• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI ANTARA KARYAWAN YANG SUDAH MENIKAH DENGAN KARYAWAN YANG BELUM MENIKAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI ANTARA KARYAWAN YANG SUDAH MENIKAH DENGAN KARYAWAN YANG BELUM MENIKAH"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dewasa ini banyak perusahaan yang menerapkan manajemen sumberdaya manusia yang dicirikan oleh adanya rencana dan pengembangan karir bagi para karyawannya (manajemen dan non-manajemen) untuk dapat meningkatkan mutu karyawan. Tidak dipungkiri tiap individu karyawan berhak memiliki peluang untuk mengembangkan karirnya, karena dengan mengembangkan karirnya seorang karyawan bisa dengan cepat menuju jenjang karir yang lebih tinggi. Namun dalam prakteknya mengapa ada saja karyawan yang karirnya terlambat, dan bahkan berhenti atau mentok. Penyebabnya bisa jadi karena ada yang salah dalam sistem penilaian kinerja karyawan, ataupun adanya perlakuan diskriminasi. Di sisi lain dengan asumsi sistem karir di perusahaan dinilai andal maka berarti yang menjadi faktor penyebab keterlambatan karir datangnya dari individu yang bersangkutan.

Dalam penelitiannya Mangkuprawira (2007) mengatakan bahwa beberapa kasus tentang karir karyawan yang sering ditemukan adalah karyawan dengan cukup cerdas dan ketrampilannya yang hanya sebatas standar tetapi karirnya melaju cukup cepat sesuai dengan tahapannya, karyawan yang cerdas dan trampil namun karirnya relatif lambat, dan karyawan yang kurang cerdas dan kinerjanya pun pas-pasan dan karirnya pun sangat terlambat. Kasus-kasus tersebut menimbulkan pertanyaan mengapa hal itu sampai terjadi dan kalau begitu faktor-faktor apa saja yang dipertimbangkan perusahaan dalam menentukan karir seseorang.

(2)

emosi merupakan kemampuan mengendalikan emosi tertentu secara stabil sesuai dengan perkembangan usianya. Semacam ada kemampuan seseorang yang mumpuni dalam merespon atau bereaksi terhadap fenomena tertentu. Misalnya ketika menghadapi konflik internal dalam tim kerja. Disitu setiap individu karyawan bekerja dalam suatu sistem yang memiliki ciri-ciri interaksi sosial. Idealnya proses umpan balik pun terjadi. Kemungkinan yang bakal terjadi adalah suasana kerja padat konflik dan bisa juga suasananya nyaman. Karena itu setiap karyawan harus mampu mengendalikan emosinya untuk menciptakan, mengembangkan, dan memelihara tim kerja yang kompak.

Dengan akses tak terbatas ke para pelaku bisnis utama diseluruh dunia, dan juga penelitian yang dilakukan lebih dari 500 perusahaan, Goleman (2001) mendapatkan gambaran mengenai keterampilan yang dimiliki oleh para bintang kinerja disegala bidang, yang membuat membuat mereka berbeda dengan yang lainnya. Dari pekerjaan tingkat bawah sampai posisi eksekutif, faktor satu-satunya yang paling penting bukanlah IQ, pendidikan tinggi, atau keterampilan teknis yang paling penting adalah kecerdasan emosi.

Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang cerdas, dalam arti terpelajar tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi (Goleman, 2001).Kecerdasan emosi menentukan potensi seseorang untuk mempelajari keterampilan-keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsurnya yaitu kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain.

(3)

3

menjadikan kecerdasan emosi sebagai sebuah prioritas yang diterapkan secara konkret dalam kebijakan-kebijakan perekrutan, pelatihan dan pengembangan, evaluasi kinerja, dan promosi.

Di dalam kecerdasan emosi terdapat kemampuan mengelola diri yang intinya berangkat dari kemampuan mengenali diri sendiri. Setelah mampu mengenali diri sendiri maka ia seharusnya mampu memotivasi dirinya dan mengelola emosinya dalam berhubungan dengan orang lain dengan baik. Sebaliknya kalau seseorang tidak mampu mengendalikan emosinya terjadilah penyimpangan atau kekacauan emosional; misalnya perilaku egoistis, egosentris, apriori, prasangka buruk, dan asosial. Dalam situasi seperti itu maka yang terjadi adalah timbulnya reaksi berlebihan dan negatif dari sang karyawan. Ia merasa setiap fenomena lingkungan kerjanya selalu dipandang bakal mengancam dirinya. Yang paling bahaya adalah timbulnya unsur destruktif, jauh dari perilaku konstruktif. Bisa juga ada yang bersifat pesimis atau merasa kurang percaya diri kalau akan mengusulkan kenaikan karir. Padahal sifat seperti itu akan merugikan dirinya sendiri.

Kesadaran diri, kepercayaan diri, dan pengendalian diri; komitmen dan integritas; kemampuan berkomunikasi dan mempengaruhi; berinisiatf dan menerima perubahan. Goleman (2001) memperlihatkan bahwa kemampuan-kemampuan ini dinilai paling tinggi dalam pasar kerja masa kini. Semakin tinggi anak tangga kepemimpinan yang anda daki, semakin penting semua aspek kecerdasan emosi, dan sering menentukn siapa dipekerjakan dan siapa dipecat, siapa ditinggalkan dan siapa dipromosikan.

(4)

Mangkuprawira (2009) proposisi tentang hubungan antara dimensi emosi dan karir adalah semakin baik kecerdasan emosi seseorang maka semakin besar juga peluang karirnya untuk meningkat. Manajemen puncak akan memberi persetujuan kenaikan karir kepada karyawannya dengan pertimbangan yang bersangkutan dinilai bakal mampu menangani pekerjaan yang lebih berat. Disamping itu mereka harus mampu bekerjasama dan bahkan memiliki jiwa kepemimpinan dalam satu tim kerja. Untuk itu unsur kecerdasan emosi karyawan menjadi pertimbangan yang sangat penting. Dengan demikian disamping perusahaan harus memiliki perencanaan dan pengembangan karir yang efektif maka ada beberapa hal yang yang harus dilakukan karyawan yakni, selalu melakukan evaluasi diri khususnya yang menyangkut faktor-faktor intrinsik personal yang mempengaruhi kinerja. Dengan evaluasi, karyawan akan mampu mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya khususnya tentang kecerdasan emosi, kalau sudah diketahui bahwa kecerdasan emosinya masih rendah maka yang dapat dilakukan adalah memahami sisi kelemahan dari rendahnya kecerdasan emosi, memahami faktor-faktor penyebab timbulnya emosi berlebihan, dan mencari upaya untuk meningkatkan kecerdasan emosi. Semakin tinggi intensitas hubungan semakin banyak unsur kehidupan sosial yang bisa dipelajari. Intinya ada pembelajaran sosial khususnya dalam mengendalikan emosi yang berguna untuk membangun simpati dan empati serta memperkecil konflik, mengikuti pelatihan dan banyak membaca buku-buku praktis tentang kepribadian, pengelolaan diri, dan pengembangan kecerdasan emosi. Tujuannya adalah disamping meningkatnya kadar kognitif dan kecerdasan sosial juga semakin matangnya emosi dan juga kepribadian karyawan, membuat rencana umum pengembangan karir individu untuk selama siklus kehidupan sebagai pekerja.

(5)

5

dirinya antara lain dalam hal kecerdasan emosi. Kecerdasan dapat dicerminkan dari diplin diri, penundaan keinginan, berperan dalam komunikasi, mau mendengarkan, tidak menyalahkan, dan mampu memilih situasi secara tepat dan benar. Tentunya banyak langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan emosi. Motivasi yang tinggi disebut-sebut merupakan faktor utama dalam meningkatkan kecerdasan emosi, khususnya motivasi dari keluarga. Hackman dan Lawler (dalam Wijono, 2000) mengemukakan kalau ada hubungan antara motivasi kerja dan prestasi kerja. Dengan kata lain bahwa semakin tinggi motivasi kerja semakin tinggi pula prestasi kerja yang diperlihatkan oleh karyawan.

Notoadmojo (1991) kompensasi sangatlah penting bagi karyawan sebagai individu, karena merupakan pencerminan dari ukuran nilai pekerjaan karyawan dan penghargaan atas prestasi kerjanya. Sehingga dengan demikian besar kecilnya kompensasi tersebut akan memicu seseorang untuk berprestasi lebih baik dan mencegah keluarnya karyawan dari organisasi atau perusahaan tersebut. Oleh karena itu perusahaan akan meningkatkan karir karyawannya jika karyawan tersebut mampu menunjukkan kinerja yang baik.

(6)

Anaroga (2009) mengatakan kalau motivasi adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Oleh sebab itu, motivasi kerja dalam psikologi karya biasa disebut pendorong semaangat kerja. Kuat dan lemahnya motivasi kerja seorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasinya. Pemberian motivasi dari pasangan dirasa sangat berpengaruh besar bagi berkembangnya karier seorang karyawan. Motivasi sendiri merupakan suatu model dalam menggerakkan dan mengarahkan para karyawan agar dapat melaksanakan tugasnya masing-masing dalam mencapai sasaran dengan penuh kesadaran, kegairahan, dan bertanggung jawab. Berelson dan Steiner (dalam Sobur, 2003) mengemukakan bahwa motif adalah suatu keadaan dari dalam yang member kekuatan, yang menggiatkan, atau yang menggerakkan, sehingga disebut ‘penggerakan’ dan yang mengarahkan atau menyalurkan perilaku ke arah tujuan-tujuan. Secara singkat, motivasi itu adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.

Selain itu, motivasi dari keluarga khususnya pasangan sangat dibutuhkan oleh seorang pekerja yang dimana saat berada dikantor terjadi permasalahan yang tidak diinginkan dan setelah sampai dirumah dia akan merasa beban dan permasalahan yang terjadi di kantor seketika hilang dengan adanya dukungan dan perhatian dari pasangannya.

Sobur (2003) mengemukakan motivasi dari seorang karyawan dapat timbul karena beberapa faktor seperti prestasi, penghargaan, tanggung jawab, kemajuan atau promosi, pekerjaan itu sendiri, dan potensi bagi pertumbuhan pribadi. Namun, bila faktor-faktor tersebut tidak ada ditempat kerja, karyawan akan kekurangan motivasi.

(7)

7

kesanggupan dalam melakukan tugas dan tanggung jawab. Secara naluri seseorang akan melakukan segala hal untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga keluarganya yang dilandasi akan rasa tanggung jawab yang besar sebagai kepala rumah tangga.

Karyawan yang belum menikah merupakan individu bebas yang bisa melakukan segala hal dengan keputusan dan keinginan sendiri tanpa harus mempertimbangkan kepentingan, keputusan, dan keinginan orang lain. Sehingga karyawan yang belum menikah akan cenderung lebih bebas daripada karyawan yang sudah menikah yang dimana pada saat pengambilan keputusan masih harus melalui fase yang lebih rumit. Karena pernikahan merupakan suatu pengalaman baru bagi semua individu yang banyak berdampak pada perilaku serta kebiasan-kebiasaannya. Karyawan yang belum menikah tersebut belum merasa memiliki tanggung jawab yang besar untuk keluarganya, karena masih sering memikirkan kehendaknya sendiri. Lajang/ hidup sendiri (single) merupakan salah satu pilihan hidup yang ditempuh oleh seorang individu. Hidup sendiri berarti ia sudah memikirkan resiko-resiko yang akan timbul sehingga mau tidak mau ia harus siap menanggung segala kerepotan yang muncul dalam perjalanan hidupnya (Dariyo, 2004).

Dalam dunia kerja, makin kompleks pekerjaan makin penting kecerdasan emosi, apalagi bila kekurangan dalam kemampuan ini bisa terganggu dalam menggunakan keahlian teknik atau keenceran otak yang mungkin dimilikinya (Goleman, 2001). Selain itu Goleman juga mengungkapkan kalau kecerdasan emosi menentukan potensi kita untuk mempelajari keterampilan-keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsurnya yaitu kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain.

(8)

dan siap untuk menikah (Sanderwitz dan Paxman dalam Sarwono, 1994), tetapi sebenarnya hidup berumah tangga membutuhkan kematangan emosi dan pemikiran lebih untuk menghadapi dan mengendalikan hakekat perkawinan dan peran orang tua yang akan disandang (Adhim, 2002).

Cargen dan Melko (1982) menyatakan bahwa individu lajang biasanya merasa tidak memiliki seseorang untuk berbagi dan berdiskusi mengenai berbagai hal, dan menganggap bahwa kebanyakan orang merasa kesepian, sehingga seseorang yang masih lajang sulit untuk terbuka dan cenderung bersikap egois.

Dilain sisi pertanyaan besar apakah kecerdasan emosi itu dipengaruhi oleh status pernikahan. Pada kenyataannya, pernikahan dirasa dapat membantu dan memberikan masukan yang dapat dijadikan proses belajar bagi pasangan tersebut supaya lebih terarah dan benar sesuai dengan keinginan dari lingkungannya. Kondisi ini berpengaruh pada kehidupan pribadi maupun sosialnya. Aspek emosi akan lebih terarah karena terdapat suatu kenyataan-kenyataan yang harus dihadapi bersama dan dapat memecahkan persoalan hidup bersama dengan tahap-tahap lain dari individu itu sendiri.

Motivasi seorang untuk melajang ada bermacam-macam (Kartono, 2006), beberapa diantaranya yaitu tidak pernah mencapai usia kematangan yang sebenarnya, identifikasi secara ketat terhadap orangtua, egosentrisme atau narsisme yang berlebihan, musim pasang dari kebudayaan individualism.

(9)

9

macam alasan lainnya. Alasan yang lebih primer yaitu hasrat berdampingan untuk hidup bahagia bersama dengan pribadi yang dicintai dan meningkatkan motivasi untuk lebih maju dan menghindari terjadinya konflik karena dengan adanya pernikahan keduanya akan saling membantu dan memberikan masukan dalam menghadapi permasalahan yang terjadi didalam kehidupannya.

Hauck (2001) berpendapat kalau perkawinan merupakan suatu bisnis dimana bila para karyawan di tempat kerja itu semakin mengejar banyak persamaan, maka mereka akan semakin cocok dan prestasipun juga akan meningkat. Alasan lainnya yaitu kehidupan seks yang aman dan menyenangkan, serta pandangan kalau perkawinan masih merupakan institusi terbaik untuk membesarkan anak, serta untuk mencapai gaya hidup yang lebih baik.

Maka dari itu penelitian disini digunakan untuk mengukur dan menanyakan apakah ada perbedaan kecerdasan emosi antara karyawan yang sudah menikah dengan karyawan yang belum menikah. Supaya peneliti dapat melihat apakah pernikahan itu juga dapat mempengaruhi kecerdasan emosi dari seseorang itu sendiri.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang telah di paparkan diatas maka rumusan masalahnya adalah apakah ada perbedaan kecerdasan emosi antara karyawan yang sudah menikah dengan karyawan yang belum menikah?

C. Tujuan Masalah

(10)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan ilmiah dalam usaha memperoleh pemahaman dan dapat bermanfaat sebagai studi dalam rangka pengembangan konsep psikologi, serta pengujian secara metodologis khususnya pada bidang psikologi industri dan organisasi mengenai perbedaan kecerdasan emosi terhadap karyawan yang sudah atau belum menikah.

2. Manfaat Praktis

(11)

i

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI ANTARA KARYAWAN YANG SUDAH

MENIKAH DENGAN KARYAWAN YANG BELUM MENIKAH

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai salah satu persyaratan memperoleh

gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

Frenky Sulistio Adi

08810051

FAKULTAS PSIKOLOGI

(12)
(13)
(14)
(15)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Perbedaan Kecerdasan Emosi Antara Karyawan yang Sudah Menikah dengan Karyawan yang Belum Menikah”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam proses penysusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan petunjuk serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan trima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dra. Cahyaning Suryaningrum, M.Si, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Zakarija Achmat, S.Psi., M.Si dan M. Shohib, S.Psi., M.Si, selaku dosen pembimbing I dan pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berguna, hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

3. Dra. Djudiyah, M.Si, selaku dosen wali yang telah mendukung dan memberi pengarahan sejak awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.

4. Ir. Lukito Prasetyo, MT, selaku Kepala Biro Administrasi Umum Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan ijin dan fasilitas bagi penulis untuk melakukan penelitian.

5. Karyawan Universitas Muhammadiyah Malang yang telah bersedia menjadi subjek penelitian.

(16)

vi

7. Saudara-saudara tercinta yaitu Sukmana Marta Prayogi, Erik Yuniar Wicaksono dan Fredhi Sulistiono yang selalu memberi dukungan dan semangat sehingga penulis termotivasi dalam menyelesaikan skripsi.

8. Sahabat tercinta yang sudah seperti saudara bagi penulis dan selalu ada disaat suka maupun duka (Ary, Wiwin, Elan, Alin, Dian, Rayi dll, ). Semoga kita semua menuai kesuksesan, dilapangkan rezekinya dan mendapat barokah hidup dari Allah SWT. Allahumma Aamiin.

9. Teman-teman psikologi angkatan 2008, khususnya kelas A yang selalu memberikan semangat sehinga penulis terdorong untuk menyelesaikan skripsi ini.

10.Teman-teman yang berada di UPT. BK (Mb Rosita, Mb Inay, Mb Iim, Dewi, Mia), yang sering memberikan dukungan kepada penlis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah bayak memberikan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalasnya dengan limpahan berkah, pahala yang berlipat ganda serta kedamaian hidup atas kebaikan yang telah diberikan. Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna di dunia, sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan karya skripsi ini. Meski demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya.

Malang, 30 Maret 2012 Penulis

(17)

vii INTISARI

Adi, Frenky Sulistio (2008). Perbedaan Kecerdasan Emosi Antara Karyawan Yang Sudah Menikah Dengan Karyawan Yang Belum Menikah. Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Pembimbing : (1) Zakarija Achmat, M.Si. (2) M. Sohib, M.Si.

Kata Kunci : kecerdasan emosi, karyawan sudah menikah, karyawan belum menikah Setiap individu memiliki kecerdasan emosi yang berbeda-beda sesuai dengan pengalaman emosi yang diterima dalam kehidupannya. Menikah merupakan salah satu pengalaman yang mampu mmempengaruhi tingkat kecerdasan emosi tiap individu, dimana didalamnya terdapat proses saling memahami, memberi, memotivasi dan juga menerima kekurangan pasangannya. Masing-masing anggota pasangan mampu mengekspresikan emosinya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh keduanya. Kecerdasan emosi sangat dibutuhkan oleh seorang karyawan karena dari pekerjaan tingkat bawah sampai posisi eksekutif, faktor satu-satunya yang paling penting bukanlah IQ, pendidikan tinggi, atau keterampilan teknis yang paling penting adalah kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi menentukan potensi seseorang untuk mempelajari keterampilan-keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsurnya yaitu kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kecerdasan emosi antara karyawan yang sudah menikah dengan karyawan yang belum menikah. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah karyawan Kampus III Universitas Muhammadiyah Malang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling dengan pertimbangan bahwa karakteristik sampelnya sudah ditentukan dan diketahui lebih dulu berdasarkan ciri dan sifat populasinya. Karakteristik yang ditentukan yaitu karyawan usia 23 s/d 40 tahun, usia pernikahan minimal berjalan minimal satu tahun dan maksimal sepuluh tahun, karyawan belum menikah, serta pendidikan minimal SMA/sederajat. Sedang instrumen penelitian yang digunakan adalah skala likert, yaitu skala kecerdasan emosi. Uji validitas angket dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment, sedangkan uji reliabilitas penelitian ini menggunakan teknik Hoyt dan teknik analisa data yang digunakan adalah t-Test.

(18)

viii

D. Perbedaan Kecerdasan Emosi Antara Karyawan yang Sudah Menikah dengan Karyawan yang Belum menikah ... 28

E. Kerangka Pemikiran ... 31

F. Hipotesis ... ………... 31

(19)

ix

B. Variabel Penelitian ... 32

C. Definisi Operasional ... 33

D. Populasi dan Sampel ... 34

E. Jenis Data dan Instrumen Penelitian ... 35

1. Jenis Data ... 35

2. Instrumen Penellitian ... 35

F. Prosedur Penelitian ... 39

1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 39

a. Validitas ... 39

b. Reliabilitas ... 41

G. Metode Analisi Data ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHANSAN A. Deskripsi Data ... 45

B. Analisis Data ... 48

C. Pembahasan ... 49

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 55

B. Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(20)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : Blue print skala kecerdasan emosi ... 37

Tabel 3.2 : Nilai jawaban favourabel dan unfovourabel ... 38

Tabel 3.3 : Ringkasan analisa kesahihan butir kecerdasan emosi ... 40

Tabel 3.4 : Ringkasan analisa keandalan butur skala kecerdasan emosi ... 43

Tabel 3.5 : Rancangan analisis ... 44

Tabel 4.1 : Daftar Identifikasi Identitas Subyek ... 45

Tabel 4.2 : Norma kecerdasan emosi ... 47

Tabel 4.3 : Kecenderungan kecerdasan emosi ... 47

Tabel 4.4 : Rangkuman analisis uji-T antar kelompok ... 48

(21)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala kecerdasan emosi . ... 60

Lampiran 2. Data try out skala kecerdasan emosi ... 65

Lampiran 3. Validitas dan reliabilitas data try out ... 67

Lampiran 4. Data hasil penelitian ... 73

Lampiran 5. Hasil analisis uji t-test ... 77

Lampiran 6. Identitas subyek penelitian ... 80

(22)

xii

Daftar Pustaka

Achir, Y.A. (1993). Apa dan Bagaimana Mengatasi Problem Keluarga . Jakarta: Pustaka Antara

Agus, E.P., & Ratih, D .S. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif untuk Administrasi Publik dan Masalah-masalah Sosial. Yogyakarta:Gava Media.

Anaroga, P. (2009). Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, S. (1995). Sikap Manusia, teori, dan pengukurannya.Yogyakarta: Pustaka Antara.

Dariyo. (2004). Berpikir Positif. Jakarta : Binapura Aksara,

Duvell & Miller. (1985). Prilaku Organisasi Edisi Sepuluh, Yogyakarta : Andi Press. Effendi & Praja (1984). Pengantar Psikologi. Penerbit Angkasa Bandung.

Gibson, dkk. (1987). Emosi : Bagaimana Mengenal , Menerima dan Mengarahkannya, Jakarta : Kanisius.

Goleman, D. (2001). Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Goode. (1985). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. Jakarta : Arga

Gunarsa, D.S dan Gunarsa, Y.S.D (1995). Psikologi untuk Keluarga. PT. BPK Gunung Mulia.

Habsari, S. (2005). Bimbingan dan Konseling SMA untuk Kelas XI. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.

Hadi, S (1990). Analisa Butir untuk Instrumen angket, tes, dan skala nilai dengan basica. Yogyakarta: Andi Offset

Hardjana, A.M. (1994). Konflik di Tempat Kerja. Yogyakarta: Kanisius.

(23)

xiii

Hauck, P. (1986). Psikologi Populer. Membina Perkawinan Bahagia. Jakarta: Penerbit Arcan.

Hocker, J.L. & Wilmot, W.W. (1991). Interpersonal conflict (Third Edition). United States of America: WMC. Brown Publisher.

Hurlock, E.B. (1997). Psikologi Perkembangan Suatu Studi Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan . Jakarta: Erlangga.

Kartono, K. (2006). Psikologi Anak. Bandung: Alumni.

Kerlinger, F.N. (2000). Asas-asas Penelitian Behavioral. Gadjah Mada University Press. Kumolohadi, R. & Andrianto, S. (2002). Resolusi Konflik Dalam Perspektif Psikologi

Lintas Budaya. Psikologia, Nomor 13 tahun VII.

Mangkuprawira, H.S. (2007). Kecerdasan Emosi dan Pengembangan Karir. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press.

Mappiare, A. (1983). Psikologi Orang Dewasa.. Surabaya: Usaha Nasional.

Martono, N. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif. Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Notoadmojo, A. (1991). Kunci Sukses Karyawan. Bandung: Erlangga.

Patton, P. (1997). Emotional Intelligence In The Work Place. Singapore: SNP Publishing Pte Ltd under their Raffles Editions imprint.

Poerwanti, E dkk. (1997). Dasar-dasar Metodologi Penelitian. Universitas Muhammadyah Malang Press.

Santrock, J.W. (1999). Life-Span Development. Perkembangan Masa Hidup. Erlangga. Saleh, W. (1987). Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sobur, A. (2003). Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung. CV Pustaka Setia.

Sudarsono, H. (1991). Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

(24)

xiv

Vecchio, R.P. (2000). Organizational Behaviour:Careconcept. (fourth edition). Orlando: The Dryden Press, Adivision of Harcourt College Publishers.

Walgito, B. (1984). Bimbingan Dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Widyarini, N. (2003). Membangun Hubungan Antar Manusia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Wijono, E. (2000). Hubungan Motivasi dan Prestasi Kerja. Jakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Gambar

Tabel 3.1 : Blue print skala kecerdasan emosi ........................................................

Referensi

Dokumen terkait

The results indicate that the majority of the parents highly expect that early English instruction will widen the children’s cultural perspectives of using more than

Karang keras (Scleractinia) ditemukan di Pulau Panjang, Jawa Tengah mulai dari dataran terumbu karang yang dangkal hingga kedalaman 7 m baik pada sisi bawah

(1) Kepala Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 633 huruf a, mempunyai tugas pokok membantu Gubernur dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di

Pengujian variabel tahap pertama dilakukan dengan kedua kipas menghembuskan udara ke arah heat sink sisi panas didapat hasil 24,6  C dan pengujian variabel tahap kedua

Bagian Persidangan dan Perundang-Undangan mempunyai tugas membantu Sekretaris DPRD dalam menyiapkan bahan dan data untuk menyusun perencanaan, program kegiatan di bidang

Dengan ketersediaannya koleksi bahan pustaka yang lengkap dan fasilitas memadai, dibutuhkan sebuah bimbingan atau pendidikan untuk para pengguna perpustakaan

4.5 The Effect of Hyper- Parenting toward Child’s Personality

Penelitian ini bertujuan untuk menjajaki dan mengetahui makna kekerasan rumah tangga batih dalam pengaturan dan perlindungan hukum bagi wanita, bentuk pelanggaran hukum pada kasus