1
MOTIVASI TURKI DALAM
JAPAN-TURKEY ECONOMIC
PARTNERSHIP AGREEMENT
“TURKEY’S MOTIVATION IN JAPAN-TURKEY ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT”
Oleh:
Muhammad Iqbal Rumodar
20120510314
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
MOTIVASI TURKI DALAM JAPAN TURKEY ECONOMIC
PARTNESRSHIP AGREEMENT
“TURKEY’S MOTIVATION IN JAPAN-TURKEY ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT”
SKRIPSI
Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh :
Muhammad Iqbal Rumodar
20120510314
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi saya ini adalah asli dan belum pernah
diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana baik di Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta ataupun di Perguruan Tinggi lain.
Dalam Skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain—kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan jelas disebutkan nama dan dicantumkan dalam
daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
Yogyakarta, 23 Desember 2016
MOTTO
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika
kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada
kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang
sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang
tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah
kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan
kepada kedua orang tua, Bapak Abdul Kadir Rumodar dan Ibu Markinem. Mohon
maaf karena terlambat menyelesaikan tugas ini. Semoga tetap bisa
membanggakan.
Kepada saudara-saudari, kakak Nur Fitriya Rumodar, Fachrina Ramlah Rumodar,
Taufieq Ramdani Rumodar, terima kasih sudah banyak membantu.
Kepada cah S.E.L.O, Aisyah, Krisna, Haryadi, Danar, Mirza, Nanda, Ria, Rifka,
Iqbal, Anggit, Fiki, Arief, Aik, kalian yang terbaik.
Untuk sahabat-sahabat UMY 2012, Candra, Fadhli, Ninda, Ari, Irfina, Ovi, Bimo,
Danar, Betty (Vidya Candra), terima kasih sudah banyak memberika support.
Terima Kasih atas doa dan dukungannya, tidak akan pernah saya lupakan kalian
5
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr Wb
Alhamdulillahirabbil’Alamiin, puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan hidayah-Nya, serta salawat kepada Rasulullah SAW. Setelah perjuangan
keras dan panjang yang menyita waktu dan pikiran, dengan segala Syukur kepada
Allah SWT, akhirnya penyusunan skripsi berjudul “Motivasi Turki dalam
Japan-Turkey Economic Partnership Agreement”sebagai persyaratan kelulusan demi
mendapat gelar sarjana (S-1) pada jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dapat terselesaikan.
Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelsaian skripsi ini :
1. Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT karena ridho dan rahmat-Nya skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar dan tanpa ada sesuatu hambatan yang berarti, serta salawat kepada Rasulullah SAW.
2. Bapak Drs. Djumadi M. Anwar., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu baik dalam membimbing skripsi sampai tahap penyelesaian skripsi.
3. Bapak Dr. Surwandono, M.Si selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan arahan dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini.
4. Ibu Dra. Mutia Hariati Hussin, M.Si selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. 5. Ibu Dr. Nur Azizah selaku kepala jurusan program studi ilmu hubungan
internasional Universitas Muhammadiyah serta Ibu Siti Muslikhati, S.IP, M.Si selaku sekretaris jurusan program studi ilmu hubungan internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
6 7. Seluruh pegawai administrasi jurusan HI UMY, Pak Jumari, Pak Waluyo, dan
pak Ayub, Pak Nur, yang telah membantu proses administrasi sehingga berjalan lancar.
8. Seluruh anggota keluarga Rumodar yang telah banyak mendukung dan mendoakan sehingga proses penyelesaian berjalan lancar. Mama, Bapak, Kakak, Ina, Opik.
9. Teman-teman HI UMY 2012 yang telah banyak membantu dan menghibur, serta memberi dukungan untuk tetap berjuang menyelesaikan studi penulis. Candra, Fadli, Ari, Ninda, Nanda, Ovi, Irfina, Bimo, Citra, yang telah memberi semangat dan dukungan.
10.Terima kasih kepada seluruh rekan-rekan yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu penulis sampai wisuda.
Mengakhiri kata pengantar ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih
perlu masukan dan saran dari pembaca. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua
pihak serta perkembangan ilmu pengetahuan.
Wassalamu’alaikum Wr Wb
Yogyakarta, 26 Desember 2016
7
1. Kondisi Politik Dalam Negeri 8
2. Kondisi Ekonomi dan Militer 14
3. Konteks Internasional 15
D. Hipotesa 17
E. Metode Penelitian 18
F. Jangkauan Penelitian 18
G. Tujuan Penelitian 18
H. Sistematika Penulisan 19
BAB II 20
Perubahan Politik dan Ekonomi Turki Sejak Pemerintahan Profil Adalet ve Kalkinma
Partisi AKP 20
A. Profil Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) 20
B. Perubahan dalam Bidang Ekonomi Turki pada Pemerintahan Adalet ve Kalkinma
Partisi 28
C. Perubahan Politik Luar Negeri Turki pada Masa Pemerintahan Adalet ve Kalkinma
Partisi (AKP) 36
BAB III 41
Sejarah Perkembangan Hubungan Republik Turki dan Jepang 41
A. Hubungan Turki dan Jepang di awal abad ke-20 42
B. Era Perang Dunia Kedua 43
8
D. Hubungan Turki dan Jepang Setelah Tahun 2000 59
BAB IV 64
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemerintah Turki melakukan Perundingan Kerja sama dengan Jepang dalam Japan-Turkey Economic Partnership Agreement 64
A. Kondisi Ekonomi 64
1. Hubungan Perdagangan Turki dan Jepang 67
2. Investasi Turki dan Jepang 70
B. Politik Dalam Negeri 72
1. Aktor yang mempengaruhi dalam kebijakan Turkey-Japan Economic Partnership
Agreement 73
2. Pengambilan Kebijakan untuk Turkey-Japan Economic Partnership Agreement 76
BAB V 83
Kesimpulan 83
9 DAFTAR BAGAN
Bagan 1. 1 : Skema determinan yang mempengaruhi tindakan politik luar negeri . 8 Bagan 1. 2 : Grafik ekspor dari Jepang ke Turki dan ekspor dari Turki ke Jepang
dari tahun 2009-2015 ... 69 Bagan 1. 3 Investasi Turki dengan Jepang ... 72
BAB I
A. Latar Belakang
Kondisi hubungan internasional dewasa ini banyak dipenuhi oleh isu sosial
dan budaya, lingkungan, serta isu ekonomi. Isu sosial meliputi pemberantasan
perdagangan obat-obatan terlarang, perdagangan manusia, masalah suaka dan
pengungsian, masalah pelanggaran hak asasi manusia dan lain sebagainya. Isu
pemanasan global, perubahan iklim, dan konservasi hewan langka merupakan
masalah yang populer dalam isu lingkungan, karena masalah-masalah tersebut
banyak mendapat perhatian dari masyarakat di dunia yang tergabung dalam
kelompok-kelompok aktivis peduli lingkungan. Selain itu, dalam Isu-isu ekonomi
meliputi masalah ekspor dan impor, upaya negara-negara yang bekerja sama untuk
mengurangi hambatan perdagangan atau free trade, masalah ketergantungan dan
kesenjangan, foreign direct investment (FDI), dan lain sebagainya yang mampu
mempengaruhi politik suatu negara baik itu isu domestik yang politik luar negeri
maupun isu internasional yang mampu mempengaruhi politik dalam negeri.
Salah satu isu kontemporer dalam hubungan internasional adalah kerja
sama internasional. Negara pada umumnya melakukan hubungan kerja sama untuk
meningkatkan kesejahteraan negaranya, salah satu bidang kerja sama untuk
mencapai kesejahteraan dalam negeri adalah dengan menjalin kerja sama ekonomi
dengan negara lain. Kerja sama ekonomi antarnegara bisa berupa kerja sama
ekonomi di dalam suatu organisasi internasional seperti world trade organization,
atau dalam suatu perjanjian antar negara, misal ASEAN-CHINA Free Trade
perjanjian kerja sama ekonomi (economic partnership) atau perjanjian free trade
agreement (FTA) yang sering muncul dewasa ini. Salah satu negara yang
melakukan kerja sama bilateral adalah Jepang, yang telah mengadakan perjanjian
kerja sama ekonomi dengan Indonesia, Thailand, India, Tiongkok, Swiss, Vietnam,
Australia, kemudian dengan beberapa negara lagi yang masih dalam tahap negosiasi
seperti dengan Kanada, Korea Selatan, Kolombia, dan Turki. (Ministry Of Foreign
Affair of Japan, 2015) Hal yang serupa juga dilakukan oleh Republik Turki yang
telah menjalin kerja sama ekonomi melalui perjanjian perdagangan bebas dengan
beberapa negara secara bilateral, seperti perjanjian perdagangan bebas Turki dan
Lebanon yang tinggal menunggu tahap ratifikasi, dan perjanjian perdagangan bebas
Turki dan Suriah yang statusnya saat ini ditunda karena posisi politik luar negeri
pemerintah Turki terhadap rezim Suriah. Serta dengan negara-negara seperti Israel,
Macedonia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Palestina, Maroko, Tunisia, Mesir,
Albania, Georgia, Montenegro, Serbia, Chile, Yordania, Korea Selatan, dan
Mauritius. (Morrison, 2014) Selain itu, Turki juga menjalin kerja sama ekonomi
dengan Jepang. Perlu diketahui Hubungan bilateral antara Turki dengan Jepang
semakin intens sejak dekade terakhir.
Dalam sejarahnya hubungan kedua negara, yaitu Turki dan Jepang) telah
ada sejak abad ke 19 yang pada saat itu Turki masih dalam era kesultanan Ustmani
dan Jepang masih dalam era Meiji. Pada tahun 1890 Sultan Abdulhamid II Ottoman
mengirim sebuah medali dengan kapal yang dipimpin oleh Osman Pasha untuk
Kaisar Meiji Jepang. Dalam perjalanan pulang Kapal Ertuğrul yang membawa
delegasi Turki terjebak dalam badai dan tenggelam di lepas pantai Jepang, awak
diselamatkan. (Çolakoğlu, 2014) Di era modern hubungan kedua negara secara
resmi dimulai pada tahun 1924, yang pada saat itu Jepang membuka kedutaan besar
di Ankara saat Republik Turki baru terbentuk, kemudian Turki membuka kedutaan
besar di Tokyo setahun setelahnya. Namun saat perang dunia II pecah Turki
memutuskan hubungannya dengan Jepang kemudian menyatakan perang melawan
Jepang dan Jerman di tahun 1945. Setelah Perang Dunia II usai, kedua negara
kembali membuka kedutaan besar di masing-masing negara pada tahun 1953 dan
di tahun 1954 Jepang membuka Konsulat Jenderal di Istanbul. (Ministry Of Foreign
Affair of Japan, 2015)
Pada tahun 1985 pemerintah Turki dan Turkish Airlines membantu warga
Jepang untuk meninggalkan Iran saat terjadi perang Iran-Irak. Kemudian
pemerintah di Turki membuat sebuah keputusan untuk mengirim sebuah pesawat
Turkish Airlines ke Teheran untuk mengevakuasi sekitar 200 warga Jepang yang
berisiko terkena serangan udara yang dilakukan oleh Irak, yang saat itu pemerintah
Jepang gagal dalam upaya mengirim pesawat untuk menyelamatkan warga Jepang.
Hal ini menyebabkan respons besar di Jepang dan memperkuat citra Turki sebagai
salah satu aliansi yang dapat diandalkan Jepang. Selain itu, kedua negara juga saling
membantu dalam hal penanggulangan bencana seperti Jepang yang memberikan
bantuan darurat ke Turki ketika negara itu dilanda gempa bumi besar di Izmit pada
tahun 1999 dan di tahun 2011 Vandan Turki memberikan bantuan ke Jepang saat
terjadi gempa Bumi dahsyat pada Maret 2011. (Higashino, 2014)
Sejak dibukanya kedutaan besar di masing-masing negara, hubungan
Turki dan Jepang awalnya berfokus dalam melakukan kerja sama di bidang
(cultural exchange) di masing-masing negara dan dibukanya Turkish-Japanese
foundation culture center di Ankara tahun 1998 oleh Presiden Suleyman Demirel
dan Pangeran serta Putri Tomohito dari Mikasa. Kemudian sejak tahun 2000
pejabat negara dari Turki mulai melakukan kunjungan-kunjungan resmi ke Jepang
dan begitu pun sebaliknya (Ministry Of Foreign Affair of Japan, 2015). Tujuan dari
kunjungan-kunjungan tersebut selain untuk memperkuat hubungan kedua negara
dibidang sosial-budaya juga untuk membahas mengenai peningkatan kerja sama di
bidang ekonomi, yaitu Turki dan Jepang berusaha untuk meningkatkan volume
perdagangan kedua negara yang berada pada angka US $4 miliyar, juga
meningkatkan investasi asing langsung (foreign direct investment) dari Jepang ke
Turki. (Kanan, 2015)
Pada bidang ekonomi pada tahun 1987, Federasi Bisnis Jepang yang
disebut dengan Keidanren mengadakan pertemuan dengan Dewan Hubungan
Ekonomi Luar Negeri Turki (The Foreign Economic Relations Board) untuk
membentuk Japan-Turkey Joint Economic Commitee. Terdiri dari perwakilan
pemerintah, sektor swasta dan akademisi, anggota JTC telah bertemu lebih dari dua
puluh kali sejak awal organisasi. Mereka telah dicapai beberapa kesepakatan dan
beberapa undang-undang.Tujuan dibentuknya komite ini adalah untuk memajukan
dan memperkuat hubungan ekonomi antara Turki dengan Jepang. Kemudian pada
tahun 1992 Jepang dan Turki menandatangani sebuah perjanjian mengenai promosi
timbal balik dan perlindungan investasi, perjanjian ini disebut dengan The
Japan-Turkey Agreement on Investment dan pada tahun 1993 perjanjian ini mulai
diberlakukan. Tujuan dari ditandatanganinya perjanjian ini adalah untuk
perlakuan yang saling menguntungkan baik dalam bidang investasi dan aktivitas
komersial yang berhubungan dengan investasi maupun dalam perlindungan aset
investasi.
Selanjutnya pada tahun 1993 Turki dan Jepang telah menyimpulkan
negosiasi perjanjian untuk Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan
Pengelakan Pajak dengan memperhatikan pada pajak penghasilan. Perjanjian ini
ditandatangani oleh Turki dan Jepang pada tahun 1993 dan mulai diberlakukan pada
tahun 1994. Perjanjian pajak ganda ini adalah kesepakatan rutin yang tidak
membedakan hubungan bilateral antara kedua negara atau karakter hubungan
perdagangan mereka dengan negara lain, tetapi tetap merupakan prasyarat untuk
hubungan ekonomi yang lebih dekat dan dasar untuk kerja sama strategis bilateral.
(Morrison, 2014)
Perundingan dengan Jepang terkait peningkatan kerja sama ekonomi
bilateral ini tampaknya semakin serius dengan dimulainya perundingan untuk
Japan-Turkey Economic Partnership Agreement (EPA). Negosiasi antara
Turki-Jepang tentang EPA telah dimulai sejak Desember 2014. (Kanan, 2015) Dalam
perundingannya, Jepang diwakili oleh Suzuki Toshiro (ketua Perdagangan
internasional & kerja sama ekonomi) dan beberapa perwakilan dari kementrian
lainnya, sedangkan Turki diwakili oleh Murat Yapici (Direktur jenderal bidang
Kerja sama Uni Eropa) dan beberapa perwakilan dari kementrian lain. (Ministry Of
Foreign Affair of Japan, 2015)
Pada perundingan putaran pertama, kedua pihak membahas metode
negosiasi dan lingkup negosiasi seperti perdagangan barang dan jasa. Pada putaran
kekayaan intelektual, perbaikan lingkungan bisnis, belanja pemerintah, Sanitary
and Phytosanitary Measures (SPS), hambatan teknis dalam perdagangan
(Technical Barriers to Trade), perdagangan elektronik, ketenagakerjaan dan
ketentuan umum. Pada perundingan putaran ketiga, kedua pihak membahas
mengenai bidang perdagangan barang, perdagangan bidang jasa, investasi, hak atas
kekayaan intelektual, peningkatan lingkungan bisnis, belanja pemerintah,
perdagangan elektronik, dan aturan-aturan umum, aturan-aturan mengenai asal
barang (rule of origin), prosedur bea cukai, persaingan dan penyelesaian sengketa,
Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS), hambatan teknis dalam perdagangan
(Technical Barriers to Trade), (Ministry Of Foreign Affair of Japan, 2015).
Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) adalah peraturan yang menjamin
bahwa perdagangan barang yang dilakukan telah memenuhi standar kesehatan dan
tidak mengancam kesehatan manusia, hewan dan, tumbuhan. Standar kesehatan
yang ditentukan oleh suatu negara harus berdasarkan penelitian ilmiah dan tidak
bersifat diskriminatif. Sedangkan Technical Barriers to Trade adalah kesepakatan
yang bertujuan untuk memastikan bahwa peraturan teknis, standar, dan prosedur
pemeriksaan bersifat non-diskriminatif dan tidak menciptakan hambatan yang tidak
perlu terhadap perdagangan. (Morrison, 2014)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, penulis
mengangkat rumusan masalah yaitu : Mengapa Turki meningkatkan kerja sama
ekonomi dengan Jepang dalam Japan-Turkey Economic Partnership Agreement
C. Kerangka Berpikir
Teori Pembuatan Kebijakan Luar Negeri
Menurut C. Plano dan Roy Olton, kebijakan luar negeri merupakan strategi
atau rencana tindakan yang diputuskan oleh para pembuat keputusan negara untuk
menghadapi negara lain atau entitas politik internasional lainnya, dan dikendalikan
untuk mencapai tujuan nasionalnya yang spesifik, dituangkan dalam kepentingan
nasional. Kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh suatu negara memang
bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional masyarakat yang diperintahnya,
walaupun kepentingan nasional suatu negara pada saat itu ditentukan oleh pihak
yang berkuasa pada era tersebut. Untuk memenuhi kepentingan nasionalnya,
negara-negara maupun aktor lain dari negara tersebut mengadakan berbagai macam
kerja sama bilateral, trilateral, regional ataupun multilateral (Perwita & Yani,
2005). Dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri menurut William D. Coplin,
mendapat pengaruh dari berbagai pertimbangan tertentu. Menurut William D
Coplin dalam membuat kebijakan luar negeri, para pembuat kebijakan dipengaruhi
oleh tiga pertimbangan yaitu; pertama, kondisi politik dalam negeri, kedua, kondisi
atau kemampuan ekonomi dan militer danketiga, konteks internasional yaitu posisi
Penjelasan dari uraian di atas, oleh William D Coplin dibuatkan model sebagai
berikut.
1. Kondisi Politik Dalam Negeri
Dalam model tersebut, Coplin lebih berfokus pada pengambil keputusan
(decision maker) atau pihak yang berperan utama dalam membuat keputusan dalam
berhubungan dengan negara lain. Menurut Coplin, kebijakan luar negeri mendapat
pengaruh dari kondisi politik dalam negeri, karena adanya interaksi antara pembuat
kebijakan luar negeri dengan aktor atau entitas di dalam negeri yang berupaya
mempengaruhi politik luar negeri. Aktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri
ini disebut “policy influencer”. (Coplin & Marbun, 2003)
Coplin juga menjelaskan Hubungan antara pengambil keputusan dengan
policy influencers terjadi secara timbal balik. Hubungan antara pembuat kebijakan
dengan policy influencers disebut dengan “policy influencer system. Pengambil
keputusan membutuhkan policy influencers karena mereka merupakan sumber
dukungan baginya, dukungan itu berupa kesetiaan angkatan bersenjata, dukungan Politik dalam Bagan 1. 1 : Skema determinan yang mempengaruhi tindakan politik luar negeri
finansial dari para pengusaha, dukungan rakyat dalam pemilu, atau ketidaksudian
rakyat untuk melawan pemerintah. Di sisi lain, policy influencers membutuhkan
pengambil keputusan untuk mempermudah jalan tuntutannya diputuskan sebagai
suatu kebijakan. Apabila tuntutan policy influencers tidak dipenuhi oleh pengambil
keputusan, maka sebagian atau bahkan seluruh dukungan dari policy influencers
kepada pengambil keputusan akan hilang. Pengambil keputusan tidak selalu
menanggapi tuntutan itu secara positif. Tetapi, para pengambil keputusan akan
mengakomodasi sampai batas tertentu untuk bisa mengabaikan tuntutan itu. (Coplin
& Marbun, 2003)
Teori William D Coplin tersebut diperkuat oleh pendapat David Easton
tentang sistem politik. Menurut Easton, Kondisi Politik Dalam Negeri merupakan
gambaran mengenai “dukungan dan tuntutan” yang datang dari warga negaranya
atau oleh Easton disebut dengan input. Input yang berupa tuntutan dan dukungan
tersebut akan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dan selanjutnya akan
membentuk kondisi dalam negeri. Sehingga para pembuat keputusan dapat
mengacu pada kondisi dalam negeri, apakah dukungan dan tuntutan dari aktor-aktor
di dalam negeri sependapat dengan kebijakan yang telah dibuat oleh pembuat
kebijakan. (Budiardjo, 2003)
Terdapat empat aktor politik dalam negeri yang mempengaruhi para
pembuat kebijakan luar negeri (policy influencer) yaitu Birokrat (bureaucratic
influencer), Partai (Partisan influencer), Kelompok Kepentingan (Interest
influencer), dan Massa atau pendapat masyarakat (Mass influencer). Keempat aktor
politik dalam negeri tersebut, yang dikemukakan oleh Coplin, mirip dengan empat
terpilih serta anggota partai, elit administratif atau para birokrat, para elit
kepentingan, dan elit komunikasi. Yang berbeda dari keduanya adalah kategori
partai yang mempengaruhi (Partisan influencer), Coplin membedakan aktor yang
mempengaruhi dengan para pembuat kebijakan sehingga pada kategori partai yang
mempengaruhi kebijakan luar negeri, tidak termasuk para pejabat terpilih seperti
yang dikemukakan oleh Gabriel Almond. Coplin juga menjelaskan bahwa
meskipun perlu dibedakan antara pembuat kebijakan dengan policy influencer,
namun terkadang cukup sulit untuk mengadakan perbedaan itu karena sering kali
satu pihak memainkan dua peran sekaligus. Yaitu peran sebagai policy influencer
dan sebagai pembuat kebijakan, terutama dalam birokrasi politik luar negeri.
(Coplin & Marbun, 2003)
a. Birokrat yang Mempengaruhi (bureaucratic influencer)
Birokrat yang mempengaruhi atau bureaucratic influencer merupakan
kategori policy influencer yang ada di setiap negara. Birokrat ini sendiri merupakan
organisasi-organisasi yang berskala luas sebagai bagian dari lembaga eksekutif
yang biasanya tersusun berdasarkan posisi-posisi fungsional dalam
kebijakan-kebijakan ekonomi, politik luar negeri, maupun kesejahteraan sosial. Coplin
menggunakan istilah bureaucratic influencer sebagai rujukan terhadap
individu-individu dan organisasi-organisasi dalam lembaga eksekutif pemerintah yang
berperan dalam membantu para pembuat kebijakan dalam menyusun maupun
melaksanakan kebijakan-kebijakan. (Coplin & Marbun, 2003)
Terkadang anggota birokrasi juga memainkan peran sebagai pembuat
kebijakan sehingga sulit untuk membuat pembeda antara birokrasi yang bertindak
tersebutlah yang membuat birokrasi menjadi kelompok yang begitu berpengaruh
dalam proses pembuatan kebijakan. Para birokrasi tersebut mempunyai akses
langsung kepada para pembuat kebijakan, yaitu mereka menyalurkan informasi
kepada para pembuat kebijakan dan kemudian melaksanakan kebijakan yang
dikeluarkan oleh pembuat kebijakan itu, dan dalam banyak kasus para birokrat ini
tidak secara terbuka menolak kebijakan-kebijakan yang dibuat. (Coplin & Marbun,
2003)
Kelompok birokrasi bertindak di belakang layar dengan memberikan
informasi-informasi untuk mengambil kebijakan dan kemudian digunakan sebagai
instrumen untuk melaksanakan kebijakan itu. Pengaruh birokrasi dalam
pengambilan kebijakan ditentukan oleh tingkat kepercayaan kelompok birokrasi
terhadap pengambil kebijakan, sehingga dukungan dari rakyat tidak begitu
diperhitungkan oleh birokrat dalam mempengaruhi kebijakan. (Coplin & Marbun,
2003)
b. Partai yang Mempengaruhi (Partisan influencer)
Partai yang mempengaruhi kebijakan atau Partisan influencer adalah
kategori policy influencer yang bertindak untuk menerjemahkan tuntutan publik
menjadi tuntutan politis yang kemudian disampaikan kepada para pembuat
kebijakan terkait dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Policy influencer
kategori ini berupaya untuk mempengaruhi kebijakan dengan cara menekan pihak
pihak yang berkuasa di pemerintahan dan dengan menyediakan kader-kader yang
mampu berperan dalam pembuatan kebijakan. Partisan influencer juga sering
berfungsi sebagai informasi dua arah antara para pembuat kebijakan dengan
influencer memainkan peran yang terbatas dalam memengaruhi kebijakan luar
negeri satu negara. Alasan utamanya adalah karena Partisan influencer lebih
cenderung untuk memperhatikan keadaan politik dalam negeri dibandingkan politik
luar negeri. isu yang sering diperhatikan oleh partisan influencer biasanya
merupakan isu keamanan nasional, imigrasi, dan bantuan luar negeri. meski
demikian, pembuat keputusan membutuhkan dukungan dari kelompok ini demi
memelihara rezim. (Coplin & Marbun, 2003)
c. Kepentingan yang Mempengaruhi (Interest influencer)
Kelompok kepentingan yang mempengaruhi atau Interest influencer
adalah sekelompok orang yang bergabung atas dasar serangkaian kesamaan
kepentingan yang cakupan kepentingan tersebut tidak luas sehingga tak sama
dengan aktivitas kelompok partai, dan dalam banyak hal kepentingan tersebut
bersifat ekonomis. Interest influencer biasanya memainkan peranan yang besar
karena banyak organisasi dan kelompok-kelompok informal dari berbagai macam
kepentingan, baik ekonomis maupun non-ekonomis, mempunyai sumber finansial
yang besar sehingga mampu mempengaruhi para pembuat kebijakan, terutama
dalam negara yang menerapkan sistem demokrasi di negaranya. (Coplin & Marbun,
2003)
Interest influencer menggunakan beberapa cara untuk membentuk
dukungan atas kepentingan mereka, biasanya dengan melakukan orasi atau
kampanye yang ditujukan baik kepada birokrasi, kelompok partai, maupun kepada
pembuat kebijakan. Selain itu, kelompok ini dapat menjanjikan dukung finansial
atau mengancam akan menarik dukungan finansialnya. Terkadang kelompok ini
kepentingannya yang kemudian bisa menekan pengambil kebijakan. (Coplin &
Marbun, 2003)
d. Massa yang Mempengaruhi (Mass influencer)
Massa yang mempengaruhi atau Mass influencer yang dimaksudkan oleh
Coplin adalah opini publik yang mengacu pada iklim opini yang berkembang dalam
masyarakat yang menjadi pertimbangan bagi para pembuat kebijakan dalam
membuat kebijakan luar negeri. Dalam negara demokrasi, para pembuat kebijakan
memerlukan Mass influencer atau massa karena peran mereka dalam pemilihan
umum. Para pembuat kebijakan merumuskan berbagai keputusan dengan
memperhitungkan dampak yang timbul terhadap opini publik dan di pemilihan
umum berikutnya. (Coplin & Marbun, 2003)
Namun Coplin menjelaskan bahwa, dengan memperhitungkan opini
publik bukan berarti bahwa para pembuat kebijakan dikendalikan oleh opini massa
atau Mass influencer tersebut. Dalam beberapa kasus, para pembuat kebijakan
menggunakan peluang untuk memanipulasi opini publik untuk mendukung
kebijakan yang mereka buat. Walaupun masyarakat dapat dengan mudah
mengakses informasi, tapi jarang dari mereka yang menyaring informasi yang
mereka peroleh. Serta, walaupun masyarakat mampu menyaring informasi yang
diperoleh, sebagian dari masyarakat tersebut tidak memiliki kemampuan dalam
memberikan arahan yang baik kepada para pembuat kebijakan politik luar negeri.
Dalam sebagian kasus, opini publik digunakan oleh pas pembuat kebijakan untuk
merasionalisasikan atau membenarkan tindakan-tindakan politik luar negeri yang
dibuat dan bukan menggunakan opini publik sebagai penentu kebijakan. Pembuat
menjelang pemilihan umum, sehingga para pembuat kebijakan memperhatikan
dampak suatu kebijakan terhadap opini publik dan pada pemilu yang akan datang.
(Coplin & Marbun, 2003)
2. Kondisi Ekonomi dan Militer
Dari segi kondisi ekonomi dan militer, menurut Coplin setiap negara
patutnya memperhatikan kemampuan dan kondisi ekonomi ataupun militernya agar
dapat mewujudkan tujuan dari kebijakan luar negerinya. Dari segi ekonomi, sektor
kapasitas produksi barang dan jasa serta kebergantungan suatu negara pada
perdagangan dan finansial internasional menjadi aspek yang perlu diperhatikan.
(Coplin & Marbun, 2003)
Turki telah berhasil meningkatkan perekonomiannya sejak krisis yang
melanda Turki di tahun 2000-2001 dengan melakukan perubahan kebijakan
keuangan. Sejak AKP berkuasa di Turki, pemerintah Turki berusaha melaksanakan
liberalisasi ekonomi, peningkatan investasi asing. (Alfan, 2015) Setelah
diberlakukannya kebijakan yang memfokuskan pada ekspor, aktivitas ekspor
menjadi hal yang penting bagi Turki. Sehingga muncul kemajuan terutama di sektor
industri pangan, automobile, besi, dan tekstil. (ISPAT, 2014) Dibalik pertumbuhan
ekonominya, angka pengangguran di Turki cukup tinggi, menurut laporan dari
Turkish Statistics Institute (TurkStat) pengangguran di Turki terus meningkat, di
awal tahun 2012 angka pengangguran mencapai 8,2% dari total populasi Turki, dan
di akhir tahun 2013 mencapai 9,10%. kenaikan angka pengangguran diikuti dengan
penurunan jumlah investasi yang masuk ke Turki. Dari 16,1 Miliar USD (tahun
2011), menjadi 13,2 Miliar USD (tahun 2012), dan turun lagi menjadi 12,4 Miliar
dikatakan bahwa perdagangan internasional dan investasi asing merupakan hal
yang penting bagi Turki, sehingga pemerintah Turki berusaha untuk meningkatkan
perdagangan internasionalnya dan aliran masuk investasi asing ke Turki.
3. Konteks Internasional
Selanjutnya menurut Coplin, faktor yang memengaruhi kebijakan luar
negeri adalah konteks internasional. Pada dasarnya para peneliti hubungan
internasional percaya bahwa konteks internasional, sering disebut juga sistem
internasional, mampu mempengaruhi perilaku suatu negara. Perubahan tatanan
dunia pasca Perang Dingin, yaitu saat negara-negara di dunia mulai berfokus pada
pembangunan ekonomi negaranya, membawa dampak yang bagi perilaku suatu
negara dengan negara lain. (Coplin & Marbun, 2003)
Menurut penjelasan Coplin, ada tiga elemen penting yang berkaitan
dengan dampak konteks internasional terhadap politik atau kebijakan luar negeri
suatu negara. Ketiga faktor itu adalah faktor geografis, ekonomi, dan politik. Selain
itu Coplin juga menjelaskan bahwa konteks internasional suatu negara meliputi
lokasi yang ditempati negara tersebut, dalam kaitannya dengan negara-negara lain
di dalam sistem tersebut, dan berbagai hubungan ekonomi dan politik yang dimiliki
negara tersebut dengan negara lain. (Coplin & Marbun, 2003)
Pada umumnya, faktor geografis yang memainkan peran penting dalam
kebijakan luar negeri suatu negara. Karena kerja sama regionalisme terjadi akibat
faktor geografis yang dimiliki sekelompok negara. Faktor yang tidak kalah penting
lainnya adalah faktor hubungan ekonomi. Arus pertukaran barang dan jasa serta
arus modal dinilai mampu membuat suatu negara bergantung pada negara lain atau
negara lain juga turut berperan dalam kebijakan luar negeri suatu negara. Hubungan
politik antarnegara ini yang berperan dalam aliansi antarnegara, serta hubungan
perang dan damai. (Coplin & Marbun, 2003)
Di era yang sekarang ini, banyak negara-negara yang menjalin hubungan
satu sama lain yang bersifat kerja sama. Kerja sama antarnegara dilakukan untuk
mencari solusi dari suatu masalah kolektif maupun untuk meningkatkan
kesejahteraan di masing-masing negara. Setidaknya dengan melakukan kerja sama
internasional, setiap negara berusaha untuk mencari solusi dari dua tipe masalah.
Tipe pertama terkait dengan keadaan di lingkungan internasional yang jika tidak
dicari solusinya maka akan memberikan kerugian bagi negara-negara yang terlibat,
misalnya masalah imigran gelap, peredaran narkoba, dan perdagangan manusia.
Tipe yang kedua yaitu masalah yang membawa konsekuensi secara luas terhadap
lingkungan internasional sehingga dianggap sebagai permasalahan yang menjadi
tanggung jawab bersama. Isu-isu pada tipe kedua ini sering dibahas dalam forum
kerja sama multilateral. (Coplin & Marbun, 2003)
Coplin menjelaskan, terdapat dua anggapan yang mendasari terjadinya
kerja sama antarnegara. Yang pertama adalah anggapan bahwa suatu masalah tidak
dapat diselesaikan jika tidak dilakukan kerja sama, dengan kata lain perlu ada kerja
sama antarnegara untuk menyelesaikan suatu masalah. Anggapan yang kedua
adalah bahwa penyatuan sumber daya akan mampu meniadakan kerugian berlebih,
akibat dari usaha yang sia-sia, dan mampu meningkatkan efisiensi dari suatu
pelaksanaan pekerjaan negara dalam bidang apapun. Terbatasnya sumber daya,
seperti tenaga kerja dan pendidik yang terampil, modal, dan bahan mentah, dapat
ekonomi, banyak kerja sama antarnegara yang berusaha memajukan pertumbuhan
ekonomi di negaranya masing-masing dengan memperhatikan peningkatan
perdagangan, pengaturan pasar, dan stabilitas kondisi finansial internasional.
Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dibuat selain untuk meningkatkan
perdagangan, juga untuk memperbaiki kondisi ekonomi secara umum dengan
meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja. (Coplin & Marbun, 2003)
D. Hipotesa
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di
atas, penulis munculkan hipotesa dari rumusan masalah “mengapa Turki
meningkatkan kerja sama ekonomi dengan Jepang dalam Japan-Turkey Economic
Partnership Agreement (EPA)? “ adalah :
1. Karena Turki berusaha meningkatkan perdagangan internasional dan
investasi asing dengan Jepang.
2. Karena Turki mendapat pengaruh dari Kementrian Ekonomi Turki untuk
meningkatkan kerja sama dalam Economic Partnership Agreemnet.
E. Metode Penelitian
Penulis melengkapi data dengan menggunakan metode studi pustaka yaitu
dengan menghimpun data sekunder yang memuat informasi-informasi yang
berkaitan dengan topik penelitian (rumusan masalah), seperti buku-buku, media
massa cetak maupun elektronik (online), dan sumber-sumber lain yang tepercaya.
F. Jangkauan Penelitian
Untuk memudahkan penelitian, penulis membatasi jangka waktu antara
beberapa pembahasan penulis akan menyajikan data di luar jangka waktu penelitian
tersebut, yang sekiranya perlu untuk dibahas.
G. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor atau penyebab yang
mendorong pemerintah Turki dalam memulai kerja sama ekonomi bilateral
dengan Jepang, dengan menggunakan Teori pembuatan kebijakan luar negeri
milik William D. Coplin.
Penelitian ini juga bertujuan untuk menambah bahan bacaan yang berkaitan
dengan politik luar negeri Turki dan secara spesifik membahas tentang
hubungan Turki dan Jepang dalam Japan-Turkey Economic Partnership
Agreement
H. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan
masalah, kerangka teori yang digunakan, hipotesa, metode
penelitian, jangkauan penelitian dan tujuan penelitian.
Bab II : Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang perkembangan
ekonomi dan politik Turki sejak pemerintahan AKP, yang akan
membahas mengenai profil partai AKP, Inovasi kebijakan-kebijakan
dalam hal ekonomi dan politik luar negeri Turki.
Bab III : Pada bab ini akan membahas sejarah dan dinamika perkembangan
hubungan bilateral Jepang dan Turki. Bab ini akan dikaji dalam
Dunia II, pada masa setelah Perang Dunia II, serta pada masa setelah
tahun 2000.
Bab VI : Pada bab ini penulis akan menjelaskan sistem pengambilan
keputusan di Pemerintahan Turki, selanjutnya akan membahas
faktor-faktor yang mendorong pemerintah Turki dalam memulai
perjanjian kerja sama ekonomi dengan Jepang.
Bab V : Pada bab ini berisi kesimpulan dan ringkasan singkat dari uraian
BAB II
Perubahan Politik dan Ekonomi Turki Sejak Pemerintahan Profil Adalet ve
Kalkinma Partisi AKP
A. Profil Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP)
Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) merupakan hasil bentukan dari
partai-partai basis Islam terdahulu yang dulunya dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi
Turki. Partai-partai Islam pada era awal berdirinya Republik Turki mendapat
tekanan dari pemerintah dan sulit untuk tampil dalam kancah politik Turki. Namun,
sejak tahun 1961 dengan adanya konstitusi baru yang lebih liberal, memberikan
sedikit ruang kebebasan untuk berpendapat bagi kelompok keagamaan untuk
mengemukakan pendapat. Dalam situasi yang tampaknya lebih bersahabat ini,
memberikan kesempatan bagi kelompok Islamis untuk mendirikan partai
berorientasi islam di Turki. Partai basis Islam yang dibentuk pada masa itu adalah
partai Islam pimpinan Necmettin Erbakan, yaitu Partai Tatanan Nasional (Milli
Nizam Partisi, disingkat MNP) yang dibentuk pada tahun 1969. Namun tidak
berselang lama, partai tersebut dibubarkan oleh mahkamah konstitusi Turki atas
dasar pertimbangan “menggunakan nilai agama sebagai tujuan politiknya”, yang
dianggap bertentangan dengan ide sekularisme yang dianut oleh Republik Turki.
Sehingga elit-elit sekuler Turki menolak untuk memberikan kebebasan berpolitik
bagi masyarakat yang terinspirasi dan mendukung nilai-nilai Islam. (Erdogan,
1999)
Militer yang berusaha menegakkan ideologi sekuler yang tercantum dalam
Turki. Namun partai yang berhaluan Islam tidak dihilangkan melainkan
diperbolehkan untuk beraktivitas atau dengan kata lain kelompok-kelompok Islam
ditekan aktivitas politiknya oleh pemerintah militer. Hal ini dikarenakan militer
berusaha membendung perkembangan paham komunisme di era perang dingin.
Partai Islamis baru mendapat pengawasan yang sangat ketat pada saat memanasnya
isu “anti-sekularisme” di Turki tahun 1997 dan sempat dibubarkan pada tahun
1998. (Alfan, 2015)
Aksi militer yang mengambil alih pemerintahan ditandai dengan kudeta 28
Februari 1997 yang sering disebut dengan “Proses Februari 1997 atau kudeta Post
modern”, dan dari kudeta Februari 1997 tersebut militer mengajukan memorandum
kepada parlemen yang tujuannya untuk memastikan bahwa ideologi sekularisme
ditegakkan, negara mengontrol pendidikan Islam, pelarangan penggunaan fasilitas
keagamaan untuk maksud politik, dikendalikannya kelompok media yang
menentang militer, mantan anggota militer yang pernah menentang sekularisme
tidak diizinkan untuk bekerja di birokrasi pemerintahan atau sektor swasta
manapun, pencegahan pengaruh ekstrimis ke dalam tubuh militer, perguruan tinggi,
peradilan, dan birokrasi, penyelesaian masalah politik di Turki bukan berdasar pada
komunitas agama. (Alfan, 2015) Tekanan-tekanan tersebut membuat partai Islam
harus dibubarkan serta menghasilkan respon dari para politisi Islamis yang
berusaha untuk tetap eksis di kancah perpolitikan Turki.
Setelah partai berorientasi Islam dibubarkan, para aktivis partai (elit
Partai) tersebut kemudian membentuk partai Kebaikan (dalam bahasa Turki disebut
dengan Fazilet Partisi, FP) tahun 1998 yang di dalamnya terpecah menjadi dua
politik Erbakan, para tradisionalis, dan faksi kedua adalah mereka yang kontra
dengan faksi tradisionalis dan memilih pemikiran politik yang realistis yang dapat
menguntungkan, yaitu faksi reformis. (Alfan, 2015) Faksi tradisionalis, yang
dipimpin oleh Recai Kutan, lebih mendominasi dalam kepengurusan partai
sehingga faksi reformis, yang dipimpin Abdullah Gul, terpinggirkan dari partai ini.
Perseteruan antara faksi tradisionalis dan faksi reformis mencapai puncaknya pada
pasca-kongres I FP di bulan Mei 2000, saat Abdullah Gul dikalahkan Kutan,
kemudian Abdullah Gul dilaporkan ke komisi disiplin partai dengan alasan telah
mengadakan pertemuan dengan Deniz Baykal, pemimpin CHP. (Alfan, 2015) Satu
tahun kemudian, yakni pada Juni 2001, Fazilet Partisi dibubarkan pemerintah
dengan alasan bahwa partai ini anti-sekuler. Kedua faksi dalam FP, faksi
tradisionalis dan faksi reformis, memutuskan untuk berpisah dan menempuh jalan
politik masing-masing. Faksi tradisionalis yang dipimpin Kutan membentuk Partai
Kebahagiaan (Saadet Partisi, SP), sedangkan faksi reformis yang dipimpin
Abdullah Gul memilih bergabung dengan Recep Tayyip Erdogan dan membentuk
partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma Partisi, AKP). (Alfan,
2015)
Setelah dibubarkan, pecahan dari partai Islamis muncul lagi untuk
mengikuti pemilu tahun 2002. Pecahan dari partai Islamis yang “mendadak
populer” adalah Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) yang berhasil menang telak pada
pemilu 2002. Penyebabnya adalah kandidat-kandidat AKP yang populer di
masyarakat dan ideologi partai yang moderat dengan mendukung pasar bebas,
demokrasi-konservatif, menekankan nilai-nilai tradisional Turki-religius, pro-Uni
masyarakat kecewa dengan pemerintahan sekuler karena mereka dinilai tidak bisa
mengatasi masalah krisis ekonomi tersebut, sehingga masyarakat beralih pada AKP
yang punya figur berprestasi dalam membangun kota Istanbul. (Alfan, 2015)
Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) oleh masyarakat luar dianggap sebagai
partai yang berhaluan Islam dan berorientasi pada nilai-nilai ajaran Islam.
Anggapan ini muncul di tengah masyarakat luas karena AKP merupakan
“keturunan” dari partai Islam di masa lalu, yang mana para pembentuk partai ini
adalah pengikut dari ide-ide Necmettin Erbakan. Seorang peneliti dari Cambridge
University, M. Hakan Yavuz melakukan studi pada partai ini mengatakan bahwa di
dalam AKP terdapat dua haluan ideologis yaitu haluan Turki-Islam dan haluan
Islam-Turki. Haluan Turki-Islam lebih mendorong persaudaraan politik dan rasa
nasionalisme daripada rasa persaudaraan yang berdasar sesama muslim, tapi tetap
menganggap bahwa Islam adalah asas yang penting bagi kebudayaan Turki.
Sedangkan haluan Islam-Turki lebih mendorong persaudaraan Islam, baru
kemudian rasa persaudaraan nasionalisme. Bagi haluan Islam-Turki kebudayaan
dan identitas bangsa merupakan cerminan dari nilai-nilai Islam era Dinasti
Ustmaniyah, dan haluan ini memiliki keraguan terhadap ideologi kemalisme yang
diterapkan di Turki. (Alfan, 2015)
Meskipun banyak yang menganggap bahwa partai ini adalah partai
berorientasi Islam, dari pihak partai ini sendiri malah menolak diklasifikasikan
sebagai partai berorientasi Islam. Dokumen-dokumen resmi dan pidato-pidato para
petinggi partai yang menekankan bahwa Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) adalah
partai demokrat-konservatif dan bukan partai Islam. Salah satu contoh pidato kader
Partai Islam, ungkapan yang disampaikan oleh Erdoğan yang mengatakan bahwa
AKP bukan partai Islamis melainkan partai demokrat-konservatif. (Taşpınar, 2012)
Selain itu, pidato dari Hüseyin Çelik yang dalam pidatonya mengkritik media barat
yang dalam mendeskripsikan AKP selalu menggunakan kata-kata “partai Islam”,
“Islamis”, “berbasis Islam” dan sebagainya, Celik juga menekankan dalam
pidatonya bahwa AKP adalah partai Demokrat-Konservatif yang menekankan
nilai-nilai moral dan sosial. (Hürriyet Daily News, 2010)
Dengan adanya pernyataan dari para elit-elit Adalet ve Kalkinma Partisi
(AKP) yang menyatakan bahwa Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) merupakan
partai demokrat-konserfatif yang menjunjung tinggi nilai moral dan sosial, serta
bukan merupakan partai berorientasi Islam, tentu terdapat perbedaan dengan
partai-partai “induk” yang dulunya adalah partai-partai tempat para elit AKP berlaga dalam ranah
politik di Turki. Perbedaan-perbedaan tersebut lebih cenderung bersifat
transformatif, yaitu Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) menjadi berbeda setelah para
elitnya mendapat berbagai pengalaman dalam berpolitik di dalam partai-partai
induk yang terdahulu. Partai-partai induk tersebut misalnya adalah Partai
Kesejahteraan (PK) atau dalam bahasa Turki disebut Refah Patisi (RP) dan partai
Kebaikan (dalam bahasa Turki disebut dengan Fazilet Partisi, FP). (Alfian, 2015)
Menurut Ziya Öniş perbedaan-perbedaan antara Adalet ve Kalkinma
Partisi (AKP), Refah Patisi (RP), dan Fazilet Partisi (FP) terlihat dalam beberapa
aspek. Aspek-aspek tersebut adalah aspek peran ekonomi negara, aspek
demokratisasi, Nasionalisme, Nilai keagamaan dan nilai moral, Sentralisasi dan
Pemerintahan lokal, Orientasi kebijakan luar negeri, dan gaya berpolitik. (Öniş,
Pada Aspek peran ekonomi negara Refah Partisi (RP) sangat menekankan
peran negara dalam perekonomian seperti meredistribusikan ekonomi, selain itu
pemerintah juga harus memiliki peran aktif dalam memberikan subsidi dalam
pembangunan industri. Menurut partai ini, privatisasi tidak ditekankan. Menurut
Fazilet Partisi (FP) dalam aspek peran ekonomi negara terdapat beberapa acuan
dalam peran negara untuk mendistribusikan perekonomian, lebih menekankan pada
persaingan atau kompetisi pasar, dan yakin pada kekuatan pasar dan privatisasi.
Sedangkan menurut Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) perekonomian negara harus
sejalan dengan nilai-nilai ekonomi liberal, menekankan investasi asing, mendukung
privatisasi dan regulasi ekonomi pasar yang tepat, mempertimbangkan keadilan
sosial, menyediakan layanan sosial dalam batasan anggaran belanja yang sesuai
dengan program IMF. (Öniş, 2006)
Dalam aspek demokratisasi, menurut Refah Partisi (RP) hak-hak individu
atau perseorangan tidak dipertimbangkan, partai ini sangat menekankan hak-hak
sosial dan adanya kebebasan melakukan praktik-praktik keagamaan. Menurut
Fazilet Partisi (FP) hak-hak individu dan hak asasi manusia sangat ditekankan,
sebagai bagian dari hak berdemokrasi terutama dalam lingkup menjalankan
praktik-praktik keagamaan. Sedangkan menurut Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP)
konsolidasi demokratik sangat ditekankan dengan adanya perbaikan-perbaikan
secara terus-menerus dalam bidang hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga sipil,
adanya keterlibatan yang kuat dari masyarakat madani, dan sesekali
mempertimbangkan kebebasan beragama. (Öniş, 2006)
Dalam aspek nasionalisme, Refah Partisi (RP) sangat besar rasa
pemimpin bagi dunia Islam. Sedangkan Fazilet Partisi (FP) tidak begitu
menonjolkan rasa nasionalisme. Dan Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) sangat
kosmopolitan dalam cara berpandang, elemen-elemen nasionalistis agak
diredupkan. (Öniş, 2006)
Dari segi agama dan nilai moral, Refah Partisi (RP) sangat kuat dalam
menonjolkan nilai keagamaan. Partai ini secara spesifik membuat garis besar
rekomendasi-rekomendasi yang secara khusus mengambil referensi dari nilai-nilai
dan ajaran Islam. Hal tersebut yang menjadikan pembeda atau karakteristik utama
dari program-program Refah Partisi (RP). Sedangkan Fazilet Partisi (FP)
menekankan prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai moral meskipun tidak secara
eksplisit menyebutkan referensi dari Islam atau nilai-nilai Islam. Partai ini, Fazilet
Partisi (FP), mendorong adanya kebebasan beragama sebagai bagian dari agenda
hak-hak individu dan demokratisasi yang lebih luas. Sedangkan Adalet ve Kalkinma
Partisi (AKP) menggunakan aturan-aturan dari sekularisme sebagai titik
dasar-dasar referensi. Prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai moral dianggap sebagai norma
sosial yang berkembang secara luas di kalangan masyarakat Turki dan bukan secara
spesifik menekankan pada nilai-nilai Islam. Partai ini juga beranggapan bahwa
kebebasan beragama merupakan program yang lebih luas dari demokratisasi. (Öniş,
2006)
Dari segi bentuk pemerintahan sentralisasi dan desentralisasi/pemerintah
lokal, Refah Partisi (RP) menekankan adanya peran aktif dari pemerintah pusat dan
sangat sedikit mengacu pada pemerintahan di bawahnya atau pemerintah lokal.
Sedangkan Menurut Fazilet Partisi (FP), perlu diterapkannya desentralisasi dan
ve Kalkinma Partisi (AKP), senada dengan Refah Partisi, sangat menekankan pada
desentralisasi dan kapasitas pembuatan kebijakan dari pemerintah-pemerintah
lokal. (Öniş, 2006)
Dalam aspek orientasi kebijakan luar negeri, Refah Partisi (RP) sangat
anti-Barat dan anti-Uni Eropa, serta dengan keras menolak keberadaan Israel dan
berusaha menjalin hubungan yang lebih dengan dengan dunia Islam. Sedangkan
Fazilet Partisi (FP) lebih tertarik pada kebijakan luar negeri dengan pendekatan
yang aktif dan seimbang, menolak sikap-sikap yang anti terhadap barat maupun
anti-Uni Eropa, dan tidak secara eksplisit atau terang-terangan merujuk kepada
negara-negara muslim. Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) memiliki sikap yang saga
berbeda, partai ini (Adalet ve Kalkinma Partisi, AKP) menyatakan sangat pro-Barat
dan Pro-Uni Eropa dan memiliki komitmen penuh dan kuat untuk menjadi anggota
Uni Eropa, bersikap terbuka dalam menyetujui penyelesaian masalah pada isu-isu
luar negeri yang dianggap penting, misalnya kasus Siprus, serta mengikuti
pendekatan yang seimbang terhadap negara-negara Timur Tengah. (Öniş, 2006)
Dalam gaya berpolitik partai-partai tersebut juga memiliki ciri khas asing
asing. Refah Partisi (RP) memiliki gaya berpolitik yang agresif, asertif atau tegas,
dan percaya diri, serta, partai ini sering kali menggunakan retorika-retorika populis.
Sedangkan gaya berpolitik Fazilet Partisi (FP) cenderung lebih defensif dan lebih
tenang. Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) memiliki gaya berpolitik yang lebih
menekankan pada berdialog dan membangun konsensus, cenderung mengatakan
partainya sebagai ‘Demokrat Konservatif’ dan mendefinisikan partainya secara
B. Perubahan dalam Bidang Ekonomi Turki pada Pemerintahan Adalet ve
Kalkinma Partisi
Sebelum Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) menang dalam pemilihan
umum tahun 2002, kondisi ekonomi Turki sedang mengalami krisis ekonomi.
Krisis ekonomi itu disebut sebagai krisis ekonomi terbesar dalam sejarah Republik
Turki jika dibandingkan dengan krisis ekonomi lainnya yang pernah melanda Turki.
Setidaknya telah terjadi tiga kali krisis ekonomi dalam sejarah Republik Turki yaitu
yang pertama pada tahun 1930, 1970, dan tahun 2000. Akibat dari terjadinya
gejolak politik yang tidak stabil di Turki pada masa awal pembentukan Republik
Turki, perekonomian Turki juga terkena dampaknya. (Onder, 1990) Pemerintah
Turki selama awal 1930-an melakukan pemulihan ekonomi dan menyusun doktrin
yang dikenal sebagai etatism, yaitu industrialisasi yang dipimpin negara dan
menerapkan perekonomian tertutup. Namun perkembangan ekonomi Republik
Turki, sejak berdirinya tahun 1923, berjalan lambat dan stagnan pada akhir
1940-an akibat per1940-ang dunia II. (Onder, 1990) Kemudi1940-an Pada tahun 1970 Turki dil1940-anda
krisis ekonomi yang pada saat itu pemerintah Turki gagal mengambil tindakan yang
memadai untuk menghadapi efek dari kenaikan harga minyak dunia di tahun
1973-1974 yang membuat pemerintah melakukan pinjaman jangka pendek dari kreditur
asing, yang berakibat pada kudeta militer di tahun 1971. Dan pada tahun 1979,
krisis semakin memuncak, angka pengangguran meningkat, dan perindustrian tidak
berproduksi secara maksimal. (Onder, 1990)
Krisis moneter yang pernah melanda berbagai negara mulai tahun 1998,
mulai melanda Turki pada tahun 2000-2001. Pemerintah Turki saat itu dipandang
mengatasi praktik korupsi di dalam pemerintahan. Pemerintahan sekuler yang
dipimpin oleh Ecevit tidak mampu mengeluarkan Turki dari krisis ekonomi pada
November 2000 yang kemudian bertambah parah dengan adanya krisis ekonomi
pada Februari 2001. (Alfan, 2015) Krisis tersebut merupakan krisis ekonomi
terparah dalam sejarah Turki yang ditandai dengan produk nasional bruto (Gross
National Product, GNP) menurun sebanyak 9,4%, selain itu pendapatan per kapita
anjlok dari 2.986 USD menjadi 2.110 USD per tahun. Krisis ekonomi tersebut juga
menyebabkan pengangguran, banyak perusahaan skala kecil menjadi bangkrut,
yang menjadikan krisis ekonomi ini dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat
Turki. (Alfan, 2015) Selain itu, Krisis ekonomi yang terjadi di Turki tahun
2000-2001 juga membawa dampak yang sangat dramatis yang ditandai dengan
penurunan ekonomi secara struktural yang tidak dapat dikendalikan, terutama di
sektor perbankan umum yang merupakan salah satu pendorong dalam menambah
likuiditas dalam sistem ekonomi Turki. Kemudian sektor-sektor yang baru terkena
dampak dari krisis ekonomi tahun 2001 ini adalah seluruh lapisan masyarakat
Turki, orang-orang kaya maupun orang miskin, orang-orang bersekolah maupun
yang tidak sekolah, semuanya merasakan dampak negatif dari krisis tersebut.
Terjadi pengangguran yang terus meningkat disertai kebangkrutan yang terjadi
secara meluas, terutama bagi sektor usaha kecil-menengah. Sektor perbankan
merasakan dampak krisis secara drastis dan harus melakukan pengurangan jumlah
yang besar dari karyawannya. Bahkan para konglomerat merasakan terjadinya
pengurangan dari penghasilan keuntungan yang didapatkan akibat krisis 2001 ini.
Krisis ekonomi yang melanda Turki tersebut mulai dapat selesaikan sejak
kemenangan AKP. Setelah berhasil memenangkan pemilihan umum di tahun 2002
dan menjadi partai dominan dalam pemerintahan Turki, pemerintahan AKP
membuat kebijakan yang sarat dengan nilai-nilai perubahan atau kebijakan reformis
yang bertujuan untuk secara signifikan meningkatkan komitmen terhadap upaya
pemerintah dalam menjaga kestabilan fiskal untuk jangka panjang dan mereformasi
kebijakan politik terkait hubungan dengan Uni Eropa. (Öniş, 2009)
Kebijakan-kebijakan yang bersifat reformis ini digagas oleh Uni Eropa dan International
Monetary Fund (IMF), pada dasarnya didukung oleh kelompok-kelompok bisnis
dari dalam negeri, baik itu konglomerat atau kelompok bisnis berskala besar
maupun kelompok bisnis berskala menengah dan kecil. Bagi kelompok-kelompok
bisnis ini, adanya kombinasi dalam perubahan politik dan ekonomi mampu
membentuk peraturan-peraturan yang berdasarkan pada aturan dasar ekonomi yang
mampu mengatasi ketidakseimbangan dan buruknya acuan dalam pembangunan
pada era sebelumnya, yaitu kesuksesan perekonomiannya sangat bergantung pada
hubungan politik yang bersifat patron-klien dan adanya dukungan dari pemerintah.
(Öniş, 2009)
IMF telah terlibat dengan manajemen ekonomi makro di Turki baik
sebelum dan setelah krisis, dan memberikan bantuan keuangan sebesar $ 20,4
miliar, antara 1999 dan 2003. Setelah krisis, Turki menerapkan strategi untuk
menaikkan suku bunga dan mempertahankan nilai tukar yang tinggi. Pemerintah
Turki kemudian mengikuti kebijakan fiskal kontraksioner, dan berjanji untuk
privatisasi, dan mengurangi peran sektor publik dalam kegiatan ekonomi. (Yeldan
& Ünüvar, 2015)
Pertumbuhan yang cepat, didorong oleh arus masuk besar-besaran dari
modal keuangan asing, yang terpikat oleh tingkat signifikan pengembalian tinggi
yang ditawarkan di dalam negeri. sehingga salah satu fenomena yang paling sering
diungkapkan di masa pemerintahan AKP pasca krisis 2001 adalah fenomena
munculnya gelombang besar pada sektor investasi swasta baik itu dari dalam negeri
maupun dari luar negeri yang menjadi pendongkrak pemulihan ekonomi Turki
paskah krisis 2001. (Yeldan & Ünüvar, 2015) Fenomena ini muncul dikarenakan
Turki mampu memenuhi persyaratan anggaran yang ketat dari IMF yang hasilnya
berupa turunnya angka inflasi hingga satu digit yang mampu meningkatkan rasa
percaya diri dalam kecakapan pemerintah yang berkomitmen pada kestabilan dan
perubahan, ditambah dengan jatuhnya tingkat suku bunga riil yang menjadi sebuah
pertanda terhadap kepercayaan dari para investor. (Öniş, 2009)
Karakteristik yang mendasari aturan-aturan keuangan pasca krisis Turki
sangat bergantung pada pemeliharaan suku bunga yang tinggi dalam mengantisipasi
peningkatan arus modal asing ke dalam perekonomian domestik. Ditambah dengan
kebijakan fiskal kontraksioner yang menyeluruh, program ini mendapat sumber
utama pertumbuhannya pada aliran masuk dana asing. (Yeldan & Ünüvar, 2015)
Selain itu, krisis ekonomi yang parah memicu keharusan reformasi pada
aturan-aturan keuangan negara, termasuk amandemen dalam UU CBRT (The Central Bank
of the Republic of Turkey) pada April 2001, yang kemudian memberikan
independensi kepada Bank Sentral. Pada awal masa jabatan di pemerintahan, para
sebagai bagian dari strategi promosi dalam upaya untuk membangun kembali
kepercayaan dari investor asing ke negara itu. (Yeldan & Ünüvar, 2015)
Kebijakan-kebijakan yang bersifat reformis dari pemerintahan AKP
dalam mengatasi masalah perekonomian pasca krisis 2001 oleh Anakcı
diklasifikasikan menjadi dua kelompok kebijakan umum yaitu kebijakan
re-Regulation dan kebijakan de-Regulation. Kebijakan re-Regulation antara lain,
sebagai berikut :
1. Peningkatan disiplin fiskal peningkatan transparansi dan
akuntabilitas dalam proses pembuatan anggaran belanja negara,
serta memperbaiki administrasi perpajakan.
2. Penguatan otonomi Bank Sentral melalui perlindungan hukum.
3. Meningkatkan otonomi Badan Pengatur dan Pengawas Bank dan
memperketat regulasi perbankan dan sistem keuangan.
4. Memperkuat kedudukan badan pengatur otonom di beberapa
daerah ekonomi termasuk Energy dan komunikasi.
5. Transparansi yang jauh lebih besar dalam proses privatisasi.
(C,Anakcı, dalam Öniş, 2009)
Sedangkan kebijakan de-Regulation antara lain :
1. Liberalisasi ekonomi yang lebih lanjut seperti penghapusan
monopoli negara dalam sektor listrik dan produksi tembakau.
2. Pengurangan tarif pajak perusahaan.
3. Mengurangi hambatan administratif untuk investasi asing
langsung (Foreign direct Investment, FDI).
5. Revitalisasi program pertanian. (C, Anakcı, dalam Öniş, 2009)
Sejak AKP menjadi partai yang memerintah Turki kemajuan-kemajuan di
bidang ekonomi mulai terlihat, sebagai hasil dari upaya pemerintahan AKP dalam
melakukan perubahan-perubahan di bidang ekonomi dan sosial politik di Turki.
Pemerintahan AKP menganggap bahwa perubahan mampu mengantarkan pada
stabilitas yang lebih besar, selain itu Pemerintahan AKP juga menganggap bahwa
faktor eksternal seperti dorongan untuk menjadi anggota di Uni Eropa atau tekanan
dari International Monetary Fund (IMF), dapat menjadi penentu dalam memicu
perubahan dan meningkatkan kesejahteraan. (Öztürk, 2011) Pada tahun 2003,
Pemerintahan AKP melaksanakan program stabilitas yang ditawarkan oleh IMF
serta mengadopsi kebijakan yang berisi strategi untuk menjadi anggota penuh Uni
Eropa, sebagai pendorong dalam mewujudkan perubahan yang diharapkan.
Langkah-langkah tersebut pada akhirnya membuahkan hasil, pada tahun 2002-2007
Turki mengalami kondisi terpanjang dalam pertumbuhan ekonomi yang tidak
mengalami gangguan dengan rata-rata persentase sebesar 6-7% tiap tahunnya.
(Öztürk, 2011) Kemudian pada tahun 2010, GDP per kapita Turki telah meningkat
tiga kali lipat sejak tahun 2002, Majalah Time menyebutkan bahwa sejak AKP
pertama berkuasa defisit APBN telah turun menjadi dua pertiga. Dari tahun 2002
sampai 2010, GDP tumbuh dengan tingkat tahunan sebesar 4,8%, lebih besar dari
Rusia, Brasil dan Korea Selatan. Pada tahun 2010, GDP Turki tumbuh 8,9%.
(Ghosh, 2011) Sehingga, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, Turki
mampu pulih dengan baik dari krisis ekonomi global tahun 2009 dan
serta nilai ekspor naik lebih dari empat kali lipat dari 32 miliar USD pada tahun
2002 menjadi 132 miliar USD pada 2009. (Migdalovitz, 2011)
Karena pertumbuhan ekonomi Turki yang semakin kuat di bawah
pemerintahan AKP yang dipimpin oleh Erdoğan, majalah Newsweek memberi
julukan “The Robust Man” kepada Erdoğan. Selain itu, kolom Newsweek
menjelaskan bahwa dengan perekonomian Turki yang kuat, kelompok G20 mampu
mengungguli G7 di dalam tatanan ekonomi global, karena Turki, Brazil, India dan
negara G20 lainnya semakin memainkan peran penting dalam perekonomian
global. (Alfan, 2015) Pertumbuhan ekonomi Turki merupakan buah dari kebijakan
orientasi ekspor yang diterapkan pada tahun 1980-an yang menjadikan Turki
mandiri dan ekspansif dalam bidang perdagangan. Turki masih bergantung pada
kerja sama dengan negara-negara Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Italia. Namun
di sisi lain, perdagangan dengan negara-negara Timur Tengah juga berkembang
ketika Turki mulai mengajak negara-negara di Timur Tengah untuk mengadakan
kawasan perdagangan bebas (Free Trade area), seperi dengan Yordania, Lebanon,
dan Suriah. Sebagai dampak, perdagangan barang dan jasa serta perdagangan
energi menjadikan Turki dan negara-negara tetangganya saling terikat. (Alfan,
2015)
Perkembangan ekonomi Turki yang baik setelah krisis ekonomi yang
melanda Turki di tahun 2001, merupakan bentuk nyata dari upaya pemerintahan
AKP untuk merealisasikan misi mereka yaitu menjadikan Turki sebagai negara
dengan ekonomi yang besar di dunia. Peraturan-peraturan pasca krisis Turki di
bawah pemerintahan AKP sedikit banyak mengikuti langkah-langkah yang diambil
modal asing dan diharuskan mematuhi syarat untuk mengadopsi atau mengelola
kebijakan kontraksioner untuk mendapatkan kepercayaan investor dan kredit
internasional. Upaya tersebut hanya berfokus pada memperoleh anggaran yang
seimbang, pengeluaran fiskal yang mapan, dan kebijakan moneter yang relatif
kontraksioner dengan berkomitmen pada suku bunga riil yang tinggi. (Yeldan &
Ünüvar, 2015)
C. Perubahan Politik Luar Negeri Turki pada Masa Pemerintahan Adalet
ve Kalkinma Partisi (AKP)
Pergeseran dalam kebijakan Turki terhadap negara tetangganya yang
dramatis dan dapat dijelaskan hanya dengan bertumpu pada faktor internasional,
regional, dan domestik. Pada faktor internasional dan regional, yang berpengaruh
besar dalam perubahan arah kebijakan Turki adalah pecahnya Uni Soviet.
Sebagaimana Amerika Serikat dan sekutunya Eropa berusaha untuk mengisi
kekosongan kekuasaan politik di kawasan Eurasia. Mereka telah mencoba untuk
membuat Turki sebagai model negara yang menggabungkan Islam "moderat"
dengan sekularisme region tersebut. (Murinson, 2012)
Di sektor domestik, sebelum AKP berkuasa di Turki, berdasarkan
konstitusi 1981, Milli Güvenlik Kurulu (MGK) atau Dewan Keamanan Nasional
Turki dibentuk dengan fungsi sebagai badan yang mengkoordinasikan kebijakan.
Sementara peran penting dalam pengambilan kebijakan luar negeri secara
tradisional dipercayakan kepada militer dan birokrasi negara melalui mekanisme
MGK. Reformasi institusional dan konstitusional oleh AKP telah membatasi