• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mandat liga Bangsa-bangsa : kegagalan Palestina mendirikan negara merdeka (1920-1948)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mandat liga Bangsa-bangsa : kegagalan Palestina mendirikan negara merdeka (1920-1948)"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

MANDAT LIGA BANGSA-BANGSA :

KEGAGALAN PALESTINA MENJADI NEGARA MERDEKA

(1920-1948)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh:

HANAFI WIBOWO

(111002200002)

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

DEDIKASI

Didedikasikan kepada seluruh rakyat Palestina yang sedang berjuang menciptakan sebuah negara merdeka yang berdiri sama tinggi dan duduk sama

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Tak lupa pula penulis mengirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang.

Skripsi yang berjudul “Mandat Liga Bangsa-Bangsa : Kegagalan Palestina Menjadi Negara Merdeka (1920-1948)” merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum). Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari partisipasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Duta Besar Palestina, Bapak Fariz al Mehdawi. Sebagai narasumber utama, beliau telah menyediakan waktu untuk berbagi cerita mengenai perjuangan rakyat Palestina, membagi sumber sumber tertulis sebagai bahan rujukan utama skripsi ini, memberikan nasihat nasihat bagaimana seharusnya seorang lelaki mencapai cita citanya, dan berbaik hati mengajak penulis makan malam di kediamannya.

2. Bapak Drs. H. M. Ma'ruf Misbah MA selaku Ketua jurusan Sejarah & Kebudayaan Islam (SKI) yang telah membantu dalam proses terlaksananya skripsi ini

(7)

4. Bapak Dr.Fuad Jabali,MA selaku Dosen Pembimbing I yang selalu memberikan tantangan untuk mencari sumber-sumber sejarah yang Orisinil, memotivasi untuk terus bekerja keras, mengajarkan cara membuat argument yang baik dan menginspirasi agar jangan membatas imajinasi. 5. Bapak Dr.Saiful Umam,MA selaku Dosen Pembimbing II yang telah

mengoreksi halaman demi halaman skripsi ini selama dalam masa bimbingan serta mengajarkan Penulis untuk lebih teliti.

6. Bapak Prof.Dr.H.Didin Saipuddin,MA selaku Dosen Penguji I, yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk menguji Skripsi ini dengan sangat Adil dan Objektif

7. Ibu Dr.Amelia Fauzia,MA selaku Dosen Penguji II, yang telah menyisihkan waktunya guna menguji skripsi ini dengan sangat antusias, serta karena selalu mendorong penulis dan teman teman sekelas untuk menggunakan sumber-sumber online semaksimal mungkin.

8. Bapak Dr.Saidun Derani,MA selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang telah membantu dalam proses pembuatan Proposal Skripsi.

9. Uwak tercinta, Farhan Sunyoto Mukadi, yang telah mengajarkan penulis dengan sabar, bagaimana cara membuat tulisan ilmiah yang baik dan benar

10.Uwak tercinta, Suhaenah “Enna” Hartono-Mukadi, yang selalu mendoakan

penulis dan membantu pencetakan skripsi ini.

(8)

12.Eyang tercinta, (Alm).Ngakan Ngurah Sutedja Gedong Artha dan Artiniati

Sutedja Arba‟i yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungannya

agar penulis menjadi orang yang berguna di masyaralat

13.Ayahanda Tercinta, Abdul Radja Sutjahjo Mukadi, yang telah

menunjukkan “Jalan Keilmuwan” bagi Penulis dan merupakan Rekan

Diskusi Utama bagi Penulis

14.Ibunda tercinta, Retno Sandrawati, yang telah melahirkan, membesarkan, mengasuh, menyayangi dan membentuk pribadi Penulis

15.Seluruh Keluarga Besar Raden Mas Mukadi (Cirebon) & Ratu Siti Chawa (Banten), yang namanya tak dapat saya sebutkan satu persatu namun semuanya sangat berarti bagi penulis.

16.Seluruh Kawan Kawan SKI angkatan 2010

17.Serta seluruh pihak yang ikut membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis hanya bisa berdoa, semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan mereka dengan setimpal. Amin.

(9)

ABSTRAK

Hanafi Wibowo

Mandat Liga Bangsa-Bangsa : Kegagalan Palestina Mendirikan Negara Merdeka (1920-1948)

Studi ini mengkaji Palestina pada masa Mandat Inggris melalui Metode Historis dengan Pendekatan Politik. Pasca Perang Dunia Pertama (1914-1918), Inggris mendapat mandat dari Liga Bangsa Bangsa untuk mengelola administrasi bekas wilayah wilayah Arab yang sebelumnya adalah bekas wilayah Turki Usmani. Di dalam proses pengelolaan ini, terjadi permasalahan dimana muncul dua kekuatan yang saling bertentangan yaitu Zionis Yahudi sebagai pendatang baru dan rakyat Palestina sebagai penduduk asli.

Keinginan Liga Bangsa Bangsa yang menugaskan Inggris untuk memberikan masing masing kedua bangsa itu sebuah negara yang merdeka mendapat penolakan baik dari pihak Palestina maupun dari pihak Yahudi itu sendiri. Studi ini juga mempelajari dampak dari keberhasilan orang Yahudi mendirikan Israel diatas penderitaan rakyat Palestina karena rasa kehilangan dan harus menerima keadaan sebagai sebuah bangsa yang terdzalimi. Studi ini ingin menjelaskan mengapa Palestina mengalami kegagalan dalam mendirikan sebuah negara merdeka yang penulis dapatkan dari pelbagai sumber dan data-data tertulis.

Menurut penelahaan penulis, era Mandat Inggris adalah akar dan awal kegagalan Palestina mendirikan negara merdeka, selain itu terdapat dua faktor penting penyebab kegagalan tersebut. Pertama, adalah faktor internal dari rakyat yang saat itu berupa adanya kesalahan strategi dari elit dan rakyat Palestina sendiri. Kedua yaitu faktor eksternal adalah campur tangan negara-negara Arab tetangga yang memecah Palestina demi kepentingannya serta keinginan pihak Zionis Yahudi yang bersikap oportunis demi menciptakan negara Yahudi di Palestina

(10)

KATA PENGANTAR

Timur Tengah merupakan entitas wilayah yang secara politis merupakan tempat lahirnya peradaban. Di masa lalu, Bangsa Mesir Kuno pernah membangun Piramida yang menjulang megah, Bangsa Phoenicia memperluas Imperium Maritim, Bangsa Mesopotamia menciptakan negara negara kota yang makmur. Namun ada satu wilayah di Timur Tengah yang selalu menjadi pusat perhatian seluruh dunia hingga hari ini, yaitu Palestina.

Kawasan Palestina bukan hanya subur karena terletak di ujung barat dari Daratan Bulan Sabit yang Subur (The Fertile Crescent), namun juga, memiliki posisi yang strategis karena merupakan penghubung dua benua, yaitu Asia, dan Afrika, serta menghubungkan Laut Mediterania dengan Laut Merah. Wilayah Palestina berbatasan langsung dengan Syria, Lebanon, Jordania dan Mesir; yang artinya menghubungkan negara-negara berbahasa Arab di kawasan Benua Asia dengan negara-negara berbahasa Arab di Benua Afrika.

Kesuburan tanah dan letak yang strategis, menjadi daya tarik bagi berbagai suku & bangsa untuk mendiami atau menguasai daerah tersebut. Kesuburan suatu daerah, merupakan suatu aspek penting penunjang tumbuh kembangnya budaya dan ekonomi bagi manusia yang tinggal di tempat itu sekaligus juga kerugiannya akan memancing bangsa bangsa lain untuk datang selain berniaga disana juga menguasai dan menjajahnya.

(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... I

DEDIKASI ... IIIII

UCAPAN TERIMA KASIH ... IV

ABSTRAK ... VIVII

KATA PENGANTAR ... VIIVIII

DAFTAR ISI ... IXX

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. PERMASALAHAN... 6

1.Identifikasi Masalah ... 6

2.Pembatasan Masalah ... 6

3.Rumusan Masalah ... 7

C. TUJUAN &MANFAAT PENELITIAN ... 7

D. KAJIAN PENDAHULUAN ... 9

E. METODE PENELITIAN & PENDEKATAN PENELITIAN ... 9

1.Pendekatan Penelitian ... 9

2.Metode Penelitian... 10

F. SISTEMATIKA PENULISAN ... 13

BAB II NEGARA BANGSA & NASIONALISME PALESTINA ... 15

A. TEORI TERBENTUKNYA NEGARA ... 15

B. MUNCULNYA NASIONALISME PALESTINA ... 16

BAB III AWAL KEKUASAAN INGGRIS & KEBIJAKANNYA ... 30

A. LAHIRNYA MANDAT INGGRIS ... 30

B. KEBIJAKAN MENGENAI IMIGRASI YAHUDI (ALIYAH) ... 37

BAB IV RESPON PALESTINA TERHADAP KEKUASAAN INGGRIS ... 44

A. KERUSUHAN TAHUN 1929 ... 44

B. PEMBERONTAKAN ARAB PALESTINA 1936-1939 ... 53

C. KOLABORASI DENGAN NAZI JERMAN ... 69

BAB V AKHIR KEKUASAAN INGGRIS & TATANAN DUNIA BARU .. 74

A. PEMBAGIAN PALESTINA & BERDIRINYA ISRAEL ... 74

B. PERANG ARAB-ISRAEL 1948 ... 88

(12)

BAB VI KESIMPULAN ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 102

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak tahun 1517 hingga 1917, Palestina dikuasai oleh Turki Usmani yang menempatkan Wilayah Palestina yang Mencakup Muttasharifate Jerusalem (Kudüs-i Şerif Mutasarrıflığı) dan Kota Kota di Sekitarnya seperti Jaffa,Hebron & Betlehem ke dalam Wilayah Provinsi Syria (Vilayet Syria) 1

Saat itu kekuatan militer Turki Utsmani sangatlah lemah sehingga tidak berminat ikut serta dalam konflik militer apapun. Namun Sultan Utsmani saat itu,

Mehmed V Reşad tidak lebih dari boneka menggantikan Abdülhamid II, yang

digulingkan pada tahun 1908 dan digantikan dengan pemerintahan militer yang dipimpin oleh Enver Pasha dan Talat Pasha. Akhirnya, Pada tanggal 22 Juli 1914, Turki Usmani mengajukan tawaran Aliansi kepada Jerman. Wilhelm II, German Emperor & King of Prussia menerima tawaran itu pada tanggal 2 Agustus 1914. Maka Turki Usmani resmi bergabung dengan Blok Sentral.2

Salah satu strategi Inggris melawan Aliansi German-Usmani adalah mengajak Bangsa Arab untuk melawan Usmani. Mereka menemukan pembantu yang siap dan bersedia melakukan hal itu di Hijaz, yaitu Sharif Hussein bin Ali, yakni Emir dari Mekkah yang menandatangani perjanjian dengan pemerintah Inggris untuk memberontak melawan Imperium Utsmani.Pada tahun 1915 mereka

1

Dror Zeevi, An Ottoman century : the district of Jerusalem in the 1600s, (Albany: State University of New York Press, 1996), h. 121.

2H.S.W Corrigan, “German

-Turkish Relations and the Outbreak of War in 1914:

(14)

melakukan korespondensi yang membahas tentang rencana yang akan dilakukan Inggris terhadap wilayah Arab yang dulu dikuasai oleh Usmani.3

Inggris berjanji kepadanya bahwa setelah perang, dia akan diberi kerajaan Arab tersendiri yang akan mencakup seluruh Semenanjung Arab, termasuk Syria dan Irak. Surat-surat di mana kedua belah pihak menegosiasikan dan membahas pemberontakan ini dikenal sebagai Korespondensi McMahon – Hussein, saat Sharif Hussein berkomunikasi dengan Komisaris Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.4

Perang Dunia Pertama pun pecah, Pada pertempuran di dekat Terusan Suez pada Tahun 1915 dan 1916, pasukan gabungan Turki-Jerman berhasil dikalahkan dalam pertempuran di Desa Romani oleh pasukan dari Divisi Infanteri daratan ke 52. Setelah kemenangan ini, Inggris semakin maju melintasi Gurun Sinai, mendorong pasukan Usmani pada Pertempuran Rafah di perbatasan Gurun Sinai dan masuk ke Palestina pada bulan januari 1917.5

Sementara itu di Semenanjung Arabia, Pemberontakan melawan Turki

Usmani atau yang disebut dengan “Great Arab Revolt” dimulai pada bulan Juni

1916, dipimpin oleh Sharif Hussein dari Makah dan dibantu oleh T.E. Lawrence dari Pasukan Inggris. Pasukan Ekpedisi Mesir yang dipimpin oleh Edmund Allenby, merebut Jerusalem pada tanggal 9 Desember 1917 dan menduduki

3

Randall Baker, King Hussain & Kingdom of Hejaz. (Cambridge : Oleander Press, t.t.),h.64-65

4

Hussein-McMahon Correspondence, dari Jewish Virtual Library.

5

(15)

seluruh Syria menyusul kekalahan pasukan Turki di Palestina pada Pertempuran Megiddo pada bulan September 1918.6

Sebelum Revolusi Arab dimulai dan bahkan sebelum Sharif Hussein bisa menciptakan kerajaan Arabnya, Inggris dan Perancis sudah punya rencana lain. Pada musim dingin tahun 1915-1916, dua orang diplomat, Sir Mark Sykes dari Inggris dan François Georges Pycot dari Perancis diam-diam bertemu untuk memutuskan nasib dunia Arab pasca Utsmani7.

Menurut Perjanjian Sykes-Picot, Inggris dan Perancis sepakat untuk membagi dunia Arab diantara mereka berdua. Prancis mendapat wilayah Levant sedangkan Inggris memperoleh Vilayet Iraq, Transjordan dan Palestina. Perjanjian ini jelas bertentangan dengan janji Inggris yang dibuat bagi Sherif Hussein. Namun, hal ini tidak menjadi satu-satunya yang bersifat kontradiktif yang dibuat oleh Inggris.8

Inggris menyatakan bahwa semua wilayah yang akan dikembalikan tidak termasuk Palestina. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa wilayah yang bukan murni Arab (Cannot be said to be purely Arab) tidak termasuk dalam perjanjian itu. Inggris menganggap bahwa penduduk Palestina bukanlah murni Bangsa Arab.

Pada tahun 1918 perang berakhir dengan kemenangan Sekutu yang segera menghancurkan Turki Usmani lewat Perjanjian Sevres, bersamaan dengan itu Wilayah Timur Tengah dibagi-bagi oleh Sekutu yaitu Prancis dan Inggris yang sejak awal sudah merencanakannya.

6

Howard Sachar . The emergence of middle east 1914-1924,(Westminstter : The Penguin Press, 1969),h.122-138

7

Sykes-Picott Agreement, Avalon Project

8

(16)

Sebagai dampak langsung dari Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa (yang merupakan cikal bakal PBB) didirikan. Salah satu pekerjaannya adalah untuk memecah Provinsi-Provinsi Utsmani yang ditaklukan. Liga Bangsa-Bangsa (LBB) menyusun “mandat” bagi dunia Arab. Setiap mandat dikuasai oleh Inggris atau

Perancis “sampai saat mereka mampu berdiri sendiri. ”Sesuai yang telah

disepakati dalam Perjanjian Sykes-Pycott maka Inggris juga menerima wilayah Palestina.

Namun, pada tahun 1917, Inggris sudah terlebih dahulu memberikan janji pada kelompok Zionis untuk mendukung berdirinya Jewish national Homeland di Palestina.

Menurut Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, Inggris seperti suami yang memiliki dua isteri, di satu sisi berjanji akan memerdekakan bangsa Arab namun di sisi lain berjanji untuk mendirikan Jewish National Homeland, hal tersebut sangat kontradiktif dan sangat mungkin Inggris mendapat Mandat atas Palestina untuk mempermudah pelaksanaan janji pada kelompok Zionis9.

Palestina merupakan wilayah yang amat strategis bagi kepentingan Inggris di Timur Tengah, karena bisa berperan sebagai “zona penyangga” antara koloni Inggris di Mesir dan koloni Prancis di Levant, oleh karena itu Inggris perlu menjamin berdirinya negara di wilayah itu kelak; selain itu Terusan Suez tidak akan dapat dipertahankan bila tidak menguasai Palestina, jika Terusan Suez tidak lagi dapat dipertahankan, dengan menguasai Palestina, Yordania, dan Irak, pihak Inggris tetap dapat berhubungan dengan Asia melalui Laut Tengah dan Teluk

9

(17)

Persia. Kelak, pipa-pipa minyak dari Irak ke Laut Tengah bisa melewati wilayah Palestina, di pelabuhan Haifa.

Pada 24 April, Mandat Inggris atas Palestina dikonfirmasikan lewat Perjanjian San Remo10 dan dipimpin oleh Herbert Samuel, yang merupakan Komisaris Besar Inggris untuk Palestina yang pertama. Pada masa kepemimpinannya, ia mengampuni Amin Al- Husayni yang dijebloskan kedalam

penjara karena ikut serta dalam “Pemberontakan Festival Nabi Musa”. Setelah

bebas, Al- Husayni menjadi Mufti Palestina, menggantikan Kamil Al-Husayni yang wafat. Selain itu, ia juga mendirikan Dewan Tinggi Muslim (Moslem Supreme Council) yang mengatur dan menjaga segala lembaga dan komunitas Islam di Palestina11. Herbert Samuel juga mendirikan Jewish Agency, organisasi yang serupa dengan Dewan Tinggi Muslim tapi untuk para Imigran Yahudi.

Dengan keputusan tersebut maka kepentingan orang Arab Palestina maupun orang Yahudi seharusnya tercover dengan baik, namun konflik yang akan terjadi di masa mendatang di Palestina membuat Inggris gagal membentuk dua negara bagi masing masing etnis.

Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang menurut penulis menarik untuk diteliti, yaitu posisi Palestina yang strategis di Mata Inggris, namun Pemerintah Inggris masih mencoba mengikuti instruksi Liga Bangsa Bangsa untuk mempersiapkan Palestina menjadi Negara Merdeka bagi Etnis di dalamnya, yaitu rakyat Arab selaku penduduk asli dan Yahudi sebagai pendatang. Namun Akhirnya hanya Israel yang bisa berdiri sedangkan Palestina gagal.

10

Article 22, The Covenant of the League of Nations and "Mandate for Palestine," Encyclopedia Judaica, Vol. 11, hlm. 862, Keter Publishing House, Jerusalem, 1972

11

(18)

Dipilihnya Palestina sebagai Objek Kajian dikarenakan Palestina nota bene sebagai tempat yang sangat penting baik secara praktis maupun simbolis. Dari zaman ke zaman, puluhan imperium memperebutkan Palestina dan kota suci di dalamnya demi tujuan indroktinasi agama maupun legitimasi Kekuasaan.

Adapun dipilihnya Mandat Inggris sebagai Objek Kajian, karena Penulis memiliki akses terhadap Sumber Sumber Tertulis terutama Arsip dalam bahasa Inggris mengenai Kebijakan Inggris di Palestina dan Reaksi Perlawanan Bangsa Arab. Selain itu, dari Sumber Sumber Tertulis, penulis menelaah bahwasanya Periode Mandat Inggris merupakan awal dan akar kegagalan Palestina Menjadi Negara Merdeka yang menyebabkan konflik berkepanjangan hingga hari ini.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dari Penelaahan diatas, penulis menemukan bahwa kegagalan Palestina untuk mendirikan negara merdeka sesuai dengan tujuan Mandat Inggris (1920-1948) disebabkan karena kesalahan strategi Bangsa Arab Palestina, perbuatan kelompok Zionis Yahudi yang datang sebagai imigran dan campur tangan Negara Arab tetangga. Hal tersebut masih kita temukan sampai saat ini. Jadi, Penulis menganggap hal itu masih merupakan hal yang aktual dan menarik untuk dibahas.

2. Pembatasan Masalah

(19)

penelitian ini difokuskan pada Wilayah Palestina pada Masa kekuasaan Inggris pada tahun 1920-1948, dari awal kedatangan Inggris di Palestina hingga tahun 1948, yaitu masa berakhirnya kekuasaan Inggris dan berdirinya negara Israel serta pembagian wilayah Palestina oleh Mesir serta Jordania. Adapun dalam Objek penelitian tersebut Mencakup juga kebijakan Inggris dan respon rakyat Palestina, peran Zionis Yahudi serta Fakor Faktor yang menyebabkan Kegagalan Bangsa Arab.

3. Rumusan Masalah

Masalah pokok dalam penelitian ini adalah, Mengapa Palestina gagal menjadi negara merdeka ?

Adapun sub masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana peran Pemerintah Inggris Inggris, Zionis Yahudi dan Bangsa Palestina dalam kegagalan tersebut ?

2. Apa saja faktor faktor yang menyebabkan kegagalan Palestina dalam mendirikan negara nerdeka ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan sejumlah permasalahan di atas, tujuan skripsi ini ingin menjelaskan kenapa Palestina gagal menjadi negara merdeka lewat sumber-sumber tertulis.

Karena pada dasarnya, Sejarah selalu akan menyajikan manfaat atau akan memberikan pencerahan yang positif bagi pembaca sejarah pada masa kini dan pada masa mendatang, maka manfaat dari penelitian ini adalah:

(20)

Persatuan demi mencapai tujuan bersama, dan percenaaan yang matang jauh lebih penting dibanding sikap Tribal-Sentris.

2. Sebagai cermin bagi Bangsa-Bangsa lain, Bahwa untuk mencapai suatu tujuan yang mulia seperti mendirikan sebuah negara atau mempertahankan eksistensi suatu negara, perlu rasa kebersamaan yang kuat, cita cita yang telah lama berakar, dan rasa solidaritas senasib sepenanggungan.

D. Kajian Pendahuluan

Adapun Buku buku yang dijadikan sebagai acuan data dalam studi ini, adalah :

1. Motti Goulani, The End of the British Mandate for Palestine, 1948: The Diary of Sir Henry Gurney. Buku harian yang ditulis ulang, menceritakan mengenai Kekuasaan Inggris di Palestina pada hari-hari terakhir, dilihat dari sudut pandang Pejabat Inggris. Untuk mengetahui kenapa Palestina gagal mendirikan Negara merdeka, Buku ini merupakan sumber yang perlu diutamakan.

(21)

3. Rashid Khalidi, Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. Adalah Sumber utama yang membahas mengenai Perjuangan Bangsa Palestina pada masa kekuasaan Inggris sampai perang Arab-Israel 1948. Buku ini ditulis oleh seorang Aristokrat Palestina dari Keluarga Khalidi yang menetap di Amerika pasca Peristiwa Nakba. Beliau berargumen bahwa pemerintahan Inggris melakukan kesalahan dengan hanya melakukan negosiasi dengan kalangan elit Palestina, bukannya dengan rakyat kebanyakan. Penulis memilih tak menggunakan argument ini, karena di Indonesia sekalipun, kolonialis Asing memilih bernegosiasi dengan para elit seperti Mohammad Hatta atau Sutan Sjahrir. Argument penulis yang menurut peneliti sejalan dengan kesimpulan akhir dalam studi ini adalah mengenai pemberontakan Palestina 1936-1939 yang disebut oleh Penulis merupakan tindakan yang teralu dini dan membuat hilangnya momentum yang berharga untuk memerdekakan diri.

4. Ghassan Kanafani, The 1936-1939 Revolt in Palestine. Penulis adalah seorang Pemikir Marxis asal palestina, sealiran dengan Gilbert Achcar dari Lebanon. Ia berargumen bahwa penyebab kegagalan perjuangan Palestina bukan hanya karena Pemerintah Inggris maupun Zionis Yahudi sebagai factor eksternal, namun juga karena rakyat Palestina dieksploitasi oleh elit-elitnya yang berasal dari golongan borjuis.

E. Metode & Pendekatan Penelitian

(22)

Menurut Sartono Kartodirdjo penggambaran kita mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada pendekatan, ialah dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan lain sebagainya12 Mengingat penjelasan dari Sartono Kartodirdjo tersebut, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan Pendekatan Politik dalam Studi ini. Pendekatan politik adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk mengetahui bermacam-macam kegiatan dalam sebuah sistem negara maupun politik.Menurut Sartono Kartodirdjo, pendekatan politik adalah suatu pendekatan yang mengarah pada struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, hierarki sosial, pertentangan politik adalah pendekatan dan lain sebagainya. Pendekatan ini digunakan dalam kajian Kepemimpinan dan perpecahan Fraksi di Tubuh Palestina yang bertentangan dengan sistem Mandat yang berusaha memenuhi Tanggung Jawabnya menciptakan Negara Bagi Kedua Bangsa tersebut.

2. Metode Penelitian

Metode Penelitian Sejarah yang penulis gunakan adalah metode analisis – deskriptif. Metode ini merupakan proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau yang berupa teks tertulis. Lalu, poin-poin penting yang telah dianalisa, kemudian ditulis atau dipaparkan sesuai dengan bentuk, kejadian, suasana danmasa berlangsungnya topik peneltian sejarah yang berkaitan.13

12

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), h.4.

13

(23)

Dalam Metode Penelitian Sejarah terdapat tahapan-tahapan yang biasanya dilakukan oleh peneliti sejarah14 dan penulis juga mengikuti prosedur yang telah ada. Adapun, tahap-tahap yang penulis gunakan untuk penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Heuristik atau teknik mencari, mengumpulkan data atau sumber (dokumen).15 Maka dalam hal ini, penulis mengumpulkan data-data sebagai bahan penulisan dan melakukan penelitian (Library Research) dengan merujuk kepada sumber-sumber yang berhubungan dengan tema dalam skripsi ini,. Dalam hal ini penulis mengunjungi beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan Universitas Indonesia dan juga Internet sebagai sumber rujukan online. Penulis juga melakukan wawancara Pribadi dan makan malam dengan Duta Besar Indonesia untuk Palestina.

2. Tahap selanjutnya verifikasi atau kritik sumber, dimana semua sumber telah terkumpul dengan baik berupa buku, maupun Arsip, penulis melakukan kritik dan uji terhadapnya. Dimaksudkan untuk mengidentifikasi keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern, dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang di telusuri melalui kritik intern. Disini, penulis memisahkan antara arsip berupa memorandum, surat dan perjanjian yang dibuat oleh elit Palestina pada masa itu yang bisa dikategorikan sebagai sumber primer, lalu arsip perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah Inggris berkaitan dengan masalah Palestina yang juga bisa

14

Saefur Rochmat, Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 147.

15

(24)

dikategorikan sumber primer, lalu sumber sumber yang ditulis oleh penulis Palestina dan yang ditulis oleh orang Yahudi dan orientalis barat.

3. Identifikasi atau penafsiran sejarah (analisis sejarah), yaitu mencoba menguraikan sebab dan akibat kejadian tersebut. Karena itu, data-data yang sudah terkumpul dilakukan metode kritik sumber. Biasanya masih berbeda-beda dalam isinya. Oleh sebab itu, dalam teknik interpretasi ini, diharapkan penulis mampu menemukan berbagai faktor penyebab. Penulis berargumen, untuk menemukan sebab-sebab kegagalan dalam perjuangan yang dilakukan suatu masyarakat, ada baiknya apabila melihat dari sudut pandang eksternal. Karena, masyarakat di dalam suatu lingkungan memiliki kecenderungan untuk membela kepentingan dirinya dalam menghadapi tekanan dari luar. Akhirnya, penulis memutuskan menyaring argument argument di sumber-sumber Palestina yang sejalan dengan permasalahan dalam skripsi ini, sisanya menggunakan sumber-sumber Barat dan sumber-sumber Yahudi.

4. Fase terakhir dalam metode ini adalah historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Tahap ini adalah rangkaian dari keseluruhan dari teknik metode pembahasan. Dimana semua fakta, data dan opini dari segala sumber dituangkan dalam penulisan skripsi ini.

Adapun sumber pedoman yang digunakan dalam penulisan hasil penelitian ini adalah buku Pedoman penulisan karya ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh UIN Press, dengan harapan bahwa penulisan ini tidak hanya baik dari segi isi, tetapi juga baik dari segi metode penulisan.16

16

(25)

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini tersusun atas lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah 2. Pembatasan Masalah 3. Perumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat Studi D. Kajian Pendahuluan E. Metodologi Penelitian F. Sistematika Penulisan

BAB II Negara Bangsa dan Nasionalisme Palestina

A. Teori Terbentuknya Negara B. Munculnya Nasionalisme Palestina

BAB III Awal Kekuasaan Inggris dan Kebijakannya

A. Pembentukan Administrasi Pemerintahan Inggris B. Kebijakan mengenai Imigran Yahudi

BAB IV Respon Palestina terhadap Kekuasaan Inggris

A. Kerusuhan tahun 1929

B. Pemberontakan Arab Palestina 1936-1939 C. Kolaborasi dengan Nazi Jerman

(26)

A. Pembagian Palestina dan Berdirinya Negara Israel B. Perang Arab-Israel 1948

C. Pengambilalihak Hak-hak Bangsa Palestina oleh Negara Arab Tetangga

(27)

BAB II

NATION STATE & NASIONALISME PALESTINA

A. Landasan Teori

Jika kita membahas mengenai status Palestina sebagai Negara Merdeka, kita harus merujuk pada definisi dasarnya, apakah Negara itu ?. Secara etimologi

kata Negara diterjemahkan dari kata “Staat” dalam bahasa belanda dan jerman,

State” dalam bahasa inggris dan “Etat” dalam bahasa perancis17. Dieropa

kata-kata ini kemudian diturunkan dari kata-kata “status” “Statum” dalam bahasa latin. Dalam sejarahnya Kaisar Romawi Ulpianus pernah menyebutkan kata statum

dalam ucapannya “Publicum ius est quad statum rei Romanae Spectat”18.

Menurut Jellinek kata “statum” pada waktu itu masih berarti konstitusi.

Menurut MacIver, Negara adalah Negara adalah persembatanan (penarikan) yang bertindak lewat hukum yang direalisasikan oleh pemerintah yang dilengkapi dengan kekuasaan untuk memaksa dalam satu kehidupan yang dibatasi secara teritorial mempertegak syarat- syarat lahir yang umum dari ketertiban sosial19.

Teori yang cocok untuk meninjau status Palestina adalah Teori Kekuatan, dapat diartikan bahwa Negara terbentuk karena adanya dominasi Negara kuat,melalui penjajahan . menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran (Raison d‟etre) dari terbentuknya suatu Negara. Melalui proses penaklukan dan pendudukan oleh suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu dimulailah proses terbentuknya sebuah negara. Dengan kata lain, terbentuknya suatu negara karena

17

F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, 1999 ,h.90

18

K.C. dowdall, The World State dalam Law Quarterly Review Volume XXXIX, 1923

19

(28)

pertarungan kekuatan dimana sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah negara. Teori ini berasal dari kajian antropologis ketika perang suku bahwa suku yangg menang akan menentukan kehidupan suku yang kalah. Di zaman modern ini,diwujudkan dalam penjajahan oleh Negara barat sehingga pada awal dan pertengahan abad 20 banyak Negara yg kemerdekaannya ditentukan oleh pihak penjajah. Contohnya : Jordania, Malaysia dan Brunei Darussalam20

Teori lainnya yang bisa digunakan untuk menganalisa status Palestina adalah Teori Kontrak Sosial yang dicetuskan oleh John Locke. Teori perjanjian masyarakat. Menurut teori ini negara itu timbul karena perjanjian yang dibuat antara orang-orang yang tadinya hidup bebas merdeka, terlepas satu sama lain tanpa ikatan kenegaraan. Perjanjian ini diadakan agar kepentingan bersama dapat terpelihara dan terjamin. Dapat pula terjadi suatu perjanjian antara penjajah dan daerah jajahan, misalnya : Kemerdekaan Syria dan Jordania21

Teori diatas diperkuat oleh pernyataan Duta Besar Palestina untuk

Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi yang menyatakan : “Masalah Palestina

adalah Perjuangan melawan Kolonialisme, bukan perjuangan agama”22

Namun Permasalahannnya disini, Palestina merupakan kasus yang unik karena merupakan satu-satunya Negara di dunia yang tidak berhasil memerdekakan diri pasca dekolonisasi oleh pihak Kolonial, disinilah penulis ingin mencari dimana letak kesalahn itu.

20

A Ubaidillah dkk. Pendidikan Kewargaan : Demokrasi, Hak Azazi Manusia & Masyarakat Madani. (Jakarta : ICCE, 2010). Hlm.89

21

John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, (London: Everyman, 1993), hal. 9.

22

(29)

B. Munculnya Nasionalisme Palestina

Menurut Muhammad Muslih23, kebangkitan Nasionalisme Arab bertendensi kepada peran sentral gerakan Zionisme, yaitu adanya faktor aksi dari bangsa pendatang dan reaksi dari bangsa yang lebih dahulu tinggal disana. Hal itu juga menjadi salah satu faktor internal bangsa Arab dalam memunculkan Nasionalisme ke permukaan. Dalam kasus ini, para pemikir Nasionalis arab yang mengembangkan paham Nasionalisme baik itu yang bersifat local (Watoniyah) seperti Izzad Darwaza atau Pan Arabisme (Qowmiyah) seperti Shakib Arslan dan Abdurrahman al-Kawakibi, sama-sama mengangkat kontradiksi antara imperialisme Eropa dan kebangkitan bangsa Arab. Mereka selalu melihat dari sudut kebangkitan kekuatan baru di Timur wilayah Suez pasca runtuhnya Turki Usmani sebagai dampak dari perselisihan kekuatan-kekuatan asing. Disisi lain kebanyakan penulis Yahudi melihat Palestina dari sisi kewilayahan dimana politik Palestina itu berkembang24.

Entitas politik yang menuntut kemerdekaan diwilayah sebelah timur Terusan Suez pasca Perang Dunia Pertama, ibarat tanaman merambat yang menyeruak diantara reruntuhan Turki Usmani. Setelah kekalahan Turki Usmani, kekuatan pusat didunia Islam digantikan oleh Dinasti-dinasti lokal. Maka dari itu Nasionalisme lokal mulai mengakar di Palestina, Syria dan Irak25.

Namun untuk membedah mengenai Nasionalisme Palestina kita harus merujuk pada Sejarah Palestina yang lalu. Tanah Palestina memiliki sejarah yang

23

Muhammad Muslih adalah Dosen Jurusan Sastra & Bahasa Timur Tengah di Universitas Columbia, New York

24

Muhammad Muslih. “Arab Politics &Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94

25Muhammad Muslih. “Arab Politics & Rise of Palestinian Nationalism”.

(30)

sangat panjang. Wilayah ini merupakan tempat asal semua keturunan Ibrahim, kakek moyang ketiga agama samawi yaitu Kristen, Yahudi, dan Islam. Nama

klasik yang terkenal untuk sebutan negeri ini adalah “Tanah Kanaan”, karena

yang pertama kali bermukim di sini adalah Bangsa Kanaan yang termasuk rumpun Bangsa Semit26.

Nama Palestina sendiri berasal dari kata „Peleset‟,pertama kali digunakan

oleh Bangsa Mesir untuk menyebut Sea People, sekelompok Suku Petarung Liar yang menyerbu Mesir pada akhir Zaman Perunggu. Sebenarnya mereka adalah Keturunan Bangsa Luwian, yang termasuk Rumpun Indo-Eropa dan berasal dari Anatolia. Namun mereka bermigrasi ke wilayah-wilayah pesisir seperti Gaza dan Ashkelon, lalu berasimilasi dengan orang-orang Kanaan. Kemudian Penduduk

Kanaan menamai negeri mereka dengan sebutan „Filistin‟, ejaan Kanaan dari

nama Peleset.27

Tahun 1020 Sebelum Masehi, Bangsa Semit Yahudi menjadi semakit kuat dan menggeser posisi Bangsa Filistin dengan berdirinya Kerajaan Israel dibawah kepemimpinan Saul, lalu dilanjutkan oleh David dan, Solomon. Selanjutnya, Kerajaan itu pecah menjadi Kerajaan Yehuda di Selatan dengan Ibukota Jerussalem dibawah Kepemimpinan Rehabeam dan Kerajaan Israel di Utara dengan Ibukotanya yaitu Samaria, dibawah kepemimpinan Jeroboam.28 Bangsa Yahudi disingkirkan setelah Neo-Assyrian Empire yang juga berasal dari rumpun Bangsa Semit menyerang Israel, pemimpin Neo-Assyrian

26

Michael Coogan, Stories from Ancient Canaan. (Philadelphia : John Knox press,1978), h.10

27

Abraham Malamat, Egyptian Decline in Canaan & The Sea Peoples:The Period of the Judges. (New Brunswick : Rutgers University Press, 1971), h.24

28

(31)

Empire yang terkenal kejam adalah Tighlath Pletser III dan Sargon II.Pada masa kekuasaan Assyria. Bahasa Aramaik dan Assyrian menjadi bahasa percakapan sehari-hari di wilayah ini. Nama Filistin sebagai nama wilayah digunakan kembali oleh Penguasa Assyria dengan ejaan Palashtu atau Pilistu.29 Nama Palestina kemudian menjadi populer pada abad ke 5 Sebelum Masehi berkat Bangsa Yunani, lewat tulisan-tulisan Herdotus. Ia menyebut wilayah dari Pegunungan Yudea dan Lembah Sungai Jordan sebagai

“Palaistina”30

.

Pada tahun 63 SM, Pompey atau yang sering disebut Pompius menaklukan Tanah Israel dan menamai Israel sebagai Roman Iudaea. Tahun 135 Masehi, Pemimpin masyarakat Yahudi yang bernama Simon Bar Kokchba melakukan pemberontakan melawan Romawi. Emperor Hadrian mengirimkan Julius Sevenus dan sejumlah besar Legiun untuk memadamkan pemberontakan serta menaklukan Jerussalem. Pada saat itu, bangsa Yahudi kalah dan dibuatlah peraturan yang melarang mereka masuk ke kota apapun alasannya31.

Setelah pemberontakan, Emperor Hadrian mengubah nama Jerussalem menjadi Aelia Capitolina. Tempat peribadatan Yahudi, Haikal Solomon, diganti dengan Kuil Jupiter, lambang supremasi Roma. Mulai saat itu bangsa Yahudi tersebar ke luar Palestina. Namun, ada sebagian komunitas kecil yang tetap

29 Simo Parpola. “

National & Ethnic Identity in Neo-Assyrian Empire & Assyrian identity of Post-Empire Times.University of Helsinki.Paper for the International Symposium “Ethnicity in Ancient Mesopotamia‟”, Leiden,2002. Journal of Assyrian Academic Society, h.8

30

Pierre Henry Larcher. Larcher's Notes on Herodotus: Historical and Critical Remarks on the Nine Books of the History of Herodotus, with a Chronological Table, Volume 1. (Charleston :Nabu Press,2006), h.427

31

(32)

bertahan di sana32. Emperor Hadrian juga menghapus nama Israel maupun Yudea, lalu diganti menjadi Provincia Syria-Palaestina; Pemilihan nama yang bersumber dari bahasa Yunani itu disebabkan karena Bangsa Romawi banyak menyerap budaya serta kearifan Yunani33.

Sesudah masa itu, pengaruh agama Kristen yang berasal dari Palestina masuk ke Roma. Pada masa Emperor Constantine, agama Kristen menjadi agama Resmi Negara; kemudian agama tersebut disebarkan kembali ke daerah asalnya yaitu Palestina. Pasca pembagian Romawi tahun 395, Palestina berada dalam kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur atau yang disebut juga Kekaisaran Byzantium, dimana Bahasa Yunani merupakan Bahasa Resmi Negara. Provinsi Syria-Palaestina dirombak kembali susunannya : 1) Provinsi Palaestina Prima, yang mencakup Ibukota Jerussalem,Tepi Barat & Laut Mati juga Jalur Gaza; 2) Provinsi Palaestina Secunda, mencakup sekitar Danau Tiberias di Utara; 3) Provinsi Palaestina Salutaris, mencakup sisi Timur Sungai Jordan & Semenanjung Sinai34

Tahun 611 M, Khoesraw II, Penguasa Kekaisaran Sassanid Persia membangun aliansi dengan rakyat Yahudi yang terusir untuk menyerang Palestina. Palestina kemudian dibentuk menjadi Persian-Jewish Commonwealth, Jerussalem berhasil direbut. Gereja Holy Sepulchre dihancurkan dan hartanya dibawa ke Persia, sedangkan para uskupnya ditahan35.Pada Tahun 628 M,

32Fergus Millar.”Tranformation of Judaism under Greco

-Roman Rule : Response to Seth

Schwartz‟s „Imperialism & Jewish Society”. Oriental Institute Oxford.Journal of Jewish Studies.Vol.53, no.1 (Spring 2006). h144

33

Benjamin Isaac & Yuval Shahar. Judaea Paleastina , Babylon & Rome : Jews in Antiquity. (Tübingen : Mohr Siebeck,2012), h. 181

34

James Clarcke. Writers on Palestine. h.245

35

(33)

Emperor Heracleus dari Byzantium menaklukan kembali teritorial tersebut. Sayangnya, Kekuasaan Byzantium di Palestina tidak berlangsung lama.

Sepuluh tahun kemudian, tentara Arab Muslim berhasil menguasai

wilayah Palestina. Mereka mengeja nama “Palaestina” sebagai “Filastin” untuk

wilayah tersebut. Bahasa Yunani & Aramaik yang sebelumnya merupakan Lingua Franca (bahasa percakapan sehari-hari) di seluruh Levant (Syria Raya) digantikan oleh Bahasa Arab secara berangsur-angsur.

Ketika Palestina masuk di bawah kekuasaan pemerintahan Islam pada masa kekhalifahan Bani Umayah (661–750), Provinsi Palaestina Prima dirubah menjadi Distrik Militer (jund), bernama Jund al-Filastin dan menjadi salah satu wilayah dari Provinsi Bilad ash-Sham (Syria Raya). Jundal-Filastin membentang dari Gurun Sinai hingga dataran rendah Acre, termasuk di dalamnya Kota Rafah, Caesarea, Gaza, Jaffa, Nablus dan Jericho; sedangkan Ibukota distrik ini adalah Ramalah. Provinsi Palaestina Secunda juga dirubah menjadi Distrik Militer bernama Jund Urdunn mencakup wilayah Utara & Timur dari Jund

al-Filastin, termasuk diantaranya Kota Beit She‟an and Tiberias36.

Selanjutnya Palestina berkembang menjadi wilayah yang otonom pada masa kekhalifahan Abbasiyah, yaitu setelah masa pemerintahan Abu Abbas al Saffah dengan Ramalah tetap menjadi sentral pemerintahan. Seiring dengan melemahnya pemerintahan pusat Abbasiyah, Palestina dikuasai oleh sejumlah

em%20in%20614CE%20compared%20with%20Islamic%20conquest%20of%20638CE.pdf, diakses pada hari jumat tanggal 4 April 2014

36

(34)

dinasti lokal yang semakin menguat seperti Ikhsidiyah, Tuluniyah, dan akhirnya

Palestina jatuh ke tangan Kekhalifahan Syi‟ah Fatimiyah pada tahun 96837

.

Pada masa Perang Salib, Palestina pernah jatuh ke tangan tentara Kristen. Mereka berkeinginan untuk kembali menguasai Palestina, terutama Kota Suci

Jerusalem. Pada Konsili Clermont, Paus Urbanus II meneriakkan “Deus Veult,

Deus Veult !!” (Tuhan Menghendaki). Urbanus II menjanjikan bahwa siapapun

yang ikut serta dalam peperangan ini akan langsung masuk surga atau setidaknya memperpendek waktu di Api Neraka (Flame of Purgatory)38.

Provokasi Paus tersebut menjadi sangat efektif pada para bangsawan Eropa yang berkeinginan untuk menebus dosa dengan berperang melawan kaum

“kafir”, juga karena tergiur harta rampasan perang yang akan didapatkan.

Mengikuti ajakan Paus Urbanus, pada musim panas tahun 1097 sekitar 150.000 Ksatria dari Inggris, Prancis dan Holy Roman Empire berkumpul di Konstantinopel. Pasukan ini berhasil menaklukan Palestina pada tahun 109939.

Setelah Penaklukan, Godfrey de Bouillon dari Lothringen Hilir selaku Panglima Perang diangkat sebagai Pelindung Makam Suci (Advocatus Santci Sepulchri)40, lalu ia beserta para Ksatria Salib (Crusader) menciptakan 4 Kerajaan Kristen di wilayah Palestina dan Syria yakni : Kingdom of Jerussalem, County of Edessa, Principality of Antioch dan County of Tripoli. Wilayah wilayah itu

37

Moshe Gil. History of Palestine : 634-1099. (Cambridge : Cambridge University Press.1997), h.306-310

38

Ratna Rengganis. Sosok di balik Perang. (Jakarta : Raih Asa Sukses,2013), h.146

39

Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari masa Klasik hingga Modern.(Yogyakarta : Lesfi,2010), h.116

40

(35)

dikenal sebagai Outremer, dari bahasa Prancis yang artinya „tanah sebrang

daratan‟, sebab mereka terletak di sebrang Laut Mediterania41

.

Setelah Jerussalem jatuh ke tangan Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1187, ibukota Kingdom of Jerussalem dipindahkan ke Acre. Pada akhir abad ke 13, Outremer kehilangan sejumlah wilayah, termasuk Caesarea, Apollonia, Antioch dan Tripoli karena direbut oleh sultan sultan Dinasti Mamluk Mesir. Perlawanan terakhir Kristen adalah di Acre pada tahun 1291. Ksatria dari Orde Hospitaller, Guillaume de Clermont mempertahankan benteng kota Acre yang mulai runtuh dengan sekuat tenaga; namun ia dan pasukannya dikalahkan oleh Sultan Khalil sehingga terpaksa menyerahkan Acre beserta kota kota lainnya, seperti Beirut, Haifa dan Tyre yang menandai akhir dari Kekuasaan Outremer di Palestina42.

Kekuasaan Dinasti Mamluk atas Palestine berakhir pada tahun 1517. Pada tahun 1517 ini, Turki Usmani dibawah pimpinan Sultan Selim I memperluas wilayahnya ke Timur Tengah dan mencaplok Hejaz, Irak serta Palestina. Wilayah Palestina digabungkan dengan Vilayet Syria dan nama Palestina pun tak pernah terdengar lagi sampai runtuhnya Turki Usmani pada abad ke 2043

Sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya kelompok masyarakat di dalam wilayah Palestina, serta pengalaman beratus tahun dari masyarakat disana yang harus menyaksikan tanah airnya menjadi ajang perebutan dominasi bangsa-bangsa asing, menginspirasi bangsa-bangsa Palestina untuk lebih memiliki rasa cinta

41

Raana Bookhari & Mohammad Seddon.Ensiklopedia Islam. (Jakarta : Penerbit Erlangga,2010),h.85

42

Raana Bookhari & Mohammad Seddon.Ensiklopedia Islam. h.87

43

(36)

pada tanah airnya. Hal ini menjadi salah satu dasar terbentuknya nasionalisme bangsa Palestina.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, nama Palestina (Bahasa Arab : Falastin) menghilang selama 400 tahun kekuasaan Turki Usmani di Timur Tengah yang menempatkan wilayah Palestina yang mencakup Muttasharifate Jerusalem (Kudüs-i Şerif Mutasarrıflığı) dan Kota-kota di sekitarnya seperti Jaffa, Hebron & Betlehem ke dalam wilayah Provinsi Syria (Vilayet Syria)44. Penduduk Arab yang tinggal di wilayah tersebut masih mengidentifikasi dirinya sebagai orang Syria.

Akibat Perang Dunia I, Syria mengalami kehancuran. Para Petani meninggalkan rumah mereka untuk menghindari pertempuran antara tentara Turki dan tentara Inggris sehingga pertanian menjadi tidak terurus. Ribuan orang membanjiri Damaskus untuk mencari pekerjaan. Secara ekonomi, Syria mengalami resesi. Perang ini menggangu export kapas, wol dan gandum. Situasi ekonomi dan Sosial yang kacau ini membuat munculnya seorang tokoh yang berencana mengambil kendali atas wilayah ini, yaitu Faisal bin Husein, putera ketiga dari Sharif Husein bin Ali, yang pernah berperang bersama Inggris melawan Turki Usmani45.

Pada Tahun 1918, Faisal pindah ke Damaskus dimana dengan cepat ia mendulang popularitas dari wilayah tersebut. Ia bercita-cita mendirikan Negara Syria Raya yang mencakup wilayah Syria, Palestina, Lebanon,dan Yordania46.

44

Dror Zeevi. An Ottoman century : the district of Jerusalem in the 1600s, (Albany: State University of New York Press, 1996), h. 121.

45Ernst Dawn. “The Rise of Arabism in Syria”. Middle East Journal

, vol.16 no.2 (Spring 1962), h.145-168

46

(37)

Ambisi Faisal tersebut mungkin dipengaruhi oleh ayahandanya yang juga berambisi mendirikan Kekhalifahan Arab di Timur Tengah.

Perlu dicatat, Kelompok Nasionalis Arab di Syria memberikan dukungan bukan karena loyalitas pada sosok Faisal, melainkan karena para anggota kelompok Nasionalis ini tahu bahwa pihak Inggris mendukung keluarga Hasyimiah47 dan akan mendukung apabila Faisal yang merupakan salah satu anggota keluarga itu menjadi kepala Negara. Malangnya bagi kelompok Nasionalis Arab di Syria, wilayah tersebut berada dibawah kekuasaan dan pengaruh Perancis, sedangkan pemerintahan Perancis tidak memiliki hubungan apapun dengan keluarga Hasyimiah apalagi memperhatikan keinginan bangsa Arab untuk mendirikan suatu Negara.

Tidak seperti kelompok Arab Nasionalis lainnya, Faisal tidak menentang keberadaan Bangsa-bangsa Eropa di Timur Tengah. Alasannya sederhana saja, bangsa Arab saat itu tidak memiliki kekuatan militer dan finansial yang memadai untuk dapat menentang pengaruh Inggris dan Perancis. Mayoritas Nasionalis Arab, menentang cara-cara yang digunakan Faisal untuk berkompromi dengan pihak Eropa demi mewujudkan cita-citanya mendirikan Negara Syria Raya. Kelompok Nasionalis seperti Jam‟iyyat Al Fatat al-Arabiyyah (Young Arab Society) yang didirikan oleh Izzat Darwaza, meyakini bahwa bangsa Arab bisa mengalahkan bangsa Inggris dan Perancis dalam perang. Kelompok yang lebih

47

(38)

ekstrim seperti Jam‟iyyat Al Ahad (The Covenant Society) juga ikut menentang Faisal.

Tahun 1919 ketika Syria berada dibawah Mandat Perancis, Faisal mengadakan Konggres Nasional Syria di Damaskus. Jendral Inggris Edmund Allenby yang menaklukkan Jerusalem pada tahun 1919 mengingatkan Faisal bahwa konggres tersebut akan memancing kemarahan pihak Perancis. Walaupun sudah diberi peringatan, Faisal tetap mengadakan konggres tersebut pada bulan Juni. 1919. Tiga fraksi politik Syria yang mendominasi Konggres adalah yang pertama, Jam‟iyyat Al Fatat al-Arabiyyah (Young Arab Society) yang menentang system Mandat Liga Bangsa-Bangsa dan memandang Inggris dan Perancis sebagai penjajah yang ingin merampas kemerdekaan bangsa Arab; kedua, para loyalis Faisal yang menentang Mandat Perancis dan lebih menyukai Mandat Inggris; ketiga, pihak Nasionalis Arab yang menginginkan Amerika Serikat juga memiliki mandat atas Syria, karena tertarik pada konsep Presiden Woodrow

Wilson mengenai “Self Determination”48

.

Konggres ini berakhir pada Maret 1920 dengan hasil yang tidak menguntungkan kubu Faisal, karena ia gagal menyatukan kelompok Nasionalis Arab yang radikal ke barisan politiknya yang lebih moderat. Kongres ini menyatakan Syria sebagai negara merdeka dengan wilayah yang juga mencakup Lebanon dan Palestina. Kongres tersebut tidak mengakui kekuasaan Mandat Liga Bangsa-Bangsa terhadap Syria, serta menentang rencana Inggris untuk mendirikan

48

(39)

Jewish National Homeland di Palestina, dan menuntut pasukan Perancis dan Inggris mundur dari Timur Tengah serta menyatakan Faisal sebagai Raja Syria49.

Faisal menjadi korban dari rencana kaum Nasionalis di satu sisi dan korban dari kepentingan Perancis terhadap Syria di sisi lain. Pada bulan Juli 1920, pasukan Perancis dibawah Jendral Henry Gouraud mengalahkan Pasukan Syria

dalam “Pertempuran Maysalun” dan berbaris memasuki Damaskus50

. Raja Faisal langsung melarikan diri dari Syria ke pelabuhan Haifa dan terus ke London. Tahun 1921, pihak Inggris mengangkatnya sebagai Raja di Irak, para pengikutnya menjadi terpecah belah di Mesir , Irak dan Palestina51.

Kegagalan mendirikan Negara Syria Raya berdampak besar terhadap kelompok Nasionalis Arab di Palestina. Dalam pandangan kelompok Nasionalis dari Palestina, Negara Syria Raya yang dipimpin oleh Faisal merepresentasikan langkah penting untuk mewujudkan cita-cita mereka mendirikan Negara Arab yang merdeka dan bersatu. Menteri Luar Negeri Faisal yang bernama Said Al Hussayni menganggap bahwa pemerintahan Arab di Damaskus seharusnya dapat membantu perlawanan mereka terhadap Zionisme. Mereka menentang niat Inggris untuk mendirikan Jewish National Homeland di Palestina52.

Saat itu, Liga Bangsa-Bangsa mempercayakan wilayah Palestina kepada Inggris dengan dibentuknya Mandat Inggris untuk Palestina. Inggris memberikan nama Palestina kepada wilayah tersebut, mengacu pada nama dalam Bahasa Latin

49Ernst Dawn. “The Rise of Arabism in Syria”. Middle East Journal

, vol.16 no.2 (Spring 1962), h.145-168

50

Karl Ernest Meyer & Shareen Blair Brysac. Kingmakers: The Invention of the Modern Middle East, (New York : W. W. Norton & Company, 2008), h.359

51

Tamara Sonn. Islam : A Brief History (Second Edition). (Chichester : Wiley Blachwell,2004), h.126

(40)

yang diberikan Imperium Romawi53. karena Peradaban Eropa Barat sangat dipengaruhi oleh budaya, bahasa, serta teladan Romawi

Kegagalan Faisal tidak menghapuskan Nasionalisme Arab di Palestina begitu saja, melainkan semakin memperuncingnya. Setelah Faisal melarikan diri dari Damaskus, kelompok Nasionalis Arab di Palestina berkonsentrasi untuk mendirikan Negara Arab Merdeka di wilayah Palestina sendiri54. Sejak saat itu, Nasionalisme Arab di Palestina bertransformasi menjadi bentuk yang unik, Ditengah situasi Politik yang memanas, seorang loyalis Faisal bernama Amin al-Hussayni55, muncul sebagai tokoh pemimpin dominan sejak saat itu56.

Amin Al Hussayni yang juga merupakan pemimpin kelompok Nasionalis Arab diwilayah Palestina, menganggap Inggris sebagai penjajah57. Sementara pemerintah Mandat Inggris sendiri terjebak antara tuntutan kelompok Nasionalis Arab disatu sisi dan tuntutan kelompok Nasionalis Yahudi yang ingin mewujudkan Jewish National Homeland di Palestina disisi lain.

Walaupun Nasionalisme Palestina telah menemukan bentuknya, tetap sulit untuk mentransformasi ruh Nasionalisme itu menjadi sebuah Negara, karena Pemikiran mengenai Nasionalisme hanya dimiliki oleh Keluarga Elit Perkotaan (Belladin) yang memiliki akses pendidikan tinggi, seperti Hussayni, Nasashibi & Khalidi58. Sedangkan rakyat Palestina yang mayoritas bekerja sebagai petani

53

Tamara Sonn. Islam : A Brief History. (Chichester : Wiley Blachwell,2004), h.128

54

Muhammad Muslih. “Arab Politics & Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94

55

Baruch Kimmerling & Joe S Migdal .The Palestinian People. (Massachusets : Harvard University Press,2003), h.90

56

Daniel Pipes. Greater Syria : The history of Ambition. (New York: Oxford University Press, 1990), h.71

57Philip Mattar. “Mufti of Jerussalem & Politik of Palestine”.Middle East Journal

. Vol.42 no.2 (Spring 1988) h.227-240

58Muhammad Muslih. “Arab Politics & Rise of Palestinian Nationalism”.

(41)

(Fellahin) telah hidup berabad-abad dibawah Pemerintahan Turki Usmani yang kurang memperhatikan pendidikan maupun kesejahteraan bagi rakyat kecil59, akibatnya mereka terperangkap dalam Comfort Zone dimana mereka hanya tertarik untuk melindungi tanah pertanian, ternak dan keluarganya dari ancaman pendatang asing60. Kesenjangan di tingkat ideologis, pendidikan, dan pemikiran antara elit dan rakyat kebanyakan merupakan salah satu factor penting atas kegagalan kaum Nasionalis Palestina memperjuangkan negara merdeka.

Dengan kata lain, Palestina adalah kasus yang unik, karena eksistensinya dibentuk oleh factor eksternal. Disinllah terjadi konflik antara Nasionalisme Bangsa Palestina melawan kekuatan Eksternal yaitu Kolonialisme yang dilakukan oleh Bangsa-bangsa lain yang berujung pada kegagalan Palestina mendirikan Negara Merdeka.

59

Fred Khouri. The Arab-Israeli dilemma. (New York: Syracuse University Press,1974),h.13

(42)

BAB III

AWAL MANDAT INGGRIS & KEBIJAKANNYA

A. Lahirnya Mandat Inggris

Di penghujung Perang Dunia Pertama, Divisi Ekpedisi Mesir yang dipimpin oleh Edmund Allenby, merebut Jerusalem dari pasukan Turki Usmani pada tanggal 9 Desember 1917. Divisi Ekpedisi Mesir kemudian menduduki seluruh Syria menyusul kekalahan pasukan Turki dalam Pertempuran Megiddo pada bulan September 191861.

Pasukan Inggris dan Perancis yang ketika itu telah menguasai seluruh wilayah Turki Usmani di Timur Tengah, memutuskan untuk membuat pemerintahan militer sementara di wilayah yang mereka duduki. Pemerintahan tersebut dinamai OETA (Occupied Enemy Territory Administration)62. Dalam hal ini, Palestina masuk kedalam wilayah OETA Selatan (Southern OETA) yang mencakup Muttasharifate Jerusalem (Kudüs-i Şerif Mutasarrıflığı) dan kota-kota di Sekitarnya seperti Nablus, Acre dan Hebron. Wilayah lainnya seperti Lebanon masuk ke dalam OETA Utara (Northern OETA), sedangkan Syria & Saudi Arabia masuk ke dalam OETA Timur (Eastern OETA)63.

Pada awalnya, Jendral Edmund Allenby sendiri yang mengambil tanggung jawab langsung terhadap urusan administrasi dan politik di wilayah OETA Selatan, namun kemudian ia mengalihkannya kepada pejabat dari Mesir, yang ketika itu masih merupakan koloni Inggris. Setelah berkonsultasi dengan pejabat

61

Howard Sachar . The emergence of middle east 1914-1924,(Westminstter : The Penguin Press, 1969),h.122-138

62John McTague,Jr. “Anglo

-French Negotiation over the Boundaries of Palestine

1919-20” Journal of Palestine Studies. Vol.11 no.2 (Winter 1982),h.100-112

63

(43)

utusan Mesir tersebut, Edmund Allenby menunjuk kepala administrasi pusat untuk Palestina. Kemudian, Edmund Allenby juga membagi wilayah Palestina menjadi 9 distrik : Jerusalem, Haifa, Hebron, Jenin, Nablus, Safed, Acre, Tiberias, Galilea, Tulkarem dan Beersheba. Setiap distrik diperintah oleh seorang Gubernur Militer. Tujuan utama dari pembentukan pemerintahan militer ini adalah untuk memperbaiki kondisi sarana & prasarana di lapangan yang rusak akibat Perang, seperti kantor pos, rumah sakit, bank, dan lain lain. Setelah Edmund Allenby kembali ke Inggris, masih ada dua orang perwira tinggi yang memerintah OETA Selatan, yaitu Mayor Jendral H.D. Watson & Letnan Jendral Louis Bols64.

Pada tanggal 24 April 1920, pihak sekutu sebagai pemenang Perang Dunia Pertama mengadakan pertemuan di San Remo, Italia. Liga Bangsa-Bangsa memutuskan bahwa wilayah-wilayah pendudukan belum siap untuk diberi

kemerdekaan, maka harus diurus oleh administrasi sipil yang disebut „Mandat‟.

Sesuai dengan yang telah disepakati sebelumnya dalam Perjanjian Sykes-Pycot tahun 1916, Inggris mendapat mandat atas wilayah Palestina dan Transjordania65.

Apa perbedaan sistem Mandat Liga Bangsa Bangsa yang dijalankan oleh Inggris di Palestina dengan Koloni Inggris di Hongkong dan Singapura ?.Terbentuknya Sistem Mandat dilandasi oleh situasi international waktu itu,

dimana gagasan “Self-Determination” dari Presiden Amerika, Woodrow Wilson

mengemuka. Hal itu disebabkan oleh hancurnya sejumlah imperium besar yang mewakili system feudal. Golongan liberal dan humanis di Inggrislah yang berinisiatif memprakarsai terbentuknya sistem Mandat dengan tujuan sebagai

64

Robert H Eisenmann, Islamic Law in Palestine &Israel : A History of the Survival of Tanzimat and Sharia in the British Mandate & Jeiwsh State. (Leiden : Ej Brill,1978), h.11-12

65

(44)

sarana transisi masyarakat dari statusnya sebagai penduduk koloni yang terbelakang secara politik dan dieksploitasi secara ekonomis, menjadi masyarakat yang siap untuk hidup di zaman modern66.

Pengertian tersebut, ditekankan pula oleh Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, yang menyatakan bahwa Mandat adalah sebuah Supervisi. Ibaratnya, seperti anak yang kehilangan orangtuanya dan diasuh oleh orang lain sampai siap hidup mandiri. Negara pemegang Mandat, dalam hal ini Inggris bertanggung jawab pada Liga Bangsa-Bangsa untuk menyiapkan Palestina agar siap diberi kemerdekaan67

Roza el-Eini berargumen bahwa rasa superioritas bangsa Eropa juga menjadi faktor dominan dibalik alasan pembentukan sistem Mandat. Apabila dulu British Empire berperan sebagai imperialis yang mencari kekayaan dan kejayaan dengan mengumpulkan sejumlah besar koloni di seberang lautan, sekarang

mereka mengulurkan tangannya, berkorban untuk “menolong” bangsa yang belum

maju yang dalam hal ini adalah Palestina. Rasa simpati ini disebut “White Man

Burden” (beban bangsa kulit putih)68

.

Mandat Inggris di Palestina dipimpin oleh seorang Komisaris Besar bernama Herbert Samuel yang pada masa kepemimpinannya, Samuel memberikan amnesti kepada Amin Al- Husayni69 yang saat itu sedang mendekam di penjara”. Setelah bebas, Al- Husayni dilantik oleh Herbert Samuel menjadi Mufti Agung

66 Susan Pedersen, “The Meaning of Mandat System : An Argumen”.

Geschicte und Gesselschaft.32 Jahrige.H.4.Sozialpolitik Transnational (Oct-Des 2006). h.560-582

67

Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014.

68

Roza El-Eini. Mandate Landscape : British Imperial Rule in Palestine 1929-1948.( London & New York : Routledge,2004),h.7

69

Amin al-Hussayni adalah loyalis Raja Faisal yang terusir dari Syria oleh Pemerintah Mandat Prancis. Ia adalah anggota salah satu klan Aristokrat yang cukup berpengaruh di Palestina, ia juga dikenal sebagai paman dari Yasser Arafat. Namun, ia dipenjara karena terlibat dalam

(45)

Palestina (Mufti Filastin al-Akbar). Selain itu, Herbert Samuel mendirikan Dewan Tinggi Muslim (Supreme Moslem Council) yang bertugas mengatur dan menjaga lembaga-lembaga dan komunitas Islam di Palestina. Dalam lembaga ini, Amin al-Husayni diangkat menjadi pimpinan pertamanya70. Langkah tersebut dilakukan oleh Samuel untuk mempersiapkan pemerintahan independen di Palestina.Namun para elit Arab Palestina sendiri menolak segala usaha Samuel yang mencoba menggabungkan elit Yahudi dan elit Arab dalam satu wadah institusi71.

Samuel tidak bisa menerima tuduhan elit Arab Palestina yang menganggap bahwa Mandat Inggris hanya memprioritaskan rencana pembangunan “Jewish

National Homeland”72

. Asumsi ini muncul karena adanya konsesi jaringan listrik untuk seluruh Palestina yang diberikan kepada Pinhas Rutenberg, pengusaha Yahudi yang juga seorang filantropis73.Samuel menyanggah tuduhan tersebut dengan mengklaim bahwa elektrifikasi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh wilayah Palestina. Selain itu, Samuel menganggap akan jauh lebih baik apabila sarana perekonomian lebih banyak diberikan kepada bangsa Yahudi untuk meredam keinginan dan nafsu politik mereka yang diduga kemungkinannya akan bisa menimbulkan konflik politik yang berkepanjangan dengan orang orang Palestina.

Samuel jelas bersikap kooperatif terhadap aspirasi masyarakat Arab Palestina. Hal itu menyebabkan ia mendapat kecaman dari penduduk Yahudi. Walaupun Samuel telah menetapkan bahasa Ibrani menjadi salah satu dari 3

70

Martin Kolinsky. Law,Order& Riots in Mandatory Palestine 1929-1935. (London : St

Martin‟s Pres,2010), h.86

71

Neil Caplan . Palestine Jewry and the Arab Question, 1917 – 1925, (London : NJ F. Cass, 1978.),h. 148–161.

72

Sahar Huneidi, A Broken Trust: Herbert Samuel, Zionism and the Palestinians 1920–

1925, (London and New York, : I.B. Tauris,2001),h. 38.

73

(46)

bahasa resmi Palestina (kedua lainnya adalah Arab dan Inggris)74, namun penduduk Yahudi tetap saja mengecamnya karena ia menunjuk Amin al-Husayni yang tidak populer di kalangan masyarakat Yahudi.

Pada tahun 1922, Pemerintahan Mandat Inggris juga mendirikan Dewan Legislatif untuk Palestina yang beranggotakan 23 orang. Masyarakat Arab Palestina memprotes pembagian kursi dewan tersebut karena mereka nilai tidak adil. Mereka mengklaim bangsa Arab merupakan 88% penduduk Palestina, sedangkan kursi yang mereka dapat hanya 43%, sehingga orang Arab memboikot pemilihan anggota Dewan.75.

Pada tanggal, 22 Agustus 1922, Musa Kazim al-Hussayni76 mengumpulkan para elit Palestina di kota Nablus untuk mengadakan „Kongres

Arab Palestina‟. Kongres ini menghasilkan beberapa keputusan seperti :

memboikot pemilihan umum, menyatakan sikap menolak pembentukan „Jewish

National Homeland‟, dan memboikot Perusahaan Listrik milik Pinhas

Rutenberg77.

Untuk masalah administrasi wilayah, Mandat Inggris tetap menggunakan sistem distrik seperti yang digunakan pada masa OETA, Sistim ini dipakai juga untuk menyelesaikan masalah peradilan dan keagamaan. Pemerintah Mandat Inggris tetap mempertahankan sistem Millet, yaitu urusan agama setiap kelompok keagamaan diurus oleh pemuka agamanya masing masing dan bahkan peradilan

74 Norman Bentwich. “The Legal System of Palestine under British Mandate”.Middle East Journal,Vol.2 no.1 (Jan 1948), h.33-46

75

Martin Kolinsky. Law,Order& Riots in Mandatory Palestine 1929-1935. (London : St

Martin‟s Pres,2010),h.2 76

Beliau adalah Kerabat Amin al Hussayni sekaligus mantan walikota Jerussalem

77

(47)

agama yang dibuat oleh Turki Usmani pada masa Tanzimat tidak dihapus78. Hal ini karena karena Pemerintah Inggris ingin mempertahankan Perjanjian Berlin 13 Juli 1878 yang dibuat atas inisiatif Otto von Bismarck guna memberikan kepastian dan menjamin adanya kebebasan beragama di seluruh wilayah Turki Usmani79.

Masih di tahun 1922, wilayah Mandat Inggris di sebelah timur, yaitu Transjordania mendapat serangan dari Suku Ikhwan, yaitu kelompok suku nomaden yang berasal dari Gurun Najd dan memiliki afliliasi dengan Keluarga Saud. Tujuan utama penyerangan suku Ikhwan ke Transjordania adalah untuk menyebarkan paham Wahabbi yang mereka anut. Suku Ikhwan bertindak keras dengan menghancurkan jaringan tiang telepon di sepanjang jalan, karena mereka menganggap benda itu adalah hasil karya setan. Tentara Inggris memutuskan bekerjasama dengan Abdullah bin Hussein, Putra Sharif Hussein di Mekkah yang pernah membantu Inggris melawan Turki Usmani. Akhirnya, kerjasama kedua pihak ini berhasil mengusir suku Ikhwan keluar dari Transjordania80

Sebagai imbalan, Pemerintah Mandat Inggris menyerahkan sebagian dari wilayahnya yang dinilai kurang menguntungkan karena banyak dihuni oleh suku suku Bedouwin nomaden81, yaitu wilayah Transjordania kepada Abdullah melalui

kebijakan “British White Paper 1922”. Kebijakan Inggris ini sangat menyakitkan

hati para elit Yahudi dan menganggapnya sebagai pengkhianatan serta

78

Robert H Eisenmann, Islamic Law in Palestine &Israel : A History of the Survival of Tanzimat and Sharia in the British Mandate & Jeiwsh State. (Leiden : Ej Brill,1978), h.13

79

Text Perjanjian Berlin, http://www.fordham.edu/halsall/mod/1878berlin.html, diakses pada 13 Mei 2014

80

Darik Ibrahim Erwan, To What Extent of Did the Alliance of Ibnu Saud & the Ikhwan during the 1920‟s Lead to the Achievment of their goals ? (Massachusets : Concorde Review.inc,1989), h.112

81

(48)

pelanggaran terhadap Dokumen “British Mandate for Palestine” Artikel 15 yang menyatakan bahwa tidak ada wilayah Palestina yang boleh diserahkan atau disewakan, atau dengan cara apapun, ditempatkan di bawah kontrol pemerintahan atau kekuasaan asing”82.

Alasan pihak Zionis Yahudi menentang pemisahan Transjordania dari Mandat Inggris di Palestina, juga didasari oleh firman Tuhan yang tertulis dalam Kitab Taurat. Dalam (Joshua 13:24-31), Wilayah Transjordania adalah daerah yang pertama-tama didiami oleh orang Yahudi sebagai bagian dari penaklukkan

Palestina sesudah peristiwa „Exodus dari Mesir‟. Dengan kata lain, kebijakan

Pemerintah Mandat Inggris tersebut bertentangan dengan kehendak kelompok

Zionis yang menganggap Transjordania juga merupakan bagian dari „Tanah yang

dijanjikan‟83

.

Dalam “British White Paper 1922”, Inggris juga menyatakan tidak

mendukung berdirinya sebuah negara-bangsa Yahudi yang terpisah dari wilayah Arab lainnya. Definisi Inggris mengenai Jewish National Homeland adalah pembentukan komunitas Yahudi yang mandiri di wilayah Palestina84. Selain itu, dalam salah satu alenianya, White Paper ini juga menyangkal tuduhan bangsa Arab Palestina mengenai proyek pembentukan sebuah negara Palestina Yahudi dan menyatakan bahwa pemerintah Inggris tidak berkeinginan untuk melihat

Palestina sebagai “boneka Yahudi Inggris”85

82

British Mandate for Palestine, Source : The American Journal of International Law, Vol.17 no.3 , Suplement : Official Document (July 1923), h.164-171

83

The Black Paper on The Jewish Agency and The Zionist Terrorist. Arab Higher Committee Archive, 12 Maret 1948, h.5

84

Martin Kolinsky. Law,Order& Riots in Mandatory Palestine 1929-1935. (London : St

Martin‟s Pres,2010), h. 11 85

(49)

Keberadaan Mandat Inggris di wilayah Palestina sebenarnya membantu Palestina menjadi daerah otonom dengan pergerakan roda ekonomi yang jauh lebih baik dibandingkan negara Arab lainnya. Namun, timbul resistensi dari penduduk Arab Palestina sendiri yang bersikap tidak kooperatif, sehingga eksistensi pemerintahan administrasi sipil ini tidak dapat berfungsi maksimal dan jauh dari yang diharapkan ketika Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Inggris86

B. Kebijakan mengenai imigrasi Yahudi (Aliyah)

Salah satu kebijakan Pemerintah Mandat Inggris adalah memfasilitasi migrasi etnis Yahudi ke Palestina atau yang dikenal sebagai gerakanAliyah‟87. Aliyah ini pernah berlangsung sebelum era Mandat Inggris, yaitu sejak penindasan komunitas petani Yahudi di Russia pada tahun 1881. Namun pada masa Perang Dunia Pertama, migrasi Yahudi berhenti akibat situasi yang tidak aman.88

Didalam tubuh pemerintahan Inggris, ada faksi yang bersimpati kepada usaha masyarakat Yahudi untuk pulang ke “Tanah yang dijanjikan”, Salah satunya adalah Arthur Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu. Pada tanggal 2 November 1917, dia mengirim surat kepada Lionel Rothschild, pemimpin gerakan Zionisme yang isinya menyatakan dukungan resmi pemerintah Inggris untuk mendirikan Jewish National Homeland di Palestina89. Janji Inggris dalam Deklarasi Balfour dan adanya Mandat Inggris di Palestina, menyebabkan Inggris

86

Ahmad Ghazali Khairi & Amin Bukhari.Air Mata Palestina, (Jakarta: Hi-Fest, 2009). Hal. 141

87Secara etimologis, kata Aliyah dalam Bahasa

Gambar

Table. (Charleston :Nabu Press,2006),

Referensi

Dokumen terkait