• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Antimikrob Plantarisin Asal Lactobacillus plantarum IIA-1A5 dan Aplikasinya Sebagai Pengawet Alami pada Daging Sapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas Antimikrob Plantarisin Asal Lactobacillus plantarum IIA-1A5 dan Aplikasinya Sebagai Pengawet Alami pada Daging Sapi"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS ANTIMIKROB PLANTARISIN ASAL Lactobacillus

plantarum IIA-1A5 DAN APLIKASINYA SEBAGAI

PENGAWET ALAMI PADA DAGING SAPI

DEWI ELFRIDA SIHOMBING

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aktivitas Antimikrob Plantarisin Asal Lactobacillus plantarum IIA-1A5 dan Aplikasinya Sebagai Pengawet Alami pada Daging Sapi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014 Dewi Elfrida Sihombing

(4)

RINGKASAN

DEWI ELFRIDA S. Aktivitas Antimikrob Plantarsin Asal Lactobacillus plantarum IIA-1A5 dan Aplikasinya Sebagai Pengawet Alami pada Daging Sapi Dibimbing oleh IRMA ISNAFIA A dan SRI BUDIARTI.

Lactobacillus plantarum IIA-1A5 adalah bakteri asam laktat indegenus yang diisolasi dari daging sapi Indonesia. Lactobacillus plantarum IIA-1A5 dilaporkan dapat memproduksi bakteriosin, dikenal sebagai plantarisin IIA-1A5. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa aktivitas antimikrob plantarisin IIA-1A5 melawan bakteri patogen dan aplikasinya sebagai pengawet alami pada daging sapi. Plantarisin IIA-1A5 dapat dijadikan sebagai salah satu pengawet alami pada daging untuk mengurangi cemaran mikroba yang terdapat di daging.

Plantarisin IIA-1A5 termasuk jenis bakteriosin kelas IIa. Bakteriosin kelas IIa berukuran kecil (<10 kDa) dan bersifat relatif stabil terhadap panas. Konsentrasi protein plantarisin yang dihasilkan Lactobacillus plantarum IIA-1A5 adalah 76.53 µg/mL. Berdasarkan uji tantang, plantarisin IIA-1A5 memiliki aktivitas antimikrob sedang melawan bakteri patogen seperti Salmonella P38, EPEC K11dan Shigella A33.

(5)

SUMMARY

DEWI ELFRIDA S. Antimicrobial Activity of Plantaricin from Lactobacillus plantarum IIA-1A5 and Its Application as Natural Preservative on Beef. Supervised by IRMA ISNAFIA A and SRI BUDIARTI.

Lactobacillus plantarum IIA-1A5 is indigenous lactic acid bacteria isolated from Indonesian beef. Lactobacillus plantarum IIA-1A5 was reported could produce bakteriosin , called plantaricin IIA-1A5. The aims of this research were to analyze antimicrobial activity of plantaricin IIA-1A5 against pathogenic bacteria and its application as a natural preservative agents on beef.

Plantaricin IIA-1A5 include bacteriocin IIa with small size (10kD) and relative stable to heat. Protein concentration of plantaricin IIA-1A5 is 76.53 µg/mL. Based on antagonistic test, plantaricin IIA-1A5 had moderate antimicrobial activity against pathogenic bacteria such as Salmonella P38, EPEC K11 and Shigella A33.

Application of plantaricin IIA-1A5 was effective as a natural preservative on meat stored at room temperature by inhibiting the growth of Escherichia coli and Staphylococcus aureus. Plantarisin IIA-1A5 could kill all of Escherichia coli after 5 hours storage. Plantaricin IIA-1A5 could reduce the population of Staphylococcus aureus in meat during room temperature storage. Interestingly, plantaricin produced by Lactobacillus plantarum IIA-1A5 was effective against gram negative and positive bacteria. According to physichochemichal and microbiology quality, plantaricin IIA-1A5 was recomended as natural preservative agents in meat.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

AKTIVITAS ANTIMIKROB PLANTARISIN ASAL Lactobacillus

plantarum IIA-1A5 DAN APLIKASINYA SEBAGAI

PENGAWET ALAMI PADA DAGING SAPI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Aktivitas Antimikrob Plantarisin Asal Lactobacillus plantarum IIA -1A5 dan Aplikasinya Sebagai Pengawet Alami pada Daging Sapi Nama : Dewi Elfrida Sihombing

NIM : D151130336

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Irma Isnafia Arief, SPt MSi Ketua

Dr dr Sri Budiarti Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan

Dr Ir Salundik, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkatNya yang berlimpah sehingga tesis dengan judul Aktivitas Antimikrob Plantarisin Asal Lactobacillus plantarum IIA-1A5 dan Aplikasi Sebagai Pengawet Alami pada Daging Sapi dapat terselesaikan. Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr Irma Isnafia A, SPt MSi dan Dr dr Sri Budiarti selaku pembimbing tesis. Di samping itu, penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada Dr Ir Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA (alm) yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis untuk terus melanjutkan kuliah di program pasacasarjana. Tak lupa, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada kepada kedua orang tua, Bapak A Sihombing, STh dan Ibu J Sinaga, Spd atas segala kasih sayang berlimpah yang telah penulis terima. Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada keluarga P Sianturi/br Sihombing dan Eko Agus Sayuti SE.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Anggita Panglipur sebagai teman tim penelitian, sahabat-sahabat Perwira 51, Laboratorium THT, dan ITP 2012 atas persahabatan yang telah dilalui bersama. Semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, September 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

METODE 3

Bahan 3

Alat 3

Prosedur 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Purifikasi Plantarisin IIA-1A5 5

Bobot Molekul dan Konsentrasi Protein Plantarisin IIA-1A5 7

Aktivitas Antimikrob Plantarisin IIA-1A5 8

Aplikasi Plantarisin IIA-1A5 pada Daging Sapi 10

SIMPULAN DAN SARAN 12

Simpulan 12

Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 113

(12)

DAFTAR TABEL

1 Diameter zona hambat plantarisin IIA-1A5 terhadap bakteri patogen 7 2 Kondisi fisikokimia daging sapi pada penyimpanan suhu ruang 8 3 Aplikasi penghambatan plantarisin 0.2% pada daging sapi 8

DAFTAR GAMBAR

1 Konsentrasi protein berdasarkan spektrofotometer (280 nm) 6

2 Profil hasil SDS Page 7

3 Grafik persamaan fungsi untuk menentukan kosentrasi protein plantarisin

IIA-1A5 7

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging sapi merupakan produk pangan asal ternak yang paling disukai oleh masyarakat pada umumnya. Disamping rasanya enak dan khas, sejumlah asam amino essensial yang terdapat dalam daging memiliki nilai kecernaan yang baik sebagai salah satu sumber protein hewani. Selain protein, daging juga mengandung air, lemak, karbohidrat dan kompenen anorganik. Kandungan vitamin dalam daging bermanfaat bagi kesehatan walaupun terdapat dalam jumlah sedikit. Daging dapat didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya.

Daging mengandung nutrisi dengan kandungan yang lengkap sehingga memudahkan mikroorganisme tumbuh pada daging. Pertumbuhan mikroorganisme pada daging dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah suhu, kadar air, oksigen, nilai pH, dan kandungan nutrisi daging. Mikroorganisme yang terdapat di dalam daging dapat menyebabkan kerusakan daging yang berlanjut pada kebusukan daging. Kontaminasi bakteri yang dapat mengakibatkan daging busuk dapat ditularkan melalui infeksi penyakit hewan pedaging yang tejangkit penyakit seperti antraks, tuberkulosis bovine (penyakit endogenus) maupun melalui kontaminasi setelah ternak mati (penyakit eksogenus). Sebagian besar penyakit foodborne diseases seperti diare dan demam typus ditularkan saat mengkonsumsi produk pangan asal ternak. Menurut Budiarti et al. (1997), 55% kasus infeksi diare disebabkan oleh Enteropatogenik Escherichia coli.

Berbagai bahan pengawet telah banyak diteliti untuk dapat mengurangi cemaran mikroba yang ada pada daging. Penggunaan bahan pengawet pada makanan dimaksudkan untuk memperpanjang masa simpan makanan dengan mempertahankan sifat fisik dan nutrisi makanan. Proses pengawetan makanan di

Indonesia sering disalahartikan oleh sebagian orang sebagai „ajang‟ untuk

memperoleh keuntungan setinggi-tingginya yaitu dengan cara penggunanaan bahan pengawet kimia dengan harga murah serta dapat mempertahankan sifat fisik makanan tanpa memperhatikan kandungan nutrisi makanan yang diawetkan. Formalin dan boraks merupakan contoh bahan pengawet kimia yang paling sering ditemukan di pasaran. Padahal formalin dan boraks tidak boleh digunakan sebagai pengawet makanan karena sangat berbahaya bagi kesehatan. Bila terkonsumsi dalam konsentrasi tinggi, racunnya akan memepengaruhi kerja syaraf dan dapat bersifat karsiogenik. Oleh karena pemahaman masyarakat akan bahaya bahan pengawet kimia semakin meningkat, maka perlu dilakukan pencarian bahan pengawet alami/hayati yang aman untuk kesehatan manusia.

(14)

2

sebagai mikroorganisme yang Generally Recognized As Safe (GRAS) yaitu mikroorganisme yang tidak beresiko terhadap kesehatan bahkan beberapa jenis bakteri tersebut berguna bagi kesehatan. Lactobacillus plantarum merupakan salah satu strain bakteri asam laktat penghasil bakteriosin yang dikenal sebagai plantarisin (Diep et al. 1996; Holo et al. 2001; Maldonado et al. 2003).

Lactobacillus plantarum IIA-1A5 telah diteliti memproduksi bakteriosin dengan beberapa karakteristik tertentu, diantaranya mampu bertahan pada suhu pasteurisasi (80ºC selama 30 menit) dan suhu sterilisasi (121ºC 15 menit), tetap aktif pada kisaran pH 4 sampai 9, dapat didegradasi oleh enzim protease. Plantarisin IIA-1A5 terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus (Arief et al. 2013). Hal ini menunjukkan plantarisin IIA-1A5 berpotensi untuk diaplikasikan sebagai bahan pengawet alami untuk mengendalikan cemaran mikroba yang terdapat di daging. Aplikasi plantarisin IIA-1A5 akan menjadi teroboson untuk perkembangan dunia bioteknologi dalam bidang pengawetan makanan karena lebih aman untuk dikonsumsi, aktif dalam konsentrasi rendah dan mempunyai daya simpan yang baik

Tujuan Penelitian

Melakukan uji tantang plantarisin asal Lactobacillus plantarum IIA-1A5 terhadap bakteri patogen. Mempelajari kualitas daging sapi yang diawetkan dengan plantarisin 0.2% dan kontrol (tanpa plantarisin) selama penyimpanan 0, 5, 10, dan 15 jam pada suhu ruang.

Manfaat Penelitian

Plantarisin IIA-1A5 dapat dijadikan sebagai salah satu pengawet alami pada daging untuk mengurangi cemaran mikroba yang terdapat di daging. Seringkali, daging yang diangkut dari RPH tidak menggunakan truk yang dilengkapi dengan mesin pendingin sehingga selama pengangkutan daging dari RPH ke pasar dapat mengakibat cemaran mikroba meningkat melewati batas cemaran yang ditetapkan oleh SNI (2008). Oleh karena itu, plantarisin dapat dijadikan alternatif pengawet alami dengan metode penyemprotan.

Ruang Lingkup Penelitian

(15)

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai Juni 2014.

Bahan

Bahan utama yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah daging sapi, isolat Lactobacillus plantarum IIA-1A5 koleksi Irma IA dari Laboratorium THT, bakteri patogen koleksi Sri Budiarti dari Labotorium Bioteknologi, media pengkayaan bakteri, folin, reagen A (50 ml Na2CO3 2% dalam NaOH 0,1 N + 1

ml CuSO4 0,5% dalam Na K tartrat) serta bahan-bahan analisis (tercantum dalam

prosedur).

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Heidolph VV micro evaporator, spektofotometer UV-VIS, membran saring minisart, membran dialisis, dan kolom kromatografi pertukaran ion HiTrap SP XL 5 mL (GE Healthcare UK).

Prosedur

Purifikasi Plantarisin Lactobacillus plantarum IIA-1A5

Purifikasi plantarisin bertujuan untuk mendapatkan plantarisin murni meliputi beberapa tahapan, antara lain tahapan purifikasi parsial dengan menggunakan amonium sulfat, dialisis, dan purifikasi dengan menggunakan kromatografi pertukaran ion.

Purifikasi Parsial dengan Menggunakan Amonium Sulfat (Modifikasi Hata

et al. 2010)

Sebanyak 1000 mL media de Man Rogosa Sharp Broth (MRSB) diinokulasi dengan 10% kultur Lactobacillus plantarum IIA-1A5, diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ᵒC. MRSB yang telah ditumbuhi Lactobacillus plantarum IIA-1A5 disentrifugasi selama 20 menit dengan kecepatan 10000 rpm

pada suhu 4˚C untuk mendapatkan supernatan bebas sel (SBS). Supernatan

(16)

4

Dialisis (Hata et al. 2010)

Presipitat plantarisin didialisis dengan menggunakan membran dialisis berdiameter 20 µm dan direndam dalam buffer potassium phosphate selama 12 jam. Buffer diganti sebanyak 3 kali yaitu pada jam kedua, keempat, dan keenam.

Proses dialisis ini dilakukan pada suhu 4˚C.

Purifikasi Menggunakan Kromatografi (Hata et al. 2010)

Kolom HiTrap SP XL volume 5 mL dibilas dengan aquabidest sebanyak tiga kali volume kolom dan buffer A (20 mM buffer fosfat pH 6.0) sebanyak empat kali volume kolom. Sampel plantarisin dimasukkan ke dalam kolom SP XL dengan bantuan syringe secara pelan-pelan dan pada saat memasukkan ke kolom, ada larutan yang menetes di bawah ditampung di tabung reaksi disebut FT (Flow Trough). Campuran buffer A dan buffer B (buffer fosfat 20 mM pH 6.0 0.5 M NaCl) yang dibagi ke dalam fraksi LE1, LE2, LE3, LE4, LE5, LE6, LE7, LE8, LE9, dan LE10 dimasukkan secara bertahap untuk mengelusikan protein plantarisin yang terikat pada kolom dan bagian yang menetes dari kolom disebut plantarisin murni ditampung dengan tabung reaksi. Seluruh tahapan ini dilakukan

pada 4˚C. Konsentrasi plantarisin hasil kromatografi diukur dengan menggunakan spektofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 280 nm.

Elektroforesis SDS Page (Hata et al. 2010)

Elektroforesis dilakukan untuk mengetahui massa molekul protein plantarisin murni hasil kromatografi dengan menggunakan konsentrasi polyacrilamide 6% pada stacking gel (gel penggertak) dan 15% pada resolving gel (gel pemisah). Band yang muncul dibandingkan dengan marker sehingga akan diketahui bobot molekul protein dan fraksi yang mengandung plantarisin murni.

Konsentrasi Protein Plantarisin IIA-1A5

Konsentrasi protein dbuat secara serial dengan konsentrasi standar protein Bovine Serum Albumin (BSA) dari 0.1-0.2-0.4-0.6-0.8-1 mL di dalam tabung reaksi. Masing-masing protein BSA ditambahkan aquadest 0.9-0.8-0.6-0.4-0.2-1 mL sehingga volumenya menjadi 1 mL. Reagen A ditambahkan sebanyak 1 mL ke masing-masing tabung rekasi selanjutnya folin sehingga terbentuk warna biru. Untuk menentukan konsentrasi protein maka dibuat kurva standar dengan pengukuran menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 650nm (Lowry et al. 1951).

Uji Tantang Plantarisin IIA-1A5 Terhadap Bakteri Patogen

(17)

5 di refrigerator selama 3 jam dan ditutup dengan kertas saring. Cawan tersebut selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC. Aktivitas antimikrob plantarisin ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar paper disc dan diukur diameternya (Kanmanet al. 2010). Persentasi protein plantarisin yang berbeda (0.2, 1, 10, 25 dan 50 %) digunakan untuk mengetahui daya hambat minimal plantarisin IIA-1A5 yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet alami pada daging.

Aplikasi Bakterisin Plantarisin IIA-1A5 pada Daging Sapi

Sebanyak 300 gram daging sapi diletakkan masing-masing pada dua wadah steril. Untuk daging dengan perlakuan plantarisin, sebanyak 0.2% plantarisin diencerkan sebanyak 100x dengan aquabidest. Plantarisin disemprotkan pada seluruh bagian daging secara merata dan ditunggu 30 menit sampai plantarisin meresap ke daging. Daging selanjutnya dibagi pada empat plastik setril disimpan pada suhu ruang untuk dianalisa pada jam ke-0, 5, 10 dan 15 jam.

Analisis Kualitas Fisikokimia Daging Sapi

Nilai pH dianalisis diukur dengan menggunakan pH meter (Hanna Instrument, USA). Water activity diukur dengan aw meter SAL-T&Sensor-Check

SC Number 75.

Analisis Kualitas Mikrobiologis Daging Sapi

Analisis mikrobiologi dilakukan dengan pour plate method menggunakan media baird parker agar (BPA) untuk uji bakteri Staphylococcus aereus, xylose lysine desoxycholate agar (XLDA) untuk uji bakteri Salmonella dan eosyn methylen blue agar (EMBA) untuk uji E. coli. Pemupukan untuk bakteri patogen diambil dari pengenceran 101,102 dan 103.Sampel diinkubasi selama 24 jam pada

suhu 37˚C (AOAC 2005).

Prosedur Analisis Data

Data penelitian dikoleksi dan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) berdasarkan rancangan acak lengkap faktorial 2x3 dengan dua faktor perlakuan (0.2% plantarisin dan kontrol) dan 3 ulangan. Jika terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan akan dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel & Torrie 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Purifikasi Plantarisin IIA-1A5

(18)

6

sehingga didapat supernatan bebas sel (SBS). Nilai pH SBS dinetralkan dengan NaOH 1N sehingga berada pada kisaran pH 5.8-6.2. hal ini bertujuan untuk mentralisir hidrogen peroksida yang juga dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum IIA-1A5. Produksi bakteriosin terjadi pada kisaran pH 6.0 sampai 5.2. hanya sebagian kecil bakteriosin yang diproduksi pada pH rendah (5.0). sebagian mungkin besar nilai pH untuk produksi bakteriosin tergantung pada spesies atau strain (Borcena et al. 1998).

Proses penjenuhan dengan menggunakan serbuk amonium sulfat ditambahkan untuk membuat protein plantarisin IIA-1A5 “salt out”. Proses penambahan harus dilakukan secara bertahap karena apabila dilakukan secara berlebihan akan mengakibatkan amonium sulfat tidak terlarut dan protein plantarisin IIA-1A5 yang dihasilkan akan berbau garam. Total presipitat plantarisin yang dihasilkan dari 3 L sepernatan bebas sel sekitar 45 mg. Pengurangan volume SBS terjadi karena proses evaporasi yang dilakukan bertujuan untuk membuang sebagian aquadest yang digunakan untuk membuat media MRSB. Tahapan dialisis bertujuan untuk membuang serbuk amonium sulfat yang mungkin masih bercampur dengan presipitat plantarisin IIA-1A5. Proses pemisahan antara plantarisin IIA-1A5 dengan serbuk amonium sulfat dengan menggunakan gaya difusi selektif melalui membran semipermeabel. Hasil tahapan dialisis disebut sebagai plantarisin kasar.

Tahapan selanjutnya adalah purifikasi dengan menggunakan kolom kromatografi Hitrap SP xl dengan volume 5 mL untuk memurnikan plantarisin IIA-1A5. Kolom SP Xl mengandung fase stasioner dan fase gerak. Protein plantarisin IIA-1A5 dielusikan dengan 10 fraksi dengan kandungan NaCl yang semakin meningkat pada tiap fraksinya. Hasil pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm memperlihatkan bahwa konsentrasi protein plantarisin IIA-1A5 terdapat pada fraksi LE1, LE2, LE3, dan LE4. Secara acak maka, dipilih fraksi LE1 untuk diuji aktivitas antimikrob dan diaplikasikan pada daging sebagai bahan pengwet daging.

Gambar 1. Konsentrasi protein berdasarkan spektrofotometer (280nm) 0

LE1 LE2 LE3 LE4 LE5 LE6 LE7 LE8 LE9 CUCI

(19)

7

Bobot Molekul dan Konsentrasi Protein Plantarisin IIA-1A5

Sodium Dodecyl Sulphate Poly Acrilamide Gel Electrophoresis (SDS page) yang dilakukan berhasil mendeteksi pita tunggal protein plantarisin dari Lactobacilllus plantarum IIA-1A5 hasil kromatografi. Berdasarkan elektroforesis SDS page diketahui bobot molekul plantarisin IIA-1A5 adalah 6.55 kDa (Gambar 1). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan plantarisin yang diproduksi oleh Lactobacillus plantarum TF711 sekitar 2.5kDa (Hernandez et al. 2005).Isolasi Lactobacillus plantarum 423 dari bir sorgum menghasilkan plantarisin dengan bobot molekul sekitar 3.5 kDa (Van-reenan et al. 1998). Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan strain Lactobacillus plantarum akan mempengaruhi karakteristik plantarisin yang dihasilkan. Berdasarkan bobot molekul tersebut, plantarisin IIA-1A5 termasuk jenis bakteriosin kelas IIa. Bakteriosin kelas IIa berukuran kecil (<10 kDa) dan bersifat relatif stabil terhadap panas (Zacharof & Lovitt 2012).

Gambar 2. Profil hasil SDS Page. a: Low marker, b: plantarisin

Konsentrasi protein plantarisin yang dihasilkan Lactobacillus plantarum IIA-1A5 adalah 76.53 µg/mL. Konsentrasi protein plantarisin ASM1 adalah 17500 µg/mL (Hata et al. 2010) sedangkan pada plantarisin LR14 berada pada kisaran 59,21 µg/mL (Tiwari & Srivasta 2008). Hal ini membuktikan bahwa perbedaan strain Lactobacillus plantarum akan mempengaruhi karakteristik plantarisin yang dihasilkan (Saenz et al. 2009).

(20)

8

Aktivitas Antimikrob Plantarisin IIA-1A5

Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) K11 merupakan bakteri yang diisolasi dari feses anak-anak penderita diare (Budiarti et al. 1997). EPEC merupakan salah satu dari enam viro tipe E. coli yang dapat menyebabkan diare.Terdapat enam viro tipe Escherichia coli yang biasanya dapat menyebabkan diare pada manusia yaitu enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC), enteropathogenic E. coli (EPEC), and enteroaggregative E. coli (EAEC). Escherichia coli adalah bakteri gram negatif anaerobik fakultatif terbanyak dari mikroflora usus. EPEC merupakan penyebab utama kasus infeksi diare. Sebanyak 55% kasus infeksi diare di Indonesia menyerang bayi dan anak-anak. Diare merupakan penyebeb kematian kedua pada anak-anak mulai usia 5 tahun dengan jumlah 1.3 juta kematian per tahun (Black et al. 2010). EPEC menyebabkan diare berair, kronis sering disertai dengan demam dan muntah. EPEC dapat ditularkan ke manusia melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi atau air yang terkontaminasi.

Shigella adalah bakteri patogen kedua yang paling sering dideteksi pada penderita diare (Eppy 2009). Salmonella merupakan jenis bakteri yang sering mengkontaminasi pangan asal ternak seperti daging, susu serta produk olahannya yang dapat mengakibatkan terjadinya wabah salmonelosis. Wabah salmonellosis dapat menyebab kematian penduduk sekitar 3 juta setiap tahunnya di negara berkembang (Zein et al. 2004). Salmonella merupakan salah satu penyebab keracunan makanan. Biasanya, orang-orang yang terinfeksi Salmonella tidak menunjukkan gejala dan dapat kembali sehat dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Akan tetapi, Salmonella dapat menyebabkan penyakit lebih serius pada orang dewasa yang lebih tua, bayi, dan orang-orang dengan penyakit kronis. Infeksi Salmonella biasanya disebabkan saat memakan makanan mentah atau kurang masak misal daging, telur atau produk olahannya. Ketiga isolat bakteri patogen tersebut bersifat intoksikasi sehingga penting untuk diteliti karena dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi silang. Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan.

Plantarisin diproduksi oleh Lactobacillus plantarum IIA-1A5 memiliki aktivitas antimikrob yang sedang terhadap bakteri patogen meliputi Salmonella P38, EPEC K11 dan Shigella A33 (Tabel 1) (Ismail et al 2013). Daya hambat plantarisin IIA-1A5 terhadap bakteri EPEC K11 lebih baik dibandingkan antibiotik. Hal ini disebabkan bakteri EPEC K11 bersifat resisten terhadap tetrasiklin dan ampisilin (Budiarti & Mubarik 2007). Daging sapi dan ayam mentah merupakan jenis makanan yang sering menjadi penyebab diare. Oleh karena itu, plantarisin IIA-1A5 dapat direkomendasikan sebagai pengawet alami pada daging untuk mengurangi resiko infeksi diare di Indonesia.

(21)

9 aktivitas antimikrob terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Todorov & Dicks 2005). Lactobacilllus plantarum diisolasi dari dua makanan fermentasi Nigeria, ogi dan tufu menghambat lebih dari 40% strain bakteri gram negatif dari ikan lele (Adenika et al. 2009). Aktivitas penghambatan bakteriosin bergantung pada produsen dan strain dihambat (Smetankova et al. 2014).

Tabel 1. Diameter zona hambat plantarisin IIA-1A5 terhadap bakteri pathogen (mm)

Gambar 4. Aktivitas antimikrob plantarisin IIA-1A5 terhadap bakteri patogen. (a) Shigella A33 (b) EPEC K11 (c) Salmonella P38

Persentasi Plantarisin

Konsentrasi protein (µg/mL)

EPEC K11 Salmonella P38

Shigella A33

0% 0 0 0 0

0.2% 0.153 7.21±0.23 7.32±0.23 7.14±0.26 1% 0.7653 7.24±0.21 7.42±0.34 7.25±0.43 10% 7.653 7.37±0.25 7.58±0.88 9.10±1.02

25% 19.35 7.34±0.93 7.52±0.64 8.78±0.3

50% 38.265 7.55±0.36 8.98±0.10 8.63±0.64

b a

(22)

10

Aplikasi Plantarisin IIA-1A5 pada Daging Sapi

Nilai pH dan aw adalah parameter fisikokimia yang paling penting untuk

menentukan kualitas makanan. Nilai pH dagingdapat mempengaruhi warna, kelembutan dan kualitas makanan (Jelenikova et al.2008). Tabel 2 menunjukkan bahwa pada awal penyemprotan plantarisin IIA-1A5 sebagai bahan pengawet alami pada daging sapi dapat meningkatkan aktivitas air (water activity) daging sapi. Hal ini karena, plantarisin yang disemprotkan terlebih dahulu diencerkan dengan aquabidest. Setelah pengamatan jam ke-5, aktivitas air pada daging sapi cenderung menurun. Arief et al. (2012) yang menyatakan bahwa pemberian bahan pengawet cenderung dapat menurunkan aktivitas air. Sebenarnya, penurunan aw

merupakan kondisi yang sesuai untuk menghambat pertumbuhan bakteri pada pangan. Penurunan aktivitas air pada pangan dilakukan dengan cara menambahkan padatan, ion, koloid hidrofilik, pembekuan dan pengeringan. Tabel 2. Kondisifisikokimia daging sapi pada penyimpanan suhu ruang Kondisi

0.90±001 0.90±0.02 0.88±0.01 0.90±0.02 Kontrol 0.89±0.03 0.89±0.01 0.88±0.01 0.89±0.02

pH Plantarisin

0.2%

5.44±0.08 5.43±0.05 5.44±0.07 5.43±0.04 Kontrol 5.38±0.08 5.40±0.07 5.42±0.01 5.44±0.04 Nilai pH yang diperoleh pada penelitian cukup baik yaitu berkisar 5.3 sampai 5.4 (Tabel 2). Menurut Puolanne et al. (2001), nilai rataan pH akhir daging berkisar 5.4 dan 6.0, tergantung pada potensi glikolitik pada saat pemotongan. Perbedaan nilai pH daging dengan plantarisin IIA-1A5 dan kontrol (tanpa plantarisin IIA-1A5) disebabkan aktivitas air yang sedikit lebih tinggi pada daging dengan perlakuan plantarisin dibandingkan kontrol. Setelah 5 jam, nilai pH daging dengan perlakuan 0.2% plantarisin cenderung lebih stabil. Hal ini berbeda dengan nilai pH daging tanpa plantarisin yang cenderung meningkat selama penyimpanan. Peningkatan nilai pH mencerminkan terjadinya tingkat kerusakan daging melalui proses degradasi protein dengan produksi asam amino bebas, yang mengarah pada pembentukan senyawa alkali seperti NH3 dan amina (Vázquez et al.2009).

(23)

11

c d

Gambar 5. Perubahan warna daging selama penyimpanan di suhu ruang (a) 0 jam, (b) 5 jam, (c) 10 jam, (d) 15 jam, (kanan) daging tanpa plantarisin, (kiri) daging denfan plantarisin

Total mikroba atau jumlah Total Plate Count (TPC), Staphylococcus aureus, Escherichia coli merupakan indikator kontaminasi yang paling sering diuji, karena ketiga bakteri tersebut secara alami terdapat pada daging sapidan apabila melebihi jumlah batasan normal akan mengakibatkan penyakit. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang mencemari daging ditentukan oleh tingkat pengendalian higienis yang dilaksanakan selama penanganan, diawali saat penyembelihan ternak dan pembersihan karkas hingga sampai ke konsumen. Pertumbuhan mikroorganisme berhubungan erat dengan kualitas daging segar. Tabel 3.Aplikasi penghambatan platarisin 0.2% pada daging sapi

Kualitas

2.02±0.23 2.00±0.56 1.98±0.92 1.73±1.13 Kontrol 2.49±0.11 2.69±0.11 2.72±0.23 2.92±0.30 Salmonella Plantari-

sin 0.2%

Negatif Negatif Negatif Negatif Kontrol Negatif Negatif Negatif Negatif

Huruf yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)

(24)

12

lainnya. Bakteriosin dapat merusak dinding sel bakteri, sehingga menyebabkan kematian E.coli (Hata et al. 2010). Kalalou et al. (2010) melaporkan bahwa suspensi sel bakteri Lactobacillus plantarum pada daging unta yang disimpan pada suhu 10ºC dapat menurunkan viabiltas E.coli sebesar 2 log cfu/g.

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif indikator adanya kontaminasi dari pekerja maupun alat yang digunakan. Populasi bakteri Staphylococcus aureus pada daging dengan 0.2% plantarisin lebih rendah dibandingkan dengan yang ditetapkan oleh standar SNI-3932-2008 yaitu 2 log cfu/g. Setelah penyimpanan selama 5 jam, bakteri Staphylococcus aureus pada daging dengan 0.2% plantarisin cenderung menurun. Pada kontrol, dapat dilihat bahwa populasi Staphylococcus aureus mengalami peningkatan setiap jam (3 log cfu/g).

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa daging sapi tidak mengandung Salmonella spp. Hal ini menunjukkan bahwa daging tidak terkontaminasi oleh kotoran ternak yang terinfeksi.Ternak yang terkena salmonellosis dapat mengkontaminasi pangan yang disekitarnya.Salmonella merupakan bakteri patogen yang berbahaya. Salmonella dapat menyebabkan demam tifusa dan paratifus. Perlakuan pemanasan 65oC sampai 74oC dapat mengurangi efek salmonellosisi pada daging. Plantarisin IIA-1A5 efektif menghambat bakteri gram positif dan negatif. Hal ini berbeda dengan nissin yang diproduksi Lactococcus lactis yang hanya mampu melawan bakteri gram positif (McAuliffe et al. 2001).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Protein plantarisin IIA-1A5 memiliki bobot molekul 6.55 kDa dengan konsentrasi protein 76.53 µg/mL. Plantarisin IIA-1A5 memiliki daya hambat sedang terhadap bakteri patogen. Plantarisin IIA-1A5 efektif menghambat bakteri patogen gram negatif dan positif yang biasanya terdapat di dalam daging sehingga dapat direkomendasikan sebagai pengawet alami pada daging.

Saran

(25)

13

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association Official Analitycal Chemistry. 2005. Official Method of Analysis. 18th Edition. Maryland (USA): AOAC International.

Adenika A, Ogunshe O, Olakbode OP. 2009. Antimicrobial potentials of indegenous Lactobacillus strains on gram-negative indicator bacterial species from Clarias gariepinus (Burchell.) microbial inhibition of fish-borne pathogens. Afric J of Microb Research. 3 (12): 870-876.

Arief II. 2011. Characterization of indigenous lactic acid bacteria from beef as probiotic and identification by 16S rRNA gene sequencing. (tesis). Bogor (ID): Insitut Pertanian Bogor.

Arief II, Jenie BSL, Suryati T, Ayuningtyas G, Fauziawan A. 2012. Antimrobial activity of bacteriocin from indegenous Lactobacillus plantarum 2C12 and its application on beef meatballs as biopreservative. J Indo Trop. 37 (2): 90-95.

Arief II, Jakaria, Suryati T, Wulandari Z, Andreas E. 2013. Isolation and characterization of plantaricin produced by Lactobacillus plantarum Strain (IIA/1A5,IIA/1B1, IIA/2B2). Media Peternakan. 91-100.

Budiarti. 1997. Pelekatan pada sel HEp-2 dan keragaman serotipe O Escherichia coli enteropatogenik isolat Indonesia. Berkala Ilmu Kedokteran. 29 : 105-110.

Budiarti, Mubarik NR. 2007. Extracellular protease activity of enteropathogenic Escherichia coli mucin substrate. Hayati J Biosci. 14 (1): 36-38

Boziaris IS, Adams NM. 1999. Effect of helators and nisin produced in situ on inhibition and inactivation of gram negatives. J Food Microbiol. 53: 105-113.

Diep D, Hacarstein LS, Nes IF. 1996. Characterization of the locus responsible for the bacteriocin production in Lactobacillus plantarum C11. J of Bacteriology. 178 : 4472–4483.

Eppy. 2009. Diare Akut. J Medicinus. 22: 91-98.

Hata T, Tanaka R, Ohmomo S. 2010. Isolation and characterization of plantaricin ASM1: A new bacteriocin produced by Lactobacillus plantarum A-1. J Food Microb. 137: 94-99.

Hernandez D, Cardell E, Zarate V. 2005. Antimicrobial activity of lactic acid bacteria isolate from Tenerife cheese: initial characterization of plantaricin TF711, a bacteriocin-like substance produced by Lactobacillus plantarum TF711. J of App Microb. 99: 77-84.

Holo H, Jeknic Z, Daeschel M, Stevanovic S, Nes IF. 2001. Plantaricin W from Lactobacillus plantarum belongs to new family of two-peptide lantibiotics. J Microbiology. 147:643-651.

Ismail INA, Noor HM, Muhammad HS, Radzi, Kader AJ, Rehan MM, Muhamad R. 2013. Protein produced by Lactobacillus plantarum ATCC 8014 during stress. J of Science and Tech Research. 1(8): 174-181.

(26)

14

Kalolou, I, Zerdani I, Faid M. 2010. Antagonistic action of biopreservative Lactobacillus plantarum Strain on Pathogenic E.coli 0157:H7 in fresh camel meat stored at 10C. J of Dairy & Food Science. 5(1): 7-13.

Kanmani P, Kumar RS, Yuvaraj N, Paari, Pattukumar V, Arul V. 2010. Comaprison ofantimicrobial activity of probiotic bacteriumStreptococcus phocae P 180, Enterococcusfaecium MC 13 and Carnobacterium divergensagainst fish pathogen. World J Dairy & Food Sci. 5: 145-151. Lowry OH, Rosenbrough NJ, Fair AL, and Randall RJ. 1951. Protein

measurement with the folin fenol reagent. J Biological Chemist. 193:265-275.

MaldonadoA, Ruiz-Barba JL, Jime´nez-Díaz R. 2003.Purification and Genetic Characterization of Plantaricin NC8, a Novel Coculture-Inducible Two-Peptide Bacteriocin from Lactobacillus plantarum NC8. J Appl Environmental Microb. 69 : 383-389.

McAuliffe, Hill C, Ross RP. 1999. Inhibition of Listeria monocytogenes in cottage cheese manufactured with a lacticin 3147 producing starter culture. J Appl Microb. 86:251-256.

Puolanne EJ, Marita HR, Jukka IV. 2001. Combined effect of NaCl and raw meat pH on water holding in cooked sausage with and without added phosphate. J Meat Sci. 58: 1-7.

Saenz Y, Rojo-Bezares B, Navarro L, Diez L. Samalo S, Zarazaga M, Ruiz-larrea, Torres C. 2009. Genetic diversity of pln locus among oenological Lactobacillus plantarum strains. Int J Food Microbial. 134: 176-183. Smetankova J, Hladikova Z, Zimanova M, Greif G, Greifova M. 2014.

Lactobacilli isolated from lump sheep‟s cheeses and their antimicrobial

properties. Appl.Microbial Biotechnol. 2: 152-157.

Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Edisi ke-2. Terjemahan B. Sumantri. Jakarta (ID): PT. Gramedia.

Tiwari, SK & Srivastava S. 2008. Purification and characterization of plantaricin LR14: a novel bacteriocin produced by Lactobacillus plantarum LR14. Appl.Microbial Biotechnol. 7(2): 129-135.

Todorov SD, Wachsman MB, Knoetze H, Meincken M, Dicks LM. 2005. An antibacterial and antiviral peptide produced by Enterococcus mundtii ST4V isolated from soy beans. Int J Antimicrob Agent. 25(6): 508-513. Todorov SD, Nyati H, Meincken M, Dicks LMT. 2007. Partial characterization of

bacteriocin AMA-K, produced by Lactobacillus plantarum AMA-K isolated from naturally fermented milk from Zimbabwe. J Food Control. 18(6) : 656–664.

Van-Reenan CA, Dicks LMT, Chikindas ML. 1998. Isolation, purification and partial characterization of plantaricin 432, a bacteriocin produced by Lactobacillus plantarum. J Appl Microb. 84: 1131-1137.

Vásquez SM, Suárez H, Montoya OI. 2009. Evaluación bacteriocin as protective for the biopreservation of refrigerated meat. Revista Chilena de Nutrición. 36 (3): 228-238.

Zacharof MP, Lovitt RW. 2012. Bacteriocins produced by lactic acid bacteria. Bangkok (TH). Procedia APCBEE. 2: 50-56.

(27)

15

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Oktober 1990 di Aek kanopan, Medan.Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak A.Sihombing STh, dan Ibu J Sinaga Spd.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Negeri 112282 dan diselesaikan pada tahun 2001. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama pada tahun 2006 di SMP St.Yosef Aek kanopan. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas pada tahun 2009 di SMA Negeri 1 Kualuh Hulu.Penulis menyelesaikan program Sarjana Peternakan tahun 2013.

(28)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging sapi merupakan produk pangan asal ternak yang paling disukai oleh masyarakat pada umumnya. Disamping rasanya enak dan khas, sejumlah asam amino essensial yang terdapat dalam daging memiliki nilai kecernaan yang baik sebagai salah satu sumber protein hewani. Selain protein, daging juga mengandung air, lemak, karbohidrat dan kompenen anorganik. Kandungan vitamin dalam daging bermanfaat bagi kesehatan walaupun terdapat dalam jumlah sedikit. Daging dapat didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya.

Daging mengandung nutrisi dengan kandungan yang lengkap sehingga memudahkan mikroorganisme tumbuh pada daging. Pertumbuhan mikroorganisme pada daging dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah suhu, kadar air, oksigen, nilai pH, dan kandungan nutrisi daging. Mikroorganisme yang terdapat di dalam daging dapat menyebabkan kerusakan daging yang berlanjut pada kebusukan daging. Kontaminasi bakteri yang dapat mengakibatkan daging busuk dapat ditularkan melalui infeksi penyakit hewan pedaging yang tejangkit penyakit seperti antraks, tuberkulosis bovine (penyakit endogenus) maupun melalui kontaminasi setelah ternak mati (penyakit eksogenus). Sebagian besar penyakit foodborne diseases seperti diare dan demam typus ditularkan saat mengkonsumsi produk pangan asal ternak. Menurut Budiarti et al. (1997), 55% kasus infeksi diare disebabkan oleh Enteropatogenik Escherichia coli.

Berbagai bahan pengawet telah banyak diteliti untuk dapat mengurangi cemaran mikroba yang ada pada daging. Penggunaan bahan pengawet pada makanan dimaksudkan untuk memperpanjang masa simpan makanan dengan mempertahankan sifat fisik dan nutrisi makanan. Proses pengawetan makanan di

Indonesia sering disalahartikan oleh sebagian orang sebagai „ajang‟ untuk

memperoleh keuntungan setinggi-tingginya yaitu dengan cara penggunanaan bahan pengawet kimia dengan harga murah serta dapat mempertahankan sifat fisik makanan tanpa memperhatikan kandungan nutrisi makanan yang diawetkan. Formalin dan boraks merupakan contoh bahan pengawet kimia yang paling sering ditemukan di pasaran. Padahal formalin dan boraks tidak boleh digunakan sebagai pengawet makanan karena sangat berbahaya bagi kesehatan. Bila terkonsumsi dalam konsentrasi tinggi, racunnya akan memepengaruhi kerja syaraf dan dapat bersifat karsiogenik. Oleh karena pemahaman masyarakat akan bahaya bahan pengawet kimia semakin meningkat, maka perlu dilakukan pencarian bahan pengawet alami/hayati yang aman untuk kesehatan manusia.

(29)

2

sebagai mikroorganisme yang Generally Recognized As Safe (GRAS) yaitu mikroorganisme yang tidak beresiko terhadap kesehatan bahkan beberapa jenis bakteri tersebut berguna bagi kesehatan. Lactobacillus plantarum merupakan salah satu strain bakteri asam laktat penghasil bakteriosin yang dikenal sebagai plantarisin (Diep et al. 1996; Holo et al. 2001; Maldonado et al. 2003).

Lactobacillus plantarum IIA-1A5 telah diteliti memproduksi bakteriosin dengan beberapa karakteristik tertentu, diantaranya mampu bertahan pada suhu pasteurisasi (80ºC selama 30 menit) dan suhu sterilisasi (121ºC 15 menit), tetap aktif pada kisaran pH 4 sampai 9, dapat didegradasi oleh enzim protease. Plantarisin IIA-1A5 terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus (Arief et al. 2013). Hal ini menunjukkan plantarisin IIA-1A5 berpotensi untuk diaplikasikan sebagai bahan pengawet alami untuk mengendalikan cemaran mikroba yang terdapat di daging. Aplikasi plantarisin IIA-1A5 akan menjadi teroboson untuk perkembangan dunia bioteknologi dalam bidang pengawetan makanan karena lebih aman untuk dikonsumsi, aktif dalam konsentrasi rendah dan mempunyai daya simpan yang baik

Tujuan Penelitian

Melakukan uji tantang plantarisin asal Lactobacillus plantarum IIA-1A5 terhadap bakteri patogen. Mempelajari kualitas daging sapi yang diawetkan dengan plantarisin 0.2% dan kontrol (tanpa plantarisin) selama penyimpanan 0, 5, 10, dan 15 jam pada suhu ruang.

Manfaat Penelitian

Plantarisin IIA-1A5 dapat dijadikan sebagai salah satu pengawet alami pada daging untuk mengurangi cemaran mikroba yang terdapat di daging. Seringkali, daging yang diangkut dari RPH tidak menggunakan truk yang dilengkapi dengan mesin pendingin sehingga selama pengangkutan daging dari RPH ke pasar dapat mengakibat cemaran mikroba meningkat melewati batas cemaran yang ditetapkan oleh SNI (2008). Oleh karena itu, plantarisin dapat dijadikan alternatif pengawet alami dengan metode penyemprotan.

Ruang Lingkup Penelitian

(30)

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai Juni 2014.

Bahan

Bahan utama yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah daging sapi, isolat Lactobacillus plantarum IIA-1A5 koleksi Irma IA dari Laboratorium THT, bakteri patogen koleksi Sri Budiarti dari Labotorium Bioteknologi, media pengkayaan bakteri, folin, reagen A (50 ml Na2CO3 2% dalam NaOH 0,1 N + 1

ml CuSO4 0,5% dalam Na K tartrat) serta bahan-bahan analisis (tercantum dalam

prosedur).

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Heidolph VV micro evaporator, spektofotometer UV-VIS, membran saring minisart, membran dialisis, dan kolom kromatografi pertukaran ion HiTrap SP XL 5 mL (GE Healthcare UK).

Prosedur

Purifikasi Plantarisin Lactobacillus plantarum IIA-1A5

Purifikasi plantarisin bertujuan untuk mendapatkan plantarisin murni meliputi beberapa tahapan, antara lain tahapan purifikasi parsial dengan menggunakan amonium sulfat, dialisis, dan purifikasi dengan menggunakan kromatografi pertukaran ion.

Purifikasi Parsial dengan Menggunakan Amonium Sulfat (Modifikasi Hata

et al. 2010)

Sebanyak 1000 mL media de Man Rogosa Sharp Broth (MRSB) diinokulasi dengan 10% kultur Lactobacillus plantarum IIA-1A5, diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ᵒC. MRSB yang telah ditumbuhi Lactobacillus plantarum IIA-1A5 disentrifugasi selama 20 menit dengan kecepatan 10000 rpm

pada suhu 4˚C untuk mendapatkan supernatan bebas sel (SBS). Supernatan

(31)

4

Dialisis (Hata et al. 2010)

Presipitat plantarisin didialisis dengan menggunakan membran dialisis berdiameter 20 µm dan direndam dalam buffer potassium phosphate selama 12 jam. Buffer diganti sebanyak 3 kali yaitu pada jam kedua, keempat, dan keenam.

Proses dialisis ini dilakukan pada suhu 4˚C.

Purifikasi Menggunakan Kromatografi (Hata et al. 2010)

Kolom HiTrap SP XL volume 5 mL dibilas dengan aquabidest sebanyak tiga kali volume kolom dan buffer A (20 mM buffer fosfat pH 6.0) sebanyak empat kali volume kolom. Sampel plantarisin dimasukkan ke dalam kolom SP XL dengan bantuan syringe secara pelan-pelan dan pada saat memasukkan ke kolom, ada larutan yang menetes di bawah ditampung di tabung reaksi disebut FT (Flow Trough). Campuran buffer A dan buffer B (buffer fosfat 20 mM pH 6.0 0.5 M NaCl) yang dibagi ke dalam fraksi LE1, LE2, LE3, LE4, LE5, LE6, LE7, LE8, LE9, dan LE10 dimasukkan secara bertahap untuk mengelusikan protein plantarisin yang terikat pada kolom dan bagian yang menetes dari kolom disebut plantarisin murni ditampung dengan tabung reaksi. Seluruh tahapan ini dilakukan

pada 4˚C. Konsentrasi plantarisin hasil kromatografi diukur dengan menggunakan spektofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 280 nm.

Elektroforesis SDS Page (Hata et al. 2010)

Elektroforesis dilakukan untuk mengetahui massa molekul protein plantarisin murni hasil kromatografi dengan menggunakan konsentrasi polyacrilamide 6% pada stacking gel (gel penggertak) dan 15% pada resolving gel (gel pemisah). Band yang muncul dibandingkan dengan marker sehingga akan diketahui bobot molekul protein dan fraksi yang mengandung plantarisin murni.

Konsentrasi Protein Plantarisin IIA-1A5

Konsentrasi protein dbuat secara serial dengan konsentrasi standar protein Bovine Serum Albumin (BSA) dari 0.1-0.2-0.4-0.6-0.8-1 mL di dalam tabung reaksi. Masing-masing protein BSA ditambahkan aquadest 0.9-0.8-0.6-0.4-0.2-1 mL sehingga volumenya menjadi 1 mL. Reagen A ditambahkan sebanyak 1 mL ke masing-masing tabung rekasi selanjutnya folin sehingga terbentuk warna biru. Untuk menentukan konsentrasi protein maka dibuat kurva standar dengan pengukuran menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 650nm (Lowry et al. 1951).

Uji Tantang Plantarisin IIA-1A5 Terhadap Bakteri Patogen

(32)

5 di refrigerator selama 3 jam dan ditutup dengan kertas saring. Cawan tersebut selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC. Aktivitas antimikrob plantarisin ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar paper disc dan diukur diameternya (Kanmanet al. 2010). Persentasi protein plantarisin yang berbeda (0.2, 1, 10, 25 dan 50 %) digunakan untuk mengetahui daya hambat minimal plantarisin IIA-1A5 yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet alami pada daging.

Aplikasi Bakterisin Plantarisin IIA-1A5 pada Daging Sapi

Sebanyak 300 gram daging sapi diletakkan masing-masing pada dua wadah steril. Untuk daging dengan perlakuan plantarisin, sebanyak 0.2% plantarisin diencerkan sebanyak 100x dengan aquabidest. Plantarisin disemprotkan pada seluruh bagian daging secara merata dan ditunggu 30 menit sampai plantarisin meresap ke daging. Daging selanjutnya dibagi pada empat plastik setril disimpan pada suhu ruang untuk dianalisa pada jam ke-0, 5, 10 dan 15 jam.

Analisis Kualitas Fisikokimia Daging Sapi

Nilai pH dianalisis diukur dengan menggunakan pH meter (Hanna Instrument, USA). Water activity diukur dengan aw meter SAL-T&Sensor-Check

SC Number 75.

Analisis Kualitas Mikrobiologis Daging Sapi

Analisis mikrobiologi dilakukan dengan pour plate method menggunakan media baird parker agar (BPA) untuk uji bakteri Staphylococcus aereus, xylose lysine desoxycholate agar (XLDA) untuk uji bakteri Salmonella dan eosyn methylen blue agar (EMBA) untuk uji E. coli. Pemupukan untuk bakteri patogen diambil dari pengenceran 101,102 dan 103.Sampel diinkubasi selama 24 jam pada

suhu 37˚C (AOAC 2005).

Prosedur Analisis Data

Data penelitian dikoleksi dan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) berdasarkan rancangan acak lengkap faktorial 2x3 dengan dua faktor perlakuan (0.2% plantarisin dan kontrol) dan 3 ulangan. Jika terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan akan dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel & Torrie 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Purifikasi Plantarisin IIA-1A5

(33)

6

sehingga didapat supernatan bebas sel (SBS). Nilai pH SBS dinetralkan dengan NaOH 1N sehingga berada pada kisaran pH 5.8-6.2. hal ini bertujuan untuk mentralisir hidrogen peroksida yang juga dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum IIA-1A5. Produksi bakteriosin terjadi pada kisaran pH 6.0 sampai 5.2. hanya sebagian kecil bakteriosin yang diproduksi pada pH rendah (5.0). sebagian mungkin besar nilai pH untuk produksi bakteriosin tergantung pada spesies atau strain (Borcena et al. 1998).

Proses penjenuhan dengan menggunakan serbuk amonium sulfat ditambahkan untuk membuat protein plantarisin IIA-1A5 “salt out”. Proses penambahan harus dilakukan secara bertahap karena apabila dilakukan secara berlebihan akan mengakibatkan amonium sulfat tidak terlarut dan protein plantarisin IIA-1A5 yang dihasilkan akan berbau garam. Total presipitat plantarisin yang dihasilkan dari 3 L sepernatan bebas sel sekitar 45 mg. Pengurangan volume SBS terjadi karena proses evaporasi yang dilakukan bertujuan untuk membuang sebagian aquadest yang digunakan untuk membuat media MRSB. Tahapan dialisis bertujuan untuk membuang serbuk amonium sulfat yang mungkin masih bercampur dengan presipitat plantarisin IIA-1A5. Proses pemisahan antara plantarisin IIA-1A5 dengan serbuk amonium sulfat dengan menggunakan gaya difusi selektif melalui membran semipermeabel. Hasil tahapan dialisis disebut sebagai plantarisin kasar.

Tahapan selanjutnya adalah purifikasi dengan menggunakan kolom kromatografi Hitrap SP xl dengan volume 5 mL untuk memurnikan plantarisin IIA-1A5. Kolom SP Xl mengandung fase stasioner dan fase gerak. Protein plantarisin IIA-1A5 dielusikan dengan 10 fraksi dengan kandungan NaCl yang semakin meningkat pada tiap fraksinya. Hasil pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm memperlihatkan bahwa konsentrasi protein plantarisin IIA-1A5 terdapat pada fraksi LE1, LE2, LE3, dan LE4. Secara acak maka, dipilih fraksi LE1 untuk diuji aktivitas antimikrob dan diaplikasikan pada daging sebagai bahan pengwet daging.

Gambar 1. Konsentrasi protein berdasarkan spektrofotometer (280nm) 0

LE1 LE2 LE3 LE4 LE5 LE6 LE7 LE8 LE9 CUCI

(34)

7

Bobot Molekul dan Konsentrasi Protein Plantarisin IIA-1A5

Sodium Dodecyl Sulphate Poly Acrilamide Gel Electrophoresis (SDS page) yang dilakukan berhasil mendeteksi pita tunggal protein plantarisin dari Lactobacilllus plantarum IIA-1A5 hasil kromatografi. Berdasarkan elektroforesis SDS page diketahui bobot molekul plantarisin IIA-1A5 adalah 6.55 kDa (Gambar 1). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan plantarisin yang diproduksi oleh Lactobacillus plantarum TF711 sekitar 2.5kDa (Hernandez et al. 2005).Isolasi Lactobacillus plantarum 423 dari bir sorgum menghasilkan plantarisin dengan bobot molekul sekitar 3.5 kDa (Van-reenan et al. 1998). Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan strain Lactobacillus plantarum akan mempengaruhi karakteristik plantarisin yang dihasilkan. Berdasarkan bobot molekul tersebut, plantarisin IIA-1A5 termasuk jenis bakteriosin kelas IIa. Bakteriosin kelas IIa berukuran kecil (<10 kDa) dan bersifat relatif stabil terhadap panas (Zacharof & Lovitt 2012).

Gambar 2. Profil hasil SDS Page. a: Low marker, b: plantarisin

Konsentrasi protein plantarisin yang dihasilkan Lactobacillus plantarum IIA-1A5 adalah 76.53 µg/mL. Konsentrasi protein plantarisin ASM1 adalah 17500 µg/mL (Hata et al. 2010) sedangkan pada plantarisin LR14 berada pada kisaran 59,21 µg/mL (Tiwari & Srivasta 2008). Hal ini membuktikan bahwa perbedaan strain Lactobacillus plantarum akan mempengaruhi karakteristik plantarisin yang dihasilkan (Saenz et al. 2009).

(35)

8

Aktivitas Antimikrob Plantarisin IIA-1A5

Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) K11 merupakan bakteri yang diisolasi dari feses anak-anak penderita diare (Budiarti et al. 1997). EPEC merupakan salah satu dari enam viro tipe E. coli yang dapat menyebabkan diare.Terdapat enam viro tipe Escherichia coli yang biasanya dapat menyebabkan diare pada manusia yaitu enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC), enteropathogenic E. coli (EPEC), and enteroaggregative E. coli (EAEC). Escherichia coli adalah bakteri gram negatif anaerobik fakultatif terbanyak dari mikroflora usus. EPEC merupakan penyebab utama kasus infeksi diare. Sebanyak 55% kasus infeksi diare di Indonesia menyerang bayi dan anak-anak. Diare merupakan penyebeb kematian kedua pada anak-anak mulai usia 5 tahun dengan jumlah 1.3 juta kematian per tahun (Black et al. 2010). EPEC menyebabkan diare berair, kronis sering disertai dengan demam dan muntah. EPEC dapat ditularkan ke manusia melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi atau air yang terkontaminasi.

Shigella adalah bakteri patogen kedua yang paling sering dideteksi pada penderita diare (Eppy 2009). Salmonella merupakan jenis bakteri yang sering mengkontaminasi pangan asal ternak seperti daging, susu serta produk olahannya yang dapat mengakibatkan terjadinya wabah salmonelosis. Wabah salmonellosis dapat menyebab kematian penduduk sekitar 3 juta setiap tahunnya di negara berkembang (Zein et al. 2004). Salmonella merupakan salah satu penyebab keracunan makanan. Biasanya, orang-orang yang terinfeksi Salmonella tidak menunjukkan gejala dan dapat kembali sehat dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Akan tetapi, Salmonella dapat menyebabkan penyakit lebih serius pada orang dewasa yang lebih tua, bayi, dan orang-orang dengan penyakit kronis. Infeksi Salmonella biasanya disebabkan saat memakan makanan mentah atau kurang masak misal daging, telur atau produk olahannya. Ketiga isolat bakteri patogen tersebut bersifat intoksikasi sehingga penting untuk diteliti karena dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi silang. Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan.

Plantarisin diproduksi oleh Lactobacillus plantarum IIA-1A5 memiliki aktivitas antimikrob yang sedang terhadap bakteri patogen meliputi Salmonella P38, EPEC K11 dan Shigella A33 (Tabel 1) (Ismail et al 2013). Daya hambat plantarisin IIA-1A5 terhadap bakteri EPEC K11 lebih baik dibandingkan antibiotik. Hal ini disebabkan bakteri EPEC K11 bersifat resisten terhadap tetrasiklin dan ampisilin (Budiarti & Mubarik 2007). Daging sapi dan ayam mentah merupakan jenis makanan yang sering menjadi penyebab diare. Oleh karena itu, plantarisin IIA-1A5 dapat direkomendasikan sebagai pengawet alami pada daging untuk mengurangi resiko infeksi diare di Indonesia.

(36)

9 aktivitas antimikrob terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Todorov & Dicks 2005). Lactobacilllus plantarum diisolasi dari dua makanan fermentasi Nigeria, ogi dan tufu menghambat lebih dari 40% strain bakteri gram negatif dari ikan lele (Adenika et al. 2009). Aktivitas penghambatan bakteriosin bergantung pada produsen dan strain dihambat (Smetankova et al. 2014).

Tabel 1. Diameter zona hambat plantarisin IIA-1A5 terhadap bakteri pathogen (mm)

Gambar 4. Aktivitas antimikrob plantarisin IIA-1A5 terhadap bakteri patogen. (a) Shigella A33 (b) EPEC K11 (c) Salmonella P38

Persentasi Plantarisin

Konsentrasi protein (µg/mL)

EPEC K11 Salmonella P38

Shigella A33

0% 0 0 0 0

0.2% 0.153 7.21±0.23 7.32±0.23 7.14±0.26 1% 0.7653 7.24±0.21 7.42±0.34 7.25±0.43 10% 7.653 7.37±0.25 7.58±0.88 9.10±1.02

25% 19.35 7.34±0.93 7.52±0.64 8.78±0.3

50% 38.265 7.55±0.36 8.98±0.10 8.63±0.64

b a

(37)

10

Aplikasi Plantarisin IIA-1A5 pada Daging Sapi

Nilai pH dan aw adalah parameter fisikokimia yang paling penting untuk

menentukan kualitas makanan. Nilai pH dagingdapat mempengaruhi warna, kelembutan dan kualitas makanan (Jelenikova et al.2008). Tabel 2 menunjukkan bahwa pada awal penyemprotan plantarisin IIA-1A5 sebagai bahan pengawet alami pada daging sapi dapat meningkatkan aktivitas air (water activity) daging sapi. Hal ini karena, plantarisin yang disemprotkan terlebih dahulu diencerkan dengan aquabidest. Setelah pengamatan jam ke-5, aktivitas air pada daging sapi cenderung menurun. Arief et al. (2012) yang menyatakan bahwa pemberian bahan pengawet cenderung dapat menurunkan aktivitas air. Sebenarnya, penurunan aw

merupakan kondisi yang sesuai untuk menghambat pertumbuhan bakteri pada pangan. Penurunan aktivitas air pada pangan dilakukan dengan cara menambahkan padatan, ion, koloid hidrofilik, pembekuan dan pengeringan. Tabel 2. Kondisifisikokimia daging sapi pada penyimpanan suhu ruang Kondisi

0.90±001 0.90±0.02 0.88±0.01 0.90±0.02 Kontrol 0.89±0.03 0.89±0.01 0.88±0.01 0.89±0.02

pH Plantarisin

0.2%

5.44±0.08 5.43±0.05 5.44±0.07 5.43±0.04 Kontrol 5.38±0.08 5.40±0.07 5.42±0.01 5.44±0.04 Nilai pH yang diperoleh pada penelitian cukup baik yaitu berkisar 5.3 sampai 5.4 (Tabel 2). Menurut Puolanne et al. (2001), nilai rataan pH akhir daging berkisar 5.4 dan 6.0, tergantung pada potensi glikolitik pada saat pemotongan. Perbedaan nilai pH daging dengan plantarisin IIA-1A5 dan kontrol (tanpa plantarisin IIA-1A5) disebabkan aktivitas air yang sedikit lebih tinggi pada daging dengan perlakuan plantarisin dibandingkan kontrol. Setelah 5 jam, nilai pH daging dengan perlakuan 0.2% plantarisin cenderung lebih stabil. Hal ini berbeda dengan nilai pH daging tanpa plantarisin yang cenderung meningkat selama penyimpanan. Peningkatan nilai pH mencerminkan terjadinya tingkat kerusakan daging melalui proses degradasi protein dengan produksi asam amino bebas, yang mengarah pada pembentukan senyawa alkali seperti NH3 dan amina (Vázquez et al.2009).

(38)

11

c d

Gambar 5. Perubahan warna daging selama penyimpanan di suhu ruang (a) 0 jam, (b) 5 jam, (c) 10 jam, (d) 15 jam, (kanan) daging tanpa plantarisin, (kiri) daging denfan plantarisin

Total mikroba atau jumlah Total Plate Count (TPC), Staphylococcus aureus, Escherichia coli merupakan indikator kontaminasi yang paling sering diuji, karena ketiga bakteri tersebut secara alami terdapat pada daging sapidan apabila melebihi jumlah batasan normal akan mengakibatkan penyakit. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang mencemari daging ditentukan oleh tingkat pengendalian higienis yang dilaksanakan selama penanganan, diawali saat penyembelihan ternak dan pembersihan karkas hingga sampai ke konsumen. Pertumbuhan mikroorganisme berhubungan erat dengan kualitas daging segar. Tabel 3.Aplikasi penghambatan platarisin 0.2% pada daging sapi

Kualitas

2.02±0.23 2.00±0.56 1.98±0.92 1.73±1.13 Kontrol 2.49±0.11 2.69±0.11 2.72±0.23 2.92±0.30 Salmonella Plantari-

sin 0.2%

Negatif Negatif Negatif Negatif Kontrol Negatif Negatif Negatif Negatif

Huruf yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)

(39)

12

lainnya. Bakteriosin dapat merusak dinding sel bakteri, sehingga menyebabkan kematian E.coli (Hata et al. 2010). Kalalou et al. (2010) melaporkan bahwa suspensi sel bakteri Lactobacillus plantarum pada daging unta yang disimpan pada suhu 10ºC dapat menurunkan viabiltas E.coli sebesar 2 log cfu/g.

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif indikator adanya kontaminasi dari pekerja maupun alat yang digunakan. Populasi bakteri Staphylococcus aureus pada daging dengan 0.2% plantarisin lebih rendah dibandingkan dengan yang ditetapkan oleh standar SNI-3932-2008 yaitu 2 log cfu/g. Setelah penyimpanan selama 5 jam, bakteri Staphylococcus aureus pada daging dengan 0.2% plantarisin cenderung menurun. Pada kontrol, dapat dilihat bahwa populasi Staphylococcus aureus mengalami peningkatan setiap jam (3 log cfu/g).

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa daging sapi tidak mengandung Salmonella spp. Hal ini menunjukkan bahwa daging tidak terkontaminasi oleh kotoran ternak yang terinfeksi.Ternak yang terkena salmonellosis dapat mengkontaminasi pangan yang disekitarnya.Salmonella merupakan bakteri patogen yang berbahaya. Salmonella dapat menyebabkan demam tifusa dan paratifus. Perlakuan pemanasan 65oC sampai 74oC dapat mengurangi efek salmonellosisi pada daging. Plantarisin IIA-1A5 efektif menghambat bakteri gram positif dan negatif. Hal ini berbeda dengan nissin yang diproduksi Lactococcus lactis yang hanya mampu melawan bakteri gram positif (McAuliffe et al. 2001).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Protein plantarisin IIA-1A5 memiliki bobot molekul 6.55 kDa dengan konsentrasi protein 76.53 µg/mL. Plantarisin IIA-1A5 memiliki daya hambat sedang terhadap bakteri patogen. Plantarisin IIA-1A5 efektif menghambat bakteri patogen gram negatif dan positif yang biasanya terdapat di dalam daging sehingga dapat direkomendasikan sebagai pengawet alami pada daging.

Saran

(40)

13

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association Official Analitycal Chemistry. 2005. Official Method of Analysis. 18th Edition. Maryland (USA): AOAC International.

Adenika A, Ogunshe O, Olakbode OP. 2009. Antimicrobial potentials of indegenous Lactobacillus strains on gram-negative indicator bacterial species from Clarias gariepinus (Burchell.) microbial inhibition of fish-borne pathogens. Afric J of Microb Research. 3 (12): 870-876.

Arief II. 2011. Characterization of indigenous lactic acid bacteria from beef as probiotic and identification by 16S rRNA gene sequencing. (tesis). Bogor (ID): Insitut Pertanian Bogor.

Arief II, Jenie BSL, Suryati T, Ayuningtyas G, Fauziawan A. 2012. Antimrobial activity of bacteriocin from indegenous Lactobacillus plantarum 2C12 and its application on beef meatballs as biopreservative. J Indo Trop. 37 (2): 90-95.

Arief II, Jakaria, Suryati T, Wulandari Z, Andreas E. 2013. Isolation and characterization of plantaricin produced by Lactobacillus plantarum Strain (IIA/1A5,IIA/1B1, IIA/2B2). Media Peternakan. 91-100.

Budiarti. 1997. Pelekatan pada sel HEp-2 dan keragaman serotipe O Escherichia coli enteropatogenik isolat Indonesia. Berkala Ilmu Kedokteran. 29 : 105-110.

Budiarti, Mubarik NR. 2007. Extracellular protease activity of enteropathogenic Escherichia coli mucin substrate. Hayati J Biosci. 14 (1): 36-38

Boziaris IS, Adams NM. 1999. Effect of helators and nisin produced in situ on inhibition and inactivation of gram negatives. J Food Microbiol. 53: 105-113.

Diep D, Hacarstein LS, Nes IF. 1996. Characterization of the locus responsible for the bacteriocin production in Lactobacillus plantarum C11. J of Bacteriology. 178 : 4472–4483.

Eppy. 2009. Diare Akut. J Medicinus. 22: 91-98.

Hata T, Tanaka R, Ohmomo S. 2010. Isolation and characterization of plantaricin ASM1: A new bacteriocin produced by Lactobacillus plantarum A-1. J Food Microb. 137: 94-99.

Hernandez D, Cardell E, Zarate V. 2005. Antimicrobial activity of lactic acid bacteria isolate from Tenerife cheese: initial characterization of plantaricin TF711, a bacteriocin-like substance produced by Lactobacillus plantarum TF711. J of App Microb. 99: 77-84.

Holo H, Jeknic Z, Daeschel M, Stevanovic S, Nes IF. 2001. Plantaricin W from Lactobacillus plantarum belongs to new family of two-peptide lantibiotics. J Microbiology. 147:643-651.

Ismail INA, Noor HM, Muhammad HS, Radzi, Kader AJ, Rehan MM, Muhamad R. 2013. Protein produced by Lactobacillus plantarum ATCC 8014 during stress. J of Science and Tech Research. 1(8): 174-181.

Gambar

Gambar 2. Profil hasil SDS Pageplantarisin yang dihasilkan (Saenz kisaran 59,21 µg/mL (Tiwari & Srivasta 2008)
Tabel 1. Diameter zona hambat plantarisin IIA-1A5 terhadap bakteri   pathogen    (mm)
Tabel 3.Aplikasi penghambatan platarisin 0.2% pada daging sapi
Gambar 3.Grafik persamaan fungsi untuk menentukan konsentrasi protein          plantarisin IIA-1A5 dengan persamaan garis: Y= 0.023X -0.026
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti di Posyandu Lansia Abadi V Puspasari Nilasari Kartasura Sukoharjo mengenai hubungan gerakan sholat dengan keluhan nyeri

(2013) bahwa kompetensi pedagogik pada dasarnya adalah kemampuan guru. dalam mengelola pembelajan peserta didik serta kemampuan

Hal penting yang perlu diperhatikan bahwa dalam perkembangan anak, sebagian stimulasi lebih banyak diberikan oleh ibu dari pada ayah atau anggota keluarga lainnya

Tahapan preparasi bertujuan untuk menghilangkan pengotor yang terkandung dalam serbuk kayu randu, tahap pengadukan dengan stirrer bertujuan untuk melepaskan

Selain itu, organisasi perlu memperhatikan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi motivasi karyawan, dalam hal ini diperlukan adanya peran organisasi

This study is limited to analysing formulaic expressions in the students‟ interactions such as collocations, idioms, lexical bundles, inserts, and binomial

Tingkat signifikansi variabel ukuran perusahaan yaitu sebesar 0,000 &lt; 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ukuran perusahaan (SIZE) berpengaruh signifikan terhadap

Hal ini dilakukan oleh Jamal karena ia ingin membuat situasi pasar menjadi gaduh, sehingga Dikdik bisa lengser dari jabatannya karena dinilai tidak bisa menjaga keamanan