• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus : Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus : Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)"

Copied!
277
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS KELAYAKAN USAHA

JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus)

(Studi Kasus : Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

SKRIPSI

Oleh :

DEWI MULYAWATI H34104036

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

RINGKASAN

DEWI MULYAWATI. Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih

(Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus: Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan POPONG NURHAYATI).

Jamur merupakan salah satu jenis tanaman sayuran yang dapat memberikan kontribusi yang besar sebagai penyumbang nilai Produk Domestik Bruto nasional dan dapat dikembangkan serta diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan memperbaiki keadaan gizi masyarakat. Jamur tiram putih memiliki kandungan gizi lebih bagus dibandingkan dengan jenis jamur lainnya maupun hewani, hal ini menyebabkan permintaan jamur yang terus meningkat setiap tahunnya sehingga pemerintah melakukan impor untuk menanggulangi ketimpangan penawaran dan permintaan jamur dalam negeri. Prospek pasar yang tinggi tersebut merangsang pengusaha salah satunya Kumbung Jamur D & D yang berada di Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor untuk menekuni atau meningkatkan produksi budidaya jamur tiram putih.

Saat ini pelaku usaha jamur tiram putih Kumbung Jamur D & D belum mampu memenuhi permintaan jamur tiram putih segar secara keseluruhan. Hal tersebut menyebabkan pelaku usaha akan melakukan pengembangan usaha dengan meningkatkan skala produksinya yaitu memperluas kumbung. Pengembangan usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan modal gabungan. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kelayakan usaha baik secara non finansial maupun finansial terhadap tiga skenario, yaitu kondisi Kumbung Jamur D & D sebelum perkembangan usaha (skenario I), dan setelah pengembangan usaha baik membangun kumbung menggunakan bahan bambu (skenario II) maupun menggunakan bahan kayu (skenario III).

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung jamur D & D dilihat dari aspek non finansial, menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung jamur D & D dilihat dari aspek finansial, dan menganalisis sensitivitas kelayakan usaha jamur tiram putih Kumbung Jamur D & D terhadap penurunan harga jamur tiram segar dan kenaikan harga serbuk kayu.

Data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pemilik sekaligus manajer dan karyawan Kumbung Jamur D & D, serta masyarakat umum di sekitar lokasi penelitian. Data sekunder yang berguna untuk melengkapi informasi dalam penelitian ini diperoleh dari data internal di Kumbung Jamur D & D maupun diperoleh dari instansi-instansi yang terkait. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan menggunakan kuisioner, konsultasi, dialog, dan pengamatan langsung serta melalui penelurusan pustaka ataupun literatur. Data dan informasi yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif yang diolah dengan

menggunakan bantuan komputer, yakni program Microsoft Excel 2010. Analisis

(3)

iii

pengembangan usaha jamur tiram putih secara finansial. Penilaian kelayakan secara finansial dilakukan dengan melakukan perhitungan kriteria investasi yang

terdiri dari NPV, Net B/C, IRR, payback period dan Incremental Net benefit.

Selain itu, dilakukan juga analisis sensitivitas untuk mencari perubahan maksimum yang dapat ditolerir agar usaha masih dapat dilaksanakan dan masih memberikan keuntungan normal.

Aspek non finansial yang terdiri dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial ekonomi budaya, dan aspek lingkungan menunjukkan bahwa usaha ini layak untuk dijalankan. Hal ini dikarenakan usaha jamur tiram putih ini memiliki peluang pasar yang tinggi, kondisi iklim lokasi yang cocok untuk usaha jamur tiram putih, sarana prasarana usaha yang memadai serta usaha jamur tiram putih ini memberikan dampak yang baik secara sosial ekonomi budaya dan lingkungan sekitar usaha.

Berdasarkan aspek finansial, kriteria kelayakan investasi usaha jamur tiram putih menunjukkan bahwa ketiga skenario yaitu yaitu kondisi Kumbung Jamur D & D sebelum perkembangan usaha (skenario I), dan setelah pengembangan usaha baik membangun kumbung menggunakan bahan bambu (skenario II) maupun menggunakan bahan kayu (skenario III) layak untuk dijalankan. Hal ini disebabkan ketiga skenario memiliki nilai NPV lebih besar dari

nol, nilai Net B/C lebih besar dari satu, IRR lebih besar dari discount rate yang

digunakan dan payback period berada sebelum umur usaha berakhir. Pada

skenario I (kondisi sebelum pengembangan) diperoleh nilai NPV sebesar Rp 160.907.357,82, nilai Net B/C sebesar 1,87, nilai IRR sebesar 32 persen, dan DPP selama 2 tahun, 4 bulan, 17 hari. Pada Skenario II (Rencana pengembangan kapasitas kumbung jamur tiram dengan menggunakan rangka bambu) diperoleh nilai NPV sebesar Rp 732.608.064,89, nilai Net B/C sebesar 2,71, nilai IRR sebesar 56 persen, dan DPP selama 1 tahun, 7 bulan, 28 hari. Pada skenario III (Rencana pengembangan kapasitas kumbung jamur tiram dengan menggunakan rangka kayu) menghasilkan nilai NPV sebesar Rp 1.156.134.833,42, nilai Net B/C sebesar 2,85, nilai IRR sebesar 36 persen, dan DPP selama 1 tahun, 10 bulan 3 hari.

Analisis sensitivitas yang dilakukan pada skenario-skenario yang digunakan diperoleh adanya penurunan harga jual jamur tiram sebesar 20 persen dan kenaikan harga serbuk kayu sebesar 10 persen tidak mempengaruhi usaha jamur tiram pada masing-masing skenario. Hasil analisis kelayakan finansial

incremental net benefit menunjukkan manfaat bersih dari hasil kriteria investasi

(4)

iv

ANALISIS KELAYAKAN USAHA

JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus)

(Studi Kasus: Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

DEWI MULYAWATI H34104036

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

v

Judul : Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus

ostreatus) (Studi Kasus : Kumbung Jamur D & D, Kecamatan

Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Nama : Dewi Mulyawati

NRP : H34104036

Disetujui, Pembimbing

Ir. Popong Nurhayati, MM NIP. 19670211 199203 2 002

Mengetahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002

(6)

vi

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ” Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus : Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2012

Dewi Mulyawati

(7)

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 28 September 1988. Penulis

adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Samhudin dan Ibu

Enah Heniawati.

Penulis memulai pendidikan di SD Negeri Cijati dan lulus pada tahun

2001. Pendidikan tingkat menengah diselesaikan penulis pada tahun 2004 pada

SLTP Negeri 1 Situraja. Pendidikan tingkat atas diselesaikan penulis pada tahun

2007 pada SMU Negeri 1 Sumedang. Pada tahun 2007, penulis diterima di

Universitas Padjadjaran, pada Program Studi Diploma III Manajemen Agribisnis,

Fakultas Pertanian dan selesai pada tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis

melanjutkan pendidikan pada Program Alih Jenis Agribisnis, Fakultas Ekonomi

(8)

viii

KATA

PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karuniaNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kelayakan

Pengembangan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus

Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa

Barat)”.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha budidaya

jamur tiram putih pada aspek non finansial yang terdiri dari aspek pasar, aspek

teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial ekonomi budaya, dan aspek

lingkungan, menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih pada

aspek finansial dengan menggunakan kriteria investasi, yaitu Net Present Value

(NPV), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), Payback

Period (PP), dan Incremental Net Benefit pada tiga skenario yaitu sebelum

pengembangan, dan setelah pengembangan menggunakan rangka bambu maupun

dengan kayu, serta menganalisis sensitivitas pengembangan usaha untuk melihat

dampak suatu perubahan keadaan pada hasil analisis kelayakan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu menyelesaikan skripsi ini. Namun demikian, sangat disadari masih

terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Semoga

skripsi ini dapat memberikan dukungan kontribusi pemikiran bagi semua pihak

yang berkepentingan.

Bogor, Desember 2012

(9)

ix

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagi pihak sebagai bentuk

rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terimakasih dan

penghargaan kepada:

1. Ir. Popong Nurhayati, MM selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan,

waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan

skripsi.

2. Ir. Joko Purwono, MS selaku dosen penguji utama dan Rahmat Yanuar, SP,

MSi selaku dosen penguji dari wakil Departemen Agribisnis pada ujian sidang

penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran

demi perbaikan skripsi ini.

3. Ibu Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen evaluator pada kolokium yang telah

memberikan koreksi dan saran demi perbaikan skripsi.

4. Bapak Ir. Burhanudin, MM yang telah menjadi pembimbing akademik dan

seluruh dosen serta staf Departemen Agribisnis.

5. Orang tua dan keluarga tercinta untuk setiap dukungan dan doa yang

diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik.

6. Bapak Danang Widagdo beserta karyawan Kumbung Jamur D & D atas

waktu, kesempatan, informasi dan dukungan yang diberikan.

7. Pihak Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Direktorat Jenderal

Hortikultura, dan Badan Pusat Statistik atas informasi yang diberikan kepada

penulis berkaitan dengan penyusunan skripsi ini.

8. Astri Widiyawati selaku pembahas seminar, terima kasih atas masukan dan

dukungan selama penulis menyelesaikan skripsi.

9. Teman-teman seperjuangan di Alih Jenis 1 Agribisnis Merizka, Hairia, Zulfi,

dan Rino atas semangat dan sharing selama penelitian hingga penulisan

skripsi, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu,

terimakasih atas bantuannya.

Bogor, Desember 2012

(10)

x

2.2 Perkembangan Jamur Tiram Putih di Indonesia ... 11

(11)

xi

4.4.6. Asumsi-Asumsi yang Digunakan dalam Penelitian ... 43

V. GAMBARAN UMUM ... 46

6.1.1.1 Permintaan dan Penawaran Jamur Tiram Putih 49

6.1.1.2 Strategi Pemasaran ... 50 6.1.4 Aspek Sosial, Ekonomi, Budaya dan Lingkungan ... 62

(12)

xii

6.2.8 Analisis Sensitivitas ... 86

6.2.9 Hasil Analisis Aspek Finansial ... 88

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

7.1 Kesimpulan ... 91

7.2 Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Komoditas Hortikultura

Indonesia Berdasarkan Harga Berlaku di Indonesia Tahun

2005-2009... 1

2. Perbandingan kandungan Gizi jamur dengan bahan Makanan Lain per 100 gram (dalam %) ... 2

3. Produksi dan Konsumsi Jamur di Indonesia Tahun 2008-2010 .. 2

4. Volume Impor Jamur Tahun 2008-2010 ... 3

5. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jamur Tiram Putih di Pulau Jawa Tahun 2010 ... 3

6. Posisi Demografi Budidaya Jamur Tiram Putih di Beberapa Wilayah di Kabupaten Bogor ... 4

7. Konsumsi Jamur Tiram pada Kota-kota Besar Tahun 2009 ... 5

8. Permintaan Jamur Pelanggan Kumbung Jamur D & D per Bulan 6 9. Kelas Awet Kayu ... 17

10. Produktivitas Jamur Tiram Putih di Beberapa Tempat Penelitian 20 11. Perkembangan Produksi Jamur di Jawa Barat Tahun 2004-2009 51 12. Perhitungan Proyeksi Perkembangan Jamur di Jawa Barat ... 51

13. Kebutuhan Bahan Baku Kumbung Jamur D & D per 15.000 Baglog ... 54

14. Komposisi Substrat Tanaman Jamur Kumbung Jamur D & D .. 56

15. Penerimaan Skenario I (dalam Rp)... 64

16. Penerimaan Skenario II (dalam Rp) ... 65

17. Penerimaan Skenario III (dalam Rp) ... 66

18. Jenis Investasi, Penyusutan, dan Nilai Sisa Skenario I ... 68

19. Jenis Investasi, Penyusutan, dan Nilai Sisa Skenario II ... 69

20. Jenis Investasi, Penyusutan, dan Nilai Sisa Skenario III ... 70

21. Biaya Tetap Kumbung Jamur D & D Skenario I (dalam Rp) ... 73

22. Biaya Variabel Kumbung Jamur D & D Skenario I... 74

23. Biaya Variabel Kumbung Jamur D & D Skenario II ... 75

24. Biaya Variabel Kumbung Jamur D & D Skenario III ... 76

(14)

xiv

26. Konsep Perhitungan Pokok Pinjaman, Biaya Bunga, dan Sisa

Pokok Pinjaman Skenario II ... 77

27. Konsep Perhitungan Pokok Pinjaman, Biaya Bunga, dan Sisa

Pokok Pinjaman Skenario III ... 78

28. Pajak Penghasilan Kumbung Jamur D & D (dalam Rp) ... 78

29. Laba Bersih Kumbung Jamur D & D (dalam Rp) ... 79

30. Kriteria Kelayakan Investasi Kumbung Jamur D & D Skenario I 81

31. Kriteria Kelayakan Investasi Kumbung Jamur D & D Skenario

II ... 82

32. Kriteria Kelayakan Investasi Kumbung Jamur D & D Skenario

III ... 83

33. Hasil Kelayakan Finansial Pengembangan dengan Penambahan

Kapasitas Kumbung 45.000 Baglog Menggunakan Rangka

Bambu (Incremental Net Benefit) ... 85

34. Hasil Kelayakan Finansial Pengembangan dengan Penambahan

Kapasitas Kumbung 45.000 Baglog Menggunakan Rangka Kayu

(Incremental Net Benefit) ... 86

35. Analisis Sensitivitas Kumbung Jamur D & D terhadap Penurunan

Harga Jamur 20 persen ... 88

36. Analisis Sensitivitas Kumbung Jamur D & D terhadap Kenaikan

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ... 34

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Layout Lokasi Usaha ... 97

2. Kegiatan Produksi Jamur Tiram Putih Kumbung Jamur D & D 98 3. Siklus Produksi Jamur Tiram Putih Kumbung Jamur D & D ... 100

4. Analisis Laba Rugi Skenario I (dalam Rp) ... 101

5. Analisis Laba Rugi Skenario II (dalam Rp) ... 102

6. Analisis Laba Rugi Skenario III (dalam Rp) ... 103

7. Cashflow Skenario I (dalam Rp) ... 104

8. Cashflow Skenario II (dalam Rp) ... 105

9. Cashflow Skenario III (dalam Rp) ... 106

10. Analisis Sensitivitas Skenario I (Penurunan Harga Jamur 20%) 108 11. Analisis Sensitivitas Skenario I (Kenaikan Harga Serbuk Kayu 10%) ... 109

12. Analisis Sensitivitas Skenario II (Penurunan Harga Jamur 20%) 110 13. Analisis Sensitivitas Skenario II (Kenaikan Harga Serbuk Kayu 10%) ... 111

14. Analisis Sensitivitas Skenario III (Penurunan Harga Jamur 20%) 112 15. Analisis Sensitivitas Skenario III (Kenaikan Harga Serbuk Kayu 10%) ... 114

16. Incremental Net Benefit Penambahan Kapasitas Kumbung Menggunakan Rangka Bambu ... 116

17. Incremental Net Benefit Penambahan Kapasitas Kumbung Menggunakan Rangka Kayu ... 117

(17)

1

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Subsektor hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang

memberikan kontribusi strategis dalam menyumbang nilai Produk Domestik

Bruto (PDB) Indonesia dan berperan penting dalam perekonomian nasional

dengan kecenderungan pertumbuhan yang naik atau meningkat. Komoditas

tanaman hortikultura di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok

besar, yaitu sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman biofarmaka.

Kontribusi masing-masing komoditas hortikultura bagi perekonomian Indonesia

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto (PBD) Komoditas Hortikultura Indonesia Berdasarkan Harga Berlaku di Indonesia Tahun 2005-2009

Kelompok Hortikultura

Nilai PDB (Milyar Rp)

2005 2006 2007 2008 2009

Sayuran 22.629,88 24.694,25 25.587,03 28.205,27 30.505,71

Trend (%) 9,12 3,62 10,23 8,16

Buah-buahan 31.694,39 35.447,59 42.362,48 47.059,78 48.436,70

Trend (%) 11,84 19,51 11,09 2,93

Tanaman Hias 4.662,11 4.734,27 4.104,87 3.852,67 3.896,90

Trend (%) 1,55 0,14 7,25 1,15

Tanaman Biofarmaka 2.806,06 3.762,41 4.740,92 5.084,78 5.494,24

Trend (%) 34,08 9,10 -6,14 8,05

Total Hortikultura 61.792,44 68.638,53 76.795,30 84.202,50 88.333,56

Trend (%) 11,08 11,88 9,65 4,91

Rata-rata Peningkatan PDB Hortikultura (%) 9,24

Sumber: Departemen Pertarnian, 2010

Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 1 dapat diketahui pada periode

2005 hingga 2009 menunjukkan peningkatan yang positif setiap tahunnya.

Rata-rata peningkatan PDB Hortikultura sebesar 9,24 persen yang disebabkan

pembangunan pertanian di bidang pangan khususnya hortikultura pada saat ini

ditujukan untuk lebih memantapkan swasembada pangan, meningkatkan

pendapatan masyarakat, memperbaiki keadaan gizi melalui penganekaragaman

jenis bahan makanan.

Salah satu komoditas hortikultura yang telah memberikan kecenderungan

peningkatan yang positif yaitu komoditas sayuran. Indonesia yang secara umum

sebagai salah satu negara yang beriklim tropis mempunyai potensi yang cukup

(18)

2 kontribusi yang signifikan bagi kemajuan perekonomian Indonesia. Hal tersebut

dapat dilihat dari perkembangan PDB sayuran periode 2005 hingga 2009. Pada

tahun 2005 nilai PDB sayuran adalah sebesar 22,629 milyar dan terus meningkat

hingga mencapai 30,505 milyar pada tahun 2009.

Salah satunya produk sayuran yang dapat dikembangkan dan diarahkan

untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperbaiki keadaan gizi

melalui penganekaragaman jenis bahan makanan yaitu jamur. Jamur tiram

memiliki kandungan gizi lebih bagus dibandingkan dengan jenis jamur lainnya

maupun sumber gizi pangan hewani (Direktorat Jenderal Hortikultura 2006). Hal

ini menyebabkan perkembangan produksi dan konsumsi jamur di Indonesia

mengalami peningkatan yang dapat dilihat dari data pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi dan Konsumsi Jamur di Indonesia Tahun 2008-2010

Tahun Produksi Konsumsi

Ton Trend (%) Ton Trend (%)

2008 43,047 - 45,151

-2009 38,465 -0.106 47,528 0.052

2010 61,370 0.595 52,281 0.100

Rata-rata 47,627 0.244 48,320 0.076

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura, 2012

Produksi jamur mengalami peningkatan rata-rata setiap tahunnya 0,244

persen walaupun pada tahun 2009 mengalami penurunan produksi, sedangkan

konsumsi jamur setiap tahunnya mengalami peningkatan dengan rata-rata

peningkatan 0,076 persen, hal tersebut didorong dari kandungan gizi yang dimiliki

jamur cukup bagus. Pada Tabel 3 terlihat bahwa jamur tiram memiliki kandungan

protein dan karbohidrat yang lebih tinggi daripada daging sapi, namun kandungan

lemaknya jauh lebih rendah.

Tabel 3. Perbandingan Kandungan Gizi Jamur dengan Bahan Makanan Lain per 100 gram (dalam %)

Bahan Makanan Protein Lemak Karbohidrat

Jamur merang 1,8 0,3 4,0

Jamur tiram putih 27 1,6 58,0

Jamur kuping 8,4 0,5 82,8

Daging sapi 21 5,5 0,5

Bayam - 2,2 1,7

Kentang 2,0 - 20,9

Kubis 1,5 0,1 4,2

Seledri - 1,3 0,2

Buncis - 2,4 0,2

(19)

3 Adanya ketimpangan antara produksi dan konsumsi jamur yang

diakibatkan permintaan jamur terus meningkat yang menyebabkan pemerintah

melakukan impor jamur. Volume impor jamur setiap tahunnya mengalami

peningkatan sebesar 0,099 persen (Tabel 4).

Tabel 4. Volume Impor Jamur Tahun 2008-2010

Tahun Jumlah Impor

Ton Trend (%)

2008 3.432

2009 4.081 0.189

2010 4.120 0.009

Rata-rata 3.877 0.099

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, 2012

Jamur tiram merupakan salah satu jamur yang cukup dikenal dan digemari

oleh masyarakat karena dapat dikonsumsi dalam keadaan mentah dan segar,

dalam bentuk masakan maupun dalam bentuk olahan (Rahmat dan Nurhidayat,

2011). Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006) Jamur tiram memiliki

beberapa jenis yaitu jamur tiram putih, jamur tiram abu-abu, jamur tiram coklat,

dan jamur tiram merah. Jenis yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia

adalah jamur tiram putih, selain rasanya yang lebih lezat masyarakat juga lebih

menyukai dan mengenal jamur tiram putih dibandingkan dengan jenis jamur tiram

yang lain. Jamur tiram putih dapat diproduksi sepanjang tahun dalam areal yang

relatif sempit, sehingga merupakan alternatif yang cukup baik dalam rangka

memanfaatkan lahan pekarangan. Selain itu, budidaya jamur tiram tidak

menggunakan bahan kimia atau pupuk anorganik sehingga tidak merusak

lingkungan.

Tabel 5. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jamur Tiram Putih di Pulau Jawa Tahun 2010

No. Propinsi Luas Panen

(Ha) Produksi (Ton)

Produktivitas (kwintal/Ha)

1. Jawa Barat 324.67 19,623.16 60.4

2. Jawa Tengah 15.21 1,189.38 78.2

3. Daerah Istimewa Yogyakarta 7.46 804.96 107.9

4. Jawa Timur 330.84 39,472.91 119.3

5. Banten 1.50 116.70 77.8

Sumber : Kementrian Pertanian, 2012

Pulau Jawa merupakan salah satu sentra produksi jamur tiram putih di

(20)

4 Pulau Jawa yang menghasilkan jamur tiram putih. Jawa Barat merupakan provinsi

di pulau Jawa yang memiliki luas panen yang cukup besar dibandingkan beberapa

daerah lainnya, tetapi memiliki tingkat produktivitas yang paling rendah. Kondisi

tersebut diduga dikarenakan para petani dalam melakukan usahatani jamur tiram

putih pada umumnya masih bersifat tradisional dan tergolong usahatani kecil.

Jawa Barat sendiri memiliki beberapa sentra penghasil jamur tiram salah

satunya yaitu di Kabupaten Bogor karena wilayah Kabupaten Bogor sangat cocok

dijadikan sebagai lokasi budidaya jamur tiram, menurut Direktorat Jenderal

Hortikultura (2006) lokasi yang memenuhi syarat tumbuh jamur yaitu memiliki

ketinggian 700 meter di atas laut dan memiliki temperatur ideal untuk

pertumbuhan jamur tiram yaitu 22 sampai 28 derajat celcius. Pada ketinggian

tersebut pertumbuhan jamur tiram tidak terpengaruh pada cuaca atau musim, baik

musim hujan maupun musim kemarau. Hal ini bisa dilihat keadaan di beberapa

kecamatan penghasil jamur tiram segar yang berada di Kabupaten Bogor (Tabel

6).

Tabel 6. Posisi Demografi Budidaya Jamur Tiram Putih di Beberapa Wilayah di Kabupaten Bogor

Wilayah

Bogor Kecamatan Keadaan Lokasi

Barat Pamijahan 750 sampai 1.050 meter di atas permukaan laut, dengan suhu 25 sampai 30 derajat celcius

Ciampea 600 meter di atas permukaan laut, suhu rata-rata 280 derajat celcius dan kelembaban 70 persen

Tengah Cisarua 1200 meter di atas permukaan laut, suhu rata-rata 26derajat celcius, dan curah hujan 2400 mm per tahun

Tamansari 700 meter di atas permukaan laut, dengan suhu rata-rata 25sampai 30derajat celcius Bojonggede 182 meter di atas permukaan laut, dengan

suhu rata-rata 24,9 sampai 25,8derajat celcius dan curah hujan 2500 mm per tahun.

Sumber : Diperoleh dari berbagai sumber, 2012

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat dari beberapa lokasi budidaya jamur

tiram di dua kecamatan di Kabupaten Bogor terlihat bahwa lokasi tersebut sesuai

dengan syarat tumbuh jamur, akan tetapi daerah Bojonggede berada di ketinggian

(21)

5 jamur. Di Kecamatan Bojonggede terdapat tiga pelaku usaha budidaya penghasil

jamur tiram putih segar dan salah satunya yaitu Kumbung Jamur D & D yang baru

berdiri pada bulan Mei 2011. Jika dibandingkan dua pelaku usaha lainnya

Kumbung Jamur D & D memiliki jarak yang lebih dekat dengan pasar karena

lokasinya yang berada di belakang Pasar Bojonggede. Dalam perkembangan

usahanya Kumbung Jamur D & D memerlukan studi kelayakan usaha untuk

pengembangan perusahaan kedepannya baik dari aspek non finansial maupun

finansial.

1.2Perumusan Masalah

Kumbung Jamur D & D yang dimiliki oleh M. Danang yang baru berdiri

pada bulan Mei 2011 didirikan berdasarkan permintaan jamur tiram yang terus

meningkat setiap tahunnya. Kabupaten Bogor yang merupakan sentra jamur tiram

dan memiliki banyak pelaku usaha budidaya jamur tiram yang sudah besar dan

kebanyakan diproduksi untuk memenuhi kebutuhan jamur di beberapa kota yang

tingkat kebutuhan jamurnya tinggi dan belum memenuhi permintaan jamur di

kabupaten Bogor sendiri. Beberapa daerah yang tingkat kebutuhan akan jamur

tiram cukup tinggi terdapat pada kota-kota besar seperti Bogor, Tangerang,

Cianjur, Bekasi, Tasikmalaya dan Jakarta seperti pada Tabel 7.

Tabel 7. Konsumsi Jamur Tiram pada Kota-kota Besar 2009

No Kota Konsumsi Per hari per kilogram

1 Bogor 150

2 Tangerang 3.000

3 Cianjur 200

4 Bekasi 3.000

5 Tasikmalaya 300

6 Jakarta 9.000

Sumber: AgroMedia (2011)

Awal memulai usaha Kumbung Jamur D & D hanya menjual jamur

segarnya kepada pedagang sayur keliling, namun dalam perkembangannya

permintaan justru datang dari pedangan sayur dari Pasar Bojonggede dan Pasar

Induk Warung Jambu, permintaan dari kedua pasar tersebut terus meningkat

sehingga pelaku usaha tidak menjual jamur segarnya ke pedagang keliling. Saat

ini permintaan jamur tiram berasal dari dua pedagang sayur yang berada Pasar

(22)

6 Tabel 8. Permintaan Jamur Pelanggan Kumbung Jamur D & D per hari

Pelanggan Rata-rata permintaan (kg)

Rata-rata permintaan yang biasa dipenuhi oleh Kumbung Jamur D & D

(kg) Bapak Aceng

(Pasar Bojonggede)

30 18

Ibu Yus

(Pasar Bojonggede)

25 15

(Pasar Induk Warung Jambu)

80 8

Pedagang Olahan Jamur Tiram

20 4

Sumber : Kumbung Jamur D & D

Dari data pada Tabel 8 terlihat bahwa Kumbung D & D baru bisa

memenuhi sekitar 29 persen permintaan pasar. Tidak terpenuhinya permintaan

tersebut dikarenakan keterbatasan kumbung yang dimiliki oleh Kumbung D & D.

Ukuran kumbung yang dimiliki oleh Kumbung Jamur D & D saat ini yaitu 8 x 12

meter dan berkapasitas 15.000 baglog. Oleh karena itu untuk memenuhi kelebihan

permintaan, pihak Kumbung D & D berencana untuk meningkatkan skala

produksinya dengan memperluas kumbung menjadi 45.000 baglog. Rencana

pengembangan usaha dengan memperluas kumbung tersebut didasarkan pada

keterbatasan lahan yang dimiliki oleh pemilik usaha yaitu seluas 16 x 25 meter

yang hanya bisa dibangun kumbung berkapasitas 30.000 baglog.

Rencana pembangunan kumbung dilakukan menggunakan modal

gabungan antara modal sendiri dan modal pinjaman. Modal pinjaman diperoleh

dari empat orang penanam modal, dimana 30 persen dari laba bersih yang

dihasilkan nantinya akan diberikan sebagai imbalan kepada empat orang penanam

modal tersebut. Rencana pengembangan usaha diharapkan dapat memenuhi

permintaan yang berlebih.

Pengembangan usaha yang akan dilakukan pada Kumbung Jamur D & D

dihadapkan pada pilihan rangka bangunan yang akan digunakan, antara

menggunakan bahan yang sederhana dari bambu dan yang semi permanen dari

kayu. Hal ini mengingat bahwa lokasi usaha berada di ketinggian 182 meter di

atas permukaan laut yang kurang cocok dengan syarat tumbuh jamur sehingga

diperlukan arsitektur rangka kumbung yang lebih tinggi dibandingkan kumbung

(23)

7 memerlukan bahan rangka yang lebih banyak. Bahan yang digunakan untuk

membangun rangka kumbung tersebut juga dapat menentukan umur teknis

bangunan kumbung dan besarnya keuntungan yang akan diperoleh oleh Kumbung

Jamur D & D. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai

kelayakan usaha baik secara non finansial maupun finansial terhadap kedua jenis

pilihan rangka bangunan kumbung.

Analisis finansial yang akan dilakukan yaitu membandingkan kondisi

Kumbung Jamur D & D sebelum perkembangan usaha (skenario I), dan setelah

pengembangan usaha baik membangun kumbung menggunakan bahan bambu

(skenario II) maupun menggunakan bahan kayu (skenario III). Analisis kelayakan

yang dilakukan nantinya akan memberikan alternatif rencana pengembangan yang

menghasilkan manfaat lebih baik.

Pelaku usaha Kumbung Jamur D & D harus memperhatikan

perubahan-perubahan yang terjadi yang berdampak pada keuntungan yang akan diperoleh

dan kelayakan usahanya. Berdasarkan pengalaman pelaku usaha

perubahan-perubahan yang perlu diperhatikan yaitu penurunan harga produk dan kenaikan

serbuk kayu. Penurunan harga jamur tiram putih terjadi mengingat struktur pasar

pada usaha jamur tiram putih merupakan pasar persaingan sempurna, yang tidak

menutup kemungkinan munculnya pesaing-pesaing yang memasuki usaha

budidaya jamur tiram putih yang akan berdampak pada penurunan harga produk.

Kenaikan harga yang akan dianalisis yaitu harga serbuk kayu. Serbuk kayu

merupakan media jamur tiram yang paling utama dalam budidaya jamur tiram

putih, Kumbung jamur D & D yang memproduksi baglog sendiri sampai saat ini

belum memiliki kontrak dengan penyedia serbuk kayu sehingga pelaku usaha

harus mencari serbuk kayu ke beberapa tempat yang harganya ditentukan tempat

penyedia serbuk kayu dan tidak menutup kemungkinan harga serbuk kayu naik.

Oleh karena itu diperlukan analisis sensitivitas terhadap kelayakan usaha

Kumbung jamur D & D apabila terjadi perubahan harga.

Berdasarkan gambaran usaha yang telah dipaparkan, maka perumusan

(24)

8

1. Bagaimana kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung

jamur D & D dilihat dari aspek non finansial mengingat bahwa lokasi usaha

berada di lokasi yang kurang sesuai dengan syarat tumbuh jamur?

2. Bagaimana kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung

jamur D & D dilihat dari aspek finansial, hal ini dikarenakan modal yang

digunakan berupa modal gabungan, besarnya investasi dan umur usaha yang

berbeda?

3. Bagaimana analisis sensitivitas kelayakan usaha jamur tiram putih Kumbung

Jamur D & D terhadap penurunan harga jamur tiram segar karena usaha ini

berada di pasar persaingan sempurna dan kenaikan harga serbuk kayu yang

disebabkan pelaku usaha belum bekerjasama dengan penyedia bahan baku

serbuk kayu ?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan,

maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung

jamur D & D dilihat dari aspek non finansial.

2. Menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung

jamur D & D dilihat dari aspek finansial.

3. Menganalisis sensitivitas kelayakan usaha jamur tiram putih Kumbung Jamur

D & D terhadap penurunan harga jamur tiram segar dan kenaikan harga serbuk

kayu.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1. Pemilik usaha, dapat memberikan masukan yang bermanfaat dalam kelayakan

pengembangan budidaya jamur tiram putih.

2. Investor diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan yang berguna

apakah dana yang ditanamkan akan memberikan keuntungan atau tidak, dan

dapat dijadikan dasar bagi investor untuk membuat keputusan investasi lebih

(25)

9

3. Akademisi, penelitian ini sebagai informasi dan bahan pembanding untuk

penelitian selanjutnya.

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada pelaku usaha jamur tiram putih di Kumbung

Jamur D & D Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor, dengan manganalisis

kelayakan usaha dari aspek-aspek non finansial, dan finansial meliputi kelayakan

usaha Kumbung Jamur D & D sebelum pengembangan dan setelah pengembangan

(26)

10 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Jamur Tiram

Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006) jamur merupakan

tumbuhan yang banyak dijumpai di alam. Jamur sudah dikenal oleh masyarakat

sejak dulu dan tumbuh liar di hutan-hutan pada musim hujan dikarenakan

kelembaban yang cukup tinggi menyebabkan jamur dapat tumbuh dengan baik.

Jamur tiram merupakan salah satu dari sekian jenis jamur kayu yang bisa

dikonsumsi. Dinamakan jamur tiram karena bentuk tudung jamur ini sepintas

menyerupai cangkang tiram. Orang Inggris pun menyebut jamur ini dengan nama

osyster mushroom yang berarti jamur tiram. Jamur tiram sudah cukup dikenal di

masyarakat luas, baik di Indonesia maupun di berbagai negara. Menurut catatan

sejarah, jamur tiram sudah dibudidayakan di Cina sejak 1.000 tahun silam.

Sementara di Indonesia, jamur tiram mulai dibudidayakan pada tahun 1980 di

Wonosobo. Varietas yang umum dibudidayakan di Indonesia adalah jamur tiram

putih (Pleurotus ostreatus), meskipun varietas jamur tiram yang lain ada akan

tetapi pembudidayaannya kurang popular (Rahmat dan Nurhidayat, 2011)

Menutut Rahmat dan Nurhidayat (2011) jamur tiram terdiri dari beberapa

varietas, diantaranya jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur tiram abu-abu

(Pleurotus cystidius), jamur tiram merah (Flabellatus), dan jamur tiram coklat

(Pleurotus umbellatus) atau dikenal juga sebagai jamur tiram raja karena

bentuknya yang besar.

 Kingdom : Mycetea

 Divisio : Amastigomycotae

 Phylum : Basidiomycotae

 Kelas : Hymenomycetes

 Ordo : Agaricales

 Family : Agraricaeae

 Genus : Pleurotus

 Spesies : Pleurotus sp.

Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006), jamur tiram merupakan

jenis jamur yang paling banyak dibudidayakan karena memiliki produktivitas

(27)

11 dapat dihasilkan bahkan saat ini sudah dapat ditingkatkan hingga 120-150 persen.

Jamur tiram memiliki rasa yang lezat dan kandungan gizi yang cukup tinggi.

Menurut Suriawiria (2001), jamur tiram yang banyak dibudidayakan

antara lain :

1. Jamur tiram putih (pleurotus ostreatus), dikenal pula dengan nama shimeji

white (varietas florida), warna tudungnya putih susu sampai putih kekuningan

dengan lebar 3-14 centimeter.

2. Jamur tiram abu-abu, dikenal dengan nama shimeji grey (varietas sajor salju),

warna tudungnya abu kecoklatan sampai kuning kehitaman dengan lebar 6-14

centimeter.

3. Jamur tiram coklat, dikenal pula dengan nama jamur abalone (varietas

cystidious), warna tudungnya keputihan atau sedikit keabu-abuan sampai abu-

abu kecoklatan dengan lebar 5-12 centimeter.

4. Jamur tiram merah/pink, dikenal pula dengan nama shakura (varietas

flabellatus), tudungnya berwarna kemerahan.

Dilihat dari aspek kesehatan, jamur tiram merupakan bahan pangan bergizi

berkhasiat obat yang lebih murah dibandingkan obat modern. Beberapa khasiat

jamur tiram putih yaitu sebagai anti kolestrol, mencegah kanker, mengurangi

risiko cacat kelahiran dan cacat otak pada anak, serta banyak mengandung vitamin

C dan sembilan asam amino esensial yang tidak bisa disintesis tubuh.

2.2 Perkembangan Jamur Tiram Putih di Indonesia

Jamur tiram merupakan jenis sayuran yang dapat dijadikan sumber

pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa yang akan datang. Budidaya jamur

tiram memanfaatkan limbah industri penggergajian kayu sehingga dampaknya

dapat dirasakan oleh rakyat. Usaha ini dianggap potensial dalam rangka

memperbaiki tingkat ekonomi rakyat karena dengan modal relatif kecil dan

dapat dikerjakan dengan melibatkan keluarga dan tetangga terdekat. Menurut

Martawijaya dan Nurjayadi (2009), permintaan jamur tiram bukan saja datang dari

pasar domestik, namun juga dari permintaan ekspor ke berbagai negara.

Kesempatan inilah yang membuka peluang bisnis budidaya jamur tiram dan

(28)

12 Dewasa ini kecenderungan minat masyarakat terhadap sayuran terus

meningkat, akibat dari pola hidup sehat yang telah menjadi gaya hidup

masyarakat. Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan bisnis jamur tiram, di

mana sebagai tanaman sayuran berpotensi untuk dikembangkan dan

mendatangkan nilai ekonomi bagi masyarakat. Jamur tiram merupakan sumber

makanan yang bergizi tinggi dan dapat menjadi bahan pangan alternatif yang

disukai oleh semua lapisan masyarakat.

Jamur tiram merupakan jenis jamur kayu yang memiliki kandungan nutrisi

lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jamur kayu lainnya. Jamur tiram

mengandung protein, lemak, fosfor, besi, thiamin dan riboflavin lebih tinggi

dibandingkan jenis jamur lain (Djarijah, 2001). Kandungan asam amino pada

jamur tiram mengidentifikasikan bahwa tingginya nilai gizi yang terkandung di

dalam jamur tiram. Hal ini menjadi salah satu daya tarik untuk masuk ke dalam

bisnis jamur tiram yang mengakibatkan tumbuhnya industri jamur tiram.

Indonesia selama ini hanya mampu memasok jamur sebesar 0,9 persen

dari pasar jamur dunia. Angka tersebut kecil jika dibanding dengan China yang

memasok 33,2 persen pasar jamur dunia. Dalam pengembangan usaha,

ketidakberdayaan industri jamur nasional disebabkan berbagai hal seperti

produsen benih yang terbatas, tidak adanya standarisasi dan jaminan kualitas bibit,

belum adanya standarisasi proses produksi, serta penanganan pascapanen yang

sederhana. Selain itu, terbatasnya permodalan petani, bank yang belum

mendukung dan prosedur yang berbelit mengakibatkan penjualan jamur dikuasai

oleh tengkulak (Departemen Pertanian, 2010).

2.3Kriteria Tempat Budidaya Jamur Tiram

Seperti halnya bidang agribisnis lainnnya, membangun usaha budidaya

jamur tiram erat kaitannya dengan kondisi alam. Terlebih lagi aspek budidaya,

pengaruh alama sangat nyata sekali. Menurut Redaksi Agromedia (2011) secara

aspek agroklimatologi atau iklim lingkungan, beberapa aspek yang paling

berpengaruh dalam budidaya jamur yaitu temperatur udara.

Setiap jenis jamur membutuhkan besar suhu yang bervariasi, tergantung

(29)

13 udara lingkungan budidaya jamur harus diatur sedemikian rupa, sehingga

mencapai kondisi ideal. Besarnya suhu atau temperature udara pada suatu tempat

erat kaitannya dengan ketinggian (elevasi) lokasi tersebut dari permukaann laut.

Seperti yang terlah diketahui secara umum, lokasi yang mempunyai ketinggian

rendah mempunyai suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan tempat yang lebih

tinggi, misalnya pegunungan.

Besarnya temperature akan menurun ketika tempat semakin tinggi. Untuk

lokasi budidaya jamur yang berada di dataran rendah temperature bisa diatur

sedemikian rupa. Pengaturan temperature udara dapat dilakukan dengan dengan

penyemprotan kabut air, penyediaan ventilasi udara dan meninggikan rangka

bangunan kumbung. Jadi ketika suhu udara terlampau tinggi, bisa dilakukan

penyemprotan kabut air dan membuka seluruh jendela ventilasi kumbung, selain

itu dengan meninggikan rangka kumbung akan menyebabkan sirkulasi udara

dalam kumbung menjadi lancar dan kelembapan udara dalam ruangan budidaya

menjadi lebih lembab (Redaksi Agromedia, 2011)

2.4 Rangka Bangunan Kumbung

Tempat atau bangunan budidaya jamur lebih dikenal dengan nama

kumbung. Bagian yang paling berperan dalam bangunan kumbung ini yaitu

rangka bangunan dimana rangka bangunan ini akan mempengaruhi biaya investasi

yang dikeluarkan, menurut Redaksi Agromedia (2011) rangka bangunan kumbung

bisa terbuat dari bambu dan kayu. Rangka bangunan yang dipilih akan

mempengaruhi umur usaha budidaya jamur sehingga perlu diperhatikan keawetan

atau daya tahan rangka yang akan digunakan.

2.4.1 Keawetan Bambu

Menurut Sulistyowati (1996), walau memiliki banyak sifat

menguntungkan, bambu rentan terhadap kerusakan. Proses kerusakan

mempengaruhi keawetan bambu. Penyebab kerusakan bambu ada 2 yaitu:

perusak biologis dan non-biologis. Perusak biologis yang sering menyerang

bambu adalah jamur, rayap, kumbang bubuk dan mikroorganisme laut. Jamur

(30)

14 Kerusakan bambu karena serangan kumbang bubuk biasanya terjadi setelah

batang bambu ditebang. Kumbang ini hidup dalam jaringan serat bambu untuk

mendapatkan patinya.

Penyebab kerusakan non-biologis yang terpenting adalah air. Kadar air

yang tinggi menyebabkan kekuatan bambu menurun dan mudah lapuk. Langkah

pertama yang harus dilakukan dalam metode pengawetan bambu apapun adalah

pengeringan. Penggunaan bambu yang benar-benar kering (kadar airnya tepat)

dalam setiap metode pengawetan akan menghasilkan tingkat keawetan yang lebih

baik dibanding penggunaan bambu yang masih basah (kadar air tinggi).

Keawetan bambu sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan lingkungan.

Bambu tanpa perlakuan pengawetan, apabila dibiarkan bersentuhan secara

langsung dengan tanah dan tidak terlindung dari cuaca, hanya mempunyai umur

pakai sekitar 1 - 3 tahun. Bambu yang terlindung dari gangguan cuaca, umur

pakainya dapat bertahan antara 4 - 7 tahun atau lebih. Dalam lingkungan yang

ideal rangka (konstruksi) bambu dapat tahan selama 10 - 15 tahun. Jika

berinteraksi dengan air laut, bambu cepat hancur oleh serangan mikroorganisme

laut dalam waktu kurang dari satu tahun.

Keawetan bambu dipengaruhi juga oleh : kondisi fisik bambu, bagian

ruas, spesis dan kandungan pati. Bambu yang telah dibelah lebih cepat rusak

dibanding bambu yang masih utuh (belum dibelah). Ruas bambu bagian bawah

mempunyai ketahanan rata-rata yang lebih tinggi dibanding bagian tengah atau

bagian atasnya. Bagian sebelah dalam ruas biasanya lebih dulu terserang

(serangga atau jamur) daripada bagian luar. Keawetan alamiah bambu

bervariasi antara satu spesies dengan spesies lain. Variasi ini berkaitan dengan

ketahanan spesis terhadap serangan rayap atau kumbang. Bambu yang kandungan

patinya lebih tinggi lebih rentan terhadap serangan kumbang bubuk.

Keawetan alamiah bambu relatif lebih rendah dibanding kayu. Artinya,

umur pakai struktur bambu relatif lebih pendek dibanding struktur kayu. Cara

memperpanjang umur pakai bambu yaitu melalui pengawetan dan penerapan

metode konstruksi tertentu. Metode ini bertujuan meminimalisir laju serangan

jamur dan serangga. Meletakan tonggak bambu pada dinding batu atau semen

(31)

15 secara langsung ke dalam tanah. Pada konstruksi rumah bambu, sangat

dianjurkan membuat pondasi dari beton atau batu. Pelapisan bambu dengan bahan

penahan air dapat mengurangi serangan jamur.

2.4.2 Keawetan Kayu

Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaian. Kayu dikatakan awet

apabila mempunyai umur pakai lama dan mampu menahan berbagai faktor

perusak kayu. Dengan kata lain keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis

kayu terhadap faktor-faktor perusak dari luar kayu itu (Dumanauw, 1990 dalam

Zibua, 2008). Nilai suatu jenis kayu sangat ditentukan oleh keawetannya, karena

bagaimana pun kuatnya suatu jenis kayu tersebut, penggunaan sebagai bahan

bangunan tidak akan berarti jika keawetannya rendah.

Keawetan kayu dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor

karakteristik kayu dan lingkungan. Faktor karakteristik kayu yaitu kandungan zat

ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang (gubal dan teras), dan

kecepatan tempat tumbuh. Sedangkan faktor lingkungan yaitu tempat dimana

kayu tersebut dipakai, jenis organisme penyerang, keadaan suhu, kelembaban

udara dan lain-lainnya.

Ketahanan kayu terhadap serangga dan perusak kayu khususnya yang

bersentuhan dengan laut disebabkan oleh kandungan zat ekstraktifnya. Zat

ekstraktif dalam kayu berfungsi sebagai racun bagi perusak-perusak kayu,

sehingga perusak tersebut tidak bisa masuk dan tinggal dalam kayu tersebut

(Panshin dan de Zeeuw, 1980 dalam Zibua, 2008).

Menurut Martawijaya et al, (1995), keawetan alami ialah ketahanan kayu

terhadap serangan dari unsur-unsur perusak kayu dari luar: jamur, rayap, bubuk,

cacing laut dan mahkluk lainnya yang diukur dengan jangka waktu tahunan.

Keawetan kayu tersebut disebabkan oleh adanya suatu zat di dalam kayu (zat

ekstraktif) yang merupakan sebagai unsur racun bagi perusak-perusak kayu,

sehingga perusak tersebut tidak sampai masuk dan tinggal di dalamnya serta

(32)

16 1. Kelas awet I

Lama pemakaian kelas awet I dapat mencapai 25 tahun. Jenis-jenis kayu yang

termasuk dalam kelas ini adalah jati, ulin, sawo kecik, merbau, tanjung,

sonokeling, johar, bangkirai, behan, resak, dan ipil.

2. Kelas awet II

Jenis-jenis kayu yang termasuk kelas awet II yaitu waru, kapur, bungur,

cemara gunung, rengas, rasamala, merawan, lesi, walikukun, dan sonokembang.

Umur pemakaian dari kelas ini yaitu antara 15-25 tahun.

3. Kelas awet III

Jenis-jenis kayu yang termasuk kelas awet III yaitu ampupu, bakau, kempas,

kruing, mahoni, matoa, merbau, meranti merah, meranti putih, pinang, dan pulai.

Umur pakai jenis kayu kelas ini mencapai 10-15 tahun.

4. Kelas awet IV

Jenis kayu ini termasuk kurang awet, umur pakainya antara 5 – 10 tahun.

Kayu yang termasuk kelas awet ini yaitu agates, bayur, durian, sengon, kemenyan,

kenari, ketapang, perupuk, ramin, surian, dan benuang laki.

5. Kelas awet V

Kayu–kayu yang termasuk kelas awet V tergolong kayu yang tidak awet

karena umur pakainya hanya kurang dari 5 tahun. Contoh kayu yang masuk dalam

kelas ini adalah jabon, jelutung, kapuk hutan, kemiri, kenanga, mangga hutan, dan

marabung.

Fakta menunjukkan lingkungan Indonesia merupakan daerah tropis.

Negeri ini mempunyai kehangatan, kelembaban dan bahan organik dalam tanah

yang tinggi, di bawah kondisi tersebut perkembangan organisme khususnya

organisme perusak kayu sangat baik. Hal tersebut tercermin dari apa yang disebut

sebagai negara mega biodeversity, dimana Indonesia mempunyai 1.000.000 jenis

serangga, 250.000 jenis jamur dan 200 jenis rayap. Kenyataan lain menunjukan

bahwa 80 - 85 persen kayu-kayu Indonesia mempunyai keawetan yang rendah,

atau dengan perkayaan kayu-kayu Indonesia mudah diserang oleh organisme

(33)

17

dilakukan, penelitian tersebut baik dari segi budidaya maupun ekonominya.

Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terdiri dari : analisis

usahatani dan pendapatan jamur tiram putih, analisis risiko produksi jamur tiram

putih, serta analisis kelayakan usahatani jamur tiram putih.

2.5.1 Penelitian Mengenai Usahatani dan Pendapatan Jamur Tiram Putih

Usahatani dapat diartikan kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam,

kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Dalam

usahatani, pelaku usaha harus memperhatikan proses produksi dan saluran

pemasaran yang yang dapat memberikan informasi dalam peningkatan produksi

dan pendapatan. Pentingnya untuk memperhatikan usahatani dari segi produksi

dimanfaatkan oleh Sari (2008) untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor

yang mempengaruhi usahatani jamur tiram putih di Kelompok Tani Kaliwung

(34)

18 Berdasarkan analisis yang dilakukan, faktor-faktor produksi yang berpengaruh

langsung terhadap produksi jamur tiram putih yaitu faktor produksi serbuk kayu,

bekatul, kapur, plastik, dan cincin paralon.

Connie (2008), melakukan penelitian yang berhubungan dengan proses

produksi dengan melihat titik impas yang nantinya bertujuan untuk melihat

pendapatan usahatani jamur tiram putih. Penelitian yang berjudul “Analisis

Pendapatan dan Titik Impas Usahatani Jamur Tiram Putih pada Perusahaan Trisno

Insan Mandiri Mushroom (TIMMUSH) Desa Cibuntu, Kecamatan Ciampea,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat” membandingkan alat yang digunakan dalam

proses sterilisasi berupa kompor semawar ke kayu bakar. Hasil analisis titik impas

baik pada saat penelitian maupun setelah penelitian dilakukan menunjukkan

bahwa pergantian alat sterilisasi dari kompor semawar ke kayu bakar membuat

volume minimum penjualan jamur tiram putih menjadi lebih rendah dibandingkan

menggunakan kompor semawar. Alat sterilisasi kayu bakar memberikan

pendapatan atas biaya tunai lebih besar dibandingkan kompor semawar, selain itu

penggunaan kayu bakar juga dapat mengatasi terjadinya kelangkaan dan kenaikan

harga minyak tanah.

Pentingnya menganalisis saluran tataniaga pemasaran bertujuan untuk

membandingkan saluran tataniaga mana yang memberikan pendapatan yang lebih

besar, hal ini diperkuat oleh Sitanggang (2008) yang menganalisis usahatani dan

tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) di Kecamatan Tamansari

Kabupaten Bogor, dimana di perusahaan tersebut terdapat tiga saluran tataniaga

jamur tiram putih, saluran I dan saluran II jamur yang dihasilkan petani dijual di

wilayah Bogor, sedangkan saluran III dijual di wilayah luar Bogor. Dari hasil

analisis tersebut dapat diketahui bahwa R/C atas biaya total lebih besar pada

saluran III dibandingkan dengan saluran I dan II.

Ginting (2009) melakukan penelitian mengenai pengaruh risiko dalam

kegiatan budidaya jamur tiram putih yang dapat berpengaruh terhadap pendapatan

dan alternatif strategi yang akan dilakukan untuk mengatasi risiko produksi yang

terjadi. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor

menunjukan bahwa Cempaka Baru menghadapi risiko produksi sebesar 0,32 yang

(35)

19 tenaga kerja terampil, dan teknologi pengukusan yang digunakan. Strategi yang

diperlukan untuk penanganan risiko adalah strategi preventif, yaitu strategi yang

bertujuan untuk menghindari terjadinya risiko. Adapun tindakan preventif yang

dapat dilakukan yaitu, pertama meningkatkan kualitas perawatan dengan

meningkatkan intensitas penyiraman, membersihkan area yang dijadikan

kumbung untuk mencegah datangnya hama dan penyalit, mengembangkan

sumberdaya manusia dengan mengikuti pelatihan maupun penyuluhan mengenai

jamur tiram putih, dan menggunakan peralatan yang steril dalam melakukan

penyuntikan bibit murni ke dalam media tanam.

2.5.2 Penelitian Mengenai Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih

Studi kelayakan bisnis merupakan kegiatan untuk menilai besarnya

manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu kegiatan usaha dan dapat

menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan pengambilan keputusan mengenai

apakah suatu rencana bisnis diterima atau ditolak serta apakah akan menghentikan

atau mempertahankan bisnis yang sudah atau sedang dilaksanakan.

Dalam penelitian-penelitian terdahulu terkait studi kelayakan usaha

budidaya jamur tiram putih terkait permasalahan yang dihadapi yaitu menganalisis

aspek non finansial, dan finansial dengan membandingkan berbagai macam

skenario yang sudah dijalankan, serta analisis sensitivitas menggunakan switching

value. Penlitian Masruri (2010) berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram

Putih (Studi Kasus: Yayasan Paguyuban Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan

Pamijahan, Kabupaten Bogor) membandingkan skenario berupa membuat baglog

sendiri atau membeli baglog untuk budidaya. Nasution (2010) dalam

penelitiannya yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Jamur Tiram

Putih (Kasus Perusahaan X di Desa Cibitung Kulon, Kecamatan Pamijahan,

Bogor, Jawa Barat)" membandingkan tiga skenario proses sterilisasi

menggunakan kayu bakar atau gas, dan perkembangan usaha menggunakan modal

pinjaman. Herbowo (2011) menganalisis Kelayakan Pengembangan Usaha Jamur

Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus: Desa Tugu Selatan, Kecamatan

Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) dengan ketiga skenario yaitu menjual

(36)

20 dan jamur tiram putih segar. Selain itu, dalam ketiga penelitian dilakukan juga

analisis switching value usaha budidaya jamur tiram putih jika terjadi penurunan

harga jamur tiram putih dan peningkatan biaya variabel.

Penelitian terdahulu seperti yang dilakukan oleh Masruri (2010), Nasution

(2010) dan Herbowo (2011), memperoleh hasil penelitian usaha budidaya jamur

tiram putih layak dilakukan meskipun ada perbandingan dalam hasil perhitungan

kriteria investasi skenario mana yang lebih layak untuk diusahakan. Analisis

switching value yang dilakukan pada skenario-skenario tersebut diperoleh dua

parameter yang menyatakan penurunan harga produk lebih sensitif dibandingkan

kenaikan harga variabel.

Penelitian terdahulu juga memberikan informasi mengenai produktivitas

antar pelaku usaha di beberapa daerah mengingat budidaya jamur tiram memiliki

syarat tumbuh. Perbandingan produktivitas berdasarkan tempat budidaya dapat

dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Produktivitas Jamur Tiram Putih di Beberapa Tempat Penelitian

(37)

21 Berdasarkan penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa pada

umumnya jamur tiram putih layak untuk dijalankan namun pada setiap skenario

usaha yang dijalankan memberikan penerimaan yang berbeda. Penelitian ini

menganalisis aspek-aspek non finansial dan finansial membandingkan tiga

skenario yaitu sebelum pengembangan usaha (skenario I), dan setelah

pengembangan usaha baik menggunakan rangka bambu (skenario II) maupun

dengan rangka kayu (skenario III). Perbandingan sebelum pengembangan usaha

dan setelah pengembangan usaha juga dianalisis incremental net benefitnya, serta

berdasarkan pengalaman pelaku usaha penelitian ini menganalisis sensitivitas

yang sudah ditentukan persentase penurunan harga produk dan kenaikan variabel

produksinya.

Dari penelitian yang dilakukan Sari (2008), Sitanggang (2008) dan Connie

(2008) penulis menggunakan informasi mengenai usahatani dan pendapatan.

Sementara pada penelitian yang dilakukan oleh Masruri (2010), Nasution (2010)

dan Herbowo (2011) penulis menggunakan konsep dan informasi mengenai

kelayakan usaha yang dianalisis secara finansial maupun non finansial serta

skenario yang dilakukan. Penelitian Ginting (2009) dijadikan bahan untuk

memperoleh informasi mengenai sumber risiko pada usaha jamur tiram putih serta

tindakan preventif yang dapat dilakukan. Semua hasil penelitian terdahulu akan

digunakan sebagai pembanding penelitian ini. Dengan mengetahui kelayakan

usaha jamur tiram putih pada berbagai skenario, diharapkan akan memberikan

informasi apakah perlu adanya pengembangan usaha dan alternatif pengembangan

(38)

22 III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoretis

Kerangka pemikiran teoretis merupakan suatu penalaran peneliti yang

didasarkan pada pengetahuan, teori, dalil, dan proposisi untuk menjawab suatu

tujuan penelitian. Pengetahuan dapat diperoleh dari ilmu yang telah dipelajari

yang berasal dari sumber bacaan baik dari buku teks, jurnal, dan logika peneliti

yang telah terbangun dari pengalaman penelitian sebelumnya (Rachmania &

Burhanuddin, 2008). Berikut ini beberapa teori yang mendasari kerangka

pemikiran yang penulis lakukan.

3.1.1 Studi Kelayakan Bisnis

Bisnis adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan untuk memperoleh

keuntungan sesuai dengan tujuan dan target yang telah ditetapkan dalam berbagai

bidang, baik dalam jumlah maupun waktunya (Kasmir & Jakfar, 2012). Secara

umum bisnis merupakan suatu kegiatan yang membutuhkan biaya untuk

digunakan dalam menghasilkan barang dan atau jasa dengan harapan akan

memperoleh hasil atau keuntungan di kemudian hari. Menurut Kasmir dan Jakfar

(2012), agar tujuan suatu bisnis dapat dicapai hendaknya sebelum melakukan

investasi didahului dengan suatu studi untuk menilai apakah investasi yang

ditanamkan akan memberikan suatu manfaat atau tidak.

Menurut Umar (2007) studi kelayakan pada hakikatnya adalah suatu

metode penjajakan dari suatu gagasan tentang kemungkinan layak atau tidaknya

gagasan usaha tersebut dilaksanakan. Suatu proyek dikatakan layak apabila

proyek tersebut diperkirakan akan dapat menghasilkan keuntungan yang layak

apabila telah dioperasikan.

Menurut Ibrahim (2003), studi kelayakan bisnis adalah kegiatan untuk

menilai besarnya manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu

kegiatan usaha. Berdasarkan hal tersebut, studi kelayakan merupakan bahan

pertimbangan untuk melakukan pengambilan keputusan mengenai apakah suatu

rencana bisnis diterima atau ditolak serta apakah akan menghentikan atau

mempertahankan bisnis yang sudah atau sedang dilaksanakan (Nurmalina et al.

(39)

23 Studi kelayakan bisnis bertujuan untuk mengetahui tingkat benefit yang

dicapai dari suatu bisnis yang akan atau telah dijalankan, memilih alternatif bisnis

yang menguntungkan, dan menentukan prioritas investasi berdasarkan pada

alternatif bisnis yang menguntungkan tersebut. Selain itu, studi kelayakan bisnis

juga dapat digunakan untuk menghindari pemborosan sumberdaya (Nurmalina et

al, 2010).

Tujuan melakukan studi kelayakan adalah untuk menghindari kerugian

penanaman modal yang terlalu besar untuk kegiatan yang ternyata tidak

menguntungkan. Studi kelayakan memerlukan biaya, namun biaya tersebut relatif

lebih kecil apabila dibandingkan dengan risiko kegagalan suatu proyek yang

menyangkut investasi dalam jumlah besar (Husnan dan Muhammad, 2000).

Menurut Kasmir dan Jakfar (2012), lima tujuan studi kelayakan bisnis dilakukan

yaitu untuk menghindari risiko kerugian, memudahkan perencanaan,

memudahkan pelaksanaan pekerjaan, memudahkan pengawasan, dan

memudahkan pengendalian.

3.1.2 Investasi

Investasi di dalam perusahaan adalah penggunaan sumber-sumber yang

diharapkan akan memberikan imbalan (pengembalian) yang menguntungkan di

masa yang akan datang. Investasi pada prinsipnya adalah penggunaan sumber

keuangan atau usaha dalam waktu tertentu dari setiap orang yang menginginkan

keuntungan darinya. Dari sudut pandang jangka waktu penanamannya, investasi

dibagi dalam dua yaitu investasi jangka pendek biasanya kurang dari satu tahun

yang bertujuan untuk mendayagunakan atau memanfaatkan dana yang sementara

menganggur serta bersifat marketable (mudah untuk diperjualbelikan) dan

investasi jangka panjang yang ukuran jangka waktunya lebih dari satu tahun serta

tidak bersifat marketable karena investasi ini menyangkut kelangsungan hidup

usaha di masa yang akan datang (Suratman, 2002).

Menurut Suratman (2002), salah satu konsep investasi adalah

penganggaran modal karena penganggaran modal merupakan suatu konsep

penggunaan dana di masa yang akan datang yang diharapkan akan memberikan

(40)

24 sebagian besar investasi mencakup aktiva yang dapat didepresiasi dan keuntungan

atas sebagian besar investasi meluas di atas periode waktu yang panjang. Aktiva

yang dapat didepresiasi menunjukkan bahwa aktiva tersebut umumnya

mempunyai nilai jual kembali yang murah atau tidak mempunyai nilai jual

kembali pada akhir masa manfaatnya, sedangkan keuntungan atas sebagian besar

investasi meluas atas periode waktu yang panjang menunjukkan bahwa perlu

penggunaan teknik-teknik penilaian investasi yang mengakui nilai waktu uang.

Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), ada beberapa faktor yang

mempengaruhi intensitas studi kelayakan diantaranya adalah besar dana yang

ditanamkan, tingkat ketidakpastian proyek, dan kompleksitas elemen-elemen yang

mempengaruhi proyek. Semakin besar dana yang tertanam dalam proyek

investasi, semakin tidak pasti estimasi yang dibuat, dan semakin kompleks

faktor-faktor yang mempengaruhinya maka semakin intens atau mendalam penelitian

yang dilakukan. Dengan demikian apapun bentuk investasi yang akan dilakukan

diperlukan studi kelayakan meskipun intensitasnya berbeda. Hal ini dikarenakan

masa mendatang mengandung penuh ketidakpastian.

3.1.3 Biaya dan Manfaat

Dalam menganalisis suatu proyek, penyusunan arus biaya dan arus

manfaat sangat penting untuk mengukur besarnya nilai tambah yang diperoleh

dengan adanya proyek. Biaya didefinisikan sebagai segala sesuatu yang langsung

maupun tidak langsung mengurangi tujuan proyek atau bisnis, sedangkan manfaat

adalah segala sesuatu yang, baik langsung maupun tidak langsung, membantu

tercapainya suatu tujuan dari suatu proyek (Gittinger, 2008). Biaya dapat

dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Biaya modal, merupakan dana untuk investasi yang penggunaannya bersifat

jangka panjang. Contoh dari biaya modal adalah: tanah, bangunan dan

perlengkapannya, pabrik dan mesin-mesinnya, biaya pendahuluan sebelum

operasi, biaya penelitian, dan sebagainya.

2. Biaya operasional, disebut juga biaya modal kerja, merupakan kebutuhan dana

yang dikeluarkan pada saat proyek mulai dilaksanakan. Biaya ini didasarkan

(41)

25 Contoh dari biaya operasional adalah biaya bahan mentah, tenaga kerja, biaya

perlengkapan, dan biaya penunjang.

3. Biaya lainnya, merupakan biaya yang terlibat dalam pendanaan suatu proyek,

seperti pajak, bunga pinjaman, dan asuransi.

Di sisi lain menurut Nurmalina et al (2010), manfaat terdiri dari tiga

macam, yaitu:

1. Tengible benefit, yaitu manfaat yang dapat diukur karena adanya peningkatan

produksi, perbaikan kualitas produk, perubahan waktu dan lokasi penjualan,

perubahan bentuk produk, mekanisasi pertanian, dan pengurangan biaya

transportasi.

2. Indirect of secondary benefit, yaitu manfaat yang dirasakan di luar bisnis itu

sendiri sehingga mempengaruhi keadaan eksternal di luar bisnis.

3. Intangible benefit, yaitu suatu manfaat yang riil ada tapi sulit diukur seperti

bisnis pertamanan yang memberikan manfaat berupa keindahan, kenyamanan,

dan kesehatan.

Kriteria yang biasa digunakan sebagai dasar persetujuan atau penolakan

suatu proyek yang dilaksanakan adalah kriteria investasi (Gittinger, 2008).

3.1.4 Aspek-Aspek Studi Kelayakan Bisnis

Dalam studi kelayakan bisnis memiliki berbagai aspek yang harus diteliti,

diukur, dan dinilai. Menurut Nurmalina et al. (2010), dalam studi kelayakan bisnis

terdapat dua kelompok aspek yang perlu diperhatikan yaitu aspek non finansial

dan aspek finansial. Aspek non finansial terdiri dari aspek pasar, aspek teknis,

aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspek

lingkungan. Masing-masing aspek tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa jika salah satu aspek tidak dipenuhi maka perlu

dilakukan perbaikan atau tambahan yang diperlukan (Kasmir & Jakfar, 2012).

3.1.4.1 Aspek Pasar

Menurut Gittinger (2008) pengajian aspek pasar harus dimulai paling awal

karena ada tidaknya pasar yang cukup menarik dari produk yang dihasilkan

Gambar

Tabel 9. Kelas Awet Kayu
Tabel 10. Produktivitas Jamur Tiram Putih di Beberapa Tempat Penelitian
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian
Tabel 18. Jenis Investasi, Penyusutan, dan Nilai Sisa Skenario I
+7

Referensi

Dokumen terkait

Judul Laporan Akhir Analisis Pemasaran Jamur Tiram Putih (Pleuratus ostreatus) di Wilayah Bogor, Jawa Barat.. Nama Mahasiswa

Terkait dengan hal tersebut, jika usaha budidaya jamur tiram putih pada Usaha Jamur Mandiri dinyatakan layak untuk dikembangkan, maka usaha tersebut akan dikembangkan.Akan tetapi,

Judul Laporan Akhir Analisis Pemasaran Jamur Tiram Putih (Pleuratus ostreatus) di Wilayah Bogor, Jawa Barat.. Nama Mahasiswa

Hasil uji organoleptik terhadap rasa nugget jamur tiram yang dihasilkan menunjukkan bahwa rasa produk nugget jamur tiram yang lebih disukai oleh panelis yaitu

Hasil uji organoleptik terhadap kesukaan keseluruhan nugget jamur tiram yang dihasilkan menunjukkan bahwa keseluruhan produk nugget jamur tiram yang lebih disukai oleh panelis

Sedangkan substitusi jamur tiram putih pada perlakuan P 5 (jamur tiram putih 90% dan tepung tapioka 10%) yang tertinggi menyebabkan terjadinya peningkatan akumulasi

Daya simpan jamur tiram putih (JTP) sendiri mudah sekali rusak setelah dipanen. Hal ini disebabkan jamur tiram putih memiliki kadar air cukup tinggi, maka perlu

Penerimaan usahatani jamur tiram putih adalah nilai produk total dari usahatani jamur tiram yang diterima oleh petani, penerimaan dihitung dengan mengalikan jumlah produksi jamur tiram