• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Motivasi Kerja Karyawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Motivasi Kerja Karyawan"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL

TERHADAP MOTIVASI KERJA KARYAWAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

ISNEINI NAMIRA HRP

051301017

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Motivasi Kerja Karyawan

Isneini Namira Hrp dan Emmy Mariatin

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan gaya kepemimpinan

transformasional sebagai prediktor positif bagi komitmen organisasi. Globalisasi

menciptakan ancaman semakin banyaknya persaingan bisnis yang menuntut

perusahaan untuk memiliki sumberdaya manusia yang berkomitmen tinggi. Variable

gaya kepemimpinan transformasional diyakini dapat memberikan sumbangan efektif

dalam meningkatkan komitmen organisasi tersebut.

Penelitian ini melibatkan 80 orang staff PT.Indonesia Asahan Aluminium Power Plant. Metode pengambilan data yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisa regresi linear sederhana. Alat ukur yang digunakan adalah skala komitmen organisasi dengan realibilitas 0.938 dan skala gaya kepemimpinan transformasional dengan realibilitas 0.965. Dari hasil penelitian ini diperoleh rxy = 0.469, R square 0.220 (p<0.05) yang berarti gaya kepemimpinan

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT karena hanya berkat

rahmat dan karunia-Nya peneliti berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Motivasi Kerja Karyawan

PTP N IV Kebun Adolina ”. Salawat dan salam peneliti ucapkan kepada nabi besar

Muhammad SAW yang telah memberikan suri tauladan dalam kehidupan di dunia

dan berketuhanan untuk bekal kehidupan di akhirat kelak.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik

dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis

untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Emmy Mariatin, M.A., PhD., Psikolog selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah sabar membimbing saya selalu mendukung dan memotivasi

saya mengerjakan skripsi ini hingga terselesaikan.

3. Ibu Dra. Elvi Andriani Yusuf, M.Si., psikolog selaku dosen Pembimbing

Akademik sejak awal peneliti berada di Fakultas Psikologi selalu mendukung

dan membimbing sehingga peneliti memiliki motivasi yang kuat untuk

menyelesaikan studi dengan baik.

4. Bapak Ferry Novliadi, M.Si., psikolog dan dan Ibu Lili Garliah, M.Si.,

psikolog yang telah berkenan menjadi penguji ahli pada skripsi saya. Ditengah

kesibukan Bapak dan Ibu, saya beruntung karena telah diberi kesempatan

(4)

5. Ibu Dra. Gustiarti Leila, M.Si, M.Kes., psikolog selaku koordinator bagian

Psikologi Industri dan Organisasi yang telah banyak membantu dalam proses

pengerjaan skripsi saya.

6. Orangtua peneliti, Ayahanda Ir. H. Yunan Syahrin Harahap dan Ibunda Hj.

Syahrumiati Siregar yang telah bersusah payah membesarkan, mengasuh,

mendidik dan memberikan dorongan semangat bagi peneliti dengan penuh

kesabaran dan kasih sayang. Atas semua yang telah diberikan orang tua

kepada peneliti patut mendapatkan apresiasi yang setinggi-tingginya. Neni

janji akan menjadi kebanggaan buat mama dan papa. Kepada Adinda tercinta

Aswin Pratama Harahap yang telah banyak memberikan dukungan, ”jangan

malas-malas belajar ya dek”.

7. Uda Prof. H. Yundi Fitrah, M. Hum., PhD., dan Nanguda Dra. Hj.

Aprillitzavivayarti., MM., yang telah memberikan semangat, nasihat dan

banyak memberikan masukan dalam menyelesaikan penelitian ini.

8. Bapak Senior Manager PTP N IV Kebun Adolina yang telah memberikan izin

kepada penulis untuk melakukan penelitian dan semua Karyawan yang telah

bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi skala penulis.

9. Kak Pohan dan Bapak Dedi Barus yang telah membantu penulis dalam

menyebarkan skala dan menyediakan data yang diperlukan penulis dalam

penyusunan skripsi ini.

10.Ratna Soneta, Wahyu Pramana Jati, dan Alfian Harapan yang telah menjadi

inspirasiku, memberikan banyak dukungan, semangat dan motivasi, dan mau

(5)

11.Retno Suryani, yang telah bersedia dan tidak terhitung untuk keberapa kalinya

meminjamkan KTM nya sehingga penulis dapat mempergunakannya untuk

meminjam buku di perpustakaan, Makasih banyak ya eno.

12.Bang Mirza, saudara sepupuku yang telah bersedia meminjamkan buku SPSS

nya selama pengerjaan skripsi ini.

13.Bang Yudhi Saputra Siregar yang telah memberikan semangat penulis, udah

begitu baik, dan selalu mengingatkan kepada penulis agar skripsi ini dapat

diselesaikan dengan cepat.

14.Sahabat-sahabat ku tercinta Ayu, Dinda, Tia, Fani, Yuli, Bayu, Ade, yang

selalu ada bersama peneliti disaat suka maupun duka semoga persahabatan

kita tetap abadi selamanya.

15.Seniorku dan sekaligus teman seperjuanganku Kak Desi, Kak Hilma, Kak Aci,

Kak Vida yang telah membantu penulis dalam kehidupan sehari- hari di dunia

perkuliahan.

16. Teman-teman seperjuanganku 2005 di Fakultas Psikologi Diah, Mega, Noni,

Ema, Cici, Qorin, Isha, Citra, Anggi, Ika, Endang, Yoland, Icha, Ela dan

masih banyak lagi anak-anak stambuk 2005 yang tidak mungkin penulis

ucapkan satu persatu. Terima kasih saran dan masukan serta semangat yang

kalian berikan.

17.Kak Erna di psycho-lib, yang sudah banyak memberikan bantuan dan

semangat bagi penulis, makasih banyak ya kak.

18.Adek, Edo, Sari, Reno, Meri, Tissa, Nila, dan semua sahabat- sahabat ku yang

ada di Padang terima kasih atas dukungan dan doa kalian semua.

19.Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, yang tidak dapat

(6)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,

saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa

mendatang.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi banyak pihak

terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Juni 2010

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... .i

DAFTAR ISI... .v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... .xi

BAB I PENDAHULUAN... .1

A. Latar Belakang ... .1

B. Tujuan Penelitian... .9

C. Manfaat Penelitian... .9

D. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A. Motivasi Kerja... 12

1. Definisi Motivasi Kerja... 12

2. Tahap Pembentukan Motivasi Kerja... 14

3. Aspek-aspek Motivasi Kerja... 16

4. Ciri-ciri Individu Berkomitmen ... 18

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja... 18

B. Gaya Kepemimpinan Atasan... 20

1. Definisi Gaya Kepemimpinan... 20

2. Tipe Gaya Kepemimpinan ... 22

3. Gaya Kepemimpinan Transaksional ... 23

a. Definisi Gaya Kepemimpinan Transaksional ... 23

b. Aspek-aspek Gaya Kepemimpinan Transaksional ... 25

(8)

D. Hipotesa Penelitian ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

A. Identifikasi Variabel Penelitian... 32

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 32

1. Komitmen Organisasi ... 32

2.Gaya Kepemimpinan Transaksional ... 33

C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 34

1. Karakteristik Subjek Penelitian... 34

2. Teknik Pengambilan Sampel ... 34

3. Jumlah Sampel Penelitian ... 35

D. Metode Pengumpulan Data... 36

1. Skala Motivasi Kerja... 36

2. Skala Gaya Kepemimpinan Transaksional ... 37

E. Uji Validitas, dan Reliabilitas Alat Ukur ... 39

1. Uji Validitas ... 39

2. Uji Reliabilitas ... 39

3. Uji Daya Beda Aitem... 40

F. Metode Analisa Data ... 41

1. Uji Normalitas... 42

2. Uji Linieritas ... 42

G. Hasil Uji Coba Alat Ukur... 43

H. Pelaksanaan Penelitian... 45

BAB IV ANALISA DATA... 48

(9)

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 49

3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja ... 49

4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 50

B. Hasil Penelitian ... 50

1. Hasil Uji Asumsi... 50

a. Uji normalitas... 51

b. Uji Linearitas ... 52

2. Hasil Utama Penelitian ... 52

3. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetetik... 54

4. Kategorisasi data Penelitian... 56

C. Pembahasan... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran... 68

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi aitem skala komitmen organisasi sebelum uji coba ... 37

Tabel 2 Distribusi aitem skala gaya kepemimpinan transformasional sebelum uji coba ... 38

Tabel 3 Distribusi aitem skala komitmen organisasi setelah uji coba... 43

Tabel 4 Distribusi aitem skala komitmen organisasi penelitian... 44

Tabel 5 Distribusi aitem skala gaya kepemimpinan transformasional setelah uji coba ... 44

Tabel 6 Distribusi aitem-aitem skala gaya kepemimpinan transformasional penelitian ... 45

Tabel 7 Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 48

Tabel 8 Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 49

Tabel 9 Gambaran subjek penelitian berdasarkan masa kerja ... 49

Table 10 Gambaran subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan... 50

Tabel 11 Hasil uji normalitas ... 51

Tabel 12 Hasil uji linieritas ... 52

Tabel 13 Hasil analisis korelasi... 53

Tabel 14 Hasil analisis varians... 53

Tabel 15 Koefisien b0 dan b1 ... 54

Tabel 16 Nilai empirik dan nilai hipotetik komitmen organisasi... 55

Tabel 17 Nilai empirik dan nilai hipotetik gaya kepemimpinan transformasional... 56

(11)

Tabel 20 Norma kategorisasi gaya kepemimpinan transformasional ... 59

Tabel 21 Kategorisasi gaya kepemimpinan transformasional... 58

(12)

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Motivasi Kerja Karyawan

Isneini Namira Hrp dan Emmy Mariatin

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan gaya kepemimpinan

transformasional sebagai prediktor positif bagi komitmen organisasi. Globalisasi

menciptakan ancaman semakin banyaknya persaingan bisnis yang menuntut

perusahaan untuk memiliki sumberdaya manusia yang berkomitmen tinggi. Variable

gaya kepemimpinan transformasional diyakini dapat memberikan sumbangan efektif

dalam meningkatkan komitmen organisasi tersebut.

Penelitian ini melibatkan 80 orang staff PT.Indonesia Asahan Aluminium Power Plant. Metode pengambilan data yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisa regresi linear sederhana. Alat ukur yang digunakan adalah skala komitmen organisasi dengan realibilitas 0.938 dan skala gaya kepemimpinan transformasional dengan realibilitas 0.965. Dari hasil penelitian ini diperoleh rxy = 0.469, R square 0.220 (p<0.05) yang berarti gaya kepemimpinan

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam era globalisasi, isu yang paling banyak dikembangkan adalah isu

persaingan global dimana terjadi persaingan bebas yang tidak ada lagi batasannya

dalam suatu wilayah atau negara tertentu. Persaingan bebas ini menuntut

perusahaan-perusahaan untuk terus berbenah, agar tetap dapat bersaing dalam perdagangan bebas

tersebut. Salah satu hal yang terpenting agar suatu perusahaan memiliki kemampuan

bersaing yang tinggi adalah penanganan sumber daya manusia yang baik. Hal ini

sesuai dengan yang dikatakan Mutakin (2008) bahwa agar mampu bertahan dan

bersaing dalam perdagangan bebas, perusahaan harus memanfaatkan sumber daya

manusia yang handal seoptimal mungkin melalui praktek-praktek organisasional

secara luwes dan cepat tanggap terhadap perubahan lingkungan.

Suatu perusahaan akan dapat mencapai tujuannya bila didukung sumber daya

manusia yang berkualitas, salah satunya adalah karyawan yang memiliki motivasi

kerja yang baik. Menurut Widardi (2001) bahwa seseorang yang sangat termotivasi

dalam bekerja adalah orang yang melaksanakan upaya maksimal, guna mencapai

tujuan produksi unit kerjanya dan organisasi di mana ia bekerja. Motivasi

mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka

mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya

untuk mewujudkan tujuan perusahaan (Hasibuan, 1996).

Pada dasarnya perusahaan bukan saja mengharapkan karyawan yang mampu,

cakap, dan terampil, tetapi yang terpenting mereka mau bekerja giat dan berkeinginan

(14)

karyawan tidak ada artinya bagi perusahaan, jika mereka tidak mau bekerja keras

dengan mempergunakan kemampuan, kecakapan, dan keterampilan yang dimilikinya.

Motivasi ini penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap individu karyawan

mau bekerja keras dan antusias untuk mecapai produktivitas kerja yang tinggi

(Hasibuan, 1996).

Memotivasi ini sangat sulit, karena pimpinan sulit untuk mengetahui

kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) yang diperlukan bawahan dari hasil

pekerjaan itu. Orang-orang mau bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan dan

keinginan (fisik dan mental), baik itu kebutuhan yang disadari (conscious needs)

maupun kebutuhan yang tidak disadari (unconscious needs)-nya.

Motivasi mengacu kepada jumlah kekuatan yang mengasilkan, mengarahkan,

dan mempertahankan usaha dalam perilaku tertentu. Bila orang bekerja keras dan

melakukan pekerjaannya dengan baik, seringkali diartikan bahwa ia memiliki

motivasi kerja yang tinggi. Bila orang tidak melakukannya dengan baik atau

kelihatannya tidak cukup keras berusaha maka kesimpulannya adalah berlawanan, ia

tidak mempunyai motivasi (Jewell & Siegel, 1998).

Motivasi berasal dari kata latin ”movere” yang berarti “dorongan atau daya

penggerak” (Hasibuan, 1996). Hal yang sama juga diungkapkan oleh As’ad (2003)

yang mengatakan bahwa motivasi seringkali diartikan dengan istilah dorongan.

Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat

sehingga motivasi tersebut merupakan kekuatan yang menggerakkan manusia untuk

bertingkah laku dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu.

Luthans (2006) mengatakan bahwa motivasi adalah proses yang dimulai

(15)

elemen yang berinteraksi dan saling tergantung yaitu kebutuhan, dorongan, dan

insentif. Kebutuhan memmbentuk dorongan yang bertujuan pada insentif.

Menurut Robbins (2002) bahwa motivasi adalah keinginan untuk melakukan

sesuatu dan menentukan kemampuan bertindak untuk memuaskan kebutuhan

individu. Suatu kebutuhan (needs), berarti suatu kekurangan secara fisik maupun

psikologis yang membuat keluaran tertentu terlihat menarik. Suatu kebutuhan yang

tidak terpenuhi menciptakan ketegangan, sehingga merangsang dorongan dalam diri

individu. Dorongan-dorongan ini menghasilkan suatu pencarian untuk menentukan

tujuan-tujuan tertentu yang jika tercapai akan memuaskan kebutuhan dan

menyebabkan penurunan ketegangan.

Motivasi ini hanya diberikan kepada para bawahan (karyawan). Motivasi

mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka

mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya

untuk mewujudkan tujuan perusahaan. Pada dasarnya perusahaan bukan saja

mengharapkan karyawa yang “mampu, cakap, dan terampil”, tetapi yang terpenting

mereka maubekerja giat dan berkeinginan untuk mencapai hasil kerja yang optimal.

Kemampuan, kecakapan, dan keterampilan karyawan tidak ada artinya bagi

perusahaan jika mereka tidak mau bekerja keras dengan mempergunakan

kemampuan, kacakapan, dan kecakapan yang dimilikinya. Motivasi penting karena

dengan motivasi ini diharapkan setiap karyawan mau bekerja keras dan antusias untuk

mencapai produktivitas kerja yang tinggi (Hasibuan, 1996).

Karyawan-karyawan yang termotivasi berada dalam suau kondisi tertekan.

Untuk mengurangi ketegangan ini, mereka melakukan aktivitas. Semakin besar

tekanan, semakin banyak akivitas yang dibutukan untuk mengurangi ketegangan

(16)

melaksanakan aktivitasnya, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka di dorong oleh

keinginan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan (Robbins, 2002).

Motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap bawahan mau

bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi

(Cokroaminoto, 2007). Motivasi kerja juga tidak kalah penting dalam upaya

mendorong bawahan dalam melaksanakan tugasnya dan pekerjaannya sehingga dapat

berjalan lancar, dimana motivasi kerja mempunyai pengaruh yang besar terhadap

perilaku bawahan di dalam perusahaan (Rivai, 2004).

Tercapai atau tidaknya suatu tujuan perusahaan tidak semata-mata karena

perusahaan telah memiliki bawahan dengan kemampuan yang baik dan tinggi, tetapi

juga dipengaruhi oleh hal-hal lain yang mendorong timbulnya motivasi kerja bawahan

tersebut untuk bekerja dengan baik. Motivasi kerja bawahan itu sendiri dapat

dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya ialah lingkungan kerja, dalam hal ini

ialah faktor kepemimpinan suatu perusahaan (Ruky, 2001).

Kepemimpinan dalam sebuah perusahaan berfungsi untuk memandu,

menuntun, membimbing, membangunkan motivasi-motivasi kerja, mengemudikan

organisasi, menjalin komunikasi yang baik, melakukan pengawasan secara teratur,

dan mengarahkan pada bawahannya kepada sasaran yang ingin dituju. Bawahan

dalam sebuah perusahaan akan mampu bekerja dengan baik jika pemimpin dapat

menjalankan perannya secara baik (Hanggoro, 2002). Keberhasilan kepemimpinan

pada sebuah perusahaan dapat dilihat dari kemampuan pemimpin memotivasi

bawahannya untuk dapat bekerja dengan baik (Kartono, 2003). Kepemimpinan efektif

dan produktif merupakan kekuatan dinamis yang dapat menumbuhkan motivasi,

(17)

Kepemimpinan secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh

yang positif terhadap peningkatan motivasi kerja bawahannya. Hal ini didukung oleh

Sinungan (1987) yang menyatakan bahwa kepemimpinan yang termasuk di dalam

lingkungan organisasi merupakan faktor potensi dalam meningkatkan motivasi kerja.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Arep dan Tanjung (2003) yang menyatakan

bahwa kepemimpinan sebagai sumber motivasi dalam bekerja sehingga seorang

pemimpin diharapkan dapat menguasai atau mempengaruhi serta memotivasi

karyawannya.

Seorang pemimpin memiliki cara tersendiri dalam memotivasi karyawannya

yang disebut dengan gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan mempunyai peran

yang penting dalam mempengaruhi cara kerja bawahan. Karena kepemimpinan

merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan kekuatan moral yang

kreatif, yang mampu mempengaruhi para anggota untuk mengubah sikap, sehingga

mereka konform dengan keinginan pemimpin (Schaffer, 2008).

Teori yang paling terkenal berkaitan dengan motivasi salah satunya adalah

teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Maslow membuat hipotesis bahwa dalam

diri setiap manusia terdapat lima tingkatan kebutuhan, yaitu kebutuhan fisik, rasa

aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Kebutuhan yang paling dasar yang

harus dipuaskan orang pertama kali adalah kebutuhan fisiologi. Kemudian kebutuhan

tersebut diikuti oleh kebutuhan akan rasa aman, sosial (afilasi), dan keutuhan

penghargaan (harga diri). Di puncak dari hierarki adalah kebutuhan akan pemenuhan

diri sendiri. Setiap kebutuhan tersebut harus di puaskan menurut giliran. Sekali

dipuaskan, kebutuhan itu berhenti memotivasi perilaku, dan kebutuhan berikutnya

(18)

mengartikan bahwa orang sewaktu bekerja melakukan usaha untuk memenuhi

kebutuhan paling rendah yang belum terpuaskan (Jewell & Siegel, 1996)

Bass (1985) mengembangkan gaya kepemimpinan berdasarkan pendapat

Maslow mengenai tingkatan kebutuhan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan

bawahan yang lebih tinggi seperti afiliasi, harga diri dan aktualisasi diri hanya

dimungkinkan terpenuhi melalui praktik kepemimpinan transformasional. Sedangkan

kebutuhan karyawan yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisik, dan rasa aman dapat

terpenuhi dengan baik melalui praktik kepemimpinan transaksional. Pemenuhan

kebutuhan karyawan tersebut mampu meningkatkan motivasi kerja pada karyawan

sehingga dapat mencapi tujuan perusahaan

Menurut Bass (1985) ada dua macam gaya kepemimpinan yaitu gaya

kepemimpinan transformasional dan transaksional. Namun penelitian ini hanya

berfokus pada gaya kepemimpinan transaksional saja. Seorang pemimpin yang

menggunakan gaya kepemimpinan transaksional membantu karyawannya dalam

meningkatkan motivasi untuk mencapai hasil yang diinginkan dengan dua cara, yang

pertama yaitu seorang pemimpin mengenali apa yang harus dilakukan bawahan untuk

mencapai hasil yang sudah direncanakan setelah itu pemimpin mengklarifikasikan

peran bawahannya kemudian bawahan akan merasa percaya diri dalam melaksanakan

pekerjaan yang membutuhkan perannya. Yang kedua adalah pemimpin

mengklarifikasi bagaimana pemenuhan kebutuhan dari bawahan akan tertukar dengan

penetapan peran untuk mencapai hasil yang sudah disepakati.

Pengaruh gaya kepemimpinan transaksional terhadap motivasi juga dijelaskan

oleh Thomas (2003) yang mengatakan bahwa gaya kepemimpinan transaksional

(19)

pada hasil dari tugas dan hubungan dari pekerja yang baik dalam pertukaran untuk

penghargaan yang diinginkan. Kepemimpinan transaksional mendorong pemimpin

untuk menyesuaikan gaya dan perilaku mereka untuk memahami harapan bawahan.

Bass (1985) mengemukakan bahwa faktor-faktor pembentuk gaya

kepemimpinan transaksional terdiri atas tiga, yaitu : imbalan kontingensi, manajemen

eksepsi aktif, dan manjemen eksepsi pasif. Yang pertama adalah imbalan kontingen

(contingent reward), faktor ini dimaksudkan bahwa bawahan memperoleh pengarahan

dari pemimpin mengenai prosedur pelaksanaan tugas dan target-target yang harus

dicapai. Bawahan akan menerima imbalan dari pemimpin sesuai dengan

kemampuannya dalam mematuhi prosedur tugas dan keberhasilannya mencapai

target-target yang elah ditentukan. Faktor yang kedua adalah manajemen eksepsi aktif

(active management by exception), faktor ini menjelaskan tingkah laku pemimpin

yang selalu melakukan pengawasan secara direktif terhadap bawahannya.

Pengawasan direktif yang dimaksud adalah mengawasi proses pelaksanaan tugas

bawahan secara langsung. Hal ni bertujuan untuk mengantisipasi dan meminimalkan

tingkat kesalahan yang timbul selama proses kerja berlangsung. Seorang pemimpin

transaksional tidak segan mengoreksi dan mengevaluasi langsung kinerja bawahan

meskipun proses kerja belum selesai. Tindakan tersebut dimaksud agar bawahan

mampu bekeja sesuai dengan standar dan prosedur kerja yang telah ditetapkan. Faktor

yang terakhir yaitu manajemen eksepsi pasif (passive management by exception),

faktor ini menjelaskan seorang pemimpin transaksional akan memberikan peringatan

dan sanksi kepada bawahannya apabila terjadi kesalahan dalam proses yang dilakukan

oleh bawahan yang bersangkutan. Namun apabila proses kerja yang dilaksanakan

masih berjalan sesuai standar dan prosedur, maka pemimpin transaksional tidak

(20)

Gaya kepemimpinan transaksional menurut Bass 2003) berpengaruh terhadap

motivasi kerja bawahan yang ditunjukkan untuk memperoleh imbalan kerja dalam

jumlah yang layak sesuai dengan hasil kerja mereka, serta untuk memperoleh

penghargaan melaui imbalan sehingga bawahan terpacu untuk bekerja dengan lebih

baik. Pemimpin transaksional memiliki kemampuan mengidentifikasi keinginan

bawahan dan membantunya mencapai tingkat prestasi yang lebih tinggi dengan

memberikan imbalan yang memuaskan. Proses tersebut disertai pula dengan kejelasan

tentang penyelesaian pekerjaan dan besarnya imbalan yang akan diterima.

Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa gaya kepemimpinan transaksional

memiliki peranan sangat penting untuk memotivasi bawahannya dengan menekankan

pada pemberian imbalan sehingga perusahaan dapat mencapai tujuanya. Pada

penelitian ini peneliti tertarik untuk meneliti “pengaruh gaya kepemimpian

transaksional terhadap motivasi kerja bawahan”.

A. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, peneliti

merumuskan permasalahan yang ingin diketahui dari penelitian ini yaitu, bagaimana

pengaruh gaya kepemimpian transaksional terhadap motivasi kerja bawahan?

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh gaya

kepemimpian transaksional terhadap motivasi kerja bawahan

(21)

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam

pengembangan ilmu psikologi, khususnya bidang Psikologi

Industri dan Organisasi terutama dalam bidang perilaku organisasi

mengenai pengaruh gaya kepemimpian transaksional terhadap

motivasi kerja bawahan.

b. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi

peneliti-peneliti lain yang ingin meneliti mengenai perilaku

organisasi sebagai referensi teoritis dan empiris.

c. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian diharapkan dapat

menambah teknik pengukuran konsep gaya kepemimpina

transaksioal dan motivasi kerja.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran sejauhmana gaya

kepemimpinan transaksional dapat mempengaruhi motivasi karyawan

dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan diperusahaan sesuai dengan

kesepakatan antara pimpinan dengan bawahan. Selain itu diharapkan dapat

memberi informasi mengenai seberapa besar gaya kepemimpinan

transaksional yang diterapkan oleh atasan dan seberapa besar tingkat

motivasi kerja bawahan dalam perusahaan, sehingga apabila bawahan

mempunyai tingkat motivasi yang rendah, perusahaan dapat memberikan

intervensi yang tepat.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

(22)

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Di sini digambarkan

mengenai berbagai tinjauan literatur dan hasil penelitian sebelumnya

mengenai gaya kepemimpian transaksional dan motivasi kerja bawahan.

Bab II Landasan teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi

objek penelitian. Memuat landasan teori tentang gaya kepemimpian

transaksional dan motivasi kerja bawahan. Bab ini juga mengemukakan

hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang

menjelaskan pengaruh gaya kepemimpian transaksional terhadap motivasi

kerja bawahan

Bab III Metodologi penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variabel, defenisi operasional variabel,

metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda item

dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisa data yang digunakan untuk

mengolah hasil data penelitian.

Bab IV Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi dan

pembahasan.

Bab V Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang

diungkapkan berdasarkan hasil penelitian dan saran penelitian yang meliputi saran

(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. MOTIVASI KERJA 1. Definisi Motivasi Kerja

Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan motivasi (motivation) sebagai

proses yang menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan seorang individu untuk

mencapai tujuannya. Motivasi adalah suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan

mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah kepada

tercapainya tujuan tersebut (Munandar, 2001). Kebutuhan yang dimaksudkan adalah

suatu keadaan dalam diri (internal state) yang menyebabkan hasil-hasil atau

keluaran-keluaran tertentu yang menarik. Menurut kamus psikologi Chaplin (2005), motivasi

didefinisikan sebagai suatu variabel penyelang (yang ikut campur tangan) yang

digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang

membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku,

menuju satu sasaran.

Menurut As'ad (2003), motivasi seringkali diartikan dengan istilah dorongan.

Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat

sehingga motivasi tersebut merupakan kekuatan yang menggerakkan manusia untuk

bertingkah laku dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Sama

halnya dengan Munandar (2001) yang menyatakan bahwa motivasi adalah suatu

proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan

serangkaian kegiatan yang mengarah kepada tercapainya tujuan tertentu.

Motivasi mewakili proses-proses psikologikal yang menyebabkan timbulnya,

(24)

diarahkan ke arah tujuan tertentu (Mitchell dalam Winardi, 2001). Motivasi

merupakan hasil sejumlah proses, yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang

individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal

melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu (Gray et al, dalam Winardi, 2001).

Hariandja (2002) menyatakan bahwa motivasi diartikan sebagai faktor-faktor

yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk

melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk usaha yang keras atau

lemah. Selain itu, motivasi juga merupakan keinginan, tujuan, kebutuhan, dan

dorongan. Motivasi merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam

menentukan perilaku seseorang, termasuk perilaku kerja.

Motivasi kerja secara umum didefinisikan sebagai suatu dorongan energi yang

mengatur antara keinginan dan kebutuhan individu untuk berperilaku sesuai dengan

tuntutan pekerjaan sehingga ia mampu untuk menentukan bagaimana bentuk, arah,

intensitas, dan durasi dalam bekerja (Shani dan Lau, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja

adalah sekelompok pendorong yang berasal baik dari dalam maupun dari luar

individu untuk melakukan pekerjaan yang mengarah pada pemenuhan

kebutuhan-kebutuhannya.

2. Teori-teori Motivasi Kerja

(25)

a.1. Teori Hierarki Kebutuhan Maslow (Maslow’s Need-Hierarchy Theory)

Abraham Maslow menyatakan bahwa manusia mempunyai sejumlah

kebutuhan yang diklasifikasikannya menjadi lima tingkat kebutuhan (Robbins, 2003),

yaitu :

a. Fisiologis, antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan),

seks, dan kebutuhan jasmani lain.

b. Keamanan, antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan

emosional.

c. Sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki, menerima dengan baik, da

persahabatan.

d. Penghargaan, mencakup faktor internal, seperti harga diri, otonomi, dan prestasi,

serta faktor eksternal, seperti status, pengakuan, dan perhatian.

e. Aktualisasi diri, dorongan yang ada dalam diri seorang individu untuk menjadi

individu yang sesuai kemampuannya.

Maslow membagi kelima kebutuhan tersebut menjadi dua kelompok, yaitu :

tingkat tinggi dan tingkat rendah (Robbins, 2003). Kebutuhan fisiologis dan

kebutuhan keamanan termasuk dalam golongan tingkat rendah, sedangkan kebutuhan

sosial, penghargaan dan aktualisasi diri termasuk dalam golongan tingkat tinggi.

Pembagian ke dalam dua kelompok tersebut berdasarkan alasan bahwa kebutuhan

tingkat tinggi dipenuhi secara intenal (dalam diri individu itu), sedangkan kebutuhan

tingkat rendah terutama dipenuhi secara eksternal (misalnya dengan upah, kontrak

(26)

a.2. Teori ERG Alderfer (Alderfer’s ERG theory)

Clayton Alderfer berpendapat bahwa manusia mempunyai tiga kelompok

kebutuhan inti, yaitu : eksistensi (existence), hubungan (relatedness), dan

perkembangan (growth), yang disebut dengan teori ERG (Robbins, 2003). Kebutuhan

eksistensi mencakup kebutuhan fisiologis dan kebutuhan perlindungan, keamanan,

serta keselamatan fisik. Kebutuhan hubungan mencakup kbutuhan sosial atau

hubungan antar pribadi. Kebutuhan perkembangan mencakup kebutuhan

pengembangan diri (aktualisasi diri) (Berry dan Houston, 1993).

Teori EGR menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan eksistensi, hubungan,

dan perkembangan terletak pada satu kesinambungan kekonkritan, dengan kebutuhan

eksistensi sebagai kebutuhan yang paling konkrit dan kebutuhan perkembangan

sebagai kebutuhan yang abstrak (Munandar, 2001). Beberapa dasar pikiran dari teori

ini adalah bahwa : (1) semakin lengkap satu kebutuhan yang lebih konkrit terpuaskan,

semakin besar keinginan atau dorongan untuk memuaskan kebutuhan abstrk, dan (2)

semakin kurang lengkap satu kebutuhan semakin besar keinginanya untk memuaskan

(Munandar, 2001)

Sesuai dengan teori Maslow, teori Alderfer ini menganggap bahwa

fulfillment-progression (maju ke pemenuhan kebutuhan yang lebih tingi tingkatannya

sesudah kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah terpuaskan) juga penting

(Munandar, 2001). Menurut Alderfer, jika kebutuhan tingkat yang lebih tinggi tidak

dapat terpuaskan, maka individu me-regress, kembali ke usaha untuk memuaskan

kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah. Gejala itu disebut dengan

(27)

a.3. Teori Dua Faktor Herzberg (Herzberg’s Two-Faktor Theory)

Berry dan Houston (1993) menyatakan bahwa teori dua faktor Herzberg

menekankan pada akibat dari perilaku yang termotivasi. Kebutuhan dipandang

sebagai suatu hal yang mendorong perilaku. Teori dua faktor sebenarnya merupakan

teori mengenai kepuasan kerja, tetapi dapat pula digunakan dalam motivasi kerja.

Teori dua faktor Herzberg menyatakan bahwa manusia mempunyai dua

kebutuhan yang harus dipuaskan, dan dua kebutuhan itu berkaitan dengan dua akibat.

Kebutuhan-kebutuhan itu adalah :

a. Lingkungan kerja yang sehat dan aman. Kebutuhan ini berkaitan dengan faktor

hasil yang disebut hygiene disebut juga faktor pemeliharaan (maintenance)

(Herzberg; dalam Newstrom dan Davis, 1993), karena berperan dalam

memelihara tingkat motivasi karyawan. Faktor hygiene merupakan hasil kerja

ekstrinsik yang meliputi kebijakan dan administrasi perusahaan, pengawasan, gaji,

hubungan dengan atasan, dan kondisi kerja secara fisik. Herzberg juga

mengatakan bahwa faktor pemeliharaan lebih menitikberatkan pada job context

(suasana atau keadaan kerja), karena lebih terkait dengan lingkungan disekitar

pekerjaan.

b. Perkembangan dan pertumbuhan diri, yang berkaitan dengan faktor hasil yang

disebut faktor motivasi (motivasional). Faktor motivasi merupakan hasil kerja

instrinsik yang meliputi prestasi, penghargaan, tanggung jawab, dan promosi.

Hal-hal tersebut dianggap sebagai instrinsic motivator, karena merupakan bagian

integral dari pekerjaan. Herzberg juga mengatakan bahwa faktor motivasi

(motivasional factor) menitikberatkan pada job content (isi atau muatan kerja)

(28)

Herzberg (dalam Newstrom dan Davis, 1993) menyatakan bahwa untuk

membedakan antara job context dan job content, serupa dengan membedakan antara

motivasi ekstrinsik dan instrinsik. Motivasi ekstrinsik merupakan penghargaan dari

luar individu yang terlepas dari sifat pekerjaan, dan tidak memberikan kepuasan

langsung ketika melakukan suatu pekerjaan, contohnya adalah rencana pengundurn

diri, asuransi kesehatan, dan liburan. Motivasi instrinsik merupakan penghargaan dari

dalam individu yang dirasakan individu ketika melakukan pekerjaan, dan memiliki

hubungan langsung antara pekerjaan dengan penghargaan tersebut.

a.4. Teori Kebutuhan McClelland (McClelland’s Acquired Neds Theory)

Teori kebutuhan McClelland dikemukakan oleh David McClelland dan

kawan-kawannya (Dubrin dkk., 1996). Mclelland (dalam Dubrin dkk., 1996) engatkan

bahwa ketika kedudukan kebutuhan kuat, maka akan mendorong individu untuk

melakukan kegiatan guna memuaskan kebutuhan tersebut. Teori ini berfokus pada tia

kebutuhan (Robbins, 2003), yaitu :

a. Kebutuhan akan prestasi (n’Ach); dorongan untuk mengungguli, berprestasi yang

berkaitan dengan standar tertentu, dan berusaha untuk sukses.

b. Kebutuhan akan kekuasaan (n’Pow); kebutuhan untuk mengendalikan,

mempengaruhi tingkah laku, tanggung jawab terhadap orang lain.

c. Kebutuhan akan afiliasi (n’Aff); keinginan untuk berhubungan antar pribadi

dengan ramah dan akrab.

Beberapa individu mempunyai dorongan yang kuat sekali untuk berhasil.

(29)

Dorongan ini yang disebut dengan kebutuhan akan prestasi (need for

achievement-n’Ach) (Robbins, 2003). Dari penelitian mengenai kebutuhan akan prestasi,

McClelland (dalam Robins, 2003) menemukan bahwa individu-individu yang

mempunyai dorongan prestasi tinggi berbeda dengan individu-individu yang

mempunyai keinginan kuat untuk melakukan hal-hal dengan lebih baik. Mereka

mencari kesempatan pada saat mereka mempunyai tanggung jawab pribadi untuk

memecahkan permasalahan, mereka dapat segera menerima umpan-balik atas

kinerjanya sehingga mereka dapat mengetahui dengan mudah apakah mereka menjadi

lebih baik atau tidak, dan mereka dapat menentukan langkah-langkah yang

menantang. Individu-individu yang mempnyai dorongan prestasi yang tinggi lebih

menyukai tantangan dalam menyelesaikan suatu masalah dan menerima dengan

lapang dada kesuksesan atau kegagalan, bukannya mengandalkan peluang atau

bantuan individu lain (McClelland; dalam Robbins, 2003).

Kebutuhanakan kekuasaan (need for power-n’Pow) adalah keinginan untuk

mempunyai dampak terhadap individu lain, berpengaruh terhadap individu lain, dan

mengendalikan individu lain (Robbins, 2003). Individu-individu dengan n’Pow yang

tingg lebih menyukai pekerjaan yang bersituasi kompetitif, berorientasi status, dan

cenderung lebih peduli akan prestige, misalnya menjadi pimpinan yang berusaha

mempengauhi individu lain (Muanndar, 2001).

Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation-n’Aff) mendapat perhatian paling

kecil dari para peneliti. Afiliasi berkaitan dengan tujuan-tujuan Dale Carnegie, yaitu

keinginan untuk disuki dan diterima baik oleh individu lain (Robbins, 2003).

(30)

b.1. Teori Harapan Vroom (Vroom’s Expectancy Theory)

Berry dan Houston mengatakan bahwa teori harapan,yang dikemukakan oleh

Victor Vroom, merupakan sutu teori kognitif motivasi kerja. Teori harapan

menekankan pada pikira, harapan, dan perasaan individu pada saat ia melakukan suat

tindakan dan akibat yang ditimbulkannya. Teori harapan disebut juga EIV Theory,

karena terdiri atas unsur expectancy (harapan), instrumentally (sarana), valence

(valensi) (Berry dan Houston, 1993).

Teori harapan memfokuskan analisisnya pada tiga jenis hubungan (Robbins,

2003), yaitu :

a. Hubungan usaha dan kinerja; individu mempunyai persepsi bahwa sejumlah usaha

yang dikeluarkan akan meningkatkan kinerja.

b. Hubungan kinerja dengan imbalan; individu meyakini bahwa berkinerja pada

suatu tingkat tertentu akan mendorong tercapainya suatu hasil yang diinginkan.

c. Hubungan imbalan dengan tujuan pribadi; sejauhmana imbalan dari organisasi

memuaskan tujuan atau kebutuhan pribadi seorang individu dan seberapa besar

daya tarik imbalan tersbut bagi yang bersangkutan.

b.2. Teori Penguatan (Reinforcement Theory)

Munandar (2001) mengatakan bahwa teori penguatan berhubungan dengan

teori belajar operant conditioning dari Skinner. Teori ini mempunyai dua aturan

pokok, yaitu aturan pokok yang berhubungan dengan perolehan jawaban-jawaban

yang benar, dan aturan pokok lainnya yang berhubungan dengan penghilangn

(31)

diinginkkan), atau negatif (menghilangkan satu rangsang aversif jika jawaban yang

diinginkan telh diberikan), tetapi individu harus menciptakan suatu kaitan antara aksi

atau tindakan denan akibat-akibatnya (Muandar, 2001).

Dalam teori penguatan, apabila jawaban yang diinginkan belum dimiliki oleh

individu, maka jawaban tersebut perlu dibentuk. Pembentukan berlangsung apabila

jawaban-jawaban yang mendekati jawaban-jawaban yang benar pada awalnya

dikuatkan. Secara bertahap pengukuran positif hanya diberikan apabila perilaku yang

mendekati jawaban yang benar semakin dekat, sehingga akhirnya jawaban khusus

yang diinginkan saja yang dikuatkan (Munandar, 2001).

b.3. Teori Penetapan Tujuan Locke (Locke’s Goal-Setting Theory)

Edwin Locke mengatakan bahwa teori penetapan tujuan berkaitan erat dengan

psikologi kognitif (Berry dan Houston, 1993). Locke menyatakan bahwa

maksud-maksud untuk bekerja ke arah suatu tujuan merupakan sumber utama dari motivasi

kerja (Robbins, 2003). Teori ini memiliki komponen muatan dan proses, dengan lebih

menekankan pada proses motivasi (Berry dan Houston, 1993).

Muatan struktur motivasi adalah tujuan, sedangkan proses motivasi

melibatkan pencapaian tujuan, pengetahuan hasil, penghargaan keuangan, dan

komitmen dalam pencapaian tujuan sebagai mekanisme utama. Tujuan dalam

hubungannya dengan motivasi digambarkan Locke (dalam Berry dan Houston, 1993)

sebagai penyedia usaha dan petunjuk awal, serta keteguhan dalam perilaku. Tujuan

juga berperan sebagai pembimbing dan penghasil energi untuk bertindak.

Locke (dalam Dubrin dkk., 1996) mengatakan bahwa teori penetapan tujuan

didasarka atas pemikiran, yaitu tujuan yang ada dalam diri individu akan mengatur

(32)

mencapai tujuannya itu. Tujuan tidak hanya mempengaruhi usaha yang dilakukan,

tetapi juga perilaku individu. Pilihan terhadap waktu dan metode yang dilakukan

individu dalam usahanya mencapai tujuan merupakan contoh dari perilaku.

b.4. Teori Keadilan Adam (Adam’s Equity Theory)

Berry dan Houston (1993) mengatakan bahwa teori keadilan yang

dikemukakan leh J. Stacy Adam pada tahun 1965 merupakan teori kognitif motivasi

kerja. Teori keadilan menyatakan bahwa manusia mempunyai pikiran, perasaan, dan

pandangan yang mempengaruhi pekerjaan mereka. Teori ini diciptakan secara khusus

untuk memprediksi pengaruh imbalan terhadap perilaku manusia. Adam

mengemukakan bahwa individu-individu kan membuat perbandingan-perbandingan

tertentu terhadap suatu pekerjaan. Perbandingan-perbandingan tersebut sangat

mempengaruhi kemantapan pikiran dan perasaan mereka mengenai imbalan, serta

menghasilkan perubahan motivasi dan perilaku.

Teori keadilan mempunyai emat asumsi dasar (Munandar, 2001), yaitu :

a. Individu berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan satu kondisi keadilan.

b. Apabila dirasakan ada kondisi ketidakadilan, kodisi ini menimbulkan ketegangan

yang memotivasi individu untuk menguranginya atau menghilangkannya.

c. Semakin besar persepsi ketidakadilannya, semakin besar motivasinya untuk

bertindak engurangi kondisi ketegangan itu.

d. Individu akan mempersepsikan ketidakadilan yang tidak menyenangkan

(33)

3. Ciri-ciri Orang yang Memiliki Motivasi Kerja

Menurut Arep & Tanjung (20003), ciri-ciri rang yang bekeja dengan

termotivasi adalah :

a. Bekerja sesuai standar

Pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat waktu dan dalam waktu yang sudah

ditentukan.

b. Senang dalam bekerja

Sesuatu yang dikerjakan karena adanya motivasi yang mendorongnya akan

membuat seseorang merasa senang melakukan pekerjaannya.

c. Merasa berharga

Seseorang akan merasa berharga ketika mengerjakan suatu pekerjaan yang

didorong oleh motivasi dari dala dirinya

d. Bekerja keras

Seseorang akan bekerja keras karena dorongan yang begitu tinggi untuk

menghasilkan hasil pekerjaan yang telah ditetapkan.

e. Sedikit pengawasan

Kinerjanya akan dipantau dirinya sendiri dan tidak membutuhkan terlalu

(34)

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja

a. Faktor Internal

Jewell dan Siegell (1998) menyatakan faktor yang cenderung ke arah faktor

internal yang mempengaruhi motivasi adalah faktor yang didasarkan pada Teori Dua

Faktor dari Herzberg (Herzberg Two Factor Theory). Herzberg, (dalam Munandar,

2001) menyebutkan bahwa Teori Dua Faktor didasarkan pada pembagian Hierarki

Maslow menjadi kebutuhan atas dan kebutuhan bawah. Kondisi kerja yang

memungkinkan individu memenuhi kebutuhan tingkat atas disebut se bagai faktor

motivator yang diklasifikasikan kedalam faktor internal, antara lain :

(1) Tanggung Jawab (Responsibiliy), merupakan besar kecilnya tanggung jawab

yang dirasakan diberikan pada seorang individu.

(2) Kemajuan (Advancement), merupakan besar kecilnya kemungkinan individu

dapat maju dalam pekerjaannya.

(3) Pekerjaan itu sendiri, merupakan besar kecilnya tantangan yang dirasakan

individu dari pekerjaannya.

(4) Pencapaian (Achievement), besar kecilnya kemungkinan individu mencapai

prestasi kerja yang tinggi.

(5) Pengakuan (Recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan individu

atas unjuk kerjanya.

Robbins dan Judge (2008), menjelaskan pula bahwa Teori Kebutuhan

McClelland (McClelland’s Theory of Needs) juga dapat mendukung faktor internal

yang dapat mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja. Teori tersebut berfokus

(35)

(2) Kebutuhan Kekuatan (Need for Power), merupakan kebutuhan untuk

membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga akan

berperilaku sebaliknya.

(3) Kebutuhan Hubungan (Need for Affiliation), keiginan untuk menjalin suatu

hubungan antarpersonal yang ramah dan akrab.

b. Faktor Eksternal

Kebutuhan dapat berkembang sebagai akibat dari interaksi individu

dengan lingkungannya. Motivasi tidak semata-mata dituntut oleh kebutuhan

yang bersifat internal, tetapi dipengaruhi oleh apa yang dipelajari (Hariandja,

2002). Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi motivasi dapat dilihat

melalui Teori Pengharapan (Expectancy Theory) dari Victor Vroom

(Ivancevich & Donnelly dalam Gibson, 1997) yang menyatakan bahwa ada

tiga faktor atau situasi pada hubungan antara performa kerja dengan outcomes

yang dapat mempengaruhi motivasi :

(1) Instrumental (Instrumentally), merupakan persepsi individu pada outcomes

pada level pertama berhubungan dengan outcomes pada level kedua.

Kemungkinan atau keyakinan seseorang akan mendapatkan ganjaran bilamana

memenuhi tingkat performa tertentu dan mengindikasikan hal yang sama pada

outcomes kedua.

(2) Nilai (Value), merupakan nilai yang diberikan seseorang terhadap hadiah

(36)

(3) Harapan (Expectancy), merupakan keyakinan individu untuk dapat memenuhi

tingkat performa yang diharuskan dalam suatu pekerjaan. Individu yakin

bahwa suatu perilaku yang khusus akan dikuti oleh outcome yang tertentu.

Jewell (2000), menyatakan bahwa faktor eksternal yang dapat mempengaruhi

motivasi individu dalam bekerja dijelaskan pula oleh Teori Dua Faktor dari

Herzberg (Herzberg Two Factor Theory). Herzberg (dalam Munandar, 2001)

menyebutkan bahwa Teori Dua Faktor didasarkan pada pembagian Hierarki

Maslow menjadi kebutuhan atas dan kebutuhan bawah. Faktor yang dapat

memenuhi kebutuhan tingkat bawah dinamakan faktor higyene yang merupakan

faktor eksternal yang dapat mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja, yaitu:

(1) Administrasi dan Kebijakan Perusahaan, merupakan derajat kesesuain yang

dirasakan individu dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam

perusahaan.

(2) Penyeliaan, merupakan derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan diterima

individu.

(3) Gaji, merupakan derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan

unjuk kerjanya.

(4) Hubungan antar Pribadi, merupakan derajat kesesuaian yang dirasakan dalam

berinteraksi dengan individu lain.

(5) Kondisi Kerja, merupakan derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses

pelaksanaan tugas pekerjaannya.

Pendapat ini didukung oleh Teori Keseimbangan (Equity Theory) yang

(37)

(input) dan dengan yang diterima orang lain di lingkungan pekerjaannya atau

organisasi lain (Hariandja, 2002).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi motivasi kerja adalah faktor internal dan faktor eksternal.

5. Komponen Motivasi Kerja

Steers & Porter (1987) menyatakan bahwa ada 3 komponen penting dalam

motivasi kerja:

a. Komponen Energi

Komponen energi yaitu kekuatan atau usaha yang dimiliki karyawan yang

menyebabkan terjadinya tingkah laku dalam pekerjaannya. Dengan kata lain,

komponen energi menjelaskan seberapa mampu karyawan melaksanakan

pekerjaannya sebaik mungkin. Misalnya seorang karyawan yang ingin

meningkatkan prestasi kerjanya untuk mendapatkan peluang pengembangan

karir, maka karyawan tersebut akan membuat rancangan kerja, memperbaiki

cara kerja dan lain-lain.

b. Komponen Arah

Komponen arah yaitu tingkah laku yang timbul merupakan tingkah laku yang

terarah atau mempunyai tujuan yang jelas. Misalnya seorang yang ingin

memperoleh suatu kesempatan pengembangan karir, maka karyawan tersebut

berusaha menghasilkan prestasi kerja, bersikap jujur, bertanggung jawab, dan

lain-lain.

(38)

Komponen pemeliharaan yaitu adanya pemeliharaan atau usaha untuk

mempertahankan tingkah laku yang telah terjadi sesuai dengan lingkungan

kerja. Komponen ini merupakan ukuran mengenai seberapa lama seseorang

mampu mempertahankan usahanya dalam bekerja. Individu-individu dengan

motivasi kerja yang tinggi mampu bertahan melakukan tugas dalam waktu

yang cukup lama demi memcapai tujuannya. Misalnya seorang karyawan yang

ingin mempertahankan jabatannya, maka karyawan tersebut mempertahankan

kinerja, mempertahankan prestasi kerjanya dan lain-lain

A. Gaya Kepemipinan

1. Definisi Gaya Kepemimpinan

Bass (1998) mengemukakan kepemimpinan merupakan suatu proses

mengarahkan, mempengaruhi dan mengendalikan aktivitas yang berhubungan dengan

pekerjaan seperti halnya mempengaruhi motivasi karyawan untuk mencapai tujuan

khusus organisasi. Menurut Rivai (2008) definisi kepemimpinan secara luas meliputi

proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku

bawahan untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan

budayanya. Selain itu juga mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa

para pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran,

memelihara hubungan kerjasama dan kelompok kerja, perolehan dukungan dan

kerjasama dari orang-orang di luar kelompok atau organisasi.

Gaya kepemimpinan adalah suatu pola tingkah laku yang dirancang untuk

(39)

perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba untuk

mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat (Thoha, 2003).

Berdasarkan definisi-definisi dari para ahli diatas, maka penulis dapat menarik

kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu pola tindakan yang

dipersepsikan atau diacu oleh bawahan yang mengarahkan, mempengaruhi dan

mengendalikan orang lain yang berhubungan dengan aktivitas pekerjaan guna untuk

mencapai suatu tujuan tertentu.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teori gaya kepemimpinan

transaksional oleh Bass (1985).

2. Gaya Kepemimpinan Transaksional

a. Pengertian Gaya kepemimpinan transaksional

Gagasan awal mengenai gaya kepemimpinan transformasional dan

transaksional ini dikembangkan oleh James MacFregor Burns yang menerapkannya

dalam konteks politik. Burns (1978) mendefinisikan kepemimpinan transaksional

sebagai bentuk hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas tersebut. Jadi,

kepemimpinan transaksional menekankan proses hubungan pertukaran yang bernilai

ekonomis untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak

yang telah mereka setujui bersama. Gagasan ini selanjutnya disempurnakan serta

diperkenalkan ke dalam kontes organisasional oleh Bernard Bass.

Bass (1990) mengemukakan kepemimpinan ransaksional yang didefinisikan

sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran yang menyebabkan

bawahan mendapat imbalan serta membantu bawahannya mengidentifikasikan apa

yang harus dilakukan untuk memenuhi hasil yang diharapkan seperti kualitas

(40)

serta mengurangi biaya produksi. Membantu bawahannya dalam mengidentifikasi

yang harus dilakukan pemimpin membawa bawahannya kepada kesadaran tentang

konsep diri serta harga diri dari bawahannya tersebut. Pendekatan transaksional

menggunakan konsep mencapai tujuan sebagai kerangka kerja.

Seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan transaksional

membantu karyawannya dalam meningkatkan motivasi untuk mencapai hasil yang

diinginkan dengan dua cara, yang pertama yaitu seorang pemimpin mengenali apa

yang harus dilakukan bawahan untuk mencapai hasil yang sudah direncanakan setelah

itu pemimpin mengklarifikasikan peran bawahannya kemudian bawahan akan merasa

percaya diri dalam melaksanakan pekerjaan yang membutuhkan perannya. Yang

kedua adalah pemimpin mengklarifikasi bagaimana pemenuhan kebutuhan dari

bawahan akan tertukar dengan penetapan peran untuk mencapai hasil yang sudah

disepakati (Bass, 1985).

Gaya kepemimpinan transaksonal juga dijelaskan oleh Thomas (2003) sebagai

suatu gaya kepemimpinan yang mendapatkan motivasi para bawahannya dengan

menyerukan ketertarikan mereka sendiri.perilaku kepemimpinan terfokus pada hasil

dari tugas dan hubungan dari pekerja yang baik dalam pertukaran untuk penghargaan

yang diinginkan. Kepemimpinan transaksional mendorong pemimpin untuk

menyesuaikan gaya dan perilaku mereka untuk memahami harapan pengikut.

Kepemimpinan transaksional menurut Bycio,dkk (1995) adalah gaya

kepemimpinan yang memfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara

pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran

tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja,

(41)

Berdasarkan pendapat para ahli dapat ditarik kesimpulan bawa kepemimpinan

transaksional adalah kepemimpinan yang melibatkan atau menekankan pada imbalan

untuk memotivasi bawahan, artinya gaya kepemimpinan transaksional ini memiliki

karakteristik perilaku memotivasi bawahan dengan cara memberi penghargaan yang

sesuai (contingen rewar) dan manajemen seperlunya (management by exception).

b. Faktor-faktor Pembentuk Gaya Kepemimpinan Transaksional

Faktor-faktor pembentuk gaya kepemimpinan transaksional menunjuk pada

hal-hal yang dilakukan pemimpin dalam penerapannya. Menurut Burns (dalam Yulk,

1994), suatu gaya kepemimpinan memiliki faktor-faktor yang menunjukkan gaya

seorang pemimpin dalam memotivasi bawahannya. Upaya memotivasi bawahan agar

menjadi efektif dilakukan dengan mempengaruhi bawahan agar bertindak sesuai

dengan waktu dan saling kooperatif untuk mencapai tujuan.

Gaya kepemimpinan transaksional menurut Bass et.al (2003) dibentuk oleh

faktor-faktor yang berupa imbalan kontingen (contingent reward), manajemen eksepsi

aktif (active management by exception), dan manajemen eksepsi pasif (passive

management by exception). Faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Imbalan Kontingen (Contingent Reward)

Faktor ini dimaksudkan bahwa bawahan memperoleh pengarahan dari

pemimpin mengenai prosedur pelaksanaan tugas dan target-target yang harus dicapai.

Bawaan akan menerima imbalan dari pemimpin sesuai dengan kemampuannya dalam

mematuhi prosedur tugas dan keberhasilannya mencapai target-target yang telah

ditentukan.

(42)

Faktor ini menjelaskan tingkah laku pemimpin yang selalu melakukan

pengawasan secara direktif terhadap bawahannya. Pengawasan direktif yang

dimaksud adalah mengawasi proses pelaksanaan tugas bawahan secara langsung. Hal

ni bertujuan untuk mengantisipasi dan meminimalkan tingkat kesalahan yang timbul

selama proses kerja berlangsung. Seorang pemimpin transaksional tidak segan

mengoreksi dan mengevaluasi langsung kinerja bawahan meskipunproses kerja belum

selesai. Tindakan tersebut dimaksud agar bawahan mampu bekeja sesuai dengan

standar dan prosedur kerja yang telah ditetapkan.

c. Manajemen eksepsi pasif (passive management by exception)

Seorang pemimpin transaksional akan memberikan peringatan dan sanksi

kepada bawahannya apabila terjadi kesalahan dalam proses yang dilakukan oleh

bawahan yang bersangkutan. Namun apabila proses kerja yang dilaksanaka masih

berjalan sesuai standar dan prosedur, maka pemimpin transaksional tidak memberikan

evaluasi apapun kepada bawahan.

Faktor-faktor pembentuk gaya kepemimpinan transaksional tersebut

digunakan pemimpin untuk memotivasi dan mengarahkan bawahan agar dapat

mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Bawahan yang berhasil dalam

meyelesaikan pekerjaannya dengan baik akan memperoleh imbalan yang sesuai.

Sebaliknya bawahan yang gagal dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik akan

(43)

C. PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL TERHADAP MOTIVASI KERJA BAWAHAN

Kepemimpinan secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh

yang positif terhadap peningkatan motivasi kerja bawahannya. Hal ini didukung oleh

Sinungan (1987) yang menyatakan bahwa kepemimpinan yang termasuk di dalam

lingkungan organisasi merupakan faktor potensi dalam meningkatkan motivasi kerja.

Bass (1998) mengemukakan kepemimpinan merupakan suatu proses mengarahkan,

mempengaruhi dan mengendalikan aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan

seperti halnya mempengaruhi motivasi karyawan untuk mencapai tujuan khusus

organisasi.

Seorang pemimpin memiliki cara tersendiri dalam memotivasi karyawannya

yang disebut dengan gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan mempunyai peran

yang penting dalam mempengaruhi cara kerja bawahan. Karena kepemimpinan

merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan kekuatan moral yang

kreatif, yang mampu mempengaruhi para anggota untuk mengubah sikap, sehingga

mereka konform dengan keinginan pemimpin (Schaffer, 2008).

Gaya kepemimpinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan motivasi

kerja. Karena keberhasilan seorang atasan dalam menggerakkan orang lain untuk

mencapai suatu tujuan, tergantung pada bagaimana atasan tersebut menciptakan

motivasi didalam diri setiap bawahannya (Rivai, 2004). Memotivasi ini sangat sulit,

karena pimpinan sulit untuk mengetahui kebutuhan (needs) dan keinginan (wants)

yang diperlukan bawahan dari hasil pekerjaan itu. Orang-orang mau bekerja untuk

dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan (fisik dan mental), baik itu kebutuhan yang

disadari (conscious needs) maupun kebutuhan yang tidak disadari (unconscious

(44)

menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai sumber motivasi dalam bekerja sehingga

seorang pemimpin diharapkan dapat menguasai atau mempengaruhi serta memotivasi

karyawannya.

Bass (1985) mengembangkan gaya kepemimpinan berdasarkan pendapat

Maslow mengenai tingkatan kebutuhan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan

bawahan yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi diri hanya dimungkinkan

terpenuhi melalui praktik kepemimpinan transformasional. Sedangkan kebutuhan

karyawan yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisik, rasa aman, dan afiliasi dapat

terpenuhi dengan baik melalui praktik kepemimpinan transaksional. Pemenuhan

kebutuhan karyawan tersebut mampu meningkatkan motivasi kerja pada karyawan

sehingga dapat mencapi tujuan perusahaan.

Seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan transaksional

membantu karyawannya dalam meningkatkan motivasi untuk mencapai hasil yang

diinginkan dengan dua cara, yang pertama yaitu seorang pemimpin mengenali apa

yang harus dilakukan bawahan untk mencapai hasil yang sudah direncanakan setelah

itu pemimpin mengklarifikasikan peran bawahannya kemudian bawahan akan merasa

percaya diri dalam melaksanakan pekerjaan ang membutuhkan perannya. Yang kedua

adalah pemimpin mengklarifikasi bagaimana pemenuhan kebutuhan dari bawahan

akan tertukar dengan penetapan peran untuk mencapai hasil yang sudah disepakati

(Bass, 1985).

Pengaruh gaya kepemimpinan transaksional terhadap motivasi juga dijelaskan

oleh Thomas (2003) yang mengatakan bahwa gaya kepemimpinan transaksional

sebagai suatu gaya kepemimpinan yang mendapatkan motivasi para bawahannya

(45)

penghargaan yang diinginkan. Kepemimpinan transaksional mendorong pemimpin

untuk menyesuaikan gaya dan perilaku mereka untuk memahami harapan bawahan.

D. HIPOTESIS PENELITIAN

Dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara

terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini adalah :

“Pengaruh gaya kepemimpian transaksional terhadap motivasi kerja

bawahan”

Apabila penilaian terhadap gaya kepemimpinan transaksional tinggi maka

motivasi kerja juga tinggi dan sebaliknya jika penilaian terhadap gaya kepemimpinan

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Adapun variabel yang terlibat pada penelitian ini antara lain:

Variabel Bebas : Gaya Kepemimpinan Tansaksional

Variabel Tergantung : Motivasi Kerja

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN 1. Motivasi Kerja

Motivasi kerja merupakan suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan

mendorong seseorang untuk melakukan pekerjaan dengan sukarela, kerja keras,

antusiasme, tekun, serta mampu menentukan bagaimana arah, durasi, dan intensitas

dalam bekerja sehingga tercapainya suatu tujuan tertentu.

Motivasi kerja diukur melalui skala yang disusun berdasarkan teori dua faktor

Herzberg (dalam Newstrom dan Davis, 1993), yaitu :

a. Faktor Hygiene, meliputi kebijakan dan administrasi perusahaan, pengawasan,

gaji, hubungan dengan atasan, dan kondisi kerja secara fisik.

b. Faktor motivasional, meliputi prestas, penghargaan, tanggung jawab, dan

promosi.

Motivasi kerja dapat dilihat dari skor yang diperoleh individu dari skala. Jika

semakin tinggi skor motivasi kerja maka karyawan memiliki motivasi kerja yang

(47)

2. Gaya Kepemimpinan Transaksional

Gaya kepemimpinan Transaksional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang

melibatkan suatu proses pertukaran yang bernilai ekonomis yang menyebabkan

karyawan mendapatkan imbalan dari hasil kerja, serta membantu bawahannya

mengidentifikasikan apa yang harus dilakukan untuk memenuhi hasil yang

diharapkan dan membantu bawahannya dalam mengidentifikasi yang harus dilakukan

pemimpin membawa bawahannya kepada kesadaran tentang konsep diri serta harga

diri dari bawahannya tersebut.

Gaya kepemimpinan transaksional diukur dengan menggunakan skala yang

mengacu pada skala MLQ yang telah dikembangkan oleh Bass dan Avolio (dalam

Lieven et al, 1997) yang terdiri dari tiga faktor-faktor pembentuk gaya kepemimpinan

transaksional, yaitu :

a. Imbalan Kontingen (Contingent Reward)

b. Manajemen eksepsi aktif (active management by exception).

c. Manajemen eksepsi pasif (passive management by exception).

Gaya kepemimpinan dapat dilihat dari skor nilai yang diperoleh individu dari

skala tersebut. Jika skor gaya kepemimpinan transaksional tinggi, maka persepsi

terhadap pemimipin semakin psotif. Demikian sebaliknya, jika skor gaya

kepemimpinan transaksional semakin rendah, maka persepsi terhadap pemimipin

semakin negatif.

C. POPULASI, SAMPEL, DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL

Ma sa la h p o p ula si d a n sa m p e l ya ng d ip a ka i d a la m p e ne litia n m e rup a ka n

sa la h sa tu fa kto r p e nting ya ng ha rus d ip e rha tika n. Po p ula si a d a la h o b je k, g e ja la

(48)

n-ke nya ta a n ya ng d ip e ro le h d a ri sa m p e l p e ne litia n itu a ka n d ig e ne ra lisa sika n (Ha d i,

2002).

Populasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah karyawan pelaksana di

PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero). Mengingat keterbatasan peneliti untuk

menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti hanya meneliti sebagian dari

keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian, atau yang dikenal

dengan nama sampel.

1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Karyawan pelaksana di PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero).

Menurut Bass (2003), gaya kepemimpinan transaksional sesuai

diterapkan pada karyawan-karyawan pada level bawah, seperti

karyawan pelaksana.

2 . Te knik Pe ng a m b ila n Sa m p e l

Adapun upaya untuk memperoleh sampel penelitian dalam penelitian ini,

digunakan teknik purposive sampling, dimana pemilihan sekelompok subyek

didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dari sifat-sifat populasi yang sudah

diketahui sebelumnya (Hadi, 2002).

3. Jumlah Sampel Penelitian

(49)

penelitian adalah 160 orang. Dengan perincian 60 orang untuk uji coba dan 100 orang

untuk penelitian..

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Alat ukur yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan tujuan

penelitian dan bentuk data yang akan diambil dan diukur (Hadi, 2002). Data

penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode skala.

Skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat

ukur aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang

menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2006). Hadi (2002)

mengemukakan bahwa skala psikologis mendasarkan diri pada laporan–laporan

pribadi (self report).

1. Skala Motivasi Kerja

Motivasi kerja diukur melalui skala yang disusun berdasarkan teori dua faktor

Herzberg (dalam Newstrom dan Davis, 1993), yaitu :

b. Faktor Hygiene, meliputi kebijakan dan administrasi perusahaan, pengawasan,

gaji, hubungan dengan atasan dan teman kerja, serta kondisi kerja secara fisik.

b. Faktor motivasional, meliputi prestasi, penghargaan, tanggung jawab, dan

promosi.

(50)

Tabel 3 Distribusi Aitem-aitem Skala Motivasi kerja

Setiap aspek-aspek di atas akan diuraikan ke dalam sejumlah pernyataan

favorabel dan unfavorabel, dimana subjek diberikan lima alternatif pilihan yaitu

Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).

Untuk aitem yang favorabel, pilihan SS akan mendapatkan skor empat, pilihan S akan

mendapatkan skor tiga, pilihan TS akan mendapatkan skor dua, dan pilihan STS akan

Gambar

Tabel 3 Distribusi Aitem-aitem Skala Motivasi kerja
Tabel 3 Distribusi Aitem-aitem Skala Gaya Kepemimpinan Transaksional
Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 8. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan vitamin E dan bakteri asam laktat berpengaruh nyata (P&lt;0,05) terhadap kecernaan lemak kasar pada ayam kedu

Proses pengembangan instrumen penelitian terdiri dari dua bagian yaitu uji validitas dan uji reliabilitas yang digunakan untuk menguji tiap item pernyataan yang terdapat

Berkaitan dengan mutu pendidikan di perguruan tinggi, dosen adalah faktor penting dalam mencetak generasi yang handal baik ditinjau dari segi penataan di bidang

collection) untuk melihat kepadatan vektor malaria di daerah tersebut, kepadatan nyamuk berdasarkan jumlah nyamuk yang tertangkap per orang per jam serta

Pemerintah Kota Bandung yang telah memberi fasilitas dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan Pasca Sarjana di Program Studi Pembangunan Institut

Senada dengan hal tersebut Sakadius et al., (2017) dalam peneliatannya mengungkapkan bahwa beradasarkan data yang telah terkumpul dapat diketaui bahwa dalam

Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurangkurangnya meliputi hal-hal: Pemahaman wawasan atau landasan

Strategi yang dapat dilakukan guna meningkatkan perekonomian wilayah melalui sektor unggulan tanaman pangan di Kecamatan Watang Sidenreng yakni meningkatkan hasil