• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Konsentrasi Industri terhadap Kinerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Industri Broiler Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Konsentrasi Industri terhadap Kinerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Industri Broiler Indonesia"

Copied!
198
0
0

Teks penuh

(1)

ANNA FITRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Dampak Konsentrasi Industri terhadap Kinerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Industri Broiler Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Anna Fitriani

NRP. H363090111

(3)

Masyarakat di Industri Broiler Indonesia. Dibimbing oleh HENY K. DARYANTO, RITA NURMALINA dan SRI HERY SUSILOWATI.

Hampir semua segmen industri menjadi lebih terkonsentrasi dari waktu ke waktu. Perhatian utama sehubungan dengan konsentrasi adalah, hal ini bisa mengurangi tingkat persaingan di industri dan menghasilkan kekuatan pasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak konsentrasi industri terhadap kinerja dan kesejahteraan produsen dan konsumen di industri broiler Indonesia. Secara spesifik, tujuan penelitian ini dirinci sebagai berikut ; (1) menganalisis dampak konsentrasi industri terhadap kinerja (performance) industri broiler; (2) menganalisis perubahan lingkungan eksternal terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja industri broiler; (3) menganalisis perubahan kesejahteraan masyarakat akibat perubahan tingkat konsentrasi; dan (4) merumuskan kebijakan yang dapat mensejahterakan masyarakat sekaligus memajukan industri broiler.

Data yang digunakan adalah data panel seluruh perusahaan broiler dari 2009 sampai 2011 di delapan provinsi di Indonesia. Data dianalisis dengan pendekatan ekonometrika dengan model persamaan simultan. Parameter diestimasi dengan metode two stage least squares (2SLS) dan selanjutnya dilakukan simulasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi yang meningkat akan meningkatkan integrasi vertikal. Perilaku Integrasi vertikal selanjutnya berdampak kepada efisiensi dan kekuatan pasar. Konsentrasi dan integrasi vertikal dapat mengurangi persaingan dan akan menguntungkan perusahaan melalui harga broiler dan tingkat keuntungan yang meningkat. Harga dan tingkat keuntungan yang meningkat akan semakin meningkatkan kekuatan pasar. Sehingga secara tidak langsung peningkatan konsentrasi berdampak terhadap peningkatan kekuatan pasar.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan permintaan akan menurunkan tingkat konsentrasi. Perluasan penyebaran produksi akan terjadi dan meningkatkan persaingan. Selanjutnya, kenaikan konsentrasi industri sampai pada taraf 20 persen akan semakin meningkatkan efisiensi dan kekuatan pasar. Dari sisi produsen masih diuntungkan dengan efisiensi dan produktivitas tenaga kerja, namun kekuatan pasar makin mendorong kenaikan harga produk sehingga konsumen dirugikan. Jika dilihat dari persentase kenaikannya, maka efek kenaikan kekuatan pasar lebih besar dari efek kenaikan efisiensi. Artinya secara keseluruhan atau agregat, kenaikan konsentrasi lebih lanjut akan menurunkan kesejahteraan rakyat.

Implikasi kebijakan: perkembangan industri ayam broiler harus didukung dengan meningkatnya permintaan akan produk peternakan melalui peningkatan daya beli dan kesadaran masyarakat akan pentingnya protein asal ternak. Untuk itu pemerintah harus menciptakan iklim usaha bersaing yang sehat dan kondusif. Selain itu efisiensi usaha peternakan rakyat perlu ditingkatkan melalui kebijakan yang lebih terfokus pada penggunaan teknologi bibit dan pakan bermutu serta penggunaan kandang modern. Penanganan jangka panjang ketersediaan bahan baku sangat penting agar peternak rakyat dapat berkompetisi.

(4)

Welfare in Indonesian Broiler Industry. Supervised by HENY K. DARYANTO, RITA NURMALINA and SRI HERY SUSILOWATI.

Almost all segments in industry become more concentrated from time to time. The main concern with concentration is, it can reduce competition and result in market power. The aims of this study is to analyze the impact of industry concentration on the performance and social welfare of producer and consumer in Indonesian broiler industry. Specifically, the objectives of this study are detailed as follows; (1) to analyze the impact of industry concentration on the performance of industry; (2) to analyze the impact of changes in the external factors on the structure, conduct and performance of broiler industry; (3) to analyze changes in the welfare of producers and consumers as a result of changes in the level of concentration; and (4) to formulate policies that can promote people’s welfare as well as the broiler industry.

The data used is panel data across the broilers company from 2009 to 2011 in eight provinces in Indonesia. Data were analyzed with an econometric approach with simultaneous equation model. Parameters was estimated by two stage least squares method (2SLS) and then performed the simulation.

The results showed that increasing in concentration will increase the vertical integration. Vertical integration behaviour then impact on efficiency and market power. Concentration and vertical integration can reduce competition and will benefit the company through broiler prices and increase profit levels. Prices and profit levels increased will further increase the power of the market. Thus increasing concentrations indirectly resulted in increased market power.

The simulation results indicate that the increase in demand will lower concentration levels. Expansion of production will occur and increase competition. Furthermore, the increase in concentration of the industry to the extent of 20 per cent will further increase efficiency and market power. The producers still benefit from the efficiency and labor productivity, but increasing in market power pushing up the price of the product so that consumers are loss. When viewed from the percentage increase, the effect on increasing in market power is greater than the effect on increasing in efficiency. This means that in whole or aggregate, increase in concentration further lowers social welfare of the people.

Policy implications: The development of broiler chicken industry should be supported by the increasing demand for livestock products through increased purchasing power and public awareness of the importance of proteins from animal. Therefore, the government should create a competitive and conducive business climate. In addition, the efficiency of breeding efforts of the people needs to be improved through policies that are more focused on the use of quality seed and feed technology and the use of modern cage. Handling the long-term availability of raw materials is very important so that farmers can compete.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

ANNA FITRIANI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Arief Daryanto, MEc Dr Ir Lukytawati Anggraini, MS

(8)
(9)

disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi dengan judul “Dampak Konsentrasi Industri terhadap Kinerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Industri Broiler Indonesia” merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Disertasi ini dapat terselesaikan atas bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya disampaikan kepada Dr Ir Heny K Daryanto, MEcselaku ketua komisi pembimbing serta Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS dan Dr Ir Sri Hery Susilowati, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberi bimbingan, arahan dan masukan selama proses penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada : 1. Tim penguji prelim 2 (Dr Ir Sri Hartoyo, MS, Dr Ir Anna Fariyanti, MS dan Dr

Mety Ekayani, SHut MEc) atas koreksi dan masukannya.

2. Tim penguji ujian tertutup (Dr Ir Arief Daryanto, MEc, Dr Ir Lukytawati Anggraini, MS, Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Dr Mety Ekayani, SHut, MSc) atas koreksi dan masukannya.

3. Tim penguji ujian terbuka (Prof (R) Dr Ir Tjeppy D Sudjana, MSc, Dr Ir Sri Mulatsih, MSc Agr, Prof Dr Ir Nachrowi, MSc dan Dr Sahara, SP MSi) atas koreksi dan masukannya.

4. Kasie Pengolahan Statistik Peternakan, Badan Pusat Statistik beserta staf atas bantuan data penelitian.

5. Rektor Universitas Jambi dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Jambi yang telah memberikan izin belajar di Sekolah Pascasarjana IPB.

6. Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB dan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB serta seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan maupun dalam penyelesaian disertasi ini.

7. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB serta seluruh staf civitas akademika yang telah membantu kelancaran studi.

8. Rekan-rekan EPN IPB angkatan 2009 dan semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian dan penyusunan disertasi ini.

Rasa hormat dan terima kasih kepada kedua orang tua (Ayahanda H M Noer Mong dan Ibunda Hj Kartini) atas do’a dan restunya. Tidak lupa suami tercinta (Saiful Helmi Pohan) serta anak-anakku tersayang (Imam, Aulia, Fajar dan Fathur) atas dukungan, kerjasama dan pengertiannya selama penulis menempuh masa pendidikan di IPB. Kakak dan adik-adik serta keluarga besar tercinta atas dorongan dan bantuan do’a selama ini. Semoga disertasi ini dapat memberikan kebanggaan dan semangat bagi keluarga. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun inilah karya maksimal yang dapat dipersembahkan, dengan harapan semoga karya ini dapat bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

Tinjauan Literatur Mengenai Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Tinjauan tentang Industri Broiler, Produksi dan Konsumsinya

Industri Broiler

Dampak Konsentrasi terhadap Efisiensi dan Kekuatan Pasar Dampak Konsentrasi terhadap Produktivitas dan Kesejahteraan Tinjauan Studi Terdahulu

Tinjauan Penelitian Mengenai Konsentrasi Industri

Tinjauan Penelitian Mengenai Structure Conduct Performance

(11)

Metode Pendugaan Model Validasi Model

Simulasi Faktor-faktor Eksternal Perhitungan Perubahan Kesejahteraan

5. GAMBARAN UMUM KELEMBAGAAN INDUSTRI BROILER DI INDONESIA

Profil Pasar Daging Ayam Broiler di Indonesia Perkembangan Industri Broiler Indonesia

Performans Usaha Rakyat

Performans Perusahaan Ayam Broiler

Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler Secara Deskriptif Konsentrasi Industri dan Persaingan Tidak Sehat

6. STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI BROILER DI INDONESIA

Hasil Pendugaan Struktur, Perilaku dan Kinerja di Industri Broiler Komponen Kondisi Dasar Industri Broiler di Indonesia Komponen Struktur Industri Broiler di Indonesia Komponen Perilaku Industri Broiler di Indonesia Komponen Kinerja Industri Broiler di Indonesia

Hubungan antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler Indonesia

(12)

1. Taksonomi dasar dari Struktur Pasar

2. Kinerja produksi usaha peternakan Ayam Broiler di Indonesia, 1980-2010

3. Konsumsi beberapa jenis daging ternak, 2007-2011(ribu ton) 4. Prediksi tingkat keuntungan berdasarkan Struktur Pasar 5. Jenis dan pengelompokkan variabel dalam penelitian

6. Perbandingan masing-masing komponen Struktur, Perilaku dan Kinerja di Industri Broiler (2009-2011) secara deskriptif

7. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi Kondisi Dasar di Industri Broiler

8. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi Struktur Industri Broiler

9. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Industri Broiler

10.Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja Industri Broiler

11.Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja Industri Broiler (lanjutan)

12.Hasil Validasi Model Ekonometrika menggunakan kriteria RMSPE dan U-theil

13.Dampak perubahan faktor eksternal terhadap Industri Broiler

14.Dampak peningkatan rasio konsentrasi pada beberapa tingkatan terhadap kesejahteraan masyarakat

15.Perhitungan surplus produsen dan surplus konsumen sehubungan dengan peningkatan konsentrasi industri

16.Implikasi kebijakan pemerintah di dalam memperbaiki Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler sehubungan dengan simulasi

1. Grafik laju pertumbuhan PDB, sektor pertanian dan subsektor peternakan di Indonesia, 2005-2013 (dalam persen)

2. Grafik perkembangan konsumsi daging dan telur nasional (ribu ton), 2006-2010

3. Grafik perkembangan harga rata-rata daging ayam di tingkat konsumen di tiga kota besar, 2005-2013

4. Model hubungan saling pengaruh mempengaruhi dari Structure Conduct Performance-SCP

5. Bagan analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja 6. Pangsa pasar untuk Pakan dan DOC pada 2007

(13)

9. Perbandingan kurva konsentrasi 10.Derivasi Gini Index dari kurva Lorenz 11.Kurva Skala Ekonomi

12.Penetapan harga oleh perusahaan monopoli dan bersaing 13.Surplus Produsen

14.Surplus Konsumen

15.Kerangka pemikiran penelitian Dampak Konsentrasi Industri terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen di Industri Broiler 16.Diagram keterkaitan variabel dalam SCP Broiler

17.Kurva Lorenz di Industri Broiler Jawa Barat

18.Pangsa pasar tujuh perusahaan broiler terbesar pada 2003 dan 2012 19.Perkembangan rasio konsentrasi dan hambatan masuk di Industri

Broiler Indonesia

20.Perkembangan produksi dan harga rata-rata broiler di Indonesia 21.Hubungan antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler 22.Dampak peningkatan permintaan terhadap SCP Industri Broiler 23.Dampak peningkatan penawaran terhadap SCP Industri Broiler 24.Dampak peningkatan harga daging Ayam Broiler terhadap SCP

Industri Broiler

25.Dampak peningkatan harga pakan terhadap SCP Industri Broiler 26.Dampak peningkatan harga bibit terhadap SCP Industri Broiler

32

1. Hasil pendugaan model Ekonometrika Simultan Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler Indonesia

2. Hasil Validasi model Ekonometrika Simultan Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler Indonesia

3. Hasil simulasi faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler Indonesia

(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Agribisnis peternakan memegang peranan yang sangat strategis dan mampu membangun pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat perdesaan maupun perkotaan. Secara makro, sektor peternakan mampu berkontribusi yang cukup besar terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), ketahanan pangan, peningkatan rata-rata pendapatan penduduk nasional dan penciptaan lapangan pekerjaan.

PDB sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya terus mengalami peningkatan. PDB sub sektor peternakan diperkirakan mencapai Rp. 43.9 trilyun (atas dasar harga konstan 2000) pada tahun 2013 yang secara konsisten meningkat dari tahun 2005-2013 dengan laju pertumbuhan sebesar 3.7 persen per tahun (BPS, 2013a). Hal ini memang masih dibawah rata-rata laju pertumbuhan nasional yang mencapai 5.9 persen, namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan sektor pertanian (Gambar 1). PDB sub sektor peternakan memberikan kontribusi 12.9 persen terhadap PDB sektor pertanian, dimana share

sektor pertanian terhadap PDB nasional sebesar 12.3 persen.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013.

Gambar 1. Grafik laju pertumbuhan PDB nasional, sektor pertanian dan subsektor peternakan di Indonesia (dalam persen), 2005-2013

(15)

krisis (2001-2003) laju pertumbuhan konsumsi daging dan telur hingga tahun 2010 terus meningkat (Gambar 2).

Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011

Gambar 2. Grafik perkembangan konsumsi daging dan telur nasional (000 ton), 2006-2010

Pemulihan konsumsi produk ternak relatif cepat. Konsumsi hasil-hasil peternakan totalnya mencapai 6.7 juta ton di tahun 2010, mengalami peningkatan sebesar 0.62 dari tahun sebelumnya (Ditjen Peternakan dan Keswan, 2011). Komoditas dan produk peternakan terus meningkat dikarenakan adanya pertambahan penduduk, pertumbuhan pendapatan, semakin banyaknya penduduk kelas menengah, meningkatnya urbanisasi, semakin besarnya harapan hidup dan penduduk usia tua. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk serta kesadaran akan gizi masyarakat yang meningkat di tahun-tahun mendatang, akan memacu peningkatan konsumsi produk peternakan. Hal ini merupakan peluang bagi pengembangan sektor peternakan.

(16)

Perkembangan ekonomi dan arus global telah mendorong masyarakat mengkonsumsi daging, telur, dan susu lebih banyak. Peluang ini dimanfaatkan perusahaan multinasional dengan memasukkan produk (susu dan daging), inovasi (industri ayam ras, industri pengolahan susu), dan bibit (ayam ras, babi, dan sapi). Kondisi ini menyebabkan perkembangan industri peternakan sangat bergantung pada impor bibit dan bakalan (ayam ras 100 persen, feeder cattle 450 000 ekor/tahun), bahan baku pakan (bungkil kedelai, jagung, tepung ikan dan Meat Bone Meal atau tepung tulang), maupun teknologi pengolahan dan pemasaran. Namun, pertumbuhan yang pesat dalam bisnis peternakan sejauh ini lebih banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs) berskala besar. Digerakkan oleh adanya keuntungan skala ekonomi (economies of scale) dan globalisasi sistem rantai nilai, MNCs semakin mendominasi sektor agribisnis di seluruh rantai nilai, dari hulu sampai hilir. Hal ini telah meninggalkan pasar-pasar tradisional dimana para petani atau peternak skala kecil menjual ke pasar dan pedagang lokal (Daryanto, 2009).

Salah satu industri peternakan yang perkembangannya sangat pesat adalah industri perunggasan. Industri perunggasan Indonesia kini telah mencapai swasembada daging unggas, meskipun dalam beberapa hal seperti pasokan bahan baku pakan, bibit ayam dan obat masih impor. Komoditas perunggasan berfungsi sebagai penyedia bahan pangan protein hewani yang harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan harga daging sapi sehingga terjangkau oleh masyarakat luas. Namun demikian, komoditas ternak unggas masih banyak mengalami permasalahan dan hambatan baik secara makro maupun mikro. Beberapa diantaranya yang memerlukan perhatian serius dari para pemangku kepentingan di peternakan unggas adalah bahan baku pakan yang masih impor dan belum bebasnya Indonesia dari penyakit yang sangat merugikan secara sosial ekonomis, khususnya Avian Influenza (AI).

Industri perunggasan di Indonesia sepanjang 2008 lalu menunjukkan kinerja yang cukup bagus. Bahkan dalam tahun 2009 ketika krisis global dan ketika terjadi penurunan daya beli, justru mendorong substitusi pangan ke produk unggas, sehingga industri perunggasan mampu bertahan. Produk unggas yang tetap bertahan di tengah krisis adalah ayam dan telur (ICN, 2009). Peternakan ayam broiler menjadi lini terdepan sebagai pabrik penghasil daging unggas. Selanjutnya peternakan ayam broiler mulai banyak melakukan pengembangan di beberapa daerah dan didukung oleh sarana dan prasarana yang lain. Ayam pedaging (broiler) adalah ayam ras yang mampu tumbuh cepat sehingga dapat menghasilkan daging dalam waktu relatif singkat. Dengan bantuan ilmu pengetahuan untuk memanipulasi genetik ayam, kini ayam broiler telah mampu dipasarkan atau dikonsumsi pada umur pemeliharaan sekitar 4 - 5 minggu (Murtidjo, 2003).

(17)

dengan peternak mandiri tidak diragukan lagi difasilitasi efisiensi industri dan tanggap terhadap konsumen, menjadikannya pesaing yang tangguh di pasar daging secara global (Tsolouhas dan Vukina, 2001).

Seperti halnya di negara maju dewasa ini, industri broiler di Indonesia sepenuhnya terintegrasi secara vertikal, mulai dari pembibitan dan penetasan, mesin pembuatan pakan, divisi transportasi dan pabrik pengolahan. Tahap finishing produksi diatur hampir seluruhnya melalui kontrak dengan peternak. Sebagian besar nilai tambah dalam pengolahan adalah alasan utama mengapa prosesor menjadi koordinator dari industri, sehingga akhirnya skala ekonomi yang signifikan dalam pengolahan telah menyebabkan konsentrasi industri yang signifikan pula.

Sistem perdagangan global telah mengalami transformasi yang sangat nyata. Negara-negara maju tetap memberikan tingkat subsidi pertanian yang cukup tinggi yang dibarengi pula dengan subsidi ekspor. Hal ini merupakan insentif nyata bagi produsen di negara-negara tersebut sehingga terjadi kelebihan produksi yang membanjiri pasar dunia. Sementara negara sedang berkembang masih menghadapi persoalan usaha tani skala kecil, keterbatasan teknologi, dukungan keuangan, infrastruktur dan lain-lain yang menyebabkan sebagian besar negara sedang berkembang belum bisa melepaskan diri dari masalah kemiskinan, pengangguran, ketahanan pangan, dan keterbelakangan kehidupan masyarakat desa. Kedua hal tersebut menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan perdagangan komoditi pertanian di pasar global yang diikuti oleh konsentrasi industri di tangan sejumlah perusahaan multi nasional (MNCs), praktek kartel dan/atau integrasi horisontal dan integrasi vertikal, praktek dumping yang bersifat

predatory, bentuk perjanjian tertutup dan tying in, serta berbagai praktek unfair business yang lain (Iwantono, 2007)

Hal serupa juga terjadi dalam skala yang lebih kecil di kebanyakan negara termasuk Indonesia. Untuk itu sangat diperlukan kebijakan persaingan yang memungkinkan pasar dapat bekerja secara sehat. Kompetisi merupakan elemen penting (critical element) bagi price-oriented market economy. Tanpa persaingan yang fair, ekonomi menjadi tidak produktif, industri bekerja secara tidak efisien, mendorong konsentrasi ekonomi yang diikuti oleh abuse of dominant position, kehilangan daya inovasi dan kreativitas.

Konsentrasi industri dalam produk-produk pertanian AS ditunjukkan oleh perkembangan sebagai berikut : Beef Packers dengan CR-4 83.5 persen (CR-4 adalah rasio konsentrasi relatif dari 4 perusahaan terhadap total 100 persen industri), Pork Packers dengan CR-4 64 persen, Broilers dengan CR-4 56 persen,

Flour Milling dengan CR-4 63 persen dan Soybean Crushing dengan CR-4 71 persen (Iwantono, 2007). Kesemuanya merupakan pasar oligopoli. Semakin terkonsentrasi suatu industri, maka perbedaan antara yang dibayar konsumen dan diterima produsen untuk produksi barang mereka semakin besar (Daryanto, 2009).

(18)

Williamson (1974) dalam Bhuyan (2005), berpendapat bahwa integrasi vertikal menciptakan efisiensi dengan mengurangi biaya transaksi terkait dengan pertukaran (market exchange). Perusahaan terintegrasi akan mampu mengurangi inefisiensi alokatif dengan melakukan diversifikasi resiko, memastikan penawaran atau pasar, menangkap peluang atau skala ekonomis, menginternalkan eksternalitas di produksi, penentuan harga dan keputusan pasar (Klein et al.

1978).

Meskipun begitu ada anggapan bahwa apapun bentuk koordinasi, khususnya integrasi vertikal, bisa meningkatkan kekuatan pasar (market power) dan pada akhirnya mempengaruhi kinerja pasar. Sementara itu, peningkatan market power

akan menghasilkan welfare loss yang tinggi. Namun apakah integrasi vertikal dapat meningkatkan kekuatan pasar, hal ini masih menjadi perdebatan dalam literatur Industrial Organization (Carlton dan Perloff, 2000). Sebaliknya the Chicago School berpendapat bahwa integrasi vertikal tidak dapat memindahkan kekuatan pasar dari satu level ke level lainnya (Bhuyan, 2005).

Ada dua area utama dimana welfare loss mungkin terjadi di industri.

Welfare loss mungkin terjadi karena produsen sangat terkonsentrasi dan membayar kepada individu yang memelihara tanaman/ternak dengan sangat rendah, atau ini juga dapat muncul karena perusahaan di pasar produk akhir misalnya, memiliki kekuatan pasar yang besar dan membebankan ke konsumen lebih besar. Kerugian disisi produksi dapat muncul jika dipasar tersebut terdapat sejumlah kecil pembeli yang sulit untuk dapat membuat situasi pembelian yang kompetitif. Kerugian di sisi konsumen dapat muncul jika terdapat sejumlah kecil penjual dan kurangnya kompetisi menyebabkan peningkatan harga yang dibayar konsumen (Whitley, 2001)

Perumusan Masalah

(19)

Sumber : Kementerian Perdagangan, diolah Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2013

Gambar 3. Grafik perkembangan harga rata-rata daging ayam di tingkat konsumen di tiga kota besar, 2005-2013

Perubahan struktur pertanian di Indonesia mendapat perhatian lebih terutama mengenai berkurangnya persaingan di dalam berbagai pasar produk pertanian, termasuk pasar ayam broiler. Dua perhatian utama dalam industri ayam broiler adalah integrasi (koordinasi) dan konsentrasi – dimana sejumlah kecil perusahaan mengontrol sebagian besar penjualan. Konsentrasi industri adalah situasi yang memperlihatkan derajat penguasaan pasar. Konsentrasi ini ditambah dengan restrukturisasi terjadi baik melalui penggantian ternak yang ada dengan lebih sedikit, lebih besar, yang lebih efisien, atau melalui reorganisasi dan konsolidasi aset perusahaan yang ada ke konfigurasi yang lebih efisien, atau keduanya. Menurut Weng (2012), konsentrasi dan restrukturisasi dalam industri broiler bisa memiliki dua dampak; pertama, industri terkonsentrasi tinggi berarti memiliki kekuatan pasar yang tinggi pula, akibatnya kesejahteraan sosial akan menurun. Kedua, restrukturisasi industri dapat meningkatkan efisiensi biaya, yang akan meningkatkan kesejahteraan sosial.

(20)

Beberapa studi mengenai industri perunggasan menegaskan bahwa struktur industri perunggasan sekarang ini mengarah ke oligopolistik (Agustina, 2009; Fitriani, 2006; dan Yusdja et al, 2004). Hal ini ditunjukkan dengan adanya (1) dari sekitar 40 produsen ayam broiler di Indonesia, 16 perusahaan diantaranya termasuk kategori skala besar. Enam belas perusahaan skala besar itu menguasai 75 persen pangsa pasar industri produksi broiler (Kontan, 2013), (2) perusahaan peternakan skala besar seperti Japfa Comfeed, Charoen Phokpand, Malindo, Sierad Produce, Cheil Jedang dan lain-lain melakukan integrasi vertikal.

Permasalahan pokok yang dihadapi oleh sektor industri dewasa ini adalah rapuhnya sendi-sendi ekonomi sebagai akibat berkembangnya industri yang sangat tergantung pada bahan baku impor dan sangat sedikit menyentuh perekonomian masyarakat luas. Kondisi yang menjadikan terkonsentrasinya modal pada sekelompok kecil masyarakat telah menimbulkan kesenjangan yang lebar. Usaha-usaha skala besar ini terintegrasi dari hulu ke hilir. Semestinya dimasa depan, tumbuh majunya industri nasional harus dibarengi dengan pemberian manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, tanpa merongrong kedaulatan bangsa dan mengorbankan kepentingan nasional (Kuncoro, 2007)

Industri broiler di Indonesia sebagaimana juga di negara maju dimulai dari usaha hobi di halaman rumah, yang kemudian berkembang menjadi usaha komersil walaupun dalam ukuran usaha rakyat. Selanjutnya karena perkembangan ekonomi, terjadi peningkatan investasi dan teknologi yang mendorong perubahan struktur industri dari usaha rakyat menjadi suatu industri yang mencakup perkembangan semua perangkat atau komponen industri dalam skala besar. Dalam kurun waktu 20 tahun, sejak dimulai pada 1975 hingga 1995, peternakan ayam broiler rakyat telah berkembang menjadi salah satu industri nasional yang sangat penting, sekalipun hampir seluruh komponen industri dibangun secara padat modal (Yusdja et al, 2004).

Ada anggapan bahwa perkembangan industri broiler yang relatif cepat itu menyembunyikan suatu kegagalan kebijakan pemerintah yang sesungguhnya menginginkan struktur industri yang sangat berbeda dengan yang eksis sekarang. Selama masa itu, pemerintah sudah berjuang keras untuk menciptakan struktur industri broiler dalam bentuk usaha rakyat dengan membangun pilar-pilar industri padat modal seperti industri pakan, industri pembibitan dan pengolahan (Yusdja et al, 2004).

(21)

Menurut Yusdja et al. (2004), kegiatan pada usaha broiler ini patut diduga telah terjadi praktek monopoli dalam bentuk kartel, atau paling tidak peternak rakyat menghadapi masalah ganda yaitu struktur pasar yang oligopolistik pada pasar input dan struktur yang oligopsonistik pada pasar output. Disamping itu isu adanya integrasi vertikal yang disertai integrasi horisontal telah menyebabkan peternak rakyat berada pada posisi rebut tawar yang lemah. Peternak rakyat banyak yang mengeluh dengan adanya integrasi vertikal ini. Dalam hal ini peternak akan menghadapi masalah ganda yaitu masalah pada pasar input dan sekaligus masalah pada pasar output. Peternak akan sebagai price taker pada pasar input dan terpaksa harus membayar harga input yang terkadang tidak rasional. Hal ini antara lain disebabkan oleh : (1) integrasi vertikal yang dijalankan adalah integrasi vertikal yang semu, sehingga tujuan utama integrasi vertikal adalah mencapai efisiensi tertinggi tidak tercapai. Hal ini disebabkan perusahaan peternakan terbagi dalam unit-unit industri yang terpisah yang pada masing-masing unit perusahaan terdapat margin pemasaran, sehingga peternak rakyat menghadapi margin ganda dan (2) struktur perusahaan peternakan yang melakukan integrasi vertikal adalah perusahaan yang oligopolistik, yang bagi perusahaan akan lebih menguntungkan melakukan kesepakatan-kesepakatan bisnis dari pada melakukan perang harga. Sementara itu pada sisi pasar output peternak unggas rakyat menghadapi masalah : (1) pangsa produksi yang dikuasai baik secara individu maupun kelompok sangatlah kecil dibandingkan pangsa produksi perusahaan peternakan, (2) tidak ada perbedaan segmentasi dan tujuan pasar, dan (3) peternak unggas rakyat juga menghadapi struktur pasar yang oligopsonistik terutama dalam berhadapan dengan inti.

Adapun kajian yang dilakukan pada industri broiler dipandang sangat relevan, mengingat sekitar 60-70 persen kegiatan industri ayam pedaging nasional dilakukan secara kemitraan antara integrator dan peternak plasma. Yang menjadi persoalan mendasar saat ini adalah bagaimana industri perunggasan Indonesia bisa menjadi efisien kalau isu monopoli masih saja mengkhawatirkan para peternak mandiri. Cara pandang yang salah terhadap keberadaan integrator di satu sisi dan peternakan rakyat di sisi lain mungkin harus diperbaiki terutama dalam melihat secara objektif penyebab terjadinya disparitas dalam input dan output.

Sampai saat ini, penelitian mengenai organisasi industri masih menjadi topik yang tetap diminati seiring dengan dinamika perkembangan industri terkini baik dari sisi permintaan maupun dari sisi perkembangan teknologi. Fokus penelitian seputar konsentrasi industri telah lama menjadi perhatian sehubungan dengan dikeluarkannya UU Anti Monopoli, dimana disatu sisi konsentrasi yang tinggi dapat menghasilkan industri yang efisien, yang dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan sosial, namun disisi lain, konsentrasi tinggi juga dapat menghasilkan kekuatan pasar yang dapat menurunkan kesejahteraan sosial.

(22)

terciptanya keseimbangan struktur dan kekuatan subsistem agribisnis hilir diperlukan terutama menghadapi derasnya arus masuk produk unggas impor yang dihasilkan dengan biaya produksi demikian rendah di negara-negara maju.

Keragaman perkembangan industri dicerminkan oleh kondisi internalnya, terutama dalam kaitannya dengan berbagai indikator kinerja. Keragaman perkembangan tersebut kemudian mempengaruhi respon industri terhadap masukan dan fasilitas, baik yang datang dari pihak luar industri maupun strategi usaha yang dilakukan industri itu sendiri. Beberapa industri memiliki kemampuan untuk memberi respon yang lebih baik dibandingkan yang lain, dan industri yang berada pada kelompok ini dapat diidentifikasi sebagai industri yang memiliki kemampuan usaha yang tinggi. Di lain pihak tantangan terbesar yang saat ini masih dihadapi oleh industri di Indonesia adalah untuk dapat mewujudkan industri sebagai badan usaha yang tangguh, yang mampu berusaha secara efisien dan ikut dalam misi memberdayakan ekonomi rakyat. Hal tersebut dapat diartikan sebagai tantangan untuk meningkatkan kinerja industri. Dalam kerangka pemikiran teori organisasi ekonomi dan ekonomi kelembagaan, perilaku usaha (business conduct/ business behavior/ business strategy) yang kemudian mempengaruhi kinerja (businesss performance). Kinerja itu sendiri pada gilirannya akan membangun struktur industri.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah industri broiler dalam negeri yang relatif terkonsentrasi tersebut memiliki kekuatan pasar (market power)? Seberapa besar dalam mempengaruhi kinerja industri broiler domestik dan implikasinya terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen? Serta rumusan kebijakan seperti apa yang dapat mensejahterakan masyarakat sekaligus memajukan industri broiler? Secara empiris peneliti mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas menggunakan perangkat analisis Empirical Industrial Organization (EIO).

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak konsentrasi industri terhadap kinerja dan kesejahteraan masyarakat di industri broiler Indonesia. Secara spesifik, tujuan penelitian ini dirinci sebagai berikut:

1. Menganalisis dampak konsentrasi industri terhadap kinerja (performance) industri broiler

2. Menganalisis perubahan lingkungan eksternal terhadap struktur, perilaku dan kinerja industri broiler

3. Menganalisis perubahan kesejahteraan baik ditingkat produsen maupun konsumen dan kesejahteraan masyarakat umumnya akibat perubahan tingkat konsentrasi di industri broiler

4. Merumuskan kebijakan yang dapat mensejahterakan masyarakat sekaligus memajukan industri broiler

Hasil penelitian dimaksudkan dapat bermanfaat untuk memperkaya ilmu pengetahuan sekaligus mampu menjawab tantangan industri dalam perspektif global maupun bagi kepentingan pemerintah dan para stake holder di industri broiler, khususnya adalah:

(23)

mengidentifikasi praktek anti persaingan seperti kolusi, penetapan harga dan perilaku saling menghancurkan sehingga dapat menjadi masukan untuk merumuskan kebijakan pengembangan industri broiler dimasa datang

2. Pelaku usaha, dapat meningkatkan strategi mereka, pengambilan keputusan dan tingkat keuntungan serta memanfaatkan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri yang harmonis dan sejalan dengan tujuan memajukan kesejahteraan masyarakat

3. Pengembangan konsep analisis struktur, perilaku dan kinerja dalam memperkaya khasanah model analisis ekonomi pasar.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Kegiatan penelitian ini diawali oleh suatu diskusi mengenai struktur dan perilaku usaha industri dalam kelembagaan usaha ayam broiler di Indonesia. Kemudian disusun model analisa empirik mengenai struktur, perilaku dan kinerja industri. Unit analisis yaitu perusahaan budidaya ayam broiler (berbadan hukum) yang menghasilkan sepenuhnya atau sebagian ayam broiler hidup atau untuk olahan selanjutnya. Kebijakan-kebijakan pemerintah lebih difokuskan pada kebijakan yang berkenaan dengan industri dan kelembagaan usaha ayam broiler.

Industri broiler tanah air terdiri dari perusahaan budidaya ternak ayam broiler yang didukung oleh industri pakan, pembibitan, obat-obatan dan peralatan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga dan industri pengolahan daging ayam broiler. Industri ini berkembang pesat sejak 1980-an dan mulai dilakukan penghimpunan data dan informasinya sejak 1994. Namun dikarenakan sistem penyimpanan data sebelum tahun 2000 belum terkomputerisasi seperti sekarang sehingga pada penelitian ini penggunaan data time series tidak dapat menjadi solusi. Adapun penelitian ini menggunakan data sekunder yang merupakan data panel industri broiler dari tahun 2009 sampai 2011 di delapan propinsi di Indonesia dari Badan Pusat Statistik. Pemilihan propinsi berdasarkan jumlah perusahaan broiler terbesar yang tersebar di empat pulau yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Data yang dihimpun diantaranya harga pakan, harga bibit, volume pakan, jumlah perusahaan budidaya ayam broiler, jumlah tenaga kerja, produksi dan konsumsi daging ayam broiler, nilai penjualan, serta biaya-biaya produksi. Fokus analisis ada dua yaitu di level perusahaan dan level industri, sehingga menggunakan data agregat dari industri.

(24)

produktivitas, tingkat keuntungan, kekuatan pasar dan ketimpangan produksi. Model yang dibangun kemudian divalidasi untuk simulasi faktor-faktor internal dan eksternal, dengan tujuan untuk melihat dampak dari perubahan faktor-faktor tersebut terhadap struktur, perilaku dan kinerja industri serta sejauh mana pengaruh perubahan konsentrasi terhadap perubahan surplus produsen dan surplus konsumen.

Keterbatasan dari penelitian ini adalah: (1) tidak memasukkan struktur biaya bibit ayam sehari (DOC) di dalam model. Mengingat adanya keterbatasan ketersediaan data DOC, hanya variabel jumlah produksi dan harga saja yang dapat dimasukkan dalam model. Selain itu pangsa DOC dalam biaya produksi daging ayam relatif rendah, yaitu hanya sekitar 13 persen; (2) tidak membahas kinerja kemitraan ayam broiler Indonesia secara lebih detail; dan (3) tidak membahas aspek perdagangan internasional, walaupun aspek ini cukup besar pengaruhnya terhadap perkembangan industri dan performance agribisnis ayam broiler di Indonesia.

Kebaruan (Novelty) Penelitian

Penelitian dan kajian mengenai konsentrasi industri dan dampaknya terhadap kinerja dan kesejahteraan di sektor peternakan telah cukup banyak dilakukan di luar negeri. Namun di dalam negeri, penelitian yang berkenaan dengan konsentrasi industri masih sangat sedikit terutama di industri broiler. Konsentrasi sebagai salah satu komponen struktur pasar sangat menentukan dalam persaingan antar pelaku pasar yang nantinya berdampak terhadap kinerja pasar. Kinerja pasar selanjutnya akan berdampak terhadap daya saing produk dan kesejahteraan masyarakat di industri tersebut.

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian organisasi industri yang sudah ada. Penelitian ini mencoba memperluas cakupan dampak konsentrasi melalui model yang secara eksplisit mempertimbangkan hambatan masuk sebagai komponen struktur (structure) industri. Selanjutnya melihat dampak konsentrasi industri selaku komponen struktur terhadap strategi dan perilaku (conduct) diantaranya integrasi vertikal dan strategi penggunaan biaya. Selanjutnya melihat dampak dari konsentrasi industri dan strategi yang menyertainya terhadap kinerja (performance) industri yaitu harga, efisiensi, produktivitas, tingkat keuntungan, kekuatan pasar dan ketimpangan. Hal ini dianalisis melalui penggunaan analisis simultan dengan menggunakan pendekatan Structure-Conduct-Performance.

(25)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Literatur Mengenai Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar

Sub bab ini merujuk model analisis dari teori terdahulu mengenai Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar (Structure, Conduct and Performance-SCP) yang telah dibukukan dalam puluhan tahun hingga sekarang. Ada beberapa kerangka dan perspektif yang dikemukakan yaitu; “Harvard Tradition”, “Chicago-UCLA School”, “Contestable Market”, “Game Theory”, “Strategic Behavior” dan perspektif ”New-Harvard Tradition”.

Model Perspektif ”Harvard Tradition” atau Aliran Strukturalis

Menurut Bain (1959), untuk mengukur struktur pasar digunakan aspek strategis sebagai berikut :

1. Derajat konsentrasi penjual, digambarkan dengan jumlah dan distribusi penjual dalam pasar

2. Derajat konsentrasi pembeli, digambarkan dengan jumlah dan distribusi pembeli dalam pasar

3. Derajat diferensiasi produk, jumlah output dari berbagai penjual yang sulit dibedakan oleh pembeli

4. Kondisi masuk pasar yang dapat dijelaskan dengan mudah atau sulitnya masuk pasar terutama bagi pendatang baru.

Sedangkan untuk mengukur kinerja (performance), digunakan indikator sebagai berikut :

1. Ketinggian harga jual dengan biaya rata-rata produksi

2. Efisiensi produksi dipengaruhi oleh skala usaha perusahaan seperti kesesuaian produksi dengan kapasitas produksi

3. Jumlah biaya promosi per biaya produksi

4. Karakter produk termasuk rancangan, kualitas produk dan macam-macam produk dalam pasar

5. Tingkat progresif perusahaan dan industri dalam mengembangkan produk dan teknik produksi dan perbandingan biaya.

Struktur pasar merupakan elemen strategis yang relatif permanen dari lingkungan perusahaan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perilaku dan kinerja di dalam pasar (Koch, 1980). Struktur pasar merupakan bahasan penting untuk mengetahui perilaku dan kinerja suatu industri. Struktur pasar merupakan atribut pasar yang mempengaruhi sifat persaingan. Elemen struktur pasar adalah pangsa pasar (market share), konsentrasi (concentration) dan hambatan masuk (barriers to entry). Semakin tinggi tingkat konsentrasi maka akan semakin tinggi hambatan masuk dalam suatu industri. Konsentrasi industri (Concentration Ratio-

CR4), dikatakan tinggi jika nilai konsentrasi penjualan dari empat perusahaan terbesar melebihi 70 persen dari total penjualan.

(26)

strategy), integrasi vertikal, dan restriksi vertikal. Sementara itu, kinerja pasar (performance) biasanya diukur dengan dua cara yaitu; pertama, dengan tingkat pengembalian modal (rate of return-ROR), yaitu keuntungan dari uang yang diinvestasikan. Kedua, harga dikurangi biaya marginal (price-cost margin), namun ada juga harga dikurangi biaya rata-rata (price-cost average).

Menurut Tirole (1989), pada mulanya pokok pembahasan dalam Organisasi Industri adalah bahasan tentang ekonomi industri yang menekankan perilaku perusahaan dan industri, terutama dalam pengendalian keseluruhan pasarnya. Studi organisasi industri adalah studi tentang fungsi pasar yang menjadi konsep penelitian diperkuat dengan teori Ekonomi Mikro. Pegembangan Teori Organisasi dilakukan oleh Bain dan Mason (1959), yang terkenal dengan "Harvard Tradition"nya telah mengembangkan paradigma yang terkenal dengan ( Structure-Conduct- Performance-SCP).

Sedangkan menurut Koch (1980), konsep dasar yang penting dalam paradigma SCP adalah perusahaan selalu berusaha untuk mencari keuntungan dengan berupaya menguasai pangsa pasar (market share) sebesar-besarnya. Oleh karenanya, Bain dan Mason berhipotesis bahwa terdapat hubungan langsung antara struktur, perilaku dan kinerja pasar. Paradigma SCP adalah mengupayakan model tradisional yang dibutuhkan untuk merumuskan jawaban atas sejumlah pertanyaan substantif terutama perilaku perusahaan yang terdapat di pasar dan kondisi dasar dari pasar menentukan struktur, struktur menentukan perilaku, perilaku menentukan kinerja, dan paradigma SCP memperluas bahasannya dalam hubungan struktur pasar, perilaku dan kinerja ke Oligopoli.

Paradigma ini menjelaskan adanya hubungan struktur dengan kinerja pasar yang dihasilkan melalui perilaku-perilaku tertentu dari perusahaan yang ada. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kinerja suatu industri merupakan fungsi dari struktur yang terjadi. Hal ini dapat dilihat melalui persamaan berikut :

P = f (S)

dimana : P = Performance (kinerja) S = Structure (struktur)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa elemen dari struktur pasar adalah tingkat konsentrasi dan hambatan masuk atau entry barriers. Oleh sebab itu, variabel-variabel yang membentuk struktur pasar tersebut juga akan mempengaruhi kinerja yang dihasilkan oleh pasar tersebut melalui perilaku tertentu dari perusahaan yang ada di pasar. Persamaan tadi dapat diubah menjadi :

P = f (CR, EB)

dimana : CR = Variabel pengukur tingkat konsentrasi EB = Entry Barriers atau hambatan masuk

(27)

keuntungan ini dapat dijadikan proksi penilaian kinerja suatu perusahan atau suatu industri. Para penganut aliran strukturalis percaya bahwa dalam mencapai kinerja industri yang baik, perlu campur tangan pemerintah untuk menjaga kestabilan iklim kompetisi. Dengan kata lain, aliran ini mengatakan bahwa kinerja yang dianggap baik adalah kinerja yang dihasilkan oleh struktur pasar persaingan sempurna.

Model Perspektif “Chicago- UCLA School

Menurut Shepherd (1997), paradigma SCP memberikan satu pendekatan yang penting dalam pengkajian pasar pada dunia nyata (real world) tetapi tidak hanya satu pendekatan dalam pengkajian organisasi industri. Perspektif “Chicago- UCLA School” mempunyai model tentang teori harga yang digunakan sebagai peralatan analisis pasar. Menurut pandangan ini arah pengaruh atau penyebab dari diagram SCP adalah berkebalikan, dimana kinerja pasarlah yang mempengaruhi perilaku pasar, dan perilaku pasar yang mempengaruhi struktur pasar. Setiap perusahaan mempunyai tingkat efisiensi relatif yang menjadi penentu yang nyata bagi posisi perusahaan dalam struktur dan perilaku pasar. Pandangan ini dipelopori oleh Stigler (1980), sebagai reaksi dari pandangan yang diberikan kaum strukturalis yang diperoleh Bain. Menurut pandangan ini, kinerja perusahaan akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam strategi harga, strategi produksi, dan strategi promosi. Perilaku inilah yang akan mempengaruhi struktur pasar. Sehingga persamaan yang diciptakan menurut pandangan ini adalah sebagai berikut.

Struktur = f (kinerja)

Berbeda dengan kaum strukturalis, pengikut pandangan “Chicago- UCLA

School” ini mengatakan bahwa campur tangan pemerintahlah yang menyebabkan

perilaku anti kompetisi. Oleh sebab itu, pandangan ini lebih meyakini bahwa dengan lepas tangannya pemerintah dan membiarkan perekonomian menurut mekanisme pasar, akan lebih bisa mengatasi distorsi yang terdapat dalam pasar tersebut. Perusahaan yang efisien atau yang inovatif dapat menarik konsumen melalui harga yang lebih murah dan produk yang lebih baik, sehingga dapat menghasilkan laba yang lebih tinggi dan juga market share yang lebih besar. Model ini menganut mazhab ekonomi klasik yang mengandalkan mekanisme pasar dan tidak cocok dipakai untuk menjelaskan perkembangan industri broiler Indonesia dimana dari tahun 1960 sampai tahun 1990 ada peranan Pemerintah dalam mengatur perkembangan industri broiler.

Model Perspektif “Contestable Market

(28)

untuk memasuki pasar yang tidak ada hubungannya dengan struktur internal pasar. Pandangan ini dikembangkan sebagai kebebasan masuk pasar “Contestability atau Free Entry School”. Aliran tersebut mengatakan bahwa entry

mempengaruhi langsung kinerja pasar. Model ini juga menganut mazhab ekonomi klasik dan cukup sederhana serta mengandalkan mekanisme pasar, sehingga tidak cocok dipakai untuk menjelaskan perkembangan industri broiler Indonesia.

Model dan Perspektif “Game Theory

Disamping tiga aliran di atas terdapat aliran baru sebagai alternatif teori tentang organisasi industri (New Industrial Organization Theory). Aliran dalam organisasi industri (New Industrial Organization School) menentukan analisis abstrak dan keadaan dua perusahaan dengan pengembangan teori permainan (Game Theory), khusus untuk perilaku perusahaan kategori oligopoli non-kooperatif (noncooperative oligopoly). Ada dua kategori model dalam pendekatan teori permainan oligopoli non-kooperatif (Game Theory) yaitu :

1. Model oligopoli dalam periode tunggal antara lain perspektif menurut Nash Equilibrium, The Cournot Model, The Betrand Model, The Stachelberg Leader-Follower Model, dan Comparison of The Major Model.

2. Model oligopoli dalam berbagai periode, yaitu model dilema tahanan ” Single-Period Prisoners-Dilemma Game”, dilema tahanan ”Infinitely Repeat Prisoners-Dilemma Game”, dan type of Equilibria in Multiple Games.

Semua kategori dari model teori permainan ini memberikan hasil (out come) yang sangat tergantung pada asumsi sekaligus menjadi kelemahan teori ini. Lima asumsi kuat yang dipakai dalam permainan (game) pada non-kooperatif oligopoli (non-cooperative oligopoly) ini adalah :

1. Konsumen bertindak sebagai pengambil harga (price takers) 2. Semua perusahaan menghasilkan produk sejenis (homogenous)

3. Tidak ada pendatang baru dalam industri, jumlah perusahan tetap (no entry) 4. Perusahaan secara kolektif memiliki kekuatan pasar, mereka dapat

menetapkan harga diatas biaya marginal,

5. Masing-masing perusahaan hanya menetapkan harga atau jumlah out put tertentu (not advertising or other variabels)

Teori permainan (game theory) menganalisa interaksi secara rasional, keputusan dari perusahaan secara individual tidak mungkin diramal. Model dari perilaku kooperatif (cooperative) dan non-kooperatif (noncooperative oligopoly) dapat dilihat dari strategi permainan seperti penetapan jumlah output, harga, atau tingkat advertensi. Permainan Oligopolistik memiliki tiga elemen umum yaitu :

1. Ada dua atau lebih perusahaan dalam permainan (players)

2. Masing-masing perusahaan berusaha memaksimumkan keuntungan (pay off) 3. Masing-masing perusahaan mewaspadai tindakan perusahaan lain yang dapat

mempengaruhi keuntungan perusahaannya (profit).

(29)

Stachelberg, sedangkan jika perusahaan menetapkan harga dipakai asumsi dari model Betrand. Semua perusahaan bertindak dalam waktu bersamaan dalam model Cournot dan Betrand dimana satu perusahaan menetapkan tingkat output sebelum perusahaan lain menetapkan output. Perbedaan tindakan dalam perusahaan bermaksud agar titik keseimbangan yang dicapai berbeda pada masing-masing model. Bersamaan dengan itu, beberapa pasar hanya bermain dalam satu periode sementara yang lain bermain dalam banyak periode. Permainan satu periode dapat dijelaskan bahwa pertemuan hanya berlangsung dalam satu kali pertemuan misalnya dalam satu pekan raya tertentu, perusahaan menetapkan harga atau output pada hari itu saja dan tidak memiliki kesempatan menyelidiki prilaku perusahaan saingannya dan tindakan perusahaan saingannya dimasa yang akan datang (Single-Period Oligopoly Models).

Model dalam permainan banyak periode, analisa yang digunakan adalah masing-masing perusahaan memiliki kesempatan untuk saling menyelidiki perilaku pesaingnya dari hari ke hari sepanjang tahun. Kemungkinan yang terjadi adalah masing-masing perusahaan bersaing secara berulang-ulang dan melakukan berbagai penyesuaian atas tindakan pesaingnya (Multiperiod Games). Model ini sangat tergantung kepada asumsi yang dibuat dan belum cocok digunakan untuk menjelaskan perkembangan industri broiler Indonesia dimana sulitnya mendapatkan reaksi atau perilaku perusahaan besar di industri broiler sehubungan dengan kerahasiaan strategi.

Model dan Perspektif “Strategic Behavior dari Martin

(30)

Sumber : Martin, 1993

Gambar 4. Model hubungan saling pengaruh mempengaruhi dari Structure Conduct Performance-SCP

Model yang dikembangkan Martin (1993), tidak dapat dipakai sebagai model acuan dalam menjelaskan mekanisme perkembangan pasar broiler Indonesia karena model ini memiliki penekanan pada strategi dan bahwa variabel permintaan konsumen dan variabel teknologi dipasang secara berhadap-hadapan, sehingga sulitnya improvisasi untuk pengembangan model lebih lanjut.

Model dan Perspektif ”New-Harvard Tradition”

Menurut Carlton dan Perloff (2000), ada dua pendekatan model dalam studi pasar; pertama, pendekatan struktur, perilaku dan kinerja (structure, conduct and performance-SCP), model ini biasa digunakan untuk mendeskripsikan pasar.

(31)

mempengaruhi kinerja, ketiga komponen ini dan kondisi dasar dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.

Menurut teori, struktur pasar (structure) dapat dijelaskan; bila terdapat banyak pembeli dan penjual dan tidak ada batasan untuk masuk dan keluar pasar, pasar ini disebut pasar persaingan (competition). Ketika satu perusahaan penjual dan banyak pembeli dan tidak ada perusahaan baru yang dapat masuk pasar sebagai penjual, pasar ini disebut monopoli (monopoly). Sebaliknya jika hanya ada satu perusahaan yang membeli kepada banyak penjual, disebut monopsoni (monopsony). Jika penjual dapat mempengaruhi harga walaupun terdapat persaingan dalam pasar, maka struktur pasar ini disebut oligopolistik atau persaingan monopolistik (monopolistic competitions). Jika terdapat sedikit perusahaan penjual dalam pasar dengan hambatan masuk dan keluar pasar cukup besar bagi perusahaan lain disebut oligopoli (oligopoly). Berikut ini ditampilkan Tabel 1 mengenai taksonomi dasar dari struktur pasar.

Pada pasar persaingan, baik sipenjual maupun sipembeli, kecil sekali kemungkinan untuk dapat mempengaruhi harga pasar, di sini perusahaan sebagai pengambil harga (price takers). Pasar persaingan lebih disukai konsumen karena lebih menguntungkan. Sebaliknya pada pasar monopoli, perusahaan memiliki kekuatan dalam menetapkan harga diatas harga pasar persaingan (price setter), Pasar persaingan Tidak ada Banyak Tidak ada Banyak

Monopoli Ada Satu Tidak ada Banyak

Monopsoni Tidak ada Banyak Ada Satu

Oligopoli Ada Beberapa Tidak ada Banyak

Oligopsoni Tidak ada Banyak Ada Beberapa

Monopolistik Tidak ada Banyak Tidak ada Banyak

Sumber : Carlton dan Perloff, 2000

Pada sisi perilaku (conduct), perusahaan melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan tujuannya dengan; melakukan promosi, riset dan pengembangan, penetapan harga, taktik yang legal, pilihan produk, kolusi, merjer dan sistem kontrak. Tindakan yang diambil perusahaan umumnya untuk menurunkan tingkat persaingan di pasar seperti menetapkan harga atau membatasi jumlah barang yang dijual bahkan tindakan yang lebih kompleks dari itu yang dikenal dengan tindakan strategis perusahaan (strategic behavioral). Sementara itu kinerja (performance), yang didefinisikan sebagai kesuksesan pasar dalam menghasilkan keuntungan bagi konsumen, misalnya kinerja pasar dikatakan bagus jika perusahaan mampu menetapkan harga mendekati biaya marginalnya.

(32)

monopoli, pembatasan masuk atau keluar pasar, pemberlakuan pajak atau subsidi, insentif investasi, insentif tenaga kerja dan kebijakan ekonomi makro (Carlton dan Perloff, 2000). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 5.

Sumber : Carlton dan Perloff, 2000

Gambar 5. Bagan analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja

Model yang dikembangkan Carlton dan Perloff (2000), bertitik tolak pada mazhab ”Harvard Tradition”, sudah memiliki ketajaman spesifik jika diterapkan sebagai model dalam mengungkap perkembangan industri broiler Indonesia

Kondisi Dasar (Basic Condition) - Elastisitas Permintaan

- Teknologi

- Substitusi

- Tingkat Pertumbuhan

- Musim/trend

- Bahan baku

- Lokasi

- Skala dan Skop Ekonomi

Struktur (Structure)

- Jumlah Pembeli dan Penjual

- Hambatan Masuk Pasar

- Diferensiasi Produk

- Integrasi Vertikal

- Diversifikasi

Perilaku (Conduct) - Promosi/Iklan

- Riset dan Pengembangan

- Perilaku Harga

- Pilihan Lokasi Investasi

- Taktik Legal

- Pilihan Produk

- Kerjasama (Collusion)

- Merjer dan Sistem Kontrak

Kinerja (Performance) - Harga

- Efisiensi

- Pemerataan

- Kualitas Produk

- Kemajuan bidang tehnik

- Keuntungan

Kebijakan Pemerintah - Regulasi

- Anti Monopoli

- Batasan Masuk Pasar

- Pajak dan Subsidi

- Insentif Investasi

- Insentif Tenaga Kerja

(33)

karena memasukkan spesifiknya peranan pemerintah dalam perkembangan industri.

Tinjauan tentang Industri Ayam Broiler, Produksi dan Konsumsinya

Industri Ayam Broiler

Salah satu komoditas peternakan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah ayam ras pedaging (broiler). Ayam broiler merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging. Industri ayam broiler memiliki daya saing atau keunggulan komparatif dalam pengusahaannya. Pengusahaan ayam broiler untuk pemenuhan kebutuhan domestik, secara ekonomis adalah efisien dalam pemanfaatan sumberdaya dalam negeri (Siregar dan Rusastra, 2002).

Ayam ras, yang dikenal sekarang dengan istilah Ayam broiler asal mulanya diimpor dari luar negeri. Impor anak ayam dalam umur sehari atau disebut Day Old Chick (DOC) dalam bentuk DOC komersial (DOC Final Stock/DOC FS).

Final Stock yaitu jenis ayam yang tidak untuk dikembang biakkan lagi, hanya dipelihara dalam satu siklus produksi. Sekarang ini Indonesia telah mampu memproduksi Parent Stock (PS), yaitu indukan ayam yang akan menghasilkan telur yang harus ditetaskan menjadi anak ayam atau day old chick (DOC). Sesekali Impor bibit PS juga kerap terjadi apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi. DOC broiler (ayam pedaging) dahulunya dipelihara sampai panen selama 8 minggu, namun sekarang ini akibat kemajuan teknologi pemuliaan ternak, ayam broiler sudah dapat dipanen pada umur pemeliharaan 4-5 minggu. Ayam ras komersial merupakan hasil kemajuan teknologi pemuliaan ternak (animal breeding), baik melalui persilangan beberapa bangsa ayam atau galur murni (pure breed/line). Ayam jenis ini memiliki karakteristik yaitu produktivitas tinggi, tahan penyakit dan memiliki sifat-sifat unggul.

Sebenarnya ayam broiler ini baru populer di Indonesia sejak tahun 1980-an, walaupun galur murninya sudah diketahui pada tahun 1960-an ketika peternak mulai memeliharanya. Sebelumnya ayam yang dipotong adalah ayam petelur seperti ayam white leghorn jengger tunggal. Tidak heran bila pada saat itu banyak orang yang antipati terhadap daging ayam ras sebab ada perbedaan yang sangat mencolok antara daging ayam ras broiler dan ayam ras petelur, terutama pada struktur pelemakan didalam serat-serat dagingnya. Antipati masyarakat yang saat itu sudah terbiasa dengan ayam kampung terus berkembang hingga pemasaran ayam broiler semakin sulit. Pada akhir periode 1980-an pemerintah mencanangkan penggalakan konsumsi daging ayam untuk menggantikan konsumsi daging ruminansia yang saat itu semakin sulit keberadaannya. Kondisi pun berbalik kini banyak peternakan ayam broiler bangkit. Dari sinilah ayam broiler komersial atau ayam broiler final stock mulai dikenal dan secara perlahan mulai diterima orang (Rasyaf, 1993).

(34)

pemrosesan ayam pedaging, telur tetas, telur konsumsi, pakan ternak, obat-obatan hewan, sarana produksi dan sebagainya (ICN, 2009).

Ada empat pola usaha ternak (budidaya) ayam ras pedaging (broiler) dan petelur, yakni: (1) usaha ternak ayam ras menyediakan sendiri seluruh sapronaknya baik langsung maupun melalui perusahaan afiliasi, (2) usaha ternak ayam menyediakan sendiri sebagian sapronaknya, misalnya usaha ternak menghasilkan sendiri pakan ayam ras tetapi tidak menyediakan Day Old Chick

(DOC) atau sebaliknya, (3) usaha ternak yang membeli sendiri seluruh sapronaknya langsung dari pabrik, dan (4) usaha ternak ayam ras yang membeli seluruh sapronaknya melalui poultry shop. Dari empat pola usaha ini, pola satu dan dua mempunyai peluang yang lebih baik dalam berbagai kondisi pasar. Sedangkan usaha ternak pola empat berada pada posisi bersaing yang lemah dan sangat peka terhadap perubahan harga sapronak. Dalam keadaan harga sapronak naik, sedangkan harga produk ayam ras tidak naik, maka usaha ternak pola keempat ini akan sangat menderita (Alim, 1996).

Perkembangan Industri Pakan dan Pembibitan Ayam Broiler

Industri broiler nasional terdiri atas beberapa segmen kegiatan yang satu sama lain memiliki ketergantungan yang sangat besar karena menyangkut kebutuhan biologis. Segmen pertama adalah budidaya, kemudian segmen pabrik pakan, pembibitan, farmasi, industri rumah potong, dan selanjutnya pengemasan. Menurut Nesheim (1979), urutan segmen produksi terintegrasi berada dalam satu unit perusahaan, bahkan juga berada dalam satu lokasi perusahaan. Transfer

output intermediate sangat hemat dalam biaya angkutan, kemasan, resiko kematian/ kerusakan dalam perjalanan, resiko penghematan tenaga kerja, dan tidak ada margin keuntungan pada setiap segmen. Dengan demikian struktur produksi vertikal semacam itu memberikan hasil akhir yang lebih efisien dibandingkan jika segmen tersebut berserakan, baik menurut perusahaan maupun berdasarkan lokasi perusahaan.

Peternakan ayam potong serta penghasil pakan dan DOC sebagian besar merupakan perusahaan besar yang sudah menggunakan teknologi modern. Sebagian besar industri peternakan ayam komersial di Indonesia merupakan Penanaman Modal Asing (PMA) yang mendominasi pasar, dengan menguasai sekitar 70-80 persen pasar. Sejumlah perusahaan asing tersebut diantaranya Charoen Popkhand yang berpusat di Thailand, Cheil Jedang dari Korea, Sierad berasal dari Malaysia dan lain-lain. Produsen besar tersebut umumnya terintegrasi dengan industri pakan ternak, industri pembibitan serta industri pengolahan hasil ternak (Indonesian Commercial Newsletter, 2009).

(35)

kebutuhan pakan unggas terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada akhir tahun 2004 impor jagung mencapai 1.7 juta ton (Litbang Pertanian, 2004).

Produksi pakan nasional jelas berhubungan dengan permintaan akan produk ayam broiler. Produksi pakan nasional meningkat sepanjang periode 2004-2008 dengan pertumbuhan sebesar 8 persen dari 5.98 juta ton di 2004 menjadi 8.15 juta ton di 2008. Jumlah pabrik pakan skala besar meningkat dari 56 pabrik (2004) menjadi 61 pabrik di 2008 yang tersebar di delapan provinsi, yaitu Sumatera Utara 9 pabrik, Sumatera Barat 1 pabrik, Lampung 4 pabrik, Banten 12 pabrik, DKI Jakarta 4 pabrik. Di Jawa Barat terdapat 8 pabrik, Jawa Tengah 3 pabrik, 16 pabrik di Jawa Timur, Kalimantan Selatan 1 pabrik dan Sulawesi Selatan 3 pabrik. Kapasitas produksi dari seluruh pabrik pakan di tahun 2008 sebesar 12 juta ton per tahun (BPS, 2009a)

Sementara untuk bibit ayam broiler, berdasarkan data Ditjen Peternakan, produksi pembibitan ayam ras pedaging (broiler) dalam periode lima tahun pada 2004-2008 mengalami peningkatan. Kondisi perunggasan tidak terlepas dari berapa suplai DOC FS yang diproduksi oleh para pembibit. Produksi bibit ayam ras (Day Old Chick Final Stock/DOC FS) broiler pada triwulan pertama tahun 2008 tercatat naik menjadi 26.8 juta ekor per minggu atau terjadi peningkatan sebesar 16.5 persen dari 23 juta ekor per minggu pada periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan produksi DOC FS broiler, didukung oleh laporan populasi, produksi dan distribusi yang disampaikan oleh para pembibit. Kenaikan produksi di triwulan pertama ini disebabkan karena efek samping dari faktor bisnis pada triwulan keempat tahun 2007, antara lain penjualan DOC yang tidak optimal, penundaan/pengurangan setting HE (harga ekspor) dan aborsi disetter/hatcher pada triwulan keempat tahun 2007 untuk peningkatan harga. Kejadian seperti ini terjadi hampir di setiap tahun (ICN, 2009).

Di Indonesia terdapat 12 perusahaan pembibitan ayam Grand Parent Stock

(GPS) atau bibit ayam nenek yang masih memiliki ketergantungan impor 100 persen bibit GPS dari luar negeri. Data Direktorat Jenderal Peternakan (2012) menunjukkan impor GPS unggas dalam lima tahun terakhir terus melonjak. Rinciannya yakni, pada 2007 dilakukan impor bibit GPS sebanyak 361 460 ekor, tahun 2008 sebanyak 370 036 ekor, lalu di tahun 2009 mengimpor bibit GPS sebanyak 404 774 ekor dan di 2010 sebanyak 402 414 ekor. Sedangkan di tahun 2011, hingga bulan November telah diimpor bibit GPS sekitar 480 ribu ekor. Sementara untuk pembibitan ayam Parent Stock (PS), Indonesia memiliki 39 perusahaan pembibitan baik petelur dan pedaging yang juga tersebar di delapan propinsi sebagaimana industri pakan. Indukan ayam (Parent Stock) tersebut nantinya akan menghasilkan telur yang harus ditetaskan menjadi anak ayam atau

day old chick (DOC). Impor bibit PS juga kerap terjadi apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi. Kenyataan sulitnya membangun industri bibit unggas dikarenakan industri ini merupakan industri yang padat teknologi dan padat modal. Khususnya untuk pembibitan GPS, butuh investasi besar sekali karena teknologinya tinggi.

(36)

menghasilkan pakan untuk perusahaan pembibitan dan perusahaan budidaya. Kemudian segmen perusahaan pembibitan yang menghasilkan bibit untuk perusahaan peternakan. Sehingga apa yang dimaksud dengan peternakan adalah terbatas pada budidaya itu sendiri. Akibatnya konsumen hasil akhir harus membayar mahal biaya-biaya ekonomi yang ditimbulkannya.

Kemudian setelah tahun 1990 ada kecenderungan industri nasional membentuk integrasi vertikal, tetapi baru dalam bentuk kesatuan finansial yang terdiri atas beberapa perusahaan yang tidak terintegrasi baik dalam satu perusahaan, apalagi dalam satu lokasi. Saat ini terdapat beberapa grup yang memiliki 5 sampai 7 perusahaan yang keseluruhannya merupakan segmen-segmen agribisnis unggas. Menurut informasi dari Poultry Indonesia (1997) bahwa beberapa perusahaan broiler skala besar melakukan integrasi secara vertikal dalam satu kesatuan finansial meskipun dalam bentuk anak-anak perusahaan. Bahkan beberapa diantaranya melakukan integrasi secara sempurna dari hulu sampai ke hilir.

Secara nasional usaha semacam ini tidak efisien karena hanya menguntungkan bagi pemilik modal tetapi biaya produksi menjadi lebih tinggi dan menjadi beban bagi konsumen. Dalam sistem peternakan yang terintegrasi, semestinya keuntungan perusahaan diperoleh dari pengolahan lebih lanjut (further processing), bukan dari pemeliharaan ayam. Ukuran pemeliharaan ayam per peternaknya menjadi semakin besar (Djarsanto, 1997 dalam Yusdja et al, 2004) menyatakan bahwa masing-masing sub-sistem dalam industri peternakan mau menang sendiri, tidak mau berpadu. Keadaan ini sama sekali tidak memberikan dampak positif terhadap penurunan biaya, malah meningkat. Dengan kata lain harga output tidak berubah antara sebelum dan sesudah integrasi. Seharusnya, dengan integrasi, harga output akan lebih rendah.

Menurut Hasibuan (1993), perilaku integrasi dapat dibagi menjadi dua yakni integrasi horizontal dan integrasi vertikal. Integrasi horizontal adalah penggabungan dari beberapa perusahaan yang memiliki proses produksi yang sama dan produk yang dihasilkan juga serupa. Sedangkan integrasi vertikal adalah penggabungan beberapa perusahaan yang memiliki kelanjutan proses produksi. Berbeda dengan integrasi horizontal, perusahaan-perusahaan yang melakukan integrasi vertikal tidak akan menghasilkan produk yang serupa. Dalam konsep integrasi vertikal, terdapat perusahaan yang proses produksinya lebih awal (bagian hulu/upstream) dan ada perusahaan yang memiliki tahapan produksi sampai dengan barang-barang jadi (bagian hilir/downstream). Dengan demikian integrasi vertikal terjadi antara perusahaan-perusahaan yang memiliki kelanjutan proses produksi baik yang di hulu maupun yang di hilir.

Integrasi vertikal didefinisikan sebagai orang atau bisnis yang memiliki dua tahap yang berdekatan dalam sistem produksi dan pemasaran. Sebagai contoh, seorang prosesor yang memiliki tanaman dan lahan akan terintegrasi secara vertikal. Demikian pula, koperasi produsen memiliki dan mengoperasikan pabrik pengolahan dikatakan terintegrasi secara vertikal (Hayenga et al, 2000). Strategi integrasi vertikal banyak dilakukan oleh perusahaan untuk memenangkan persaingan. Di sisi lain integrasi vertikal juga dapat menghilangkan persaingan.

Gambar

Gambar 4. Model hubungan saling pengaruh mempengaruhi dari Structure
Gambar 5. Bagan analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja
Gambar 6. Pangsa pasar untuk Pakan dan DOC pada 2007 di Indonesia
Tabel 2. Kinerja produksi usaha peternakan Ayam Broiler di Indonesia, 1980-
+7

Referensi

Dokumen terkait

D.4\1 P.4 K KEBIJAKAN PRIVATISASI TERHADAP Pt\SGS:\ P.-\SAR INDUSTRI SEMEN DI INDONESIA.. OIeh : WIZA

Namun jika terdapat hubungan yang positif antara konsentrasi dengan profitabilitas, berarti kinerja industri perbankan tersebut dipengaruhi oleh Konsentrasi

Kegiatan pariwisata sangat besar memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan negara sehingga menjadi salah satu sektor industri yang gencar dikembangkan. Sebagai

Untuk menganalisa profitabilitas produk sehingga dapat ditentukan konsentrasi pemasaran masing-masing produk pada setiap daerah pemasaran, dan dengan mempertimbangkan data

2) MS (Market Share) dalam perusahaan pada industri telekomunikasi seluler Indonesia tahun 2001-2013 berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja (Net Income Margin).

demikian, perusahaan-perusahaan dalam industri yang barrier to entry -nya tinggi akan menghasilkan return saham yang lebih rendah karena premi risiko kesulitan yang

Oleh karena itu dalam merumuskan kerjasama antar daerah dalam pengembangan industri, selain perlu untuk mengetahui lokasi industri manufaktur dan struktur industri pada

Hasil Analisis Faktor Variabel Kesejahteraan Masyarakat Industri Kawasan Wisata Kabupaten Gresik Jawa Timur STRATEGI FINANCIAL LITERCAY Strategi financial literacy terbagi menjadi,