• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Kawasan Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Kawasan Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI KAWASAN PERAIRAN KUALA TANJUNG KECAMATAN MEDANG DERAS KABUPATEN

BATUBARA

SKRIPSI

HOTDA AGNES MANIK 070805049

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI KAWASAN PERAIRAN KUALA TANJUNG KECAMATAN MEDANG DERAS KABUPATEN

BATUBARA

SKRIPSI

HOTDA AGNES MANIK 070805049

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS

DI KAWASAN PERAIRAN KUALA TANJUNG KECAMATAN MEDANG DERAS KABUPATEN BATUBARA.

Kategori : SKRIPSI

Nama : HOTDA AGNES MANIK

Nomor Induk Mahasiswa : 070805049

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, Juni 2011

Komisi Pembimbing :

Pembimbing II Pembimbing I

Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc

NIP. 19721126 199803 2 002 NIP. 19581016 198703 1003

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua

(4)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI KAWASAN PERAIRAN KUALA TANJUNG KECAMATAN MEDANG DERAS KABUPATEN

BATUBARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri dan yang ditambahkan oleh dosen pembimbing dan dosen penguji, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juni 2011

(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kasih dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Keanekaragaman Makrozoobenthos di Kawasan Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara”.

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus.,M.Sc dan Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si.,M.Si selaku dosen Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, arahan, waktu serta perhatian yang besar untuk penyempurnaan kajian ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Nursal M.Si dan Bapak Riyanto Sinaga S.Si.,M.Si selaku ketua dan sekretaris Penguji yang telah banyak memberikan saran dan arahan demi penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan Bapak Riyanto Sinaga, S.Si., M.Si selaku dosen pembimbing akademik dan kepada seluruh staf pengajar di Departemen Biologi FMIPA USU, dan kepada Bapak Dr. Sutarman M.Sc. selaku Dekan FMIPA USU.

Ungkapan terimakasih yang tak terhingga Penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta, Bapak B. Manik dan Ibu R. Saragih atas doanya yang tiada henti, arahan, dukungan moril dan materil serta untuk setiap tetes keringat dan air mata. Ucapan terimakasih juga Penulis ucapkan kepada kakak dan Abang Penulis, Sarinah Manik S.Kom dan Gordon Manik S.Pd beserta seluruh keluarga besar yang selalu memberikan semangat, perhatian dan doa yang tulus kepada Penulis.

Ungkapan Terimakasih juga penulis ucapkan bagi Tim Lapangan sekaligus sebagai sahabat penulis yang penulis banggakan (Else, Jupentus, Jayana, dan Remon) dan kepada sahabat-sahabat penulis Stambuk 2007-Like D’Ants Crew (Siti, Natalia, Elisabeth, Eva, Helmi, Dina, Anggun, Maria, Katrina, Erlinda, Yeni, Ncay, Desi, Affan, Aini, Mirza, Asril, Alex, DPR, DPA, Irma, Sari, Riwil, Ria, Ete, Farid, Anti, Yanti, Mayka, Michele, Astri, Umi, Gustika, Fatma, dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, terimakasih buat kebersamaannya, serta cawa dan tanda yang penulis dapatkan selama perkuliahan. Kepada abang-abang dan kakak-kakak: Toberni S.Si, Helen S.Si, Rudi S.Si, Zulfa S.Si, Hariadi S.Si, Tridola, Andri, Maslena, abang asuh Rico S.Si, dan Misran S.Si, serta adek asuh Fivin dan Elisabeth, stambuk 2005, stambuk 2006, stambuk 2008 dan stambuk 2009. Kepada Teman-teman penulis di kost Lase: Desnien, Olivia, Irma, Ayaki, Mariva, Yenica, Mega, Nela, Roma dan kepada sahabat penulis Norlan S.Pd terimakasih atas doa-doanya. Teristimewa buat sahabat hati penulis Hermanto Sitanggang terimakasih atas doa dan dukungannya, kasih sayang serta perhatian yang tulus yang diberikan bagi penulis.

(6)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI KAWASAN PERAIRAN KUALA TANJUNG KECAMATAN MEDANG DERAS KABUPATEN

BATUBARA

ABSTRAK

Penelitian tentang “Keanekaragaman Makrozoobenthos di Kawasan Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara” telah dilakukan. Pengambilan sampel dilakukan pada empat stasiun pengamatan. Metoda pengambilan sampel adalah Purposive Random Sampling dan diidentifikasi di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian menunjukkan bahwa, terdapat 34 genus makrozoobenthos yang terdiri dari filum Annelida, Arthropoda dan Moluska. Genus Anadara yang ditemukan pada stasiun I yaitu kawasan pariwisata memiliki kepadatan populasi tertinggi sebesar 85,19 ind/m2. Aequipecten, Polinices, Donax, dan Pholas adalah genus dengan kepadatan populasi terendah masing-masing sebesar 0,62 ind/m2. Stasiun II yaitu kawasan mangrove memiliki indeks keanekaragaman (H’) tertinggi yaitu 2,76 dibandingkan pada stasiun III yaitu kawasan muara memiliki indeks keanekaragaman terendah yaitu sebesar 1,37. Stasiun IV yaitu kawasan pembuangan limbah pabrik memiliki indeks keseragaman (E) tertinggi yaitu 0,83 sedangkan indeks keseragaman pada stasiun I yaitu kawasan pariwisata adalah 0,52. Intensitas cahaya, penetrasi cahaya, dan kandungan organik substrat memiliki korelasi yang kuat terhadap indeks keanekaragaman (H’).

(7)

THE DIVERSITY OF MACROZOOBENTHOS IN KUALA TANJUNG SEAS AREA SUBDISTRICT OF MEDANG DERAS DISTRICT OF BATUBARA

(8)

DAFTAR ISI

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian 5

2.2 Metode Penelitian 5

2.3 Deskripsi Area 5

2.4 Pengambilan Sampel Makrozoobenthos 8

2.5 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 8

2.6 Analisis Data 11

Bab 3. Hasil dan Pembahasan 14

3.1 Variabel Biotik 14

3.1.1 Nilai Kepadatan Populasi, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi 16 Kehadiran pada Setiap Stasiun Penelitian

3.1.2 Nilai KR > 10% dan FK > 25% dari Makrozoobenthos 22 Yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian

3.1.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman 23 (E) di Setiap Stasiun Penelitian

3.1.4 Indeks Similaritas (IS) Pada Setiap Stasiun Penelitian 25

3.2 Variabel Abiotik 26

3.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson Metode Komputerisasi SPSS Ver. 33 16.00

Bab 4. Kesimpulan dan Saran 35

4.1 Kesimpulan 35

4.2 Saran 35

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran 10 Faktor Fisik Kimia Perairan Kuala Tanjung Kecamatan

Medang Deras Kabupaten Batubara

Tabel 3.1 Klasifikasi Makrozoobenthos yang Didapatkan Pada Setiap Stasiun Penelitian di Beberapa Lokasi di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara

14

Tabel 3.2 Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian

17

Tabel 3.3 Nilai KR > 10% dan FK > 25% dari Makrozoobenthos yang Didapatkan pada setiap Stasiun Penelitian

22 Tabel 3.4 Indeks Keanekargaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)

makrozoobenthos di Setiap Stasiun Penelitian

23 Tabel 3.5 Indeks Similaritas (IS) atau Kesamaan pada Setiap Stasiun

Penelitian

25 Tabel 3.6 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada

setiap Stasiun Penelitian

26 Tabel 3.7 Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman Makrozoobenthos

dengan Faktor Fisik Kimia Perairan

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A: Peta Lokasi Penelitian 39

Lampiran B: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 40

Lampiran C: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 41

Lampiran D: Bagan Kerja Untuk Mengukur Kadar Organik Substrat 42

Lampiran E: Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) pada Berbagai Besaran Temperatur Air 43

Lampiran F: Foto Makrozobenthos yang Didapatkan 44

Lampiran G: Jumlah dan Jenis Makrozoobenthos yang didapatkan pada 50

setiap stasiun penelitian Lampiran H: Contoh Perhitungan 55

Lampiran I: Hasil Analisis Korelasi Pearson 56

(11)
(12)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI KAWASAN PERAIRAN KUALA TANJUNG KECAMATAN MEDANG DERAS KABUPATEN

BATUBARA

ABSTRAK

Penelitian tentang “Keanekaragaman Makrozoobenthos di Kawasan Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara” telah dilakukan. Pengambilan sampel dilakukan pada empat stasiun pengamatan. Metoda pengambilan sampel adalah Purposive Random Sampling dan diidentifikasi di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian menunjukkan bahwa, terdapat 34 genus makrozoobenthos yang terdiri dari filum Annelida, Arthropoda dan Moluska. Genus Anadara yang ditemukan pada stasiun I yaitu kawasan pariwisata memiliki kepadatan populasi tertinggi sebesar 85,19 ind/m2. Aequipecten, Polinices, Donax, dan Pholas adalah genus dengan kepadatan populasi terendah masing-masing sebesar 0,62 ind/m2. Stasiun II yaitu kawasan mangrove memiliki indeks keanekaragaman (H’) tertinggi yaitu 2,76 dibandingkan pada stasiun III yaitu kawasan muara memiliki indeks keanekaragaman terendah yaitu sebesar 1,37. Stasiun IV yaitu kawasan pembuangan limbah pabrik memiliki indeks keseragaman (E) tertinggi yaitu 0,83 sedangkan indeks keseragaman pada stasiun I yaitu kawasan pariwisata adalah 0,52. Intensitas cahaya, penetrasi cahaya, dan kandungan organik substrat memiliki korelasi yang kuat terhadap indeks keanekaragaman (H’).

(13)

THE DIVERSITY OF MACROZOOBENTHOS IN KUALA TANJUNG SEAS AREA SUBDISTRICT OF MEDANG DERAS DISTRICT OF BATUBARA

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam ekosistem perairan (tawar, pesisir dan lautan) berbagai jasad hidup (biotik) dan lingkungan fisik (abiotik) merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait. Dua komponen ini saling berinteraksi antara satu dengan lainnya, sehingga terjadi pertukaran zat (energi) diantara keduanya (Dahuri et al., 2006, hlm : 64). Tidak kurang dari 70% dari permukaan bumi adalah laut. Atau dengan kata lain ekosistem laut merupakan lingkungan hidup manusia yang terluas. Dikatakan bahwa laut merupakan cadangan terbesar untuk bahan-bahan mineral, energi, dan bahan makanan. Selain itu masih banyak bahan-bahan mineral lain yang terdapat dalam cairan air laut. Daerah laut yang produktif adalah daerah yang dalamnya maksimal 200 meter dari permukaan laut (Thohir, 1991, hlm: 155).

(15)

Aktivitas manusia di sekitar perairan erat kaitannya terhadap perubahan lingkungan baik perubahan fisik maupun kimia air. Kelayakan lingkungan untuk usaha budidaya dapat diestimasi melalui pengukuran kuantitatif dan kualitatif terhadap biota yang menghuni perairan tersebut. Berbagai aktivitas manusia disekitar laut tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kualitas perairan yang dapat berpengaruh terhadap biota yang ada didalamnya (Soemarwoto, 1990, hlm: 84) diantaranya adalah makrozoobenthos.

Makrozoobenthos merupakan kelompok benthos yang bersifat hewan yang berukuran >2 mm (Barus, 2004, hlm: 34). Makrozoobenthos sering dipakai untuk menduga ketidakseimbangan lingkungan fisik, kimia, dan biologi perairan. Perairan yang tercemar akan mempengaruhi kelangsungan hidup organisme makrozoobenthos karena makrozoobenthos merupakan biota air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik bahan pencemaran kimia maupun fisik (Odum, 1994, hlm: 385). Hal ini disebabkan karena makrozoobenthos pada umumnya tidak dapat bergerak dengan cepat dan habitatnya di dasar yang umumnya adalah tempat bahan tercemar. Menurut Wilhm (1975) dalam Marsaulina (1994, hlm: 9) perubahan sifat substrat dan penambahan pencemaran akan berpengaruh terhadap kelimpahan dan keanekaragamannya.

(16)

Banyaknya bahan pencemar dapat memberikan dua pengaruh terhadap organisme perairan, seperti makrozoobenthos, yaitu dapat membunuh spesies tertentu dan sebaliknya dapat mendukung perkembangan spesies lain. Pada perairan tercemar ada kemungkinan terjadi pergeseran jumlah populasi biota yang ada didalamnya. Oleh karena itu, penurunan dalam keanekaragaman spesies dapat juga diakibatkan oleh pencemaran (Sastrawijaya, 1991, hlm: 84).

Berbagai aktivitas manusia yang berlangsung di sekitar Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Batubara antara lain: kegiatan pariwisata, muara sungai, dan pembuangan limbah pabrik PT Multi Mas Nabati dapat mempengaruhi faktor fisik-kimia perairan. Perubahan faktor fisik-kimia tersebut akan mempengaruhi keberadaan makrozoobenthos di dalam ekosistem perairan. Namun sejauh ini belum diketahui keanekaragaman makrozoobenthos di kawasan perairan Kuala Tanjung dan bagaimana hubungan keanekaragaman tersebut dengan nilai faktor fisik-kimia di Kawasan Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara. Sehubungan dengan itu, maka dilakukan penelitian tentang Keanekaragaman Makrozoobenthos di Kawasan Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara.

1.2Permasalahan

(17)

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobenthos di Kawasan Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara.

b. Untuk mengetahui hubungan faktor fisik kimia perairan terhadap keanekaragaman makrozoobenthos di Kawasan Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara.

1.4Hipotesis

a. Terdapat perbedaan keanekaragaman makrozoobenthos pada setiap stasiun penelitian di Kawasan Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara.

b. Adanya hubungan faktor fisik kimia perairan terhadap keanekaragaman makrozoobenthos di Kawasan Perairan Kuala Tanjung, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara.

1.5Manfaat Penelitian

a. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman makrozoobenthos yang selanjutnya dapat digunakan sebagai data pemantauan dan pengelolaan ekosistem Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara.

(18)

BAB 2

BAHAN DAN METODE

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari - Mei 2011, di kawasan Perairan Kuala Tanjung, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara dan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan (Peta Lokasi Penelitian pada Lampiran A).

2.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel makrozoobenthos adalah Purposive Random Sampling pada keempat stasiun pengamatan. Pada masing-masing stasiun dilakukan 18 (delapan belas) kali ulangan pengambilan sampel.

2.3 Deskripsi Area

(19)

a. Stasiun I

Stasiun ini merupakan daerah pariwisata, yang secara geografis terletak pada 030 23’ 13,9” LU dan 0990 24’ 39,1” BT. Substrat pada stasiun ini adalah pasir.

Gambar 2.1 Lokasi Penelitian Stasiun I (daerah pariwisata)

b. Stasiun II

Stasiun ini merupakan daerah mangrove atau daerah bebas akitivitas, yang secara geografis terletak pada 030 23’ 06,8” LU dan 0990 24’ 53,7” BT. Substrat pada stasiun ini merupakan lumpur berpasir.

(20)

c. Stasiun III

Stasiun ini merupakan daerah Muara Sungai, yang secara geografis terletak pada 030 22’ 54,3” LU dan 0990 24’ 56,3” BT. Substrat pada stasiun ini adalah lumpur berpasir.

Gambar 2.3 Lokasi Penelitian Stasiun III (daerah muara)

d. Stasiun IV

Stasiun ini merupakan daerah pembuangan limbah pabrik PT Multi Mas Nabati, yang secara geografis terletak pada 030 22’08,3” LU dan 0990 26’41,8” BT. Substrat pada stasiun ini adalah lumpur berpasir.

(21)

2.4 Pengambilan Sampel Makrozoobenthos

Pengambilan sampel dibagi menjadi enam titik dgn cara membuat transek secara horizontal sepanjang 200 m dan dibagi menjadi tiga titik, dipinggir kiri, ditengah dan dipinggir kanan, lalu ditarik transek secara vertikal dari garis pantai sepanjang 50 m dan dibagi menjadi dua titik. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan surber net yang diletakkan di dasar perairan lalu disaring. Sampel yang didapat disortir lalu dibersihkan dengan air dan dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70% sebagai pengawet lalu diberi label. Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi FMIPA USU dengan menggunakan buku identifikasi Edmonson (1963), Penak (1978) dan Dharma (1988)

2.5 Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan

Pengukuran faktor fisik kimia perairan yang diukur dilakukan dengan menjadikan sampel air laut menjadi sampel komposit. Faktor fisik diukur pada setiap titik dan dirata-ratakan, hasil rata-rata menjadi nilai akhir dari faktor fisik kimia. Faktor fisik kimia perairan yang diukur mencakup:

a. Temperatur

Sampel air diambil dari dasar perairan dengan menggunakan ember. Kemudian dituang ke dalam Erlenmeyer dan diukur temperatur dengan menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan kedalam air ± 10 menit kemudian dibaca skalanya.

b. Penetrasi Cahaya

(22)

c. Intensitas Cahaya

Diukur dengan menggunakan Lux meter yang diletakkan kearah datangnya cahaya, kemudian dibaca angka yang tertera pada Lux meter tersebut.

d. pH (Derajat keasaman)

Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil. Kemudian dibaca angka konstan yang tertera pada pH meter tersebut.

e. DO (Disolved Oxygen)

Disolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metode Winkler, yaitu dengan memasukkan sampel air kedalam botol Winkler, kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Bagan kerja terlampir (Lampiran B).

f. BOD5(Biological Oxygen Demand)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metode Winkler. Sampel air diinkubasi selama lima hari pada suhu 20oC kemudian diukur nilainya dengan metode Winkler dimana nilai BOD5 didapat dari pengurangan DO awal – DO akhir. Bagan kerja terlampir (Lampiran C).

g. Salinitas

(23)

h. Kandungan Organik Substrat

Pengukuran kandungan organik substrat dilakukan dengan metoda analisis abu. Analisis kandungan organik substrat dilakukan di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. Bagan kerja terlampir (Lampiran D).

i. Kejenuhan Oksigen

Harga Kejenuhan Oksigen dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 2.1. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten

6 BOD5 mg/l Metoda Winkler dan Inkubasi Laboratorium

7 Salinitas Refraktometer In – situ

8 Kandungan Organik Substrat

% Oven dan Tanur Laboratorium

(24)

2.6 Analisis Data

Data makrozoobenthos yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wienner, indeks ekuitabilitas, indeks similaritas dan analisis korelasi dengan persamaan sebagai berikut:

a. Kepadatan Populasi (K)

H’ = indeks diversitas Shannon-Wiener Pi = proporsi spesies ke-i

Ln = logaritma Nature

(25)

dengan nilai H’ : 0<H’<2,302 = keanekaragaman rendah 2,302<H’<6,907 = keanekaragaman sedang H’>6,907 = keanekaragaman tinggi

(Krebs, 1985, hlm: 522)

e. Indeks Equitabilitas / Indeks Keseragaman (E)

E =

H’ = indeks diversitas Shannon – Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum

= ln S (dimana S banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0-1

Kandungan organik substrat dihitung dengan menggunakan rumus:

KO = x100%

(26)

dengan:

KO = Kandungan organik A = Berat konstan substrat B = Berat abu

(Widle, 1972 dalam Adianto, 1993, hlm : 17)

h. Kejenuhan Oksigen

Kejenuhan (%) = x100 [t]

] [

O

2 2 u

O

%

Dimana: O2 [u] = Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)

O2 [t] = Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya (pada tabel) sesuai dengan temperatur.

(Barus, 2004, hlm : 59)

i. Analisis Korelasi

Dilakukan dengan menggunakan Analisis Korelasi Pearson (SPSS) versi 16.00 antara faktor fisik kimia terhadap indeks keanekaragaman.

Menurut Sugiyono (2005), tingkat hubungan nilai Indeks Korelasi dinyatakan sebagai berikut:

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199 Sangat rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Kuat

(27)

BAB 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Variabel Biotik

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada empat stasiun di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara didapat 34 genus makrozoobenthos, yang termasuk ke dalam tiga filum, lima kelas, 11 ordo, dan 26 famili seperti terlihat pada Tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1 Klasifikasi Makrozoobenthos yang Didapatkan Pada Setiap Stasiun Penelitian di Beberapa Lokasi di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara.

Filum Kelas Ordo Famili Genus 1. Annelida 1. Polychaeta 1. Errantia 1. Nereididae 1. Nereis 2. Arthropoda 2. Crustacea 2. Decapoda 2. Palaemonidae 2. Palaemonetes

3. Scylladae 3. Scylla 3. Moluska 3. Bivalvia 3. Anysomyaria 4. Malleidae 4. Malleus

5. Mytilidae 5. Septifer 4. Eulamellibranchia 6. Donacidae 6. Donax

7. Mactridae 7. Mactra 5. Pterioida 12. Pectinidae 13. Aequipecten

14. Argopeceten 15. Lyropecten 6. Taxodonta 13. Arcidae 16. Anadara 4. Cephalopoda 7. Sepiida 14. Sepiidae 17. Sepia

5. Gastropoda 8. Archaeogastropoda 15. Fissurellidae 18. Macroschisma 16. Neritidae 19 Neritina

20. Septaria 9. Basommatophora 17. Melampidae 21. Ellobium 10. Mesogastropoda 18. Cerithiidae 22. Telescopium

19. Cymatiidae 23. Cymatium 20. Naticidae 24. Natica

(28)

Filum Kelas Ordo Famili Genus 26. Polinices 21. Potamididae 27. Cerithidea 22. Thiaridae 28. Melanoides 23. Turritellidae 29. Turitella 11. Neogastropoda 24. Buccinidae 30. Engina

31. Nassaria 32. Siphonalia 25. Muricidae 33. Murex 26. Nassaridae 34. Nassarius

Tabel 3.1 menunjukkan bahwa makrozoobenthos yang banyak didapatkan adalah dari filum Moluska yaitu dari kelas Gastropoda sebanyak 17 genus. Filum Moluska lebih banyak dibandingkan dua filum lainnya, hal ini sama dengan beberapa penelitian sebelumnya. Menurut Simanjuntak (2010) filum Moluska yang didapat pada perairan Pulau Sembilan adalah 15 genus dari 19 genus makrozoobenthos yang didapatkan. Pelawi (2010) juga menyatakan filum Moluska yang didapat di Danau Lut Tawar adalah 15 genus dari 19 genus yang didapat. Dibandingkan Manullang (2011) filum Moluska yang didapat di Sungai Sibiru-biru adalah empat genus. Menurut Susanna (1998), Moluska memiliki indeks penyebaran terbesar sehingga dapat dikatakan bahwa Moluska hidup pada berbagai daerah. Moluska memiliki pola sebaran jenis mengelompok diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan, ketersediaan makanan dan tipe substrat. Banyaknya genus dari kelas Gastropoda yang didapatkan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa kondisi fisik-kimia di perairan ini dapat mendukung kehidupannya seperti suhu, pH, jenis substrat dasar perairan yang berupa lumpur berpasir sehingga mampu berkembangbiak dengan cepat dan disebabkan oleh cara penyebaran yang luas karena mempunyai daerah jelajah yang digunakan untuk mencari

dan memanfaatkan sumber daya yang diperlukan. Menurut Siagian (2001) dalam

Suwondo et al., (2005) suhu yang tepat untuk kehidupan benthos yaitu berkisar 25-32 ⁰C.

Derajat keasaman (pH) akan mempengaruhi daya tahan organisme. Menurut Ardi (1999)

dalam Suwondo, et al., (2005) Gastropoda umumnya banyak dijumpai pada daerah yang

memiliki pH lebih besar dari tujuh yang merupakan pH optimum bagi makrozoobenthos.

(29)

polychaeta yaitu Nereis karena kelompok ini mampu mentolerir perubahan salinitas yang besar. Pada umumnya makrozoobenthos yang mampu bertahan hidup di muara berasal dari organisme laut bukan dari air tawar, karena organisme laut lebih mampu mentolerir perubahan salinitas yang besar dari pada spesies tawar menghadapi kenaikan salinitas.

Filum Arthropoda dari kelas Crustaceae merupakan fauna mangrove dengan penyebaran yang luas. Crustaceae dan Moluska mendominasi komunitas fauna bentik pada kebanyakan ekosistem mangrove. Penyebaran yang luas menyebabkan komposisi kelas Gastopoda dan Crustaceae lebih besar dibandingkan kelas-kelas lain. Umumnya kelompok Crustacea memiliki adaptasi dalam menghindarkan diri dari mangsanya yaitu dengan cara membenamkan diri di dalam lubang lumpur, dan lebih aktif pada malam hari, sehingga jarang ditemukan pada siang hari. Menurut (Kasry, 1996 dalam Agus, 2008) pada tingkat juvenile, kepiting jarang kelihatan di daerah bakau pada siang hari, karena lebih suka membenamkan diri di lumpur, sehingga kepiting ini juga disebut kepiting lumpur.

3.1.1 Nilai Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Pada Setiap Stasiun Penelitian.

(30)

Tabel 3.2 Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) Makrozoobenthos pada Setiap Stasiun Penelitian.

(31)

Keterangan:

Stasiun I : Daerah pariwisata (Substrat pasir)

Stasiun II : Daerah mangrove (Substrat lumpur berpasir) Stasiun III : Daerah muara sungai (Substrat lumpur berpasir)

Stasiun IV : Daerah pembuangan limbah pabrik (Substrat lumpur berpasir)

Pada Stasiun I genus Anadara memiliki Kepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) tertinggi masing-masing sebesar 85,19 ind/m2, 62,16% dan 88,89%. Hal ini karena kondisi lingkungan perairan yang sesuai untuk pertumbuhan Anadara, diantaranya salinitas yang diukur pada stasiun ini adalah 32 ‰. Sebagaimana menurut Marzuki et al., (2006) yang menyatakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Anadara yaitu salinitas dan makanan. Anadara menyukai kondisi habitat dengan salinitas yang tinggi (>30‰) dan kondisi perairan dengan suhu 27 ⁰C (Tabel 3.6). Suhu tersebut dapat mendukung ketersediaan oksigen terlarut untuk proses metabolisma dan respirasi organisma air. Romimohtarto & Juwana (2009) juga menyatakan bahwa, cahaya mempunyai pengaruh besar secara tidak langsung dalam hubungannya dengan perpindahan populasi makrozoobenthos.

(32)

Pada Stasiun II genus Siphonalia memiliki Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi masing-masing sebesar 24,69 ind/m2, 20,20% dan 55,56%. Hal ini karena kondisi perairan yang sesuai untuk pertumbuhan populasi Siphonalia yaitu substrat dasar berupa lumpur dengan kandungan organik paling tinggi dari keempat stasiun yaitu 6,425% yang berasal dari dekomposisi serasah mangrove. Hynes (1976) dalam Wargadinata (1995, hlm: 14), menyatakan bahwa Siphonalia adalah genus yang menyukai habitat yang berlumpur dan berpasir. Menurut Koesbiono (1979, hlm: 27) kadar organik adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan Siphonalia, dimana kadar organik ini adalah sebagai nutrisi bagi Siphonalia tersebut. Tingginya kadar organik pada suatu perairan umumnya akan mengakibatkan meningkatnya jumlah populasi Siphonalia yang menyukai substrat yang kaya akan bahan organik. Maka pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi Siphonalia.

Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran terendah pada stasiun II masing-masing sebesar 0,28 ind/m2, 0,23% dan 11,11% adalah genus Scylla. Hal ini dikarenakan, substrat dasar yang berupa lumpur sehingga genus tersebut mampu membenamkan diri pada lubang di dalam substrat dasar untuk menghindari predator. Genus Scylla lebih aktif pada malam hari. Menurut Kasry (1996) dalam Agus (2008) kepiting jarang kelihatan di daerah bakau pada siang hari, karena lebih suka membenamkan diri di lumpur, sehingga kepiting ini juga disebut kepiting lumpur. Menurut Mossa, et al., (1985) dalam Agus (2008) kepiting bakau termasuk golongan hewan nokturnal, karena kepiting beraktivitas pada malam hari. Kepiting ini bergerak sepanjang malam untuk mencari pakan bahkan dalam semalam kepiting ini mampu bergerak mencapai 219 – 910 meter.

(33)

penyebaran yang luas karena kemampuan jelajah untuk mencari dan memanfaatkan sumber daya yang diperlukan. Menurut Nirarita et al., (1996) dalam Suwondo et al.,

(2005) pada umumnya substrat dasar yang berlumpur disenangi oleh Melanoides daripada dasar yang berupa pasir, sedangkan mengelompoknya jenis Melanoides yang lain diduga karena sifatnya yang hidup bergerombol, seragam dan menempel pada satu tempat sepanjang waktu.

Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran terendah pada stasiun III masing-masing sebesar 0,62 ind/m2, 0,45% dan 5,56% adalah genus Chamelea, Polinices, Ellobium, Siphonalia, dan Turitella. Dikarenakan lingkungan yang tidak sesuai bagi reproduksinya karena salinitas yang diukur pada stasiun ini adalah rendah yaitu 7‰ (Tabel 3.6). Menurut Barus (2004), makrozoobenthos mempunyai toleransi yang berbeda terhadap perubahan faktor lingkungan. Ada jenis makrozoobenthos tertentu toleran terhadap perubahan faktor lingkungan abiotik yang besar, sementara jenis lainnya sangat sensitif.

Pada Stasiun IV genus Mactra memiliki Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi sebesar 21,60 ind/m2, 20,96% dan 72,22%. Hal ini karena, substrat dasar perairan lumpur berpasir yang pada umumnya disukai jenis kepa dan kerang-kerangan. Kehadiran Mactra yang mendominasi pada stasiun ini dikarenakan faktor fisik kimia perairan yang masih mendukung bagi kehidupan hewan ini. Kondisi perairan dengan Kadar Oksigen Terlarut (DO) 5,5 mg/l, (Tabel 3.6). Umumnya jumlah Mactra akan mendominasi pada nilai oksigen terlarut berkisar antara 6-8 mg/l, akan tetapi genus Mactra juga memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap oksigen terlarut, suhu pada perairan ini adalah 30 ⁰C namun kondisi tersebut dapat ditolerir oleh genus ini. Menurut Barus (2004), Kecenderungan organisma air untuk dapat bertahan pada kondisi oksigen yang rendah sangat dipengaruhi oleh faktor temperatur.

(34)

Barus (2004), Kondisi perairan yang sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup berbagai organisma karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisma dan respirasi. Menurut Lock & Williams (1981) menyatakan, suatu individu dapat berkembang dengan baik pada habitat yang mampu menyuplai kehidupannya sedikit atau minim akan berakibat spesies tersebut tidak dapat hidup pada daerah tersebut.

Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan total kepadatan populasi tertinggi terdapat pada stasiun satu yaitu 137,04 ind/m2. Hal ini disebabkan karena populasi yang ditemukan pada stasiun satu merata penyebarannya walaupun ada yang sangat mendominasi yaitu Anadara. Menurut Muhajir (2009) dalam (Marzuki et al., 2006) kerang (Anadara) hidup di perairan pantai yang memiliki pasir berlumpur, ditemukan pada substrat yang kaya kadar organik, dengan sifat hidup mengelompok. Hal ini juga diakibatkan karena kondisi fisik kimia perairan di stasiun ini sangat mendukung untuk penyebaran populasinya, genus yang hidup pada perairan tersebut dapat mentolerir perubahan faktor fisik kimia perairan walaupun adanya aktivitas pariwisata tidak begitu mempengaruhi kondisi fisik kimia perairan ini.

(35)

Genus Nassarius dan Argopecten hanya terdapat pada stasiun I, hal ini disebabkan faktor abiotik pada stasiun ini dapat mendukung bagi kehidupan makrozoobenthos tersebut selain itu terdapatnya suplai makanan yang cukup serta kemampuan berkompetisi dengan jenis yang lain.

Genus Donax, Hiatula, Pholas, Aequipecten, Spisula, dan Malleus hanya terdapat pada stasiun II, karena beberapa kelompok bivalvia sangat mendominasi di daerah mangrove yang memiliki ketersediaan nutrisi yang melimpah yang berasal dari serasah di daerah mangrove. Selain itu dikarenakan Stasiun II yang memiliki substrat berupa lumpur berpasir, yaitu kondisi dimana kelompok bivalvia berkembang dengan baik. Menurut (Nybakken, 1988, hlm: 261) pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, yang berarti bahwa tersedia cukup banyak makanan yang potensial untuk organisme penghuni pantai.

Genus Nereis, Polinices, Melanoides hanya terdapat pada stasiun III dikarenakan stasiun III merupakan daerah yang sesuai untuk pertumbuhan makrozoobenthos tersebut, karena genus tersebut mampu menyuplai makanannya dengan kondisi parameter abiotik yang masih toleran untuk pertumbuhannya dan karena kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap kondisi perairan tersebut sehingga mampu mempertahankan hidupnya. Menurut Zahidin (2008, hlm: 96), organisme yang mampu bertahan hidup di daerah muara yaitu dari kelompok polychaeta yaitu Nereis.

3.1.2 Nilai KR > 10% dan FK > 25% dari Makrozoobenthos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian.

Berdasarkan nilai kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrozoobenthos yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, seperti Tabel 3.3 maka dapat dikelompokkan makrozoobenthos yang memiliki KR > 10% dan FK > 25% adalah sebagai berikut

(36)

No Genus

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

KR(%) FK(%) KR(%) FK(%) KR(%) FK(%) KR(%) FK(%)

1 Anadara 62,16 88,89 19,19 50 - - 20,36 83,33

2 Mactra 14,41 50 - - - - 20,96 72,22

3 Melanoides - - - - 55,66 83,33 - -

4 Nereis - - - - 19 50 - -

5 Natica - - - - - - 18,56 61,11

6 Siphonalia - - 20,20 55,56 - - 10,18 38,89

7 Tellina 10,36 50 - - - - - -

Jumlah genus 3 2 2 4

Tabel 3.3 dapat menunjukkan bahwa genus makrozoobenthos yang memiliki KR > 10% dan FK > 25% pada stasiun I terdapat tiga genus yaitu Anadara, Mactra, dan Tellina. Pada stasiun II terdapat dua genus yaitu Anadara dan Siphonalia. Pada stasiun III terdapat dua genus yaitu Melanoides dan Nereis. Sedangkan Pada Stasiun IV terdapat empat genus yaitu Anadara, Mactra, Natica, dan Siphonalia.

Pada stasiun I, II, dan IV, merupakan lokasi yang baik untuk tempat hidup dan berkembang genus Anadara, Mactra, dan Siphonalia. Menurut Barus (2004, hlm: 126) kepadatan relatif merupakan proporsi dari jumlah total individu suatu spesies yang terdapat pada seluruh sampling area dan suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu organisme, apabila nilai KR > 10%. Sedangkan frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies dalam sampling plot yang ditentukan. Suatu habitat dikatakan sesuai bagi perkembangan organisme, apabila nilai FK > 25%. Menurut Lock & William (1981), suatu individu akan dapat hidup pada habitat yang mampu menyuplai kehidupannya, jika penyuplaian akan kebutuhan kehidupannnya sedikit atau minim akan berakibat spesies tersebut tidak dapat mempertahankan kehidupannya.

3.1.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) di Setiap Stasiun Penelitian.

(37)

Tabel 3.4 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) di Setiap Stasiun Penelitian.

INDEKS STASIUN

I II III IV

Keanekaragaman (H') 1,37 2,76 1,53 2,06

Keseragaman (E) 0,52 0,82 0,55 0,83

Berdasarkan Tabel 3.4 bahwa Indeks Keanekaragaman (H’) yang diperoleh dari keempat stasiun berkisar 1,37-2,76. Indeks Keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu 2,76 dan terendah pada stasiun I yaitu 1,37. Indeks Keanekaragaman yang tergolong sedang pada stasiun II karena pada lokasi ini merupakan daerah mangrove, yaitu mampu mengangkut nutrien dan detritus untuk dimanfaatkan oleh makrozoobenthos dan menyebabkan kandungan organik substrat pada stasiun II tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu 6,425 %. Kemudian dipengaruhi oleh nilai DO yang tinggi dibandingkan dengan stasiun penelitian yang lain yaitu 6,5 mg/l. Menurut (Brower et al., 1990 hlm: 52) semakin tinggi nilai DO dalam suatu perairan, maka semakin tinggi pula keanekaragaman biota dalam perairan tersebut. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang relatif merata.

Indeks Keanekaragaman (H’) terendah pada stasiun I disebabkan melimpahnya jumlah salah satu genus yaitu Anadara pada stasiun I. Stasiun I merupakan daerah pariwisata yang memiliki kondisi perairan yang jernih sehingga akan mempengaruhi kedalaman penetrasi yang selanjutnya akan mempengaruhi suhu sehingga mempengaruhi penyebaran makrozoobenthos. Menurut Odum (1994), keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dari tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenisnya dinilai rendah.

(38)

atau dengan kata lain pada stasiun I jumlah spesies dari masing-masing genus yang diperoleh tidak ada yang mendominasi. Sedangkan pada stasiun IV terdapat genus yang banyak jumlahnya dan terdapat spesies yang jumlahnya mendominasi yakni Mactra. Menurut Tarumingkeng (1994, hlm: 101) penyebaran merata disebabkan oleh pengaruh negatif dari persaingan makanan diantara individu-individu dan dapat disebabkan oleh sifat spesies yang bergerombol atau adanya keragaman habitat sehingga terjadi pengelompokan di tempat yang terdapat banyak makanan.

3.1.4 Indeks Similaritas (IS) Pada Setiap Stasiun Penelitian

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai Indeks Similaritas (IS) seperti pada Tabel 3.5 berikut:

Tabel 3.5 Indeks Similaritas (IS) atau Kesamaan pada Setiap Stasiun Penelitian.

IS I II III IV

I - 55,81% 33,33% 46,15%

II - - 57,78 58,54%

III - - - 56%

IV - - - -

Tabel 3.5 menunjukkan bahwa Indeks Similaritas (IS) yang didapat pada stasiun penelitian bervariasi dan berkisar antara 33,33% - 58,54%.

Penelitian menunjukkan bahwa Indeks Similaritas (IS) yang mempunyai kriteria mirip adalah stasiun I dengan stasiun II, stasiun II dengan III, stasiun II dan IV, dan stasiun III dan IV. Kemiripan ini dikarenakan faktor ekologis, beberapa spesies makrozoobenthos yang ditemukan memiliki kesamaan.

(39)

yang lain. Ketidakmiripan ini juga diakibatkan oleh perbedaan faktor fisik kimia lingkungan dan adanya perbedaan aktivitas.

Sebagaimana Krebs (1985, hlm 525) menyatakan bahwa indeks similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan makrozoobenthos yang hidup di luar tempat yang berbeda. Apabila semakin besar indeks similaritasnya, maka jenis makrozoobenthos yang sama pada stasiun yang berbeda semakin banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesamaan makrozoobenthos antara dua lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut. Hal yang paling penting diantaranya adalah kondisi substrat dasar perairan dan kandungan organiknya.

3.2 Variabel Abiotik

Rata-rata nilai faktor fisik-kimia perairan yang diukur pada setiap stasiun penelitian adalah sebagai berikut:

Tabel 3.6 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian.

No Parameter Fisik-Kimia Satuan Stasiun

I II III IV

Stasiun I : Daerah pariwisata Stasiun II : Daerah mangrove Stasiun III : Daerah muara sungai

Stasiun IV : Daerah pembuangan limbah pabrik PT Multi Mas Nabati

(40)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu air pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 26 – 30 °C. Dengan suhu tertinggi terdapat pada stasiun IV (pembuangan limbah pabrik) sebesar 30 °C dan terendah sebesar 26 °C pada stasiun III (muara). Tingginya suhu pada stasiun IV disebabkan adanya aktivitas pembuangan limbah pabrik yang langsung ke badan air, sehingga akibat dari aktivitas tersebut dapat menyebabkan meningkatnya suhu di perairan tersebut. Secara keseluruhan suhu pada keempat stasiun penelitian masih dapat mendukung bagi kehidupan makrozoobenthos. Suhu merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan makrozoobenthos. Menurut James & Evison (1979, hlm: 152) batas toleransi makrozoobenthos terhadap suhu tergantung pada spesiesnya. Umumnya suhu di atas 30 °C dapat menekan pertumbuhan makrozoobenthos.

Kisaran suhu lingkungan perairan lebih sempit dibandingkan dengan lingkungan daratan, karena itulah maka kisaran toleransi organisme akuatik terhadap suhu juga relatif sempit dibandingkan dengan organisme daratan. Berubahnya suhu suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik (Suin, 2002, hlm: 40).

Pola suhu ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran gas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi (Brehm & Meijering, 1990 dalam Barus, 2004, hlm: 45). Menurut Hariyanto et al., (2008, hlm: 111) meskipun suhu air kurang bervariasi akan tetapi sangat berpengaruh terhadap organisme air karena umumnya organisme air memiliki toleransi yang sempit (stenothermal). Perubahan suhu akan mengubah pola sirkulasi, stratifikasi, dan gas terlarut sehingga akan mempengaruhi kehidupan organisme air.

(41)

b. Penetrasi Cahaya

Nilai penetrasi cahaya yang didapat pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 13–28 m. Penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun III yaitu 28 m, sedangkan penetrasi cahaya terendah diperoleh pada stasiun II yaitu 13 m. Rendahnya nilai penetrasi pada stasiun II yang merupakan daerah mangrove karena adanya serasah-serasah yang mengendap dalam substrat dasar perairan, sehingga banyaknya partikel terlarut dalam perairan akan menyebabkan kekeruhan yang tinggi.

Zat terlarut dalam air sering mempengaruhi penetrasi cahaya matahari, yang berakibat penetrasi terbatas akan membatasi organisme air untuk berfotosintesis. Dengan terbatasnya fotosintesis akan menyebabkan kandungan oksigen terlarut rendah. Tetapi jika kekeruhan disebabkan oleh organisme hidup dapat dipakai sebagai indikasi produktivitas perairan tersebut cukup tinggi (Hariyanto et al., 2008, hlm: 112). Menurut Koesbiono (1979, hlm: 24) pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga, akibatnya akan menurunkan produktivitas perairan.

Penetrasi cahaya pada perairan turbulen lebih kecil dibandingkan dengan daerah laut terbuka. Kumpulan partikel-partikel sisa baik dari daratan, dari potongan-potongan kelp dan rumput laut, ditambah kepadatan plankton yang tinggi akibat melimpahnya nutrien, menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya sampai beberapa meter (Nybakken, 1988, hlm: 169).

Cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Berkurangnya cahaya matahari disebabkan karena banyaknya faktor, antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi keruh (Sastrawijaya, 1991, hlm: 56).

(42)

Nilai intensitas cahaya yang didapat pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 7500 - 46900 Candela. Intensitas cahaya tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 46900 Candela, sedangkan intensitas cahaya terendah diperoleh pada stasiun II yaitu 7500 Candela. Hal ini disebabkan karena pengukuran dilakukan pada siang hari yang sangat cerah. Intensitas cahaya terendah terdapat pada stasiun II yaitu 7500 Candela. Rendahnya nilai intensitas cahaya ini karena banyaknya vegetasi (mangrove) sehingga cahaya yang akan masuk menjadi terhalang oleh banyaknya vegetasi mangrove tersebut.

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Barus, 2004, hlm: 43).

d. pH (Derajat Keasaman)

Nilai pH yang didapat pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 7,3 -8,9. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun IV (pembuangan limbah pabrik) sebesar 8,9 dan terendah pada stasiun III (muara) sebesar 7,3. Tingginya nilai pH pada stasiun IV yang merupakan daerah pembuangan limbah pabrik dipengaruhi oleh limbah yang masuk ke badan perairan, hal ini berhubungan dengan nilai kejenuhan oksigen terendah pada stasiun ini sebesar 60,19 artinya terjadi defisit oksigen yang tinggi sehingga mengakibatkan berkembangnya jenis mikroorganisme tertentu yang mengakibatkan suasana basa pada perairan ini. Menurut Barus (2004), nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.

(43)

Nilai DO yang didapat pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 5,5 – 6,5 mg/l. DO tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 6,5 mg/l. Sedangkan DO terendah diperoleh pada stasiun IV sebesar 5,5 mg/l. Tingginya DO pada stasiun II berkaitan dengan suhu pada stasiun tersebut yaitu 29 °C, dan pada lokasi tersebut tidak terdapat aktivitas (kontrol). Hal ini sesuai dengan pernyataan Sastrawijaya (1991, hlm: 99) suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka oksigen di dalam air akan menurun. Secara keseluruhan nilai kandungan oksigen terlarut di lokasi penelitian masih dapat ditoleransi oleh makrozoobenthos. Kehidupan organisme perairan dapat bertahan jika oksigen terlarut sebanyak 5 mg/l dan tergantung juga terhadap daya tahan organisme.

f. BOD5 (Biologycal Oxygen Demand)

Nilai BOD5 yang didapat pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 1,1 – 2,2 mg/l. BOD5 tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 2,2 mg/l dan terendah diperoleh pada stasiun IV sebesar 1,1 mg/l. Adanya perbedaan nilai BOD5 disetiap stasiun penelitian disebabkan oleh perbedaan jumlah bahan organik yang berbeda-beda pada masing-masing stasiun tersebut yang berhubungan dengan defisit oksigen. Karena oksigen tersebut dipakai oleh mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik. Tingginya nilai BOD5 pada stasiun II (mangrove) disebabkan oleh adanya serasah-serasah yang membusuk yang mengendap dalam perairan, Sedangkan pada stasiun IV (pembuangan limbah pabrik), nilai BOD5 rendah disebabkan karena senyawa organik pada stasiun ini mudah untuk diuraikan oleh mikroorganisme karena suhu pada stasiun IV adalah 32 ⁰C artinya suhu optimum dalam proses penguraian secara biokimia. Menurut Barus (2004, hlm: 86) apabila konsentrasi bahan organik berkurang maka perlahan-lahan populasi bakteri akan menurun, sementara nilai BOD semakin kecil.

(44)

baik. Sebaliknya apabila konsumsi O2 berkisar antara 10-20 mg/l O2 akan menunjukkkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi. Selanjutnya Wardhana (1995, hlm: 93) peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.

g. Salinitas

Nilai salinitas yang didapat pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 7 – 32 0/00. Salinitas tertinggi diperoleh pada stasiun I sebesar 32 0/00 sedangkan salinitas terendah pada stasiun III sebesar 7 0/00 . Tinggi rendahnya nilai salinitas pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang berada di kawasan tersebut yang menghasilkan limbah sehingga berdampak pada peningkatan kadar garam air.

Menurut Nontji (1993, hlm: 59) di perairan pantai karena terjadi pengenceran, misalnya karena pengaruh aliran sungai, salinitas bisa turun rendah. Sebaliknya di daerah dengan penguapan yang sangat kuat, salinitas biasanya meningkat tinggi. Selanjutnya menurut Barus (2004, hlm: 73) secara alami kandungan garam terlarut dalam air meningkat apabila populasi fitoplankton menurun. Hal ini dapat terjadi karena melalui aktivitas respirasi dari hewan dan bakteri air akan meningkatkan proses mineralisasi yang menyebabkan kadar garam air meningkat. Garam-garam tersebut meningkat kadarnya dalam air karena tidak lagi dikonsumsi fitoplankton yang mengalami penurunan jumlah populasi tersebut.

h. Kadar Organik Substrat

(45)

(muara) yaitu 0,642%. Tingginya kadar organik substrat pada stasiun II disebabkan karena pada daerah mangrove, komponen senyawa organik berasal dari serasah yang dihasilkan mangrove yang lama kelamaan akan tertimbun menjadi butiran-butiran lumpur dalam substrat dan dikomposisi oleh detritus. Menurut (Sarpodenti & Sesakumar, 1997 dalam Gunarto, 2004) sebagian besar makrofauna di mangrove memakan berbagai tipe detritus organik. Komponen detritus organik tersebut terdapat dalam berbagai tipe, yaitu material tanaman atau hewan yang didekomposisi, dan senyawa organik yang terlarut dalam bentuk bebas atau terikat dengan partikel pasir dan lumpur. Secara keseluruhan nilai kadar organik yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian tergolong sangat rendah, hal ini karena sedikitnya senyawa organik yang masuk kedalam badan perairan. Menurut Djaenuddin et al., (1994 ) dalam Hutapea (2006, hlm: 37), kriteria tinggi rendahnya kandungan organik substrat berdasarkan persentase adalah sebagai berikut:

< 1% = sangat rendah

1% - 2% = rendah

2,01% - 3% = sedang 3,01% - 5% = tinggi

> 5,01% = sangat tinggi.

(46)

i. Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen yang diperoleh dari empat stasiun penelitian berkisar 60,19% - 78,88%. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 78,88% dan terendah pada stasiun IV sebesar 60,19%. Tingginya kejenuhan oksigen pada stasiun I berkaitan dengan tingginya nilai DO pada stasiun tersebut, dimana suhu pada stasiun tersebut sebesar 27 °C. Hal ini menunjukkan defisit oksigen pada stasiun tersebut sedikit. Rendahnya kejenuhan oksigen pada stasiun III karena pengaruh pencampuran air sungai dengan air laut, dan diakibatkan karena minimnya aerasi sehingga kontak air dan udara semakin kecil. Hal ini akan mengakibatkan konsumsi oksigen pada makrozoobenthos meningkat dan defisit oksigen juga meningkat.

Menurut Hutagalung et al., (1997) sumber utama oksigen dalam air laut berasal dari udara melalui proses difusi dan dari hasil fotosintesis fitoplankton pada siang hari, faktor-faktor yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam air laut adalah kenaikan suhu air, respirasi (khususnya malam hari), dan adanya lapisan minyak di atas permukaan air laut dan masuknya limbah organik yang mudah terurai.

3.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson Metode Komputerisasi SPSS Ver. 16.00

Nilai uji analisis korelasi keanekaragaman makrozoobenthos dengan faktor fisik kimia perairan yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.7 berikut ini:

(47)

Berdasarkan Tabel 3.7 hasil Uji Korelasi Pearson, dapat dilihat bahwa tingkat hubungan yang sangat kuat dengan indeks keanekaragaman (H’) adalah intensitas cahaya. Tingkat hubungan yang kuat adalah Penetrasi cahaya dan Kadar organik substrat. Tingkat hubungan yang sedang terdiri dari suhu, BOD5, sedangkan tingkat hubungan yang sangat rendah adalah DO (Dissolved Oksigen), Salinitas, pH, dan Kejenuhan Oksigen.

Intensitas cahaya memiliki tingkat hubungan yang sangat kuat dan berkorelasi berlawanan dengan indeks keanekaragaman (H’) makrozoobenthos, dimana intensitas cahaya akan memberi pengaruh terhadap keberadaan makrozoobenthos. Seperti aktivitas dalam mencari makan bagi makrozoobenthos yang diurnal. Ini menunjukkan bahwa intensitas cahaya tidak mempengaruhi terhadap keanekaragaman makrozoobenthos, karena makrozoobenthos yang bersifat diam dan pergerakannya yang lambat tidak terlalu dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Menurut Barus (2004) faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

(48)
(49)

BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian terhadap keanekaragaman makrozoobenthos yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

a. Keanekaragaman makrozoobenthos pada perairan Kuala Tanjung terdiri dari tiga filum, lima kelas, 11 ordo, dan 34 famili

b. Genus Anadara memiliki kepadatan populasi tertinggi yaitu 85,19 ind/m2 yang ditemukan pada stasiun pariwisata dan genus Aequipecten, Polinices, Donax dan Pholas memiliki kepadatan populasi terendah yaitu 0,62 ind/m2 yang ditemukan pada stasiun mangrove.

c. Indeks keanekaragaman (H’) pada stasiun mangrove tergolong sedang (2,76) dan tiga stasiun yang lain tergolong rendah (1,37-2,06).

d. Penyebaran genus pada stasiun I dan III cenderung tidak merata, sedangkan pada stasiun II dan IV cenderung merata.

e. Keanekaragaman makrozoobenthos berkorelasi kuat dengan intensitas cahaya matahari, penetrasi cahaya, dan kadar organik substrat.

4.2 Saran

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Adianto. 1993. Ekologi Perairan. Edisi Kedua. Jakarta: Alumni

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Agus, M. 2008. Analisis Carryng Capacity Tambak pada Sentra Budidaya Kepiting Bakau (Scylla sp) di Kabupaten Pemalang – Jawa Tengah. Program Pascasarjana. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.

Barnes, K. S. K & K. H. Mann. 1994. Fundamental of Aquatic Ecology. London: Blackwell Scientific Publications.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan: USU Press.

Brower, J. E., H. Z. Jerrold & Car. I. N. Von Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Third Edition. USA. New York: Wm. C. Brown Publisher.

Dahuri, R., J. Rais., S. P. Ginting & M. J. Sitepu. 2006. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan Ketiga. Edisi Revisi. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Mahluk Hidup. Jakarta: UI Press. Darojah, Y. 2005. Keanekaragaman Jenis Makrozoobenthos di Ekosistem Perairan

Rawa Pening Kabupaten Semarang. Skripsi. Semarang: UNS.

Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. Cetakan pertama. Jakarta: Sarana Graha.

Edmondson, W. T. 1963. Fresh Water Biologi. Second Edition. New York: Jhon Wiley & Sons, Inc.

Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian. 23(1).

Hariyanto, S. B. Irawan & T. Soedarti. 2008. Teori dan Praktik Ekologi. Surabaya: Airlangga University Press.

(51)

Hutapea, T. R. 2006. Pengaruh Pembuangan Limbah Cair Berbagai Aktivitas Manusia Terhadap Keanekaragaman Makrozoobenthos di Aliran Sungai Denai Kecamatan Medan Amplas. Skripsi. Medan: FMIPA USU.

James, A. & L. Evison. 1979. Biologi Indications of Water Quality. Chrichester, New York. John Willey & Sons, inc.

Junardi & E. R. P. Wardoyo. 2008. Struktur Komunitas dan Karakteristik Substrat Cacing Laut (Polychaeta) di Perairan Pantai Mangrove Peniti, Kalimantan Barat. Biodiversitas. 9(3).

Koesbiono. 1979. Dasar-dasar Ekologi Umum. Bagian IV (Ekologi Perairan). Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Lingkungan. Bogor: IPB.

Krebs, C. J. 1985. Ecology. Third Edition. New York: Happer & Publisher.

Lock, M.A. & Williams, D. D. 1981. Perspectives in Running Water Ecology. New York: Pergamon Press.

Manullang, R. 2011. Keanekaragaman Makrozoobenthos di Sungai Sibiru-biru Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang. Skripsi. Medan: FMIPA USU.

Marsaulina, L. 1994. Keberadaan dan Keanekaragaman Makrozoobenthos di Sungai Semayam Kecamatan Sunggal. Medan: Lembaga Penelitian USU.

Marzuki, J., J. Nurdin & Neti. M. 2006. Kepadatan Populasi Dan Pertumbuhan Kerang Darah Anadara antiquata L. (Bivalvia: Arcidae) di Teluk Sungai Pisang Kota Padang. Sumatera Barat. Makara sains. 10 (2).

Michael, P. 1984. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.

Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT Gramedia.

Odum, E. P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pennak, R. 1978. The Fresh Water Invertebrates of The United States Protozoa to Molusca. Colorado: University of Colorado, Boulder.

Pelawi, S. K. 2010. Keanekaragaman Makrozoobenthos di Danau Lut Tawar Naggroe Aceh Darussalam. Skripsi. Medan: FMIPA USU.

(52)

Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.

Seki, H. 1982. Organic Materials in Aquatic Ecosystem. Florida: CRC Press, Inc . Soemarwoto. I. 1990. Biologi Umum 2. Jakarta: Gramedia.

Sugiyono. 2005. Analisis Statistik-Korelasi Seder Diakses Januari 2011.

Suwondo, E. Febrita & F. Sumantri. 2005. Struktur Komunitas Gastropoda pada Hutan Mangrove di Pulau Sipora Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Jurnal Biogenesis. 2(1).

Suin, N. M. 2002. Metode Ekologi. Padang: Universitas Andalas.

Tarumingkeng, R. C. 1994. Dinamika Populasi, Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta:Universitas Kristen Krida Wacana.

Thohir, A. 1991. Butir-Butir Tata Lingkungan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Wardhana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Wargadinata, E. L. 1995. Makrozoobenthos Sebagai Indikator Ekologi di Sungai Percut. Tesis. Medan: Program Pasca Sarjana Ilmu Pengetahuan Sumber Daya Alam Lingkungan USU.

(53)

Lampiran A. Peta Lokasi Penelitian

Keterangan:

Stasiun 1: Daerah Mangrove Stasiun 2: Daerah Pariwisata Stasiun 3: Daerah Muara Sungai

(54)

Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO)

1 ml H2SO4

ditambahkan 5 tetes amilum ditetesi Na2S2O3 0,0125 N 1 ml MnSO4

Sampel Air

1 ml KOH – KI dikocok

didiamkan

Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat

didiamkan dikocok

Larutan Sampel Berwarna Coklat

diambil sebanyak 100 ml

Sampel Berwarna Kuning Pucat

Sampel Berwarna Biru

dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N

Sampel Bening

Dihitung volume Na2S2O3 yang terpakai (= nilai DO akhir)

Hasil

(55)

Lampiran C. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5

(Suin, 2002, hlm: 60)

Keterangan :

Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan Nilai DO

Nilai BOD = Nilai awal – Nilai DO akhir

dihitung nilai DO akhir diinkubasi selama 5 hari

pada temperatur 20°C dihitung nilai DO awal Sampel Air

Sampel Air Sampel Air

(56)

Lampiran D. Bagan Kerja Pengukuran Kadar Organik Substrat

Dikeringkan dalam oven 45˚ C

Dihaluskan/digerus dengan lumpang

Dikeringkan dalam oven 45˚ C selama 1 jam Ditimbang sebanyak 5 gram

Dibakar di dalam tungku pembakar pada suhu 600˚ C selama 3 jam

(Barus, 2004, hlm: 139-140) Substrat dasar pada titik

pengamatan

100 gram substrat dasar

Berat konstan tanah

5 gram tanah

Abu

Hasil

(57)
(58)

Lampiran F. Foto Makrozoobenthos yang Didapatkan

Gambar 1. Nereis Gambar 2. Palaemonetes

Gambar 3. Scylla Gambar 4. Malleus

(59)

Gambar 7. Mactra Gambar 8. Spisula

Gambar 9. Pholas Gambar 10. Hiatula

(60)

Gambar 13. Aequipecten Gambar 14. Argopecten

Gambar 15. Lyropecten Gambar 16. Anadara

(61)

Gambar 19. Neritina Gambar 20. Septaria

Gambar 21. Ellobium Gambar 22. Telescopium

(62)

Gambar 25. Neverita Gambar 26. Polinices

Gambar 27. Cerithidea Gambar 28. Melanoides

(63)

Gambar 31. Nassaria Gambar 32. Siphonalia

(64)

Lampiran G. Jumlah dan Jenis Makrozoobenthos yang didapatkan pada setiap

stasiun penelitian.

NO TAKSA STASIUN I

Rata-rata 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 I Bivalvia A Arcidae 1 Anadara 4 - 20 7 23 6 1 28 21 3 5 - 1 2 7 1 5 4 7.67 B Fissurellidae 2 Macroschima - - - 1 2 - - - 1 - - - 0.22 C Mactridae

3 Mactra - - 5 7 1 1 1 5 - - 3 - 5 4 - - - - 1.78 D Mytilidae

4 Septifer 1 - - - 1 1 - - - 0.17 E Pectinidae 5 Argopecten - - - 1 - - - 2 - - - 0.17 6 Lyropecten - - - 1 - - - 0.06 F Tellinidae 7 Tellina - - 4 5 1 - 3 - - - 1 3 2 - - 3 1 - 1.28 II Crustaceae G Scylladae 8 Scylla - 1 - - - 0.06 III Gastropoda

(65)
(66)
(67)
(68)

NO TAKSA STASIUN IV Rata-rata 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 I Bivalvia A Arcidae 1 Anadara - 3 1 1 - 6 - 1 1 1 5 1 1 3 4 2 3 1 1.89 B Mactridae 2 Mactra - - 1 3 7 - 3 - 2 3 3 - 3 1 2 1 2 4 1.94 II Crustaceae C Palaemonidae 3 Palaemonetes 3 - - - - 0.17 D Scylladae

4 Scylla 1 - - - - 0.06 III Gastropoda

E Buccinidae 5 Engina - - 6 - 1 1 - 2 - - - 1 1 1 - 0.72 6 Siphonalia - - 1 4 - - - 3 1 - - 3 - - 4 - 1 - 0.94 F Cymatiidae 7 Cymatium - 5 - 1 - - - - 1 - - - - 0.39 G Muricidae

8 Murex - 1 - - - 1 - - - 1 - 0.17 H Naticidae

9 Natica - 11 3 1 - 4 - 2 1 1 - 1 - - - 4 2 1 1.72 I Nassaridae 10 Nassarius - - 3 1 - - - 2 - - - 2 - 3 1 1 - 1 0.78

J Neritidae 11 Neritina - 1 - - - - 0.06

(69)

Lampiran H. Contoh Perhitungan

a. Kepadatan Makrozoobenthos Anadara pada stasiun 1

Net

b. Kepadatan Relatif Anadara pada stasiun 1

%

c. Frekuensi Kehadiran Anadara pada Stasiun 1

%

d. Indeks Diversitas Shannon-Wiener (H’) Anadara pada Stasiun 1

e. Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E) pada Stasiun 1

(70)

Lampiran I. Hasil Analisis Korelasi Pearson

Gambar

Gambar 2.1 Lokasi Penelitian Stasiun I (daerah pariwisata)
Gambar 2.4 Lokasi Penelitian Stasiun IV                     (daerah pembuangan limbah pabrik)
Tabel 2.1. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik                    Kimia Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten                   Batubara
Tabel 3.1 Klasifikasi Makrozoobenthos yang Didapatkan Pada Setiap Stasiun Penelitian di Beberapa Lokasi di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara
+7

Referensi

Dokumen terkait

«Aydınlanmaya engel teşkil eden, bu geçici bedenin içindeki Atman'ın ihtişamını gören kişi; Atman'ın her şeyin yaratıcısı ve sahibi olan Tanrı ile bir ve

Secara operasional pengertian entrepreneurship dalam penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki siswa kelas X SLTA Negeri Jatinangor Tahun.. Ajaran 2015/2016

Teori ini mengembangkan model kepemimpinan dimana efektivitas kepemimpinan tergantung dari kesiapan bawahan.. mencakup kemauan untuk mencapai prestasi, untuk menerima tanggung

Download Bank Soal Terlengkap hanya di

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya oleh Abdul Highe Khan, Ahasanul Haque, Muhammad Sabbir Rahman (2013), dimana pada penenlitian ini kualitas

Jika perusahaan dapat belajar ini, mereka dapat menawarkan solusi yang efektif dan efisien yang lebih mungkin disambut oleh pelanggan mereka (Ekiz dan Au,

Hasil dari pengujian koneksi politik melalui aspek kepimilikan pemerintah adalah berpengaruh positif namun tidak signifikan, namun koneksi politik melalui hubungan komisaris

KEPALA UPTD PUSKESMAS …..