• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Lembaga Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Lembaga Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA A.Buku

Amsari, Ferri, Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan

Republik Indonesia Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2013).

Armansyah, Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Medan: USU Pers, 2012).

Arrasjid, Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum,(Jakarta: Sinar Grafika, 2008).

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).

________________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).

Cornford, James, The Constitution of The United Kingdom, (London: Institute for Policy Research,1991)

Damian, Edy dan Robert, N. Hornick, Indonesia’s Formal Legal System, An

Introduction.( Bandung: Alumni, 1976).

De Cruz, Peter, Perbandingan Sistem Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2010).

Gunawan, Ilham, Peran Kejaksaan dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas

Politik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994).

Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).

Ibrahim, Johnny, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, (Jawa Timur: Bayu Media,2005).

Kansil, C.S.T., Ilmu Negara Umum dan Indonesia (Jakarta :PT Pradnya Paramita, 2001)

(2)

Manan, Bagir, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan

Hukum Nasional, (Bandung: Armico, Bandung 1987).

Marpaung, Leden, Tindak Pidana Korupsi dan Pemecahannya, (Jakarta: Sinar Grafika 1992).

Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif

Hukum,(Jakarta: Gramedia, 2005).

Mawardi, Arsyad, Pengawasan & Keseimbangan antara DPR dan Presiden

dalam Sistem Ketatanegaraan RI (Kajian Yuridis, Normatif, Empiris, Historis, dan Komprehensif),(Semarang: RaSAIL Media Group, 2013).

MD, Mahfud. 2008. Perlukan Amandemen Kelima UUD 1945?,(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Hukum dan HAM)

Purba, Hasim, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan: CV. Cahaya Ilmu, 2006).

Prakoso, Djoko, Alat bukti dan Kekuatan Pembuktian didalam Proses Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1988).

Pramono, B.S., Pokok-pokok Pengantar Ilmu Hukum, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, tanpa tahun terbit).

Pramudya, Kelik dan Ananto Widiatmoko, Pedoman Etika Profesi Aparat

Penegak Hukum :Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris & Advokat,

(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010)

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum,(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010).

Surachman, RM & Jan Maringka, Eksistensi Kejaksaan Dalam Konstitusi di

Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015).

_____________________________, Peran Kejaksaan dalam Sistem Peradilan

Pidana di Kawasan Asia Pasifik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015).

Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung: Armico, 2002).

Soekanto, Soerjono Faktor-Faktor yang memperngaruhi penegakkan hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013)

______________ dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatid, Suatu Tinjauan

(3)

Syafiie, Inu Kencana, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Refika Aditama, 2005).

Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1983).

Viswandro, Maria Matilda, & Bayu Saputra, Mengenal Profesi Penegak Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2015).

Yesmil, Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, tahun terbit tidak diketahui).

B.Kamus Hukum, Jurnal, Makalah

Adji, Indriyanto Seno, Kejaksaan Agung Kearah Reposisi Independensi &

Konstitusionalitas, (makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional

Posisi Ideal Kejaksaan dalam Sistem Ketetanegaraan Indonesia Berdasarkan UUD 1945),(Jakarta: Puslitbang, 2014).

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008)

Hamzah, Andi, Konsep dan Strategi pembaharuan Kejaksaan Republik

Indonesia, (makalah disampaikan pada Workshop Governance Audit Of

The Public Prosecutor Servive),( Bali, 2001).

Hamzah, Fahri, Peranan DPR RI dalam Menempatkan Posisi Ideal Kejaksaan

pada Sistem Ketatanegaraan RI berdasarkan UUD 1945, (makalah

disampaikan pada Seminar Nasional: Posisi Ideal Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan RI Berdasarkan UUD 1945, Jakarta: Puslitbang Kejaksaan RI, 2014)

Harkriswono, Hakristuti, Kejaksaan Agung dalam Tatanan Kelembagaan:

Beberapa Catatan Awal.(makalah disampaikan pada Seminar Hukum

dalam Konteks Perubahan ke Dua UUD 1945 yang diselenggarakan oleh MPR dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta 24-26 Maret 200), hlm. 7.

Mahrus Ali, Pengawasan Peredaran Barang Cetakan, Due Process of Law dan

Hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat, (Jurnal Konstitusi,

(4)

Nasution, Adnan Buyung, Reposisi Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia, (makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Posisi Ideal

Kejaksaan dalam Sistem Ketetanegaraan Indonesia Berdasarkan UUD 1945),(Jakarta: Puslitbang, 2014).

Puslitbang Kejaksaann Agung, Posisi Ideal Kejalsaan dalam Sistem

Ketatanegaraan R.I. Berdasarkan UUD Tahun 1945, (Hasil Seminar

Nasional yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung), (Jakarta : Puslitbang Kejaksaan Agung, 2014).

C.Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137)

Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 208)

Keputusan Presidium Kabinet Ampera No. 26/U/Kep/9/66 Tanggal 6 September 1966 Tentang Penegasan Status Kejaksaan Agung.

Keputusan Presiden No 86 Tahun 1982 Tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Tata Kerja Kejaksan Republik Indonesia (Kutipan: Lembaran Lepas Sekretariat Negara Tahun 1991).

Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3451).

(5)

Constitution of October 4, 1958 (UUD Perancis)

Constitution of the Federal Republic of Nigeria1999

The Code For Crown Prosecutors 2013 (7th Edition)

D.Website

Aghnia, Adzkia, KPK INCAR PENYUAP SENGKETA DUA PILKADA DI

KASUS AKIL MOCHTAR, CNN Indonesia, (edisi 28 November 2015)

(diakses

pada 24/06/2016 pukul 1:03 WIB)

Adji, Indriyanto Seno, Kejaksaan Agung dan Eksistensi Konstitusionalitas http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0406/22/opini/1097980.htm. (diakses pada 07/07/2016 pada pukul 00:18 wib)

Aidul, FA, Negara Hukum Indonesia: Dekolonisasi dan Rekonstruksi Tradisi, (Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 4 19 OKTOBER 2012: 489 – 505),

Wib).

Asshiddiqie, Jimly, Lembaga-Lembaga Negara, Organ Konstitusi Menurut

UUD 1945.

Attorney General’s Office, (diakes dari https://www.gov.uk/government/ organisations/attorney-generals-office), terakhir diakses pada 10/10/2016 pukul 21:52 wib

In brief. The Constitution of United Kingdom: “A Written or Unwritten

Constitution?”,(diakses dari

pukul 22:47 wib.

Kejaksaan Agung RI, Profil Jaksa Agung dari Masa ke Masa,(diakses dari

pada

(6)

Kejaksaan Agung RI, Visi & Misi, (diakses dari diakses pada tanggal 06 Oktober 2016 pukul 01:21 wib.

Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. 2012. Sejarah Kejati Jateng. (diakses dari http://kt-jateng. kejaksaan. go.id/main/profile/sejarah.html), terakhir diakses pada tanggal 02 Juli 2016.

Khumaidi, Pemisahan Dan Pembagian Kekuasaan Dalam Konstitusi Perspektif

Desentralisasi, (diakses dari

19/06/2016).

Mahendra, Ilham, Diktat Pengantar Hukum Indonesia, (diakses dari:

___________________, Kekuasaan Penuntutan,( diakses dari:

Mahendra, Yuzril Izha, Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam

sistem presidensial di bawah UUD 1945, (Friday, August 20th, 2010)

prof-dr-yusril-ihza-mahendra? (diakses pada 14/07/2016 pukul 23:11)

Misno, Abdurrahman, Teori Sistem Hukum Friedman, ( diakses dari terakhir di akses pada tanggal 06 Oktober 2016 pukul 01:12 wib.

Ministere de la Justice, The French Legal System, (diakses dari pada tanggal 09/10/2016 pada pukul 16:49 wib.Online Indonesian English Dictionary, (diakses dari terakhir diakses pada tanggal 09/10/2016 pukul 14:13 wib.

(7)

Paul, Hemetsberger, Public Prosecutor, 20:49)

Pujiningsih, Sri,KONSEP HUKUM INDONESIA DI MASA SEKARANG,

PusLitbang Kejaksaan Agung RI, Studi Tentang Implementasi Kekuasaan

Penuntutan di Negara Hukum Indonesia

Mei.2016 pukul 23.06 wib).

Ria, Soal Transportasi Berbasis Online, Pemerintah diminta Mebenahi Aturan,

Ridho, Gugum, Independensi Institusi Kejaksaan, (diakses dari

RFQ, Pentingnya Asas Keadilan untuk Mengatur Bisnis Transportasi Online,

S. Anwary, Penegakan Negara Hukum Di Republik Indonesia, http://www.isepsamra.or.id/

penegakan%20supremasi20hukum%20RI.doc.)

Suryono, Brandoi, Sandal Jepit dan Buah Kakao Ketidakadilan Bagi

Masyarakat Kecil, Kompasiana, (Edisi 25 Juni 2015)

00:51 WIB)

(8)

Umar, Djani, Negara, Bangsa dan Warganegara, 02:28 wib)

Vouin, Robert, The Role of the Prosecutor in French Criminal Trials, The American Journal of Comparative Law Vol. 18, No. 3 (Summer, 1970), pp. 483-497, September 2016 pukul 11:10)

(9)

BAB III

PERBANDINGAN KEDUDUKAN LEMBAGA KEJAKSAAN DALAM KONSTITUSI DI BEBERAPA NEGARA

Mengapa orang perlu melihat masyarakat atau budaya hukum yang lain?

Ehrmann mengungkapkan bahwa hanya dengan menganalisis satu macam budaya

hukum saja akan memperlihatkan apa yang kebetulan sedang terjadi ketimbang

apa yang dibutuhkan, apa sifatnya permanen ketimbang apa yang dapat berubah

dalam norma-norma dan agensi-agensi hukum, serta apa yang

mengkarakteristikkan berbagai keyakinan yang mendasari keduanya. Hukum dari

suatu budaya akan mengasumsikan teori etis tempat hukum tersebut

diberlakukan.170

Setiap negara tentunya memiliki peraturan, di bidang kekuasaan

kehakiman. (rechterlijke macht) dan penyelenggaraan peradilan pidana

(strafrechtspleging; administration of criminal justice). Peraturan tersebut

tercantum dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang

Peradilan, dan Undang-Undang Kejaksaan. Perbedaannya apakah terpisah-pisah

seperti halnya kejaksaan di Indonesia? Atau apakah terintegrasi seperti di Belanda

Di Indonesia Jaksa memiliki peranan penting bidang hukum dalam

proses pengadilan. Baik sebagai penuntut umum, maupun sebagai pengacara

negara, jaksa termasuk salah satu jabatan penting lainnya. Begitu pula di

negara-negara Timur, seperti Thailand, Myanmar, Korea (Selatan & Utara), dan tiongkok.

Demikian juga di Barat, misalnya Perancis, Spanyol, Belanda, Jerman dan

Skotlandia (yuridiksi dalam United Kingdom (UK).

(10)

melalui RO (wet op de rechterlijke organisatie) atau Undang-Undang Organisasi

Kehakiman.171

Tata urutan undang-undang, dapat membantu penelaahan Kedudukan

Jaksa Agung dalam Konstitusi suatu negara. Menurut Hans Kelsen norma itu

berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam satu susunan yang hierarchies,

dimana norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang

lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma

yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya hingga berhenti pada suatu norma

yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar (grundnorm).172

Apabila tidak ditemukan ketentuan konstitusional mengenai kedudukan

kejaksaan tersebut di suatu negara, yang berarti tidak tercantum dalam ketentuan

normatif dalam UUD suatu negara, maka harus di cari undang-undang organik

(undang-undang Pokok). Misalnya saja dalam Undang Undang Dasar 1945, baik

sebelum maupun sesudah 4 kali diamandemen, tidak ditemukan pengaturan

tentang peran dan kedudukan Jaksa Agung/Kejaksaan. Maka hal tersebut dapat

kita temukan dalam Undang-Undang Pokok Kejaksaan.

Peraturan

tertinggi adalah UUD yang mengandung norma dasar (ursprung norm;

grundnorm; basic norm).

173

171 RM Surachman dan Jan Maringka. Eksistensi … Op.cit.hlm 47

172 Armansyah, Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Medan: USU Pers,

2012), hlm. 11

Untuk lebih lengkap,

perlu juga dibuka KUHAP. Terutama di negara yang Undang-Undang Dasarnya

173

(11)

tidak mencantumkan peran dan kedudukan Jaksa Agung dan Kejaksaan, seperti

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu berikutnya kita akan membahas

kedudukan Jaksa Agung dalam negara-negara yang memiliki tradisi sistem hukum

Anglo Saxon atau Common Law dan civil law atau Eropa Kontinental.

A.Kedudukan Kejaksaan dalam Konstitusi Negara dengan Sistem Anglo

Saxon

Negara-negara bertradisi hukum anglo-saxon atau common law

(bersistem hukum Sakson-Inggris), termasuk sempalannya yang bertradisi hukum

anglo-american (bersistem hukum Amerika-Inggris) adalah Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Uni Myanmar, Papua Nugini, Australia, New

Zealand, Fiji, Kiribati, Macronesia, Nauru, Samoa, Tonga, Tuvalu, dan

Vanuatu.174

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa UK tidak mempunyai konstitusi

terkodifikasi.

Maka dari itu, pada subbab ini kedudukan Kejaksaan dan Jaksa

Agung yang akan menjadi acuan pembahasan adalah Inggris dan Wales yang

tergabung dalam United Kingdom (UK).

175

174

RM Surachman dan Jan Maringka, Peran Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana di Kawasan Asia Pasifik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm 2

175 James Cornford, The Constitution of The United Kingdom, (London: Institute For

Policy Research, 1991), hlm. 3.

Tetapi hal ini tidak sepenuhnya benar. Meskipun tidak ada

dokumen kodifikasi tunggal, seperti yang dimiliki Amerika Serikat atau Perancis,

lebih dari setengah konstitusi Inggris tertulis, terutama dalam undang-undang dan

kasus hukum. Sementara sisanya dapat ditemukan dalam konvensi yang tidak

mengikat,seperti aturan parlemen, dan hak prerogatif kerajaan. Berbagai sumber

(12)

lain memungkinkan konstitusi tersebut dapat dengan mudah diubah, memberikan

sifat fleksibel. Secara tradisional, konstitusi UK terdiri atas dua prinsip: doktrin

supremasi parlemen dan Rule of Law.176 Tetapi pada Juli 1991 James Cornford

menyusun sebuah draft sebagai pedoman untuk memudahkan publik memahami

konstitusi yang berjudul The Constitution Of The United Kingdom. Draft tersebut

merupakan kumpulan-kumpulan undang-undang yang terdiri dari 129 Articles dan

6 schedules, disertai dengan penjelasannya yang menjelaskan tentang asal mula

dan tujuan dari masing-masing ketetapan.177

Legitimasi lembaga kejaksaan UK pada yuridiksinya hanya didasarkan

pada undang-undang organik negara-negara UK itu sendiri.178 Wilayah yuridiksi

UK Raya terbagi 3: Pertama, yurisdiksi Inggris dan Wales. Kedua di yurisiksi

Irlandia Utara (Northen Ireland) menunjukkan Kejaksaan (Public Prosecution

Service of Northen Ireland) baru lahir lebih lambat lagi, 13 Juni 2005, sedangkan pada yurisdiksi ketiga yaitu Skotlandia yang dimana konsep kejaksaan pada

negara tersebut sudah lahir di abad ke-15.179

Lembaga kejaksaan pada yuridiksi Inggris dan Wales adalah Attorney

General Office (AGO). Kejaksaan Agung (AGO) adalah Departemen Kementrian yang menyokong Attorney General (Jaksa Agung) dan Solicitor General

(Pengacara Negara) sebagai penasehat hukum negara. Kejaksaan Agung (AGO)

juga membantu penegak hukum dalam melaksanakan tugas lainnya yang

176 In brief.The Constitution of United Kingdom: “A Written or Unwritten

Constitution?”,(diakses dari diakses pada tanggal 09/10/2016 pukul 22:47 wib.

177

James Cornford. Op.cit,hlm.4.

(13)

berkaitan dengan kepentingan umum. Penegak Hukum yang dimaksudkan disini

adalah government ministers180

a. yang memberikan nasihat hukum kepada pemerintah :

b. yang mengawasi, departemen penuntut utama yang independen seperti Crown Prosecution Service

c. yang mengawasi, Her Majesty Crown Prosecution Service Inspektorat, yang memeriksa bagaimana kasus dituntut

d. yang mengawasi, Departemen Hukum Pemerintah, yang menyediakan pelayanan hukum kepada pemerintah

e. yang menjawab pertanyaan tentang pekerjaan mereka di Parlemen

f. yang melakukan fungsi lainnya untuk kepentingan umum, seperti melihat kalimat yang mungkin terlalu rendah - tugas tersebut independen dari pemerintah

AGO dipimpin oleh seorang Attorney General (Jaksa Agung). Berikut ini

merupakan tugas dan fungsi dari Attoney General181

1. are not members of Parliament; and :

47. Attorney-General

47.1. There is established by this Constitution the office of Attorney-General.

47.2. The Attorney-General shall be appointed by the Prime Minister from among persons who —

2. have rights of audience, or are entitled to conduct litigation, in the superior courts of any part of the United Kingdom.

47.3. Act of Parliament shall provide for the conditions of service in respect of the office, but the Attorney-General ceases to hold office 1. if he or she ceases to have a qualification for appointment to

the office; or

2. if removed from office by the Prime Minister; or

3. on the receipt by the Prime Minister of a letter of resignation from the Attorney-General; or

4. when a new election to the office of Prime Minister is completed.

47.4. The Attorney-General —

1. is the principal legal adviser to the Government; and

2. has responsibility, on behalf of the Government, with respect to the conduct of litigation to which the Government is a party.

47.5. The Attorney-General shall attend, but shall not vote at, meetings of the Cabinet.

180 Attorney General’s Office, (diakes dari https://www.gov.uk/government/

organisations/attorney-generals-office), terakhir diakses pada 10/10/2016 pukul 21:52 wib.

(14)

Terjemahannya:

47. Jaksa Agung

47.1. Konstitusi ini mengatur tentang Kejaksaan Agung

47.2. Orang yang dipilih oleh Perdana Menteri sebagai Jaksa Agung: 1. bukan merupakan anggota Parlemen.

2. mempunyai hak audience182

47.3. Kebijakan dari parlemen dibutuhkan apabila Jaksa Agung berhenti memegang jabatannya karena kondisi:

atau hak untuk mengadakan proses pengadilan pada pengadilan tertinggi di seluruh Kerajaan Inggris.

1. tidak memenuhi syarat untuk di tunjuk sebagai pemegang jabatan

2. diberhentikan oleh Perdana Menteri

3. surat Pengunduran diri Jaksa Agung diterima oleh Perdana Menteri

4. ketika terpilihnya Perdana Mentri yang baru dalam Pemilihan Umum.

47.4. Jaksa Agung

1. Penasehat hukum bagi pemerintah

2. memiliki tanggung jawab, bertindak atas nama pemerintah sehubungan apabila pemerintah terlibat dalam proses litigasi. 47.5. Jaksa Agung wajiib menghadiri rapat kabinet namun tidak dapat

memberi suara(memilih)

Ketentuan diatas menunjukkan bahwa Jaksa Agung ditunjuk oleh Perdana

Menteri. Sebagai seorang professional Jaksa Agung hanya memberi nasehat bagi

pemerintah dan menghadiri setiap pertemuan atau rapat kabinet, namun tidak

memberi suara (memilih) untuk itu Jaksa Agung yang dipilih adalah Pengacara

Senior yang bukan merupakan anggota Parlemen. Jaksa Agung dalam pasal

47.4.2. dikatakan memiliki tanggung jawab bertindak atas nama pemerintah dalam

setiap proses pengadilan yang melibatkan pemerintah, namun bukan dalam bidang

182an opportunity to state your case and be heard (kesempatan untu menyatakan pendapat

(15)

puntutan tindak pidana. Kewenangan penuntutan tersebut dibawah Director of

Public Prosecution.183

Fungsi penuntutan kejaksaan sendiri, dijalankan oleh lembaga

non-departemen tersendiri dan terpisah dari Kejaksaan yaitu Crown Presecution

Service (CPS)

184

. CPS sendiri baru dibentuk sebagai badan independen untuk

melakukan penuntutan pada peradilan pidana berkerjasama dengan polisi dan

penyidik lainnya185 pada 1 oktober 1986186 dengan keluarnya undang-undang

tentang penuntutan terhadap perbuatan pidana (the Prosecution of Offences Act

1985).187

CPS merupakan badan non-departemen yang independen yang dipimpin

oleh Director of Public Prosecutor (DPP). DPP merupakan Penuntut Umum

tertinggi diseluruh wiayah Inggris & Wales. DPP bekerja secara independen di

bawah pengawasan dari seorang Attorney General (Jaksa Agung) yang

bertanggung jawab kepada Perlemen atas seluruh kinerja CPS. Jaksa CPS

mempersiapkan kasus untuk pengadilan dan menghadiri pengadilan pada seluruh

tingkatan pengadilan yaitu Pengadilan Magistratur dan Pengadilan yang lebih

Tinggi.

188

CPS terbagi atas 4 divisi khusus, yaitu:

183 James Cornford, (BAB Commentary), Op.cit. hlm. 34

184 Attorney General’s Office, (diakes dari https://www.gov.uk/government/

organisations/attorney-generals-office), terakhir diakses pada 10/10/2016 pukul 21:52 wib.

185 Crown Prosecutions Service, The Code for Crown Prosecutor, 2013 ( diakses dari

pada 08//10/2016 pukul 23:32 wib.

186

RM. Surachman dan Jan Maringka. Eksistensi … Op.cit.hlm 45.

187 Ibid.

188 The Crown Prescution Service, Facts About CPS, (diakses dari

(16)

Health/ yang juga memasukkan kesejahteraan desa dan kesehatan), the Pemberantasan Terorisme) dan

189

B.Kedudukan Kejaksaan dalam Konstitusi Negara dengan Sistem Eropa

Continental

Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat dipahami bahwa Kedudukan

Kejaksaan Agung yang ada di Kerajaan Inggris masuk dalam lingkup kekuasaan

Eksekutif. Artinya Kejaksaan Agung memiliki kemiripian dengan Kejaksaan RI

dan dapat dikatakan tidak independen karena Jaksa Agung memiliki peranan

politik dalam kabinet pemerintahan. Namun untuk menghindari hal tersebut antara

peranan politik dan peranan hukum Kejaksaan (AGO) dipisahkan dengan cara

menghilangkan hak vote Jaksa Agung dalam setiap rapat kabinet pemerintahan,

dan peranan hukum dalam fungsi penuntutan dari Kejaksaan dipisahkan dan

dilaksanakan oleh jaksa dibawah badan non-departemen yang independen dan

terpisah dari kejaksaan yaitu Crown Prosecution Service namun tetap berada

dibawah pengawasan Jaksa Agung.

Negara- Negara bertradisi civil law system atau continental system

(bersistem hukum Eropa daratan) adalah Jepang, Korea Selatan, Thailand,

Kamboja, Taiwan, Timor Leste, dan Indonesia.190

Berbeda dengan negara common law atau anglo-saxon,

negara-negara dengan tradisi sistem hukum Eropa Continental tidak memiliki gabungan

negara-negara yang khusus beranggotakan negara-negara yang bertradisi civil law.

189 Ibid.

(17)

Maka dari itu pembahasan kejaksaan pada subbab ini difokuskan pada

kedudukan Kejaksaan dalam konstitusi negara Perancis karena kejaksaan modern

lahir di jantung Eropa (Paris). Namun Prancis tidak ada mencantumkan Kejaksaan

dalam Konstitusinya namun hanya merinci kekuasaan dan wewenang The High

Councilof Judiciary (Dewan Tinggi Peradilan). 191 Dalam menyelidiki hakim dan jaksa yang dilaporkan Dewan ini dikepalai oleh Presiden Republik, dan secara ex

officio Menteri Kehakiman menjadi Wakil Ketuanya dan juga dapat mewakili Presiden bertindak sebagai Ketua Dewan.192 Dengan keanggotaannya yang lebih

berwibawa, Dewan Agung ini di Indonesia hampir dapat disamakan dengan

gabungan Komisi Kejaksaan dengan Komisi Yudisial. Karena Dewan tersebut

terdiri dari bagian hakim dan bagian jaksa.193

Kejaksaan Perancis berada dibawah otoritas Menteri Kehakiman, sehingga

kejaksaan juga berada di bawah kekuasaan eksekutif. Sebelumnya telah

disebutkan bahwa Kejaksaan Modern lahir di Perancis, karena memang Kejaksaan

Perancis lah yang mempelopori bentuk Kejaksaan yang berada di bawah

eksekutif. Kejaksaan dengan tipe ini dikenal pula dengan France Prosecution

Service Model. Dari Perancis diturunkan ke Belanda, begitupun Belanda diturunkan ke Indonesia. Selain itu Kejaksaan dengan kedudukan dibawah

eksekutif juga dapat ditemui di negara Jepang, Republik Chech dan termasuk juga

191 UUD Perancis, Pasal 65 (Constitution of October 4, 1958 Article 65)

192 The High Council of the Judiciary shall be presided over by the President of the

Republic. The Minister of Justice shall be its ex officio Vice-president. He may deputize for the President of the Republic. Lihat Ibid.

193 The High Council of the Judiciary shall consist of a section with jurisdiction over

(18)

negara-negara yang tergabung dalam United Kingdom dan Britain Commonwealth.194

Meskipun berada dibawah eksekutif, kejaksaan di Perancis terbukti tetap

bisa menjadi lembaga yang independen karena Organisasi Kejaksaan Perancis

dibangun berdasarkan pada 3 prinsip dasar195

Selain itu dalam pasal 64 UUD Perancis berbunyi: “The President of the

Republic shall be the guarantor of the independence of the Judicial Authority.”

(Presiden Republik yang menjamin independensi kekuasaan peradilan). Dari pasal :

- Subordinasi dalam Rantai Perintah:

Jaksa penuntut umum ditempatkan dibawah pengawasan dan kontrol

atasannya dan dibawah otoritas Menteri Kehakiman

- Melaksanakan Penuntutan Seutuhnya:

Jaksa penuntut umum dianggap sebagai perwujudan dari seseorang sejak

jaksa tersebut bertindak atas nama kejaksaan seutuhnya. Konsekuensinya

adalah, jaksa dapat menggantikan jaksa lainnya termasuk dalam fase

putusan dalam suatu kasus.

- Kekuasaan (Legitimasi) Penuntut Umum Tidak Berubah:

Kekuasaan dari penuntut umum tidak dapat ditentang karena jaksa

membela kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan menerapkan

kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.

194 Gugum Ridho, Independensi Institusi Kejaksaan, (diakses dari

pada 11//10/2016 pada pukul 9:14 wib.

195 Ministere de la Justice, The French Legal System, (diakses dari

(19)

tersebut dapat dipahami negara benar-benar menjamin independensi lembaga

peradilan.

Proses pemidanaan Perancis terutama dalam hal penyelidikan,

menggunakan sistem adversarial untuk mendapatkan keseimbangan antara hak

dan pembelaan, hak dari korban dan masyarakat secara keseluruhan.196

Jaksa Penuntut umum mengawasi departemen penyelidikan kriminal (police

judiciaire). Jaksa penuntut umum harus secepatnya memberitahukan segala pelanggaran yang diperbuat termasuk penahanan yang dilakukan oleh petugas

polisi untuk tujuan penyelidikan. Jaksa memastikan bahwa tahanan yang berada di

kanto polisi dilakukan sepatutnya sesuai dengan hukum dan memastikan

penahanan maksimum dilakukan maksimal 48 jam. Ketika seseorang dinyatakan

bersalah melakukan pelanggaran, maka akan dilakukan penyelidikan (preliminary

investigation or investigation of flagrancy) yang dilakukan oleh berbagai

departemen polisi. Kejaksaan kemudian memeriksa kasus tersebut dan

memutuskan penuntutan pada kasus tersebut. Penuntut umum dapat memutuskan Prinsip

utama yang dirumuskan dalam the introduction of the Code of Criminal

Procedure (pembukaan dari undang-undang tentang prosedur pemidanaan) adalah:

- adil dan adversarial,

- informasi dan jaminan atas hak-hak korban,

- presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah) dan hak untuk

membela diri.

(20)

untuk menghentikan proses penuntutan sesuai dengan prinsip dasar dalam

kebijakan penuntutan.197

Terdapat hirarki dalam pelaksanaan penuntutan: Procureurs de la

République (Jaksa penuntut republik/ tingkat pertama) berada dibawah Procureurs Généraux (Jaksa Penuntut Umum /tingkat banding) yang dapat memberikan arahan/instruksi mengenai tugas dan fungsi dan kebijakan dari

yuridiksinya dan juga keputusan yang harus diambil dalam kasus, juga dirasa

perlu. Jaksa Penuntut Umum memberikan laporan pertanggungjawaban langusng

kepada Menteri Kehakiman.198

Di Perancis, semua Jaksa Agung tetap menjadi pimpinan para jaksa di

wilayahnya masing-masing (seluas yurisdiksi pengadilan banding bersangkutan),

tidak bergabung menjadi Dewan Jaksa Agung, seperti di Belanda dan Belgia.

Di Perancis jumlah Jaksa Agung (Procureur General) sesuai dengan

jumlah Pengadilan Banding. Karena itu ada 35 Jaksa Agung (Procureur General)

di seluruh Perancis. Jumlah tersebut tidak termasuk 1 oraang Jaksa Agung

(Procureur General) pada Mahkamah Kasasi (setara Mahkamah Agung). Jaksa

pada Mahkamah kasasi ini, bukan atasan para Jaksa Agung pada Pengadilan

Banding yang banyak itu. Seperti kepada para Jaksa Agung pada Mahkamah

Kasasi pun Menteri Kehakiman dapat memberi saran, instruksi, dan surat-surat

edaran, akan tetapi lebih jarang dan lebih terbatas. Menteri Kehakiman dapat

melakukan intervensi kepada semua jaksa di Perancis, karena Menteri inilah yang

harus mempertanggungjawabkan kebijakan penuntutan di muka parlemen.

(21)

Pola Struktur Kejaksaan dalam Hierarki seperti itu dapat ditemukan di

negara-negara yang pernah dikuasai Kaisar Perancis, Napoleon Bonaperte. Di

daerah ini, jaksa berwenang menangani perkara pidana dari awal hingga akhir,

yaitu melakukan, memimmpin, dan mengawasi penyidikan (dalam teori). Dalam

kesehariannya sebagian besar kasus ditangani penyidik instansi maupun. Hanya

dalam hal-hal penting saja, jaksa mengintervensi penyidikan.199

Jaksa Agung pada Mahkamah Kasasi adalah wakil pemerintahan untuk

memberikan legal opininya kepada Majelis yang sedang menyidangkan perkara

kasasi. Wewenang penuntutannya terbatas pada penuntutan Presiden, Perdana

Menteri/Menteri di “Pengadilan Republik”, suatu Pengadilan Tinggi Khusus,

bukan Pengadilan Tinggi biasa, khusus untuk mengadili Presiden yang sudah

diajukan oleh Parlemen yang sepakat (dengan suara mayori 3/4nya). Bahwa

Presiden harus dimakzulkan melalui proses impeachment (Di Indonesia pada

zaman Konstitusi RIS dan UUDS 1950, dikenal sebagai Forum Privilegatium).200

(22)

BAB IV

KEDUDUKAN IDEAL LEMBAGA KEJAKSAAN

DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA A.Kedudukan Ideal Kejaksaan melalui Penguatan Secara Kelembagaan

Pertanyaan seputar posisi kejaksaan terus berkembang menjadi pemikiran

dan wacana yang melingkupi institusi Kejaksaan. Isu intervensi dan independensi

sangat mengemuka, dibalik kritik atau bahkan olok-olok bahwa kinerja kejaksaan

sangat rendah dan lamban.201 Kemunculan gugatan di MK tentang masa jabatan

Jaksa Agung oleh Presiden serta keterkaitannya dengan kabinet dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tanggal 22 September 2010

yang mengabulkan permohonan uji materil yang diajukan oleh Prof Yusril Ihzra

Mahendra, Guru Besar Hukum dan Mantan Menteri Hukum dan HAM atas

kesesuaian Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap UUD 1945, membuka mata

publik bahwa masih terdapat ketidakjelasan mengenai kedudukan Kejaksaan

dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia.202

201 Bambang Kesowo, Posisi Ideal Kejaksaan dalam Sistem Administrasi Pemerintahan

dan Ketatanegaraan Indonesia, (makalah disampaikan pada Seminar Nasional Posisi Ideal Kejaksaan RI dalam Sistem Ketatanegaraan RI, (Jakarta: Puslitbang, 2014), hlm 45.

Ketentuan tentang kedudukan yang

menyatakan Kejaksaan RI sebagai “Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan

undang-undang” telah memancing pertanyaan: lembaga apakah Kejaksaan RI?

lembaga pemerintahan ataukah semestinya lembaga negara? Putusan tersebut

202

(23)

menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang tidak dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir

dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dengan

berakhirnya masa Jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode

bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa

jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan.” Putusan tersebut

didasarkan pada pertimbangan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan.203

Bambang Kesowo memberi pendapat bahwa penggunaan kata kejaksaan

adalah lembaga negara bukan merupakan sesuatu yang keliru, karena pokok

pemahaman yang tertuang dalam Bab menimbang huruf c UU Nomor 16 Tahun

2004 tersebut tetap sejalan dengan pemikiran dasar yang ada dalam UUD.

204

Namun terlepas dari putusan MK yang mennyatakan apakah Jaksa Agung

diposisikan sebagai pejabat di dalam kabinet atau masa jabatan Jaksa Agung

adalah sesuai dengan periode (masa jabatan) Presiden, karena undang-undang

tidak mengatur hal tersebut secara tegas, maka implementasinya dalam praktik di

lapangan, menimbulkan masalah konstitusionalitas yakni ketidakpastian

Hukum.

205

Ketidakpastian hukum mengenai kedudukan Kejaksaan secara umum

dan secara lebih khusus mengenai jabatan Jaksa Agung dalam sistem

ketatanegaraan di Indonesia yang menimbulkan ambivalensi tersendiri dalam

dunia penegakkan hukum di Indonesia.206

203 Ibid

204 Bambang Kesowo, Op.cit. hlm 45 205 Ibid

206 RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit, hlm. 112.

(24)

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 menjelaskan bahwa Kejaksaan dalam

melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya terlepas dari pengaruh

kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini telah

memberikan independensi kepada kejaksaan dan bertujuan melindungi profesi

Jaksa seperti digariskan dalam “Guidelines on the Role of Prosecutors” dan

“International Association of Prosecutors”. Namun apabila dicermati terdapat

celah, dimana Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 justru menempatkan

Kejaksaan dalam kedudukan yang samar karena memiliki tugas ganda (double

obligation) dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan di satu sisi, Kejaksaan dituntut menjalankan fungsi, dan wewenangnya secara merdeka. Di sisi lain,

kemerdekaan tersebut rentan terhadap intervensi karena proses pengangkatan dan

pemberhantian Jaksa Agung dilakukan oleh Presiden. Tugas ganda (double

obligation) tersebut pada akhirnya justru kerap menimbulkan keraguan mengenai objektifitas korsa Adhyaksa dalam mengambil berbagai keputusan penting terkait

dengan penanganan perkara yang menyangkut kepentingan Pemerintahan. Banyak

kalangan menganggap, mustahil Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas,

dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya, karena kedudukan

kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif.207

207 Lain dengan kultur bangsa Prancis dan kultur bangsa Belanda, dan kultur Jepang.

Sekalipun Kejaksaan di Perancis dan di bawah Menteri Kehakiman, Menteri yang bersangkutan boleh dikatakan jarang sekali. Lihat Ibid. hlm 99.

Adanya pemikiran dengan

tidak meletakkan kejaksaan dalam kekuasaan eksekutif dapat memberikan

(25)

hal yang wajar, karena sebagai mana yang kita ketahui unsur kekuasaan yudikatif

dan eksekutif saling berkaitan dalam aktivitas penuntutan.208

Tidak dapat dipungkiri bahwa, perdebatan panjang mengenai

Independensi Kejaksaan dan posisinya dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia

juga disebabkan ketidakjelasan posisi Kejaksaan dalam Undang-Undang 1945.209

Ketentuan UUD 1945, hanya menyebutkan kejaksaan secara eksplisit dalam Pasal

24 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Dari empat

kali perubahan UUD 1945, yaitu sejak yang pertama (1999) sampai yang terakhir

yaitu yang keempat (2002), banyak perubahan dari materi UUD 1945 yang telah

berubah, baik perubahan rumusan, perubahan letak, maupun ketentuan-ketentuan

baru, dimana hanya 12% dari ketentuan UUD 1945 yang tidak berubah.210

Tentunya dari berbagai perubahan terhadap UUD tersebut berimplikasi luas dan

radikal dalam kehidupan bernegara 211

208 Ilham Mahendra, Kekuasaan Penuntutan, (diakses dari:

. Namun sangat disayangkan bahwa

kedudukan kejaksaan yang memainkan posisi sentral dalam kerangka sistem

peradilan pidana, ternyata belum mendapat cukup perhatian sebagai salah satu hal

mendasar yang perlu diatur dalam konstitusi, misalnya dibandingkan dengan

kedudukan Kepolisian RI yang telah diatur dalam Bab mengenai pertahanan dan

keamanan. Naskah UUD 1945 setelah Amandemen menjabarkan sebanyak 34

209 Jimly Asshiddiqie, Lembaga-Lembaga Negara, Organ Konstitusi Menurut UUD 1945,

(), hlm. 53.

210

Fahri Hamzah, Peranan DPR RI dalam Menempatkan Posisi Ideal Kejaksaan pada Sistem Ketatanegaraan RI berdasarkan UUD 1945, (makalah disampaikan pada Seminar Nasional :Posisi Ideal Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan RI Berdasarkan UUD 1945, Jakarta: Puslitbang Kejaksaan RI, 2014), hlm. 65.

(26)

organ-organ/lembaga negara, namun pada kenyataanya Kejaksaan tidak termasuk

dalam 34 organ yang secara tegas disebutkan dalam UUD 1945. Memang

menimbulkan sebuah pertanyaan tersendiri mengenai sejauh manakah negara

menganggap penting untuk menjamin kedudukan Kejaksaan dalam menjalankan

fungsi penegakkan hukum di Indonesia, atau apakah fungsi penuntutan yang

dilaksanakan oleh Kejaksaan dipandang kurang penting dibandingkan dua sub

sistem peradilan pidana lain yang secara tegas telah diatur dalam UUD 1945, yaitu

Kepolisian (penyidikan) dan Mahkamah Agung (Pengadilan).212

Menurut Profesor Indriyanto Seno Adjie 213 , eksistensi substansi

perubahan Amandemen ke III Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menyatakan negara

Indonesia adalah negara hukum. Tidak cukup makna gramatikal tanpa ada

penjelasan maupun tambahan pelaksanaan dari makna negara hukum. Melainkan

harus diikuti penegasan atas sistem penegakkan hukum dan lembaga-lembaganya

termasuk aksentuansi perlunya eksistensi kejaksaan melalui konstitusi (UUD)

sebagai bentuk penegasan mengenai kedudukan Kejaksaan Agung yang

merupakan subsistem dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).214

Begitu pula perubahan Amandemen ke III Pasal 24 UUD 1945 yang

menyatakan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

diterjemahkan dalam kaitan penegakkan hukum terhadap pelaksanaan Sistem

212

RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit. hlm.45.

213

Indriyanto Seno Adji, Kejaksan Agung dan Eksistensi Konstitusionalitas (diakses dari tanggal 09/10/2016 pada pukul 17:36 wib.

(27)

Peradilan Pidana, khususnya eksistensinya kejaksaan sebagai lembaga negara

yang independen di bidang fungsi penuntutan tertinggi.

Senada dengan pandangan tersebut, menurut Prof. Jimly Asshiddiqie215

Menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra

tidaklah tepat untuk menyatakan bahwa kepolisian lebih penting daripada

Kejaksaan Agung hanya karena ketentuan mengenai Kepolisan tercantum dalam

UUD 1945, sedangkan ketentuan mengenai Kejaksaan Agung sama sekali tidak

tercantum secara eksplisit dalam UUD 1945. Sejalan dengan prinsip Negara

Hukum yang ditentukan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, lembaga Kejaksaan

tersebut tetap dapat disebut memiliki kedudukan yang sangat penting dalam

hukum tata negara (Constitutional law), sehingga memiliki “constitutional

importance” seperti lembaga-lembaga lain yang keberadaannya disebut secara eksplisit dalam UUD 1945.

216

215

Lihat: Jimly Asshiddiqie, Lembaga … Op.cit.hlm.32.

, kedudukan kejaksaan Agung RI

sebagai badan negara (staatorgan) dalam UUD 1945 pada dasarnya meneruskan

apa yang telah ada diatur di dalam Indische Staatregeling yang menempatkan

Kejaksaan Agung berdampingan dengan Mahkamah Agung. Sementara secara

administratif, baik kejaksaan maupun pengadilan berada di bawah Kementrian

Kehakiman. Itulah sebabnya, dalam rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia) tanggal 19 Agustus 1945, Prof Soepomo melaporkan bahwa ruang

lingkup tugas Kementrian Kehakiman yang akan dibentuk ialah menangani

hal-216

(28)

hal administrasi pengadilan , kejaksaan, penjara, nikah, talak dan rujuk serta

penanganan masalah wakaf dan zakat. Sedangkan landasan hukum bagi

Kejaksaan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya, sepenuhnya didasarkan

pada Herzeine Indonesich Reglemen (HIR) yang diperluas dengan Regeling

Reglement Stb 1922. No. 522 HIR kemudian diubah menjadi RIB (Reglemen Indonesia yang di perbaharui. Persepsi bahwa Kejaksaan merupakan bagian tidak

terpisahkan dari pengadilan, menjadi dasar mengapa Kejaksaan tidak disebutkan

secara eksplisit. Sama halnya dengan Kepolisian yang memiliki kaitan dengan

peradilan, sebelum perubahan UUD 1945 juga sama sekali tidak dimasukkan ke

dalam UUD. Namun Permasalahan muncul ketika Presiden Soekarno melalui

Keputusan Presiden 204 Tahun 1960 secara tegas memisahkan Kejaksaan dari

Kementerian Kehakiman dan Mahkamah Agung, dan menjadikannya sebagai

institusi yang berdiri sendiri dibawah kabinet. Bahkan persepsi tersebut tetap

dipertahankan hingga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia. Pasal 24 UUD 1945 dirasakan tidaklah dapat menjawab

kebutuhan akan jaminan kemandirian Kejaksaan dalam kerangka sistem peradilan

pidana sebagaimana kedudukannya saat ini, yaitu sebagai lembaga pemerintah

yang berada di bawah kekuasaan eksekutif.217

Sistem penuntutan yang berada dibawah eksekutif menjadi suatu

permasalahan yang mendapatkan sorotan tajam baik dalam tugas penyidikan

maupun dalam tugas penuntutan kejaksaan, karena dipandang tidak mandiri dan

(29)

independen dalam menangani perkara-perkara. Marwan Effendy berpendapat218

dalam keadaan seperti itu sangat mendesak untuk mereposisi institusi Kejaksaan

agar mandiri dan independen dalam penegakan hukum Indonesia. Tanpa adanya

perubahan yang mendasar terhadap produk legislatif yang merupakan landasan

pijak jatidiri Kejaksaan RI, harapan kedepan untuk diperolehnya suatu kebijakan

penyidikan dan penuntutan yang memenuhi rasa keadilan, kepastiian hukum, dan

kemanfaatan bagi pencari keadilan, tetap akan jauh dari kenyataan, bagaikan

panggang jauh dari api. Implikasinya, anggapan bahwa kejaksaan RI adalah

sebagai perpanjangan tangan penguasa akan selalu mengemuka meskipun

mempunyai kedudukan sentral di dalam penegakkan hukum.219 Untuk itu hal yang

dapat dilakukan untuk menjamin kedudukan kejaksaan tersebut adalah menata

ulang konsep-konsep yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan peraturan yang

mengatur tentang independensi Kejaksaan dan Jaksa Agung dan juga

memasukkan pembahasan tersebut sebagai pembahasan utama dalam wacana

perubahan UUD220

Agar institusi Kejaksaan lebih “mumpuni” (onafhandelijk) dalam

penegakkan hukum dan tidak terkesan sebagai alat penguasa, maka kedudukan

Kejaksaan harus dikembalikan sebagai alat penegak hukum dan lepas dari , karena di dalam prakteknya pelaksanaan berbagai ketentuan

yang berlaku tersebut terbukti belum dapat mewujudkan suatu bentuk yang ideal

dari independensi Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

218

Marwan Effendy, Op.cit. hlm 68

219

Ibid.

220 Ilham Mahendrra, Kekuasaan Penuntutan, (diakses dari:

(30)

komponen Polkam dalam kabinet. Andi Hamzah berpendapat bahwa

Undang-Undang Kejaksaan harus menjamin keindependensian kejaksaan sehingga

kejaksaan dapat menuntut siapa saja tanpa adanya intervensi pemerintah.221 Selain

itu Andi Hamzah berpendapat bahwa kejaksaan harus ditempatkan dan menjadi

bagian dari Mahkamah Agung sebahai kekuasaan kehakiman dan tidak dicampuri

oleh kekuasaan eksekutif. Dalam hal ini Andi Hamzah berpendapat222

Mengenai wacana Amandemen UUD 1945, dalam perjalanannya UUD

1945 mengandung anasir otoriter yang artinya korup (absolute power, corupt

absolutely – Lord Acton).

bahwa

kejaksaan harus berada dibawah yudikatif, karena kemandirian dan independensi

institusi Kejaksaan sangat diperlukan walau harus dengan mereposisinya sesuai

dengan fungsinya agar lepas dari pengaruh eksekutif. Apalagi fungsi Kejaksaan

bukan hanya di bidang pidana, melainkan juga di bidang perdata dan Tata Usaha

Negara serta berbagai penugasan dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum.

223

Oleh karenanya Teori Hukum Tata Negara mulai

mendapat perhatian dan berkembang pesat saat bangsa Indonesia memasuki era

reformasi. Salah satu arus utama dari era reformasi adalah gelombang

demokratisasi.224

Dalam perkembangannya berbagai dinamika yang timbul setelah

amandemen ke-4 UUD 1945 pada tahun 2002, kembali mengundang perdebatan,

mengenai apakah perlu kembali dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945. .

221 Andi Hamzah, Konsep dan Strategi pembaharuan Kejaksaan Republik Indonesia,

(makalah disampaikan pada Workshop Governance Audit Of The Public Prosecutor Servive, Bali 21-22 Februari 2001), hlm. 6.

222

Ibid

223 Fahri Hamzah, Op.cit. hlm. 65.

(31)

Mengenai hal tersebut, menurut Prof. Mahfud Md, Guru Besar dan mantan Ketua

Mahkamah Indonesia225

Kedua, kelompok yang ingin mempertahankan UUD hasil amandemen

yang ada sekarang. Arus kedua pada umumnya anggota-anggota parpol yang

memiliki kursi dominan di DPR dan MPR, terutama mereka yang dulunya

menjadi anggota Panitia Ad Hoc I MPR yang bertugas membahas perubahan

UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai tahun 2002. Menurut mereka perubahan

lanjutan itu tidak perlu dilakukan karena hasil amandemen yang ada sekarang

sudah menyerap dan mengompromikan semua aspirasi yang berkembang di dalam

masyarakat ketika itu. Menurut mereka, perlu adanya kesadaran bahwa melakukan

perubahan atas UUD itu akan menguras energy yang sangat besar dan apapun , terdapat 3 kelompok arus:

pertama, kelompok yang ingin kembali pada UUD yang asli. Kelompok pertama terdiri dari tokoh terutama para purnnawirawan TNI yang dulunya

memang telah bersumpah untuk menjadi Sapta Margais yang setia pada Pancasila

dan UUD 1945. Pendukung arus ini tidak banyak namun tetap ada, bahkan pada

acara seminar yang diselenggarakan oleh badan Wantimpres tanggal 3 April 2008

yang lalu masih ada yang menyesalkan perubahan UUD 1945 tersebut. Alasan

pengikut arus ini perubahan UUD 1945 telah kebablasan, mengkhianati amanat

dan hasil karya para pendiri atau founding people, emosional, terburu-buru, dan

tidak menyerap aspirasi masyarakat atau disosialisasikan secara proporsional.

225

(32)

hasilnya pasti aka nada kontra. Apabila diubah lagi pun pasti kelak aka nada

persoalan lain atas hasil-hasilnya.

Ketiga, kelompok atau arus yang ingin melakukan perubahan atau amandemen lanjutan yang di dalam Konstitusi ini disebut Amandemen Kedua.

Arus ketiga merupakan arus yang paling kuat karena didukung oleh hampir semua

akademisi hukum dan ilmuwan politik di perguran tinggi, lembaga studi

Konstitusi, LSM-LSM pegiat hukum dan konstitusi, anggota-anggota Komisi

Konstitusi, dan beberapa ormas besar. Alasan perlunya perubahan lanjutan

menurut pengikut arus ini karena dalam kenyataannya hasil perubahan UUD 1945

memang mengandung beberapa kelemahan yang harus diperbaiki kembali sebagai

tuntutan yang wajar.

Prof Mahfud MD memposisikan dirinya sebagai penganut aliran yang

ketiga,226

226 Ibid.

yaitu masih diperlukannya amandemen selanjutnya terhadap UUD

1945. Hal ini didasari pada pemahaman bahwa tidak ada konstitusi yang tidak

berubah. Di mana pun dan kapan pun UUD adalah resultante yang disepakati

berdasarkan kebutuhan pada saat dibuat, sehingga ketika situasi Poleksosbud

berubah maka resultante-nya pun juga dapat diubah. Oleh karena itu, rata-rata

perubahan konstitusi di dunia berjalan setelah paling lama 30 tahun. Pokok dari

upaya perubahan konstitusi itu adalah membuat kesepakatan politik (resultante)

baru karena ada perkembangan baru, ada hal-hal penting yang terlewatkan atau

ditemukan masalah (kekurangan) pada konstitusi yang sudah ada atau sedang

(33)

Kembali pada posisi ideal Kejaksaan RI terkait dengan wacana di atas,

Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa kejaksaan harus independen dengan

merumuskan kembali dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan

undang-undang organiknya demi independensi kejaksaan.227 Beliau berpendapat

bahwa independensi kejaksaan bukan berarti kejaksaan harus ditempatkan di luar

lembaga eksekutif. Independensi kejaksaan dapat dicapai asalkan pimpinan

eksekutif commited pada keinginan untuk mencapai supremasi hukum yang

berkeadilan walaupun kejaksaan berada dalam kekuasaan eksekutif.228

Bambang Kesowo 229

Apabila pendapat tersebut dicermati, faktor utama independensi adalah

kualitas manusia yang menjalankan jabatan tersebut. Karena kualitas seorang

pejabatlah yang menentukan dapat atau tidaknya seseorang diintervensi atau

menginterensi proses penegakkan hukum di Kejaksaan. Maka Jaksa Agung

sebaiknya tetap diangkat oleh Presiden, namun konstitusi harus menegaskan

bahwa Kejaksaan dan Jaksa Agung tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan, mengatakan dalam persoalan independensi,

semuanya tergantung integritas pihak yang diintervensi. Kualitas manusia yang

menjadi pelaksana mekanisme internal menjadi penting. Karena tidak ada jaminan

apapun, termasuk dalam peraturan perundang-undangan, yang dengan efektif

dapat menangkal, kecuali dengan memperkuat integritas manusia yang

mendukungnya.

227 Hakristuti Harkriswono, Kejaksaan Agung dalam Tatanan Kelembagaan: Beberapa

Catatan Awal.(makalah disampaikan pada Seminar Hukum dalam Konteks Perubahan ke Dua UUD 1945 yang diselenggarakan oleh MPR dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta 24-26 Maret 200), hlm. 7.

228 Ibid

(34)

seperti pada negara Perancis dimana UUDnya menegaskan bahwa Presiden harus

menjamin independensi dalam kekuasaan kehakiman.

B.Kedudukan Ideal Kejaksaan melalui Penguatan Kewenangan

Dalam masa transisi sebuah negara akan mengalami goncangan politik,

sosial dan ekonomi yang sangat keras.230 Cara satu-satunya dalam menghadapi hal

tersebut dengan menghadirkan institusi negara yang kuat, khususnya institusi inti

demokrasi itu sendiri (legislatif, judikatif, dan eksekutif). Institusi penegak hukum

merupakan institusi prioritas yang harus disiapkan agar transisi tidak mengalami

kegamangan. Hal ini dikarenakan penegak hukumlah yang menjadi wasit dalam

penguatan institusi inti.231

Munculnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK

merupakan salah satu tindak lanjut dari mandat penguatan institusi deomkrasi

tersebut.

232

Dengan begitu banyaknya agenda reformasi yang merupakan amanat

transisi dari sistem otoriter kepada sistem demokrasi, sudah sangat tepat tugas

pencegahan korupsi sebagai inti dari undang-undang tentang KPK tersebut,

karena semua lembaga lain termasuk Presiden sebagai kepala birokrasi negara

akan berada dalam koordinasi KPK yang menjalankan kewenangan yang besar

dalam pemberantasan korupsi khususnya pencegahan.233

230 Fahri Hamzah, Op.cit. hlm 65. 231

Ibid.

232 Hadirnya KPK sebagai suatu tindak lanjut dari pelaksanaan mandat dapat dilihat dalam

dasar menimbang serta batang tubuh undang-undang tersebut. Pasal 1 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK dengan jelas menyebutkan “… pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK) adalah serangkaian tindakan untuk mencegah, memberantas TPK melalui upaya koodinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, dan penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

233 Fahri Hamzah, Op.cit. hlm 66.

Namun KPK mengalami

(35)

menyebabkan KPK abai dengan tugas utamanya dalam menguatkan lembaga

penegak hukum inti (kepolisian dan kejaksaan) yang dimana apabila dicermati

UU No 30 Tahun 2002 mengandung pesan bahwa penindakan hanya sebuaah

pintu darurat yang dibuat jika dalam pencegahan terdapat hambatan-hambatan

besar karena penggunaan pintu penindakan ini mengabaikan hukum acara yang

dapat memunculkan efek sistemik yang berbahaya.234

Adnan Buyung

235

mengatakan KPK adalah lembaga ad hoc yang

keberadaannya termporer dan tidak bisa dipertahankan selamanya karena pada

akhirnya kewenangan penindakan khususnya penuntutan harus tetap berada di

dalam satu lembaga dan tak terpisahkan dibawah institusi kejaksaan selaku

Penuntut Umum (Openbaar Ministerie), yang berwenang melakukan penuntutan

seluruh kasus tanpa terkecuali, termasuk kasus korupsi. Seharusnya peran KPK

adalah membantu melakukan reformasi di tubuh Kejaksaan. Namun KPK terbukti

melupakan peran tersebut dengan menonjolkan kewenangan penuntutannya

sendiri yang menyebabkan persaingan yang tidak sehat. Inriyanto Seno Aji

mengatakan bahwa Seharusnya Kejaksaan, KPK dan Polri memiliki hubungan

esensial dengan dan diantara penegak hukum yang terintegrasi dari Sistem

Peradilan Pidana, karena lembaga penegak hukum KPK tidaklah dapat

memberikan eksistensi terhadap permasalahan korupsi secara luas tanpa adanya

eksistensi lembaga penegak hukum lainnya, yaitu Kejaksaan Agung dan Polri.236

234 Ibid. 235

Adnan Buyung, Op.cit, hlm. 36

236 Indriyanto Seno Adji, Kejaksaan Agung Kearah Reposisi Independensi &

(36)

Maka dari itu sama halnya dengan penguatan secara kelembagaan,

penguatan kewenangan penuntutan Kejaksaan juga perlu secara jelas dan tegas

diatur pada Bab tersendiri dalam Konstitusi Indonesia. Agar dalam setiap

penuntutan yang bukan dilakukan oleh kejaksaan tetap terkoordinasi dengan Jaksa

Agung sebagai penuntut umum tertinggi sehingga tidak bertentangan dengan

(37)

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan

1. Kedudukan kejaksaan dalam Undang-Undang dikatakan sebagai badan yang

berwenang dalam penegakkan hukum dan keadilan yang menjalankan

kekuasaan negara dibidang penuntutan. Namun penempatan posisi Kejaksaan

oleh Undang-Undang masih ambigu, menyebabkan Kejaksaan memiliki tugas

ganda (double obligation) yang kerap menimbulkan keraguan mengenai

objektifitas korsa Adhyaksa dalam mengambil berbagai keputusan penting

terkait dengan penanganan perkara yang menyangkut kepentingan

Pemerintahan. Ditambah dengan adanya KPK memunculkan pertentangan

terhadap prinpsip een en openbaar. Posisi kejaksaan dalam struktur

ketatanegaraan di Indonesia juga tidak diatur dalam Undang-Undang 1945,

menimbulkan anggapan negara tidak menjamin kedudukan Kejaksaan dalam

menjalankan fungsi penegakkan hukum di Indonesia terutama dalam fungsi

penuntutan. Faktor penyebabnya adalah kedudukan kejaksaan Agung RI

sebagai badan negara (staatorgan) dalam UUD 1945 pada dasarnya

meneruskan apa yang telah ada diatur di dalam Indische Staatregeling.

Landasan hukum tersebut menimbulkan persepsi bahwa Kejaksaan merupakan

bagian tidak terpisahkan dari pengadilan menjadi dasar mengapa Kejaksaan

tidak disebutkan secara eksplisit dalam Undang Undang Dasar.

2. Setelah diperbandingkan dengan negara Inggris dan Wales dan juga Perancis

(38)

93

Persamaan:

a. Kejaksaan masuk dalam domein/ ruang lingkup kekuasaan Eksekutif.

b. Kejaksaan memiliki fungsi penuntutan, sebagai penasehat hukum bagi

instansi pemerintahan lainnya.

c. Jaksa Agung/Penuntut Umum yang merupakan pimpinan Lembaga

Kejaksaan sama-sama mempertanggungjawabkan kinerjanya selama

menjabat kepada Menteri Kehakiman ataupun Kepala Pemerintahan.

Perbedaan:

1. Pada negara-negara dengan sistem hukum Anglo-saxon

kejaksaan/penuntut umum biasanya diatur dalam Konstitusi dan

undang-undang organik negaranya sedangkan di Indonesia dan Perancis hanya

diatur dalam undang-undang organik dan peraturan perundang-undangan

lainnya.

2. Pada negara Inggris dan Wales, fungsi penuntutan dipisahkan dari

lembaga kejaksaan dan dijalankan oleh lembaga independen

non-departemen, sementara Kejaksaan di Indonesia dan Perancis fungsi

penuntutannya dijalankan oleh Lembaga Kejaksaan itu sendiri. Namun

Perancis menjamin Independensi lembaganya dalam UUD.

3. Negara-negara dengan sistem hukum anglo-saxon memiliki Attorney

General sebagai pucuk pimpinan, dan Indonesia adalah Jaksa Agung. Berbeda dengan Kejaksaan Perancis semua Jaksa Penuntut Umum tetap

(39)

94

bertanggungjawab langsung kepada Menteri Kehakiman atas kinerja

kejaksaan pada wilayah yuridiksinya masing-masing.

3. Posisi ideal Kejaksaan RI terwujud apabila kejaksaan Independen secara

kelembagaan dan fungsional melalui amandemen atau menggantikannya

dengan undang-undang baru serta memasukkan penguatan atas jaminan

independensi Kejaksaan secara kelembagaan dan fungsi penegakkan hukum

sebagai salah satu agenda penting dalam wacana amandemen UUD agar

institusi Kejaksaan lebih “mumpuni” (onafhandelijk) dalam penegakkan

hukum dan tidak terkesan sebagai alat penguasa. Kemudian secara kewenangan

prinsip een en ondelbaar sepenuhnya dijalankan oleh Kejaksaan

B.Saran

1. Perlunya merubah institusi Kejaksaan dari lembaga pemerintahan menjadi

“badan negara” yang mandiri dan independen (tidak adanya ancaman maupun

campur tangan kekuasaan lembaga negara lainnya) dan mengangkat Jaksa

Agung sebagai pejabat negara oleh Presiden sebagai Kepala Negara (bukan

sebagai Kepala Pemerintahan) atas persetujuan DPR. melalui amandemen

undang-undang yang ada atau menggantikannya dengan undang-undang baru

agar Institusi Kejaksaan lebih mumpuni (onafhandelijk) dalam penegakkan

hukum dan tidak terkesan sebagai alat penguasa.

2. Perlu memasukkan Kejaksaan dalam UUD secara implisit untuk memperkuat

Kejaksaan secara kelembagaan yang independen dan fungsinya

(40)

BAB II

KEDUDUKAN KEJAKSAAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

A. Sejarah Kejaksaan dan Jaksa Agung di Indonesia

Jaksa sudah ada sejak zaman raja-raja berkuasa di Nusantara. Tetapi

Kejaksaan baru ada di Indonesia pada pertengahan abad ke 19, sewaktu

Pemerintah Kolonial (Gubernur Hindia Belanda) mengeluarkan “Reglemen Bumi

Putera” atau Inlandsch Reglement98 (disingkat IR) dan “Reglemen Organisasi

Pengadilan” atau Reglement op de Rechterlijke Organisatie (disingkat RO).99 IR

1848 merumuskan, antara lain, hukum acara pidana, sedangkan RO merumuskan

Badan Penuntut Umum pada Pengadilan Bumi Putera (Landraad) maupun pada

Pengadilan Golongan Eropa (Raad van Justitie).100

Pada akhir tahun 1941, IR menjadi Reglemen Bumi Putera yang

Dibaharui, kemudian menjadi Reglemen Indonesia yang Dibaharui (RIB) yang Di zaman kolonial, jaksa

untuk golongan Eropa, sebutannya officier van justitie. Sedangkan untuk orang

Indonesia asli sebutanya djaksa, perubahan dari adhyaksa, sebutan jaksa di zaman

kuno.

98 Indische Reglement disusun oleh MR.H.L.Whicers mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei

1848 sebagai hukum acara pidana dan hukum acara perdata bagi Golongan Bumi Putera. Sedangkan untuk Golongan Eropa berlaku Reglement op de Strafvordering dan sebagai hukum acara perdata Reglement op Rechtsvordering. Lihat dalam buku Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, tahun terbit tidak diketahui), hlm. 41.

99 RM Surachman & Jan Maringka, Eksistensi Kejaksaan Dalam Konstitusi di Berbagai

Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 40.

100

(41)

34

dalam bahasa aslinya disebut Herziene Inlandsch Reglement (HIR)101 guna

mengatur proses peradilan bagi golongan pribumi (masyarakat Indonesia pada

zaman penjajahan Belanda). 102

Selain mengatur tentang Hukum Acara Pidana bagi golongan Bumiputera

(IR yang kemudian diperbaharui menjadi HIR) tersebut juga mengatur hal-hal

tentang kewajiban melakukan pekerjaan/tugas Polisi dan tentang mencari

kejahatan dan pelanggaran pada umumnya,103 yang dilaksanakan oleh kepala desa

dan sekalian pegawai bawahan yang lain, kepala distrik dan pejabat yang

diperbantukan kepadanya, Kepala Jaksa dan Jaksa, Bupati dan Patih, Residen,

begitu pula dengan Asisten-Residen diluar wilayah.104 Kemudian kewajiban

tersebut juga diberikan bagi kepala bangsa Asing di lingkungannya

masing-masing.105

RM Surachman dan Jan Maringka mengatakan bahwa para jaksa

dikatakan termasuk korsa (korps; corps) pangreh praja

106

101

Pada kenyataannya, apabila Herzeine Indislandsch Reglement dibandingkan dengan hukum acara pidana bagi golongan Eropa yang diatur dalam Reglement op de Strafvordering (ROS: Staatblad 1817 No. 14), ROS dianggap jauh lebih baik dari pada HIR terkhusus mengenai aturan tentang jaminan-jaminan perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa. Baca pada Yesmil Anwar dan Adang, Op.cit. hlm 40

102

Ibid.

103

Diuraikan pada Bab I dan II Herziene Indlandsch Reglement. Yang dimaksud "melakukan tugas kepolisian" dalam pasal ini dengan singkat ialah "menjaga ketertiban dan keamanan umum" bagi kepentingan negara yang bersangkutan, pada zaman pemerintah Hindia Belanda untuk menegakkan penjajahan Belanda dan pada masa pendudukan tentara Jepang untuk memenangkan perang Asia Timur Raya.

104

Pasal 1 ayat (1) sampai (6) Herziene Indlandsch Reglement.

105

Pasal 2 Herziene Indlansch Reglement.

106Pangreh praja/pang-reh pra-ja/ pangréh praja/ ark n penguasa lokal pada masa

pemerintahan kolonial Belanda untuk menangani daerah jajahannya; pamong praja. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit, hlm. 942.

yang merupakan

(42)

35

kehakiman (judicial service). 107 Contoh konkretnya, seorang Mantri Polisi

Kecamatan yang telah berpengalaman selama bertahun-tahun dapat diangkat

menjadi Camat (Asisten Wedana). Tetapi ada juga Mantri Polisi yang dapat

diangkat menjadi Ajun Jaksa. Demikian juga Camat setelah berpengalaman

bertahun-tahun dapat menjadi Wedana. Akan tetapi, ada pula sebagian Camat

yang diangkat menjadi Jaksa. Setelah berpengalaman bertahun-tahun baru Jaksa

tersebut dapat diangkat menjadi “djaksa kepala” (Hoof djaksa) atau Kepala

Kejaksaan.108

Namun demikian Jaksa dimasa IR 1848 bukanlah penuntut umum yang

berwenang penuh

109

, melainkan jaksa yang belum mumpuni, (belum volwaardig)

dan kedudukannya sebagai hulpmagistraat (ajun magistrate) yang bertanggung

jawab kepada Residen di masing-masing keresidenan.110 Sebaliknya pada Badan

Penuntut Umum (Openbaar Ministerie di Belanda, atau disingkat OM) untuk

pengadilan bagi Golongan Eropa yang dipimpin oleh Procureur Generaal, yaitu

Jaksa Agung pada Mahkamah Agung (Hooggerechtshof) Hindia Belanda di

Batavia. Jadi di masa kolonial, badan penuntut umum untuk golongan Eropa ini

termasuk korsa pegawai kehakiman (judicial service), bukan korsa pegawai negeri

(civil service).111

107 RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit, hlm. 41. 108 Ibid.

109

Pasal 46 ayat (2) berbunyi “Kalau tidak ditentukan orang yang lain, maka yang dikatakan pegawai-pegawai penuntut umum dalam reglemen ini, ialah jaksa jaksa pada pengadilan negeri.”

110 RM Surachan dan Jan Maringka,Eksistensi … Op.cit.hlm. 41 111 Ibid.

(43)

36

Tidak dapat disangkal, Badan Penuntut Umum (Kejaksaan) Indonesia

modern merupakan adaptasi dari Badan Penuntut Umum atau Openbaar Ministrie

(disingkat OM) di Belanda. Adapun OM di Belanda merupakan adaptasi dari

Badan Penuntut Umum Perancis era Napoleon Bonaperte yang dikenal sebagai

Ministere Publique (Pengadilan Agung).112

Selanjutnya, dalam masa pendudukan Pemerintah Bala Tentara

Kekaisaran Jepang (1941-1945) di Indonesia tidak terjadi perubahan yang terlalu

mendasar kecuali dihapusnya Raad van Justice sebagai pengadilan untuk

golongan Eropa113 dan digantikan dengan Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri),

Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi), dan Saikoo Hooin (Mahkamah Agung). Pada pengadilan-pengadilan tersebut masing-masing dibentuk Kejaksaan Pengadilan

Negeri (Tihoo Kenkatsu Kyoku), Kejaksaan Pengadilan Tinggi (Kootoo Kensatsu

Kyoku), dan Kejaksaan Agung (Saiko Kenkatsu Kyoku).114

Badan-badan peradilan tersebut merupakan pengadilan bagi semua

golongan penduduk (Indonesia, Timur Asing, dan Eropa), kecuali bangsa Jepang.

Dengan kata lain, badan-badan peradilan pada masa pendudukan militer Jepang

112

Ibid.

113 Ketentuan tersebut berlaku dengan dikeluarkannya Osamu Serei (Undang Undang)

Nomor 1 tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942. Maka dikeluarkan aturan Peralihan di Jawa dan Madura yang berbunyi: “Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan Undang-undang dari pemerintah zaman dahulu tetap diakui sah buat semenara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer” yang tujuannya agar Hukum Acara yang sebelumnya tetap digunakan. Lihat buku Yesmil Anwar & Adang, Op.cit. hlm. 42. Istilah Kejaksaan juga dipergunakan secara resmi melalui undang-undang tersebut yang kemudian diganti dengan Osamu Seirei No. 3 Tahun 1942 dan No. 2 Tahun 1944.

(44)

37

tidak memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi dan menyidangkan

tersangka maupun terdakwa yang berkewarganegaraan Jepang.115

Berdasarkan Osamu Seirei No. 3 Tahun 1942 Pasal 2, Kejaksaan

(Kensatsu Kyoku) ditugaskan untuk:116

1. menyelidiki kejahatan dan pelanggaran,

2. menurut perkara,

3. menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal,

4. mengurus pekerjaan lain-lain wajib dilakukan menurut hukum.

Periode pendudukan Jepang ini sangat penting dalam sejarah Kejaksaan

Indonesia, karena jaksa dan kejaksaan menjadi berwenang penuh, menggantikan

para Magistrat (Magistraaten), para penuntut umum Belanda (officieren van

justitie) dan badan penuntut umum (Openbaar Ministerie). Sedangkan kepolisian, seperti di Jepang dan di Belanda, merupakan auxiliary agency, dan menurut HIR

1941 bersta

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak etanolik daun Sambung nyawa ( Gynura procumbens (Luor) Merr) pada proliferasi sel kanker payudara tikus yang

Untuk mengikuti Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan bagi Guru Tahun 2018.. Demikian surat izin belajar ini kami buat dan dapat dipergunakan

Pada tahap ini menggunakan obat kemoterapi yang berbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk mencegah leukemia memasuki otak dan sistem saraf

Setelah melalui proses simulasi dan proses pengujian, diketahui bahwa snort dapat mendeteksi setiap serangan dengan membuka paket data serangan, paket data serangan port

Keywords : Partisipasi Pemakai, Kemampuan Tekhnik Personal Sistem Informasi Akuntansi, Dukungan Manajemen Puncak, Program Pelatihan Dan Pendidikan Pemakai

Dengan adanya penelitian tindakan kelas ini, dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan meminimalkan jumlah siswa yang kurang memahami materi bangun ruang, sehingga

Pada objek 3D, nilai kurvatur yang dihitung pada suatu titik harus dilakukan dari segala arah kurva (Gambar 1b). Jumlah kurvatur di titik tersebut tak terhingga,

Ditemukan juga persamaan alasan penerapan pola asuh yang berbeda dari masa kecil ibu.Dalam hal pendidikan anak, kedua partisipan memberika stimulus yang