• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian kelembagaan agroindustri pangan olahan di kawasan kawasan agropolitan Kota Batu Provinsi Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian kelembagaan agroindustri pangan olahan di kawasan kawasan agropolitan Kota Batu Provinsi Jawa Timur"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI PANGAN OLAHAN

DI KAWASAN-KAWASAN AGROPOLITAN

KOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR

QOSDUS SABIL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis saya yang berjudul :

Kajian Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kawasan-kawasan Agropolitan Kota Batu Provinsi Jawa Timur

Merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2008

(3)

ABSTRACT

QOSDUS SABIL. 2008. A Study of Village Agro-industry Institution in Agropolitan Areas of Batu Municipality, East Java Province. Supervised by ERNAN RUSTIADI, and DEDDY S. BRATAKUSUMAH

This research deals with agro-industry institution of processed food such as potato chips, drink of apple essence, apple cakes in the Agropolitan areas of Batu Municipality which is very potential in terms of raw material availability, skilled workers and prospective market demand. Institutionally, the existence of business units in processed food agro-industry has been well-established. However, the lack of the government's attention and marketing support has made the growth of agro-industry business of the processed food is very slow. The objectives of this research were: 1) to analyze the business feasibility of processed food agro-industry in Batu Municipality; 2) to analyze institutional factors as well as non-institutional factors which affect the development of processed food agro-industry in Batu Municipality; 3) to analyze the performance of marketing institution of processed food agro-industry products in Batu Municipality. The analyses used in this study were Descriptive analysis, Margin Analysis of Commerce, Net Benefit Cost Ratio (B/C Ratio), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), and Binary Logistic Regression. Developing processed food agro-industry business in Batu Municipality was financially feasible. Processed food agro-industry business was profitable for the businessmen and the value of Internal Rate of Return (IRR) indicated that the processed food commodity was high competitiveness. The factors which encouraged the participation of processed food agro-industry institution in Batu Municipality were significantly influenced by age, formal education, number of workers and price information.

(4)

RINGKASAN

QOSDUS SABIL. 2008. Kajian Kelembagaan Agroindustri Perdesaan di Kawasan-kawasan Agropolitan Kota Batu Provinsi Jawa Timur. Di bawah bimbingan ERNAN RUSTIADI, dan DEDDY S. BRATAKUSUMAH

Kota Batu secara geografis memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah. Untuk dapat memaksimalkan potensi sumberdaya limpahan hasil pertanian, dan dalam upaya menghadapi tekanan angkatan kerja, secara alami masyarakat Kota Batu telah berupaya melakukan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam sebagai bahan baku agroindustri. Dalam perkembangannya, Sektor Agroindustri terutama untuk sub sektor Makanan dan Minuman terlihat mendominasi sektor Industri Pengolahan di Kota Batu. Kondisi tersebut terlihat pada perkembangan sektor industri pengolahan yang inputnya sebagian besar memanfaatkan hasil dari sektor pertanian daerah setempat.

Keberadaan sektor pariwisata yang berkembang pesat di Kota Batu merupakan nilai lebih tersendiri, karena dengan berkembangnya sektor pariwisata ini dapat meningkatkan permintaan yang lebih besar terhadap sektor hilir agribisnis mencakup agroindustri perdesaan, industri manufaktur makanan, pelayanan kebutuhan restoran dan hotel-hotel, hingga outlet-outlet agribisnis maupun toko oleh-oleh dan cindera mata.

(5)

Pengembangan agroindustri pangan olahan sebagai unit-unit Usaha Kecil Menengah berbasis agroindustri rakyat, diamati melalui aspek-aspek keragaan usaha, kelayakan usaha dan bagaimana efektifitas peran-peran kelembagaan yang ada. Performance kelembagaan ditelaah melalui keberadaan organisasi usaha agroindustri pangan olahan, hak-hak dan kewajiban, aturan representatif (rule of representations), kelembagaan perorangan (informal), kelembagaan kelompok (formal), peran pemerintah, faktor penghambat dan pendukung, dan beberapa parameter yang bersifat kualitatif. Karakteristik hubungan yang dideskripsikan adalah hubungan principal-agent, sistem kontrak kerjasama dan biaya transaksi yang timbul dalam hubungan tersebut.

Berdasarkan hasil analisis keragaan, diketahui bahwa secara kelembagaan, keberadaan unit-unit usaha agroindustri pangan olahan tersebut tergolong sudah mapan. Namun karena kurangnya pembinaan dari pemerintah dan lemahnya dukungan pemasaran, menyebabkan pertumbuhan kelembagaan usaha agroindustri pangan olahan tersebut sangat lambat. Peran kelembagaan usaha agroindustri pangan olahan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan kegiatan usaha, dimana pelaku usaha yang berada dalam kelembagaan perorangan (informal) memiliki peluang yang lebih besar untuk berkembang dibandingkan dengan pelaku usaha yang bergabung dalam kelembagaan kelompok (formal). Namun, peran kelembagaan tersebut tidak mempengaruhi struktur biaya transaksi yang terjadi. Hal ini dikarenakan banyaknya kesamaan pada jalur pemasaran yang dilalui oleh kelembagaan formal maupun informal. Sehingga, keberadaan kelembagaan kelompok (formal) sejauh ini belum signifikan dalam pengembangan agroindustri pangan olahan di Kota Batu.

(6)

tinggi. Secara berturut-turut, persentase marjin keuntungan terbesar diperoleh pelaku usaha agroindustri dari usaha Sari Apel sebanyak 40,7%, kemudian Kripik Kentang 39,8%, dan Jenang Apel 28,4%. Selanjutnya keuntungan yang diterima toko pengecer dari usaha Kripik Kentang 36,2%, kemudian Sari Apel sebanyak 11,2%, dan Jenang Apel 5,6%. Serta keuntungan bagi pedagang perantara dari usaha Kripik Kentang 24,6%, kemudian Sari Apel sebanyak 8,4%, dan Jenang Apel 4,8%.

Selanjutnya, dari hasil analisis regresi logit diketahui bahwa partisipasi dan keterlibatan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu secara signifikan dipengaruhi oleh: Umur, Pendidikan Formal, Jumlah Tenaga Kerja, dan Informasi Harga. Sebagai karakteristik individu pelaku usaha, dengan meningkatnya umur pelaku usaha agroindustri berarti memiliki korelasi positif terhadap partisipasi pelaku usaha dalam kelembagaan formal. Begitu pula dengan pendidikan formal pelaku usaha agroindustri, semakin tinggi tingkat pendidikan formal, pelaku usaha akan menjatuhkan pilihan terhadap kelembagaan formal. Sedangkan dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja yang dimiliki berkorelasi negatif terhadap keterlibatan pelaku usaha dalam kelembagaan formal. Selanjutnya, dummy informasi harga (tahu/tidak tahu) sebagai salah satu karakteristik biaya transaksi, menunjukkan bahwa informasi harga termasuk faktor yang mendorong pelaku usaha untuk terlibat dalam kelembagaan formal kelompok usaha agroindustri pangan olahan.

(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi

(8)

KAJIAN KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI PANGAN OLAHAN

DI KAWASAN-KAWASAN AGROPOLITAN

KOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR

QOSDUS SABIL

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Tesis : Kajian Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kawasan-kawasan Agropolitan Kota Batu Provinsi Jawa Timur

Nama : Qosdus Sabil

NIM : A155040061

Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD)

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Dr. Ir. Deddy S. Bratakusumah, M.Sc. MURP

Ketua Anggota

Mengetahui Ketua Program Studi

Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Dr. Ir. Bambang Juanda, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(10)
(11)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Dzat yang Maha Kuasa mencurahkan karunia,

kemudahan dan petunjukNya sehingga tesis yang berjudul : “Kajian Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kawasan-kawasan Agropolitan Kota Batu Provinsi Jawa Timurdapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Deddy S. Bratakusumah, M.Sc. MURP. Selaku Anggota Komisi Pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim selaku Penguji Luar Komisi atas segala bimbingan, arahan dan motivasinya. Terima kasih juga kepada Bapak Dr. Ir. Bambang Juanda, MS. Selaku Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Bapak Prof. Isang Gonarsjah, Phd., Bapak Prof. Dr. Affendi Anwar, Bapak Prof. Dr. Ahmad Fauzi Syam, Bapak Dr. Hermanto Siregar, beserta seluruh Staf Pengajar yang telah mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan akademik. Selanjutnya ucapan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa PWD atas segala bentuk solidaritas dan social capital yang telah dibangun selama ini, wabilkhusus buat Zicho, Aa Bas, Te Pi2t, Om Ican dan Nita.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. H. Yusnan Arigayo, M.Si., Bapak KH. Ahmad Sutjipno (Alm.), Bapak KH. Baharuddin Rasyid, dan Bapak Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin, atas motivasi dan dukungannya agar penulis semangat menjalani studi. Juga kepada institusi-institusi yang telah membantu selama penelitian berlangsung, seperti Pemerintah Kota Batu, Dinas Pertanian Kota Batu, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Batu, BPS Kota Batu dan Bappeda Kota Batu. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak H. Achyar Hidayat, SH., Bapak H. Abdillah Toha, SE., Mas Anton Jawa, Mas Ramly, Mas Mirdasy,

(12)

Panji, Sholihin, serta semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam kepada kedua orang tua, Allahu Yarham Aba KH. Oemar Hassan dan

Umi’ Dra. Hj. Sumu Zanarofah, M.Ag. di Lamongan, Papa H. Soepandi Daldiri, A.Md. dan Mama Hj. Lestari Apik di Bondowoso. Juga buat Mbah Buk, Mbah Dal, Kung Yan & Uti Ibah, Mbah Mun & Mbah Ti, serta semua saudara-saudaraku: Mas Jik & Mbak Ain di Kairo, Ririf & Iram di Jakarta, Yuyus & Ayuk di Bogor, Five di

Jogja, Nice di Mantingan, U’uf & Baha’ yang masih berkesempatan menemani Umi’ tercinta di Lamongan, Dik Etik di Bondowoso, juga semua kemenakan: Dzuha’,

Ardour, Aileen dan A’al.

Penulis mengucapkan syukur yang tak terhingga, atas totalitas dukungan, kesabaran, doa, serta kasih sayang dari istri tercinta, Irma Yuli Astuti, S.Sos., M.Si. dan kedua buah hatiku: Masaro & Diara.

Akhir kata, penulis mengharapkan adanya koreksi dan saran dari semua pihak bagi penyempurnaan tesis ini. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan agroindustri perdesaan selanjutnya. Amin

Bogor, Maret 2008

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kesambi Lamongan Jatim, pada tanggal 27 November 1974, anak kedua dari pasangan KH. Oemar Hassan dan Dra. Hj. Sumu Zanarofah, M.Ag.. Penulis merupakan anak kedua dari delapan bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di MIM 1 Kesambi lulus tahun 1986, SMPN 1 Sukodadi lulus tahun 1989 dan SMAN 2 Lamongan lulus tahun 1992. Kemudian, penulis sempat kuliah di Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jember, tetapi setelah tiga tahun berjalan, penulis memutuskan untuk hijrah dan meneruskan pengembaraan hidupnya ke Kota Malang. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 tahun 2003, dengan mengambil Jurusan yang sama di Universitas Muhammadiyah Malang.

Pada Tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana (Magister Sains) Institut Pertanian Bogor.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 13

1.4 Tujuan Penelitian ... 13

1.5 Manfaat Penelitian ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1 Pengembangan Agroindustri Perdesaan ... 14

2.2 Kelembagaan Agroindustri ... 18

2.3 Evaluasi Kelayakan Agroindustri ... 24

2.4 Strategi Pengembangan Ekonomi di Kawasan Agropolitan ... 26

2.5 Penelitian Terdahulu ... 28

III. METODOLOGI ... 31

3.1 Kerangka Pemikiran ... 31

3.2 Hipotesis ... 32

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

3.4 Metode Pengumpulan Data, Jenis dan Sumber Data ... 33

3.5 Analisis Data ... 34

3.5.1 Analisis Deskriptif Keragaan Kelembagaan ... 36

3.5.2 Analisis Marjin Tataniaga ... 36

3.5.3 Analisis Finansial ... 36

3.5.4 Analisis Penentuan Opsi Kelembagaan ... 39

3.6 Batasan Operasional ... 40

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 43

4.1 Letak Geografis dan Administrasi... 43

4.2 Kondisi Umum Agroindustri Pangan Olahan ... 43

4.3 Karakteristik Pelaku Usaha Agoindustri Pangan Olahan ... 47

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55

5.1 Analisis Deskriptif Keragaan Kelembagaan ... 55

5.1.1 Organisasi Usaha Agroindustri Pangan Olahan ... 55

(15)

5.1.3 Faktor Penghambat dan Pendukung... ... 62

5.1.4 Kelembagaan Perorangan (Informal) ... 63

5.1.5 Kelembagaan Kelompok (Formal)... ... 67

5.1.6 Struktur Tataniaga ... 70

5.1.7 Marjin Tataniaga... ... 72

5.2 Kelayakan Usaha Agroindustri Pangan Olahan ... 76

5.2.1 Usaha Kripik Kentang ... 77

5.2.2 Usaha Sari Buah Apel ... 78

5.2.3 Usaha Jenang Apel ... 80

7.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peran Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kota Batu ... 82

VII. KESIMPULAN DAN SARAN .. ... 86

7.1 Kesimpulan ... 86

7.2 Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(16)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1 Komposisi Penduduk Kota Batu menurut Mata Pencaharian Pencaharian 2003-2007 ...

2 2 Distribusi PDRB Kota batu dan Kontribusi Setiap Sektor Tahun

2003-2005 ... 3

3 Distribusi Persentase Sektor Industri Pengolahan dan Kontribusi setiap Sub-Sektor Tahun 2003-2005 ... 4

4 Matriks Pendekatan Studi ... 35

5 Jenis, Luas dan Produksi Tanaman Sayur Kota Batu ... 44

6 Jenis, Jumlah Pohon dan Produksi Tanaman Buah Kota Batu... 44

7 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Banyaknya Pelaku Usaha Agroindustri Pangan Olahan ... 46

8 Jumlah Pelaku Usaha Agroindustri Pangan Olahan Kota Batu ... 47

9 Data Pelaku Usaha Perorangan Tahun 2006 ... 48

10 Data Kelompok Pelaku Usaha Pangan Olahan 2006 ... 49

11 Komposisi Penduduk Kota Batu Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2003 ... 50

12 Tingkat Pendidikan Responden Pelaku Usaha Agroindustri Kota Batu ... 51

13 Karakteristik Pengalaman Berusaha Responden Pelaku Usaha Agroindustri Pangan Olahan di Kota Batu ... 52 14 Latar Belakang Pekerjaan Pelaku Usaha Agroindustri ... 54

15 Perkembangan Kelembagaan Agroindustri Kota Batu Tahun 2003-2004 ... 60 16 Distribusi Marjin Tataniaga Agroindustri Pangan olahan ... 73

17 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Kripik Kentang di Kota Batu ... 78

18 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Sari Apel di Kota Batu ... 79

19 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Jenang Apel di Kota Batu .. 81 20 Hasil Regresi Logit Faktor yang Mempengaruhi Peran

Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kota Batu...

(17)

DAFTAR GAMBAR

Teks Halaman

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1 Analisis Usaha Kripik Kentang, Sari Apel dan Jenang Apel... 92

2 Data Pelaku Usaha Pangan Olahan di Kota Batu Tahun 2005 ... 98

3 Hasil Binary Logistic Regression ... 105

4 Peta Kota Batu ... 106

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan ekonomi perdesaan, sebagai bagian dari pembangunan ekonomi daerah, sedikit banyak telah menghasilkan sesuatu dalam bentuk meningkatnya taraf hidup sebagian masyarakat desa, terealisasinya berbagai prasarana dan sarana yang memperluas pelayanan dasar kepada masyarakat desa. Meningkatnya taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat tersebut ditandai dengan meningkatnya konsumsi akibat meningkatnya pendapatan, dan meningkatnya pendapatan diakibatkan pula oleh meningkatnya produktifitas masyarakat.

Sumodiningrat (2005) menyebutkan bahwa di era otonomi sekarang ini, selayaknya Desa adalah suatu self governing community yang dinamikanya disesuaikan dengan kebutuhan desa serta adat istiadat masyarakat setempat. Hal ini menuntut adanya alternatif formulasi strategi dan kebijakan yang efektif bagi kondusifnya perubahan yang diinginkan dalam konteks perdesaan. Sehubungan dengan itu perlu dioptimalkan pendekatan yang lebih partisipatif dalam setiap proses pembangunan yang dilakukan di perdesaan, dalam konteks pembangunan perdesaan yang berorientasi pada pendekatan partisipatif, perlu disiapkan pranata sumberdaya-sumberdaya yang ada, termasuk sumberdaya manusia.

Kenyataan menunjukkan masih banyaknya masalah krusial atas kesiapan sumberdaya-sumberdaya dalam membangun kawasan perdesaan, antara lain adalah masih rendahnya mutu sumberdaya manusia, lemahnya lembaga pemerintahan desa dan lembaga masyarakat desa dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, terbatasnya jangkauan pelayanan lembaga perekonomian dalam mendukung usaha ekonomi desa, dan belum meratanya prasarana dan sarana sosial ekonomi dalam melayani kebutuhan masyarakat desa serta masih lemahnya akses informasi untuk mengoptimalkan sumberdaya kepada masyarakat.

(20)

dapat mengurangi kesenjangan pembangun antardesa dan antardesa dengan kota, dan mengurangi masalah kemiskinan adalah merupakan tantangan utama yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi perdesaan saat ini.

Kota Batu merupakan daerah pertanian dan perkebunan yang subur, banyak menghasilkan Apel berkualitas dalam berbagai jenis, serta sayur -sayuran dan bermacam tanaman hias atau bunga-bunga yang menjadi primadona komoditas unggulan daerah. Kota Batu juga dikenal luas sebagai daerah wisata pegunungan yang sejuk. Kota Batu mulai tumbuh sebagai kawasan hunian seiring masuknya perkebunan kolonial pada pertengahan abad ke-19 di Jawa Timur.

Penduduk Kota Batu sebagaimana penduduk kota lain di Indonesia memiliki mata pencaharian sebagian besar petani, pengrajin/industri kecil, pegawai negeri, TNI, Polri, buruh bangunan dan wiraswasta lainnya. Komposisi penduduk Kota Batu menurut mata pencaharian terlihat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sektor pertanian menyerap tenagakerja terbesar.

Tabel 1. Komposisi Penduduk Kota Batu menurut Mata Pencaharian Tahun 2003 dan 2007

No Mata Pencaharian Tahun 2003 Tahun 2007 Jumlah Persentase Jumlah Persentase 1 Petani 29882 53.52 40658 53.28 2 Buruh Industri 5271 9.44 7171 9.39 3 Pengrajin/Industri Kecil 1454 2.60 1979 2.90 4 Buruh Bangunan 2368 4.24 3221 4.22 5 Pedagang 4812 8.62 6546 8.57 6 Angkutan/Sopir 442 0.79 601 0.78 7 Pegawai Negeri 3489 6.25 4746 6.21

8 TNI 742 13.29 1009 1.32

9 Polri 78 0.14 106 0.13

10 Pensiunan 1683 30.15 2289 2.99 11 Peternak 5865 10.50 7979 10.45 Jumlah 55.842 100 76305 100 Sumber: Batu dalam Angka 2003 dan data Lapangan Tahun 2007 diolah

(21)

sektor pertanian dan sektor industri olahan (off farm) serta perdagangan hasil-hasil pertanian.

Dengan sebagian besar penduduk yang bekerja di sektor pertanian, sehingga sektor pertanian di Kota Batu memiliki konstribusi 21.17 % untuk PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan 23.54 % untuk PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2005. Berikut data PDRB Tahun 2003 sampai Tahun 2005 Tabel 2. Distribusi PDRB dari masing-masing sektor Kota Batu Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan dalam persentase.

Tabel 2. Distribusi PDRB Kota Batu dan Konstribusi Setiap Sektor Tahun 2003-2005 dalam persentase

Sumber: BPS Kota Batu Tahun 2003 – 2005 data diolah

(22)

perdesaan yang berbasis off farm akan tercapai. Kota Batu secara geografis memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah. Untuk dapat memaksimalkan potensi sumberdaya limpahan hasil pertanian dan dalam upaya menghadapi tekanan angkatan kerja, secara alami masyarakat Kota Batu berupaya memanfaatkan potensi tersebut. Upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam sebagai bahan baku agroindustri dalam sub sektor Makanan dan Minuman terlihat cukup mendominasi sektor Industri Pengolahan di Kota Batu.. Kondisi tersebut terlihat pada perkembangan sektor industri pengolahan yang inputnya sebagian besar memanfaatkan hasil dari sektor pertanian daerah setempat. Pada tahun 2005, sub sektor Makanan dan Minuman memberikan konstribusi sebesar 3,86 % terhadap PDRB Kota Batu atau sebesar 46,28 % terhadap Sektor Industri Pengolahan atas dasar harga berlaku, dan sebesar 3,90 % terhadap PDRB Kota Batu atau sebesar 46,82 % terhadap Sektor Industri Pengolahan atas dasar harga konstan. Tabel 3. menunjukkan pertumbuhan industri makanan dan minuman olahan limpahan hasil pertanian Tahun 2003 sampai Tahun 2005 di Kota Batu. Tabel 3. Distribusi Persentase Sektor Industri Pengolahan dan Konstribusi Setiap

Sub-Sektor Tahun 2003 - 2005

No Sub Sektor Atas Dasar Harga

Berlaku

Atas Dasar Harga Konstan

2003 2004 2005 2003 2004 2005

1. Makanan dan Minuman 3.56 3.79 3.86 3.52 3.80 3.90

2. Textil, Kulit dan Alas Kaki 1.41 0.68 0.67 1.39 0.68 0.68

3. Barang dari Kayu & Hasil Hutan 1.31 1.30 1.20 1.35 1.36 1.16

4. Kertas & Barang Cetakan 0.24 0.24 0.25 0.23 0.23 0.23

5. Pupuk Kimia & Barang dari Karet 0.50 0.50 0.52 0.52 0.53 0.54

6. Semen & Barang Galian Non Logam 1.43 1.43 1.50 1.39 1.43 1.46

7. Logam Dasar Besi & Baja 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

8. Alat Angkutan, Mesin & Peralatan 0.15 0.15 0.14 0.16 0.16 0.14

9. Barang-barang Lainnya 0.20 0.21 0.20 0.21 0.22 0.22

(23)

Pertumbuhan sub sektor makanan dan minuman dari tahun 2003 sampai tahun 2005 menunjukkan perkembangan yang sangat lambat. Hal ini dimungkinkan terjadi karena masih sangat terbatasnya akses yang dapat diperoleh masyarakat perdesaan di Kota Batu dalam mengadaptasi keterampilan pengolahan hasil-hasil pertanian menjadi produk agroindustri olahan yang lebih banyak memberikan nilai tambah secara ekonomi bagi petani. Namun, lambatnya perkembangan kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat bisa pula disebabkan oleh minimnya perhatian dari Pemerintah Kota Batu dalam memberikan dukungan dan pembinaan kepada masyarakat petani yang umumnya berada di perdesaan.

Rustiadi dan Pranoto (2007) menyatakan bahwa perkembangan sektor industri ternyata banyak yang tidak terkait secara langsung dengan sektor pertanian dan perdesaan. Sementara sektor-sektor pertanian dan perdesaan tidak menyerap tenaga kerja lebih banyak, padahal pertumbuhan angkatan kerja di sektor tersebut relatif tinggi. Sebagai akibatnya terjadi kelebihan (excess supply) tenaga kerja yang kemudian bermigrasi secraa eksesif dari perdesaan ke perkotaan

yang apabila ukuran kota mengalami ”diseconomies of scale’ kemudian

menimbulkan berbagai ”penyakit” urbanisasi yang berdampak dan menimbulkan

biaya-biaya sosial maupun kerusakan lingkungan hidup. Pertumbuhan sektor industri yang dipacu oleh kebijakan pemerintah, ternyata terlalu tergantung (over dependent) kepada kapital dari luar dan mengalami kelebihan (over capasity), sehingga keadaan ekonomi nasional yang berkait dengan ekonomi dunia yang dinamik kemudian menjadi rentan terhadap resiko-resiko yang suatu waktu menjadi penyebab ambruknya sektor tersebut.

(24)

sektor pertanian yang modern dan efisien, tetapi justru sektor pertanian yang semakin gurem sebagai akibat dari fragmentasi lahan dan pemilikan aset pertanian yang berlangsung terus menerus. Dalam kondisi struktur kepemilikan dan penguasaan seperti itu, maka tidak ada cara lain yang lebih strategis untuk memperkuat ekonomi perdesaan kecuali dengan cara memacu pertumbuhan sektor-sektor lain, terutama sektor industri berbasis pertanian.

Penyediaan jasa-jasa publik di wilayah perdesaan menjadi syarat agar masyarakat perdesaan dapat meningkatkan produktivitasnya. Jasa-jasa input (produksi) di wilayah perdesaan seperti air untuk irigasi, tenaga listrik, jalan penghubung desa (feeder roads), dan jaringan telekomunikasi yang biasa disebut barang publik (public good) di masa lalu sepenuhnya disediakan dan dibiayai oleh pemerintah. Tetapi, di daerah-daerah tertentu persediaan jasa ini sangat kurang, seperti berlaku di wilayah luar Jawa bahkan di pulau Jawa sendiri keadaan ini berlaku di beberapa wilayah perdesaan terisolir seperti di daerah pegunungan Dieng. Di sisi yang lain penyediaan jasa-jasa publik tersebut hanya dapat disediakan dengan biaya yang sangat mahal, karena tidak efisien dan kurangnya transparansi pembangunan infrastruktur di Indonesia. Jika suatu wilayah perdesaan kekurangan infrastruktur barang publik, maka seringkali menjadi terisolir, sehingga hanya pedagang tertentu yang mampu memasukinya, dan sebagai akibatnya pedagang tersebut akan menjadi spatial monopoly-monopsony (monopoli penguasaan atas akses sumberdaya tertentu di sebuah wilayah) tertentu yang cenderung mengeksploitasi para petani kecil (Rustiadi dan Pranoto, 2007).

(25)

Berubahnya status Batu, dari Kota Administratif di Wilayah Kabupaten Malang menjadi Kota yang berdiri sendiri berdasarkan UU Nomor 11/2001 tanggal 21 Juni 2001, memang menjadikan Kota Batu dapat memiliki kesempatan yang lebih besar dalam melaksanakan pembangunan wilayahnya sesuai dengan potensi daerah yang dimilikinya. Perubahan status tersebut juga akan membawa implikasi terhadap keberadaan struktur Pemerintahan Kota dan Desa-desa/Kelurahan, yang pada gilirannya dapat mengancam keberadaan status perdesaan-perdesaan di wilayahnya, sekaligus dapat menyebabkan tergusurnya eksistensi kelembagaan lokal di perdesaan yang telah banyak melahirkan kearifan lokal dengan sistem dan adat istiadat yang selama ini dijalankan. Akibat lain yang dapat berlangsung adalah terjadinya proses pengkotaan terhadap desa-desa, yang pada gilirannya akan sangat mempengaruhi perkembangan sektor pertanian dan arah pembangunan wilayah perdesaan secara umum. Namun, dengan orientasi program pembangunan yang terarah dan tetap dalam koridor meningkatkan keterkaitan desa-kota, maka tidak menutup kemungkinan munculnya dinamisasi pertumbuhan sosial ekonomi yang lebih berarti baik di desa maupun di kota.

Pembangunan sektor pertanian dan wilayah perdesaan sekarang dianggap sangat penting, karena apabila pembangunan sektor ini di wilayah tersebut menjadi tidak berhasil dikembangkan, terutama dalam jangka menengah dan jangka panjang, akan dapat memberi dampak-dampak negatif terhadap pembangunan nasional keseluruhannya, berupa terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok tingkat pendapatan. Pada gilirannya keadaan ini menciptakan ketidak-stabilan (instability) yang rentan terhadap setiap goncangan yang menimbulkan gejolak ekonomi-sosial yang dapat terjadi secara berulang-ulang (Rustiadi et al, 2004).

(26)

sehingga menimbulkan kongesti, pencemaran hebat, permukiman kumuh, keadaan sanitasi yang buruk, dan menurunnya kesehatan pada gilirannya akan menurunkan produktivitas masyarakat perkotaan.

Menyadari akan berbagai permasalahan pembangunan perdesaan dan belum optimalnya berbagai program pembangunan yang pernah dilaksanakan, strategi pengembangan agropolitan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dalam enam tahun terakhir dimaksudkan untuk melakukan percepatan pembangunan kawasan perdesaan, tidak hanya bertumpu pada kepentingan pemenuhan kebutuhan pangan (beras) nasional, tetapi secara lebih spesifik mengedepankan potensi lokal atas komoditas-komoditas unggulan di tiap kawasan agropolitan yang dikembangkan.

Kawasan-kawasan tersebut dirancang untuk mensinergikan berbagai potensi yang ada, guna mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah. Program pengembangan dan pembangunan kawasan Agropolitan telah dilaksanakan di 98 kawasan yang tersebar dalam 33 Provinsi.

Pemerintah Kota Batu sendiri sejak tahun 2003 juga telah menjadikan strategi pengembangan kawasan agropolitan sebagai salah satu program kebijakan pembangunan daerahnya. Diharapkan dengan strategi tersebut, akan dapat meningkatkan pergerakan perekonomian wilayah yang lebih dinamis dengan menitikberatkan pada sektor pertanian yang diintegrasikan dengan sektor pariwisata. Strategi pengembangan kawasan agropolitan yang dilakukan di Kota Batu tersebut memiliki relevansi yang sangat erat dalam mengintegrasikan pembangunan ekonomi wilayah, melalui pengembangan sistem agribisnis terpadu dalam rangka memperoleh nilai tambah produksi serta dapat meningkatkan jumlah produksi pertanian, yang pada gilirannya akan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di perdesaan.

(27)

Penanaman Apel Kembali (kegiatan baru), Peningkatan Produksi Hasil Pertanian Ramah Lingkungan (kegiatan lanjutan), Pengembangan Kebun Bibit Desa (kegiatan lanjutan), Pengembangan Kebun Campur Kawasan Panderman (kegiatan lanjutan), Usaha Konservasi pada Lahan Berlereng (kegiatan lanjutan), Rekayasa Teknologi Pertanian pada Lahan Sempit/Pekarangan (kegiatan baru), dan Pengembangan Agroindustri Spesifik dan Pemberdayaan Wanita (kegiatan baru).

Secara umum, kawasan pertanian di Kota Batu telah memiliki hubungan timbal balik yang harmonis dan saling membutuhkan antara kegiatan usaha budidaya (on farm) dan pengembangan produk olahan skala rumah tangga (off farm). Sayangnya, perhatian terhadap perkembangan sub-sistem agribisnis yang banyak memberikan nilai tambah produksi pertanian khususnya dalam sub sistem pengolahan (agroindustri) dirasakan masih sangat kurang. Padahal, keberhasilan melakukan pembinaan dan pengembangan di sektor agroindustri ini akan dapat mencerminkan efektifitas strategi pengembangan kawasan agropolitan secara keseluruhan. Sudut pandang inilah yang akan ditelaah secara lebih spesifik dalam penelitian ini, dengan mengkaji aspek kelembagaan agroindustri pangan olahan dan keterkaitannya dalam memberikan daya dorong bagi pembangunan ekonomi wilayah perdesaan di Kota Batu.

1.2 Perumusan Masalah

Pertanian kebanyakan hanya difokuskan pada kegiatan petani di lapang produksi. Budaya tani lalu sekadar menjadi budidaya. Selama puluhan tahun pemerintah mendorong petani juga sekadar menjadi unsur produksi, sekadar produsen. Padahal pertanian itu pada hakekatnya adalah sebuah industri. Proses industrial tersebut harus terjadi di desa. Sementara sekarang ini, semua produk pertanian "mentah-mentah" langsung dibawa ke kota. Masyarakat desa harus dididik menjadi masyarakat yang bermental industri. Dengan demikian desa menjadi desa industri dengan orientasi bisa mendapatkan nilai tambah, khususnya dari pertanian industri (Sadjad, 2005).

(28)

dikembangkan secara sungguh-sungguh. Pendekatan pengembangan agroindustri harus disesuaikan dengan variasi kualitas sumberdaya pada usaha tani dan kondisi kelembagaan yang ada di masyarakat, dengan tetap memperhatikan skala usaha yang menguntungkan dan memperhitungkan kendala yang ada.

Peranan kelembagaan agroindustri terutama dalam pengembangan kawasan pertanian yang subur seperti dimiliki Kota Batu memiliki posisi yang sangat strategis, karena jenis industri ini mempunyai akar yang kuat dan memberikan dampak langsung kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan kelembagaan agroindustri harus diarahkan untuk memanfaatkan hasil pertanian secara optimal dengan memberikan nilai tambah yang tinggi melalui pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan teknologi serta melalui keterkaitan yang saling menguntungkan antara petani dan industri.

Kelembagaan memberi ketentuan terhadap anggota masyarakatnya mengenai hak-hak, kewajiban dan tanggungjawabnya. Disamping itu, tiap anggota mendapat suatu jaminan hak perlindungan dari masyarakat. Kelembagaan memberikan suatu kondisi bahwa tiap-tiap anggota menerima sesuatu yang menjadi ketentuan dan tiap anggota merasa aman, dan merasa sewajarnya. Arti ekonomi dari kelembagaan adalah memberikan kepastian tentang siapa memperoleh apa dan berapa banyak. Dengan kata lain kelembagaan menurunkan derajat ketidakpastian dari aliran manfaat atau ongkos yang akan diterima oleh partisipan dalam suatu sistem ekonomi (Sukmadinata, 1995).

Kehadiran kelembagaan petani atau organisasi petani dapat berperan dalam transformasi struktural untuk dapat mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah dimana lembaga pertanian tersebut berada. Aspek kelembagaan sangat penting bukan saja dilihat dari segi ekonomi pertanian tetapi juga segi ekonomi perdesaan (Soekartawi, 1989).

(29)

menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang mampu memfasilitasi lokasi-lokasi permukiman di perdesaan yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya lebih menyebar.

Hal lain yang sangat strategis adalah bahwa pengembangan agropolitan yang dapat menjawab asumsi yang kurang tepat selama ini, yang menyebutkan bahwa kemajuan suatu wilayah ditandai oleh berubahnya struktur ekonomi dari peran sektor pertanian yang besar digantikan oleh peran sektor industri pengolahan dan perubahan wilayah dari wilayah perdesaan menjadi wilayah perkotaan Dengan asumsi bahwa sektor pertanian perhitungan produksinya sampai ke hilir yaitu sampai kepada kegiatan agro-processing, maka suatu wilayah dapat disebut maju dengan tetap mencirikan wilayah perdesaan dan peran sektor pertanian yang tetap dominan (Rustiadi et al, 2004).

Keberadaan hasil produksi pertanian yang akan dipasarkan sebaiknya terlebih dahulu diolah atau ditangani sedemikian rupa, sehingga yang dijual tersebut bukan produk primer akan tetapi dalam bentuk sekunder (hasil olahan). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah produksi tersebut, sekaligus nilai tambah ini secara ekonomi akan diperoleh petani.

Beberapa pola pengembangan agroindustri yang dapat dikembangkan, antara lain pola skala besar, kemitraan dan skala kecil rumah tangga. Akan tetapi karena sifat agroindustri yang sangat terkait dengan berbagai kegiatan produksi seperti dengan sub sistem pengadaan, distribusi, produksi, penyaluran sarana dan pemasarannya, maka perlu ada keterpaduan supaya dapat menciptakan peluang--peluang bagi pengembangan ekonomi secara luas. Secara sederhana sebenarnya strategi dasar pengembangan agroindustri yaitu mengubah pola pikir petani dari production oriented ke business oriented dan mengurangi semua kendala agroindustri yang ada sehingga dapat mencapai tingkat yang optimal (Basdabella, 2001).

(30)

dan kualitas sumberdaya manusia akan memberikan daya dorong yang kuat terhadap upaya memajukan dan mengembangkan agroindustri, keterkaitan antara sektor dan sub sektor ini tidak dapat dipisahkan, harus saling mendukung dan mengisi satu sama lain.

Mattjik (2006) menyatakan bahwa hal penting yang harus dilakukan dalam revitalisasi pertanian adalah mengubah pandangan tentang pertanian itu sendiri. Pertanian tidak sekedar menanam dan berkebun. Pertanian memiliki cakupan yang sangat luas, dari kegiatan hulu sampai hilir, mengubah input menjadi output berupa sandang, pangan, papan, dan lingkungan yang nyaman bagi makhluk hidup. Produk pertanian dapat berupa Coca cola, Yakult, ayam goreng McDonald, kapal nelayan, Sea world di Ancol, atau Taman Safari di Cisarua. Hal ini hanya untuk menunjukkan bahwa sektor pertanian mencakup berbagai kegiatan agroindustri, agrobisnis dan agroservis yang memiliki omset miliaran dolar AS dan tidak jarang mengubah nasib pengusaha menjadi konglomerat.

Dewasa ini, globalisasi pangan telah menjelma menjadi suatu proses yang sangat berbeda dari versi sebelumnya karena menanggalkan sifat-sifat lamanya. Saat ini introduksi dan penetrasi produk ke pasar global didesain dan dilakukan secara sistematis melalui jaringan marketing dan distribusi yang serba efisien. Disinilah perlunya pengembangan teknologi dan rekayasa produk pangan. Keragaman teknologi produksi, pengolahan (agroindustri) dan pengemasan, terutama ditujukan untuk peningkatan umur simpan, sehingga diharapkan bisa menjawab tantangan pasar global (Widianarko, 2006).

(31)

1.3 Pertanyaan Penelitian

Untuk mempertajam pokok persoalan yang dikemukakan dan lebih terfokusnya kajian penelitian, maka diajukan pertanyaan penelitian yang lebih mendasar yakni:

1. Bagaimana keragaan (performance) kelembagaan pemasaran produk--produk agroindustri pangan olahan yang ada di Kota Batu?

2. Bagaimana kelayakan usaha agroindustri pangan olahan yang berkembang di Kota Batu?

3. Faktor-faktor kelembagaan dan non kelembagaan seperti apakah yang mempengaruhi perkembangan agroindustri pangan olahan yang ada di Kota Batu?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab beberapa persoalan pokok yang dirumuskan di dalam pertanyaan penelitian diatas, antara lain:

1. Menganalisis keragaan (performance) kelembagaan pemasaran produk-produk agroindustri pangan olahan yang ada di Kota Batu.

2. Menganalisis kelayakan usaha agroindustri pangan olahan yang berkembang di Kota Batu

3. Menganalisis faktor-faktor kelembagaan dan non kelembagaan yang mempengaruhi perkembangan agroindustri pangan olahan yang ada di Kota Batu.

1.5 Manfaat Penelitian

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Agroindustri Perdesaan

Mwabu dan Thorbecke (2001) menyatakan bahwa fokus dari kebijakan pembangunan perdesaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan memulai kebijakan tersebut di perdesaan seperti halnya selama ini telah dilakukan di wilayah perkotaan. Kebijakan yang mendorong pertumbuhan industri agro-based di wilayah perkotaan akan merangsang produksi dari produk pertanian perdesaan yang digunakan sebagai input dalam agroindustri di perkotaan. Selanjutnya industri kota juga memerlukan pasar yang besar di perdesaan, investasi dalam pembangunan infrastruktur komersial, misalnya jalan penghubung dan telekomunikasi akan sangat berguna bagi penduduk perdesaan.

Pengembangan agroindustri menjadi penting karena usaha ini memiliki multiplier effect yang lebih besar bila dibandingkan dengan industri lainnya. Pengembangan agroindustri merupakan langkah yang perlu dijadikan prioritas melebihi yang telah dilakukan selama ini. Beberapa pertimbangan yang mendukung pengembangan agroindustri sebagai sektor pemimpin adalah: (1) sektor agroindustri memiliki pangsa besar dalam perekonomian sehingga kemajuan yang diperoleh dapat mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan, (2) Pertumbuhan dan nilai tambah relatif tinggi dan (3) Adanya keterkaitan antara sektor hulu dan hilir yang relatif besar sehingga mampu menarik pertumbuhan pada sektor lain (Rustiadi et al, 2004).

Agroindustri pada dasarnya mencakup pengolahan atau penanganan produksi pertanian. Ada produksi pertanian yang perlu diolah (dirubah susunan kimianya) menjadi bentuk lain yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, baik bentuk, citarasa, warna, guna dan baunya. Selain itu ada juga produk pertanian yang hanya perlu ditangani sedemikian rupa agar tetap segar sampai ke konsumen, misalnya pada produk pertanian buah-buahan dan sayur-sayuran.

(33)

lama disadari oleh ekonom pasca revolusi industri, sehingga mereka menekankan arti strategis dari menempatkan pertanian dan perdesaan sebagai bisnis inti (core business) dalam kaitannya dengan proses industrialisasi (Pambudy, 2005).

Secara singkat lingkup model pembangunan atau paradigma agribisnis dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Lingkup Pembangunan Sistem Agribisnis

Sumber: Pembangunan Sistem Agribisnis sebagai Penggerak Ekonomi Nasional (Deptan, 2001)

Faktor ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah pembangunan disamping faktor-faktor lainnya. Para ahli studi pembangunan bahkan meyakini pentingnya faktor ini dalam proses pembangunan sebagai faktor yang mempunyai determinan tinggi. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan yang banyak terjadi di negara-negara berkembang, di mana pada umumnya mereka memberikan prioritas yang tinggi terhadap pembangunan ekonomi. Keadaan ekonomi yang meningkat diharapkan dapat memberikan kesempatan yang lebih baik untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan di bidang lainnya, sehingga lebih mengejar pertumbuhan ekonomi sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Stabilitas ekonomi menjadi target utama yang harus diwujudkan melalui proses pembangunan, karena dengan adanya stabilitas ekonomi yang

(34)

dinamis, proses pembangunan akan berhasil dengan baik, walaupun hal itu tidak dapat dilepaskan dari adanya stabilitas di bidang lainnya (Riyadi dan Bratakusumah, 2005).

Anwar (2005) menyatakan bahwa peranan pemerintah dalam pembangunan adalah memberikan modal permulaan untuk mereplikasi pertumbuhan kota-kota kecil yang mempunyai lokasi strategik, yang selebihnya dibangun sistem insentif melalui pajak dan transfer dalam mendorong pihak swasta untuk turut serta membinanya. Sumbangan kota kecil dalam bentuk fasilitas urban seperti penyediaan infrastruktur, khususnya dalam upaya untuk mengatasi persoalan yang mer.garah kepada pengurangan kesenjangan produktifitas antara kegiatan sektor-sektor pertanian dan non-pertanian melalui peningkatan human capital, social capital dan teknologi wilayah perdesaan di sekitar kegiatan non-pertanian tersebut diutamakan yang dapat memberikan dampak kepada peningkatan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi defisit neraca perdagangan. Jenis kegiatan tersebut akan sangat ditentukan oleh kemampuan strategi kebijakan pertanian dalam meningkatkan keunggulan kompetitif produk-produk pertanian olahan dari kegiatan agroindustri baik untuk permintaan di pasaran domestik maupun dunia. Dalam kaitan dengan strategi tersebut keunggulan komparatif dari masing-masing wilayah ditentukan oleh keadaan ekosistemnya. Oleh karena itu disamping perlunya fasilitas perkotaan umum, diperlukan juga organisasi dan kelembagaan yang melengkapinya (bank-bank, sekolah-sekolah umum, pusat koperasi pertanian, pusat penelitian) yang harus disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan setempat.

(35)

pemasaran. Penggunaan teknologi maju dalam sistem produksi ini akan membawa konsekuensi bahwa ratio modal dan tenaga kerja yang meningkat skillnya menjadi tetap. Dengan perkataan lain, koefisien teknis sistem produksi pertanian olahan yang maju tidak dapat berubah-ubah lagi. Salah satu dampak dari koefisien teknis yang bersifat demikian mengarah kepada keadaan bahwa produk-produk sektor pertanian primer (budidaya) menjadi kurang mampu daya serapnya untuk menampung terhadap penyerapan tenaga kerja. Dan untuk meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut hanya dapat dilakukan melalui penambahan modal.

Hal ini berarti bahwa sektor primer pertanian tidak dapat diharapkan terlalu banyak untuk menyerap tenaga kerja, yang membawa implikasi perlunya mengembangkan sektor komplemen agroindustri beserta kegiatan lainnya yang berkaitan dan turut membantu meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di wilayah perdesaan.

Sektor komplemen tersebut selain untuk membantu penyerapan tenaga kerja juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga di wilayah perdesaan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka sektor komplemen haruslah memenuhi syarat sebagai berikut: Pertama, produk sektor komplemen haruslah produk yang dihasilkan oleh masyarakat perdesaan lokal yang menjadi penghasil maupun penerima dari nilai tambah sektor utama. Syarat ini harus dipenuhi agar sektor pertanian mampu mengartikulasikan sektor komplemen melalui media penghubung keterkaitan dengan kegiatan konsumsi. Dengan jumlah penduduk perdesaan yang cukup besar, maka prospek pasar komoditas non-pangan (industri manufaktur) di wilayah perdesaan sangat baik, sehingga untuk meminimumkan biaya distribusi produk-produk olahan maka sebaiknya industri non-pertanian yang mendukung kegiatan sektor pertanian lokasinya juga di wilayah perdesaan.

(36)

Ketiga, disamping kegiatan agroindustri, maka jenis kegiatan industri lain yang dibangun sebaiknya diprioritaskan pada industri yang mempunyai intensitas penggunaan tenaga kerja yang tinggi. Syarat ini harus dipenuhi agar di wilayah perdesaan mampu menyediakan kesempatan kerja di luar usaha tani yang mampu menampung pertumbuhan tenaga kerja pada masyarakat perdesaan.

Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan diharapkan akan dapat mendukung kebijakan strategi pembangunan pertanian di wilayah perdesaan, sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mampu menyediakan kesempatan kerja. Untuk itu pembangunan sektor primer dan sektor komplemennya sebaiknya dilakukan secara bersama-sama agar diperoleh dampak sinergis yang kuat terhadap kinerja sistem ekonomi perdesaan.

2.2 Kelembagaan Agroindustri

Kelembagaan dipandang penting mengingat kelembagaan inilah yang mendasari keputusan untuk produksi, investasi dan kegiatan ekonomi lainnya, yang dibuat oleh individu atau sebuah organisasi dalam konteks sosial atau interaksi dengan pihak lain. Perubahan dalam kelembagaan akan mengubah gugus oportunitas yang dihadapi oleh para pelaku ekonomi sehingga keragaan ekonomi, seperti produksi, kesempatan kerja, kemiskinan, kerusakan lingkungan, distribusi pendapatan dan lain-lain menuntut adanya perubahan dalam kelembagaan (Pakpahan, 1991).

(37)

mengkoordinasikan para pemilik input dalam rangka menghasilkan output serta mendistribusikan output tersebut.

Hayami dan Kikuchi (1987) mendefinisikan lembaga (pranata) sebagai aturan-aturan yang dikukuhkan dengan sanksi oleh para anggota komunitas. Aturan-aturan tersebut memudahkan koordinasi dan kerjasama di antara penduduk dalam pemakaian sumber-sumber daya, dengan membantu mereka membentuk harapan-harapan yang dimiliki setiap orang dalam hubungannya dengan orang lain. Menciptakan, memelihara dan mengubah pranata ini memerlukan kolektif yang berarti memerlukan biaya untuk perundingan dan pelaksanaan. Tindakan untuk perubahan kelembagaan tidak akan tersusun kecuali jika keuntungan dari perubahan itu melebihi biayanya.

Sementara itu, penyediaan sumberdaya, teknologi, dan permintaan pasar pun menghendaki perubahan. Pranata-pranata yang efisien sifatnya ketika diciptakan, mungkin menjadi kurang efisien dalam memudahkan alokasi sumberdaya. Ketidakseimbangan yang tumbuh akan menimbulkan kesempatan-kesempatan memperoleh keuntungan yang cukup besar guna menyusun tindakan kolektif bagi perubahan kelembagaan.

Sedangkan Ruttan (1984) mendefinisikan lembaga sebagai aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan, seperti keluarga, perusahaan dan kantor, yang menjalankan fungsi pengendalian terhadap berbagai sumberdaya.

(38)

spektrum tersebut, dapat diyakini bahwa perubahan kelembagaan sama pentingnya dengan desain kelembagaan itu sendiri.

Perubahan kelembagaan di dalam masyarakat berarti terjadinya perubahan di dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju ke peningkatan berbagai prinsip-prinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada, waktu yang bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem sosial yang kompleks. Perbedaan itu dapat berarti juga memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi (Yustika, 2006).

Manig (1992), seperti diacu dalam Yustika (2006), menyatakan adanya perubahan kelembagaan mendorong kepada perubahan kondisi-kondisi yang kemudian membuat penyesuaian baru yang diperlukan melalui faktor-faktor eksternal (proses umpan balik permanen). Dengan demikian, perubahan kelembagaan merupakan proses transformasi permanen yang merupakan bagian pembangunan. Oleh karena itu, tujuan utama dari setiap perubahan kelembagaan adalah untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar daripada perbaikan pemanfaatan sumber daya yang kemudian secara simultan menciptakan keseimbangan baru (misalnya keadilan sosial).

(39)

Kelembagaan kedua yang diterapkan di kalangan petani adalah kemitraan. Kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama yang menganut asas kesetaraan sebagai konsekuensi logis dari kondisi alamiah bahwa manusia mengakui adanya keterbatasan dan saling ketergantungan. Petani bermitra dengan petani-petani lainnya dalam Koperasi Unit Desa (KUD), kemudian KUD ini bermitra dengan perusahaan besar. Para petani bermitra antar sesama petani untuk mendapatkan skala ekonomi dari komoditi yang dihasilkannya sehingga dapat layak untuk diproses lebih lanjut (agroindustri) atau dijual kepada konsumen. Petani yang bergabung dengan KUD mempunyai potensi lahan, tenaga kerja dan fasilitas kredit dari pemerintah tetapi lemah dalam manajemen, teknologi dan akses pasar. Karena itu perlu bermitra dengan perusahaan besar yang memiliki kemampuan manajemen, modal, teknologi dan akses pasar tetapoii tidak memiliki tenaga kerja dan lahan (terbatas). Kemitraan tersebut akan meningkatkan efisiensi secara bersama secara keseluruhan, sehingga akan memberikan keuntungan yang lebih tinggi pada petani dan perusahaan inti. Pembentukan kemitraan memiliki kelebihan karena lebih mudah dibentuk, lebih luwes diimplementasikan, tidak memerlukan dana yang besar, beriko kecil, serta menimbulkan beberapa efek ganda yang cukup berarti bagi perusahaan (Wahyudi, 1997).

(40)

Kelembagaan ketiga yang diterapkan di kalangan petani adalah contract farming, yaitu bentuk organisasi produksi yang menggabungkan secara vertikal kegiatan petani kecil dengan perusahaan besar agroindustri. Penggabungan petani kecil dengan perusahaan besar tersebut dikenal dengan berbagai istilah seperti Inti Satelit, Usaha Tani Kontrak (contract farming) atau Outgrower System (Glover, 1984). Contract Farming didefinisikan sebagai suatu cara mengorganisasikan produksi pertanian, dimana petani-petani kecil atau outgrower dikontrak oleh suatu badan pusat untuk memasok hasil pertanian sesuai persyaratan yang tercantum dalam kontrak perjanjian. Badan pusat yang merupakan pembeli hasil produksi petani dapat memberikan bimbingan teknis, kredit dan masukan-masukan lainnya.

Model kontrak produksi seperti contract farming tersebut juga dikenal sebagai model inti satelit dimana badan pusat sebagai inti membeli hasil pertanian dari petani satelit yang dikontrak tersebut. Dalam uraian khusus yang dipromosikan oleh The Commonwealth Development Corporation (CDC), inti merupakan sebuah nucleous estate, yaitu suatu wilayah kecil beserta unit pengolahan dan kepadanya sejumlah petani dikontrak untuk memasok hasil pertanian (Kirk, 1987).

Kelembagaan lainnya di kalangan petani adalah partisipasi, yaitu sebagai suatu keikutsertaan masyarakat secara aktif di dalam mencapai suatu tujuan. Pengalaman praktek dalam pemberdayaan sumberdaya menunjukkan bahwa pengembangan masyarakat partisipatif merupakan pilihan yang cermat untuk memberdayakan masyarakat. Di dalam partisipasi, keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan terjadi secara sukarela dan atas kemauan sendiri, dan sifat kesukarelaan tersebut menjadi ciri dari partisipasi. Partisipasi tidak dapat dipaksakan tetapi harus tumbuh dari kesadaran dan kemauan sendiri.

(41)

acapkali mereka dihadapkan kepada kebutuhan yang mendesak. Untuk itu, salah satu prasyarat agar petani bias juga bergabung di dalam kelompok pemasaran (bukan hanya dalam kegiatan produksi), adalah harus adanya dukungan lembaga keuangan. Perlu dipikirkan adanya federasi kelompok tani dalam suatu wilayah administrasi tertentu, yang berfungsi memperjuangkan kepentingan-kepentingan petani dengan pihak luar dan mengatur kesepakatan-kesepakatan di antara para petani dalam menentukan jenis usaha yang akan dipilihnya.

Pemberdayaan masyarakat dalam wadah koperasi, khususnya untuk sentra pengembangan agribisnis dan agroindustri dapat dicapai dengan dua tahap. Tahap pertama adalah kerjasama sesama petani melalui koperasi, dan tahap kedua setelah koperasi terbentuk dengan mantap adalah kerjasama kemitraan antara koperasi dengan perusahaan pembimbing. Dalam kelembagaan tersebut intervensi dari pemerintah daerah diperlukan sebagai konsultan dalam membentuk dan menjalankan kemitraan sejajar, yang dapat berperan dalam rekayasa iklim usaha yang kondusif, rekayasa dana dan rekayasa ekonomisasi teknologi tepat sasaran (Maarif, 2000).

Menurut Didu (2000), pengembangan kelembagaan agroindustri harus mengindahkan aturan dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Karena itu diperlukan kajian tentang faktor sosial budaya dan ekosistem dalam pembentukan kelembagaan, agar kelembagaan tersebut mampu menciptakan sumber kehidupan alternatif bagi masyarakat, harapan hidup yang lebih banyak dan lebih baik, rasa keadilan dalam masyarakat dan memberikan jaminan tentang kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pengertian organisasi sering bercampur aduk dengan pengertian kelembagaan. Organisasi berarti adanya hirarki untuk membuat pengambilan keputusan dan didalamnya terdapat unsur kelembagaan. Sedangkan kelembagaan adalah aturan main untuk mengatur prilaku manusia atau organisasi secara individual sehingga kelembagaan membatasi prilaku individu. Oleh karena itu kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan main atau rule of the game, the player of the game dan equilibrium rule of the game (Anwar, 2003).

(42)

konsep peranan (role) merupakan komponen utama kelembagaan. Sedikitnya terdapat lima sistem kelembagaan yaitu : sistem komunikasi, sistem ekonomi, sistem kesepakatan, sistem otoritas dan pembagian kekuasaan serta sistem ritual untuk mempertahankan ikatan-ikatan sosial (social cohession) yang ada. Definisi tersebut jelas menekankan pada pentingnya fungsi dan peranan kelembagaan dalam mewarnai tata kehidupan masyarakat.

Menurut North (1991) kelembagaan mengandung makna aturan main yang dianut masyarakat atau anggota yang dijadikan pedoman oleh seluruh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam melakukan interaksi. Peran utama kelembagaan dalam masyarakat adalah mengurangi ketidakpastian (uncertainty) dengan menciptakan struktur yang seimbang dalam interaksi manusia (namun tidak otomatis efisien). Rachman (1999) menambahkan bahwa kelembagaan secara evolusi tumbuh dari masyarakat atau sengaja dibentuk. Namun pada hakekatnya bentuk kelembagaan mengatur tiga hal esensial, yaitu penguasaan, pemanfaatan, dan transfer teknologi. Keragaan yang merupakan dampak dari bekerjanya suatu institusi sangat tergantung pada bagaimana institusi mengatur hal-hal tersebut.

2.3 Evaluasi Kelayakan Agroindustri

Pengembangan agroindustri memerlukan berbagai kajian kelayakan, yaitu kelayakan teknis, ekonomis dan kelayakan sosial. Kelayakan teknis menyangkut aspek teknis dan teknologi yang digunakan. Menurut Husnan dan Suwarsono (1994) aspek teknis dan teknologis berkaitan dengan penentuan kapasitas produksi, pemilihan teknologi, penentuan kebutuhan bahan baku, bahan pembantu dan bahan pendukung serta penentuan lokasi dan letak pabrik pengolahan.

(43)

maupun pada masa pengoperasiannya. Dari sudut keuangan (financial) perlu dilihat apakah ada sumber dana yang cukup untuk membiayai pengoperasiannya. Selain itu, apabila proyek ditujukan untuk memperoleh pendapatan, maka pendapatan itu selain mampu menutupi ongkos-ongkos yang dikeluarkan juga masih dapat menghasilkan laba, sehingga penanam modal tidak merasa rugi untuk menanamkan modalnya di proyek tersebut. Aspek sosial ekonomi adalah melihat dari sudut pandang kepentingan ekonomi nasional, yaitu apakah proyek itu memiliki manfaat (benefits) lebih besar dari biaya, yang tidak kurang dari alternatif lain. Aspek dampak lingkungan adalah melihat bahwa proyek itu tidak akan merusak lingkungan sedemikian rupa sehingga banyak pihak luar yang dirugikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Apabila kerugian semua pihak ikut dihitung, proyek itu sebetulnya tidak lebih merugikan dibandingkan manfaat yang dapat dirasakan orang banyak.

(44)

keuangan, jasa energi, telepon, serta infrastruktur baik berupa jalan, sarana angkutan maupun fasilitas pelabuhan. Faktor kelima adalah faktor lingkungan, terutama pengaruh kegiatan terhadap lingkungan seperti limbah dan pencemaran lingkungan lainnya, sehingga untuk jenis jenis industri tertentu harus mengeluarkan biaya yang besar agar kegiatannya ramah terhadap lingkungan.

Kelayakan ekonomi pada umumnya menyangkut lamanya life cycle profit dari produk yang dihasilkan, sehingga berkaitan erat dengan aspek pasar dan pemasaran serta aspek finansial. Menurut Gittinger (1986), terdapat empat hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan aspek pasar dan pemasaran, yaitu : (1) kedudukan produk yang direncanakan pada saat ini, (2) komposisi dan perkembangan permintaan pada masa yang akan datang, (3) adanya persaingan dan (4) peranan pernerintah dalam menunjang pemasaran produk.

Kelayakan sosial pada pustaka yang ada jarang digunakan atau dijadikan pertimbangan, biasanya pada waktu dulu hanya dimasukkan dalam kelayakan teknis dan teknologi terutama yang berkaitan dengan penanganan limbah dan pencemaran lingkugan. Akan tetapi belakangan ini, dimana dunia memasuki era globalisasi dan era hak-hak asasi manusia (HAM), maka kelayakan sosial harus dipertimbangkan dengan seksama, karena kelayakan sosial tersebut bukan saja berkaitan dengan limbah dan pencemaran lingkungan, akan tetapi sudah meluas kepada faktor-faktor agama, adat istiadat, kelestarian alam, pemakaian tenaga kerja dan lainnya. Secara matematis perhitungan mengenai kelayakan sosial belum ada rumus yang baku, kecuali berdasarkan data-data rasional dengan opsi berlawanan atau tidak. Apabila berlawanan dengan tata nilai atau norma sosial yang ada, maka lebih baik investasi tersebut dibatalkan (Basdabella, 2001).

2.4 Strategi Pengembangan Ekonomi di Kawasan Agropolitan

(45)

dasarnya, pembangunan perdesaan tidak akan pernah berhasil sebelum sektor non pertaniannya berkembang. Hal ini terjadi karena produktivitas dan nilai tukar dari produk sektor-sektor primer pertanian secara relatif cenderung rendah dan semakin rendah sehingga kurang mampu menyejahterakan masyarakat.

Program pengembangan agropolitan dimaksudkan untuk mendorong pembangunan ekonomi berbasis pertanian yang dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada, untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis dalam suatu sistem yang utuh dan menyeluruh, yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh mayarakat dan difaslitasi oleh pemerintah (Pokja Pengembangan Kawasan Agropolitan Pusat, 2004).

Sektor pertanian pada umumnya merupakan sektor yang sangat penting bagi kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan, sehingga menyebabkan wilayah perdesaan sangat bergantung kepada kinerja dari satu-satunya sektor tunggal ini, dimana investasi pada sektor ini sangat beriko tinggi. Lagi pula penerimaan (revenues) yang dapat dikumpulkan oleh pemerintah lokal keadaannya sangat terbatas karena sumber pendapatan dari pajak sangat langka. Keadaan terakhir ini menyebabkan sangat sukar untuk memobilisasikan sumberdaya secara mencukupi guna mampu membiayai program-program penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah lokal secara mandiri (Rustiadi dan Pranoto, 2007).

Tujuan dari pengembangan program agropolitan adalah untuk: (1) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani di perdesaan, (2) mendorong berkembangannya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, dan berkelanjutan, (3) meningkatkan keterkaitan desa dan kota (urban rural linkages), (4) mempercepat pertumbuhan kegiatan ekonomi perdesaan yang berkeadilan, (5) mempercepat industrialisasi di wilayah perdesaan, (6) mengurangi arus migrasi dari desa ke kota, (7) memberi peluang berusaha dan menciptakan lapangan pekerjaan, serta (8) meningkatkan pendapatan asli daerah (Pokja Pengembangan Kawasan Agropolitan Pusat, 2004).

(46)

digunakan agar kawasan-kawasan agropolitan cepat terbentuk adalah dengan mengembangkan sistem agribisnis yang berkelanjutan dan terdesentralisasi untuk komoditas-komoditas unggul potensial di wilayah Kota Batu. Pengelolaan komoditas secara profesional mulai dari hulu ke hilir dalam sistem agribisnis akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat yang pada akhirnya akan mempercepat pembangunan ekonomi wilayah Kota Batu secara keseluruhan (Bappeda Kota Batu, 2004).

2.5 Penelitian Terdahulu

Assidiqqi (2005) dalam penelitiannya, menganalisis keterkaitan pola penganggaran, sektor unggulan dan sumberdaya dasar untuk optimalisasi pembangunan di Kota Batu. Sektor unggulan dianalisis dengan menggunakan Metode Input-Output, pola penganggaran dianalisis dengan metode Analysis Hierarchy Process (AHP) dan sumberdaya dasar dianalisis dengan metode SWOT.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pola penganggaran belanja pembangunan Kota Batu selama ini belum sepenuhnya memperhatikan sektor unggulan dan sumberdaya yang ada di Kota Batu, meskipun hasil analisis sistem mekanisme penyusunan belanja pembangunan APBD Kota Batu menunjukkan bahwa sektor unggulan menjadi prioritas utama dalam penyusunan APBD Kota Batu. Jika melihat struktur APBD Kota Batu terlihat bahwa dukungan anggaran terhadap pengembangan sektor unggulan sangat lemah.

Sektor unggulan di Kota Batu yang memberikan multiplier effects yang tinggi terhadap pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat adalah sektor industri, restoran, bangunan, hotel, energi dan perdagangan. Sedangkan sumberdaya dasarnya adalah kondisi tanahnya sebagian besar sesuai untuk lahan pertanian dan tersedia dalam jumlah cukup luas, terdapat banyak sumber mata air dengan kapasitas debit air yang besar, banyak terdapat kawasan wisata alam dan buatan, banyak terdapat home industry, adanya dukungan sarana akomodasi, transportasi, komunikasi dan perbankan serta potensi tenaga kerja dan kualitas sumberdaya manusia di bidang pertanian.

(47)

dianalisis tidak muncul sebagai sektor unggulan kecuali untuk indikator angka pengganda pajak tak langsung neto. Namun begitu, sektor ini tetap menjadi sektor prioritas yang harus mendapatkan perhatian dalam pembangunan wilayah Kota Batu. Selain itu, banyak penduduk Kota Batu yang bekerja di sektor ini dan ketersediaan lahan yang luas serta cocok untuk pertanian dan perkebunan. Cara yang dapat dilaksanakan adalah dengan menciptakan sentra produksi dan pengolahan hasil-hasil pertanian atau membangun kawasan agropolitan mengingat bahwa kondisi dan sumberdaya dasar Kota Batu sangat mendukung dibangunnya kawasan agropolitan.

Selain itu, pemerintah Kota Batu dapat memanfaatkan sumberdaya dasar yang ada di Kota Batu untuk pengembangan industri agrowisata dengan cara menata kembali berbagai potensi dan kekayaan alam yang berbasis pada pengembangan kawasan secara terpadu. Pengembangan kawasan wisata mampu memberikan konstribusi pada pendapatan asli daerah, membuka peluang usaha dan keseinpatan kerja, sekaligus dapat berfungsi untuk menjaga dan melestarikan kekayaan alam dan hayati.

Lebih lanjut, diperlukan adanya regulasi yang memberikan perlindungan dan jaminan usaha masyarakat sehingga institusi pemodal besar dari luar daerah, para tengkulak, dan aktivitas ekonomi yang meningkatkan biaya transaksi dapat dikurangi. Investor pemodal besar dapat menanamkan modalnya tetapi melalui pola kemitraan strategis dengan masyarakat lokal. Sementara peran tengkulak dapat dikurangi dengan cara penguatan kapasitas dan kelembagaan lokal serta menata aspek produksi dan pemasarannya. Kemudian di sisi yang lain, aspek-aspek penguatan kapasitas dan kelembagaan masyarakat juga memerlukan perhatian yang serius dari pemerintah untuk ditindaklanjuti dengan menata kelembagaan ekonomi serta mengoptimalkan sektor unggulan dan sumberdaya potensial guna meminimalisir terjadinya perangkap kemiskinan di masyarakat, khususnya di perdesaan.

(48)

agroindustri salak. Informasi yang diperoleh berguna untuk mengembangkan agroindustri salak yang melibatkan pemasok bahan baku, pengolahan, lembaga pemasaran output industri. Lokasi desa Sowaru-Gondanglegi Malang. Dengan responden RTG pengolah salak yang diambil secara sensus. Penelitian ini dianalisis menggunakan pendekatan Hayami (1987), kombinasi output optimum ditentukan dengan program linier dan analisis pemasaran digunakan marjin pemasaran.

Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa nilai tambah yang diciptakan dari setiap kg Salak bervariasi dan cukup besar(Rp 6.537 – Rp.13..558) atau 87% - 94% dari nilai produksi yang dihasilkan per Kg Salak. Dengan kendala yang ada. Kombinasi output optimum adalah 1.613 jenang salak, 458 gelas manisan salak basah, 58 botol selai salak. Kombinasi ini menghasilkan keuntungan total maximum Rp. 3.379.544,-. Kombinasi output industri pada saat penelitian 410 pak jenang salak dengan keuntungaan total Rp. 2.779.182. Shadow price terigu, gula,dan salak cukup tinggi, masing masing kurang lebih Rp 47.129/ kg, Rp. 5.037/kg. kondisi tersebut pada saat harga terigu, gula, salak masing-masing sebesar Rp. 1.500, Rp. 2.975,Rp. 521/kg. jumlah output yang dijual pada konsumen akhir mencapai 96%, sedangkan 4 % sisanya pengecer. Profit sebesar 51,24% - 85,24% dari marjin pemasaran. Pengecer yang menangani pasca produksi memperoleh keuntungan 6,71% - 16,39% dari marjin pemasaran.

Gambar

Tabel 1. Komposisi Penduduk Kota Batu menurut Mata Pencaharian Tahun 2003 dan
Tabel 2. Distribusi PDRB Kota Batu dan Konstribusi Setiap Sektor Tahun 2003-2005 dalam persentase
Tabel 3.  Distribusi Persentase Sektor Industri Pengolahan dan Konstribusi Setiap Sub-Sektor Tahun 2003 -  2005
Gambar 1. Lingkup Pembangunan Sistem Agribisnis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data yang diperoleh pada penelitian ini berasal dari validasi tiga orang ahli yakni ahli materi, ahli media dan ahli bahasa menggunakan angket validasi ahli, data kepraktisan

Berdasarkan homogenitas/heterogenitas dan karakteristik semua partisipan yang terkait pada kelembagaan, pihak yang menjadi pelaku utama kemitraan adalah (1) petani cluster

Permasalahan yang akan dibahas berdasarkan latar belakang penelitian terkait dengan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) adalah mengenai bagaimana

Bunun yanında pompa çok kademeli ise, dönel çarkların yanında yöneltici düzenler olarak, çark çıkış yönelticisi ve çark girişi yönelticisi gibi elemanlarının da hesabı

Kelemahan dalam penelitian ini yaitu kurangnya pengawasan terhadap beberapa sampel yang melakukan aktivitas lain seperti olahraga renang, atletik, dan latihan

Namun demikian, tidak ada peristiwa, yang dikenal dengan sebutan pilar sejarah, dapat direkonstruksi secara tepat dari novel atau karya sastra lainnya.. Pertanyaan elementer

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa dalam beberapa kamus bahasa Sunda telah dimuat lema kosakata dialek dengan secara eksplisit dinyatakan sebagai dialek, ada pula yang

Metodologi yang diusulkan menggunakan DTCWT sebagai fitur ekstraksi dan Neural Network sebagai classifier.Metode tersebut dibagi menjadi 2 fase yang dilakukan secara