i
ANALISIS KELAYAKAN USAHA
JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus)
(Studi Kasus : Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
SKRIPSI
Oleh :
DEWI MULYAWATI H34104036
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
RINGKASAN
DEWI MULYAWATI. Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih
(Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus: Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan POPONG NURHAYATI).
Jamur merupakan salah satu jenis tanaman sayuran yang dapat memberikan kontribusi yang besar sebagai penyumbang nilai Produk Domestik Bruto nasional dan dapat dikembangkan serta diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan memperbaiki keadaan gizi masyarakat. Jamur tiram putih memiliki kandungan gizi lebih bagus dibandingkan dengan jenis jamur lainnya maupun hewani, hal ini menyebabkan permintaan jamur yang terus meningkat setiap tahunnya sehingga pemerintah melakukan impor untuk menanggulangi ketimpangan penawaran dan permintaan jamur dalam negeri. Prospek pasar yang tinggi tersebut merangsang pengusaha salah satunya Kumbung Jamur D & D yang berada di Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor untuk menekuni atau meningkatkan produksi budidaya jamur tiram putih.
Saat ini pelaku usaha jamur tiram putih Kumbung Jamur D & D belum mampu memenuhi permintaan jamur tiram putih segar secara keseluruhan. Hal tersebut menyebabkan pelaku usaha akan melakukan pengembangan usaha dengan meningkatkan skala produksinya yaitu memperluas kumbung. Pengembangan usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan modal gabungan. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kelayakan usaha baik secara non finansial maupun finansial terhadap tiga skenario, yaitu kondisi Kumbung Jamur D & D sebelum perkembangan usaha (skenario I), dan setelah pengembangan usaha baik membangun kumbung menggunakan bahan bambu (skenario II) maupun menggunakan bahan kayu (skenario III).
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung jamur D & D dilihat dari aspek non finansial, menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung jamur D & D dilihat dari aspek finansial, dan menganalisis sensitivitas kelayakan usaha jamur tiram putih Kumbung Jamur D & D terhadap penurunan harga jamur tiram segar dan kenaikan harga serbuk kayu.
Data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pemilik sekaligus manajer dan karyawan Kumbung Jamur D & D, serta masyarakat umum di sekitar lokasi penelitian. Data sekunder yang berguna untuk melengkapi informasi dalam penelitian ini diperoleh dari data internal di Kumbung Jamur D & D maupun diperoleh dari instansi-instansi yang terkait. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan menggunakan kuisioner, konsultasi, dialog, dan pengamatan langsung serta melalui penelurusan pustaka ataupun literatur. Data dan informasi yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif yang diolah dengan
menggunakan bantuan komputer, yakni program Microsoft Excel 2010. Analisis
iii
pengembangan usaha jamur tiram putih secara finansial. Penilaian kelayakan secara finansial dilakukan dengan melakukan perhitungan kriteria investasi yang
terdiri dari NPV, Net B/C, IRR, payback period dan Incremental Net benefit.
Selain itu, dilakukan juga analisis sensitivitas untuk mencari perubahan maksimum yang dapat ditolerir agar usaha masih dapat dilaksanakan dan masih memberikan keuntungan normal.
Aspek non finansial yang terdiri dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial ekonomi budaya, dan aspek lingkungan menunjukkan bahwa usaha ini layak untuk dijalankan. Hal ini dikarenakan usaha jamur tiram putih ini memiliki peluang pasar yang tinggi, kondisi iklim lokasi yang cocok untuk usaha jamur tiram putih, sarana prasarana usaha yang memadai serta usaha jamur tiram putih ini memberikan dampak yang baik secara sosial ekonomi budaya dan lingkungan sekitar usaha.
Berdasarkan aspek finansial, kriteria kelayakan investasi usaha jamur tiram putih menunjukkan bahwa ketiga skenario yaitu yaitu kondisi Kumbung Jamur D & D sebelum perkembangan usaha (skenario I), dan setelah pengembangan usaha baik membangun kumbung menggunakan bahan bambu (skenario II) maupun menggunakan bahan kayu (skenario III) layak untuk dijalankan. Hal ini disebabkan ketiga skenario memiliki nilai NPV lebih besar dari
nol, nilai Net B/C lebih besar dari satu, IRR lebih besar dari discount rate yang
digunakan dan payback period berada sebelum umur usaha berakhir. Pada
skenario I (kondisi sebelum pengembangan) diperoleh nilai NPV sebesar Rp 160.907.357,82, nilai Net B/C sebesar 1,87, nilai IRR sebesar 32 persen, dan DPP selama 2 tahun, 4 bulan, 17 hari. Pada Skenario II (Rencana pengembangan kapasitas kumbung jamur tiram dengan menggunakan rangka bambu) diperoleh nilai NPV sebesar Rp 732.608.064,89, nilai Net B/C sebesar 2,71, nilai IRR sebesar 56 persen, dan DPP selama 1 tahun, 7 bulan, 28 hari. Pada skenario III (Rencana pengembangan kapasitas kumbung jamur tiram dengan menggunakan rangka kayu) menghasilkan nilai NPV sebesar Rp 1.156.134.833,42, nilai Net B/C sebesar 2,85, nilai IRR sebesar 36 persen, dan DPP selama 1 tahun, 10 bulan 3 hari.
Analisis sensitivitas yang dilakukan pada skenario-skenario yang digunakan diperoleh adanya penurunan harga jual jamur tiram sebesar 20 persen dan kenaikan harga serbuk kayu sebesar 10 persen tidak mempengaruhi usaha jamur tiram pada masing-masing skenario. Hasil analisis kelayakan finansial
incremental net benefit menunjukkan manfaat bersih dari hasil kriteria investasi
iv
ANALISIS KELAYAKAN USAHA
JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus)
(Studi Kasus: Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
DEWI MULYAWATI H34104036
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
v
Judul : Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus
ostreatus) (Studi Kasus : Kumbung Jamur D & D, Kecamatan
Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Nama : Dewi Mulyawati
NRP : H34104036
Disetujui, Pembimbing
Ir. Popong Nurhayati, MM NIP. 19670211 199203 2 002
Mengetahui
Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
vi
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ” Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus : Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2012
Dewi Mulyawati
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 28 September 1988. Penulis
adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Samhudin dan Ibu
Enah Heniawati.
Penulis memulai pendidikan di SD Negeri Cijati dan lulus pada tahun
2001. Pendidikan tingkat menengah diselesaikan penulis pada tahun 2004 pada
SLTP Negeri 1 Situraja. Pendidikan tingkat atas diselesaikan penulis pada tahun
2007 pada SMU Negeri 1 Sumedang. Pada tahun 2007, penulis diterima di
Universitas Padjadjaran, pada Program Studi Diploma III Manajemen Agribisnis,
Fakultas Pertanian dan selesai pada tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan pada Program Alih Jenis Agribisnis, Fakultas Ekonomi
viii
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kelayakan
Pengembangan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus
Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat)”.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha budidaya
jamur tiram putih pada aspek non finansial yang terdiri dari aspek pasar, aspek
teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial ekonomi budaya, dan aspek
lingkungan, menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih pada
aspek finansial dengan menggunakan kriteria investasi, yaitu Net Present Value
(NPV), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), Payback
Period (PP), dan Incremental Net Benefit pada tiga skenario yaitu sebelum
pengembangan, dan setelah pengembangan menggunakan rangka bambu maupun
dengan kayu, serta menganalisis sensitivitas pengembangan usaha untuk melihat
dampak suatu perubahan keadaan pada hasil analisis kelayakan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan skripsi ini. Namun demikian, sangat disadari masih
terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Semoga
skripsi ini dapat memberikan dukungan kontribusi pemikiran bagi semua pihak
yang berkepentingan.
Bogor, Desember 2012
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagi pihak sebagai bentuk
rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terimakasih dan
penghargaan kepada:
1. Ir. Popong Nurhayati, MM selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan,
waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan
skripsi.
2. Ir. Joko Purwono, MS selaku dosen penguji utama dan Rahmat Yanuar, SP,
MSi selaku dosen penguji dari wakil Departemen Agribisnis pada ujian sidang
penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran
demi perbaikan skripsi ini.
3. Ibu Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen evaluator pada kolokium yang telah
memberikan koreksi dan saran demi perbaikan skripsi.
4. Bapak Ir. Burhanudin, MM yang telah menjadi pembimbing akademik dan
seluruh dosen serta staf Departemen Agribisnis.
5. Orang tua dan keluarga tercinta untuk setiap dukungan dan doa yang
diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik.
6. Bapak Danang Widagdo beserta karyawan Kumbung Jamur D & D atas
waktu, kesempatan, informasi dan dukungan yang diberikan.
7. Pihak Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Direktorat Jenderal
Hortikultura, dan Badan Pusat Statistik atas informasi yang diberikan kepada
penulis berkaitan dengan penyusunan skripsi ini.
8. Astri Widiyawati selaku pembahas seminar, terima kasih atas masukan dan
dukungan selama penulis menyelesaikan skripsi.
9. Teman-teman seperjuangan di Alih Jenis 1 Agribisnis Merizka, Hairia, Zulfi,
dan Rino atas semangat dan sharing selama penelitian hingga penulisan
skripsi, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
terimakasih atas bantuannya.
Bogor, Desember 2012
x
2.2 Perkembangan Jamur Tiram Putih di Indonesia ... 11
xi
4.4.6. Asumsi-Asumsi yang Digunakan dalam Penelitian ... 43
V. GAMBARAN UMUM ... 46
6.1.1.1 Permintaan dan Penawaran Jamur Tiram Putih 49
6.1.1.2 Strategi Pemasaran ... 50 6.1.4 Aspek Sosial, Ekonomi, Budaya dan Lingkungan ... 62
xii
6.2.8 Analisis Sensitivitas ... 86
6.2.9 Hasil Analisis Aspek Finansial ... 88
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91
7.1 Kesimpulan ... 91
7.2 Saran ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 93
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Komoditas Hortikultura
Indonesia Berdasarkan Harga Berlaku di Indonesia Tahun
2005-2009... 1
2. Perbandingan kandungan Gizi jamur dengan bahan Makanan Lain per 100 gram (dalam %) ... 2
3. Produksi dan Konsumsi Jamur di Indonesia Tahun 2008-2010 .. 2
4. Volume Impor Jamur Tahun 2008-2010 ... 3
5. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jamur Tiram Putih di Pulau Jawa Tahun 2010 ... 3
6. Posisi Demografi Budidaya Jamur Tiram Putih di Beberapa Wilayah di Kabupaten Bogor ... 4
7. Konsumsi Jamur Tiram pada Kota-kota Besar Tahun 2009 ... 5
8. Permintaan Jamur Pelanggan Kumbung Jamur D & D per Bulan 6 9. Kelas Awet Kayu ... 17
10. Produktivitas Jamur Tiram Putih di Beberapa Tempat Penelitian 20 11. Perkembangan Produksi Jamur di Jawa Barat Tahun 2004-2009 51 12. Perhitungan Proyeksi Perkembangan Jamur di Jawa Barat ... 51
13. Kebutuhan Bahan Baku Kumbung Jamur D & D per 15.000 Baglog ... 54
14. Komposisi Substrat Tanaman Jamur Kumbung Jamur D & D .. 56
15. Penerimaan Skenario I (dalam Rp)... 64
16. Penerimaan Skenario II (dalam Rp) ... 65
17. Penerimaan Skenario III (dalam Rp) ... 66
18. Jenis Investasi, Penyusutan, dan Nilai Sisa Skenario I ... 68
19. Jenis Investasi, Penyusutan, dan Nilai Sisa Skenario II ... 69
20. Jenis Investasi, Penyusutan, dan Nilai Sisa Skenario III ... 70
21. Biaya Tetap Kumbung Jamur D & D Skenario I (dalam Rp) ... 73
22. Biaya Variabel Kumbung Jamur D & D Skenario I... 74
23. Biaya Variabel Kumbung Jamur D & D Skenario II ... 75
24. Biaya Variabel Kumbung Jamur D & D Skenario III ... 76
xiv
26. Konsep Perhitungan Pokok Pinjaman, Biaya Bunga, dan Sisa
Pokok Pinjaman Skenario II ... 77
27. Konsep Perhitungan Pokok Pinjaman, Biaya Bunga, dan Sisa
Pokok Pinjaman Skenario III ... 78
28. Pajak Penghasilan Kumbung Jamur D & D (dalam Rp) ... 78
29. Laba Bersih Kumbung Jamur D & D (dalam Rp) ... 79
30. Kriteria Kelayakan Investasi Kumbung Jamur D & D Skenario I 81
31. Kriteria Kelayakan Investasi Kumbung Jamur D & D Skenario
II ... 82
32. Kriteria Kelayakan Investasi Kumbung Jamur D & D Skenario
III ... 83
33. Hasil Kelayakan Finansial Pengembangan dengan Penambahan
Kapasitas Kumbung 45.000 Baglog Menggunakan Rangka
Bambu (Incremental Net Benefit) ... 85
34. Hasil Kelayakan Finansial Pengembangan dengan Penambahan
Kapasitas Kumbung 45.000 Baglog Menggunakan Rangka Kayu
(Incremental Net Benefit) ... 86
35. Analisis Sensitivitas Kumbung Jamur D & D terhadap Penurunan
Harga Jamur 20 persen ... 88
36. Analisis Sensitivitas Kumbung Jamur D & D terhadap Kenaikan
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ... 34
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Layout Lokasi Usaha ... 97
2. Kegiatan Produksi Jamur Tiram Putih Kumbung Jamur D & D 98 3. Siklus Produksi Jamur Tiram Putih Kumbung Jamur D & D ... 100
4. Analisis Laba Rugi Skenario I (dalam Rp) ... 101
5. Analisis Laba Rugi Skenario II (dalam Rp) ... 102
6. Analisis Laba Rugi Skenario III (dalam Rp) ... 103
7. Cashflow Skenario I (dalam Rp) ... 104
8. Cashflow Skenario II (dalam Rp) ... 105
9. Cashflow Skenario III (dalam Rp) ... 106
10. Analisis Sensitivitas Skenario I (Penurunan Harga Jamur 20%) 108 11. Analisis Sensitivitas Skenario I (Kenaikan Harga Serbuk Kayu 10%) ... 109
12. Analisis Sensitivitas Skenario II (Penurunan Harga Jamur 20%) 110 13. Analisis Sensitivitas Skenario II (Kenaikan Harga Serbuk Kayu 10%) ... 111
14. Analisis Sensitivitas Skenario III (Penurunan Harga Jamur 20%) 112 15. Analisis Sensitivitas Skenario III (Kenaikan Harga Serbuk Kayu 10%) ... 114
16. Incremental Net Benefit Penambahan Kapasitas Kumbung Menggunakan Rangka Bambu ... 116
17. Incremental Net Benefit Penambahan Kapasitas Kumbung Menggunakan Rangka Kayu ... 117
1
I. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Subsektor hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang
memberikan kontribusi strategis dalam menyumbang nilai Produk Domestik
Bruto (PDB) Indonesia dan berperan penting dalam perekonomian nasional
dengan kecenderungan pertumbuhan yang naik atau meningkat. Komoditas
tanaman hortikultura di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok
besar, yaitu sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman biofarmaka.
Kontribusi masing-masing komoditas hortikultura bagi perekonomian Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto (PBD) Komoditas Hortikultura Indonesia Berdasarkan Harga Berlaku di Indonesia Tahun 2005-2009
Kelompok Hortikultura
Nilai PDB (Milyar Rp)
2005 2006 2007 2008 2009
Sayuran 22.629,88 24.694,25 25.587,03 28.205,27 30.505,71
Trend (%) 9,12 3,62 10,23 8,16
Buah-buahan 31.694,39 35.447,59 42.362,48 47.059,78 48.436,70
Trend (%) 11,84 19,51 11,09 2,93
Tanaman Hias 4.662,11 4.734,27 4.104,87 3.852,67 3.896,90
Trend (%) 1,55 0,14 7,25 1,15
Tanaman Biofarmaka 2.806,06 3.762,41 4.740,92 5.084,78 5.494,24
Trend (%) 34,08 9,10 -6,14 8,05
Total Hortikultura 61.792,44 68.638,53 76.795,30 84.202,50 88.333,56
Trend (%) 11,08 11,88 9,65 4,91
Rata-rata Peningkatan PDB Hortikultura (%) 9,24
Sumber: Departemen Pertarnian, 2010
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 1 dapat diketahui pada periode
2005 hingga 2009 menunjukkan peningkatan yang positif setiap tahunnya.
Rata-rata peningkatan PDB Hortikultura sebesar 9,24 persen yang disebabkan
pembangunan pertanian di bidang pangan khususnya hortikultura pada saat ini
ditujukan untuk lebih memantapkan swasembada pangan, meningkatkan
pendapatan masyarakat, memperbaiki keadaan gizi melalui penganekaragaman
jenis bahan makanan.
Salah satu komoditas hortikultura yang telah memberikan kecenderungan
peningkatan yang positif yaitu komoditas sayuran. Indonesia yang secara umum
sebagai salah satu negara yang beriklim tropis mempunyai potensi yang cukup
2 kontribusi yang signifikan bagi kemajuan perekonomian Indonesia. Hal tersebut
dapat dilihat dari perkembangan PDB sayuran periode 2005 hingga 2009. Pada
tahun 2005 nilai PDB sayuran adalah sebesar 22,629 milyar dan terus meningkat
hingga mencapai 30,505 milyar pada tahun 2009.
Salah satunya produk sayuran yang dapat dikembangkan dan diarahkan
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperbaiki keadaan gizi
melalui penganekaragaman jenis bahan makanan yaitu jamur. Jamur tiram
memiliki kandungan gizi lebih bagus dibandingkan dengan jenis jamur lainnya
maupun sumber gizi pangan hewani (Direktorat Jenderal Hortikultura 2006). Hal
ini menyebabkan perkembangan produksi dan konsumsi jamur di Indonesia
mengalami peningkatan yang dapat dilihat dari data pada Tabel 2.
Tabel 2. Produksi dan Konsumsi Jamur di Indonesia Tahun 2008-2010
Tahun Produksi Konsumsi
Ton Trend (%) Ton Trend (%)
2008 43,047 - 45,151
-2009 38,465 -0.106 47,528 0.052
2010 61,370 0.595 52,281 0.100
Rata-rata 47,627 0.244 48,320 0.076
Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura, 2012
Produksi jamur mengalami peningkatan rata-rata setiap tahunnya 0,244
persen walaupun pada tahun 2009 mengalami penurunan produksi, sedangkan
konsumsi jamur setiap tahunnya mengalami peningkatan dengan rata-rata
peningkatan 0,076 persen, hal tersebut didorong dari kandungan gizi yang dimiliki
jamur cukup bagus. Pada Tabel 3 terlihat bahwa jamur tiram memiliki kandungan
protein dan karbohidrat yang lebih tinggi daripada daging sapi, namun kandungan
lemaknya jauh lebih rendah.
Tabel 3. Perbandingan Kandungan Gizi Jamur dengan Bahan Makanan Lain per 100 gram (dalam %)
Bahan Makanan Protein Lemak Karbohidrat
Jamur merang 1,8 0,3 4,0
Jamur tiram putih 27 1,6 58,0
Jamur kuping 8,4 0,5 82,8
Daging sapi 21 5,5 0,5
Bayam - 2,2 1,7
Kentang 2,0 - 20,9
Kubis 1,5 0,1 4,2
Seledri - 1,3 0,2
Buncis - 2,4 0,2
3 Adanya ketimpangan antara produksi dan konsumsi jamur yang
diakibatkan permintaan jamur terus meningkat yang menyebabkan pemerintah
melakukan impor jamur. Volume impor jamur setiap tahunnya mengalami
peningkatan sebesar 0,099 persen (Tabel 4).
Tabel 4. Volume Impor Jamur Tahun 2008-2010
Tahun Jumlah Impor
Ton Trend (%)
2008 3.432
2009 4.081 0.189
2010 4.120 0.009
Rata-rata 3.877 0.099
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, 2012
Jamur tiram merupakan salah satu jamur yang cukup dikenal dan digemari
oleh masyarakat karena dapat dikonsumsi dalam keadaan mentah dan segar,
dalam bentuk masakan maupun dalam bentuk olahan (Rahmat dan Nurhidayat,
2011). Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006) Jamur tiram memiliki
beberapa jenis yaitu jamur tiram putih, jamur tiram abu-abu, jamur tiram coklat,
dan jamur tiram merah. Jenis yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia
adalah jamur tiram putih, selain rasanya yang lebih lezat masyarakat juga lebih
menyukai dan mengenal jamur tiram putih dibandingkan dengan jenis jamur tiram
yang lain. Jamur tiram putih dapat diproduksi sepanjang tahun dalam areal yang
relatif sempit, sehingga merupakan alternatif yang cukup baik dalam rangka
memanfaatkan lahan pekarangan. Selain itu, budidaya jamur tiram tidak
menggunakan bahan kimia atau pupuk anorganik sehingga tidak merusak
lingkungan.
Tabel 5. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jamur Tiram Putih di Pulau Jawa Tahun 2010
No. Propinsi Luas Panen
(Ha) Produksi (Ton)
Produktivitas (kwintal/Ha)
1. Jawa Barat 324.67 19,623.16 60.4
2. Jawa Tengah 15.21 1,189.38 78.2
3. Daerah Istimewa Yogyakarta 7.46 804.96 107.9
4. Jawa Timur 330.84 39,472.91 119.3
5. Banten 1.50 116.70 77.8
Sumber : Kementrian Pertanian, 2012
Pulau Jawa merupakan salah satu sentra produksi jamur tiram putih di
4 Pulau Jawa yang menghasilkan jamur tiram putih. Jawa Barat merupakan provinsi
di pulau Jawa yang memiliki luas panen yang cukup besar dibandingkan beberapa
daerah lainnya, tetapi memiliki tingkat produktivitas yang paling rendah. Kondisi
tersebut diduga dikarenakan para petani dalam melakukan usahatani jamur tiram
putih pada umumnya masih bersifat tradisional dan tergolong usahatani kecil.
Jawa Barat sendiri memiliki beberapa sentra penghasil jamur tiram salah
satunya yaitu di Kabupaten Bogor karena wilayah Kabupaten Bogor sangat cocok
dijadikan sebagai lokasi budidaya jamur tiram, menurut Direktorat Jenderal
Hortikultura (2006) lokasi yang memenuhi syarat tumbuh jamur yaitu memiliki
ketinggian 700 meter di atas laut dan memiliki temperatur ideal untuk
pertumbuhan jamur tiram yaitu 22 sampai 28 derajat celcius. Pada ketinggian
tersebut pertumbuhan jamur tiram tidak terpengaruh pada cuaca atau musim, baik
musim hujan maupun musim kemarau. Hal ini bisa dilihat keadaan di beberapa
kecamatan penghasil jamur tiram segar yang berada di Kabupaten Bogor (Tabel
6).
Tabel 6. Posisi Demografi Budidaya Jamur Tiram Putih di Beberapa Wilayah di Kabupaten Bogor
Wilayah
Bogor Kecamatan Keadaan Lokasi
Barat Pamijahan 750 sampai 1.050 meter di atas permukaan laut, dengan suhu 25 sampai 30 derajat celcius
Ciampea 600 meter di atas permukaan laut, suhu rata-rata 280 derajat celcius dan kelembaban 70 persen
Tengah Cisarua 1200 meter di atas permukaan laut, suhu rata-rata 26derajat celcius, dan curah hujan 2400 mm per tahun
Tamansari 700 meter di atas permukaan laut, dengan suhu rata-rata 25sampai 30derajat celcius Bojonggede 182 meter di atas permukaan laut, dengan
suhu rata-rata 24,9 sampai 25,8derajat celcius dan curah hujan 2500 mm per tahun.
Sumber : Diperoleh dari berbagai sumber, 2012
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat dari beberapa lokasi budidaya jamur
tiram di dua kecamatan di Kabupaten Bogor terlihat bahwa lokasi tersebut sesuai
dengan syarat tumbuh jamur, akan tetapi daerah Bojonggede berada di ketinggian
5 jamur. Di Kecamatan Bojonggede terdapat tiga pelaku usaha budidaya penghasil
jamur tiram putih segar dan salah satunya yaitu Kumbung Jamur D & D yang baru
berdiri pada bulan Mei 2011. Jika dibandingkan dua pelaku usaha lainnya
Kumbung Jamur D & D memiliki jarak yang lebih dekat dengan pasar karena
lokasinya yang berada di belakang Pasar Bojonggede. Dalam perkembangan
usahanya Kumbung Jamur D & D memerlukan studi kelayakan usaha untuk
pengembangan perusahaan kedepannya baik dari aspek non finansial maupun
finansial.
1.2Perumusan Masalah
Kumbung Jamur D & D yang dimiliki oleh M. Danang yang baru berdiri
pada bulan Mei 2011 didirikan berdasarkan permintaan jamur tiram yang terus
meningkat setiap tahunnya. Kabupaten Bogor yang merupakan sentra jamur tiram
dan memiliki banyak pelaku usaha budidaya jamur tiram yang sudah besar dan
kebanyakan diproduksi untuk memenuhi kebutuhan jamur di beberapa kota yang
tingkat kebutuhan jamurnya tinggi dan belum memenuhi permintaan jamur di
kabupaten Bogor sendiri. Beberapa daerah yang tingkat kebutuhan akan jamur
tiram cukup tinggi terdapat pada kota-kota besar seperti Bogor, Tangerang,
Cianjur, Bekasi, Tasikmalaya dan Jakarta seperti pada Tabel 7.
Tabel 7. Konsumsi Jamur Tiram pada Kota-kota Besar 2009
No Kota Konsumsi Per hari per kilogram
1 Bogor 150
2 Tangerang 3.000
3 Cianjur 200
4 Bekasi 3.000
5 Tasikmalaya 300
6 Jakarta 9.000
Sumber: AgroMedia (2011)
Awal memulai usaha Kumbung Jamur D & D hanya menjual jamur
segarnya kepada pedagang sayur keliling, namun dalam perkembangannya
permintaan justru datang dari pedangan sayur dari Pasar Bojonggede dan Pasar
Induk Warung Jambu, permintaan dari kedua pasar tersebut terus meningkat
sehingga pelaku usaha tidak menjual jamur segarnya ke pedagang keliling. Saat
ini permintaan jamur tiram berasal dari dua pedagang sayur yang berada Pasar
6 Tabel 8. Permintaan Jamur Pelanggan Kumbung Jamur D & D per hari
Pelanggan Rata-rata permintaan (kg)
Rata-rata permintaan yang biasa dipenuhi oleh Kumbung Jamur D & D
(kg) Bapak Aceng
(Pasar Bojonggede)
30 18
Ibu Yus
(Pasar Bojonggede)
25 15
(Pasar Induk Warung Jambu)
80 8
Pedagang Olahan Jamur Tiram
20 4
Sumber : Kumbung Jamur D & D
Dari data pada Tabel 8 terlihat bahwa Kumbung D & D baru bisa
memenuhi sekitar 29 persen permintaan pasar. Tidak terpenuhinya permintaan
tersebut dikarenakan keterbatasan kumbung yang dimiliki oleh Kumbung D & D.
Ukuran kumbung yang dimiliki oleh Kumbung Jamur D & D saat ini yaitu 8 x 12
meter dan berkapasitas 15.000 baglog. Oleh karena itu untuk memenuhi kelebihan
permintaan, pihak Kumbung D & D berencana untuk meningkatkan skala
produksinya dengan memperluas kumbung menjadi 45.000 baglog. Rencana
pengembangan usaha dengan memperluas kumbung tersebut didasarkan pada
keterbatasan lahan yang dimiliki oleh pemilik usaha yaitu seluas 16 x 25 meter
yang hanya bisa dibangun kumbung berkapasitas 30.000 baglog.
Rencana pembangunan kumbung dilakukan menggunakan modal
gabungan antara modal sendiri dan modal pinjaman. Modal pinjaman diperoleh
dari empat orang penanam modal, dimana 30 persen dari laba bersih yang
dihasilkan nantinya akan diberikan sebagai imbalan kepada empat orang penanam
modal tersebut. Rencana pengembangan usaha diharapkan dapat memenuhi
permintaan yang berlebih.
Pengembangan usaha yang akan dilakukan pada Kumbung Jamur D & D
dihadapkan pada pilihan rangka bangunan yang akan digunakan, antara
menggunakan bahan yang sederhana dari bambu dan yang semi permanen dari
kayu. Hal ini mengingat bahwa lokasi usaha berada di ketinggian 182 meter di
atas permukaan laut yang kurang cocok dengan syarat tumbuh jamur sehingga
diperlukan arsitektur rangka kumbung yang lebih tinggi dibandingkan kumbung
7 memerlukan bahan rangka yang lebih banyak. Bahan yang digunakan untuk
membangun rangka kumbung tersebut juga dapat menentukan umur teknis
bangunan kumbung dan besarnya keuntungan yang akan diperoleh oleh Kumbung
Jamur D & D. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai
kelayakan usaha baik secara non finansial maupun finansial terhadap kedua jenis
pilihan rangka bangunan kumbung.
Analisis finansial yang akan dilakukan yaitu membandingkan kondisi
Kumbung Jamur D & D sebelum perkembangan usaha (skenario I), dan setelah
pengembangan usaha baik membangun kumbung menggunakan bahan bambu
(skenario II) maupun menggunakan bahan kayu (skenario III). Analisis kelayakan
yang dilakukan nantinya akan memberikan alternatif rencana pengembangan yang
menghasilkan manfaat lebih baik.
Pelaku usaha Kumbung Jamur D & D harus memperhatikan
perubahan-perubahan yang terjadi yang berdampak pada keuntungan yang akan diperoleh
dan kelayakan usahanya. Berdasarkan pengalaman pelaku usaha
perubahan-perubahan yang perlu diperhatikan yaitu penurunan harga produk dan kenaikan
serbuk kayu. Penurunan harga jamur tiram putih terjadi mengingat struktur pasar
pada usaha jamur tiram putih merupakan pasar persaingan sempurna, yang tidak
menutup kemungkinan munculnya pesaing-pesaing yang memasuki usaha
budidaya jamur tiram putih yang akan berdampak pada penurunan harga produk.
Kenaikan harga yang akan dianalisis yaitu harga serbuk kayu. Serbuk kayu
merupakan media jamur tiram yang paling utama dalam budidaya jamur tiram
putih, Kumbung jamur D & D yang memproduksi baglog sendiri sampai saat ini
belum memiliki kontrak dengan penyedia serbuk kayu sehingga pelaku usaha
harus mencari serbuk kayu ke beberapa tempat yang harganya ditentukan tempat
penyedia serbuk kayu dan tidak menutup kemungkinan harga serbuk kayu naik.
Oleh karena itu diperlukan analisis sensitivitas terhadap kelayakan usaha
Kumbung jamur D & D apabila terjadi perubahan harga.
Berdasarkan gambaran usaha yang telah dipaparkan, maka perumusan
8
1. Bagaimana kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung
jamur D & D dilihat dari aspek non finansial mengingat bahwa lokasi usaha
berada di lokasi yang kurang sesuai dengan syarat tumbuh jamur?
2. Bagaimana kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung
jamur D & D dilihat dari aspek finansial, hal ini dikarenakan modal yang
digunakan berupa modal gabungan, besarnya investasi dan umur usaha yang
berbeda?
3. Bagaimana analisis sensitivitas kelayakan usaha jamur tiram putih Kumbung
Jamur D & D terhadap penurunan harga jamur tiram segar karena usaha ini
berada di pasar persaingan sempurna dan kenaikan harga serbuk kayu yang
disebabkan pelaku usaha belum bekerjasama dengan penyedia bahan baku
serbuk kayu ?
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan,
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung
jamur D & D dilihat dari aspek non finansial.
2. Menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung
jamur D & D dilihat dari aspek finansial.
3. Menganalisis sensitivitas kelayakan usaha jamur tiram putih Kumbung Jamur
D & D terhadap penurunan harga jamur tiram segar dan kenaikan harga serbuk
kayu.
1.4Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
1. Pemilik usaha, dapat memberikan masukan yang bermanfaat dalam kelayakan
pengembangan budidaya jamur tiram putih.
2. Investor diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan yang berguna
apakah dana yang ditanamkan akan memberikan keuntungan atau tidak, dan
dapat dijadikan dasar bagi investor untuk membuat keputusan investasi lebih
9
3. Akademisi, penelitian ini sebagai informasi dan bahan pembanding untuk
penelitian selanjutnya.
1.5Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada pelaku usaha jamur tiram putih di Kumbung
Jamur D & D Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor, dengan manganalisis
kelayakan usaha dari aspek-aspek non finansial, dan finansial meliputi kelayakan
usaha Kumbung Jamur D & D sebelum pengembangan dan setelah pengembangan
10 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Jamur Tiram
Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006) jamur merupakan
tumbuhan yang banyak dijumpai di alam. Jamur sudah dikenal oleh masyarakat
sejak dulu dan tumbuh liar di hutan-hutan pada musim hujan dikarenakan
kelembaban yang cukup tinggi menyebabkan jamur dapat tumbuh dengan baik.
Jamur tiram merupakan salah satu dari sekian jenis jamur kayu yang bisa
dikonsumsi. Dinamakan jamur tiram karena bentuk tudung jamur ini sepintas
menyerupai cangkang tiram. Orang Inggris pun menyebut jamur ini dengan nama
osyster mushroom yang berarti jamur tiram. Jamur tiram sudah cukup dikenal di
masyarakat luas, baik di Indonesia maupun di berbagai negara. Menurut catatan
sejarah, jamur tiram sudah dibudidayakan di Cina sejak 1.000 tahun silam.
Sementara di Indonesia, jamur tiram mulai dibudidayakan pada tahun 1980 di
Wonosobo. Varietas yang umum dibudidayakan di Indonesia adalah jamur tiram
putih (Pleurotus ostreatus), meskipun varietas jamur tiram yang lain ada akan
tetapi pembudidayaannya kurang popular (Rahmat dan Nurhidayat, 2011)
Menutut Rahmat dan Nurhidayat (2011) jamur tiram terdiri dari beberapa
varietas, diantaranya jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur tiram abu-abu
(Pleurotus cystidius), jamur tiram merah (Flabellatus), dan jamur tiram coklat
(Pleurotus umbellatus) atau dikenal juga sebagai jamur tiram raja karena
bentuknya yang besar.
Kingdom : Mycetea
Divisio : Amastigomycotae
Phylum : Basidiomycotae
Kelas : Hymenomycetes
Ordo : Agaricales
Family : Agraricaeae
Genus : Pleurotus
Spesies : Pleurotus sp.
Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006), jamur tiram merupakan
jenis jamur yang paling banyak dibudidayakan karena memiliki produktivitas
11 dapat dihasilkan bahkan saat ini sudah dapat ditingkatkan hingga 120-150 persen.
Jamur tiram memiliki rasa yang lezat dan kandungan gizi yang cukup tinggi.
Menurut Suriawiria (2001), jamur tiram yang banyak dibudidayakan
antara lain :
1. Jamur tiram putih (pleurotus ostreatus), dikenal pula dengan nama shimeji
white (varietas florida), warna tudungnya putih susu sampai putih kekuningan
dengan lebar 3-14 centimeter.
2. Jamur tiram abu-abu, dikenal dengan nama shimeji grey (varietas sajor salju),
warna tudungnya abu kecoklatan sampai kuning kehitaman dengan lebar 6-14
centimeter.
3. Jamur tiram coklat, dikenal pula dengan nama jamur abalone (varietas
cystidious), warna tudungnya keputihan atau sedikit keabu-abuan sampai abu-
abu kecoklatan dengan lebar 5-12 centimeter.
4. Jamur tiram merah/pink, dikenal pula dengan nama shakura (varietas
flabellatus), tudungnya berwarna kemerahan.
Dilihat dari aspek kesehatan, jamur tiram merupakan bahan pangan bergizi
berkhasiat obat yang lebih murah dibandingkan obat modern. Beberapa khasiat
jamur tiram putih yaitu sebagai anti kolestrol, mencegah kanker, mengurangi
risiko cacat kelahiran dan cacat otak pada anak, serta banyak mengandung vitamin
C dan sembilan asam amino esensial yang tidak bisa disintesis tubuh.
2.2 Perkembangan Jamur Tiram Putih di Indonesia
Jamur tiram merupakan jenis sayuran yang dapat dijadikan sumber
pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa yang akan datang. Budidaya jamur
tiram memanfaatkan limbah industri penggergajian kayu sehingga dampaknya
dapat dirasakan oleh rakyat. Usaha ini dianggap potensial dalam rangka
memperbaiki tingkat ekonomi rakyat karena dengan modal relatif kecil dan
dapat dikerjakan dengan melibatkan keluarga dan tetangga terdekat. Menurut
Martawijaya dan Nurjayadi (2009), permintaan jamur tiram bukan saja datang dari
pasar domestik, namun juga dari permintaan ekspor ke berbagai negara.
Kesempatan inilah yang membuka peluang bisnis budidaya jamur tiram dan
12 Dewasa ini kecenderungan minat masyarakat terhadap sayuran terus
meningkat, akibat dari pola hidup sehat yang telah menjadi gaya hidup
masyarakat. Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan bisnis jamur tiram, di
mana sebagai tanaman sayuran berpotensi untuk dikembangkan dan
mendatangkan nilai ekonomi bagi masyarakat. Jamur tiram merupakan sumber
makanan yang bergizi tinggi dan dapat menjadi bahan pangan alternatif yang
disukai oleh semua lapisan masyarakat.
Jamur tiram merupakan jenis jamur kayu yang memiliki kandungan nutrisi
lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jamur kayu lainnya. Jamur tiram
mengandung protein, lemak, fosfor, besi, thiamin dan riboflavin lebih tinggi
dibandingkan jenis jamur lain (Djarijah, 2001). Kandungan asam amino pada
jamur tiram mengidentifikasikan bahwa tingginya nilai gizi yang terkandung di
dalam jamur tiram. Hal ini menjadi salah satu daya tarik untuk masuk ke dalam
bisnis jamur tiram yang mengakibatkan tumbuhnya industri jamur tiram.
Indonesia selama ini hanya mampu memasok jamur sebesar 0,9 persen
dari pasar jamur dunia. Angka tersebut kecil jika dibanding dengan China yang
memasok 33,2 persen pasar jamur dunia. Dalam pengembangan usaha,
ketidakberdayaan industri jamur nasional disebabkan berbagai hal seperti
produsen benih yang terbatas, tidak adanya standarisasi dan jaminan kualitas bibit,
belum adanya standarisasi proses produksi, serta penanganan pascapanen yang
sederhana. Selain itu, terbatasnya permodalan petani, bank yang belum
mendukung dan prosedur yang berbelit mengakibatkan penjualan jamur dikuasai
oleh tengkulak (Departemen Pertanian, 2010).
2.3Kriteria Tempat Budidaya Jamur Tiram
Seperti halnya bidang agribisnis lainnnya, membangun usaha budidaya
jamur tiram erat kaitannya dengan kondisi alam. Terlebih lagi aspek budidaya,
pengaruh alama sangat nyata sekali. Menurut Redaksi Agromedia (2011) secara
aspek agroklimatologi atau iklim lingkungan, beberapa aspek yang paling
berpengaruh dalam budidaya jamur yaitu temperatur udara.
Setiap jenis jamur membutuhkan besar suhu yang bervariasi, tergantung
13 udara lingkungan budidaya jamur harus diatur sedemikian rupa, sehingga
mencapai kondisi ideal. Besarnya suhu atau temperature udara pada suatu tempat
erat kaitannya dengan ketinggian (elevasi) lokasi tersebut dari permukaann laut.
Seperti yang terlah diketahui secara umum, lokasi yang mempunyai ketinggian
rendah mempunyai suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan tempat yang lebih
tinggi, misalnya pegunungan.
Besarnya temperature akan menurun ketika tempat semakin tinggi. Untuk
lokasi budidaya jamur yang berada di dataran rendah temperature bisa diatur
sedemikian rupa. Pengaturan temperature udara dapat dilakukan dengan dengan
penyemprotan kabut air, penyediaan ventilasi udara dan meninggikan rangka
bangunan kumbung. Jadi ketika suhu udara terlampau tinggi, bisa dilakukan
penyemprotan kabut air dan membuka seluruh jendela ventilasi kumbung, selain
itu dengan meninggikan rangka kumbung akan menyebabkan sirkulasi udara
dalam kumbung menjadi lancar dan kelembapan udara dalam ruangan budidaya
menjadi lebih lembab (Redaksi Agromedia, 2011)
2.4 Rangka Bangunan Kumbung
Tempat atau bangunan budidaya jamur lebih dikenal dengan nama
kumbung. Bagian yang paling berperan dalam bangunan kumbung ini yaitu
rangka bangunan dimana rangka bangunan ini akan mempengaruhi biaya investasi
yang dikeluarkan, menurut Redaksi Agromedia (2011) rangka bangunan kumbung
bisa terbuat dari bambu dan kayu. Rangka bangunan yang dipilih akan
mempengaruhi umur usaha budidaya jamur sehingga perlu diperhatikan keawetan
atau daya tahan rangka yang akan digunakan.
2.4.1 Keawetan Bambu
Menurut Sulistyowati (1996), walau memiliki banyak sifat
menguntungkan, bambu rentan terhadap kerusakan. Proses kerusakan
mempengaruhi keawetan bambu. Penyebab kerusakan bambu ada 2 yaitu:
perusak biologis dan non-biologis. Perusak biologis yang sering menyerang
bambu adalah jamur, rayap, kumbang bubuk dan mikroorganisme laut. Jamur
14 Kerusakan bambu karena serangan kumbang bubuk biasanya terjadi setelah
batang bambu ditebang. Kumbang ini hidup dalam jaringan serat bambu untuk
mendapatkan patinya.
Penyebab kerusakan non-biologis yang terpenting adalah air. Kadar air
yang tinggi menyebabkan kekuatan bambu menurun dan mudah lapuk. Langkah
pertama yang harus dilakukan dalam metode pengawetan bambu apapun adalah
pengeringan. Penggunaan bambu yang benar-benar kering (kadar airnya tepat)
dalam setiap metode pengawetan akan menghasilkan tingkat keawetan yang lebih
baik dibanding penggunaan bambu yang masih basah (kadar air tinggi).
Keawetan bambu sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan lingkungan.
Bambu tanpa perlakuan pengawetan, apabila dibiarkan bersentuhan secara
langsung dengan tanah dan tidak terlindung dari cuaca, hanya mempunyai umur
pakai sekitar 1 - 3 tahun. Bambu yang terlindung dari gangguan cuaca, umur
pakainya dapat bertahan antara 4 - 7 tahun atau lebih. Dalam lingkungan yang
ideal rangka (konstruksi) bambu dapat tahan selama 10 - 15 tahun. Jika
berinteraksi dengan air laut, bambu cepat hancur oleh serangan mikroorganisme
laut dalam waktu kurang dari satu tahun.
Keawetan bambu dipengaruhi juga oleh : kondisi fisik bambu, bagian
ruas, spesis dan kandungan pati. Bambu yang telah dibelah lebih cepat rusak
dibanding bambu yang masih utuh (belum dibelah). Ruas bambu bagian bawah
mempunyai ketahanan rata-rata yang lebih tinggi dibanding bagian tengah atau
bagian atasnya. Bagian sebelah dalam ruas biasanya lebih dulu terserang
(serangga atau jamur) daripada bagian luar. Keawetan alamiah bambu
bervariasi antara satu spesies dengan spesies lain. Variasi ini berkaitan dengan
ketahanan spesis terhadap serangan rayap atau kumbang. Bambu yang kandungan
patinya lebih tinggi lebih rentan terhadap serangan kumbang bubuk.
Keawetan alamiah bambu relatif lebih rendah dibanding kayu. Artinya,
umur pakai struktur bambu relatif lebih pendek dibanding struktur kayu. Cara
memperpanjang umur pakai bambu yaitu melalui pengawetan dan penerapan
metode konstruksi tertentu. Metode ini bertujuan meminimalisir laju serangan
jamur dan serangga. Meletakan tonggak bambu pada dinding batu atau semen
15 secara langsung ke dalam tanah. Pada konstruksi rumah bambu, sangat
dianjurkan membuat pondasi dari beton atau batu. Pelapisan bambu dengan bahan
penahan air dapat mengurangi serangan jamur.
2.4.2 Keawetan Kayu
Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaian. Kayu dikatakan awet
apabila mempunyai umur pakai lama dan mampu menahan berbagai faktor
perusak kayu. Dengan kata lain keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis
kayu terhadap faktor-faktor perusak dari luar kayu itu (Dumanauw, 1990 dalam
Zibua, 2008). Nilai suatu jenis kayu sangat ditentukan oleh keawetannya, karena
bagaimana pun kuatnya suatu jenis kayu tersebut, penggunaan sebagai bahan
bangunan tidak akan berarti jika keawetannya rendah.
Keawetan kayu dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor
karakteristik kayu dan lingkungan. Faktor karakteristik kayu yaitu kandungan zat
ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang (gubal dan teras), dan
kecepatan tempat tumbuh. Sedangkan faktor lingkungan yaitu tempat dimana
kayu tersebut dipakai, jenis organisme penyerang, keadaan suhu, kelembaban
udara dan lain-lainnya.
Ketahanan kayu terhadap serangga dan perusak kayu khususnya yang
bersentuhan dengan laut disebabkan oleh kandungan zat ekstraktifnya. Zat
ekstraktif dalam kayu berfungsi sebagai racun bagi perusak-perusak kayu,
sehingga perusak tersebut tidak bisa masuk dan tinggal dalam kayu tersebut
(Panshin dan de Zeeuw, 1980 dalam Zibua, 2008).
Menurut Martawijaya et al, (1995), keawetan alami ialah ketahanan kayu
terhadap serangan dari unsur-unsur perusak kayu dari luar: jamur, rayap, bubuk,
cacing laut dan mahkluk lainnya yang diukur dengan jangka waktu tahunan.
Keawetan kayu tersebut disebabkan oleh adanya suatu zat di dalam kayu (zat
ekstraktif) yang merupakan sebagai unsur racun bagi perusak-perusak kayu,
sehingga perusak tersebut tidak sampai masuk dan tinggal di dalamnya serta
16 1. Kelas awet I
Lama pemakaian kelas awet I dapat mencapai 25 tahun. Jenis-jenis kayu yang
termasuk dalam kelas ini adalah jati, ulin, sawo kecik, merbau, tanjung,
sonokeling, johar, bangkirai, behan, resak, dan ipil.
2. Kelas awet II
Jenis-jenis kayu yang termasuk kelas awet II yaitu waru, kapur, bungur,
cemara gunung, rengas, rasamala, merawan, lesi, walikukun, dan sonokembang.
Umur pemakaian dari kelas ini yaitu antara 15-25 tahun.
3. Kelas awet III
Jenis-jenis kayu yang termasuk kelas awet III yaitu ampupu, bakau, kempas,
kruing, mahoni, matoa, merbau, meranti merah, meranti putih, pinang, dan pulai.
Umur pakai jenis kayu kelas ini mencapai 10-15 tahun.
4. Kelas awet IV
Jenis kayu ini termasuk kurang awet, umur pakainya antara 5 – 10 tahun.
Kayu yang termasuk kelas awet ini yaitu agates, bayur, durian, sengon, kemenyan,
kenari, ketapang, perupuk, ramin, surian, dan benuang laki.
5. Kelas awet V
Kayu–kayu yang termasuk kelas awet V tergolong kayu yang tidak awet
karena umur pakainya hanya kurang dari 5 tahun. Contoh kayu yang masuk dalam
kelas ini adalah jabon, jelutung, kapuk hutan, kemiri, kenanga, mangga hutan, dan
marabung.
Fakta menunjukkan lingkungan Indonesia merupakan daerah tropis.
Negeri ini mempunyai kehangatan, kelembaban dan bahan organik dalam tanah
yang tinggi, di bawah kondisi tersebut perkembangan organisme khususnya
organisme perusak kayu sangat baik. Hal tersebut tercermin dari apa yang disebut
sebagai negara mega biodeversity, dimana Indonesia mempunyai 1.000.000 jenis
serangga, 250.000 jenis jamur dan 200 jenis rayap. Kenyataan lain menunjukan
bahwa 80 - 85 persen kayu-kayu Indonesia mempunyai keawetan yang rendah,
atau dengan perkayaan kayu-kayu Indonesia mudah diserang oleh organisme
17
dilakukan, penelitian tersebut baik dari segi budidaya maupun ekonominya.
Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terdiri dari : analisis
usahatani dan pendapatan jamur tiram putih, analisis risiko produksi jamur tiram
putih, serta analisis kelayakan usahatani jamur tiram putih.
2.5.1 Penelitian Mengenai Usahatani dan Pendapatan Jamur Tiram Putih
Usahatani dapat diartikan kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam,
kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Dalam
usahatani, pelaku usaha harus memperhatikan proses produksi dan saluran
pemasaran yang yang dapat memberikan informasi dalam peningkatan produksi
dan pendapatan. Pentingnya untuk memperhatikan usahatani dari segi produksi
dimanfaatkan oleh Sari (2008) untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi usahatani jamur tiram putih di Kelompok Tani Kaliwung
18 Berdasarkan analisis yang dilakukan, faktor-faktor produksi yang berpengaruh
langsung terhadap produksi jamur tiram putih yaitu faktor produksi serbuk kayu,
bekatul, kapur, plastik, dan cincin paralon.
Connie (2008), melakukan penelitian yang berhubungan dengan proses
produksi dengan melihat titik impas yang nantinya bertujuan untuk melihat
pendapatan usahatani jamur tiram putih. Penelitian yang berjudul “Analisis
Pendapatan dan Titik Impas Usahatani Jamur Tiram Putih pada Perusahaan Trisno
Insan Mandiri Mushroom (TIMMUSH) Desa Cibuntu, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat” membandingkan alat yang digunakan dalam
proses sterilisasi berupa kompor semawar ke kayu bakar. Hasil analisis titik impas
baik pada saat penelitian maupun setelah penelitian dilakukan menunjukkan
bahwa pergantian alat sterilisasi dari kompor semawar ke kayu bakar membuat
volume minimum penjualan jamur tiram putih menjadi lebih rendah dibandingkan
menggunakan kompor semawar. Alat sterilisasi kayu bakar memberikan
pendapatan atas biaya tunai lebih besar dibandingkan kompor semawar, selain itu
penggunaan kayu bakar juga dapat mengatasi terjadinya kelangkaan dan kenaikan
harga minyak tanah.
Pentingnya menganalisis saluran tataniaga pemasaran bertujuan untuk
membandingkan saluran tataniaga mana yang memberikan pendapatan yang lebih
besar, hal ini diperkuat oleh Sitanggang (2008) yang menganalisis usahatani dan
tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) di Kecamatan Tamansari
Kabupaten Bogor, dimana di perusahaan tersebut terdapat tiga saluran tataniaga
jamur tiram putih, saluran I dan saluran II jamur yang dihasilkan petani dijual di
wilayah Bogor, sedangkan saluran III dijual di wilayah luar Bogor. Dari hasil
analisis tersebut dapat diketahui bahwa R/C atas biaya total lebih besar pada
saluran III dibandingkan dengan saluran I dan II.
Ginting (2009) melakukan penelitian mengenai pengaruh risiko dalam
kegiatan budidaya jamur tiram putih yang dapat berpengaruh terhadap pendapatan
dan alternatif strategi yang akan dilakukan untuk mengatasi risiko produksi yang
terjadi. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor
menunjukan bahwa Cempaka Baru menghadapi risiko produksi sebesar 0,32 yang
19 tenaga kerja terampil, dan teknologi pengukusan yang digunakan. Strategi yang
diperlukan untuk penanganan risiko adalah strategi preventif, yaitu strategi yang
bertujuan untuk menghindari terjadinya risiko. Adapun tindakan preventif yang
dapat dilakukan yaitu, pertama meningkatkan kualitas perawatan dengan
meningkatkan intensitas penyiraman, membersihkan area yang dijadikan
kumbung untuk mencegah datangnya hama dan penyalit, mengembangkan
sumberdaya manusia dengan mengikuti pelatihan maupun penyuluhan mengenai
jamur tiram putih, dan menggunakan peralatan yang steril dalam melakukan
penyuntikan bibit murni ke dalam media tanam.
2.5.2 Penelitian Mengenai Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih
Studi kelayakan bisnis merupakan kegiatan untuk menilai besarnya
manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu kegiatan usaha dan dapat
menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan pengambilan keputusan mengenai
apakah suatu rencana bisnis diterima atau ditolak serta apakah akan menghentikan
atau mempertahankan bisnis yang sudah atau sedang dilaksanakan.
Dalam penelitian-penelitian terdahulu terkait studi kelayakan usaha
budidaya jamur tiram putih terkait permasalahan yang dihadapi yaitu menganalisis
aspek non finansial, dan finansial dengan membandingkan berbagai macam
skenario yang sudah dijalankan, serta analisis sensitivitas menggunakan switching
value. Penlitian Masruri (2010) berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram
Putih (Studi Kasus: Yayasan Paguyuban Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan
Pamijahan, Kabupaten Bogor) membandingkan skenario berupa membuat baglog
sendiri atau membeli baglog untuk budidaya. Nasution (2010) dalam
penelitiannya yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Jamur Tiram
Putih (Kasus Perusahaan X di Desa Cibitung Kulon, Kecamatan Pamijahan,
Bogor, Jawa Barat)" membandingkan tiga skenario proses sterilisasi
menggunakan kayu bakar atau gas, dan perkembangan usaha menggunakan modal
pinjaman. Herbowo (2011) menganalisis Kelayakan Pengembangan Usaha Jamur
Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus: Desa Tugu Selatan, Kecamatan
Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) dengan ketiga skenario yaitu menjual
20 dan jamur tiram putih segar. Selain itu, dalam ketiga penelitian dilakukan juga
analisis switching value usaha budidaya jamur tiram putih jika terjadi penurunan
harga jamur tiram putih dan peningkatan biaya variabel.
Penelitian terdahulu seperti yang dilakukan oleh Masruri (2010), Nasution
(2010) dan Herbowo (2011), memperoleh hasil penelitian usaha budidaya jamur
tiram putih layak dilakukan meskipun ada perbandingan dalam hasil perhitungan
kriteria investasi skenario mana yang lebih layak untuk diusahakan. Analisis
switching value yang dilakukan pada skenario-skenario tersebut diperoleh dua
parameter yang menyatakan penurunan harga produk lebih sensitif dibandingkan
kenaikan harga variabel.
Penelitian terdahulu juga memberikan informasi mengenai produktivitas
antar pelaku usaha di beberapa daerah mengingat budidaya jamur tiram memiliki
syarat tumbuh. Perbandingan produktivitas berdasarkan tempat budidaya dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Produktivitas Jamur Tiram Putih di Beberapa Tempat Penelitian
21 Berdasarkan penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa pada
umumnya jamur tiram putih layak untuk dijalankan namun pada setiap skenario
usaha yang dijalankan memberikan penerimaan yang berbeda. Penelitian ini
menganalisis aspek-aspek non finansial dan finansial membandingkan tiga
skenario yaitu sebelum pengembangan usaha (skenario I), dan setelah
pengembangan usaha baik menggunakan rangka bambu (skenario II) maupun
dengan rangka kayu (skenario III). Perbandingan sebelum pengembangan usaha
dan setelah pengembangan usaha juga dianalisis incremental net benefitnya, serta
berdasarkan pengalaman pelaku usaha penelitian ini menganalisis sensitivitas
yang sudah ditentukan persentase penurunan harga produk dan kenaikan variabel
produksinya.
Dari penelitian yang dilakukan Sari (2008), Sitanggang (2008) dan Connie
(2008) penulis menggunakan informasi mengenai usahatani dan pendapatan.
Sementara pada penelitian yang dilakukan oleh Masruri (2010), Nasution (2010)
dan Herbowo (2011) penulis menggunakan konsep dan informasi mengenai
kelayakan usaha yang dianalisis secara finansial maupun non finansial serta
skenario yang dilakukan. Penelitian Ginting (2009) dijadikan bahan untuk
memperoleh informasi mengenai sumber risiko pada usaha jamur tiram putih serta
tindakan preventif yang dapat dilakukan. Semua hasil penelitian terdahulu akan
digunakan sebagai pembanding penelitian ini. Dengan mengetahui kelayakan
usaha jamur tiram putih pada berbagai skenario, diharapkan akan memberikan
informasi apakah perlu adanya pengembangan usaha dan alternatif pengembangan
22 III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoretis
Kerangka pemikiran teoretis merupakan suatu penalaran peneliti yang
didasarkan pada pengetahuan, teori, dalil, dan proposisi untuk menjawab suatu
tujuan penelitian. Pengetahuan dapat diperoleh dari ilmu yang telah dipelajari
yang berasal dari sumber bacaan baik dari buku teks, jurnal, dan logika peneliti
yang telah terbangun dari pengalaman penelitian sebelumnya (Rachmania &
Burhanuddin, 2008). Berikut ini beberapa teori yang mendasari kerangka
pemikiran yang penulis lakukan.
3.1.1 Studi Kelayakan Bisnis
Bisnis adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan untuk memperoleh
keuntungan sesuai dengan tujuan dan target yang telah ditetapkan dalam berbagai
bidang, baik dalam jumlah maupun waktunya (Kasmir & Jakfar, 2012). Secara
umum bisnis merupakan suatu kegiatan yang membutuhkan biaya untuk
digunakan dalam menghasilkan barang dan atau jasa dengan harapan akan
memperoleh hasil atau keuntungan di kemudian hari. Menurut Kasmir dan Jakfar
(2012), agar tujuan suatu bisnis dapat dicapai hendaknya sebelum melakukan
investasi didahului dengan suatu studi untuk menilai apakah investasi yang
ditanamkan akan memberikan suatu manfaat atau tidak.
Menurut Umar (2007) studi kelayakan pada hakikatnya adalah suatu
metode penjajakan dari suatu gagasan tentang kemungkinan layak atau tidaknya
gagasan usaha tersebut dilaksanakan. Suatu proyek dikatakan layak apabila
proyek tersebut diperkirakan akan dapat menghasilkan keuntungan yang layak
apabila telah dioperasikan.
Menurut Ibrahim (2003), studi kelayakan bisnis adalah kegiatan untuk
menilai besarnya manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu
kegiatan usaha. Berdasarkan hal tersebut, studi kelayakan merupakan bahan
pertimbangan untuk melakukan pengambilan keputusan mengenai apakah suatu
rencana bisnis diterima atau ditolak serta apakah akan menghentikan atau
mempertahankan bisnis yang sudah atau sedang dilaksanakan (Nurmalina et al.
23 Studi kelayakan bisnis bertujuan untuk mengetahui tingkat benefit yang
dicapai dari suatu bisnis yang akan atau telah dijalankan, memilih alternatif bisnis
yang menguntungkan, dan menentukan prioritas investasi berdasarkan pada
alternatif bisnis yang menguntungkan tersebut. Selain itu, studi kelayakan bisnis
juga dapat digunakan untuk menghindari pemborosan sumberdaya (Nurmalina et
al, 2010).
Tujuan melakukan studi kelayakan adalah untuk menghindari kerugian
penanaman modal yang terlalu besar untuk kegiatan yang ternyata tidak
menguntungkan. Studi kelayakan memerlukan biaya, namun biaya tersebut relatif
lebih kecil apabila dibandingkan dengan risiko kegagalan suatu proyek yang
menyangkut investasi dalam jumlah besar (Husnan dan Muhammad, 2000).
Menurut Kasmir dan Jakfar (2012), lima tujuan studi kelayakan bisnis dilakukan
yaitu untuk menghindari risiko kerugian, memudahkan perencanaan,
memudahkan pelaksanaan pekerjaan, memudahkan pengawasan, dan
memudahkan pengendalian.
3.1.2 Investasi
Investasi di dalam perusahaan adalah penggunaan sumber-sumber yang
diharapkan akan memberikan imbalan (pengembalian) yang menguntungkan di
masa yang akan datang. Investasi pada prinsipnya adalah penggunaan sumber
keuangan atau usaha dalam waktu tertentu dari setiap orang yang menginginkan
keuntungan darinya. Dari sudut pandang jangka waktu penanamannya, investasi
dibagi dalam dua yaitu investasi jangka pendek biasanya kurang dari satu tahun
yang bertujuan untuk mendayagunakan atau memanfaatkan dana yang sementara
menganggur serta bersifat marketable (mudah untuk diperjualbelikan) dan
investasi jangka panjang yang ukuran jangka waktunya lebih dari satu tahun serta
tidak bersifat marketable karena investasi ini menyangkut kelangsungan hidup
usaha di masa yang akan datang (Suratman, 2002).
Menurut Suratman (2002), salah satu konsep investasi adalah
penganggaran modal karena penganggaran modal merupakan suatu konsep
penggunaan dana di masa yang akan datang yang diharapkan akan memberikan
24 sebagian besar investasi mencakup aktiva yang dapat didepresiasi dan keuntungan
atas sebagian besar investasi meluas di atas periode waktu yang panjang. Aktiva
yang dapat didepresiasi menunjukkan bahwa aktiva tersebut umumnya
mempunyai nilai jual kembali yang murah atau tidak mempunyai nilai jual
kembali pada akhir masa manfaatnya, sedangkan keuntungan atas sebagian besar
investasi meluas atas periode waktu yang panjang menunjukkan bahwa perlu
penggunaan teknik-teknik penilaian investasi yang mengakui nilai waktu uang.
Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi intensitas studi kelayakan diantaranya adalah besar dana yang
ditanamkan, tingkat ketidakpastian proyek, dan kompleksitas elemen-elemen yang
mempengaruhi proyek. Semakin besar dana yang tertanam dalam proyek
investasi, semakin tidak pasti estimasi yang dibuat, dan semakin kompleks
faktor-faktor yang mempengaruhinya maka semakin intens atau mendalam penelitian
yang dilakukan. Dengan demikian apapun bentuk investasi yang akan dilakukan
diperlukan studi kelayakan meskipun intensitasnya berbeda. Hal ini dikarenakan
masa mendatang mengandung penuh ketidakpastian.
3.1.3 Biaya dan Manfaat
Dalam menganalisis suatu proyek, penyusunan arus biaya dan arus
manfaat sangat penting untuk mengukur besarnya nilai tambah yang diperoleh
dengan adanya proyek. Biaya didefinisikan sebagai segala sesuatu yang langsung
maupun tidak langsung mengurangi tujuan proyek atau bisnis, sedangkan manfaat
adalah segala sesuatu yang, baik langsung maupun tidak langsung, membantu
tercapainya suatu tujuan dari suatu proyek (Gittinger, 2008). Biaya dapat
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Biaya modal, merupakan dana untuk investasi yang penggunaannya bersifat
jangka panjang. Contoh dari biaya modal adalah: tanah, bangunan dan
perlengkapannya, pabrik dan mesin-mesinnya, biaya pendahuluan sebelum
operasi, biaya penelitian, dan sebagainya.
2. Biaya operasional, disebut juga biaya modal kerja, merupakan kebutuhan dana
yang dikeluarkan pada saat proyek mulai dilaksanakan. Biaya ini didasarkan
25 Contoh dari biaya operasional adalah biaya bahan mentah, tenaga kerja, biaya
perlengkapan, dan biaya penunjang.
3. Biaya lainnya, merupakan biaya yang terlibat dalam pendanaan suatu proyek,
seperti pajak, bunga pinjaman, dan asuransi.
Di sisi lain menurut Nurmalina et al (2010), manfaat terdiri dari tiga
macam, yaitu:
1. Tengible benefit, yaitu manfaat yang dapat diukur karena adanya peningkatan
produksi, perbaikan kualitas produk, perubahan waktu dan lokasi penjualan,
perubahan bentuk produk, mekanisasi pertanian, dan pengurangan biaya
transportasi.
2. Indirect of secondary benefit, yaitu manfaat yang dirasakan di luar bisnis itu
sendiri sehingga mempengaruhi keadaan eksternal di luar bisnis.
3. Intangible benefit, yaitu suatu manfaat yang riil ada tapi sulit diukur seperti
bisnis pertamanan yang memberikan manfaat berupa keindahan, kenyamanan,
dan kesehatan.
Kriteria yang biasa digunakan sebagai dasar persetujuan atau penolakan
suatu proyek yang dilaksanakan adalah kriteria investasi (Gittinger, 2008).
3.1.4 Aspek-Aspek Studi Kelayakan Bisnis
Dalam studi kelayakan bisnis memiliki berbagai aspek yang harus diteliti,
diukur, dan dinilai. Menurut Nurmalina et al. (2010), dalam studi kelayakan bisnis
terdapat dua kelompok aspek yang perlu diperhatikan yaitu aspek non finansial
dan aspek finansial. Aspek non finansial terdiri dari aspek pasar, aspek teknis,
aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspek
lingkungan. Masing-masing aspek tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa jika salah satu aspek tidak dipenuhi maka perlu
dilakukan perbaikan atau tambahan yang diperlukan (Kasmir & Jakfar, 2012).
3.1.4.1 Aspek Pasar
Menurut Gittinger (2008) pengajian aspek pasar harus dimulai paling awal
karena ada tidaknya pasar yang cukup menarik dari produk yang dihasilkan