• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Berdasarkan Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tanggung Jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Berdasarkan Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB DEWAN KOMISARIS PERSEROAN

TERBATAS DALAM HAL TERJADINYA KEPAILITAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NO. 37 TAHUN 2004

TENTANG KEPAILITAN

TESIS

Oleh

ASEPTE GAULLE GINTING 087005118 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TANGGUNG JAWAB DEWAN KOMISARIS PERSEROAN

TERBATAS DALAM HAL TERJADINYA KEPAILITAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NO. 37 TAHUN 2004

TENTANG KEPAILITAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ASEPTE GAULLE GINTING 087005118 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB DEWAN KOMISARIS PERSEROAN TERBATAS DALAM HAL TERJADINYA KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN

Nama Mahasiswa : Asepte Gaulle Ginting Nomor Pokok : 087005118

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Ketua

)

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum Anggota Anggota

)

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 17 September 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

2. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

3. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum

(5)

ABSTRAK

Krisis moneter yang melanda Indonesia telah memakan biaya fiskal yang amat besar dan mahal yakni mencapai angka 51 % dari Produk Nasional Bruto (PDB atau Product Domestic Bruto). Krisis tersebut telah menimbulkan resiko terhadap kondisi dan perkembangan badan usaha. Resiko tersebut dapat mengganggu stabilitas pasar keuangan dan kesehatan lembaga keuangan dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya krisis adalah gagalnya perusahaan di sektor riil dalam mengembalikan pinjaman. Kegagalan ini, dapat dikategorikan bahwa perusahaan

mengalami pailit (corporate failure). Kemungkinan terjadinya kepailitan dalam

Perseroan selalu terbuka oleh beberapa faktor, baik itu faktor eksternal misalnya karena krisis moneter global atau oleh karena faktor internal yaitu kesalahan dan kelalaian dalam pengelolaan dan pengawasan serta tidak adanya itikad baik yang dapat memperburuk situasi yang memungkinkan terjadinya kepailitan. Dengan demikian pertanggungjawaban yang dibebankan kepada organ-organ Perseroan menjadi hal yang sangat penting untuk perhatikan, sebab berkaitan langsung dengan harta debitur dan kreditur.

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis yang bertujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan tentang kepailitan dan Perseroan Terbatas serta akibat-akibat hukum yang dapat dikenakan karena peristiwa kepailitan, dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Dengan metode kepustakaan, teknik pengumpulan data dilakukan oleh penulis. Metode ini disebut library research untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori serta informasi dan pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

Dewan Komisaris dalam melakukan tugas dan kewenangannya mengacu pada konsep fiduciary duty dan juga good corperate governance. Artinya bahwa Dewan Komisaris harus selalu berhati-hati dan teliti dalam mengawasi dan memberi nasihat pada Direksi yang mengurus Perseroan. Pertanggungjawaban atas terjadinya

kepailitan erat kaitannya dengan konsep teori Piercing the Corporate Veil dan

Business Judgment Rulen serta Good Corporate Governance. Kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh Dewan Komisaris atas Pengurusan Direksi akan membawa tanggung jawab terhadap semua anggotanya. Tanggung jawab yang dikenakan merupakan konsekuensi logis. Bentuk tanggung jawab yang dikenakan pada Dewan Komisaris atas terjadinya kepailitan Perseroan adalah tanggung jawab renteng. Oleh karena itu, konsep fiduciary duty dan business judgment rule menjadi hal yang benar-benar harus diperhatikan dan dilakukan oleh Dewan Komisaris agar terhindar dari kemungkinan terjadinya kepailitan dalam Perseroan Terbatas.

(6)

ABSTRACT

The monetary crisis which occurred in Indonesia had cost great and expensive departure tax and reached out to 51 percent of the Gross National Product (GNP).The crisis had aroused the awareness of the importance of the financial market stability and healthy financial institutions which established financial systems. The financial market stability and the healthy financial institutions would be able to damp the crisis so that they became the interaction from some risks which should be managed properly. One of the risks which brought about the crisis was the failure of the company in the real sector in paying the loan. This failure could be categorized as corporate failure.

Bankruptcy in corporation was caused by some factors: external factors, such as the error and negligence in managing and controlling, and bad faith which could worsen the situation so that the bankruptcy occurred. Therefore, the company’s departments should have great responsibility since they were concerned with the debtors’ and creditors’ wealth.

The type of this research was analytical descriptive. The research was aimed to limit the study framework into an analysis of laws and regulations about bankruptcy and company, and the legal impacts which deal with bankruptcy, referring to laws and regulations. The data were gathered by using library method which was called the library research in order to get the concepts, theories, information and the conceptual consideration from the previous researchers about the laws and regulations and other scientific writings. The data were analyzed qualitatively, discussed systematically by explaining the relationship among the types of data, selected and processed in order to describe and reveal the legal ground, and give the solution of the above problems.

(7)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang

Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan Tesis ini

dapat penulis selesaikan dengan baik, walaupun penulis menyadari sepenuhnya

bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan beberapa

faktor teknis yang sangat terbatas.

Adapun Tesis ini berjudul “Tanggung Jawab Dewan Komisaris

Perseroan Terbatas Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Berdasarkan

Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, yang merupakan salah satu

syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu

Hukum, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas

Sumatera Utara.

Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan

baik berupa bimbingan, pengajaran dan arahan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan

setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing: Prof. Dr. Bismar

Nasution, SH, MH., Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., dan Prof. Dr. Runtung,

SH, M.Hum. Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan

waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat

(8)

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih

kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril

Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), SpA(K) atas kesempatan menjadi

mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum sekaligus

sebagai Komisi Pembimbing, atas kesempatan menjadi mahasiswa

Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., sebagai Pembimbing Utama dan

juga sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hukum , yang telah meluangkan

waktunya untuk membimbing penulis dalam penulisan Tesis ini, serta

dorongan dan masukan kepada penulis sehingga tesis ini selesai di tulis.

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing, dengan

penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam penulisan

Tesis ini.

5. Kedua Orang Tua Tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih

sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman kepada Tuhan

Yang Maha Esa.

6. Kepada istri tercinta Evvi Fitria yang telah memberikan semangat

(9)

7. Kepada staff Administrasi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Bu Niar, Bu ganti, Kak Juli, kak Fitri, Kak Fika, Bang

Hendra, Bang Udin, ST, Bang Herman yang telah banyak membantu

selama perkuliahan.

8. Kepada Saudara-saudara ku, Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas

kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat

kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

9. Kepada Rekan-rekan di Program Magister Ilmu Hukum, dan

rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas jasa, amal dan budi baik

tersebut dengan pahala yang berlipat ganda.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat

dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan

Tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga

menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk

menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Mei 2010

Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Asepte Gaulle Ginting

Tempat/Tanggal Lahir : Kabanjahe, 30 September 1983

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Jaksa

Alamat : Jl. Samura Gg. Merak No.2 Kabanjahe Kab. Karo

Pendidikan : SD Negeri 1 Kabanjahe Tamat Tahun 1995

SMP Negeri 1 Kabanjahe Tamat Tahun 1998

SMU Negeri 1 Kabanjahe Tamat Tahun 2001

Strata Satu (S1) Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2007

(11)

DAFTAR ISI

BAB. II. KEDUDUKAN DAN WEWENANG DEWAN KOMISARIS PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS ..……… 32

A. Pengertian Perseroan Terbatas ...………. 32

1. Perseroan Terbatas Menurut KUHD ………. 32

2. Perseroan Terbatas Menurut UU No. 1 Tahun 1995 …….……... 36

3. Perseroan Terbatas Menurut UU No. 40 Tahun 2007 …….……. 41

B. Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum Dengan Tanggung Jawab Terbatas Dari Perseroan Terbatas ……….. 48

C. Kedudukan dan Wewenang Dewan KomisarisPerseroan Terbatas Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ………... 54

BAB III. KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP ORGAN PERSEROAN TERBATAS .. 65

A. Pengertian Kepailitan ……… 65

B. Kepailitan Perseroan Terbatas ……….. 69

C. Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas……….. 70

D. Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Organ Perseroan Terbatas………. 80

1. Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas Terhadap RUPS …… 81

(12)

3. Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas Terhadap Dewan

Komisaris……… 87

BAB IV. TANGGUNG JAWAB DEWAN KOMISARIS PERSEROAN TERBATAS DALAM HAL TERJADINYA KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 20 TENTANG KEPAILITAN ………….….. 92

A. Berlakunya Fiduciary Duty dan Business Judgment Rule Bagi Dewan Komisaris Perseroan Terbatas ……….. 92

1. Fiduciary Duty dan Prinsip Judgment Rule dalam Pasal 114 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ………... 92

2. Tanggung Jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam Hal Terjadinya Kepailitan Perseroan Terbatas Menurut UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas………. 96

B. Tanggung Jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam Hal Terjadinya Kepailitan Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU……… 106

C. Pertanggungjawaban Secara Pidana dan Perdata ………. 113

1. Pertanggungjawaban Secara Pidana ……… 113

2. Pertanggungjawaban Secara Perdata……… 119

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 122

A. Kesimpulan ………. 122

B. Saran ……… 125

(13)

ABSTRAK

Krisis moneter yang melanda Indonesia telah memakan biaya fiskal yang amat besar dan mahal yakni mencapai angka 51 % dari Produk Nasional Bruto (PDB atau Product Domestic Bruto). Krisis tersebut telah menimbulkan resiko terhadap kondisi dan perkembangan badan usaha. Resiko tersebut dapat mengganggu stabilitas pasar keuangan dan kesehatan lembaga keuangan dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya krisis adalah gagalnya perusahaan di sektor riil dalam mengembalikan pinjaman. Kegagalan ini, dapat dikategorikan bahwa perusahaan

mengalami pailit (corporate failure). Kemungkinan terjadinya kepailitan dalam

Perseroan selalu terbuka oleh beberapa faktor, baik itu faktor eksternal misalnya karena krisis moneter global atau oleh karena faktor internal yaitu kesalahan dan kelalaian dalam pengelolaan dan pengawasan serta tidak adanya itikad baik yang dapat memperburuk situasi yang memungkinkan terjadinya kepailitan. Dengan demikian pertanggungjawaban yang dibebankan kepada organ-organ Perseroan menjadi hal yang sangat penting untuk perhatikan, sebab berkaitan langsung dengan harta debitur dan kreditur.

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis yang bertujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan tentang kepailitan dan Perseroan Terbatas serta akibat-akibat hukum yang dapat dikenakan karena peristiwa kepailitan, dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Dengan metode kepustakaan, teknik pengumpulan data dilakukan oleh penulis. Metode ini disebut library research untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori serta informasi dan pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

Dewan Komisaris dalam melakukan tugas dan kewenangannya mengacu pada konsep fiduciary duty dan juga good corperate governance. Artinya bahwa Dewan Komisaris harus selalu berhati-hati dan teliti dalam mengawasi dan memberi nasihat pada Direksi yang mengurus Perseroan. Pertanggungjawaban atas terjadinya

kepailitan erat kaitannya dengan konsep teori Piercing the Corporate Veil dan

Business Judgment Rulen serta Good Corporate Governance. Kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh Dewan Komisaris atas Pengurusan Direksi akan membawa tanggung jawab terhadap semua anggotanya. Tanggung jawab yang dikenakan merupakan konsekuensi logis. Bentuk tanggung jawab yang dikenakan pada Dewan Komisaris atas terjadinya kepailitan Perseroan adalah tanggung jawab renteng. Oleh karena itu, konsep fiduciary duty dan business judgment rule menjadi hal yang benar-benar harus diperhatikan dan dilakukan oleh Dewan Komisaris agar terhindar dari kemungkinan terjadinya kepailitan dalam Perseroan Terbatas.

(14)

ABSTRACT

The monetary crisis which occurred in Indonesia had cost great and expensive departure tax and reached out to 51 percent of the Gross National Product (GNP).The crisis had aroused the awareness of the importance of the financial market stability and healthy financial institutions which established financial systems. The financial market stability and the healthy financial institutions would be able to damp the crisis so that they became the interaction from some risks which should be managed properly. One of the risks which brought about the crisis was the failure of the company in the real sector in paying the loan. This failure could be categorized as corporate failure.

Bankruptcy in corporation was caused by some factors: external factors, such as the error and negligence in managing and controlling, and bad faith which could worsen the situation so that the bankruptcy occurred. Therefore, the company’s departments should have great responsibility since they were concerned with the debtors’ and creditors’ wealth.

The type of this research was analytical descriptive. The research was aimed to limit the study framework into an analysis of laws and regulations about bankruptcy and company, and the legal impacts which deal with bankruptcy, referring to laws and regulations. The data were gathered by using library method which was called the library research in order to get the concepts, theories, information and the conceptual consideration from the previous researchers about the laws and regulations and other scientific writings. The data were analyzed qualitatively, discussed systematically by explaining the relationship among the types of data, selected and processed in order to describe and reveal the legal ground, and give the solution of the above problems.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Krisis perekonomian Indonesia yang dipengaruhi oleh gejolak moneter telah

membawa bangsa Indonesia ke dalam keterpurukan. Karena sebagian besar dana

perbankan yang berjumlah triliunan rupiah tidak dapat dikembalikan oleh para

debitur yang merupakan kelompok konglomerat yang telah menikmati fasilitas

finansial tanpa bertanggung jawab pada rezim Orde Baru puluhan tahun lamanya.1

Pada pertengahan tahun 1997 di Asia pada umumnya dilanda gejolak moneter

yang berdampak buruk terhadap tatanan serta pilar ekonomi Indonesia. Hal ini

ditandai dengan turunnya kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat pada bulan

Agustus 1997, dan mengakibatkan perubahan pada sistem pertukaran menjadi

free-foating system. Akibatnya, nilai rupiah menjadi turun dan terjadi inflasi yang tinggi.

Krisis ekonomi bukan hanya terjadi pada era 1997/1998, tetapi era 2008 sampai 2009

dunia juga mengalami krisis ekonomi yang hebat. Media massa internasional dan

nasional dengan gencar memberitakan kondisi perekonomian dunia dan nasional yang

buruk. Secara khusus di Indonesia, nilai kurs rupiah terhadap dollar Amerika kembali

terkoreksi atau mengalamai tekanan hingga mencapai Rp. 12.600,- per Dollar

1

(16)

Amerika. Turunnya nilai tukar rupiah, menurut Gunadi setidaknya telah

memunculkan 3 (tiga) dampak negatif terhadap perekonomian nasional, yakni:

1. Neraca Pembayaran Negatif (Negative Balance of Payments)

Neraca ini terjadi terutama karena fluktuasi nilai tukar utang dalam valuta

asing jika dirupiahkan. Utang perusahaan swasta maupun milik pemerintah

yang demikian besar telah memberatkan beban neraca pembayaran, kontras

dengan kenaikan nilai ekspor sebagai konsekuensi dari ter-depresinya nilai

rupiah yang tidak dapat segera dinikmati.

2. Selisih Bunga Negatif di Bidang Keuangan (Negative Spread)

Dampak ini terutama terjadi pada industri keuangan. Kebijakan pemerintah

untuk menaikkan suku bunga dalam rangka menekan laju inflasi (permintaan

terhadap valas) telah mengakibatkan naiknya suku bunga bank. Sedangkan

dana yang terkumpul dari masyarakat mengalami kesulitan penyalurannya

disebabkan kelangkaan perusahaan yang mampu memperoleh margin di atas

suku bunga.2

3. Defisit Modal (Negative Equity)

Perusahaan yang terlanjur memperoleh kredit bank mengalami apa yang

disebut negative eguity sebab nilai kekayaannya dalam rupiah tidak cukup

2

(17)

lagi, bahkan berbeda jauh jika dibandingkan dengan nilai rupiah dari utang

valuta asing.3

Lebih jauh lagi, gejolak tersebut juga telah memberi pengaruh yang ternyata

berpengaruh besar terhadap kemampuan dunia usaha untuk memenuhi kewajiban

pembayaran mereka kepada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah

melahirkan akibat yang berantai, dan jika tidak segera diselesaikan akan

menimbulkan dampak yang lebih luas lagi.4

3

Gunadi, Ibid, hal. 4 Dari sisi ekonomi, patut disimak data yang diungkapkan oleh Lembaga Konsultan (Think-Thank) Econit Advisory Group, bahwa pada tahun 1997 merupakan tahun “ketidak-pastian” (a year of uncertainty). Sedangkan tahun 1998 merupakan tahun “koreksi” (a year of correction). Pada pertengahan tahun 1997 terjadi depresi secara drastis nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dari Dollar Amerika Serikat sekitar Rp. 2.300,- pada sekitar bulan Maret menjadi sekitar Rp. 5.000,- per Dollar Amerika pada tahun 1997. Lebih drastis lagi yakni pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sampai menyentuh angka Rp. 16.000,- per Dollar Amerika. Kondisi ini mengakibatkan terpuruknya pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6-7 % telah terkoreksi menjadi minus 13-14 %. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10 % melonjak menjadi sekitar 70 %. Banyak perusahaan yang kolaps karena kesulitan membayar kewajiban utangnya terhadap para kreditur dalam “Prediksi Tahunan, Econit’s Economic Outlook Tahun 2000: Tahun Kelahiran Kembali Indonesia pada Harian Kompas edisi Kamis, 16 Desember 1999, hal. 5, kol. 1, sebagaimana dilansir Lembaga Konsultan Econit Advisory Group, Jakarta tahun 2000.

Perusahaan yang kesulitan untuk

membayar kewajiban utangnya tehadap para kreditur akhirnya memilih langkah

paling “pahit” yakni pailit. Situasi dunia usaha menjadi tidak kondusif dalam

kerangka kewajiban pelunasan utang, sebab kewajiban dalam waktu singkat telah

berkembang menjadi berlipat ganda sebagai dampak melemahnya nilai tukar rupiah

terhadap mata uang asing lainnya. Apalagi sebagian besar pinjaman adalah dalam

bentuk mata uang asing, sedangkan pendapatan usaha diperoleh dalam bentuk rupiah.

Ditambah lagi berbagai kegiatan usaha telah mengalami kelumpuhan sebagai akibat

4

(18)

dari krisis keuangan yang melanda Indonesia saat itu telah berubah menjadi krisis

multidimensi. Krisis tersebut telah menyebabkan kinerja perekonomian Indonesia

menurun tajam dan kemudian berubah menjadi krisis yang berkepanjangan di

berbagai bidang. Proses penyebaran krisis berkembang cepat mengingat tingginya

tingkat keterbukaan perekonomian Indonesia dan ketergantungan pada sektor luar

negeri yang sangat besar. Krisis tersebut kemudian berkembang semakin parah

karena terdapatnya berbagai kelemahan mendasar pada perekonomian terutama di

tingkat mikro.5

Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso menyatakan bahwa pada era

globalisasi sebagaimana saat sekarang ini, berbagai kegiatan usaha tidak mungkin

terlepas dari berbagai persoalan. Suatu perusahaan (korporasi) tidak selalu dapat

berjalan dengan baik. Ada saat-saat tertentu perusahaan itu mengalami masa-masa

sulit, sehingga seringkali kondisi keuangannya sudah sedemikian rupa, hal ini

mengakibatkan perusahaan tersebut tidak sanggup lagi untuk membayar atau

melunasi utang-utangnya. Dengan kondisi demikian, dapat disimpulkan apakah

kehidupan perusahaan itu dapat dikategorikan dalam kondisi untung atau sebaliknya

merugi. Jika dalam keadaan beruntung, perusahaan berkembang dan terus melaju

hingga menjadi perusahaan yang besar bahkan “meraksasa.” Sebaliknya, jika

perusahaan mengalami kerugian, maka garis hidup (grafik) nya menurun, dan bahkan

5

(19)

ambruk pada titik nadir. Dengan demikian, garis hidup (grafik) suatu perusahaan pada

suatu saat naik, dan pada saat yang lain menurun. Begitu seterusnya garis hidup

(grafik) perusahaan itu merupakan garis yang naik dan garis yang turun.6

Krisis moneter yang melanda Indonesia telah memakan biaya fiskal yang

amat besar dan mahal yakni mencapai angka 51 % dari Produk Nasional Bruto (PDB

adalah singkatan dari Product Domestic Bruto). Krisis tersebut telah menumbuhkan

kesadaran akan pentingnya stabilitas pasar keuangan serta kesehatan

lembaga-lembaga keuangan yang membentuk sistem keuangan. Stabilnya pasar keuangan dan

sehatnya lembaga-lembaga keuangan yang selanjutnya akan mampu meredam krisis,

sehingga merupakan interaksi dari beberapa resiko yang harus selalu dikelola dengan

baik. Salah satu resiko tersebut yang harus dikelola dengan baik dan jika diabaikan

maka dapat mengganggu stabilitas pasar keuangan dan kesehatan lembaga keuangan

dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya krisis adalah gagalnya perusahaan

di sektor riil dalam mengembalikan pinjaman. Kegagalan ini, dapat dikategorikan

bahwa perusahaan mengalami pailit (corporate failure).7

Dalam kondisi yang demikian tidak menguntungkan serta serba tak menentu,

persoalan yang krusial adalah bagaimana menyelesaikan utang-piutang di kalangan

dunia usaha. Para kreditor, baik asing maupun domestik dengan segenap daya

6

Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1994), hal. 1

7

(20)

upayanya mendesak agar kreditor yang mayoritas adalah pengusaha swasta nasional

segera melunasi kewajibannya.

Zainal Asikin menjabarkan bahwa sebagai bagian dari upaya pihak

pemerintah untuk menyelesaikan persoalan sebagai dampak krisis ekonomi, seperti

untuk memberikan kesempatan kepada pihak kreditur dan perusahaan debitur dalam

menyelesaikan utang-piutangnya secara adil, meningkatkan kembali kepercayaan

investor asing terhadap jaminan penanaman modalnya di Indonesia dan juga peranan

dari pihak IMF (International Monetary Fund) yang mendesak agar Indonesia segera

menyempurnakan sarana hukum yang mengatur persoalan pemenuhan kewajiban

oleh debitur kepada kreditur.8

Pemerintah Indonesia segera melakukan pembenahan melalui

perubahan-perubahan yang signifikan dalam peraturan perundang-undangan. Salah satunya

adalah dengan merevisi Undang-undang Kepailitan yang lama. Dengan Perpu

(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) No. 1 Tahun 1998 tanggal 22

April 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan sebagai penyempurna

dari ketentuan perihal kepailitan yang telah diatur dalam Failissement Verordening

Staatblad No. 217 Tahun 1905 jo Staatblad No. 385 Tahun 1906. Kemudian Perpu

8

(21)

tersebut disahkan sebagai Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tanggal 24 Juli 1998

tentang kepailitan.9

Sejalan dengan kebutuhan serta tuntutan perubahan dan perkembangan

masyarakat, ketentuan yang telah ada pada prakteknya belum mampu memenuhi

kebutuhan hukum masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan persoalan

kepailitan. Dengan demikian, dilakukan kembali perubahan terhadap UU Kepailitan

No. 4 Tahun 1998 menjadi UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004 tanggal 18 Nopember

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

sebagai upaya hukum untuk dapat menjawab berbagai persoalan yang berhubungan

dengan masalah-masalah krisis ekonomi, keuangan, terutama dalam penyelesaian

utang-piutang di era globalisasi saat ini.10

Kepailitan didefinisikan melalui beberapa pendekatan sebagaimana sudut

pandang serta kepentingan pemikiran dan persoalan yang ada di dalamnya. Dari

pendekatan “proses dan konsekuensi” kepailitan merupakan proses dimana:

1. Seorang debitur yang mempunyai kesulitaan finansial untuk membayar utangnya,

dinyatakan pailit oleh pengadilan (dalam hal ini Pengadilan Niaga), disebabkan

debitur tersebut tidak dapat menjalankan kewajiban pembayaran utangnya.

9

Ibid, hal. 21

10

(22)

2. Harta debitur dapat dibagikan kepada kreditur dengan peraturan kepailitan.11

Dari pendekatan menurut hukum (UU), dapat disebutkan misalnya, kepailitan

berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun

1998 pasal 1 ayat (1) dan (2) tentang perubahan atas Undang-undang Kepailitan

menyebutkan: (1) Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak

membayar sedikitnya satu utang atau telah jatuh waktu dan tidak dapat ditagih,

dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas

permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. (2)

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh

kejaksaan untuk kepentingan umum.12

Undang-undang Kepailitan pada dasarnya menyatakan bagaimana

menyelesaikan sengketa yang muncul sebagai konsekuensi pada saat mana

perusahaan tidak dapat lagi memenuhi kewajiban utangnya, juga bagaimana

menangani pertikaian antar individu yang berkaitan dengan bisnis yang dijalankan.13

Terjadinya kepailitan pada suatu badan usaha (perusahaan), ada syarat-syarat

yang diatur untuk mengajukan pailit terhadapnya berdasarkan Pasal 2 UU No. 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran

11

Rudi A. Lontoh dkk, Hukum Kepailitan-Penyelesaian Utang-Piutang-Melalui Palit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 23

12

Peraturan Kepailitan: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1998), hal. 8

13

(23)

Utang). Sunarmi menyebutkan bahwa dari syarat pailit yang diatur dalam pasal ini,

dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat yuridis agar dapat dinyatakan pailit adalah:

1. Adanya utang

2. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo

3. Minimal satu dari utang dapat ditagih

4. Adanya debitur

5. Adanya kreditur (Kreditur lebih dari satu)

6. Pernyataan pailit yang dilakukan oleh pengadilan khusus yakni Pengadilan

Niaga

7. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu:

a. Pihak debitur

b. Satu atau lebih kreditur

c. Jaksa untuk kepentingan umum

d. Bank Indonesia, jika debiturnya bank

e. Bapepam, jika debiturnya perusahaan efek, bursa, lembaga kliring dan

(24)

f. Menteri Keuangan , jika debiturnya perusahaan asuransi, re-asuransi, dana

pensiun dan BUMN yang bergerak di bidang publik.14

Dinyatakannya pailit maka seorang debitur pailit tidak memiliki kewenangan

apapun lagi atas seluruh harta kekayaannya, baik yang sudah ada maupun yang akan

diterimanya selama kepailitan itu berlangsung.

Sunarmi juga dalam tulisannya menyatakan bahwa kepailitan itu sendiri

mencakup:

1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan beberapa

pengecualian untuk si pailit perorangan) serta asset-asset yang diperoleh selama

kepailitannya.

2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas kekayaan

yang termasuk harta kekayaan.15

Guna penyelesaian masalah-nasalah yang berkaitan dengan kepailitan, dalam

Pasal 281 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998, telah dibentuk Pengadilan Niaga pada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pengadilan khusus dalam lingkup peradilan

umum sesuai dengan dengan Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok

Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diperbaharui dan tertuang dalam Pasal 15

ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan salah satu

14

Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common System), (Medan: e-USU Repository, 2004), hal. 23

15

(25)

kewenangannya untuk menangani persoalan kepailitan. Selanjutnya, untuk

memperluas wilayah cakupan kerja Pengadilan Niaga, didirikan juga Pengadilan

Niaga di berbagai daerah di Indonesia.16

Pengadilan Niaga dibentuk dengan tujuan untuk penyelesaian sengketa niaga,

khususnya untuk menyelesaikan permohonan kepailitan seperti pembuktian dan

verifikasi utang, actio pauliana, hingga pemberesan harta pailit menjadi kewenangan

absolut Pengadilan Niaga. Sebagai catatan, selain itu, Pengadilan Niaga memiliki

kewenangan absolut terhadap setiap perkara kepailitan dalam kerangka pelaksana

Perpu No. 1 Tahun 1998.

17

Sebagaimana yang telah dipaparkan dari awal bahwa persoalan kepailitan

berkaitan dengan badan usaha (korporasi) atau Perseroan Terbatas (PT). Menurut

ketentuan Pasal 1 angka (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,

Perseroan Terbatas adalah badan hukum.18

Dalam konteks Perseroan Terbatas sebagai badan hukum, kreditur pemegang

saham perseroan tidak berhak untuk menuntut pemenuhan haknya dari setiap bagian

atau seluruh harta kekayaan yang telah dipisahkan tersebut, yang telah menjadi milik

16

Ibid, hal. 23-24 Misalnya Pengadilan Niaga di Makasar, Surabaya, Medan dan Semarang, dengan Keppres No. 97 Tahun 1999.

17

Muliaman D. Hadad, Wimboh Santoso dan Ita Rulina, Op-Cit, hal. 3

18

(26)

Perseroan Terbatas. Hanya kreditur perseroan terbatas itu sajalah yang berhak untuk

menuntut pemenuhan haknya dari harta kekayaan Perseroan Terbatas tersebut.

Saham-saham dalam perseroan terbatas sudah menjadi dan merupakan benda

tersendiri yang diakui dalam hukum, dan karena itulah maka saham-saham dalam

Perseroan Terbatas dapat dijadikan sebagai jaminan pemenuhan kewajiban dari

perorangan pemilik saham tersebut bagi para krediturnya, dan bukan harta kekayaan

yang telah dipisahkan ke dalam Perseroan Terbatas.19

Perseroan Terbatas pada dasarnya memiliki organ atau alat kelengkapan.

Dalam Pasal 1 angka (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

menyebutkan bahwa yang dinyatakan sebagai organ (alat kelengkapan) Perseroan

Terbatas adalah:

1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

2. Direksi

3. Komisaris (Dewan Komisaris)

Masing-masing organ Perseroan Terbatas ini memiliki fungsi, tugas dan

tanggung jawab terbatas dalam Perseroan Terbatas. Dalam Bab I Ketentuan Umum

UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan antara lain dalam

Pasal 1 angka (2) Organ Perseroan Terbatas adalah Rapat Umum Pemegang Saham,

19

(27)

Direksi dan Dewan Komisaris. Pasal 1 angka (4) Rapat Umum Pemegang Saham,

yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ Perseroan Terbatas yang mempunyai

wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas

yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan/atau Anggaran Dasar.

Pasal 1 angka (5) Direksi adalah organ Perseroan Terbatas yang berwenang

dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan

Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan,

baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.

Pasal 1 angka (6) Dewan Komisaris adalah organ Perseroan yang bertugas

melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus dengan anggaran dasar serta

memberi nasihat kepada Direksi.20

Ketika Perseroan Terbatas terimbas dan mengalami masalah yang dapat

menyebabkan terjadinya pailit, maka sebagai organ Perseroan harus ikut bertanggung

jawab kepada kreditur dengan melalui jalur hukum. Sebagai Dewan Komisaris yang

berfungsi melakukan pengawasan atas kebijaksanaan pengurus serta memberi advis

(nasihat) kepada Direksi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan Perseroan,

tentunya harus benar-benar ikut terlibat dan dengan seksama memperhatikan

langkah-langkah kebijakan yang dilakukan Direksi. Perihal kebijakan yang dimaksud adalah

“kebijakan yang dipandang tepat” sebagaimana yang dimaksud dalam Bab VII Pasal

92 ayat (2) tentang Direksi dan Dewan Komisaris. Penjelasannya memuat: Yang

20

(28)

dimaksud dengan “kebijakan yang dipandang tepat” adalah kebijakan yang antara

lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia dan kelaziman dalam dunia

usaha yang sejenis.21

Direksi juga bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan

sebagaimana yang dimaksud Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas. Pasal 97 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas ditegaskan bahwa pengurusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1),

wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung

jawab.

22

Sebagai pengawas dan pemberi nasihat, Dewan Komisaris berperan penting

untuk tetap memberikan nasihat yang akan membantu kinerja Direksi dalam

melakukan kebijakan-kebijakan untuk menjalankan aktivitas Perseroan yang

dipimpinnya. Demikian pula hal-ihwal pengawasan, tetaplah dilakukan oleh Dewan

Komisaris agar kebijakan yang telah dilakukan oleh Direksi tetap dalam kerangka

menjalankan dan memajukan Perseroan yang dipimpinnya.

Salah satu penyebab kepailitan dalam Perseroan selain konsekuensi terjadinya

krisis moneter dan gonjang-ganjingnya perekonomian nasional atau internasional

adalah tindakan berupa kesalahan atau kelalaian yang dilakukan Direksi, sehingga

mengakibatkan Perseroan tidak dapat menjalankan aktivitasnya. Memang Direksi

21

Ibid, hal. 163-164

22

(29)

tidak berwenang mengajukan pailit atas Perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga

sebelum memperoleh persetujuan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), tetapi

tindakan-tindakan Direksi berupa kesalahan atau kelalaian sudah cukup sebagai

alasan untuk memicu terjadinya pailit pada Perseroan.23

Selain itu, kepailitan dalam Perseroan dapat juga terjadi karena kesalahan dan

kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang

dilaksanakan oleh Direksi. Pasal 115 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas disebutkan bahwa Kepailitan dalam Perseroan dapat terjadi

karena kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh Dewan Komisaris dalam

pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi.24

Sekali lagi, peranan Dewan Komisaris dituntut maksimal dalam melakukan

pengawasan serta memberi nasihat kepada Direksi agar terhindar dari

perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum ketika menjalankan Perseroan, sehingga dapat

dihindari kemungkinan tindakan sebagai salah satu penyebab terjadinya kepailitan.

Berdasarkan hal-hal di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih

lanjut tentang Tanggung Jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas Dalam Hal

Terjadinya kepailitan berdasarakan Undang-undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan, sejauhmana tanggung jawab itu dapat diperhadapkan kepadanya.

23

Ketentuan Pasal 104 ayat (1) dan (2) tentang Direksi dan Dewan Komisaris dalam Gunawan Widjaja, Ibid, hal. 172

24

(30)

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam

penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan dan wewenang Dewan Komisaris Perseroan Terbatas

berdasarkan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas?

2. Bagaimanakah akibat hukum kepailitan Perseroan Terbatas terhadap organ

Perseroan Terbatas?

3. Bagaimanakah tanggung jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam hal

terjadinya kepailitan berdasarkan Undang-undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang

kepailitan?

C.Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui kedudukan dan wewenang Dewan Komisari Perseroan Terbatas

berdasarkan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

2. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan Perseroan Terbatas terhadap organ

(31)

3. Untuk mengetahui tanggung jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam

hal terjadinya kepailitan berdasarkan Undang-undang RI No. 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan.

D.Manfaat Penulisan

Penelitian yang dilakukan memberi sejumlah manfaat secara teoritis dan

praktis yang berguna bagi pembaca, yaitu:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan sebagai bahan kajian akademis guna

menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya tentang hukum kepailitan dan

hukum Perseroan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

peneliti lanjutan sebagai salah satu referensi dan perbandingan dalam kerangka

memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.

2. Manfaat Praktis, penelitian ini diharapkan sebagai informasi ilmiah bagi

masyarakat terutama bagi kalangan dunia usaha tentang tanggung jawab

organ-organ pengurus Perseroan Terbatas (khususnya Dewan komisaris) yang melakukan

kesalahan dan kelalaian yang mengakibatkan terjadinya kepailitan. Sehingga bagi

pihak-pihak yang dirugikan dan mencari keadilan baik itu orang-perorang ataupun

badan hukum tertentu mendapat kepastian hukum dari pihak yang telah merugikan

(32)

E.Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa

penelitian tentang Tanggung Jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam Hal

Kepailitan Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU belum

pernah dilakukan, baik dalam judul, topik dan persoalan yang sama. Sebab dalam

penelitian ini, difokuskan pada pertanggungjawaban Dewan Komisaris berdasarkan

Undang-undang Kepailitan yang baru, dan juga dihubungkan dengan

pertanggungjawabannya dalam Undang-undang Perseroan Terbatas yang juga baru.

Spesifikasi inilah yang akan membedakan tulisan ini dengan tulisan-tulisan ilmiah

lainnya. Dengan demikian, penelitian ini merupakan hal yang baru dan orisinil karena

sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu: jujur, rasional, objektif dan terbuka.

Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara imiah,

serta terbuka bagi kritik yang konstruktif sehubungan dengan persoalan yang dibahas

dalam tulisan ini.

F. Kerangka Teori

Tentang pertanggungjawaban Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam hal

terjadinya kepailitan, di dasarkan pada teori-teori yang penulis paparkan untuk

(33)

Teori yang behubungan erat dengan pertanggungan jawab Dewan Komisaris

dalam hal kepailitan adalah konsep teori Piercing the Corporate Veil atau

Menyingkap Tirai/Tabir Perusahaan (badan hukum). Teori ini populer digunakan

dalam hukum perusahaan, bukan hanya pada tata hukum Indonesia, tetapi juga dalam

tata hukum Internasional. Piercing the Corporate Veil atau kadang diistilahkan

dengan Lifting the Corporate Veil atau juga Going Behind the Corporate Veil.

Terapan pendekatan dengan teori ini adalah untuk mencapai keadilan sebagai misi

utama, terutama bagi pihak ketiga dengan pihak Perseroan yang mempunyai

hubungan hukum tertentu.25

Teori Piercing the Corporate Veil dalam hukum ekonomi diartikan sebagai

suatu proses untuk memberi beban tanggung jawab pada pundak orang atau Perseroan

lain atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan pelaku, tanpa

mempertimbangkan bahwa sesungguhnya perbuatan tersebut dilakukan oleh/atas

nama Perseroan pelaku. Maka, teori Piercing the Corporate Veil pada hakikatnya

merupakan teori yang memindahkan tanggung jawab dari Perseoan kepada Pemegang

Saham, Direksi atau Dewan Komisaris dan biasanya teori ini baru diterapkan apabila

ada klaim dari pihak ketiga kepada Perseroan.26

I.G. Ray Widjaya menyebutkan bahwa teori Piercing the Corporate Veil

adalah teori yang menembus cadar perusahaan atau membuka kerudung. Dengan

25

Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing the Corporate Veil), Kapita Selekta Hukum Perusahaan, (Bandung: Penerbit PT. Citra Adiyta Bakti, 2000), hal. 6

26

(34)

demikian apabila terjadi suatu hal tertentu, tanggung jawab dari suatu Perseroan

tersebut bisa dihapus atau hilang. Dengan kata lain, organ Perseroan harus

bertanggung jawab penuh secara pribadi terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh

hal-hal tertentu.27

Sebagaimana dipahami bahwa Undang-undang Perseroan Terbatas hingga

batas-batas tertentu mengakui berlakunya teori Piercing the Corporate Veil ini,

sungguhpun pengaturannya sangat simpel. Penerapan teori ini ke dalam tindakan

suatu Perseroan menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari

Perseroan tersebut (meskipun berbentuk badan hukum), namun pertanggungjawaban

hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya. Bahkan penerapan

Piercing the Coporate Veil dalam pengembangannya juga membebankan tanggung

jawab hukum kepada organ Perseroan lainnya seperti Direksi dan Dewan

Komisaris.28

Teori Piercing the Corporate Veil dan Business Judgment Rule bagi Dewan

Komisaris dikenakan untuk mengatur kewenangan organ Perseroan tersebut

sebagaimana dalam Pasal 108 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas. Selain pasal tersebut, Pasal 114 ayat (1) UU Perseroan Terbatas memberi

27

I.G. Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Penerbit Kesaint Blanc, 2000), hal. 145-146

28

(35)

norma yuridis bagi Dewan Komisaris untuk bertindak secara tepat sehingga

kepengurusan Perseroan Terbatas lebih baik dan mencapai tujuan Perseroan.29

Berdasarkan UU Perseroan Terbatas, apabila teori Piercing the Corporate

Veil diterapkan, maka dapat menyebabkan Dewan Komisaris bertanggungjawab atas

aktivitas yang dilakukan oleh Perseroan.

Pertanggunganjawab Dewan Komisaris akibat penerapan teori Piercing the

Corporate Veil tersebut dalam hal-hal berikut:

1. Dewan Komisaris tidak melaksanakan fiduciary duty terhadap Perseroan,

2. Membiarkan penyusunan dan pelaporan keuangan yang tidak benar atau

menyesatkan,

3. Tidak melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian,

4. Mempunyai kepantingan-kepentingan pribadi terhadap Direksi baik langsung

ataupun tidak langsung yang meyebabkan kerugian,

5. Tidak memberikan nasihat-nasihat yang baik kepada Direksi yang mengurus

Perseroan.30

Teori lainnya yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab Dewan

Komisaris Perseroan Terbatas dalam hal terjadinya kepailitan adalah Good Corporate

29

Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 75

30

(36)

Governance yang pada dasarnya merupakan konsep yang menyangkut struktur

Perseroan, pembagian tugas, pembagian wewenang dan pembagian beban tanggung

jawab masing-masing organ Perseroan. Implementasi Good Corporate Governance

di Indonesia sangat vital karena hal ini dapat membantu Perseroan untuk keluar dari

krisis ekonomi serta bermanfaat bagi Perseroan-perseroan di Indonesia yang harus

menghadapi era globalisasi, mengikuti perkembangan ekonomi global serta pasar

global yang demikian kompetitif.31

Semenjak krisis moneter yang melanda perekonomian dan berbagai domain di

akhir tahun 1990-an masalah good corporate governance mendapat perhatian yang

besar dari masyarakat dan pihak pemerintah. Hal ini karena adanya anggapan bahwa

masalah-masalah yang dihadapi oleh perusahaan (Perseroan) di Indonesia yang secara

langsung juga menyebabkan terjadinya krisis moneter tersebut adalah akibat kurang

diterapkannya prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik di dalam banyak

Perseroan di Indonesia. Selain itu, tuntutan atas adanya penerapan good corporate

governance ini juga telah menggemakan issu untuk menarik minat masuknya

pemodal asing ke dalam pasar modal atau bursa suatu negara. Dengan demikian

prinsip-prinsip good corporate governance yang semakin baik merupakan indikasi

adanya perlakuan yang baik terhadap pemodal.32

31

Munir Fuady, Op.Cit, hal. 51

32

(37)

Dalam tulisan J. Mark Mobius (President of Templeton Emerging Markets

Funds Inc.) tentang Issues in Global Corporate Governance dalam Corporate

Governance an Asia-Pacific Critique,33

Panduan yang dikeluarkan oleh OECD bahwa prinsip-prinsip yang

menetapkan beberapa hal penting, di antaranya adalah: pertama, yang berkaitan

dengan hak-hak pemegang saham (the right of share holders), kedua, yang

berhubungan dengan konsepsi perlakuan yang sama (the equitable of treatment of

share holders), ketiga, yang berkaitan dengan peraturan tentang penerapan corporate

governance (the role of stakeholders in corporate governance), keempat, yang

berhubungan dengan penerapan prinsip keterbukaan dan transparansi (disclosure and

transparancy) dan kelima, yang berhubungan dengan tanggung jawab dari pengurus

Perseroan (responsibility of the board).

menyatakan bahwa definisi yang diberikan

terhadap corporate governance secara umum di seluruh dunia tidak memiliki bentuk

keseragaman. Akan tetapi, berbagai macam lembaga regulasi seperti Organization for

Economic Coperation and Development (OECD) telah mengembangkan seperangkat

prinsip umum yang dapat dipergunakan oleh negara-negara anggota dalam

membentuk definisi yang nantinya bersifat spesifik.

34

33

Low Chee Keong, “Introduction the Corporate Governance Debate, Corporate Governance an Asia-Pacific, Sweet & Maxwell Asia a Thomson Company,” seperti dikutip oleh Wahyono Darmabrata & Ari Wahyudi Hertanto, Implementasi Good Corporate Governance dalam Menyikapi Bentuk-bentuk Penyimpangan Fiduciary Duty Direksi dan Komisaris Perseroan, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 22 No. 6 Tahun 2003, hal. 25

34

(38)

Keseluruhan cakupan dari pedoman ini mencakup 4 (empat) bidang utama,

yaitu:35

1. Fairness (Keadilan); menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham,

termasuk hak-hak pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing

serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor,

2. Transparancy (transparansi); mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka,

tepat waktu serta jelas dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan

keuangan, pengelolaan perusahaan dan pemilikan perusahaan,

3. Accountability (akuntabilitas); menjelaskan peran dan tanggung jawab serta

mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan

pemegang saham, sebagaimana yang diawasi oleh Dewan Komisaris,

4. Responsibility (pertanggungjawaban); memastikan dipatuhinya peraturan serta

ketentuan yang berlaku sebagaimana cerminan dipatuhinya nilai-nilai sosial.

Prinsip-prinsip corporate governance penerapannya merupakan landasan atas

pengelolaan perusahaan yang baik. Prinsip-prinsip ini bukan hanya mengharuskan

Direksi Perseroan, tetapi juga Dewan Komisaris dalam hal perjalanan Perseroan yang

baik sehingga menghasilkan kenaikan saham Perseroan di pasar (tentunya penting

bagi investor jangka pendek). Bagi investor jangka panjang, penerapan

prinsip-35

(39)

prinsip ini akan menjamin bahwa perusahaan tidak hanya akan memuaskan pemodal

jangka pendek saja, tetapi dapat digunakan dalam mempertahankan kelangsungan

usaha, stabilitas serta kesejahteraan bagi semua stakeholder, termasuk tentunya

keuntungan para pemegang saham. Dengan demikian, peranan corporate governance

ini akan semakin penting dan dituntut pada masa-masa yang akan datang karena

dengan pengelolaan perusahaan yang baik, tujuan kegiatan dan usaha Perseroan akan

lebih mungkin tercapai tanpa perlu mengorbankan kelangsungan usaha.36

Kemungkinan terjadinya kepailitan dalam Perseroan selalu terbuka oleh

beberapa faktor, baik itu faktor eksternal misalnya karena krisis moneter global atau

oleh karena faktor internal yaitu kesalahan atau kelalaian dalam pengelolaan dan

pengawasan serta tidak adanya itikad baik yang dapat memperburuk situasi yang

memungkinkan terjadinya kepailitan. Dengan demikian pertanggungjawaban yang

dibebankan kepada organ-organ Perseroan menjadi hal yang sangat penting untuk

perhatikan, sebab berkaitan langsung dengan harta debitur dan kreditur.

Selain teori dan prinsip di atas, konsep atau teori penanganan dengan benar

melalui standard operating procedure merupakan hal yang akan membantu Dewan

Komisaris dan/atau Direksi dapat dengan cepat mengetahui adanya

perubahan-perubahan atau perkembangan yang materiil terhadap kegiatan usaha Perseroan.

Kaitan eratnya adalah pada dilakukan atau tidak fiduciary Duty dan business

36

(40)

judgment rule baik oleh Direksi dan/atau Dewan Komisaris sehingga dapat terwujud

good corporate governance.37

Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas

creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim kekayaan

(vermogensrechts). Prinsip paritas creditorum berarti bahwa semua kekayaan debitur

baik yang berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak maupun harta yang

sekarang telah dipunyai debitur dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki

debitur terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur.

38

Sedangkan prinsip pari

passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan

bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara

kreditur tersebut, kecuali jika antara para kreditur itu ada yang menurut

Undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.39

Teori-teori inilah yang akan diterapkan dalam kerangka menganalisa

pertanggungjawaban Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam hal terjadinya

kepailitan.

37

Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 99

38

Kartini Muladi, “Kepailitan dan Penyelesaian Utang-Piutang,” dalam Rudhy A. Lontoh, Op.Cit, hal. 168

39

(41)

G.Metode Penelitian

Metode penelitian adalah tata kerja untuk dapat memahami objek yang

menjadi sasaran ilmu pengetahuan yang bersangkutan.40 Sedangkan penelitian ilmiah

adalah suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara

sistematis, metodologis dan konsisten.41 Waluyo menjelaskan bahwa penelitian

hukum merupakan suatu bagian ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan

penelitian tertentu yang tujuannya untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala

hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.42

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah metode

penelitian yurisdis normatif, yakni dengan melakukan analisa terhadap persoalan

dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada

norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan di Indonesia.

Mengutip pendapat Dworkin, bahwa penelitian model ini sebagai penelitian

doktrinal, yakni penelitian yang menganalisa hukum yang tertulis dalam buku (law as

40

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106

41

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 1

42

(42)

it’s written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses

pengadilan (law as it’s decided by the judge through judicial process).43

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis yang bertujuan untuk

membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan

tentang kepailitan dan Perseroan Terbatas serta akibat-akibat hukum yang dapat

dikenakan karena peristiwa kepailitan, dengan mengacu kepada peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

Metode penelitian hukum dalam penulisan tesis ini dilakukan dengan

pendekatan kualitatif, serta tetap memperhatikan kualitas kedalaman data yang

diperoleh. Dengan demikian, data yang diperoleh dalam penyusunan tulisan ini

digunakan sebagai pendukung bagi kelengkapan maksud dan tujuan penelitian.

Dengan metode kepustakaan, teknik pengumpulan data dilakukan oleh

penulis. Metode ini disebut library research untuk mendapatkan konsep-konsep,

teori-teori serta informasi dan pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang

berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

43

(43)

2. Sumber Data

Adapun yang menjadi sumber kepustakaan diperoleh dari: (1) Bahan Hukum

Primer, terdiri dari: a. Norma atau kaedah dasar. b. Peraturan dasar. c. Peraturan

perundangan yang terkait dengan kepailitan dan Perseroan Terbatas. (2) Bahan

hukum sekunder, seperti: hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan

jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan

penelitian ini. (3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup

bahan yang memberi petunjuk serta pejelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder

dan tersier di luar bidang hukum yang relevan serta dapat dipergunakan untuk

melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.44

Situs web turut juga menjadi bagian sumber bagi penelitian tesis ini sepanjang

memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini. Seluruh data yang telah

diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk

data kualitatf dilakukan dengan penelitian pasal-pasal yang memuat kaidah-kaidah

hukum yang mengatur tentang Perseroan Terbatas dan Kepailitan, untuk kemudian

membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan

klasifikasi tertentu sesuai dengan persoalan yang dibahas dalam tulisan ini.

44

(44)

Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti

dan dianalisis secara induktif kualitatif yang diselaraskan dengan hasil dari data

pendukung yang diperoleh melalui penelitian lapangan, sehingga sampai pada suatu

kesimpulan yang akan menjawab seluruh pokok permasalahan dalam tulisan ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi terhadap dokumen-dokumen

yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data

atau kasus-kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan

tersebut selanjutnya dipilah-pilah untuk memperoleh pasal-pasal yang memuat

kaidah-kaidah hukum yang kemudian dihubungkan dengan persoalan yang sedang

dihadapi serta disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras

dengan permasalahan dalam penelitian ini. Kemudian, data yang diperoleh tersebut

akan dianalisis secara induktif untuk tiba pada kesimpulan, sehingga pokok

permasalahan yang direlaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.45

45

(45)

4. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yakni dengan

sumber hukum primer atau Undang-undang yang relevan dengan persoalan yang

dibahas. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga

menghasilkan klasifikasi tertentu tentang permasalahan yang dibahas dalam tulisan

ini. Data yang dianalisa secara kualitatif dibahas kemudian dalam bentuk uraian

secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara jenis data, selanjutnya

semua data diseleksi dan diolah serta dideskripsikan sehingga selain menggambarkan

dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap

(46)

BAB II

KEDUDUKAN DAN WEWENANG DEWAN KOMISARIS PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

TENTANG PERSEROAN TERBATAS

A. Pengertian Perseroan Terbatas (PT)

1. Perseroan Terbatas Menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)

Perseroan Terbatas dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang dikenal

dengan istilah Maskapai Andil Indonesia (S. 1939-569). Tentang pengertian

Perseroan Terbatas dijelaskan melalui pasal-pasal yang mengaturnya.

Perseroan terbatas tidak mempunyai firma, dan tak memakai nama salah

seorang atau lebih dari antara para pesero, melainkan mendapat namanya hanya dari

pemilik perusahaan saja. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 36

KUHD.46

Sebelum perseroan tersebut dapat didirikan, akta pendiriannya atau rencana

pendiriannya harus disampaikan kepada Gubernur Jenderal (dalam hal ini Presiden)

atau penguasa yang ditunjuk oleh Presiden untuk memperoleh ijinnya. Bila perseroan

itu tidak bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum, dan selain itu

tidak ada keberatan-keberatan yang penting terhadap pendiriannya, pun pula aktanya

tidak memuat ketentuan-ketentuan yang berlawanan dengan hal-hal yang diatur

46

(47)

dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 55 KUHD, maka ijinnya diberikan. Hal ini

berdasarkan isi Pasal 37 KUHD.47

Selanjutnya, jika ijin itu tidak diberikan, alasan-alasannya diberitahukan

kepada para pemohon agar diketahuinya, kecuali sekiranya pemberitahuan itu

dianggap tidak seyogyanya. Pemberian ijin itu, bila ada alasan-alasannya, dapat

digantungkan pada syarat bahwa perseroan itu akan bersedia dibubarkan, bila

menurut pertimbangan Gubernur Jenderal (dalam hal ini Menteri Kehakiman) hal itu

dianggap perlu untuk kepentingan umum. Bila ijin itu diberikan tanpa syarat, maka

perseroan tidak dapat dibubarkan atas kekuasaan umum, kecuali setelah

Hooggerechtshof (kini: Mahkamah Agung), yang pendapatnya dalam hal ini harus

didengar, menyatakan bahwa para pengurusnya telah tidak memenuhi

ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat akta perseroan itu. (AB. 23; KUHPerd. 1335, 1653;

KUHD 45, 50). Menurut pasal 38 KUHD Akta Perseroan itu harus dibuat dalam

bentuk otentik dengan ancaman akan batal. (KUHD 22 dst., 42, 48 dst., 52 dst., 56,

58.) dan para Pesero diwajibkan untuk mendaftarkan akte itu dalam keseluruhannya

beserta ijin yang diperolehnya dalam register yang diadakan untuk itu pada panitera

raad van justitie dari daerah hukum tempat kedudukan perseroan itu, dan

mengumumkannya dalam surat kabar resmi. (Ov. 82, 105; KUHD 23; S.

1946-135.).48

47

Pasal 37 Kitab Undang-undang Hukum Dagang

48

(48)

Selama pendaftaran dan pengumuman seperti yang termaktub dalam pasal

yang lalu belum terjadi, maka para pengurus atas perbuatan mereka, terikat secara

pribadi untuk keseluruhannya terhadap pihak ketiga. (KUHD 45, 47.) 40. Modal

perseroan dibagi atas saham-saham atau Sero-sero atas nama atau blangko,

sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 39 KUHD.49

Para Pesero atau pemegang saham atau sero tidak bertanggung jawab lebih

daripada jumlah penuh saham-saham itu. (KUHD 42, 47, 50 dst.) Pasal 42 KUHD

dalam akta ditentukan cara bagaimana sero-sero atau saham-sahan atas nama

dipindahkan; hal itu dapat dilakukan dengan pemberitahuan suatu pernyataan kepada

para pengurus dari pesero bersangkutan dan pihak penerima pemindahan, atau dengan

pernyataan seperti itu yang dimuat dalam buku-buku Perseroan itu dan ditandatangani

oleh atau atas nama kedua belah pihak. (KUH Perdata 613 dst., 1977). Bila jumlah

penuh sero atau saham demikian belum disetor para pesero aslinya, atau ahli waris

mereka atau mereka yang memperoleh hak, tetap bertanggungjawab atas penyetoran

jumlah yang terutang pada Perseroan, kecuali bila Pengurus dan para Komisaris, bila

ini ada, menyatakan dengan tegas persetujuan mereka untuk menerima baik penerima

hak yang baru itu, dan demikian pesero lama menjadi bebas dari egaIa

tanggungjawab (KUH Perdata 833, 955, 1417; KUHD 41), Pasal 43 KUHD

menjelaskan akan hal ini.

50

49

Pasal 39 Kitab Undang-undang Hukum Dagang

50

(49)

Dalam Pasal 44 KUHD Perseroan itu diurus oleh para pengurus, para pesero,

atau lain-lainnya yang diangkat oleh para pesero, dengan atau tanpa menerima upah,

dengan atau tanpa pengawasan Komisaris. Para pengurus tak dapat diangkat dengan

cara yang tidak dapat ditarik kembali. (KUH Perdata 1636, 1814 dst.; KUHD 17, 38,

52, 54 dst).51

Para pengurus tidak bertanggung iawab lebih daripada untuk menunaikan

sebaik-baiknya tugas yang diberikan kepada mereka; mereka tidak bertanggung

jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga atas perikatan Perseroan (Pasal 45

KUHD).

52

Akan tetapi bila mereka melanggar suatu ketentuan dalam akta atau

perubahan syarat-syaratnya yang diadakan kemudian, maka mereka terhadap pihak

ketiga bertanggungjawab masing-masing secara tanggung-renteng untuk

keseluruhannya untuk kerugian-kerugian yang diderita oleh pihak ketiga karenanya.

(KUH Perdata 1800 dst.; KUHD 39, 47, 55).53

Perseroan terbatas itu harus didirikan untuk jangka waktu tertentu, dengan

tidak mengurangi kemungkinan untuk memperpanjangnya, setiap kali setelah lewat

waktunya (KUH Perdata 1646-l; KUHD 38).

Pada Pasal 47 KUHD bila nyata bagi para pengurus, bahwa telah diderita

kerugian sebesar lima puluh persen dari modal perseroan, maka mereka berkewajiban

untuk mengumumkannya dalam register yang diselenggarakan untuk itu pada

51

Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Dagang

52

Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Dagang

53

(50)

kepaniteraan raad van justitie, dan demikian pula dalam surat kabar resmi.54

Bila kerugian itu berjumlah tujuh puluh lima persen, maka Perseroan itu demi

hukum bubar, dan para pengurus bertanggungiawab terhadap pihak ketiga atas

perjanjian-perjanjian yang telah mereka adakan setelah mereka tahu atau harus

mereka tahu tentang kerugian itu (KUHD 39, 45, 48). Pasal 48 KUHD menyatakan

untuk menghindari pembubaran menurut peraturan tersebut di atas, aktanya harus

memuat ketentuan-ketentuan untuk membentuk kas cadangan yang dapat digunakan

untuk menutupi kekurangan uang itu untuk sebagian atau untuk seluruhnya.55

2. Perseroan Terbatas Menurut UU No. 1 Tahun 1995

Dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas

dijelaskan pengertian Perseroan Terbatas yaitu badan hukum yang didirikan

berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang

seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam

Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Organ Perseroan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 1

Tahun 1995 tentang Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan

Komisaris. Pasal 1 angka (3) mengatur tentang RUPS. Rapat Umum Pemegang

54

Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Dagang

55

(51)

Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ Perseroan yang memegang

kekuasaan tertinggi dalam Perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak

diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.

Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas

pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili

Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan

Anggaran Dasar (Pasal 1 angka (4) UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan

Terbatas. Pasal 1 angka (5) Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas

melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat

kepada Direksi dalam menjalankan Perseroan. Perseroan Terbuka adalah perseroan

yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau

perseroan yang melakukan penawaran umum, sesuai dengan peraturan

perundang-undangan di bidang pasar modal.

Kegiatan Perseroan sebagaimana Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1995 harus sesuai

dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan, ketertiban umum, dan atau kesusilaan.

Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1995 dalam hal terjadinya sesuatu hal yang

membuat Perseroan menjadi mundur atau dapat mengalami pailit Pemegang Saham

Referensi

Dokumen terkait

Jika seorang anggota Dewan Komisaris melakukan kesalahan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang, maka seluruh anggota Dewan Komisaris lain (termasuk yang tidak

Ayat (1) Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian dewan komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh direksi dan

Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Eksistensi Doktrin Piercing The Corporate Veil didalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Tugas direksi menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas yaitu anggota direksi wajib melaporkan kepada perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota direksi yang

• Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan

Tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah melakukan pengawasan secara umum atas kebijakan

Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas