TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN BENDA
TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN DALAM
PERJANJIAN KREDIT
S K R I P S I
OLEH :
NIM : 040200076
YESSY SUSANNA TARIGAN
Departemen Hukum Keperdataan
Program Kekhususan Hukum Perdata BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT
S K R I P S I
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
OLEH :
NIM : 040200076
YESSY SUSANNA TARIGAN
Departemen Hukum Keperdataan
Program Kekhususan Hukum Perdata BW
Disetujui,
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
(Prof. DR. Tan Kamello, SH, MS)
NIP. 131570455
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara
Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah : “TINJAUAN YURIDIS
TERHADAP KEDUDUKAN BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI
JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT”.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak. Sehingga pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan
rasa terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. DR. Suhaidi, SH, M.H, selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM, selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Bapak M. Husni, SH, M.H, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
5. Bapak Prof. DR. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan sekaligus juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah
menyediakan waktu untuk memberikan saran dan petunjuk serta bimbingan
6. Ibu Megarita, SH, CN, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah
meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
7. Ibu Yefrizawati, SH, M.Hum selaku Dosen Wali penulis selama mengikut i
masa perkuliahan.
8. Bapak dan Ibu dosen serta para pegawai Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan
administrasi penulis selama mengikuti perkuliahan.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis juga mengucapkan terimakasih
yang tak terhingga kepada:
1. Orang Tua penulis yang tercinta: Ayahanda Alex S. Tarigan, BA dan Ibunda
Yunitha M. Purba, yang telah memberikan segenap kasih sayang, perhatian,
dan bimbingan yang tulus kepada penulis.
2. Saudara-saudara penulis tercinta: Abang Hendra Frederick Tarigan, S.Sos,
Kakak Irma Anastasia Tarigan, S.S, dan Adik Ayu Fransiska Tarigan yang
telah memberikan kasih sayang yang tulus dan dukungan moril kepada
penulis.
3. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta: Mala Ginting, SH, Rini Rafika SH,
Ulfa Daulay, Februzi “Uci” Regina, SH, Mufidah “Mumu” Ulfah, Eka,
Hotma, Roslan, Christina, Stefani Sinaga, Elvira Leman,SE, Feblitania, Virsa,
4. Rekan-rekan stambuk 2004 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
khususnya anak-anak jurusan Hukum Perdata BW yang telah memberikan
bantuan selama penulis dalam masa perkuliahan.
5. Adik-adikku yang telah memberi dukungan moril, doa, dan bantuan kepada
penulis selama masa perkuliahan dan penyusunan skripsi : Stambuk 2005
(Dini Oktariza, Eki, Yudha, Emmy, Swarni, Merry, Tety), Stambuk 2006
(Teresia, Eva, Sonti, Renatha), Elysanta Stambuk 2007.
6. Rekan-rekan penulis dalam berorganisasi (PERMAHI dan IMKA) atas
dukungannya kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang dimiliki penulis. Oleh
karena itu penulis mohon maaf apabila banyak terdapat kekurangan dan penulis
mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca
sekalian demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi sumbangan
pengetahuan bagi kita semua dan dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima
Kasih.
Medan, Juni 2008
Penulis
YESSY SUSANNA TARIGAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Keaslian Penulisan ... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7
E. Tinjauan Pustaka ... 7
F. Metode Penelitian ... 15
G. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II URGENSI JAMINAN DALAM PEMBERIAN KREDIT A. Defenisi Jaminan ... 18
B. Jenis-Jenis Jaminan ... 21
C. Fungsi Jaminan Dalam Perjanjian Kredit ... 31
D. Pengikatan Jaminan atas Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak ... 35
A. Pengaturan Kredit dalam Undang-Undang Perbankan ... 45
B. Bentuk dan Jenis Kredit Bank ... 47
C. Prosedur Penyaluran Dana dalam Perbankan ... 52
D. Tujuan dan Fungsi Kredit ... 59
E. Perjanjian Kredit ... 64
BAB IV KEDUDUKAN BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT A. Pengaturan Benda Tidak Bergerak sebagai Jaminan dalam KUHPerdata ... 75
B. Penilaian (Valuasi) Jumlah Nominal Harga Jaminan atas Benda Tidak Bergerak ... 79
C. Hak-Hak Para Pihak dalam Pengikatan benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan ... 83
D. Fungsi Jaminan dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah …... 86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 94
B. Saran ... 97
ABSTRAK
Salah satu bentuk usaha bank sebagai lembaga yang merupakan financial
intermediary adalah melakukan penyaluran dana dalam bentuk pemberian kredit
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam hal ini bank merupakan perantara bagi pihak-pihak yang kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of funds). Pemberian kredit tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian kredit yang sifatnya mengikat bagi kedua belah pihak yakni bank sebagai kreditur dan debitur sebagai pihak peminjam. Pemberian kredit ini disertai pula dengan pengikatan jaminan. Adapun dalam skripsi ini yang lebih ditekankan adalah jaminan dalam bentuk benda tidak bergerak. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana urgensi jaminan dalam pemberian kredit oleh bank, bagaimana kedudukan kredit dalam hal penyaluran dana oleh bank, serta bagaimana kedudukan benda tidak bergerak sebagai jaminan dalam perjanjian kredit.
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan melalui penelusuran data-data obyektif yang berhubungan dengan obyek penelitian yang meliputi data-data sekunder berupa penelusuran, penelaahan, dan pengutipan bahan-bahan di kepustakaan yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedudukan lembaga perbankan yakni sebagai salah satu lembaga
keuangan memiliki nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara.
Lembaga ini dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai
kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan
memerlukan dana (lack of funds). Oleh karena itu, perbankan akan bergerak dalam
kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, dan bank juga melayani
kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi
semua sektor perekonomian.
Untuk mencapai kemanfaatan yang maksimal dari kegiatan perbankan
maka terbentuk suatu sistem perbankan yang berlaku secara umum dan
menyeluruh, yaitu sifat serta fungsi pokok dari kegiatan bank yang hampir sama.
Dengan kata lain, terdapat keterkaitan kehidupan dan kegiatan bank secara global
yang melewati batas-batas negara, sehingga tidak terbatas dalam suatu lingkup
wilayah negara tertentu, tetapi secara luas meliputi kehidupan perekonomian
dunia.
Indonesia memiliki kekhasan karakteristik corak perbankan yang sedikit
berbeda dengan corak perbankan yang lazim di negara lain, tetapi secara umum
belahan dunia manapun. Kekhasan ini dipengaruhi oleh ideologi Pancasila dan
tujuan negara yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Adapun kekhasan tersebut terlihat jelas dalam kehidupan
perbankan Indonesia, diantaranya:
1. Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utamanya adalah
sebagai penghimpun dan pengatur dana masyarakat dan bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.
2. Perbankan Indonesia sebagai sarana untuk memelihara kesinambungan
pelaksanaan pembangunan nasional, juga guna mewujudkan masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelaksanaan perbankan
Indonesia harus banyak memperhatikan keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan unsur-unsur Trilogi Pembangunan.
3. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya
kepada masyarakat tetap harus senantiasa bergerak cepat guna menghadapi
tantangan-tantangan yang semakin berat dan luas, baik dalam perkembangan
perekonomian nasional maupun internasional.1
Perbankan yang didasarkan kepada demokrasi ekonomi memiliki arti
bahwa masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan perbankan,
sedangkan pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia, bertindak memberikan
arahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan dunia perbankan sekaligus
menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangannya.
Mengingat peranannya maka dalam rangka mencapai tujuan pembangunan
nasional, sehingga sangat wajar apabila terhadap lembaga perbankan tersebut
pemerintah mengadakan pembinaan dan pengawasan yang ketat. Semuanya itu
didasari oleh landasan pemikiran agar lembaga perbankan di Indonesia mampu
berfungsi secara efisien, sehat, wajar, serta mampu melindungi secara baik dana
yang dititipkan masyarakat kepadanya, serta mampu menyalurkan dana
masyarakat tersebut ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran
pembangunan.
Dalam perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang
senantiasa bergerak cepat disertai banyaknya dan bervariasinya tantangan yang
dihadapi, sehingga perlu untuk diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional
dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Untuk itu perbankan nasional
perlu diperkuat dengan landasan hukum yang dibutuhkan bagi terselenggaranya
pembinaan dan pengawasan yang mendukung peningkatan kemampuan
perbankan dalam menjalankan fungsinya secara sehat, wajar dan efisien, sekaligus
memungkinkan perbankan nasional melakukan penyesuaian yang diperlukan
sejalan dengan berkembangnya norma-norma perbankan secara internasional.
Ada dua sisi penting yang selalu mengikuti perkembangan industri
perbankan dewasa ini, yaitu:
2. Peranan industri perbankan dalam memacu pertumbuhan ekonomi di suatu
negara.
Sehingga tidak dapat disangkal bahwa kegiatan usaha perbankan selain
pengaruhnya atas pertumbuhan perekonomian, juga selalu melekat atau
terkandung aspek-aspek hukum, baik sebagai dasar aktivitas dari kegiatan
operasional bank itu sendiri, maupun sebagai akibat yang ditimbulkan oleh karena
aktivitas tersebut.
Kegiatan-kegiatan operasional bank, baik dalam usaha menghimpun dana
dari masyarakat maupun mengelola dana, menanam kembali dana tersebut kepada
masyarakat, sampai dana tersebut kembali lagi kepada bank, senantiasa terpaut
dengan ketentuan hukum. Oleh karena itu, seiring dengan semakin meningkat dan
berkembangnya kegiatan usaha perbankan, peranan bidang hukum dalam
mendukung keberhasilan kegiatan itupun semakin dirasakan penting.2
Dalam hal menjalankan roda perekonomian tersebut maka diperlukan
suatu lembaga sebagai perantara atau sebagai jembatan untuk mempertemukan Keperluan akan dana dalam kehidupan masyarakat sehari-hari untuk
menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi
terdapat masyarakat yang kelebihan dana namun tidak memiliki kemampuan
untuk mengusahakannya. Sedangkan di sisi lain ada pula masyarakat lain yang
memiliki kemampuan dan keinginan untuk berusaha tetapi memiliki hambatan
yakni tidak memiliki dana yang cukup atau bahkan tidak memiliki dana sama
dua pihak yang kelebihan dana dengan kekurangan dana. Di sinilah bank berperan
sebagai Financial Intermediary yang akan bertindak sebagai kreditur yang
menyediakan dana bagi mereka yang kekurangan dana yang dalam hal ini disebut
sebagai debitur. Sehingga terbentuklah suatu perjanjian utang-piutang atau
pemberian kredit.
Pemberian kredit pada umumnya dapat diberikan kepada siapa saja yang
memiliki kemampuan untuk itu yakni dengan melalui suatu perjanjian
utang-piutang. Apabila perjanjian tersebut telah disepakati maka akan lahir kewajiban
pada kreditur, yaitu untuk menyerahkan dana atau uang yang diperjanjikan kepada
debitur dengan hak menerima kembali uang tersebut dari debitur sesuai pada
waktu yang telah ditentukan dengan disertai bunga yang disepakati oleh para
pihak pada saat perjanjian pemberian kredit tersebut disetujui dan ditandatangani
oleh kedua belah pihak.
Hak dan kewajiban debitur adalah bertimbal balik dengan hak dan
kewajiban kreditur. Selama proses pemberian kredit tidak mengalami masalah
yakni kedua belah pihak dalam pemberian kredit tersebut tidak melalaikan hak
dan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan maka tidak akan muncul
persoalan.
Pada umumnya persoalan tersebut dapat timbul apabila debitur lalai
mengembalikan uang pinjaman pada saat yang telah ditentukan. Jika hal tersebut
terjadi maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata menentukan
bahwa semua kebendaan yang menjadi milik seseorang, baik yang sudah ada
Sehingga dalam pemberian kredit itu sendiri dibuat pula suatu perjanjian
tambahan yakni yang menentukan suatu jaminan dari debitur sebagai upaya
antisipatif bagi kreditur apabila debitur lalai melaksanakan kewajibannya.
Dalam suatu perjanjian utang-piutang memerlukan lebih dari sekedar janji
untuk melaksanakan atau memenuhi kewajibannya. Untuk itu ilmu hukum dan
peraturan perUndang-Undangan yang ada telah menciptakan dan melahirkan serta
mengundangkan dan memberlakukan jaminan dalam bentuk kebendaan dan
apabila debitur lalai melaksanakan kewajibannya sesuai dengan jangka waktu
yang telah ditentukan maka kreditur berhak untuk menggunakan jaminan
kebendaan tersebut, misalnya dengan menjual benda yang dijaminkan tersebut
sebagai bentuk pelunasan utang dari debitur.
B. Perumusan Masalah
Dalam skripsi ini, yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana urgensi jaminan dalam pemberian kredit.
2. Bagaimana kedudukan perjanjian kredit dalam penyaluran dana oleh bank.
3. Bagaimana kedudukan benda tidak bergerak sebagai jaminan dalam perjanjian
kredit.
C. Keaslian Penulisan
Skripsi ini pembahasannya dikhususkan untuk membahas tentang
Disamping itu juga membahas tentang urgensi jaminan dalam pemberian kredit
serta mengenai kredit sebagai bentuk penyaluran dana oleh bank.
Adapun setelah dilakukan penelusuran perpustakaan serta hasil
pembahasan skripsi yang sudah ada maupun sedang dilakukan ternyata belum
pernah dilakukan pembahasan skripsi mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap
Kedudukan Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit.
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana urgensi jaminan dalam pemberian kredit.
2. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan perjanjian kredit dalam penyaluran
dana oleh bank.
3. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan benda tidak bergerak sebagai
jaminan dalam perjanjian kredit.
E. Tinjauan Kepustakaan
Agar tidak terjadi kesalahan penafsiran dalam pemahaman skripsi ini,
maka penulis menguraikan pengertian dari skripsi yang berjudul “Tinjauan
Yuridis Terhadap Kedudukan Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam
Perjanjian Kredit. Adapun yang menjadi kata kunci dalam skripsi ini adalah
benda tidak bergerak dan jaminan dalam perjanjian kredit.
1. Pengertian Benda Tidak Bergerak
yakni: segala yang ada di alam yang berwujud atau berjasad (bukan roh); zat (mis.
air, minyak); barang yang berharga (sebagai kekayaan); harta; barang. Dalam
skripsi ini akan lebih membahas tentang benda tidak bergerak. Menurut Prof.
Subekti, SH, benda tidak bergerak berarti benda yang tidak bergerak karena
sifatnya, karena tujuan pemakaiannya, dan karena ditentukan demikian oleh
Undang-Undang. Benda tidak bergerak karena sifatnya meliputi tanah, termasuk
segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam
atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu.3
2. Pengertian Jaminan Dalam Perjanjian Kredit
Menurut Hasanuddin Rahman, jaminan adalah tanggungan yang diberikan
oleh debitur atau pihak ketiga kepada kreditur, karena pihak kreditur mempunyai
suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu
perikatan.4
a. Jaminan yang diberikan kepada kreditur yaitu hak kebendaan atau hak
perseorangan. Hak kebendaan dapat berupa benda berwujud maupun benda
tidak berwujud ataupun dapat pula benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Sedangkan hak perseorangan adalah penanggungan utang yang diatur dalam
Pasal 1820-1850 KUHPerdata.
Sehingga dari pengertian tersebut dapat pula disimpulkan bahwa:
b. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut dapat diberikan oleh debitur
sendiri maupun pihak ketiga.
keamanan dan kepentingan kreditur yang terlebih dahulu diadakan dengan
suatu perikatan yang khusus yang mana perikatan tersebut bersifat accesoir.
Akan tetapi pengertian jaminan itu sendiri tidak ada ditemukan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, namun dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 terdapat dalam Pasal 8 disebutkan bahwa
dalam pemberian kredit, bank umum wajib mempunyai kepastian atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan
yang diperjanjikan.
Adapun KUH Perdata juga tidak menyebutkan pengertian jaminan namun
dalam Pasal 1131 disebutkan bahwa:
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.”
Adapun keberadaan jaminan kredit merupakan salah satu syarat yang
penting dan bertujuan untuk memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit.
Sehingga jaminan kredit berfungsi untuk menjamin pelunasan utang debitur bila
debitur ingkar janji atau wanprestasi. Maka jaminan kredit akan memberikan
jaminan kepastian hukum kepada pihak bank bahwa kreditnya akan tetap kembali
dengan cara mengeksekusi jaminan kredit perbankannya.
Jaminan kredit bank dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi
berdasarkan sudut pandang tertentu, misalnya cara terjadinya, sifatnya, kebendaan
yang dijadikan objek jaminan, dan lain sebagainya.
Jaminan karena undang-undang adalah jaminan yang dilahirkan atau
diadakan oleh, seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi (pasal
1132 dan pasal 1134 ayat (1) KUHPerdata). Sedangkan jaminan karena
perjanjian adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan oleh perjanjian yang
diadakan para pihak sebelumnya, seperti gadai, hipotik, hak tanggungan, dan
fidusia.
b. Jaminan umum dan jaminan khusus
Pada prinsipnya, menurut hukum segala harta kekayaan debitur akan menjadi
jaminan bagi perutangannya dengan semua kreditur. Pada pasal 1131
KUHPerdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
abru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatannya perseorangan. Ini berarti seluruh harta kekayaan milik si debitur
akan menjadi jaminan pelunasan atas utang debitur kepada semua kreditur.
Kekayaan debitur dimaksud meliputi kebendaan bergerak maupun benda
tetap, baik yang sudah ada pada saat perjanjian utang piutang diadakan
maupun yang baru yang akan ada di kemudian hari yang akan menjadi milik
debitur setelah perjanjian utang piutang diadakan. Dengan demikian, tanpa
kecuali seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan umum atas
pelunasan perutangannya, baik yang telah diperjanjikan maupun tidak
diperjanjikan sebelumnya. Jaminan umum ini dilahirkan karena
Akan tetapi, jaminan umum ini dalam praktek perkreditan dianggap
tidak memuaskan kreditur, yakni kurang menimbulkan rasa aman dan
terjamin bagi kredit yang diberikan. Dengan jaminan umum tersebut, kreditur
tidak mengetahui secara persis berapa jumlah harta kekayaan debitur yang
ada sekarang dan yang akan ada dikemudian hari, serta kepada siapa saja
debitur itu berutang, sehingga khawatir hasil penjualan harta kekayaan
debitur nantinya tidak cukup untuk melunasi utang-utangnya. Sehingga
kreditur memerlukan adanya benda-benda tertentu yang ditunjuk secara
khusus sebagai jaminan piutangnya dan itu hanya berlaku bagi si kreditur
tersebut. Dengan kata lain diperlukan adanya jaminan yang dikhususkan
baginya baik yang bersifat kebendaan maupun perorangan. Jaminan khusus
ini timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan
debitur.
Karena jaminan umum ini dianggap kurang menguntungkan bagi
kreditur maka diperlukan penyerahan harta kekayaan tertentu untuk diikat
secara khusus sebagai jaminan pelunasan utang debitur, sehingga kreditur
yang bersangkutan mempunyai kedudukan yang diistimewakan atau
didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya dalam hal pelunasan
utangnya. Jaminan ini akan memberikan perlindungan kepada kreditur dan di
dalam perjanjiannya akan diterangkan pula mengenai hal ini.
c. Jaminan kebendaan dan jaminan perseorangan
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak
langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa
pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan (misalnya gadai,
hipotik). Sedangkan jaminan perseorangan adalah jaminan yang
menimbulkan hubungan langsung pada perseorangan tertentu, hanya dapat
dipertahankan pada debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur
umumnya (misalnya borgtocht). Selain sifat-sifat tersebut, yang membedakan
hak kebendaan dari hak perseorangan adalah asas prioriteit yang dikenal pada
hak kebendaan dan asas kesamaan pada hak perseorangan.
d. Jaminan pokok, jaminan utama dan jaminan tambahan
Kredit tersebut diberikan kepada debitur berdasarkan “kepercayaan” dari
kreditur terhadap kesanggupan pihak debitur untuk membayar utangnya
kelak. Karena dalam hukum diberlakukan diberlakukan suatu prinsip bahwa
“kepercayaan” tersebut dipandang sebagai jaminan pokok dari pembayaran
kembali utang-utangnya kelak. Sementara jaminan-jaminan lainnya yang
bersifat kontraktual, seperti hak tanggungan atas tanah, gadai, hipotik, fidusia,
dan sebagainya hanya dipandang sebagai “jaminan tambahan” semata-mata,
yakni tambahan atas jaminan utamanya berupa jaminan atas barang yang
dibiayai dengan kredit tersebut.
e. Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak
Pembebanan jaminan kredit didasarkan pada objek bendanya. Kalau yang
dijadikan jaminan adalah tanah, maka pembebanannya adalah dengan
dengan menggunakan hipotik. Sementara itu, kalau yang dijadikan jaminan
adalah benda bergerak, maka pembebanannya dengan menggunakan gadai,
fidusia, cessie dan account receivable.
f. Jaminan regulatif dan jaminan non regulatif
Jaminan regulatif adalah jaminan kredit yang kelembagaannya sendiri sudah
diatur secara eksplisit dan sudah mendapat pengakuan dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Yang tergolong dalam jaminan regulatif
antara lain adalah hipotik, gadai, hak tanggungan, akta pengakuan utang.
Sedangkan jaminan non regulatif adalah bentuk-bentuk jaminan yang tidak
diatur atau tidak khusus diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, tetapi dikenal dan dilaksanakan dalam praktek. Jaminan non
regulatif ini ada yang berbentuk jaminan kebendaan seperti pengalihan
tagihan dagang, pengalihan tagihan asuransi, tetapi ada juga jaminan non
regulatif yang semata-mata hanya bersifat kontraktual, seperti kuasa menjual
dan lain-lainnya.
g. Jaminan konvensional dan jaminan non konvensional
Jaminan konvensional adalah jaminan yang pranata hukumnya sudah lama
dikenal dalam sistem hukum kita, baik yang telah diatur dalam
undangan, hukum adat maupun yang tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang bukan berasal dari hukum adat, tetapi sudah lama
dilaksanakan dalam praktek, seperti hipotik, hak tanggungan, gadai barang
bergerak, gadai tanah, fidusia, garansi, dan akta pengakuan utang. Sementara
yang eksistensinya dalam sistem hukum jaminan yang masih terbilang baru
sungguhpun sudah dilaksanakan secara meluas, sehingga pranatanya belum
sempat pula diatur secara rapi, antara lain seperti pengalihan hak tagih debitur
(assignment of receivable for security purpose), pengalihan hak tagih klaim
(assignment of insurance proceeds), kuasa menjual, dan jaminan menutupi
kekurangan biaya (cash deficiency).5
Pemberian kredit oleh bank kepada debitur, pada pelaksanaannya terdapat
resiko terjadinya kredit bermasalah. Kredit bermasalah atau Non Performing Loan
ini terjadi ketika terdapat kemacetan dalam pemberian kredit tersebut. Adapun
dalam ketentuan Himbara (Himpunan Bank-Bank Negara) terkait penyelesaian
kredit macet terdapat tiga ukuran yang dipergunakan, meliputi: kriteria
debiturnya, besarnya keringanan yang diberikan, serta ketentuan bagi debitur yang
masih dalam masa transisi.6
1. Kredit Lancar (pass),
Penggolongan kualitas kredit menurut SK Direktur Bank Indonesia Nomor
30/267/KEP/DIR pada Pasal 4 terdiri atas:
2. Kredit Dalam Perhatian Khusus (special mention),
3. Kredit Kurang Lancar (substandard),
4. Kredit Diragukan (doubtful), dan
Adapun kriteria sebagai kredit macet apabila terdapat tunggakan angsuran
pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari; atau kerugian operasional
ditutup dengan pinjaman baru; atau dari segi hukum maupun kondisi pasar,
jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. Pengecualian terhadap kriteria
tersebut apabila kredit dinilai mengandung aspek pidana oleh instansi berwenang.
Penanganan kredit bermasalah sebelum diselesaikan secara yudisial
dilakukan melalui penjadwalan (rescheduling), persyaratan (reconditioning), dan
penataan kembali (restructuring). Penanganan dapat melalui salah satu cara
ataupun gabungan dari ketiga cara tersebut. Setelah ditempuh dengan cara tersebut
dan tetap tidak ada kemajuan penanganan, selanjutnya diselesaikan secara
yudisial/litigasi melalui jalur pengadilan, pengadilan Niaga, melalui PUPN, dan
melalui Lembaga Paksa Badan.7
7
Disinilah barang jaminan tersebut berperan
dalam pemberian kredit yakni digunakan sebagai pelunasan pembayaran kredit
macet tersebut oleh debitur.
Dengan demikian, dalam praktek perbankan khususnya dalam pemberian
kredit, jaminan sangatlah berperan penting untuk memperkecil resiko dalam hal
pelunasan utang debitur.
F. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian untuk penulisan skripsi
ini adalah metode penelitian kepustakaan.
Bahan atau Materi penelitian dalam penyelesaian skripsi ini yakni dengan
melaksanakan penelitian kepustakaan dengan penelusuran data-data objektif yang
berhubungan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder berupa
penelusuran, penelahaan dan pengutipan bahan-bahan di kepustakaan yang
berhubungan dengan judul untuk menjelaskan permasalahan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu:
1. Bab I. Pendahuluan.
Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang
penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Benda
Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit”, permasalahan,
keaslian penulisan skripsi, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, tinjauan pustaka,
metode penelitian serta sistematika penulisan.
2. Bab II. Urgensi Jaminan Dalam Pemberian Kredit .
Dalam bab ini diuraikan mengenai defenisi jaminan, jenis-jenis jaminan
dan fungsi jaminan dalam perjanjian kredit serta pengikatan jaminan atas benda
bergerak dan benda tidak bergerak.
3. Bab III. Kredit Sebagai Bentuk Penyaluran Dana Oleh Bank.
Undang-dalam perbankan, tujuan dan fungsi kredit, serta mengenai perjanjian kredit itu
sendiri.
4. Bab IV. Kedudukan Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam
Perjanjian Kredit.
Bab ini akan membahas mengenai pengaturan benda tidak bergerak dalam
KUHPerdata, penilaian (valuasi) jumlah nominal harga jaminan atas benda tidak
bergerak, hak-hak para pihak dalam pengikatan benda tidak bergerak sebagai
jaminan dalam perjanjian kredit, serta mengenai fungsi jaminan dalam
penyelesaian kredit bermasalah.
5. Bab V. Kesimpulan dan Saran.
Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari seluruh
bab-bab yang terdapat dalam penulisan skripsi ini sebagai jawaban dari
permasalahan dan kemudian dibuat saran-saran yang merupakan sumbangan
pemikiran penulis terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam skripsi
BAB II
URGENSI JAMINAN DALAM PEMBERIAN KREDIT
A.Defenisi Jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu zekerheid
atau cautie. Zekerheid atau cautie ini mencakup secara umum cara-cara kreditur
menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggungjawaban umum debitur
terhadap barang-barangnya. Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan agunan.
Istilah agunan ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan. Agunan adalah:
“Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.”
Agunan dalam konteks ini merupakan jaminan tambahan (accessoir).
Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini
diserahkan oleh debitur kepada bank. Unsur-unsur agunan ini meliputi:
1. Jaminan tambahan;
2. diserahkan oleh debitur kapada bank;
3. untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan.8
Pada pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam penjelasan
sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan
yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut jaminan pemberian kredit dalam
arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi
utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan oleh bank.9
1. Jaminan yang bersifat umum, yaitu jaminan yang diberikan debitur kepada
setiap kreditur, hak-hak tagihan mana tidak mempunyai hak saling
Untuk memperoleh keyakinan dalam pemberian kredit kepada debitur,
maka sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama
terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur.
Karena agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit maka jika
berdasarkan unsur-unsur lain dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur
untuk mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek atau
hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkut an.
Dengan demikian, jaminan tersebut dapat berarti material maupun
immaterial. Hal ini diperkuat dengan melihat ketentuan pasal 1131 KUHPerdata
yang menentukan bahwa segala kebendaan pihak yang berutang baik yang
bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada
di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.
Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) asas pemberian jaminan jika ditinjau dari
sifatnya, yakni:
9
mendahului (konkuren) antara kreditur yang satu dengan kreditur yang
lainnya.
2. Jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur
kepada kreditur, hak-hak tagihan mana mempunyai hak mendahului sehingga
ia berkedudukan sebagai kreditur privilege (hak preverent).
Yang dimaksud dengan jaminan itu sendiri adalah tanggungan yang
diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur
memiliki suatu kepentingan bahwa debitur harus memiliki kewajibannya dalam
suatu perikatan. Dari pengertian ini dapat dikemukakan bahwa:
a. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, baik berupa hak kebendaan
maupun hak perorangan. Hak kebendaan ini berupa benda berwujud dan
benda tak berwujud, benda bergerak maupun benda tidak bergerak.
Sedangkan hak perorangan adalah penanggungan utang, yang diatur dalam
pasal 1820-1850 KUHPerdata.
b. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, dapat diberikan oleh debitur
sendiri maupun oleh pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau
penanggung. Jaminan perorangan atau penanggungan utang selalu diberikan
oleh pihak ketiga kepada kreditur. Penanggungan tersebut diberikan baik
dengan sepengetahuan atau tanpa sepengetahuan debitur yang bersangkutan.
c. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, untuk keamanan dan
perikatan tersebut bersifat accesoir dari Perjanjian Kredit atau Pengakuan
Utang yang diadakan antara debitur dengan kreditur.10
Pentingnya keberadaan jaminan dalam pemberian kredit oleh bank ini
tidak lain adalah suatu upaya dalam mengantisipasi resiko yang mungkin timbul
dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit tersebut.
Adapun dalam pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 2001 tentang Jaminan Pemberian
Kredit, menyebutkan pengertian jaminan dalam pemberian kredit yakni keyakinan
bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang
diperjanjikan.11 Dengan demikian jaminan kredit itu merupakan hak dan
kekuasaan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur/bank guna menjamin
pelunasan utangnya apabila kredit yang diterimanya tidak dapat dilunasi sesuai
waktu sebagaimana ditentukan dalam perjanjian kredit.12
1. Jaminan Perorangan
B. Jenis-Jenis Jaminan
Dalam praktik perbankan khususnya dalam pemberian kredit, pada
umumnya jenis-jenis jaminan terdiri dari:
Jaminan perorangan (Personal Guarantee) adalah jaminan berupa
pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seseorang pihak ketiga, guna
10
Ibid, hal 162. 11
Drs. Muhamad Djumhana,S.H, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 510
12
menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur
apabila debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).
Namun saat ini, bukan saja jaminan perorangan yang dikenal tetapi bank
sudah sering menerima jaminan serupa yang diberikan oleh perusahaan yang
dikenal dengan istilah Corporate Guarantee.
Adapun jaminan ini pada dasarnya adalah penanggungan utang yang
pengaturannya dalam KUHPerdata terdapat dalam pasal 1820 sampai dengan
pasal 1850 (termasuk pula pasal 1316).
Pada pasal 1820 KUHPerdata memberikan pengertian penanggungan
utang sebagai suatu persetujuan dengan mana seseorang pihak ketiga, guna
kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si
berutang, manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.
Dari pengertian tersebut dapat ditemukan unsur-unsur dalam suatu
penanggungan utang, yaitu:
a. Adanya hubungan utang piutang (antara si berutang dengan si berpiutang);
b. Disepakatinya persetujuan penanggungan utang dengan masuknya pihak
ketiga (penanggung) dalam hubungan hukum tersebut diatas;
c. Masuknya pihak ketiga dinyatakan dalam suatu persetujuan yang berisi
kesanggupan penanggung untuk memenuhi perikatan debitur jika ia
melakukan wanprestasi.
Demi kepentingan bank, apabila penanggungan utang ini diterima sebagai
yang merugikan dan tidak diinginkan maka bank haruslah memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. Perjanjian penanggungan utang adalah perjanjian accesoir, artinya harus
ada perjanjian utang piutang yang diikutinya. Sebagaimana diatur dalam
pasal 1821 ayat 1 KUHPerdata, yang menegaskan bahwa tiada
penanggungan jika tidak ada perikatan pokok yang sah. Dalam hal ini
sekaligus berarti kualitas dari perjanjian utang piutang haruslah
benar-benar sempurna tanpa cacat sedikitpun, karena cacatnya perjanjian utang
piutang akan berpengaruh terhadap cacatnya pula penanggungan utang
sebagai perjanjian accesoir.
b. Apabila penanggungan utang tersebut adalah Personal Guarantee, atau
dengan kata lain penaggung utang (guarantor)- nya adalah perorangan,
maka diperlukan persetujuan istri (atau bantuan suami) dalam melakukan
perjanjian penanggungan utang tersebut. Filosofinya terletak pada pasal
1826 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perikatan-perikatan papra
penanggung berpindah kepada ahli warisnya.
c. Apabila penanggungan utang tersebut adalah Corporate Guarantee, atau
dengan kata lain penanggung utang (guarantor)-nya adalah perusahaan
(biasanya Perseroan Terbatas), maka yang pertama-tama harus
diperhatikan dalah Anggaran Dasar/Akta Pendirian Perseroan, tentang
siapa-siapa yang berhak mewakili perseroan tersebut.
d. Dalam perjanjian penanggungan utang, hendaknya dimasukkan klausula
hak-hak istimewanya yang diatur dalam KUHPerdata, sehingga kreditur (bank)
dapat juga menagih si penanggung tanpa adanya kewajiban menagih
terlebih dahulu si berutang (debitur). Mengenai hal ini pengaturannya
dimuat pada pasal 1831 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa si
penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang,
selainnya jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang lebih
dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Sedangkan pada pasal
1832 antara lain menyebutkan pengecualiannya bahwa si penanggung
tidak dapat menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita
dan dijual untuk melunasi utangnya, apabila ia telah melepaskan hak
istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu
disita dan dijual.
e. Debitur tidak dibenarkan menjadi penanggung utang (guarantor), baik
berupa Personal Guarantee maupun Corporate Guarantee. Filosofinya,
bahwa debitur atau orang yang berutang, secara yuridis formal menjadikan
seluruh harta bendanya – baik yang sudah ada maupun yang akan ada
dikemudian hari – menjadi jaminan atas utang-utangnya (pasal 1131
KUHPerdata).
f. Apabila diadakan tambahan kredit dan atau perpanjangan masa perjanjian
kredit atau utang piutang, yang dijamin oleh penanggungan utang, maka
haruslah dengan sepengetahuan dan persetujuan penanggung utang
1. Bahwa setiap utang yang dijamin oleh guarantor, harus diketahui
olehnya, sehingga tidak akan ada sangkalan mengenai adanya
perubahan struktur kredit tersebut, karena ia pun ikut mengetahui dan
menyetujuinya;
2. Bahwa setiap perubahan perikatan pokoknya, maka secara yuridis
formal perjanjian yang mengikutinya harus pula diubah sesuai dengan
perikatan pokoknya;
3. Tidaklah diperbolehkan untuk memperluas penanggungan utang hingga
melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat sewaktu
mengadakannya (pasal 1824 KUHPerdata).
2. Jaminan Kebendaan
Jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan, baik benda
maupun hak kebendaan, yang diberikan dengan cara pemisahan bagian dari
harta kekayaan baik dari si debitur maupun dari pihak ketiga, guna menjamin
pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur apabila
debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).
Menurut sifatnya, jaminan kebendaan ini terbagi atas 2 (dua), yaitu:
jaminan dengan benda berwujud (material) dan jaminan dengan benda tidak
berwujud (immaterial).
Benda berwujud, dapat berupa benda/barang bergerak dan atau barang
tidak bergerak. Sedangkan benda tidak berwujud yang lazim diterima bank
sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih.
dapat berupa kendaraan bermotor, logam mulia, stok barang, dan sebagainya
yang dapat dinilai baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sedangkan
barang tidak bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank,
dapat berupa tanah, bangunan, kapal berukuran 20 meter kubik keatas, dan
lain-lain termasuk mesin-mesin pabrik yang melekat dengan tanah.
Pembagian barang bergerak dan tidak bergerak tersebut diatur dalam
ketentuan pasal 506 sampai dengan pasal 518 KUHPerdata.13
a. Tanah dan Bangunan
Dalam skripsi ini akan lebih diutamakan jaminan kredit yaitu berupa
barang tidak bergerak.
Adanya kenyataan bahwa tanah-tanah dan benda-benda khususnya
bangunan di atasnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, maka apabila bank akan menerima tanah sebagai jaminan
kredit, maka benda-benda yang berada di atas tanah tersebut harus diminta
pula sebagai jaminan atas kredit tersebut. Dalam prakteknya, benda-benda
tersebut biasanya adalah bangunan, baik rumah maupun kantor yang
digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang dibiayai.
Untuk menerima tanah sebagai jaminan kredit, haruslah dilihat jenis
hak atas tanah tersebut. Pentingnya mengetahui jenis hak atas tanah yang
akan dijaminkan tersebut, adalah agar dapat dinilai dengan benar serta
dapat mengantisipasi resiko-resiko yang mungkin timbul dikemudian hari,
Jenis-jenis hak atas tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) tersebut meliputi:
1. Hak Milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang daapt
dipunyai orang atas tanah, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain, serta dengan mengingat bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial.
2. Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan
pertanian, perikanan, atau peternakan dan diberikan atas tanah yang
luasnya paling sedikit 5 hektar serta dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain.
3. Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan milik sendiri dengan jangka
waktu paling lama 30 tahun dan jangka waktu tersebut dapat
diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun serta dapat beralih
dan dialihkan kepada pihak lain.
4. Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain
yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan
atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
undang-undang ini.
5. Hak Sewa, yaitu hak untuk mempergunakan tanah milik orang lain
untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya
sejumlah uang sebagai sewa.
6. Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan, yaitu hak-hak yang
hanya dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan diatur oleh
Peraturan Pemerintah.
7. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara, seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan
hak sewa tanah pertanian.14
Berdasarkan hak-hak yang disebutkan diatas maka untuk pengamanan
atas jaminan kredit, bank seyogianya hanya akan mempertimbangkan
untuk menerima Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan
sebagai jaminan kredit. Hal ini dengan melihat bahwa hanya ketiga jenis
hak tersebut yang secara tegas disebutkan kemungkinan dapat beralih dan
dialihkan.
Namun demikian, melihat perkembangan dan persaingan antar bank
saat ini, tidak sedikit bank yang berani menerima jenis hak atas tanah
tersebut, bahkan terhadap tanah-tanah yang tidak jelas kepemilikannya,
formal, bank akan menghadapi banyak resiko apabila menerima tanah
yang tidak jelas jenis hak dan status kepemilikannya.
b. Kapal
Kapal adalah semua perahu, dengan nama apapun, dan dari macam
apapun juga, kecuali apabila ditentukan atau diperjanjikan lain, maka
kapal itu dianggap meliputi segala alat perlengkapannya. Yang dimaksud
alat perlengkapan kapal adalah segala benda yang bukan suatu bagian
daripada kapal itu sendiri, namun diperuntukkan untuk selamanya dipakai
tetap dengan kapal itu (pasal 309 KUHDagang).
Kapal laut adalah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran di laut
atau yang diperuntukkan untuk itu (pasal 310 KUHDagang).
Kapal Indonesia adalah setiap kapal yang dianggap sebagai demikian
oleh undang-undang tentang surat-surat kapal dan pas-pas kapal (pasal 311
KUHDagang).
Sebuah kapal yang telah dibuat atau sedang dibuat di Indonesia,
dianggap sebagai kapal Indonesia, hingga saat diserahkannya kapal itu
oleh si pembuat kepada si oranglah atas tanggungan siapa kapal itu telah
atau sedang dibuat, atau saat kapal itu dipakainya sendiri oleh si pembuat
guna suatu pelayaran (pasal 312 KUHDagang).
Dari pengertian-pengertian diatas maka apabila bank akan menerima
kapal sebagai jaminan kredit, bank harus melihat apakah kapal tersebut
Kapal, yang dikeluarkan oleh negara atau pemerintah, tempat dimana asal
kebangsaan kapal tersebut.
Adapun untuk kepentingan pembebanan hak tanggungan atau perikatan
jaminan kapal, maka secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
kapal yang berukuran kurang dari 20 meter kubik, dan kapal yang
berukuran 20 meter kubik atau lebih (sesuai ketentuan pasal 314
KUHDagang). Untuk kapal yang berukuran 20 meter kubik atau lebih,
haruslah memiliki Grosse Akta Pendaftaran Kapal yang dikeluarkan oleh
syahbandar, surat laut, dan pasa kapal tahunan. Sedangkan untuk
kapal-kapal lainnya, perlu dimintakan surat ukur kapal-kapal, surat keterangan layak
jalan, dan surat izin perjalanan dalam negeri.
Diterimanya suatu kapal sebagai jaminan dalam pemberian kredit maka
memerlukan suatu monitoring yang optimal dari pihak bank sebagai
pemberi kredit guna meminimalkan resiko yang mungkin timbul atas
barang jaminan tersebut. Sehingga harus sangat diperhatikan beberapa hal
yang menyangkut tentang kapal dalam menjadikannya sebagai jaminan
kredit, seperti kepemilikan kapal, ukuran, dan keadaan fisik kapal
tersebut.15
c. Mesin-mesin
Sama halnya dengan kapal, untuk kepentingan pembebanan hak
tanggungan atau perikatan jaminan mesin-mesin ini, maka secara umum
melekat dengan tanah sehingga dianggap sebagai benda tetap/tidak
bergerak, dan mesin-mesin yang karena sifatnya dengan mudah dapat
dipindahkan, sehingga dianggap sebagai benda tidak tetap/tidak bergerak.
Selain perbedaan dalam pembebanan hak tanggungan, maka perlakuan
dan persyaratan dalam menerima mesin-mesin tersebut sebagai jaminan,
maka tidak ada perbedaan baik yang dianggap sebagai benda tetap maupun
sebagai benda bergerak.
Dalam hal bank menetapkan mesin-mesin tersebut dapat dijadikan
jaminan kredit atau tidak, maka bank sebagai pemberi kredit harus
memperhatikan kepemilikan dan keadaan fisik dari mesin-mesin tersebut.
Untuk mengetahui kepemilikannya, maka dapat dilihat pada faktur/invoice
atau pada kuitansi pembeliannya.16
1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis;
C. Fungsi Jaminan Dalam Perjanjian Kredit
Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko sehingga bank
dituntut kemampuan dan efektivitasnya dalam mengelola resiko kredit dan
meminimalkan potensi kerugian sehingga bank wajib memerhatikan asas-asas
perkreditan yang sehat, diantaranya:
2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit pada usaha yang sejak semula
telah diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian;
16
3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan
modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham; atau
4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal
lending limit).17
Asas-asas perkreditan yang sehat ini juga harus sejalan dengan asas-asas
hukum jaminan yang objeknya benda, sebagai berikut:
1. Asas hak kebendaan (real tight)
Sifat hak kebendaan adalah absolut, artinya hak ini dapat dipertahankan pada
setiap orang. Pemegang hak benda berhak menuntut setiap orang yang
mengganggu haknya. Sifat lain dari hak kebendaan adalah drot de suite,
artinya hak kebendaan mengikuti bendanya didalam tangan siapapun dia
berada. Didalam karakter ini terkandung asas hak yang tua didahulukan dari
hak yang muda (droit de preference). Jika beberapa kebendaan diletakkan di
atas suatu benda, berarti kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya.
Sifat kebendaan itu sendiri adalah memberikan wewenang yang kuat kepada
pemiliknya, hak itu dapat dinikmati, dialihkan, dijaminkan, dan disewakan.
2. Asas asesor
Artinya hak jaminan ini bukan merupakan hak yang berdiri sendiri
(zelfstandigrecht), tetapi ada dan hapusnya bergantung (accessorium) kepada
perjanjian pokok.
3. Hak yang didahulukan
4. Objeknya adalah benda yang tidak bergerak, terdaftar atau tidak terdaftar.
5. Asas asesi
Yaitu perlekatan antara benda yang ada di atas tanah dengan tapak tanahnya.
6. Asas pemisahan horizontal
Yaitu dapat dipisahkan benda yang ada di atas tanah dengan tanah yang
merupakan tapaknya.
7. Asas terbuka
Artinya ada publikasi sebagai pengumuman agar masyarakat mengetahui
adanya beban yang diletakkan di atas suatu benda.
8. Asas spesifikasi/pertelaan dari benda jaminan.
9. Asas mudah dieksekusi.18
Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam
menunjang pembangunan ekonomi. Karena keberadaan lembaga ini dapat
memberikan manfaat bagi kreditur dan debitur. Manfaat bagi kreditur adalah:
1. Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup;
2. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur.19
Bagi debitur dengan adanya benda jaminan itu dapat memperoleh fasilitas
kredit dari bank dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya. Keamanan
modal adalah bahwa kredit atau modal yang diserahkan oleh kreditur kepada
debitur tidak merasa takut atau khawatir tidak dikembalikannya modal tersebut.
Memberikan kepastian hukum adalah memberikan kepastian bagi pihak kreditur
18
Prof. DR. Tan Kamello, S.H, M.S, Hukum Jaminan Fidusia, PT Alumni, Bandung, hal 19-20
19
dan debitur. Kepastian bagi kreditur adalah kepastian untuk menerima
pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur. Sedangkan bagi debitur adalah
kepastian untuk mengembalikan pokok kredit dan bunga yang ditentukan.
Disamping itu, bagi debitur adalah adanya kepastian dalam berusaha. Karena
dengan modal yang dimilikinya maka dapat mengembangkan bisnisnya lebih
lanjut. Apabila debitur tidak mampu dalam mengembalikan pokok kredit dan
bunga, bank atau pemilik modal dapat melakukan eksekusi terhadap benda
jaminan.
Fungsi jaminan kredit tersebut meliputi:
a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat pelunasan dari
agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar
utangnya kembali pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian;
b. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai
usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya
dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau
sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil;
c. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya
mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah
disetujui agar debitur dan/atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak
kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.20
Sehingga dapat disimpulkan bahwa jaminan kredit bank berfungsi untuk
kredit akan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak perbankan
bahwa kreditnya akan tetap kembali dengan cara mengeksekusi jaminan kredit
perbankannya.
Untuk melindungi uang yang dikucurkan lewat kredit dari resiko kerugian
tersebut maka pihak perbankan membuat “pagar pengamanan”. Hal ini
dikarenakan dalam kondisi sebaik apapun atau dengan analisis sebaik mungkin,
resiko kredit macet tidak dapat dihindari. Pagar pengamanan yang dibuat biasanya
berupa jaminan yang harus disediakan debitur. Tujuan jaminan ini adalah untuk
melindungi kredit dari resiko kerugian, baik yang disengaja maupun yang tidak
disengaja. Lebih dari itu jaminan yang diserahkan oleh nasabah merupakan beban
sehingga si nasabah akan bersungguh-sungguh untuk mengembalikan kredit yang
diambilnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa jaminan kredit tersebut berfungsi
untuk memberi keamanan bagi pihak perbankan terutama apabila terjadi kredit
macet maka jaminan tersebut dapat dieksekusi untuk menutupi utang debitur
tersebut.21
Untuk kepentingan bank, dalam hal menjamin pengembalian kredit yang
diberikan, maka terhadap jaminan atau agunan yang diserahkan oleh debiturnya,
haruslah dilakukan pengikatan atau pembebanan hak tanggungan. Mengenai
pengikatan jaminan atau lembaga jaminan ini bahwa untuk benda-benda bergerak
dipakai lembaga jaminan fidusia dan atau gadai, dan untuk benda-benda tidak
D. Pengikatan Jaminan atas Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak
21
bergerak dipakai lembaga jaminan hipotik dan atau dengan pembebanan hak
tanggungan. Kemudian dalam SE BI No. 23/6/UKU tanggal 28 Februari 1991,
disebutkan bahwa pengikatan agunan dilakukan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.22
1. Pengikatan secara gadai;
Sehingga dengan berlakunya
Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 maka terhadap jaminan benda
tidak bergerak seperti tanah pengikatannya dilakukan menurut ketentuan
undang-undang ini.
Untuk pengikatan jaminan atas benda bergerak, dapat dilakukan dengan
menggunakan 3 (tiga) cara, yaitu:
2. Pengikatan jaminan fidusia;
3. Cessie, yaitu cara penyerahan barang jaminan untuk tagihan-tagihan,
misalnya deposito, simapanan, dan tagihan pada pihak ketiga (pengikatannya
dengan cara gadai).23
Dalam hal pengikatan secara gadai, diatur dalam pasal 1150 sampai
dengan pasal 1160 KUHPerdata. Pengertian gadai ini diatur dalam pasal 1150
KUHPerdata, yakni:
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu
barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang dan oleh
seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang
itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada
tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu
digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”
Hal-hal penting mengenai gadai yakni sebagai berikut:
1. Perjanjian gadai merupakan perjanjian tambahan disamping perjanjian
pokoknya (perjanjian pinjam-meminjam uang). Artinya, jika perjanjian
pokoknya hapus, otomatis perjanjian gadai ini hapus pula.
2. Barang yang digadaikan harus berada di bawah kekuasaan kreditur
(pemegang gadai).
3. Kreditur dilarang mengaku barang yang digadaikan menjadi miliknya,
dalam hal debitur tidak membayar atau melunasi utangnya.
4. Jika debitur tidak memenuhi janjinya dalam surat utang/ persetujuan
membuka kredit, kreditur berhak untuk setelah tenggang waktu
pembayaran utang itu lampau, debitur diperingati untuk melunasi
barang gadai itu dimuka umum (lelang). Mengenai barang dagangan
yang dapat dipasarkan di bursa penjualannya dapat dilakukan di tempat
tersebut itu, asalkan dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli
dalam jual beli barang-barang itu.
5. Tanpa persetujuan dari debitur (pemberi gadai), kreditur (pemberi
gadai) dilarang memakai atau mengeksplotir barang yang digadaikan.
Untuk pengikatan jaminan atas benda bergerak dilakukan dengan cara
fdusia yang merupakan bentuk penyimpangan dari gadai, dan timbul karena
kebutuhan dalam praktik dengan maksud agar barang-barang yang dijamin dapat
Adapun fiducia memiliki kebaikan yakni benda-benda yang dijaminkan
tetap ada pada/dipegang oleh dan atas tanggung jawab debitur yang memegang
sehingga kreditur tidak perlu bersusah payah menyimpan dan
mengurus/memelihara benda-benda itu seperti dalam gadai.24
1. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang
peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas
benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian bangunan di atas milik orang
lain yang tidak dapat dibebani hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Dalam pasal 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999,
telah diberi batasan dan pengertian mengenai fidusia, yaitu fidusia adalah
pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik
benda. Adapun jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap
berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia
terhadap kreditur lainnya.
Pada pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia telah diatur mengenai
ruang lingkup jaminan fidusia yang diperjelas dengan pasal 3 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan objek
jaminan fidusia.
2. Hipotik atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua
puluh)M3 atau lebih.
3. Hipotik atas pesawat terbang.
4. Gadai.
Sehingga dapat dikatakan yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda
apapun yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya. Benda itu dapat
berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar,
bergerak maupun tidak bergerak, dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dapat
dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atau hipotik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang jis pasal 1162,
dst KUHPerdata.25
Sebelum keluarnya Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun
1996, dalam hal pengikatan jaminan atas benda tidak bergerak, dapat dilakukan
dengan cara hipotik dan credit verband. Hak hipotik adalah suatu hak kebendaan
atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi
pelunasan suatu perikatan
26
25
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Rajawali Pers, hal 141 26
Prof. DR. Faisal Affif, SPEC. LIC, Op. Cit, hal.128
. Sedangkan credit verband adalah suatu jaminan atas
tanah berdasarkan STB/1908 No. 542 yang maksudnya adalah untuk memberikan
jaminan tanah dengan status hak milik adat atau belum bersertifikat.27
a. Berkaitan erat dengan hak jaminan atas tanah
Akan tetapi
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996
maka terhadap benda tak bergerak seperti tanah dan benda-benda yang berkaitan
dengan tanah dalam pengikatannya sebagai jaminan dalam pemberian kredit
dilakukan dengan pembebanan hak tanggungan.
Hak Tanggungan sebenarnya menyangkut tiga aspek sekaligus yaitu berkaitan
erat dengan hak jaminan atas tanah, berkaitan dengan kegiatan perkreditan, dan juga
berkaitan dengan perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait.
Hak tanggungan jika dikaitkan dengan Pasal 4 UUHT maka berakibat sebagai
berikut:
1. Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas hak atas tanah tidak hanya
menyangkut benda-benda yang telah ada saja, tetapi juga benda-benda yang
akan ada (pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan jo. pasal 1175
KUHPerdata).
2. Dimungkinkan pula pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan
hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah tersebut yang tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah (dimiliki oleh
orang lain) dengan syarat pembebanan hak tanggungan atas benda-benda
tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta
yang diberi kuasa untuk itu dengan akta otentik (Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 5
UUHT).
b. Berkaitan dengan Kegiatan Perkreditan
Sehubungan dengan kegiatan perkreditan tersebut, maka hak tanggungan adalah
salah satu hak jaminan di bidang hukum yang dapat memberi perlindungan khusus
kepada kreditur dalam kegiatan perkreditan. Oleh karena itu jika dikaitkan dengan
sifatnya, hak tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah sebagai agunan
memberikan kedudukan diutamakan (preference) kepada kreditur. Maka kreditur
yang bersangkutan dapat memperoleh pelunasan atas piutangnya terlebih dahulu
dari kreditur-kreditur lainnya, karena objek hak tanggungan tersebut disediakan
khusus untuk pelunasan piutang kreditur tertentu.
c. Berkaitan dengan Perlindungan Hukum
Hal ini berhubungan dengan masalah perjanjian, hubungan utang-piutang antara
kreditur dengan debitur, dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur
misalnya tidak dapat memenuhi apa yang sudah diperjanjikan atau wanprestasi.28
28
Adapun yang dapat dijadikan objek hak tanggungan harus memenuhi
syarat-syarat antara lain:
a. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin adalah berupa uang.
b. Termasuk hak yang wajib didaftar dalam Daftar Umum karena harus memenuhi
syarat spesialitas dan publisitas.
c. Mempunyai sifat yang dapat dipindahtangankan karena apabila debitur cidera janji,
benda yang dijadikan jaminan akan dijual dimuka umum.
d. Memerlukan penunjukkan oleh undang-undang.
Maka sesuai dengan syarat diatas objek hak tanggungan sebagaimana tersebut dalam
Pasal 4 jo Pasal 27 Undang-Undang Hak Tanggungan dan Penjelasan Umum angka 5
adalah hak atas tanah dengan status sebagai berikut:
1. Yang ditunjuk oleh UUPA sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) a, b, c sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu: Hak Milik
(Pasal 25), Hak Guna Usaha (Pasal 33), dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39).
2. Yang ditunjuk oleh Undang-Undang Rumah Susun (Pasal 27 Undang-Undang Hak
Tanggungan jo. Pasal 12 dan 13 Undang-Undang Rumah Susun).
3. Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai atas Tanah Negara (Pasal 12 ayat (1) a Undang-Undang Rumah Susun jo. Pasal
27 Undang-Undang Hak Tanggungan dan penjelasannya).
4. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri di atas tanah Hak
Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 13a
Undang-Undang Rumah Susun jo. Pasal 27 Undang-Undang-Undang-Undang Hak Tanggungan dan
penjelasannya).
5. Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar
pada umumnya bank hanya mau menerima benda jaminan dalam konteks tanah
dan benda diatasnya yang telah memiliki sertifikat.
Subjek hak tanggungan menurut Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 Undang-Undang
Hak Tanggungan, baik pemberi maupun pemegang Hak Tanggungan adalah orang
perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum (rechtsbevoegdheid) terhadap objek hak tanggungan yang
bersangkutan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan; sedangkan pemegang
hak tanggungan berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (kreditur).
Adapun untuk benda tak bergerak yang akan dijadikan jaminan dalam
pemberian kredit sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan yang
menyatakan bahwa untuk benda tak bergerak yang tidak dapat bibebankan dengan hak
tanggungan maka pengikatannya sebagai jaminan dilakukan dengan fidusia. Misalnya
rumah susun yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1985 menyatakan
bahwa hak pakai atas rumah susun dapat dijadikan utang dalam hal ini dijadikan jaminan
kredit, dilakukan dengan dibebani fidusia.29
1. Penilaian tidak merugikan bagi bank, apabila barang jaminan dilelang.
Bank sebagai kreditur atau pihak pemberi kredit dalam menetapkan benda
atau barang tersebut dapat dijadikan sebagai jaminan kredit maka perlu
melakukan penilaian terhadap benda atau barang yang kemudian menjadi jaminan
kredit tersebut sebagai upaya antisipatif apabila terjadi kredit macet, yakni dengan
memperhatikan bahwa:
29
2. Bila bangunan sebagai jaminan, maka bangunan dalam keadaan kosong.
Artinya bila terdapat penghuni yang menyewa atau mengontrak, secara
hukum mereka dilindungi oleh peraturan yang berlaku. Maka nilai bangunan
tersebut, dalam penilaian jaminan, bangunan harus dikurangi uang pesangon
untuk pengosongan rumah, terkecuali penempatan bangunan tersebut berupa
kontrak dengan batas waktu akan berakhir.
3. Memperhitungkan harga tertinggi dan kemudian penaksiran harga terendah.
4. Menentukan Taksiran Harga Lelang Sita (THLS) dari barang jaminan
tersebut (merupakan rata-rata dari penaksiran harga tertinggi dan harga
terendah).
5. Dalam menentukan nilai lebih harus mencakup tagihan bunga, bunga
tunggakan, dan ongkos perkara dengan nilai tertentu dari seluruh tagihan pada
saat penunggakan diajukan ke pengadilan.
6. Memperhitungkan tambahan pengamanan yakni jumlah harga pokok
ditambah dengan jumlah tambahan pengamanan, sehingga akan diperoleh
Taksiran Harga Lelang Sita (THLS). Adapun perhitungan tambahan
pengamanan ini tergantung oleh besarnya suku bunga, lamanya kemungkinan
bunga tertunggak, serta kemungkinan terhutangnya ongkos-ongkos lain yang