• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Konsentrasi Bahan Pembersih dan Pemutih terhadap Mutu Serat Wol Hasil Pengolahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Konsentrasi Bahan Pembersih dan Pemutih terhadap Mutu Serat Wol Hasil Pengolahan"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KONSENTRASI BAHAN PEMBERSIH DAN

PEMUTIH TERHADAP MUTU SERAT WOL

HASIL PENGOLAHAN

SKRIPSI NURUDDIN

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

NURUDDIN. 2005. Pengaruh Konsentrasi Bahan Pembersih dan Pemutih Terhadap Mutu Serat Wol Hasil Pengolahan. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Mohamad Yamin, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Ir. B. N. Polii, SU

Daya terima konsumen terhadap suatu produk sangat dipengaruhi oleh kualitas produk tersebut. Produk-produk kerajinan yang menggunakan bahan dasar dari wol tak luput dari hal ini dan ternyata produk-produk kerajinan yang menggunakan bahan dasar wol masih mengalami masalah ini. Proses pembuatan produk yang harus melewati tahap perendaman air, pencucian baik deterjen maupun desinfektan dan pemutihan ternyata masih belum maksimal dalam menghasilkan produk yang berkualitas. Ini mungkin tak terlepas dari rendahnya riset mengenai hal ini, sehingga perlu adanya penelitian yang lebih berorientasi pada peningkatan mutu produk.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh proses pengolahan terhadap kebersihan, derajat putih, ketidakbauan feses domba, ketidakbauan sheep odor, ketidakbauan tanah maupun ketidakbauan deterjen dan ketidakbauan desinfektan pada wol selama proses pengolahan. Penelitian ini juga bertujuan untuk mencari konsentrasi bahan yang tepat pada masing-masing tahapan proses pengolahan.

Pengukuran atribut mutu dengan evaluasi sensori oleh panelis terlatih dengan menggunakan uji skalar dan data yang didapat diubah kebentuk persentase untuk selanjutnya ditransformasi kebentuk transformasi Arcsin. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola searah dengan lima belas kali ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah proses pengolahan wol dan pengaruh perlakuan dianalisa menggunakan sidik ragam. Jika perlakuan menunjukkan pengaruh berbeda nyata (p <0,05), maka analisa dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Data yang didapat selanjutnya disajikan secara ”simple visual representation” dalam bentuk histogam dan grafik majemuk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perendaman, pencucian dan pemutihan wol berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap atribut mutu kebersihan dengan kisaran nilai 21,25 – 65,94%, terhadap atribut mutu derajat putih dengan kisaran nilai 20,60 – 63,87%, terhadap atribut mutu ketidakbauan feses domba dengan kisaran nilai 48,98– 75,01%, terhadap atribut mutu ketidakbauan prengus dengan kisaran nilai 47,72 – 74,83%, terhadap atribut mutu ketidakbauan tanah dengan kisaran nilai 47,83 – 72,25%, terhadap atribut mutu ketidakbauan deterjen dengan kisaran nilai 54,27 – 73,76%, terhadap atribut mutu ketidakbauan desinfektan dengan kisaran nilai 55,04 – 71,65%.

(3)

ABSTRACT

The Effect of Bleaching and Cleaning Agent Concentrations on Wool Fibre Quality in Wool Processing

Nuruddin, M. Yamin and B. N. Polii

Consumer’s preferences on a product are influenced by the quality of that product, including handcraft product that use wool as raw material. Wool processing such as water soaking, washing with detergent or desinfectan and bleaching do not still give optimal and consistent results yet in producing high quality product. The research focusing more on improving quality of a product need to be done to overcome that problem.

The aims of this research were to know the effect of wool processing on quality such as cleanness, level of whiteness, faeces, detergent and desinfectant odor that stick on the wool during processing. The study also investigated fifteen proper concentrate in every step of processing.

This research used completely randomized design with repetitions and wool processing stage on the treatment. Sensory evaluation with scalar test was conducted by trained panelist. The result of sensory evaluation was changed into percentage and transformated into Arcsin transformation. Significantly effects will be further analyzed by Duncan test. The data were presented as “ simple Visual Representation” with histogram and ‘spider web’.

The result showed that wool processing treatment had significant effects

(p<0.01) on cleanness quality attribute with value of 21.25 – 65.94; level of whiteness quality with value of 20.60 – 63.87; the odourless of sheep’s faeces with value of 49.98 – 75.01; the sheep odor with value of 47.72 – 74.83; the odourless of soil with value of 47.83 – 72.25; the odourless of detergent with value of 54.27 – 73.76; and the odourless of disinfectant with value of 55.04 – 71.65.

Keywords : wool, quality attribute, sensory evaluation

(4)

PENGARUH KONSENTRASI BAHAN PEMBERSIH DAN

PEMUTIH TERHADAP MUTU SERAT WOL

HASIL PENGOLAHAN

NURUDDIN D 14201065

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(5)

PENGARUH KONSENTRASI BAHAN PEMBERSIH DAN

PEMUTIH TERHADAP MUTU SERAT WOL

HASIL PENGOLAHAN

Oleh: NURUDDIN

D 14201065

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 1 Februari 2006

Pembimbing Utama

Dr. Ir. Mohamad Yamin, M.Agr.Sc NIP. 131 760 853

Pembimbing Anggota

Ir. B. N. Polii, SU NIP. 130 816 350

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 8 November 1981 di Toboali Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Penulis merupakan anak kedelapan dari delapan orang bersaudara dari pasangan Bapak Matdahan dan Ibunda Roaina (Alm).

Jenjang pendidikan dasar sampai menengah, penulis habiskan di kota sendiri yaitu Toboali. Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1994 di SDN 288, Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMPN I pada tahun 1997, dan Sekolah Menengah Umum diselesaikan di SMUN I Toboali pada tahun 2000.

Penulis memasuki jenjang perguruan tinggi dengan diterima pada Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Pada Tahun 2001 melewati jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Yang Maha Kuasa atas segala nikmat yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan proses penelitian dan sekaligus penulisan skripsi hasil penelitian dengan judul “Pengaruh Konsentrasi Bahan Pembersih dan Pemutih Terhadap Kualitas Serat Wol dalam Pengolahan Bulu Domba”.

Penelitian tentang wol merupakan sesuatu yang masih sangat terbatas dilakukan di Indonesia, sehingga penulis tertarik untuk mengadakan percobaan dengan menggunakan bulu domba sebagai bahan utamanya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan dan peningkatan pengolahan bulu domba di Indonesia.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih.

Bogor, Februari 2006

(8)

DAFTAR ISI

(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Eksperimen Satu : Uji Pengaruh Bahan Pembersih dan Pemutih terhadap Mutu Wol ... 23

Wol Kotor ... 23

Wol Pasca Perendaman dengan Air ... 24

Wol Pasca Pencucian dengan Deterjen ... 25

Wol Pasca Pencucian dengan Desinfektan ... 28

Benang Pasca Pemutihan ... 30

Eksperimen Dua : Pengaruh Perendaman Bahan pembersih dan Pemutih terhadap Mutu Wol ... 33

Kebersihan ... 33

Derajat Putih ... 35

Ketidakbauan Feses Domba ... 36

Ketidakbauan Sheep Odor ... 37

Ketidakbauan Tanah ... 39

Ketidakbauan Deterjen ... 40

Ketidakbauan Desinfektan ... 41

Hasil Analisa uji Deskripsi Atribut Mutu Wol Pengolahan ... 42

KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

Kesimpulan ... 44

Saran ... 44

UCAPAN TERIMAKASIH ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Nilai Atribut Mutu Wol Kotor ... 23 2. Nilai Atribut Mutu Wol Kering Pasca Perendaman dalam Air ... 24 3. Nilai Atribut Mutu Wol Kering Pasca Pencucian dengan Deterjen .... 26 4. Nilai Atribut Mutu Wol Kering Pasca Pencucian dengan Desifektan . 28 5. Nilai Atribut Mutu Benang Kering Pasca Pemutihan ... 31 6. Rangkuman Nilai Atribut Mutu dan Standar Deviasi Wol dan Benang

(11)

PENGARUH KONSENTRASI BAHAN PEMBERSIH DAN

PEMUTIH TERHADAP MUTU SERAT WOL

HASIL PENGOLAHAN

SKRIPSI NURUDDIN

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(12)

RINGKASAN

NURUDDIN. 2005. Pengaruh Konsentrasi Bahan Pembersih dan Pemutih Terhadap Mutu Serat Wol Hasil Pengolahan. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Mohamad Yamin, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Ir. B. N. Polii, SU

Daya terima konsumen terhadap suatu produk sangat dipengaruhi oleh kualitas produk tersebut. Produk-produk kerajinan yang menggunakan bahan dasar dari wol tak luput dari hal ini dan ternyata produk-produk kerajinan yang menggunakan bahan dasar wol masih mengalami masalah ini. Proses pembuatan produk yang harus melewati tahap perendaman air, pencucian baik deterjen maupun desinfektan dan pemutihan ternyata masih belum maksimal dalam menghasilkan produk yang berkualitas. Ini mungkin tak terlepas dari rendahnya riset mengenai hal ini, sehingga perlu adanya penelitian yang lebih berorientasi pada peningkatan mutu produk.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh proses pengolahan terhadap kebersihan, derajat putih, ketidakbauan feses domba, ketidakbauan sheep odor, ketidakbauan tanah maupun ketidakbauan deterjen dan ketidakbauan desinfektan pada wol selama proses pengolahan. Penelitian ini juga bertujuan untuk mencari konsentrasi bahan yang tepat pada masing-masing tahapan proses pengolahan.

Pengukuran atribut mutu dengan evaluasi sensori oleh panelis terlatih dengan menggunakan uji skalar dan data yang didapat diubah kebentuk persentase untuk selanjutnya ditransformasi kebentuk transformasi Arcsin. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola searah dengan lima belas kali ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah proses pengolahan wol dan pengaruh perlakuan dianalisa menggunakan sidik ragam. Jika perlakuan menunjukkan pengaruh berbeda nyata (p <0,05), maka analisa dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Data yang didapat selanjutnya disajikan secara ”simple visual representation” dalam bentuk histogam dan grafik majemuk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perendaman, pencucian dan pemutihan wol berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap atribut mutu kebersihan dengan kisaran nilai 21,25 – 65,94%, terhadap atribut mutu derajat putih dengan kisaran nilai 20,60 – 63,87%, terhadap atribut mutu ketidakbauan feses domba dengan kisaran nilai 48,98– 75,01%, terhadap atribut mutu ketidakbauan prengus dengan kisaran nilai 47,72 – 74,83%, terhadap atribut mutu ketidakbauan tanah dengan kisaran nilai 47,83 – 72,25%, terhadap atribut mutu ketidakbauan deterjen dengan kisaran nilai 54,27 – 73,76%, terhadap atribut mutu ketidakbauan desinfektan dengan kisaran nilai 55,04 – 71,65%.

(13)

ABSTRACT

The Effect of Bleaching and Cleaning Agent Concentrations on Wool Fibre Quality in Wool Processing

Nuruddin, M. Yamin and B. N. Polii

Consumer’s preferences on a product are influenced by the quality of that product, including handcraft product that use wool as raw material. Wool processing such as water soaking, washing with detergent or desinfectan and bleaching do not still give optimal and consistent results yet in producing high quality product. The research focusing more on improving quality of a product need to be done to overcome that problem.

The aims of this research were to know the effect of wool processing on quality such as cleanness, level of whiteness, faeces, detergent and desinfectant odor that stick on the wool during processing. The study also investigated fifteen proper concentrate in every step of processing.

This research used completely randomized design with repetitions and wool processing stage on the treatment. Sensory evaluation with scalar test was conducted by trained panelist. The result of sensory evaluation was changed into percentage and transformated into Arcsin transformation. Significantly effects will be further analyzed by Duncan test. The data were presented as “ simple Visual Representation” with histogram and ‘spider web’.

The result showed that wool processing treatment had significant effects

(p<0.01) on cleanness quality attribute with value of 21.25 – 65.94; level of whiteness quality with value of 20.60 – 63.87; the odourless of sheep’s faeces with value of 49.98 – 75.01; the sheep odor with value of 47.72 – 74.83; the odourless of soil with value of 47.83 – 72.25; the odourless of detergent with value of 54.27 – 73.76; and the odourless of disinfectant with value of 55.04 – 71.65.

Keywords : wool, quality attribute, sensory evaluation

(14)

PENGARUH KONSENTRASI BAHAN PEMBERSIH DAN

PEMUTIH TERHADAP MUTU SERAT WOL

HASIL PENGOLAHAN

NURUDDIN D 14201065

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(15)

PENGARUH KONSENTRASI BAHAN PEMBERSIH DAN

PEMUTIH TERHADAP MUTU SERAT WOL

HASIL PENGOLAHAN

Oleh: NURUDDIN

D 14201065

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 1 Februari 2006

Pembimbing Utama

Dr. Ir. Mohamad Yamin, M.Agr.Sc NIP. 131 760 853

Pembimbing Anggota

Ir. B. N. Polii, SU NIP. 130 816 350

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 8 November 1981 di Toboali Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Penulis merupakan anak kedelapan dari delapan orang bersaudara dari pasangan Bapak Matdahan dan Ibunda Roaina (Alm).

Jenjang pendidikan dasar sampai menengah, penulis habiskan di kota sendiri yaitu Toboali. Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1994 di SDN 288, Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMPN I pada tahun 1997, dan Sekolah Menengah Umum diselesaikan di SMUN I Toboali pada tahun 2000.

Penulis memasuki jenjang perguruan tinggi dengan diterima pada Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Pada Tahun 2001 melewati jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).

(17)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Yang Maha Kuasa atas segala nikmat yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan proses penelitian dan sekaligus penulisan skripsi hasil penelitian dengan judul “Pengaruh Konsentrasi Bahan Pembersih dan Pemutih Terhadap Kualitas Serat Wol dalam Pengolahan Bulu Domba”.

Penelitian tentang wol merupakan sesuatu yang masih sangat terbatas dilakukan di Indonesia, sehingga penulis tertarik untuk mengadakan percobaan dengan menggunakan bulu domba sebagai bahan utamanya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan dan peningkatan pengolahan bulu domba di Indonesia.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih.

Bogor, Februari 2006

(18)

DAFTAR ISI

(19)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Eksperimen Satu : Uji Pengaruh Bahan Pembersih dan Pemutih terhadap Mutu Wol ... 23

Wol Kotor ... 23

Wol Pasca Perendaman dengan Air ... 24

Wol Pasca Pencucian dengan Deterjen ... 25

Wol Pasca Pencucian dengan Desinfektan ... 28

Benang Pasca Pemutihan ... 30

Eksperimen Dua : Pengaruh Perendaman Bahan pembersih dan Pemutih terhadap Mutu Wol ... 33

Kebersihan ... 33

Derajat Putih ... 35

Ketidakbauan Feses Domba ... 36

Ketidakbauan Sheep Odor ... 37

Ketidakbauan Tanah ... 39

Ketidakbauan Deterjen ... 40

Ketidakbauan Desinfektan ... 41

Hasil Analisa uji Deskripsi Atribut Mutu Wol Pengolahan ... 42

KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

Kesimpulan ... 44

Saran ... 44

UCAPAN TERIMAKASIH ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(20)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Nilai Atribut Mutu Wol Kotor ... 23 2. Nilai Atribut Mutu Wol Kering Pasca Perendaman dalam Air ... 24 3. Nilai Atribut Mutu Wol Kering Pasca Pencucian dengan Deterjen .... 26 4. Nilai Atribut Mutu Wol Kering Pasca Pencucian dengan Desifektan . 28 5. Nilai Atribut Mutu Benang Kering Pasca Pemutihan ... 31 6. Rangkuman Nilai Atribut Mutu dan Standar Deviasi Wol dan Benang

(21)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Struktur Molekul Wol ... 7

2. Serat Rusak ... 9

3. Tahapan Proses Pemutihan Bulu ... 22

4. Serat Wol Kotor ... 24

5. Serat Wol Pasca Perendaman dengan Air ... 25

6. Serat Wol Pasca Pencucian dengan Deterjen ... 27

7. Serat Wol pasca Pencucian dengan Desinfektan ... 30

8. Serat Benang Pasca Pemutihan ... 32

9. Histogram Atribut Mutu Kebersihan ... 34

10. Histogram Atribut Mutu Derajat Putih ... 35

11. Histogram Atribut Mutu Ketidakbauan Feses Domba ... 36

12. Histogram Atribut Mutu Ketidakbauan Prengus ... 38

13. Histogram Atribut Mutu Ketidakbauan Tanah ... 39

14. Histogram Atribut Mutu Ketidakbauan Deterjen ... 40

15. Histogram Atribut Mutu Ketidakbauan Desinfektan ... 41

16. Hasil Analisa Uji Deskripsi Atribut Mutu Wol Pengolahan ... 43

(22)

DAFTAR LAMPIRAN 10. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Ketidakbauan

Feses Domba ... 57 11. Hasil Uji Lanjut Duncan Multiple Range Test Pengaruh Perlakuan

Terhadap Ketidakbauan Feses Domba ... 57 12. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Ketidakbauan

Sheep Odor ... 58 13. Hasil Uji Lanjut Duncan Multiple Range Test Pengaruh Perlakuan

Terhadap Ketidakbauan Sheep Odor ... 58 14. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Ketidakbauan

Tanah ... 58 15. Hasil Uji Lanjut Duncan Multiple Range Test Pengaruh Perlakuan

Terhadap Ketidakbauan Tanah ... 58 16. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Ketidakbauan

Deterjen ... 59 17. Hasil Uji Lanjut Duncan Multiple Range Test Pengaruh Perlakuan

Terhadap Ketidakbauan Deterjen ... 59 18. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Ketidakbauan

Desinfektan ... 59 19. Hasil Uji Lanjut Duncan Multiple Range Test Pengaruh Perlakuan

Terhadap Ketidakbauan Desinfektan ... 59 20. Nilai Atribut Mutu dan Standar Deviasi Bulu Kering Terpilih

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wol merupakan salah satu hasil dari ternak domba yang sangat potensial untuk diberdayakan karena fungsinya sebagai salah satu bahan tekstil. Sejak beberapa abad, wol telah memberi peran bagi dunia tekstil karena karakteristik unik yang dimilikinya (elastis, ringan, tahan lama, kuat, tahan api dan dapat menahan panas). Sifat-sifat yang dimilikinya tersebut memungkinkan wol dapat bersaing dengan serat lain, terutama yang berasal dari tumbuhan. Sebagian besar wol digunakan dalam industri untuk pembuatan pakaian, selimut, kain pelapis, dan karpet (Kammlade dan Kammlade, 1955).

Pengembangan domba yang berlangsung selama ratusan tahun telah menghasilkan jenis-jenis domba dengan kualitas bulu yang beragam, ada yang sangat halus, sedang, bahkan ada yang berkualitas sangat jelek sehingga mempengaruhi proses pengolahan wol tersebut. Wol Indonesia umumnya berkualitas rendah karena sangat kasar sehingga kurang cocok untuk dijadikan bahan pakaian, tetapi beberapa wilayah di Indonesia memiliki jenis-jenis domba persilangan yang kualitas wolnya relatif masih baik sehingga dapat diproses menjadi produk kerajinan, misalnya karpet, hiasan dinding dan keset (Yamin dan Rahayu, 1995). Hal ini merupakan peluang bagi pengembangan usaha dibidang kerajinan wol.

Usaha untuk mendukung potensi yang ada sebenarnya sudah mulai dilakukan dalam bentuk proses pengembangan dengan bentuk nyata berupa pengembangan kelompok pengrajin wol (Yamin et al., 1996), modifikasi alat dan aplikasinya (Meidina, 2003 dan Yamin et al., 2002), riset pada produk baru (papan partikel) (Anwar, 2004 dan Hidayat, 2004) serta usaha-usaha untuk mendapatkan informasi mengenai teknik dan hasil pengolahan wol lokal maupun domba persilangan di Indonesia (Ornam, 1999., Handayani, 2003 dan Syamyono, 2002).

(24)

sudah sangat perlu dilakukan untuk mendapatkan teknik-teknik dan prinsip-prinsip pembersihan dan pengolahan yang lebih baik sehingga diperoleh informasi yang jelas mengenai alternatif metode pengolahan tersebut.

Bertitik tolak dari itu, maka perlu kiranya dilakukan penelitian yang berhubungan dengan pengolahan wol Indonesia sehingga dapat diketahui pengaruh penggunaan bahan dan proses pengolahan terhadap mutu wol yang dihasilkan.

Perumusan Masalah

Indonesia memiliki potensi wol yang cukup baik karena memiliki jenis-jenis domba persilangan yang tersebar di beberapa wilayah, tetapi proses pengolahan yang telah dilakukan untuk menghasilkan produk-produk kerajinan oleh industri rumah tangga belum optimal. Hal ini berakibat pada bervariasinya kualitas produk yang dihasilkan dan berdampak pada rendahnya nilai jual dari produk tersebut. Proses pengolahan wol dengan memperhatikan konsentrasi bahan dan tahapan pengolahan yang dilakukan diharapkan dapat membantu dalam pencapaian mutu wol hasil olahan yang lebih baik.

Tujuan

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Bulu Domba

Bulu merupakan penutup tubuh yang melindungi tubuh dari pengaruh luar. Bulu domba merupakan serat-serat penutup tubuh domba yang bersifat lembut, halus, penuh kerutan dan permukaannya bersisik (Devendra dan Mcleroy, 1982). Bulu domba umumnya dikenal sebagai bahan untuk pakaian, selimut, kain pelapis, dan karpet. Sebanyak 85-90% wol digunakan untuk membuat pakaian dan berasal dari wol yang halus sedangkan bulu domba yang digunakan untuk membuat karpet adalah bulu domba yang lebih kasar dengan ukuran garis tengah serabut lebih besar dari wol dan dikenal dengan istilah wol karper atau hair (Kammlade dan Kammlade, 1955). Menurut Ensminger (1962), bulu domba memiliki keunggulan karena kemampuannya menyerap air sebanyak 18% dari beratnya tanpa terasa basah, dapat menimbulkan rasa hangat, merupakan insulator, elastis sehingga dapat diregang, ringan, tahan lentur dan tahan lama, kuat, tidak mudah terbakar serta tahan kempa.

Wol dan serat rambut tersusun dari protein yang sangat keras yang disebut keratin berserat (Gatenby dan Humbert, 1991). Menurut Lehninger (1982), α- keratin adalah protein serat utama yang memberikan perlindungan eksternal bagi vertebrata dan protein ini menyusun hampir seluruh berat kering dari rambut, wol, sayap, kuku, cakar, duri, sisik, tanduk, kuku kuda, serta kulit penyu. Keratin terdiri dari kombinasi unsur- unsur karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, dan belerang (Harmswort dan Page-Sharp, 1970).

(26)

Tipe Wol

Jenis wol yang dihasilkan domba turut mempengaruhi penggolongan domba wol. Wol digolongkan menjadi wol halus (fine wol), wol sedang (medium sedang), wol kasar (wol permadani) dan wol tipe bulu (fur) (Diggins dan Bundy,1958 dan Soeprijono et al., 1973). Wol yang termasuk golongan wol halus (fine-wool) mempunyai sifat halus, lembut, kuat, elastik dan keriting, sehingga dapat dibuat menjadi benang yang halus (Soeprijono et al., 1973). Diggins dan Bundy (1958) menyatakan bahwa serat wol tipe sedang (medium-wool) lebih kasar, lebih panjang, dan lebih berkilau dibanding wol halus. Wol sedang terdiri atas wol luster, wol down, mountain breed dan wol persilangan (Cross breed wool). Tipe wol kasar (wol permadani) memiliki warna yang bervariasi dari putih sampai hitam dan terdiri dari wol kasar dan panjang dibagian luar dan wol halus dibagian dalam (Soeprijono et al., 1973). Yamin dan Rahayu (1995) menyatakan wol kasar dapat digunakan untuk membuat hiasan dinding dan keset selain digunakan untuk membuat karpet. Wol tipe bulu (fur) digunakan untuk membuat kulit bulu (Diggins dan Bundy, 1958). Dunia wol juga mengenal serat kemp yaitu suatu serat yang sangat kasar, biasanya pendek dan berwarna putih kapur (Soeprijono et al., 1973). Domba yang baik akan menghasilkan wol yang halus dan ini akan berdampak pada angka pintalan benang wol tersebut. Menurut Muttaqin (1999), bahwa angka pintalan benang wol domba peranakan merino di Indonesia lebih baik daripada angka pintalan benang wol domba priangan sebagai domba lokal.

Struktur Wol

Serat adalah sebuah bahan yang panjang, tipis, mudah dibengkokkan, serta tahan terhadap lenturan, pintiran, dan tekanan. Serat-serat hewan yang tumbuh pada kulit dihasilkan dalam kelenjar-kelenjar halus yang disebut folikel. Akar atau bagian yang tumbuh dari serat merupakan zat hidup tetapi seratnya mati ketika mengeras sehingga dibagian atas permukaan kulit bukan merupakan zat hidup. Kebanyakan folikel terbentuk dan berkembang dalam kulit sebelum hewan dilahirkan dan seratnya terbentuk selama beberapa bulan pertama setelah kelahiran (Soeprijono et al., 1973 dan Chapman etal., 1973).

(27)

keringat, dan otot penegak, sedangkan folikel sekunder hanya memiliki kelenjar minyak saja (Soepriyono, et al., 1973). Perbandingan antara jumlah folikel sekunder (S) dan folikel primer (P) ikut menentukan kualitas wol, dimana semakin tinggi nilai perbandingan S/P, maka wol yang dihasilkan akan semakin halus dan benang akan semakin kuat. Domba impor (Merino) yang ada di Indonesia memiliki nilai perbandingan S/P yang jauh lebih tinggi dibanding domba lokal (Priangan dan Sumatera) (Handayani, 2003). Serat bulu domba tumbuh dari folikel dalam kulit, dimana pertumbuhannya terjadi pada bagian dasar serat bulu domba dan bukan pada ujungnya.

Serat bulu domba mengandung dua lapisan sel yaitu lapisan luar yang lebih dikenal dengan kutikula dan lapisan utama dibagian bawah kutikula yang disebut korteks. Beberapa serat bulu domba mempunyai lapisan ketiga yang dikenal dengan nama medula. Serat yang terdiri dari lapisan korteks dan kutikula saja merupakan ciri dari bulu domba yang halus, sedangkan serat yang bermedula merupakan sifat bulu domba yang kasar (Bergens dan Herbert, 1948). Soeprijono et al., (1973) menyatakan semua serat umumnya memiliki stuktur yang terdiri dari kutikula dilapisan luar dan korteks dibagian dalam. Pada serat kasar terdapat medula dibagian tengah yang berupa ruangan kosong. Tiap bagian yang memusat terbentuk dari lapisan sel yang berbeda yang berasal dari folikel. Kutikula sebagai lapisan terluar cukup tipis dan mengandung 10% dari total bahan serat wol, sedangkan korteks merupakan sel yang memanjang dan mengandung 90% dari total bahan serat wol. Menurut Reis (1982), medula merupakan sel inti yang mengandung serat kasar dengan ukuran bermacam-macam dari yang kecil sampai yang terbesar dengan berat mencapai 15% dari bobot serat. Medula turut mempengaruhi kualitas bulu domba. Semakin banyak medula maka kualitas bulu domba semakin rendah karena medula dapat menyebabkan bulu rapuh, mudah patah, dan kurang elastis (Kammlade dan Kammlade, 1955).

Komposisi Kimia Wol

(28)

susunan kimia yang rumit terdiri dari sebagian kecil abu dan hampir seluruhnya terdiri dari asam amino yang berpolimerisasi membentuk polipeptida dari keratin. α -keratin kaya akan asam amino yang cenderung membentuk α-heliks dan mengandung sedikit asam amino yang tidak sesuai dengan struktur ini, seperti prolin.

α-keratin kaya akan residu sistin yang dapat memberikan jembatan disulfida diantara rantai polipeptida yang berdekatan (Lehninger, 1982). Keratin pada bulu domba agak keras dan tahan lingkungan karena mengandung sulfur yang dapat mengubah jaringan protein yang halus menjadi struktur yang kasar (Leeder, 1984).

Secara spesifik Ensminger (1962), menyatakan komposisi keratin yang dikandung domba terdiri dari asam-asan amino yang mengandung sulfur, sedangkan unsur-unsur kimianya adalah 50% karbon, 22-25% oksigen, 16-17% nitrogen, 7% hidrogen, dan 3-4% sulfur. Nilai tersebut hanyalah kira-kira karena wol tidaklah homogen. Kadar Nitrogen dan Sulfur berbeda diantara serat-serat dan bahkan didalam satu serat sekalipun. Perbedaan didalam satu serat mungkin disebabkan oleh pengaruh sinar matahari pada ujung serat atau perbedaan makanan selama pertumbuhan. Selain itu komposisi kimia pada kutikula berbeda dengan komposisi miofibril dengan bagian amorf. Keratin wol diketahui mengandung 19 asam amino (Soepriyono et al., 1973).

Rantai polipeptida pada wol memiliki beberapa ikatan lintang. Ikatan lintang yang terpenting adalah ikatan disulfida pada sistina asam amino. Ikatan lintang disulfida sangat menentukan sifat-sifat wol, seperti kekuatan basah, kekakuan dan ketidaklarutan. Ikatan lintang penting lainnya adalah ”ikatan garam” antara gugus asam aspartik dan glutanat dengan gugus-gugus basa lisin dan arginin. Didalam larutan alkali, ikatan lintang disulfida gampang sekali putus, sehingga wol mudah sekali rusak oleh alkali. Ikatan-ikatan lintang sistina ini sangat peka terhadap zat-zat oksidator sehingga menyebabkan serat wol menjadi rusak akibat putusnya ikatan sistina ini.

(29)

waktu singkat tidak merusak serat, tetapi dalam waktu lama akan menyebabkan kerusakan.

Menurut Soepriyono et al., (1973), bulu domba mempunyai struktur kimia sebagai berikut :

Gambar 1. Struktur Molekul Wol (Soeprijono et al., 1973)

Sifat kimia yang dikandung oleh wol memungkinkan wol memiliki daya serap bau yang cukup tinggi. Menurut Leeder (1984), bulu domba memiliki cakupan daya serap bau zat kimia cukup luas dan ini turut juga mempengaruhi nilai estetika dari bulu domba itu sendiri. Hal ini memang terbukti dari cukup tingginya bau yang

Asam Aspartik Arginin

CO

Asam Glutamat Lisin

(30)

keluar dari bulu domba pasca pencukuran maupun bau bahan pengolah pada bulu pasca pengolahan.

Sifat Fisik Wol

Wol memiliki kilauan warna yang berbeda-beda dan bergantung pada struktur permukaan serat, ukuran serta lurus tidaknya serat. Kilau wol tidak tampak pada satu serat, tetapi hanya tampak didalam suatu kelompok benang atau kain.

Penyerapan lembab pada wol disebabkan oleh sifat higroskopis dari wol. Uap air diserap dari atmosfer lembab dan dilepaskan ke dalam atmosfer kering. Kadar uap air yang diserap oleh wol dari keadaan kering (adsorpsi) sedikit lebih rendah dari kadar uap air pada wol dari keadaan basah (desorpsi) pada kondisi tertentu. Suhu turut mempengaruhi proses penyerapan air. Kadar uap air dalam wol juga dipengaruhi oleh pengerjaan kimia yang telah diberikan pada wol. Dalam keadaan asam, kadar uap air lebih rendah dan dalam kondisi basa, kadar uap airnya lebih tinggi dibanding dengan dalam kondisi netral. Kotoran seperti lemak dan minyak ikut berpengaruh pada penyerapan lembab. Wol dapat menyerap lembab sampai 33% tanpa terasa basah

Sinar matahari dapat menyebabkan kemunduran kekuatan dan mulur serat wol serta dapat juga menimbulkan warna kuning pada wol. Kemunduran kekuatan dan mulur wol disebabkan putusnya ikatan-ikatan sistina tetapi mekanisme timbulnya warna kuning belum diketahui dengan jelas. Struktur rantai utama yang berlipat-lipat pada wol distabilkan oleh beberapa ikatan lintang, terutama oleh ikatan disulfida atau sistina.

Kain yang dibuat dari wol mempunyai sifat mampu menahan panas yang baik. Hal ini terutama disebabkan oleh udara yang tertahan didalam benang karena sifat penghantar panas serat-serat tekstil lebih besar dari udara. Wol yang keriting menyebabkan benang wol mempunyai struktur yang tidak rapat, sehingga memungkinkan banyak udara berada didalam benang dan karena sifat wol yang melenting menyebabkan struktur benang atau kain wol yang tidak rapat tersebut tetap terjaga selama pemakaian, sehingga wol sesuai untuk kain penahan panas seperti selimut (Soeprijono et al., 1973).

(31)

Kerusakan oleh bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya pemutusan ikatan dan dalam kondisi terkontrol akan menghasilkan bentuk serat yang keriting atau berlipat (Leeder, 1984). Wol tahan bereaksi dengan asam, tetapi dapat mengalami kerusakan jika bereaksi dengan alkali (Soeprijono et al., 1973). Kerusakan karena benda fisik menyebabkan serat mengalami kepecahan. Gambar 2 berikut menunjukkan serat yang mengalami kerusakan.

Gambar 2. Serat Rusak (Leeder, 1984) Tanah

Tanah merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menerangkan zat yang banyak ditemukan diatas permukaan bumi yang dapat mendukung kehidupan manusia. Tanah umumnya mempunyai struktur yang lepas dan mengandung bahan-bahan padat dan zat-zat organik, air, dan rongga-rongga udara.

(32)

Air

Air merupakan komponen yang sangat penting dalam kehidupan karena semua makhluk hidup sangat membutuhkannya. Air tak berbau, tak berwarna dan tak berasa sebagai zat, tetapi memainkan peranan yang luar biasa dalam dunia, karena sifatnya yang kelihatan hambar itu ternyata mengagumkan dan sebagai zat kimia, air mempunyai sifat yang khas. Air adalah senyawa yang mantap, pelarut yang baik, serta sumber energi kimia yang kuat (Winarno, 1986).

Molekul air terdiri dari dua buah atom hidrogen yang berikatan dengan sebuah atom Oksigen melalui ikatan kovalen. Ikatan kovalen ini merupakan dasar bagi sifat air yang penting, misalnya kemampuan sebagai pelarut (Winarno,1986) dan ikatan kovalen ini juga yang menimbulkan sifat khas pada air, salah satunya sebagai pelarut berbagai bahan (Saeni, 1989).

Air bisa melarutkan senyawa organik netral yang mempunyai gugus fungsional polar seperti gula, alkohol, aldehida dan keton. Kelarutannya disebabkan oleh kecenderungan molekul air untuk membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil gula dan alkohol atau gugus karbonil aldehida dan keton (Lehninger, 1982).

Deterjen

Istilah deterjen berasal dari bahasa latin, yaitu detergee yang berarti membersihkan. Dalam kehidupan sehari-hari yang dimaksud deterjen adalah deterjen sintetik. Deterjen sintetik merupakan garam natrium dari sulfonat atau sulfat berantai panjang (RSO3- Na+ dan ROSO3- Na+).

Deterjen merupakan bahan aktif permukaan atau surfaktan yang terkonsentrasi pada antarmuka air minyak dan memiliki kemampuan untuk mengemulsi serta sebagai pembersih. Deterjen bersifat dapat menurunkan tegangan permukaan dan mengangkat benda-benda yang melekat pada suatu bahan atau alat, khususnya karena lemak. Deterjen yang paling banyak digunakan adalah deterjen anionik yang memiliki rantai lurus, karena rantai lurus seperti alkilbenzena sulfonat linear (LAS) relatif mudah diuraikan oleh mikroorganisme dibandingkan deterjen dengan rantai bercabang (Atiyah, 2002).

(33)

kemampuannya mengemulsi kotoran berminyak sehingga kotoran tersebut dapat dibuang dengan pembilasan. Rantai hidrokarbon sebuah molekul deterjen larut dalam zat non polar, seperti tetesan minyak. Ujung anionnya tertarik pada air, ditolak oleh ujung anion molekul-molekul deterjen yang menyembul dari tetesan minyak lain. Karena tolak-menolak antara tetes-tetes sabun-minyak mengakibatkan minyak itu tidak dapat saling bergabung tetapi tetap tersuspensi dalam larutan (Richards et al, 1967). Surfaktan berfungsi mengangkat kotoran pada pakaian, pengisi (fosfat) berfungsi untuk mendapatkan sifat serbuk yang diinginkan, builder berfungsi mencegah ion kalsium dan magnesium dari air sadah berikatan dengan surfaktan, sumber alkali berperan untuk meningkatkan kinerja dari deterjen, bahan anti redeposisi mencegah agar kotoran tidak menempel lagi pada pakaian, bahan pencemerlang berperan menjaga kecerahan bahan yang dicuci, enzim meningkatkan kemampuan efektifitas dari deterjen, parfum berperan meningkatkan keharuman hasil cucian, serta bahan-bahan lain yang menambah nilai positif dari deterjen. Moleku-molekul surfaktan pada deterjen mampu membentuk ikatan-ikatan diantara partikel-partikel kotoran dan air. Keadaan ini memungkinkan karena molekul surfaktan bersifat bipolar, dimana salah satu ujung bersifat non polar dan larut di dalam kotoran, sedangkan ujung yang lainnya bermuatan dan larut dalam di dalam air (Fardiaz, 1992). Fessenden dan Fessenden (1982) menyatakan bahwa rantai hidrokarbon dari deterjen mampu larut dalam lemak sedangkan ujung anionnya mampu larut dalam air. Ujung anion deterjen yang ditarik oleh air ditolak oleh ujung anion molekul-molekul sabun yang menyembul dari lemak sehingga tetes lemak tidak dapat bergabung dan dapat dibuang dengan pembilasan.

Desinfektan

(34)

berbeda-beda, yaitu dengan merusak sel mikroorganisme melalui penginaktifan enzim tertentu, denaturasi protein, mengubah permeabilitas membran dan menghambat sintesa deoxyribosanucleid acid (DNA). Desinfektan seperti lysol tidak hanya ampuh membunuh mikrookrganisme dengan cara merusak proteinnya, tetapi juga mampu menjadi pembersih karena sifat kepolaran gugus hidroksil pada fenol (Nogrady, 1992).

Pengelantangan Bulu Domba

Warna bulu dari domba umumnya canary. Warna canary adalah kondisi dimana sebagian atau kadang- kadang seluruh bagian bulu berwarna kuning. Warna canary tidak dapat dihilangkan selama proses pencucian dan pencucian cepat (Belschner, 1968). Warna asli serat wol disebabkan oleh pigmen melanin yang berbentuk butir-butir yang terdiri dari dua jenis melanin, yaitu melanin hitam-coklat dan melanin merah-kuning. Perbedaan warna yang terdapat pada serat binatang yang berbeda disebabkan karena perbedaan kombinasi kedua pigmen tersebut dan terutama karena perbedaan kerapatan serta distribusi butir-butir pigmen. Butir-butir pigmen ini terdapat pada kutikula, korteks dan medula serat, tetapi umumnya terdapat pada korteks, yang dalam penampang lintangnya menunjukkan distribusi karakteristik pada serat-serat binatang yang berbeda (Soepriyono et al., 1973). Kebersihan warna wol, kecerahan dan penglihatan warna dapat dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin dari domba (Benavides dan Maher, 2000).

Proses pengolahan bulu domba melalui proses pengelantangan yaitu proses menghilangkan warna alami serat bulu domba seperti kekuning-kuningan, gelap, atau warna yang tidak rata menjadi warna putih bersih (Lubis et al., 1994). Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan zat pengelantang yang bersifat oksidator maupun reduktor. Pengelantangan bulu domba dapat menggunakan hidrogen peroksida yang bersifat oksidator.

(35)

mempercepat reaksi penguraian (Djufri et al., 1973). Pemanasan juga akan menyebabkan hidrogen peroksida mudah terurai dan melepaskan oksigen dan kemampuan yang dimilikinya ini menyebabkan zat ini sangat efektif untuk pemutihan (Djufri et al., 1976).

Penambahan stabilisator akan memperlambat penguraian hidrogen peroksida sehingga akan sangat berguna dalam pengaturan suhu yang cocok dalam rangka menghasilkan hasil olahan yang baik (Djufri et all., 1973). Hidrogen peroksida adalah cairan tidak berwarna (titik didih 152,1o C dan titik beku -0,41o C) serta mirip dengan air dalam sifat fisikanya, bahkan jauh lebih banyak bergabung melalui ikatan hidrogen dan 40% lebih padat daripada air (H2O). Hidrogen peroksida memiliki tetapan dielektrik yang lebih tinggi, namun pemanfaatannya sebagai pelarut pengion dibatasi oleh sifat pengoksidasinya yang kuat dan kemudahannya terdekomposisi. Hidrogen peroksida berperilaku sebagai suatu zat pereduksi hanya terhadap zat pengoksidasi yang sangat kuat seperti MnO4-.

Proses pemutihan yang melibatkan hidrogen peroksida dan deterjen bubuk akan menyebabkan reaksi yang menghasilkan O2 yang berfungsi mereduksi senyawa organik berikatan rangkap dalam pigmen serat wol (=S=S=) sehingga menghasilkan senyawa yang berikatan tunggal (-SO-SO-). Senyawa organik berikatan rangkap (=S=S=) dalam serat wol menyebabkan warna wol tidak putih cerah. Pengelantangan menghasilkan senyawa berikatan tunggal yang menampakkan warna serat wol menjadi putih cerah.

Larutan hidrogen peroksida encer (30%) digunakan secara luas sebagai oksidator. Oksidasi dengan hidrogen peroksida akan berjalan lambat dalam suasana asam tetapi akan bereaksi cepat dalam larutan basa. Dekomposisi menjadi H2O dan O2 yang mungkin dianggap sebagai oksidasi, terjadi paling cepat dalam larutan basa. Meskipun demikian hidrogen peroksida paling baik dihancurkan dengan panas dalam larutan basa (Cotton dan Wilkinson, 1989).

Hidrogen Peroksida sering difokuskan pada studi tentang kesehatan, lingkungan dan biologi serta digunakan pada beberapa industri dan aplikasi yang berhubungan dengan oksidasi, pemutihan dan netralisasi.

(36)

Teknik Pengolahan Wol

Pengolahan wol bertujuan untuk menghasilkan benang yang akan dimanfaatkan lebih lanjut menjadi pakaian atau produk yang bernilai tinggi lainnya. Proses pengolahannya sendiri diawali dengan pencukuran bulu yang kemudian dilanjutkan dengan penyortiran, pencucian, pemisahan bulu, penyisiran bulu dan pemintalan (Yamin et al., 1994). Proses penyortiran bertujuan untuk memisahkan bulu dari kotoran yang menempel pada bulu seperti rumput-rumput, ranting, tanah, feses domba dan kotoran lainnya.

(37)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Hasil Ternak Fakultas Peternakan IPB dan untuk uji fisik serat dilakukan di Bagian Mutu dan Keamanan Pangan Pusat Antar universitas (PAU) IPB Bogor yang dilaksanakan dari bulan Juli sampai Agustus 2005.

Materi

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah wol (Domba Texel), air, deterjen (Attack dan Rinso), desinfektan (Lysol), pemutih hidrogen peroksida 30%.

Alat yang digunakan adalah gunting, gelas ukur, ember plastik, panci, alat penyisir bulu (hand carder dan hand carder), alat pintal, mistar, kompor gas, panci, pengaduk, mikroskop, dan panelis terlatih.

Rancangan Perlakuan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam eksperimen dua adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan lima belas kali ulangan.

Model

Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini : Yij = μ + τi + εij

Keterangan :

Yij = respon dari proses pengolahan ke-i dan ulangan ke-j

μ = nilai rataan umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i

ε = galat percobaan dari proses pengolahan ke-i dan ulangan ke-j

i = proses pengolahan (bulu kotor, perendaman dengan air, pencucian dengan deterjen, pencucian dengan desinfektan, pasca pemutihan)

(38)

Peubah

Peubah yang diamati dalam penelitian ini berupa atribut mutu kebersihan, derajat putih, ketidakbauan feses domba, ketidakbauan sheep odor, ketidakbauan tanah, ketidakbauan deterjen dan ketidakbauan desinfektan yang melekat pada wol baik bulu kotor, bulu pasca perendaman dengan air, bulu pasca pencucian dengan deterjen, pasca pencucian dengan desinfektan maupun pada benang pasca pemutihan dengan hidrogen peroksida.

Analisis Data

Data pada eksperimen satu maupun eksperimen dua didapat dengan cara evaluasi sensori melalui uji skalar garis terhadap sampel oleh para panelis yang sudah mendapat pelatihan intensif. Uji skalar garis adalah salah satu uji skalar yang menggunakan garis sebagai parameter penentuan suatu kesan dan suatu rangsangan sehingga dapat diketahui besaran kesan yang diberikan suatu komoditi sehingga dapat diketahui mutunya.

Pengujian dimulai dengan penilaian atribut mutu menggunakan skalar garis dengan nilai dari nol (0) sampai lima (5). Data hasil evaluasi sensori dijelaskan dan memberikan keterangan sebagai berikut :

Nilai 0 (nol) untuk kebersihan menunjukkan bahwa bulu memiliki kebersihan yang rendah sedangkan nilai 5 (lima) untuk bulu yang sangat bersih. Semakin tinggi nilai kebersihan maka mutu bulu tersebut semakin baik.

Penilaian untuk derajat putih juga menggunakan skala dengan kisaran nilai 0 (nol) sampai 5 (lima). Nilai 0 (nol) berarti bulu tersebut memiliki warna yang alami (canary) sedangkan nilai 5 (lima) menunjukkan warna bulu sangat putih. Semakin tinggi nilai keputihan maka kualitas bulu tersebut semakin baik.

Bau feses domba, sheep odor, bau tanah, bau deterjen dan bau desinfektan adalah beberapa jenis bau yang tidak diinginkan tetapi mungkin ada pada wol bila proses pencucian dan pembilasan kurang bersih dan hal ini akan mempengaruhi mutu wol. Semakin kuat baunya maka semakin rendah mutu bulu tersebut.

(39)

Mutu wol akan semakin baik bila bau-bau tersebut semakin hilang sehingga bila diukur dari tingkat ”tidak berbau” maka semakin tinggi nilai, semakin baik mutunya. Nilai uji skalar dari bau-bau yang muncul akan di lihat dan dianalisa dari tingkat tidak berbau ini.

Data uji skalar garis pada eksperimen satu dan eksperimen dua yang didapat akan diubah ke bentuk persentase (%) untuk kemudian ditransformasi kebentuk Arcsin (Mattjik dan Sumertajaya, 2002) dengan satuan persentase (%) dan selanjutnya ditampilkan dengan kisaran nilai 0 – 90%, dimana nilai 0% menunjukkan kebersihan yang paling rendah, warna bulu canary, dan memiliki kadar yang sangat kuat untuk bau-bau yang tidak diinginkan, sedangkan nilai 90% berarti bulu memiliki kebersihan yang tinggi, berwarna sangat putih dan memiliki bau yang rendah.

Data hasil eksperimen satu akan dilihat setiap pasca tahap pengolahan untuk membantu mendapatkan konsentrasi terbaik tiap tahap pengolahan tersebut. Pengambilan keputusan untuk menentukan konsentrasi terbaik pada eksperimen satu ini dilakukan dengan melihat konsentrasi yang memiliki banyak atribut mutu dengan nilai terbaik. Setiap atribut mutu pada eksperimen satu memiliki bobot yang sama. Jika beberapa konsentrasi memiliki jumlah atribut mutu terbaik sama banyak, maka penarikan kesimpulan didasarkan pada nilai ekonomis dari konsentrasi tersebut.

Uji deskripsi yang dilakukan pada eksperimen dua merupakan evaluasi sensori berdasarkan sifat-sifat sensori yang lebih komplek, yang dapat pula meliputi berbagai jenis sifat sensori yang menggambarkan keseluruhan sifat atau mutu dari komoditas tersebut. Cara penilaian kuantitatif dilakukan pula dengan menggunakan skalar garis.

(40)

Prosedur

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap yaitu eksperimen satu berupa ”Uji Pengaruh Konsentrasi Bahan Pembersih dan Pemutih terhadap Mutu Wol” dan eksperimen dua yaitu ”Pengaruh Perendaman Bahan Pembersih dan Pemutih terhadap Mutu Wol”. Sebelum eksperimen satu dan dua, dilakukan penelitian pendahuluan untuk mencari bahan dan konsentrasi-konsentrasi yang akan digunakan serta pelatihan bagi para panelis.

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan terdiri dari proses penentuan bahan-bahan yang tepat dan konsentrasi-konsentrasi bahan yang sesuai, seleksi dan pelatihan bagi para calon panelis yang akan melakukan evaluasi sensori.

Penelitian pendahuluan diawali dengan proses penentuan bahan yang tepat dan konsentrasi bahan yang sesuai dengan cara trial and error pada bahan-bahan dan konsentrasi yang diduga dapat mempengaruhi peubah yang akan diamati. Kisaran besarnya konsentrasi-konsentrasi yang digunakan dan diamati tetap memperhatikan aturan pakai pada produk komersial yang tertera pada kemasan bahan.

Proses berikutnya yaitu persiapan tim panel berupa pemilihan/seleksi dan pelatihan bagi calon panelis. Proses pemilihan/seleksi panelis dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu penyebaran kuisioner kepada bakal calon panelis (prescreening), tes akuisi, penyaringan panelis (screening), latihan (training) dan pengujian (Meilgaard, et al., 1999).

Penyebaran kuisioner bertujuan untuk mengetahui kesediaan dan kemampuan para panelis terhadap uji yang akan dilakukan. Jika bersedia akan dilanjutkan dengan tahap berikutnya yaitu dengan mengisi tes akuisi. Tes akuisi menggunakan skalar garis dimana calon panelis diminta memperkirakan luasan gambar yang diberikan.

(41)

kemampuan dimana para panelis diminta untuk menilai sampel dari wol dan bahan-bahan pembersih.

Panelis yang terpilih adalah panelis yang bersedia mengikuti proses evaluasi pada kuisioner, mampu mengisi tes akuisi dengan baik dan juga mampu menjawab pertanyaan pada uji kemampuan dengan baik. Panelis yang terpilih akan melanjutkan tahap latihan. Latihan dilakukan untuk membiasakan para panelis dengan tata cara pengujian, meningkatkan sensitifitas individu dan pemberian pengertian yang sama tentang sifat-sifat yang akan dinilai. Latihan panelis bertujuan untuk melatih panelis mengenal, mengingat dengan baik sifat-sifat sensori komoditi (Soekarto, 1985) dan meningkatkan kepekaan serta konsistensi penilaian (Rahayu, 1998).

Eksperimen Satu : Uji Pengaruh Konsentrasi Bahan Pembersih dan pemutih terhadap Mutu Wol

Proses ini dilakukan untuk mencari konsentrasi terbaik pada tiap proses perlakuan. Konsentrasi-konsentrasi yang digunakan pada tahap ini adalah konsentrasi yang mengacu pada hasil penelitian pendahuluan.

Konsentrasi bahan yang digunakan dalam eksperimen satu adalah sebagai berikut : pencucian dengan menggunakan deterjen dengan konsentrasi 0% (0 g deterjen /10 l air), 0,3% (30 g deterjen /10 l air), 0,5% (50 g deterjen/10 l air) dan 0,7% (70 g deterjen/10 l air), pencucian dengan desinfektan menggunakan konsentrasi sebesar 0% (0 ml lysol/10 l air), 1% (100 ml lysol/10 l air), 2% (200 ml lysol/10 l air) dan 3% (300 ml lysol/10 l air), sedangkan proses pemutihan menggunakan bahan hidrogen peroksida dengan konsentrasi 0% (0 ml H2O2/ 2 l air) 0,5% (10 ml H2O2/2 l air), 1% (20 ml H2O2/ 2 l air) dan 1,5% (30 ml H2O2/ 2 l air), dimana pada proses pemutihan dilakukan juga penambahan masing-masing 8 gram deterjen.

Proses pengolahan dan evaluasi sensori pada tahap ini dilakukan dengan metode sebagai berikut:

Wol Kotor. Pertama-tama dilakukan evaluasi sensori terhadap wol pasca pencukuran dimana bulu masih terlihat kotor, alami dan memiliki bau yang masih cukup kuat.

(42)

pengeringan dengan penjemuran serta diakhiri dengan evaluasi sensori terhadap wol kering tersebut.

Wol Pasca Pencucian dengan Deterjen. Wol pasca perendaman dengan air dicuci dengan deterjen. Bulu tersebut direndam dalam deterjen selama 30 menit lalu dibilas dengan air bersih sebanyak 3 kali dan dikeringkan dengan penjemuran untuk selanjutnya dievaluasi sensori sehingga didapat nilai terbaik dari tiga konsentrasi diatas. Konsentrasi bahan yang dipakai sebesar 0%, 0,3%, 0,5% dan 0,7%.

Wol Pasca Perendaman dengan Desinfektan. Wol terbaik pasca pencucian dengan deterjen akan dilanjutkan proses pencucian dengan desinfektan. Bulu direndam dalam larutan desinfektan selama 2 jam lalu dibilas sebanyak tiga kali dengan air bersih dan dikeringkan dengan penjemuran untuk dievaluasi sensori. Konsentrasi bahan yang digunakan sebesar 0%, 1 %, 2% dan 3%.

Pembukaan Serat dan Pembenangan. Bulu pasca pencucian dengan desinfektan dengan konsentrasi terbaik akan diproses untuk menjadi benang. Prosesnya berupa pembukaan serat wol, penyisiran menjadi bantalan-bantalan halus dan akhirnya pemintalan.

Benang Pasca Pemutihan. Wol terbaik pasca pencucian dengan desinfektan yang telah dibenangkan mengalami proses pemutihan menggunakan hidrogen peroksida. Langkah pertama proses ini adalah pendidihan air dan dilanjutkan penambahan hidrogen peroksida, deterjen dan benang secara berurutan ke dalam air tersebut lalu lakukan pengadukan selama lima menit dan diakhiri dengan pembilasan sebanyak tiga kali. Setelah itu bulu dikeringkan dengan penjemuran dan akhirnya dievaluasi sensori untuk mendapatkan konsentrasi terbaik. Konsentrasi bahan yang digunakan sebesar 0%, 0,5%, 1% dan 1,5%.

Proses pengolahan dan evaluasi sensori dilakukan secara bertahap karena mempertimbangkan ketepatan data yang akan didapat pada uji skalar garis oleh para panelis. Proses evaluasi sensori sampel pada eksperimen satu harus dilakukan menggunakan jumlah sampel yang terbatas untuk menghindari munculnya hasil bias penilaian oleh para panelis (Rahayu, 1998).

(43)

berpedoman pada metode pengolahan menurut Yamin et al., (1994) seperti tertuang pada Gambar 3.

Eksperimen Dua : Pengaruh Perendaman Bahan Pembersih dan Pemutih terhadap Mutu Wol

Setelah mendapatkan data bulu kotor dan perendaman dengan air bersih, serta mengetahui konsentrasi terbaik pasca pencucian dengan deterjen, pencucian dengan desinfektan dan pasca pemutihan dengan hidrogen peroksida, maka selanjutnya dilakukan uji deskripsi terhadap lima contoh bulu dari masing-masing tahap pengolahan tersebut. Evaluasi bertujuan untuk mendapatkan nilai atribut mutu dari masing-masing tahap pengolahan tersebut.

(44)

Gambar 3. Tahapan Proses Pemutihan bulu (Yamin, et al., 1994)

Evaluasi Sensori

Pencucian dengan desinfektan (±2 Jam) dan

pengeringan bulu

Pencucian dengan deterjen (±30 menit) dan

pengeringan bulu

Evaluasi Sensori Bulu kotor

Bulu kering terbaik pasca pencucian dengan

desinfektan Bulu kering terbaik pasca pencucian dengan

deterjen Bulu kering pasca

perendaman air Perendaman air (±12 jam)

dan pengeringan bulu

Pemutihan dengan hidrogen peroksida dalam air mendidih

(±5 Menit)

Evaluasi Sensori

Bulu Kering Pasca Pemutihan

Evaluasi Sensori

(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksperimen Satu :

Uji Pengaruh Konsentrasi Bahan Pembersih dan Pemutih terhadap Mutu Wol

Wol Kotor

Eksperimen satu diawali dengan evaluasi sensori terhadap wol yang masih kotor dengan hasil seperti tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Atribut Mutu Bulu Domba Kotor

Atribut Mutu ...……(%)...

Kebersihan 23,10

Derajat Putih 18,44

Ketidakbauan Feses Domba 48,27

Ketidakbauan Sheep Odor 38,70

Ketidakbauan Tanah 45,80

Ketidakbauan Deterjen 89,19

Ketidakbauan Desinfektan 89,19

Data diatas menunjukkan atribut mutu kebersihan mempunyai nilai 23,11% sedangkan derajat putih 18,44% dan nilai yang muncul menunjukkan wol tersebut masih kotor dan warnanya masih alami yaitu warna canary.

Atribut mutu ketidakbauan feses domba mempunyai nilai 48,27%, ketidakbauan sheep odor 38,70% dan ketidakbauan tanah memiliki nilai 45,80%. Nilai-nilai yang muncul pada atribut mutu menunjukkan bahwa bau feses domba, sheepodor dan bau tanah pada wol kotor masih cukup kuat.

(46)

Wol kotor tidak menunjukkan adanya bau deterjen dan desinfektan karena wol kotor tersebut belum mengalami proses pengolahan dengan deterjen dan desinfektan. Kedua sample tidak bersentuhan dengan kedua bahan.

Hasil pengamatan fisik serat melalui mikroskop terhadap serat wol yang masih kotor menunjukkan bahwa masih terdapat kotoran-kotoran yang menempel pada serat seperti terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Serat Wol Kotor (pembesaran 400x) Wol Pasca Perendaman dengan Air

Tahap berikutnya adalah penilaian terhadap bulu kering pasca perendaman dengan air selama 12 jam. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang dapat lepas dengan perendaman air. Data yang didapat tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai Atribut Mutu Wol Kering Pasca Perendaman dengan Air

Atribut Mutu …………(%)...

Kebersihan 36,63

Derajat Putih 29,33

Ketidakbauan Feses Domba 66,97

Ketidakbauan Sheep Odor 58,18

Ketidakbauan Tanah 64,45

Ketidakbauan Deterjen 89,19

Ketidakbauan Desinfektan 89,19

(47)

Perendaman wol dengan air selama 12 jam mampu melepas sebagian kotoran sehingga meningkatkan kebersihan dan warna putih wol. Nilai-nilai ini lebih baik daripada nilai pada bulu kotor untuk atribut mutu yang sama.

Atribut mutu ketidakbauan feses domba, ketidakbauan sheep odor dan ketidakbauan tanah juga menunjukkan kenaikan dibandingkan nilai atribut yang sama pada wol kotor. Atribut mutu ketidakbauan feses domba memiliki nilai 66,97%, ketidakbauan prengus memiliki nilai 58,18% dan ketidakbauan tanah memiliki nilai 64,45%. Nilai-nilai ini jauh meningkat jika dibandingkan nilai pada bulu kotor. Ini merupakan indikasi bahwa terjadi penurunan bau feses domba, sheep odor dan tanah pada wol pasca perendaman dengan air.

Data diatas menunjukkan bahwa perendaman dengan air mampu mengurangi bau-bau yang menempel pada wol akibat kotoran. Ikatan kovalen pada air merupakan dasar bagi sifat air yang penting, misalnya kemampuan sebagai pelarut (Winarno, 1986) dan ikatan kovalen ini juga yang menimbulkan sifat khas pada air, salah satunya sebagai pelarut berbagai bahan (Saeni, 1989), sehingga air melarutkan kotoran-kotoran yang dapat lepas dengan perendaman air biasa.

Pengamatan fisik serat melalui mikroskop terhadap serat domba kering pasca perendaman dengan air menunjukkan keadaan serat yang lebih bersih daripada serat pada bulu kotor seperti terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Serat Wol Kering Pasca Perendaman dengan Air (pembesaran 400x)

Wol Pasca Pencucian dengan Deterjen

(48)

perendaman dengan air. Hasil evaluasi sensori bulu kering pasca pencucian deterjen tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Atribut Mutu Bulu Domba kering Pasca Pencucian

dengan Deterjen

Atribut Mutu

Konsentrasi Deterjen

0 % 0,3 % 0,5 % 0,7 %

..………..……….(%)...

Kebersihan 31,63 43,85 47,98 50,53*

Derajat Putih 28,79 37,70 41,67 43,91*

Ketidakbauan Feses Domba 70,09 72,15* 70,00 69,56

Ketidakbauan Sheep Odor 64,45 66,34* 64,82 60,27

Ketidakbauan Tanah 64,67 64,97 68,78* 66,34

Ketidakbauan Deterjen 68,11 66,81* 59,67 61,89

Ketidakbauan Desinfektan 89,19 89,19 89,19 89,19

Keterangan :

* = konsentrasi terbaik

Kebersihan wol pasca pencucian dengan deterjen cenderung meningkat dengan makin tingginya konsentrasi deterjen yang dipakai, dimana pemakaian konsentrasi 0,7% mempunyai nilai 50,53%. Nilai ini menunjukkan bahwa wol mengalami peningkatan kebersihan dan deterjen sebagai bahan yang dapat membersihkan minyak-minyak yang menempel mampu mengurangi kotoran-kotoran sehingga bulu terlihat lebih bersih.

Wol mempunyai warna alami yang dikenal dengan nama canary. Derajat putih wol mengalami peningkatan dengan meningkatnya konsentrasi deterjen yang digunakan, dimana nilai tertinggi untuk derajat putih adalah 43,91% yang diperoleh dari hasil pencucian pada konsentrasi deterjen 0,7%.

Pencucian dengan deterjen menyebabkan ketidakbauan feses domba dan

sheep odor mengalami penurunan dengan semakin meningkatnya konsentrasi

(49)

Penggunaan deterjen dengan konsentrasi yang beragam memberi dampak yang beragam pula pada bau tanah yang dikandung oleh wol. Penggunaan konsentrasi 0,5% menghasilkan nilai ketidakbauan tanah paling tinggi dibanding konsentrasi yang lain, dimana nilai ketidakbauan tanah yang muncul sebesar 68,78%.

Pasca pencucian dengan deterjen, terjadi peningkatan bau deterjen pada wol dengan konsentrasi pencucian tinggi. Meningkatnya bau deterjen ini disebabkan oleh tingginya kadar deterjen yang bersentuhan dengan wol yang dicuci. Bulu kontrol juga tercium bau deterjen dan ini diduga dikarenakan pengaruh bau sampel lain serta kepekaan panelis yang mudah terpengaruh oleh bau lain. Semakin tinggi nilai atribut mutu ketidakbauan deterjen wol kering pasca pencucian dengan deterjen menunjukkan semakin rendahnya bau deterjen pada bulu tersebut dan konsentrasi 0,3% yang memiliki nilai ketidakbauan deterjen sebesar 66,81% lebih baik daripada konsentrasi 0,5% dan 0,7%.

Wol dapat mengalami kerusakan akibat bersinggungan dengan bahan kima (Leeder, 1984). Pengamatan fisik serat melalui mikroskop yang dilakukan pada serat pasca pencucian dengan deterjen menunjukkan tidak terjadinya kerusakan baik patah, berlubang pada serat pasca pencucian dengan deterjen seperti terlihat pada Gambar 6 berikut.

a. 0 % b. 0,3 %

c. 0,5 % d. 0,7 % Gambar 6. Serat Wol Kering Pasca Pencucian dengan Deterjen

(50)

Berdasarkan nilai tujuh atribut mutu dan memperhatikan juga hasil pengamatan fisik serat, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemakaian konsentrasi deterjen sebesar 0,3% untuk pencucian bulu dengan deterjen lebih baik dibandingkan pemakaian konsentrasi yang lain karena menghasilkan atribut mutu terbaik lebih banyak daripada konsentrasi lain.

Bulu Domba Pasca Pencucian dengan Desinfektan

Nilai-nilai atribut mutu wol kering pasca pencucian dengan desinfektan yang menggunakan tiga konsentrasi yang berbeda ditunjukkan oleh Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Atribut Mutu Bulu Domba Kering Pasca Pencucian dengan Desinfektan

Atribut Mutu

Konsentrasi Desinfektan

0 % 1 % 2 % 3 %

...………..………..…….….(%)...

Kebersihan 43,57 45,92 46,43* 44,83

Derajat Putih 37,23 45,23 47,35* 42,76

Ketidakbauan Feses Domba 72,05 77,21* 75,11 76,82

Ketidakbauan Sheep Odor 63,51 68,53* 63,51 61,62

Ketidakbauan Tanah 69,12 71,47 72,95* 71,76

Ketidakbauan Deterjen 89,19 64,08 63,15 64,60*

Ketidakbauan Desinfektan 89,19 61,96* 57,99 51,24

Keterangan :

* = konsentrasi terbaik

Data diatas menunjukkan bahwa atribut mutu kebersihan dan derajat putih wol pasca pencucian dengan desinfektan mengalami peningkatan dibandingkan bulu kontrol, tetapi mengalami penurunan pada konsentrasi tertinggi. Konsentrasi terbaik untuk kebersihan dan derajat putih pada bulu yang dicuci dengan desinfektan adalah 2% dengan nilai masing-masing 46,43% untuk kebersihan dan 47,35% untuk derajat putih.

(51)

atribut mutu ketidakbauan feses domba dan ketidakbauan sheep odor pasca pencucian dengan desinfektan.

Tanah sebagai kotoran yang menempel pada wol dan dapat dihilangkan dengan pencucian biasa, masih menyisakan bau pada wol pasca pencucian dengan desinfektan. Penggunaan desinfektan dengan konsentrasi 2% memiliki nilai atribut mutu ketidakbauan tanah paling tinggi yang mengindikasikan bahwa bau tanah yang muncul paling rendah dibanding pemakaian konsentrasi lain.

Bau deterjen yang masih menempel pada bulu pasca pencucian deterjen ternyata tidak hilang dengan perlakuan pencucian dengan desinfektan dan ini terlihat dari bau yang tercium pada wol kering pasca pencucian dengan desinfektan. Nilai atribut mutu ketidakbauan deterjen yang terbaik adalah 64,60% pada konsentrasi sebesar 3 %.

Penggunaan desinfektan pada pengolahan bulu domba ini memberi dampak menempelnya bau desinfektan pada wol kering pasca pengolahan, dimana semakin tinggi konsentrasi yang digunakan akan semakin kuat munculnya bau. Ketidakbauan desinfektan pada konsentrasi 1% memiliki nilai 61,96%, pada konsentrasi 2% bernilai 57,99%, sedangkan pada konsentrasi 3%, nilai yang didapat mencapai 51,24 %. Penurunan nilai seiring peningkatan penggunaan konsentrasi desinfektan menunjukkan terjadinya peningkatan bau desinfektan pada bulu, dan konsentrasi terbaik untuk atribut mutu ketidakbauan desinfektan adalah 1% dengan nilai sebesar 61,96 %.

Berdasarkan nilai atribut mutu wol pasca pencucian desinfektan, pada konsentrasi 1%, atribut mutu berupa ketidakbauan feses domba, ketidakbauan sheep odor dan ketidakbauan desinfektan bernilai lebih baik daripada pemakaian konsentrasi yang lain. Penggunaan desinfektan sebenarnya lebih diutamakan untuk membunuh mikroorganisme (Schunack et al., 1990), tetapi desinfektan juga memiliki kemampuan untuk membersihkan karena adanya sifat kepolaran gugus hidroksil pada fenol desinfektan tersebut (Nogrady, 1992). Terjadinya peningkatan atribut mutu wol pasca pencucian dengan desinfektan diduga turut dipengaruh oleh penggunaan air dalam pembilasan.

(52)

konsentrasi yang lain. Konsentrasi 3% hanya memiliki nilai atribut mutu ketidakbauan deterjen lebih baik dibandingkan konsentrasi yang lain.

Penggunaan desinfektan dengan konsentrasi 1% dan 2% memiliki jumlah atribut mutu terbaik yang sama banyak, tetapi secara ekonomis lebih baik jika menggunakan desinfektan dengan konsentrasi 1% karena akan menggunakan bahan yang lebih sedikit. Ini akan berdampak pada menurunnya pemakaian biaya produksi. Pengamatan mikroskop juga dilakukan terhadap serat wol pasca pencucian dengan desinfektan dan terlihat bahwa tidak terjadi kerusakan serat pada semua level perlakuan pencucian seperti terlihat pada Gambar 7.

a. 0 % b. 1 %

c. 2 % d. 3 %

Gambar 7. Serat Wol Kering Pasca Pencucian dengan Desinfektan (pembesaran 400x)

Berdasarkan data diatas dan memperhatikan juga keadaan fisik serat dimana tidak terdapat kerusakan serat pada semua taraf perlakuan maka konsentrasi yang tepat untuk digunakan pada proses pencucian dengan desinfektan adalah 1%.

Benang Pasca Pemutihan

(53)

Tabel 5. Nilai Atribut Mutu Benang Kering Pasca Pemutihan

Ketidakbauan Deterjen 66,58 67,13* 64,16 63,01

Ketidakbauan Desinfektan 69,12 70,00* 67,86 67,70

Keterangan :

* = konsentrasi terbaik

Atribut mutu kebersihan benang pasca pemutihan menunjukkan kecenderungan kenaikan seiring dengan meningkatnya penggunaan konsentrasi hidrogen peroksida. Kebersihan benang dengan konsentrasi pengolahan sebesar 1,5% memiliki nilai 59,47%, yang merupakan nilai terbaik jika dibandingkan dengan pemakaian konsentrasi yang lain.

Derajat putih benang pasca pemutihan juga cenderung meningkat, tetapi kemudian mengalami penurunan pada pemakaian konsentrasi tertinggi. Penggunaan hidrogen peroksida pada konsentrasi 1%, nilai atribut mutu derajat putihnya 59,67% dan nilai ini lebih baik dibandingkan nilai pada konsentrasi yang lain. Penggunaan deterjen mampu menguraikan ikatan rangkap sulfida menjadi ikatan tunggal sehingga benang menjadi lebih putih dan cerah. Proses pemanasan yang dilakukan turut membantu hidrogen peroksida terurai dan melepaskan O2 sehingga efektif untuk proses pemutihan (Djufri et al., 1973).

Pengaruh pemutihan terhadap bau feses domba dan bau tanah sangat besar, semakin tinggi konsentrasi hidrogen peroksida maka nilai atribut mutu ketidakbauan feses domba dan ketidakbauan tanah semakin tinggi. Pada konsentrasi 1,5%, ketidakbauan feses domba bernilai 80,54% dan ketidakbauan tanah adalah 76,19%.

(54)

Penggunaan deterjen dalam proses pemutihan memberi dampak menurunnya ketidakbauan deterjen seiring dengan meningkatnya konsentrasi hidrogen peroksida dan nilai tertinggi sekaligus terbaik untuk ketidakbauan deterjen yang muncul adalah 67,13% pada konsentrasi 0,5%. Penggunaan deterjen membantu meningkatkan kebersihan pada bulu.

Hal yang sama terjadi pada bau desinfektan, peningkatan konsentrasi hidrogen peroksida memberi dampak meningkatnya bau desinfektan dan nilai atribut mutu sebesar 70,00% pada konsentrasi 0,5% merupakan nilai tertinggi sekaligus menjadi nilai terbaik untuk ketidakbauan desinfektan.

Proses pengolahan yang melibatkan alkali dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada serat (Soeprijono et al., 1973), tetapi proses pemutihan hidrogen peroksida yang melibatkan deterjen didalamnya tidak menyebabkan serat mengalami kerusakan. Pengamatan mikroskop fisik pada serat wol pasca pemutihan menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan serat pasca pemutihan seperti terlihat pada Gambar 8.

a. 0 % b. 0,5 %

c. 1 % d. 1,5 %

Gambar 8. Serat Wol Pasca Pemutihan dengan hidrogen peroksida H2O2 (pembesaran 400x)

(55)

Eksperimen Dua :

Pengaruh Perendaman Bahan Pembersih dan Pemutih terhadap Mutu Wol Eksperimen dua dilakukan dengan cara uji skalar terhadap bulu kotor, bulu pasca perendaman dengan air dan bulu dengan konsentrasi terbaik pasca pencucian deterjen, desinfektan maupun benang pasca pemutihan dengan hidrogen peroksida yang menghasilkan data seperti terdapat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rangkuman Nilai Atribut Mutu dan Standar Deviasi Bulu Domba dan Benang Kering Terpilih Pasca Perlakuan

Atribut

Sampel yang dievaluasi berupa bulu kotor, bulu kering pasca perendaman dengan air, bulu kering terbaik pasca pencucian dengan deterjen (konsentrasi 0,3%), bulu kering terbaik pasca pencucian dengan desinfektan (konsentrasi 1%) dan benang kering terbaik pasca pemutihan dengan hidrogen peroksida (konsentrasi 1,5%).

Kebersihan

(56)

21.25

Pasca Perendaman dengan Air

pengolahan. Hal ini menunjukkan bahwa proses perlakuan berperan dalam meningkatkan kebersihan. Data yang ditampilkan pada Gambar 9berikut.

Gambar 9. Histogram Atribut Mutu Kebersihan

Histogram diatas menunjukkan terjadi peningkatan kebersihan bulu selama pengolahan. Penggunaan air dalam proses perendaman air berpengaruh nyata dalam meningkatkan kebersihan dengan melepas kotoran-kotoran larut air yang menempel pada bulu, baik itu tanah, feses domba, ranting-ranting dan kotoran lainnya dengan tingkat kenaikan sebesar 52,11%. Hilangnya kotoran-kotoran pasca perendaman air ini tidak terlepas dari kemampuan unik ikatan kovalen dalam molekul air yang bisa melarutkan, termasuk melarutkan kotoran yang menempel.

Deterjen berpengaruh nyata meningkatkan kebersihan bulu pasca perendaman dengan air dimana tingkat kenaikannya mencapai 36,85%. Hilangnya lemak-lemak yang melekat pada bulu disebabkan kemampuan deterjen yang bisa mengemulsi kotoran berminyak sehingga kotoran tersebut dapat dibuang dengan pembilasan sehingga bulu kelihatan bersih. Rantai hidrokarbon dari deterjen mampu larut dalam lemak sedangkan ujung anionnya mampu larut dalam air. Ujung anion deterjen yang ditarik oleh air ditolak oleh ujung anion molekul-molekul sabun yang menyembul dari lemak sehingga tetes lemak tidak dapat bergabung dan dapat dibuang dengan pembilasan (Fessenden dan Fessenden,1982).

Gambar

Gambar 1.  Struktur Molekul Wol (Soeprijono et al., 1973)
Gambar 2.  Serat Rusak (Leeder, 1984)
Gambar 3.  Tahapan Proses Pemutihan bulu (Yamin, et al., 1994)
Tabel 1. Nilai Atribut Mutu Bulu Domba Kotor
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum tahun 1973 Kabupaten Dompu adalah merupakan wilayah hukum Pengadilan Negeri Raba Bima, Jarak dari Kota Kabupaten Bima dengan kabupaten Dompu adalah 64

Tesis yang berjudul: “Kebijakan Pemberian Izin Pemanfaatan Air dan Energi Air Di Taman Nasional Kerinci Seblat Dalam Mewujudkan Pembangunan Berwawasan Lingkungan“

Artikel ini membahas Nematoda pada familia Muridae (tikus dan mencit) di pemukiman di Kabupaten Banjarnegara): Manfaat penelitian ini untuk mendapatkan data

Ayat 3 : Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (2) huruf a angka 4 dialokasikan oleh Pemerintah Pusat untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan

Sebelum sistem dikembangkan, para pengguna sistem informasi penilaian rumah sehat kesulitan dalam mengakses informasi terkait dari hasil penilaian rumah sehat seperti persentase

Kemudian dalam menerapkan dasar hukum terkait masalah kekuasaan orang tua ini dituntut kekonsistenan Majelis Hakim pada Pengadilan Agama Banjarbaru terhadap penetapan usia dewasa

Penelitian Nakula (2014) tentang pengaruh locus of control, komitmen profesional, dan pengalaman audit terhadap perilaku auditor dalam situasi konflik audit pada kantor

Mengapa penyebutan sumber dianggap penting karena melalui penyebutan sumber kita dapat menghargai penulis yang kita kutip karangan dan idenya, suatu kelegalitasan