ABSTRAK
PERANAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE PADA IMUNITAS TERHADAP MALARIA: STUDI DI KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI
KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
Oleh
Agung Kartika Putra
Salah satu fungsi ekologi hutan mangrove adalah sebagai habitat berbagai nyamuk termasuk nyamuk penyebab penyakit malaria (Anopheles sp.). Wabah penyakit malaria bisa meningkat akibat terdegradasinya hutan mangrove. Kondisi hutan mangrove yang buruk menstimulasi nyamuk Anopheles sp. untuk bermigrasi ke habitat lain seperti pemukiman, yang selanjutnya menjadi vektor penyakit malaria. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh ekosistem hutan mangrove baik faktor instrinsik maupun faktor ekstrinsik pada imunitas masyarakat terhadap malaria. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2014 di Desa Muara Gading Mas, Bandar Negeri, Sriminosari, dan Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan metode survai/observasi lapang. Untuk mengetahui pengaruh setiap variabel digunakan model regresi logistik biner. Optimasi parameter menggunakan piranti lunak Minitab 16. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang dapat meningkatkan imunitas adalah: (a) jenis kelamin, laki-laki 37,42 kali perempuan, (b) umur, setiap bertambah tua 1 tahun berlipat menjadi 1,17 kali semula, (c) pendidikan, semakin tinggi maka berkurang menjadi 0,001 kali semula, (d) mata pencaharian, selain nelayan 0,001 kali nelayan, (e) jarak rumah terhadap fasilitas kesehatan, setiap berkurang 1 meter berlipat menjadi 0,09 kali semula, (f) jarak rumah terhadap mangrove, setiap bertambah 1 meter berlipat menjadi 1,001 kali semula, (g) tempat sampah, ada tempat sampah 239,71 daripada tidak ada, (h) program malaria, berlipat 3,71E+05 kali semula daripada tidak ada, (i) luas mangrove, setiap bertambah 1 m2 menjadi 1,001 kali semula, dan (j) kerapatan vegetasi mangrove, setiap bertambah 1 populasi/ha berlipat 1,18 kali semula.
ABSTRACT
ROLE OF MANGROVE FOREST ECOSYSTEM IN IMMUNITY TO MALARIA: STUDY IN SUB-DISTRICT LABUHAN MARINGGAI
DISTRICT EAST LAMPUNG
By
Agung Kartika Putra
ABSTRACT
One of the ecological function of mangrove forests is a habitat for mosquitoes that cause malaria (Anopheles sp.). Epidemic of malaria could increased as a result of mangrove degradation. The damage of mangrove forests stimulate Anopheles sp. migrate to other habitats such as settlements, that become malaria vector. The purpose of this research was to determine the effect of mangrove forest ecosystems both intrinsic and extrinsic factors in immunity to malaria. This research was conducted on June 2014 in the Muara Gading Mas Village, Bandar Negeri, Sriminosari, and Margasari, Sub-district Labuhan Maringgai, District East Lampung. The data were collected through interviews and survey/observations method. The impact of each variable used binary logistic regression models. Parameter optimization used software Minitab16. The result of research have been demonstrated that there is influence both intrinsic and extrinsic factors in immunity to malaria in mangrove forest. Factors that increase resistance to malaria: (a) gender, male 37.42 fold of female, (b) age, getting old erevery 1 year doubled to 1.17 times of originally, (c) education, the higher it isreduced to 0.001 times the originally, (d) livelihood, besides fisher 0,001 fold of fisherman, (e) the distance settlements to the health facility, each reduced to 1 meter doubled to 0.09 times the originally, (f) the distance home to mangroves, each increase of 1 meter doubled to 1,001 times the originally, (g) the dustbin, there are bins 239.71 better than none, (h) the malaria program, multiply 3,71E+05 originally than none, (i) extensive mangrove, increasing 1 m2 become 1,001 fold of originally, and (j) mangrove density, increasing 1 population/ha multiply 1.18 fold originally.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Watas, Kecamatan Balik
Bukit pada tanggal 10 Januari 1992, merupakan anak
bungsu dari pasangan Bapak Kasmir Yazid, B.A. dan
Ibu Sri Lestari, S.Pd.
Jenjang pendidikan penulis dimulai pada tahun 1997 di
Sekolah Dasar Negeri Gunung Sugih, kemudian pada
tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Pertama
Negeri 1 Liwa dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan studi pada Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Liwa. Pada tahun 2010
penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung melalui jalur PMKA/PKAB.
Pada tahun 2013 penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik selama ±
40 hari di Desa Sukarame Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran.
Pada tahun yang sama, penulis melakukan Praktek Umum selama ± 30 bulan di
KPH Banten BKPH Rangkas Bitung dengan topik Pengelolaan Kayu. Selama
menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah
Statistika Dasar (2012/2013-2014/2015), Biometrika Hutan (2013/2014),
(2013/2014-2014/2015), dan Perencanaan Hutan (2014/2015). Selain menjalani
perkuliahan sebagai peningkatan hardskill penulis juga aktif mengikuti organisasi
kemahasiswaan sebagai wadah pembelajaran dan peningkatan kapasistas softskill.
Pada tahun 2010 penulis terdaftar sebagai anggota muda Himpunan Mahasiswa
Jurusan Kehutanan (Himasylva) dan tahun 2011 hingga 2014 terdaftar menjadi
PERSEMBAHAN
Dengan kerendahan hati, Kupersembahkan karya kecil ini
untuk Aki dan Ibu tercinta atas doa yang tak pernah putus
serta kasih sayang yang berlimpah tak kenal lelah,
Saudara-saudaraku yang senantiasa menantikan
keberhasilanku, atin David dan wo Henny terima kasih atas
semangat, doa, dan dorongan selama ini,
Keluarga besar, Sahabat,
serta Almamater tercinta.
Teman se-angkatan 2010 (Sylvaten), Rekan di Himasylva,
abang/mbak dan adik tingkat terima kasih atas bantuan dan
motivasinya selama ini serta kebersamaan yang tak kan
SANWACANA
Asslamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas izin-Nya penulis dapat menyelesai-kan
penelitian dan penulisan karya ilmiah yang berjudul ” Peranan Ekosistem Hutan
Mangrove Pada Imunitas Terhadap Malaria Studi di Kecamatan Labuhan
Maringgai Kabupaten Lampung Timur". Skripsi ini sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan, Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna langkah penulis
berikutnya yang lebih baik. Namun terlepas dari keterbatasan tersebut, penulis
mengharapkan skripsi ini akan bermanfaat bagi pembaca.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan
kemurahan hati dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si. sebagai pembimbing pertama dan Bapak dr.
Betta Kurniawan, M.Kes. sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan
pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada penulis mulai dari awal
2. Ibu Rommy Qurniati, S.P., M.Si., selaku dosen penguji atas saran dan kritik
yang telah diberikan hingga selesainya penulisan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si., selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
5. Masyarakat Desa Muara Gading Mas, Desa Bandar Negeri, Desa Sriminosari,
Desa Margasari yang bersedia menjadi responden penelitian.
6. Puskesmas Kecamatan Labuhan Maringgai, Puskesmas Desa, Dokter dan
Bidan yang berada di lokasi penelitian.
7. Jajaran ketua kelompok tani mangrove di lokasi penelitian.
8. Tim yang membantu pengumpulan data yaitu Willy, Arif, Sapar, Abdian,
Afrian, Wawan, dan Bagus.
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan mereka semua yang telah
diberikan kepada penulis. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun
untuk kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bandar Lampung, 11 Desember 2014
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... ii
DAFTAR GAMBAR ... iii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Rumusan Masalah ... 3
1.3.Tujuan Penelitian ... 3
1.4.Manfaat Penelitian ... 4
1.5.Kerangka Penelitian ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1. Ekosistem Hutan Mangrove ... 6
2.2. Malaria ... 9
2.2.1. Penyebab... 9
2.2.2. Siklus Hidup ... 9
2.2.3. Manifestasi Penyakit Malaria ... 12
2.2.4. Perilaku Nyamuk Malaria ... 13
2.2.5. Tempat Perindukan Nyamuk Malaria ... 15
2.3. Variabel Independen ... 23
2.3.1. Kaitan Hutan Mangrove (Intrinsik) pada Imunitas terhadap Malaria ... 23
2.3.2. Faktor Lingkungan (Ekstrinsik) pada Imunitas terhadap Malaria ... 24
III. METODE PENELITIAN ... 27
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 27
3.2. Bahan dan Alat yang Digunakan ... 27
3.3. Variabel Penelitian ... 28
3.4. Jenis Data ... 29
3.5. Metode Pengumpulan Data ... 30
3.6. Metode Pengambilan Sampel ... 30
3.7. Analisis Data ... 31
3.7.1. Model yang digunakan dan Hipotesis yang diajukan ... 31
3.7.2. Variabel dan Definisi Operasional ... 32
3.7.3. Uji Hipotesis ... 33
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 34
4.1. Keadaan Umum Wilayah Kecamatan Labuhan Maringgai ... 34
4.1.1. Letak Geografis ... 34
4.1.2. Data Kekayaan Alam ... 35
4.2. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat... 35
4.2.1. Agama dan Etnis ... 35
4.2.2. Sarana dan Prasarana ... 37
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41
5.1. Hasil Penelitian ... 41
5.2. Pembahasan... 44
a.Jenis Kelamin ... 46
b.Umur... 47
c.Pendidikan ... 48
d.Mata Pencaharian ... 49
e.Jarak Rumah terhadap Fasilitas Kesehatan ... 51
f. Jarak Rumah terhadap Hutan Mangrove ... 53
g.Tempat Pembuangan Sampah/Limbah... 54
h.Program Malaria ... 54
i. Luas Hutan Mangrove ... 55
j. Kerapatan Asosiasi Mangrove ... 57
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59
6.1.Kesimpulan ... 59
6.2.Saran ... 60
DAFTAR PUSTAKA ... 61
LAMPIRAN ... 66
A. Tabel-tabel hasil pengamatan ... 67
B. Gambar-gambar di lokasi pengamatan... 88
C. Kuisioner Penelitian ... 91
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Jumlah sampel tiap desa ... 31
2. Variabel dan definisi operasional ... 32
3. Luas wilayah, jumlah rumah tangga, jumlah penduduk, dan jumlah dusun 35
4. Jumlah penduduk menurut agama yang dianut ... 36
5. Jumlah sarana ibadah ... 36
6. Komposisi penduduk menurut suku. ... 37
7. Jumlah sarana pendidikan ... 38
8. Jumlah sarana kesehatan dan tenaga kesehatan. ... 38
9. Perubahan tutupan hutan mangrove di Labuhan Maringgai tahun 1973- 2013 ... 40
10. Hasil penelitian di Desa Muara Gading Mas, Desa Bandar Negeri, Desa Sriminosari, dan Desa Margasari di Kecamatan Labuhan Maringgai ... 41
11. Ringkasan hasil optimasi parameter model pengaruh ekosistem hutan mangrove terhadap vulnerabilitas penyakit malaria ... 45
12. Hasil kuisioner dan analisis vegetasi mangrove ... 67
13. Statistik deskriptif hasil penelitian di Desa Muara Gading Mas ... 72
14. Statistik deskriptif hasil penelitian di Desa Bandar Negeri ... 72
15. Statistik deskriptif hasil penelitian di Desa Sriminosari ... 73
16. Statistik deskriptif hasil penelitian di Desa Margasari ... 73
18. Analisis vegetasi tingkat pancang di Desa Bandar Negeri ... 75
19. Analisis vegetasi tingkat semai di Desa Bandar Negeri ... 76
20. Analisis vegetasi tingkat pohon di Desa Sriminosari ... 77
21. Analisis vegetasi tingkat pancang di Desa Sriminosari ... 80
22. Analisis vegetasi tingkat semai di Desa Sriminosari ... 80
23. Analisis vegetasi tingkat pohon di Desa Margasari ... 81
24. Analisis vegetasi tingkat pancang di Desa Margasari ... 84
25. Analisis vegetasi tingkat semai di Desa Margasari ... 85
26. Regresi logistik biner ... 86
27. Tally sheet tanaman mangrove pada fase pohon ... 93
28. Tally sheet tanaman mangrove pada fase pancang ... 93
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bagan alir kerangka pemikiran ... 5
2. Siklus Plasmodium sp. ... 11
3. Peta hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur 2013 ... 57
4. Wawancara kepada masyarakat ... 88
5. Wawancara kepada masyarakat ... 88
6. Wawancara kepada dokter ... 89
7. Wawancara kepada bidan desa ... 89
8. Wawancara kepada ketua kelompok mangrove ... 90
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Fungsi ekologi hutan mangrove merupakan satu dari dua fungsi lain ekosistem
mangrove, yakni sebagai fungsi ekonomi dan fungsi sosial (Kustanti, 2011).
Ketiga pengkategorian fungsi tersebut mampu memberikan kontribusi positif
sehingga bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hutan mangrove diketahui
memiliki manfaat ganda (multiple use) yang dapat dibedakan atas manfaat
langsung dan manfaat tidak langsung. Menurut Kustanti (2011), manfaat
langsung merupakan manfaat yang dapat dirasakan secara langsung kegunaannya
dan nilainya dapat dikuantitatifkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia dari
hasil hutan berupa barang dan jasa. Manfaat tidak langsung yaitu manfaat yang
nyata namun sulit dirasakan dan dikuantitatifkan nilainya.
Fungsi ekologi hutan mangrove dapat dirasakan dari manfaat tidak langsung.
Menurut Rahmawaty (2006), beberapa fungsi ekologi yang dimiliki hutan
mangrove adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari
makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi berbagai
biota laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota,
sumber plasma nutfah (hewan, tumbuhan dan mikroorganisme) dan pengontrol
2
Malaria merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Protozoa dari
genus Plasmodium yang berisiko kematian tinggi dengan proses penularan yang
relatif cepat. Penyakit malaria hanya terjadi melalui perantara (vektor) nyamuk
betina khususnya Anopheles sp. Terdapat sekitar 80 spesies Anopheles sp. di
Indonesia,sedangkan yang dinyatakan sebagai vektor malaria sebanyak 22 spesies
dengan tempat perindukan yang berbeda-beda. Spesies nyamuk di Sumatera yang
sudah dinyatakan sebagai vektor adalah Anopheles sundaicus, Anopheles
maculatus, Anopheles nigerimus, Anopheles sinensis, dan Anopheles lettife
(Ahmadi, 2008).
Penyakit malaria ini dapat menyerang siapa saja terutama penduduk yang tinggal
di daerah yang merupakan lokasi sesuai dengan kebutuhan nyamuk untuk
berkembang. Berdasarkan tempat perkembangbiakannya, vektor malaria
dikelompokkan ke dalam tiga tipe yaitu yang berkembang biak di persawahan,
perbukitan/hutan dan pantai/aliran sungai. Keterkaitan antara penyakit dan hutan
merupakan suatu hubungan rumit yang saling memengaruhi (Center For
Internatioanal Forestry Research, 2007).
Hutan mangrove sebagai habitat nyamuk dapat memengaruhi kehidupan larva
nyamuk karena kanopi tegakan mangrove dapat menghalangi sinar matahari yang
masuk atau melindungi dari serangan makhluk hidup lain, sehingga larva tersebut
dapat berkembang biak dengan baik di dalam hutan mangrove tersebut (Ahmadi,
2008). Munculah asumsi bahwa adanya hutan mangrove sebagai habitat nyamuk,
maka daerah jelajah nyamuk khususnya Anopheles sp. hanya di dalam dan sekitar
3
nyamuk tersebut pada radius jarak tertentu. Berbeda jika kualitas dan kuantitas
hutan mangrove tersebut tidak baik, seperti terjadinya pembukaan areal hutan
mangrove yang dapat menimbulkan masalah kesehatan. Kementerian Kesehatan
RI (2011) telah membuktikan bahwa populasi nyamuk meningkat sebagai akibat
ditebangnya hutan mangrove, sehingga dapat menimbulkan kerawanan terhadap
wabah penyakit malaria.
Kesehatan masyarakat merupakan salah satu faktor pembangun kesejahteraan
sosial yang sangat perlu diperhatikan, oleh karena itu pengaruh ekosistem hutan
mangrove terhadap ketahanan penyakit malaria perlu diketahui khususnya angka
kejadian pada masyarakat di sekitar hutan mangrove di Kecamatan Labuhan
Maringgai. Argumentasi tersebut merupakan simpul masalah yang perlu
dipecahkan melalui penelitian ini. Pemecahan masalah ini menjadi semakin
penting mengingat dinamika perubahan ekosistem hutan mangrove di daerah
pesisir Lampung Timur begitu pesat dalam satu dasawarsa (Yuliasamaya dkk,
2014).
1.2.Rumusan Masalah
Apakah ekosistem hutan mangrove berpengaruh nyata pada ketahanan atau
imunitas masyarakat terhadap penyakit malaria ?
1.3.Tujuan Penelitian
Menentukan pengaruh ekosistem hutan mangrove baik faktor instrinsik maupun
faktor ekstrinsik pada ketahanan atau imunitas masyarakat terhadap penyakit
4
1.4.Manfaat Penelitian
1. Bagi masyarakat sebagai informasi dan masukan terhadap pengelolaan hutan
mangrove dalam upaya mengurangi penyakit malaria.
2. Sebagai masukan bagi pengembangan khasanah dunia ilmu pengetahuan
khususnya mengenai hubungan ekosistem mangrove dengan ketahanan
masyarakat terhadap penyakit malaria.
3. Bagi para pengambil kebijakan dalam urusan kesehatan yang berkaitan
dengan penyakit malaria dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
1.5. Kerangka Pemikiran
Hutan mangrove sebagai daerah peralihan antara darat dan laut menjadi salah satu
ciri khas yang dimilikinya. Selain mempunyai ciri khas tersebut, hutan mangrove
juga mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat besar yaitu dapat dilihat dari
fungsi ekologi, fungsi ekonomi, dan fungsi sosial.
Penelitian ini akan mengkaji peranan ekosistem hutan mangrove secara ekologi
yaitu peranan ekosistem hutan mangrove terhadap kesehatan masyarakat yang
ditinjau dari penyakit endemik di daerah pesisir yaitu penyakit malaria.
Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari beberapa faktor ekstrinsik yang dijadikan
sebagai variabel independen yaitu variabel dari luar keberadaan hutan mangrove
itu seperti jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan (SD, SMP, dan SMA ), mata
pencaharian, jarak rumah penduduk terhadap fasilitas kesehatan (Pustu,
Puskesmas, Puskesdes, Puskeskec, dan lain-lain), tempat pembuangan sampah,
dan program penyakit malaria. Faktor intrinsik yang dijadikan sebagai variabel
5
jarak rumah penduduk terhadap hutan mangrove, luas hutan mangrove dan
kerapatan asosiasi mangrove.
Asumsi bahwa adanya kaitan ekosistem hutan mangrove dengan penyakit malaria
tentu akan menyangkut masalah kesehatan masyarakat yang bermukim di daerah
pesisir khususnya tingkat ketahanan terhadap penyakit malaria. Kesehatan
merupakan unsur yang paling penting dalam menunjang segala bentuk aktivitas
dan menentukan besar kecilnya produktivitas yang dihasilkan. Kesehatan juga
merupakan salah satu unsur utama dalam mencapai suatu kesejahteraan sosial.
Kerangka pikir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran.
Ekosistem Hutan Mangrove
Fungsi Ekologi: Habitat Nyamuk
Faktor Intrinsik:
Jarak rumah terhadap hutan mangrove; Luas hutan mangrove;
Kerapatan asosiasi mangrove
Faktor Ekstrinsik:
Jenis kelamin; Umur; Pendidikan; Mata pencaharian;
Jarak rumah terhadap fasilitas kesehatan; Tempat sampah;
Program malaria
[Y]i = f ((Faktor Intrinsik; Faktor Ekstrinsik))
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Hutan Mangrove
Berdasarkan Undang-Undang No. 41/1999 dan Undang-Undang No. 19/2004
yang mengatur tentang kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat
dipisahkan. Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di
daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh arus pasang surut
air laut. Mangrove juga tumbuh pada pantai karang atau daratan terumbu karang
yang berpasir tipis atau pada pantai berlumpur (Purnobasuki, 2005 dikutip oleh
Ghufran, 2012). Menurut Steenis (2006), hutan mangrove adalah vegetasi hutan
yang tumbuh di antara garis pasang surut, sehingga dikatakan juga hutan pasang.
Ekosistem hutan mangrove dapat dibedakan dalam tiga tipe utama yaitu bentuk
pantai/delta, bentuk muara sungai/laguna dan bentuk pulau. Ketiga tipe tersebut
semuanya terwakili di Indonesia. Menurut Khazali (2005), kondisi pantai yang
baik untuk ditumbuhi vegetasi hutan mangrove adalah pantai yang mempunyai
sifat-sifat: air tenang/ombak tidak besar, air payau, mengandung endapan lumpur
7
Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia menurut Bengen (2002)
dikutip olehFachrul (2007) adalah sebagai berikut:
1. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi dengan
Sonneratia sp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan
organik.
2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora sp.
Pada zona ini juga dijumpai Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp.
3. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp.
4. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa
ditumbuhi Nipah (Nypa fructicans) dan beberapa spesies palem lainnya.
Hutan mangrove memiliki berbagai macam fungsi. Menurut Rahmawaty (2006),
beberapa fungsi yang dimiliki hutan mangrove adalah sebagai berikut:
1. Fungsi fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi
(abrasi) dan intrusi air laut, peredam gelombang dan badai, penahan lumpur,
penangkap sedimen, pengendali banjir, mengolah bahan limbah, penghasil
detritus, memelihara kualitas air, penyerap CO
2 dan penghasil O2 serta
mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami.
2. Fungsi biologis; merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk
mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) dari
berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai
jenis biota, sumber plasma nutfah (hewan, tumbuhan dan mikroorganisme)
8
3. Fungsi sosial ekonomi; sumber mata pencarian, produksi berbagai hasil hutan
(kayu, arang, obat dan makanan), sumber bahan bangunan, bahan kerajinan,
tempat wisata alam, objek pendidikan dan penelitian, areal pertambakan,
tempat pembuatan garam serta areal perkebunan.
Telah dikenal banyak jenis tumbuhan yang terdapat di hutan mangrove di dunia.
Tercatat telah dikenal sebanyak 24 family dan antara 54 sampai dengan 75
spesies. Food and Agriculture Organization/ FAO (2007) dikutip oleh
Greenpeace Southeast Asia (2013) menyatakan bahwa, adanya 48 spesies
mangrove di Indonesia, membuat Indonesia menjadi pusat penting
keanekaragaman hayati mangrove dunia. Dari sekian banyak jenis mangrove
yang hidup di daerah pasang surut, yang tahan air garam dan berbuah terdapat
sekitar 12 family (Bengen, 2002). Jenis mangrove yang banyak ditemukan di
Indonesia antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.),
tancang (Bruguiera sp.), dan pedada (Sonneratia sp.). Jenis-jenis mangrove
tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan, dan
menstabilkan tanah habitatnya.
Secara ekologis hutan mangrove memegang peranan kunci dalam perputaran
nutrisi pada perairan pantai di sekitarnya. Fungsi hutan mangrove yaitu sebagai
stabilisator tepian sungai/pesisir, memberikan dinamika pertumbuhan di kawasan
pesisir seperti pengendalian erosi pantai, menjaga stabilitas sedimen, dan turut
berperan dalam menambah perluasan lahan daratan (land building) (Saputro,
2009). Manfaat lain dari fungsi ekologisnya adalah sebagai habitat nyamuk,
9
nyamuk sebagai vektor penyakit malaria (Masela, 2012). Peran mangrove selain
ditinjau dari fungsi ekologisnya juga memiliki fungsi ekonomi yang mendorong
kegiatan eksploratif sehingga mangrove rawan dari kerusakan (Saputro, 2009).
2.2. Malaria
2.2.1. Penyebab
Penyakit malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit malaria
(Plasmodium sp.) bentuk aseksual yang masuk ke dalam tubuh manusia yang
ditularkan oleh nyamuk malaria (Anopheles sp.) betina (World Health
Organization, 1981 dikutip oleh Departemen Kesehatan RI, 2007). Penyakit
malaria adalah penyakit infeksi dan menular yang disebabkan oleh protozoa
parasit yang merupakan golongan Plasmodium sp., proses penularannya melalui
gigitan nyamuk Anopheles sp. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh parasit Plasmodium sp. yang hidup dan berkembang biak di dalam sel darah
merah manusia.
2.2.2. Siklus Hidup
Plasmodium sp. mempunyai siklus hidup yang lebih kompleks, karena selain
terjadi pergantian generasi seksual dan aseksual juga mengalami pergantian
hospes. Terdiri dari siklus seksual (sporogoni) yang berlangsung pada nyamuk
Anopheles sp. betina, dan siklus aseksual yang berlangsung pada manusia. Siklus
hidup pada manusia terdiri dari fase exo-erithrocytic di dalam parenkim sel hepar
10
2.2.2.1. Fase seksual eksogen (sporogoni) dalam tubuh nyamuk
Nyamuk Anopheles sp. betina menginfeksi eritrosit yang mengandung
mikrogametosit dan makrogametosit dari penderita. Di dalam tubuh nyamuk
terjadi perkawinan antara mikrogametosit dan makrogametosit menghasilkan
zigot. Perkawinan ini terjadi di dalam lambung nyamuk. Zigot berkembang
menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berkembang
menjadi ookista, setelah ookista matang dan pecah, keluar sporozoit yang
berpindah ke kelenjar saliva nyamuk dan siap untuk ditularkan ke manusia (Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2007 dikutip oleh Muti’ah, 2012).
2.2.2.2. Fase aseksual (skizon) dalam tubuh hospes perantara/manusia
a. Siklus dalam sel hepar (skizon eksoeritrositik)
Melalui gigitan nyamuk Anopheles sp., sporozoit masuk aliran darah selama 0,5—
2,0 jam kemudian menuju hepar untuk berkembang biak. Sporozoit-sporozoit ini
dengan cepat (beberapa menit) menginvasi sel hepar kemudian berkembang
menjadi skizon eksoeritrositik. Masing-masing skizon eksoeritrositik
mengandung merozoit sampai 30.000. Sel hepar yang telah terinfeksi skizon
eksoeritrisitik mengalami ruptur dan melepaskan merozoit dewasa ke aliran darah
(Good, 2007 dikutip oleh Muti’ah, 2012).
b. Siklus eritrosit (skizon eritrositik)
Merozoit-merozoit yang dilepaskan dari sel hepar menginvasi eritrosit,
11
skizon. Eritrosit yang mengandung skizon mengalami ruptur dan melepaskan
merozoit yang siap menginvasi eritrosit yang lain. Sebagian besar merozoit
masuk kembali ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan
betina yang siap untuk dihisap nyamuk Anopheles sp. betina dan melanjutkan
siklus hidupnya di tubuh nyamuk. Siklus aseksual di eritrosit pada Plasmodium
falciparum terjadi selama 48 jam (Gardiner dkk, 2005 dikutip oleh Muti’ah,
2012).
Nyamuk Anopheles sp. menggigit manusia, sporozoit masuk aliran darah.
Sporozoit menginvasi hepatosit berkembang menjadi skizon eksoeritrositik.
Skizon ruptur dan melepaskan banyak merozoit. Merozoit yang dilepaskan
menginfeksi red blood cell (RBC), berkembang menjadi ringform, kemudian
tropozoit, dan akhirnya menjadi skizon. Skizon ruptur dan melepaskan merozoit.
Merozoit ada yang menginfeksi RBC kembali dan ada yang berkembang menjadi
gametosit (Good, 2007 dikutip oleh Muti’ah, 2012).
12
2.2.3. Manifestasi Penyakit Malaria
Ada beberapa bentuk manifestasi penyakit Malaria antara lain:
a. Malaria tertiana, disebabkan oleh Plasmodium vivax, penderita merasakan
demam muncul setiap hari ketiga.
b. Malaria quartana, disebabkan oleh Plasmodium malariae, penderita merasakan
demam setiap hari keempat.
c. Malaria serebral, disebabkan oleh Plasmodium falciparum, penderita
mengalami demam tidak teratur dengan disertai gejala terserangnya bagian
otak, bahkan memasuki fase koma, dan kematian yang mendadak.
d. Malaria pernisiosa, disebabkan oleh Plasmodium vivax, gejala dapat timbul
sangat mendadak, mirip stroke, dan koma disertai gejala malaria yang berat.
Gambaran klinis yang ditimbulkan oleh penyakit malaria pada dasarnya bagi
penderita yang masih sensitif secara berurutan yaitu menggigil (15—60 menit),
demam (2—6 jam) antara 37,5 0C—40,0 0C, berkeringat (2—4 jam). Gejala lain
yang mungkin timbul adalah sakit kepala, mual atau muntah dan diare serta nyeri
otot atau pegal-pegal pada orang dewasa. Penderita malaria dengan komplikasi
berat mengalami gangguan kesadaran, kejang-kejang, panas tinggi, pucat/anemia,
mata dan tubuh menguning serta pendarahan pada hidung, gusi, atau saluran
pencernaan, jumlah kencing berkurang (oliguri), tidak dapat makan dan minum,
warna urin coklat tua sampai kehitaman, serta nafas cepat (Departemen Kesehatan
RI, 2007).
Penyakit malaria endemis di beberapa wilayah di Indonesia, parasit malaria yang
13
falcifarum atau campuran keduanya. Plasmodium ovale dan Plasmodium
malariae hanya pernah ditemukan di Sulawesi dan Irian Jaya. Plasmodium
falciparum merupakan yang paling berbahaya dan dapat mengancam nyawa
(Harjana, 2013). Terdapat empat tipe Plasmodiumsp. penyebab penyakit malaria,
yaitu Plasmodium falcifarum penyebab malaria tropika, Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae. Sumber dan cara penularan
penyakit ini adalah manusia sebagai host intermediate dan nyamuk Anopheles sp.
betina yang infected sebagai host devinitive (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Penyakit malaria dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko
tinggi yaitu bayi, anak balita, dan ibu hamil. Malaria juga berdampak pada
penurunan produktivitas kerja akibat anemia. Penyakit ini merupakan penyakit
endemik di Indonesia terutama yang bermukim di pedesaan atau tempat-tempat
terpencil. Menurut tempat berkembang biak, vektor malaria dapat dikelompokkan
ke dalam tiga tipe yaitu berkembang biak di persawahan, perbukitan/hutan, dan
pantai/aliran sungai (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
2.2.4. Perilaku Nyamuk Malaria
Setelah bertelur nyamuk malaria meletakkan telurnya di permukaan air atau
benda-benda lain. Telur akan mengapung di permukaan air dan saling berdekatan
pada ujung telur. Bentuk seperti perahu yang bagian bawahnya konveks dan
bagian atasnya konkaf dan mempunyai sepasang pelampung yang terletak di
samping lateral. Lama telur nyamuk malaria menetas dapat beberapa saat setelah
14
Setiap larva menyukai tipe genangan air yang berbeda. Larva instar 1 dan II
berkumpul pada tempat telur-telur diletakkan, sedangkan larva instar III dan IV
bergerak beberapa meter dari tempat penetasan dan berkumpul di bagian-bagian
yang disenangi seperti bagian yang teduh dan pada genangan air yang besar serta
tenang (Susanto dkk, 2008). Larva nyamuk biasanya berkumpul di tempat-tempat
yang terdapat sumber makanan, terlindung dari arus dan terlindungi dari hewan
predator. Larva bernafas menggunakan sistem trachea dan corong udara yang
berhubungan langsung dengan udara bebas, sehingga tidak terlalu terganggu
dengan perubahan kondisi air. Larva Anopheles sp. banyak di jumpai di
genangan air yang tidak terlalu kotor (Departemen Kesehatan RI, 2001).
Pupa dalam perkembangbiakannya tidak memerlukan makanan, tetapi hanya
memerlukan udara. Pupa bernafas melalui tabung-tabung pada ujung kepala.
Terdapat cangkang pupa untuk melengkapi perkembangannya menjadi nyamuk
desawa. Pupa naik ke permukaan dan memposisikan sejajar dengan permukaan
air untuk persiapan munculnya nyamuk dewasa. Pupa bergerak aktiv dan menetas
1—2 hari untuk menjadi nyamuk. Umumnya nyamuk jantan menetas lebih
dahulu daripada nyamuk betina (Achmadi, 2012).
Pupa yang baru berkembang menjadi nyamuk dewasa akan beristirahat di
permukaan air dalam waktu singkat supaya sayap-sayapnya kuat dan badannya
kering. Nyamuk jantan muncul dari pupa sekitar satu hari sebelum nyamuk betina
yang kemudian menetap di dekat perindukannya untuk mencari sari buah dari
15
2.2.5. Tempat Perindukan Nyamuk Malaria
Habitat nyamuk malaria diklasifikasikan menjadi dua yaitu habitat air mengalir
dan habitat air menggenang. Habitat air mengalir dapat berupa saluran air (parit
atau selokan) yang mengalir lambat dan sungai yang mengalir deras maupun
lambat. Habitat air menggenang dikelompokkan menjadi dua yaitu air tanah dan
air bawah permukaan tanah (Safitri, 2009). Nyamuk malaria juga dapat meyebar
ke tempat-tempat yang dijadikan sebagai aktivitas manusia misalnya perkebunan,
hutan, pantai, dan persawahan (Anies, 2005).
2.2.6. Karakteristik Lingkungan Perindukan Nyamuk Malaria
2.2.6.1. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap perkembangbiakan vektor malaria
adalah:
a. Suhu
Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimal
berkisaran antara 20—30°C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin
pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya, makin rendah suhu
makin panjang masa inkubasi ekstrinsik (Harijanto, 2000). Suhu yang
mempengaruhi kehidupan nyamuk dibagi menjadi dua yaitu:
1. Suhu Udara
Nyamuk digolongkan kedalam hewan yang berdarah dingin sehingga
16
pengaturan suhu tubuh tergantung pada lingkungannya. Suhu dalam kaitannya
dengan vektor malaria berperan terhadap vektor terbentuknya sporogini atau masa
inkubasi ekstrinsik. Makin tinggi suhu dalam batas tertentu akan memperpendek
waktu terbentuknya sporogoni karena sporogini tidak cukup umur untuk
ditularkan pada host. Sebaliknya semakin rendah suhu dalam batas tertentu makin
panjang waktu terbentuknya sporogini. Pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama
sekali pada suhu dibawah 10—40°C (Gunawan, 2000 dikutip oleh Santjaka,
2013). Siklus sporogoni memerlukan suhu yang sesuai pada suhu rata-rata harian
27°C siklus sporogoni memerlukan waktu 9 hari untuk Plasmodium vivax,
sedangkan untuk Plasmodium falciparum membutuhkan waktu 12 hari. Pada
suhu 32°C ookista dalam tubuh nyamuk akan mati, sehingga tidak akan terbentuk
sporogoni (Depkes RI, 2007).
2. Suhu Air
Suhu air sangat berpengaruh pada perkembangbiakan larva, umumnya larva lebih
menyukai tempat yang hangat, itu sebabnya nyamuk Anopheles sp. lebih banyak
di jumpai di daerah tropis. Waktu tetas telur Anopheles sp. tergantung suhu air
dalam batas tertentu akan lebih cepat menetas menjadi instar. Hasil percobaan
menunjukan pada suhu 20°C telur menetas selama 3,5 hari, sedangkan jika suhu
dinaikkan sampai suhu 35°C telur akan menetas dalam waktu 2 hari, percobaan
ini dilakukan pada An. minimus (Takken dkk, 2008dikutip oleh Santjaka, 2013).
b. Kelembaban nisbi udara
Kelembaban nisbi udara adalah banyak kandungan uap air dalam udara yang
17
memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit.
Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan
hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih
aktiv dan lebih sering menggigit sehingga meningkatkan penularan malaria
(Harijanto, 2000).
c. Curah hujan
Hujan menyebabkan naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah
perkembangbiakan (breeding places) dan terjadinya epidemi malaria. Besar
kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan derasnya hujan, jenis vektor dan
jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar
kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles sp. (Harijanto, 2000).
d. Sinar Matahari
Sinar matahari merupakan energi alam yang sangat dibutuhkan oleh semua
mahkluk hidup. Pengaruh utamanya akan meningkatkan suhu dan mengurangi
kelembaban, sehingga mempengaruhi kehidupan termasuk larva dan nyamuk.
Pengaruh sinar matahari dapat berbeda-beda terhadap pertumbuhan larva
nyamuk. Beberapa jenis Anopheles sp. mempunyai tempat yang terbuka dan
tempat yang teduh, An. punctulatus dan An. hyreanus lebih menyukai tempat
yang terbuka, sedangkan An. sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh, dan
An barbirostis dapat hidup baik ditempat yang terbuka maupun yang teduh
18
e. Ketinggian lokasi
Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah, bila
perbedaan tempat cukup tinggi, maka perbedaan suhu udara juga cukup banyak
dan mempengaruhi faktor-faktor yang lain, termasuk siklus pertumbuhan parasit
di dalam nyamuk. Hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada
ketinggian di atas 2.000 m jarang ada transmisi malaria (Harijanto, 2000).
f. Kedalaman air
Kedalaman air erat hubungannya dengan volume air dan cara pemberantasan
jentik nyamuk. Pada kedalaman air larva Anopheles sp. hanya mampu berenang
ke bawah permukaan air paling dalam 1 meter dan tingkat volume air akan
dipengaruhi curah hujan tinggi sehingga akan memperbesar kesempatan nyamuk
untuk berkembang biak secara optimal pada kedalaman kurang dari 3 m
(Departemen Kesehatan RI, 2001).
g. Arus Air
Jenis-jenis nyamuk tertentu senang berkembang biak pada air yang mengalir
perlahan-lahan misalnya An. karwa. An. minimus senang pada genangan air yang
agak kuat dan jentik Ae. aegypti dan Ae. albopictus suka pada genangan air yang
tidak mengalir (Depkes RI, 2001).
h. Angin
Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam merupakan saat terbang
19
jumlah kontak antara manusia dan nyamuk adalah jarak terbang nyamuk (High
range) tidak lebih dari 2 km dari tempat perindukannya. Jika ada tiupan angin
yang kencang, nyamuk bisa terbawa sejauh 20—30 km (Harmendo, 2008).
2.2.6.2. Lingkungan Kimia
Lingkungan kimia yang mendukung perkembangbiakan vektor malaria yaitu pH,
salinitas, oksigen terlarut, dan kebutuhan oksigen biologi. pH mempunyai
pengaruh besar terhadap pertumbuhan organisme yang berkembangbiak di
akuatik. pH air tergantung pada suhu air, oksigen terlarut, dan adanya berbagai
anion dan kation serta jenis stadium organisme (Takken dan Knots, 2008).
a. Salinitas Air
Salinitas air sangat mempengaruhi ada tidaknya nyamuk malaria di suatu daerah
(Prabowo, 2004). Salinitasi merupakan ukuran yang dinyatakan dengan jumlah
garam-garam yang larut dalam suatu volume air. Banyaknya garam-garam yang
larut dalam air menentukan tinggi rendahnya salinitas. Danau, genangan air,
persawahan, kolam ataupun parit disuatu daerah yang merupakan tempat
perindukan nyamuk sehingga meningkatkan kemungkinan timbulnya penularan
malaria. Kategori perairan berdasarkan salinitas yaitu perairan tawar jika
salinitas kurang dari 0,5%, perairan payau jika salinitas antara 0,5—30%,
perairan laut jika salinitas antara 30—40%, dan perairan hipersaline jika nilai
20
b. Derajat Keasaman (pH air)
pH air mempunyai peranan penting dalam pengaturan respirasi dan fotosintesis.
Semakin bertambahnya kedalaman maka pH air cenderung menurun, hal ini
diduga berhubungan dengan kandungan CO2. Air normal yang memenuhi syarat
untuk suatu kehidupan mempunyai pH sekitar 6,5—7,5. Air akan bersifat asam
atau basa tergantung besar kecilnya pH. Bila pH dibawah pH normal, maka air
tersebut bersifat asam. Air limbah dan industri akan mengubah pH air yang
akhirnya akan mengganggu kehidupan biota akuatik. Sebagian besar biota
akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH antara 7—8,5 (Effendi,
2003).
c. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer dan
aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air. Proses respirasi tumbuhan air dan
hewan serta proses dekomposisi bahan organik dapat menyebabkan hilangnya
oksigen dalam suatu perairan, selain itu peningkatan suhu akibat semakin
meningkatnya intensitas cahaya juga mengakibatkan berkurangnya oksigen
(Effendi, 2003).
Pada siang hari ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses
fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar dari pada
oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat
melebihi kadar oksigen jenuh, sehingga perairan mengalami supersaturasi.
21
berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya
fruktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Kadar oksigen maksimum
terjadi pada sore hari dan minimum pada pagi hari. Kadar oksigen terlarut
optimum untuk menompang kehidupan organisme akuatik berkisaran antara
5,0—9,0 mg/l (Effendi, 2003).
2.2.6.3. Lingkungan Biologis
Lingkungan biologis merupakan suatu karakteristik lingkungan yang
mempengaruhi tempat perindukan nyamuk untuk berkembang. Berbagai
tumbuhan air yang mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk malaria, misalnya
lumut dan ganggang (Achmadi, 2008). Selain tumbuhan air, tumbuhan yang ada
di darat juga mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk malaria misalnya
tumbuhan yang besar karena dapat menghalangi masuknya sinar matahari ke
tempat perindukan, sehingga menyebabkan pencahayaan akan rendah, suhu
rendah, dan kelembaban akan tinggi. Kondisi seperti inilah yang sangat
disenangi oleh nyamuk untuk beristirahat setelah menghisap darah hospes sambil
menunggu proses pematangan telurnya (Santjaka, 2013). Lingkungan biologi
yang mempengaruhi tempat perindukan nyamuk antara lain:
a. Tumbuhan Air
Adanya tumbuh-tumbuhan sangat mempengaruhi kehidupan nyamuk, antara lain
sebagai tempat meletakan telur, tempat berlindung, tempat mencari makanan dan
berlindung bagi larva serta tempat hinggap istirahat nyamuk dewasa selama
22
suatu tempat dapat dipakai sebagai indikator memperkirakan adanya jenis-jenis
nyamuk tertentu (Departemen Kesehatan RI, 2001).
Berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk
karena dapat menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi dari
serangan makhluk hidup lain. Beberapa jenis tanaman air merupakan indikator
bagi jenis nyamuk tertentu, tumbuhan seperti bakau, lumut, ganggang, dan
berbagai jenis tumbuh-tumbuhan lain dapat melindungi kehidupan larva nyamuk
karena dapat menghalangi matahari yang masuk atau melindungi dari serangan
mahkluk hidup lain (Harijanto, 2000).
Beberapa indikator tanaman yang digunakan untuk perkiraan keberadaan jentik
karena tanaman air tidak sekedar menggambarkan sifat fisik tetapi juga bisa
menggambarkan susunan kimia dan suhu genangan air. Contoh, jika badan air
dan tanaman terapung misalnya Pistia sp. atau Eichornia sp. maka kemungkinan
besar pada genangan air bisa ditemukan keberadaan jentik Mansonia sp.
(Departemen Kesehatan RI, 2001).
b. Hewan air
Hewan yang berpotensi di perairan yang umumnya sebagai predator larva
nyamuk seperti ikan kepala timah (Panchax spp.), gambusia, nila, dan mujair
akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah (Harijanto, 2000). Setiap
spesies serangga sebagai bagian dari kompleks komunitas dapat diserang atau
menyerang organisme lain. Jenis binatang yang menjadi musuh alami nyamuk
23
Musuh-musuh alami tersebut bersama faktor-faktor lainnya berperan penting
dalam mengatur keseimbangan untuk mencegah terjadi ledakan populasi nyamuk
(Hadidkk, 2009).
2.3.Variabel Independen
2.3.1. Kaitan Hutan Mangrove (Intrinsik) pada Imunitas terhadap Malaria
Keadaan lingkungan berpengaruh terhadap keberadaan penyakit malaria di suatu
daerah. Keberadaan danau, air payau, genangan air di hutan, persawahan, tambak
ikan, pembukaan hutan dan pertambangan di suatu daerah akan meningkatkan
kemungkinan timbulnya penyakit malaria karena tempat-tempat tersebut
merupakan lokasi perkembangbiakan nyamuk vektor malaria. Tempat perindukan
nyamuk penular penyakit malaria (Anopheles sp.) adalah di genangan-genangan
air, baik air tawar atau air payau bergantung dari jenis nyamuk. Anopheles
sundaicus dan Anopheles subpictus hidup di air payau, Anopheles aconitus hidup
di air sawah, Anopheles maculatus hidup di air bersih pegunungan. Pada daerah
pantai kebanyakan tempat perindukan nyamuk terjadi pada tambak yang tidak
dikelola dengan baik. Penebangan hutan bakau secara liar merupakan habitat
yang potensial bagi perkembangbiakan nyamuk Anopheles sundaicus dan banyak
aliran sungai yang tertutup pasir (laguna) yang merupakan tempat perindukan
nyamuk Anopheles sundaicus tersebut(Harmendo, 2008).
Tempat perindukan nyamuk seperti air payau yaitu terdapat di muara-muara
sungai dan rawa-rawa yang berhubungan langsung dengan laut cocok untuk
24
jentik dan kepompong nyamuk berada dalam air yang dinamakan breeding places.
Breeding places yang ditemui di daerah penelitian Harjianto (2000) adalah pantai,
tempayan, sungai, kubangan air, laguna, kolam, parit dan genangan air.
Hasil penelitian Harmendo (2008), menunjukkan bahwa di wilayah yang terdapat
bermacam-macam vegetasi dapat digunakan sebagai tempat hinggap dan istirahat
nyamuk malaria. Vegetasi di wilayah penelitian Harmendo (2008) adalah
tumbuhan air, sawah, semak belukar, kebun campur, rumput, pekarangan, dan
hutan. Departemen Kesehatan RI (2004) telah membuktikan bahwa dengan
adanya tumbuh-tumbuhan akan mempengaruhi kehidupan nyamuk antara lain
sebagai tempat meletakkan telur, tempat berlindung, tempat mencari makan dan
berlindung bagi jentik, serta tempat hinggap nyamuk dewasa selama menunggu
siklus gonotropik. Yudhiastuti (2008) berpendapat bahwa bagi nyamuk dewasa
tumbuhan sangat penting untuk memperoleh mikroklimat yang cocok, serta bisa
berlindung dari banyaknya ancaman musuh alaminya.
2.3.2. Faktor Lingkungan (Ekstrinsik) pada Imunitas terhadap Malaria
Faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat adalah lingkungan,
perilaku, pelayanan kesehatan, dan hereditas (Arsin, 2012). Siklus perkembangan
nyamuk sebagai vektor penyakit malaria dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
kondisi geografis, cuaca, kelembaban, suhu, waktu, tempat untuk istirahat, tempat
untuk mencari makanan, tempat untuk berkembang biak dan kondisi lingkungan
25
Faktor sosial budaya ini merupakan faktor eksternal untuk membentuk perilaku
manusia. Lingkungan sosial budaya seperti jenis kelamin, umur, pendidikan dan
jenis pekerjaan erat kaitannya dengan kejadian suatu penyakit termasuk malaria.
Infeksi malaria tidak membedakan jenis kelamin akan tetapi apabila menginfeksi
ibu yang sedang hamil akan menyebabkan anemia yang lebih berat. Secara
umum, faktor usia tidak memengaruhi terjangkitnya penyakit malaria, artinya
penyakit ini tidak mengenal tingkatan umur sehingga berapapun umur manusia
memiliki peluang untuk terkena penyakit tersebut, hanya saja anak-anak lebih
rentan terhadap infeksi malaria. Perbedaan prevalensi malaria menurut umur dan
jenis kelamin berkaitan dengan derajat kekebalan tubuh manusia karena variasi
keterpaparan kepada gigitan nyamuk. Orang dewasa dengan berbagai
aktivitasnya di luar rumah terutama di tempat-tempat perindukan nyamuk pada
waktu gelap atau malam hari, sangat memungkinkan untuk berkontak langsung
dengan nyamuk. Apabila seseorang dikaitkan dengan jenis pekerjaannya, ada
profesi pekerjaan tertentu yang berpengaruh terhadap kejadian malaria. Pekerjaan
yang menjadi faktor risiko untuk terkena malaria misalnya berkebun sampai
menginap berminggu-minggu atau pekerjaan menyadap karet di hutan, sebagai
nelayan yang harus menyiapkan perahu di pagi buta untuk mencari ikan di laut
dan lain sebagainya (Harmendo, 2008).
Perilaku manusia merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya berbagai
masalah terutama kesehatan. Para ahli kesehatan masyarakat sepakat bahwa
untuk mengatasinya diperlukan suatu upaya dalam proses pendidikan kesehatan
masyarakat. Melalui proses pendidikan diharapkan mampu merubah perilaku
26
perlu ditunjang oleh adanya perubahan sikap dan pengetahuan (Arsin, 2003).
Tingkat pendidikan seseorang tidak dapat mempengaruhi secara langsung
terhadap kejadian malaria, namun pendidikan seseorang dapat mempengaruhi
jenis pekerjaan dan tingkat pengetahuan orang tersebut. Secara umum, seseorang
yang berpendidikan tinggi akan mempunyai pekerjaan yang lebih layak dibanding
seseorang yang berpendidikan rendah juga mempunyai pengetahuan yang cukup
untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Memiliki pengetahuan yang baik serta didukung oleh pendidikan memadai akan
berdampak terhadap perilaku seseorang dalam mengambil berbagai tindakan.
Faktor jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan akan mempengaruhi tingkat
pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat. Meskipun pelayanan
kesehatan di Puskesmas sudah gratis, tetapi untuk mengakses puskesmas tersebut
masyarakat masih membutuhkan biaya untuk transportasi, oleh karena itu faktor
jarak menjadi barrier sehingga akan memengaruhi tingkat kesehatan seseorang
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di empat desa yaitu Desa Muara Gading Mas, Bandar
Negeri, Sriminosari, dan Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten
Lampung Timur. Pemilihan desa ditentukan karena Desa Sriminosari dan
Margasari memiliki hutan mangrove dengan kondisi baik, sedangkan Desa Muara
Gading Mas serta Bandar Negeri memiliki hutan mangrove dengan kondisi buruk.
Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2014.
3.2. Bahan dan Alat yang Digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data berupa citra satelit
Landsat path 123 row 64 dengan perekaman peta luas kawasan hutan mangrove
pada tahun 2013 serta masyarakat sebagai responden. Alat-alat yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi perangkat keras dan perangkat lunak, alat tulis, serta
alat untuk mengukur tinggi pohon (Christen Hypsometer), juga alat pengukur
diameter pohon (Pita Meter). Perangkat keras yang digunakan adalah GPS
(Global Positioning System), laptop dan kamera, sedangkan perangkat lunak yang
digunakan adalah ArcGIS 10, Minitab versi 16, Microsoft Office Word dan
28
3.3. Variabel Penelitian
Penelitian ini memiliki dua jenis variabel yaitu variabel respon atau dependen dan
variabel penjelas atau independen. Variabel respon atau dependen berupa kinerja
serangan malaria pada anggota keluarga dinyatakan dengan variabel skala biner,
yaitu diberi nilai 0 jika ada anggota keluarga yang pernah terkena malaria dan
diberi nilai 1 jika tidak ada anggota yang terkena penyakit malaria di tahun 2013.
Variabel lain yaitu variabel independen, pada prinsipnya dapat digolongkan
menjadi dua kelompok yaitu variabel intrinsik dan variabel ekstrinsik. Variabel
intrinsik yaitu jarak antara rumah responden terhadap hutan mangrove, luas hutan
mangrove yang terdapat di masing-masing desa, dan kerapatan asosiasi mangrove.
Variabel jarak rumah terhadap hutan mangrove dinyatakan dengan meter (m).
Variabel luas hutan mangrove dinyatakan dengan meter persegi (m2). Variabel
kerapatan asosiasi mangrove dinyatakan dengan jumlah populasi mangrove per
meter persegi (populasi/ha).
Variabel ekstrinsik tergolong dalam faktor sosial demografi meliputi jenis
kelamin, umur, pendidikan, mata pencaharian utama, jarak rumah responden
terhadap fasilitas kesehatan, ketersediaan tempat pembuangan sampah atau limbah
pada masing-masing rumah tangga, dan adanya program malaria oleh dinas
kesehatan yang telah diikuti oleh responden. Variabel umur dan variabel jarak
rumah terhadap fasilitas kesehatan dinyatakan dengan skala rasio. Variabel umur
dinyatakan dalam tahun, sedangkan untuk variabel jarak rumah terhadap fasilitas
29
Variabel selebihnya dinyatakan dengan variabel dummy. Jenis kelamin penderita
penyakit malaria dinyatakan dengan variabel dummy, diberi nilai 1 jika laki-laki
dan nilai 0 jika lainnya. Variabel pendidikan (SD, SMP, dan SMA) dinyatakan
dengan tiga peringkat variabel dummy yaitu D_SD, D_SMP dan D_SMA.
Variabel D_SD diberi nilai 1 jika lulus SD, diberi nilai 0 jika lainnya, variabel
D_SMP diberi nilai 1 jika lulus SMP, diberi nilai 0 jika lainnya, dan untuk
variabel D_SMA diberi nilai 1 jika penderita lulus SMA, diberi nilai 0 jika
lainnya. Variabel jenis mata pencaharian diberi nilai 1 jika penderita berprofesi
sebagai nelayan dan diberi nilai 0 jika lainnya. Variabel adanya tempat
pembuangan sampah atau limbah diberi nilai 1 jika memiliki tempat pembuangan
sampah atau limbah dan diberi nilai 0 jika lainnya. Variabel program malaria
diberi nilai 1 jika responden pernah mengikuti program malaria dan diberi nilai 0
jika lainnya.
3.4. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer yaitu:
1. Luas kawasan hutan mangove.
2. Kerapatan vegetasi hutan mangrove.
3. Hasil kuisioner berupa identitas responden dan angka kejadian penyakit
malaria yang terjadi pada satu tahun terakhir.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Citra satelit Landsat path 123 row 64 lahan mangrove tahun 2013.
2. Kondisi secara umum lokasi penelitian dan sejarah hutan mangrove di lokasi
30
3.5. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survai/observasi. Data
primer diperoleh dengan cara pengukuran langsung dan pembagian kuisioner
kepada masyarakat. Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan data
citra satelit, data mengenai kesehatan masyarakat secara umum dapat diperoleh
dari adanya layanan kesehatan seperti Puskesmas Desa, Puskesmas Kecamatan,
instansi-instansi terkait, serta studi pustaka.
3.6. Metode Pengambilan Sampel
a. Ekosistem hutan mangrove
Pengukuran kerapatan asosiasi mangrove dilakukan menggunakan metode plot
garis berpetak. Jumlah petak contoh sebanyak 5 pada tiap kawasan hutan
mangrove di masing-masing desa dengan letak persebaran tertentu. Petak contoh
berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10 m untuk tingkat pohon
(diameter > 10 cm), 5 x 5 m untuk tingkat pancang (diameter 1,5—9,0 cm), dan
2 x 2 m untuk semai atau tumbuhan bawah (Onrizal, 2008).
b. Responden penelitian
Jumlah kepala keluarga dalam penelitian ini adalah 7.470 KK. Menurut Arikunto
(2011) jika jumlah populasi lebih dari 100 maka perlu dilakukan penarikan
sampel. Besarnya presisi dalam pengambilan sampel adalah 10%, karena pada
tingkat presisi tersebut sudah mewakili jumlah KK seluruhnya. Rumus penentuan
sampel menurut Arikunto (2011) adalah:
31
Keterangan:
n : Jumlah responden
N : Jumlah total kepala keluarga (KK) e : Presisi 10%
Jumlah sampel/responden yang diperoleh setelah dilakukan perhitungan yaitu:
Tabel 1. Jumlah sampel tiap desa
No. Desa Jumlah Populasi
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013) dan hasil perhitungan menggunakan rumus Arikunto (2011).
3.7. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan persamaan regresi logistik biner
(binary logistic regression) karena dalam penelitian terdapat variabel berskala
rasio juga variabel dummy.
3.7.1. Model yang digunakan dan Hipotesis yang diajukan
Model yang digunakan pada penelitian ini adalah persamaan {1} regresi logistik
32
Keterangan:
[Y] = Ketahanan terhadap penyakit malaria (individu) [D1_KLM] = Jenis Kelamin
[UMR] = Umur (th) [D2_SD] = Sekolah Dasar
[D2_SMP] = Sekolah Menengah Pertama
[D2_SMA] = Sekolah Menengah Atas
[D3_PCHR] = Mata Pencaharian
[JRK-KES] = Jarak rumah responden terhadap fasilitas kesehatan (m) [JRK-M] = Jarak rumah responden terhadap hutan mangrove (m) [D4_SMPH] = Tempat pembuangan sampah
[D5_PMLR] = Program penyakit malaria
[LM] = Luas hutan mangrove (m2)
[KM] = Kerapatan asosiasi mangrove (populasi/ha)
e = Error
α0, α1,..α12 = Parameter model
3.7.2. Variabel dan Definisi Operasional
Variabel dan definisi operasional yang dipakai dalam penelitian ini disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Variabel dan Definisi Operasional
No. Variabel Simbol Definisi Opersional Skala
Pengukuran
1 Y = Ketahanan penyakit malaria (individu)
Y Jumlah orang dalam suatu populasi yang menderita
D3_PCHR Pekerjaan utama
responden.
33
Tabel 2. (Lanjutan)
No. Variabel Simbol Definisi Opersional Skala
Pengukuran
Uji parameter persamaan regresi logistik biner menggunakan piranti lunak
Minitab versi 16. Signifikansi pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen model tersebut digunakan uji G, sedangkan uji masing-masing
parameter terhadap variabel dependen digunakan uji W pada taraf nyata 1%, 5%,
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Keadaan Umum Wilayah Kecamatan Labuhan Maringgai
4.1.1. Letak Geografis
Kecamatan Labuhan Maringgai merupakan bagian dari wilayah Kabupaten
Lampung Timur dengan luas wilayah 142,62 km2. Secara geografis Kecamatan
Labuhan Maringgai memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Labuhan Ratu dan Taman
Nasional Way Kambas.
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pasir Sakti.
3. Sebelah timur berbatasan dengan laut Jawa.
4. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Mataram Baru, Kecamatan
Bandar Sri Bawono, Kecamatan Melinting, dan Kecamatan Gunung Pelindung.
Wilayah Kecamatan Labuhan Maringgai dibagi menjadi 11 desa yaitu Desa
Karang Anyar, Sukorahayu, Margasari, Siminosari, Srigading, Labuhan
Maringgai, Muara Gading Mas, Maringgai, Bandar Negeri, Karya Makmur, dan
Karya Tani. Ibukota kecamatan berkedudukan di Desa Labuhan Maringgai.
Pembagian luas wilayah masing-masing desa secara lengkap disajikan pada Tabel
35
Tabel 3. Luas wilayah, jumlah rumah tangga, jumlah penduduk, dan jumlah dusun
No. Desa
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).
4.1.2. Data Kekayaan Alam
Kekayaan alam di Kecamatan Labuhan Maringgai yaitu padi (Oryza sativa), ubi
kayu/singkong (Manihot utilissima), kelapa (Cocos nucifera), lada (Piper nigrum),
ikan, batu, bata merah, dan pasir. SDA tersebut dimanfaatkan secara baik oleh
masyarakat sebagai tempat mata pencaharian. Sumberdaya alam lain yaitu berupa
objek wisata pantai yang terdapat di Desa Muara Gading Mas dan Bandar Negeri.
4.2. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat
4.2.1. Agama dan Etnis
Jumlah penganut agama Islam di Kecamatan ini adalah yang paling dominan
diantara penganut agama lain yaitu sebanyak 64.992 orang. Penganut agama
Protestan berada diurutan kedua yaitu sebanyak 550 orang, kemudian di urutan
36
keempat adalah penduduk beragama Katolik sebanyak 265 orang, dan diurutan
terakhir penduduk beragama Budha sebanyak 90 orang. Data jumlah penduduk
tiap desa secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah penduduk menurut agama yang dianut
No. Desa Islam
Kato-Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).
Jumlah sarana tempat untuk beribadah di Kecamatan Labuhan Maringgai yaitu
Masjid sebanyak 72, Langgar berjumlah 141, Gereja berjumlah 8, Pura berjumlah
37
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).
Komposisi jumlah penduduk di Kecamatan Labuhan Maringgai didominasi oleh
penduduk bersuku Jawa sebanyak 35%, kemudian diikuti oleh penduduk bersuku
Lampung sebanyak 25%, suku Bugis sebanyak 20%, suku Sumsel sebanyak 10%,
suku Minang, Bali dan Batak masing-masing sebanyak 5%. Komposisi penduduk
menurut suku dapat dilihat juga pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi penduduk menurut suku
No. Suku
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).
4.2.2. Sarana dan Prasarana
Sarana pendidikan di Kecamatan Labuhan Maringgai yaitu TK, SD, SMP, SMA
dan SMK. Jumlah masing-masing sekolah adalah TK sebanyak 15 sekolah, SD
sebanyak 26 sekolah, SMP sebanyak 8 sekolah, SMA dan SMK masing-masing
38
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).
Ketersediaan layanan kesehatan di Kecamatan Labuhan Maringgai sudah cukup
memadai. Kecamatan Labuhan Maringgai sudah memiliki 2 Puskesmas
Kecamatan yang berpusat di Desa Labuhan Maringgai dan Karya Tani. Jumlah
Puskesmas di masing-masing desa sebanyak 8 dan Poskesdes sebanyak 22.
Jumlah tenaga kesehatan seperti dokter sejumlah 5 orang dan jumlah tenaga medis
sejumlah 13 orang, serta jumlah bidan sejumah 31 orang. Jumlah sarana
kesehatan dan tenaga kesehatan tiap desa dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Jumlah sarana kesehatan dan tenaga kesehatan