• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Daya Dukung Lahan Di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Daya Dukung Lahan Di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

MUHAMMAD MU’MIN FAHIMUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Dukung Lahan di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

(4)
(5)

RINGKASAN

MUHAMMAD MU’MIN FAHIMUDDIN. Analisis Daya Dukung Lahan di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh BABA BARUS dan SRI MULATSIH.

Daya dukung didefinisikan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung aktivitas hingga tingkat tertentu. Telah banyak konsep dikembangkan untuk menjelaskan daya dukung diantaranya daya dukung fisik lingkungan dan ekonomi. Selain itu, daya dukung dimaknai pula sebagai batasan polulasi pada daerah dan waktu tertentu. Batasan ini sangat ditentukan oleh jumlah sumberdaya dan tingkat konsumsi.

Mengetahui daya dukung lahan di wilayah perkotaan sangatlah penting. Daya dukung lahan yang didekati dengan pendekatan ekologi dan ekonomi membantu mengetahui penggunaan lahan lebih menitikberatkan pertimbangan ekologi atau ekonomi, atau kedua-duanya. Hasil riset yang telah banyak dilakukan menunjukkan bahwa secara global telah terjadi peningkatan luasan penggunaan lahan terbangun. Kecenderungan ini juga terjadi pada kota-kota di Indonesia tak terkecuali di Kota Baubau.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya dukung lahan di Kota Baubau baik secara fisik lahan maupun ekonomi lahan dan merumuskan arah kebijakan melalui penataan ruang. Metode penelitian ini dengan dua pendekatan yaitu pendekatan fisik dan ekonomi lahan. Pendekatan fisik terdiri atas analisis penggunaan lahan aktual, analisis kemampuan lahan dan rencana pola ruang. Tiap analisis menghasilkan peta yang ditumpangtindihkan untuk menghasilkan status daya dukung lahan secara fisik. Pendekatan ekonomi lahan dilakukan melalui perhitungan nilai ekonomi setiap penggunaan lahan. Nilai ekonomi lahan diperoleh melalui nilai ekonomi dinamis dan nilai ekonomi statis. Nilai ekonomi dinamis berdasarkan nilai produktivitas lahan (recardian rent) sedang nilai ekonomi statis berdasarkan nilai biaya yang dibutuhkan untuk membuat penggunaan lahan tersebut. Nilai ekonomi dibandingkan nilai Kualitas Hidup Layak (KHL) untuk mengetahui memenuhi daya dukung secara ekonomi atau tidak memenuhi. Hasil penilaian dengan pendekatan fisik lahan dan ekonomi ditumpangtindihkan untuk mengetahui status daya dukung lahan berkelanjutan atau tidak berkelanjutan.

Secara fisik lahan di Kota Bauabau yang memenuhi daya dukung adalah 21 890.80 ha (74.68 %) dan tidak memenuhi seluas 7 423.13 ha (25.32 %). Secara ekonomi, tujuh kelurahan yang tidak memenuhi daya dukung dari 38 kelurahan di Kota Baubau. Hasil overlay antara daya dukung fisik dengan ekonomi lahan menunjukkan status keberlanjutan dimana 21 421.25 ha (73.08 %) berkelanjutan dan 7 892.68 ha (26.92 %) tidak berkelanjutan. Kebijakan rencana penataan ruang di Kota Baubau hingga tahun 2030 luas penggunaan lahan terbangun meningkat hingga 45.43 %. Peningkatan tersebut diikuti dengan berkurangnya luasan lahan pangan dan kehutanan. Berdasarkan hal tersebut arahan pengelolaan lahan di Kota Baubau dilakukan dengan pengendalian penggunaan lahan terbangun dan perlindungan lahan pangan dan konservasi (kehutanan).

(6)

SUMMARY

Muhammad Mu'min Fahimuddin. Carrying Capasity Analysis of Land in Baubau City, Southeast Sulawesi Province. Supervised by BABA BARUS and SRI MULATSIH.

Carrying capacity defined as the ability of environment to support activities to a specific level. Many of the concepts that have been developed to explain the carrying capacity of the environment including physical carrying capacity and the economy carrying capacity. Moreover, the carrying capacity can also be several cities in Indonesia including in Baubau city.

This study aims to determine the carrying capacity of the land in the City Baubau both physically and economically, and to formulate policy direction through the arrangement of space. This research method with two approaches, physical and economic approaches land. Physical approach consists of the analysis of the actual land use, land capability analysis and spatial pattern plan. Each analysis produce maps that overlaid to generate status carrying capacity of land to physically. Economic land approach is done by calculating the economic value of each class of land use. The economic value of the land acquired through the dynamic economic value and static economic value. Dynamic economic value based on the production of land use (recardian rent), while static economy value based on the costs required to make the land use. The economic value compared to the value of the Quality of Life to determine the carrying capacity economically meet or not meet the carrying capacity. Results of the assessment with the physical and economic approach overlaid to know the status of carrying capacity, sustainable or unsustainable.

Physically (ecology) of land in the Baubau city that meet the carrying capacity is 21 890.80 ha (74.68%), which does not meet the carrying capacity is 7 423.13 ha (25.32%). Economically there are seven villages that do not meet the carrying capacity of 38 villages. If an overlay between the physical and economic carrying capacity of land shows the status of sustainability in which 21 421.25 ha (73.08%) sustainable and 7 892.68 ha (26.92%) are not sustainable. Furthermore, the policy of spatial planning in the Baubau city to 2030, area build up land and high economic activity increase to 45.43%. The increase was accompanied by a reduced land area of food and forestry. Based on the mentioned, the direction of land management in the Baubau city to do with controlling the use of build up land; and protection to land of food and conservation (forestry).

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

ANALISIS DAYA DUKUNG LAHAN DI KOTA BAUBAU,

SULAWESI TENGGARA

MUHAMMAD MU’MIN FAHIMUDDIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Segala puji dan rasa syukur tak terhingga penulis haturkan karena tesis ini salah satu anugerah yang luar biasa dari Allah SWT. Shalawat dan salam kerinduan yang teramat sangat untuk kekasih Ilahi, Muhammad SAW karena telah membawa petunjuk keselamatan dan panutan akhlak yang baik. Melalui Baginda Rasul Muhammad SAW Habibillah, penulis peroleh keteladanan tentang perjuangan dari sebuah proses.

Karya tulis ini tak sekadar sebagai upaya memenuhi syarat menyelesaikan studi magister di Institut Pertanian Bogor (IPB). Namun didorong oleh kegelisahan dan rasa ingin tahu terkait studi daya dukung di perkotaan khususnya Kota Baubau. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kecenderungan pembangunan perkotaan di Indonesia semakin mengenyampingkan aspek ekologi. Kalaupun ada, sebatas tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan yang faktanya masih dilaksanakan setengah hati.

Kajian isu lingkungan saat ini telah mendapat perhatian yang serius dimata dunia. Perhatian tersebut memuncak diawal dekade 70-an dengan dicetuskan KTT Bumi pertama di Stockholm, Swedia. Bahkan KTT Bumi ikut mempengaruhi lahirnya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Nama kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup menjadi kementerian Negara Lingkungan Hidup. Sejak itu, Indonesia mulai aktif mengikuti pertemuan KTT Bumi tahun 1982 di Nairobi, Kenya dan menjadi anggota World Commission on Environment and Development (WCED).

Salah satu isu lingkungan hidup yang sering mencuat dipermukaan adalah daya dukung (carriying capasity) lingkungan. Daya dukung (carrying capasity) secara sederhana dimaknai sebagai kemampuan suatu lahan tertentu untuk menampung atau memberi kehidupan secara baik dan layak berdasarkan sumber daya yang dimilikinya. Terdapat tiga persoalan pelik yang sering kali dikaitkan dengan masalah daya dukung yaitu tekanan penduduk (populasi), kebutuhan ruang tinggal dan ketersediaan sumberdaya. Saat ini, daya dukung digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan baik wilayah tertentu maupun bumi secara global.

Tesis ini mencoba mengurai wilayah yang lebih kecil yakni lahan Kota Baubau dengan pendekatan daya dukung. Pemilihan ini cukup beralasan karena: pertama, hampir semua sektor dan aktivitas pembangunan dilakukan diatas lahan. Aktivitas pembangunan tersebut sangat menentukan pola penggunaan lahan yang terjadi. Kedua, kajian daya dukung lahan sangat penting untuk wilayah perkotaan karena aktivitas ekonomi, pembangunan dan perubahan penggunaan lahan sangat dinamis terjadi di kota. Ketiga, penulis sangat merasakan betul “denyut nadi” pembangunan di Kota Baubau. Di kota ini hampir tidak ada kajian yang lebih serius terkait lingkungan hidup. Menurut penulis, Kota Baubau sebagai kota yang masih relatif muda, kajian daya dukung lahan penting menjadi arahan pembangunan dan langkah preventif terjadinya kerusakan lahan (ekologi).

(12)

arahan namun tak bosan memberikan dorongan dan motivasi. Penghargaan buat Bapak Lala M Kolopaking dan Bang Sofyan Sjaf yang telah memberi kesempatan belajar di PSP3-IPB melalui Sekolah Drone Desa (SDD) sehingga banyak gagasan tesis ini penulis “uji coba” di sana. Penulis juga berterima kasih kepada Pemerintah Kota Baubau dan jajaran SKPD-nya yang telah menfasilitasi berbagai data.

Tak lupa pula penulis berterima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan PSL 2012, kawan-kawan RUMANA IPB SULSEL yang selalu berbagi keceriaan disaat suntuk, kawan-kawan RESPECT, rekan-rekan Sekolah Drone Desa (SDD) PSP3-IPB yang telah menemani belajar. Saudaraku se-rumah kontrakan Dik Fiqar, Dik Fitrah, kawan janjang dan yang datang belakangan Yadi Laode dan kawan Ibo, kalian luar biasa dan sangat membantu. Terima kasih untuk Kanda Yusran Darmawan bersama keluarga kendati saya selalu mengajak “ribut” tapi selalu menjamu sebagai saudara dan hadir saat penulis Kanker (kantong Kering).

Terkhusus kedua orang tua penulis ayahanda Drs. H. Faimuddin dan Ibunda Nursia yang telah membukakan pintu dunia dan memperkenalkan isinya, memberikan nasehat, petuah dan inspirasi, memanjatkan doa-doa terbaik setiap waktu. Sungguh ananda penuh dosa dan belum membalas segala kebaikan kalian. Mertua penulis, Alm. Drs. Supomo Supadi dan Almh. Sulfiani Supomo, posisi kalian sudah seperti orang tua penulis. Terima kasih telah menitipkan buah hati kalian untuk mendampingi penulis saat susah dan senang. Ya Allah, berikan tempat terbaik disana buat kedua mertua hamba. Aamin.

Teristimewa untuk istriku tercinta Fira Diah Setiawaty yang semoga kelak menjadi bidadariku di surga. Terima kasih telah dengan sabar mendampingi, menyemangati dan mencurahkan segala kasih ditengah segala kekuarangan. Ayah janji akan membuatkan rumah indah itu untukmu agar tenang mendidik anak-anak kita. Amiratushafirah, engkau belahan hati dan kedua biji mataku. Maafkan Ayah, Nak..,karena usiamu yang kini 4 tahun, selama 3 tahun Ayah tidak berada disampingmu. Kata-katamu “Amirah rindu Ayah” selalu menjadi penyemangat buat ayah.

Akhirul kalam, akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada segala pihak yang telah membantu dan tak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Di tengah bangsa ini yang begitu besar, karya tulis ini hanyalah langkah kecil dari niat tulus untuk mengabdi kepada negeri. Atas segala kekurangan dari karya tulis ini penulis mohonkan masukan yang konstruktif untuk perbaikan pada penelitian selanjutnya.

Bogor, Maret 2016

(13)

DAFTAR ISI

Daya Dukung (Carrying Capasity) 5

Penggunaan Lahan 7

Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan 13

Intrepretasi Penggunaan Lahan (land use) Aktual 144

Analisis Kemampuan Lahan 14

Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Rencana

Pola Ruang 16

Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan 23 Menyusun Arahan Pengelolaan Lahan Di Kota Baubau Berbasis Daya

Dukung Lahan 24

Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan 29

Penggunaan Lahan Aktual 29

Analisis Kemampuan Lahan 41

Evaluasi Penggunaan Lahan aktual dan Pola Ruang RTRW 45

Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Kemampuan

Lahan 45

Evaluasi Keselarasan Rencana Pola Ruang RTRW Terhadap Kemampuan

(14)

Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Rencana Pola

Ruang RTRW 50

Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan Aktual dan

Rencana Pola Ruang RTRW 52

Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan. 55

Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan 58

Penggunaan Lahan Pertanian 58

Penggunaan Lahan Pelabuhan dan Bandar Udara 62

Penggunaan Lahan Pemakaman dan Terminal 63

Penggunaan Lahan Pusat Pendidikan, Bangunan Pemerintah, Tempat Ibadah

dan Jalan 63

Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan 63

Arahan Pengelolaan Lahan Berbasis Daya Dukung Lahan 69

Rumusan Asumsi 69 pilihan penggunaan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007) 15 3.2 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap

kemampuan lahan 18

3.3 Matriks penilaian keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap

kemampuan lahan 19

3.4 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana

pola ruang RTRW 20

3.5 Contoh matriks penilaian keselarasan kemampuan lahan, rencana pola

ruang RTRW dan penggunaan lahan aktual 215

3.6 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik lahan

dan nilai ekonomi lahan 25

4.1 Nilai PDRB Kota Baubau setiap sektor berdasarkan harga berlaku pada

tahun 2010 dan 2011 28

5.1 Klasifikasi penggunaan lahan aktual Kota Baubau. 30

(15)

5.3 Luas kelas dan sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau 45 5.4 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terrhadap

kemampuan lahan 47

5.5 Luas dan rencana pola ruang RTRW Kota Baubau 48

5.6 Hasil evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap

kemampuan lahan 49

5.7 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana

pola ruang RTRW 52

5.8 Luas setiap kategori keselelarasan lahan dikota Baubau 53

5.9 Populasi jenis ternak/komoditi di Kota Baubau 59

5.10 Jenis dan jumlah pedagang kaki lima di ruang terbuka publik 62

5.11 Nilai land rent beberapa penggunaan lahan aktual 64

5.12 Status daya dukung lahan berdasarkan nilai ekononomi lahan setiap

kelurahan di Kota Baubau 68

5.13 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik

lahan dan nilai ekonomi lahan 71

5.14 Luasan lahan dengan status daya dukung berkelanjutan dan tidak

berkelanjutan perkelurahan 73

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka pikir penelitian analisis daya dukung lahan di Kota Baubau 5

3.1 Peta lokasi penelitian 13

3.2 Proses klasifikasi penggunaan lahan (land use) 14

4.1 Peta rencana pola ruang RTRW Kota Baubau 29

5.1 Peta penggunaan lahan Kota Baubau 31

5.2 Sebaran faktor pembatas kelerengan (a), sebaran faktor pembatas tekstur (b), sebaran faktor pembatas kedalaman tanah (c), dan sebaran faktor pembatas drainase (d) untuk analisis kemampuan lahan di Kota

Baubau 42

5.3 Kelas kemampuan lahan di Kota Baubau 43

5.4 Sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau 44

5.5 Evaluasi penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan 46 5.6 Evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan

lahan 50

5.7 Evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola

ruang RTRW 51

5.8 Evaluasi keselarasan kemampuan lahan, penggunaan lahan aktual dan

rencana pola ruang RTRW 55

5.9 Sebararan lahan terbangun dan non terbangun 65

5.10 Sebaran nilai ekonomi penggunaan lahan per kelurahan 67

5.11 Peta sebaran status daya dukung lahan setiap kelurahan di Kota Baubau 72

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas mengikuti Arsyad

(2010) 79

2 Contoh sub kelas kemampuan lahan pada satuan lahan homogen 80

3 Perhitungan daya dukung berdasarkan ketersediaan lahan 81

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Usaha untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan sangat ditentukan oleh sumberdaya alam diantaranya lahan. Lahan merupakan modal dasar berlangsungnya proses pembangunan. Meningkatnya populasi dan pembangunan memberikan tekanan terhadap lahan. Apalagi mayoritas penduduk Indonesia berusaha pada sektor pertanian. Oleh karena itu, kualitas sumberdaya lahan harus dijaga dari berbagai bentuk degradasi lahan yang dapat mengancam kemampuan dan produktivitas lahan. Upaya konservasi sumberdaya lahan mutlak diperlukan untuk mempertahankan kualitas lahan yang digunakan (Mahmudi 2002).

Peraturan Menteri (PERMEN) Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2009 menjelaskan bahwa lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfir, atmosfir, tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur. Permen tersebut kemudian menguraikan lebih lanjut bahwa setiap lahan memiliki karakteristik untuk menunjukkan daya dukung lingkungan (carrying capacity).

Daya dukung dalam pengertian yang luas dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem (lingkungan) untuk mendukung suatu aktivitas pada level tertentu. Definisi ini menyebabkan daya dukung tidak dapat dijelaskan secara tunggal dan sederhana. Secara umum telah banyak konsep yang dikembangkan untuk menjelaskan daya dukung diantaranya daya dukung fisik lingkungan (physical) dan daya dukung ekonomi (economic) (Rustiadi et al.

2009). Braithwaite et al. (2012) mendefinisikan daya dukung sebagai batasan kepadatan polulasi tertentu pada daerah dan waktu tertentu. Batasan ini sangat ditentukan oleh jumlah sumberdaya dan tingkat konsumsi.

Menurut Tilman (1982) segala sesuatu yang dikonsumsi oleh spesies berpotensi membatasi sumber daya yang dikonsumsi itu. Istilah konsumsi oleh Tilman digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang digunakan termasuk ruang yang didiami oleh organisme atau populasi tertentu. Berangkat definisi ini, Braithwaite et al. (2012) berpendapat bahwa ruang adalah sumber daya sebagai tempat untuk melakukan aktivitas (berkonsumsi).

Konsep diatas digunakan untuk menjelaskan daya dukung lahan secara fisik lingkungan dan daya dukung lahan secara ekonomi. Secara fisik lingkungan (ekologis), daya dukung lahan erat kaitannya dengan tata guna atau penggunaan lahan. Baja (2012) mengungkapkan bahwa penggunaan lahan berkelanjutan sangat ditentukan oleh cara pandang dan persepsi pengambil keputusan (decision maker) dan pengguna/pengelola lahan (land manager). Cara pandang itu berupa upaya perimbangan dan keadilan antara fungsi ekologi dan fungsi ekonomi penggunaan lahan.

(18)

2

pemanfaatan, pendapatan, keuntungan dan aspek ekonomik lainnya. Pada wilayah yang lebih luas, untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, analisis dapat dilakukan pada setiap unit land use atau unit administrasi yang lebih sempit yakni kecamatan dan desa.

Di daerah perkotaan, mengetahui daya dukung lahan sangatlah penting. Daya dukung lahan yang didekati dengan pendekatan ekologi dan ekonomi dapat membantu untuk mengetahui apakah penggunaan lahan lebih menitikberatkan pertimbangan ekologi atau ekonomi, atau kedua-duanya. Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Seto et al. (2011) dari 326 studi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan luasan wilayah perkotaan di dunia seluas 58,000 km2 dari tahun 1970 hingga 2000. Peningkatan luasan tersebut mendorong hilangnya lahan pertanian, kehutanan, mempengaruhi iklim setempat, fragmen habitat, dan mengancam keanekaragaman hayati menjadi penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi (Kumar 2009, Seto et al. 2011 dan Santos et al. 2014).

Lahan dalam konteks otonomi daerah memainkan peranan yang sangat penting. Secara ekonomi, sembilan sektor pembangunan daerah yang tertuang dalam PDRB daerah berbasis pada lahan. Pengaturan tata guna lahan sangat menentukan besaran sumbangan sembilan sektor tersebut terhadap PDRB. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor dalam PDRB daerah yang produktifitasnya ditentukan oleh produktifitas lahan.

Kota Baubau sebagai kota yang relatif masih muda dalam pengembangannya harus memperhatikan aspek daya dukung yang tertuang dalam perencanaan penggunaan lahan. Kota Baubau terbentuk menjadi daerah otonom pada tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan UU No 13 Tahun 2001. Wilayah Kota Baubau dengan total luas 29 313.96 ha awalnya memiliki empat kecamatan. Di tengah perjalanannya, di wilayah ini kemudian terbentuk tiga kecamatan baru yang merupakan pemekaran dari kecamatan yang sudah ada sebelumnya (Darmawan 2008).

Tertuang dalam dokumen RTRW kota Baubau, visi kota Baubau adalah terwujudnya kota Baubau sebagai kota budaya yang produktif dan nyaman, melalui optimalisasi sumberdaya lokal secara profesional dan amanah, menuju masyarakat sejahtera, bermartabat, dan religi. Upaya mewujudkan visi ini tentu saja sangat terkait erat dengan pola pengelolaan dan pemanfaatan lahan kota.

(19)

Rumusan Masalah

Daya dukung lahan dapat dijelaskan dengan dua pendekatan yakni pendekatan fisik lingkungan dan pendekatan ekonomi. Kedua pendekatan ini secara pragmatis sekaligus menjelaskan dua manfaat lahan yakni manfaat secara ekologi dan manfaat secara ekonomi. Pendekatan fisik lingkungan memberikan arahan ekologis dalam hal penggunaan lahan. Pendekatan fisik lingkungan menegaskan bahwa penggunaan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahannya. Produktivitas dan besaran manfaat lahan dapat diukur berdasarkan tingkat kemampuan lahan tersebut. Penekanan pada kemampuan lahan ini untuk memberikan jaminan bahwa penggunaan lahan tidak melampaui daya dukung lahan sehingga keberlanjutan dapat terjaga.

Pendekatan ekonomi memberikan gambaran tentang nilai lahan secara ekonomi (land rent). Dalam analisis land rent ada dua hal yang mempengaruhi nilai ekonomi lahan. Pertama adalah seberapa besar nilai produktifitas lahan tersebut. Ini yang biasa disebut recardian rent. Selain itu, faktor jarak dari pusat kota atau pertumbuhan juga mempengaruhi nilai land rent atau biasa disebut dengan locational rent. Idealnya kedua aspek tersebut dalam tata guna lahan harus berjalan seimbang dan simultan. Namun kenyataannya, seiring dengan laju pembangunan dan populasi manusia keseimbangan aspek ekologi dan ekonomi terhadap lahan sering terabaikan.

Trend penggunaan lahan di wilayah perkotaan mengarah untuk penggunaan lahan dengan nilai ekonomi tinggi (non pertanian dan kehutanan) seperti pemukiman, pemerintahan dan aktivitas ekonomi (Kumar 2009, Santos et al.

2014). Hal ini memang tersurat dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Selain itu, Jayadinata (1999) dan Martokusumo (2006) yang mengutip Levebre (1990) menegaskan bahwa kawasan perkotaan lebih diprioritaskan untuk kegiatan pemukiman, pemerintahan dan aktivitas ekonomi. Namun bukan berarti bahwa penggunaan lahan di wilayah perkotaan mengabaikan aspek daya dukung fisik lingkungan.

Ada beberapa alasan penting mengapa daya dukung harus diperhatikan dalam tata guna lahan. Pertama, untuk memastikan keberlanjutan lahan karena lahan memiliki karakter dan kapasitas maksimum untuk menampung kehidupan dan aktifitas tertentu. Jika ini terlampaui maka akan berdampak pada kerusakan lahan dan munculnya bencana alam. Kedua, banyaknya regulasi yang memberikan pedoman dalam tata guna lahan untuk tidak mengabaikan aspek daya dukung lingkungan. Ketiga, tidak semua wilayah perkotaan di Indonesia memiliki kondisi biofisik dan sosial yang sama. Masih banyak wilayah di Indonesia yang statusnya sebagai kota namun secara aktual masih mencirikan non perkotaan seperti didominasi oleh hutan dan pertanian. Hal ini juga didukung oleh regulasi dan kebijakan daerah untuk mempertahankan kualitas lingkungan hidup sekaligus sebagai komoditi andalan pada kota tersebut.

(20)

4

Kota Baubau memiliki laju populasi yang cukup tinggi yakni mencapai 3.23 % pertahunnya. Hal ini dikarenakan Kota Baubau memiliki akses yang cukup terbuka untuk dikunjungi sehingga mendorong terjadinya migrasi penduduk. Selain itu, Kota Baubau sejak masa kolonial Belanda sebagai center of network

dari wilayah kepulauan Sulawesi Tenggara (Rabani 2010). Kondisi ini meningkatkan permintaan ruang untuk pemukiman dan aktivitas ekonomi lainnya dan mendorong konversi lahan pertanian dan kehutanan.

Melihat penjelasan diatas, maka dibutuhkan arahan pengelolaan lahan yang terencana dengan baik. Dalam konteks tata guna lahan, perencanaan pengelolaan lahan harus memperhatikan keseimbangan daya dukung lahan secara ekologi dan secara ekonomi. Rencana pengelolaan tersebut harus tertuang dalam kebijakan. Dalam konteks kebijakan, pengaturan penggunaan lahan tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Untuk itu, RTRW harus memberikan arahan tata guna lahan dengan memperhatikan aspek daya dukung baik secara ekologi dan maupun secara ekonomi.

RTRW Kota Baubau memproyeksikan pola rencana penggunaan lahan hingga tahun 2030. Hal ini tentu saja memungkinkan perubahan penggunaan lahan terhadap penggunaan lahan saat ini. Jika dikaitkan dengan kemampuan lahan, apakah penggunaan lahan saat ini dan rencana penggunaan lahan dalam RTRW telah mempertimbangkan aspek kemampuan lahan. Sebaliknya pula, apakah penggunaan lahan tersebut secara ekonomi memiliki nilai yang cukup untuk menunjang populasi penduduk di Kota Baubau.

Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa pertanyaan yang dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan fisik lingkungan.

2. Bagaimana daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan ekonomi.

3. Bagaimana arahan penggunaan lahan di Kota Baubau dengan pendekatan daya dukung lahan.

Tujuan

Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan fisik lingkungan.

2. Menganalisis daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan ekonomi.

3. Menyusun arahan penggunaan lahan di Kota Baubau dengan pendekatan analisis daya dukung lahan.

Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

(21)

2. Bagi penentu kebijakan; menjadi sumbang saran yang konstruktif dalam menyusun rencana pembangunan khususnya perencanaan pengelolaan lahan dengan pendekatan daya dukung lahan.

3. Bagi praktisi; memberikan masukan dan referensi dalam pengelolaan lahan dengan pendekatan daya dukung lahan.

Kerangka Pemikiran

Adapun kerangka pikir penelitian ini adalah seperti pada diagram alir berikut:

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian analisis daya dukung lahan di Kota Baubau

2

TINJAUAN PUSTAKA

Daya Dukung (Carrying Capasity)

(22)

6

Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa terminologi daya dukung sulit ditafsirkan secara tunggal namun menyentuh konsep yang lebih luas. Konsep daya dukung yang telah banyak dikembangkan mencakup konsep daya dukung fisik (physical), daya dukung ekologis (ecological), daya dukung sosial (social) dan daya dukung ekonomi (economic). Ditinjau dalam perspektif lingkungan maka daya dukung mencakup dua komponen yaitu kapasitas penyediaan (supportive capasity) dan kapasitas tampung (assimilative capasity).

Konsep daya dukung tidak hanya digunakan untuk menjelaskan kasus populasi manusia. Hagy dan Kaminski (2015) menggunakan konsep daya dukung untuk memahami ekologi satwa liar kaitannya dengan keberlanjutan wilayah konservasi. Studi tersebut lebih fokus pada hewan liar jenis unggas di Mississippi Timur, Tennessee Barat dan lembah Mississippi, Amerika Serikat. Melalui konsep daya dukung, Hagy dan Kaminski menjelaskan jumlah dan jenis makanan beberapa jenis unggas dan area dalam mencari makanan.

Saat ini, daya dukung telah dipergunakan untuk mengukur keberlanjutan suatu wilayah. Keberlanjutan ini dikaitkan dengan ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan terhadap kebutuhan hidup manusia. Disini dilakukan perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan sumber daya, misalnya luas aktual lahan produktif. Luas areal yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia disebut jejak ekologi (ecological footprint). Jejak ekologi dapat dikaji dari luas aktual lahan produktif yang dihitung dengan memperbandingkan antara lahan tersedia atau akan tersedia dalam kurun waktu tertentu dan lahan yang dibutuhkan untuk menjamin kehidupan pada standar tertentu (Baja 2012).

Konsep ecological footprint pertama kali dikemukakan oleh Mathias Wackernagel dalam desertasinya yang berjudul Ecological Footprint and Appropriated Carrying Capacity: A Tool for Planning Toward Sustainability pada Universitas British Columbia Tahun 1994. Perhitungan daya dukung lingkungan hidup dilakukan terhadap dua aspek utama, yaitu lahan dan air. Aspek lahan menggunakan basis neraca bioproduk dan biokapasitas serta kemampuan lahan yang mengadopsi konsep ecological footprint dan kelas kemampuan lahan sedangkan aspek air mengadopsi konsep water footprint (Rustiadi et al. 2010).

Ada dua hal yang ingin didekati oleh ecological footprint. Pertama,

mengukur biaya total ekologis dalam area lahan dari supply seluruh barang (pertanian, pemukiman, jalan, dll) dan jasa kepada penduduk. Kedua, sebagai indikator keberlanjutan yaitu carrying capasity. Hal yang kedua ini daya dukung dimaknai sebagai jumlah populasi maksimum yang dapat didukung oleh luasan lahan tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan ecological footprint mengukur permintaan penduduk atas alam dalam satuan metrik (Rustiadi et al. 2010).

(23)

(EEF). Hasil studi menjelaskan bahwa lahan pertanian di Yuanzhou digunakan tidak berkelanjutan sejak tahun 1983.

Menurut Permen LH No. 17 tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah terdapat tiga pendekatan untuk mengukur daya dukung lingkungan yaitu 1) berdasarkan kemampuan lahan, 2) berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan lahan (neraca lahan), dan 3) berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan air (neraca air). Permen tersebut menegaskan bahwa untuk memenuhi daya dukung lingkungan maka setiap penduduk dalam wilayah harus terpenuhi menurut standar Kualitas Hidup Layak (KHL) yang disetarakan dengan pangan beras. Lebih lanjut disebutkan bahwa asumsi perkapita (orang/tahun) KHL yang harus dipenuhi adalah setara 1 ton beras.

Kelemahan dari Permen LH tersebut adalah tidak menjelaskan secara detail apa yang menjadi dasar penentuan KHL adalah setara dengan 1 ton beras. Selain itu, apakah setara 1 ton beras tersebut juga termasuk di dalamnya kebutuhan non pangan seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain sebagainya. Jika merujuk pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012 tentang Perubahan Penghitungan Kebutuhan Hidup Layak, maka cukup jelas bahwa definisi Kebutuhan Hidup Layak adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Selain ituKepmen tersebut juga menjabarkan komponen-komponen yang termasuk dalam KHL yaitu Makanan & Minuman 11 items, Sandang 13 items, Perumahan 26 items, Pendidikan 2 item, Kesehatan 5 items, Transportasi 1 item dan Rekreasi dan Tabungan 2 item. Komponen inilah yang menjadi dasar penentuan Upah Minimum Regional/Kabupaten/Kota (UMR/UMK). Dari sini dapat dimaknai bahwa asumsi KHL 1 ton beras menurut Permen LH dapat dianggap sama dengan komponen KHL menurut Kepmen Tenaga Kerja yang direfleksikan melalui nilai UMR/UMK.

Penggunaan Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya akibat dari berbagai kegiatan manusia baik di masa lalu maupun di masa sekarang seperti kegiatan reklamasi, penebangan hutan dan akibat merugikan lainnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

(24)

8

Terminologi penggunaan lahan (land use) sering pula dipersandingankan dengan istilah tutupan lahan (land cover). Land cover merujuk pada keadaan biofisik dari permukaan bumi dan lapisan di bawahnya. Land cover menjelaskan keadaan fisik permukaan bumi sebagai lahan pertanian, gunung atau hutan. Land cover adalah atribut dari permukaan dan bawah permukaan lahan yang mengandung biota, tanah, topografi, air tanah dan permukaan, serta struktur manusia. Sedangkan land use adalah tujuan manusia dalam mengeksploitasi land cover (Lambin et al. 2003).

Johnson dan Zuleta (2013) pernah mempersandingkan istilah Land Use Land Cover (LULC) untuk menjelaskan rusaknya keanekaragaman hayati di Ekoregion Espinal, Argentina. Penelitian terkait LULC tersebut dilakukan pada periode 1987-2001 dan 2001-2009 di dua daerah aliran sungai yang letaknya atau berdekatan dengan Espinal, salah satu ekoregion paling dilindungi dari Argentina. Mereka berhasil mendeteksi penurunan ekosistem hingga 20 % dan khususnya 60 % hutan asli telah hilang. Hal ini didorong oleh perubahan penggunaan lahan Ekoregion Espinal menjadi lahan pertanian dan peternakan.

Lambin et al. (2003) menjelaskan bahwa perubahan penggunaan lahan diakibatkan oleh adanya faktor-faktor pendorong (driving factors) seperti tekanan penduduk, faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi), teknologi, faktor kebijakan (policy), kelembagaan, budaya dan biofisik wilayah. Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan untuk menemukan penyebab (driver) yang mendorong terjadinya perubahan tersebut serta akibat atau dampak yang ditimbulkan. Beberapa alasan perubahan penggunaan lahan yaitu kelangkaan sumberdaya; perubahan kesempatan akibat pasar; intervensi kebijakan dari luar; hilangnya kapasitas adaptasi dan meningkatnya kerentanan; perubahan dalam organisasi sosial dalam akses sumberdaya dan dalam tingkah laku.

(25)

Kemampuan Lahan

Kemampuan lahan adalah '' kualitas '' lahan untuk menghasilkan tanaman yang umum dibudidayakan dan tanaman rumput untuk penggembalaan tanpa kerusakan selama periode waktu yang panjang (FAO, 1983). Berbeda dengan definisi Wells dalam Gad (2015) mendefinisikan kemampuan lahan sebagai kemampuan lahan untuk mendukung jenis penggunaan lahan tertentu tanpa menyebabkan kerusakan permanen. Kategori klasifikasi kemampuan lahan dibagi ke dalam kelas kemampuan dan sub kelas kemampuan lahan (Gad 2015). Kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas dan penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian yang umum (Arsyad 2010)

Tanah sebagai komponen utama dari sistem klasifikasi kemampuan lahan, mempertimbangkan keterbatasan tanah, risiko kerusakan ketika tanah digunakan, dan bagaiman cara tanah memberi respon terhadap perlakuan yang diberikan (Gad 2015). Klasifikasi kemampuan lahan menyediakan panduan untuk penilaian kendala tanah dan rekomendasi pengelolaan lahan untuk penggunaan di berbagai skala termasuk negara, DAS hingga tingkat perencanaan kawasan perumahan (Murphy et al. 2004). Di Indonesia sistem klasifikasi kemampuan lahan yang umum digunakan adalah sistim USDA (United State Departemen of Agriculture) karena sangat mudah dan sederhana, hanya memerlukan data tentang sifat-sifat fisik/morfologi tanah dan lahan yang dapat diamati di lapangan, tanpa memerlukan data tentang sifat-sifat kimia tanah yang harus dianalisis di laboratorium (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)

Menurut Arsyad (2010) intensitas faktor penghambat adalah menjadi faktor penentu pengklasifikasian kemampuan lahan. Menggunakan sistim USDA, tanah dikelompokkan menjadi delapan kelas dengan menggunakan angka romawi. Semakin tinggi kelas kemampuan menunjukkan semakin tinggi pula faktor penghambat dan ancaman kerusakan sehingga jenis dan intesitas penggunaannya semakin terbatas. Secara rinci setiap kelas kemampuan lahan dijelaskan oleh Arsyad (2010) sebagai berikut:

 Kelas I, lahan yang tidak mempunyai Tidak mempunyai atau hanya sedikit hambatan yang membatasi penggunaannya sehingga sesuai untuk berbagai penggunaan terutama pertanian. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: topografi datar, kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, tidak mengalami erosi, kedalaman efektif dalam, drainase baik, mudah diolah, kapasitas menahan air baik, subur, tidak terancam banjir dan iklim sesuai bagi pertumbuhan tanaman secara umum.

 Kelas II, lahan yang memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan sehingga mengurangi pilihan penggunaannya. Hal ini dapat menyebabkan perlu adanya tindakan konservasi yang sedang. Tindakan pengelolaan harus hatis-hati. Memiliki salah satu atau kombinasi faktor: lereng landai-berombak, kepekaan erosi sedang, kedalaman efektif sedang, struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, salinitas sedikit atau sedang, kadang terkena banjir, kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, dan keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan

(26)

10

khusus dan keduanya.. Mempunyai pembatas lebih berat dari kelas II dan jika dipergunakan untuk tanaman perlu pengelolaan tanah dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan. Hambatan membatasi lama penggunaan bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi dari pembatas tersebut. Hambatan dapat disebabkan: topografi miring-bergelombang, kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi, telah mengalami erosi sedang, dilanda banjir satu bulan tiap tahun selama lebih 24 jam, kedalaman dangkal terhadap batuan, terlalu basah, mudah diolah, kapasitas menahan air rendah, salinitas sedang, kerikil atau batuan permukaan tanah sedang, atau hambatan iklim agak besar

 Kelas IV, lahan yang memiliki hambatan dan ancaman kerusakan tanah lebih besar dari kelas III, dan pilihan tanaman juga terbatas. Perlu pengelolaan hati-hati untuk tanaman semusim, tindakan konservasi lebih sulit diterapkan. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: lereng miring-berbukit, kepekaan erosi tinggi, mengalami erosi agak berat, tanah dangkal, kapasitas menahan air rendah, selama 2-5 bulan dalam setahun dilanja banjir lebih dari 24 jam, drainase buruk, banyak kerikil atau batua permukaan, salinitas tinggi dan keadaan iklim kurang menguntungkan

 Kelas V , lahan yang tidak memiliki ancaman erosi tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak mudah untuk dihilangkan, sehingga membatasi pilihan penggunaannya. Terletak pada topografi datar-hampir datar tetapi sering terlanda banjir, berbatu atau iklim yang kurang sesuai.

 Kelas VI, lahan yang mempunyai faktor penghambat berat sehingga tidak sesuai untuk penggunaan pertanian. Memiliki pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor: lereng curam, telah tererosi berat, sangat dangkal, mengandung garam laut, daerah perakaran sangat dangkal atau iklim yang tidak sesuai.

 Kelas VII, lahan yang tidak sesuai untuk budidaya pertanian dengan penghambat berat dan tidak dapat dihilangkan yaitu: lereng curam dan atau telah tererosi sangat berat dan sulit diperbaiki

 Kelas VIII, lahan yang sebaiknya dibiarkan secara alami. Pembatas dapat berupa: lereng sangat curam, berbatu atau kerikil atau kapasitas menahan air rendah.

Land Rent

Land rent adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan balas jasa atas penggunaan lahan yang harus dibayarkan pada lahan (Rustiadi et al. 2009). Setiap jenis penggunaan lahan memiliki nilai land rent yang berbeda. Jenis penggunaan lahan dengan keuntungan komparatif tertinggi akan mempunyai porsi penggunaan terbesar. Hal ini dikarenakan lahan diarahkan pada kegiatan yang memberikan nilai land rent tertinggi. Dampaknya pada lahan pertanian meskipun lebih lestari kemampuannya menjamin kehidupan petani, tetapi hanya memberikan sedikit keuntungan finansial dibandingkan sektor industri, pemukiman dan jasa lainnya menyebabkan konversi lahan pertanian ke non pertanian tidak dapat dicegah (Arsyad dan Rustiadi 2008).

Kumar (2009) pernah melakukan studi yang berkaitan dengan land rent

(27)

Kumar menunjukkan bahwa selama periode tahun 1986-2004 telah terjadi perubahan penggunaan lahan pertanian ke sektor konstruksi. Alasannya adalah penggunaan lahan non pertanian memiliki nilai produktivitas ekonomi lebih tinggi dibanding pertanian.

Barlowe (1986) menjabarkan bahwa land rent dapat digunakan untuk menjelaskan tingkat perbaikan kualitas lingkungan. Perbaikan kualitas lingkungan ini berkaitan dengan tingkat kenyamanan (amenity) dari suatu lingkungan. Hal yang berkaitan dengan kenyamanan lingkungan tersebut antara lain pemandangan alam yang estetik, akses terhadap sumberdaya alam seperti sumber air, akses terhadap fasilitas dan layanan publik serta ruang rekreasi.

Analisis ekonomi lahan mengacu pada keunggulan komparatif atau efisiensi dari penggunaan lahan dari suatu kegiatan produktif. Efisien disini diartikan bahwa alokasi sumber-sumber ekonomi digunakan untuk kegiatan yang menghasilkan output dengan nilai ekonomi tertinggi. Faktor harga ekonomi mungkin bayangan dimana tidak menunjukkan harga yang sesungguhnya untuk mencerminkan beberapa manfaat secara sosial dari lahan (Rossiter 2004).

Pada mulanya land rent hanya terbatas untuk memberikan apresiasi atas nilai ekonomi lahan. Dalam perspektif yang lebih luas ternyata lahan tidak hanya memberikan manfaat secara ekonomi dalam arti nilai pasar semata (economic land rent) tetapi juga memberikan manfaat lainnya yaitu environment rent dan

social rent. Hanya saja, dalam mekanisme pasar kedua nilai tersebut tidak diperhitungkan sehingga memberikan gambaran yang bias terhadap land rent

(Arsyad dan Rustiadi 2008).

Baja (2012) menjelaskan bahwa ada empat parameter penting untuk penilaian keselarasan ekonomi lahan dalam perpektif penataan ruang dan tata guna lahan. Parameter tersebut adalah: 1) kualitas sumberdaya setempat (in-situ resource quality) yang disebut sebagai keselarasan penggunaan lahan dalam kaitannya biaya ekonomi. 2) keterjangkauan atau aksesibilitas (accessibility), 3)topologi ruang/lahan (topology) dan 4) ketersediaan lahan (availability).

Penjelasan yang diberikan oleh Rustiadi et al. (2009) bahwa economic rent

sebidang lahan atau ruang dapat dibedakan atas dua yaitu biaya intrinsik (intrinsic rent) dan biaya lokasional (locational rent). Biaya intrinsik adalah nilai yang terkandung dalam sebidang lahan seperti kesuburan dan topografinya sehingga mempunyai keunggulan produktivitasnya. Biaya ini biasa pula disebut ricardiant rent. Biaya lokasional adalah biaya yang dipengaruhi oleh oraganisasi spasial produksi. Faktor yang paling berpengaruh disini adalah jarak dengan menggunakan teori von Thunen.

Geographic Information System (GIS)

Salah satu perangkat lunak yang bisa digunakan untuk identifikasi dan analisis penggunaan lahan dalam menghitung daya dukung lahan adalah

(28)

12

satu kesatuan formal yang terdiri dari berbagai sumberdaya fisik dan logika untuk menganalisis berbagai objek yang ada dipermukaan bumi.

GIS merupakan sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang ter-referensi dengan kordinat spasial atau geografis. Upaya tata guna lahan ter-referensi spasial tersebut menjadi syarat utama. Dengan demikian GIS dianggap sebagai sistem pemetaan kelas tinggi yang dibutuhkan dalam setiap perencanaan tata guna lahan mulai dari perencanaan awal, inventarisasi informasi, analisis, manipulasi data hingga penyajian hasil untuk digunakan dalam dalam pengambilan keputusan (Baja 2012). Barus dan Wiradisastra (2000) menjabarkan bahwa GIS memiliki empat komponen utama yaitu: (1) data input yakni terkait upaya pengumpulan dan mempersiapkan data spasial dan atribut, (2) data manajemen yakni terkait pengorganisasian data dan atribut, (3) data manipulasi dan analisis yakni terkait manipulasi dan pemodelan data untuk menyajikan data sesuai dengan tujuan dan (4) data output yakni terkait upaya menghasilkan luaran seluruh atau sebagian data baik dalam bentuk softcopy, hardcopy atau berkas (file).

Saat ini GIS telah banyak dipergunakan dalam berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan dan kehutanan, bidang bisnis dan perencanaan pelayanan, bidang lingkungan, dan lain-lain (Barus dan Wiradisastra 2000). Bidang perencanaan tata guna lahan, GIS digunakan untuk berbagai aplikasi baik inventarisasi, deteksi, identifikasi, evaluasi dan pemantauan dimana hal ini telah disadari oleh para peneliti, perencana dan pengelola sumberdaya alam dan lingkungan bahwa GIS adalah perangkat yang sangat penting.

3

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Baubau, Propinsi Sulawesi Tenggara. Kota Baubau mencakup delapan kecamatan (Gambar 3.1) dengan total luas wilayah 29 313.96 ha. Waktu penelitian dilakukan selama enam bulan yakni sejak bulan April hingga bulan September 2014.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan adalah perangkat komputer yang dilengkapi dengan

Microsoft Office, Microsoft Excel, software pemetaan, kamera dijital, Global Positioning System (GPS) dan alat tulis-menulis.

Jenis dan Sumber Data Penelitian

(29)

Jenis data primer berupa hasil verifikasi lapangan terhadap hasil interpetasi citra. Selain itu data survey harga komoditi pertanian, komoditi perkebunan, komoditi peternakan, komoditi perikanan, komoditi kehutanan, sewa lahan/bangunan, aktivitas pedagang kaki lima dan kondisi fisik wilayah. Jenis data sekunder yang dibutuhkan adalah peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dari Badan Informasi Geospasial (BIG) skala 1:50 000, citra Quickbird tahun 2013 Kota Baubau, peta land system skala 1:250 000, dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Baubau, data Potensi Desa (PODES), data Baubau dalam angka, data Pendapatan Asli Daerah (PAD) data konstruksi jalan dan bangunan serta data penunjang lainnya.

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian

Analisis Data

Penelitian terdiri dari tiga tahap yakni: (1) menganalisis daya dukung lahan aktual dengan pendekatan fisik lingkungan (ekologi); (2) menganalisis daya dukung lahan aktual dengan pendekatan ekonomi (land rent); (3) menyusun arahan pengelolaan lahan di kota Baubau berbasis daya dukung lahan.

(30)

14

Intrepretasi Penggunaan Lahan (land use) Aktual

Intrepretasi citra dilakukan dengan menggunakan software pemetaan. Intrepretasi ini meliputi proses intrepretasi data penginderaan jauh (citra), klasifikasi peta penggunaan lahan dan pengamatan lapangan penggunaan lahan. Gambar 3.2 menunjukkan tahapan interpretasi citra.

Gambar 3.2 Proses klasifikasi penggunaan lahan (land use)

Intrepetasi citra merupakan kegiatan mengkajian terhadap foto udara atau citra satelit untuk mengidentifikasi objek dan menilai pentingnya objek tersebut. Intrepretasi kegiatan yang dilakukan berupa deteksi, identifikasi serta analisis. Interpretasi secara visual dilakukan dengan melihat pola, warna, tekstur, rona, kedekatan interpreter terhadap lokasi dan aspek lain. Proses ini akan menghasilkan poligon-poligon yang menunjukkan kelas penggunaan lahan.

Citra yang diinterpretasi terlebih dahulu dilakukan koreksi geometrik untuk menyesuaikan dengan titik koordinat sesungguhnya di bumi. Proses interpretasi citra dilakukan dengan dijitasi on screen. Hasil klasifikasi kemudian divalidasi dengan pengamatan di lapangan berdasarkan penggunaan lahannya dengan bantuan Global Positionong System (GPS) ataupun dengan bantuan google earth.

Kelas penggunaan lahan (land use) yang diidentifikasi di Kota Baubau berjumlah 24 kelas. Kelas penggunaan lahan tersebut yaitu badan air, bandara, bangunan Pemerintah, cagar budaya, hotel, hutan, jalan, kebun campuran, kklang pertamina, komersil, lahan terbuka, mangrove, padang rumput, pelabuhan, pemakaman, pemukiman, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, pusat pendidikan, ruang publik, ruang terbuka hijau, tambak, tempat ibadah dan terminal. Setiap kelas lahan dijabarkan lebih lanjut sesuai rona citra yang ditunjukkan, pola, sebaran, dinamika penggunaan lahan ataupun berdasarkan komoditi pada penggunaan lahan pertanian.

Analisis Kemampuan Lahan

Analisis kemampuan lahan mengacu pada sistem United State Departement

(31)

dan Goldsmith (1977). Namun pada dasarnya pengembangan sistem-sistem tersebut tetap mengacu pada sistem USDA dengan beberapa modifikasi (Baja 2012).

Merujuk sistem USDA, pembagian kelas kemampuan lahan pada penelitian ini menjadi delapan kelas kemampuan lahan. Tingkat kelas kemampuan lahan berhubungan atau berkorelasi dengan intensitas dan pilihan penggunaan lahan. Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan pilihan penggunaan lahan sebagaimana pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan pilihan penggunaan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)

Kemampuan lahan dengan kategori kelas dibagi menjadi sub kelas yang didasarkan pada jenis faktor penghambat atau ancaman dalam penggunaan lahan (Rustiadi et al. 2010). Indikator tersebut antara lain : (1) tekstur, (2) lereng permukaan, (3) drainase, dan (4) kedalaman efektif. Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas mengikuti Arsyad (2010) sebagaimana disajikan pada Lampiran 1.

Data sekunder yang digunakan adalah adalah peta land system skala 1:250.000 dan Rupa Bumi Indonesia (RBI) dengan skala 1 : 50.000. Faktor penghambar tekstur, drainase dan kedalaman tanah diperoleh dari land system, sedangkan untuk data kelerengan diperoleh dari RBI. Pengkelasan kelerengan pada RBI berbeda dengan kelas kelerengan yang diinginkan. Kondisi ini diantisipasi dengan pengolahan data kelerengan terlebih dahulu dengan mengubah data vektor kelerengan pada RBI menjadi data DEM (raster). Setelah itu dilakukan re-kelas pada kelerengan menjadi kelas kelerengan yang diinginkan. Data kelas kelerengan yang baru lalu diubah kembali menjadi data vektor.

Faktor penghambat tekstur, drainase dan kedalaman tanah diperoleh dari land system, sehingga data ini juga memiliki skala pemetaan 1 : 250 000. Skala tersebut belum setara dengan skala pemetaan kelerengan. Untuk itu, faktor penghambat tekstur, drainase dan kedalaman tanah didetailkan terlebih dahulu. Proses pendetailan dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang tersedia dan pengamatan lapangan.

(32)

16

empat peta dari setiap faktor penghambat ditumpangtindihkan dengan cara joint atribut. Hasilnya berupa poligon-poligon yang lebih detail, diperoleh dari perpotongan poligon-poligon dari peta faktor penghambat. Setiap poligon detail tersebut disebut satuan lahan homogen yang memiliki nilai tekstur, drainase, kedalaman tanah dan kelerengan. Contoh matriks sub kelas kemampuan lahan pada satuan lahan homogen sebagaimana disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan nilai tersebut setiap poligon dijustifikasi kelas kemampuan dan sub kelas kemampuan lahannya.

Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Rencana Pola Ruang

Terdapat empat evaluasi keselarasan lahan yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu: 1) evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan. 2) evaluasi keselarasan rencana pola ruang terhadap kemampuan lahan. 3) evaluasi penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang, dan 4) evaluasi kemampuan lahan, penggunaan lahan dan rencana pola ruang.

Evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang terhadap kemampuan lahan bertujuan untuk melihat keselarasan penggunaan lahan aktual dan pola ruang RTRW terhadap kelas kemampuan lahan di Kota Baubau. Hal ini dilakukan dengan cara menumpangtindihkan peta land use

dengan peta kemampuan lahan dan peta rencana pola ruang RTRW dengan peta kelas kemampuan lahan. Semakin besar ketidakselarasan maka semakin besar pula penyimpangan penggunaan lahan dan pola ruang terhadap kemampuan lahan. Hasil evaluasi ini digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam membangun skenario pengelolaan lahan di Kota Baubau.

Penentuan keselarasan terhadap kemampuan lahan memiliki pertimbangan. Pertama, pertimbangan ekologis yakni melihat sejauh mana dampak ekologis yang mungkin muncul dari faktor penghambat pada setiap kelas penggunaan lahan. Kedua, faktor biaya yang muncul akibat kerusakan ekologi atau untuk pelaksanaan kegiatan pada kelas penggunaan lahan.

Evaluasi keselarasan juga dilakukan antara penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang. Hal ini dilakukan untuk melihat tingkat konsistensi antara rencana pola ruang dengan penggunaan lahan aktual. Selain itu dapat dinilai kemungkinan diterapkannya pola ruang berdasarkan kondisi penggunaan lahan aktual.

Evaluasi keselarasan lahan terbagi atas tiga kondisi keselarasan yaitu: 1) selaras (S); 2) tidak selaras (TS); dan 3) selaras bersyarat (SB). Penentuan kondisi keselarasan dilakukan melalui tabel penilaian keselarasan. Penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan pada Tabel 3.2, penilaian keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan pada Tabel 3.3 dan penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang pada Tabel 3.4.

(33)

ditiadakan karena penilaian keselarasan lebih kompleks dibandingkan penilaian keselarasan sebelumnya dengan mempertimbangan aspek ekologi dan perencanaan (kebijakan, sosial dan ekonomi) dengan uraian sebagai berikut:

Selaras :  Aspek ekologis selaras pada kelas kemampuan lahannya

dengan memperhatikan faktor pembatas kelas kemampuan lahan. Keselarasan tersebut jika secara faktual atau diprediksi tidak akan memberikan dampak kerusakan lahan saat kegiatan dilakukan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

 Aspek perencanaan realistis untuk dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi lahan aktual baik dari aspek pembiayaan, lokasi administrasi dan stabilitas serta konflik sosial yang telah/sedang/mungkin terjadi.

Tidak selaras : Baik dari aspek lingkungan, kondisi faktual lahan dan perencanaan tidak selaras atau tidak bisa dilakukan. Memberikan dampak ekologi dalam jangka pendek dan panjang, biaya mahal, dan berpontensi konflik sosial.

Status selaras dan tidak selaras kemudian diuraikan lebih rinci menjadi 14 kategori yaitu sebagai berikut:

 S_1 (selaras_1) merupakan lahan secara ekologi selaras, penggunaan lahan aktual terbangun dan dalam rencana pola ruang RTRW juga merupakan lahan terbangun.

 S_2 (selaras_2) merupakan lahan secara ekologi selaras, penggunaan lahan aktual terbangun dan dalam rencana pola ruang RTRW direncanakan menjadi penggunaan lahan non terbangun.

 S_3 (selaras_3) merupakan lahan secara ekologi selaras, penggunaan lahan aktual non terbangun dan dalam rencana pola ruang RTRW direncanakan menjadi penggunaan lahan terbangun.

 S_4 (selaras_4) merupakan lahan secara ekologi selaras, penggunaan lahan aktual non terbangun dan dalam rencana pola ruang RTRW juga direncanakan menjadi penggunaan lahan non terbangun misalnya pertambangan.

 TS_1 (tidak selaras_1) merupakan lahan yang direncanakan menjadi lahan terbangun dan secara ekologis tidak selaras dengan kelas kemampuan lahannya.

 TS_2 (tidak selaras_2) merupakan lahan yang direncanakan menjadi lahan non terbangun dan secara ekologis tidak selaras dengan kelas kemampuan lahannya.

 TS_3 (tidak selaras_3) merupakan lahan dengan status kepemilikan privat, secara aktual merupakan lahan terbangun yang direncanakan menjadi lahan terbangun bersifat publik dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya pemukiman dan hotel menjadi perkantoran, fasilitas publik, fasilitas umum dan tambang.

(34)
(35)
(36)

20

Tabel 3.4 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang RTRW

(37)

Tabel 3.5 Contoh matriks penilaian keselarasan kemampuan lahan, rencana pola ruang RTRW dan penggunaan lahan aktual

(38)

 TS_5 (tidak selaras_5) merupakan lahan dengan status kepemilikan privat, secara aktual merupakan lahan non terbangun yang direncanakan menjadi lahan terbangun publik dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan kebun campuran direncanakan menjadi komersil, perkantoran, fasilitas umum dan fasilitas publik.

 TS_6 (tidak selaras _6) merupakan lahan dengan status kepemilikan privat, secara aktual merupakan lahan non terbangun yang direncanakan menjadi lahan non terbangun dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan kebun campuran direncanakan menjadi hutan, hutan kota, hutan lindung dan hutan produksi terbatas.

 TS_7 (tidak selaras_7) merupakan lahan dengan status kepemilikan publik, secara aktual merupakan lahan terbangun yang direncanakan menjadi lahan terbangun tetapi dengan fungsi yang berbeda dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya bangunan milik publik yang direncanakan menjadi pemukiman privat, sarana ibadah direncanakan menjadi terbangun lainnya dan jalan direncanakan menjadi terbangun lainnya.  TS_8 (tidak selaras_8) merupakan lahan dengan status kepemilikan publik, secara aktual merupakan lahan terbangun yang direncanakan menjadi lahan non terbangun dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya bangunan milik publik/pemerintah, sarana ibadah dan jalan direncanakan menjadi hutan, perkebunan, sawah dan wisata pantai.  TS_9 (tidak selaras_9) merupakan lahan dengan status kepemilikan publik,

secara aktual merupakan lahan non terbangun yang berfungsi lindung direncanakan menjadi lahan terbangun dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya hutan, badan air, taman, pemakaman, ruang terbuka hijau direncanakan menjadi perkantoran, fasilitas umum, fasilitas publik, pemukiman dan komersil.

 TS_10 (tidak selaras_10) merupakan lahan dengan status kepemilikan publik, secara aktual merupakan lahan non terbangun yang berfungsi lindung direncanakan menjadi lahan non terbangun berfungsi budidaya dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya badan air dan hutan direncanakan menjadi sawah, perkebunan dan hutan produksi terbatas.

Aspek lain yang dipertimbangan dalam penentuan keselarasan dan ketidakselarasan adalah lokasi unit lahan. Lokasi yang dimaksud disini adalah berupa lokasi administrasi baik desa/kelurahan maupun kecamatan. Aspek lokasi dianggap penting karena terkait sebaran penggunaan lahan untuk kepentingan perencanaan ruang. Selain itu untuk mengetahui daya dukung berdasarkan fisik lingkungan lahan kelas land use aktual dan rencana pola ruang RTRW, dilakukan melalui daya tampung dari beberapa kelas penggunaan lahan, yaitu:

Land use untuk pemukiman mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan bahwa luas lahan minimal yang dibutuhkan orang dewasa adalah 9.6m2

(39)

beras/orang/tahun. Dari sini dapat digunakan untuk menentukan luasan lahan pertanian untuk hidup layak perorang.

Land use untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) didasarkan pada konstribusi luasan terhadap ruang terbuka hijau publik (20%) berdasarkan Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan Analisis ekonomi lahan dilakukan pada kelas penggunaan lahan aktual. Kelas penggunaan lahan aktual yang dianalisis yaitu pertanian secara umum (pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, kebun campuran), peternakan, tambak, kehutanan, hotel, pemukiman, komersil, ruang terbuka publik, pelabuhan, bandara, pemakaman, terminal, pusat pendidikan, bangunan pemerintah, tempat ibadah, jalan dan lahan terbuka. Setiap kelas penggunaan lahan yang ada akan dilakukan perhitungan dan analisis land rent.

Land use pertanian, peternakan, tambak dan kehutanan dianalisis dengan menghitung produktivitas bersih (keuntungan ekonomi bersih) dari komoditi yang dihasilkan. Nilai tersebut diperoleh dengan mengetahui nilai produktivitas bruto/kotor yang dikurangi dengan biaya input produksi. Biaya angkut/transportasi juga menjadi variabel yang mempengaruhi nilai produktivitas bersih (keuntungan ekonomi bersih).

Land use hotel dianalisis dengan jumlah pemasukan tahun aktual berdasarkan jumlah tamu/pengunjung yang dikurangi dengan biaya pengelolaan pada tahun actual 2013.

Land use pemukiman dianalisis berdasarkan aktivitas ekonomi pada penggunaan lahan pemukiman. Terdapat dua aktivitas ekonomi pada penggunaan lahan pemukiman yaitu penyewaan rumah kost dan industri kecil rumah tangga. Data rumah kost diperoleh melalui survey dengan melihat sebarannya untuk menentukan sampel. Data industri kecil rumah tangga diperoleh dari data sekunder Dinas Perindustrian,Perdagangan, Koperasi dan UKM Kota Baubau.

Land use komersil dianalisis dengan mengambil sample bangunan ruko di penggunaan lahan komersil. Sample tersebut ditentukan dengan memperhatikan sebaran penggunaan lahan komersil. Hasil analisis sample

digunakan untuk memproyeksikan nilai ekonomi total penggunaan lahan komersil sesuai dengan luas penggunaan lahan tersebut. Nilai ekonomi ruko ditentukan berdasarkan sewa bangunan.

Land use ruang terbuka publik nilai ekonominya dianalisis berdasarkan aktivitas ekonomi pada penggunaan lahan ruang terbuka publik. Aktivitas ekonomi pada penggunaan lahan ruang terbuka publik di Kota Baubau berupa aktivitas pedagang kaki lima, yaitu: 1) pedagang gorengan dan minuman, 2) pedagang makanan (bakso, soto, ayam goreng, dll), 3) pedagang elektronik dan musik, 4) pedagang aksesoris, dan 5) pedagang dan penyewaan mainan anak-anak. Para pedagang tersebut didata untuk diketahui biaya modal, pendapatan ekonomi kotor dan pendapatan ekonomi bersih perbulan dan pertahunnya.

(40)

24

Jumlah orang dan barang yang masuk tidak dihitung karena aktivitas belanja barang dan tiket tidak dilakukan di Kota Baubau.

Land use pemakaman dan terminal nilai ekonominya ditentukan berdasarkan jumlah pemasukan retribusi pada tahun aktual 2013. Data tersebut diperoleh melalui Kantor Dinas Pendapatan dan Keuangan Daerah Kota Baubau.

Land use pusat pendidikan, bangunan pemerintah, tempat ibadah dan jalan, nilai ekonominya didasarkan pada nilai statis. Nilai statis merupakan nilai yang dibutuhkan untuk membangun konstruksi persatuan luas tertentu. Data nilai tersebut diperoleh dari hasil indepth interview kepada pelaku usaha jasa konstruksi.

Hasil analisis nilai ekonomi lahan bersih selanjutnya dibandingkan dengan nilai Kualitas Hidup Layak (KHL) yang setara 1 ton beras per kapita (Rustiadi et al. 2010). Hasil perbandingan tersebut menunjukkan tingkat daya dukung lahan dengan pendekatan ekonomi untuk penggunaan lahan aktual. Nilai ekonomi lahan dibagi menjadi 2 kategori yaitu memenuhi daya dukung ekonomi dan tidak memenuhi daya dukung ekonomi. Penentuan kategori dilakukan melalui perbandingan antara nilai ekonomi lahan dengan nilai Kualitas Hidup Layak (KHL) perkapita, dengan asumsi sebagai berikut:

 Memenuhi daya dukung ekonomi jika nilai ekonomi lahan dibandingkan dengan nilai KHL hasilnya lebih besar dari jumlah populasi pada satuan wilayah administrasi.

 Tidak memenuhi daya dukung ekonomi jika nilai ekonomi lahan dibandingkan dengan nilai KHL hasilnya lebih kecil dari jumlah populasi pada satuan wilayah administrasi.

Satuan wilayah administrasi yang digunakan dalam pemetaan ini adalah unit desa/kelurahan.

Menyusun Arahan Pengelolaan Lahan Di Kota Baubau Berbasis Daya Dukung Lahan

Arahan pengelolaan ini diharapkan menjadi saran perbaikan ataupun pelaksanaan dokumen RTRW kota Baubau hingga tahun 2030. Rumusan arahan pengelolaan dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil analisis daya dukung lahan secara fisik lingkungan dan ekonomi. Arahan pengelolaan lahan di Kota Baubau dilakukan dengan membangun skenario pengelolaan lahan berbasis daya dukung lahan.

Proses perumusan arahan pengelolaan lahan dimulai dengan melakukan tumpang tindih (overlay) peta hasil evaluasi keselarasan fisik lahan (kemampuan lahan, penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang) dengan peta nilai ekonomi lahan (land rent). Hasil tumpang tindih menggambarkan status daya dukung lahan di Kota Baubau yang didasarkan pada matriks penilaian pada Tabel 3.6. Terdapat dua penilaian status daya dukung lahan di Kota Baubau yaitu berkelanjutan (B) dan tidak berkelanjutan (TB).

(41)

adalah aspek ekologi, sosial ekonomi dan perencanaan. Hasilnya berupa peta tematik arahan pengelolaan lahan di Kota Baubau.

Tabel 3.6 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik lahan dan nilai ekonomi lahan

Secara administrasi Kota Baubau merupakan bagian dari Propinsi Sulawesi Tenggara. Namun secara ekologi daratan Kota Baubau terpisah dari Pulau Sulawesi yakni terletak di daratan Pulau Buton bagian selatan. Sejak tahun 1982 Kota Baubau merupakan kota administratif (KOTIF) dari Kabupaten Buton. Kota Baubau mekar menjadi kotamadya pada tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan UU No 13 Tahun 2001.

Awal pemekarannya, Kota Baubau hanya terdiri dari empat kecamatan yaitu Kecamatan Bungi, Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Wolio dan Kecamatan Betoambari. Seiring perkembangannya dimekarkan tiga kecamatan baru yakni Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Bungi. Sementara Kecamatan Betoambari wilayahnya dibagi hingga mekarlah Kecamatan Murhum. Saat ini baru saja dibentuk kecamatan kedelapan yakni Kecamatan Batu Poaro merupakan pecahan dari Kecamatan Murhum.

Gambar

Tabel 3.2 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan
Tabel 3.3 Matriks penilaian keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan
Tabel 3.5 Contoh matriks penilaian keselarasan kemampuan lahan, rencana pola ruang RTRW dan penggunaan lahan aktual
Tabel  3.6 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik lahan dan nilai ekonomi lahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Telur yang masih baru kemudian diawetkan dengan larutan ekstrak kulit manggis , sesuai dengan perlakuan tertentu dan kemudian dianalisa untuk menentukan nilai haugh

Selain menerapkan pembagian fifty-fifty, dari ketujuh perkara yang dianalisis tentang gugatan harta bersama oleh isteri yang tidak bekerja terhadap suami yang bekerja

lingkungan kabupten, kota dan propinsi dengan materi perkembangan teknologi. Metode Explicit Intructions ini untuk meningkatkan hasil belajar IPS yang dapat

Berdasarkan penelitian yang relevan oleh Sigit Setiawan, (2014) dengan judul Skripsi Pengembangan LKS Berorientasi Guided Discovery pada Materi Termokimia di SMAN 5 Banda

Menurut Azwar (1999) daya deskriminasi yang digunakan dalam menganalisis aitem yaitu > 0,30. Aitem yang memiliki skor daya diskriminasi aitem kurang dari 0,30

Penelitian ini menggunakan penginderaan jauh dalam pengumpulan data-data yang berkaitan dengan variabel potensi penyebab banjir, dan didukung oleh Sistem Informasi

Seperti telah diketahui bahwa yang dilarang dalam undang-undang ini adalah praktek monopoli yang memusatkan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha yang

mahasiswa dapat melaporkannya ke Staf Administrasi Jurusan Teknologi Pertanian Faperta UNSOED, atau dengan kata lain bahwa sebagai pedoman pelaksanaan ujian, mahasiswa harus