• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE PADA IMUNITAS TERHADAP MALARIA: STUDI DI KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERANAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE PADA IMUNITAS TERHADAP MALARIA: STUDI DI KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERANAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE PADA IMUNITAS TERHADAP MALARIA: STUDI DI KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI

KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

Oleh

Agung Kartika Putra

Salah satu fungsi ekologi hutan mangrove adalah sebagai habitat berbagai nyamuk termasuk nyamuk penyebab penyakit malaria (Anopheles sp.). Wabah penyakit malaria bisa meningkat akibat terdegradasinya hutan mangrove. Kondisi hutan mangrove yang buruk menstimulasi nyamuk Anopheles sp. untuk bermigrasi ke habitat lain seperti pemukiman, yang selanjutnya menjadi vektor penyakit malaria. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh ekosistem hutan mangrove baik faktor instrinsik maupun faktor ekstrinsik pada imunitas masyarakat terhadap malaria. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2014 di Desa Muara Gading Mas, Bandar Negeri, Sriminosari, dan Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan metode survai/observasi lapang. Untuk mengetahui pengaruh setiap variabel digunakan model regresi logistik biner. Optimasi parameter menggunakan piranti lunak Minitab 16. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang dapat meningkatkan imunitas adalah: (a) jenis kelamin, laki-laki 37,42 kali perempuan, (b) umur, setiap bertambah tua 1 tahun berlipat menjadi 1,17 kali semula, (c) pendidikan, semakin tinggi maka berkurang menjadi 0,001 kali semula, (d) mata pencaharian, selain nelayan 0,001 kali nelayan, (e) jarak rumah terhadap fasilitas kesehatan, setiap berkurang 1 meter berlipat menjadi 0,09 kali semula, (f) jarak rumah terhadap mangrove, setiap bertambah 1 meter berlipat menjadi 1,001 kali semula, (g) tempat sampah, ada tempat sampah 239,71 daripada tidak ada, (h) program malaria, berlipat 3,71E+05 kali semula daripada tidak ada, (i) luas mangrove, setiap bertambah 1 m2 menjadi 1,001 kali semula, dan (j) kerapatan vegetasi mangrove, setiap bertambah 1 populasi/ha berlipat 1,18 kali semula.

(2)

ABSTRACT

ROLE OF MANGROVE FOREST ECOSYSTEM IN IMMUNITY TO MALARIA: STUDY IN SUB-DISTRICT LABUHAN MARINGGAI

DISTRICT EAST LAMPUNG

By

Agung Kartika Putra

ABSTRACT

One of the ecological function of mangrove forests is a habitat for mosquitoes that cause malaria (Anopheles sp.). Epidemic of malaria could increased as a result of mangrove degradation. The damage of mangrove forests stimulate Anopheles sp. migrate to other habitats such as settlements, that become malaria vector. The purpose of this research was to determine the effect of mangrove forest ecosystems both intrinsic and extrinsic factors in immunity to malaria. This research was conducted on June 2014 in the Muara Gading Mas Village, Bandar Negeri, Sriminosari, and Margasari, Sub-district Labuhan Maringgai, District East Lampung. The data were collected through interviews and survey/observations method. The impact of each variable used binary logistic regression models. Parameter optimization used software Minitab16. The result of research have been demonstrated that there is influence both intrinsic and extrinsic factors in immunity to malaria in mangrove forest. Factors that increase resistance to malaria: (a) gender, male 37.42 fold of female, (b) age, getting old erevery 1 year doubled to 1.17 times of originally, (c) education, the higher it isreduced to 0.001 times the originally, (d) livelihood, besides fisher 0,001 fold of fisherman, (e) the distance settlements to the health facility, each reduced to 1 meter doubled to 0.09 times the originally, (f) the distance home to mangroves, each increase of 1 meter doubled to 1,001 times the originally, (g) the dustbin, there are bins 239.71 better than none, (h) the malaria program, multiply 3,71E+05 originally than none, (i) extensive mangrove, increasing 1 m2 become 1,001 fold of originally, and (j) mangrove density, increasing 1 population/ha multiply 1.18 fold originally.

(3)
(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Watas, Kecamatan Balik

Bukit pada tanggal 10 Januari 1992, merupakan anak

bungsu dari pasangan Bapak Kasmir Yazid, B.A. dan

Ibu Sri Lestari, S.Pd.

Jenjang pendidikan penulis dimulai pada tahun 1997 di

Sekolah Dasar Negeri Gunung Sugih, kemudian pada

tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Pertama

Negeri 1 Liwa dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis

melanjutkan studi pada Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Liwa. Pada tahun 2010

penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung melalui jalur PMKA/PKAB.

Pada tahun 2013 penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik selama ±

40 hari di Desa Sukarame Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran.

Pada tahun yang sama, penulis melakukan Praktek Umum selama ± 30 bulan di

KPH Banten BKPH Rangkas Bitung dengan topik Pengelolaan Kayu. Selama

menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah

Statistika Dasar (2012/2013-2014/2015), Biometrika Hutan (2013/2014),

(7)

(2013/2014-2014/2015), dan Perencanaan Hutan (2014/2015). Selain menjalani

perkuliahan sebagai peningkatan hardskill penulis juga aktif mengikuti organisasi

kemahasiswaan sebagai wadah pembelajaran dan peningkatan kapasistas softskill.

Pada tahun 2010 penulis terdaftar sebagai anggota muda Himpunan Mahasiswa

Jurusan Kehutanan (Himasylva) dan tahun 2011 hingga 2014 terdaftar menjadi

(8)

PERSEMBAHAN

Dengan kerendahan hati, Kupersembahkan karya kecil ini

untuk Aki dan Ibu tercinta atas doa yang tak pernah putus

serta kasih sayang yang berlimpah tak kenal lelah,

Saudara-saudaraku yang senantiasa menantikan

keberhasilanku, atin David dan wo Henny terima kasih atas

semangat, doa, dan dorongan selama ini,

Keluarga besar, Sahabat,

serta Almamater tercinta.

Teman se-angkatan 2010 (Sylvaten), Rekan di Himasylva,

abang/mbak dan adik tingkat terima kasih atas bantuan dan

motivasinya selama ini serta kebersamaan yang tak kan

(9)

SANWACANA

Asslamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas izin-Nya penulis dapat menyelesai-kan

penelitian dan penulisan karya ilmiah yang berjudul Peranan Ekosistem Hutan

Mangrove Pada Imunitas Terhadap Malaria Studi di Kecamatan Labuhan

Maringgai Kabupaten Lampung Timur". Skripsi ini sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan, Fakultas

Pertanian Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu,

kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna langkah penulis

berikutnya yang lebih baik. Namun terlepas dari keterbatasan tersebut, penulis

mengharapkan skripsi ini akan bermanfaat bagi pembaca.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan

kemurahan hati dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini

perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang

setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si. sebagai pembimbing pertama dan Bapak dr.

Betta Kurniawan, M.Kes. sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan

pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada penulis mulai dari awal

(10)

2. Ibu Rommy Qurniati, S.P., M.Si., selaku dosen penguji atas saran dan kritik

yang telah diberikan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si., selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung.

5. Masyarakat Desa Muara Gading Mas, Desa Bandar Negeri, Desa Sriminosari,

Desa Margasari yang bersedia menjadi responden penelitian.

6. Puskesmas Kecamatan Labuhan Maringgai, Puskesmas Desa, Dokter dan

Bidan yang berada di lokasi penelitian.

7. Jajaran ketua kelompok tani mangrove di lokasi penelitian.

8. Tim yang membantu pengumpulan data yaitu Willy, Arif, Sapar, Abdian,

Afrian, Wawan, dan Bagus.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan mereka semua yang telah

diberikan kepada penulis. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun

untuk kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat

bagi para pembaca.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandar Lampung, 11 Desember 2014

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 3

1.3.Tujuan Penelitian ... 3

1.4.Manfaat Penelitian ... 4

1.5.Kerangka Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Ekosistem Hutan Mangrove ... 6

2.2. Malaria ... 9

2.2.1. Penyebab... 9

2.2.2. Siklus Hidup ... 9

2.2.3. Manifestasi Penyakit Malaria ... 12

2.2.4. Perilaku Nyamuk Malaria ... 13

2.2.5. Tempat Perindukan Nyamuk Malaria ... 15

(12)

2.3. Variabel Independen ... 23

2.3.1. Kaitan Hutan Mangrove (Intrinsik) pada Imunitas terhadap Malaria ... 23

2.3.2. Faktor Lingkungan (Ekstrinsik) pada Imunitas terhadap Malaria ... 24

III. METODE PENELITIAN ... 27

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

3.2. Bahan dan Alat yang Digunakan ... 27

3.3. Variabel Penelitian ... 28

3.4. Jenis Data ... 29

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 30

3.6. Metode Pengambilan Sampel ... 30

3.7. Analisis Data ... 31

3.7.1. Model yang digunakan dan Hipotesis yang diajukan ... 31

3.7.2. Variabel dan Definisi Operasional ... 32

3.7.3. Uji Hipotesis ... 33

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 34

4.1. Keadaan Umum Wilayah Kecamatan Labuhan Maringgai ... 34

4.1.1. Letak Geografis ... 34

4.1.2. Data Kekayaan Alam ... 35

4.2. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat... 35

4.2.1. Agama dan Etnis ... 35

4.2.2. Sarana dan Prasarana ... 37

(13)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

5.1. Hasil Penelitian ... 41

5.2. Pembahasan... 44

a.Jenis Kelamin ... 46

b.Umur... 47

c.Pendidikan ... 48

d.Mata Pencaharian ... 49

e.Jarak Rumah terhadap Fasilitas Kesehatan ... 51

f. Jarak Rumah terhadap Hutan Mangrove ... 53

g.Tempat Pembuangan Sampah/Limbah... 54

h.Program Malaria ... 54

i. Luas Hutan Mangrove ... 55

j. Kerapatan Asosiasi Mangrove ... 57

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

6.1.Kesimpulan ... 59

6.2.Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

LAMPIRAN ... 66

A. Tabel-tabel hasil pengamatan ... 67

B. Gambar-gambar di lokasi pengamatan... 88

C. Kuisioner Penelitian ... 91

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jumlah sampel tiap desa ... 31

2. Variabel dan definisi operasional ... 32

3. Luas wilayah, jumlah rumah tangga, jumlah penduduk, dan jumlah dusun 35

4. Jumlah penduduk menurut agama yang dianut ... 36

5. Jumlah sarana ibadah ... 36

6. Komposisi penduduk menurut suku. ... 37

7. Jumlah sarana pendidikan ... 38

8. Jumlah sarana kesehatan dan tenaga kesehatan. ... 38

9. Perubahan tutupan hutan mangrove di Labuhan Maringgai tahun 1973- 2013 ... 40

10. Hasil penelitian di Desa Muara Gading Mas, Desa Bandar Negeri, Desa Sriminosari, dan Desa Margasari di Kecamatan Labuhan Maringgai ... 41

11. Ringkasan hasil optimasi parameter model pengaruh ekosistem hutan mangrove terhadap vulnerabilitas penyakit malaria ... 45

12. Hasil kuisioner dan analisis vegetasi mangrove ... 67

13. Statistik deskriptif hasil penelitian di Desa Muara Gading Mas ... 72

14. Statistik deskriptif hasil penelitian di Desa Bandar Negeri ... 72

15. Statistik deskriptif hasil penelitian di Desa Sriminosari ... 73

16. Statistik deskriptif hasil penelitian di Desa Margasari ... 73

(15)

18. Analisis vegetasi tingkat pancang di Desa Bandar Negeri ... 75

19. Analisis vegetasi tingkat semai di Desa Bandar Negeri ... 76

20. Analisis vegetasi tingkat pohon di Desa Sriminosari ... 77

21. Analisis vegetasi tingkat pancang di Desa Sriminosari ... 80

22. Analisis vegetasi tingkat semai di Desa Sriminosari ... 80

23. Analisis vegetasi tingkat pohon di Desa Margasari ... 81

24. Analisis vegetasi tingkat pancang di Desa Margasari ... 84

25. Analisis vegetasi tingkat semai di Desa Margasari ... 85

26. Regresi logistik biner ... 86

27. Tally sheet tanaman mangrove pada fase pohon ... 93

28. Tally sheet tanaman mangrove pada fase pancang ... 93

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Bagan alir kerangka pemikiran ... 5

2. Siklus Plasmodium sp. ... 11

3. Peta hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur 2013 ... 57

4. Wawancara kepada masyarakat ... 88

5. Wawancara kepada masyarakat ... 88

6. Wawancara kepada dokter ... 89

7. Wawancara kepada bidan desa ... 89

8. Wawancara kepada ketua kelompok mangrove ... 90

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Fungsi ekologi hutan mangrove merupakan satu dari dua fungsi lain ekosistem

mangrove, yakni sebagai fungsi ekonomi dan fungsi sosial (Kustanti, 2011).

Ketiga pengkategorian fungsi tersebut mampu memberikan kontribusi positif

sehingga bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hutan mangrove diketahui

memiliki manfaat ganda (multiple use) yang dapat dibedakan atas manfaat

langsung dan manfaat tidak langsung. Menurut Kustanti (2011), manfaat

langsung merupakan manfaat yang dapat dirasakan secara langsung kegunaannya

dan nilainya dapat dikuantitatifkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia dari

hasil hutan berupa barang dan jasa. Manfaat tidak langsung yaitu manfaat yang

nyata namun sulit dirasakan dan dikuantitatifkan nilainya.

Fungsi ekologi hutan mangrove dapat dirasakan dari manfaat tidak langsung.

Menurut Rahmawaty (2006), beberapa fungsi ekologi yang dimiliki hutan

mangrove adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari

makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi berbagai

biota laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota,

sumber plasma nutfah (hewan, tumbuhan dan mikroorganisme) dan pengontrol

(18)

2

Malaria merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Protozoa dari

genus Plasmodium yang berisiko kematian tinggi dengan proses penularan yang

relatif cepat. Penyakit malaria hanya terjadi melalui perantara (vektor) nyamuk

betina khususnya Anopheles sp. Terdapat sekitar 80 spesies Anopheles sp. di

Indonesia,sedangkan yang dinyatakan sebagai vektor malaria sebanyak 22 spesies

dengan tempat perindukan yang berbeda-beda. Spesies nyamuk di Sumatera yang

sudah dinyatakan sebagai vektor adalah Anopheles sundaicus, Anopheles

maculatus, Anopheles nigerimus, Anopheles sinensis, dan Anopheles lettife

(Ahmadi, 2008).

Penyakit malaria ini dapat menyerang siapa saja terutama penduduk yang tinggal

di daerah yang merupakan lokasi sesuai dengan kebutuhan nyamuk untuk

berkembang. Berdasarkan tempat perkembangbiakannya, vektor malaria

dikelompokkan ke dalam tiga tipe yaitu yang berkembang biak di persawahan,

perbukitan/hutan dan pantai/aliran sungai. Keterkaitan antara penyakit dan hutan

merupakan suatu hubungan rumit yang saling memengaruhi (Center For

Internatioanal Forestry Research, 2007).

Hutan mangrove sebagai habitat nyamuk dapat memengaruhi kehidupan larva

nyamuk karena kanopi tegakan mangrove dapat menghalangi sinar matahari yang

masuk atau melindungi dari serangan makhluk hidup lain, sehingga larva tersebut

dapat berkembang biak dengan baik di dalam hutan mangrove tersebut (Ahmadi,

2008). Munculah asumsi bahwa adanya hutan mangrove sebagai habitat nyamuk,

maka daerah jelajah nyamuk khususnya Anopheles sp. hanya di dalam dan sekitar

(19)

3

nyamuk tersebut pada radius jarak tertentu. Berbeda jika kualitas dan kuantitas

hutan mangrove tersebut tidak baik, seperti terjadinya pembukaan areal hutan

mangrove yang dapat menimbulkan masalah kesehatan. Kementerian Kesehatan

RI (2011) telah membuktikan bahwa populasi nyamuk meningkat sebagai akibat

ditebangnya hutan mangrove, sehingga dapat menimbulkan kerawanan terhadap

wabah penyakit malaria.

Kesehatan masyarakat merupakan salah satu faktor pembangun kesejahteraan

sosial yang sangat perlu diperhatikan, oleh karena itu pengaruh ekosistem hutan

mangrove terhadap ketahanan penyakit malaria perlu diketahui khususnya angka

kejadian pada masyarakat di sekitar hutan mangrove di Kecamatan Labuhan

Maringgai. Argumentasi tersebut merupakan simpul masalah yang perlu

dipecahkan melalui penelitian ini. Pemecahan masalah ini menjadi semakin

penting mengingat dinamika perubahan ekosistem hutan mangrove di daerah

pesisir Lampung Timur begitu pesat dalam satu dasawarsa (Yuliasamaya dkk,

2014).

1.2.Rumusan Masalah

Apakah ekosistem hutan mangrove berpengaruh nyata pada ketahanan atau

imunitas masyarakat terhadap penyakit malaria ?

1.3.Tujuan Penelitian

Menentukan pengaruh ekosistem hutan mangrove baik faktor instrinsik maupun

faktor ekstrinsik pada ketahanan atau imunitas masyarakat terhadap penyakit

(20)

4

1.4.Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat sebagai informasi dan masukan terhadap pengelolaan hutan

mangrove dalam upaya mengurangi penyakit malaria.

2. Sebagai masukan bagi pengembangan khasanah dunia ilmu pengetahuan

khususnya mengenai hubungan ekosistem mangrove dengan ketahanan

masyarakat terhadap penyakit malaria.

3. Bagi para pengambil kebijakan dalam urusan kesehatan yang berkaitan

dengan penyakit malaria dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

1.5. Kerangka Pemikiran

Hutan mangrove sebagai daerah peralihan antara darat dan laut menjadi salah satu

ciri khas yang dimilikinya. Selain mempunyai ciri khas tersebut, hutan mangrove

juga mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat besar yaitu dapat dilihat dari

fungsi ekologi, fungsi ekonomi, dan fungsi sosial.

Penelitian ini akan mengkaji peranan ekosistem hutan mangrove secara ekologi

yaitu peranan ekosistem hutan mangrove terhadap kesehatan masyarakat yang

ditinjau dari penyakit endemik di daerah pesisir yaitu penyakit malaria.

Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari beberapa faktor ekstrinsik yang dijadikan

sebagai variabel independen yaitu variabel dari luar keberadaan hutan mangrove

itu seperti jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan (SD, SMP, dan SMA ), mata

pencaharian, jarak rumah penduduk terhadap fasilitas kesehatan (Pustu,

Puskesmas, Puskesdes, Puskeskec, dan lain-lain), tempat pembuangan sampah,

dan program penyakit malaria. Faktor intrinsik yang dijadikan sebagai variabel

(21)

5

jarak rumah penduduk terhadap hutan mangrove, luas hutan mangrove dan

kerapatan asosiasi mangrove.

Asumsi bahwa adanya kaitan ekosistem hutan mangrove dengan penyakit malaria

tentu akan menyangkut masalah kesehatan masyarakat yang bermukim di daerah

pesisir khususnya tingkat ketahanan terhadap penyakit malaria. Kesehatan

merupakan unsur yang paling penting dalam menunjang segala bentuk aktivitas

dan menentukan besar kecilnya produktivitas yang dihasilkan. Kesehatan juga

merupakan salah satu unsur utama dalam mencapai suatu kesejahteraan sosial.

Kerangka pikir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran.

Ekosistem Hutan Mangrove

Fungsi Ekologi: Habitat Nyamuk

Faktor Intrinsik:

Jarak rumah terhadap hutan mangrove; Luas hutan mangrove;

Kerapatan asosiasi mangrove

Faktor Ekstrinsik:

Jenis kelamin; Umur; Pendidikan; Mata pencaharian;

Jarak rumah terhadap fasilitas kesehatan; Tempat sampah;

Program malaria

[Y]i = f ((Faktor Intrinsik; Faktor Ekstrinsik))

(22)

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Hutan Mangrove

Berdasarkan Undang-Undang No. 41/1999 dan Undang-Undang No. 19/2004

yang mengatur tentang kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa

hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat

dipisahkan. Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di

daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh arus pasang surut

air laut. Mangrove juga tumbuh pada pantai karang atau daratan terumbu karang

yang berpasir tipis atau pada pantai berlumpur (Purnobasuki, 2005 dikutip oleh

Ghufran, 2012). Menurut Steenis (2006), hutan mangrove adalah vegetasi hutan

yang tumbuh di antara garis pasang surut, sehingga dikatakan juga hutan pasang.

Ekosistem hutan mangrove dapat dibedakan dalam tiga tipe utama yaitu bentuk

pantai/delta, bentuk muara sungai/laguna dan bentuk pulau. Ketiga tipe tersebut

semuanya terwakili di Indonesia. Menurut Khazali (2005), kondisi pantai yang

baik untuk ditumbuhi vegetasi hutan mangrove adalah pantai yang mempunyai

sifat-sifat: air tenang/ombak tidak besar, air payau, mengandung endapan lumpur

(23)

7

Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia menurut Bengen (2002)

dikutip olehFachrul (2007) adalah sebagai berikut:

1. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering

ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi dengan

Sonneratia sp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan

organik.

2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora sp.

Pada zona ini juga dijumpai Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp.

3. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp.

4. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa

ditumbuhi Nipah (Nypa fructicans) dan beberapa spesies palem lainnya.

Hutan mangrove memiliki berbagai macam fungsi. Menurut Rahmawaty (2006),

beberapa fungsi yang dimiliki hutan mangrove adalah sebagai berikut:

1. Fungsi fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi

(abrasi) dan intrusi air laut, peredam gelombang dan badai, penahan lumpur,

penangkap sedimen, pengendali banjir, mengolah bahan limbah, penghasil

detritus, memelihara kualitas air, penyerap CO

2 dan penghasil O2 serta

mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami.

2. Fungsi biologis; merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk

mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) dari

berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai

jenis biota, sumber plasma nutfah (hewan, tumbuhan dan mikroorganisme)

(24)

8

3. Fungsi sosial ekonomi; sumber mata pencarian, produksi berbagai hasil hutan

(kayu, arang, obat dan makanan), sumber bahan bangunan, bahan kerajinan,

tempat wisata alam, objek pendidikan dan penelitian, areal pertambakan,

tempat pembuatan garam serta areal perkebunan.

Telah dikenal banyak jenis tumbuhan yang terdapat di hutan mangrove di dunia.

Tercatat telah dikenal sebanyak 24 family dan antara 54 sampai dengan 75

spesies. Food and Agriculture Organization/ FAO (2007) dikutip oleh

Greenpeace Southeast Asia (2013) menyatakan bahwa, adanya 48 spesies

mangrove di Indonesia, membuat Indonesia menjadi pusat penting

keanekaragaman hayati mangrove dunia. Dari sekian banyak jenis mangrove

yang hidup di daerah pasang surut, yang tahan air garam dan berbuah terdapat

sekitar 12 family (Bengen, 2002). Jenis mangrove yang banyak ditemukan di

Indonesia antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.),

tancang (Bruguiera sp.), dan pedada (Sonneratia sp.). Jenis-jenis mangrove

tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan, dan

menstabilkan tanah habitatnya.

Secara ekologis hutan mangrove memegang peranan kunci dalam perputaran

nutrisi pada perairan pantai di sekitarnya. Fungsi hutan mangrove yaitu sebagai

stabilisator tepian sungai/pesisir, memberikan dinamika pertumbuhan di kawasan

pesisir seperti pengendalian erosi pantai, menjaga stabilitas sedimen, dan turut

berperan dalam menambah perluasan lahan daratan (land building) (Saputro,

2009). Manfaat lain dari fungsi ekologisnya adalah sebagai habitat nyamuk,

(25)

9

nyamuk sebagai vektor penyakit malaria (Masela, 2012). Peran mangrove selain

ditinjau dari fungsi ekologisnya juga memiliki fungsi ekonomi yang mendorong

kegiatan eksploratif sehingga mangrove rawan dari kerusakan (Saputro, 2009).

2.2. Malaria

2.2.1. Penyebab

Penyakit malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit malaria

(Plasmodium sp.) bentuk aseksual yang masuk ke dalam tubuh manusia yang

ditularkan oleh nyamuk malaria (Anopheles sp.) betina (World Health

Organization, 1981 dikutip oleh Departemen Kesehatan RI, 2007). Penyakit

malaria adalah penyakit infeksi dan menular yang disebabkan oleh protozoa

parasit yang merupakan golongan Plasmodium sp., proses penularannya melalui

gigitan nyamuk Anopheles sp. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan

oleh parasit Plasmodium sp. yang hidup dan berkembang biak di dalam sel darah

merah manusia.

2.2.2. Siklus Hidup

Plasmodium sp. mempunyai siklus hidup yang lebih kompleks, karena selain

terjadi pergantian generasi seksual dan aseksual juga mengalami pergantian

hospes. Terdiri dari siklus seksual (sporogoni) yang berlangsung pada nyamuk

Anopheles sp. betina, dan siklus aseksual yang berlangsung pada manusia. Siklus

hidup pada manusia terdiri dari fase exo-erithrocytic di dalam parenkim sel hepar

(26)

10

2.2.2.1. Fase seksual eksogen (sporogoni) dalam tubuh nyamuk

Nyamuk Anopheles sp. betina menginfeksi eritrosit yang mengandung

mikrogametosit dan makrogametosit dari penderita. Di dalam tubuh nyamuk

terjadi perkawinan antara mikrogametosit dan makrogametosit menghasilkan

zigot. Perkawinan ini terjadi di dalam lambung nyamuk. Zigot berkembang

menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berkembang

menjadi ookista, setelah ookista matang dan pecah, keluar sporozoit yang

berpindah ke kelenjar saliva nyamuk dan siap untuk ditularkan ke manusia (Badan

Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2007 dikutip oleh Muti’ah, 2012).

2.2.2.2. Fase aseksual (skizon) dalam tubuh hospes perantara/manusia

a. Siklus dalam sel hepar (skizon eksoeritrositik)

Melalui gigitan nyamuk Anopheles sp., sporozoit masuk aliran darah selama 0,5—

2,0 jam kemudian menuju hepar untuk berkembang biak. Sporozoit-sporozoit ini

dengan cepat (beberapa menit) menginvasi sel hepar kemudian berkembang

menjadi skizon eksoeritrositik. Masing-masing skizon eksoeritrositik

mengandung merozoit sampai 30.000. Sel hepar yang telah terinfeksi skizon

eksoeritrisitik mengalami ruptur dan melepaskan merozoit dewasa ke aliran darah

(Good, 2007 dikutip oleh Muti’ah, 2012).

b. Siklus eritrosit (skizon eritrositik)

Merozoit-merozoit yang dilepaskan dari sel hepar menginvasi eritrosit,

(27)

11

skizon. Eritrosit yang mengandung skizon mengalami ruptur dan melepaskan

merozoit yang siap menginvasi eritrosit yang lain. Sebagian besar merozoit

masuk kembali ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan

betina yang siap untuk dihisap nyamuk Anopheles sp. betina dan melanjutkan

siklus hidupnya di tubuh nyamuk. Siklus aseksual di eritrosit pada Plasmodium

falciparum terjadi selama 48 jam (Gardiner dkk, 2005 dikutip oleh Muti’ah,

2012).

Nyamuk Anopheles sp. menggigit manusia, sporozoit masuk aliran darah.

Sporozoit menginvasi hepatosit berkembang menjadi skizon eksoeritrositik.

Skizon ruptur dan melepaskan banyak merozoit. Merozoit yang dilepaskan

menginfeksi red blood cell (RBC), berkembang menjadi ringform, kemudian

tropozoit, dan akhirnya menjadi skizon. Skizon ruptur dan melepaskan merozoit.

Merozoit ada yang menginfeksi RBC kembali dan ada yang berkembang menjadi

gametosit (Good, 2007 dikutip oleh Muti’ah, 2012).

(28)

12

2.2.3. Manifestasi Penyakit Malaria

Ada beberapa bentuk manifestasi penyakit Malaria antara lain:

a. Malaria tertiana, disebabkan oleh Plasmodium vivax, penderita merasakan

demam muncul setiap hari ketiga.

b. Malaria quartana, disebabkan oleh Plasmodium malariae, penderita merasakan

demam setiap hari keempat.

c. Malaria serebral, disebabkan oleh Plasmodium falciparum, penderita

mengalami demam tidak teratur dengan disertai gejala terserangnya bagian

otak, bahkan memasuki fase koma, dan kematian yang mendadak.

d. Malaria pernisiosa, disebabkan oleh Plasmodium vivax, gejala dapat timbul

sangat mendadak, mirip stroke, dan koma disertai gejala malaria yang berat.

Gambaran klinis yang ditimbulkan oleh penyakit malaria pada dasarnya bagi

penderita yang masih sensitif secara berurutan yaitu menggigil (15—60 menit),

demam (2—6 jam) antara 37,5 0C—40,0 0C, berkeringat (2—4 jam). Gejala lain

yang mungkin timbul adalah sakit kepala, mual atau muntah dan diare serta nyeri

otot atau pegal-pegal pada orang dewasa. Penderita malaria dengan komplikasi

berat mengalami gangguan kesadaran, kejang-kejang, panas tinggi, pucat/anemia,

mata dan tubuh menguning serta pendarahan pada hidung, gusi, atau saluran

pencernaan, jumlah kencing berkurang (oliguri), tidak dapat makan dan minum,

warna urin coklat tua sampai kehitaman, serta nafas cepat (Departemen Kesehatan

RI, 2007).

Penyakit malaria endemis di beberapa wilayah di Indonesia, parasit malaria yang

(29)

13

falcifarum atau campuran keduanya. Plasmodium ovale dan Plasmodium

malariae hanya pernah ditemukan di Sulawesi dan Irian Jaya. Plasmodium

falciparum merupakan yang paling berbahaya dan dapat mengancam nyawa

(Harjana, 2013). Terdapat empat tipe Plasmodiumsp. penyebab penyakit malaria,

yaitu Plasmodium falcifarum penyebab malaria tropika, Plasmodium vivax,

Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae. Sumber dan cara penularan

penyakit ini adalah manusia sebagai host intermediate dan nyamuk Anopheles sp.

betina yang infected sebagai host devinitive (Departemen Kesehatan RI, 2008).

Penyakit malaria dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko

tinggi yaitu bayi, anak balita, dan ibu hamil. Malaria juga berdampak pada

penurunan produktivitas kerja akibat anemia. Penyakit ini merupakan penyakit

endemik di Indonesia terutama yang bermukim di pedesaan atau tempat-tempat

terpencil. Menurut tempat berkembang biak, vektor malaria dapat dikelompokkan

ke dalam tiga tipe yaitu berkembang biak di persawahan, perbukitan/hutan, dan

pantai/aliran sungai (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

2.2.4. Perilaku Nyamuk Malaria

Setelah bertelur nyamuk malaria meletakkan telurnya di permukaan air atau

benda-benda lain. Telur akan mengapung di permukaan air dan saling berdekatan

pada ujung telur. Bentuk seperti perahu yang bagian bawahnya konveks dan

bagian atasnya konkaf dan mempunyai sepasang pelampung yang terletak di

samping lateral. Lama telur nyamuk malaria menetas dapat beberapa saat setelah

(30)

14

Setiap larva menyukai tipe genangan air yang berbeda. Larva instar 1 dan II

berkumpul pada tempat telur-telur diletakkan, sedangkan larva instar III dan IV

bergerak beberapa meter dari tempat penetasan dan berkumpul di bagian-bagian

yang disenangi seperti bagian yang teduh dan pada genangan air yang besar serta

tenang (Susanto dkk, 2008). Larva nyamuk biasanya berkumpul di tempat-tempat

yang terdapat sumber makanan, terlindung dari arus dan terlindungi dari hewan

predator. Larva bernafas menggunakan sistem trachea dan corong udara yang

berhubungan langsung dengan udara bebas, sehingga tidak terlalu terganggu

dengan perubahan kondisi air. Larva Anopheles sp. banyak di jumpai di

genangan air yang tidak terlalu kotor (Departemen Kesehatan RI, 2001).

Pupa dalam perkembangbiakannya tidak memerlukan makanan, tetapi hanya

memerlukan udara. Pupa bernafas melalui tabung-tabung pada ujung kepala.

Terdapat cangkang pupa untuk melengkapi perkembangannya menjadi nyamuk

desawa. Pupa naik ke permukaan dan memposisikan sejajar dengan permukaan

air untuk persiapan munculnya nyamuk dewasa. Pupa bergerak aktiv dan menetas

1—2 hari untuk menjadi nyamuk. Umumnya nyamuk jantan menetas lebih

dahulu daripada nyamuk betina (Achmadi, 2012).

Pupa yang baru berkembang menjadi nyamuk dewasa akan beristirahat di

permukaan air dalam waktu singkat supaya sayap-sayapnya kuat dan badannya

kering. Nyamuk jantan muncul dari pupa sekitar satu hari sebelum nyamuk betina

yang kemudian menetap di dekat perindukannya untuk mencari sari buah dari

(31)

15

2.2.5. Tempat Perindukan Nyamuk Malaria

Habitat nyamuk malaria diklasifikasikan menjadi dua yaitu habitat air mengalir

dan habitat air menggenang. Habitat air mengalir dapat berupa saluran air (parit

atau selokan) yang mengalir lambat dan sungai yang mengalir deras maupun

lambat. Habitat air menggenang dikelompokkan menjadi dua yaitu air tanah dan

air bawah permukaan tanah (Safitri, 2009). Nyamuk malaria juga dapat meyebar

ke tempat-tempat yang dijadikan sebagai aktivitas manusia misalnya perkebunan,

hutan, pantai, dan persawahan (Anies, 2005).

2.2.6. Karakteristik Lingkungan Perindukan Nyamuk Malaria

2.2.6.1. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap perkembangbiakan vektor malaria

adalah:

a. Suhu

Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimal

berkisaran antara 20—30°C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin

pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya, makin rendah suhu

makin panjang masa inkubasi ekstrinsik (Harijanto, 2000). Suhu yang

mempengaruhi kehidupan nyamuk dibagi menjadi dua yaitu:

1. Suhu Udara

Nyamuk digolongkan kedalam hewan yang berdarah dingin sehingga

(32)

16

pengaturan suhu tubuh tergantung pada lingkungannya. Suhu dalam kaitannya

dengan vektor malaria berperan terhadap vektor terbentuknya sporogini atau masa

inkubasi ekstrinsik. Makin tinggi suhu dalam batas tertentu akan memperpendek

waktu terbentuknya sporogoni karena sporogini tidak cukup umur untuk

ditularkan pada host. Sebaliknya semakin rendah suhu dalam batas tertentu makin

panjang waktu terbentuknya sporogini. Pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama

sekali pada suhu dibawah 10—40°C (Gunawan, 2000 dikutip oleh Santjaka,

2013). Siklus sporogoni memerlukan suhu yang sesuai pada suhu rata-rata harian

27°C siklus sporogoni memerlukan waktu 9 hari untuk Plasmodium vivax,

sedangkan untuk Plasmodium falciparum membutuhkan waktu 12 hari. Pada

suhu 32°C ookista dalam tubuh nyamuk akan mati, sehingga tidak akan terbentuk

sporogoni (Depkes RI, 2007).

2. Suhu Air

Suhu air sangat berpengaruh pada perkembangbiakan larva, umumnya larva lebih

menyukai tempat yang hangat, itu sebabnya nyamuk Anopheles sp. lebih banyak

di jumpai di daerah tropis. Waktu tetas telur Anopheles sp. tergantung suhu air

dalam batas tertentu akan lebih cepat menetas menjadi instar. Hasil percobaan

menunjukan pada suhu 20°C telur menetas selama 3,5 hari, sedangkan jika suhu

dinaikkan sampai suhu 35°C telur akan menetas dalam waktu 2 hari, percobaan

ini dilakukan pada An. minimus (Takken dkk, 2008dikutip oleh Santjaka, 2013).

b. Kelembaban nisbi udara

Kelembaban nisbi udara adalah banyak kandungan uap air dalam udara yang

(33)

17

memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit.

Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan

hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih

aktiv dan lebih sering menggigit sehingga meningkatkan penularan malaria

(Harijanto, 2000).

c. Curah hujan

Hujan menyebabkan naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah

perkembangbiakan (breeding places) dan terjadinya epidemi malaria. Besar

kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan derasnya hujan, jenis vektor dan

jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar

kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles sp. (Harijanto, 2000).

d. Sinar Matahari

Sinar matahari merupakan energi alam yang sangat dibutuhkan oleh semua

mahkluk hidup. Pengaruh utamanya akan meningkatkan suhu dan mengurangi

kelembaban, sehingga mempengaruhi kehidupan termasuk larva dan nyamuk.

Pengaruh sinar matahari dapat berbeda-beda terhadap pertumbuhan larva

nyamuk. Beberapa jenis Anopheles sp. mempunyai tempat yang terbuka dan

tempat yang teduh, An. punctulatus dan An. hyreanus lebih menyukai tempat

yang terbuka, sedangkan An. sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh, dan

An barbirostis dapat hidup baik ditempat yang terbuka maupun yang teduh

(34)

18

e. Ketinggian lokasi

Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah, bila

perbedaan tempat cukup tinggi, maka perbedaan suhu udara juga cukup banyak

dan mempengaruhi faktor-faktor yang lain, termasuk siklus pertumbuhan parasit

di dalam nyamuk. Hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada

ketinggian di atas 2.000 m jarang ada transmisi malaria (Harijanto, 2000).

f. Kedalaman air

Kedalaman air erat hubungannya dengan volume air dan cara pemberantasan

jentik nyamuk. Pada kedalaman air larva Anopheles sp. hanya mampu berenang

ke bawah permukaan air paling dalam 1 meter dan tingkat volume air akan

dipengaruhi curah hujan tinggi sehingga akan memperbesar kesempatan nyamuk

untuk berkembang biak secara optimal pada kedalaman kurang dari 3 m

(Departemen Kesehatan RI, 2001).

g. Arus Air

Jenis-jenis nyamuk tertentu senang berkembang biak pada air yang mengalir

perlahan-lahan misalnya An. karwa. An. minimus senang pada genangan air yang

agak kuat dan jentik Ae. aegypti dan Ae. albopictus suka pada genangan air yang

tidak mengalir (Depkes RI, 2001).

h. Angin

Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam merupakan saat terbang

(35)

19

jumlah kontak antara manusia dan nyamuk adalah jarak terbang nyamuk (High

range) tidak lebih dari 2 km dari tempat perindukannya. Jika ada tiupan angin

yang kencang, nyamuk bisa terbawa sejauh 20—30 km (Harmendo, 2008).

2.2.6.2. Lingkungan Kimia

Lingkungan kimia yang mendukung perkembangbiakan vektor malaria yaitu pH,

salinitas, oksigen terlarut, dan kebutuhan oksigen biologi. pH mempunyai

pengaruh besar terhadap pertumbuhan organisme yang berkembangbiak di

akuatik. pH air tergantung pada suhu air, oksigen terlarut, dan adanya berbagai

anion dan kation serta jenis stadium organisme (Takken dan Knots, 2008).

a. Salinitas Air

Salinitas air sangat mempengaruhi ada tidaknya nyamuk malaria di suatu daerah

(Prabowo, 2004). Salinitasi merupakan ukuran yang dinyatakan dengan jumlah

garam-garam yang larut dalam suatu volume air. Banyaknya garam-garam yang

larut dalam air menentukan tinggi rendahnya salinitas. Danau, genangan air,

persawahan, kolam ataupun parit disuatu daerah yang merupakan tempat

perindukan nyamuk sehingga meningkatkan kemungkinan timbulnya penularan

malaria. Kategori perairan berdasarkan salinitas yaitu perairan tawar jika

salinitas kurang dari 0,5%, perairan payau jika salinitas antara 0,5—30%,

perairan laut jika salinitas antara 30—40%, dan perairan hipersaline jika nilai

(36)

20

b. Derajat Keasaman (pH air)

pH air mempunyai peranan penting dalam pengaturan respirasi dan fotosintesis.

Semakin bertambahnya kedalaman maka pH air cenderung menurun, hal ini

diduga berhubungan dengan kandungan CO2. Air normal yang memenuhi syarat

untuk suatu kehidupan mempunyai pH sekitar 6,5—7,5. Air akan bersifat asam

atau basa tergantung besar kecilnya pH. Bila pH dibawah pH normal, maka air

tersebut bersifat asam. Air limbah dan industri akan mengubah pH air yang

akhirnya akan mengganggu kehidupan biota akuatik. Sebagian besar biota

akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH antara 7—8,5 (Effendi,

2003).

c. Oksigen terlarut

Oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer dan

aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air. Proses respirasi tumbuhan air dan

hewan serta proses dekomposisi bahan organik dapat menyebabkan hilangnya

oksigen dalam suatu perairan, selain itu peningkatan suhu akibat semakin

meningkatnya intensitas cahaya juga mengakibatkan berkurangnya oksigen

(Effendi, 2003).

Pada siang hari ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses

fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar dari pada

oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat

melebihi kadar oksigen jenuh, sehingga perairan mengalami supersaturasi.

(37)

21

berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya

fruktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Kadar oksigen maksimum

terjadi pada sore hari dan minimum pada pagi hari. Kadar oksigen terlarut

optimum untuk menompang kehidupan organisme akuatik berkisaran antara

5,0—9,0 mg/l (Effendi, 2003).

2.2.6.3. Lingkungan Biologis

Lingkungan biologis merupakan suatu karakteristik lingkungan yang

mempengaruhi tempat perindukan nyamuk untuk berkembang. Berbagai

tumbuhan air yang mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk malaria, misalnya

lumut dan ganggang (Achmadi, 2008). Selain tumbuhan air, tumbuhan yang ada

di darat juga mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk malaria misalnya

tumbuhan yang besar karena dapat menghalangi masuknya sinar matahari ke

tempat perindukan, sehingga menyebabkan pencahayaan akan rendah, suhu

rendah, dan kelembaban akan tinggi. Kondisi seperti inilah yang sangat

disenangi oleh nyamuk untuk beristirahat setelah menghisap darah hospes sambil

menunggu proses pematangan telurnya (Santjaka, 2013). Lingkungan biologi

yang mempengaruhi tempat perindukan nyamuk antara lain:

a. Tumbuhan Air

Adanya tumbuh-tumbuhan sangat mempengaruhi kehidupan nyamuk, antara lain

sebagai tempat meletakan telur, tempat berlindung, tempat mencari makanan dan

berlindung bagi larva serta tempat hinggap istirahat nyamuk dewasa selama

(38)

22

suatu tempat dapat dipakai sebagai indikator memperkirakan adanya jenis-jenis

nyamuk tertentu (Departemen Kesehatan RI, 2001).

Berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk

karena dapat menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi dari

serangan makhluk hidup lain. Beberapa jenis tanaman air merupakan indikator

bagi jenis nyamuk tertentu, tumbuhan seperti bakau, lumut, ganggang, dan

berbagai jenis tumbuh-tumbuhan lain dapat melindungi kehidupan larva nyamuk

karena dapat menghalangi matahari yang masuk atau melindungi dari serangan

mahkluk hidup lain (Harijanto, 2000).

Beberapa indikator tanaman yang digunakan untuk perkiraan keberadaan jentik

karena tanaman air tidak sekedar menggambarkan sifat fisik tetapi juga bisa

menggambarkan susunan kimia dan suhu genangan air. Contoh, jika badan air

dan tanaman terapung misalnya Pistia sp. atau Eichornia sp. maka kemungkinan

besar pada genangan air bisa ditemukan keberadaan jentik Mansonia sp.

(Departemen Kesehatan RI, 2001).

b. Hewan air

Hewan yang berpotensi di perairan yang umumnya sebagai predator larva

nyamuk seperti ikan kepala timah (Panchax spp.), gambusia, nila, dan mujair

akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah (Harijanto, 2000). Setiap

spesies serangga sebagai bagian dari kompleks komunitas dapat diserang atau

menyerang organisme lain. Jenis binatang yang menjadi musuh alami nyamuk

(39)

23

Musuh-musuh alami tersebut bersama faktor-faktor lainnya berperan penting

dalam mengatur keseimbangan untuk mencegah terjadi ledakan populasi nyamuk

(Hadidkk, 2009).

2.3.Variabel Independen

2.3.1. Kaitan Hutan Mangrove (Intrinsik) pada Imunitas terhadap Malaria

Keadaan lingkungan berpengaruh terhadap keberadaan penyakit malaria di suatu

daerah. Keberadaan danau, air payau, genangan air di hutan, persawahan, tambak

ikan, pembukaan hutan dan pertambangan di suatu daerah akan meningkatkan

kemungkinan timbulnya penyakit malaria karena tempat-tempat tersebut

merupakan lokasi perkembangbiakan nyamuk vektor malaria. Tempat perindukan

nyamuk penular penyakit malaria (Anopheles sp.) adalah di genangan-genangan

air, baik air tawar atau air payau bergantung dari jenis nyamuk. Anopheles

sundaicus dan Anopheles subpictus hidup di air payau, Anopheles aconitus hidup

di air sawah, Anopheles maculatus hidup di air bersih pegunungan. Pada daerah

pantai kebanyakan tempat perindukan nyamuk terjadi pada tambak yang tidak

dikelola dengan baik. Penebangan hutan bakau secara liar merupakan habitat

yang potensial bagi perkembangbiakan nyamuk Anopheles sundaicus dan banyak

aliran sungai yang tertutup pasir (laguna) yang merupakan tempat perindukan

nyamuk Anopheles sundaicus tersebut(Harmendo, 2008).

Tempat perindukan nyamuk seperti air payau yaitu terdapat di muara-muara

sungai dan rawa-rawa yang berhubungan langsung dengan laut cocok untuk

(40)

24

jentik dan kepompong nyamuk berada dalam air yang dinamakan breeding places.

Breeding places yang ditemui di daerah penelitian Harjianto (2000) adalah pantai,

tempayan, sungai, kubangan air, laguna, kolam, parit dan genangan air.

Hasil penelitian Harmendo (2008), menunjukkan bahwa di wilayah yang terdapat

bermacam-macam vegetasi dapat digunakan sebagai tempat hinggap dan istirahat

nyamuk malaria. Vegetasi di wilayah penelitian Harmendo (2008) adalah

tumbuhan air, sawah, semak belukar, kebun campur, rumput, pekarangan, dan

hutan. Departemen Kesehatan RI (2004) telah membuktikan bahwa dengan

adanya tumbuh-tumbuhan akan mempengaruhi kehidupan nyamuk antara lain

sebagai tempat meletakkan telur, tempat berlindung, tempat mencari makan dan

berlindung bagi jentik, serta tempat hinggap nyamuk dewasa selama menunggu

siklus gonotropik. Yudhiastuti (2008) berpendapat bahwa bagi nyamuk dewasa

tumbuhan sangat penting untuk memperoleh mikroklimat yang cocok, serta bisa

berlindung dari banyaknya ancaman musuh alaminya.

2.3.2. Faktor Lingkungan (Ekstrinsik) pada Imunitas terhadap Malaria

Faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat adalah lingkungan,

perilaku, pelayanan kesehatan, dan hereditas (Arsin, 2012). Siklus perkembangan

nyamuk sebagai vektor penyakit malaria dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

kondisi geografis, cuaca, kelembaban, suhu, waktu, tempat untuk istirahat, tempat

untuk mencari makanan, tempat untuk berkembang biak dan kondisi lingkungan

(41)

25

Faktor sosial budaya ini merupakan faktor eksternal untuk membentuk perilaku

manusia. Lingkungan sosial budaya seperti jenis kelamin, umur, pendidikan dan

jenis pekerjaan erat kaitannya dengan kejadian suatu penyakit termasuk malaria.

Infeksi malaria tidak membedakan jenis kelamin akan tetapi apabila menginfeksi

ibu yang sedang hamil akan menyebabkan anemia yang lebih berat. Secara

umum, faktor usia tidak memengaruhi terjangkitnya penyakit malaria, artinya

penyakit ini tidak mengenal tingkatan umur sehingga berapapun umur manusia

memiliki peluang untuk terkena penyakit tersebut, hanya saja anak-anak lebih

rentan terhadap infeksi malaria. Perbedaan prevalensi malaria menurut umur dan

jenis kelamin berkaitan dengan derajat kekebalan tubuh manusia karena variasi

keterpaparan kepada gigitan nyamuk. Orang dewasa dengan berbagai

aktivitasnya di luar rumah terutama di tempat-tempat perindukan nyamuk pada

waktu gelap atau malam hari, sangat memungkinkan untuk berkontak langsung

dengan nyamuk. Apabila seseorang dikaitkan dengan jenis pekerjaannya, ada

profesi pekerjaan tertentu yang berpengaruh terhadap kejadian malaria. Pekerjaan

yang menjadi faktor risiko untuk terkena malaria misalnya berkebun sampai

menginap berminggu-minggu atau pekerjaan menyadap karet di hutan, sebagai

nelayan yang harus menyiapkan perahu di pagi buta untuk mencari ikan di laut

dan lain sebagainya (Harmendo, 2008).

Perilaku manusia merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya berbagai

masalah terutama kesehatan. Para ahli kesehatan masyarakat sepakat bahwa

untuk mengatasinya diperlukan suatu upaya dalam proses pendidikan kesehatan

masyarakat. Melalui proses pendidikan diharapkan mampu merubah perilaku

(42)

26

perlu ditunjang oleh adanya perubahan sikap dan pengetahuan (Arsin, 2003).

Tingkat pendidikan seseorang tidak dapat mempengaruhi secara langsung

terhadap kejadian malaria, namun pendidikan seseorang dapat mempengaruhi

jenis pekerjaan dan tingkat pengetahuan orang tersebut. Secara umum, seseorang

yang berpendidikan tinggi akan mempunyai pekerjaan yang lebih layak dibanding

seseorang yang berpendidikan rendah juga mempunyai pengetahuan yang cukup

untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Memiliki pengetahuan yang baik serta didukung oleh pendidikan memadai akan

berdampak terhadap perilaku seseorang dalam mengambil berbagai tindakan.

Faktor jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan akan mempengaruhi tingkat

pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat. Meskipun pelayanan

kesehatan di Puskesmas sudah gratis, tetapi untuk mengakses puskesmas tersebut

masyarakat masih membutuhkan biaya untuk transportasi, oleh karena itu faktor

jarak menjadi barrier sehingga akan memengaruhi tingkat kesehatan seseorang

(43)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di empat desa yaitu Desa Muara Gading Mas, Bandar

Negeri, Sriminosari, dan Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten

Lampung Timur. Pemilihan desa ditentukan karena Desa Sriminosari dan

Margasari memiliki hutan mangrove dengan kondisi baik, sedangkan Desa Muara

Gading Mas serta Bandar Negeri memiliki hutan mangrove dengan kondisi buruk.

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2014.

3.2. Bahan dan Alat yang Digunakan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data berupa citra satelit

Landsat path 123 row 64 dengan perekaman peta luas kawasan hutan mangrove

pada tahun 2013 serta masyarakat sebagai responden. Alat-alat yang digunakan

dalam penelitian ini meliputi perangkat keras dan perangkat lunak, alat tulis, serta

alat untuk mengukur tinggi pohon (Christen Hypsometer), juga alat pengukur

diameter pohon (Pita Meter). Perangkat keras yang digunakan adalah GPS

(Global Positioning System), laptop dan kamera, sedangkan perangkat lunak yang

digunakan adalah ArcGIS 10, Minitab versi 16, Microsoft Office Word dan

(44)

28

3.3. Variabel Penelitian

Penelitian ini memiliki dua jenis variabel yaitu variabel respon atau dependen dan

variabel penjelas atau independen. Variabel respon atau dependen berupa kinerja

serangan malaria pada anggota keluarga dinyatakan dengan variabel skala biner,

yaitu diberi nilai 0 jika ada anggota keluarga yang pernah terkena malaria dan

diberi nilai 1 jika tidak ada anggota yang terkena penyakit malaria di tahun 2013.

Variabel lain yaitu variabel independen, pada prinsipnya dapat digolongkan

menjadi dua kelompok yaitu variabel intrinsik dan variabel ekstrinsik. Variabel

intrinsik yaitu jarak antara rumah responden terhadap hutan mangrove, luas hutan

mangrove yang terdapat di masing-masing desa, dan kerapatan asosiasi mangrove.

Variabel jarak rumah terhadap hutan mangrove dinyatakan dengan meter (m).

Variabel luas hutan mangrove dinyatakan dengan meter persegi (m2). Variabel

kerapatan asosiasi mangrove dinyatakan dengan jumlah populasi mangrove per

meter persegi (populasi/ha).

Variabel ekstrinsik tergolong dalam faktor sosial demografi meliputi jenis

kelamin, umur, pendidikan, mata pencaharian utama, jarak rumah responden

terhadap fasilitas kesehatan, ketersediaan tempat pembuangan sampah atau limbah

pada masing-masing rumah tangga, dan adanya program malaria oleh dinas

kesehatan yang telah diikuti oleh responden. Variabel umur dan variabel jarak

rumah terhadap fasilitas kesehatan dinyatakan dengan skala rasio. Variabel umur

dinyatakan dalam tahun, sedangkan untuk variabel jarak rumah terhadap fasilitas

(45)

29

Variabel selebihnya dinyatakan dengan variabel dummy. Jenis kelamin penderita

penyakit malaria dinyatakan dengan variabel dummy, diberi nilai 1 jika laki-laki

dan nilai 0 jika lainnya. Variabel pendidikan (SD, SMP, dan SMA) dinyatakan

dengan tiga peringkat variabel dummy yaitu D_SD, D_SMP dan D_SMA.

Variabel D_SD diberi nilai 1 jika lulus SD, diberi nilai 0 jika lainnya, variabel

D_SMP diberi nilai 1 jika lulus SMP, diberi nilai 0 jika lainnya, dan untuk

variabel D_SMA diberi nilai 1 jika penderita lulus SMA, diberi nilai 0 jika

lainnya. Variabel jenis mata pencaharian diberi nilai 1 jika penderita berprofesi

sebagai nelayan dan diberi nilai 0 jika lainnya. Variabel adanya tempat

pembuangan sampah atau limbah diberi nilai 1 jika memiliki tempat pembuangan

sampah atau limbah dan diberi nilai 0 jika lainnya. Variabel program malaria

diberi nilai 1 jika responden pernah mengikuti program malaria dan diberi nilai 0

jika lainnya.

3.4. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer yaitu:

1. Luas kawasan hutan mangove.

2. Kerapatan vegetasi hutan mangrove.

3. Hasil kuisioner berupa identitas responden dan angka kejadian penyakit

malaria yang terjadi pada satu tahun terakhir.

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Citra satelit Landsat path 123 row 64 lahan mangrove tahun 2013.

2. Kondisi secara umum lokasi penelitian dan sejarah hutan mangrove di lokasi

(46)

30

3.5. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survai/observasi. Data

primer diperoleh dengan cara pengukuran langsung dan pembagian kuisioner

kepada masyarakat. Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan data

citra satelit, data mengenai kesehatan masyarakat secara umum dapat diperoleh

dari adanya layanan kesehatan seperti Puskesmas Desa, Puskesmas Kecamatan,

instansi-instansi terkait, serta studi pustaka.

3.6. Metode Pengambilan Sampel

a. Ekosistem hutan mangrove

Pengukuran kerapatan asosiasi mangrove dilakukan menggunakan metode plot

garis berpetak. Jumlah petak contoh sebanyak 5 pada tiap kawasan hutan

mangrove di masing-masing desa dengan letak persebaran tertentu. Petak contoh

berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10 m untuk tingkat pohon

(diameter > 10 cm), 5 x 5 m untuk tingkat pancang (diameter 1,5—9,0 cm), dan

2 x 2 m untuk semai atau tumbuhan bawah (Onrizal, 2008).

b. Responden penelitian

Jumlah kepala keluarga dalam penelitian ini adalah 7.470 KK. Menurut Arikunto

(2011) jika jumlah populasi lebih dari 100 maka perlu dilakukan penarikan

sampel. Besarnya presisi dalam pengambilan sampel adalah 10%, karena pada

tingkat presisi tersebut sudah mewakili jumlah KK seluruhnya. Rumus penentuan

sampel menurut Arikunto (2011) adalah:

(47)

31

Keterangan:

n : Jumlah responden

N : Jumlah total kepala keluarga (KK) e : Presisi 10%

Jumlah sampel/responden yang diperoleh setelah dilakukan perhitungan yaitu:

Tabel 1. Jumlah sampel tiap desa

No. Desa Jumlah Populasi

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013) dan hasil perhitungan menggunakan rumus Arikunto (2011).

3.7. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan persamaan regresi logistik biner

(binary logistic regression) karena dalam penelitian terdapat variabel berskala

rasio juga variabel dummy.

3.7.1. Model yang digunakan dan Hipotesis yang diajukan

Model yang digunakan pada penelitian ini adalah persamaan {1} regresi logistik

(48)

32

Keterangan:

[Y] = Ketahanan terhadap penyakit malaria (individu) [D1_KLM] = Jenis Kelamin

[UMR] = Umur (th) [D2_SD] = Sekolah Dasar

[D2_SMP] = Sekolah Menengah Pertama

[D2_SMA] = Sekolah Menengah Atas

[D3_PCHR] = Mata Pencaharian

[JRK-KES] = Jarak rumah responden terhadap fasilitas kesehatan (m) [JRK-M] = Jarak rumah responden terhadap hutan mangrove (m) [D4_SMPH] = Tempat pembuangan sampah

[D5_PMLR] = Program penyakit malaria

[LM] = Luas hutan mangrove (m2)

[KM] = Kerapatan asosiasi mangrove (populasi/ha)

e = Error

α0, α1,..α12 = Parameter model

3.7.2. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel dan definisi operasional yang dipakai dalam penelitian ini disajikan pada

Tabel 2.

Tabel 2. Variabel dan Definisi Operasional

No. Variabel Simbol Definisi Opersional Skala

Pengukuran

1 Y = Ketahanan penyakit malaria (individu)

Y Jumlah orang dalam suatu populasi yang menderita

D3_PCHR Pekerjaan utama

responden.

(49)

33

Tabel 2. (Lanjutan)

No. Variabel Simbol Definisi Opersional Skala

Pengukuran

Uji parameter persamaan regresi logistik biner menggunakan piranti lunak

Minitab versi 16. Signifikansi pengaruh variabel independen terhadap variabel

dependen model tersebut digunakan uji G, sedangkan uji masing-masing

parameter terhadap variabel dependen digunakan uji W pada taraf nyata 1%, 5%,

(50)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Keadaan Umum Wilayah Kecamatan Labuhan Maringgai

4.1.1. Letak Geografis

Kecamatan Labuhan Maringgai merupakan bagian dari wilayah Kabupaten

Lampung Timur dengan luas wilayah 142,62 km2. Secara geografis Kecamatan

Labuhan Maringgai memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Labuhan Ratu dan Taman

Nasional Way Kambas.

2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pasir Sakti.

3. Sebelah timur berbatasan dengan laut Jawa.

4. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Mataram Baru, Kecamatan

Bandar Sri Bawono, Kecamatan Melinting, dan Kecamatan Gunung Pelindung.

Wilayah Kecamatan Labuhan Maringgai dibagi menjadi 11 desa yaitu Desa

Karang Anyar, Sukorahayu, Margasari, Siminosari, Srigading, Labuhan

Maringgai, Muara Gading Mas, Maringgai, Bandar Negeri, Karya Makmur, dan

Karya Tani. Ibukota kecamatan berkedudukan di Desa Labuhan Maringgai.

Pembagian luas wilayah masing-masing desa secara lengkap disajikan pada Tabel

(51)

35

Tabel 3. Luas wilayah, jumlah rumah tangga, jumlah penduduk, dan jumlah dusun

No. Desa

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).

4.1.2. Data Kekayaan Alam

Kekayaan alam di Kecamatan Labuhan Maringgai yaitu padi (Oryza sativa), ubi

kayu/singkong (Manihot utilissima), kelapa (Cocos nucifera), lada (Piper nigrum),

ikan, batu, bata merah, dan pasir. SDA tersebut dimanfaatkan secara baik oleh

masyarakat sebagai tempat mata pencaharian. Sumberdaya alam lain yaitu berupa

objek wisata pantai yang terdapat di Desa Muara Gading Mas dan Bandar Negeri.

4.2. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat

4.2.1. Agama dan Etnis

Jumlah penganut agama Islam di Kecamatan ini adalah yang paling dominan

diantara penganut agama lain yaitu sebanyak 64.992 orang. Penganut agama

Protestan berada diurutan kedua yaitu sebanyak 550 orang, kemudian di urutan

(52)

36

keempat adalah penduduk beragama Katolik sebanyak 265 orang, dan diurutan

terakhir penduduk beragama Budha sebanyak 90 orang. Data jumlah penduduk

tiap desa secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah penduduk menurut agama yang dianut

No. Desa Islam

Kato-Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).

Jumlah sarana tempat untuk beribadah di Kecamatan Labuhan Maringgai yaitu

Masjid sebanyak 72, Langgar berjumlah 141, Gereja berjumlah 8, Pura berjumlah

(53)

37

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).

Komposisi jumlah penduduk di Kecamatan Labuhan Maringgai didominasi oleh

penduduk bersuku Jawa sebanyak 35%, kemudian diikuti oleh penduduk bersuku

Lampung sebanyak 25%, suku Bugis sebanyak 20%, suku Sumsel sebanyak 10%,

suku Minang, Bali dan Batak masing-masing sebanyak 5%. Komposisi penduduk

menurut suku dapat dilihat juga pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi penduduk menurut suku

No. Suku

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).

4.2.2. Sarana dan Prasarana

Sarana pendidikan di Kecamatan Labuhan Maringgai yaitu TK, SD, SMP, SMA

dan SMK. Jumlah masing-masing sekolah adalah TK sebanyak 15 sekolah, SD

sebanyak 26 sekolah, SMP sebanyak 8 sekolah, SMA dan SMK masing-masing

(54)

38

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).

Ketersediaan layanan kesehatan di Kecamatan Labuhan Maringgai sudah cukup

memadai. Kecamatan Labuhan Maringgai sudah memiliki 2 Puskesmas

Kecamatan yang berpusat di Desa Labuhan Maringgai dan Karya Tani. Jumlah

Puskesmas di masing-masing desa sebanyak 8 dan Poskesdes sebanyak 22.

Jumlah tenaga kesehatan seperti dokter sejumlah 5 orang dan jumlah tenaga medis

sejumlah 13 orang, serta jumlah bidan sejumah 31 orang. Jumlah sarana

kesehatan dan tenaga kesehatan tiap desa dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Jumlah sarana kesehatan dan tenaga kesehatan

Gambar

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran.
Gambar 2. Siklus Plasmodium sp. (Sumber : Minalenari, 2013).
Tabel 1. Jumlah sampel tiap desa
Tabel 2. Variabel dan Definisi Operasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka dalam penelitian ini penulis berhipotesis, “Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara program religious

penyiaran; Informasi yaitu bahwa lembaga penyiaran (radio) merupakan media informasi dan komunikasi yang mempunyai peran penting dalam penyebaran informasi yang seimbang dan

Dari beberapa kasus tersebut merupakan contoh mengenai beberapa kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik UU No.11 Tahun 2008 terhadap

 Kos jualan – rujuk angka sendiri dengan syarat ada butiran Kos Jualan dan formula betul, stok awal + kos belian – stok akhir..  Untung bersih – tiada

Aturan yang berupa larangan dan sanksi yang diberlakukan dalam Hukum Adat Sasi di Desa Ohoider Tawun sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat desa tersebut

Terdapat lima judul pemberitaan Dahlan Iskan yang ditampilkan dalam teks- teks media Harian Fajar Makassar yang menunjukkan bahwa realitas yang muncul dalam pemberitaan

Judul : PENGARUH KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, KEBIJAKAN HUTANG, DAN INVESTMENT OPPORTUNITY SET TERHADAP KEBIJAKAN DIVIDEN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR

Terbentuknya Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau FoKSBI menunjukkan bahwa semua pihak; pemerintah, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi pengusaha, dan