• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Beras Pecah dan Penggunaan Tepung-tepungan Lokal untuk Meningkatkan Kualitas Kerupuk Beras.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Beras Pecah dan Penggunaan Tepung-tepungan Lokal untuk Meningkatkan Kualitas Kerupuk Beras."

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN BERAS PECAH DAN PENAMBAHAN

TEPUNG-TEPUNGAN LOKAL UNTUK MENINGKATKAN

KUALITAS KERUPUK BERAS

MICHAEL

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Pemanfaatan Beras Pecah dan Penambahan Tepung-tepungan Lokal untuk Meningkatkan Kualitas Kerupuk Beras adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013

Michael

(4)

ABSTRAK

MICHAEL. F34090132. Pemanfaatan Beras Pecah dan Penggunaan Tepung-tepungan Lokal untuk Meningkatkan Kualitas Kerupuk Beras. Dibimbing oleh TITI CANDRA SUNARTI.

Kerupuk beras merupakan salah satu makanan kecil yang populer di Indonesia. Kerupuk beras umumnya dihasilkan dari beras kepala sehingga menyebabkan harga produk yang relatif tinggi. Selain itu, kerupuk beras memiliki tekstur yang kasar sehingga kurang disukai konsumen. Penelitian ini bertujuan memanfaatkan beras pecah untuk mensubstitusi beras kepala dalam pembuatan kerupuk beras dan memformulasi penambahan tepung-tepungan lokal untuk meningkatkan kualitas kerupuk beras yang dihasilkan. Pada penelitian ini kerupuk beras dibuat dengan mengkombinasikan 2 jenis beras (beras pecah atau beras kepala) dengan 3 jenis tepung-tepungan lokal (sagu, tapioka, atau MOCAF/modified cassava flour). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kandungan pati (amilopektin), lemak, dan protein bahan baku mempengaruhi karakteristik kerupuk beras. Kerupuk beras dari beras pecah menghasilkan densitas kamba, daya pengembangan, kerenyahan, rasa, dan tekstur yang lebih baik dibandingkan beras kepala. Penambahan sagu pada adonan kerupuk beras menghasilkan karakteristik daya pengembangan, warna, dan tekstur kerupuk beras lebih baik daripada tapioka dan MOCAF. Kerupuk beras hasil kombinasi beras pecah dan sagu menghasilkan karakteristik kerupuk beras terbaik dan disukai konsumen.

(5)

ABSTRACT

MICHAEL. F34090132. The Utilization of Broken Rice and Local Flours to Improve the Quality of Rice Crackers. Supervised by TITI CANDRA SUNARTI.

Kerupuk beras (rice crackers) is one of the popular snacks in Indonesia. Rice crackers made from whole rice grain which caused its high price. Moreover, the coarse and rough texture of rice crackers is not preferred by consumer. The objectives of this research are to substitute the utilization of whole rice grain into broken rice grain in rice crackers production and to formulate the addition of local flours to improve the quality of rice crackers. In this research, rice crackers produced by combining two kinds of rice (whole rice grain or broken rice grain) with three kinds of local flour (sago, tapioca, or MOCAF/modified cassava flour). The composition of raw materials such as, starch (amylopectin), fat, and protein contents influenced to the characteristic of rice crackers. The research results showed that rice crackers from broken rice grain produced better bulk density, expanding capability, crispiness, taste, and texture compared to whole rice grain. The addition of sago in rice crackers dough produced rice crackers better expanding capability, color, and texture characteristic than tapioca and MOCAF. The combination of broken rice grain and sago produced the best rice crackers and preferred by consumer.

(6)
(7)

PEMANFAATAN BERAS PECAH DAN PENAMBAHAN

TEPUNG-TEPUNGAN LOKAL UNTUK MENINGKATKAN

KUALITAS KERUPUK BERAS

MICHAEL

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Pertanian

Pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi: Pemanfaatan Beras Pecah dan Penggunaan Tepung-tepungan Lokal untuk Meningkatkan Kualitas Kerupuk Beras

Nama : Michael NIM : F34090132

Disejutui oleh

Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 hingga Oktober 2013 ini adalah kerupuk beras, dengan judul Pemanfaatan Beras Pecah dan Penambahan Tepung-tepungan Lokal untuk Meningkatkan Kualitas Kerupuk Beras.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi selaku dosen pembimbing, serta Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MSc dan Dr Dwi Setyaningsih, STP MSi selaku dosen penguji yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Tante Wati, Ibu Egna, Ibu Rini, Ibu Sri, dan Ibu Dyah yang telah membantu selama pengambilan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta teman-temanku Dinda, Tika, Rahmi, dan seluruh TIN 46, atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2013

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Alat dan Bahan 2

Prosedur 3

Analisa Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Karakteristik Bahan Baku 5

Karakteristik Kerupuk Beras 8

Sifat Penerimaan Konsumen 13

SIMPULAN DAN SARAN 16

Simpulan 16

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 17

(12)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi kimia beras 6

2 Kandungan kimia tepung-tepungan 7

3 Karakteristik kerupuk beras 9

4 Warna kerupuk beras 13

5 Hasil penilaian organoleptik kerupuk beras 14

DAFTAR GAMBAR

1 Kerupuk beras mentah dan goreng 8

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur analisis karakterisasi bahan baku 19

2 Foto proses pembuatan kerupuk beras 22

3 Jumlah penambahan tepung-tepungan dalam adonan kerupuk beras 23

4 Prosedur analisis karakterisasi kerupuk beras 23

5 Analisis ragam karakteristik kerupuk beras 25

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerupuk adalah makanan tradisional khas Indonesia yang digemari semua lapisan masyarakat dari menengah ke bawah hingga menengah ke atas. Selain dikonsumsi sebagai makanan cemilan (snack), kerupuk juga bisa dijadikan lauk pauk. Kerupuk beras merupakan salah satu keanekaragaman kerupuk yang banyak dijumpai. Kerupuk ini mempunyai nama lokal kerupuk gendar (Jawa Barat), puli (Madiun), dan karak (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Kerupuk beras diolah dari beras yang dimasak menjadi bubur kemudian ditambahkan bahan tambahan, seperti air, garam, MSG, dan sebagainya. Bubur yang biasanya terbuat dari beras giling atau beras kepala, dapat juga disubstitusi dengan beras pecah.

Beras pecah merupakan produk samping dari penggilingan padi akibat rendahnya efisiensi mesin penggilingan padi. Banyaknya beras pecah dalam beras giling mempengaruhi mutu beras. Hal ini terlihat dari perbedaan standar mutu I dan II beras giling yang memperbolehkan butir patah maksimum 5% dan 10% (BSN 2008). Jika pengadaan mesin penggilingan canggih yang efisien masih terkendala oleh modal petani, peningkatkan mutu beras dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah beras pecah, yaitu dengan cara memisahkan beras pecah dari beras giling dan memanfaatkannya sehingga mutu beras giling meningkat tanpa membuang beras pecah secara percuma. Selama ini beras pecah dimanfaatkan untuk pembuatan tepung beras. Pemanfaatan beras pecah juga dapat dilakukan dengan menjadikannya sebagai bahan baku kerupuk beras.

Ketersediaan beras pecah memadai untuk dimanfaatkan dalam produksi kerupuk beras. Berdasarkan data BPS (2013), produksi padi di provinsi Jawa Barat dari tahun 2010 hingga 2012 rata-rata mencapai 11.5 juta ton setiap tahunnya. Di samping itu, Jawa Barat yang memiliki unit penggilingan padi atau

Rice Milling Unit (RMU) dengan derajat sosoh 70% mampu menghasilkan

rendemen giling sebesar 65%. Rendemen tersebut terdiri dari beras kepala 48– 84% dan beras pecah 13–49% (Nugraha 2009). Berdasarkan informasi tersebut, Jawa Barat berpotensi menghasilkan 1–4 juta ton beras pecah setiap tahunnya untuk dijadikan kerupuk beras. Pada penelitian ini akan ditinjau lebih jauh penggunaan beras pecah dibandingkan beras kepala dalam pembuatan kerupuk beras, baik dari kandungan kimia maupun karakteristik kerupuk yang dihasilkan.

(14)

2

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah memanfaatkan beras pecah dalam pembuatan kerupuk beras dan penambahan tepung-tepungan untuk memperbaiki karakteristiknya. Adapun tujuan khusus penelitian untuk menentukan kombinasi pemilihan jenis beras dan jenis tepung yang tepat dalam menghasilkan karakteristik kerupuk beras terbaik.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian berdasarkan beras pecah dan beras kepala yang diperoleh dari unit penggilingan padi di daerah Cangkurawok, Bogor. Sagu dan tapioka yang digunakan berasal dari tepung komersial, serta Modified Cassava

Flour (MOCAF) yang diproduksi oleh Balai Besar Pascapanen, Bogor. Di

samping itu, kerupuk beras diproduksi dengan teknologi tradisional skala rumah tangga.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Karakterisasi bahan baku dan kerupuk beras dilakukan di Laboratorium DIT, Teknik Kimia, Pengawasan Mutu, dan Instrumental yang berada pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret hingga Oktober 2013.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain neraca digital, baskom, plastik, kompor gas, panci, pengukus, nampan, wajan, oven, dan pisau yang digunakan untuk membuat kerupuk beras. Namun, alat yang digunakan dalam analisis karakterisasi bahan baku dan kerupuk beras meliputi neraca analitik, cawan alumunium dan porselin, tanur, desikator, penjepit, pendingin balik, erlenmeyer, erlenmeyer vakum, corong vakum, pompa vakum, gelas ukur, gelas beaker, tabung reaksi, rak tabung reaksi, buret, soxhlet, labu Kjedhal, batu didih, penangas air, termometer, spektrofotometer, dan colortexmeter.

Bahan yang digunakan untuk membuat kerupuk terdiri dari beras pecah dan beras kepala, tapioka, sagu, MOCAF, air, bawang putih, garam, MSG (Monosodium Glutamat), dan minyak goreng. Selain itu, bahan yang digunakan dalam analisis karakteristik bahan baku dan kerupuk beras adalah kertas saring, indikator mensel, akuades, NaOH, HCl, H2SO4, pelarut heksan, etanol, enzim α

(15)

3

Prosedur

Karakterisasi Bahan Baku

Karakterisasi bahan baku meliputi kadar air, abu, protein, lemak, dan serat kasar, serta kadar pati dan amilosa. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1.

Pembuatan Kerupuk Beras

Pembuatan kerupuk beras terbagi dalam beberapa proses, yaitu pembuatan bubur beras, pembentukan adonan, pengukusan, pendinginan, pengirisan, pengeringan dan penggorengan. Foto proses pembuatan kerupuk beras dapat dilihat pada Lampiran 2.

Pada penelitian ini, untuk satu unit percobaan digunakan beras pecah/kepala dengan basis sebesar 100 g. Pembuatan kerupuk dilakukan dengan membuat bubur dari beras terlebih dahulu. Beras dicuci dengan air sebanyak 3 kali, dimasukkan ke dalam bejana, dan ditambahkan air dengan perbandingan beras dengan air 1:5 (b/v). Bejana diletakkan di atas kompor menyala dan diaduk hingga terbentuk bubur yang agak kering. Selanjutnya bubur didinginkan terlebih dahulu sekitar 10 menit.

Adonan kerupuk dibuat dengan menambahkan bahan tambahan pada bubur. Bahan tambahan meliputi bawang putih segar sebesar 5%, MSG 20%, dan garam 10% dari bobot beras (b/b). Tepung juga ditambahkan ke dalam adonan secara terus menerus hingga kalis dan mudah dibentuk. Jumlah tepung yang ditambahkan disajikan pada Lampiran 3. Selanjutnya adonan dibentuk menjadi silinder berukuran panjang 25–30 cm dan berdiameter 3 cm menggunakan tangan.

Pengukusan dilakukan dengan memasukkan adonan ke dalam dandang pengukus berisi air mendidih sebagai media penghantar panas. Pengukusan dilakukan selama 1 jam dengan suhu 95 oC hingga tekstur adonan kenyal. Setelah pengukusan dilakukan pendinginan yang dilakukan selama satu malam pada suhu ruang supaya dinding silinder mengeras sehingga memudahkan pengirisan.

Pengirisan dilakukan setelah adonan benar-benar dingin. Pengirisan dilakukan menggunakan pisau dengan ketebalan irisan 1–2 mm. Proses ini bertujuan dalam pembentukan ukuran dan bentuk kerupuk menjadi lebih seragam, serta mempermudah proses pengeringan.

Pengeringan dilakukan menggunakan oven pada suhu 55 oC selama 15–20 jam sampai dihasilkan produk yang mudah dipatahkan. Kerupuk mentah dari pengeringan mengandung kadar air tertentu supaya kerupuk dapat mengembang dengan baik ketika digoreng. Penggorengan dilakukan menggunakan minyak goreng nabati dengan 160–170 oC secara terendam hingga seluruhnya mengembang.

Karakterisasi Kerupuk Beras

(16)

4

Pengujian Penerimaan Konsumen

Sifat penerimaan produk dilakukan melalui uji organoleptik kerupuk beras terhadap respon dari bentuk kerupuk mentah, serta warna, rasa, dan tekstur kerupuk goreng. Penilaian diberikan berdasarkan tingkat kesukaan atau hedonik panelis yang diinterpretasikan pada skala 1–5 dimana 1-sangat suka, 2-suka, 3-netral, 4-tidak suka, dan 5-sangat tidak suka. Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dimana setiap ulangan dinilai oleh 25 orang panelis.

Analisis Data

Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan analisis ragam Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial interaksi dua arah. Rancangan percobaan ini akan melihat pengaruh beras pecah dan kepala sebagai kelompok beras, serta sagu, tapioka, dan MOCAF sebagai kelompok tepung terhadap karakteristik kerupuk beras yang dihasilkan. Pengulangan dilakukan sebanyak tiga kali. Model umum rancangan percobaan sebagai berikut:

Yijk = µ + Gi + Bj + (GB)ij + ɛijk

Gi : pengaruh pengunaan kelompok tepung taraf ke-i

Bj : pengaruh penggunaan kelompok beras taraf ke-j

(GB)ij : pengaruh interaksi antara kelompok G ke-i dan kelompok B ke-j

ɛijk : galat kelompok G ke-i, B ke-j, dan ulangan ke-k

j : taraf G, Sagu (S), Tapioka (T), dan MOCAF (M)

i : taraf B, Beras Pecah (BP) dan Beras Kepala (BK)

k : jumlah ulangan 3 kali

Pada perhitungan analisis ragam, apabila Fhitung lebih besar dari Ftabel maka

terjadi penolakan hipotesis awal (Ho) dimana semua τi = 0 (i = 1,2,3,..,t), serta

dilakukan uji lanjut menggunakan Newman-Keuls Test. Cara perhitungan uji lanjut sebagai berikut:

1. Menyusun rata-rata perlakuan dari yang terkecil–terbesar. 2. Standar error = (MSError / jumlah ulangan).

3. Menghitung Least Significant Ranges (LSR) dengan mengalikan standar error dengan nilai p =2, 3, 4,....k pada  = 5% dari Studentized Range Table.

4. Membandingkan selisih rata-rata perlakuan dengan nilai LSR.

(17)

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Bahan Baku

Karakterisasi bahan baku dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia bahan baku yang dapat memberi pengaruh terhadap karakteristik kerupuk beras, seperti kadar pati. Wiriarno (1984) mengemukakan bahwa kerupuk merupakan makanan kering yang terbuat dari bahan yang mengandung pati cukup tinggi. Penggunaan pati berperan saat proses gelatinisasi yang berpengaruh terhadap volume pengembangan sebagai salah satu kriteria mutu kerupuk. Beras (beras pecah dan kepala), serta tepung-tepungan (tapioka, sagu, dan MOCAF) merupakan bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini yang dikenal sebagai sumber pati.

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik, yang banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian dan umbi-umbian. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai atom karbonnya, serta strukturnya lurus atau bercabang. Umumnya pati mengandung 15–30% amilosa, 70–85% amilopektin dan 5–10% material antara, seperti protein dan lemak (Pudjihastuti 2010). Amilosa merupakan bagian polimer dengan ikatan

α-(1,4)-D-glukosa yang membentuk rantai lurus sebagai bagian linier dari pati sedangkan amilopektin mempunyai cabang pada rantai lurus dengan ikatan α -(1,6)-D-glukosa dengan banyak cabang 4–5% dari jumlah ikatannya. (Eliasson 2004).

Amilosa dalam suatu larutan memiliki kecenderungan membentuk rantai yang sangat panjang dan fleksibel yang selalu bergerak melingkar. Struktur ini mendasari terjadinya interaksi iod-amilosa membentuk warna biru. Dalam pengolahan, amilosa lebih mudah larut dalam air dibandingkan amilopektin, serta dapat memberikan efek keras bagi pati (An 2005).

Amilopektin menyerupai amilosa yang mempunyai ikatan α-(1,4) pada

rantai lurusnya, serta ikatan α-(1,6) pada titik percabangannya. Struktur rantai amilopektin cenderung membentuk rantai yang bercabang. Dalam produk makanan, amilopektin bersifat merangsang terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk makan yang berasal dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porous, garing dan renyah. Sebaliknya pati dengan kandungan amilosa tinggi cenderung menghasilkan produk yang keras dan pejal akibat proses pemekaran yang terjadi secara terbatas (An 2005).

Beras Pecah dan Beras Kepala

Beras merupakan endosperma dari bulir padi yang tersusun dalam setangkai tanaman padi. Beras diperoleh dari gabah yang bagian kulitnya sudah dibuang dengan cara digiling menggunakan alat penggiling dan disosoh menggunakan alat penyosoh. Beras hasil penggilingan terbagi atas dua komponen berdasarkan ukurannya, yaitu beras kepala dan beras pecah. Beras kepala adalah butir beras sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran 0.6–1.0 bagian dari ukuran beras utuh sedangkan beras pecah mempunyai panjang berukuran 0.2–0.6 bagian dari butir beras utuh (Suismono 2003).

(18)

6

menurunkan kualitas beras giling. Hal ini terlihat dari standar mutu (BSN 2008) dimana maksimum butir pecah yang diperbolehkan untuk mutu I, II, dan III berturut-turut adalah 5%, 10%, dan 20%. Nugraha (2009) juga mengungkapkan bahwa tingginya persentase beras pecah akan berpengaruh terhadap rendahnya nilai jual beras. Hasil samping dapat terbentuk akibat pengaruh dari kadar air gabah, jenis varietas padi, dan efisiensi mesin penggiling yang tidak sempurna (Astawan 2004).

Penelitian ini menggunakan beras pecah dan beras kepala yang memiliki kandungan amilosa sebesar 14.18% dan 10.60%. Winarno (1992) berpendapat, beras dengan kadar amilosa 9–20% tergolong beras dengan kadar amilosa rendah. Oleh karena itu, beras yang digunakan dalam pembuatan kerupuk beras termasuk dalam beras beramilosa rendah. Komposisi kimia beras pecah dan beras kepala untuk membuat kerupuk beras, serta beras amilosa rendah hasil penelitian terdahulu dapat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia beras*

Kadar Beras pecah Beras kepala Beras amilosa rendah** Amilopektin (% bk) 85.82±0.10 89.40±0.15 84.57 *

Nilai rata-rata diperoleh dari dua kali ulangan; **Sumber: Argasasmita (2008).

Beras pecah memiliki kandungan pati sebesar 59.61% sedangkan beras kepala 48.48%. Salah satu perbedaan komposisi kimia ini kemungkinan diakibatkan oleh tercampurnya beras pecah dengan sosohan. Saat pengukuran kandungan kimia beras tidak dilakukan pencucian terlebih dahulu sehingga sosohan yang menempel pada beras pecah dan mempengaruhi kandungan patinya. Sosohan terdiri dari dedak dan bekatul yang mengandung pati 16.1% dan 48.9% (Anonim 2006) sehingga kadar pati beras pecah lebih tinggi. Selain itu, beras pecah/kepala berpeluang bercampur dengan beras yang berbeda jenis yang tertinggal pada penggilingan sebelumnya dalam mesin penggilingan padi. Perbedaan kadar lemak beras pecah dan beras kepala (Tabel 1) dipengaruhi dari kandungan lemak yang terdapat pada dedak 17.0% dan bekatul 11.7% (Anonim 2006). Perbedaan bentuk, ukuran, dan komposisi kimia antara beras pecah dengan beras kepala dapat terlihat perbedaannya pada karakteristik kerupuk beras yang dihasilkan.

Tepung-tepungan

(19)

7

yang kalis. Tepung dan pati yang digunakan pada penelitian ini berbeda-beda, yaitu sagu, tapioka, dan MOCAF untuk membandingkan jenis tepung yang mampu berinteraksi dengan beras sehingga menghasilkan karakteristik kerupuk terbaik. Kandungan pati yang tinggi menjadi alasan pemilihan ketiga jenis tepung-tepungan ini. Selain pati sebagai kandungan kimia terbesar, kandungan protein, serat, abu, dan lemak diharapkan dapat memberikan nilai gizi tambahan pada kerupuk beras. Komponen kimia ketiga jenis tepung-tepungan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan kimia tepung-tepungan* Amilopektin (% bk) 73.52±0.80 69.20±1.04 73.80±0.24

*

Nilai rata-rata diperoleh dari dua kali ulangan.

Sagu merupakan hasil ekstraksi dari empulur pohon sagu (Metroxylon sp) yang sudah tua berumur 8–16 tahun. Komponen terbesar yang terkandung dalam sagu adalah pati. Pati sagu dapat diaplikasikan secara luas dalam berbagai industri dan sangat tergantung pada karakteristik kimia patinya. Karakteristik fisiko-kimia pati pada sagu secara spesifik bergantung pada sumber asal dan cara pengolahannya, misalnya bentuk dan ukuran granula pati, warna, serta komposisi amilosa dan amilopektinnya. Hal tersebut dapat terlihat dari komposisi kimia sagu dalam penelitian ini yang rendah komponen minornya (Tabel 2) sedangkan penelitiannya Jading et al. (2011) menganalisa sagu yang memiliki kadar protein sebesar 0.46%, abu 0.20%, dan lemak 0.76%,

Tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu (Manihot utilissima POHL) yang telah mengalami proses pencucian sempurna dilanjutkan dengan pengeringan (Rukmana 1997). Tapioka banyak diaplikasikan di berbagai industri karena kandungan patinya yang tinggi. Tapioka juga memiliki kelebihan sebagai bahan baku, seperti harga yang relatif murah, memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, rasa yang netral, warna yang terang, dan memiliki daya lekatnya yang baik (Eliasson 2004). Kandungan kimia yang terdapat dalam tapioka dipengaruhi oleh varietas singkong yang diolah, khususnya kadar air dipengaruhi oleh proses pengolahan, yakni pengeringan. Pada industri rumah tangga pengeringan dilakukan secara tradisional dengan penjemuran di bawah sinar matahari sedangkan industri besar menggunakan alat pengering yang proses pengeringannya lebih terkendali.

(20)

8

sedangkan tapioka tidak diizinkan memiliki kadar air lebih dari 15%, abu 0.60%, dan serat 0.60% (BSN 1994). Maka dari itu, tapioka yang digunakan dalam penelitian ini telah memenuhi persyaratan SNI 01-3451-1994.

Modified Cassava Flour atau MOCAF merupakan produk turunan dari tepung singkong yang menggunakan prinsip modifikasi sel singkong secara fermentasi oleh BAL (Bakteri Asam Laktat). Secara teknis, cara pengolahan MOCAF sangat sederhana menyerupai cara pengolahan tepung singkong, namun disertai dengan proses fermentasi selama 12–72 jam. Setelah fermentasi, singkong tersebut dikeringkan kemudian ditepungkan sehingga dihasilkan produk MOCAF (Subagio 2006). Kandungan kimia yang terkandung dalam MOCAF berbeda-beda antar produsennya. Hal ini dipengaruhi dari komposisi singkong yang digunakan dan proses pembuatan MOCAF, termasuk jenis bakteri dan proses pengeringan. Terlihat dari hasil analisis kandungan kimia MOCAF dalam penelitian Sunarsi (2011) dengan kadar air 6.9%, protein 1.2%, abu 0.4%, serat 3.4%, lemak 0.4%, dan pati 87.3% sedangkan MOCAF yang diproduksi oleh Balai Besar Pascapanen Bogor yang digunakan dalam penelitian ini mengandung air sebesar 12.23%, protein 1.28%, abu 1.46%, serat 2.46%, lemak 0.63%, dan pati 57.86% (Tabel 2).

Karakteristik Kerupuk Beras

Kerupuk beras adalah produk makanan kering yang dibuat dari beras yang telah dimasak dengan penambahan garam dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, baik dalam bentuk mentah maupun sudah digoreng (BSN 1996). Berbeda dengan Suarman (1996) yang mendefinisikan kerupuk sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tapioka atau sagu dengan/tanpa penambahan bahan makanan lain yang diizinkan, yang harus digoreng sebelum disajikan. Berdasarkan pengertian Badan Standarisasi Nasional, kerupuk beras dalam penelitian ini akan dimodifikasi dengan kerupuk menurut definisi Suarman. Kerupuk beras dibuat dari beras pecah atau beras kepala ditambahkan tapioka, sagu, atau MOCAF. Penambahan tepung-tepungan berguna dalam memperbaiki karakteristik kerupuk beras. Kerupuk beras hasil percobaan ini dapat dilihat pada Gambar 1.

(21)

9

Karakteristik dapat diartikan sebagai kumpulan sifat dari suatu produk yang mempengaruhi penerimaan produk oleh konsumen. Sifat yang dapat dilihat, misalnya keseragaman pencetakan dan daya pengembangan serta yang tersembunyi, seperti nilai gizi dan rasa (Syabani 1996). Pengukuran beberapa parameter dari karakteristik kerupuk beras, seperti densitas kamba, daya pengembangan, dan kerenyahan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik kerupuk beras*

*Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Newman-Keuls Test).; BPS: beras pecah-sagu, BPT: beras pecah-tapioka, BPM: beras pecah-MOCAF, BKS: beras sagu, BKT: beras tapioka, BKM: beras kepala-MOCAF.

Densitas Kamba

Densitas kamba didefinisikan sebagai perbandingan bobot bahan yang menempati sebuah wadah dengan volume tertentu, termasuk ruang kosong di antara bahan. Densitas kamba (bulk density) menjadi salah satu sifat fisik hasil pertanian yang sering kali digunakan untuk merencanakan suatu gudang penyimpanan, volume alat pengolahan atau sarana transportasi, konversi harga dan sebagainya (Syarief dan Anis 1999). Dalam pengolahan kerupuk, densitas kamba menunjukkan keseragaman bentuk dan ukuran kerupuk mentah sehingga menjadi parameter karakteristik kerupuk beras.

(22)

10

Kerupuk yang bentuk dan ukurannya tidak seragam menyebabkan timbulnya banyak ruang kosong antar kerupuk sehingga hanya sedikit kerupuk yang mampu menempati volume tertentu. Karena bobot kerupuk dalam volume tertentu menjadi lebih kecil, maka nilai densitas kamba pun lebih kecil.

Berdasarkan nilai densitas kamba yang disajikan pada Tabel 3, kerupuk beras mentah yang terbuat beras pecah (BP) lebih seragam bentuk dan ukurannya dibandingkan yang terbuat dari beras kepala (BK). Analisis ragam memperlihatkan bahwa jenis beras berpengaruh nyata terhadap densitas kamba kerupuk beras. Kerupuk beras BPS yang berbeda nyata dengan BKS, BPT dengan BKT, serta BPM dengan BKM. Kandungan pati pada beras pecah secara tidak langsung mempengaruhi nilai densitas kamba melalui kemampuannya dalam menyerap air. Terlihat pada kadar pati beras pecah sebesar 59.61% dimana lebih tinggi dari beras kepala yang hanya mengandung pati 48.48%. Menurut Jading et al. (2011), kemampuan penyerapan air yang besar pada pati dikarenakan molekul pati mempunyai gugus hidroksil yang sangat besar. Banyaknya air yang terikat dengan pati dalam kerupuk mendorong volume rongga-rongga pada kerupuk menjadi lebih kecil sehingga bobot kerupuk mentah akan meningkat sedangkan volume menurun.

Penambahan jenis tepung yang tepat untuk menghasilkan kerupuk beras mentah berdensitas kamba tertinggi adalah tapioka (Tabel 3). Berdasarkan analisis ragam, jenis tepung juga memberikan pengaruh secara signifikan. Perbedaan yang nyata terlihat pada kelompok beras pecah (BPS, BPT, dan BPM) dimana kerupuk beras dengan penambahan tapioka menghasilkan nilai densitas yang paling tinggi diantara tepung-tepungan lain. Kandungan pati dan protein tapioka yang menentukan nilai densitas kamba kerupuk beras mentah. Tabel 2 memperlihatkan bahwa tapioka mengandung pati 66.90%, lebih banyak dari MOCAF (57.87%), lebih sedikit dari sagu (83.43%) sedangkan protein dalam tapioka paling rendah (0.07%) diantara MOCAF (1.28%) dan sagu (0.11%). Pati dapat menyerap air tetapi protein mampu menghambat pengembangan granula sehingga air menjadi sulit berpenetrasi. Charles et al. (2007), menyatakan bahwa protein mengelilingi granula pati, membatasi pengembangan granula, dan sifat kohesinya menghambat keluarnya material dari dalam granula selama proses gelatinisasi. Hal tersebut juga dapat dilihat dari swelling power tapioka 28.70 g/g (Zulaidah 2012) lebih tinggi dari MOCAF 18.42 g/g (Polnaya et al. 2009). Oleh karena itu, tapioka dengan sedikit kandungan protein menjadikan kerupuk beras paling seragam bentuk dan ukurannya.

Daya Pengembangan

(23)

11

goreng. Hal tersebut terlihat dari kerupuk BKM dengan kadar air 3.23% menghasilkan pengembangan 676.06%, BKT dengan kadar air 4.22% menghasilkan pengembangan 554.58%, dan BPT dengan kadar air 4.83% menghasilkan pengembangan 516.65% (Tabel 3).

Penggunaan bahan baku dalam pembuatan kerupuk beras mempengaruhi pengembangan kerupuk. Berdasarkan analisis ragam, daya pengembangan kerupuk beras goreng juga dipengaruhi oleh jenis tepung secara signifikan pada tingkat ketelitian 95%. Tabel 3 memperlihatkan jenis tepung membuat daya pengembangan kerupuk BPS, BPT dan BPM yang berbeda satu sama lain. Kadar amilopektin bahan baku merupakan faktor penting yang berpengaruh dalam daya pengembangan kerupuk goreng. Terlihat dari sagu, tapioka, dan MOCAF yang digunakan dalam penelitian ini mengandung amilopektin berturut-turut sebesar 73.52% dalam pati 83.43%, 69.20% dalam pati 66.90%, dan 73.80% dalam pati 57.86% (Tabel 2). Kandungan amilopektin sagu yang paling tinggi menjadikan BPS memiliki volume pengembangan yang paling tinggi antara BPT dan BPM. Kandungan amilopektin yang lebih tinggi akan memberikan kecenderungan pengembangan lebih besar saat digoreng dibandingkan kandungan amilosa yang tinggi (Syabani 1996). Amilopektin mempunyai ikatan intramolekul lebih lemah dibandingkan amilosa sehingga ikatan hidrogen antara molekul air lebih mudah terbentuk. Amilopektin lebih mampu mengikat air sehingga membuat penguapan air yang terjadi saat penggorengan lebih besar dibandingkan amilosa.

Berdasarkan analisis ragam, daya pengembangan kerupuk beras goreng dipengaruhi oleh jenis beras secara signifikan pada tingkat ketelitian 95%. Tabel 3 menunjukkan BPS berbeda nyata dengan BKS, begitu juga dengan BPM dengan BKM, tetapi BPT dan BKT tidak berbeda nyata. Rasio amilopektin dalam pati dianggap sebagai komposisi bahan baku yang berperan dalam mempengaruhi daya pengembangan kerupuk goreng, namun kadar lemak juga berperan dalam pengembangan kerupuk beras. Beras pecah memiliki kadar pati 59.61% dan rasio amilopektin 85.82% lebih tinggi dari beras kepala dengan kadar pati 48.48% dan rasio amilopektin 89.40% sedangkan kadar lemak beras pecah (4.88%) lebih tinggi dari beras kepala (2.62%) menyebabkan BKT dan BKM lebih mengembang dibandingkan BPT dan BPM. Salamah (2008) melaporkan penelitiannya dimana semakin banyak daging ikan layur yang banyak mengandung lemak ditambahkan semakin rendah volume pengembangan kerupuk opak. Adanya lemak dalam adonan dapat mengganggu proses gelatinisasi karena lemak membentuk lapisan lemak pada permukaan granula yang menyebabkan penetrasi air terganggu.

Kerenyahan

(24)

12

Tabel 3 menunjukkan kerenyahan kerupuk beras terbaik ditunjukkan dengan nilai kerenyahan terkecil yang dimiliki oleh BKS (887.45 N/m2), BPT (1 098.29 N/m2) hingga BPS yang tertinggi (2 222.46 N/m2). Kandungan amilopektin yang berbeda-beda dalam bahan baku membuat kerenyahan kerupuk beras berbeda satu sama lain. Berdasarkan analisis ragam, kerupuk dari beras pecah menghasilkan kerupuk yang lebih renyah dan berbeda nyata dengan kerupuk beras kepala. Ini sehingga memiliki kerenyahan yang lebih besar.

Kadar amilopektin bahan baku dalam pembuatan kerupuk beras dapat ditingkatkan dengan cara menambahkan bahan yang mengandung pati beramilopektin tinggi. Dalam penelitiannya, Rahman (2007) melaporkan tapioka sebagai penyalut kacang dengan kandungan pati 81.00% dan amilopektin 84.53% mempunyai nilai kerenyahan 3 587 N/m2. Adanya penambahan beras kepala dengan kandungan pati 48.48% dan amilopektin 89.01% terhadap tapioka berkadar pati 66.90% dan amilopektin 69.20% pada penelitian ini mampu menghasilkan kerenyahan sebesar 2 144 N/m2. Penambahan tepung yang mempunyai kandungan pati beramilopektin tinggi terbukti dapat meningkatkan kerenyahan kerupuk beras.

Warna

Kerupuk beras selayaknya memiliki warna putih dan bersih dalam memberikan kesan beras yang diolah berwarna putih. Warna pun menjadi parameter dalam karakteristik kerupuk beras. Warna kerupuk beras tidak cukup dinilai kasat mata penglihatan manusia yang bersifat subjektif. Oleh sebab itu, digunakan sebuah alat pengukur warna yang obyektif dinamakan Colortexmeter.

Menurut Sari (2009), Colortexmeter adalah alat yang dapat mengukur komponen warna bahan berdasarkan dominasi dan kecerahan warna secara spesifik. Nilai yang tertera antara lain L, A, B yang kemudian diterjemahkan menjadi Lightness

(L) yang menunjukkan kecerahan warna dan derajat warna merah (A), serta derajat warna kuning (B). Dari nilai A dan B dapat dihitung nilai oHue yang menunjukkan panjang gelombang warna yang dominan dalam menentukan apakah warna tersebut merah, hijau, atau kuning (Winarno 1992).

Warna kerupuk beras secara visual berwarna putih. Namun, nilai oHue

(25)

13

BPS: beras pecah-sagu, BPT: beras pecah-tapioka, BPM: beras pecah-MOCAF, BKS: beras kepala-sagu, BKT: beras kepala-tapioka, BKM: beras kepala-MOCAF.

Kecerahan kerupuk beras dengan penambahan MOCAF, baik BPM maupun BKM lebih rendah dibandingkan penambahan tapioka atau sagu (Tabel 4). Faktor yang menyebabkan warna MOCAF lebih gelap adalah kandungan protein MOCAF paling banyak dibanding sagu dan tapioka. MOCAF yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar protein sebesar 1.28% sedangkan sagu 0.11% dan tapioka 0.07%. MOCAF yang mengandung banyak pati bereaksi dengan protein saat proses pemanasan selama proses pembuatan pembuatan MOCAF dan kerupuk beras. Gejala ini dinamakan reaksi Maillard dimana asam amino penyusun protein bereaksi gula pereduksi penyusun pati saat pemanasan sehingga warna bahan berubah menjadi kecoklatan (Anonim 2011).

Sifat Penerimaan Konsumen

Sifat penerimaan konsumen secara subyektif dilakukan dengan menggunakan panca indra manusia, yaitu uji organoleptik. Penilaian terhadap bentuk kerupuk beras mentah, serta warna, rasa, dan tekstur kerupuk beras goreng merupakan sebagian penilaian konsumen terhadap kerupuk beras. Penilaian diberikan panelis berdasarkan tingkat kesukaan pada skala 1-5 dimana 1-sangat suka, 2-suka, 3-netral, 4-tidak suka, dan 5-sangat tidak suka. Semakin besar penilaian panelis semakin menunjukkan kesukaan panelis terhadap parameter dari kerupuk beras tersebut. Penilaian panelis terhadap kerupuk beras disajikan pada Tabel 5.

Bentuk

(26)

14

tradisional menggunakan pisau membuat ketebalan kerupuk tidak seragam, misalkan kerupuk di bagian kanan lebih tipis dari bagian kiri. Hal tersebut terjadi pada kerupuk beras BPM sehingga menjadi tidak disukai panelis karena bentuk kerupuk bergelombang.

Tabel 5 Hasil penilaian organoleptik kerupuk beras* Perlakuan

bahan baku

Kerupuk mentah Kerupuk goreng Penerimaan umum**

*Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Newman-Keuls Test).; **Rataan dari semua parameter.; BPS: beras pecah-sagu, BPT: beras pecah-tapioka, BPM: beras pecah-MOCAF, BKS: beras sagu, BKT: beras kepala-tapioka, BKM: beras kepala-MOCAF.

Warna

Warna kerupuk yang telah digoreng menjadi pertimbangan pemilihan kerupuk oleh panelis sebelum mengkonsumsi kerupuk. Suatu bahan makanan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya baik tidak akan dimakan apabila memiliki kesan warna yang menyimpang dari warna seharusnya. Misalnya, kerupuk beras seharusnya berwarna putih karena terbuat dari beras. Baik atau tidaknya pencampuran atau cara pengolahan makanan dapat ditandai dengan warna yang seragam dan merata (Winarno 1992).

Tabel 5 memberikan informasi bahwa panelis paling menyukai warna yang dihasilkan dari kerupuk beras kepala-sagu (BKS) sehingga mendapatkan penilaian paling besar, yaitu 3.93. Berdasarkan analisis ragam, warna kerupuk beras secara signifikan dipengaruhi oleh salah satu jenis tepung, yaitu sagu sehingga memberikan warna kerupuk BKS dan BPS paling disukai panelis. Sebaliknya, MOCAF paling tidak disukai oleh panelis baik BPM maupun BKM. Komposisi kimia dan proses pengolahan tepung mempengaruhi warna tepung yang dihasilkan. Pada pembahasan sebelumnya telah dikatakan bahwa MOCAF memiliki kandungan protein paling tinggi diantara tepung lainnya sehingga menyebabkan reaksi Maillard dan membuat MOCAF berwarna kecoklatan. Warna kecoklatan ini berdampak negatif terhadap penambahan tepung untuk memperbaiki karakteristik kerupuk beras dimana seharusnya kerupuk beras berwarna putih.

Rasa

(27)

15

panelis. Rasa pada kerupuk beras dipengaruhi oleh jenis tepung yang ditambahkan dalam pembuatan adonan kerupuk beras secara nyata. Hal itu dapat terlihat dari analisis ragam rasa kerupuk beras pada Tabel 5, BPS berbeda nyata dengan BPT dan BPM. Begitu juga dengan BKS yang berbeda nyata dengan BKT dan BKM. Akan tetapi kerupuk yang terbuat dari beras pecah tidak berbeda nyata dengan kerupuk dari beras kepala, terlihat dari BPS dengan BKS, BPT dengan BKT, dan BPM dan BKM yang tidak berbeda nyata. Kerupuk BPS paling disukai oleh panelis karena beras pecah dan sagu yang memiliki rasa tawar berkolaborasi tepat dengan rasa asin dari garam dan rasa gurih dari MSG. Kumalaningsih (1986) berpendapat, rasa suatu bahan pangan dapat berasal dari bahan pangan itu sendiri dan apabila mendapat pengolahan maka rasanya dapat dipengaruhi oleh bahan yang ditambahkan selama proses pengolahan.

Penambahan MOCAF dalam pembuatan kerupuk beras menjadi paling tidak disukai panelis diantara kerupuk beras dengan penambahan tepung lainnya. Terlihat dari penilaian yang diberikan terhadap BKM menyentuh angka di bawah 3 (tidak suka). Mereka tidak suka dengan penambahan MOCAF sebab ada

aftertaste, rasa asam, setelah mengkonsumsi kerupuk BPM atau BKM. Rasa asam

yang ditimbulkan ini berasal dari proses pembuatan MOCAF itu sendiri dengan fermentasi bakteri asam laktat. Para panelis berpendapat bahwa kerupuk beras dengan penambahan MOCAF lebih cocok menjadi pelengkap hidangan makan sedangkan kerupuk beras dengan penambahan sagu dan tapioka nikmat untuk dijadikan camilan.

Tekstur

Tekstur merupakan salah satu parameter yang sering digunakan dalam menganalisis produk pangan. Terdapat beberapa jenis parameter tekstur yang penting dan sering digunakan yaitu kekerasan, kekenyalan, elastisitas, kelengketan, kerenyahan, dan kerapuhan yang dapat diidentifikasi dengan indera manusia. Pada produk pangan goreng, seperti kerupuk beras goreng, parameter tekstur yang menjadi perhatian adalah kerenyahan. Tekstur produk hasil penggorengan tergantung dari kemudahan terputusnya partikel penyusunnya saat pengunyahan.

(28)

16

Penerimaan Umum

Penerimaan umum penilaian kerupuk beras terhadap sensori panelis memperlihatkan kerupuk beras yang paling disukai panelis dari aspek bentuk kerupuk mentah, serta warna, rasa, dan tekstur kerupuk goreng. Kerupuk beras yang terbuat dari beras pecah dengan penambahan sagu (BPS) memiliki nilai rataan tertinggi dibandingkan kerupuk beras lainnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Beras pecah sebagai sumber pati beramilopektin tinggi dapat dimanfaatkan dalam pembuatan kerupuk beras sebagai substitusi beras kepala. Kerupuk beras yang dibuat dari beras pecah menyebabkan densitas kamba, daya pengembangan, kerenyahan, rasa, dan tekstur kerupuk beras lebih baik dibandingkan beras kepala. Namun, karakteristik warna kerupuk beras dari beras pecah tidak lebih baik dari beras kepala.

Penambahan tepung ke dalam adonan kerupuk beras dapat menghasilkan karakteristik kerupuk beras menjadi lebih baik. Sagu adalah jenis tepung tambahan yang tepat dalam menghasilkan karakteristik kerupuk beras terbaik. Dengan komposisi kimia yang dimiliki, sagu mampu menghasilkan daya pengembangan paling tinggi, warna kerupuk beras paling cerah, rasa dan tekstur paling disukai oleh panelis.

Pemilihan bahan baku yang tepat, khususnya kadar pati dengan amilopektin yang tinggi mampu menghasilkan karakteristik kerupuk beras menjadi lebih unggul. Karakteristik kerupuk beras terbaik diperoleh dari hasil perpaduan beras pecah dan sagu. Tidak semua karakteristik kerupuk dipengaruhi oleh komposisi bahan baku, contohnya bentuk kerupuk beras mentah yang dipengaruhi oleh proses pengolahan kerupuk beras itu sendiri.

Saran

Meskipun penambahan MOCAF mampu menghasilkan daya pengembangan kerupuk beras tertinggi, namun MOCAF yang diproduksi melalui proses fermentasi dan mengandung banyak protein menjadi kurang tepat digunakan untuk menghasilkan karakteristik kerupuk beras terbaik. MOCAF menimbulkan

(29)

17

DAFTAR PUSTAKA

An HY. 2005. Effects of ozonation and addition of amino acids on properties of rice starches [disertasi]. Lousiana (US): Louisiana State University.

Anonim. 2011. Penyebab reaksi Maillard. [Internet]. [diunduh 22 Oktober 2013]. Tersedia pada: http://lordbroken.wordpress.com/.

Anonim. 2006. Teknologi pengolahan beras. [Internet]. [diunduh 4 November 2013]. Tersedia pada: http://www.eBookPangan.com/.

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.

Analisis Pangan. Bogor (ID): IPB Pr.

[AOAC] The Association Official Analytical Chemists. 2006. Washington (US): Official Methods of Analysis.

Argasasmita TU. 2008. Karakterisasi sifat fisikokimia dan indeks glikemik varietas beras beramilosa rendah dan tinggi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Astawan M. 2004. Sehat Bersama Aneka Serat Pangan Alami. Solo (ID): Penerbit Tiga Serangkai.

Balagopalan C, Padmaja G,Nanda SK, Moorthy SN. 1988. Cassava Food, Feed, and Industry. Florida (US): CRC Pr.

[BSN] Badan Standar Nasional. 1994. SNI 01-3451-1994. Jakarta (ID): BSN. [BSN] Badan Standar Nasional. 2008. SNI 6128:2008. Jakarta (ID): BSN.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi Padi di Jawa Barat. Jakarta (ID): BPS.

Charles AL, Huang TC, Lai PY, Chen CC, Chang YH. 2007. Study of Wheat Flour-Cassava Starch Composite Mix and The Function of Cassava Mucilage in Chinese Noodles. Food Hydrocol. 21:368–378.

Eliasson AC. 2004. Starch in Food. Cambridge (UK): Woodhead Publishing, Ltd. Jading A, Eduard T, Paulus P, Sarman G. 2011. Karakteristik Fisikokimia Pati Sagu Hasil Pengeringan Secara Fluidisasi Menggunakan Alat Pengering

Cross Flow Fluidized Bed Bertenaga Surya dan Biomassa. Reaktor. 13(3):155–164.

Kumalaningsih. 1986. Kimia dan Analisa Hasil Pertanian. Malang (ID): Universitas Brawijaya Pr.

Lavlinesia. 1995. Kajian beberapa faktor pengembangan volumetrik dan kerenyahan kerupuk ikan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Larsen H, Per L, dan Marit R. 2005. Sensory Changes in Extruded Oat Stored

Under Different Packaging, Light, and Temperature Conditions. J Food Quality Pref. 16:573–584.

Matz SA. 1992. Bakery Technology and Engineering. Ed ke-3. Texas (US): Pan-tech International Inc.

Nugraha S. 2009. Evaluasi Mutu Beras di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur Hasil Panen Musim Kemarau 2007. Bul Tek Pascapanen Pertanian. 2:57–59.

(30)

18

Pudjihastuti I. 2010. Hidrolisis asam dan reaksi photokimia UV untuk produksi pati termodifikasi dari tapioka [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Rahman AM. 2007. Mempelajari karakteristik kimia dan fisik tepung tapioka dan MOCAL (Modified Cassava Flour) sebagai penyalut kacang pada produk kacang salut [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rukmana R. 1997. Ubi Kayu Budi Daya dan Paska Panen. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Salamah E, Susanti MR, Purwaningsih S. 2008. Diversifikasi Produk Kerupuk Opak dengan Penambahan Ikan Layur (Trichiurus sp). Bul Tek Hasil Perikanan. 9(1):53–64.

Sari DN. 2009. Karakterisasi tepung beras menir kukus dan pendugaan umur simpannya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suarman W. 1996. Kajian pembuatan dan kerupuk secara mekanis [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Subagio A. 2006. Ubi Kayu: Subtitusi Berbagai Tepung-tepungan. Food Review, April 2006:18–22.

Suismono S. 2007. Penekanan Kehilangan Hasil Pascapanen Padi Melalui Penerapan GMP. Simposium Pangan V. 28-29 Agustus 2007. Puslitbangtan Bogor (ID). 495–516.

Sunarsi S, Sugeng SA, Wahyuni S, Ratnaningsih W. 2011. Memanfaatkan Singkong Menjadi Tepung Mocaf untuk Pemberdayaan Masyarakat Sumberejo. Di dalam: Wijayava R, Komariah A, editor. Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Veteran Bangun Nusantara. 2011 Desember 7; Sukoharjo, Indonesia. Sukoharjo (ID): LPPM Univet Bantara Sukoharjo. hlm 306–310.

Syabani AE. 1996. Kajian penggorengan kerupuk tapioka mentah dengan pemanasan oven gelombang mikro [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Syarief R, Anis I. 1999. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor (ID): PAU Pangan dan Gizi IPB.

Tahir S. 1985. Mempelajari Pembuatan dan Karakteristik Kerupuk dari Tepung Sagu. Ujung Pandang (ID): Universitas Hassanudin.

Tien R, Muchtadi, dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor (ID): IPB Pr.

Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka. Wiriano H. 1984. Mekanisasi dan Teknologi Pembuatan Kerupuk. Jakarta (ID):

Departemen Perindustrian.

(31)

19

Lampiran 1 Prosedur analisis karakterisasi bahan baku

1. Kadar air metode oven (AOAC 2006)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (a). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (b) dimasukkan dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C selama 6 jam, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (c). Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Kadar air % = b - c - a

b x 100%

2. Kadar abu metode tanur (AOAC 2006)

Cawan porcelen dibakar dalam tanur (550 oC) selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (a). Sampel sebanyak 2–3 g (w) ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel dibakar sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau sampai bobotnya konstan. Pengabuan dilakukan pada suhu 550 oC selama 6 jam. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik (x). Kadar abu diukur dengan cara sebagai berikut:

Kadar abu % = x - a

� x 100%

3. Kadar protein kasar metode mikro Kjeldahl (AOAC 2006)

Sebanyak 0.1 g sampel ditimbang kemudian ditambahkan katalis (CuSO4

dan Na2SO4) dengan perbandingan 5:6 dan 2.5 H2SO4 pekat. Setelah itu

didestruksi sampai bening (hijau). Didinginkan dan dicuci dengan aquades secukupnya. Selanjutnya didestilasi dengan penambahan NaOH 50% sebanyak 15 mL. Hasil destilasi ditampung dengan HCl 0.02 N. Proses destilasi dihentikan apabila volume destilat telah mencapai dua kali volume sebelum destilasi. Hasil destilasi dititrasi dengan NaOH 0.02 N dan indikator mensel (campuran metil merahdan metil biru). Kadar protein kasar dapat dihitung dengan cara berikut :

Kadar protein kasar % = b - s * n *14 * f

f = faktor konversi dari nitrogen ke protein (tepung 6.25; beras 5.95)

4. Kadar lemak kasar metode soxhlet (AOAC 2006)

(32)

20

batu didih dan ditimbang sebagai bobot kosong. Selongsong dimasukkan ke dalam soxhlet, kemudian labu lemak dihubungkan dengan soxhlet dan ditambahkan pelarut heksan 150 mL melewati soxhlet. Labu lemak dan soxhlet

dihubungkan dengan penangas dan diekstrak selama 4 jam. Setelah ekstraksi selesai, labu lemak dievaporasi untuk menghilangkan pelarut. Selanjutnya labu lemak dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 oC selama 1 jam. Setelah dingin ditimbang sebagai bobot akhir (bobot labu dan lemak). Kadar lemak kasar dapat dihitung dengan cara berikut :

Kadar lemak kasar % = c - b x 100%

dimana, a = bobot sampel (g)

b = bobot labu lemak dan batu didih (g)

c = bobot labu lemak, batu didih, dan lemak (g)

5. Kadar serat kasar

Sebanyak 0.5 g sampel yang telah digunakan pada penetapan lemak ditimbang lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Selanjutnya ditambahkan 100 mL asam sulfat 1.25% dan dipanaskan sampai mendidih. Setelah 1 jam ditambahkan 100 mL NaOH 3.25%, dipanaskan kembali sampai mendidih selama 1 jam, kemudian didinginkan dan disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui bobotnya. Endapan dicuci dengan asam sulfat encer dan alkohol, lalu kertas saring dan endapan dikeringkan dalam oven dan ditimbang. Kadar serat kasar dapat dihitung dengan cara berikut :

Kadar serat kasar % = b - c

a x 100%

dimana, a = bobot sampel (g)

b = bobot endapan (g)

c = bobot abu (g)

6. Kadar pati

Sebanyak 3 g sampel ditimbang (w), dimasukkan dalam erlenmeyer 250 mL, ditambahkan aquades sebanyak 80 mL, dan dipanaskan dengan pengangas air hingga terjadi gelatinisasi. Setelah tergelatinisasi, larutan ditambahkan 0.1 mL

enzim α-amilase. Pemanasan dilakukan pada suhu 90 oC hingga hidrolisis pati sempurna yang ditandai dengan warna jingga larutan saat diteteskan larutan iod 2%. Larutan dalam erlenmeyer ditera hingga 250 mL. Sebanyak 1 mL sampel diambil dari erlenmeyer dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 0.5 mL fenol 5% dan 2.5 mL H2SO4 pekat. Larutan dibiarkan hingga

dingin, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Kadar pati dihitung dengan rumus berikut:

Kadar pati % = c *250 * fp * 0.9

(33)

21

dimana, c = konsentrasi pati sampel dari kurva standar fenol sulfat (mg/mL)

w = bobot residu sampel (g)

fp = faktor pengenceran

7. Kandungan amilosa (Apriyanto et al. 1989)

Pembuatan kurva standar

Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, ditambahkan 1 mL etanol 95%, dan 9 mL larutan NaOH 1 N. Kemudian labu takar dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95 °C selama 10 menit. Setelah didinginkan, ditambahkan air destilata hingga tanda tera. Larutan tersebut digunakan sebagai larutan stok. Pipet larutan stok sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 mL ke dalam labu takar 100 mL. Larutan asam asetat 1 N ditambahkan sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 mL ke dalam masing-masing labu takar. Kemudian ditambahkan 2 mL larutan iod (0.2 g I2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 mL air

destilata) ke dalam setiap labu takar, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar yang diperoleh menunjukkan hubungan antara kadar amilosa dengan absorbansi.

Pengukuran sampel

Sebanyak 100 mg sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL larutan NaOH 1 N ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95 °C selama 10 menit. Larutan gel pati dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL, ditambahkan air destilata hingga tanda tera, dan dihomogenasi. Larutan dipipet sebanyak 5 mL ke dalam labu takar 100 mL. Tambahkan 1 mL larutan asam asetat 1 N dan 2 mL larutan iod ke dalam labu takar tersebut, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

amilosa % = c* v * fp

� x 100%

amilopektin (%) = 100 (%) - amilosa (%)

dimana, c = konsentrasi amilosa contoh dari kurva standar DNS (mg/mL)

v = volume akhir contoh (mL)

w = bobot sampel (mg)

(34)

22

Lampiran 2 Foto proses pembuatan kerupuk beras

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(35)

23

(m) (n)

Keterangan gambar: (a) penyiapan bahan baku, (b) pencucian beras, (c) pembuatan bubur beras, (d) pencampuran bahan tambahan, (e) penambahan tepung, (f) pembuatan adonan, (g) pembentukan adonan, (h) pengukusan, (i) pendinginan, (j) pengirisan, (k) pengeringan, (l) kerupuk beras mentah, (m) penggorengan, (n) kerupuk beras goreng.

Lampiran 3 Jumlah penambahan tepung-tepungan dalam adonan kerupuk beras

Komposisi (g) BPS BPT BPM BKS BKT BKM

Beras 100 100 100 100 100 100 Air 500 500 500 500 500 500 Bawang putih 10 10 10 10 10 10 MSG 10 10 10 10 10 10 Garam 20 20 20 20 20 20

Bubur 500 477 457 390 430 383 Tepung-tepungan 523 533 450 440 517 410 Adonan 1023 1010 907 830 947 793

Diperoleh dari tiga kali pengukuran.

Lampiran 4 Prosedur analisis karakterisasi kerupuk beras

1. Kadar air metode oven (AOAC 2006)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (a). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (b) dimasukkan dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C selama 6 jam, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (c). Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

(36)

24

2. Daya pengembangan (Tahir 1985)

Penentuan daya pengembangan kerupuk beras menggunakan wijen dan gelas ukur. Kerupuk mentah dimasukkan dalam suatu wadah dan dipenuhi wijen. Volume wijen yang diukur dinyatakan sebagai volume pertama (v1). Selanjutnya

kerupuk mentah digoreng dan diukur volumenya (v2) sama halnya dengan

mengukur v1. Daya pengembangan kerupuk ditentukan dengan persamaan:

Daya pengembangan % = v1 - v2

v1

x 100%

3. Densitas kamba (Tien 1992)

Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menyiapkan sampel kering (kerupuk beras goreng) dan gelas ukur 50 mL. Pada tahap awal dilakukan penimbangan dan pencatatan berat gelas ukur (a) kemudian sampel dimasukkan dalam gelas ukur 50 mL. Gelas ukur yang telah berisi sampel diketuk-ketukkan ke meja hingga tidak ada lagi rongga ketika sampel ditepatkan menjadi 50 mL kemudian dilakukan pengukuran berat gelas ukur yang berisi sampel (b). Nilai densitas kamba dapat diperoleh dari perhitungan berikut :

Densitas kamba g/mL = b-a g 50 mL 4. Uji kerenyahan

Pengukuran dilakukan dengan neraca digital. Kerupuk diletakkan di atas neraca dan dicatat massa yang terhitung (mo). Selanjutnya, menggunakan alat

yang luas penampangnya sudah diketahui (A) kerupuk ditekan hingga retak/patah dan dicatat angka yang tertera pada saat kerupuk retak/patah (mt). Nilai

kerenyahan dapat diperoleh sebagai berikut:

Kerenyahan N/m2 = mt -mo * 9.8 m/s

2

A

5. Uji warna (Apriyantono 1989)

Sampel didekatkan dan dipindai oleh Colortexmeter. Nilai yang terbaca pada alat antara lain nilai A, B, dan L. Kecerahan ditunjukkan melalui nilai

Lightness. Dominasi panjang gelombang warna produk ditentukan dari nilai °Hue

yang dihitung dengan rumus sebagai berikut :

H = tan-1(B/A)

Keterangan: H = oHue, dominasi warna sampel

L = Lightness (%), tingkat kecerahan

A = positif, cenderung berwarna merah; negatif, cenderung hijau

(37)

25

Lampiran 5 Analisis ragam karakteristik kerupuk beras

1. Kadar air

Sample Ulangan Total Rataan Standar deviasi BPS 3 10.7675 3.5892 0.1028

(38)

26

F(0.05; 2. 12) = 3.89 F(0.05; 1. 12) = 4.75

Uji lanjut (Newman-Keuls Test)

LSR 0.0176 0.0184 0.0189 0.0192 0.0194

Sample Rataan BKT BKM BPS BPM BKS BPT Notasi 0.4546 0.4618 0.4642 0.4747 0.5090 0.5199

BPT 0.5199 0.0653* 0.0581* 0.0557* 0.0452* 0.0109 - a BKS 0.5090 0.0544* 0.0472* 0.0448* 0.0343* - - a BPM 0.4747 0.0201* 0.0129 0.0105 - - - b BPS 0.4642 0.0096 0.0024 - - - - bc BKM 0.4618 0.0072 - - - bc BKT 0.4546 - - - c

3. Daya pengembangan

Sampel Ulangan Total Rataan Standar deviasi BPS 3 2124.75 708.25 78.00 BPT 3 1549.96 516.65 87.09 BPM 3 1011.76 337.25 60.14 BKS 3 1811.65 603.88 15.15 BKT 3 1663.73 554.58 51.15 BKM 3 2028.18 676.06 99.81

Sumber keragaman df SS MS Fhitung

Tepung (Gi) 2 75341.44 37670.72 15.02 Beras (Bj) 1 37090.36 37090.36 14.79 Interaksi (GBij) 2 153590.46 76795.23 30.62

Error (εkij) 12 30093.35 2507.78

Total 17 296115.61 F(0.05; 2. 12) = 3.89 F(0.05; 1. 12) = 4.75

Uji lanjut (Newman-Keuls Test)

LSR 89.10 93.23 95.78 97.43 98.58

Sample Rataan BPM BPT BKT BKS BKM BPS Notasi 337.25 516.65 554.58 603.88 676.06 708.25

(39)

27

4. Kerenyahan

Sampel Ulangan Total Rataan Standar deviasi BPS 6 13334.80 2222.47 294.40 BPT 6 6589.76 1098.29 252.07 BPM 6 16064.22 2677.37 363.24 BKS 6 5264.72 877.45 139.18 BKT 6 12865.55 2144.26 334.46 BKM 6 12495.89 2082.65 254.17

Sumber keragaman df SS MS Fhitung

Tepung (Gi) 2 5078976.74 2539448.37 159.38 Beras (Bj) 1 798823.74 798823.74 50.14 Interaksi (GBij) 2 8971584.33 4485792.17 281.54

Error (εkij) 30 477990.32 15933.01

Total 35 15327375.13 F(0.05; 2. 30) = 3.32 F(0.05; 1. 30) = 4.17

Uji lanjut (Newman-Keuls Test)

LSR 83.49 87.74 90.52 92.48 93.96

Sampel Rataan BKS BPT BKM BKT BPS BPM Notasi 877.45 1098.29 2082.65 2144.26 2222.47 2677.37

BPM 2677.37 1799.92* 1579.08* 594.72* 533.11* 454.9* - a BPS 2222.47 1345.02* 1124.18* 139.82* 78.21 - - b BKT 2144.26 1266.81* 1045.97* 61.61 - - - bc BKM 2082.65 1205.2* 984.36* - - - - c BPT 1098.29 220.84* - - - d

BKS 877.45 - - - d

Lampiran 6 Analisis ragam organoleptik kerupuk beras

1. Bentuk

(40)

28

Sampel Ulangan Total Rataan Standar deviasi BPS 3 11.36 3.79 0.49

(41)

29

Sumber keragaman df SS MS Fhitung

Tepung (Gi) 2 2.0956 1.0478 20.11 Beras (Bj) 1 0.0854 0.0854 1.64 Interaksi (GBij) 2 0.0647 0.0324 0.61

Error (εkij) 12 0.6251 0.0521

Total 17 2.8708 F(0.05; 2. 12) = 3.89 F(0.05; 1. 12) = 4.75

Uji lanjut (Newman-Keuls Test)

LSR 0.401 0.419 0.431 0.438 0.443

Sampel Rataan BPM BKM BKT BPT BPS BKS Notasi 2.97 3.04 3.37 3.68 3.81 3.85

BKS 3.85 0.88* 0.81* 0.48* 0.17 0.04 - a BPS 3.81 0.84* 0.77* 0.44* 0.13 - - a BPT 3.68 0.71* 0.64* 0.31 - - - ab BKT 3.37 0.40 0.33 - - - - ab BKM 3.04 0.07 - - - b BPM 2.97 - - - b

4. Tekstur

Sampel Ulangan Total Rataan Standar deviasi BPS 3 11.96 3.99 0.09 BPT 3 11.88 3.96 0.25 BPM 3 10.64 3.55 0.42 BKS 3 11.96 3.99 0.13 BKT 3 10.32 3.44 0.79 BKM 3 10.96 3.65 0.40

Sumber keragaman df SS MS Fhitung

Tepung (Gi) 2 0.4834 0.2417 3.23 Beras (Bj) 1 0.0854 0.0854 1.14 Interaksi (GBij) 2 0.3372 0.1686 2.25

Error (εkij) 12 0.8971 0.0748

(42)

30

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1990 dari Bapak Kristianto Tjiptadji dan Ibu Neneng Murnengsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 2009 penulis lulus dari SMA Kanisius dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi mentor mata kuliah Fisika dan Kimia TPB (Tingkat Persiapan Bersama) tahun ajaran 2010–2011 di bawah naungan IAAS IPB. Penulis juga pernah aktif sebagai staf Departemen Industri Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian. Bulan Juni-Agustus 2012 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PT So Good Food Manufacturing, Cikupa dengan judul Mempelajari Teknologi Proses dan Pengawasan Mutu

Gambar

Tabel 2  Kandungan kimia tepung-tepungan*

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian sebelumnya telah dikembangkan sistem informasi perparkiran secara online dimana aplikasi dan datanya diatur oleh setiap lokasi, sehingga pengelola

Karena itu, Komnas Perempuan meminta Komite untuk mendorong pemerintah (a) memastikan bahwa lembaga penegak hukum memberi jaminan keselamatan kepada setiap warga

Fig. Atractus gigas , new species. Arrow points to diamond-shaped frontonasal scale between internasal and prefrontal sutures.. 93% of greatest length); prefrontal suture 67% length

Model Student Facilitator and Explaining adalah rangkai penyajian materi ajar yang diawali dengan menjelaskannya dengan didemonstrasikan, kemudian diberikan kesempatan

Setelah anda melaksanakan Amaliah ini maka barang Pusaka yg anda inginkan akan h adir di depan anda dengan di dahului kilatan2 Cahaya Putih dan Biru serta harum Misk itu

Kerusakan yang terjadi di pantai selatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terutama di pesisir Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul saat ini semakin

Waktu Pendahuluan d. Membuka pelajaran dengan salam dan berdoa. Apersepsi: Menanyakan materi yang disampaikan pada pertemuan sebelumnya dan memberikan persepsi awal

Sistem informasi agenda dan tempat pariwisata yang dapat membantu dalam penyampaian informasi agar lebih mudah dan dapat meningkatkan efektifitas dalam pencarian