• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia"

Copied!
289
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK INVESTASI SUMBERDAYA MANUSIA DAN

TRANSFER PENDAPATAN TERHADAP DISTRIBUSI

PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DI INDONESIA

DISERTASI

RASIDIN KARO-KARO SITEPU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

RASIDIN KARO-KARO SITEPU. The Impact of Human Resource Investment and Income Transfer on Income Distribution and Poverty in Indonesia (BONAR M. SINAGA as Chairman, RINA OKTAVIANI and MANGARA TAMBUNAN as Members of the Advisory Committee).

Income distribution disparity and household poverty have been crucial problems in Indonesia. Various efforts have been conducted by the Indonesian government to solve these problems, such as by increasing human resource investment and income transfer to household.

The research objectives are to analyze impacts of human resource investment and income transfer to household on income distribution and poverty in Indonesia. It was being analyzed an econometric model, Computable General Equilibrium (CGE) model, Beta Distribution Function and Foster-Greer-Thorbecke (FGT) method. Table of Indonesian Input-Output in 2003, Table of Indonesian Social Accounting Matrix in 2003, and database of National Social Economic Survey (SUSENAS) in 2002 were used in the analysis. Policy simulations conducted are (1) human resource investment for education and health sectors, and (2) income transfer from government to household group in the rural area.

Simulation results show that both human resource investment and income transfer are able to increase economic growth and household income followed by declining household poverty. Human resource investment is able to reduce government budget deficit and disparity of income distribution particularly for farm-laborer group and agricultural entrepreneur household, meanwhile income transfer to rural households has a little impact on reducing disparity of income distribution and to increase government budget deficit. Based on the simulation results can be concluded that human resource investment is more effective in reducing income inequality and poverty incidence compare to income transfer from government to household group in the rural area.

Increasing of economic growth through increasing of human resource investment and government policy to improve access to education and health for poor household groups is needed to reduce the disparity of income distribution and the poverty.

Key words: Income Distribution, Poverty, Human Resource Investment, Income Transfer, Computable General Equilibrium Model.

(3)

ABSTRAK

RASIDIN KARO-KARO SITEPU. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer Pendapatan terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, RINA OKTAVIANI dan MANGARA TAMBUNAN sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Ketimpangan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan rumahtangga merupakan permasalahan yang serius di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah tersebut antara lain dengan meningkatkan investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan rumahtangga terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Analisis menggunakan model Ekonometrika, model Ekonomi Keseimbangan Umum, metode Beta Distribusi Function dan metode Foster-Greer-Thorbecke. Data yang digunakan adalah Input-Output Indonesia tahun 2003, Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia tahun 2003 dan Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002. Simulasi kebijakan yang dilakukan adalah (1) investasi sumberdaya manusia untuk sektor pendidikan dan kesehatan, dan (2) transfer pendapatan kepada kelompok rumahtangga perdesaan.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan rumahtangga yang diikuti oleh penurunan tingkat kemiskinan rumahtangga. Investasi sumberdaya manusia dapat mengurangi defisit anggaran pemerintah dan ketimpangan distribusi pendapatan khususnya kelompok rumahtangga buruh tani dan pengusaha pertanian, sedangkan dampak transfer pendapatan ke rumahtangga perdesaan relatif kecil mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan dan meningkatkan defisit anggaran pemerintah. Berdasarkan hasil simulasi tersebut disimpulkan bahwa investasi sumberdaya manusia lebih efektif menurunkan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan dibandingkan dengan transfer pendapatan kepada kelompok rumahtangga perdesaan

Untuk menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan diperlukan peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi sumberdaya manusia dan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan dan kesehatan bagi kelompok rumahtangga miskin.

(4)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yan wajar IPB

(5)

SURAT PENYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul ”DAMPAK INVESTASI SUMBERDAYA MANUSIA DAN TRANSFER PENDAPATAN TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA” merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Seluruh sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2007

(6)

DAMPAK INVESTASI SUMBERDAYA MANUSIA DAN

TRANSFER PENDAPATAN TERHADAP DISTRIBUSI

PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DI INDONESIA

RASIDIN KARO-KARO SITEPU

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Disertasi : Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer Pendapatan terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia

Nama Mahasiswa : Rasidin Karo-Karo Sitepu Nomor Pokok : A 161020061

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc

Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan

Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Nopember 1972 di Tanah Karo Propinsi Sumatera Utara, putera kelima dari lima bersaudara dari ayahanda Harun Karo-Karo Sitepu (Alm) dan ibunda Miah Br. Sembiring Kembaren. Penulis menikah pada tahun 2006 dengan Veralianta Br Sebayang dan dikaruniai satu orang putra yang bernama Muhammad Rizky Rasid Sitepu.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Perbulan tahun 1985, tahun 1988 menamatkan pendidikan menengah pertama di SMP Nusantara Perbulan, tahun 1991 penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan di SMA Tunas Kartika I Medan, dan tahun 1996 penulis menyelesaikan program Sarjana Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumateran Utara, Medan. Tahun 1998, penulis bekerja sebagai dosen Yayasan di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara, Medan. Tahun 1999, penulis mendapat kesempatan untuk belajar ke jenjang program S2 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan biaya pendidikan dari Fakultas Pertnaian UISU dan BPPS. Pendidikan S2 diselesaikan pada tahun 2002.

(9)

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rakhmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan Disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini dimaksudkan untuk menganalisis dan mengevaluasi dampak investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia.

Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam terutama kepada Prof. Dr. lr. Bonar M. Sinaga, MA, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. lr. Rina Oktaviani, MS dan Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan berbagai masukan dan arahan yang sangat konstruktif bagi penyempurnaan tulisan ini.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor dan Direktur Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

(10)

3. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta staf dan dosen-dosen yang telah memberikan berbagai kemudahan selama mengikuti kegiatan akademis.

4. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc, sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun demi untuk penyempurnaan disertasi ini.

5. Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MSc, sebagai penguji luar komisi mewakili Program Studi EPN yang telah memberikan masukan dan saran perbaikan untuk disertasi ini.

6. Suahasil Nazara, MSc. Ph.D, selaku penguji luar komisi yang telah memberikan kritik dan masukan demi perbaikan disertasi ini.

7. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D, selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan disertasi ini.

8. Kepada Dr. Djaimi, Dr. Muana Nanga, Uka Wikarya, Haryadi dan rekan-rekan angkatan tahun 2002, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan dorongan moral dan semangat kepada penulis untuk penyelesaian disertasi ini.

(11)

Rasa syukur dan terima kasih diucapkan kepada Istri dan anakku, atas doa, kasih sayangnya, pengertian, kesabaran, dan kesetiaannya menemani penulis selama proses penyusunan disertasi, sehingga Disertasi ini dapat menyelesaikan dengan baik.

Besar harapan penulis agar berbagai pemikiran yang tertuang dalam Disertasi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah, khususnya dalam menyikapi berbagai fenomena kemiskinan di Indonesia. Penulis menyadari, sebagai bagian dari suatu proses tentunya dalam Disertasi ini masih ditemui berbagai kekurangan sehingga saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi untuk penyempurnaan disertasi ini. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Bogor, Agustus 2007

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ……….………... v

DAFTAR GAMBAR ……….………... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………. 9

1.3. Tujuan Penelitian ………. 15

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ……… 16

II. TINJAUAN PUSTAKA ………..………. 17

2.1. Determinan Pertumbuhan Ekonomi ………...…………. 17

2.2. Pendekatan Kesejahteraan dan Kemisikinan ………...…….. 20

2.2.1. Pendekatan Welfarist ……… 20

2.2.2. Pendekatan Non-Welfarist ………. 22

2.3. Pertumbuhan Ekonomi, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan .. 24

2.4. Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan ……… 27

2.4.1. Konsep dan Ukuran Distribusi Pendapatan ……….……. 27

2.4.2. Konsep dan Ukuran Kemiskinan ……….……. 31

2.5. Profil Kemiskinan di Indonesia ... 34

2.5.1. Profil Kemiskinan Nasional ... 34

2.5.2. Profil Kemiskinan Regional ... 37

2.5.3. Profil Kemiskinan Sektoral ... 39

2.6. Bantuan Pembangunan ... 41

2.7. Investasi Sumberdaya Manusia ... 44

2.7.1. Investasi di Bidang Pendidikan ……… 46

2.7.2. Tingkat Pengembalian Investasi Pendidikan ……… 50

2.7.3. Investasi Kesehatan Fisik dan Mental ………. 53

(13)

2.8. Pengeluaran Pembangunan ... 53

2.9. Peran Serta Masyarakat dalam Pendanaan Pendidikan ... 55

2.10. Studi Terdahulu ……… 58

III. KERANGKA TEORI ... 76

3.1. Teori Pertumbuhan Ekonocmi .…...………... 76

3.1.1. Model Harrod-Domar ... 76

3.1.2. Model Pertumbuhan Solow ...……… 79

3.1.3. Model Pertumbuhan Baru ………... 83

3.1.4. Model Human Capital dan Pertumbuhan ………... 88

3.2. Konsep Keseimbangan Umum ... 89

3.2.1. Keseimbangan Konsumsi ... 93

3.2.2. Keseimbangan Produksi ... 95

3.2.3. Keseimbangan Konsumsi dan Produksi ... 97

3.2. Kerangka Pemikiran ……....………... 99

3.2.1. Peranan Pemerintah dalam Menurunkan Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan ... 100

3.2.2. Kerangka Operasional ……….. 102

IV. MODEL EKONOMI KESEIMBANGAN UMUM .…………... 104

4.1. Mengapa Menggunakan Model Komputasi Keseimbangan Umum. 104 4.2. Struktur Model ………... 108

4.2.1. Spesifikasi Umum ... 109

4.2.2. Sistem Persamaan ... 111

4.3. Ukuran Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan ... 137

4.4. Pengolahan Data ... 139

4.5. Simulasi Kebijakan ... 140

4.6. Closure ... 146

4.7. Diagram Alur Penelitian ... 148

(14)

V. MEMBANGUN DATA DASAR MODEL CGE …….…………... 151

5.1. Jenis dan Sumberdata ………. 151

5.2. Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2003 ……… 151

5.2.1. Struktur Input-Output ……… 152

5.2.2. Agregasi Sektor ………. 155

5.3. Sistem Neraca Sosial Ekonomi ……… 157

5.3.1. Klasifikasi Rumahtangga ………. 164

5.3.2. Klasifikasi Tenaga Kerja ……….. 166

5.3.3. Pendapatan atas Lahan dan Modal ………. 167

5.4. Elastisitas dan Parameter Lain ………...……….. 168

5.5. Prosedur Membangun Data Dasar Model CGE …...….. 174

5.5.1. Membangun Raw Data ………. 174

5.5.2. Membuat File Tablo ……… 179

5.5.3. Agregasi Data Dasar ………. 181

5.5.4. Pengujian Keseimbangan Database ……….. 182

VI. DAMPAK INVESTASI SUMBERDAYA MANUSIA DAN TRANS- FER PENDAPATAN TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN ... 188

6.1. Dampak Investasi Sumberdaya dan Transfer Pendapatan terhadap Kinerja Makroekonomi Indonesia ………... 189

6.2. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer Pendapatan Terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral ………...… 194

6.2.1. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer Pendapatan terhadap Output Sektoral ... 194

6.2.2. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer Pendapatan terhadap Harga Output Sektoral ... 196

6.2.3. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer Pendapatan terhadap Permintaan Tenaga Kerja Sektoral ... 199 6.2.4. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer

Pendapatan terhadap Utilitas dan Pendapatan Rumahtangga 201

(15)

6.3. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer Pendapatan

terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan ... 203

6.3.1. Distribusi Pendapatan ……… 204

6.3.2. Tingkat Kemiskinan ……… 216

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN …………... 224

7.1. Kesimpulan ……… 224

7.2. Implikasi Kebijakan ……… 227

7.3. Saran Penelitian Lanjutan ………. 229

DAFTAR PUSTAKA ………. 231

LAMPIRAN ………. 239

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pertumbuhan PDB atas Harga Dasar Konstan 2000 Menurut

Lapangan Usaha, Tahun 2001 - 2005 ……….……… 5 2. Beberapa Indikator Makro Pasar Kerja Indonesia, Tahun 1998-2004 5 3. Perkembangan Indikator Kemiskinan Indonesia, Tahun 1976-2004… 6 4. Anggaran Pemerintah Indonesia, Tahun 2000-2003 ………. 10 5. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun

1976–2004 ... 35 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin menurut Provinsi, Tahun

2004 ... 38 7. Presentase Pengeluaran Pembangunan untuk Pendidikan dan

Kesehatan, terhadap Total Pengeluaran Pembangunan, Tahun

1980-2004 ... 54 8. Persentase Anggaran Pendidikan terhadap Produk Domestik Bruto

di Beberapa Negara, Tahun 1999/2000 ... 56 9. Besaran Perubahan Produktivitas Tenaga Kerja yang di Masukkan

ke dalam Model CGE ... 144 10. Persentase Peningkatan Pendapatan untuk masing-masing

Kelompok Rumahtangga Perdesaan ... 146 11. Agregasi 30 Sektor Penelitian Berdasarkan Tabel I-O Klasifikasi 71

Sektor, Tahun 2003. ... 155 12. Struktur Social Accounting Matrix ... 159 13. Skema Sederhana SNSE ... 162 14. Pengelompokan Sektoral dari Tabel Input-Output Tahun 2003

dengan Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Tahun 2003 ... 163

(17)

15. Pengeluaran Kelompok Rumah Tangga di Sektor Perekonomian

dalam Model CGE, Tahun 2003 ... 165 16. Pembayaran Upah di Setiap Sektor Berdasarkan Jenis Pekerjaan,

Tahun 2003 ... 166 17. Pendapatan Lahan dan Modal, Tahun 2003 ... 167 18. Parameter Elastisitas yang Digunakan dalam Model ... 171 19. Parameter Elastisitas Pengeluaran Rumahtangga yang Digunakan

dalam Model ... 172 20. Nilai GDP Indonesia dari Sisi Pengeluaran dan Sisi Pendapatan,

Tahun 2003 ... 183 21. Nilai Penjualan Setiap Sektor diirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2003 185 22. Biaya Produksi Setiap Sektor dirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2003 186 23. Hasil Simulasi Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Trans-

fer Pendapatan terhadap Kinerja Makroekonomi Indonesia ... 189 24. Hasil Simulasi Dampak Peningkatan Investasi Sumberdaya Manusia

dan Transfer Pendapatan terhadap Output Sektoral ... 195 25. Hasil Simulasi Dampak Peningkatan Investasi Sumberdaya Manusia

dan Transfer Pendapatan terhadap Harga Output Sektoral …...….. 197 26. Hasil Simulasi Dampak Peningkatan Investasi Sumberdaya Manusia

dan Transfer Pendapatan terhadap Permintaan Tenaga Kerja Sektoral 199 27. Hasil Simulasi Dampak Peningkatan Investasi Sumberdaya Manusia

dan Tranfer Pendapatan terhadap Pendapatan Riil Rumahtangga ... 202 28. Hasil Simulasi Dampak Peningkatan Investasi Sumberdaya Manusia

dan Tranfer Pendapatan terhadap Utilitas Rumahtangga ... 203 29. Karakteristik Pendapatan Rumahtangga dan Demographi Indonesia .. 204 30. Nilai Parameter Beta Density Distribution Function ………. 206 31. Dampak Peningkatan Investasi Sumberdaya Manusia untuk Pendidi-

kan terhadap Kemiskinan di Indonesia ...………. 218

(18)

32. Dampak Peningkatan Investasi Sumberdaya Manusia untuk Keseha-

tan terhadap Kemiskinan di Indonesia ...……….. 218 33. Dampak Peningkatan Transfer Pendapatan ke Rumahtangga terhadap

Kemiskinan di Indonesia ... 219

(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Edgeworth Bowley Box pada Kasus Keseimbangan Konsumsi ... 93

2. Edgeworth Bowley Box pada Kasus Keseimbangan Produksi …… 96

3. Keseimbangan Sektor Produksi dan Konsumsi ... 98

4. Mekanisme Transmisi Kebijakan Fiskal dalam Mempengaruhi Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan ... 101

5. Kerangkan Operasional Penelitian ...………. 102

6. Struktur Produksi ... 115

7. Struktur Pembentukan Investasi dan Barang Modal ... 121

8. Spesifikasi Konsumsi Rumah Tangga ………. 123

9. Closure Makroekonomi yang digunakan untuk menganalisis Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer Pendapatan .. 147

10. Diagram Alur Penelitian ... 150

11. Data Input-Output pada Model Keseimbangan Umum ... 153

12. Aliran Pendapatan dalam Perekonomian ... 161

13. Tahap I Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum Indonesia ... 179

14. Tahap II Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum Indonesia ... 180

15. Tahap III Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum Indonesia ... 181

16. Distribusi Pendapatan Buruh Pertanian ... 208

17. Distribusi Pendapatan Pengusaha Pertanian ... 208

(20)

18. Distribusi Pendapatan Pengusaha Bebas Gol Rendah Desa ... 208 19. Distribusi Pendapatan Bukan Angkatan Kerja dan Gol Tidak

Jelas di Desa ... 208 20. Distribusi Pendapatan Pengusaha Bebas Golongan Atas di Desa .... 209 21. Distribusi Pendapatan Pengusaha Bebas Golongan Rendah di Kota . 209 22. Distribusi Pendapatan Bukan Angkatan Kerja dan Gol Tidak

Jelas di Kota ... 209 23. Distribusi Pendapatan Pengusaha Bebas Golongan Atas di Kota …. 209 24. Dampak Peningkatan Investasi Sumberdaya Manusia terhadap

Distribusi Pendapatan Rumahtangga Buruh Tani ... 210 25. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia terhadap Distribusi

Pendapatan Rumahtangga Pengusaha Pertanian ……….. 210 26. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia terhadap Distribusi

Pendapatan Rumahtangga Pengusaha Bebas Golongan Rendah

di Desa ……….. 210

27. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Bukan Angkatan Kerja dan Golongan

Tidak Jelas di Desa ……….. 210 28. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia terhadap Distribusi

Pendapatan Rumahtangga Pengusaha Bebas Golongan Atas di

Desa ……… 211

29. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Pengusaha Bebas Golongan Rendah di

Kota ……….. 211

30. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Bukan Angkatan Kerja dan Golongan

Tidak Jelas di Kota ……… 211 31. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia terhadap Distribusi

Pendapatan Rumahtangga Pengusaha Bebas Golongan Atas di

Kota ... 211

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Input File Tablo dalam Penelitian ………... 239 2. Closure Penelitian …...… 268

(22)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan selalu menjadi topik pembicaraan yang menarik baik bagi negera-negara maju maupun bagi negara berkembang, karena kedua peubah tersebut hampir dialami oleh semua negara di dunia, namun dengan tingkat kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan yang bervariasi, hal ini terjadi karena adanya perbedaan baik dalam perbedaan kondisi sosial, ekonomi dan politik suatu negara. Penanggulangan kemiskinan menjadi penting dan mendapat perhatian karena kemiskinan akan menurunkan kualitas hidup (quality of life) masyarakat yang mengakibatkan antara lain tingginya beban sosial-ekonomi, rendahnya poduktivitas sumberdaya manusia, rendahnya partisipasi aktif masyarakat, merosotnya kepercayaan terhadap pemerintah dan kemungkinan menurunkan mutu generasi yang akan datang.

(23)

Kemampuan dari suatu negara untuk meningkatkan standar hidup penduduknya adalah sangat tergantung dan ditentukan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi, melalui mekanisme trickle down effect. Salah satu tujuan pokok pembangunan adalah menciptakan keseluruhan pola pertumbuhan pendapatan yang diinginkan dengan penekanan khusus pada akselerasi pertumbuhan dan pendapatan golongan miskin. Sehingga konsep penerapan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi semata tanpa diiringi dengan penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan bukanlah merupakan konsep yang tepat.

Meskipun analisis ekonomi umumnya tidak menyinggung hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, namun sebagian besar teori mengisyaratkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan merupakan sesuatu yang harus dikorbankan demi memacu laju pertumbuhan ekonomi secara cepat (Todaro, 2000).

(24)

Setidaknya terdapat lima alasan yang umum mengapa banyak ahli ekonomi pembangunan merasa bahwa pemerataan pendapatan yang lebih adil di negara-negara berkembang tidak bisa dinomorduakan, karena hal itu merupakan kondisi penting atau syarat yang harus diadakan guna menunjang pertumbuhan ekonomi, yaitu:

Pertama, ketimpangan yang lebar dan kemiskinan yang meluas telah menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga masyarakat miskin tidak memiliki akses terhadap kredit, tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya, dan akibat ketiadaan peluang investasi secara fisik maupun keuangan, faktor ini secara bersama-sama menjadi penyebab rendahnya pertumbuhan GNP per kapita dibandingkan jika terdapat pemerataan pendapatan yang lebih besar.

Kedua, para pemilik capital lebih suka menabung dan menginvestasikan uang atau hartanya di luar negeri dengan alasan-alasan keamanan. Akibatnya, akumulasi kekayaan bukan menyuburkan tingkat tabungan investasi dalam negeri melainkan menimbulkan pelarian modal (capital fligth) yang semakin merugikan negara.

Ketiga, rendahnya pendapatan dan taraf hidup masyarakat kaum miskin terwujud berupa kondisi kesehatan yang buruk, kurang makan dan gizi dan pendidikan yang rendah, justru akan menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan pada akhirnya akan mengakibatkan rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.

(25)

lokal, maka akan tercipta dorongan-dorongan bagi peningkatan produksi lokal, penciptaan lapangan kerja dan kenaikan persediaan modal serta tingkat investasi di dalam negeri. Kenaikan permintaan tersebut, dengan sendirinya akan menciptakan kondisi yang sangat dibutuhkan bagi percepatan pertumbuhan ekonomi dan peran serta yang lebih merata dalam pertumbuhan tersebut.

Kelima, dengan tercapainya distribusi pendapatan yang lebih adil, melalui upaya-upaya pengentasan kemiskinan masyarakat, maka akan segera tercipta banyak insentif materil dan psikologis yang pada gilirannya mempercepat kemajuan ekonomi.

Tahun 1970-an dan 1980-an Indonesia termasuk salah satu negara yang mempunyai laju pertumbuhan yang tinggi dan dijuluki sebagai salah satu keajaiban dari Asia Timur (East Asian Miracle), dan ketika itu Indonesia berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin. Persentase penduduk di bawah garis kemiskinan di daerah perkotaan dan pedesaan mengalami penurunan dari 40.1 persen di tahun 1976 menjadi sekitar 11.3 persen di tahun 1996 (BPS, 2003). Namun ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997 jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan kembali meningkat menjadi 24.2% di tahun 1998. Kurun waktu 1999-2004 jumlah penduduk yang berada di bawah kemiskinan mengalami penurunan terhitung pada tahun 2004 hanya sekitar 16.7 persen (BPS, 2004).

(26)

Tabel 1. Pertumbuhan PDB atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2001-2005

(%)

Sektor 2001 2002 2003 2004 2005

Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan 4.642 2.504 2.021 4.311 3.027

Pertambangan dan Penggalian 2.390 4.952 0.371 -5.714 3.057

Industri Pengolahan 2.811 2.437 4.166 3.529 4.713

Listrik, Gas an Air Bersih 7.592 9.142 5.567 8.700 6.658

Bangunan 3.933 4.845 4.471 5.991 6.713

Perdagangan, Hotel dan Restoran 5.796 5.764 4.654 6.594 6.736

Pengangkutan dan Transportasi 8.881 8.426 7.212 9.318 8.655

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 4.992 4.018 4.462 5.683 5.013

Jasa – Jasa 7.914 3.504 6.466 6.683 4.454

Produk Domestik Bruto 4.639 4.049 3.928 4.256 5.033

Sumber: BPS (Berbagai Tahun Terbitan)

Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sekitar 4 persen pertahun yang didominasi oleh sektor konsumsi, maka jumlah tenaga kerja yang muncul sekitar 2.5 juta setiap tahunnya tidak dapat terserap yang berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran. Tentu saja peningkatan jumlah pengangguran tersebut akan berdampak buruk bagi kinerja makroekonomi Indonesia.

Tabel 2. Beberapa Indikator Makro Pasar Kerja Indonesia, Tahun 1998-2003

(Juta jiwa)

Uraian 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Penduduk 194.76 198.32 201.35 204.39 206.52 206.30 209.39 212.53 215.28 218.52 Angkatan kerja 86.36 90.11 91.32 92.73 94.85 95.65 98.81 100.10 100.32 102.70 Tenaga kerja 80.11 85.70 87.05 87.67 88.82 89.84 90.81 91.65 90.78 92.94 Pengangguran 6.25 4.41 4.28 5.06 6.03 5.81 5.33 8.46 9.53 9.76 Angka pengangguran 7.24 4.89 4.68 5.46 3.36 6.08 5.39 8.45 9.50 9.50 Tenaga kerja*

- Pertanian 43.98 44.02 41.18 44.96 43.21 45.28 43.88 44.34 46.26 46.26 - Industri 18.42 18.09 19.01 16.28 17.84 17.43 17.54 13.21 12.84 17.54 - Jasa 37.60 37.89 39.89 38.76 38.95 37.29 38.58 42.45 40.90 36.20

Sumber: BPS (Berbagai Tahun Terbitan) Ket = * (% terhadap total)

(27)

penduduk miskin Tahun 2002 sebesar 38.4 juta jiwa dimana angka ini lebih besar jika dibandingkan sebelum krisis, yaitu sebesar 34.5 juta jiwa pada tahun 1996. Lebih jelasnya perkembangan beberapa indikator kemiskinan, garis kemiskinan dan jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perkembangan Indikator Kemiskinan Indonesia, Tahun 1976-2004 Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan) Persentase Penduduk Dibawah Garis Kemiskinan Jumlah Penduduk Dibawah Garis Kemiskinan (Juta) Tahun

Kota Desa Kota Desa Kota+

Desa Kota Desa Kota+

Desa 1976 4522 2849 38.80 40.40 40.10 10.00 44.20 54.20 1978 4969 2981 30.80 33.40 33.30 8.30 38.90 47.20 1980 6831 4449 29.00 28.40 28.60 9.50 32.80 42.30 1981 9777 5877 28.10 26.50 26.90 9.30 31.30 40.60 1984 13731 7746 23.10 21.20 21.60 9.30 25.70 35.00 1987 17381 10294 20.10 16.10 17.40 9.70 20.30 30.00 1990 20614 13295 16.80 14.30 15.10 9.40 17.80 27.20 1993 27905 18244 13.40 13.80 13.70 8.70 17.20 25.90 1996 42032 31366 13.60 19.90 17.70 9.60 24.90 34.50 1998 1) 96959 72780 21.90 25.70 24.20 17.60 31.90 49.50 1999 2) 92409 74272 19.50 26.10 23.50 15.70 32.70 48.40 2000 3) 91632 73648 14.60 22.38 19.14 12.30 26.40 38.70 2001 4) 100011 80382 9.79 24.84 18.41 8.60 29.30 37.90 2002 5) 130499 96512 14.46 21.10 18.20 13.30 25.10 38.40 2003 6) 138803 105888 13.57 20.23 17.42 12.20 25.10 37.30 2004 7) 143455 108725 12.13 20.11 16.66 11.40 24.80 36.20

Sumber: BPS, 2004

Keterangan: 1) Berdasarkan data Susenas Desember 1998 2) Berdasarkan data Susenas Pebruari 1999 3) Berdasarkan data Susenas 2000

4) Berdasarkan data Susenas 2001 5) Berdasarkan data Susenas 2002 6) Berdasarkan data Susenas 2003 7) Berdasarkan data Susenas 2004

(28)

kata lain bahwa perlu adanya peningkatan investasi agar lapangan kerja yang baru dapat tercipta. Salah satu bentuk investasi yang paling penting untuk menggerakan sektor ini adalah investasi sumberdaya manusia dan infrastruktur.

Dalam teori pertumbuhan baru, salah satu yang ditekankan adalah pentingnya peranan pemerintah terutama dalam meningkatkan dan membangun human capital dan mendorong penelitian dan pengembangan dalam rangka meningkatkan produktivitas, dimana pertumbuhan produktivitas tersebut pada gilirannya merupakan motor penggerak pertumbuhan (engine of growth). (Nafziger, 1997; Abel and Bernanke, 1998)

Pembangunan sumberdaya manusia merupakan peningkatan di dalam pengetahuan, keterampilan dan kemampuan semua individu dalam suatu kelompok masyarakat. Investasi sumberdaya manusia didefinisikan sebagai seluruh kegiatan yang mempengaruhi pendapatan maupun konsumsi di masa yang akan datang. Bentuk investasi sumberdaya manusia ini meliputi: pendidikan, kesehatan, migrasi, dan kegiatan mencari informasi mengenai harga. Walaupun investasi ini bervariasi bentuknya dalam pendapatan dan konsumsi, seluruhnya akan mempengaruhi keterampilan, pengetahuan dan kesehatan sehingga akan meningkatkan konsumsi di kemudian hari.

(29)

produktivitas individu dalam pasar kerja, dan produsen akan menghargai hal ini dengan membayar tingkat upah yang lebih tinggi kepada individu dengan formal schooling yang lebih tinggi.

Dengan melakukan investasi di bidang pendidikan diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang diperlihatkan oleh meningkatnya pengetahuan dan keahlian (keterampilan) seseorang. Peningkatan pengetahuan dan keahlian akan mendorong peningkatan produktivitas kerja seseorang. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan mempekerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang lebih tinggi, sehingga perusahaan akan bersedia memberikan upah/gaji yang lebih tinggi kepada yang bersangkutan. Pada akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya.

Cara lain untuk melakukan investasi dalam human capital adalah memelihara dan memperbaiki emotional and physical health (kesehatan fisik dan emosi). Hal ini merupakan kunci keberhasilan kemajuan ekonomi yang harus diperhatikan pemerintah dalam memperbaiki kesehatan fisik dan emosi. Meningkatnya kesehatan fisik dan emosi diyakini mampu meningkatkan produktivitas kerja individu, menurunkan angka kematian pada usia kerja, dan dapat memperpanjang usia kerja produktif sehingga memperpanjang waktu menambah penghasilan.

(30)

bagi masyarakat secara keseluruhan melalui peningkatan produktivitas yang mendorong ke arah peningkatan pendapatan rumahtangga yang akhirnya berdampak pada peningkatan pendapatan nasional.

1.2. Perumusan Masalah

Persoalan pertumbuhan ekonomi (economic growth) akan selalu mendapat perhatian yang besar bagi setiap negara, karena pertumbuhan ekonomi merupakan sumber utama bagi peningkatan standar hidup (standard of living) penduduk yang jumlahnya terus meningkat, meskipun laju pertumbuhan ekonomi tersebut tidak secara otomatis memberi jawaban atas berbagai macam pertanyaan dan masalah kesejahteraan, namun hal tersebut tetap menjadi unsur penting dalam setiap program pembangunan yang dirancang untuk mengentaskan kemiskinan.

Dari berbagai literatur ekonomi pembangunan, disebutkan bahwa infrastruktur merupakan motor penggerak pembangunan. Ketersediaan infrastruktur dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap sumberdaya sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan infrastruktur juga dapat mempercepat proses pengurangan kemiskinan melalui peningkatan akses terhadap infrastruktur yang baik. Karena pengertian kemiskinan tidak hanya terkait dengan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar saja, tetapi juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, jaminan masa depan, dan akses terhadap fasilitas umum lainnya.

(31)

pembangunan sosial. Di satu sisi pengeluaran investasi infrastruktur dibutuhkan untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, namun di sini lain juga diperlukan investasi untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Pembangunan manusia yang berhasil akan memberikan manfaat positif bagi pertumbuhan ekonomi melalui tersedianya tenaga kerja yang berkualitas. Dengan kata lain sesungguhnya terdapat hubungan dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia. Anggaran pemerintah tahun 2000-2003 ditampilkan pada Tabel 4. Pada Tabel tersebut, pengeluaran pendidikan dan kesehatan termasuk dalam komponen pengeluaran rutin dan pembangunan, yang bertujuan untuk meningkatkan sumberdaya manusia dimana porsi pengeluaran pembangunan terhadap GDP hanya sebesar 3.4 persen tahun 2003. Pada Tabel 4 juga terlihat bahwa sebagian besar dana pemerintah dialokasikan untuk pembayaran hutang. Tabel 4. Anggaran Pemerintah Indonesia, Tahun 2000-2003

(% terhadap GDP)

Uraian 2000 2001 2002 2003

A. Total Penerimaan 15.1 19.3 17.9 17.3

1. Penerimaan Pajak 10.7 12.9 13.0 13.1

2. Penerimaan Non Pajak 4.4 6.5 4.9 4.2

B. Pengeluaran Pemerintah 20.1 23.2 20.4 19.1 1. Pengeluaran Pemerintah Pusat 15.8 17.8 14.6 13.1

a. Pengeluaran rutin 3.2 14.9 11.5 9.7

b. Pengeluaran Pembangunan 4.3 2.9 3.1 3.4

2. Balanced Fund 0.0 5.5 5.6 5.8

C. Budget Defisit -5.0 -3.8 -2.5 -1.8

D. Financing 5.0 3.8 2.5 1.8

1. Pendanaan Domestik 2.4 2.5 1.4 1.2

2. Pendanaan Asing 2.5 1.4 1.4 0.6

Sumber: Departemen Keuangan, 2005. [www.fiskal.depkeu.go.id]

[image:31.612.124.507.410.599.2]
(32)

pada permasalahan defisit anggaran yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Defisit anggaran yang terus meningkat akan memberikan tekanan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terutama dari sisi pengeluaran, karena pemerintah juga harus membayar cicilan pokok dari hutang ditambah suku bunga yang berlaku. Untuk menutupi difisit anggaran, pemerintah telah menghapuskan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan meningkatkan pajak. Penghapusan subsidi bahan bakar minyak dikurangi dengan cara meningkatkan harga BBM.

Pada tahun 2000 harga BBM di pasar secara rata-rata meningkat sebesar 12 persen. Pada tanggal 16 Juni 2001 kenaikan harga BBM mencapai 30.10 persen (Tim Sosialisasi BBM, 2000). Pada tahun 2002 berdasarkan surat keputusan Presiden No. 9 Tanggal 16 Januari 2002 harga BBM secara bertahap akan disesuaikan dengan harga internasional, kecuali minyak tanah untuk rumah tangga dan pengusaha kecil. Penghapusan subsidi BBM tersebut, tentu saja memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja makroekonomi antara lain ditunjukkan oleh meningkatkan jumlah penduduk miskin (Oktaviani, et. al, 2005).

Sebagai alternatif pengganti penghapusan subsidi BBM, pemerintah telah memberikan kompensasi dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam penelitian ini disebut sebagai transfer pendapatan kepada masyaraktat miskin sebesar Rp. 100000., per bulan. Pertanyaannya adalah seberapa besar dampak BLT terhadap penurunan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia.

(33)

sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi dari awal 1970-an sampai akhir 1990-an. Pertumbuhan tersebut memungkinkan penduduk untuk mengalokasikan pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan lebih banyak. Sementara pengeluaran pemerintah untuk pelayanan seperti kesehatan dan pendidikan relatif kecil. Alokasi pengeluaran pemerintah untuk bidang sosial selama ini jauh lebih sedikit dibandingkan Malaysia, Thailand ataupun Filipina.

Kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang dilihat dari indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Dari 177 negara, IPM dan IKM di Indonesia masing-masing berada pada peringkat 110 dan 41 pada tahun 2005. Hal ini terlihat dari hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan Diknas menyatakan bahwa populasi anak sekolah dibawah 15 tahun memiliki keterampilan rendah karena hanya 37.6% anak mampu membaca tanpa mengerti bacaan yang mereka baca. Ini menunjukkan kemampuan memperoleh pengetahuan anak Indonesia dari membaca sangat rendah.

Hal ini jelas bahwa selain dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pembangunan manusia sangatlah penting dalam upaya mengurangi tingkat kemiskinan. Hal ini karena pendidikan dan kesehatan yang baik memungkinkan penduduk miskin untuk meningkatkan nilai asset mereka yang terpenting adalah tenaga mereka (Lanjouw, et. all. 2001).

(34)

dari asset yang dimiliki oleh kaum miskin, kedua, adalah pendekatan atau strategi peningkatan permintaan (demand generating strategies) yang ditujukan untuk meningkatkan volume penjualan tenaga kerja dari kaum miskin tersebut, yang umumnya terdiri dari tenaga kerja yang tidak terampil, dan ketiga, kebijakan meningkatkan harga (price-increasing policies) dari asset utama yang dimiliki oleh kaum miskin yaitu tenaga kerja.

Rendahnya produktivitas tenaga kerja kaum miskin salah satu tidak lain disebabkan oleh karena rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan, karena jangankan untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang baik, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi (basic need) mereka relatif sulit untuk memenuhinya, sehingga dalam hal ini merupakan tugas kita semua untuk memerangi kemiskinan khususnya pemerintah melalui pengeluaran rutin dan pembangunan.

BAPPENAS/UNSFIR (2002) menunjukkan bahwa di Indonesia proporsi GDP yang digunakan untuk pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan masih relatif kecil (7.9 persen) jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Amarika Serikat (14.4 persen), Poland (24,8 persen), Korea (17.5 persen) dan Philipina (17.6 persen).

(35)

Sehubungan dengan itulah maka investasi pada pendidikan dan kesehatan sangat penting artinya bagi pengurangan kemiskinan. Pentingnya persoalan investasi sektor publik untuk pembangunan sosial tersebut juga berlaku untuk pemerintah daerah, terlebih setelah berlakunya otonomi daerah. Selama ini pengeluaran pembangunan pemerintah provinsi masih terkonsentrasi pada bidang infrastruktur ekonomi dan belum memberikan perhatian yang memadai bagi bidang pembangunan manusia serta efisiensi investasi sektor publik tersebut pun masih rendah (Brata dan Arifin, 2003).

Pendidikan dan kesehatan merupakan investasi sumberdaya manusia yang penting dalam usaha untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Untuk memperoleh pekerjaan yang layak dengan upah tinggi, seseorang membutuhkan keterampilan yang memadai. Ketarampilan yang memadai dapat diperoleh melalui pendidikan. Pendidikan juga merupakan elemen penting dalam memerangi kemiskinan.

Gagasan bahwa investasi untuk pendidikan dan kesehatan memiliki manfaat ekonomi dan sosial jangka panjang bagi setiap individu maupun masyarakat luas telah muncul sejak jaman Adam Smith. Sumberdaya manusia didefinisikan sebagai kumpulan investasi, antara lain melalui pendidikan, kesehatan, pelatihan kerja dan migrasi yang mengembangkan produktivitas individu dalam bekerja dan juga pada kegiatan bukan bekerja (Center For The Study Of Living Standards, 2001).

(36)

Dengan mobilitas, manusia mampu menemukan pekerjaan dan tempat tinggal yang lebih baik, sebaliknya rasa tidak aman dapat mengakibatkan kapasitas produktivitas seseorang atau produktivitas tenaga kerja menjadi menurun. Pertanyaannya adalah bagaimana dampak investasi sumberdaya manusia sektoral terhadap ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia.

Dari uraian tersebut, maka dirumuskan beberapa permasalahan untuk menjawab pertanyaan bagaimana dampak investasi sumberdaya manusia sektoral dan transfer perdapatan rumahtangga terhadap:

1. Indikator makroekonomi yang ditunjukkan oleh perubahan produk domestik bruto, inflasi dan neraca perdagangan.

2. Output, penyerapan tenaga kerja dan tingkat harga di sektoral.

3. Pendapatan, distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan kelompok rumahtangga.

1.3. Tujuan Penelitian

Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak investasi sumberdaya manusia sektoral dan transfer pendapatan rumahtangga terhadap:

1. Indikator makroekonomi yang ditunjukkan oleh perubahan produk domestik bruto, inflasi dan neraca perdagangan.

2. Output, penyerapan tenaga kerja dan tingkat harga sektoral

(37)

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Investasi sumberdaya manusia dalam penelitian ini diwakili oleh pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan, sedangkan transfer pendapatan adalah uang tunai yang diberikan langsung oleh pemerintah kepada kelompok rumahtangga perdesaan. Untuk mengetahui besarnya pengaruh investasi sumberdaya manusia terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja di estimasi dengan menggunakan model ekonometrik. Hasil simulasi model ekonometrik selanjutnya dimasukkan ke dalam Computable General Equilibrium (CGE) model. Model CGE yang digunakan dikembangkan dari model INDOF (Oktaviani, 2000) dengan menambah persamaan fiskal yang diadopsi dari model WAYANG (Wittwer, 1999) dan mendisagregasi kelompok rumahtangga berdasarkan kelompok rumahtangga SNSE Tahun 2003.

(38)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Determinan Pertumbuhan Ekonomi

Dalam teori Harord-Domar, investasi merupakan faktor penentu yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. Bahkan mereka mengatakan bahwa “tabungan dan investasi merupakan kekuatan sentral dibalik pertumbuhan ekonomi” (saving and investment is central forces behind economic growth). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan secara bersama-sama oleh rasio tabungan nasional, dan rasio modal output nasional. Hal ini memiliki makna secara ekonomi bahwa agar suatu perekonomian dapat bertumbuh, maka perekonomian yang bersangkutan haruslah menabung dan menginvestasikan proporsi tertentu dari GNP-nya. Semakin banyak suatu perekonomian menabung dan menginvestasikan, semakin pesat pertumbuhan ekonominya (Todaro, 2000; Perkins, et. al, 2001).

(39)

negara-negara yang lebih kaya mengambil keuntungan yang lebih baik dari kemajuan teknologi. Oleh karena itu pengertian perbedaan dalam pendapatan membutuhkan pengertian alasan untuk perbedaan dalam beberapa faktor.

Model pertumbuhan baru pada dasarnya merupakan pengembangan dari model Solow sebelumnya, mengungkapkan bahwa peranan kapital, termasuk modal manusia (human capital) atau investasi dalam sumberdaya manusia (human capital investment) lebih besar daripada apa yang diukur oleh pertumbuhan Solow. Ide dasar dari model pertumbuhan baru tersebut adalah bahwa investasi kapital, baik itu dalam mesin maupun dalam manusia, menciptakan eksternalitas yang positif (positive externalities).

Artinya investasi tidak hanya meningkatkan kapasitas produktif dari perusahaan yang melakukan investasi atau tenaga kerja, tetapi juga kapasitas produktif dari perusahaan-perusahaan atau tenaga kerja lainnya yang terkait. Singkatnya, dalam model pertumbuhan baru ini inovasi teknologi (technological innovation) dan pembentukan modal manusia (human capital formation) dilihat sebagai sumber utama dari pertumbuhan produktivitas, dan pertumbuhan produktivitas itu sendiri pada gilirannya merupakan motor penggerak dari pertumbuhan ekonomi (engine of growth).

(40)

tingkat teknologi atau produktivitas (A). Dalam model pertumbuhan baru ini, dengan demikian, tingkat kemajuan teknologi atau produktivitas tidak lagi dianggap sebagai faktor yang bersifat eksogen, akan tetapi diasumsikan sebagai faktor yang bersifat endogen, yang bergantung pada pertumbuhan kapital (Froyen, 1996).

Salah satu hal yang ditekankan dalam model pertumbuhan baru adalah pentingnya peranan pemerintah, hal mana tidak ditekankan dalam model Solow. Menurut model pertumbuhan baru, kebijakan pemerintah terutama dalam meningkatkan infrastruktur, membangun modal manusia (human capital), dan mendorong penelitian dan pengembangan adalah sangat penting dalam rangka meningkatkan produktivitas suatu bangsa, dimana pertumbuhan produktivitas itu sendiri pada gilirannya merupakan motor penggerak pertumbuhan (engine of growth) (Nafziger, 1997; Abel and Bernanke, 1998).

Di dalam model neo-classical, tingkat steady-state pendapatan per kapita yang dicapai tergantung pada kecenderungan menabung (propensity to save) dan posisi fungsi produksi, dan faktor ini mungkin bervariasi antar negara. (Jika ada kemajuan teknis, technical progress, steady-state tingkat pendapatan akan secara berangsur-angsur meningkat).

(41)

2.2. Pendekatan Kesejahteraan dan Kemiskinan

Penilaian kesejahteraan dalam analisis kemiskinan secara tradisional dicirikan menurut dua pendekatan utama, yaitu pendekatan welfarist dan non-welfarist (Ravallion, 1994). Pendekatan pertama dalam prakteknya cenderung terkonsentrasi pada perbandingan “economic well-being” atau kesejahteraan ekonomi yang disebut sebagai standard of living atau “standard hidup” atau ”pendapatan”. Pendekatan kedua secara historis memiliki pendukung sebagian besar dari sarjana ilmu sosial daripada ilmu ahli ekonomi sebagai bagian dari reaksi mereka terhadap pendekatan yang pertama.

2.2.1. Pendekatan Welfarist

Pendekatan Welfarist lebih kuat di dalam mikroekonomi klasik, dalam bahasa ekonomi, welfare atau utility biasanya kata kunci di dalam perhitungan akuntansi untuk perilaku dan kesejahteraan individu. Dalam teori ekonomi mikro umumnya mendalilkan individu adalah rasional dan mereka diasumsikan dapat membuat keputusan terbaik dengan adil dalam kehidupan, yaitu memaksimumkan utility dan kebahagiaan. Dengan tingkat kekayaan tertentu (initial endowments), (termasuk waktu, lahan, dan fisik dan human capital), individu membuat pilihan produksi dan konsumsi menggunakan preferensinya terhadap sekeranjang konsumsi dan aktivitas produksi, dan memasukkan harga konsumen dan produsen ke dalam perhitungan teknologi produksi yang berlaku dalam perekonomian.

(42)

seluruhnya bereaksi dengan bebas memilih dan proses ini akan mendorong kearah suatu Pareto-efficient, artinya bahwa tidak ada perbaikan utility seseorang dengan intervensi pemerintah tanpa menurunkan utility orang lain.

Dasar dari pendekatan welfarist terhadap kemiskinan adalah tentang informasi yang diungkapkan oleh perilaku individu tersebut terhadap penaksiran atau penilaian kemiskinan. Terutama sekali ditekankan bahwa penilaian kesejahteraan seseorang harus konsisten dengan preference revealed berdasarkan pilihan bebas perorangan. Sebagai contoh, seseorang dapat diamati menjadi miskin berdasarkan total konsumsi atau standard pendapatan dari analisis kemiskinan. Meskipun demikian orang yang sama dapat (yaitu, mempunyai kapasitas kerja) menjadi tidak miskin (non-poor), maka ia akan dipertimbangkan miskin oleh standard analisis kemiskinan (non-welfarist), welfarist dapat menyimpulkan bahwa orang tersebut tidak miskin. Hal ini akan mempunyai implikasi penting dalam merancang dan menilai kebijakan publik.

(43)

2.2.2. Pendekatan Non-Welfarist

Terdapat dua pendekatan utama Non-Welfarist, yaitu basic-needs approach dan capability approach. Fokus yang pertama di dalam mencapai beberapa kebutuhan dasar yang multidimensional dapat diamati dan dimonitor relatif lebih mudah. Hasil ini umumnya (secara eksplisit atau implisit) dihubungkan dengan konsep manfaat (functioning), sebuah konsep yang dikembangkan oleh Amartya Sen’s, yang menyatakan bahwa:

Living may be seen as consisting of a set of interrelated ’functionings’, consisting of beings and doings. A person’s achievement in this respect can be seen as the vector of his or her functionings. The relevant functionings can vary from such elementary things as being adequately nourished, being in good health, avoiding escapable morbidity and premature mortality, etc., to more complex achievements such as being happy, having self-respect, taking part in the life of the community, and so on (Sen, 1997).

Pandangan functionings ini dapat dipahami menjadi suatu konstitusi dari unsur-unsur kesejahteraan atau well-being. Seseorang hidup baik jika ia cukup besar menikmati tingkatan manfaatnya. Pendekatan functionings umumnya tidak mencoba membandingkan unsur multidemensional ke dalam dimensi tunggal seperti utility atau kebahagiaan. Pendekatan functionings umumnya fokus untuk menilai multiple specific dan separate outcomes, seperti kenikmatan dari jenis konsumsi komoditas tertentu, menjadi sehat, terpelajar, berpakaian baik, rumah baik, tidak dalam keadaan sakit (Duclos, et. al. 2004).

(44)

individu untuk mencapai beberapa manfaat. Oleh karena itu kebutuhan dasar umumnya digambarkan dalam istilah rata-rata (mean) daripada hasil (outcomes). Streeten and Al, 1981 mendefiniskan kebutuhan dasar (basic needs) sebagai berikut:

Basic needs may be interpreted in terms of minimum specified quantities of such things as food, shelter, water and sanitation that are necessary to prevent ill health, undernourishment and the like (Streeten and Al, 1981).

Tidak seperti functionings, basid needs dapat didefinisikan untuk semua individu, spesifikasi dari basic needs tergantung pada karakteristik individu dan masyarakat di mana mereka tinggal. Sebagai contoh, kebutuhan komoditi dasar untuk seseorang dalam keadaan baik dan tidak kurang makan akan tergantung pada iklim dan karakteristik fisiologis dari individu. Oleh karena itu, walaupun pemenuhan kebutuhan dasar merupakan suatu unsur penting di dalam menilai apakah seseorang telah mencapai beberapa functionings, penilaian tersebut harus menggunakan informasi pada karakteristik seseorang dan lingkungan sosial ekonomi.

Alternatif kedua pendekatan non-welfarist disebut sebagai pendekatan kemampuan (capability) yang juga dipelopori oleh Sen. Pendekatan capability digambarkan dengan kapasitas untuk mencapai functionings. Sen (1997) mengatakan bahwa:

the capability to function represents the various combinations of functionings (beings and doings) that the person can achieve. Capability is, thus, a set of vectors of functionings, reflecting the person’s freedom to lead one type of life or another.

(45)

indikator pendapatan dan konsumsi sebagai standard hidup. Pendapatan menunjukkan kemampuan untuk mengkonsumsi, dan "consumption functionings" sebagai hasil dari capability. Di dalam pendekatan basic needs dan functionings, kemiskinan langsung datang dari kekurangan konsumsi. Di dalam pendekatan capabilitiy, kemiskinan meningkat berasal dari kekurangan pendapatan dan capability, yang secara tidak sempurna dihubungkan dengan manfaat aktual yang dicapai. Terlepas dari kelebihan dan kelemahan pendekatan diatas, dalam penelitian ini konsep kemiskinan yang digunakan merupakan kebutuhan dasar (basic needs) yang disebut sebagai kemiskina absolut.

2.3. Pertumbuhan Ekonomi, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan

Strategi pro-poor growth tidak hanya memiliki perhatian pada pertumbuhan ekonomi, tetapi harus dapat dikombinasikan dengan suatu aktivitas kebijakan redistribusi pendapatan. Mungkin akan menjadi trade-off, jika pengurangan lebih cepat dalam kemiskinan dapat dicapai melalui pengurangan ketimpangan, maka kebijakan distribusi menjadi prioritas yang lebih besar. Tetapi di sisi lain, jika tingkat ketimpangan muncul lebih besar untuk menjamin pertumbuhan yang cepat dan mendorong ke arah pengurangan kemiskinan lebih cepat, maka mungkin ada toleransi ketimpangan distributional lebih besar.

(46)

Artinya dalam jangka pendek meningkatnya pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan, namun dalam jangka panjang peningkatan pendapatan akan diikuti dengan penurunan kesenjangan pendapatan. Fenomena ini dikenal dengan nama Kurva U-terbalik dari Hipotesis Kuznets. Namun, hipotesis Kuznets ini mulai dipertanyakan, beberapa studi dengan menggunakan data time series terbukti bahwa pada beberapa negara yang masih bertumpu pada sektor pertanian menunjukan hubungan negatif. Ini berarti bertolak belakang dari hipotesis Kuznets. Pemahaman atas variabel-variabel tersebut akan membuktikan bahwa negara pertanian tidak identik dengan kemiskinan atau mungkin lebih tepatnya adalah kesejahteraan juga dapat meningkat di negara-negara yang berbasis pertanian.

(47)

ada perubahan sama sekali. Ravallion dan Chen (1997) juga tidak menemukan hubungan yang sistematik antara tingkat pertumbuhan dan ketimpangan. Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan menurut Gouie and Ladd (1999), yaitu; pertama, dampak dapat tidak ada dengan cara, ketidakpastian dalam jumlah faktor, tetapi disana terdapat sedikit bukti meyakinkan bahwa pertumbuhan mengubah distribusi secara sistematis. Kedua, ketidakhadiran suatu hubungan yang jelas, pada kasus kebijakan untuk mengejar pertumbuhan yang memungkinkan mengarah pada pertumbuhan cepat.

Dampak pertumbuhan kepada yang miskin sangat tergantung pada bagaimana keuntungan didistribusikan antar populasi. Dengan melihat pada pertumbuhan dan share pendapatan dari kelompok yang berbeda, Deininger dan Squire (1998) menunjukkan bagaimana ketimpangan awal, berubah serentak terhadap ketimpangan yang mempengaruhi evolusi kemiskinan. Yang miskin (turun 20 persen) dan dengan jelas tidak ditemukan menderita dari pertumbuhan yang mengurangi pengaruh ketimpangan dan juga bermanfaat bagi ukuran stimulus pertumbuhan.

(48)

studi yang mempunyai hasil bertolak belakang tersebut, justru menguatkan hipotesis dari Kuznets dengan kurva U terbalik. Kuznets menyimpulkan bahwa pola hubungan yang positif kemudian menjadi negatif dalam jangka panjang, hal tersebut mengindikasikan terjadinya proses evolusi dari distribusi pendapatan dari masa transisi ekonomi pedesaan ke suatu ekonomi perkotaan atau ekonomi industri.

2.4. Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan

Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa konsep yang berkaitan dengan distribusi pendapatan dan kemiskinan. Hal ini perlu diketahui mengingat distribusi pendapatan dan kemiskinan yang sifatnya multidimesional. Penjelasan ini akan diawali dengan konsep dan ukuran distribusi pendapatan selanjutnya diikuti dengan konsep dan ukuran kemiskinan.

2.4.1. Konsep dan Ukuran Distribusi Pendapatan

Para ahli ekonomi secara umum membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan yang digunakan untuk tujuan analisis kuantitatif. Kedua ukuran tersebut adalah ukuran distribusi pendapatan, yaitu besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang, dan distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi.

(49)

tidak menghiraukan dari mana sumbernya, apakah itu berasal dari gaji, laba, sewa atau dari kegiatan yang menjadi sumber penghasilannya.

Distribusi pendapatan fungsional, ukuran yang terfokus pada bagian pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal) atau dengan kata lain bahwa konsep distribusi pendapatan fungsional ini berusaha untuk menjelaskan pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi tersebut, misalnya antara pendapatan yang diterima pekerja, pemilik modal dan kekayaan. Dengan demikian akan dapat diketahui besarnya pendapatan yang diperoleh karena perbedaan (upah dan gaji) dan pendapatan yang diterima karena sewa rumah, bunga modal dan deviden.

Pada prinsipnya pendekatan ini dapat dijabarkan dengan menggunakan fungsi produksi

Q = f(K, L) ……… (2.1)

Asumsikan dalam menghasilkan output, Q, hanya menggunakan dua faktor produksi yaitu: capital, K dan labour, L. Dengan menggunakan model fungsi produksi Cobb Douglas dapat dihasilkan kontribusi masing-masing faktor terhadap output yang dihasilkan suatu perekonomian (Beattie and Taylor, 1985; Debertin, 1986) sebagai berikut:

Q = A Kα Lβ, dimana: α + β = 1 ……….... (2.2) Dengan menggunakan diferensiasi parsial dari fungsi produksi Cobb Douglas dapat dihasilkan dua persamaan produk marjinal modal (δQ/δK) dan produk marjinal tenaga kerja (δQ/ δL), yaitu:

δQ/ δK = α A Kα-1

Lβ = α

K Q K

L AK

α α

=

β

(50)

δQ/ δL = β A Kα Lβ-1 = β

L Q L

L

AK α β = β ……….. (2.4)

Dengan mengetahui besarnya MPL dan MPK akan dapat diketahui

pembagian pendapatan atau keluaran phisik yang dihasilkan oleh masing-masing faktor produksi menurut harga pasar. Euler’s Theorem mengatakan dalam sebuah fungsi produksi berderajat satu (K=1), maka output akan dihabiskan untuk membayar faktor-faktor sesuai dengan produk marginal masing-masing faktor. Sehingga dengan menggunakan dua faktor K dan L, maka PQ = rK + wL.

Dari persamaan ini dapat diturunkan produk marjinal modal dan tenaga kerja masing-masing, δQ/δK = r/P dan δQ/δL = w/P. Persamaan ini juga berarti bahwa dalam pasar bersaing sempurna, produsen akan beroperasi sampai titik dimana produk marjinal masing-masing faktor sama dengan rasio harga faktor dan produk. Dengan mensubstitusikan masing-masing produk marjinal ini ke dalam persamaan produk marjinal yang berhubungan sebelumnya diperoleh:

K Q

α =

P r

α = PQ rK

……… (2.5)

L Q

β =

P w

β = PQ wL

……….. (2.6)

Dimana Q = produk, K = modal, L = tenaga kerja, dan P = harga produk, r dan w masing-masing sewa modal dan upah tenaga kerja, α dan β masing-masing dugaan parameter (elastisitas) faktor modal dan tenaga kerja. Dalam format PDRB, rK = nilai tambah modal (surplus usaha dan penyusutan), wL = nilai tambah tenaga kerja (upah dan gaji), dan PQ = Y = pendapatan (nilai tambah) sektor-sektor ekonomi.

(51)

terhadap produksi. Secara matematis, kontribusi faktor modal α = rK/PQ, kontribusi faktor tenaga kerja β = wL/PQ. Perlu diingat bahwa kondisi ini hanya terpenuhi apabila produsen berhasil mengalokasikan faktor produksi secara optimal, sebagai respon produsen terhadap faktor-faktor eksternal harga faktor dan produk. Elastisitas faktor dapat berubah bilamana terjadi perubahan-perubahan penggunaan faktor produksi, produk marjinal, dan produktivitas, atau ketiga-tiganya berubah.

Kelemahan yang sering dijumpai dengan pendekatan ini terletak pada anggapan yang menyertainya. Misalnya: anggapan adanya pasar persaingan sempurna, motif mendapatkan keuntungan maksimum, penalaran dan inforrnasi sempurna (Varian, 1992).

Anggapan tersebut sangat mudah diungkapkan dalam teori, namun dalam kenyataannya sangat sulit dijumpai. Ukuran lain yang sering digunakan untuk menghitung distribusi pendapatan adalah Gini rasio, Theil index, Statistik beta distribusi function. Dalam penelitian ini distribusi dilihat dengan menggunakan Beta Distribusi Function, yang dijelaskan pada Bab 4.

Kriteria Bank Dunia telah umum dipakai dan diterapkan di Indonesia. Menurut kriteria ini ketimpangan distribusi pendapatan ditentukan sebagai berikut:

(52)

2. Jika 40% jumlah penduduk dengan pendapatan terendah menerima antara 12% - 17% jumlah pendapatan suatu wilayah/negara, maka distribusi pendapatan di daerah tersebut mempunyai ketimpangan sedang.

3. Jika 40% jumlah penduduk dengan pendapatan terendah menerima lebih besar dari pada 17% jumlah pendapatan suatu daerah/negara, maka distribusi pendapatan di daerah tersebut mempunyai ketimpangan rendah.

Dengan kriteria ini dapat diketahui, misalnya jika 40% penduduk Indonesia dengan pendapatan terendah menerima 20% jumlah pendapatan nasional, maka dapat dikatakan bahwa distribusi pendapatan di Indonesia relatif rendah.

2.4.2. Konsep dan Ukuran Kemiskinan

Kemiskinan absolut bermaksud memberi indikator mengenai keadaan perekonomian suatu daerah yang sebagian penduduknya mendapatkan nafkah yang hanya dapat dipakai untuk memenuhi taraf kehidupan minimum. Konsep ini memberi arti bahwa kemiskinan absolut berhubungan erat dengan pemenuhan kebutuhan dasar minimum agar seseorang dapat hidup layak. Jika seseorang mempunyai pendapatan dan tidak dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum, maka orang tersebut dikatakan miskin. Tingkat pendapatan minimum sering disebut juga garis batas kemiskinan (poverty line).

(53)

yang miskin akan terlihat pada kurangnya bahan makanan, pakaian dan perumahan yang dimiliki seseorang atau kelompoknya agar mereka dapat hidup layak. Permasalahan yang sering muncul dari konsep kemiskinan absolut adalah bagaimana menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum. Sebab kedua aspek tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya adat istiadat lokasi, iklim, tingkat kemajuan masyarakat dan faktor-faktor lain.

Sayogyo (1971), misalnya, menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan, dengan membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 320 kg per kapita per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 480 kg beras per kapita per tahun. Selain itu BPS juga membuat kriteria garis batas kemiskinan dengan memperhatikan pendapatan minimum yang diperlukan agar masyarakat atau kelompok dapat melepaskan diri dari kategori miskin (Lihat Tabel 3).

Pada Tabel 3 tersebut dapat diketahui bahwa batas garis kemiskinan di daerah perkotaan lebih besar daripada di daerah pedesaan. Hal yang demikian terjadi karena faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan minimum masyarakat perkotaan tidaklah sama dengan masyarakat di daerah pedesaan. Penduduk yang tinggal di daerah perkotaan mempunyai kebutuhan yang relatif lebih banyak dan beragam bila dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah pedesaan.

(54)

bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Hal itu disebabkan oleh banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Dengan demikian sangat dimungkinkan bahwa garis kemiskinan berbeda antara satu tempat dengan tempat lain atau antara negara yang satu dengan negara lainnya.

Konsep kemiskinan absolut di atas telah membicarakan kriteria yang dapat menentukan apakah seseorang atau kelompok tertentu dapat dikategorikan miskin atau tidak. Pada prinsipnya, orang yang sudah mempunyai pendapatan dan pendapatannya dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum, maka yang bersangkutan dikatakan tidak miskin. Namun demikian banyak ahli berpendapat bahwa walaupun pendapatan seseorang sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat disekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaaan miskin (Todaro, 2000).

Berdasarkan konsep tersebut jelas bahwa kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup masyarakat berubah. Konsep di atas sering disebut sebagai kemiskinan relatif dan merupakan perbaikan dari konsep kemiskinan absolut. Konsep kemiskinan relatif biasanya bersifat dinamis, sehingga kemiskinan akan selalu ada. Kriteria ini akan terlihat jika kita mengamati distribusi pendapatan masyarakat.

(55)

beberapa hal, yaitu (1) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap kebiasaan masyarakat yang tidak produktif (2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian, (3) rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan lapangan pekerjaan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan musiman, bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunya tingkat kesejahteraan masyarakat.

2.5. Profil Kemiskinan di Indonesia

Pada bagian ini akan diuraikan profil kemiskinan yang dilihat dari kemiskinan secara nasional, profil kemiskinan regional dan profil kemiskinan sektoral.

2.5.1. Profil Kemiskinan Nasional

Kemiskinan di Indonesia telah menjadi perhatian pemerintah sejak Pelita I dalam era Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I) yang dimulai tahun anggaran 1969/1970. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hasilnya sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 5.

(56)
[image:56.612.132.507.182.413.2]

sebesar 7.26 persen, namun di daerah perkotaan, jumlah penduduk miskin hanya turun dengan persentase yang lebih kecil yaitu sebesar 3.11 persen.

Tabel 5. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun 1976– 2004

Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan)

Jumlah Penduduk Miskin (Juta orang)

Tingkat Kemiskinan (%) Tahun

K D K D K+D K D K+D

1976 4 522 2 849 10.0 44.2 54.2 38.79 40.37 40.08 1978 4 969 2 981 8.3 38.9 47.2 30.84 33.38 33.31 1980 6 831 4 449 9.5 32.8 42.3 29.04 28.42 28.56 1981 9 777 5 877 9.3 31.3 40.6 28.06 26.49 26.85 1984 13 731 7 746 9.3 25.7 35.0 23.14 21.18 21.64 1987 17 381 10 294 9.7 20.3 30.0 20.14 16.14 17.42 1990 20 614 13 295 9.4 17.8 27.2 16.75 14.33 15.08 1993 27 905 18 244 8.7 17.2 25.9 13.45 13.79 13.67 1996 38 246 27 413 7.2 15.3 22.5 9.71 12.3 11.34 % Change 1976-1996 - - -3.11 -7.26 -6.50 - - -

19961) 42 032 31 366 9.6 24.9 34.5 13.60 19.90 17.70 19982) 96 959 72 780 17.6 31.9 49.5 21.92 25.72 24.23 19993) 92 409 74 272 15.6 32.3 48.0 19.40 26.00 23.40

20003) 91 632 73 648 12.3 26.4 38.7 14.60 22.38 19.14

20013) 100 011 80 382 8.6 29.3 37.9 9.76 24.84 18.41 20023) 130 499 96 512 13.3 25.1 38.4 14.46 21.10 18.20 20033) 138 803 105 888 12.3 25.0 37.3 13.57 20.23 17.42

20043) 143 455 108 725 11.4 24.8 36.2 12.13 20.11 16.66 % Change 1996-2004 - - 2.34 -0.05 0.62 - - -

Catatan: 1) Menggunakan Metode tahun 1962.

2) Menggunakan Data Susenas Desember 1998 (khusus)

3) Menggunakan Data Susenas 1998 (Pebruari, Reguler).

Sumber: 1. Statistik Indonesia (berbagai tahun). BPS Jakarta.

2. Data dan Informasi Kemiskinan (berbagai tahun), (Buku 1 : Provinsi). BPS Jakarta. 3. Metodologi dan Profil Kemiskinan Tahun 2002. BPS Jakarta.

Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin juga diikuti dengan membaiknya pendapatan rata-rata penduduk miskin, yang tercermin dari semakin mengecilnya jurang kemiskinan (poverty gap) dari 21 persen menjadi 11 persen selama 1984-1996 (Ikhsan, 2001). Penurunan yang signifikan terhadap jumlah kemiskinan, terutama selama kurun waktu 1976 - 1996, salah satu faktor penyebabnya adalah kondisi ekonomi makro yang selama kurun waktu tersebut relatif cukup baik.

(57)

tahun. Sementara, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan rata-rata sebesar 6.50 persen per tahun dalam kurun waktu yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan secara agregat memiliki hubungan yang nyaris elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi.

Koefisien elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sebesar -0.94, lebih kecil dari satu atau tidak elastis. Di perdesaan, ternyata kemiskinan memiliki hubungan yang elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi, dengan koefisien elastisitas sebesar -1.05, sedangkan untuk daerah perkotaan koefisien elastisitasnya hanya sebesar -0.45, yang berarti kemiskinan di daerah perkotaan ti

Gambar

Tabel 1.  Pertumbuhan PDB atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2001-2005                 (%)
Tabel 3.  Perkembangan Indikator Kemiskinan Indonesia, Tahun 1976-2004
Tabel 4. Anggaran Pemerintah Indonesia, Tahun 2000-2003
Tabel  5.  Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun 1976– 2004
+7

Referensi

Dokumen terkait

Enzim papain yang digunakan dalam proses hidrolisis protein ikan lele dumbo memiliki aktivitas spesifik yang rendah, yaitu sebesar 1,305 U/mg, hal ini mengakibatkan

Tabel 4 juga memperlihatkan bahwa indikator dari dimensi kesesuaian kebijakan antara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana yang mempunyai nilai rata-rata

Jika diperhatikan kegiatan aktivitas guru dalam penelitian inisudah baik dan berjalan sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran berbasis portofolio yang ada pada

Pemanfaatan multimedia berbasis komputer dalam pembelajaran, selain dapat digunakan media persentasi dan CD multimedia interaktif, ia juga dapat dimanfaatkan untuk

Dalam hal ini, belanja negara menurut klasifikasi ekonomi dikelompokkan ke dalam (1) kompensasi untuk pegawai; (2) penggunaan barang dan jasa; (3) kompensasi dari modal tetap

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI pada Pasal 31 WNI dengan

Faktor yang mempengaruhi keluarga miskin adalah: (a) harga hasil pertanian tidak stabil dan sangat tergantung dengan harga yang ditetapkan oleh pedagang, (b) program

Hasil belajar siswa khususnya untuk mata pelajaran matematika dengan penerapan Strategi Learning Start With A Question dengan Question Student Have di kelas VIII