• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN BENDA

TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN DALAM

PERJANJIAN KREDIT

S K R I P S I

OLEH :

NIM : 040200076

YESSY SUSANNA TARIGAN

Departemen Hukum Keperdataan

Program Kekhususan Hukum Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

OLEH :

NIM : 040200076

YESSY SUSANNA TARIGAN

Departemen Hukum Keperdataan

Program Kekhususan Hukum Perdata BW

Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

(Prof. DR. Tan Kamello, SH, MS)

NIP. 131570455

(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah : “TINJAUAN YURIDIS

TERHADAP KEDUDUKAN BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI

JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT”.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari

berbagai pihak. Sehingga pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan

rasa terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. DR. Suhaidi, SH, M.H, selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM, selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak M. Husni, SH, M.H, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Prof. DR. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan sekaligus juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah

menyediakan waktu untuk memberikan saran dan petunjuk serta bimbingan

(4)

6. Ibu Megarita, SH, CN, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah

meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

7. Ibu Yefrizawati, SH, M.Hum selaku Dosen Wali penulis selama mengikut i

masa perkuliahan.

8. Bapak dan Ibu dosen serta para pegawai Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Medan yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan

administrasi penulis selama mengikuti perkuliahan.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis juga mengucapkan terimakasih

yang tak terhingga kepada:

1. Orang Tua penulis yang tercinta: Ayahanda Alex S. Tarigan, BA dan Ibunda

Yunitha M. Purba, yang telah memberikan segenap kasih sayang, perhatian,

dan bimbingan yang tulus kepada penulis.

2. Saudara-saudara penulis tercinta: Abang Hendra Frederick Tarigan, S.Sos,

Kakak Irma Anastasia Tarigan, S.S, dan Adik Ayu Fransiska Tarigan yang

telah memberikan kasih sayang yang tulus dan dukungan moril kepada

penulis.

3. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta: Mala Ginting, SH, Rini Rafika SH,

Ulfa Daulay, Februzi “Uci” Regina, SH, Mufidah “Mumu” Ulfah, Eka,

Hotma, Roslan, Christina, Stefani Sinaga, Elvira Leman,SE, Feblitania, Virsa,

(5)

4. Rekan-rekan stambuk 2004 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

khususnya anak-anak jurusan Hukum Perdata BW yang telah memberikan

bantuan selama penulis dalam masa perkuliahan.

5. Adik-adikku yang telah memberi dukungan moril, doa, dan bantuan kepada

penulis selama masa perkuliahan dan penyusunan skripsi : Stambuk 2005

(Dini Oktariza, Eki, Yudha, Emmy, Swarni, Merry, Tety), Stambuk 2006

(Teresia, Eva, Sonti, Renatha), Elysanta Stambuk 2007.

6. Rekan-rekan penulis dalam berorganisasi (PERMAHI dan IMKA) atas

dukungannya kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang dimiliki penulis. Oleh

karena itu penulis mohon maaf apabila banyak terdapat kekurangan dan penulis

mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca

sekalian demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi sumbangan

pengetahuan bagi kita semua dan dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima

Kasih.

Medan, Juni 2008

Penulis

YESSY SUSANNA TARIGAN

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Keaslian Penulisan ... 6

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II URGENSI JAMINAN DALAM PEMBERIAN KREDIT A. Defenisi Jaminan ... 18

B. Jenis-Jenis Jaminan ... 21

C. Fungsi Jaminan Dalam Perjanjian Kredit ... 31

D. Pengikatan Jaminan atas Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak ... 35

(7)

A. Pengaturan Kredit dalam Undang-Undang Perbankan ... 45

B. Bentuk dan Jenis Kredit Bank ... 47

C. Prosedur Penyaluran Dana dalam Perbankan ... 52

D. Tujuan dan Fungsi Kredit ... 59

E. Perjanjian Kredit ... 64

BAB IV KEDUDUKAN BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT A. Pengaturan Benda Tidak Bergerak sebagai Jaminan dalam KUHPerdata ... 75

B. Penilaian (Valuasi) Jumlah Nominal Harga Jaminan atas Benda Tidak Bergerak ... 79

C. Hak-Hak Para Pihak dalam Pengikatan benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan ... 83

D. Fungsi Jaminan dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah …... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 97

(8)

ABSTRAK

Salah satu bentuk usaha bank sebagai lembaga yang merupakan financial

intermediary adalah melakukan penyaluran dana dalam bentuk pemberian kredit

sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam hal ini bank merupakan perantara bagi pihak-pihak yang kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of funds). Pemberian kredit tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian kredit yang sifatnya mengikat bagi kedua belah pihak yakni bank sebagai kreditur dan debitur sebagai pihak peminjam. Pemberian kredit ini disertai pula dengan pengikatan jaminan. Adapun dalam skripsi ini yang lebih ditekankan adalah jaminan dalam bentuk benda tidak bergerak. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana urgensi jaminan dalam pemberian kredit oleh bank, bagaimana kedudukan kredit dalam hal penyaluran dana oleh bank, serta bagaimana kedudukan benda tidak bergerak sebagai jaminan dalam perjanjian kredit.

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan melalui penelusuran data-data obyektif yang berhubungan dengan obyek penelitian yang meliputi data-data sekunder berupa penelusuran, penelaahan, dan pengutipan bahan-bahan di kepustakaan yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedudukan lembaga perbankan yakni sebagai salah satu lembaga

keuangan memiliki nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara.

Lembaga ini dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai

kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan

memerlukan dana (lack of funds). Oleh karena itu, perbankan akan bergerak dalam

kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, dan bank juga melayani

kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi

semua sektor perekonomian.

Untuk mencapai kemanfaatan yang maksimal dari kegiatan perbankan

maka terbentuk suatu sistem perbankan yang berlaku secara umum dan

menyeluruh, yaitu sifat serta fungsi pokok dari kegiatan bank yang hampir sama.

Dengan kata lain, terdapat keterkaitan kehidupan dan kegiatan bank secara global

yang melewati batas-batas negara, sehingga tidak terbatas dalam suatu lingkup

wilayah negara tertentu, tetapi secara luas meliputi kehidupan perekonomian

dunia.

Indonesia memiliki kekhasan karakteristik corak perbankan yang sedikit

berbeda dengan corak perbankan yang lazim di negara lain, tetapi secara umum

(10)

belahan dunia manapun. Kekhasan ini dipengaruhi oleh ideologi Pancasila dan

tujuan negara yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Adapun kekhasan tersebut terlihat jelas dalam kehidupan

perbankan Indonesia, diantaranya:

1. Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi

ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utamanya adalah

sebagai penghimpun dan pengatur dana masyarakat dan bertujuan menunjang

pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,

pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan

kesejahteraan rakyat banyak.

2. Perbankan Indonesia sebagai sarana untuk memelihara kesinambungan

pelaksanaan pembangunan nasional, juga guna mewujudkan masyarakat

Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelaksanaan perbankan

Indonesia harus banyak memperhatikan keserasian, keselarasan, dan

keseimbangan unsur-unsur Trilogi Pembangunan.

3. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya

kepada masyarakat tetap harus senantiasa bergerak cepat guna menghadapi

tantangan-tantangan yang semakin berat dan luas, baik dalam perkembangan

perekonomian nasional maupun internasional.1

Perbankan yang didasarkan kepada demokrasi ekonomi memiliki arti

bahwa masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan perbankan,

(11)

sedangkan pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia, bertindak memberikan

arahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan dunia perbankan sekaligus

menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangannya.

Mengingat peranannya maka dalam rangka mencapai tujuan pembangunan

nasional, sehingga sangat wajar apabila terhadap lembaga perbankan tersebut

pemerintah mengadakan pembinaan dan pengawasan yang ketat. Semuanya itu

didasari oleh landasan pemikiran agar lembaga perbankan di Indonesia mampu

berfungsi secara efisien, sehat, wajar, serta mampu melindungi secara baik dana

yang dititipkan masyarakat kepadanya, serta mampu menyalurkan dana

masyarakat tersebut ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran

pembangunan.

Dalam perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang

senantiasa bergerak cepat disertai banyaknya dan bervariasinya tantangan yang

dihadapi, sehingga perlu untuk diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional

dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Untuk itu perbankan nasional

perlu diperkuat dengan landasan hukum yang dibutuhkan bagi terselenggaranya

pembinaan dan pengawasan yang mendukung peningkatan kemampuan

perbankan dalam menjalankan fungsinya secara sehat, wajar dan efisien, sekaligus

memungkinkan perbankan nasional melakukan penyesuaian yang diperlukan

sejalan dengan berkembangnya norma-norma perbankan secara internasional.

Ada dua sisi penting yang selalu mengikuti perkembangan industri

perbankan dewasa ini, yaitu:

(12)

2. Peranan industri perbankan dalam memacu pertumbuhan ekonomi di suatu

negara.

Sehingga tidak dapat disangkal bahwa kegiatan usaha perbankan selain

pengaruhnya atas pertumbuhan perekonomian, juga selalu melekat atau

terkandung aspek-aspek hukum, baik sebagai dasar aktivitas dari kegiatan

operasional bank itu sendiri, maupun sebagai akibat yang ditimbulkan oleh karena

aktivitas tersebut.

Kegiatan-kegiatan operasional bank, baik dalam usaha menghimpun dana

dari masyarakat maupun mengelola dana, menanam kembali dana tersebut kepada

masyarakat, sampai dana tersebut kembali lagi kepada bank, senantiasa terpaut

dengan ketentuan hukum. Oleh karena itu, seiring dengan semakin meningkat dan

berkembangnya kegiatan usaha perbankan, peranan bidang hukum dalam

mendukung keberhasilan kegiatan itupun semakin dirasakan penting.2

Dalam hal menjalankan roda perekonomian tersebut maka diperlukan

suatu lembaga sebagai perantara atau sebagai jembatan untuk mempertemukan Keperluan akan dana dalam kehidupan masyarakat sehari-hari untuk

menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi

terdapat masyarakat yang kelebihan dana namun tidak memiliki kemampuan

untuk mengusahakannya. Sedangkan di sisi lain ada pula masyarakat lain yang

memiliki kemampuan dan keinginan untuk berusaha tetapi memiliki hambatan

yakni tidak memiliki dana yang cukup atau bahkan tidak memiliki dana sama

(13)

dua pihak yang kelebihan dana dengan kekurangan dana. Di sinilah bank berperan

sebagai Financial Intermediary yang akan bertindak sebagai kreditur yang

menyediakan dana bagi mereka yang kekurangan dana yang dalam hal ini disebut

sebagai debitur. Sehingga terbentuklah suatu perjanjian utang-piutang atau

pemberian kredit.

Pemberian kredit pada umumnya dapat diberikan kepada siapa saja yang

memiliki kemampuan untuk itu yakni dengan melalui suatu perjanjian

utang-piutang. Apabila perjanjian tersebut telah disepakati maka akan lahir kewajiban

pada kreditur, yaitu untuk menyerahkan dana atau uang yang diperjanjikan kepada

debitur dengan hak menerima kembali uang tersebut dari debitur sesuai pada

waktu yang telah ditentukan dengan disertai bunga yang disepakati oleh para

pihak pada saat perjanjian pemberian kredit tersebut disetujui dan ditandatangani

oleh kedua belah pihak.

Hak dan kewajiban debitur adalah bertimbal balik dengan hak dan

kewajiban kreditur. Selama proses pemberian kredit tidak mengalami masalah

yakni kedua belah pihak dalam pemberian kredit tersebut tidak melalaikan hak

dan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan maka tidak akan muncul

persoalan.

Pada umumnya persoalan tersebut dapat timbul apabila debitur lalai

mengembalikan uang pinjaman pada saat yang telah ditentukan. Jika hal tersebut

terjadi maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata menentukan

bahwa semua kebendaan yang menjadi milik seseorang, baik yang sudah ada

(14)

Sehingga dalam pemberian kredit itu sendiri dibuat pula suatu perjanjian

tambahan yakni yang menentukan suatu jaminan dari debitur sebagai upaya

antisipatif bagi kreditur apabila debitur lalai melaksanakan kewajibannya.

Dalam suatu perjanjian utang-piutang memerlukan lebih dari sekedar janji

untuk melaksanakan atau memenuhi kewajibannya. Untuk itu ilmu hukum dan

peraturan perUndang-Undangan yang ada telah menciptakan dan melahirkan serta

mengundangkan dan memberlakukan jaminan dalam bentuk kebendaan dan

apabila debitur lalai melaksanakan kewajibannya sesuai dengan jangka waktu

yang telah ditentukan maka kreditur berhak untuk menggunakan jaminan

kebendaan tersebut, misalnya dengan menjual benda yang dijaminkan tersebut

sebagai bentuk pelunasan utang dari debitur.

B. Perumusan Masalah

Dalam skripsi ini, yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana urgensi jaminan dalam pemberian kredit.

2. Bagaimana kedudukan perjanjian kredit dalam penyaluran dana oleh bank.

3. Bagaimana kedudukan benda tidak bergerak sebagai jaminan dalam perjanjian

kredit.

C. Keaslian Penulisan

Skripsi ini pembahasannya dikhususkan untuk membahas tentang

(15)

Disamping itu juga membahas tentang urgensi jaminan dalam pemberian kredit

serta mengenai kredit sebagai bentuk penyaluran dana oleh bank.

Adapun setelah dilakukan penelusuran perpustakaan serta hasil

pembahasan skripsi yang sudah ada maupun sedang dilakukan ternyata belum

pernah dilakukan pembahasan skripsi mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap

Kedudukan Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana urgensi jaminan dalam pemberian kredit.

2. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan perjanjian kredit dalam penyaluran

dana oleh bank.

3. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan benda tidak bergerak sebagai

jaminan dalam perjanjian kredit.

E. Tinjauan Kepustakaan

Agar tidak terjadi kesalahan penafsiran dalam pemahaman skripsi ini,

maka penulis menguraikan pengertian dari skripsi yang berjudul “Tinjauan

Yuridis Terhadap Kedudukan Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam

Perjanjian Kredit. Adapun yang menjadi kata kunci dalam skripsi ini adalah

benda tidak bergerak dan jaminan dalam perjanjian kredit.

1. Pengertian Benda Tidak Bergerak

(16)

yakni: segala yang ada di alam yang berwujud atau berjasad (bukan roh); zat (mis.

air, minyak); barang yang berharga (sebagai kekayaan); harta; barang. Dalam

skripsi ini akan lebih membahas tentang benda tidak bergerak. Menurut Prof.

Subekti, SH, benda tidak bergerak berarti benda yang tidak bergerak karena

sifatnya, karena tujuan pemakaiannya, dan karena ditentukan demikian oleh

Undang-Undang. Benda tidak bergerak karena sifatnya meliputi tanah, termasuk

segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam

atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu.3

2. Pengertian Jaminan Dalam Perjanjian Kredit

Menurut Hasanuddin Rahman, jaminan adalah tanggungan yang diberikan

oleh debitur atau pihak ketiga kepada kreditur, karena pihak kreditur mempunyai

suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu

perikatan.4

a. Jaminan yang diberikan kepada kreditur yaitu hak kebendaan atau hak

perseorangan. Hak kebendaan dapat berupa benda berwujud maupun benda

tidak berwujud ataupun dapat pula benda bergerak dan benda tidak bergerak.

Sedangkan hak perseorangan adalah penanggungan utang yang diatur dalam

Pasal 1820-1850 KUHPerdata.

Sehingga dari pengertian tersebut dapat pula disimpulkan bahwa:

b. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut dapat diberikan oleh debitur

sendiri maupun pihak ketiga.

(17)

keamanan dan kepentingan kreditur yang terlebih dahulu diadakan dengan

suatu perikatan yang khusus yang mana perikatan tersebut bersifat accesoir.

Akan tetapi pengertian jaminan itu sendiri tidak ada ditemukan dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, namun dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 terdapat dalam Pasal 8 disebutkan bahwa

dalam pemberian kredit, bank umum wajib mempunyai kepastian atas

kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan

yang diperjanjikan.

Adapun KUH Perdata juga tidak menyebutkan pengertian jaminan namun

dalam Pasal 1131 disebutkan bahwa:

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak

bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,

menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.”

Adapun keberadaan jaminan kredit merupakan salah satu syarat yang

penting dan bertujuan untuk memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit.

Sehingga jaminan kredit berfungsi untuk menjamin pelunasan utang debitur bila

debitur ingkar janji atau wanprestasi. Maka jaminan kredit akan memberikan

jaminan kepastian hukum kepada pihak bank bahwa kreditnya akan tetap kembali

dengan cara mengeksekusi jaminan kredit perbankannya.

Jaminan kredit bank dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi

berdasarkan sudut pandang tertentu, misalnya cara terjadinya, sifatnya, kebendaan

yang dijadikan objek jaminan, dan lain sebagainya.

(18)

Jaminan karena undang-undang adalah jaminan yang dilahirkan atau

diadakan oleh, seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi (pasal

1132 dan pasal 1134 ayat (1) KUHPerdata). Sedangkan jaminan karena

perjanjian adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan oleh perjanjian yang

diadakan para pihak sebelumnya, seperti gadai, hipotik, hak tanggungan, dan

fidusia.

b. Jaminan umum dan jaminan khusus

Pada prinsipnya, menurut hukum segala harta kekayaan debitur akan menjadi

jaminan bagi perutangannya dengan semua kreditur. Pada pasal 1131

KUHPerdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang

bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang

abru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala

perikatannya perseorangan. Ini berarti seluruh harta kekayaan milik si debitur

akan menjadi jaminan pelunasan atas utang debitur kepada semua kreditur.

Kekayaan debitur dimaksud meliputi kebendaan bergerak maupun benda

tetap, baik yang sudah ada pada saat perjanjian utang piutang diadakan

maupun yang baru yang akan ada di kemudian hari yang akan menjadi milik

debitur setelah perjanjian utang piutang diadakan. Dengan demikian, tanpa

kecuali seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan umum atas

pelunasan perutangannya, baik yang telah diperjanjikan maupun tidak

diperjanjikan sebelumnya. Jaminan umum ini dilahirkan karena

(19)

Akan tetapi, jaminan umum ini dalam praktek perkreditan dianggap

tidak memuaskan kreditur, yakni kurang menimbulkan rasa aman dan

terjamin bagi kredit yang diberikan. Dengan jaminan umum tersebut, kreditur

tidak mengetahui secara persis berapa jumlah harta kekayaan debitur yang

ada sekarang dan yang akan ada dikemudian hari, serta kepada siapa saja

debitur itu berutang, sehingga khawatir hasil penjualan harta kekayaan

debitur nantinya tidak cukup untuk melunasi utang-utangnya. Sehingga

kreditur memerlukan adanya benda-benda tertentu yang ditunjuk secara

khusus sebagai jaminan piutangnya dan itu hanya berlaku bagi si kreditur

tersebut. Dengan kata lain diperlukan adanya jaminan yang dikhususkan

baginya baik yang bersifat kebendaan maupun perorangan. Jaminan khusus

ini timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan

debitur.

Karena jaminan umum ini dianggap kurang menguntungkan bagi

kreditur maka diperlukan penyerahan harta kekayaan tertentu untuk diikat

secara khusus sebagai jaminan pelunasan utang debitur, sehingga kreditur

yang bersangkutan mempunyai kedudukan yang diistimewakan atau

didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya dalam hal pelunasan

utangnya. Jaminan ini akan memberikan perlindungan kepada kreditur dan di

dalam perjanjiannya akan diterangkan pula mengenai hal ini.

c. Jaminan kebendaan dan jaminan perseorangan

Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak

(20)

langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa

pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan (misalnya gadai,

hipotik). Sedangkan jaminan perseorangan adalah jaminan yang

menimbulkan hubungan langsung pada perseorangan tertentu, hanya dapat

dipertahankan pada debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur

umumnya (misalnya borgtocht). Selain sifat-sifat tersebut, yang membedakan

hak kebendaan dari hak perseorangan adalah asas prioriteit yang dikenal pada

hak kebendaan dan asas kesamaan pada hak perseorangan.

d. Jaminan pokok, jaminan utama dan jaminan tambahan

Kredit tersebut diberikan kepada debitur berdasarkan “kepercayaan” dari

kreditur terhadap kesanggupan pihak debitur untuk membayar utangnya

kelak. Karena dalam hukum diberlakukan diberlakukan suatu prinsip bahwa

“kepercayaan” tersebut dipandang sebagai jaminan pokok dari pembayaran

kembali utang-utangnya kelak. Sementara jaminan-jaminan lainnya yang

bersifat kontraktual, seperti hak tanggungan atas tanah, gadai, hipotik, fidusia,

dan sebagainya hanya dipandang sebagai “jaminan tambahan” semata-mata,

yakni tambahan atas jaminan utamanya berupa jaminan atas barang yang

dibiayai dengan kredit tersebut.

e. Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak

Pembebanan jaminan kredit didasarkan pada objek bendanya. Kalau yang

dijadikan jaminan adalah tanah, maka pembebanannya adalah dengan

(21)

dengan menggunakan hipotik. Sementara itu, kalau yang dijadikan jaminan

adalah benda bergerak, maka pembebanannya dengan menggunakan gadai,

fidusia, cessie dan account receivable.

f. Jaminan regulatif dan jaminan non regulatif

Jaminan regulatif adalah jaminan kredit yang kelembagaannya sendiri sudah

diatur secara eksplisit dan sudah mendapat pengakuan dari peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Yang tergolong dalam jaminan regulatif

antara lain adalah hipotik, gadai, hak tanggungan, akta pengakuan utang.

Sedangkan jaminan non regulatif adalah bentuk-bentuk jaminan yang tidak

diatur atau tidak khusus diatur dalam berbagai peraturan

perundang-undangan, tetapi dikenal dan dilaksanakan dalam praktek. Jaminan non

regulatif ini ada yang berbentuk jaminan kebendaan seperti pengalihan

tagihan dagang, pengalihan tagihan asuransi, tetapi ada juga jaminan non

regulatif yang semata-mata hanya bersifat kontraktual, seperti kuasa menjual

dan lain-lainnya.

g. Jaminan konvensional dan jaminan non konvensional

Jaminan konvensional adalah jaminan yang pranata hukumnya sudah lama

dikenal dalam sistem hukum kita, baik yang telah diatur dalam

undangan, hukum adat maupun yang tidak diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang bukan berasal dari hukum adat, tetapi sudah lama

dilaksanakan dalam praktek, seperti hipotik, hak tanggungan, gadai barang

bergerak, gadai tanah, fidusia, garansi, dan akta pengakuan utang. Sementara

(22)

yang eksistensinya dalam sistem hukum jaminan yang masih terbilang baru

sungguhpun sudah dilaksanakan secara meluas, sehingga pranatanya belum

sempat pula diatur secara rapi, antara lain seperti pengalihan hak tagih debitur

(assignment of receivable for security purpose), pengalihan hak tagih klaim

(assignment of insurance proceeds), kuasa menjual, dan jaminan menutupi

kekurangan biaya (cash deficiency).5

Pemberian kredit oleh bank kepada debitur, pada pelaksanaannya terdapat

resiko terjadinya kredit bermasalah. Kredit bermasalah atau Non Performing Loan

ini terjadi ketika terdapat kemacetan dalam pemberian kredit tersebut. Adapun

dalam ketentuan Himbara (Himpunan Bank-Bank Negara) terkait penyelesaian

kredit macet terdapat tiga ukuran yang dipergunakan, meliputi: kriteria

debiturnya, besarnya keringanan yang diberikan, serta ketentuan bagi debitur yang

masih dalam masa transisi.6

1. Kredit Lancar (pass),

Penggolongan kualitas kredit menurut SK Direktur Bank Indonesia Nomor

30/267/KEP/DIR pada Pasal 4 terdiri atas:

2. Kredit Dalam Perhatian Khusus (special mention),

3. Kredit Kurang Lancar (substandard),

4. Kredit Diragukan (doubtful), dan

(23)

Adapun kriteria sebagai kredit macet apabila terdapat tunggakan angsuran

pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari; atau kerugian operasional

ditutup dengan pinjaman baru; atau dari segi hukum maupun kondisi pasar,

jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. Pengecualian terhadap kriteria

tersebut apabila kredit dinilai mengandung aspek pidana oleh instansi berwenang.

Penanganan kredit bermasalah sebelum diselesaikan secara yudisial

dilakukan melalui penjadwalan (rescheduling), persyaratan (reconditioning), dan

penataan kembali (restructuring). Penanganan dapat melalui salah satu cara

ataupun gabungan dari ketiga cara tersebut. Setelah ditempuh dengan cara tersebut

dan tetap tidak ada kemajuan penanganan, selanjutnya diselesaikan secara

yudisial/litigasi melalui jalur pengadilan, pengadilan Niaga, melalui PUPN, dan

melalui Lembaga Paksa Badan.7

7

Disinilah barang jaminan tersebut berperan

dalam pemberian kredit yakni digunakan sebagai pelunasan pembayaran kredit

macet tersebut oleh debitur.

Dengan demikian, dalam praktek perbankan khususnya dalam pemberian

kredit, jaminan sangatlah berperan penting untuk memperkecil resiko dalam hal

pelunasan utang debitur.

F. Metode Penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian untuk penulisan skripsi

ini adalah metode penelitian kepustakaan.

(24)

Bahan atau Materi penelitian dalam penyelesaian skripsi ini yakni dengan

melaksanakan penelitian kepustakaan dengan penelusuran data-data objektif yang

berhubungan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder berupa

penelusuran, penelahaan dan pengutipan bahan-bahan di kepustakaan yang

berhubungan dengan judul untuk menjelaskan permasalahan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu:

1. Bab I. Pendahuluan.

Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang

penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Benda

Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit”, permasalahan,

keaslian penulisan skripsi, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, tinjauan pustaka,

metode penelitian serta sistematika penulisan.

2. Bab II. Urgensi Jaminan Dalam Pemberian Kredit .

Dalam bab ini diuraikan mengenai defenisi jaminan, jenis-jenis jaminan

dan fungsi jaminan dalam perjanjian kredit serta pengikatan jaminan atas benda

bergerak dan benda tidak bergerak.

3. Bab III. Kredit Sebagai Bentuk Penyaluran Dana Oleh Bank.

(25)

Undang-dalam perbankan, tujuan dan fungsi kredit, serta mengenai perjanjian kredit itu

sendiri.

4. Bab IV. Kedudukan Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam

Perjanjian Kredit.

Bab ini akan membahas mengenai pengaturan benda tidak bergerak dalam

KUHPerdata, penilaian (valuasi) jumlah nominal harga jaminan atas benda tidak

bergerak, hak-hak para pihak dalam pengikatan benda tidak bergerak sebagai

jaminan dalam perjanjian kredit, serta mengenai fungsi jaminan dalam

penyelesaian kredit bermasalah.

5. Bab V. Kesimpulan dan Saran.

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari seluruh

bab-bab yang terdapat dalam penulisan skripsi ini sebagai jawaban dari

permasalahan dan kemudian dibuat saran-saran yang merupakan sumbangan

pemikiran penulis terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam skripsi

(26)

BAB II

URGENSI JAMINAN DALAM PEMBERIAN KREDIT

A.Defenisi Jaminan

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu zekerheid

atau cautie. Zekerheid atau cautie ini mencakup secara umum cara-cara kreditur

menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggungjawaban umum debitur

terhadap barang-barangnya. Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan agunan.

Istilah agunan ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 tentang Perbankan. Agunan adalah:

“Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.”

Agunan dalam konteks ini merupakan jaminan tambahan (accessoir).

Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini

diserahkan oleh debitur kepada bank. Unsur-unsur agunan ini meliputi:

1. Jaminan tambahan;

2. diserahkan oleh debitur kapada bank;

3. untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan.8

Pada pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam penjelasan

(27)

sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan

yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut jaminan pemberian kredit dalam

arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi

utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus

diperhatikan oleh bank.9

1. Jaminan yang bersifat umum, yaitu jaminan yang diberikan debitur kepada

setiap kreditur, hak-hak tagihan mana tidak mempunyai hak saling

Untuk memperoleh keyakinan dalam pemberian kredit kepada debitur,

maka sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama

terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur.

Karena agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit maka jika

berdasarkan unsur-unsur lain dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur

untuk mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek atau

hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkut an.

Dengan demikian, jaminan tersebut dapat berarti material maupun

immaterial. Hal ini diperkuat dengan melihat ketentuan pasal 1131 KUHPerdata

yang menentukan bahwa segala kebendaan pihak yang berutang baik yang

bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada

di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) asas pemberian jaminan jika ditinjau dari

sifatnya, yakni:

9

(28)

mendahului (konkuren) antara kreditur yang satu dengan kreditur yang

lainnya.

2. Jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur

kepada kreditur, hak-hak tagihan mana mempunyai hak mendahului sehingga

ia berkedudukan sebagai kreditur privilege (hak preverent).

Yang dimaksud dengan jaminan itu sendiri adalah tanggungan yang

diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur

memiliki suatu kepentingan bahwa debitur harus memiliki kewajibannya dalam

suatu perikatan. Dari pengertian ini dapat dikemukakan bahwa:

a. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, baik berupa hak kebendaan

maupun hak perorangan. Hak kebendaan ini berupa benda berwujud dan

benda tak berwujud, benda bergerak maupun benda tidak bergerak.

Sedangkan hak perorangan adalah penanggungan utang, yang diatur dalam

pasal 1820-1850 KUHPerdata.

b. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, dapat diberikan oleh debitur

sendiri maupun oleh pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau

penanggung. Jaminan perorangan atau penanggungan utang selalu diberikan

oleh pihak ketiga kepada kreditur. Penanggungan tersebut diberikan baik

dengan sepengetahuan atau tanpa sepengetahuan debitur yang bersangkutan.

c. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, untuk keamanan dan

(29)

perikatan tersebut bersifat accesoir dari Perjanjian Kredit atau Pengakuan

Utang yang diadakan antara debitur dengan kreditur.10

Pentingnya keberadaan jaminan dalam pemberian kredit oleh bank ini

tidak lain adalah suatu upaya dalam mengantisipasi resiko yang mungkin timbul

dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit tersebut.

Adapun dalam pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia

Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 2001 tentang Jaminan Pemberian

Kredit, menyebutkan pengertian jaminan dalam pemberian kredit yakni keyakinan

bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang

diperjanjikan.11 Dengan demikian jaminan kredit itu merupakan hak dan

kekuasaan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur/bank guna menjamin

pelunasan utangnya apabila kredit yang diterimanya tidak dapat dilunasi sesuai

waktu sebagaimana ditentukan dalam perjanjian kredit.12

1. Jaminan Perorangan

B. Jenis-Jenis Jaminan

Dalam praktik perbankan khususnya dalam pemberian kredit, pada

umumnya jenis-jenis jaminan terdiri dari:

Jaminan perorangan (Personal Guarantee) adalah jaminan berupa

pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seseorang pihak ketiga, guna

10

Ibid, hal 162. 11

Drs. Muhamad Djumhana,S.H, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 510

12

(30)

menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur

apabila debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).

Namun saat ini, bukan saja jaminan perorangan yang dikenal tetapi bank

sudah sering menerima jaminan serupa yang diberikan oleh perusahaan yang

dikenal dengan istilah Corporate Guarantee.

Adapun jaminan ini pada dasarnya adalah penanggungan utang yang

pengaturannya dalam KUHPerdata terdapat dalam pasal 1820 sampai dengan

pasal 1850 (termasuk pula pasal 1316).

Pada pasal 1820 KUHPerdata memberikan pengertian penanggungan

utang sebagai suatu persetujuan dengan mana seseorang pihak ketiga, guna

kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si

berutang, manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.

Dari pengertian tersebut dapat ditemukan unsur-unsur dalam suatu

penanggungan utang, yaitu:

a. Adanya hubungan utang piutang (antara si berutang dengan si berpiutang);

b. Disepakatinya persetujuan penanggungan utang dengan masuknya pihak

ketiga (penanggung) dalam hubungan hukum tersebut diatas;

c. Masuknya pihak ketiga dinyatakan dalam suatu persetujuan yang berisi

kesanggupan penanggung untuk memenuhi perikatan debitur jika ia

melakukan wanprestasi.

Demi kepentingan bank, apabila penanggungan utang ini diterima sebagai

(31)

yang merugikan dan tidak diinginkan maka bank haruslah memperhatikan

hal-hal sebagai berikut:

a. Perjanjian penanggungan utang adalah perjanjian accesoir, artinya harus

ada perjanjian utang piutang yang diikutinya. Sebagaimana diatur dalam

pasal 1821 ayat 1 KUHPerdata, yang menegaskan bahwa tiada

penanggungan jika tidak ada perikatan pokok yang sah. Dalam hal ini

sekaligus berarti kualitas dari perjanjian utang piutang haruslah

benar-benar sempurna tanpa cacat sedikitpun, karena cacatnya perjanjian utang

piutang akan berpengaruh terhadap cacatnya pula penanggungan utang

sebagai perjanjian accesoir.

b. Apabila penanggungan utang tersebut adalah Personal Guarantee, atau

dengan kata lain penaggung utang (guarantor)- nya adalah perorangan,

maka diperlukan persetujuan istri (atau bantuan suami) dalam melakukan

perjanjian penanggungan utang tersebut. Filosofinya terletak pada pasal

1826 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perikatan-perikatan papra

penanggung berpindah kepada ahli warisnya.

c. Apabila penanggungan utang tersebut adalah Corporate Guarantee, atau

dengan kata lain penanggung utang (guarantor)-nya adalah perusahaan

(biasanya Perseroan Terbatas), maka yang pertama-tama harus

diperhatikan dalah Anggaran Dasar/Akta Pendirian Perseroan, tentang

siapa-siapa yang berhak mewakili perseroan tersebut.

d. Dalam perjanjian penanggungan utang, hendaknya dimasukkan klausula

(32)

hak-hak istimewanya yang diatur dalam KUHPerdata, sehingga kreditur (bank)

dapat juga menagih si penanggung tanpa adanya kewajiban menagih

terlebih dahulu si berutang (debitur). Mengenai hal ini pengaturannya

dimuat pada pasal 1831 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa si

penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang,

selainnya jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang lebih

dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Sedangkan pada pasal

1832 antara lain menyebutkan pengecualiannya bahwa si penanggung

tidak dapat menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita

dan dijual untuk melunasi utangnya, apabila ia telah melepaskan hak

istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu

disita dan dijual.

e. Debitur tidak dibenarkan menjadi penanggung utang (guarantor), baik

berupa Personal Guarantee maupun Corporate Guarantee. Filosofinya,

bahwa debitur atau orang yang berutang, secara yuridis formal menjadikan

seluruh harta bendanya – baik yang sudah ada maupun yang akan ada

dikemudian hari – menjadi jaminan atas utang-utangnya (pasal 1131

KUHPerdata).

f. Apabila diadakan tambahan kredit dan atau perpanjangan masa perjanjian

kredit atau utang piutang, yang dijamin oleh penanggungan utang, maka

haruslah dengan sepengetahuan dan persetujuan penanggung utang

(33)

1. Bahwa setiap utang yang dijamin oleh guarantor, harus diketahui

olehnya, sehingga tidak akan ada sangkalan mengenai adanya

perubahan struktur kredit tersebut, karena ia pun ikut mengetahui dan

menyetujuinya;

2. Bahwa setiap perubahan perikatan pokoknya, maka secara yuridis

formal perjanjian yang mengikutinya harus pula diubah sesuai dengan

perikatan pokoknya;

3. Tidaklah diperbolehkan untuk memperluas penanggungan utang hingga

melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat sewaktu

mengadakannya (pasal 1824 KUHPerdata).

2. Jaminan Kebendaan

Jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan, baik benda

maupun hak kebendaan, yang diberikan dengan cara pemisahan bagian dari

harta kekayaan baik dari si debitur maupun dari pihak ketiga, guna menjamin

pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur apabila

debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).

Menurut sifatnya, jaminan kebendaan ini terbagi atas 2 (dua), yaitu:

jaminan dengan benda berwujud (material) dan jaminan dengan benda tidak

berwujud (immaterial).

Benda berwujud, dapat berupa benda/barang bergerak dan atau barang

tidak bergerak. Sedangkan benda tidak berwujud yang lazim diterima bank

sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih.

(34)

dapat berupa kendaraan bermotor, logam mulia, stok barang, dan sebagainya

yang dapat dinilai baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sedangkan

barang tidak bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank,

dapat berupa tanah, bangunan, kapal berukuran 20 meter kubik keatas, dan

lain-lain termasuk mesin-mesin pabrik yang melekat dengan tanah.

Pembagian barang bergerak dan tidak bergerak tersebut diatur dalam

ketentuan pasal 506 sampai dengan pasal 518 KUHPerdata.13

a. Tanah dan Bangunan

Dalam skripsi ini akan lebih diutamakan jaminan kredit yaitu berupa

barang tidak bergerak.

Adanya kenyataan bahwa tanah-tanah dan benda-benda khususnya

bangunan di atasnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan, maka apabila bank akan menerima tanah sebagai jaminan

kredit, maka benda-benda yang berada di atas tanah tersebut harus diminta

pula sebagai jaminan atas kredit tersebut. Dalam prakteknya, benda-benda

tersebut biasanya adalah bangunan, baik rumah maupun kantor yang

digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang dibiayai.

Untuk menerima tanah sebagai jaminan kredit, haruslah dilihat jenis

hak atas tanah tersebut. Pentingnya mengetahui jenis hak atas tanah yang

akan dijaminkan tersebut, adalah agar dapat dinilai dengan benar serta

dapat mengantisipasi resiko-resiko yang mungkin timbul dikemudian hari,

(35)

Jenis-jenis hak atas tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria

(UUPA) tersebut meliputi:

1. Hak Milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang daapt

dipunyai orang atas tanah, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak

lain, serta dengan mengingat bahwa semua hak atas tanah mempunyai

fungsi sosial.

2. Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan

pertanian, perikanan, atau peternakan dan diberikan atas tanah yang

luasnya paling sedikit 5 hektar serta dapat beralih dan dialihkan kepada

pihak lain.

3. Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai

bangunan-bangunan atas tanah yang bukan milik sendiri dengan jangka

waktu paling lama 30 tahun dan jangka waktu tersebut dapat

diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun serta dapat beralih

dan dialihkan kepada pihak lain.

4. Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari

tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain

yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam

keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan

atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian

(36)

tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan

undang-undang ini.

5. Hak Sewa, yaitu hak untuk mempergunakan tanah milik orang lain

untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya

sejumlah uang sebagai sewa.

6. Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan, yaitu hak-hak yang

hanya dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan diatur oleh

Peraturan Pemerintah.

7. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang

akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya

sementara, seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan

hak sewa tanah pertanian.14

Berdasarkan hak-hak yang disebutkan diatas maka untuk pengamanan

atas jaminan kredit, bank seyogianya hanya akan mempertimbangkan

untuk menerima Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan

sebagai jaminan kredit. Hal ini dengan melihat bahwa hanya ketiga jenis

hak tersebut yang secara tegas disebutkan kemungkinan dapat beralih dan

dialihkan.

Namun demikian, melihat perkembangan dan persaingan antar bank

saat ini, tidak sedikit bank yang berani menerima jenis hak atas tanah

tersebut, bahkan terhadap tanah-tanah yang tidak jelas kepemilikannya,

(37)

formal, bank akan menghadapi banyak resiko apabila menerima tanah

yang tidak jelas jenis hak dan status kepemilikannya.

b. Kapal

Kapal adalah semua perahu, dengan nama apapun, dan dari macam

apapun juga, kecuali apabila ditentukan atau diperjanjikan lain, maka

kapal itu dianggap meliputi segala alat perlengkapannya. Yang dimaksud

alat perlengkapan kapal adalah segala benda yang bukan suatu bagian

daripada kapal itu sendiri, namun diperuntukkan untuk selamanya dipakai

tetap dengan kapal itu (pasal 309 KUHDagang).

Kapal laut adalah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran di laut

atau yang diperuntukkan untuk itu (pasal 310 KUHDagang).

Kapal Indonesia adalah setiap kapal yang dianggap sebagai demikian

oleh undang-undang tentang surat-surat kapal dan pas-pas kapal (pasal 311

KUHDagang).

Sebuah kapal yang telah dibuat atau sedang dibuat di Indonesia,

dianggap sebagai kapal Indonesia, hingga saat diserahkannya kapal itu

oleh si pembuat kepada si oranglah atas tanggungan siapa kapal itu telah

atau sedang dibuat, atau saat kapal itu dipakainya sendiri oleh si pembuat

guna suatu pelayaran (pasal 312 KUHDagang).

Dari pengertian-pengertian diatas maka apabila bank akan menerima

kapal sebagai jaminan kredit, bank harus melihat apakah kapal tersebut

(38)

Kapal, yang dikeluarkan oleh negara atau pemerintah, tempat dimana asal

kebangsaan kapal tersebut.

Adapun untuk kepentingan pembebanan hak tanggungan atau perikatan

jaminan kapal, maka secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu

kapal yang berukuran kurang dari 20 meter kubik, dan kapal yang

berukuran 20 meter kubik atau lebih (sesuai ketentuan pasal 314

KUHDagang). Untuk kapal yang berukuran 20 meter kubik atau lebih,

haruslah memiliki Grosse Akta Pendaftaran Kapal yang dikeluarkan oleh

syahbandar, surat laut, dan pasa kapal tahunan. Sedangkan untuk

kapal-kapal lainnya, perlu dimintakan surat ukur kapal-kapal, surat keterangan layak

jalan, dan surat izin perjalanan dalam negeri.

Diterimanya suatu kapal sebagai jaminan dalam pemberian kredit maka

memerlukan suatu monitoring yang optimal dari pihak bank sebagai

pemberi kredit guna meminimalkan resiko yang mungkin timbul atas

barang jaminan tersebut. Sehingga harus sangat diperhatikan beberapa hal

yang menyangkut tentang kapal dalam menjadikannya sebagai jaminan

kredit, seperti kepemilikan kapal, ukuran, dan keadaan fisik kapal

tersebut.15

c. Mesin-mesin

Sama halnya dengan kapal, untuk kepentingan pembebanan hak

tanggungan atau perikatan jaminan mesin-mesin ini, maka secara umum

(39)

melekat dengan tanah sehingga dianggap sebagai benda tetap/tidak

bergerak, dan mesin-mesin yang karena sifatnya dengan mudah dapat

dipindahkan, sehingga dianggap sebagai benda tidak tetap/tidak bergerak.

Selain perbedaan dalam pembebanan hak tanggungan, maka perlakuan

dan persyaratan dalam menerima mesin-mesin tersebut sebagai jaminan,

maka tidak ada perbedaan baik yang dianggap sebagai benda tetap maupun

sebagai benda bergerak.

Dalam hal bank menetapkan mesin-mesin tersebut dapat dijadikan

jaminan kredit atau tidak, maka bank sebagai pemberi kredit harus

memperhatikan kepemilikan dan keadaan fisik dari mesin-mesin tersebut.

Untuk mengetahui kepemilikannya, maka dapat dilihat pada faktur/invoice

atau pada kuitansi pembeliannya.16

1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis;

C. Fungsi Jaminan Dalam Perjanjian Kredit

Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko sehingga bank

dituntut kemampuan dan efektivitasnya dalam mengelola resiko kredit dan

meminimalkan potensi kerugian sehingga bank wajib memerhatikan asas-asas

perkreditan yang sehat, diantaranya:

2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit pada usaha yang sejak semula

telah diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian;

16

(40)

3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan

modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham; atau

4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal

lending limit).17

Asas-asas perkreditan yang sehat ini juga harus sejalan dengan asas-asas

hukum jaminan yang objeknya benda, sebagai berikut:

1. Asas hak kebendaan (real tight)

Sifat hak kebendaan adalah absolut, artinya hak ini dapat dipertahankan pada

setiap orang. Pemegang hak benda berhak menuntut setiap orang yang

mengganggu haknya. Sifat lain dari hak kebendaan adalah drot de suite,

artinya hak kebendaan mengikuti bendanya didalam tangan siapapun dia

berada. Didalam karakter ini terkandung asas hak yang tua didahulukan dari

hak yang muda (droit de preference). Jika beberapa kebendaan diletakkan di

atas suatu benda, berarti kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya.

Sifat kebendaan itu sendiri adalah memberikan wewenang yang kuat kepada

pemiliknya, hak itu dapat dinikmati, dialihkan, dijaminkan, dan disewakan.

2. Asas asesor

Artinya hak jaminan ini bukan merupakan hak yang berdiri sendiri

(zelfstandigrecht), tetapi ada dan hapusnya bergantung (accessorium) kepada

perjanjian pokok.

3. Hak yang didahulukan

(41)

4. Objeknya adalah benda yang tidak bergerak, terdaftar atau tidak terdaftar.

5. Asas asesi

Yaitu perlekatan antara benda yang ada di atas tanah dengan tapak tanahnya.

6. Asas pemisahan horizontal

Yaitu dapat dipisahkan benda yang ada di atas tanah dengan tanah yang

merupakan tapaknya.

7. Asas terbuka

Artinya ada publikasi sebagai pengumuman agar masyarakat mengetahui

adanya beban yang diletakkan di atas suatu benda.

8. Asas spesifikasi/pertelaan dari benda jaminan.

9. Asas mudah dieksekusi.18

Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam

menunjang pembangunan ekonomi. Karena keberadaan lembaga ini dapat

memberikan manfaat bagi kreditur dan debitur. Manfaat bagi kreditur adalah:

1. Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup;

2. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur.19

Bagi debitur dengan adanya benda jaminan itu dapat memperoleh fasilitas

kredit dari bank dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya. Keamanan

modal adalah bahwa kredit atau modal yang diserahkan oleh kreditur kepada

debitur tidak merasa takut atau khawatir tidak dikembalikannya modal tersebut.

Memberikan kepastian hukum adalah memberikan kepastian bagi pihak kreditur

18

Prof. DR. Tan Kamello, S.H, M.S, Hukum Jaminan Fidusia, PT Alumni, Bandung, hal 19-20

19

(42)

dan debitur. Kepastian bagi kreditur adalah kepastian untuk menerima

pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur. Sedangkan bagi debitur adalah

kepastian untuk mengembalikan pokok kredit dan bunga yang ditentukan.

Disamping itu, bagi debitur adalah adanya kepastian dalam berusaha. Karena

dengan modal yang dimilikinya maka dapat mengembangkan bisnisnya lebih

lanjut. Apabila debitur tidak mampu dalam mengembalikan pokok kredit dan

bunga, bank atau pemilik modal dapat melakukan eksekusi terhadap benda

jaminan.

Fungsi jaminan kredit tersebut meliputi:

a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat pelunasan dari

agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar

utangnya kembali pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian;

b. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai

usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya

dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau

sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil;

c. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya

mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah

disetujui agar debitur dan/atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak

kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.20

Sehingga dapat disimpulkan bahwa jaminan kredit bank berfungsi untuk

(43)

kredit akan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak perbankan

bahwa kreditnya akan tetap kembali dengan cara mengeksekusi jaminan kredit

perbankannya.

Untuk melindungi uang yang dikucurkan lewat kredit dari resiko kerugian

tersebut maka pihak perbankan membuat “pagar pengamanan”. Hal ini

dikarenakan dalam kondisi sebaik apapun atau dengan analisis sebaik mungkin,

resiko kredit macet tidak dapat dihindari. Pagar pengamanan yang dibuat biasanya

berupa jaminan yang harus disediakan debitur. Tujuan jaminan ini adalah untuk

melindungi kredit dari resiko kerugian, baik yang disengaja maupun yang tidak

disengaja. Lebih dari itu jaminan yang diserahkan oleh nasabah merupakan beban

sehingga si nasabah akan bersungguh-sungguh untuk mengembalikan kredit yang

diambilnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa jaminan kredit tersebut berfungsi

untuk memberi keamanan bagi pihak perbankan terutama apabila terjadi kredit

macet maka jaminan tersebut dapat dieksekusi untuk menutupi utang debitur

tersebut.21

Untuk kepentingan bank, dalam hal menjamin pengembalian kredit yang

diberikan, maka terhadap jaminan atau agunan yang diserahkan oleh debiturnya,

haruslah dilakukan pengikatan atau pembebanan hak tanggungan. Mengenai

pengikatan jaminan atau lembaga jaminan ini bahwa untuk benda-benda bergerak

dipakai lembaga jaminan fidusia dan atau gadai, dan untuk benda-benda tidak

D. Pengikatan Jaminan atas Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak

21

(44)

bergerak dipakai lembaga jaminan hipotik dan atau dengan pembebanan hak

tanggungan. Kemudian dalam SE BI No. 23/6/UKU tanggal 28 Februari 1991,

disebutkan bahwa pengikatan agunan dilakukan sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.22

1. Pengikatan secara gadai;

Sehingga dengan berlakunya

Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 maka terhadap jaminan benda

tidak bergerak seperti tanah pengikatannya dilakukan menurut ketentuan

undang-undang ini.

Untuk pengikatan jaminan atas benda bergerak, dapat dilakukan dengan

menggunakan 3 (tiga) cara, yaitu:

2. Pengikatan jaminan fidusia;

3. Cessie, yaitu cara penyerahan barang jaminan untuk tagihan-tagihan,

misalnya deposito, simapanan, dan tagihan pada pihak ketiga (pengikatannya

dengan cara gadai).23

Dalam hal pengikatan secara gadai, diatur dalam pasal 1150 sampai

dengan pasal 1160 KUHPerdata. Pengertian gadai ini diatur dalam pasal 1150

KUHPerdata, yakni:

“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu

barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang dan oleh

seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang

itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada

(45)

tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu

digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”

Hal-hal penting mengenai gadai yakni sebagai berikut:

1. Perjanjian gadai merupakan perjanjian tambahan disamping perjanjian

pokoknya (perjanjian pinjam-meminjam uang). Artinya, jika perjanjian

pokoknya hapus, otomatis perjanjian gadai ini hapus pula.

2. Barang yang digadaikan harus berada di bawah kekuasaan kreditur

(pemegang gadai).

3. Kreditur dilarang mengaku barang yang digadaikan menjadi miliknya,

dalam hal debitur tidak membayar atau melunasi utangnya.

4. Jika debitur tidak memenuhi janjinya dalam surat utang/ persetujuan

membuka kredit, kreditur berhak untuk setelah tenggang waktu

pembayaran utang itu lampau, debitur diperingati untuk melunasi

barang gadai itu dimuka umum (lelang). Mengenai barang dagangan

yang dapat dipasarkan di bursa penjualannya dapat dilakukan di tempat

tersebut itu, asalkan dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli

dalam jual beli barang-barang itu.

5. Tanpa persetujuan dari debitur (pemberi gadai), kreditur (pemberi

gadai) dilarang memakai atau mengeksplotir barang yang digadaikan.

Untuk pengikatan jaminan atas benda bergerak dilakukan dengan cara

fdusia yang merupakan bentuk penyimpangan dari gadai, dan timbul karena

kebutuhan dalam praktik dengan maksud agar barang-barang yang dijamin dapat

(46)

Adapun fiducia memiliki kebaikan yakni benda-benda yang dijaminkan

tetap ada pada/dipegang oleh dan atas tanggung jawab debitur yang memegang

sehingga kreditur tidak perlu bersusah payah menyimpan dan

mengurus/memelihara benda-benda itu seperti dalam gadai.24

1. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang

peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas

benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian bangunan di atas milik orang

lain yang tidak dapat dibebani hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Dalam pasal 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999,

telah diberi batasan dan pengertian mengenai fidusia, yaitu fidusia adalah

pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan

bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik

benda. Adapun jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya

bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap

berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia

terhadap kreditur lainnya.

Pada pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia telah diatur mengenai

ruang lingkup jaminan fidusia yang diperjelas dengan pasal 3 Undang-Undang

(47)

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan objek

jaminan fidusia.

2. Hipotik atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua

puluh)M3 atau lebih.

3. Hipotik atas pesawat terbang.

4. Gadai.

Sehingga dapat dikatakan yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda

apapun yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya. Benda itu dapat

berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar,

bergerak maupun tidak bergerak, dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dapat

dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atau hipotik sebagaimana

dimaksud dalam pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang jis pasal 1162,

dst KUHPerdata.25

Sebelum keluarnya Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun

1996, dalam hal pengikatan jaminan atas benda tidak bergerak, dapat dilakukan

dengan cara hipotik dan credit verband. Hak hipotik adalah suatu hak kebendaan

atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi

pelunasan suatu perikatan

26

25

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Rajawali Pers, hal 141 26

Prof. DR. Faisal Affif, SPEC. LIC, Op. Cit, hal.128

. Sedangkan credit verband adalah suatu jaminan atas

tanah berdasarkan STB/1908 No. 542 yang maksudnya adalah untuk memberikan

(48)

jaminan tanah dengan status hak milik adat atau belum bersertifikat.27

a. Berkaitan erat dengan hak jaminan atas tanah

Akan tetapi

dengan dikeluarkannya Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996

maka terhadap benda tak bergerak seperti tanah dan benda-benda yang berkaitan

dengan tanah dalam pengikatannya sebagai jaminan dalam pemberian kredit

dilakukan dengan pembebanan hak tanggungan.

Hak Tanggungan sebenarnya menyangkut tiga aspek sekaligus yaitu berkaitan

erat dengan hak jaminan atas tanah, berkaitan dengan kegiatan perkreditan, dan juga

berkaitan dengan perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait.

Hak tanggungan jika dikaitkan dengan Pasal 4 UUHT maka berakibat sebagai

berikut:

1. Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas hak atas tanah tidak hanya

menyangkut benda-benda yang telah ada saja, tetapi juga benda-benda yang

akan ada (pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan jo. pasal 1175

KUHPerdata).

2. Dimungkinkan pula pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan

hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan

tanah tersebut yang tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah (dimiliki oleh

orang lain) dengan syarat pembebanan hak tanggungan atas benda-benda

tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta

(49)

yang diberi kuasa untuk itu dengan akta otentik (Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 5

UUHT).

b. Berkaitan dengan Kegiatan Perkreditan

Sehubungan dengan kegiatan perkreditan tersebut, maka hak tanggungan adalah

salah satu hak jaminan di bidang hukum yang dapat memberi perlindungan khusus

kepada kreditur dalam kegiatan perkreditan. Oleh karena itu jika dikaitkan dengan

sifatnya, hak tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah sebagai agunan

memberikan kedudukan diutamakan (preference) kepada kreditur. Maka kreditur

yang bersangkutan dapat memperoleh pelunasan atas piutangnya terlebih dahulu

dari kreditur-kreditur lainnya, karena objek hak tanggungan tersebut disediakan

khusus untuk pelunasan piutang kreditur tertentu.

c. Berkaitan dengan Perlindungan Hukum

Hal ini berhubungan dengan masalah perjanjian, hubungan utang-piutang antara

kreditur dengan debitur, dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur

misalnya tidak dapat memenuhi apa yang sudah diperjanjikan atau wanprestasi.28

28

Adapun yang dapat dijadikan objek hak tanggungan harus memenuhi

syarat-syarat antara lain:

a. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin adalah berupa uang.

b. Termasuk hak yang wajib didaftar dalam Daftar Umum karena harus memenuhi

syarat spesialitas dan publisitas.

(50)

c. Mempunyai sifat yang dapat dipindahtangankan karena apabila debitur cidera janji,

benda yang dijadikan jaminan akan dijual dimuka umum.

d. Memerlukan penunjukkan oleh undang-undang.

Maka sesuai dengan syarat diatas objek hak tanggungan sebagaimana tersebut dalam

Pasal 4 jo Pasal 27 Undang-Undang Hak Tanggungan dan Penjelasan Umum angka 5

adalah hak atas tanah dengan status sebagai berikut:

1. Yang ditunjuk oleh UUPA sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) a, b, c sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu: Hak Milik

(Pasal 25), Hak Guna Usaha (Pasal 33), dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39).

2. Yang ditunjuk oleh Undang-Undang Rumah Susun (Pasal 27 Undang-Undang Hak

Tanggungan jo. Pasal 12 dan 13 Undang-Undang Rumah Susun).

3. Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak

Pakai atas Tanah Negara (Pasal 12 ayat (1) a Undang-Undang Rumah Susun jo. Pasal

27 Undang-Undang Hak Tanggungan dan penjelasannya).

4. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri di atas tanah Hak

Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 13a

Undang-Undang Rumah Susun jo. Pasal 27 Undang-Undang-Undang-Undang Hak Tanggungan dan

penjelasannya).

5. Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar

(51)

pada umumnya bank hanya mau menerima benda jaminan dalam konteks tanah

dan benda diatasnya yang telah memiliki sertifikat.

Subjek hak tanggungan menurut Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 Undang-Undang

Hak Tanggungan, baik pemberi maupun pemegang Hak Tanggungan adalah orang

perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan

perbuatan hukum (rechtsbevoegdheid) terhadap objek hak tanggungan yang

bersangkutan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan; sedangkan pemegang

hak tanggungan berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (kreditur).

Adapun untuk benda tak bergerak yang akan dijadikan jaminan dalam

pemberian kredit sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan yang

menyatakan bahwa untuk benda tak bergerak yang tidak dapat bibebankan dengan hak

tanggungan maka pengikatannya sebagai jaminan dilakukan dengan fidusia. Misalnya

rumah susun yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1985 menyatakan

bahwa hak pakai atas rumah susun dapat dijadikan utang dalam hal ini dijadikan jaminan

kredit, dilakukan dengan dibebani fidusia.29

1. Penilaian tidak merugikan bagi bank, apabila barang jaminan dilelang.

Bank sebagai kreditur atau pihak pemberi kredit dalam menetapkan benda

atau barang tersebut dapat dijadikan sebagai jaminan kredit maka perlu

melakukan penilaian terhadap benda atau barang yang kemudian menjadi jaminan

kredit tersebut sebagai upaya antisipatif apabila terjadi kredit macet, yakni dengan

memperhatikan bahwa:

29

(52)

2. Bila bangunan sebagai jaminan, maka bangunan dalam keadaan kosong.

Artinya bila terdapat penghuni yang menyewa atau mengontrak, secara

hukum mereka dilindungi oleh peraturan yang berlaku. Maka nilai bangunan

tersebut, dalam penilaian jaminan, bangunan harus dikurangi uang pesangon

untuk pengosongan rumah, terkecuali penempatan bangunan tersebut berupa

kontrak dengan batas waktu akan berakhir.

3. Memperhitungkan harga tertinggi dan kemudian penaksiran harga terendah.

4. Menentukan Taksiran Harga Lelang Sita (THLS) dari barang jaminan

tersebut (merupakan rata-rata dari penaksiran harga tertinggi dan harga

terendah).

5. Dalam menentukan nilai lebih harus mencakup tagihan bunga, bunga

tunggakan, dan ongkos perkara dengan nilai tertentu dari seluruh tagihan pada

saat penunggakan diajukan ke pengadilan.

6. Memperhitungkan tambahan pengamanan yakni jumlah harga pokok

ditambah dengan jumlah tambahan pengamanan, sehingga akan diperoleh

Taksiran Harga Lelang Sita (THLS). Adapun perhitungan tambahan

pengamanan ini tergantung oleh besarnya suku bunga, lamanya kemungkinan

bunga tertunggak, serta kemungkinan terhutangnya ongkos-ongkos lain yang

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian skripsi ini diperoleh bahwa : 1 Tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor

Hambatan yang muncul dalam penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia di perusahaan daerah BPR Bank Klaten, di antaranya: (a) Barang jaminan

Hasil penelitian menunjukkan kedudukan kreditur pemegang Covernote dalam perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan merupakan kreditur konkuren sampai dengan

Kedua, untuk mengkaji dan menganalisa akibat hukum penjualan jaminan benda bergerak dengan perjanjian jaminan fidusia yang tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran

URGENSI PERAN APPRAISAL DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET PADA PERJANJIAN KREDIT PRODUKTIF DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Dan sebagai hasil dari pengamatan dan penelitian mengenai kedudukan Jaminan Fidusia dan kaitannya dengan peran notaris dalam suatu perjanjian kredit atau perjanjian hutang

7 Sedangkan jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat

Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 1 butir 2 dan butir 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia maka benda tak bergerak yang dapat menjadi objek Jaminan Fidusia adalah benda tak