PENGEMBANGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN
LAHAN (GN-RHL)
(Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara
Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah)
HASRIANI MUIS
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Gerakan Nasional Rehabilitas Hutan dan Lahan (GN-RHL): Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2007
ABSTRACT
HASRIANI MUIS. Development of Community Participation in Land and Forest Rehabilitation Movement: Case in District of Layana East Palu and Sub-District of Lambara North Palu in Palu Regency, Central Sulawesi. Under the direction of NURHENI WIJAYANTO and LETI SUNDAWATI
This research generally aimed to study the level of community participation on GN-RHL programs, relations among factors that influencing participation with level of community participation, and also making the strategy of development of community participation in GN-RHL. Method which applied is consisting of descriptive-quantitative and descriptive-qualitative by using Spearman Rank test, and SWOT analysis (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). In both reaserch location, Layana and Lambara, level of participation at evaluation and planning phase pertained is low, while at execution phase, pertained height. Community participation in both location of admission in passive participation, where community only receiving notification of result which have been decided by the side of program executor, regardless of community comments as programs targets, and interchangeable information limited to outsider group. Strategy development of community participation in GN-RHL programes to be done with strategy WO (Weakness - Opportunitiess) that is to improve internal weakness and exploiting opportunity from external environment.
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
PENGEMBANGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN
LAHAN (GN-RHL)
(Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah)
HASRIANI MUIS
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
4
Judul Tesis : Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL)
(Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah)
Nama : Hasriani Muis
NIM : E 051050061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
5
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kesempatan dan kesehatan sehingga saya dapat merampungkan tesis ini. Pada
kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu saya selama perkuliahan dan penyusunan disertasi ini.
Ucapan terima kasih saya haturkan kepada yang terhormat Dr. Ir. Nurheni
Wijayanto, MS selaku pembimbing utama dan Dr. Ir. Leti Sundawati MSc selaku
pembimbing anggota. Beliau-beliau telah mengarahkan, membukakan pikiran,
dan meluangkan waktunya untuk membimbing saya melalui
pertanyaan-pertanyaan kritis dan saran-saran yang diajukan kepada saya. Ucapan terima kasih
juga saya sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. Dudung Darusman MA,
yang telah bersedia sebagai dosen penguji pada ujian tesis saya.
Terimakasih saya kepada Rektor, Dekan Fakultas Pertanian, dan Ketua
Jurusan Manajemen Hutan, Universitas Tadulako (Bapak Ir. H. Akhbar Zain MT),
atas izin dan dorongannya sehingga saya dapat melanjutkan studi pada program
Magister di IPB. Kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi melalui beasiswa
yang diberikan, saya ucapkan banyak terimakasih.
Kepada Ketua Kelompok Tani Kelurahan Layana, Bapak Hasyim dan Ketua
Kelompok Tani Kelurahan Lambara, Bapak Nasruddin, Kepala Dinas Kehutanan
Kabupaten/Kota Palu, Pimpinan Proyek Program GN-RHL, Pimpinan Pelaksana
kegiatan GN-RHL dan semua pihak yang telah banyak membantu selama
penelitian ini dilakukan diucapkan banyak terimakasih. Demikian halnya dengan
rekan: Mbak Vanny, Mbak Mely, Pak Sedek, Pak Ajun, Urip dan
rekan-rekan yang lain, serta kepada semua pihak atas segala bantuan dan kerjasamanya
yang telah diberikan kepada saya selama ini.
Terakhir, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus saya haturkan
kepada ayahanda saya H. Abdul Muis dan ibunda saya Hj. Rahmawati, yang
selama ini tak putus-putusnya selalu memanjatkan doa untuk kebahagian saya,
dan berharap agar saya dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik. Juga
6
Ahmad Fadlan Golar, yang selalu mendampingi dalam suka dan duka, dan
memberikan semangat kepada saya saat menempuh studi ini. Semoga Allah
SWT membalasnya lebih baik. Saya berharap tesis ini merupakan amalan sholeh,
amin.
Bogor, Agustus 2007
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Walenrang Kabupaten Luwu pada tanggal 11
Desember 1976 dari ayah H. Abdul Muis dan ibu Hj. Rahmawati. Penulis
merupakan anak ke delapan dari tigabelas bersaudara.
Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Walenrang Kab. Luwu.
Penulis kemudian melanjutkan studi program sarjana pada Jurusan Manajemen
Hutan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin dan lulus pada
Tahun 2001. Pada tahun 2004 sampai sekarang, penulis diterima sebagai dosen
pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu.
Tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor pada Program Magister dengan Program Studi Ilmu
8
PENDAHULUAN
Latar BelakangHutan Indonesia saat ini sebagian besar dalam kondisi rusak. Di sisi lain,
kebutuhan akan keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan kualitas yang
baik, yang dapat menopang seluruh kehidupan di muka bumi ini, masih cukup
tinggi. Hal tersebut bermakna bahwa terlepas dari wujud biofisik lahan saat ini,
apabila sesuai dengan karakteristik biofisiknya, sebidang lahan harus berwujud
dan berfungsi sebagai hutan. Dengan demikian, peruntukan lahan tersebut harus
dipertahankan sebagai hutan. Artinya, jika hutan tersebut dalam kondisi baik
maka harus tetap dipertahankan, dipelihara, dan dimanfaatkan secara lestari.
Sebaliknya, jika dalam kondisi rusak maka harus direhabilitasi (Suhendang 2004).
Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2006), luas kawasan hutan
Indonesia ± 126,8 juta ha. Kawasan tersebut diklasifikasikan sesuai dengan
fungsinya menjadi kawasan konservasi (23,2 juta ha), kawasan lindung (32,4
juta ha), kawasan produksi terbatas (21,6 juta ha), kawasan produksi (35,6 juta
ha) dan kawasan produksi yang dapat dikonversi (14,0 juta ha). Dari total luasan
tersebut, kawasan yang telah terdegradasi sampai dengan tahun 2004 mencapai
luas 59,17 juta ha. Sementara itu, lahan kritis yang berada di luar kawasan hutan
tercatat ± 41,47 juta hektar. Sebagian dari lahan-lahan tersebut tersebar di 282
Daerah Aliran Sungai (DAS).
Laju deforestasi menunjukkan angka yang berubah-ubah, dan cenderung
menurun bukan karena berhasilnya kegiatan rehabilitasi, namun lebih dikarenakan
semakin sulitnya bahan baku kayu dijangkau oleh penebang liar. Bila pada tahun
2003 diperkirakan laju kerusakan sebesar 3,2 juta hektar, pada tahun 2005
diperkirakan laju kerusakan hutan mencapai angka ± 2,4 juta hektar (WALHI
2004). Situasi tersebut terjadi pula di kawasan hutan dan DAS di Propinsi
Sulawesi Tengah. Hal ini disebabkan oleh aktivitas pembalakan komersial, baik
secara illegal maupun legal, konversi hutan untuk perkebunan skala besar maupun
PENGEMBANGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN
LAHAN (GN-RHL)
(Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara
Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah)
HASRIANI MUIS
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Gerakan Nasional Rehabilitas Hutan dan Lahan (GN-RHL): Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2007
ABSTRACT
HASRIANI MUIS. Development of Community Participation in Land and Forest Rehabilitation Movement: Case in District of Layana East Palu and Sub-District of Lambara North Palu in Palu Regency, Central Sulawesi. Under the direction of NURHENI WIJAYANTO and LETI SUNDAWATI
This research generally aimed to study the level of community participation on GN-RHL programs, relations among factors that influencing participation with level of community participation, and also making the strategy of development of community participation in GN-RHL. Method which applied is consisting of descriptive-quantitative and descriptive-qualitative by using Spearman Rank test, and SWOT analysis (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). In both reaserch location, Layana and Lambara, level of participation at evaluation and planning phase pertained is low, while at execution phase, pertained height. Community participation in both location of admission in passive participation, where community only receiving notification of result which have been decided by the side of program executor, regardless of community comments as programs targets, and interchangeable information limited to outsider group. Strategy development of community participation in GN-RHL programes to be done with strategy WO (Weakness - Opportunitiess) that is to improve internal weakness and exploiting opportunity from external environment.
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
PENGEMBANGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN
LAHAN (GN-RHL)
(Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah)
HASRIANI MUIS
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
4
Judul Tesis : Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL)
(Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah)
Nama : Hasriani Muis
NIM : E 051050061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
5
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kesempatan dan kesehatan sehingga saya dapat merampungkan tesis ini. Pada
kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu saya selama perkuliahan dan penyusunan disertasi ini.
Ucapan terima kasih saya haturkan kepada yang terhormat Dr. Ir. Nurheni
Wijayanto, MS selaku pembimbing utama dan Dr. Ir. Leti Sundawati MSc selaku
pembimbing anggota. Beliau-beliau telah mengarahkan, membukakan pikiran,
dan meluangkan waktunya untuk membimbing saya melalui
pertanyaan-pertanyaan kritis dan saran-saran yang diajukan kepada saya. Ucapan terima kasih
juga saya sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. Dudung Darusman MA,
yang telah bersedia sebagai dosen penguji pada ujian tesis saya.
Terimakasih saya kepada Rektor, Dekan Fakultas Pertanian, dan Ketua
Jurusan Manajemen Hutan, Universitas Tadulako (Bapak Ir. H. Akhbar Zain MT),
atas izin dan dorongannya sehingga saya dapat melanjutkan studi pada program
Magister di IPB. Kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi melalui beasiswa
yang diberikan, saya ucapkan banyak terimakasih.
Kepada Ketua Kelompok Tani Kelurahan Layana, Bapak Hasyim dan Ketua
Kelompok Tani Kelurahan Lambara, Bapak Nasruddin, Kepala Dinas Kehutanan
Kabupaten/Kota Palu, Pimpinan Proyek Program GN-RHL, Pimpinan Pelaksana
kegiatan GN-RHL dan semua pihak yang telah banyak membantu selama
penelitian ini dilakukan diucapkan banyak terimakasih. Demikian halnya dengan
rekan: Mbak Vanny, Mbak Mely, Pak Sedek, Pak Ajun, Urip dan
rekan-rekan yang lain, serta kepada semua pihak atas segala bantuan dan kerjasamanya
yang telah diberikan kepada saya selama ini.
Terakhir, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus saya haturkan
kepada ayahanda saya H. Abdul Muis dan ibunda saya Hj. Rahmawati, yang
selama ini tak putus-putusnya selalu memanjatkan doa untuk kebahagian saya,
dan berharap agar saya dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik. Juga
6
Ahmad Fadlan Golar, yang selalu mendampingi dalam suka dan duka, dan
memberikan semangat kepada saya saat menempuh studi ini. Semoga Allah
SWT membalasnya lebih baik. Saya berharap tesis ini merupakan amalan sholeh,
amin.
Bogor, Agustus 2007
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Walenrang Kabupaten Luwu pada tanggal 11
Desember 1976 dari ayah H. Abdul Muis dan ibu Hj. Rahmawati. Penulis
merupakan anak ke delapan dari tigabelas bersaudara.
Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Walenrang Kab. Luwu.
Penulis kemudian melanjutkan studi program sarjana pada Jurusan Manajemen
Hutan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin dan lulus pada
Tahun 2001. Pada tahun 2004 sampai sekarang, penulis diterima sebagai dosen
pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu.
Tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor pada Program Magister dengan Program Studi Ilmu
8
PENDAHULUAN
Latar BelakangHutan Indonesia saat ini sebagian besar dalam kondisi rusak. Di sisi lain,
kebutuhan akan keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan kualitas yang
baik, yang dapat menopang seluruh kehidupan di muka bumi ini, masih cukup
tinggi. Hal tersebut bermakna bahwa terlepas dari wujud biofisik lahan saat ini,
apabila sesuai dengan karakteristik biofisiknya, sebidang lahan harus berwujud
dan berfungsi sebagai hutan. Dengan demikian, peruntukan lahan tersebut harus
dipertahankan sebagai hutan. Artinya, jika hutan tersebut dalam kondisi baik
maka harus tetap dipertahankan, dipelihara, dan dimanfaatkan secara lestari.
Sebaliknya, jika dalam kondisi rusak maka harus direhabilitasi (Suhendang 2004).
Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2006), luas kawasan hutan
Indonesia ± 126,8 juta ha. Kawasan tersebut diklasifikasikan sesuai dengan
fungsinya menjadi kawasan konservasi (23,2 juta ha), kawasan lindung (32,4
juta ha), kawasan produksi terbatas (21,6 juta ha), kawasan produksi (35,6 juta
ha) dan kawasan produksi yang dapat dikonversi (14,0 juta ha). Dari total luasan
tersebut, kawasan yang telah terdegradasi sampai dengan tahun 2004 mencapai
luas 59,17 juta ha. Sementara itu, lahan kritis yang berada di luar kawasan hutan
tercatat ± 41,47 juta hektar. Sebagian dari lahan-lahan tersebut tersebar di 282
Daerah Aliran Sungai (DAS).
Laju deforestasi menunjukkan angka yang berubah-ubah, dan cenderung
menurun bukan karena berhasilnya kegiatan rehabilitasi, namun lebih dikarenakan
semakin sulitnya bahan baku kayu dijangkau oleh penebang liar. Bila pada tahun
2003 diperkirakan laju kerusakan sebesar 3,2 juta hektar, pada tahun 2005
diperkirakan laju kerusakan hutan mencapai angka ± 2,4 juta hektar (WALHI
2004). Situasi tersebut terjadi pula di kawasan hutan dan DAS di Propinsi
Sulawesi Tengah. Hal ini disebabkan oleh aktivitas pembalakan komersial, baik
secara illegal maupun legal, konversi hutan untuk perkebunan skala besar maupun
9
Penggundulan hutan di Sulawesi Tengah saat ini telah mencapai luasan
± 625.257 ha. Sekitar 35,25% atau seluas 220.288 ha kerusakan terjadi di dalam
kawasan hutan. Selain menimbulkan dampak ekologis, kerusakan hutan tersebut
berpengaruh terhadap kualitas kehidupan masyarakat pedesaan, terutama mereka
yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan, dan menjadikan hutan
sebagai bagian dari sumber pendapatan keluarga (YBAHL 2004).
Telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam meredam laju
degradasi hutan, utamanya melalui kegiatan reboisasi hutan dan penghijauan.
Namun, upaya tersebut hingga saat ini belum juga mampu memberikan hasil
nyata. Hal ini disebabkan karena pemerintah masih memandang masalah
deforestasi sebagai masalah fisik semata, sehingga pendekatan teknologi selalu
diandalkan untuk memecahkannya.
Kegagalan tersebut di atas dapat dilihat dari dua sisi, pertama: deforestasi
hanyalah gejala dari masalah lain, baik dibidang ekonomi, sosial, politik, dan
kebijakan. Tanpa upaya untuk memecahkan masalah yang sebenarnya, kegiatan
rehabilitas akan terus mengalami kegagalan; kedua: kegiatan rehabilitasi tidak
menarik (atraktif) bagi masyarakat pengguna lahan untuk berpartisipasi, karena
tidak mampu memecahkan masalah mereka secara langsung, misalnya:
meningkatkan pendapatan atau mengurangi resiko kegagalan panen
(Kartodihardjo 2006).
Upaya terkini yang ditempuh pemerintah dalam meredam laju degradasi
hutan, yang sekaligus mengupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat di
sekitar hutan, adalah melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(GN-RHL). Namun demikian, setelah lebih dari empat tahun pelaksanaannya,
keberhasilan kegiatan ini masih tergolong rendah. Hal ini terindikasi melalui
banyaknya keluhan terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut di daerah-daerah.
Salah satu faktor yang menjadi keluhan penerapan kegiatan GN-RHL adalah
”rendahnya tingkat partisipasi masyarakat”.
Terdapat sejumlah kajian terdahulu yang menjelaskan hubungan antara
tingkat partisipasi masayrakat dengan keberhasilan pembangunan kehutanan,
diantaranya: Pujo(1998), Sunartana (2003), Safei (2003), Trison (2005). Namun
10
dominan apa saja, baik internal maupun eksternal, yang meyebabkan tingkat
partisipasi masyarakat yang rendah dalam pelaksanaan kegiatan GN-RHL. Oleh
karena itu, penelitian ini difokuskan untuk mengidentifikasi dan menganalisis
faktor-faktor apa saja mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, serta strategi
apa yang dapat diupayakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
kegiatan rehabilitas hutan, utamanya dalam kegiatan GN-RHL.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. mengetahui tingkat partisipasi masyarakat peserta kegiatan GN-RHL
2. mengetahui hubungan di antara faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi
dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL.
3. Menyusun strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan
GN-RHL
Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian dan kerangka
pemikiran, dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Peserta kegiatan GN-RHL memiliki tingkat partisipasi yang rendah
2. Terdapat hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal dengan tingkat
partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL
Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini dapat diketahui tingkat partisipasi masyarakat di
setiap tahapan kegiatan dan faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan tingkat
partisipasi masyarakat, sehingga dapat diupayakan pengembangan terhadap
11
TINJAUAN PUSTAKA
Rehabilitasi Hutan dan LahanRehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem
pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran
sungai (DAS). RHL mengambil posisi dalam mengisi kesenjangan, ketika sistem
perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan lahan,
sehingga terjadi deforestasi dan degradasi lahan. RHL juga sangat berperan dalam
meningkatkan luas areal bertegakan hutan dan bangunan konservasi tanah;
memulihkan fungsi hidrologi hutan dan lahan dalam DAS; memulihkan fungsi
perlindungan tanah dan stabilitas iklim mikro; meningkatkan produksi Oksigen
(O2) dan penyerap gas-gas pencemar udara; memulihkan dan melestarikan
sumberdaya plasma nutfah; membuka peluang kesempatan berusaha dan
kesejahteraan masyarakat; membuka peluang untuk pengembangan ekowisata;
memulihkan citra negara, bangsa, pemerintah, dan masyarakat di mata dunia
(WALHI 2004).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.20/Kpts-II/2001, RHL
memiliki beberapa prinsip, di antaranya: (a) meminimumkan kegagalan kebijakan
(policy failure), sebagai akibat kegagalan birokrasi (government failure) dan
kegagagalan pasar (market failure). Arahnya adalah mewujudkan good policy,
good implementation, good performance; (b) RHL harus menjadi kebutuhan
masyarakat; (c) RHL menggunakan DAS sebagai unit analisis dalam perencanaan
dan pengendalian; (d) adanya kejelasan wewenang dan tata hubungan kerja dalam
RHL; (e) memanfaatkan potensi masyarakat lokal (f) tujuan RHL disesuaikan
dengan fungsi utama kawasan yang menjadi sasaran rehabilitasi; (g) perlunya
pemahaman yang baik terhadap status penguasaan/ kepemilikan lahan sasaran
RHL agar potensi konflik dapat diantisipasi; (h) kontribusi biaya (cost sharing)
antara pemerintah dan masyarakat; dan (i) adanya penguatan kelembagaan
(Timpakul 2004). Upaya-upaya RHL yang telah dilakukan selama ini disajikan
12
Tabel 1. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) selama Periode (1951 – 2004)
No Tahun Kegiatan
1 1951 – 1960 Penanaman karangkitri pada tanah-tanah pekarangan/tegalan melalui kegiatan Rencana Kesejahteraan Indonesia
2 1967-1970 Proyek Deptan 001 s/d 037 (penghijauan sektoral belum berbasis DAS)
3 1970-1976 Setelah banjir di Solo tahun 1966 telah dilaksanakan upaya Rehabilitasi Lahan Kritis berbantuan natura (pangan dan bibit tanaman) dari WFP/world food program ( hasil kurang memadai)
4 1973-1979 Proyek Upper Solo Watershed Management and Upland Development /TA. INS/72/006 di Solo bantuan FAO/UNDP, mulai dilakukan uji coba model pengelolaan DAS dan teknik konservasi tanah dan air (hasilnya norma, kriteria dan standar)
5 1981-1989 Proyek Citanduy I dan II bantuan USAID di Panawangan-Ciamis (hasilnya norma, kriteria dan standar konservasi tanah dan air/ model farm.
6 1976/1977– 1996/1997
INPRES Reboisasi dan Penghijauan secara lintas sektor, perencanaan berbasis DAS dan pembinaan teknis oleh proyek2 di daerah (P3RPDAS), reboisasi dilaksanakan pemda propinsi dan penghijauan oleh pemda kabupaten (tingkat keberhasilan fisik: rendah – sedang
7 1990/1991– 1997/1998
Kredit Usahatani Konservasi DAS (KUK DAS) (keberhasilan: 57% realisasi pengembalian kredit)
8 2000 – 2004 RHL DAK DR (40%) di daerah penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota tanpa pembinaan teknis Dephut (keberhasilan : rendah/bermasalah)
9 2000–2004 RHL DR (60 %) di daerah non penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota dengan perencanaan/pembinaan teknis oleh Balai Pengelolaan DAS (keberhasilan : rendah-cukup)
10 2003–2007 GN-RHL di DAS-DAS prioritas, perencanaan dan pembinaan teknis oleh Ditjen RLPS dan UPT nya, penyediaan bibit oleh BP DAS, penanaman/ konservasi tanah oleh Pem. Kab/Kota dan BKSDA/BTN, penilaian bibit/kinerja oleh Perguruan Tinggi, pengendalian oleh Pem Prop/Pusat
Sumber : DEPHUT 2006
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2000-2005), pemerintah telah
merehabilitasi hutan dan lahan dalam bentuk reboisasi seluas ± 469.256 ha, dan
13
tahun 2003 pemerintah melului Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL)
telah mentargetkan rehabilitasi kawasan hutan dan ekosistemnya seluas 3 juta ha,
dengan sasaran DAS prioritas, hutan rusak dan lahan kritis, serta rawan bencana.
Selain itu direncanakan pula pembangunan hutan tanaman seluas 5 juta ha dan
hutan rakyat seluas 2 juta ha. Gerakan tersebut diproklamirkan oleh pemerintah di
tahun 2002, dengan tema: ”Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan”,
sebagai komitment bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan dan
kesejahteraan rakyat (WALHI 2004).
Lingkup kegiatan GN-RHL terdiri atas: (a) Kegiatan pencegahan
perusakan lingkungan, meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan
lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan penegakan hukum; dan (b) Kegiatan
penanaman hutan dan rehabilitasi, meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan
bibit, renovasi, dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi,
hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman dll) dan pembuatan
bangunan konservasi tanah (dam pengendali dan penahan (gully plug), pembuatan
teras (terasering), sumur resapan (grass barrier), dll), penyusunan rencana dan
rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan
penyuluhan) dan pembinaan (Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
2003).
GN-RHL merupakan upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta perbaikan
lingkungan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama dan terkoordinasi
dengan melibatkan semua stakeholders melalui suatu perencanaan, pelaksanaan,
serta pemantauan dan evaluasi yang efektif dan efisien. Tugas Kementerian/
Departemen/Non-Departemen/Lembaga dilaksanakan dalam rangka
mensukseskan penyelenggaraan GN-RHL (Hidayat 2003).
Secara garis besar peran masing-masing stakeholder adalah sebagai
berikut :
(a) Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian
Koordinator Bidang perekonomian, dan Kementerian Bidang Politik dan
14
(b) Departemen Kehutanan bertugas menyiapkan perencanaan dan pembibitan,
pembinaan teknis dalam penanaman dan pemeliharaan, serta sebagai
koordinator dalam pelaksanaan GN-RHL.
(c) Departemen Keuangan bertugas menyiapkan anggaran dan pendanaan bagi
pelaksanaan GN-RHL.
(d) Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah bertugas memilih prioritas
DAS yang kritis untuk ditangani dan menyiapkan peta DAS bagi dasar
perencanaan.
(e) Departemen Pertanian bertugas pembinaan pemeliharaan tanaman
pertanian/perkebunan yang ditanam dalam kegiatan GN-RHL.
(f) Departemen Dalam Negeri bertugas menggerakkan jajaran pemerintah daerah
dan masyarakat untuk melaksanakan penanaman bibit dan pemeliharaan
tanaman, serta melaksanakan sosialisasi.
(g) Departemen Pendidikan Nasional bertugas mengerahkan siswa/mahasiswa
untuk terlibat aktif dalam upaya GN-RHL, dan meningkatkan kepedulian
siswa/mahasiswa terhadap kelestarian lingkungan.
(h) Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia bertugas melaksanakan
penegakan hukum terhadap perusakan lingkungan.
(i) Kementerian Lingkungan Hidup bertugas melakukan pemantauan pelaksanaan
perkembangan perbaikan lingkungan serta sebagai koordinator dalam
pencegahan perusakan lingkungan.
(j) Kementerian Riset dan Teknologi bertugas menyediakan informasi dan
evaluasi tentang perbaikan kondisi lingkungan yang diperoleh dari citra satelit.
(k) Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertugas menggerakkan
personil/anggotanya untuk melaksanakan upaya-upaya penanaman
bersama-sama masyarakat.
(l) Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) bertugas mengamankan pelaksanaan
15
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bentuk Partisipasi
Partisipasi memiliki arti yang luas. Sebagian ahli mendefenisikan partisipasi
sebagai keikutsertaan masyarakat, baik dalam bentuk pernyataan maupun
kegiatan. Keikutsertaan terbentuk sebagai akibat dari terjalinnya interaksi sosial
antar individu atau kelompok masyarakat yang lain (Wardoyo 1992). Demikian
halnya Davis (1967) menyebutkan partisipasi sebagai keterlibatan mental,
pemikiran, dan perasaan seseorang di dalam situasi kelompok, yang
mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok
tersebut dalam usaha mencapai tujuan bersama, dan turut bertanggung jawab
terhadap usaha bersangkutan.
Mubyarto (1984) mengartikan partisipasi sebagai suatu bentuk kesediaan
membantu berhasilnya setiap kegiatan, sesuai dengan kemampuan tiap-tiap
individu tanpa mengorbankan diri sendiri. Lebih jauh, Slamet (2003) memaknai
partisipasi masyarakat sebagai wujud keikutsertaan masyarakat dalam setiap
tahapan kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya ikut memanfaatkan dan
menikmati hasil-hasil pembangunan. Jadi, bukan hanya menyumbangkan input ke
dalam pembangunan, namun lebih jauh ikut serta memanfaatkan dan menikmati
hasil-hasil pembangunan.
Sementara itu, Oakley (1991) lebih memandang partisipasi sebagai wujud
perbaikan sistem atau sebagai suatu proses, yang dimaksudkan untuk memberi
penguatan pada kemampuan masyarakat desa, agar mereka berinisiatif terlibat
secara langsung dalam pembangunan. Sejalan dengan itu, Soetrisno (1995)
mengemukakan bahwa defenisi partisipasi adalah kerjasama antar rakyat dan
pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan, dan
mengembangkan hasil pembangunan. Dalam konteks ini diasumsikan bahwa
rakyat mempunyai aspirasi dan nilai budaya, yang perlu diakomodasi dalam
proses perencanaan dan pelaksanaan suatu kegiatan pembangunan.
Derajat Partisipasi
Tjokroamidjojo (1991) menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat meliputi
16
kebijaksanaan pembangunan, (2) keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung
jawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, dan (3) keterlibatan dalam
memetik hasil dalam pembangunan secara berkeadilan. Lebih jauh, Ndraha (1987)
mengemukakan enam tahapan partisipasi, di antaranya: (a) partisipasi dalam
menerima dan memberikan informasi; (2) partisipasi dalam memberikan
tanggapan dan saran terhadap informasi yang diterima, baik yang bersifat
“mengiyakan“ atau yang menerima dengan syarat; (3) partisipasi dalam
perencanaan pembangunan; (4) partisipasi dalam pelaksanaan operasional
pembangunan; (5) partisipasi dalam menerima kembali hasil-hasil pembangunan
dan (6) partisipasi dalam menilai pembangunan.
Terkait dengan partisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam, Borrini-Feyerabend (2000) mengemukakan bahwa partisipasi
efektif dapat dipandang sebagai sebuah kondisi di mana kearifan lokal,
keterampilan, dan sumberdaya lainnya digerakkan dan dilaksanakan secara
totalitas. Partisipasi berarti bahwa masyarakat lokal diberdayakan untuk
menggerakkan kemampuan mereka menjadi aktor-aktor sosial dalam mengelola
sumberdaya, membuat keputusan, dan mengontrol kegiatan-kegiatan yang
mempengaruhi kehidupan mereka (Cernea 1985).
Berkaitan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, Wilcox (1994)
telah mengembangkan partisipasi ke dalam lima tahap yakni: informasi,
konsultasi, keputusan bersama, bekerja sama, dan mendukung kepentingan
masyarakat (lihat Gambar 1).
Degree of control
Supporting
Acting together
Deciding together
Consultation
Information
Substantial Participation
17
Menurut model Wilcox, tingkatan yang paling rendah dalam mengontrol
sumber daya alam secara keseluruhan adalah tingkatan ”informasi”, di mana
masyarakat diberitahu apa yang direncanakan dengan maksud untuk mendidik
partisipan. Tingkatan selanjutnya dari partisipasi adalah ”konsultasi” yang berarti
menawarkan beberapa opsi atau pilihan dan menerima masukan. Selanjutnya,
”keputusan bersama” berarti masyarakat didorong untuk memberikan beberapa
ide, dan memutuskan bersama sebagai jalan terbaik ke depan. Tingkatan
partisipasi yang lebih tinggi adalah ”bertindak secara bersama-sama”, untuk
mencapai keputusan yang terbaik di antara kepentingan yang beragam atau
berbeda kemudian melaksanakannya. Tahapan yang tertinggi dari kontrol adalah
ketika masyarakat ”mendapatkan bantuan” berdasarkan apa yang mereka
inginkan, berupa dukungan dari pemegang otoritas sumberdaya.
Secara lebih rinci, Nanang dan Devung (2004) mengembangkan konsep
Wilcox menjadi beberapa item, di antaranya:
Tingkat 6: Mobilisasi dengan kemauan sendiri (self-mobilization): masyarakat mengambil inisiatif sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan
pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan
pemanfaatan sumberdaya; pihak luar memfasilitasi mereka.
Tingkat 5. Kemitraan (partnership): masyarakat mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi
kelayakan, perencanaan, implementasi, evaluasi, dll. Partisipasi
merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk mencapai sesuatu
Ini disebut “partisipasi interaktif.”
Tingkat 4. Plakasi/konsiliasi (Placation/Conciliation): masyarakat ikut dalam proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan
sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-hal penting.
Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang, dll.
Tingkat 3. Perundingan (consultation): pihak luar berkonsultasi dan berunding dengan masyarakat melalui pertemuan atau public hearing dan
sebagainya. Komunikasi dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta
18
Tingkat 2. Pengumpulan informasi (information gathering): masyarakat
menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi
searah dari masyarakat ke luar.
Tingkat 1. Pemberitahuan (informing): hasil yang diputuskan oleh orang luar (pakar, pejabat, dll.) diberitahukan kepada masyarakat. Komunikasi
terjadi satu arah dari luar ke masyarakat setempat.
Tingkat-tingkat partisipasi masyarakat tersebut bermanfaat sebagai alat untuk
menilai partisipasi nyata di lapangan. Pada dasarnya partisipasi yang
sesungguhnya terdapat pada Tingkat 5 dan Tingkat 6.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Peningkatan partisipasi merupakan salah satu upaya untuk
memberdayakan dan mengembangkan kekuatan lokal. Partisipasi masyarakat
dapat dipandang pula sebagai satu kekuatan penting dan menentukan keberhasilan
proses pembangunan dan hal yang penting adalah pemberdayaan ataupun
partisipasi masyarakat hendaknya berjalan dengan sukarela, tanpa paksaan
(Mubyarto1994). Keuntungan partisipasi masyarakat dalam perencanaan
pembangunan hutan di antaranya: (a) sasaran-sasaran lokal, pengelolaan lokal dan
keuntungan-keuntungan lokal. Penduduk akan lebih antusias, tentang suatu
rencana seperti miliknya sendiri, dan mereka akan lebih berkeinginan
berpartisipasi dalam pelaksanaan dan pengawasannya; (b) mereka akan lebih
sadar akan permasalahan dan peluang-peluang penggunaan dan pengelolaan
sumberdaya hutan; (c) rencana dapat memberikan perhatian yang dekat pada
desakan-desakan lokal, meskipun ini dikaitkan dengan sumberdaya alam dan
masalah-masalah sosial-ekonomi dan budaya; dan (d) informasi yang lebih baik
akan memberi sumbangan pada tingkat perencanaan yang lebih tinggi (Pujo1998).
Ada dua sumber yang menyebabkan munculnya partisipasi, yaitu: partisipasi
yang muncul dari dalam diri manusia itu sendiri dan partisipasi karena dorongan
dari luar. Kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai kekuatan sendiri-sendiri
yang saling mengisi. Partisipasi dari luar dapat berupa paksaan atau rangsangan
dari luar. Masyarakat dengan kesadaran sendiri melaksanakan pembangunan
19
sering dijumpai berbagai hambatan, di antaranya; pertama, belum dipahaminya
makna sebenarnya dari konsep partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan
aparat perencana dan pelaksanan pembangunan. Di lingkungan aparat perencana
dan pelaksanaan pembangunan, partisipasi merupakan kemauan rakyat untuk
mendukung secara mutlak kegiatan-kegiatan pemerintah yang dirancang dan
ditentukan tujuannya oleh pemerintah. Hambatan kedua yang ditemukan di
lapangan adalah lemahnya kemauan rakyat berpartisipasi dalam pembangunan
berakar pada banyaknya peraturan/ perundang-undangan, yang meredam
keinginan rakyat untuk berpartisipasi (Soetrisno 1995).
Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa status sosial ekonomi
(pekerjaan, pendidikan, pendapatan) berkaitan erat dengan tahapan partisipasi.
Lapisan penduduk yang berstatus sosial lebih tinggi biasanya lebih banyak terlibat
dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, kelasa sosial menegah lebih banyak
terlibat dalam proses pelaksanaan, sedangkan kelasa sosial yang lebih rendah
lebih banyak hanya dalam proses pemanfaatan.
Sallatang (1986), menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang
menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan atau
pelaksanaan proyek, di antaranya:
(1) Proyek-proyek yang dilaksanakan sebelumnya tidak dibicarakan secara
tuntas dengan masyarakat. Masyarakat merasakan sekedar diminta dan
diharapkan menerima dan melaksanakan saja. Sehingga, proyek-proyek yang
dilaksanakan tidak atau kurang merupakan hasil kesepakatan (commitment)
di antara para pelaku. Karenanya, masyarakat kurang memiliki rasa
tanggung jawab.
(2) Tidak atau kurang diikutsertakannya masyarakat berpartisipasi dalam tahap
perencanaan sebagai tahap pertama dalam menyelenggarakan suatu proyek,
yang justru dalam penilaiannya merupakan suatu rangkaian kegiatan penting
dirasakan oleh masyarakat. Demikian, masyarakat kurang ikut serta dalam
proyek atau sedikitnya mereka merasa tidak diperhatikan.
(3) Di antara proyek-proyek yang dilaksanakan, banyak yang dirasakan oleh
20
(4) Para warga masyarakat sukar mengambil atau memainkan peranan dalam
berbagai kegiatan proyek, karena mereka tidak atau kurang mengetahui
aturan-aturan teknis operasional dan prosedurnya.
(5) Pengorbanan yang dilepaskan ataupun keuntungan yang diperoleh berkenaan
dengan pelaksanaan proyek-proyek, acapkali kurang berimbang dan kurang
memenuhi rasa keadilan khususnya di kalangan mereka yang terkena
langsung oleh proyek-proyek yang bersangkutan.
Hal tersebut sejalan dengan Cohen dan Uphoff (1977) menyatakan bahwa
setiap individu dapat mengalihkan partisipasinya dari suatu sistem ke sistem yang
lain karena: (1) tingkat keuntungan (imbalan) yang diperoleh tidak ada atau
rendah, (2) tidak adanya kesesuaian terhadap nilai atau norma yang berlaku dalam
masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan dalam lingkungan
kehidupan seseorang dan kelompok yang lebih mengandung harapan dan
keuntungan lebih besar.
Partisipasi muncul diakibatkan oleh faktor di dalam diri seseorang itu yang
disebut faktor intrinsik dan faktor dari luar diri disebut faktor lingkungan. Faktor
intrinsik meliputi; umur, ukuran keluarga, pendidikan formal, pendidikan non
formal, pendapatan (dari dalam dan luar kegiatan), luas lahan milik,
kekosmopolitan, pendapatan rumah tangga, dan kepahaman kontrak. Sedangkan
untuk faktor lingkungan meliputi; aksesibilitas lahan andil, peran pembinaan
teknis, peran penyuluh, peran kelembagaan formal, peran kelembagaan informal,
peran petugas lapangan dan luas lahan andil.
Slamet (1980) menyatakan bahwa dalam usaha menumbuhkan dan
meningkatkan partisipasi dipengaruhi beberapa hal yaitu: (1) adanya kesempatan
untuk ikut dalam kegiatan, (2) ada kemauan untuk berpartisipasi dan (3) ada
kemauan untuk memanfaatkan kesempatan. Iqbal (1988) dalam Sunartana (2003)
menambahkan bahwa faktor-faktor yang termasuk dalam kesempatan yaitu
peluang petani untuk menjadi peserta kegiatan, status keanggotaan, sedangkan
faktor-faktor yang termasuk dalam kemampuan yaitu pendidikan formal dan non
formal, pengalaman petani dalam berusaha tani, usia petani, dan luas lahan.
Sementara untuk faktor yang termasuk dalam kemauan yaitu motivasi petani dan
21
Tingkat partisipasi masyarakat juga dipengaruhi oleh dua faktor; yaitu
faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup ciri-ciri atau karakter
individu, meliputi; umur, tingkat pendidikan, luas lahan garapan, pendapatan,
motivasi, persepsi, jumlah tenagah kerja, status petani, dan kekosmopolitan.
Sementara itu, faktor eksternal yang merupakan faktor di luar karakteristik
individu meliputi; ketersediaan saprodi, intensitas penyuluhan, dukungan
pemerintah, dukungan lingkungan fisik, dukungan kelembagaan sosial, daya tarik
kerjasama, kepadatan penduduk, dan jarak lahan garapan (Trison 2005). Demikian
halnya Sunartana (2003) yang menjelaskan bahwa faktor internal meliputi: umur,
tingkat pendidikan, status sosial, kekosmopolitan, pengalaman berorganisasi,
pendapatan rumah tangga, motivasi, luas lahan garapan, dan persepsi. Untuk
faktor eksternal meliputi; peran pendamping, peran pemerintah, kejelasan hak dan
kewajiban, dan aspek sosial budaya masyarakat.
Analisis SWOT
Rangkuti (2005) menyatakan bahwa analisis SWOT adalah identifikasi
berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi suatu rencana
kegiatan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan
kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (Weaknes) dan ancaman (Threats), sehingga proses
pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi,
tujuan, strategi dan kebijakan.
Menurut Pearce II dan Robinson (1991) yang diacu dalam Wijayanto (2001)
kekuatan (Strengths) adalah sumberdaya, keterampilan atau keunggulan lain
relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar suatu perusahaan. Kelemahan
(Weakness) merupakan keterbatasan dalam sumberdaya, keterampilan dan
kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja suatu perusahaan. Peluang
(Opportunities) merupakan situasi yang menguntungkan perusahaan, berbagai
kecenderungan adalah salah satu peluang seperti peraturan-peraturan, dan
perubahan teknologi. Sedangkan ancaman (Threaths) adalah situasi yang tidak
menguntungkan, rintangan perusahaan seperti masuknya pesaing baru, perubahan
22
didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif memaksimumkan
kekuatan dan peluang serta meminimumkan kelemahan dan ancaman kemudian
dilakukan pembandingan antar unsur-unsur SWOT maka perlu diketahui nilai
masing-masing unsur SWOT tersebut.
Diagram SWOT merupakan perpaduan antar perbandingan kekuatan dan
kelemahan (diwakili garis horizontal) dengan peluang dan ancaman (diwakili
garis vertikal). Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif,
sedangkan kelemahan dan ancaman diberi tanda negatif. Penempatan selisih nilai
S (kekuatan) – W (kelemahan) pada sumbu (x) dan penempatan selisih nilai
antara O (peluang) – T (ancaman) pada sumbu (y) maka ordinat (x,y) akan
menempati salah satu sel diagram SWOT. Letak nilai S – W dan O – T dalam
diagram SWOT akan menentukan arah strategi yang akan digunakan dalam
pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Gerakan Nasional
[image:34.612.142.509.367.550.2]Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL).
Gambar 2. Diagram SWOT (Rangkuti 2005)
Pada sel 1 (support an agresive strategy) merupakan situasi yang paling
menguntungkan. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL
memiliki peluang dan kekuatan. Jika rencana pengembangan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan GN-RHL pada sel 2 (support a diversification
strategy), meskipun menghadapi berbagai macam ancaman, namun masih
23
kegiatan GN-RHL berada pada sel 3 (support a turnaround oriented strategy)
berarti rencana tersebut mempunyai peluang tetapi dihambat oleh adanya
kelemahan-kelemahan internal. Sedangkan jika rencana pengembangan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan GN-RHL berada pada sel 4 (support a difensive
strategy) berati rencana tersebut menghadapi situasi yang tidak menguntungkan,
yakni mempunyai ancaman dan kelemahan internal. Setiap sel pada diagram
SWOT memperlihatkan ciri yang berbeda suatu unit usaha, sehingga diperlukan
strategi yang berbeda dalam penanganannya.
Selain menggunakan diagram SWOT, Rangkuti (2005) mengemukakan
bahwa alat yang dapat dipakai untuk menyusun faktor-faktor perusahaan adalah
matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang
dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan
kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Keunggulan matrik SWOT adalah
dapat mempermudah dalam memformulasikan strategi berdasarkan gabungan
24
METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), yang telah
dilaksanakan sejak tahun 2003, dalam penerapannya dijumpai berbagai kendala
dan hambatan. Kehadiran kegiatan tersebut cenderung “bernuansa proyek”
semata, lebih bersifat sentralistik, dan tidak partisipatif. Masyarakat hanya
dijadikan obyek pelaksana teknis di lapangan, sehingga cukup beralasan bila
dijumpai beberapa kasus penerapan kegiatan GN-RHL yang cenderung “gagal”.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah hingga saat ini masih belum
memahami ”makna sebenarnya” dari konsep partisipasi (la. Soetrisno 1995;
Setyarso 2004). Pemahaman partisipasi yang berlaku di lingkungan aparat
perencana adalah "kemauan masyarakat untuk mendukung secara mutlak
kegiatan-kegiatan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah”.
Kegiatan GN-RHL diistilahkan sebagai proyek pembangunan kehutanan yang
dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga “harus dilaksanakan”. Kondisi tersebut
menyebabkan respon dan partisipasi masyarakat bersifat semu terhadap kegiatan .
Prasyarat agar suatu partisipasi dapat disebut sebagai “partisipasi yang
sesungguhnya” sedikitnya memiliki enam tolak ukur (Ostrom et a.l 1993), di
antaranya: (a) adanya akses dan kontrol (penguasaan) atas lahan dan sumberdaya
hutan oleh warga, (b) adanya keseimbangan kesempatan dalam menikmati
hasil-hasil dari hutan, (c) adanya komunikasi (tukar wacana) yang baik dan hubungan
yang konstruktif (saling menopang) antar pihak yang berkepentingan terhadap
hutan, (d) adanya keputusan kampung yang dibuat oleh warga kampung tanpa
tekanan dari luar (masyarakat tidak didikte saja oleh pihak luar), dan
prakarsa-prakarsa dilakukan sendiri oleh warga kampung tanpa tekanan pihak manapun, (e)
adanya pengaturan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan kepentingan yang
berkaitan dengan sumberdaya hutan, dengan cara yang mengarah pada
penghindaran terjadinya perselisihan dan pengadaan penyelesaian perselisihan
secara adil, dan (f) adanya kemampuan teknis warga kampung dalam mengelola
25
Dari uraian tersebut nampak bahwa tinggi-rendahnya partisipasi
masyarakat ditentukan pula oleh seberapa jauh kegiatan tersebut mampu
melembaga dan memenuhi kebutuhan masyarakat, serta memberikan jaminan
atas kepastian hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan
demikian, partisipasi masyarakat harus dipandang sebagai bentuk ”kerjasama”
antara pemerintah dan masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan.
Kajian terkini tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi
masyarakat terkait pengelolaan sumberdaya hutan, mengklasifikasikannya ke
dalam faktor internal dan eksternal. Faktor internal di antaranya: umur, tingkat
pendidikan formal dan informal, jumlah anggota keluarga, luas lahan garapan,
pendapatan dari dan di luar kegiatan, pengalaman berorganisasi, pekerjaan
sampingan, status sosial petani, kepahaman kontrak, kekosmopolitan, peranan
kelembagaan informal, persepsi, dan motivasi. Sedangkan faktor eksternal terdiri
atas: peran pemerintah, peran pendamping lapangan, kejelasan hak dan
kewajiban, serta aspek sosial budaya masyarakat (Pujo 2003; Sunartana 2003;
Trison 2005).
Lebih jauh, Slamet (1989) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor
yang mempegaruhi tahapan partisipasi, di antaranya adalah status sosial ekonomi
(pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan). Lapisan sosial penduduk yang berstatus
lebih tinggi umumnya lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan
pelaksanaan, kelas sosial menengah lebih banyak dalam proses pelaksanaan,
sedangkan kelas sosial yang lebih rendah biasanya terlibat pada proses
pemanfaatan.
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini menggunakan konsepsi
pemikiran dan temuan di atas sebagai landasan analisis terhadap tingkat
partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL di Propinsi Sulawesi Tengah.
Faktor-faktor yang dianalisis terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor
internal meliputi: umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan
garapan yang dikuasai, tingkat pendapatan, pekerjaan sampingan,
kekosmopolitan, persepsi, dan motivasi yang dimiliki. Faktor eksternal meliputi;
intensitas sosialisasi kegiatan, peran pendamping lapangan, dan kejelasan hak dan
26
Gambar 3 Kerangka PemikiranPenelitian
Partisipasi masyarakat Program GN-RHL Tahap Perencanaan (Y1) Tahap Pelaksanaan (Y2) Tahap Pemanfaatan (Y4) Tahap Evaluasi (Y3) Strategi Pengembangan Partisipasi masyarakat
- Umur peserta (X1.1)
- Tingkat pendidikan (X1.2)
- Jumlah anggota keluarga
(X1.3)
- Luas lahan garapan (X1.4)
- Tingkat pendapatan (X1.5)
- Kekosmopolitan (X1.6)
- Pekerjaan sampingan
(X1.7)
- Persepsi (X1.8)
- Motivasi instrinsik (X1.9)
- Motivasi Ekstrinsik
(X1.10) F a k to r In te r n a l
- Intensitas sosialisasi
program (X2.1)
- Peran pendamping
lapangan (X2.2)
- Kejelasan hak dan
27
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur
Kotamadya Palu dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya
Palu, Sulawesi Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive),
dengan pertimbangan utama bahwa kedua lokasi tersebut merupakan eks-lokasi
kegiatan pembuatan tanaman GN-RHL tahun 2004. Pertimbangan lainnya adalah
kedua lokasi ini memiliki tipologi hutan dan sistem penerapan GN-RHL yang
berbeda, sehingga baik untuk dibandingkan. Penelitian ini berlangsung selama
6 bulan mulai dari Bulan Januari 2007 – Juni 2007.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif korelasional, yang mendeskripsikan secara
sistematis mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diteliti
(Nasir 1993). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survei
melalui teknik wawancara terbuka, penyebaran kuesioner, wawancara mendalam,
dan diskusi pakar. Tenik-teknik tersebut digunakan untuk mengumpulkan data
yang dibutuhkan dalam menjelaskan hubungan di antara peubah-peubah yang
telah ditetapkan sebelumnya, serta menyusun strategi pengembangan partisipasi
masyarakat (Singarimbun dan Effendi 1995).
Metode Pengambilan Contoh
Responden yang terpilih adalah responden yang terlibat langsung
(peserta) dalam kegiatan GN-RHL. Pemilihan responden dilakukan dengan
metode sensus. Untuk Lambara, responden yang diambil adalah sebanyak 45
orang, sedangkan untuk Layana sebanyak 50 orang. Mengacu pada pendapat
Arikunto (1993) dalam Safei (2005), bahwa apabila subyeknya kurang dari 100
orang, sebaiknya diambil secara keseluruhan.
Selain itu, ditetapkan pula 5 orang responden ahli, yang diambil dari
perwakilan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan GN-RHL, baik yang
berinteraksi langsung dengan GN-RHL maupun tidak, namun masih memiliki
28
unsur perguruan tinggi, 2 orang dari dinas kehutanan propinsi dan kabupaten,
1 orang dari penyuluh lapangan, 1 orang dari lembaga swadaya masyarakat yang
terlibat.
Pengumpulan Data
Data primer diperoleh secara langsung dari responden dengan teknik
wawancara dan atau mengisi daftar isian (kuesioner) serta pengamatan langsung
di lapangan. Data primer meliputi: identitas responden, jenis kegiatan,
kelembagaan, dan manfaat kegiatan GN-RHL. Data sekunder yang dikumpulkan
adalah data yang terkait dengan kajian-kajian penelitian terdahulu melalui
penelusuran berbagai pustaka yang ada, dan dari berbagai instansi terkait (balai
pengelolaan daerah aliran sungai, dinas lingkup pertanian dan kehutanan, badan
perencana pembangunan daerah, kantor statistik daerah). Data sekunder meliputi
keadaan geografis, demografi, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Variabel Pengamatan
Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:
1. Karakteristik individu (faktor internal) meliputi: umur, tingkat pendidikan,
jumlah anggota keluarga, luas lahan garapan, tingkat pendapatan,
kekosmopolitan, pekerjaan sampingan, persepsi, dan motivasi.
2. Faktor eksternal meliputi: intensitas sosialisasi kegiatan, peran pendamping
kelembagaan dan kejelasan hak dan kewajiban.
3. Tingkat partisipasi masyarakat (keterlibatan peserta dalam kegiatan GN-RHL mulai dari tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi dan tahap
pemanfaatan)
Metode Analisis Data
a. Pengolahan Data
Sebelum dianalisis, data terlebih dahulu diedit. Khusus data yang bersifat
kuantitatif, proses pengeditan terdiri atas: (a) penghitungan total skor tiap-tiap
variabel dan (b) pengelompokan data sesuai dengan variabel masing-masing.
29
interpretasi dan penjelasan hasil catatan lapangan serta kategorisasi data,
(b) mendeskripsikan kategori-kategori data, dan (c) mengelompokkan data.
b. Analisis Data
Analisis data penelitian digunakan untuk menjawab tujuan dan menguji
hipotesis yang telah diajukan. Adapun metode analisis yang digunakan sebagai
berikut:
1. Untuk menjawab tujuan pertama, yakni mengkaji tingkat partisipasi
masyarakat peserta kegiatan GN-RHL dijelaskan secara deskriptif-kuantitatif.
Analisis ini digunakan untuk menghitung jumlah dan persentase dari data-data
yang dikumpulkan, melalui cara tabulasi yang selanjutnya disajikan dalam
bentuk distribusi frekuensi.
2. Untuk menjawab tujuan yang kedua, yakni mengkaji hubungan di antara
faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi dengan tingkat partisipasi
masyarakat dalam kegiatan GN-RHL, dijelaskan secara deskriptif-kualitatif
dengan menggunakan analisis statistik non parametrik yaitu uji korelasi
Spearman Rank, dengan rumus : (Walpole 1992; Sugiyono 2000).
di mana:
ρ = Koefisien korelasi Spearman Rank bi = Selisih peringkat X dan Y
n = Banyaknya sampel
Untuk kemudahan dan ketepatan pengolahan digunakan bantuan komputer
dengan program Statistical Program for Social Sience (SPSS) versi 14.
3. Untuk menjawab tujuan ketiga, yaitu menyusun strategi pengembangan
partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL , digunakan analisis SWOT
(Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat). Analisis ini dilakukan
dengan melihat kekuatan, peluang, kelemahan dan ancaman. Faktor-faktor
tersebut diperoleh dari berbagai informasi, literatur, wawancara pakar dan
pihak terkait, sehingga didapatkan sejumlah faktor yang dapat kembali )
1 ( 6
1 2
2
− −
=
∑
n n
bi
30
diajukan sebagai bahan pertanyaan dalam kuisioner, sehingga didapatkan
peubah-peubah yang menjadi faktor internal dan eksternal yang dapat
mempengaruhi pengembangan partisipasi masyarakat. Analisis dilakukan ke
dalam tiga tahapan pokok, yaitu:
(1) Tahapan identifikasi. Pada tahap ini, terlebih dahulu dibuat Internal Factors Evaluations Matrix (Matriks IFE) dan External Factors
Evaluation Matrix (Matriks EFE). Matriks IFE (Tabel 2) digunakan
untuk menganalisis peubah-peubah internal dan mengklasifikasikannya
menjadi kekuatan dan kelemahan. Demikian halnya dengan matriks EFE
(Tabel 3) digunakan untuk menganalisis peubah-peubah eksternal, dan
mengklasifikasikannya menjadi peluang dan ancaman.
Tabel 2 Matriks Internal Factor Evaluation
Strategi Internal (1)
Bobot (2)
Rating (3)
Skor = Bobot x Rating (4)
Kekuatan
1.
... ... ... ...
10. ... ... ...
Kelemahan
1. ... ... ...
... ... ... ...
10. ... ... ...
Total
Sumber: Rangkuti (2000).
31
Tabel 3 Matriks EksternalFactor Evaluation
Peubah Strategi Eksternal (1)
Bobot (2)
Rating (3)
Skor = Bobot x Rating (4)
Peluang
1. ... ... ...
... ... ... ...
10. ... ... ...
Ancaman
1. ... ... ...
... ... ... ...
10. ... ... ...
Total
Sumber: Rangkuti (2000).
Terdapat 6 tahapan untuk membuat matrik IFE dan EFE, yaitu:
(a) Pada kolom pertama (1) ditentukan faktor-faktor strategis internal
(kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman).
(b) Pada kolom kedua (2) pemberian bobot masing-masing peubah dengan
skala mulai dari 1 (paling penting) sampai 0 (tidak penting) berdasarkan
pengaruh peubah-peubah tersebut. Metode tersebut digunakan untuk
memberikan penilaian terhadap bobot setiap peubah strategis internal dan
eksternal dengan cara membandingkan variabel horisontal terhadap
variabel vertikal. Penentuan bobot untuk setiap variabel dilakukan dengan
memberikan nilai 1, 2, 3; di mana nilai 1 = jika indikator horisontal kurang
penting daripada indikator vertikal, nilai 2 = jika indikator horisontal sama
pentingnya dengan indikator vertikal, nilai 3 = jika indikator horisontal
lebih penting daripada indikator vertikal.
(c) Pada kolom ke tiga (3) pemberian rating mulai dari nilai 1 – 4 untuk
masing-masing peubah dengan pengaruh kecil-sedang-besar-sangat besar.
(d) Pada kolom ke empat (4), bobot pada kolom kedua (2) dikalikan dengan
rating pada kolom ketiga (3). Kemudian hasil kali tersebut dijumlahkan
32
(2) Tahapan pemaduan. Tahapan ini berfungsi untuk memadukan faktor
internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan
ancaman). Alat analisis yang digunakan adalah diagram SWOT atau diagram
internal-eksternal.
(3) Tahapan perumusan strategi pengembangan partisipasi masyarakat.
Tahapan ini digunakan untuk menetapkan strategi berdasarkan kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman seperti disajikan pada matriks SWOT
(Tabel 4)
Tabel 4 Matrik analisis SWOT
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan Kelemahan
Peluang Strategi kekuatan-peluang Strategi
kelemahan-peluang
Ancaman Strategi kekuatan-ancaman Strategi
kelemahan-ancaman
Penjelasan:
a. Strategi kekuatan – peluang, strategi ini didasarkan pada pemanfaatan
seluruh kekuatan dari pengembangan partisipasi masyarakat pada kegiatan
GN-RHL yang telah dilakukan untuk memanfaatkan peluang
sebesar-besarnya.
b. Strategi kekuatan – ancaman, strategi ini didasarkan pada pemamfaatan
seluruh kekuatan dari pengembangan partisipasi masyarakat yang telah
dilakukan untuk mengatasi ancaman yang ada.
c. Strategi kelemahan – peluang, strategi ini didasarkan pada pemanfaatan
peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan.
d. Strategi kelemahan – ancaman, strategi ini didasarkan pada meminimalkan
kelemahan yang ada dalam pengembangan partisipasi masyarakat pada
33
Definisi Operasional
1. Umur adalah usia responden yang dihitung dari tahun lahir sampai saat
penelitian dilaksanakan dan dinyatakan dalam tahun, di mana pembulatan ke
atas bila usia responden 5 bulan keatas dan pembulatan ke bawah bila usia
responden kurang dari 5 bulan. Umur responden diukur dalam tahun dan
terdiri atas tiga kategori, meliputi : rendah (< 40); sedang (40-55); dan tinggi
(>55)
2. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh
oleh responden yang dinyatakan dengan tidak sekolah dan tidak tamat SD,
tamat SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Tingkat Pendidikan diukur
berdasarkan jenjang pendidikan yang ditempuh dan terbagi atas tiga kategori,
meliputi; rendah (<3); sedang (3); dan tinggi (>3).
3. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah keseluruhan anggota keluarga
meliputi suami, istri, anak dan keluarga lain yang menjadi tanggungan
keluarga. Jumlah anggota keluarga diukur berdasarkan jumlah orang yang
terbagi kedalam dikategorikan, meliputi; rendah (<3 orang); sedang (3-4
orang); dan tinggi (>4 orang)
4. Luas lahan garapan adalah keseluruhan luas lahan yang di garap oleh
responden, diukur dalam hektar (ha) dan terdiri atas tiga kategori yaitu: kecil
(<1 ha); sedang (1-2.5 ha); dan tinggi (>2.5 ha).
5. Pendapatan adalah penghasilan rata-rata responden setiap bulan yang
diperoleh dari berbagai sumber dan diukur dalam Rp/bulan. Pendapatan
responden terdiri atas tiga kategori, yaitu: rendah (<Rp500.000,-); sedang
(Rp500.000,- – 750.000,-); dan tinggi (>Rp750.000,-).
6. Kekosmopolitan adalah sifat responden yang selalu mencari informasi yang
dibutuhkan berkaitan dengan kegiatan GN-RHL, diukur berdasarkan frekuensi
dalam kunjungan ke tempat lain, mengadakan kontak dan berdiskusi dengan
sumber informasi (teman, tetangga, tokoh masyarakat, pendamping dan
lembaga pemerintahan. Kekosmopolitan dikategorikan ke dalam tiga yaitu:
34
7. Pekerjaan sampingan adalah pekerjaan lain atau pekerjaan tambahan yang
dilakukan responden di luar pekerjaan utamanya dalam satu tahun terakhir.
Pekerjaan sampingan diukur berdasarkan berapa jumlah pekerjaan yang
digeluti dan dikategorikan ke dalam: rendah (<2); sedang (2); dan tinggi (>2).
8. Persepsi adalah pandangan dan penilaian responden terhadap tujuan, manfaat
dan pelaksanaan kegiatan GN-RHL, diukur berdasarkan penilaian responden
terhadap kegiatan GN-RHL yang terdiri atas tiga kategori, yaitu: rendah (<5);
sedang (5-8); dan tinggi (>8)
9. Motivasi intrinsik adalah dorongan dari dalam untuk mewujudkan harapan
dengan