HUBUNGAN DERMATITIS ATOPIK DENGAN KEJADIAN
DERMATITIS KONTAK ALERGI
TESIS
NELLY
NIM : 107105009
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
KONSENTRASI ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN DERMATITIS ATOPIK DENGAN KEJADIAN
DERMATITIS KONTAK ALERGI
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Dokter Spesialis dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin pada Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara
Oleh
NELLY
NIM : 107105009
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Hubungan Dermatitis Atopik dengan Kejadian Dermatitis Kontak Alergi
Nama : Nelly
Nomor Induk : 107105009
Program Studi : Ilmu Kedokteran
Konsentrasi : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Menyetujui :
Pembimbing I Pembimbing II
(Prof. Dr. dr. Irma D Roesyanto, SpKK(K))(dr. Chairiyah Tanjung, SpKK(K))
NIP. 194712241976032001 NIP. 195012111978112001
Ketua Departemen Ketua Program Studi
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
(Prof. Dr. dr. Irma D Roesyanto, SpKK(K))(dr. Chairiyah Tanjung, SpKK(K))
NIP. 194712241976032001 NIP. 195012111978112001
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah penulis nyatakan dengan benar
NAMA : NELLY
NIM : 107105009
HUBUNGAN DERMATITIS ATOPIK DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK ALERGI
Nelly, Irma D. Roesyanto, Chairiyah Tanjung, Arlinda Sari Wahyuni
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
RSUP Haji Adam Malik Medan – Indonesia
Abstrak
Latar belakang : Dermatitis kontak alergi merupakan sensitivitas yang didapat terhadap paparan bahan yang menimbulkan reaksi inflamasi hanya pada orang yang telah tersensitisasi terhadap bahan tersebut sebelumnya. Dermatitis atopik ditunjukkan sebagai faktor risiko untuk terjadinya dermatitis kontak alergi dimana insidennya meningkat seiring dengan usia dalam individu atopi
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan dermatitis atopik dengan kejadian dermatitis kontak alergi
Berbagai penelitian mengenai hubungan antara dermatitis atopik dengan kejadian dermatitis kontak alergididapatkan hasil yang bervariasi.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan cross
sectional. Tiga puluh empat orang pasien dengan riwayat dermatitis kontak
diikutsertakan dalam penelitian ini.Subjek penelitian dilakukan anamnesis, pemeriksaan dermatologis, dan uji tempel dengan 28 alergen standar dari
European Baseline Series.Hasil uji tempel dibaca pada jam ke-48 dan 72 sesuai
dengan International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG). Pasien didiagnosis dermatitis atopik sesuai kriteria Hanifin dan Rajka.Hasil dianalisis secara statistik.
.
Hasil : Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa dermatitis atopik bukan penentu utama dalam kejadian dermatitis kontak alergi.
Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dermatitis atopik dengan kejadian dermatitis kontak alergi.
THE ASSOCIATION BETWEEN ATOPIC DERMATITIS AND ALLERGIC CONTACT DERMATITIS INCIDENCE
Nelly, Irma D. Roesyanto, Chairiyah Tanjung, Arlinda Sari Wahyuni
Department of Dermato-Venereology Medical Faculty of Sumatera Utara University
RSUP Haji Adam Malik Medan – Indonesia
Abstract
Background :Allergic contact dermatitis is an acquired sensitivity to various sub-stances that produce inflammatory reactions in those, and only those, who have been previously sensitized to the allergen. Atopic dermatitis is known as risk factor in the development of allergic contact dermatitis. Some studies in association between atopic dermatitis and allergic contact dermatitis incidence have found variety results.
Objective :To investigate the association between atopic dermatitis and allergic contact dermatitis incidence
Methods :This was a cross-sectional analyses study involving 34 subjects with history of contact dermatitis. History taking by anamneses and dermatological examination were conducted to all subjects. They were all patch tested with 28 standard allergens from European Baseline Series. Patch test results were read after 48 and 72 hours based on International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG). Diagnosis of atopic dermatitis is based on Hanifin and Rajka criteria. The results were analyzed statistically.
Results :This study revealed that atopic dermatitis was not main determinant in allergic contact dermatitis incidence.
Conclusion : There was no significantly associated between atopic dermatitis and allergic contact dermatitis incidence.
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur, hormat dan kemuliaan penulis panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memampukan penulis dalam menyelesaikan
seluruh rangkaian penyusunan tesis yang berjudul: “Hubungan dermatitis atopik
dengan kejadian dermatitis kontak alergi” sebagai salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar keahlian Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Dalam penyelesaian tesis ini ada banyak pihak yang Tuhan telah kirimkan
untuk membantu, memberikan dorongan dan masukan kepada penulis. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini, ijinkanlah penulis menyampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Yang terhormat Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK(K), selaku
pembimbing utama penulis, yang dengan penuh kesabaran membimbing,
memberi masukan, koreksi dan dorongan semangat kepada penulis selama
proses penyusunan tesis ini dan juga sebagai Ketua Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti
pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Yang terhormat dr. Chairiyah Tanjung, SpKK(K), selaku pembimbing
kedua, yang dengan penuh kesabaran dan ketekunan dalam membimbing,
tesis ini dan juga sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan
spesialis dan senantiasa mengingatkan dan memberikan dorongan selama
mengikuti pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan studi pada
Universitas yang Bapak pimpin.
4. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr.
Gontar A. Siregar, SpPD, KGEH, yang telah memberikan kesempatan
kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik dan
Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
5. Yang terhormat dr. Richard Hutapea, SpKK(K), sebagai anggota tim
penguji, yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi
atas penyempurnaan tesis ini
6. Yang terhormat dr. Kristo A. Nababan, MKed(DV), SpKK, sebagai anggota
tim penguji, yang telah memberikan bimbingan, masukan dan koreksi atas
penyempurnaan tesis ini
7. Yang terhormat dr. Meidina K. Wardani, SpKK, sebagai anggota tim
penguji, yang telah memberikan bimbingan, masukan dan koreksi atas
8. Yang terhormat para Guru Besar, Alm. Prof. Dr. dr. Marwali Harahap,
SpKK(K), Prof. dr. Mansur A. Nasution, SpKK(K), serta seluruh staf
pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU, RSUP
H. Adam Malik Medan dan RSUD dr. Pirngadi Medan yang tidak dapat
saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing saya
selama mengikuti pendidikan ini.
9. Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan dan Direktur
RSUD dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas
kepada saya selama menjalani pendidikan keahlian ini.
10. Yang terhormat Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku konsultan
statistik, yang telah banyak membantu penulis dalam hal metodologi
penelitian dan pengolahan statistik penelitian ini.
11. Yang terhormat seluruh staf/pegawai dan perawat di Bagian Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin di RSUP H. Adam Malik Medan atas bantuan,
dukungan, dan kerjasama yang baik selama ini.
12. Yang terhormat semua pasien dengan riwayat dermatitis kontak yang telah
terlibat dalam penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
13. Yang tercinta Ibunda The Lie Hiong yang dengan penuh cinta kasih,
keikhlasan, doa, kesabaran, dan pengorbanan luar biasa untuk mengasuh,
mendidik, dan membesarkan penulis. Tiada ungkapan yang mampu
melukiskan betapa beryukurnya saya dan kiranya hanya Tuhan Yang Maha
14. Yang terkasih adik saya Zeinun, S.Kom, terima kasih atas doa, dukungan
dan semua bantuan yang telah diberikan kepada saya selama ini.
15. Yang terkasih kekasih saya dr. Hendra A. Choandry, SpPD, terima kasih
untuk segala dukungan moril dan materil, perhatian, dan kebersamaan kita
selama ini. Doa dan semangat darimu merupakan salah satu sumber
kekuatan saya dalam menjalani suka duka masa pendidikan ini.
16. Teman seangkatan dan sahabat saya tersayang, dr. Evita Lourdes br. Pinem,
dr. Fitry Adelia Sy, dr. Nadiya Munir, dr. Lia Yutrishia, dr. Sulistya Dwi
Rahasti, dr. Indah Atmasari terima kasih untuk kerjasama, kebersamaan,
waktu dan kenangan yang tidak akan pernah terlupakan selama menjalani
pendidikan ini.
17. dr. Liza Arianita, dr. Ridha Raudha, dr. Lora Desika Kaban, dr. Nita
Andrini, terima kasih atas kerjasama dan kebersamaan selama persiapan
mengikuti ujian nasional hingga penyelesaian tesis ini.
18. dr. Tri Nanda Syahfitri, dr. Arie Hidayati, dr. Ivan Tarigan, dr. Yosie Anra,
dr. Dewi Lastya Sari, dr. Meilania Hasnatasha, dr. Dina Theresa yang telah
menjadi teman berbagi cerita suka dan duka, terima kasih atas kerjasama
dan kebersamaan selama menjalani masa pendidikan ini.
19. Yang terhormat seluruh teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Kesehatan dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas segala
bantuan, dukungan, dan kerjasama yang telah diberikan kepada saya selama
Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan.Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan tesis ini.Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya untuk menyampaikan
permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan atau kekhilafan
yang telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama menjalani
masa pendidikan ini.
Akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, saya panjatkan doa kepada
Tuhan Yang Maha Pengasih, agar kiranya berkenan untuk memberkati dan
melindungi kita sekalian. Amin.
Medan, April 2015
Penulis
DAFTAR ISI
1.4. Tujuan Penelitian………. 3
1.4.1. Tujuan umum………... 3
1.4.2. Tujuan khusus……….. 3
1.5. Manfaat Penelitian………... 4
1.5.1. Bidang akademik atau ilmiah………...…… 4
1.5.2. Pelayanan masyarakat……….….… 4
1.5.3. Pengembangan penelitian……….... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………..…... 5
2.1. Dermatitis Kontak Alergi……….... 5
2.1.1. Definisi……… 5
2.1.2. Epidemiologi………...….... 5
2.1.3. Faktor-faktor predisposisi……… 5
2.1.3.1. Genetik………... 5
2.1.3.2. Jenis kelamin………..…... 6
2.1.3.3. Usia………...…. 6
2.1.3.4. Ras………..…... 7
2.1.3.5. Dermatitis atopik………...… 7
2.1.3.6. Penyakit penyerta……….…………. 7
2.1.3.7. Faktor-faktor lain………... 7
2.1.4. Etiologi dan Patogenesis………..… 8
2.2.3. Etiopatogenesis……… 14
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian………..…………. 22
3.3.1. Populasi target………. 22
3.3.2. Populasi terjangkau……….….… 22
3.3.3. Sampel………. 22
3.3.3.1. Kriteria inklusi……….…….. 23
3.3.3.2. Kriteria eksklusi……….……… 23
3.4. Besar Sampel……….……….…. 23
3.5. Cara Pengambilan Sampel Penelitian……….……….… 24
3.6. Identifikasi Variabel……… 24
3.7. Cara Penelitian……….………… 24
3.7.1. Pencatatan data dasar……….. 24
3.7.2. Pemeriksaan uji tempel………... 25
3.7.3. Pemeriksaan pasien dermatitis atopik………. 26
3.8. Definisi Operasional……….……... 27
3.9. Kerangka Operasional……….….… 28
3.10. Pengolahan dan Analisis Data……….… 28
3.11. Etika Penelitian……….…... 29
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 30
4.1. Karakteristik Subjek Penelitian………...… 30
4.2. Alergen Penyebab Dermatitis Kontak Alergi ………. 34
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
1.1 Kriteria diagnostikDAoleh Hanifin dan Rajka .…………. 17
4.1 Data karakteristik sampel DK ……….. 31
4.2 Karakteristik stigmata atopik sampel penelitian ………….. 34
4.3 Alergen penyebab dermatitis kontak alergi …………..…... 35
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1 Kerangka teori ………. 20
2.2 Kerangka konsep ………. 21
3.1 Kerangka operasional ……….……. 28
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Naskah Penjelasan Kepada Peserta Penelitian ………….... 48
2. Persetujuan Setelah Penjelasan ……… 51
3. Status penelitian ………..….……… 52
4. Persetujuan Komite Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan ………... 57
5. Anamnesis Tes Tempel ……… 58
6. Hasil Pemeriksaan Tes Tempel ……… 64
7. Data Penelitian ………. 65
8. Analisis Statistik ……….. 69
9. Gambar Uji Tempel dan Hasil Pembacaan ……….. 73
DAFTAR SINGKATAN
BPS : Badan Pusat Statistik
AAAAI : American Academy of Allergy, Asthma and Immunology
CCL : Chemokine (C-C motif) Ligand
DKA : Dermatitis Kontak Alergi DermatitisKontak Iritan
DNCB :
FK : Fakultas Kedokteran 2,4-dinitrochlorobenzene
GMCSF : Granulocyte Macrophage Colony-Stimulating Factor HAM : Haji Adam Malik
HLA : Human Leucocyte Antigen
ICAM : Intercellular Adhesion Molecule
ICDRG : International Contact Dermatitis Research Group IFN : Interferon
Ig : Imunoglobulin
IKKK : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin IL : Interleukin
IL-R : Interleukin Reseptor
IPPD : N-Isopropyl-N-Phenyl-4-Phenylenediamine
LFA : Lymphocyte Function-associated Antigen
MBT : 2-Mercaptobenzothiazole
NDMA : p-nitroso-dimethylaniline
PPD :
PT : Perseroan Terbatas Para-Phenylenediamine
PTBP : 4-tert-Butylphenolformaldehyde resin RSCM : Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat SD : Sekolah Dasar
SMA : Sekolah Menengah Atas SMP : Sekolah Menengah Pertama SMF : Satuan Medis Fungsional
Th : T helper
TNF-α : Tumor Necrosis Factor α
HUBUNGAN DERMATITIS ATOPIK DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK ALERGI
Nelly, Irma D. Roesyanto, Chairiyah Tanjung, Arlinda Sari Wahyuni
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
RSUP Haji Adam Malik Medan – Indonesia
Abstrak
Latar belakang : Dermatitis kontak alergi merupakan sensitivitas yang didapat terhadap paparan bahan yang menimbulkan reaksi inflamasi hanya pada orang yang telah tersensitisasi terhadap bahan tersebut sebelumnya. Dermatitis atopik ditunjukkan sebagai faktor risiko untuk terjadinya dermatitis kontak alergi dimana insidennya meningkat seiring dengan usia dalam individu atopi
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan dermatitis atopik dengan kejadian dermatitis kontak alergi
Berbagai penelitian mengenai hubungan antara dermatitis atopik dengan kejadian dermatitis kontak alergididapatkan hasil yang bervariasi.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan cross
sectional. Tiga puluh empat orang pasien dengan riwayat dermatitis kontak
diikutsertakan dalam penelitian ini.Subjek penelitian dilakukan anamnesis, pemeriksaan dermatologis, dan uji tempel dengan 28 alergen standar dari
European Baseline Series.Hasil uji tempel dibaca pada jam ke-48 dan 72 sesuai
dengan International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG). Pasien didiagnosis dermatitis atopik sesuai kriteria Hanifin dan Rajka.Hasil dianalisis secara statistik.
.
Hasil : Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa dermatitis atopik bukan penentu utama dalam kejadian dermatitis kontak alergi.
Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dermatitis atopik dengan kejadian dermatitis kontak alergi.
THE ASSOCIATION BETWEEN ATOPIC DERMATITIS AND ALLERGIC CONTACT DERMATITIS INCIDENCE
Nelly, Irma D. Roesyanto, Chairiyah Tanjung, Arlinda Sari Wahyuni
Department of Dermato-Venereology Medical Faculty of Sumatera Utara University
RSUP Haji Adam Malik Medan – Indonesia
Abstract
Background :Allergic contact dermatitis is an acquired sensitivity to various sub-stances that produce inflammatory reactions in those, and only those, who have been previously sensitized to the allergen. Atopic dermatitis is known as risk factor in the development of allergic contact dermatitis. Some studies in association between atopic dermatitis and allergic contact dermatitis incidence have found variety results.
Objective :To investigate the association between atopic dermatitis and allergic contact dermatitis incidence
Methods :This was a cross-sectional analyses study involving 34 subjects with history of contact dermatitis. History taking by anamneses and dermatological examination were conducted to all subjects. They were all patch tested with 28 standard allergens from European Baseline Series. Patch test results were read after 48 and 72 hours based on International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG). Diagnosis of atopic dermatitis is based on Hanifin and Rajka criteria. The results were analyzed statistically.
Results :This study revealed that atopic dermatitis was not main determinant in allergic contact dermatitis incidence.
Conclusion : There was no significantly associated between atopic dermatitis and allergic contact dermatitis incidence.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dermatitis Kontak (DK)adalah inflamasi kulit yang diinduksi oleh
bahan-bahan yang kontak dengan kulit.1Secara garis besar DK dapat dibagi dua
yaitu Dermatitis Kontak Iritan (DKI)yang merupakan reaksi inflamasi pada kulit
akibat paparan bahan yang menyebabkan erupsi pada sebagian besar orang yang
kontak dengan bahan tersebut dan Dermatitis Kontak Alergi (DKA)yang
merupakan sensitivitas yang didapat terhadap paparan bahan yang menimbulkan
reaksi inflamasi hanya pada orang yang telah tersensitisasi terhadap bahan
tersebut sebelumnya.
DKI
2
lebih seringterjadi daripadaDKA.DKI terjadi sekitar 80% dari
seluruh pasien DK sedangkan DKA hanya sekitar 10-20%.3,4Menurut survei yang
dilakukan oleh American Academy of Allergy, Asthma and Immunology (AAAAI)
sebanyak5,7 jutakunjungan dokterpertahundilakukan untuk masalah
DK.5Adalebih dari 85.000bahan kimiadilingkunganduniasaat ini dan hampirsetiap
bahandapatmenjadi iritan, sedangkanlebih dari3.700bahantelah diidentifikasi
sebagaialergenkontak.5,6Insiden DK terus meningkat, begitu jugadengan jumlah
alergen dan iritan yang dilaporkan sebagai penyebab kondisi tersebut.
Di Amerika Serikat, 90% klaim kesehatan disebabkan DK akibat
pekerjaan.Di Skandinavia insiden DK lebih tinggi daripada di Amerika. 7
8 Di
Indonesia, laporan dari Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
insiden DK sebesar 5,51%.9Dipoliklinik alergi Rumah Sakit Umum
Daerah(RSUD) dr. Pirngadi Medan insiden DK pada tahun 2000 sebanyak
30,61% dan tahun 2001 sebanyak 30,40%.DiPoliklinik Alergi-ImunologiRumah
Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik (HAM) Medan pada tahun 2000
didapatkan 731 pasien baru dengan 201 pasien atau 27,50% menderita DK,
sedangkan pada tahun 2001 insiden DK sebesar 23,70%.10Berdasarkan data rekam
medis di RSUP HAM Medan pada tahun 2013 didapatkan pasien baru yang
berkunjung ke Poliklinik Alergi-Imunologi sebanyak 248 orang dengan 77 pasien
menderita DK dan 17 pasien didiagnosis DKA. Dari catatan medis poliklinik
alergi di RSUP HAM Medan pada tahun 2000 sebanyak 5,39% disebabkan oleh
sandal karet, 3,43% masing-masing oleh obat tradisional dan krim topikal, dan
penyebab terbanyaknya sebesar 68,62% adalah tidak diketahui.10,11
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menyelidiki faktor-faktor yang
berhubungan dengan DKA.Semuakelompok usia dapat terkenadenganjumlah
sedikit lebih banyakpada perempuan akibat adanya paparan kontaktan spesifik
dalam perhiasan dan kosmetik. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa
polimorfisme gen sitokin misalnyaTumor Necrosis Factor (TNF)-α telah
ditunjukkan lebih umum pada individu yang polisensitisasi.5,6Dermatitis Atopik
(DA) juga ditunjukkan sebagai faktor risiko untuk DKA dimana DKA meningkat
seiring dengan usia dalam individu yang atopi.8,12
Sampai saat ini,pasien denganDAkebanyakan masih dianggaplebih kecil
kemungkinannya untukmenderitaDKA. Beberapapenelititelah melaporkanadanya
penurunanfrekuensisensitisasikontak pada individu denganDA. Ada jugasejumlah
secara terbalikdengan keparahanklinis.13Banyakpenelitipada akhir-akhir ini telah
menemukan bahwa frekuensi alergi kontak pada pasien dengan DA adalah
sebanding dengan yang non atopi baik pada populasi dewasa maupunanak.8,13
Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa individu atopi dan nonatopi
memiliki reaksi imunologi yang sama dalam terjadinya DKterhadap alergen
tertentu.13,14
Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut didapatkan hasil
yang bervariasi.Studi-studi yangmembahashubungan antaraDA danDKA masih
sangat sedikit dan belum ada penelitian yang dilakukan di Indonesia khususnya di
Medan. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti lebih lanjut mengenai
hubungan DA dengan kejadian DKA.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara DA dengan kejadian DKA.
1.3. Hipotesis
Ada hubungan antara DA dengan kejadian DKA.
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan DA dengan kejadian DKA.
1.4.2. Tujuan Khusus
3. Mengetahui proporsi DKA pada pasienDK.
4. Mengetahui alergenpenyebab pada pasienDK.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Bidang Akademik atau Ilmiah
Membuka wawasan yang lebih mendalam mengenai peran DA sebagai
perkiraan salah satu faktor risiko untukterjadinyaDKA.
1.5.2. Pelayanan Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan terhadap
masyarakat mengenai hal-hal yang dapat mempengaruhi kejadian
penyakit alergi pada kulit.
1.5.3. Pengembangan Penelitian
Memberikan data dan dapat menjadi landasan teori bagi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dermatitis Kontak Alergi 2.1.1. Definisi
DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat atau reaksi imun
tipeIV yang diperantarai sel terutama sel T akibatadanya kontak kulit dengan
alergen lingkungan yang terjadi hanyapada individu yangtelah mengalami
sensitisasi terhadapalergenpada paparansebelumnya.6,15,16
2.1.2. Epidemiologi
Berdasarkan studi retrospektif yang dilakukan oleh Thyssen
dkk.mengenai epidemiologi alergi kontak di berbagai negara didapatkan
prevalensi median alergi kontak terhadap setidaknya satu alergen pada populasi
umum sebesar 21,2%.6,17DKAmerupakan kondisi yang umum dimanaterjadi pada
6-18% pria dan 11-35% wanita yang dipengaruhi oleh alergen-alergen tertentu.17
2.1.3. Faktor-faktor predisposisi 2.1.3.1. Genetik
Sulzberger dkk.melakukan percobaan dengan p-nitroso-dimethylaniline
(NDMA) dan 2,4-dinitrochlorobenzene (DNCB) dan mendapatkan variasi
individu dalam kerentanan terhadap sensitisasi kontak dimana individu yang lebih
rentan terhadap sensitisasi dengan satu bahan kimia menunjukkan sedikit atau
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kerentanan individu terjadi dengan
amplifikasi spesifik non antigen dari sensitisasi imun.8,18
2.1.3.2. Jenis kelamin
Wanita memiliki kadar imunoglobulin (Ig) yaitu IgM dan IgG yang lebih
banyak daripada pria dan respon imun diperantarai sel yang lebih kuat.18Pengaruh
hormon seks dalam induksi dan elisitasi alergi kontak sebagian besar tidak
diketahui. Pada suatu studi pilot didapatkan respon terhadap DNCB meningkat
pada wanita yang mendapat hormon kontrasepsi oral dan reaktivitas tes tempel
yang berbeda pada siklus menstruasi.8,18
Alasan utama dominasi perempuan dalam berbagai penelitian tes tempel
klinis adalah jumlah wanita sensitif nikel dan kobalt yang tinggi.18Perbedaan
inimungkin disebabkan juga olehfaktor sosial danlingkungan dimana perempuan
lebih cenderungmengalamisensitivitasnikelkarena
peningkatanpemakaianperhiasandanlaki-lakilebih
cenderungmengalamisensitivitaskromatdaripaparan pekerjaan.6,8
2.1.3.3. Usia
Pola paparan terhadap alergen lingkungan berbeda antara berbagai
kelompok usia. Individu muda lebih sering terpapar terhadap bahan kimia industri
dan kosmetik dibandingkan individu lebih tua yang lebih sering terpapar obat-obat
topikal. Prevalensi alergi kontak meningkat seiring dengan meningkatnya
2.1.3.4. Ras
Pada percobaan sensitisasi terhadap poison ivy dan DNCB di tahun 1966
didapatkan perbedaan ras dimana individu berkulit hitam lebih resisten
dibandingkan individu berkulit putih.8
2.1.3.5. Dermatitis atopik (DA)
Adanya downregulasi sel T helper (Th)1 pada individu atopi diharapkan
menurunkan kejadian DK, namun berbagai penelitian klinis masih
kontradiksi.Sebagian besar menemukan kecenderungan sensitisasi kontak yang
menurun walaupun penelitian-penelitian terbaru mendapatkan bahwa pada
individu atopi terjadi peningkatan frekuensi sensitisasi nikel.18
2.1.3.6. Penyakit penyerta
Pada pasien dengan penyakit akut atau yang menurunkan daya tahan
tubuh seperti kanker, penyakit Hodgkin dan mikosis fungoides, terjadi gangguan
untuk terjadinya sensitisasi kontak. Ini juga terlihat pada pasien dengan fungsi
limfosit T yang terganggu.8,18
2.1.3.7. Faktor-faktor lain
Paparan alergen dan kemungkinan terjadinya variasi sensitisasi tidak
hanya terjadi pada usia, tetapi jugaberhubungan dengan faktor sosial, lingkungan,
kegemaran, dan pekerjaan dimana kegemaran dan pekerjaan memiliki efek yang
lebih menonjol.8 Penelitian juga telahmenyelidikihubungan yang mungkin terjadi
2.1.4. Etiologi dan Patogenesis
DKA merupakan reaksi hipersensitivitas lambat (tipe IV)yang
diperantarai sel akibat paparan dan sensitisasi individu yang rentan secara genetik
terhadap alergen lingkungan dimana pada paparan berulang memicu reaksi
inflamasi kompleks.2,6,20Hal ini berbedadengan DKIdimana DKI tidak
adareaksisensitisasidanintensitasreaksi inflamasinyasebanding dengankonsentrasi
danjumlahiritan.Adadua fase berbedapada DKA yaitufasesensitisasidan
faseelisitasi.6,21
2.1.4.1. Fase sensitisasi
Sebagian besaralergen lingkunganadalah molekulkecil,
lipofilikdenganberat molekul rendah(<500 Dalton).3,4,6Hapteninidiaplikasikan
padastratum korneumyangmenembus kelapisan bawahepidermisdanditangkap
olehselLangerhansdengan proses pinositosis. Di dalamsel, hapten akan diubah
secara kimiawidengan enzimlisosomatausitosoldan berkonjugasidengan
molekulHuman Leucocyte Antigen(HLA)-DR yang baru disintesisuntuk
membentukantigenlengkap. Kompleks inidiekspresikan padapermukaan
selLangerhansdan dipresentasikanke selThelperspesifik
yangmengekspresikanmolekulCluster of Differentiation(CD)4yang
mengenaliHLA-DR selLangerhansdan secara lebih spesifikkompleks reseptor
selT–CD3 yang mengenaliantigenyang diproses.3,20
Ada atau tidak adanya sel-sel T spesifik kemungkinan besar ditentukan
secara genetikyang memungkinkan interaksi dengan ribuan antigen terjadidengan
HLA-DR – antigen dan reseptor sel T – CD3awal terjadi di kulit dan sel
Langerhans bermigrasi melalui limfatik ke kelenjar regional serta
mempresentasikan kompleks HLA-DR – antigen ke sel-sel T spesifik. Setelah
pengenalan antigen terjadi, kedua sel diaktifkan. Serangkaian sitokin disintesis
oleh sel Langerhans dan sel T. Pada sel T, pesan ini ditransmisikan melalui
molekul CD3.Sel Langerhans mensekresiInterleukin (IL)-1yang merangsang sel T
untuk mensekresi IL-2 dan untuk mengekspresikan reseptor IL-2.3,22 Sitokin ini
menyebabkan stimulasi proliferasi sel T sehingga memperluas klon sel T spesifik
yang mampu merespon antigen pemicu yang terjadi selama fase jeda klasik
sensitisasi. Sel T primer atau memori yang dihasilkan sekarang jauh
lebihbanyakbila dibandingkan dengan populasi asli sel-sel dengan reseptor sel
Tspesifik yangkemudian meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke
seluruh tubuh. Fasesensitisasiumumnya berlangsung10-15 haridansering
asimptomatis.3,4.6 Paparan berikutnyaterhadap
antigenataurechallengemengakibatkanfaseelisitasi.3,6Rechallengedemikian
dapatterjadi melaluibeberapa rute, termasuktransepidermal, subkutan, intravena,
intramuskular, inhalasi, dankonsumsi oral.6
2.1.4.2.
Fase kedua atau elisitasi hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada paparan
berulang. Sekali lagi, hapten berdifusi ke sel Langerhans, ditangkap dan diubah
secara kimia, terikat ke HLA-DR, dan kompleks diekspresikan pada permukaan
sel Langerhans.
Fase elisitasi
3,16
Kompleks ini berinteraksi dengan sel T primer baik dalam
Sel-sel Langerhans mensekresikan IL-1 yang merangsang sel T untuk
menghasilkan IL-2 dan mengekspresikan Interleukin Reseptor(IL-2R) yang akan
menyebabkan proliferasi dan perluasan populasi sel Tdalam kulit.3,4,6 Selain itu,
sel-sel T teraktivasi mensekresi Interferon (IFN)-γyang mengaktifkan keratinosit
danmenyebabkannya mengekspresikanIntercellular Adhesion Molecule(ICAM)-1
dan HLA-DR.3,16Molekul ICAM-1 memungkinkan keratinosit berinteraksi dengan
sel T dan leukosit lain yang mengekspresikan molekulLymphocyte
Function-associated Antigen(LFA)-1. Ekspresi HLA-DR memungkinkan keratinosit untuk
berinteraksi langsung dengan sel T CD4 dan untuk presentasi antigen ke sel-sel ini
juga.Selain itu, ekspresi HLA-DR dapat membuat keratinosit menjadi target bagi
sel T sitotoksik. Keratinosit teraktivasi juga menghasilkan sejumlah sitokin
termasuk IL-1, IL-6, danGranulocyte Macrophage Colony-Stimulating
Factor(GMCSF)yang semuanya dapat lebih lanjut memperluas keterlibatan dan
aktivasi sel T. Selain itu, IL-1 dapat merangsang keratinosit untuk menghasilkan
eikosanoid. Kombinasi sitokin dan eikosanoid menyebabkan aktivasi sel mast dan
makrofag.3,21
Histamindari selmastdaneikosanoiddari selmast, keratinosit,
danleukositinfiltrasimenyebabkandilatasipembuluh darah danpeningkatan
permeabilitasterhadapfaktor-faktor dan sel-sel larutproinflamatori yang beredar.
Kaskadeini menyebabkanrespon DKAklinisinflamasi, kerusakanselular, dan
selanjutnyaprosesperbaikan.3
Pasien umumnya mengeluh gatal dengan gambaran klinis dermatitis
berupa efloresensi kulit yang bersifat polimorf dan berbatas tegas.8,16,23
2.1.5.1.Fase akut
Kelainan kulit umumnya muncul 24-48 jam pada tempat terjadinya kontak
dengan bahan penyebab. Derajat kelainan kulit yang timbul bervariasi, ada yang
ringan ada pula yang berat.16,22 Pada yang ringan hanya berupa eritema dan
edema, sedangkan pada yang berat terdapat eritema dan edema yang lebih hebat
disertai vesikel atau bula yang bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi. Lesi
cenderung menyebar dan batas kurang jelas.8,16
2.1.5.2.Fase sub akut
Pada fase ini akan terlihat eritema, edema ringan, vesikula, krusta dan
pembentukan papul-papul.6,22
2.1.5.3.Fase kronis
Lesi cenderung simetris, batas kabur, kelainan kulit likenifikasi, papul,
skuama, terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau ekskoriasi, krusta serta
eritema ringan.6,8,16
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis DKA ditegakkan dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan
Anamnesis dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan mencari
penyebab.Hal ini penting dalam menentukan terapi dan tindak lanjut untuk
mencegah kekambuhan. Pada anamnesis perlu juga ditanyakan riwayat atopi,
perjalanan penyakit, pekerjaan, hobi, riwayat kontaktan dan pengobatan yang
pernah diberikan oleh dokter maupun dilakukan sendiri, pertanyaan personal
mengenai pakaian baru, sepatu lama, kosmetik, kaca mata, dan jam tangan serta
kondisi lain yaitu riwayat medis umum dan mungkin faktor psikologik.
Pemeriksaan fisik didapatkan eritema, edema dan papul dengan
pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis yang
membasah. Lesi pada umumnya timbul pada tempat kontak, tidak berbatas tegas,
dan dapat meluas ke daerah sekitarnya.
5,6,16
Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas terhadap zat
yang bersentuhan dengan kulit sehingga alergen dapat ditentukan dan tindakan
korektif dapat diambil. Uji tempel dilakukan untuk konfirmasi dan diagnostik
tetapi hanya dalam kerangka anamnesis dan pemeriksaan fisik. 5,6
Uji tempel yang paling sering digunakan adalah dengan Finn Chambers
aluminium bulat, IQ Ultra Chamber persegi, dan TRUE test (Thin-layer
Rapid-Use Epicutaneous).
2
2,25,26
Serangkaianseri alergenstandar direkomendasikan untuk
digunakanpada setiap individuyang menjalani uji tempel.2,25The European
Standard Series adalah yang paling umum digunakan di Eropa dan tempat lain di
dunia.25Dalam protokol uji tempel, hapten yang didugadiaplikasikan dalam
jumlah tertentu ke kulit selama 48 jam (24 jam di beberapa negara) dan penilaian
untuk reaksi kulit yang timbul dilakukan pada waktu tertentu, biasanya setelah 2,
hingga 10%reaksi positif, yang negatif pada pemeriksaan
sebelumnya.2,5,6,25Intensitas reaksi dinilai dan dicatat sesuai dengan International
Contact Dermatitis Research Group (ICDRG) menurut sistem penilaian oleh
Wilkinson dkk. yaitu, + (reaksi non vesikular lemah dengan eritema yang dapat
diraba), ++ (reaksi kuat edema atau vesikular), +++ (reaksi hebat bulosa atau
ulserasi). Bila reaksi sangat lemah atau meragukan dimana hanya ada eritema
samar atau makular (tidak dapat diraba) dicatat dengan tanda tanya (?+), dan
reaksi iritan dicatat sebagai IR.6,21,26,27Jika memungkinkan, tes
tempelharusdipasang di bagian punggung atas pasien karena merupakan
lokasiyang paling nyaman baik untuk dokter dan pasien, dan sebagian besar
validasi uji tempel dilakukan di daerah ini. Aplikasi tes di daerah tubuh lain
(misalnya tangan, lengan, paha, perut) harus dibatasi pada situasi pengecualian
dan harus dilakukan oleh dokter berpengalaman karena kesulitan interpretasi.3,25
2.2. Dermatitis Atopik 2.2.1. Definisi
DA adalah penyakit kulit inflamasi kronik sangat gatal yang umumnya
timbul selama masa bayi dan kanak-kanak tetapi dapat bertahan atau mulai di
masa dewasa.28,29
2.2.2. Epidemiologi
DAmerupakan masalahkesehatan masyarakatutama di seluruh
duniadengan prevalensipada anak-anaksebesar 10-20% di Amerika Serikat, Eropa
lainnya.PrevalensiDApada orang dewasasekitar1-3%.28,29,30Prevalensi DA yang
lebih tinggi ditemukanpada daerah kota dibandingkandaerah pedesaan
negara-negara maju dan penyakit lebih sering ditemukan pada kelompok kelas sosial
yang lebih tinggi.Berdasarkan jenis kelamin, rasio terjadinya DAadalah
perempuan :laki-lakisebesar 1,3:1,0.29,31
Sejak tahun 1960, telah terjadipeningkatanlebihdari tiga kali lipatdalam
prevalensiDA.29Dasar peningkatan prevalensi DA ini belum dipahami dengan
baik. Variasi yang luas dalam prevalensi telah diamati pada negara-negara yang
dihuni oleh kelompok etnis yang sama. Tampak bahwa faktor lingkungan sangat
penting dalam menentukan ekspresi penyakit, meliputi ukuran keluargayang kecil,
peningkatan pendapatan dan pendidikan baik pada kulit putih maupun kulit hitam,
migrasi dari lingkungan pedesaan ke perkotaan, dan peningkatan penggunaan
antibiotikyang disebut sebagai gaya hidup Barat.28,29
2.2.3. Etiopatogenesis
DA merupakan penyakit kulit inflamatori sangat gatal yang terjadi akibat
interaksi kompleks antara gen-gen kerentanan genetik yang mengakibatkan sawar
kulit rusak, kerusakan sistem imun bawaan, dan peningkatan respon imunologi
terhadap alergen dan antigen mikroba.29,30,32 Kelainansawar kulittampaknya
terkaitdengan mutasigenfilaggrinyang mengkodeproteinstrukturalyang penting
untuk pembentukansawarkulit.Kulitindividu denganDAjuga
telahterbuktikekurangan seramida(molekul lipid) sertapeptida
antimikrobasepertikatelisidinyang merupakanpertahanan lini
kulitinimenyebabkankehilangan airtransepidermaldan
peningkatanpenetrasialergendan mikrobake dalam kulit.31Agen infeksius yang
paling sering terlibat dalam DA adalah Staphylococcus aureus yang berkolonisasi
pada sekitar 90% pasien DA.30 Respon imun bawaan yang rusak juga tampaknya
berkontribusi dalam peningkatan infeksi bakteri dan virus pada pasien dengan
DA. Interaksi faktor-faktorini menyebabkan respon sel T dalam kulit (awalnya
didominasi respon Th2 dan kemudian didominasi Th1) dengan pelepasan
kemokin dan sitokin proinflamasi (misalnyaIL-4, IL-5 dan TNF) yang mendorong
produksiIgE dan respon inflamasi sistemik yang selanjutnya menyebabkan
inflamasi kulit yang gatal.29,30
Penelitian yang terbarumenghubungkan
ketidakseimbanganantararesponlimfositTh1danlimfosit Th2. Dalam respon
terhadappaparanantigen,limfositTh1mengaktifkanIFN-γ, IL-2danTNFα serta
membantu dalamperekrutandan aktivasimonosit, makrofagdan limfositT
sitotoksikdalam melawanpatogen intraselular.LimfositTh2mensekresikan4,
IL-5, IL-10.31,32 IL-4 akan merangsangperalihanselBuntuk produksiIgE,
sedangkanIL-5 menyebabkaneosinofiliadanIL-10 menekaninflamasi imunyang
diperantarai selT.Ini merupakan kecenderungan genetik atopi untuk
memperlihatkan perluasan sistemik aktivitas sel Th2 oleh berbagai alergen
imunologi dan nonimunologi.32Faktor pemicu dan alergen yang paling sering
dilaporkan adalah panas, berkeringat, bahan iritan (sabun, bahan kimia keras),
kelembaban, stres dan kecemasan, makanan tertentu, alergen inhalan dan agen
mikroba seperti Staphylococcus, virus, Pityrosporum, Candida dan
2.2.4. Gambaran klinis
DA biasanya dimulai pada masa bayi. Sekitar 50% pasien mengalami
penyakit ini pada tahun pertama kehidupan dan 30% di antara usia 1-5 tahun.29,34
Sekitar50-80% pasien dengan DAakan mengalami rhinitis alergi atau asma ketika
usia anak lebih besar.29,30
Pruritushebatdanreaktivitaskulitmerupakan gambaranutama
DA.28,29Pruritusdapat intermiten sepanjang haritetapibiasanya memburukdi sore
dan malamhariyang mengakibatkan garukan, papulprurigo, likenifikasi, danlesi
kuliteksematosa.28,32Lesi kulitakutditandai dengan papuleritematosayang
berkaitan denganekskoriasi, vesikeldi atas kuliteritematosa,
daneksudatserosa.DAsubakutditandai denganpapul eritematosa, ekskoriasi, sisik.
DAkronis ditandaiolehplak, likenifikasi, danpapulfibrotik(prurigo nodularis).
PadaDAkronis, ketiga tahapreaksi kulitseringterjadi bersamaan.Pasienbiasanya
memilikikulitkering dan kusampada semua tahapDA.
Distribusi dan pola reaksi kulit bervariasi sesuai dengan usia pasien dan
aktivitas penyakit.
28,29
33
Selama masa bayiusia 2 bulan-2 tahun, DA umumnya lebih
akut dan terutama melibatkan wajah, kulit kepala, pergelangan tangan dan
permukaan ekstensor ekstremitas. Daerah popok biasanya terhindar.32,33Pada
anak-anak usia 2-12 tahun lokasi umumnya padadaerah fleksor, leher,
pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Lokasi lesi pada remaja dan dewasa
muda adalah pada daerah lipat siku dan lutut (antekubiti dan popliteal), kaki,
wajah (terutama daerah periorbital) dan leher.32Pada anak-anak lebih tua dan yang
lokasi ruam pada lipatan fleksural ekstremitas.33,35 DA sering menghilang
seiringdengan usia. Pada DA kulit lebihrentan terhadap gatal-gatal dan inflamasi
saat terpapar iritan eksogen. Eksema tangan kronis dapat menjadi manifestasi
utama pada banyak orang dewasa dengan DA.
2.2.5. Diagnosis
29
Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria tertentu yang
mempertimbangkan anamnesis dan manifestasi klinis.34,35 Sampai saat ini, yang
paling banyak digunakan untuk diagnosis DA adalah kriteria Hanifin dan Rajka
(Tabel 1.1) dimana diagnosis DA dapat ditegakkan bila dijumpai 3 atau lebih
kriteria mayor dan 3 atau lebih kriteria minor.
Tidak ada tes diagnostik khusus untuk DA. 29,34
32
Peningkatan kadarIgE
ditemukan hingga 80% pasien yang terkena, namun hasil ini dapat didapati pula
pada gangguan atopi lain.29,32 Biopsi kulit menunjukkan dermis yang menebal dan
hiperkeratotik dengan inflamasi perivaskular.32
Tabel 1.1 Kriteria diagnostikDAoleh Hanifin dan Rajka
Likenifikasi fleksor pada orang dewasa
Keterlibatan wajah, permukaan fleksor dan ekstensor pada anak-anak dan
remaja
Kombinasi kedua pola pada anak-anak dan dewasa
Kronis dan rekuren
Riwayat pribadi atau keluarga atopi
Reaktivitas kulit segera (tipe I) pada pengujian kulit
Kadar IgE serum yang meningkat
Usia onset dini
Kecenderungan untuk infeksi kulit dan defisiensi imunitas diperantarai sel
Kecenderungan untuk dermatitis tangan dan kaki non spesifik
Tabel
Lipatan kulit infraorbital (Dennie-Morgan)
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Cincin mata (“shiner”), penggelapan periokular kulit
Pucat atau eritema wajah
Pitiriasis alba
Lipatan kulit pada bagian anterior kerongkongan
Pruritus yang diinduksi oleh keringat
Intoleransi terhadap wol dan pelarut lemak
Peningkatan perifolikular
Intoleransi terhadap beberapa makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan emosional
∗ Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan nomor 29 Dermografisme putih
2.3. DKA dan DA
Beberapa penelitian telah membuktikan dengan jelas bahwa pasien
DAmemilikirisiko lebih besar terkena DKI dibandingkan pasien nonatopi,
namunrisiko terkena DKA masih kontroversi.5,13,34Sampai saat ini,dianggap
Beberapapenelititelah melaporkanadanya penurunanfrekuensisensitisasikontak di
antara individu denganDA.13
Konsep inididukung olehpenelitian yangmenunjukkan bahwa pasien
denganDAtidakmudahdisensitisasi oleh
aplikasiberulangdinitrochlorobenzenetetapimudah disensitisasi
sewaktuDAmembaik.36,37Penelitian yang lebih barumenunjukkanbahwa
frekuensiDKAatausensitisasikontak terhadap alergenumumseperti nikel, kobalt,
thimerosal, dan fragrance mixterjadi samaseringnyaantara
pasiendenganDAdanpopulasi umum dimana tingkatfrekuensi sampai
40%.Sebuahpenelitian laintelahmelaporkan tingkatsensitisasiyang secara
signifikan lebih tinggipada subjekatopisebesar 65,0%
biladibandingkandenganyang terlihat padasubjeknonatopi.
Banyak peneliti sekarang telah menemukan bahwa frekuensi alergi
kontak pada pasien dengan DA adalah sebanding dengan non atopi baik populasi
dewasa maupunanak.
36
13,36
Selain itu, penelitian telah menunjukkan bahwa individu
atopi dan nonatopi memiliki reaksi imunologi yang sama dalam kejadian
DKterhadap alergen tertentu. Setelah pengujian dengan nikel, pasien DA dan
nonatopi memiliki peningkatan IL-2, IL-4, dan INF-γyang sama. Satu-satunya
perbedaan dalam respon imun kedua kelompok yaitu ditemukan peningkatan
IL-10 pada yang nonatopisaja.
Studi
13
pediatrikbaru-baru inimenunjukkan bahwaDKAdansensitisasi
kontakterhadap alergensetidaknyasama seringnya pada anak-anakatopisepertipada
anak-anakditemukanberkorelasi denganprevalensisensitisasi kontakyang selanjutnya
2.4. Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka teori
2.5. Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka konsep
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu studi analitik dengan rancangan potong
lintang (cross sectional).
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2014 hingga Maret 2015
yang bertempat di SMF IKKK RSUP HAM Medan.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi target
Pasien-pasien dengan riwayat DK.
3.3.2. Populasi terjangkau
Pasien-pasien dengan riwayat DK yang berobat ke SMF IKKK RSUP
HAM Medan sejak Oktober 2014 hinggaMaret 2015.
3.3.3. Sampel
Bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan
3.3.3.1. Kriteria inklusi
1. Pasien berumur 18-65 tahun dengan riwayat DK.
2. Bersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani
informed consent.
3.3.3.2. Kriteria eksklusi
1. Pasien yang menderita flare DK.
2. Pasien yang mendapat pengobatan antihistamin sistemik (antagonis
reseptor H1, antagonis reseptor H2, antagonis leukotrien) dan
anthistamin topikal (doksepin) dalam waktu 2 minggu terakhir
sebelum penelitian.
3. Pasien yang menggunakan obat kortikosteroid topikal dan
imunosupresan topikal lain (takrolimus, pimekrolimus) pada lokasi
uji tempel dalam 2 minggu terakhir.
4. Pasien yang sedang mengkonsumsi obat kortikosteroid sistemik
dengan dosis di atas 20 mg dalam 2 minggu terakhir.
5. Pasien yang sedang dalam keadaan hamil
3.4. Besar Sampel
Untuk menghitung besar sampel, digunakan rumus berikut.
Dimana :
P = proporsi di populasi (0,22)
a
P = perkiraan proporsi di populasi (0,47)
a
P
P0 − = beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar 0,25
Maka :
Sampel untuk penelitian ini sebanyak 34 orang.
3.5. Cara Pengambilan Sampel Penelitian
Pada penelitian ini akan digunakan pengambilan sampel secara
non-randomized consecutive sampling.
3.6. Identifikasi Variabel
Variabel bebas : dermatitis atopik
Variabel terikat : dermatitis kontak alergi
3.7. Cara Penelitian
3.7.1. Pencatatan data dasar
Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di SMF IKKKDivisi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dermatologis.Diagnosis klinis
ditegakkan oleh peneliti bersama dengan pembimbing di SMF IKKK Divisi
Dermato Alergi dan Imunologi RSUP HAM Medan.
3.7.2. Pemeriksaan uji tempel
1. Bahan alergen standar yang digunakan dalam penelitian ini adalah
alergen dari European Baseline Series Chemotechnique Diagnostics.
2. Aplikasikan sejumlah kecilantigenpada setiap chamberberurutan
dimulai darinomor satubahan standar
3.
.
Untukantigencair, diaplikasikansatu tetescairanke kertas saring yang
sudah ditempatkan di dalamchamber
4.
.
Posisi pasien duduk atau telungkup.
5. Dilakukan pembersihan pada kulit punggung bagian atas dengan
kain kasa atau jika kulit pasien berminyak dapat dibersihkan dengan
kapas alkohol, kemudian dibiarkan kering.
6. Ditempelkan IQ Ultra®chamberpada punggung dan direkat dengan
plester hipoalergenik, serta diberi tanda sesuai dengan urutan bahan
alergen yang diuji.
7. Pasien diijinkan pulang dengan pesan bahwa lokasi uji tempel tidak
boleh basah terkena air dan untuk berhati-hati bila sedang mandi
serta mengurangi aktivitas yang menimbulkan keringat berlebihan.
8. Pembacaan dilakukan pada jam ke 48 dan 72 (atau lebih awal jika
9. Intensitas reaksi dinilai dan dicatat sesuai dengan ICDRG menurut
sistem penilaian oleh Wilkinson dkk. yaitu :
- negatif
26,27
?+ reaksi meragukan
+ reaksi lemah (non vesikular)
++ reaksi kuat (edema atau vesikular)
+++ reaksi hebat (bula atau ulseratif)
NT tidak diuji
IR reaksi iritan tipe berbeda
10. Hasil tes tempel yang positif bermakna dinilai relevansinya dengan
anamnesis dan gambaran klinis. Hasil relevansi positif dianggap
sebagai penyebab (pembacaan dilakukan 15 menit setelah plester
dilepaskan).Pasien diberi catatan tentang hasil uji tempel yang positif
bermakna.
3.7.3. Pemeriksaan pasien dermatitis atopik
Pada pasien yang telah didiagnosis dengan DKA kemudian dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan klinis untuk menegakkan DA berdasarkan kriteria
Hanifin dan Rajka. Setelah penegakkan diagnosisDA, hubungan DA dengan
3.8. Definisi Operasional
3.8.1. DKA adalah dermatitis kontak yang disebabkan adanya kontak kulit
dengan alergen. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
gambaran klinis yang didukung oleh uji tempel yang hasilnya positif.
Anamnesis berupa adanya riwayat kontak ulang dengan bahan alergen
yang dicurigai, riwayat penyakit sebelumnya, stigmata atopik, pekerjaan,
kegemaran, pemakaian produk.
Gambaran klinis berupa makula eritema, edema, papul, vesikel pada
tempat kontak dengan bahan alergen, tidak berbatas tegas dan dapat
meluas ke sekitarnya yang umumnya terasa gatal.
Uji tempel adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan
apakah suatu bahan tertentu menyebabkan inflamasi alergi pada kulit
pasien dengan aplikasi sejumlah bahan alergen standar ke kulit selama 48
jam dan dinilai reaksi kulit pada hari ke-2 dan 3. Uji tempel dinyatakan
positif bila ditemukan intensitas reaksi +, ++, +++ pada kulit sesuai
dengan sistem ICDRG.
Skala ukur :nominal
3.8.3. DA adalah
Skala ukur : nominal
penyakit kulit inflamasi bersifat kronis residifyang mengenai
bayi dan anak juga dapat terjadi pada dewasa, disertai stigmata atopik
pada pasien atau keluarganya.Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria
Hanifin dan Rajka oleh peneliti bersama dengan pembimbingdimana
3.9. Kerangka Operasional
Gambar 3.1 Kerangka operasional
3.10. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang didapat diolah dengan metode analisis hipotesis untuk
menentukan hubungan antara DA dengan DKA.Analisis dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak pengolah data.
Untuk menganalisis hubungan antar variabel dilakukan uji statistik chi
square dengan jumlah sel tidak ada nilai ekspektasi (expected count) kurang dari 5
tidak lebih dari 25%. Bila ada maka digunakan Fisher Exact Test. Batas uji
keamanan (p) yang digunakaan dalam penelitian adalah 0,05 dengan interval Pasien riwayat DK yang berobat ke SMF IKKK Divisi
Dermato Alergi dan Imunologi RSUP HAM Medan
Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
DKA (+)
Uji tempel
DKA (-) DA (+) DA (-)
kepercayaan 95%. Dikatakan bermakna jika nilai p≤0,05 dan tidak bermakna jika
nilai p>0,05.
3.11. Etika Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan sampel biologis, yang
selama pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
kode etik penelitian biomedik.Ijin didapat dari Komisi Etika Penelitian Fakultas
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada 34 orang subjek dengan riwayat DK yang
dimulai dari bulanOktober 2014–Maret 2015.
4.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik subjek pada penelitian ini ditampilkan berdasarkan
distribusi frekuensi kelompok jenis kelamin, usia, suku, agama, pendidikan, status
pernikahan. Sedangkan karakteristik atopi terdiri dari stigmata atopik pada diri
Tabel 4.1 Data karakteristik sampel DK
Karakteristik sosiodemografi Jumlah (n=34) Persentase (%)
Jenis kelamin
Berdasarkan tabel 4.1. didapatkan bahwaperempuan berjumlah 19 orang
atau 55,9% lebih banyak dibandingkan laki-laki yang berjumlah 15 orang atau
44,1%.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan di
Medan oleh Mahadi pada tahun 1991-1992 dimana dilaporkan terdapat 72,73%
pasien adalah perempuan dan 27,27% pasienlaki-laki.38 Nasution dkk.pada tahun
1992 melaporkan pasien DKdi RS Dr Pirngadi Medan sebanyak 63,79%
perempuan dan 32,18% laki-laki, sedangkan pada tahun 1994ditemukan pasien
DK sebanyak 71,43% perempuan dan 28,57%laki-laki.
Villafuerte dan Palmero dari Filipina melaporkan dari 267 pasien DK
sebanyak 71,4% adalah perempuan dan laki-laki28,6%. 39
40
Penelitian di Jerman
yang dilakukan oleh Forsbeck pada tahun 2001, dari 1141 pasien DK, 50,4%
untuk pasien perempuan lebih banyak daripada pasien laki-laki. Demikian juga
pada penelitian Basketter di Thailandpada tahun 2004, dari 1178-2545 orang yang
diikutsertakan dalam penelitiannya ditemukan 49,1-70,7% adalah perempuan.
Pada penelitian Dotterud di Norwegia pada tahun 2007 ditemukan prevalensi
55,8% pasien DK perempuan dari 1236 orang subjek penelitian.17Sebaliknya
penelitian yang dilakukan oleh García-Gavín tentang epidemiologi DK di Spanyol
pada tahun 2008, ditemukan 740 atau 63,7% adalah perempuan dan 421 atau
36,3% adalah laki-laki dari jumlah 1161 pasien.
Penelitian Sunaryo di Poliklinik kulit dan kelamin RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado pada bulan Januari-Desember 2012 juga memperoleh hasil yang
sama dengan penelitian-penelitian lainnya tentang pasien DK yang lebih banyak
terjadi pada pasien wanita sebanyak 52 orang atau 67,5% dibandingkan dengan
pria sebesar 2:1.
41
42
Hasil inipun sesuai dengan penelitian Wulus, yang menemukan
59% DK terjadi pada wanita.43 Hal ini terjadi disebabkanoleh wanita lebih sering
terpapar dengan berbagai bahan alergik maupun iritan dalam pekerjaan
sehari-hari. Hal ini juga didukung oleh kepustakaan yang menyatakan bahwa wanita dua
kali lipat lebih sering menderita DK dibandingkan dengan pria.
Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan bahwa DK terbanyak pada kelompok
dilakukan di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado
menemukan kelompok tertinggi pada usia 25-44 tahun atau 30,18%.43Fatma dan
Hari yang meneliti mengenai hubungan antara usia pekerja dengan kejadian DK
di PT Inti Pantja Press Industri yang bergerak dalam bidang
otomotifmenemukanbahwa dari 43 pekerja, 26 pekerja atau 60,5% berusia ≤30
tahun dan pekerja yang berusia >30 tahun hanya sekitar 13 orang atau
35,1%.44Menurut kepustakaan bahwa DK lebih sering diderita oleh orang dewasa,
meskipun sebenarnya dapat terjadi pada semua usia dan angka kejadian
meningkat pada usia produktif. Hal ini terkait dengan pekerjaan dan kehidupan
mereka sehari-hari yang mengharuskan mereka terpapar dengan bahan-bahan
iritan dan alergen.
Distibusi berdasarkan suku didapatkan suku Jawa memiliki frekuensi
terbanyak sebanyak 15 orang atau 44,1%. 8,22
Menurut data BPS Sumatera Utara, pada
tahun 2000 mayoritas penduduk kota Medan berasal dari suku Jawa sebesar
33,03% dan Batak sebesar 20,93%, yang disusul oleh suku Tionghoa sebesar
10,65%, Mandailing sebesar 9,36%, Minangkabau sebesar 8,6%, Melayu sebesar
6,59%, Karo sebesar 4,10%, Aceh sebesar 2,78%, dan lain-lain sebesar 3,95%.
Berdasarkan pendidikan didapatkan frekuensi tertinggi adalah perguruan
tinggi berjumlah 14 orang atau 41,2%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata
sampel pada penelitian ini memiliki tingkat intelektual yang cukup baik.Menurut
Yuli Kusumawati (2008) tingkat pendidikan seseorang ikut mempengaruhi mudah
tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan. Semakin tinggi pendidikan
seseorang akansemakin mudah menerima informasi tentang kesehatan.
45
46
Penelitian
hubungan pengetahuan dengan kejadian DK.47
Tabel 4.2 Karakteristik stigmata atopik sampel penelitian
Berdasarkan hal tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa masih terdapat kontroversi mengenai kaitan pendidikan
dan timbulnya DKA.
Karakteristik Jumlah (n=34) Persentase (%)
Dermatitis atopik Ya
Tidak
27 7
79,4 20,6 Riwayat keluarga atopi
Ya Tidak
11 23
32,4 67,6
Total 34 100,0
Distribusi frekuensi berdasarkan dermatitis atopik didapatkansebesar 27
orang atau 79,4% yang memiliki DA sedangkan 7 orang atau 20,6% tidak
memiliki DA.Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat keluarga atopi didapatkan
sebesar 23 orang atau 67,6% tidak memiliki riwayat keluarga atopi dan 11 orang
atau 32,4% yang memiliki riwayat keluarga atopi.
4.2. Alergen Penyebab Dermatitis Kontak Alergi
Tabel 4.3Alergen penyebab dermatitis kontak alergi
No Alergen standar
Hasil uji tempel
5. Cobalt(II)chloride hexahydrate 29 (85,2) 5 (14,7) 34 (100,0)
6. Benzocaine 32 (94,1) 2 (5,8) 34 (100,0)
7. Nickel(II)sulfate hexahydrate 21 (61,7) 13 (38,2) 34 (100,0)
8. Clioquinol 34 (100,0) 0 34 (100,0)
17. 2-Mercaptobenzothiazole (MBT) 34 (100,0) 0 34 (100,0)
18. Formaldehyde 34 (100,0) 0 34 (100,0)
23. Methylisothiazolinone +
Methylchloroisothiazolinone 34 (100,0) 0 34 (100,0)
24. Budesonide 34 (100,0) 0 34 (100,0)
25. Tixocortol-21-pivalate 34 (100,0) 0 34 (100,0)
26. Methyldibromoglutaronitrile 34 (100,0) 0 34 (100,0)
27. Fragrance mix II 34 (100,0) 0 34 (100,0)
28. Lyral 34 (100,0) 0 34 (100,0)
Berdasarkan tabel 4.3didapatkanbahwa lima alergen yang menyebabkan
orang atau 38,2%, kobalt klorida sebanyak 5 orang atau 14,7%, Myroxylon
pereirae resin sebanyak 3 orang atau 8,8%, fragrance mix sebanyak 2 orang atau
5,8%, PPD sebanyak 2 orang atau 5,8%.
Penelitian García-Gavín dkk. di Spanyol juga menemukan hal yang sama
bahwa lima alergen penyebab DKA yang paling sering adalah nikel sulfat sebesar
25,88%, potassium dichromate sebesar 5,31%, kobalt klorida sebesar 5,10%,
fragrance mix sebesar 4,64%, dan balsam Peru sebesar 4,44%.
Nikel terdapat pada perhiasan, logam-logam dan benda-benda yang
dilapisi logam seperti kunci, koin, risleting, kancing, pacu jantung, baterai, dan
lain-lain.Kobalt klorida dan potassium dichromate jugamerupakan golongan
logam.Nikel adalah penyebab utama DKA di dunia terutama pada wanita. 41
6,8 Pada
penelitian di Medan, logam menempati peringkat keempat selama tiga tahun yaitu
tahun 1992 sebanyak 8,31%, tahun 1993 sebanyak 7,83% dan tahun 1994
sebanyak 10,30%. Namun, tahun 1996-1997 menempati peringkat pertama
sebesar 45%.38Kobalt klorida merupakan alergen kedua paling sering terjadi pada
wanita, kemungkinan disebabkan oleh sensitisasi melalui pemakaian perhiasan
atau dalam lingkungan pekerjaan, produk kebersihan dan rambut, produk-produk
yang digunakan dalam industri tekstil, atau kulit.41,48 Pada penelitian ini
ditemukan sebagian besar individu yang memiliki hasil positif terhadap alergen
nikel dan kobalt merupakan individu yang alergi terhadap barang-barang logam
yang di dalamnya terkandung nikel ataupunkobalt seperti cincin, jam tangan, tali
pinggang. Bahkan ada 3 orang yang memiliki hasil positif terhadap kedua alergen
DiDenmark, terjadi penurunan insiden kepekaan terhadap nikel pada
wanita dari 22,1% sebelum tahun 1991 menjadi 16,7% selama tahun 1996 sejak
diberlakukan peraturan penggunaan nikel pada barang-barang aksesori.
Namun,pada kelompok laki-laki masih terjadi peningkatan dari 3,1% menjadi
4,3% yangdisebabkan oleh tindik telinga yang akhir-akhir ini merupakan suatu
mode.
Di Filipina pada tahun 1996-2001 logam juga menduduki peringkat atas,
yaitu nikel sulfat 35,5%,potassium dichromate20,3% dan kobalt klorida
19,2%. 17
17,49
Di India,pada tahun 1997 potassium dichromatesebagai penyebab
terbesar sebesar 20,5% diikuti nikel sulfat sebesar 16,5%. Cina juga hampir sama
dengan India, pada tahun 1991 dengan potassium dichromatesebesar 17,9% dan
nikel sulfat sebesar 13,8%.50
Pada penelitian ini dijumpai 3 orang atau 8,8% yang bereaksi positif
terhadap Myroxylon pereirae resin (balsam Peru). Selain itu ada 2 orang atau
5,8% yang bereaksi positif terhadap fragrance mix I.
Pada penelitian ini hanya ditemukan 1 atau 2,9%
orang yang memiliki hasil positif terhadap potassium dichromate dimana individu
tersebut alergi terhadap bahan logam.
Fragrance mix dan balsam
Peru dalam penelitian García-Gavín dkk. di Spanyol merupakan penyebab
peringkat keempat dan kelima, dengan persentase sekitar 4,5%.41Myroxylon
pereirae dianggap sebagai marker yang baik untuk alergi fragrance dan dapat
mengidentifikasi sekitar 50% individu yang alergi fragrance.
Dalam penelitian ini juga ditemukan 2 orang atau 5,8% yang bereaksi
positif terhadap PPD, 2 orang atau 5,8% bereaksi positif terhadap
N-Isopropyl-N-phenyl-4-phenylenediamine (IPPD).
6
sebagai alergen peringkat ketiga pada wanita, dengan frekuensi sebesar 5,03% (CI
95%, 3,43%-6,64%).41 PPD terdapat pada pewarna rambut yang merupakan
prekursor umum di dalam produk pewarna rambut oksidatif, sedangkan IPPD
merupakan turunan dari PPD yang juga terdapat dalam pewarna rambut.
Dalam penelitian ini ditemukan ada 2 orang atau 5,8% yang bereaksi
positif dengan thiuram mix. Thiuram mix diketahui merupakan sensitizer yang
umum dalam karet. Insidensi sensitivitas sekitar 5-10% dari pasien yang dites
dengan uji tempel.
8,51
8,48
Selain itu, juga ditemukan reaksi positif terhadap benzokain sebanyak 2
orang atau 5,8%. Anestesi lokal dari derivat –kain yang digunakan secara luas
terutama dalam sediaan injeksi.DKA sering dilaporkan berkaitan dengan
penggunaan krim pada pruritus ani, hemoroid dan gigitan serangga, lotion untuk
luka bakar, dan tetes mata dan telinga anestesi.Pada penelitian Anadkk. diperoleh
bahwa dalam 112 pasien atau 4,1%yang diperiksa memiliki minimal satu reaksi
alergi terhadap anestesi lokal, dengan prevalensi reaksi terhadap benzokain
sebesar 22,5% dan sebagian besar atau 44% adalah tidak berhubungan atau terjadi
Gambar 4.1Frekuensi alergen penyebab DKA berdasarkan golongan usia
Dari gambar 4.1 tampak bahwa alergen penyebab DKA paling banyak
pada kelompok usia 18-34 tahun adalah nikel sulfat, yang disusul kobalt klorida,
myroxylon pereirae resin, potasiumdichromate, thiuram mix, benzokain,
PTBP,quaternium-15, dan 2-methoxy-6-n-pentyl-4-benzoquinone. Alergen
penyebab pada kelompok usia 35-49 tahun adalah nikel sulfat, PPD, thiuram mix,
kobalt klorida,benzokain, myroxylon pereirae resin, dan fragrance mix I. Pada
kelompok usia 50-65 tahun alergen penyebab adalah nikel sulfat, IPPD,
Pada penelitian Kwangsukstith dan Maibach yang membagi DKA pada
orang dewasa menjadi tiga kelompok umur: dewasa muda (15-40 tahun), dewasa
pertengahan (40-65 tahun) dan yang lebih tua (>65 tahun). Insiden dan
manifestasi klinis DKA pada tiap-tiap kelompok ini dapat berbeda. Perbedaan
pada paparan sebelumnya atau terbaru, karena perbedaan pekerjaan, budaya,
pakaian, kosmetik, kebiasaan dan lingkungan, dapat menyebabkan variasi dalam
sensitisasi atau induksi DKA.
PPD,
fragrance mix I.
53
Fase elisitasi DKA berbeda secara nyata dalam