PENDUGAAN POTENSI EMISI CO
2AKIBAT KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU
TAHUN 2012
DISSA NATRIA
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Potensi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau Tahun 2012
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK
DISSA NATRIA. Pendugaan Potensi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan dan
Lahan di Provinsi Riau Tahun 2012. Dibimbing oleh YON SUGIARTO dan YENNI VETRITA
Kebakaran hutan dan lahan menghasilkan emisi CO2 dalam jumlah besar ke
atmosfer. Emisi CO2 tersebut perlu diestimasi guna memberikan informasi dalam
penentuan kebijakan dan penanggulangan bencana. Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga luas area terbakar dan potensi emisi CO2 akibat kebakaran hutan
dan lahan di Provinsi Riau tahun 2012. Metode yang digunakan adalah dengan menginterpretasi citra MODIS secara visual yang diduga sebagai lokasi kebakaran, menentukan perubahan nilai EVI (Enhanced Vegetation Index), dan selanjutnya mengestimasi emisi CO2 menggunakan rumus Seiler dan Crutzen
(1980). Perubahan nilai EVI yang diduga akibat kebakaran hutan dan lahan yaitu 0.15 – 0.25. Luas area terbakar di provinsi Riau selama tahun 2012 yaitu sebesar 26,440 ha dengan estimasi emisi CO2 sebesar 1.91 juta ton.
Kata kunci : emisi CO2, EVI (Enhanced Vegetation Index), luas area terbakar,
MODIS
ABSTRACT
DISSA NATRIA. Estimation of CO2 Potential Emission from Forest and Land
Fires in Riau Province 2012. Supervised by YON SUGIARTO and YENNI VETRITA
Forest and land fires releases amounts of CO2 to the atmosphere. It is
necessary to estimate quantity of emission in order producing information for policy consideration and disaster management. This research aims to estimate burned area and CO2 emission potential of land and forest fires in Riau Province
in 2012. The method used is visual MODIS image interpretation estimated burned spot, EVI (Enhanced Vegetation Index) change, and CO2 emission along with
employed Seiler and Crutzen (1980) formula. The EVI change ranges 0.15 – 0.25. Meanwhile burned area in Riau Province during 2012 is 26,440 ha and CO2
emission estimation results 1.91 million tons.
Key words: burned area, CO2 emission, EVI (Enhanced Vegetation Index),
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
PENDUGAAN POTENSI EMISI CO
2AKIBAT KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU
TAHUN 2012
DISSA NATRIA
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi: Pendugaan Potensi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan dan
Lahan di Provinsi Riau Tahun 2012 Nama : Dissa Natria
NIM : G24090015
Disetujui oleh
Yon Sugiarto, SSi, MSc Pembimbing I
Yenni Vetrita, SHut, MSc Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan kasih sayangNya sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada program studi Geofisika dan Meteorologi dengan judul : Pendugaan Potensi Emisi CO2 Akibat Kebakaran
Hutan dan Lahan di Provinsi Riau Tahun 2012.
Rasa terima kasih juga tidak lupa penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, antara lain :
1 Ayahanda Purwo Atmadi dan Ibunda Hidanti Karnila serta kedua adik penulis Ikhwan Radilla A. dan Dinda Nurilla A. yang telah senantiasa memberikan cinta, semangat, dan dukungan baik moral maupun material kepada penulis.
2 Bapak Yon Sugiarto SSi, MSc selaku pembimbing I yang telah memberikan waktu, ilmu, dan arahan kepada penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini. 3 Ibu Yenni Vetrita SHut, MSc selaku pembimbing II yang telah bersedia
membimbing, meluangkan waktu, memberikan saran, ide, dan arahan kepada penulis dengan sabar.
4 Segenap dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis, serta seluruh staf dan pegawai yang telah banyak memberikan bantuan.
5 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jakarta bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian di sana.
6 Teman seperjuangan yang selalu saling menyemangati (Ocha, Silvi, Solah, Dwi, Ika, Hanifah, Gaseh, Risna) dan sahabat sepermainan tercinta yang selalu berbagi rasa (Edo, Wengky, Alin, Noya, Sunte, Nowa, Dieni, Muts). 7 Seluruh keluarga GFM 46, kakak-kakak GFM 45 dan adik-adik GFM 47
yang selalu memberikan semangat kepada penulis.
8 Uni Konservasi Fauna IPB, Indonesian Climate Student Forum, Himagreto, EH Bogor, dan Backpacker Bogor Community yang telah mengajarkan hal-hal berharga dalam hidup yang tidak didapat di bangku kuliah.
9 Seluruh teman, keluarga, dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi banyak pihak dan memberikan sumbangsih terhadap dunia ilmu pengetahun.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Kebakaran Hutan 2
Titik Panas (Hotspot) 3
Estimasi area bekas kebakaran (Burned Area) 4
Emisi Karbon 5
CITRA Terra/Aqua MODIS 5
MODIS Vegetation Index (VI) 6
Enhanced Vegetation Index (EVI) 6
METODE 7
Waktu dan Tempat 7
Alat 7
Bahan 7
Prosedur Analisis Data 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Kondisi Umum Wilayah 10
Faktor Kondisi Iklim dan Pembakaran 11
Estimasi Luas Area Terbakar 13
Estimasi Emisi CO2 15
SIMPULAN DAN SARAN 17
Simpulan 17
Saran 17
LAMPIRAN 21
RIWAYAT HIDUP 29
DAFTAR TABEL
1 Tutupan kelas MODIS Land Cover area terbakar yang terdapat di provinsi Riau dengan parameter persamaan Seiler dan Crutzen
(1980) (Mieville et.al 2010) 10
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram Analisis Data 8
2 Profil suhu dan curah hujan provinsi Riau tahun 2003-2012 11 3 Kondisi curah hujan dan suhu stasiun simpangtiga terhadap
jumlah hotspot di kabupaten Kampar 2012 12
4 Kondisi curah hujan dan suhu stasiun Japura terhadap jumlah
hotspot di kabupaten Indragiri Hulu 2012 12
5 Sebaran hotspot provinsi Riau (Juni-September 2012) 13 6 Estimasi luas area terbakar Provinsi Riau tahun 2012 14 7 Estimasi emisi CO2 dari kebakaran hutan dan lahan provinsi Riau 15 8 Emisi CO2 dari kebakaran hutan di Indonesia tahun 1984-2003
(Trismidianto et. al 2009) 16
9 Tipe penutupan lahan area terbakar (MODIS Land Cover) 16
DAFTAR LAMPIRAN
1 Spesifikasi Sensor MODIS Terra/Aqua 21
2 Konfirmasi Asap Kebakaran Hutan dan Lahan provinsi Riau
tahun 2012 22
3 Kelas GLC2000 dengan kerapatan biomassa, efisiensi pembakaran, dan faktor emisi CO2 tiap kelas penutupan lahan
(Mieville et.al 2010) 24
4 Klasifikasi penutupan lahan MODIS Land Cover 25 5 Estimasi total luas area terbakar Provinsi Riau tahun 2012
berdasarkan perubahan nilai EVI 26
6 Total estimasi emisi CO2 dari kebakaran hutan dan lahan provinsi Riau tahun 2012 berdasarkan rumus Seiler dan Crutzen
(1980) 26
7 Data Suhu dan Curah Hujan tahun 2012 stasiun Simpangtiga-
Pekanbaru dan Japura-Rengat 27
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Eksploitasi sumberdaya hutan pada dua dekade terakhir di provinsi Riau telah mengubah tata guna lahan dari kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan dan transmigrasi. Semakin terbatasnya lahan kering selama lima tahun terakhir mengakibatkan investor di bidang perkebunan dan HTI (Hutan Tanaman Industri) mulai mengarah ke lahan basah / bergambut. Lahan kering dan pasang surut yang yang telah mengalami alih fungsi lahan mencapai lebih dari 2 juta ha (Darjono 2004). Salah satu metode yang murah dan efektif dalam membangun perkebunan maupun HTI adalah dengan cara membakar.
Provinsi Riau merupakan wilayah yang memiliki lahan gambut yang terluas di Sumatera yaitu sebesar 4 juta ha (56 % dari luas lahan gambut Sumatera atau 45% dari luas daratan Provinsi Riau). Kandungan karbon tanah gambut di Riau tergolong yang paling tinggi di seluruh Sumatera bahkan se-Asia Tenggara. Pembukaan hutan rawa gambut untuk perkebunan sawit dan HTI yang terjadi saat ini sangat berdampak buruk bagi lingkungan dan ekosistem. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini dapat dipastikan merupakan rangkaian dari kegiatan pembukaan lahan (land clearing) untuk perkebunan skala sedang dan besar (perusahaan), hutan tanaman industri (HTI), usaha pertanian rakyat serta kegiatan kehutanan lainnya (Muslim dan Kurniawan 2008).
Akibat utama dari kebakaran hutan dan lahan adalah terganggunya fungsi hidrologis dan pengaturan iklim. Hilangnya vegetasi dan terbukanya hutan dan lahan menyebabkan debit aliran permukaan dan erosi meningkat, sehingga akan mengakibatkan banjir pada musim hujan. Selain itu, kebakaran yang terjadi akan melepaskan CO2 yang berdampak meningkatkan efek rumah kaca. Hilangnya
vegetasi selain mengurangi penyerapan gas CO2 itu sendiri, juga mengakibatkan
hutan kehilangan fungsinya sebagai pengatur iklim.
Salah satu metode yang sering digunakan untuk menganalisis suatu kejadian kebakaran hutan dan lahan adalah dengan menggunakan data remote sensing (penginderaan jauh). Data tersebut dapat digunakan untuk mengetahui fenomena di permukaan bumi melalui citra satelit. Melalui metode analisis interpretasi visual dan digitasi area yang diindikasikan terbakar, lokasi kebakaran dan luas area terbakar dapat diketahui. Selanjutnya data tersebut dapat digunakan untuk pendugaan biomasa terbakar dan emisi yang dikeluarkan.
Tujuan Penelitian
1 Mengestimasi luas kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau tahun 2012 menggunakan citra MODIS satelit Terra/Aqua
2 Menghitung potensi emisi CO2 dari luas area yang terbakar di provinsi
2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi potensi emisi CO2 yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di provinsi Riau
tahun 2012. Informasi tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan di pusat dan daerah.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah kejadian kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau selama tahun 2012. Titik terbakar diketahui secara visual dari satelit Terra/Aqua yang diperoleh dari website NASA (National Aeronautics and Space Administration). Area terbakar adalah area yang memenuhi beberapa kriteria yaitu
ada indikasi asap, kumpulan hotspot, dan memiliki selisih nilai EVI (Enhanced Vegetation Index) yang tinggi dalam periode sebelum dan sesudah kebakaran. Estimasi nilai emisi CO2 dihitung menggunakan rumus Seiler dan Crutzen (1980)
dengan peta penutupan lahan MODIS Land Cover 2012.
TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran Hutan
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Dirjen Planologi Kehutanan 2012).
Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) mengemukakan bahwa kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak tertahan dan terjadi dengan tidak disengaja atau tidak direncanakan pada areal tertentu yang menyebar secara bebas serta mengkonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan seperti serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, patahan kayu, tunggul dan pohon-pohon yang masih hidup. Selanjutnya konsep kebakaran hutan dikenal dengan segitiga api (Fire Triangle) yang terdiri dari bahan bakar, sumber panas dan oksigen. Tiga komponen segitiga api ini diperlukan oleh api agar dapat menyala dan mengalami proses pembakaran. Secara umum proses pembakaran terjadi melalui dua proses, yaitu proses secara kimia dan secara fisik. Proses ini berlangsung dengan cepat dan memisahkan jaringan-jaringan tanaman menjadi unsur kimia, diiringi dengan pelepasan panas. Sebagai suatu reaksi kimia proses ini berlawanan dengan proses pembentukan bagian-bagian tanaman melalui proses fotosintesa.
Proses fotosintesa :
CO2 + H2O + Energi matahari (C6H10O6) + O2
Proses Pembakaran :
3 Dalam proses fotosintesa energi terpusat secara perlahan-lahan, sedangkan dalam proses pembakaran energi dilepaskan dengan cepat. Dalam proses pembakaran, panas penyalaan dianggap sebagai katalisator untuk memulai dan memelihara proses terjadinya kebakaran (Brown dan Davis 1973 dalam Adinugroho 2009).
Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan/ Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan, kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan. Kejadian alamiah selama musim kering dapat mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan gambut. Namun demikian, 90-95% pemicu utama terjadinya kebakaran hutan adalah karena adanya kegiatan dan atau kecerobohan manusia (Kurnain 2008). Kejadian alamiah seperti terbakarnya ranting dan daun kering secara spontan akibat panas yang ditimbulkan oleh batu dan benda lainnya yang dapat menyimpan dan menghantar panas, dan pelepasan gas metana (CH4) telah diketahui dapat memicu terjadinya kebakaran (Abdullah et
al. 2002). Sedangkan faktor kegiatan manusia yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan yaitu pembukaan lahan dalam rangka pengembangan pertanian dalam skala besar, persiapan lahan oleh petani, dan kegiatan rekreasi seperti perkemahan, piknik, dan perburuan. Kegiatan pembukaan dan persiapan lahan baik oleh perusahaan maupun masyarakat merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pembukaan dan persiapan lahan oleh petani dengan cara membakar merupakan cara yang cepat dan murah terutama bagi tanah yang tingkat kesuburannya rendah. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa cara ini cukup membantu memperbaiki kesuburan tanah karena meningkatkan kandungan unsur hara dan mengurangi keasaman (Diemont et al. 2002). Namun, kegiatan ini dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang lebih luas apabila tidak dilakukan perencanaan yang matang.
Titik Panas (Hotspot)
Menurut pasal 1 angka 9 Permenhut No. P/12/P Menhut-II/2009 tentang pengendalian kebakaran hutan, titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Sebuah hotspot tidak selalu menunjukkan suatu kejadian kebakaran yang sebenarnya di lapangan. Hotspot hanya memberikan sedikit informasi apabila tidak didukung oleh analisa dan interpretasi lanjutan. Suatu kelompok hotspot yang berlangsung secara terus menerus adalah indikator yang baik untuk menduga suatu kebakaran. Data hotspot bermanfaat apabila dikombinasikan dengan informasi – informasi lainnya. Kesalahan bias atau geografi dari sebuah hotspot dapat sejauh 3 km (Fire Fight South East Asia 2002).
Penentuan hotspot ini dihitung berdasarkan kanal termal yaitu pada panjang
gelombang 4 μm dan 11 μm, yang terdapat pada kanal 21, 22, dan 31 (Vetrita et al. 2012). Metode penentuan hotspot MODIS dibangun oleh Gigilio et Al. (2003) dalam Vetrita et al. (2012), dengan algoritma sebagai berikut :
4
T4= suhu kecerahan pada panjang gelombang 4 μm
T11 = suhu kecerahan pada panjang gelombang 11 μm
ΔT = T4-T11
= rata-rata dari T4 pixel tetangga yang valid
δ= rata-rata absolut deviasi dari T4 pixel tetangga yang valid
= rata-rata T11 pixel tetangga yang valid
= rata-rata absolut deviasi dari T11 pixel tetangga yang valid
ΔT = rata-rata ΔT dari nilai pixel tetangga yang valid
δ = rata-rata absolut deviasi dari T11 pixel tetangga yang valid
T’4 = Nilai rata-rata suhu kecerahan T4 dari nilai pixel tetangga yang tidak
dihitung sebagai pixel tetangga valid karena tergolong background fires = Nilai rata-rata absolut deviasi suhu kecerahan T4 dari nilai pixel tetangga
yang tidak dihitung sebagai pixel tetangga valid karena tergolong background fires.
Estimasi area bekas kebakaran (Burned Area)
Sejauh ini kegiatan pengelolaan kebakaran hutan dan lahan terfokus pada pencegahan dan penanggulangan, sementara upaya rehabilitasi daerah yang terkena dampak masih kurang. Hal ini selain disebabkan oleh kurangnya kapasitas dan kemampuan instansi terkait, juga karena ketidaktersediaannya informasi mengenai daerah yang terkena dampak sehingga menyulitkan pelaksanaannya. Metodologi penilaian yang tidak valid dan konsisten dalam penentuan luasan area kebakaran akan menghasilkan informasi yang tidak akurat.
5 kebakarannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Citra satelit Terra/Aqua MODIS dapat digunakan untuk melakukan analisis bekas kebakaaran hutan dan lahan berdasarkan perubahan reflektansi pada kanal MODIS sebelum dan setelah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Emisi Karbon
Sekitar 500 milyar ton karbon tersimpan di dalam vegetasi yang ada di seluruh dunia. Deforestasi dan degradasi hutan menyumbangkan sekitar 17.4% emisi gas rumah kaca dunia. Masalah ini akan semakin parah apabila terjadi di hutan tropis dan subtropis dimana stok karbon semakin berkurang dengan rata-rata 1-2 milyar ton per tahun (Subedi et al. 2010).
Akibat dari kebakaran hutan dan lahan yaitu terjadi pelepasan senyawa karbon ke udara. Semakin meningkatnya senyawa karbon (CO2) sebagai gas
rumah kaca, maka efek rumah kaca yang ditimbulkan juga semakin meningkat. Unsur karbon merupakan senyawa yang dominan dalam kebakaran hutan, karena hampir 45% materi kering tumbuhan adalah karbon (Hao et al. 1990). Sebagian besar unsur karbon yang teremisikan ke udara adalah dalam bentuk CO2, sisanya
berbentuk CO, hidrokarbon terutama CH4, dan asap. Sedangkan sulfur akan
tertinggal sebagai asap dan sedikit terbentuk menjadi SO2 dan unsur klorin
membentuk senyawa CH3Cl (Crutzen dan Andreae 1990; Lobert et al. 1990;
Lobert dan Wartnaz 1993 dalam Syaufina et al. 2009). Bentuk emisi karbon terbesar yaitu berupa CO2 sebesar 80-90%. Kebakaran mengakselerasi kecepatan
kembalinya CO2 ke atmosfer. Penambahan CO2 ke udara merupakan akibat dari
pembukaan lahan hutan, kebakaran hutan, dan konversi hutan menjadi pertanian (Syaufina 2008).
CITRA Terra/AquaMODIS
6
MODIS Vegetation Index (VI)
Vegetation Indices (VIs) atau indeks vegetasi adalah perubahan nilai spektral dari dua atau lebih kanal yang dirancang untuk meningkatkan kontribusi area bervegetasi dan perbandingan temporal dari aktivitas fotosintetik bumi dan variasi struktur kanopi (Huete et al. 2002). MODIS VI menyediakan perbandingan kondisi global vegetasi yang konsisten, spasial, dan temporal untuk memonitor aktivitas fotosintetik (Justice et al. 1998 dalam Huete et al. 2002). Kedua MODIS VIs yaitu Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan Enhanced Vegetation Index (EVI) dihasilkan secara bersamaan pada resolusi 1-km dan 500-m setiap 16 hari. NDVI lebih sensitif terhadap klorofil, sedangkan EVI lebih responsif terhadap variasi struktur kanopi, diantaranya termasuk Leaf Area Index (LAI), tipe kanopi, karakter fisik (physiognomy) tanaman, dan arsitektur kanopi (Gao et al. 2000). Kedua indeks ini dapat mendeteksi dengan baik perubahan area vegetasi dan mengekstraksi parameter-parameter biofisik dari suatu kanopi tanaman (Huete et al. 2002).
Enhanced Vegetation Index (EVI)
EVI adalah indeks vegetasi yang dihasilkan oleh sensor MODIS pada satelit Terra/Aqua. Kualitas data EVI lebih baik dibandingkan dengan NDVI, karena indeks ini sudah terkoreksi dari distorsi yang disebabkan oleh cahaya / panjang gelombang yang dipantulkan oleh partikel di udara (Gao dan Mas 2008). EVI memiliki sensitifitas yang rendah terhadap efek dari tanah dan atmosfer. Hal ini dikarenakan EVI juga memasukkan panjang gelombang spektral biru (Huete et al. 2002). Menurut Huete et al. (2002) EVI dirumuskan sebagai berikut :
EVI = G
Dimana ρ adalah reflektan permukaan yang telah terkoreksi atmosferik
(Rayleigh dan penyerapan ozon), L adalah penyesuaian latar belakang kanopi yang nonlinear, dan C1, C2 adalah koefisien ketahanan aerosol yang menggunakan
7
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan April – Juni 2013 di Laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor dan di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa perangkat pengolah citra penginderaan jauh, Microsoft Office, alat tulis, alat hitung, dan printer.
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu, citra MODIS satelit Terra/Aqua bulan Juni-September tahun 2012 yang diunduh dari http://lancemodis.eosdis.nasa.gov/imagery/subsets/?subset=WestIndonesia. Data
Hotspot MODIS tahun 2012 yang diperoleh dari
8
Prosedur Analisis Data
EVI MODIS Riau Juni-September tahun 2012
Emisi Karbon (Seiler dan Crutzen 1980)
Citra MODIS Riau Juni-September tahun 2012
Data Penutupan Lahan (Modis Land Cover) Peta Administrasi Riau Burned Area
Overlay
Biomassa Terbakar Luas Area Terbakar
Hotspot MODIS FIRMS Juni-September tahun 2012
Gambar 1 Diagram Analisis Data
Menduga Luas Area Terbakar
1. Menganalisis data citra MODIS provinsi Riau selama tahun 2012. Data dipilih apabila secara visual mengindikasikan kebakaran berdasarkan sebaran asap yang muncul dari tiap Hotspot. Data yang diperoleh yaitu tanggal 10, 11, 12 14, 16, 23 Juni 2012, tanggal 2, 21, 27, 30 Juli 2012, tanggal 10, 11, 12 Agustus 2012, dan tanggal 2 dan 4 September 2012. 2. Pada masing-masing tanggal dibuat
9
3. Shapefile area terbakar tiap tanggal kemudian
dioverlay secara keseluruhan. Dari overlay ini
dapat diketahui bahwa beberapa kebakaran hutan dan lahan terjadi pada lokasi yang berdekatan atau bahkan lokasi yang sama. Artinya kebakaran di area tersebut terjadi dalam kurun waktu beberapa hari.
4. Area yang telah dioverlay ini kemudian kembali dikonfirmasi dengan data hotspot yang sesuai dengan tanggal konfirmasi asap. Hasil overlay menunjukkan bahwa titik-titik Hotspot sangat banyak dan terpusat pada poligon area konfirmasi asap.
5. Selanjutnya area dioverlay kembali dengan analisis nilai Vegetation Index produk 16 harian citra MODIS (MOD13A1). Dilihat dari waktu terjadinya kebakaran maka data MODIS yang digunakan yaitu data citra pada tanggal 24 Mei 2012, 9 Juni 2012, 25 Juni 2012, 11 Juli 2012, 27 Juli 2012, 12 Agustus 2012, 28 Agustus 2012, dan 13 September 2012.
∆ EVI = EVIpre - EVIpost
Luas Area terbakar adalah area yang
memiliki nilai ∆ EVI = 0.15 – 0.25
Perhitungan Estimasi Karbon
Luasan area terbakar yang diperoleh kemudian di-overlay dengan penutupan lahan MODIS Land Cover (MCD12Q1). Kehilangan biomasa terbakar dikalkulasikan dengan mengikuti persamaan Seiler dan Crutzen (1980) dalam Zambrano et al. (2011) :
CO2 = ∑n BAn * BDn * BEn * EFn
Dimana:
CO2 = Emisi gas dari pembakaran biomassa (kg)
BA = Luas area terbakar (m2) BD = Kerapatan biomassa (kgm-2) BE = Efisiensi Pembakaran (kg kg-1)
EF = Faktor Emisi CO2 (kg(CO2) kg-1) (Andreae dan Merlet 2001)
10
Tabel 1 Tutupan kelas MODIS Land Cover area terbakar yang terdapat di provinsi Riau dengan parameter persamaan Seiler dan Crutzen (1980) (Mieville et al. 2010)
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986, luas kawasan hutan di provinsi Riau yaitu 9,456,160 ha. Luasan ini merupakan total dari luas Pekanbaru, dan (11) Dumai. Sebelah utara provinsi Riau berbatasan dengan selat Malaka dan provinsi Sumatera Utara, sebelah selatan berbatasan dengan provinsi Jambi dan provinsi Sumatera Barat, sebelah Timur berbatsan dengan provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Utara (BPS Riau 2010).
11 dengan ketebalan minimal 50 cm. Sedangkan jenis tanah yang mendominasi di wilayah provinsi Riau adalah organosol dan potzolik merah kuning (PMK) mencapai luas 7 juta ha yaitu sekitar 85% (Suharto 2004).
Gambar 2 Profil suhu dan curah hujan provinsi Riau tahun 2003-2012 (sumber : BMKG)
Pola curah hujan selama tahun 2003-2012 pada Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa provinsi Riau memiliki pola curah hujan ekuatorial. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks. Daerahnya meliputi pulau Sumatera bagian tengah dan utara serta pulau Kalimantan bagian Utara (Hermawan 2010). Sedangkan menurut klasifikasi Schmidth-Ferguson, iklim di Riau memiliki tipe B yaitu daerah basah dengan vegetasi masih hutan hujan tropika. Curah hujan tinggi terjadi pada bulan-bulan basah yaitu antara September sampai Januari dengan puncak tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan November dengan curah hujan rata-rata masing-masing sebesar 228 mm dan 205 mm. Selanjutnya curah hujan tinggi juga terjadi pada bulan Maret dan April. Sedangkan curah hujan rendah terjadi pada bulan-bulan kering yaitu Mei sampai Agustus dengan curah hujan terendah yaitu pada bulan Juni sebesar 88 mm. Profil suhu memiliki pola berkebalikan dengan profil curah hujan, yaitu suhu tinggi pada bulan Mei dan Juni sedangkan suhu rendah terjadi pada bulan Desember dan Januari. Suhu rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Juni yaitu 28.6 oC.
Faktor Kondisi Iklim dan Pembakaran
12
merupakan cara yang paling murah dan efektif yang digunakan dalam konflik sosial terutama konflik kepemilikan lahan antara berbagai pihak terkait.
Gambar 3 dan 4 di atas masing-masing menunjukkan kondisi iklim berupa curah hujan dan suhu stasiun Simpangtiga dan Japura terhadap jumlah hotspot di kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu. Curah hujan merupakan faktor cuaca utama yang dapat mengendalikan kebakaran hutan dan lahan. Sementara suhu dapat menjadi indikator daerah atau waktu terjadinya kebakaran hutan. Semakin tinggi suhu maka akan meningkatkan potensi kebakaran, hal ini dikarenakan suhu yang tinggi dapat mempercepat pengeringan bahan bakar. Semakin kering bahan bakar, semakin mudah terjadi kebakaran hutan dan lahan. Sebaliknya, curah hujan yang tinggi dapat lebih mudah memadamkan kebakaran dan mengurangi jumlah hotspot yang terdeteksi. Dapat dilihat pada Gambar 4 suhu kedua stasiun memiliki pola yang sama dengan puncak suhu tertinggi pada bulan Juni dan terendah pada bulan Februari.
Pada grafik curah hujan terlihat pola dimana jumlah hotspot akan tinggi apabila curah hujan rendah, dan hotspot akan rendah ketika curah hujan tinggi. Namun untuk bulan Juli dan September di kedua stasiun terlihat bahwa curah hujan cukup tinggi sementara jumlah hotspotnya juga tinggi. Hal ini dikarenakan bulan-bulan ini adalah bulan-bulan pembakaran hutan dan lahan. Pembakaran hutan dan lahan biasanya dimulai dari bulan Juni. Dipilihnya bulan ini karena Juni-September dinilai cukup kering dibandingkan bulan-bulan lainnya. Hal ini Gambar 3 Kondisi curah hujan dan suhu stasiun simpangtiga terhadap jumlah
hotspot di kabupaten Kampar 2012
13 terlihat pada grafik curah hujan di stasiun Simpangtiga, pada bulan Juni meski curah hujan tidak terlalu rendah tapi jumlah hotspot yang terdeteksi sangat tinggi.
Estimasi Luas Area Terbakar
Hotspot dapat menjadi indikator kejadian kebakaran hutan, namun tidak selamanya hotspot yang terdeteksi oleh citra merupakan kejadian kebakaran yang sebenarnya. Dalam penelitian ini resolusi MODIS yang digunakan yaitu 500 m x 500 m sehingga apabila terdapat dua buah titik kebakaran di lapangan dalam ukuran 500 m x 500 m, maka MODIS akan tetap mendeteksinya sebagai satu titik panas. Sebaliknya, pada kejadian kebakaran yang sangat besar, meskipun hanya dua titik kebakaran di lapangan, maka titik panas yang terdeteksi menjadi 4 buah titik. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa satu kejadian kebakaran akan di deteksi berulang dalam radius 1 km dari titik kebakaran (Vetrita et al. 2011). Oleh karena itu, jumlah titik panas tidak selalu bisa menggambarkan berapa jumlah kebakaran yang terjadi di lapangan. Namun, menurut hasil survey yang telah dilakukan Khomaruddin et al. (2010) menemukan fakta bahwa hampir seluruh titik panas yang menumpuk banyak di suatu lokasi menunjukkan terjadinya kebakaran dengan lebih tepat. Gambar 5 berikut merupakan sebaran hotspot di provinsi Riau pada bulan Juni-September 2012.
Juni Juli
Agustus September
14
Pada penelitian ini luas area terbakar di estimasi tidak hanya dengan hotspot-nya saja tetapi juga mempertimbangkan konfirmasi asap dan perubahan nilai EVI. Dari hasil analisis visual citra MODIS, kebakaran di provinsi Riau tahun 2012 ini terjadi pada bulan Juni – September. Hasil estimasi luas area terbakar untuk tiap kabupaten/kota di provinsi Riau selama tahun 2012 disajikan pada Gambar 6 berikut:
Gambar 6 Estimasi luas area terbakar Provinsi Riau tahun 2012
Gambar 6 di atas menunjukkan estimasi luas area yang terbakar selama tahun 2012 untuk 11 kabupaten/kota di provinsi Riau. Hampir seluruh kabupaten yang ada di provinsi ini mengalami kebakaran hutan dan lahan selama tahun 2012 kecuali kabupaten Siak, Dumai, dan kota Pekanbaru. Terlihat bahwa kebakaran terbesar terjadi pada bulan Juni di kabupaten Rokan Hilir, yakni sekitar 32% dari total luas kebakaran yaitu sebesar 8,362 ha. Secara umum kabupaten yang mengalami kebakaran hutan dan lahan yang cukup besar yaitu kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis, Pelalawan, Indragiri Hilir dan Indragiri Hulu. Estimasi total kebakaran hutan dan lahan selama tahun 2012 ini yaitu sebesar 26,440 ha. Sehingga pada tahun 2012 ini kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau dapat dikatakan cukup parah, dimana 50% dari total luas area terbakar terjadi pada bulan Juni, yakni mencapai 12,501 ha. Pada bulan Juli menurun drastis yaitu sekitar 1,314 ha, bulan Agustus meningkat menjadi 7,131 ha, dan pada bulan September sebesar 5,495 ha.
15 Kebakaran di kabupaten-kabupaten ini selalu terjadi setiap tahun dengan lokasi dan pola yang hampir sama. Menurut data WRI (World Resources Institute) dalam Wihardandi (2013), lokasi-lokasi kebakaran yang terjadi di pulau Sumatera memiliki pola-pola khusus yang terjadi. Secara umum, hanya sedikit api yang muncul di kawasan hutan lindung dan lokasi penebangan pilih. Kebakaran hutan dan lahan di provinsi ini sebagian besar bersumber dari kawasan HTI (Hutan Tanaman Industri) dan perkebunan kelapa sawit. Selain itu, kebakaran juga diperparah manakala kawasan HTI ini berada di atas lahan gambut. Sehingga, api akan sulit dipadamkan.
Estimasi Emisi CO2
Gambar 7 Estimasi emisi CO2 dari kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau tahun 2012
Perhitungan hasil estimasi emisi CO2 di atas yaitu dengan menggunakan
16
Gambar 8 Emisi CO2 dari kebakaran hutan di Indonesia tahun 1984-2003
(Trismidianto et al. 2009)
Gambar 8 di atas merupakan hasil estimasi emisi CO2 dari kebakaran hutan
di Indonesia yang dilakukan Trismidianto et al. (2009) tahun 1995-1998. Laju emisi CO2 di atas yaitu sebesar 1.7 juta ton per tahun dengan emisi tertinggi
sampai 10 juta ton. Berdasarkan data analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa estimasi emisi CO2 yang dilakukan di provinsi Riau tahun 2012 sangatlah tinggi
karena nilai 1.91 juta ton hanya untuk kebakaran hutan dan lahan di satu provinsi saja. Ada kemungkinan bahwa hasil yang diperoleh ini cenderung overestimate yang disebabkan oleh akurasi data yang digunakan atau pun kurang tepatnya asumsi-asumsi yang digunakan dalam pengolahan data. Disamping itu, skala spasial yang digunakan juga dapat mempengaruhi hasil yang diperoleh. Oleh karena itu, validasi terhadap hasil penelitian ini sangat diperlukan lebih lanjut.
17 tipe MODIS land cover di atas termasuk pada tipe hutan berdaun lebar dan selalu hijau yaitu sekitar 72.9% dengan emisi CO2 yang dihasilkan yaitu sebesar 1.38
juta ton. Terbesar kedua yaitu untuk lahan pertanian/tutupan pohon/semak/rumput sekitar 13.6% dengan emisi CO2 yang dihasilkan yaitu sebesar 0.26 juta ton.
Selanjutnya yaitu lahan pertanian/semak/tutupan rumput dengan luas terbakar 8.0% yang mengemisikan CO2 sebesar 0.15 juta ton. Untuk tipe penutupan lahan
lainnya hanya terbakar sekitar 0.08-2.11% yang mengemisikan 0.1 juta ton. Namun, pada kenyataannya sebagian besar lahan yang terbakar di provinsi Riau bukanlah lahan dengan tutupan hutan alami yang masih rimbun dengan pohon melainkan lahan terbuka bekas penebangan hutan yang akan dijadikan perkebunan, ataupun semak belukar. Oleh karena itu, klasifikasi kelas MODIS land Cover yang digunakan perlu diverifikasi terlebih dahulu sesuai dengan tutupan lahan yang sebenarnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Riau memiliki tipe iklim ekuatorial yaitu memiliki puncak musim hujan pada bulan Maret dan Oktober, sedangkan musim kemarau antara bulan Mei sampai September. Pada musim kemarau inilah sering terjadi kebakaran hutan dan lahan. Kejadian kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau pada tahun 2012 terjadi pada bulan Juni – September yang tersebar hampir di seluruh kabupaten. Luas total kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau yaitu sebesar 26,440 ha dengan total estimasi emisi sebesar 1.9 juta ton CO2.
Saran
Penelitian untuk menentukan luas area terbakar dan estimasi emisi CO2 ini
18
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah MJ, Ibrahim MR, & Abdul Rahim AR. 2002. The influence of forest fire in Peninsular Malaysia: History, root causes, prevention, and control. Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 19–21 March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 14 h.
Adinugroho WC. 2009. Bagaimana Kebakaran Hutan Terjadi. Paper Kebakaran Hutan. Bogor : Silvikultur IPB.
Andreae MO, Merlet P. 2001. Emission of Trace Gases and Aerosols from biomass burning. Global Biogeochemical Cycles, 15(4): 955-966.
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2010. Bab1 Keadaan Geografis [Internet]. [diunduh 2013 Agustus 13]. Tersedia pada:
http://riau.bps.go.id/publikasi-online/riau-dalam-angka-2010/bab-1-keadaan-geografis.html
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2012. Riau Dalam Angka 2012. [Internet]. [diunduh 2013 September 18]. Tersedia pada:riau.bps.go.id/attachments/tabel%206.5.1.pdf.
Darjono. 2004. Pengalaman Penegakan Hukum yang Berkaitan dengan Kebakaran di Areal Perkebunan dan HTI Rawa Gambut. Di dalam: Suyanto, Unna Chokkalingan, Prianto Wibowo, editor. Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera : Masalah dan Solusi; 2003 Desember 10-11; Palembang, Indonesia. Jakarta (ID): CIFOR.
Diemont WH, Hillegers PJM, Kramer K, dan Rieley J. 2002. Fire and peat forests, what are the solutions?. Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 19–21 March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 18 h.
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. 2012. Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2012. Jakarta : Kemenhut
Fire Fight South East Asia. 2002. Pengadilan Pelaku Kebakaran Hutan dan Lahan : Sebuah Studi Kasus Mengenai Proses Hukum di Riau, Indonesia. Fire Fight South East Asia. WWF. IUCN. European Union
Gao X, Mas JF. 2008. Modis EVI as an ancillary data for an object-based image analysis with multi-spectral Modis data. Di dalam: Geoffrey JH, Blaschke
Gao X, Huete AR, Ni W, dan Miura T. 2000. Optical–biophysical relationships of vegetation spectra without background contamination. Remote Sensing of Environment, 74, 609– 620.
19 Hermawan E. 2010. Pengelompokkan Pola Curah Hujan yang Terjadi Di Beberapa Kawasan P. Sumatera Berbasis Hasil Analisis Teknik Spektral. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. 11, 75-84.
Huete AR, Liu HQ, Batchily K, van Leeuwen WJD. 1997. A comparison of vegetation indices over a global set of TM images for EOS-MODIS. Remote Sensing of Environment. 59, 440–451.
Huete A, Didan K, Miura T, Rodriguez EP, Gao X, Ferreira LG. 2002. Overview of the radiometric and biophysical performance of the MODIS vegetation indices. Remote Sensing of Environment, 83, pp. 195-213.
Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-II/2009. [Internet]. [diunduh 2013 September 4]. Tersedia pada : http://www.dephut.go.id/files/P12_09.pdf
Kementerian Kehutanan. 2011. Luas Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Berdasarkan SK Menteri Kehutanan S/D Bulan : Juli 201. [Internet]. [diunduh 2013 September 4 2013]. Tersedia pada : http://ekowisata.org/wp-content/uploads/2011/09/ Luas-Kawasan-Hutan-Indonesia_update_Juli_2011.pdf
Khomaruddin MR, Suprapto T, dan Priyatna M. 2010. Laporan Kegiatan Sosialisasi dan Survey Lapangan Pemantauan Lingkungan untuk Mitigasi Bencana (Verivikasi Data Hotspot dari Berbagai Macam Metodologi) di Provinsi Riau (Pekanbaru, Bengkalis, Dumai, dan Siak) Tahun 2010. Jakarta (ID) : LAPAN.
Kurnain Ahmad. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut : Karakteristik dan Penanganannya. Makalah. Universitas Lambung Mangkurat : Banjarbaru Mieville A, Granier C, Liousse C, Guillaume B, Mouillot F, Grégoire J, dan
Pétron G. 2010. Emissions of gases and particles from biomass burning during the 20th century using satellite data and an historical reconstruction. Atmospheric Environment, vol. 44, pp. 1469-1477.
Muslim, Kurniawan Susanto. 2008. Fakta Hutan & Kebakaran 2002 – 2007, Informaasi Atas Perubahan Hutan Gambut / Rawa Gambut Riau, Sumatera – Indonesia. Pekanbaru : Jikalahari.
[NASA] National Aeronautics and Space Administration. [tanpa tahun]. About MODIS. [Internet]. [diunduh 2013 September 4]. Tersedia pada : http://modis.gsfc.nasa.gov/about/
[Pemprov] Pemerintah Provinsi Riau. 2009. Peraturan Daerah Provinsi Riau tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Provinsi Riau Tahun 2005-2025. Riau (ID).
Purbowaseso, B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Subedi B, et.al. 2010. Forest Carbon Stock Measurement : Guidelines for measuring carbon stocks in community-manged forests. Kathmandu : ANSAB, FECOFUN, ICIMOD.
Suharto, B. 2004. Perspektif Dinas Perkebunan Provinsi Riau. Di dalam: Suyanto, Unna Chokkalingan, Prianto Wibowo, editor. Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera : Masalah dan Solusi; 2003 Desember 10-11; Palembang, Indonesia. Jakarta (ID): CIFOR.
20
Data Setelit Penginderaan Jauh Terra/Aqua MODIS. Prosiding Pertemuan Masyarakat Penginderaan Jauh; Bali, 27 – 28 Februari 2008. Hlm 513-518. Suyanto S, Permana RP, Setijono D, Applegate G. 2001. Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Aktifitas Sosial Ekonomi dalam Kaitannya dengan Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Di dalam : Suyanto S, Permana RP, Setijono D, Applegate G, editor. Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera; 2001 Oktober 11; Bandar Lampung, Indonesia. Bogor (ID) : ICRAF, CIFOR.
Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Perilaku Api, Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Malang: Bayumedia.
Syaufina L, Saharjo BH, Nurhayati AD. 2009. Mitigasi Bencana Asap Melalui Modeling Penyebaran dan Kandungannya. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Trismidianto, Hermawan E, Samiaji T, Martono, Hadi M, Indrawati A, Hamdan R. 2008. Studi Penentuan Konsentrasi CO2 dan Gas Rumah Kaca (GRK)
Lainnya di Wilayah Indonesia. Seminar on Application and Research in Industrial Technology [Internet]. Yogyakarta, 27 Agustus 2008. Indonesia : FT UGM. [diunduh 2013 Agustus 20]. Tersedia pada : http://www.dirgantaralapan.or.id/moklim/exsumary/
Studi%20Penentuan%20Konsentrasi%20CO2%20dan%20Gas%20Rumah% 20Kaca%20Lainnya%20di%20Wliayah%20Indonesia.pdf
Vetrita Y, Haryani NS, Khomaruddin MR, Hidayat, Ningrum W. 2011. Memaknai Sebuah Titik Panas (Hotspot): Sebuah Pertimbangan Untuk Kebijakan Pemerintah. Di dalam : Harsanugraha WK, Arief M, Winarso G, Marini Y, Manoppo AKS. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Mendukung Pembangunan Nasional. 2011 Desember; Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Jakarta (ID): LAPAN.
Vetrita Y, Haryani NS, dan Khomarudin MR. 2012. Validasi Hotspot MODIS Indofire di Provinsi Riau. Jurnal Geomatika, 18, hal 2. Jakarta (ID): LAPAN.
Wihardandi A. 2013. Data WRI : Separuh Sumber Kebakaran Hutan Berasal dari Wilayah Konsesi Perkebunan. [Internet]. [diunduh 2013 September 2]. Tersedia pada : http://www.mongabay.co.id/2013/06/22/data-wri-separuh-sumber-kebakaran-hutan-berasal-dari-wilayah-konsesi-perkebunan/.
Zambrano C, et al. 2011. Co Emission Maps From Biomass Burning: Analysis Of Agreement Indices And Of Land Cover Distribution [Internet]. [diunduh
pada 2013 Juni 14]. Tersedia pada :
21
LAMPIRAN
Lampiran 1 Spesifikasi Sensor MODIS Terra/Aqua
Orbit: 705 km, 10:30 a.m. descending node (Terra) or 1:30 p.m. ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar, circular Scan Rate: 20.3 rpm, cross track
Swath Dimensions:
2330 km (cross track) by 10 km (along track at nadir)
Telescope: 17.78 cm diam. off-axis, afocal (collimated), with intermediate field stop
Size: 1.0 x 1.6 x 1.0 m Weight: 228.7 kg
Power: 162.5 W (single orbit average)
Data Rate: 10.6 Mbps (peak daytime); 6.1 Mbps (orbital average) Quantization: 12 bits
22
Atmospheric Water Vapor
17 890 - 920 10.0 167
18 931 - 941 3.6 57
19 915 - 965 15.0 250
Primary Use Band Bandwidth1 Spectral Radiance2
Required NE[delta]T(K)4
Surface/Cloud Temperature
20 3.660 - 3.840 0.45(300K) 0.05 21 3.929 - 3.989 2.38(335K) 2.00 22 3.929 - 3.989 0.67(300K) 0.07 23 4.020 - 4.080 0.79(300K) 0.07 Atmospheric
Temperature
24 4.433 - 4.498
Lampiran 2 Konfirmasi Asap Kebakaran Hutan dan Lahan provinsi Riau tahun 2012
10 Juni 2012 11 Juni 2012
12 Juni 2012 14 Juni 2012
23 16 Juni 2012
23 Juni 2012 (b) 2 Juli 2012
21 Juli 2012 27 Juli 2012
30 Juli 2012 10 Agustus 2012 (a)
24
12 Agustus 2012 2 September 2012
4 September 2012
Lampiran 3 Kelas GLC2000 dengan kerapatan biomassa, efisiensi pembakaran, dan faktor emisi CO2 tiap kelas penutupan lahan (Mieville et.al 2010)
GLC
NAME
BD BE EF
CODE
[kgm-2]
[gCO2
kg-1]
1 Tree cover, broadleaf, evergreen 23.35 0.25 1580
2 Tree cover, broadleaf, deciduous, closed 20 0.25 1590
3 Tree cover, broadleaf, deciduous, open 3.3 0.4 1613
4 Tree cover, needle-leaved, evergreen 36.7 0.25 1569
5 Tree cover, needle-leaved, deciduous 18.9 0.25 1569
6 Tree cover, mixed leaf type 14 0.25 1569
7 Tree cover, regularly flooded, fresh/brackish 27 0.25 1580
8 Tree cover, regularly flooded, saline 14 0.6 1596
9 Mosaic: Tree cover/Other natural vegetation 10 0.35 1591
11 Shrub cover, closed-open, evergreen 1.25 0.9 1613
12 Shrub cover, closed-open, deciduous 3.3 0.4 1613
13 Herbaceous cover, closed-open 1.43 0.9 1613
14 Sparse herbaceous or sparse shrub cover 0.9 0.6 1567
16 Cultivated and managed areas 0.44 0.6 1515
17 Mosaic: Cropland/Tree cover/Other natural 1.1 0.8 1594
25
Lampiran 4 Klasifikasi penutupan lahan MODIS Land Cover
MODIS
Lands dominated by needleleaf woody vegetation with a percent cover >60% and height exceeding 2 m. Almost all trees remain green all year. Canopy is never without green foliage.
2 Evergreen broadleaf forests
Lands dominated by broadleaf woody vegetation with a percent cover >60% and height exceeding 2 m. Almost all trees remain green all year. Canopy is never without green foliage.
3 Deciduous needleleaf forests
Lands dominated by woody vegetation with a percent cover >60% and height exceeding 2 m. Consist of seasonal needleleaf tree communities with an annual cycle of leaf-on and leaf-off
5 Mixed forests Lands dominated by trees with a percent cover >60% and height exceeding 2 m. Consist of tree communities with interspersed mixtures or mosaics of the other four forest types. None of the forest types exceeds 60% of landscape.
6 Closed shrublands Lands with woody vegetation less than 2 m tall and with shrub canopy cover >60%. The shrub foliage can be either evergreen or deciduous.
12 Croplands Lands cover with temporary crops followed by harvest and bare soil period (e.g., single and multiple cropping system). Note that perennial woody crops will be classified as the appropriate forest or shrub land cover type.
13 Urban and built-up lands
Land covered by buildings and other man-made structures.
14 Cropland/natural vegetation mosaics
Lands with a mosaic of croplands, forests, shrubland, and grassland in which no one component comprises more than 60% of the landscape.
15 Snow and ice Lands under snow/ice cover througout the year.
16 Barren Lands with exposed soil, sand, rocks, or snow and never have more than 10% vegetated cover during any time of the year. 0 Water bodies Oceans, seas, lake, reservoirs, and rivers. Can be either fresh or
26
Lampiran 5 Estimasi total luas area terbakar Provinsi Riau tahun 2012 berdasarkan perubahan nilai EVI
Kabupaten/Kota Estimasi Luas Area Terbakar (Ha) Juni Juli Agustus September Total
Rokan Hilir 8362 643 596 - 9601
Rokan Hulu 925 - 914 - 1839
Bengkalis 1072 488 2441 - 4000
Siak - - - - -
Kampar - - 917 - 917
Pelalawan 1822 - 780 397 2999
Kuantan Singingi 320 - - - 320
Indragiri Hilir - - 1483 2061 3544
Indragiri Hulu - 183 - 3037 3220
Pekanbaru - - - - -
Dumai - - - - -
Total 12501 1314 7131 5495 26440
Lampiran 6 Total estimasi emisi CO2 dari kebakaran hutan dan lahan provinsi Riau tahun 2012 berdasarkan rumus Seiler dan Crutzen (1980)
Kabupaten/Kota Estimasi Jumlah Emisi CO2 (juta ton) Juni Juli Agustus September Total
Rokan Hilir 0.56 0.05 0.03 - 0.64
Rokan Hulu 0.09 - 0.08 - 0.17
Bengkalis 0.07 0.04 0.19 - 0.30
Siak - - - -
Kampar - - 0.09 - 0.09
Pelalawan 0.17 - 0.04 0.03 0.24
Kuantan Singingi 0.03 - - 0.03
Indragiri Hilir - - 0.06 0.16 0.22
Indragiri Hulu - 0.01 0.23 0.24
Pekanbaru - - - -
Dumai - - - - -
27 Lampiran 7 Data Suhu dan Curah Hujan tahun 2012 stasiun Simpangtiga-
Pekanbaru dan Japura-Rengat
Bulan Suhu CH Kelembaban Angin Pekanbaru Rengat Pekanbaru Rengat Pekanbaru Rengat Pekanbaru Rengat
Jan 28.1 27.3 69.85 21.09 73 79.1 3.9 2.7
Feb 27.4 26.5 182.88 267.47 79.9 84.4 2.4 1.2
Mar 28.1 27.2 236.99 160.27 75.7 82.4 3.8 1.3
Apr 28 27 72.39 229.64 78.7 84.2 2.8 1
May 28.5 27.3 150.13 186.17 77.9 83.6 3.5 1
Jun 29 28 135.64 13.72 74.1 79.1 4.7 1.2
Jul 27.9 27 118.36 87.63 78.1 79.9 4.9 1.7
Aug 27.9 27.3 21.83 51.31 79 78.4 4.3 2.3
Sep 28 27 106.43 67.57 77.7 80.5 3.8 1.6
Oct 27.5 26.8 191.78 322.09 81.4 84.1 2.7 0.8
Nov 27.6 26.9 344.39 342.9 81.4 85.5 3 0.4
Dec 27.4 26.6 171.44 129.05 81.7 86.3 2.4 0.5
Lampiran 8 Data Suhu tahun 2003-2012 stasiun Simpangtiga-Pekanbaru Bulan 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Mean
Jan 27 27.5 27.3 27.2 26.9 27.5 27.4 27.6 26.6 28.1 27.31
feb 27.2 27.5 28.6 28 27 27.1 27.6 28.4 28.2 27.4 27.7
Mar 27.9 27.9 28.3 28.3 27.8 27.2 28.2 27.4 28 28.1 27.91
Apr 27.6 27.9 28.3 28.2 27.7 28.1 28.6 26.2 27.9 28 27.85
May 28.7 28.5 28.3 28.2 28 29 29.6 27.8 28.8 28.5 28.54
Jun 28.3 28.7 28.6 27.9 28.4 28.6 28.8 28.7 28.7 29 28.57
Jul 27.7 27.3 27.9 28.3 27.4 28.2 28.9 28 28.6 27.9 28.02
Aug 27.9 28 27.8 28.5 27.4 28.2 28.3 28.5 28.1 27.9 28.06
Sep 27.5 27.3 28.4 27.8 27.1 28.3 28.3 28.3 27.5 28 27.85
Oct 27.7 27.2 27.8 27.9 27.7 28.2 28 29 27.6 27.5 27.86
Nov 27.4 27.3 27.8 27.6 28.2 28.4 27.6 27.9 27.7 27.6 27.75
28
Lampiran 9 Data Suhu tahun 2003-2012 stasiun Simpangtiga-Pekanbaru
Lampiran 10 Peta Estimasi Area Terbakar Provinsi Riau Tahun 2012
Bulan 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Mean
Jan 303.52 108.46 44.46 162.29 346.19 92.96 122.18 205.99 160.78 69.85 161.668 Feb 109.47 92.97 74.67 76.18 95.5 116.34 50.29 162.04 56.64 182.88 101.698 Mar 295 90.41 75.94 127.27 152.65 172.98 297.7 279.41 102.6 236.99 183.095 Apr 103.38 169.15 44.19 76.7 356.36 184.41 183.4 344.18 200.65 72.39 173.481 May 40.13 32.77 130.06 53.84 168.15 57.67 86.87 282.97 52.07 150.13 105.466
Jun 32.26 0 50.8 93.71 118.36 201.17 102.11 131.83 17.27 135.64 88.315
29
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandar Lampung pada tanggal 18 September 1991 dari pasangan Purwo Atmadi dan Hidanti Karnila. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN 1 Sukaraja, SDN 4 Bagelen, dan lulus pada tahun 2003 di SDN Anyelir 1 Depok. Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP N 1 Gadingrejo, dan melanjutkan di SMA N 1 Gadingrejo. Pada tahun 2009 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada program studi Meteorologi Terapan Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selain menjalani perkuliahan, penulis juga aktif di lembaga kemahasiswaan dan non kemahasiswaan diantaranya Uni Konservasi Fauna (UKF) 2009-sekarang, Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (Himagreto) 2010/2011 dan 2011/2012, Indonesian Climate Student Forum (ICSF) 2011-sekarang, dan bergabung dengan komunitas Backpacker Bogor tahun 2013. Selama menjalani kepengurusan penulis pernah menjadi Bendahara UKF EXPO 2011, Bendahara Umum UKF 2011/2012, anggota PSDM Himagreto, pengajar pendidikan iklim dan lingkungan hidup (PILH) yang diselenggarakan di beberapa SD di sekitar kampus IPB Dramaga oleh ICSF. Selain itu, penulis juga aktif di kegiatan kampanye lingkungan Earth Hour Bogor (2012) dan kepanitian-kepanitian lain yang di selenggarakan oleh organisasi yang penulis ikuti. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat di kabupaten Demak yang diselenggarakan oleh IPB melalui program IPB Goes to Field 2012.
Pada bulan Juni – Agustus penulis melakukan kegiatan penelitian dan penyelesaian tugas akhir di LAPAN Jakarta yang berjudul : Pendugaan Potensi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Riau Tahun 2012.