• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN

KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BANTEN

NINDYA ULFILIANJANI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

NINDYA ULFILIANJANI. Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran keberhasilan dari pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat kemiskinan yang rendah mengindikasikan bahwa suatu daerah memiliki kesejahteraan masyarakat yang baik. Untuk memperoleh kondisi tersebut, diperlukan peran pemerintah dengan melakukan belanja daerah yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan perkembangan belanja pemerintah daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Banten dan menganalisis pengaruh belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Banten. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan data panel pada 8 kabupaten dan kota di Provinsi Banten dalam kurun waktu tahun 2009 hingga tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja pemerintah daerah terus meningkat. Berdasarkan model dalam analisis, belanja barang dan jasa dan belanja modal berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan.

Kata Kunci : belanja daerah, data panel, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi

ABSTRACT

NINDYA ULFILIANJANI. The Influence of Government Expenditure on Economic Growth and Poverty in Regency/City of Banten Province. Supervised by BAMBANG JUANDA.

Economic growth is one measure of economic development. The high economic growth and low poverty indicates that an area has good public prosperity. To get the high economic growth and low poverty required the maximum role of government, by government expenditure. The purpose of this study was to explain the development of government expenditure and analyzed the influence of government expenditure on economic growth and poverty in Banten Province. This research uses descriptive method and panel data on 8 districts/cities in Banten Province in the periode of 2009-2012. The result indicate that the government expenditure in Banten Province always increase. Based on the model in analysis, goods and service expenditure and capital expenditure have a positive effect and significant contributions to the regional economic growth and also have a negative effect and significant contributions to the poverty.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN

KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BANTEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(6)
(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini adalah Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. selaku pembimbing yang telah sabar dan selalu memberi arahan kepada penulis, kepada Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. sebagai dosen penguji utama dan Bapak Dr. Muhammad Findi, M.E. sebagai dosen dari komisi pendidikan yang telah bersedia menguji penulis dan memberi masukan yang bermanfaat bagi perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.

Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayahanda Ikarianto Haryadi, ibunda Neni Isnaeni, adik Tyanka Pujisyadzani serta seluruh keluarga yang telah memberikan kasih sayang, doa serta dukungan kepada penulis. Terima kasih untuk teman satu bimbingan Efita, Elli, Gagas dan Lundu yang selalu berdiskusi dan memberi masukan selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih kepada sahabat-sahabat SMA Zahra, Dessy, Okristiana, Mutiara, Faitha, Yessie dan Nabila yang selalu memberi nasihat dan motivasi selama penyusunan skripsi. Terima kasih juga kepada sahabat-sahabat Irgandhini, Rengganis, Dita, Feby, Rahman, Penny, Rahayu, Hardyani, Ayu, Afanina, Nabilah, Cynthia, Fitria, Elis, Selly, Meliana, Ema, Riana, Uke, Chika dan Dwi yang telah tulus membantu, memberi nasihat serta dukungan selama masa perkuliahan. Teman-teman Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan 47, teman-teman TPB A.21, HIPOTESA FEM IPB 2013 dan PSM IPB Agria Swara terima kasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

METODE PENELITIAN 10

Jenis dan Sumber Data 10

Metode Pengolahan dan Analisis Data 10

GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN 15

HASIL DAN PEMBAHASAN 18

Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Banten 18

Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten 20

Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Banten 22 Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi 25 Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kemiskinan 28

SIMPULAN DAN SARAN 31

Simpulan 31

Saran 32

DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 34

(11)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan sumber data 10

2 Jumlah penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012 16 3 Penduduk bekerja, pengangguran, jumlah angkatan kerja dan bukan

angkatan kerja Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2012 17 4 Persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun

2009-2012 20

5 Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2) Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012 21 6 Uji model pertumbuhan ekonomi terbaik (Pooled Least Square, Fixed

Effect Model, dan Random Effect Model) 25

7 Hasil estimasi Fixed Effect Model pada model pertumbuhan ekonomi 27 8 Uji model kemiskinan terbaik (Pooled Least Square, Fixed Effect

Model, dan Random Effect Model) 29

9 Hasil estimasi Random Effect Model pada model kemiskinan 30

DAFTAR GAMBAR

1 Pertumbuhan ekonomi 6 Provinsi di Pulau Jawa tahun 2009-2012 1 2 Perkembangan persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di

Provinsi Banten dan Nasional tahun 2009-2012 2

3 Realisasi belanja daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun

2009-2012 3

4 PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga Konstan

2000 tahun 2009-2012 18

5 Distribusi PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2012 19 6 Struktur alokasi belanja pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten

tahun 2012 22

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Uji Chow pada model Pertumbuhan Ekonomi 34 2 Hasil Uji Hausman pada model Pertumbuhan Ekonomi 35 3 Hasil Estimasi pada model Pengaruh belanja Daerah terhadap

Pertumbuhan Ekonomi dengan model Fixed Effect 36 4 Hasil Uji Multikolinearitas pada model Pertumbuhan Ekonomi 37 5 Hasil Uji Normalitas pada model Pertumbuhan Ekonomi 37

6 Hasil Uji Chow pada model Kemiskinan 38

7 Hasil Uji Hausman pada model Kemiskinan 39

8 Hasil Estimasi pada model Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kemiskinan Provinsi Banten dengan model Random Effect 40 9 Hasil Uji Multikolinearitas pada model Kemiskinan 41

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan ekonomi daerah merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan ekonomi nasional yang tujuannya mendorong kemampuan daerah mengelola sumber daya ekonomi untuk kemajuan daerah itu sendiri dan kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah merupakan strategi dalam pembangunan daerah yang sesuai dengan perkembangan dan kondisi masyarakat Indonesia yang berazas demokrasi. Otonomi daerah memiliki hubungan yang erat dengan desentralisasi fiskal dalam mencapai efektifitas pelayanan publik. Hal ini diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah, yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, yang memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tujuan dan ukuran keberhasilan dari pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan ekonomi akan memperlancar proses pembangunan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat ditunjukan oleh nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Pulau Jawa merupakan pulau yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB Indonesia. Tahun 2009 kontribusi Pulau Jawa terhadap PDB Indonesia sebesar 58.6%, lalu kontribusinya menurun menjadi 58.1% pada tahun 2010 dan 57.59% di tahun 2011. Tahun 2012 kontribusinya kembali meningkat menjadi 57.63%. Tingginya kontribusi Pulau Jawa terhadap PDB nasional didukung oleh laju pertumbuhan ekonomi enam provinsi di Pulau Jawa, terutama Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Seperti yang terlihat pada Gambar 1, pertumbuhan ekonomi keenam provinsi di Pulau Jawa cenderung mengalami peningkatan. Pertumbuhan ekonomi

Sumber: Badan Pusat Statistik RI, 2013 (diolah).

Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi 6 Provinsi di Pulau Jawa tahun 2009-2012

(14)

2

Provinsi Banten mengalami penurunan di tahun 2012 dan berada di peringkat ke 5 setelah Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Nilai persentase yang relatif kecil dibandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Jawa, menunjukkan bahwa Provinsi Banten belum dapat memberikan kontribusi yang maksimal untuk Pulau Jawa.

Selain pertumbuhan ekonomi, aspek pembangunan lainnya yang menjadi fokus pemerintah daerah adalah kemiskinan. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah menempatkan penurunan kemiskinan sebagai salah satu prioritas pembangunan. Persentase penduduk miskin di Banten mengalami penurunan sejak tahun 2009 hingga tahun 2012, namun angkanya masih relatif kecil. Nilai persentase penduduk miskin Kota Tangerang Selatan pada tahun 2012 merupakan yang terendah sebesar 1.33%, sementara Kabupaten Pandeglang memiliki nilai persentase penduduk miskin tertinggi sebesar 9.27%. Masih tingginya angka kemiskinan ini menunjukkan bahwa program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah belum mampu untuk menjangkau masyarakat miskin.

Salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan adalah meningkatkan jumlah belanja pemerintah daerah. Belanja pemerintah daerah merupakan bentuk stimulus yang dilakukan pemerintah untuk memacu perkembangan perekonomian daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan implementasi dari otonomi daerah, sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih luas untuk mengelola sumber penerimaan dan melakukan pembelanjaan yang sesuai dengan tujuan pembangunan daerah. Peningkatan jumlah belanja daerah idealnya disertai

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).

Gambar 2 Perkembangan persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi Banten dan Nasional tahun 2009-2012

(15)

3 dengan peningkatan program pencapaian pembangunan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Realisasi belanja Provinsi Banten pada Gambar 2 menunjukkan perkembangan jumlah belanja pemerintah yang terus meningkat setiap tahunnya. Alokasi belanja pegawai masih mendominasi belanja pemerintah dan alokasinya lebih besar dibandingkan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Belanja modal yang diharapkan dapat memacu perkembangan pembangunan ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan ternyata masih memiliki proporsi yang kecil meskipun mengalami peningkatan setiap tahun, sehingga peningkatan jumlah belanja daerah belum dapat optimal mendukung pembangunan. Dapat dilihat pada Gambar 3, realisasi belanja modal pada tahun 2010 mengalami penurunan karena dilakukan penghematan sebagian alokasi belanja modal untuk membiayai belanja pegawai. Menurut Kementrian Keuangan, penghematan idealnya dilakukan dengan tidak memotong belanja modal dengan jumlah besar atau meminimumkan pemotongan belanja modal. Seharusnya penghematan dilakukan dengan mengurangi alokasi belanja barang dan jasa.

Perumusan Masalah

Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat tergantung pada kebijakan pemerintah daerah melalui alokasi belanjanya. Seharusnya alokasi belanja modal dan belanja barang dan jasa di era desentralisasi ini memiliki porsi yang lebih besar, karena kedua belanja tersebut merupakan belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah (Kemenkeu 2011). Selain itu, peningkatan jumlah belanja pemerintah Provinsi Banten tidak memberikan dampak yang sama pada laju pertumbuhan ekonomi Banten, yang justru menurun di tahun 2012.

Ketika penurunan angka kemiskinan dikaitkan dengan besarnya pengeluaran yang direalisasikan, kenyataannya hal ini tidak sesuai karena penurunan angka kemiskinan di Banten sangatlah kecil apabila dibandingkan dengan anggaran yang

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).

(16)

4

disediakan. Seharusnya belanja daerah yang berkualitas diharapkan dapat mendukung pemerataan pembangunan dan terselenggaranya pelayanan publik sesuai dengan tujuan desentralisasi. Ketidakselarasan antara pengeluaran pemerintah dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Banten ini yang menjadi masalah dalam penelitian.

Apabila tujuan utama anggaran pemerintah untuk pembangunan ekonomi, maka kualitas belanja daerah seharusnya menjadi aspek yang perlu dipenuhi. Jika proses pembangunan dapat berjalan dengan semestinya, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan persentase penduduk miskin mengalami penurunan sehingga dapat memacu pembangunan daerah. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, permasalahan pokok yang muncul untuk dianalisis dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perkembangan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan belanja pemerintah daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Banten?

2. Bagaimana pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Banten?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan perkembangan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan perkembangan belanja pemerintah daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Banten. 2. Menganalisis besarnya pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap

pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Banten. Manfaat Penelitian

Di samping untuk menjawab permasalahan yang ada, adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan fiskal pemerintah maupun instansi terkait di Provinsi Banten.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan yang dapat memberi manfaat bagi pembacanya.

3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian berikutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

(17)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Ekonomi

Menurut Bappenas (1999) Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumber daya, informasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan global. Selanjutnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata dan berkeadilan. Pembangunan juga dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan peningkatan kualitas hidup manusia yang merupakan perubahan perubahan ekonomi dan sosial.

Menurut Todaro dan Smith (2006) Perubahan ekonomi dan sosial dapat dicapai dengan cara yang berbeda tergantung dari tujuan pembangunan tersebut. Pada umumnya tujuan pembangunan mencangkup hal-hal pokok seperti meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat, meningkatkan kesempatan kerja, dan meningkatkan pembangunan antar daerah. Salah satu ukuran yang digunakan untuk melihat keberhasilan suatu pembangunan ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan.

Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian makro adalah penambahan nilai Produk Domestik Bruto riil (PDB) atau peningkatan pendapatan nasional. Badan pusat statistik menggunakan pendekatan PDB dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk menggambarkan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah yang mencerminkan pertumbuhan ekonomi. PDRB dihitung dengan dua cara, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan.

Menurut Todaro (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kapasitas produksi dalam suatu perekonomian secara terus menerus sepanjang waktu untuk menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin besar. Terdapat tiga faktor utama dalam menentukan pertumbuhan ekonomi, yaitu:

1. Akumulasi modal, merupakan semua bentuk investasi baru yang ditanamkan seperti tanah, peralatan listrik serta sumber daya manusia melalui peningkatan di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan.

2. Pertumbuhan jumlah penduduk, yang akan menyebabkan pertumbuhan angkatan kerja

(18)

6

Kemiskinan

Kemiskinan menurut Mudrajad Kuncoro (2000) adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Permasalahan standar hidup yang rendah berkaitan pula dengan jumlah pendapatan yang sedikit, perumahan yang kurang layak, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang buruk, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah sehingga berakibat pada rendahnya sumber daya manusia dan banyaknya pengangguran. Tingkat standar hidup dalam suatu negara bisa diukur dari beberapa indikator antara lain Gross National Product (GNP) per capita, pertumbuhan relatif nasional dan pendapatan per kapita, distribusi pendapatan nasional, tingkat kemiskinan, dan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Todaro (2006) menjelaskan bahwa kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut didefinisikan sebagai ketidakmampuan pemenuhan sumberdaya pokok untuk kesejahteaan, termasuk makanan, air, perumahan, tanah, kesehatan dan pendidikan. Sementara kemiskinan relatif merupakan kondisi yang disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang belum dapat menjangkau masyarakat secara merata sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan.

Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan kebutuhan dasar untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup minimal tersebut adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2,100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi.

Pengeluaran Pemerintah Daerah

Pengeluaran pemerintah merupakan suatu tindakan untuk mengatur jalannya perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran pemerintah setiap tahunnya, yang tercermin dalam dokumen Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk nasional dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk daerah. APBD merupakan acuan bagi pemerintah dalam melaksanakan kegiatan ekonomi ke depan yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Alokasi anggaran ke dalam pos-pos pengeluaran akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian. Pengeluaran pemerintah merupakan proxy terhadap kebutuhan daerah yang diperlukan untuk menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan, pengeluaran yang menyediakan polisi dan tentara, pengeluaran gaji untuk pegawai pemerintah, dan pengeluaran untuk mengembangkan infrastruktur yang dibuat untuk kepentingan masyarakat.

(19)

7 tidak langsung merupakan belanja yang tidak digunakan secara langsung oleh pelaksanaan program dan kegiatan yang terdiri atas belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Sementara belanja langsung merupakan belanja yang digunakan untuk pelaksanaan program dan kegiatan yang terkait secara langsung. Belanja langsung merupakan pengeluaran yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan fisik dan non fisik, yang terdiri atas:

1. Belanja Pegawai. Merupakan belanja kompensasi baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan kepada Pejabat Negara, PNS dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.

2. Belanja barang dan jasa. Merupakan pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja barang ini terdiri dari belanja pengadaan barang dan jasa-jasa, belanja pemeliharaan, dan belanja perjalanan.

3. Belanja modal. Merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang dilakukan dalam rangka memperoleh atau menambah asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain, belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan belanja modal fisik lainnya.

Dalam konsep makroekonomi dan pembangunan ekonomi, PDB(Y) terdiri dari konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan net ekspor (X-M) atau (Y = C + I + G + (X-(X-M)). Belanja pemerintah mengarah kepada konsumsi (C).

Teori Pengeluaran Pemerintah

(20)

8

pengeluaran pemerintah akan mendorong peningkatan permintaan barang dan jasa secara agregat sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.

Model Rostow dan Musgrave

Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi lebih besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan sarana dan prasarana, seperti misalnya pendidikan, kesehatan, dan prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik.

Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow menyatakan bahwa pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.

Penelitian Terdahulu

Sodik (2007) dalam penelitiannya menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di 26 provinsi Indonesia. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi data panel dengan metode fixed effect model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi pemerintah, konsumsi pemerintah, tenaga kerja dan tingkat keterbukaan ekonomi provinsi memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional, namun variabel investasi swasta tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Siti Anni Makhrifah (2010) melakukan penelitian untuk menganalisis pengaruh pengelolaan keuangan daerah terhadap pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan metode analisis Vector Auto Regressive (VAR). Berdasarkan hasil penelitiannya, belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan IPM baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sementara belanja pegawai hanya berpengaruh dalam jangka pendek. Belanja pegawai dan belanja lain berpengaruh positif terhadap kemiskinan, artinya jika jenis belanja ini naik maka kemiskinan juga akan naik.

(21)

9 pertumbuhan ekonomi. Sementara itu variabel angkatan kerja tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

Haryanto (2013) dalam penelitiannya menganalisis mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data panel dengan metode fixed effect model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk belanja langsung dan belanja tidak langsung secara bersama-sama berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kerangka Pemikiran

Menciptakan pembangunan yang merata merupakan tujuan akhir dari desentralisasi fiskal. Agar dapat menciptakan pembangunan tersebut, diperlukan komposisi belanja daerah yang berkualitas agar penyerapan dana pemerintah dapat mendorong aspek-aspek pembangunan secara stabil dan merata. Dengan keleluasaan kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya, diharapkan pemerintah daerah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi persentase penduduk miskin. Hal inilah yang menjadi panduan untuk menganalisis pengaruh belanja daerah terhadap pembangunan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Banten. Sistematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Kerangka pemikiran

Analisis Deskriptif dan Data Panel Desentralisasi Fiskal

Pendapatan Pemerintah Belanja Pemerintah

Belanja Pegawai

Belanja Modal

Belanja Barang dan Jasa

(22)

10

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak dimasukkan ke dalam penelitian

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

1. Belanja Modal dan belanja barang dan jasa diduga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara positif dan mempengaruhi persentase penduduk miskin secara negatif.

2. Belanja pegawai diduga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara negatif dan mempengaruhi persentase penduduk miskin secara positif.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dengan yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Kementrian Keuangan. Data cross section yang digunakan terdiri dari 8 kabupaten dan kota di Provinsi Banten serta data time series tahunan periode 2009 hingga 2012. Referensi pendukung lainnya berupa buku, jurnal, dan artikel diperoleh dari Perpustakan BPS, Perpustakaan IPB dan internet yang relefan dengan penelitian ini.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum hasil penelitian secara sederhana dalam bentuk gambar dan tabel. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perkembangan belanja pemerintah daerah serta perkembangan pertumbuhan ekonomi dan

Tabel 1 Jenis dan sumber data

Jenis Data Sumber

Belanja Pegawai Kemenkeu: Realisasi APBD

Belanja Modal Kemenkeu: Realisasi APBD

Belanja Barang dan Jasa Kemenkeu: Realisasi APBD

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BPS Provinsi Banten Atas Dasar Harga Konstan 2000

(23)

11 kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Banten dalam kurun waktu tahun 2009 hingga tahun 2012.

Analisis kuantitatif data panel digunakan untuk menganalisis pengaruh belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Banten. Pengolahan data panel dilakukan menggunakan software Microsoft Excel dan Eviews 6. Menurut Gujarati (2005), data panel (pooled data) merupakan gabungan antara data time series dan data cross section. Data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap satu individu dan data cross section merupakan data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu. Menurut Baltagi (2005), penggunaan data panel dapat mengendalikan heterogenitas data individual, dapat menyajikan data yang lebih informatif, bervariasi, memiliki kolineritas antar variabel yang kecil, memiliki derajat kebebasan yang lebih besar, dan lebih efisien. Data panel juga lebih unggul dalam mengidentifikasi dan mengestimasi efek yang tidak terdeteksi secara sederhana pada model cross section dan model time series. Data panel lebih sesuai untuk menguji model perilaku yang kompleks dibandingkan dengan model data cross section dan model time series.

Terdapat tiga teknik yang dapat digunakan untuk mengestimasi data panel, yaitu Pooled Least Square, metode efek tetap atau Fixed Effect dan metode efek acak atau Random Effect. Gujarati (2003)

1. Metode Pooled Least Square (PLS)

Metode PLS merupakan metode yang paling sederhana yang memiliki intersep dan slope konstan. Model PLS didefinisikan sebagai berikut:

Y

it = αi +βXit+ uit

dimana i merupakan kabupaten/kota yang diobservasi dalam data cross section

dan t merupakan periode tahun pada data time series. Metode ini memiliki

keterbatasan, karena intersep dan slope dari setiap variabel siasumsikan konstan untuk setiap data yang diobservasi.

2. Fixed Effect Model (FEM)

Pada metode fixed effect model, intersep dibedakan antarindividu karena setiap individu dianggap memiliki karakteristik sendiri. dalam membedakan intersepnya, dapat menggunakan peubah dummy, sehingga metode ini dikenal dengan model Least Square Dummy Variable (LSDV). Persamaan model sebagai berikut: menggambarkan intersep berbeda antar kabupaten/kota namun intersep masing-masing kabupaten/kota tidak berbeda antar waktu (time invariant).

3. Random Effect Model (REM)

(24)

12

β0

i = β0 + ei ; dengan i = 1,2,...,N

dimana merupakan sisaan acak (error term) dengan rata-rata = 0 dan ragam =

σ

²

.Sehingga persamaan dalam model sebagai berikut:

Y

it= β0+ β1X1it + β2X2it + eit + uit

Pengujian Kesesuaian Model

Untuk memilih metode yang akan digunakan, perlu dilakukan uji kesesuaian model sebagai berikut:

1. Chow Test

Uji Chow dilakukan untuk memilih apakah model yang lebih baik digunakan adalah model Pooled Least Square atau model Fixed Effect. Hipotesis uji Chow sebagai berikut:

H0 : Model Pooled Least Square (Restricted)

H1 : Model Fixed Effect (Unrestricted)

Sebagai dasar penolakan H0 dapat digunakan perbandingan statistik

Hausman dengan Chi-square atau dengan melihat p-value. Apabila nilai p-value lebih kecil dari nilai α = 5%, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model FEM.

2. Hausman Test

Setelah melakukan uji Chow, untuk memilih model fixed effect atau random effect yang lebih baik digunakan dalam penelitian, dengan asumsi terdapat atau tidak korelasi antara regressor dan efek individu, dilakukan uji Hausman. Hipotesis Uji Hausman sebagai berikut:

H0 : Random Effect Model

H1 : Fixed Effect Model

Sebagai dasar penolakan H0 dapat digunakan perbandingan statistik

Hausman dengan Chi-square atau dengan melihat p-value. Apabila nilai p-value lebih kecil dari nilai α = 5%, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model FEM.

Pengujian Kriteria Ekonometrika

1. Multikolinearitas

(25)

13 masing-masing koefisien korelasinya lebih besar dari rule of thumb (0,8) dan R² maka model tersebut memiliki masalah multikolinearitas.

2. Heteroskedastisitas

Suatu model yang terbebas dari heteroskedastisitas artinya variant dari error bersifat konstan atau bersifat homoskedastis. Menurut Gujarati (2006), apabila masalah heteroskedastisitas terjadi maka pengujian hipotesis tidak bisa diandalkan karena memungkinkan penarikan kesimpulan yang menyesatkan. Salah satu cara untuk melihat ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas dengan menggunakan metode GLS Weight Cross-section. Apabila nilai Sum Square Resid Weighted lebih kecil dibandingkan dengan nilai Sum Square Resid Unweighted, maka dapat disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah heteroskedastisitas.

3. Autokorelasi

Suatu model dikatakan bebas dari masalah autokorelasi apabila pengamatan satu dan pengamatan lainnya tidak memiliki keterkaitan atau bersifat saling bebas. Uji yang dilakukan untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji Durbin-Watson. Nilai statistik Durbin-Watson yang diperoleh dari hasil estimasi pada program Eviews dibandingkan dengan nilai DW pada tabel. Model dikatakan terbebas dari masalah autokorelasi apabila nilai statistik Durbin-Watson berada di area non-autokorelasi. Selang statistik Durbin-Watson adalah sebagai berikut:

0 < DW < DL : ada autokorelasi positif

D L < DW < DU : tidak ada keputusan

DU < DW < 4 - DU : tidak ada autokorelasi

4 - DU < DW < 4 - DL : tidak ada keputusan

4 - DL < DW < 4 : ada autokorelasi negatif

4. Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term terdistribusi secara normal atau tidak. Pengujian asumsi normalitas dapat dilakukan dengan uji Jarque-Bera. Hipotesis pengujian normalitas adalah:

H0 : Residual terdistribusi normal

H1 : Residual tidak terdistribusi normal

Dasar penolakan H0 dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas

Jarque-Bera dengan taraf nyata lima persen. Apabila nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata lima persen, maka dapat dikatakan tidak cukup bukti untuk menolak H0 yang artinya residual terdistribusi normal.

Model Penelitian

(26)

14

pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Banten dituliskan sebagai berikut:

PDRB

it = α + β1 (PEGAWAI)it + β2 (MODAL)it + β3 (BARANG)it + uit

dimana:

PDRB : Produk Domestik Regional Bruto daerah ke-i tahun ke-t (miliar rupiah) PEGAWAI : Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)

MODAL : Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)

BARANG : Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)

αi : intersep

βi : koefisien regresi

i : kabupaten/kota Provinsi Banten

t : periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012

u

it : error term

Estimasi model yang digunakan untuk melihat pengaruh belanja daerah terhadap persentase penduduk miskin kabupaten dan kota di Provinsi Banten dituliskan sebagai berikut:

PPM

it = α + β1 (PEGAWAI)it + β2 (MODAL)it + β3 (BARANG)it + uit

dimana:

PPM : Persentase Penduduk Miskin daerah ke-i tahun ke-t (persen) PEGAWAI : Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)

MODAL : Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)

BARANG : Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)

αi : intersep

βi : koefisien regresi

i : kabupaten/kota Provinsi Banten

t : periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012

u

it : error term

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian berbeda satuan sehingga di-logaritmanatural-kan. Dengan model ini, hasil regresi yang diperoleh akan lebih efisien karena ragam konstan dan residual error menyebar normal serta mudah diinterpretasikan dalam satuan persen. Adapun model yang telah di-logaritmanatural-kan adalah sebagai berikut.

lnPDRB

it = α + β1 ln(PEGAWAI)it + β2 ln(MODAL)it + β3 ln (BARANG)it + uit

dimana:

lnPDRB : Produk Domestik Regional Bruto daerah ke-i tahun ke-t (%) lnPEGAWAI : Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (%)

(27)

15

lnBARANG : Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (%)

αi : intersep

βi : koefisien regresi

i : kabupaten/kota Provinsi Banten

t : periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012

u

it : error term

PPM

it = α + β1 ln(PEGAWAI)it + β2 ln(MODAL)it + β3 ln(BARANG)it + uit

dimana:

PPM : Persentase Penduduk Miskin daerah ke-i tahun ke-t (persen) lnPEGAWAI : Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (%)

lnMODAL : Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (%)

lnBARANG : Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (%)

αi : intersep

βi : koefisien regresi

i : kabupaten/kota Provinsi Banten

t : periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012

u

it : error term

GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN

Keadaan Geografis

Provinsi Banten merupakan daerah pemekaran yang terbentuk tahun 2000. Pada tahun 2000 Provinsi Banten terdiri dari empat kabupaten dan dua kota yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Kemudian terjadi pemekaran di wilayah Kabupaten Serang menjadi Kota Serang pada tahun 2007 dan Kabupaten Tangerang menjadi Kota Tangerang Selatan tahun 2008.

(28)

16

Kependudukan

Penduduk memiliki peranan penting dalam proses pembangunan ekonomi sebagai objek pembangunan dan sekaligus sebagai subjek pembangunan. Jumlah penduduk di kabupaten dan kota Provinsi Banten terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas), jumlah penduduk Banten pada tahun 2009 sebanyak 9.78 juta jiwa dan bertambah tahun 2012 menjadi 11.25 juta jiwa. Persebaran penduduk di Provinsi Banten tidak terkonsentrasi secara merata.

Dapat dilihat pada Tabel 4, persebaran penduduk selama empat tahun terakhir masih didominasi pada beberapa daerah saja, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Jumlah penduduk Kabupaten Tangerang tahun 2012 sebanyak 3 juta jiwa dan jumlah penduduk Kota Tangerang sebesar 1.9 juta jiwa. Tingginya jumlah penduduk ini terkait dengan letak daerah Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang yang berbatasan langsung dengan Kota DKI Jakarta, sehingga menjadi daerah tujuan utama imigran. Sensus Penduduk tahun 2010 mencatat tingkat tingkat imigran masuk ke perkotaan Banten mencapai 41%, sementara untuk tingkat kabupaten/kota, Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang merupakan kota dengan tingkat migrasi masuk sebesar 66.2% dan 53.7%. Hal inilah yang menyebabkan kepadatan penduduk antar wilayah di Provinsi Banten menjadi tidak merata dan kedua daerah tersebut merupakan daerah dengan tingkat kepadatan penduduk terbesar.

Ketenagakerjaan

Penduduk dapat berperan sebagai penggerak pembangunan apabila dapat menciptakan nilai tambah dalam kegiatan ekonomi. Sebaliknya, apabila jumlah penduduk banyak namun tidak disertai dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, maka akan menjadi penghambat pembangunan. Jumlah penduduk yang terserap dalam dunia kerja di Provinsi Banten tahun 2012 terus mengalami Tabel 2 Jumlah penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012

Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk (jiwa)

2009 2010 2011 2012

Kab. Pandeglang 1 099 746 1 149 610 1 172 179 1 181 430

Kab. Lebak 1 258 893 1 204 095 1 228 884 1 239 660

Kab. Tangerang 3 676 684 2 834 376 2 960 474 3 050 929

Kab. Serang 1 345 557 1 402 818 1 434 137 1 448 964

Kota Tangerang 1 554 827 1 798 601 1 869 791 1 918 556

Kota Cilegon 349 162 374 559 385 720 392 341

Kota Serang 497 910 577 785 598 407 611 897

Kota Tangerang

Selatan 1 042 026 1 290 322 1 355 926 1 405 170

Provinsi Banten 9 782 779 10 632 166 11 005 518 11 248 947

(29)

17 peningkatan sebesar 76 187 jiwa dan penduduk yang menganggur mengalami penurunan sebesar 161 354 jiwa. Berdasarkan tabel, pada tahun 2012 Kabupaten Tangerang memiliki jumlah angkatan kerja tertinggi sebesar 1.3 juta jiwa dan persentase pengangguran sebesar 29.32%. Sedangkan Cilegon merupakan daerah yang memiliki jumlah angkatan kerja terendah di Banten sebesar 180 ribu jiwa dan persentase pengangguran sebesar 3.92%.

Banten merupakan salah satu provinsi yang memiliki tingkat pengangguran terbuka tinggi. Tahun 2012 tingkat pengangguran terbuka Banten sebesar 10.13%, nilai ini lebih tinggi dari tingkat nasional sebesar 6.14% dan DKI Jakarta sebesar 9.87%. Faktor penyebab utama tingginya tingkat pengangguran di Banten adalah urbanisasi, dimana banyak pendatang baru yang masuk ke wilayah Banten karena menganggap Banten merupakan daerah yang menjanjikan sehingga menjadi tujuan pencari kerja.

Faktor penyebab lainnya adalah pertumbuhan penduduk dan ketersediaan tenaga kerja tidak sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini juga berkaitan dengan persebaran penduduk yang tidak merata di Provinsi Banten. Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak yang terletak di bagian selatan Provinsi Banten merupakan daerah pedesaan yang kegiatan perekonomiannya didominasi oleh pertanian. Tenaga kerja yang terserap pada sektor tersebut umumnya merupakan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga jumlah pengangguran di daerah tersebut relatif tinggi.

Sementara itu, wilayah Banten bagian utara, yaitu Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan merupakan daerah sektor perindustrian yang dominan, sehingga menjadi daerah yang menyerap banyak tenaga kerja. Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang merupakan daerah yang paling berkembang, perkembangan di daerah tersebut didukung oleh perkembangan sektor industri, perdagangan, dan sektor jasa. Dari sisi lapangan usaha, rata-rata penduduk Provinsi Banten yang bekerja di sektor industri sekitar 25% dari total penduduk yang bekerja, pembangunan proyek industri tersebut

Tabel 3 Penduduk bekerja, pengangguran, jumlah angkatan kerja dan bukan angkatan kerja Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2012

Kabupaten/Kota

Kab. Pandeglang 517 943 53 131 571 074 256 379

Kab. Lebak 508 065 50 687 558 752 325 859

Kab. Tangerang 1 175 846 152 235 1 328 081 760 579

Kab. Serang 582 314 86 715 669 029 367 131

Kota Tangerang 840 092 76 134 916 226 456 581

Kota Cilegon 159 670 20 360 180 030 93 811

Kota Serang 234 786 28 420 263 206 150 076

Kota Tangerang Selatan 587 131 51 528 638 659 345 442

Provinsi Banten 4 605 847 519 210 5 125 057 2 755 858

(30)

18

menyerap tenaga kerja dengan cukup signifikan. Sektor industri sebagai sektor yang mampu menyerap tenaga kerja paling banyak diharapkan dapat memberi kontribusi dalam ketersediaan lapangan pekerjaan. Meskipun sektor industri menyerap sebagian besar tenaga kerja, jumlah penggangguran yang terdapat di Kabupaten Tangerang jumlahnya masih relatif besar. Hal ini terjadi karena jumlah angkatan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang teredia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Banten

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk mengukur kinerja pembangunan daerah. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, dapat digunakan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) untuk nasional dan nilai Domestik Regional bruto (PDRB) untuk tingkat daerah. Nilai PDRB yang digunakan adalah jenis PDRB atas dasar harga konstan karena tidak memperhitungkan tingkat perkembangan inflasi yang ada, sehingga PDRB atas dasar harga konstan menggambarkan pertumbuhan riil barang dan jasa pada periode tertentu.

Besar kontribusi PDRB setiap wilayah di Banten menyumbang dalam pertumbuhan ekonomi regional. Gambar 4 menunjukkan bahwa Kota Tangerang merupakan daerah yang memiliki nilai PDRB tertinggi di antara kabupaten dan kota lainnya di Banten sebesar 33 428 miliar rupiah, kemudian disusul oleh Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon dengan nilai PDRB masing-masing sebesar 20 951 miliar rupiah dan 19 470 miliar rupiah. Tingginya PDRB yang dihasilkan ketiga daerah ini disebabkan oleh pusat perekonomian dan pusat industri yang berada di wilayah tersebut. Sementara itu kabupaten dan kota

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).

(31)

19 lainnya memiliki nilai PDRB kurang dari 10 000 miliar rupiah. Kabupaten Pandenglang dan Kabupaten Lebak merupakan pusat sentra kegiatan pertanian. Nilai tambah pada sektor pertanian yang relatif kecil dibandingkan dengan nilai tambah sektor industri menyebabkan kecilnya nilai PDRB yang dihasilkan kedua daerah tersebut.

Besar nilai PDRB Banten tidak terlepas dari peran sektor-sektor yang menyumbang nilai PDRB tersebut. Karakteristik alam, sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda pada masing-masing wilayah menyebabkan produktivitas ekonomi yang dihasilkan juga berbeda. Nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu sektor menunjukan tingkat ketergantungan suatu daerah pada sektor tersebut. Semakin besar nilai tambah suatu sektor, maka tingkat ketergantungannya pun semakin besar. Nilai PDRB Banten sangat dipengaruhi oleh tiga sektor yang memiliki kontribusi paling besar, yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor transportasi dan komunikasi.

Gambar 5 menjelaskan besaran persentase kontribusi setiap sektor dalam PDRB kabupaten dan kota Provinsi Banten pada tahun 2012. Sektor pertanian menyumbang kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak dengan besaran diatas 30%. Sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki kontribusi terbesar kedua sebesar 25% dan sektor jasa memiliki kontribusi sebesar 12%. Kemiripan nilai PDRB yang dihasilkan kedua daerah ini disebabkan oleh letak geografis kedua daerah yang berada di bagian selatan Provinsi Banten dan merupakan pusat kegiatan pertanian. Sementara itu Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon menyumbang nilai PDRB sektor industri dengan besaran diatas 45%. Keempat daerah ini merupakan pusat kegiatan industri yang menjadi penggerak utama perekonomian Banten dari sisi sektoral hingga saat ini. Nilai PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran di Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan menyumbang kontribusi diatas 25%. Besar nilai PDRB yang dihasilkan sektor tersebut dipengaruhi oleh letak strategis kedua wilayah ini yang berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta.

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).

Gambar 5 Distribusi PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2012

(32)

20

Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten

Tingkat kesejahteraan daerah dapat diukur dari persentase penduduk miskin di daerah tersebut. Jumlah penduduk miskin di Banten tahun 2012 mencapai 648 ribu jiwa dan menurun sebesar 42 ribu jiwa dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada tahun 2011 yang sebesar 690 ribu jiwa. Apabila dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Banten selalu berada dibawah angka nasional, hal ini menunjukkan tingkat kemiskinan di Banten jauh lebih baik dibandingkan tingkat nasional dengan tren yang menurun sejak tahun 2009 hingga tahun 2012. Tabel 5 menunjukkan sebaran kemiskinan berdasarkan kabupaten dan kota di Banten masih terpusat di Banten bagian selatan, yakni Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang. Tahun 2012 persentase penduduk miskin di Kabupaten Pandeglang sebesar 110 ribu jiwa dengan persentase penduduk miskin 9.27%. Sementara itu, Kota Tangerang Selatan memiliki persentase penduduk miskin yang terkecil sebesar 1.33% dengan jumlah penduduk miskin 18 ribu jiwa.

Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Selain upaya memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan penanggulangan kemiskinan juga terkait dengan bagaimana mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan yang terkait dengan kesejahteraan penduduk miskin. Nilai indeks (P1) menunjukkan rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, maka semakin besar rata-rata kesenjangan terhadap garis kemiskinan. Indeks ini digunakan sebagai dasar penghitungan berapa subsidi yang diperlukan untuk mengentaskan penduduk miskin. Sementara itu nilai indeks (P2) menunjukkan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Serang mengalami penurunan pada tahun 2012. Penurunan indeks (P1) di tahun 2012 menunjukkan rata-rata jarak kedalaman kemampuan konsumsi penduduk miskin di wilayah tersebut bergerak naik mendekati garis kemiskinan. Sementara itu Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kota Cilegon dan Kota Tabel 4 Persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun

2009-2012

Persentase Penduduk Miskin (%)

Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012

Kab. Pandeglang 12.01 11.14 9.80 9.27

Kab. Lebak 10.63 10.38 9.20 8.62

Kab. Tangerang 6.55 7.18 6.42 5.71

Kab. Serang 5.8 6.34 5.63 5.28

Kota Tangerang 6.42 6.88 6.14 5.55

Kota Cilegon 4.14 4.46 3.98 3.81

Kota Serang 6.19 7.03 6.25 5.69

Kota Tangerang Selatan 1.75 1.67 1.50 1.33

(33)

21 Tangerang Selatan mengalami peningkatan, yang artinya rata-rata jarak kedalaman kemampuan konsumsi penduduk miskin di wilayah tersebut bergerak turun menjauhi garis kemiskinan. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Kabupaten Serang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan mengalami peningkatan di tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa variasi pengeluaran konsumsi penduduk miskin di ketiga wilayah tersebut semakin tidak merata atau ketimpangannya semakin tinggi. Sementara itu, Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Serang mengalami penurunan, yang artinya variasi pengeluaran konsumsi penduduk miskin di wilayah tersebut semakin merata atau ketimpangannya semakin menurun.

Seperti yang dapat dilihat pada tabel 4 dan 5, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki tingkat kemiskinan dan nilai indeks kemiskinan yang relatif tinggi dibandingkan dengan kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Banten. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab kemiskinan di Banten yang terpusat pada kedua daerah tersebut. Pertama, rendahnya pendidikan sebagian masyarakat mendorong kemiskinan di Banten. Berdasarkan publikasi Bank Indonesia, pada tahun 2009 lebih dari 50% penduduk miskin di Banten tidak lulus Sekolah Dasar (SD) dan tingginya jumlah anak putus sekolah mencapai 9 ribu siswa serta penduduk buta huruf mencapai 500 ribu orang.

Kedua, penurunan kontribusi sektor pertanian di pedesaan juga mendorong kemiskinan tersebut, dimana rata-rata pekerja pertanian di desa berpendidikan rendah dan sektor industri tidak tumbuh di daerah-daerah selatan Banten karena keterbatasan akses dan infrastruktur yang kurang memadai. Ketiga, inflasi yang tinggi di Banten selatan menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Inflasi ini disebabkan oleh buruknya infrastruktur jalan menuju Banten Selatan sehingga distribusi barang menjadi mahal dan langka.

Jenis kemiskinan yang dialami Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak merupakan kemiskinan rural atau kemiskinan pedesaan. Kemiskinan ini Tabel 5 Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan

(P2) Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012

Kabupaten/Kota

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)

2009 2010 2011 2012 2009 2010 2011 2012

Kab. Pandeglang 1.33 1.20 1.51 1.20 0.22 0.23 0.36 0.30

Kab. Lebak 1.29 2.34 1.45 1.18 0.24 0.27 0.37 0.24

Kab. Tangerang 1.02 1.31 1.09 0.78 0.23 0.36 0.29 0.21

Kab. Serang 0.64 0.74 0.61 0.75 0.12 0.13 0.12 0.15

Kota Tangerang 1.21 1.10 0.85 0.67 0.34 0.45 0.18 0.13

Kota Cilegon 0.48 0.84 0.37 0.63 0.10 0.22 0.09 0.14

Kota Serang 0.67 1.06 0.81 0.74 0.12 0.23 0.17 0.16

Kota Tangerang

Selatan 0.37 0.35 0.09 0.14 0.12 0.11 0.01 0.03

(34)

22

terjadi terutama di negara berkembang karena kegiatan utamanya merupakan kegiatan pertanian yang memiliki nilai tambah sektoral yang relatif kecil.

Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Banten

Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK), rata-rata alokasi belanja pegawai di Kabupaten dan Kota Provinsi Banten tahun 2012 sebesar 50%, namun Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan memiliki alokasi belanja pegawai kurang dari 50%. Penyerapan anggaran belanja pegawai rata-rata mencapai 96% dari total pagu anggaran. Tingkat penyerapan ini berada di atas rata-rata penyerapan anggaran belanja pegawai tingkat nasional yang sebesar 95.67%. Penyerapan anggaran belanja pegawai mempunyai sifat yang konstan sesuai dengan jadwal pembayaran gaji secara rutin setiap bulan. Tingkat penyerapan belanja pegawai hampir tidak pernah mengalami permasalahan. Kenaikan maupun penurunan realisasi belanja tidak tergantung pada kelancaran pelaksanaan kegiatan, namun hanya karena kenaikan jumlah pegawai maupun kenaikan angka gaji per pegawai. Lonjakan realisasi belanja pegawai biasanya terjadi pada bulan tertentu yang disebabkan karena kenaikan gaji pokok dan pembayaran gaji ke-13.

Belanja barang mempunyai sifat yang berbeda bila dibandingkan dengan belanja pegawai. Alokasi belanja barang berkisar antara 13% hingga 30% dari total belanja. Pelaksanaan pembangunan masing-masing daerah tergantung kebijakan pemerintah daerah yang dimanifestasikan dalam alokasi belanja daerah. Sebab pada dasarnya alokasi belanja yang disusun mencerminkan pola-pola kebijakan, prioritas-prioritas dan program-program untuk setiap tahun (Priyarsono, 2008)

Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk belanja modal. Belanja modal yang

Sumber: DJPK Kementrian Keuangan, 2013 (diolah).

(35)

23 dilakukan oleh pemerintah daerah dapat berkontribusi pada perekonomian regional apabila benar-benar diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur di daerahnya. Infrastruktur merupakan investasi penunjang yang menjadi salah satu faktor penentu pembangunan ekonomi. Belanja modal sangat erat kaitannya dengan investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Alokasi belanja modal berkisar antara 20% hingga 60% dari total belanja daerah.

Kota Tangerang Selatan memiliki rasio belanja modal yang lebih besar dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Hal ini terjadi karena sejak Kota Tangerang Selatan berdiri menjadi kota sendiri, diperlukan banyak dana untuk membangun infrastruktur yang dapat mendukung pelaksanaan pembangunan ekonomi. Hal ini didukung oleh teori Rostow, yang menyatakan pada awal pembentukan daerah, alokasi belanja sebagian besar akan digunakan untuk belanja pembangunan. Untuk Kota Serang serta Kota Cilegon, belanja modal mendapat porsi yang kecil, kurang dari 20%. Hal ini disebabkan infrastruktur di kedua kota tersebut relatif sudah lebih baik dibandingkan daerah-daerah lain di Provinsi Banten.

Pengeluaran pemerintah dapat dinilai berkualitas atau tidak dapat ditinjau dari besar alokasi belanja yang digunakan untuk membiayai pembangunan daerahnya. Menurut Kementrian Keuangan, kualitas belanja diartikan sebagai suatu ukuran atas belanja yang mempunyai karakteristik dengan suatu derajat ekslensi yang tinggi. Sesuai dengan prinsip keuangan negara, dalam PP No. 58 Tahun 2005 tentang asas umum pengelolaan keuangan daerah pasal 4 ayat 1, disebutkan bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan dapat bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepanutan, dan manfaat untuk masyarakat. Belanja daerah lebih diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah untuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum yang layak. Maka secara umum, belanja daerah yang berkualitas merupakan kriteria belanja yang dialokasikan berdasarkan prioritas pembangunan daerah yang dilakukan secara efektif dan efisien.

(36)

24

Dapat dilihat pada Gambar 7, realisasi belanja pemerintah Provinsi Banten memiliki alokasi yang berbeda dengan realisasi belanja pemerintah kabupaten dan kota. Pada tahun 2012 dan 2013 proporsi belanja terbesar adalah belanja lainnya. Realisasi belanja barang mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun 2011, namun mengalami penurunan di tahun 2012. Sementara itu realisasi belanja modal mengalami penurunan di tahun 2011 dan kembali menunjukkan tren meningkat di tahun 2012 dan kembali menurun di tahun 2013. Meskipun proporsi belanja modal mengalami penurunan, nilai riilnya relatif stagnan pada kisaran 800 miliar rupiah. Realisasi belanja pegawai pemerintah provinsi menunjukkan alokasi yang relatif rendah dibandingkan dengan alokasi belanja pemerintah kabupaten dan kota. Alokasi belanja yang besar justru ditunjukkan oleh peningkatan belanja lainnya yang signifikan.

Proporsi belanja lainnya pada tahun 2012 dan 2013 untuk belanja hibah senilai 1.3 triliun rupiah. Sementara itu alokasi untuk belanja bagi hasil pada tahun 2013 meningkat menjadi 1.3 triliun rupiah. Alokasi belanja bantuan keuangan menurun menjadi 36 miliar rupiah. Belanja bantuan keuangan dialokasikan untuk bantuan keuangan kepada kabupaten/kota dan pemerintahan desa. Menurut laporan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD), alokasi belanja hibah sebagian diperuntukkan bagi bantuan operasional sekolah dan sebagian lainnya disalurkan kepada penerima dana hibah yang diusulkan melalui satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Penggunaan belanja hibah senantiasa mengandung berbagai permasalahan, terutama dalam sistem akuntabilitasnya.pemberian dana hibah harus disertai dengan sinkronisasi kebijakan agar tidak terjadi tumpang-tindih dan perlu pengawasan ketat agar tepat sasaran.

Sumber: DJPK Kementrian Keuangan, 2013 (diolah).

Gambar 7 Realisasi belanja daerah Provinsi Banten tahun 2009-2013

(37)

25

Sumber: DJPK Kementrian Keuangan, 2013 (diolah).

Gambar 8 Komposisi belanja lainnya Provinsi Banten tahun 2012 dan 2013 Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Analasis data panel dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk menentukan model yang akan digunakan, dilakukan uji kesesuaian model. Variabel bebas yang digunakan adalah belanja pegawai (PEGAWAI), belanja barang dan jasa (BARANG), dan belanja modal (MODAL). Uji Chow dilakukan untuk memilih model yang terbaik antara pooled least square dan fixed effect. Hasil Uji Chow diperoleh nilai probabilitas (0.0000) lebih kecil dari α = 5%, sehingga menolak hipotesis nol untuk menggunakan pooled least square dan menerima hipotesis untuk menggunakan fixed effect. Selanjutnya dilakukan Uji Hausman untuk memilih model Fixed Effect dan random effect. Hasil Uji Hausman menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0012 signifikan pada taraf nyata lima persen (p-value < 5%), sehingga dapat diputuskan tolak H0 dan

menerima hipotesis untuk menggunakan fixed effect. Perbandingan hasil Uji Chow dan Uji Hausman dapat dilihat pada tabel 6.

Berdasarkan hasil estimasi untuk melihat pengaruh belanja daerah

terhadap pertumbuhan ekonomi menggunakan metode fixed effect, diperoleh nilai R² sebesar 0.998249. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan oleh variabel bebas sebesar 99.8249% sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistik yang

Tabel 6 Uji model pertumbuhan ekonomi terbaik (Pooled Least Square, Fixed Effect Model, dan Random Effect Model)

Uji Model Terbaik Probabilitas Chi-Square

Uji Chow 0.0000

(38)

26

signifikan yaitu pada tingkat α = 5% yaitu sebesar 0.000000 yang artinya masing-masing variabel berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Hasil estimasi model dapat dilihat pada tabel 7.

Tahap selanjutnya adalah menguji apakah model memenuhi asumsi model linear klasik atau tidak, yang artinya model tersebut terbebas dari masalah multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas, serta apakah residual error terdistribusi normal dalam model. Tahap uji asumsi yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Multikolinearitas

Untuk melihat ada atau tidaknya multikolinearitas dapat dilihat dari nilai matriks korelasi antar variabel bebas. Berdasarkan hasil pengujian, nilai masing-masing koefisien korelasi antar peubah bebas tidak lebih besar dari 0.8 yang merupakan rule of thumb dari ada atau tidaknya multikolinearitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah multikolinearitas yang artinya tidak ada hubungan linier antara peubah bebas. Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada Lampiran 4.

2. Autokorelasi

Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh pada tabel, diperoleh nilai statistik Durbin-Watson sebesar 1.560497 pada tabel Durbin-Watson dengan taraf nyata lima persen, untuk n = 32 dan k = 3 maka diperoleh nilai batas bawah (DL)

sebesar 1.244 dan batas atas (Du) sebesar 1.650. Syarat model terbebas dari

masalah autokorelasi, nilai statistik Durbin-Watson harus berada diantara nilai (DU < DW < 4 - DU) atau berada pada selang 1.244 < DW < 2.756 oleh karena itu

dapat disimpulkan model tidak mengalami autokorelasi positif atau negatif. 3. Heteroskedastisitas

Berdasarkan hasil estimasi menggunakan metode Generalized Least Square (GLS) pada tabel, nilai Sum squared resid (SSR) weighted sebesar 0.168780 lebih kecil dari nilai Sum squared resid (SSR) unweighted sebesar 0.185775, sehingga dapat dikatakan bahwa model terbebas dari masalah heteroskedastisitas yang berartivariansi error bersifat konstan.

Menurut Winarno (2007), heteroskedastisitas dapat menyebabkan estimator tidak lagi BLUE karena mempunyai varians yang minimum, perhitungan standar error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena estimasi regresi yang dihasilkan tidak efisien serta uji hipotesis yang didasarkan pada uji F tidak dapat dipercaya. Jika model mengalami masalah ini, dengan menggunakan metode Generalized Least Square (GLS) atau cross-section weighting masalah sudah teratasi.

4. Normalitas

(39)

27

Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh pada tabel 7, variabel belanja pegawai tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien sebesar -0.018705. walaupun tidak signifikan pada taraf nyata 5% maupun taraf nyata 10%, pengaruhnya negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian, dimana kenaikan jumlah belanja pegawai justru akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut disebabkan oleh komposisi jenis belanja pegawai yang bersifat tidak produktif, seperti belanja tunjangan pegawai. Belanja pegawai sebagai komposisi pengeluaran konsumsi pemerintah hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja yaitu pegawai negeri sipil (PNS) dan tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan publik sehingga peningkatan belanja pegawai tidak berdampak pada peningkatan output sehingga tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Banten. Hasil penelitian didukung oleh hasil penelitian Barro (1991) yang mengemukakan bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah memiliki dampak yang negatif terhadap pertumbuhan.

Hasil estimasi menunjukkan variabel belanja modal serta variabel belanja barang dan jasa secara signifikan positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada taraf nyata 5%. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian, dimana belanja modal dan barang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Nilai koefisien variabel belanja modal adalah sebesar 0.068912, artinya kenaikan satu persen belanja modal dapat langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Banten sebesar 0.069% dengan asumsi ceteris paribus. Sedangkan nilai koefisien belanja barang dan jasa sebesar 0.063792 memiliki pengertian, setiap kenaikan satu persen belanja barang dan jasa secara langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Banten sebesar 0.064% dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini menunjukkan hasil estimasi yang sesuai dengan hipotesis yaitu peningkatan belanja modal dan belanja barang dan jasa menyebabkan pertumbuhan ekonomi meningkat. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Barro (1990) dan penelitian Folster dan Henrekson (1999) yang menyatakan bahwa kontribusi pengeluaran yang produktif memiliki hubungan positif terhadap pertumbuhan, dan sebaliknya pengeluaran yang tidak produktif memiliki hubungan yang negatif terhadap pertumbuhan.

Tabel 7 Hasil estimasi Fixed Effect Model pada model pertumbuhan ekonomi

Gambar

Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi 6 Provinsi di Pulau Jawa tahun 2009-2012
Gambar 2 Perkembangan persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi  Banten dan Nasional tahun 2009-2012
Gambar  3  Realisasi  belanja  daerah  Kabupaten/Kota  di  Provinsi  Banten  tahun  2009-2012 01,0002,0003,0004,0005,0006,0007,000 2009 2010 2011 2012Miliar rupiahTahun  B.PegawaiB.ModalB.Barang&amp;JasaB.Lainnya
Gambar 3 Kerangka pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Saxony-Anhalt Eight subjects are required to be considered equivalent to the Saxony-Anhalt Secondary Level Qualification (Realschulabschluss): First Language, Second

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “ PENGGUNAAN PROPERTI TARI SEBAGAI STIMULUS UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS GERAK TARI PADA SISWA KELAS V Di

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penderita DM memiliki resiko rendah untuk mengalami resiko ulkus kaki.. diabetik, namun ada yang beresiko sedang bahkan

This clause defines a service integration ebRIM package that encapsulates all the identifiers, associations and classification schemes necessary to allow an OGC CSW- ebRIM catalogue

Pada metode Short End Interest bunga dihitung dengan mengalikan tingkat bunga dengan periode pembayaran yang bersangkutan dan angsuran atas pokok piutang yang tetap jumlahnya. Dan

Secara khusus, dalam kaitan dengan fokus kegiatan ini, yang menjadi pertanyaan adalah, apa implikasi keduanya terhadap dinamika pluralisme agama di Indonesia3.

SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN PEMILIHAN KONSENTRASI KEAHLIAN ILMU KOMPUTER DENGAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCCESS DAN PROMETHEE1. Universitas Pendidikan Indonesia |

Semakin banyak unit barang yang dikonsumsi oleh seseorang per periode waktu, semakin besar kepuasan total yang diterima dan pada suatu tingkat konsumsi tertentu, kepuasan