• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu Desa Lingga Dalam Meningkatkan Kepariwisataan Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Potensi Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu Desa Lingga Dalam Meningkatkan Kepariwisataan Kabupaten Karo"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI RUMAH ADAT KARO SIWALUH JABU DESA

LINGGA DALAM MENINGKATKAN KEPARIWISATAAN

KABUPATEN KARO

KERTAS KARYA

DISUSUN

O

L

E

H

YUNI ARTIKA DEWI GINTING

NIM : 072204007

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NON GELAR

BIDANG KEAHLIAN USAHA WISATA

(2)

POTENSI RUMAH ADAT KARO SIWALUH JABU DESA LINGGA DALAM

MENINGKATKAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN KARO

DISUSUN

O

L

E

H

YUNI ARTIKA DEWI GINTING

NIM : 072204007

Pembimbing,

(Solahuddin Nasution, SE., MSP.)

Kertas Karya Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Pendidikan Non Gelar

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Diploma III

Dalam Bidang Studi Pariwisata

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NON GELAR

BIDANG KEAHLIAN USAHA WISATA

(3)

Disetujui oleh :

PROGRAM DIPLOMA SASTRA DAN BUDAYA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

Program Studi Pariwisata

Ketua Jurusan,

Drs. Ridwan Azhar, M. Hum.

NIP. 1955 0923 1982 03.1.001

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kertas karya yang berjudul “POTENSI RUMAH ADAT KARO SIWALUH JABU DESA LINGGA

DALAM MENINGKATKAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN KARO”

Kertas karya ini merupakan tugas akhir untuk menyelesaikan studi pada program studi Pariwisata dan disusun untuk memenuhi salah satu syarat akademis dalam menempuh ujian Diploma III dalam Program Studi Pariwisata, Bidang Keahlian Usaha Wisata, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi kertas karya ini masih jauh dari sempurna, semuanya semata-mata karena masih kurangnya pengalaman dan keterbatasan ilmu yang dimiliki oleh penulis. Meskipun demikian penulis berharap kertas karya ini bermanfaat dan berdaya guna bagi penulis dan bagi pembaca serta bagi perkembangan kepariwisataan Indonesia, khususnya di Tanah Karo.

Selama masa pendidikan dan selama penyusunan kertas karya ini, penulis telah banyak menerima bantuan, baik moril dan materi. Maka pada kesempatan uang berharga ini penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Syaifuddin. M.A.Ph.D, selaku dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

(5)

3. Bapak Mukhtar, S.Sos, SE, MA., selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Pariwisata, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Solahuddin Nasution, SE, MSP., selaku Koordinator Praktek Bidang Keahlian Usaha Wisata, Jurusan Pariwisata, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan petunjuk dalam menyelesaikan kertas karya ini. 5. Para Staf Pengajar Program Studi Pariwisata yang telah banyak memberikan

bantuan dan bimbingan kepada penulis, baik pada masa perkuliahan maupun dalam menyelesaikan kertas karya ini.

6. Seluruh pegawai dan staf PT. METRO BATAVIA di kantor perwakilan Medan yang telah banyak membantu penulis selama melakukan PKL serta memberi pengetahuan dan bahan untuk penulisan laporan PKL.

7. Seluruh pegawai dan staf PT. HAS (Henry Aero Star) yang telah banyak membantu penulis selama melakukan PKL serta memberi pengetahuan dan bahan untuk penulisan laporan PKL.

8. Khusus ucapan terima kasih kepada orang tuaku tercinta ANTONI GINTING dan ANI Br. Karo, terima kasih atas doa, perhatian, dan kasih saying serta dukungan moril maupun mateti yang diberikan selama ini.

9. Saudara-saudaraku tersayang OSCAR RIA SURANTA GINTING (abang), ELSA NORA Br. GINTING (kakak), NOVIA FRANSISCA Br. GINTING (adik), NOBEL EBENEZER GINTING (adik), terima kasih atas doa-doa yang telah membantu melancarkan penulis dalam menyelesaikan kertas karya ini.

(6)

Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam kertas karya ini, baik dari segi penulisan maupun isinya. Karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk menyempurnakan tulisan ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas perhatian pembaca. Semoga kertas karya ini dapat memberikan masukan bagi mahasiswa Pariwisata USU, khususnya Program Studi Usaha Wisata, Kepariwisataan pada umumnya.

Medan, Maret 2010

Penulis,

(7)

ABSTRAK

Keanekaragaman kebudayaan tradisional di Indonesia memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang datang berkunjung, baik wisatawan local maupun wisatawan mancanegara.

Kabupaten Karo merupakan daerah kunjungan wisata yang utama di Propinsi Sumatera Utara. Berbagai objek wisata menarik terdapat di daerah ini, salah satu diantaranya adalah objek wisata Desa Budaya Lingga, yang didalamnya terdapat bangunan tradisional yang disebut Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu.

Secara harfiah Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu berarti sebuah bangunan rumah besar yang terdiri dari atas delapan bagian/hunian/kepala keluarga. Namun yang menarik adalah menyangkut konstruksi dan ornamen bangunannya yang unik serta yang lebih penting struktur dan system kekerabatan penghuninya yang spesifik.

Kesemuanya itu menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Karena itu Rumah Adat Siwaluh Jabu yang masih ada di Desa Lingga yakni bangunan besar dengan delapan kepala keluarga penghuni, singsinganya tetap dipelihara dan dilestarikan sebagai objek wisata penunjang kepariwisataan di Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Alasan Pemilihan Judul ... 1

1.2 Pembatasan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Sistematika Penulisan ... 3

1.5 Metode Penulisan ... 3

BAB II URAIAN TENTANG OBJEK WISATA BUDAYA RUMAH ADAT SIWALUH JABU ... 5

2.1 Sejarah Kerajaan Desa Lingga ... 5

2.2 Cara Mendirikan Rumah Adat Siwaluh Jabu dan Struktur Bangunannya ... 8

2.3 Pengaturan Penghuni Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu ... 13

2.4 Adat Istiadat/ Tata Kehidupan ... 15

2.5 Bangunan Tradisional Batak Karo ... 18

BAB III ASPEK KEPARIWISATAAN ... 22

3.1 Obyek Pariwisata di Desa Lingga ... 25

3.2 Potensi Kepariwisataan di Desa Lingga ... 26

(9)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

4.1 Kesimpulan ... 31

4.2 Saran ... 32

(10)

ABSTRAK

Keanekaragaman kebudayaan tradisional di Indonesia memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang datang berkunjung, baik wisatawan local maupun wisatawan mancanegara.

Kabupaten Karo merupakan daerah kunjungan wisata yang utama di Propinsi Sumatera Utara. Berbagai objek wisata menarik terdapat di daerah ini, salah satu diantaranya adalah objek wisata Desa Budaya Lingga, yang didalamnya terdapat bangunan tradisional yang disebut Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu.

Secara harfiah Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu berarti sebuah bangunan rumah besar yang terdiri dari atas delapan bagian/hunian/kepala keluarga. Namun yang menarik adalah menyangkut konstruksi dan ornamen bangunannya yang unik serta yang lebih penting struktur dan system kekerabatan penghuninya yang spesifik.

Kesemuanya itu menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Karena itu Rumah Adat Siwaluh Jabu yang masih ada di Desa Lingga yakni bangunan besar dengan delapan kepala keluarga penghuni, singsinganya tetap dipelihara dan dilestarikan sebagai objek wisata penunjang kepariwisataan di Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Sektor pariwisata merupakan salah satu andalan pemasukan devisa, penyedia lapangan pekerjaan dan penggerak pada perekonomian di sekitar obyek wisata. Karena itu seluruh komponen bangsa harus turut mendukung kemajuan sektor pariwisata, baik menyangkut tata kelola kebijakan, peninggalan kebudayaan tradisional, maupun pengembangan potensi dan pelestarian obyek wisatanya.

Bangsa Indonesia sangat kaya dengan peniggalan kebudayaan tradisional yang masing-masing memiliki daya tarik bagi kunjungan wisata baik mancanegara maupun wisatawan lokal.

Salah satu warisan budaya spesifik di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Karo adalah bangunan Rumah Adat Karo yang dikenal dengan nama Rumah Adat

SIWALUH JABU, yang sebahagian diantaranya masih terdapat di Desa Lingga

Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo.

Secara umum Rumah Adat Karo SIWALUH JABU ini diartikan sebagai sebuah bangunan rumah besar yang terbuat dari bahan kayu dengan rancang desain spesifik tanpa paku besi, yang didalamnya terdiri atas delapan (waluh) bagian dan setiap bagian dihuni masing-masing satu kepala keluarga (jabu) yang mempunyai kedudukan dan fungsi berbeda dalam kaitan sistem kekerabatan suku Karo.

(12)

Dengan demikian maka Rumah Adat Karo SIWALUH JABU di Desa Lingga sebagai obyek wisata menarik untuk diamati, dikembangkan dan dilestarikan guna menunjang kiprah kepariwisataan Sumatera Utara khususnya Kabupaten Karo.

Berdasarkan alur pikir tersebut, penulis tertarik untuk menguraikan berbagai hal yang menyangkut Rumah Adat Karo SIWALUH JABU di Desa Lingga dalam sebuah Karya Tulis dengan Judul : “POTENSI RUMAH ADAT KARO SIWALUH

JABU DESA LINGGA DALAM MENINGKATKAN KEPARIWISATAAN

KABUPATEN KARO”.

1.2 Batasan Masalah

Didalam penulisan Kertas Karya ini, penulis membatasi masalah yang dikemukakan yaitu obyek wisata Rumah Adat Karo SIWALUH JABU Desa Lingga sebagai sarana penunjang dalam hal meningkatkan kepariwisataan Kabupaten Karo.

Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan Sosial Budaya, Ekonomi dan Pembangunan Nasional pada umumnya.

Pembatasan ini terpaksa penulis lakukan supaya penulis tidak terjerumus kedalam masalah yang tidak menentu dan keluar dari masalah yang penulis maksud.

Penulis berpendapat bahwa dengan adanya pembatasan, penulis dapat menguraikan masalah dengan secermat mungkin.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Sebagai tugas akhir menyelesaikan Program Pendidikan D III Ahli Madya Pariwisata.

(13)

1.3.3 Mendapatkan keseimbangan pengembangan lingkungan Desa Lingga sebagai obyek wisata dengan keadaan sekitarnya baik fisik maupun social budaya. 1.3.4 Untuk mengembangkan aspek kepariwisataan pada saat ini yang sangat erat

hubungannya dalam menunjang pembangunan.

1.4 Metode Penulisan

Dalam penyusunan Kertas Karya ini, penulis mengumpulkan data-data dengan dua metode, yaitu :

1.4.1 Library Research (Studi Kepustakaan)

Yaitu pengumpulan data atau teori dengan membaca buku-buku perkuliahan dan bahan-bahan literature yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.

1.4.2 Field Researh (Studi Lapangan)

Yaitu pengumpulan data ke obyek itu sendiri dengan langsung mengadakan penyelidikan di lapangan, dalam hal ini adalah masyarakat yang langsung berhubungan dengan wisata di daerah tujuan wisata.

1.5 Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan ini digambarkan secara garis besar hal-hal yang akan dijabarkan pada bab-bab berikutnya terdiri dari empat bab yang setiap bab mencakup hal-hal sebagai berikut :

(14)

Bab II : Dibahas mengenai sejarah Kerajaan Desa Lingga, cara-cara mendirikan Rumah Adat Siwaluh Jabu, struktur bangunan, pengaturan penghunian, adat istiadat serta bangunan tradisional Batak Karo.

Bab III : Diuraikan tentang obyek pariwisata serta potensi kepariwisataan di Desa Lingga maupun peranan pemerintah melestarikan obyek tersebut. Bab IV : Sebagai penutup atau bab terakhir yang mengemukakan beberapa

kesimpulan dan saran-saran sebagai hasil dari penulisan Kertas Karya ini.

(15)

BAB II

URAIAN TENTANG OBJEK WISATA BUDAYA

RUMAH ADAT KARO SIWALUH JABU

2.1 Sejarah Kerajaan Desa Lingga

Nama Desa Lingga di Kabupaten Karo mulai dikenal sejak kedatangan keturunan Raja Linggaraja dari Dairi. Lingga merupakan daerah peristirahatan yang erakhir dari putera bugsu Raja Linggaraja dalam pengembaraannya ketika putera bungsu itu dibuang dari kerajaan Linggaraja.

Beberapa bulan sebelum putra bugsu dari raja itu dibuang, raja tersebut menderita penyakit yang cukup serius. Atas petunjuk dukun Pak-pak Pitu Sidalanen, raja harus membuang putera bungsunya tersebut dari kerajaan Linggaraja, agar penyakit dapat sembuh.

Sebelum putra bungsu diberangkatkan dari kerajaan, dia dikenali dengan segumpal tanah, sekendi air dan seekor kuda. Raja memberi pesan kepada putera bungsu agar mencari tanah yang keadaannya sesuai dengan tanah yang dibawanya tadi. Putera bungsu akhirnya sampai di hutan Kutasuah, Tanah Karo. Karena tanah disekitar ini sesuai dengan tanah yang dibawanya tadi, maka ditempat itulah ia mendirikan tempat tinggal dan disekitar tempat itu telah ada penduduk lain yang tidak diketahui asal keturunannya, tetapi karena melihat pendatang baru (putera bungsu) itu adalah orang baik-baik, maka mereka sepakat untuk menerimanya sebagai warga desa dan putera bungsu dikawinkan dengan gadis Beru Ginting Suka.

Dari perkawinan itu putera bungsu mendapatkan keturunan empat orang anak yaitu tiga laki-laki dan satu perempuan yang masing-masing diberi nama :

(16)

 Bakti (Laki-laki)

 Cibu (Laki-laki)

 Jumpa Lingga (Perempuan)

Desa tersebut kemudian diberi nama “Lingga” sesuai dengan asal putera bungsu tersebut. Setelah putera-puteri ini dewasa maka mereka berpisah satu sama lainnya ke daerah-daerah:

Lingga : Tetap tinggal di desa Lingga

Bakti : Berangkat ke daerah Utara, membuat suatu tempat tinggal baru yang diberi nama Surbakti.

Cibu : Berangkat ke arah Selatan dan disuatu hutan dia juga mendirikan tempat tinggal yang diberi nama Kacaribu.

Jumpa Lingga : Ikut bersama Lingga dan tak lama kemudian dia meninggal. Masing-masing putera tadi kawin dan mempunyai keturunan di setiap desa dan sepakat membentuk suatu persatuan yang diberi nama “Urung Telu Kuru”.

Lingga mempunyai keturunan lima orang anak laki-laki yang diberi nama 1. Berlin

2. Kencanen 3. Buah 4. Ulungjadi 5. Gara

Kelomok-kelompok perumahan dari masing-masing putera ini, kemudian diberi nama sesuai nama mereka yaitu :

(17)

 Kesain Rumah Buah  Kesain Rumah Ulungjadi  Kesain Rumah Gara

Kemudian pada suatu saat, putera sulung dari raja Linggaraja berangkat menyusul putera bungsu, dan dalam perjalanan dia sampai di Nadi (perbatasan Karo dengan Alas) kemudian ia kawin di desa tersebut dan mendapt keturunan tiga orang putera.

Setelah putera-putera ini dewasa mereka disuruh orang tuanya meninggalkan desa tersebut, karena menurut firasatnya desa itu akan dilanda banjir. Seorang diantara mereka yang bernama Jahe bersama istrinya Beru Nagasaribu berangkat kearah Timur dan sampai di daerah Perbesi Kabupaten Karo. Di Perbesi ia mendapat kabar bahwa penghulu di desa Lingga berasal dari keturunan Raja Linggaraa dari Dairi. Mendengar hal tersebut ia segera berangkat menuju Lingga dan sesampainya di Lingga dia kemudian menuturkan kisahnya kepada penghulu bahwa mereka asih mempunyai hubungan keluarga, sehingga dia diterima oleh warga desa.

Di Lingga, Jahe kemudian kawin lagi dengan gadis Beru Sebayang dari Perbesi dan terakhir dengan gadis Ginting Rumah Page.

Kelompok perumahan keturunan si Jahe ini kemudian diberi nama Kesain Rumah Jahe. Seterusnya akibat perkembangan jumlah penduduk, maka desa Lingga telah terdapat sebelas Kesain yaitu :

1. Kesain Rumah Silebe Merdang

(18)

3. Kesain RumahUlungjadi

4. Kesain Rumah Gara

5. Kesain Rumah Buah

6. Kesain Rumah Bangun

7. Kesain Rumah Benteng

8. Kesain Rumah Jahe

9. Kesain Rumah Kencanen

10. Kesain Rumah Manik

11. Kesain Rumah Taringan

2.2 Cara-cara mendirikan Rumah Adat Siwaluh Jabu dan Struktur

Bangunannya.

Bahan-bahan yang dipergunakan untuk membangun Rumah Adat Siwalih

Jabu bersumberdari hutan. Pada zaman dahulu, untuk mendirikan Rumah Adat

Siwalih Jabu ini dianggap sebagai pekerjaan besar, karena untuk menyelesaikan

pembangunan satu rumah adat memakan waktu sampai satu tahun. Oleh karenanya mendirikan rumah tersebut dilakukan dengan tahap dan selalu dilakukan secara bergotong royong masyarakat.

(19)

2.2.1 Padi-padiken Tapak Rumah

Beberapa keluarga yang bermaksud mendirikan Rumah Adat itu, mencari dan menentukan pertapakan rumah yang bakal dibangun. Apabila pertapakan itu sudah diperoleh dan dianggap baik letaknya, maka akan diadakan suatu acara yang dinamai “pad-padiken Tampak Rumah.” Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah pertapakan tersebut serasi dan tidak menimbulkan bala yang menempatinya kelak.

Biasanya acara Padi-padiken Tapak Rumah diatur pengetua adat dan dukun untuk mendapatkan suatu firasat. Bila ternyata setelah upacara itu dilaksanakan hasilnya kurang baik maka dicari pertapakan lain.

Adapun cara dukun untuk mengetahui hal tersebut adalah dukun mengambil segenggam tanah pertapakan dan dilengkapi dengan belo cawir (sirih). Tanah bersama sirih itu diletakkan pada suatu tempat sebelum tidur dengan terlebih dahulu mengucapkan meminta firasat kepada roh yang berkuasa, melalui mimpinya. Besok harinya, dukun memperhatikan mimpinya dan menanyakan mimpi anggota keluarga yang mendirikan rumah itu. Apabila dukun dalam mimpinya menerima firasat baik begitu juga mimpi anggota keluarga yang mendirikan rumah, maka areal itu dapat digunakan.

2.2.2 Ngempak

Setelah pertapakan didapat, maka keluarga-keluarga yang mendirikan rumah itu menetapkan hari “Salangsari” (baik) dengan perantaraan dukun, untuk dapat pergi ke suatu hutan guna mencari kayu untuk rumah tersebut.

(20)

kayu untuk ditebang. Pada saat penebangan pertama, dukun memperhatikan bagaimana cara tumbang kayu tersebut. Bila pada penebangan pertama itu ternyata ada tanda-tanda yang kurang baik, maka diulang kembali sampai mendapat firasat yang baik. Penebangan kayu pertama ini disebut “Ngempek”

2.2.3 Ngerintak Kayu

Setelah perkayuan dari rumah itu sudah dikumpulkan secukupnya, hal ini bertujuan untuk mengundang penduduk desa agar bersedia memberikan bantuan tenaga dalam menarik kayu dari hutan.

Demikianlah, kayu itu secara bertahap ditarik bersama oleh penduduk sampai semuanya selesai dan terkumpul pada tempat yang telah ditentukan. Setelah selesai pekerjaan Ngerintak kayu, biasanya diadakan suatu kenduri. Semua orang turut menarik kayu itu dan tukang yang akan mengerjakannya diundang dimana diadakan jamuan makan bersama. Biaya kenduri itu menjadi tanggungan keluarga-keluarga yang mendirikan rumah.

2.2.4 Pebelit-belitken

Sebelum pande (tukang) mulai bekerja pada suatu hari yang telah ditentukan diadakan suatu acara yang disebut “Pebelit-belitken”, yang mana pada acara ini dihadiri oleh keluarga-keluarga yang mendirikan rumah beserta anak beru, senina,

kalimbubu, Pengetua atau Bangsa Tanah serta Pande (tukang) rumah yang bakal

dibangun.

(21)

2.2.5 Mahat

Beberapa hari setelah acara Perbelit-belitken, Pande (tukang) telah dapat melakukan tugasnya. Kayu yang telah tersedia itu mulai diukur dan dikupas dengan “Beliung” (semacam kampak) sesuai dengan yang diperlukan, dan pekerjaan yang berikutnya dikerjakan pekerja mahat (memahat) perkayuan.

Pada waktu mahat, masing-masing orang empunya memanggil kawannya lima orang dilengkapi dengan peralatannya. Mula-mula Pande (tukang) memberikan petunjuk yang dilanjutkan dengan “Pemahatan pertama” oleh dukun. Selanjutnya baru dapat dilanjutkan pekerjaan oleh orang-orang yang telah ditentukan.

2.2.6 Ngapaken Tekang

Setelah “Binangun” (tiang besar) selesai dikerjakan dan ditegakkan di atas (fondasi), begitu juga peralatan pekerjaan, perkayuan besar dibahagian bawah rumah itu selesai dipasang, maka sebahagian dari pekerjaan Pande (tukang) telah dapat dikatakan selesai. Oleh karenanya pekerjaan dapat dilanjutkan dengan “Ngampaken

Tekang” yaitu mengangkat dan menaikan belahan balok panjang yang berfungsi

sebagai tutup yang letaknya memanjang di dalam rumah itu.

Pekerjaan ini juga harus disertai oleh tenaga gotong-royong oleh keluarga-keluarga yang mendirikan rumah tersebut.

2.2.7 Ngapeken Ayo

(22)

dipergunakan menjadi Ayo rumah itu, dijepit dengan semacam papan yang bagian bawahnya diberi ukiran.

Setelah Ayo itu selesai dikerjakan, lalu dipasang menurut Pande (tukang) dengan dibantu beberapa orang.

2.2.8 Memasang Tanduk

Walaupun bagian-bagian dari rumah itu telah dikerjakan dan rumah itu dapat dipergunakan, tapi sebelum dipasang tanduknya berarti belum selesai. Oleh karena itu dipasang tanduk pada Rumah Adat Karo sudah menjadi keharusan dan tidak dapat diabaikan.

Tanduk itu terdiri dari sepasang tanduk kerbau yang letaknya dipasang di puncak atap. Pemasangannya harus pada malam hari sesuai dengan kebiasaan dan kepercayaan masyarakat. Dasar dari tempat melekatkan tanduk itu dibuat dari tali ijuk dilipat dengan semacam perekat dan diberi warna dengan cat putih.

Kemudian selanjutnya pekerjaan adalah mengerjakan bahagian “Ture” (serambi) dan tangannya.

Demikianlah urutan acara-acara didalam pelaksanaan yang mendirikan Rumah Adat Karo, menurut kebiasaan yang berlaku pada suku Karo.

(23)

Bila ditinjau dari segi arsitektur bangunannya yang indah. Selain dari segi keindahannya, dikenal berfungsi sebagai pembinaan keluarga dan social

Disamping itu Rumah Adat Karo mempunyai keistimewaan dalam hal pembuatannya. Rumah itu dapat berdiri dengan megahnya walaupun dengan peralatan yang sederhana dan tidak menggunakan paku untuk perekatnya.

2.3 Pengaturan Penghuni Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu

Susunan jabu-jabu dalam Rumah Adat Karo sesuai dengan setiap jabu mempunyai nama, kedudukan dan fungsi tersendiri Rumah Adat Karo terdiri dari delapan jabu (delapan keluarga).

Jabu artinya salah satu dari bagian Rumah Adat Karo sebagai tempat tinggal satu

keluarga setiap anggota-anggota keluarganya yang menempati jabu-jabu itu masih mempunyai hubungan keluarga.

Kehidupan di dalam Rumah Adat Karo diatur oleh kebiasaan atau adapt serta ketentuan-ketentuan lainnya yang diciptakan penghuninya.

Khusus untuk menjaga keamanan harta benda di rumah itu, pada siang hari diadakan tugas jaga secara bergilir yang disebut “Kerin”. Karena pada siang hari semua keluarga yang tinggal di rumah itu bekerja di lading. Dengan adanya Kerin tersebut, maka tanggung jawab sepenuhnya atas segala harta benda milik keluarga yang tinggal di rumah itu menadi tanggung jawab si penjaga.

(24)

kedudukan dan fungsinya dalam rumah adat tersebut. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan denah dan keterangan jabu Rumah Adat Karo.

KETERANGAN

 JABU BENA KAYU : didiami oleh para keturunan simantek kuta (Golongan Pendiri Kampung).

 JABU SEDAPUR BENA KAYU (PENINGGEL-NINGGEL) : Didiami oleh Anak Beru Menteri dari simantek kuta /Jabu Bena Kayu.

 JABU SEDAPUREN LEPAR UJUNG KAYU (BICARA GURU) : Didiami oleh Guru/Tokoh Spiritual atau Tabib yang mengetahui berbagai pengobatan. Bertugas untuk mengobati anggota rumah yang sakit.

JABU LEPAR UJUNG KAYU (MAN-MINUM) : Didiami oleh Kalimbubu Jabu Bena Kayu.

(25)

JABU SEDAPUR UJUNG KAYU (RINTENENG) :Didiami oleh sembuyak dari Ujung Kayu, bertugas untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur kepada tamu Jabu Bena Kayu.

JABU SEDAPUREN LEPAR BENA KAYU : Didiami oleh Puang Kalimbubu dari Jabu Bena Kayu, disebut juga Jabu Pendungin Ranan dan dalam Runggun Adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh Puang Kalimbubu.

JABU LEPAR BENA KAYU (SUNGKUN BERITA) : Didiami oleh sembuyak dari Jabu Bena Kayu, berfungsi untuk mendengarkan berita yang terjadi di luar rumah dan menyampaikannya kepada Jabu Bena Kayu.

2.4 Adat Istiadat/Tata Kehidupan

2.4.1 Susunan Masyarakat

Masyarakat Lingga yang terdiri dari suku Batak Karo hidup dibawah lingkungan adat yang sangat berpengaruh, kehidupan mereka melambangkan Merga

Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu Merga Silima.

Masyarakat Karo membagi marga atas 5 bagian, yaitu :

1. Karo-karo

2. Sembiring

3. Ginting

4. Perangin-angin

(26)

Menurut sejarahnya merga berasal dari kata “Meherga” yang berarti berharga. Merga itu berfungsi sebagai tanda mengenal kelompok, garis keturunan dan sejarah tempat tinggal. Dengan adanya merga itu maka untuk setiap kelompok masyarakat yang mempunyai merga tentu dapat dikenal.

Pada zaman dahulu, dataran tinggi Tanah Karo masih terdiri dari hutan lebih utama dipinggiran pegunungan, penduduk telah menempati daerahnya dengan kelompok yang berpencar. Adakalanya terjadi perpindahan karena gangguan alam, binatang buas, mencari tempat yang lebih baik.

Kelompok penduduk itu hidup dengan sederhana dan diatur oleh norma-norma yang berlaku di lingkungannya.

Pada umumnya kelompok penduduk itu adalah kelompok keluarga dari satu keturunan.

Karena semakin banyak jumlah penduduk pada suatu kelompok maka timbul suatu gagasan untuk membuat atau memberi nama kelompoknya. Dengan adanya tanda kelompok itu diharapkan tidak akan teradi perselisihan atau perkelahian antara yang satu dengan kelompok yang lain bila bertemu, untuk lebih mengingatnya tanda kelompok tersebut jumlahnya dibuat lima yang sampai sekarang dikenal sebagai tanda garis keturunan dengan sebutan “Merga Silima” dan garis keturunan yang berlaku pada masyarakat Karo ialah garis keturunan ayah.

2.4.2 Kepercayaan

(27)

Benda-benda atau tempat-tempat yang luar biasa, dianggap mempunyai roh dan memiliki kekuatan gaib. Adanya kepercayaan yang demikian, sangat mempengaruhi kehidupan mereka sehingga guru (dukun) sangat menentukan dalam setiap usaha yang akan dijalankan.

Ada sebuah tempat yang dianggap suci oleh penduduk desa Lingga, yaitu sebuah kuburan dari Tengku Lau Bahun. Jika terjadi bencana di desa Lingga, maka seluru penduduk dating ke kuburan itu untuk meminta agar bencana iu dihentikan.

Apabila panen jadi sangat berkurang, maka penduduk ke kuburan itu untuk meminta agar panen selanjutnya mendapat hasil yang baik, dan biasanya permintaan mereka dikabulkan. Juga bila sawah mereka diserang tikus dan burungburung, maka mereka pergi ke kuburan mengambil bunga-bunga yang ada disekitar kuburan itu untuk ditaburkan di sawah mereka. Setelah bunga itu ditaburkan, maka tikus dan burung-burung tidak lagi menyerang sawah mereka.

Penduduk yang datang ke kuburan itu tidak saja yang menganut animisme tetapi juga yang telah beragama. Menurut kebiasaan dalam perjalanan pulang dari kuburan itu akan turun hujan sekalipun itu musim kemarau, apabila penduduk memohon untuk turun hujan.

Menurut cerita yang terdapat pada penduduk Lingga, Tengkulau Bahum itu berasal dari Aceh, pertama kali datang ke Lingga kebetulan padi sedang menguning, tetapi tidak ada buahnya, maka oleh Tengku Lau Bahum dibacakan mantra-mantra, maka padi tersebut menjadi bagus dan hasil panennya baik.

(28)

terbunuhnya Tengku Lau Bahum, padi yang terdapat di desa Lingga menjadi rusak, berwarna kemerah-merahan dan tidak berisi. Tiba-tiba ada seorang penduduk yang kesurupan dan mengatakan tanaman padi di Lingga ini bias menjadi bagus asalkan mayat Tengku Lau Bahum dibawa ke Lingga.

Untuk mengambil mayat Tengku Lau Bahum ini penduduk Lingga harus berperang melawan penduduk Suka Baksi dan akhirnya penduduk Lingga menang dan berhasil membawa mayat Tengku Lau Bahum itu ke Lingga.

Mayat Tengku Lau Bahun dimakamkan di suatu tempat 3 km dari desa Lingga, nama daerah tersebut adalah Tengku Lau Bahum. Demikianlah sehingga padi yang telah rusak tersebut menjadi bagus kembali dan berisi.

Jadi sebenarnya nama dari Tengku Lau Bahunm ini tidak diketahui oleh penduduk Lingga, mereka menyebutnya Tengku Lau Bahun karena makamnya terdapat di daerah Tengku Lau Bahum.

2.5 Bangunan Tradisional Batak Karo

Suku Batak Karo mempunyai bangunan yang tradisional. Sebuah kesain (kepanghuluan) pada umumnya terdiri dari beberapa buah rumah adat, yaitu jambur, lesung, dan griten.

(29)

2.5.1 Patung Kepala Kerbau

Kepala kerbau yang terdapat pada Rumah Adat Karoberada dalam posisi tanduk dengan tanduk menghadap ke muka, menggambarkan bahwa orang Karo menghormati setiap pendatang ke daerahnya. Tanduk yang runcing itu merupakan kesiagaan dari penduduk apabila pendatang baru itu berniat jahat, dan juga sebagai tangkal dari ilmu hitam yang akan masuk ke rumah tersebut.

2.5.2 Dinding dan ayo-ayo

Dinding dan ayo-ayo yang dipasang miring menggambarkan kerendahan hati daripada masyarakat Karo.

Ayo-ayo ini berfungsi untuk mengeluarkan asap dari dapur dan juga berfungsi

untuk membuat tidak terlalu dingin.

2.5.3 Talit Ret-ret

Pengikat dinding miring, dan ada gambar cecak dengan dua kepala dan jari-jari tiga disebut “Beraspati Rumah”. Hal ini menggambarkan bahwa ikatan Anakberu,

Kalimbubu, dan Senina penghuni rumah tersebut mempunyai peranan yang sama

pentingnya.

Ukuran ini selain sebagai hiasan dan pengikat, juga melambangkan persatuan dan dianggap sebagai penangkalan setan.

2.5.4 Pinggiran Atap

(30)

2.5.5 Dapur

Dapur merupakan tali pengikat seisi rumah untuk tempat membentuk satu kesatuan.

2.5.6 Tungku

Tungku berjumlah 5 buah (tengku persekutuan 1 buah) tiap-tiap jabu mempunyai 3 tungku yang sama tingginya, hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Karo terdiri dari 5 induk dan 3 unsur pengikat yaitu Anak Beru, Senina, dan

Kalimbubu yang sama tingkatannya.

2.5.7 Jambur

Bangunan jambur ini mirip dengan rumah adat, terdiri dari 3 bahagian yaitu:

 Bagian bawah : merupakan suatu lantai tidak berdinding

 Bagian tengah : tempat penyimpanan padi

 Bagian atas : suatu tempat kosong yang digunakan untuk tempat tidur

pemuda-pemuda kampong.

Menurut kebiasaan masyarakat Karo, anak laki-laki yang telah berusia 13 tahun, tidak lagi tidur di rumah tapi mereka tidur di jambur.

2.5.8 Lesung

(31)

2.5.9 Geriten

Geriten ini adalah merupakan suatu bangunan yang mirip dengan rumah adat.

Geriten bukanlah sebagai tempat mengusung mayat, akan tetapi sebagai tempat

kerangka orang-orang yang telah meninggal. Peralatan bangunan geriten tidaklah jauh berbeda dengan peralatan rumah biasa.

Bangunan ini dibuat bertiang, mempunyai dinding dan atap. Pada alat-alat

geriten ini dibuat ukiran-ukiran khusus khas Karo dengan pahatan serta diberi warna.

Biaya bangunan ini sebenarnya cukup besar dan memerlukan suatu keahlian, oleh karenanya yang memakai griten ini hanya terbatas pada bangsa tanah keturunan saja.

Geriten tersebut biasanya didirikan pada halaman rumah adat milik keluarga yang

(32)

BAB III

ASPEK KEPARIWISATAAN

Jika kita tinjau dalam arti dari Pariwisata itu menurut asal katanya, pari = dari, dan wisata = perjalanan. Jadi Pariwisata itu pada hakekatnya merupakan kegiatan perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain tetapi tidak untuk menetap melainkan akan kembali lagi ke tempat asalnya, dangan tujuan pokok untuk mencari kepuasan.

Sedangkan arti dari wisatawan menurut Instruksi Presiden RI No. IX/1969, adalah orang-orang yang bepergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ketempat lain dengan menikmati perjalanan dari kunjungan itu.

Sungguh pun tujuan utama wisatawan itu ialah ingin menikmati dan melihat kenyataan dari objek yang dikunjungi namun berdasarkan maksud perjalanannya maka Pariwisata itu dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Pariwisata untuk menikmati perjalanan (Pleasure Tourism)

(33)

b. Pariwisata untuk berkreasi (Recreation Tourism)

Jenis pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang menghendaki memulihkan kesehatan jasmani dan rohani. Biasanya mereka mengambil waktu cukup lama sehingga tujuan rekreasi benar-benar tercapai.

c. Pariwisata Kebudayaan (Cultural Tourism)

Jenis pariwisata ini ditandai oleh adanya rangkaian motivasi untuk belajar di pusat-pusat pengajaran dan research, keinginan untuk mempelajari adat istiadat, kelembagaan, keinginan cara hidup Negara lain, monument-monumen, pusat-pusat kesenian, keagamaan, festifal-festifal seni musik dan lain sebagainya.

d. Pariwisata Olahraga (Sport Tourism)

Jenis pariwisata ini dibagi dalam dua kategri :

Big Sport Events, yaitu pariwisata olahraga besar seperti Olympic

Games, Kejuaraan tinju dunia, Piala sepak bola dan lain-lain, yang

menyebabkan tertariknya mereka yang candu olahraga/penontonnya untuk mengunjungi event ini.

Sporting Tourism of the practitioners, yaitu pariwisata olahraga bagi

(34)

e. Pariwisata untuk urusan usaha (Business Tourism)

Jenis pariwisata ini tidak hanya dilakukan untuk professional-tripis yang dilakukan oleh kaum pengusaha atau industrialis, tetapi yang mencakup kunjungan ke instansi tehnis atau pameran.

Disamping sebagai consumer, kaum pengusaha dapat bertindak sebagai wisatawan, bias dalam pengertian sosiologi karena mengambil dan memanfaatkan keuntungan dari atraksi yang terdapat di Negara tersebut.

Banyak para ahli teori ekonomi maupun sosiologi yang mengatakan bahwa

business tourism tidak dianggap sebagai perjalanan wisata karena tidak

terdapat unsur voluntatry (sukarela).

f. Pariwisata untuk tujuan komperensi (Convention Tourism)

Jenis pariwisata ini merupakan pelaksanaan komperensi atau symposium yang pada akhir-akhir ini sudah sering dilaksanakan di pusat-pusat objek wisata sehingga banyak bangunan di obyek wisata tertentu diberikan perlengkapan fasilitas untuk komperensi-komperensi tersebut.

Obyek wisata adalah perwujudan daripada ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah bangsa dan tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan.

Adapun unsur-unsurnya adalah :

Alam (Nature)

(35)

Manusia (Human)

Objek wisata itu sendiri dapat pula dibagi dalam :

a. Objek wisata physic, yaitu objek wisata yang dapat dijamah, tidak dapat berpindah, merupakan warisan dan karya masyarakt setempat.

Hal ini merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang termasuk kedalam objek wisata physic ialah rumah adat (desa tradisionil), flora dan fauna, peninggalan kebudayaan, dan lain sebagainya.

b. Objek wisata non physic, yaitu yang tidak dapat dijamah tangan, hanya dapat dinikmati dengan pancaindera serta dapat pula memberi kesan yang baik terhadap wisatawan.

c. Yang termasuk objek wisata non physic ialah kesenian, tata cara hidup masyarakat, adat istiadat, dan lain sebagainya.

3.1 Objek Pariwisata Di Desa Lingga

Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah tujuan wisata, yang telah ditetapkan Pemerintah untuk daerah bagian Barat Indonesia dikembangkan menjadi salah satu sub sektor penghasil devisa bagi Negara yang sekaligus dapat menunjang pembangunan disektor lainnya.

Penetapan ini dilakukan pemerintah berdasarkan kenyataan bahwa kondisi dan potensi kepariwisataan di Sumatera Utara dinilai cukup berbobot, dengan dapat menarik serta mempertinggi arus kunjungan ke daerah ini.

(36)

Kabupaten Karo dan jaraknya kira-kira 80 km dari kota Medan, dengan jumlah penduduk 3.200 jiwa atau 600 kepala keluarga.

Mata pencaharian penduduk setempat adalah :

 90% bertani

 6% pedagang kecil

 4% pegawai negri

Pendidikan yang terdapat di desa Lingga hanya sampai di SD (Sekolah Dasar), yaitu dua buah SD Negeri dan satu buah SD Inpres. Di samping itu juga terdapat satu buah gereja pentakosta, satu buah gereja GBKP, dan satu buah Mesjid.

Tata dan lingkungan kehidupan tradisional di desa Lingga yang merupakan corak tersendiri merupakan objek pariwisata yang bernilai tinggi . desa Lingga juga mempunyai pemandangan alam yang cukup indah dengan latar belakang Gunung Sinabung. Di pinggir desa tersebut sebuah bukit bernama Gunung Mbelin yang merupakan puncak tertinggi di daerah tersebut dan dari puncak bukit ini dapat dilihat seluruh Kabupaten Karo dengan udaranya yang cukup nyaman.

3.2 Potensi Kepariwisataan Di Desa Lingga

Semua fasilitas memungkinkan proses perekonomian dapat berjalan dengan lancar sedemikian rupa sehingga dapat memudahkan untuk memenuhi kebutuhannya disebut dengan “Prasarana” (Pengetahuan Kepariwisataan, Drs. Rahmat Lubis, 1981

(37)

Dunia kepariwisataan juga mengenal prasarana dan sarana, dan bahkan tanpa prasarana dan sarana dunia kepariwisataan tidak dapat memenuhi fungsinya dalam memberikan pelayanan.

Adapun prasarana yang tersedia di desa Lingga yang merupakan salah satu objek wisata budaya dan sejarah yang terpenting di Kabupaten Karo antara lain :

a. Jaringan jalan raya dn jembatan untuk menuju desa ini menurut pandangan penulis cukup menandai dan untuk mencapai desa Lingga ini ditempuh dengan bus, mini bus dan lain-lain.

b. Pembangkit tenaga listrik di desa Lingga Baru sudah ada (jarak kurang lebih 500 meter dari rumah tradisional)

c. Bangunan-bangunan tradisional masih banyak dijumpai di Desa Lingga seperti :

 26 buah rumah adat Karo yang didiami oleh 6-8 keluarga tiap rumah

bahkan ada yang sampai 12 keluarga

 3 buah lesung bersama keluarga

Di tempat ini gadis-gadis desa secara bersama-sama menumbuk padi

 2 buah geriten, yaitu tempat menyimpan tulang belulang nenek

moyang mereka

 1 buah jambur

(38)

Rumah-rumah adat yang terdapat di desa Lingga ini sudah berumur kurang lebih 250 tahun lamanya. Di desa Lingga ini juga sering diselenggarakan pertunjukan kesenian tradisional Karo yang bernama Tembut-tembut atau Gundala-gundala apabila wisatawan yang berkunjung ke desa ini meminta.

Dengan berbagai cara telah ditempuh pemerintah, menyebabkan desa tersebut mulai dikenal sebagai daerah pariwisata oleh wisatawan asing maupun domestik dapat dikatakan masih relative kecil.

Walaupun aset budaya yang merupakan modal dasar pembangunan pariwisata kita miliki, namun aspek lingkungan hidup memegang peranan yang amat penting dalam kaitan pembinaan produk wisata yang baik.

Arus wisatawan domestik sangat besar di Sumatera Utara sangat sedikit mengunjungi desa Lingga pada saat ini. Wisatawan asing yang banyak datang ke desa Lingga yaitu Australia, Switzerland, Perancis, Belanda, Inggris, dan Malaysia, dan wisatawan tersebut pada umumnya ditangani oleh Biro Perjalanan yang ada di Kota Medan.

Untuk memasuki lokasi desa wisata ini dilaksanakan sistem retribusi yaitu bagi setiap pengunjung dikutip sebesar Rp. 200,- (dua ratus rupiah), hal ini tetap berlaku sampai saat ini.

3.3 Peranan Pemerintah Terhadap Kelestarian Objek Wisata Di Desa Lingga

(39)

Pada tahun 1974 Desa Lingga disahkan sebagai objek wisata oleh Direktur Jendral Pariwisata Bapak M.G. Prayogo dan sekaligus diadakan pemugaran terhadap rumah-rumah tradisional yang sudah mulai rusak.

Bangunan-bangunan yang ada seluruhnya ditangani oleh Ditjen Pariwisata, termasuk menata lingkungan, lands caping, taman, halte, dan lain-lain. Sedangkan peninggalan-peninggalan barang-barang kuno dan benda kuno dan benda-benda bersejarah ditangani oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sesuai dengan PP 24/79, obyek wisata menjadi urusan daerah, sehingga hal ini ditangani oleh Pemerintah Daerah. Menurut informasi yang penulis terima bahwa Pemerintah Daerah Tingkat II Karo sejak tahun 1975 mulai menjalankan program dari Direktorat Jenderal Pariwisata untuk mengadakan pemugaran desa Lingga. Pemugaran ini dimaksudkan untuk menghasilkan kembali desa Lingga seperti dulunya, tanpa ada rumah penduduk yang non tradisional di antara rumah-rumah yang tradisional, sehingga desa Lingga akan menjadi desa dengan merupakan “pusat objek wisata budaya” di Tanah Karo.

Rumah penduduk yang non tradisional sudah jelas mengurangi keindahan dan keaslian dari desa itu sendiri dan pada umumnya wisatawan tertarik untuk datang ke suatu obyek wisata karena mereka ingin melihat sesuatu yang langka, pemandangan indah dan bentuk aslinya.

(40)
(41)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Pada bab ini tibalah saatnya membuat beberapa kesimpulan yang merupakan rangkuman keseluruhan dari uraian terdahulu.

Adapun kesimpulan tersebut disusun sebagai berikut :

a. Desa Lingga merupakan suatu desa wisata budaya di Tanah Karo, apabila pemerintah dan masyarakat setempat manjalin hubungan kerjasama yang baik dalam pengembangan dan pemeliharaan.

b. Desa Lingga mempunyai potensi yang besar, tetapi kelestarian semakin lama akan menjadi pudar akibat kurangnya pembinaan serta pemeliharaan yang baik dan teratur.

c. Banyaknya prasarana dan sarana yang keadaannya masih jauh dari sempurna dan juga lingkungannya yang kurang bersih, sehingga tidak mampu menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Apabila hal ini tidak ditanggulangi dengan baik , maka lambat laun jumlah wisatawan akan terus berkurang mengunjungi daerah ini.

d. Masih kurangnya kesadaran masyarakat tentang peranan pariwisata yang merupakan salah satu sumber pendapatan daerah tersebut. Hal ini disebabkan kurangnya pembinaan sadar wisata kepada masyarakat di daerah setempat.

(42)

karena sebagai penduduk menganggap bahwa pariwisata bukan merupakan skala prioritas utama bagi mereka.

4.2 Saran

Setelah mengambil beberapa kesimpulan seperti yang tersebut di atas, maka penulis mencoba menyumbangkan buah pikiran penulis dalam bentuk saran sebagai berikut :

a. Perlu kiranya penyediaan fasilias-fasilitas lain seperti shouvenir shop, toilet umum, lapangan tempat parkir, untuk daerah desa Lingga.

b. Kebersihan lingkungan yang harus lebih ditingkatkan. Hal ini dapat terwujud apabila adanya kesadaran dari masyarakat setempat untuk menjaga kebersihan lingkungan, agar pengunjung yang datang merasa nyaman selama berada di desa tersebut.

c. Desa Lingga merupakan daerah yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata. Oleh karenanya pemerintah harus memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakan yang memadai agar mereka siap menerima kedatangan wisatawan dan perlu dibangkitkan suatu keadaan sadar wisata (tourism minded) dari masyarakat agar tujuan dan hakekat dari pariwisata akan menjadi lebih positif dan sekaligus dapat merangsang pengemangan perekonomian penduduk.

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Bangun, T. 1986; Manusia Batak Karo. Inti Idayu Press: Jakarta. Yoeti, Oka A. 1993; Pengantar Ilmu Pariwisata, Bandung: Angkasa.

http://bennisurbakti.com/2008/09/29/denah-dan-keterangan-rumah-adat-karo-siwaluh-jabu/

http://indonesia.travel/id/tamasya/index.php?ask=next&kd=6221204500662&kat=347 803896

http://karopress.wordpress.com/2009/07/05/desa-lingga/ http://www.apkasi.or.id/forum/index.php?topic=61.0;wap2 http://www.karoweb.or.id/suku-karo/

http://www.resep.web.id/traveling/desa-lingga-sumut-desa-pewaris-rumah-rumah-adat.htm

Referensi

Dokumen terkait

Pernyataan tersebut membuktikan bahwa dengan adanya pandemi Covid-19 yang mengharuskan kuliah jarak jauh dari rumah tidak menjadikan kendala mahasiswa

These different surface characteristics demonstrated that liquid smoke is able to suppress the agglomeration of the silica molecules during the gelation step, thus leading to

1. Dalam Pembagian hak waris anak perempuan yang sudah menikah dikalngan muslim Muslim Tionghoa Sarabaya, anak perempuan yang sudah menikah tidak menpatkan harta

bahwa setelah dilakukan evaluasi guna pengaturan teknis pendataan, dan pendataan untuk Penduduk Rentan Administrasi Kependudukan serta Pendaftaran Peristiwa

[r]

Kepatihan Danurejan Yogyakarta Telepon (0274) 562811 Facsimile (0274) 588613 Website: biroorganisasi.jogjaprov.go.id Email: biro_organisasi@yahoo.com Kode Pos 55213. SURAT

Dalam tahap desain teknologi secara umum, yang perlu dilakukan oleh analis sistem adalah mengidentifikasi jenis dari teknologi yang dibutuhkan dan jumlahnya yang diperlukan oleh

Kemudian pada penelitian yang dilakukan oleh Sintianingrum, dkk ( 2 0 1 6 ) menjelaskan jarak efektif pemasangan Arrester kemudian disimulasikan menggunakan software