dekat permukaan bumi, namun demikian laut dalam bagian dari kolam ini mengalami pertukaran yang lambat dengan atmosfer.

Dalam siklus tersebut, molekul karbon dalam bentuk CO2 digunakan oleh tumbuhan menjadi molekul organik yang kompleks seperti gula, lemak, protein dan serat, dengan menggunakan energi matahari melalui proses fotosintesis (Whitten et al., 1999). Proses ini menghasilkan produktivitas primer kotor, yang sebagian dikonsumsi dalam respirasi. Sisanya adalah produktivitas primer bersih. Molekul organik dikonsumsi dikeluarkan menjadi kotoran, diasimilasikan, dikonsumsi, dikeluarkan sebagai kotoran, diasimilasikan dan seterusnya sampai dapat digunakan sebagai energi. Molekul karbon dilepaskan ke dalam atmosfer lagi sebagai CO2, yaitu hasil respirasi organisme konsumen seperti jamur atau binatang, atau tumbuhan sebelum dikonsumsi lagi (Begon et al., 1990).

(45)

Dari siklus karbon tersebut terbentuk kesetimbangan pertukaran karbon (antara yang masuk dan keluar) antar reservoir karbon atau antara satu putaran (loop) spesifik siklus karbon (misalnya atmosfer - biosfer). Analisis neraca karbon dari sebuah kolam atau reservoir dapat memberikan informasi tentang apakah kolam atau reservoir berfungsi sebagai sumber (source) atau rosot (sink) karbondioksida.

Berdasarkan siklus karbon global, akumulasi karbon di atmosfer terus meningkat jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada tahun 1990-an, diperkirakan akumulasi karbon di atmosfer kurang lebih 3,2 ± 0,1 GtC/tahun. Satuan yang digunakan untuk menyatakan jumlah karbon tersebut adalah GtC/tahun (PgC/tahun

atau 1015 gC/tahun). Saat ini akumulasi karbon di atmosfer diperkirakan kurang

lebih 4,1 ± 0,1 GtC/tahun (IPCC, 2007a). Akumulasi fluks karbon di atmosfer tersebut merupakan jumlah dari emisi karbon yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan semen sebesar 7,2 ± 0,3 GtC/tahun ditambah dengan fluks karbon di lautan-atmosfer -2,2 ± 0,5 GtC/tahun dan fluks karbon di daratan-atmosfer -0,9 ± 0,5 GtC/tahun. Siklus karbon global untuk masing-masing komponen tersebut disajikan pada Tabel 3. Gambaran detil mengenai siklus karbon global serta interaksinya antara daratan-lautan-atmosfer disajikan dalam Gambar 3.

Tabel 3. Siklus karbon global di atmosfer dalam GtC/tahun

1980-an 1990-an 2000-2005

Revisi TAR TAR AR4 AR4

Akumulasi C di atmosfer 3,3 ± 0,1 3,2 ± 0,1 3,2 ± 0,1 4,1 ± 0,1

= Emisi (fosil, semen) 5,4 ± 0,3 6,4 ± 0,4 6,4 ± 0,4 7,2 ± 0,3

Fluks lautan-atmosfer -1,8 ± 0,8 -1,7 ± 0,5 -2,2 ± 0,4 -2,2 ± 0,5

+ Fluks daratan-atmosfer -0,3 ± 0,9 -1,4 ± 0,7 -1,0 ± 0,6 -0,9 ± 0,5

Pengurangan dari fluks daratan-atmosfer

= Fluks perubahan lahan 1,4

(0,4 - 2,3)

- 1,6

(0,5 – 2,7)

-

+ Fluks sisa rosot di daratan -1,7

[(-3,4) – 0,2]

- -2,6

(46)

Gambar 3. Siklus karbon untuk tahun 1990-an (Sumber : IPCC, 2007a)

(47)

Gambar 4. Siklus karbon global yang dinyatakan dalam PgC (GtC) untuk reservoir dan PgC/tahun (GtC/tahun) untuk fluks. Tanda garis panah hitam menggambarkan fluks sebelum era industri, sedangkan garis panah merah menunjukkan rata-rata fluks antropogenik untuk periode 1980-an dan 1990-an. Angka hitam dalam tanda kurung menunjukkan cadangan reservoir sebelum era industri, sedangkan angka merah dalam tanda kurun menyatakan perubahan yang telah terjadi dari reservoir tersebut periode 1800 hingga 1994 (Sumber: Sabine et al., 2004; Raupach, 2005; Sarmiento and Gruber, 2006).

(48)

Gambar 5. Siklus karbon global detil untuk daratan dan potensi gangguan terhadap cadangan karbon di daratan di masa mendatang (Sumber: Sabine et al., 2004; Field and Raupach, 2004)

Kondisi yang sama terjadi pada pemanfaatan lahan gambut untuk berbagai tujuan. Gambut di seluruh dunia menyimpan antara 192 – 450 GtC (Post et al., 1982), yang merupakan 15 – 35% dari seluruh karbon yang ada di daratan. Lahan gambut yang terdapat di daerah tropika, hanya 10-12% dari total gambut dunia, namun menyimpan kurang lebih 191 GtC (Page and Rieley, 1998) atau sepertiga dari total karbon yang tersimpan di gambut secara keseluruhan. Dengan asumsi bahwa rata-rata ketebalan gambut kurang lebih 5 meter, maka ekosistem gambut tropis dianggap dapat menyimpan kurang lebih 2.500 ton C per hektar, dibanding dalam gambut secara umum rata-rata sebanyak 1.200 ton C per hektar (Diemont et al., 1997). Hal ini menyebabkan gambut tropika cukup penting dalam neraca karbon.

2.2. Fluks Karbon Sungai

Guna memahami siklus karbon global yang lebih baik, saat ini terjadi peningkatan penelitian untuk menghitung transpor sedimen dan karbon dari sungai ke laut (Milliman dan Syvitski, 1992; Meybeck et al., 1993; Ludwig dan Probst, 1998; Coynel et al., 2005). Transpor karbon dari sungai ke laut merupakan keterkaitan dalam siklus biogeokimia karbon antara daratan dan lautan. Kualitas karbon yang ditranspor oleh sungai merupakan komponen yang penting dalam siklus karbon global (Meybeck, 1982; Ittekkot, 1988; Ludwig et al., 1996;

Alamiah

Gangguan langsung

(49)

Meybeck and Ragu, 1996; Sempere et al., 2000, Dagg et al., 2004; Wu et al., 2007).

Dalam neraca karbon global, sungai-sungai di tropis seperti di Indonesia cukup penting peranannya dalam memasok karbon ke lautan. Sebab sungai-sungai tersebut menyumbang kurang lebih 60% terhadap air, sedimen dan karbon organik ke lautan (Ludwig et al., 1996; Gillardet et al., 1999; Syvitski et al., 2005; Alkhatib et al., 2007). Meskipun sungai-sungai tersebut tergolong dalam klasifikasi sungai-sungai kecil (Walling and Fang, 2003), namun sungai-sungai tersebut berperan penting dalam memasok DOC ke laut (Baum et al., 2007). Diperkirakan pasokan DOC ke laut dari sungai-sungai di Indonesia kurang lebih 21 Tg/tahun (21 x 1012 gC/tahun) atau 10% dari total pasokan sungai-sungai di dunia (Baum et al., 2007). Meskipun kontribusi bahan organik lautan cukup kecil dalam skala global, namun cukup penting bagi daerah pesisir yang berhubungan dengan sumber makanan (Smith and Hollubough, 1992 dalam Wu et al., 2007; Opsahl and Benner, 1997).

Karbon yang terbawa oleh aliran sungai berbentuk total karbon organik (TOC), total karbon inorganik (TIC), karbon organik terlarut (DOC), karbon inorganik terlarut, (DIC), karbon organik partikulat (POC), dan karbon inorganik partikulat (PIC). TOC merupakan jumlah antara DOC dan POC, sedangkan TIC jumlah dari DIC dan PIC.

DOC adalah fraksi dalam kolam karbon organik yang berbentuk terlarut dalam air. Dalam prakteknya, fraksi ini mengandung seluruh campuran organik yang lolos melalui sebuah filter dengan ukuran pori 0,4 µm. DIC dari 3 senyawa yaitu (Bianchi et al., 2004; Sarmiento and Gruber, 2006):

 

 

 banyak penggunaan, DIC merupakan jumlah dari bikarbonat dan ion karbonat. POC adalah campuran karbon organik yang tidak lolos melalui saringan dengan lubang pori 0,4 µm.

DOC di air permukaan dipengaruhi oleh sumber-sumber alam dan

(50)

hal ini penting untuk menentukan komposisi kimia seperti konsentrasi dan fluks dari sungai-sungai dan danau. Namun hanya sedikit studi yang difokuskan pada komposisi (Hedges et al., 1994; Heikinen, 1994; Wu et al., 1997; Sachse et al., 2001a).

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa laju produksi DOC dalam tanah organik, laju penyerapan dalam tanah mineral, dan arah aliran air ke sungai melalui perbedaan horison tanah mempengaruhi konsentrasi DOC dari air yang melalui saluran sungai (McDowell and Wood, 1984; Aiken and Cotsaris, 1995). Tipe bentang lahan berperan dalam menentukan ekspor beberapa zat, khususnya DOC (Eckhardt and Moore, 1990; Kalbitz et al., 1999).

2.3. Kondisi Lingkungan Pulau Jawa

Pada tahun 1861, Wallace membuat pernyataan sebagai berikut: “Secara keseluruhan dan dari berbagai sudut pandang, Jawa mungkin merupakan pulau tropis yang paling menarik di dunia. Di seluruh bagiannya, terutama di bagian timur terletak hutan yang lebat, candi, kuburan, dan patung-patung yang cukup indah; dan peninggalan kota-kota yang cukup luas di mana, harimau, banteng dan kerbau hutan berkeliaran tanpa gangguan” (Wallace, 1861 dalam Whitten et al., 1999).

(51)

Perdagangan Utilitas Umum Kawasan Timur Indonesia (Sumber: Whitten et al., 1999)

(52)

Kecenderungan tersebut akan mengancam daya dukung lingkungan, sehingga dalam jangka panjang diperkirakan akan memicu terjadinya tiga macam krisis, yaitu krisis air, pangan dan energi (Indrawati, 2005). Berdasarkan kriteria konsumsi lahan dunia dan kriteria konsumsi lahan khas Indonesia, daya dukung Pulau Jawa sudah terlampaui (KKP, 2006), dan saat ini banyak menghadapi masalah lingkungan (KLH, 2004).

2.3.1. Kependudukan

Jumlah penduduk Pulau Jawa terus bertambah dari tahun ke tahun. Sebagai contoh pada tahun 1930, penduduknya hanya berjumlah 41,72 juta orang, namun tahun 2004 mencapai 128,74 juta orang. Dengan demikian maka peningkatan jumlah penduduknya dalam kurun waktu 74 mencapai 3 kali lipat tahun (BPS, 2004; Whitten et al., 1999) (Gambar 7).

Meskipun laju pertumbuhan penduduk mengalami penurunan pada periode 1980-2000, namun secara kuantitatif jumlah penduduk tetap bertambah. Pada tahun 1980, penduduk bertambah 17 juta, tetapi laju pertambahannya turun selama 2 dasawarsa, yaitu dari 2,23% menjadi 1,78% tahun 1990 dan 1,28% tahun 2000 (BPS, 2004).

1930 1961 1971 1980 1990 2000 2004

P

Jml Penduduk Pertumbuhan penduduk

(53)

Besarnya jumlah penduduk di Pulau Jawa menyebabkan kepadatan penduduk pulau tersebut menjadi cukup tinggi yaitu 938 jiwa/km2. Kepadatan penduduk dari tahun ke tahun selalu meningkat. Distribusi kepadatan penduduk terkonsentrasi di DKI Jakarta yang pada tahun 2000 mencapai 12.592 jiwa/km2. Di provinsi lain di Jawa kepadatan penduduk hampir kurang lebih 1.000 jiwa/km2, sedangkan kepadatan penduduk nasional hanya mencapai kurang lebih 108 jiwa/km2 pada tahun 2000. Oleh karena itu kepadatan penduduk Pulau Jawa hampir 9 kali lipat dari kepadatan penduduk nasional. Provinsi Papua yang luasnya hampir 16 persen dari total luas Indonesia kepadatan penduduknya 7 jiwa/km2 (BPS, 2004). Untuk lebih jelasnya perbandingan kepadatan penduduk di Jawa dan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan kepadatan penduduk per provinsi, Jawa dan nasional dari tahun 1971-2000

No Provinsi Kepadatan Penduduk (jiwa/km

2)

1971 1980 1990 2000

1 DKI Jakarta 7762 9794 12439 12592

2 Banten - - 493 559

3 Jawa Barat 467 794 1023 1033

4 DI Yogyakarta 785 863 916 980

5 Jawa Tengah 640 780 876 959

6 Jawa Timur 532 609 678 726

7 Pulau Jawa 589 706 832 938

8 Indonesia 62 78 95 108

Sumber: BPS, 2004

2.3.2. Penggunaan Lahan

Dampak aktivitas penggunaan lahan di DAS merupakan isu penting yang dihadapi oleh para pengelola sumberdaya alam (Johnson et al., 2005). Meningkatnya aktivitas manusia untuk merubah ekosistem alam ke lahan budidaya, khususnya pertanian merupakan komponen yang penting dalam perubahan lingkungan global (Herpin et al., 2002). Saat ini, daerah tropis merupakan representasi dari fenomena perubahan tutupan lahan yang cukup cepat, dan pembukaan hutan untuk pertanian mencapai jutaan hektar per tahunnya (Mellilo, 1996).

(54)

al., 2005). Di Jawa, perubahan penggunaan lahan telah berlangsung dari abad 19 lalu akibat konversi lahan dari hutan menjadi peruntukan lain. Hal ini berlangsung sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Pada pertengahan abad 20, kurang lebih 10 juta ha hutan atau kurang lebih 80% luas Pulau Jawa telah dikonversi menjadi lahan pertanian (Smiet, 1990). Pada waktu yang sama penduduk meningkat 10 kali lipat selama kurun waktu 130 tahun (1815-1945). Pada tahun 1998 pertambahan penduduk berbanding terbalik dengan luas hutan yang terus berkurang hingga tersisa kurang lebih 23%, yaitu 7% hutan lindung dan 16% hutan produksi (Lavigne and Gunnel, 2007). Perkembangan sebaran hutan alam antara tahun 1891, 1963 dan 1987 tersebut disajikan pada Gambar 8.

(55)

umumnya konversi lahan sawah ke non-pertanian terjadi di lokasi yang dekat kota besar, termasuk Jakarta.

Konversi lahan sawah di Jawa yang tidak terkendali tersebut mengancam stabilitas ketahanan pangan nasional. Konversi lahan sawah dari tahun 1981-1999 mencapai 1.627.514 ha, yaitu rata-rata 85.659 ha/tahun, di Jawa mencapai 1.002.055 ha atau kurang lebih 61,6%, dan sisanya di luar Jawa 625.459 ha atau kurang lebih 38,4% (Sudaryanto, 2002). Di Jawa Barat, konversi lahan sawah rata-rata 7.046 ha/tahun selama 1987-1991, di Jawa Tengah rata-rata 6.721 ha/tahun antara 1981-1986, dan di Jawa Timur rata-rata 8.285 ha/tahun selama 1987-1993 (Rusastra dan Budhi, 1997). Dengan demikian, konversi lahan sawah di Jawa rata-rata 22.200 ha/tahun. Sebagian besar lahan sawah yang terkonversi tersebut pada mulanya beririgasi teknis atau setengah teknis dengan produktivitas tinggi (Sumaryanto et al., 2001). Jelas sekali bahwa konversi lahan yang terjadi dua dekade terakhir ini mengakibatkan penurunan produksi padi nasional.

Secara umum dapat dikatakan bahwa hingga saat ini belum ada data baku mengenai besarnya konversi lahan sawah di Jawa yang sesungguhnya. Hal ini berkaitan dengan buruknya sistem pemantauan dan dokumentasi alih fungsi lahan sawah yang ada. Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil atau angka yang berbeda-beda sehingga cukup sulit memastikan mana yang paling benar. Beberapa hasil penelitian mengenai konversi lahan sawah di Jawa tersebut adalah sebagai berikut (Tabel 5).

Tabel 5. Luas konversi lahan sawah berdasarkan beberapa hasil penelitian

Tahun Lokasi (cakupan)

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran
Gambar 2. Perumusan masalah dan keterkaitan antar bahasan
Gambar 3. Siklus karbon untuk tahun 1990-an (Sumber : IPCC, 2007a)
Gambar 4.  Siklus karbon global yang dinyatakan  dalam PgC (GtC) untuk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Persepsi dan Perilaku Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikundul (Kasus di Desa

Kerugian-kerugian yang dirasakan penduduk Desa Sukaresmi saat ini dengan semakin menurunnya kondisi Sub DAS Cikundul diantaranya adalah turunnya lumpur pada aliran sungai di

Perilaku keterdedahan pemuka tani pada media massa re- latif berimbang, antara yang sebentar, lama dan tidak pernah mendedahkan diri pada media radio, tv dan media cetak. Rata-

Dengan terbentuknya kelembagaan partisipatoris maka upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) menjadi lebih cepat karena seluruh pihak baik pemerintah,

Karakteristik kondisi sebaran laju erosi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Waduk Malahayu Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah dilihat dari

Dengan demikian sebab-sebab terjadinnya pencemaran daerah aliran sungai (DAS) di Nagari Sungai Dareh Kecamatan Pulau Punjung Kabupaten Dharmasraya diakibatkan

Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2002 (BPLHD-Jawa Barat, dalam Haryanto 2007) besarnya ba- haya potensi erosi untuk DAS Citarum Hulu dapat diprediksi menggunakan

Berdasarkan hasil penelitian persentase hidup tanaman kayu putih pada lahan rehabilitasi DAS Gunung Batu 97.73% dengan rerata tinggi 3,15 m dan diameter 5,84 cm, kerusakan paling banyak