Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MOHD RIDZUAN BIN MOHAMAD NIM: 109045200010
KONSE NTR ASI SI YASA H SYA R’IY YAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKAR TA
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………. i
DAFTAR ISI ………...……vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah……… 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 6
D. Kajian Terdahulu……… 7
E. Kerangka Teori dan Konsepsional……….…12
F. Metode Penelitian………15
G. Sistematika Penulisan………..17
BAB II SEJARAH SINGKAT GOLONGAN PUTIH DI MALAYSIA A. Sejarah Kemunculan Golongan Putih di Malaysia………..17
B. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Golongan putih Sebelum dan Sesudah di Masa Kontemporer……….21
C. Karakteristik dan Jumlah Golongan Putih di Malaysia……...……25
BAB III GOLONGAN PUTIH DI DALAM PENELITIAN FIQH SIYASAH A. Golongan putih di dalam Konsep Fiqh Siyasah………..32
vii
A. Kategorisasi Golongan Elit Politik Islam di Malaysia………45
B. Pandangan Golongan Elit Politik Islam di Malaysia…………...…50
C. Undang-undang Terkait Pemilihan Umum……….59
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………...70
B. Saran………..……….71
DAFTAR PUSTAKA………..74
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Golongan putih merupakan salah satu permasalahan yang sudah lama
berlaku di dalam sistem politik di Malaysia. Permasalahan tentang golongan putih
akan muncul di dalam politik Malaysia ketika pemilihan umum, pembahasan
tentang partai-partai politik, dan sistem pemerintahan Raja Beparlimen (monarki
konstitusional).1
Di dalam perspektif politik Islam di Malaysia, keberadaan golongan
putih mencerminkan perkembangan di dalam hukum, dan terkait dasar
implementasi konsep fiqih siyasah melalui fatwa-fatwa yang dikemukakan ulama
kontemporer di sana.2Seperti pandangan Ustadz Harun Taib merupakan ketua
Dewan Ulama PAS Pusat, menghukumkan sifat yang terdapat bagi golongan
putih adalah haram, jika negara Islam masih ditindas oleh pihak barat.3Terdapat
kategorisasi golongan elit politik Islam di Malaysia di dalam memberi pandangan
1
Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, ( Ampan/Hulu Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 293
2
Khalid Ali Muhammad, Sistem Politik Islam, ( Selangor: Telaga Biru Sdr Bhd, 2008), cet. I, h. 33
3
golongan putih. Seputar pengenalan golongan elit politik Islam, Abdul Rahman
Haji Abdullah membahagikannya kepada tiga golongan:
Pertama, golongan elit politik Islam tradisional, yaitu golongan yang
memperjuangkan hak-hak politik Islam melalui partai-partai yang tidak terdaftar
di bawah undang-undang Malaysia. Akan tetapi, pengaruh masyarakat dan
inspirasinya dapat mengancam kebijakan negara. Di sini, golongan elit adalah
tokoh-tokoh atau ketua partai mereka.
Kedua, golongan elit politik Islam reformis, yaitu golongan yang
memperjuangkan hak-hak politik Islam melalui partai yang terdaftar dan sah
menurut undang-undang di Malaysia, seperti (Parti Islam se-Malaysia) PAS.
Perjuangan hak-hak politik dilakukan langsung di dalam parlemen Malaysia
untuk memberi inspirasi terhadap kebijakan negara yang sah menurut
undang-undang. 4 makanya golongan elit adalah tokoh-tokoh atau ketua partai mereka.
Ketiga golongan elit politik Islam modernis, yaitu golongan yang
memperjuangkan hak-hak politik, tetapi lebih menfokuskan semangat
nasionalisme seperti (United Malays National Organization) UMNO. 5 Partai ini
juga sah menurut undang-undang Malaysia dan golongan elit adalah tokoh-tokoh
atau ketua partai mereka.
4
Pasal 18 UU. Tahun 1954
5
Yang dimaksudkan golongan elit politik dari sudut konsep politik barat
adalah yang pertama, dikemukakan oleh David Froth dan Frank L Wilson disebut
sebagai gladiators,yaitu golongan yang sangat aktif dalam dunia politik dan mempunyai nisbah 5-7% populasi dari seluruh lapisan masyarakat.6Kedua,
menurut Aristoteles (falsafah klasik) adalah golongan yang sedikit dalam
pemerintahan dan berkedudukan di dalam kelompok masyarakat samada harta,
militer dan sebagainya.7 Adapun di dalam konsep politik Islam, golongan elit
menurut pengertian sejarah adalah lebih menfokuskan kepada perlimen perang,
dan mempunyai tokoh di dalam bidang peperangan seperti keberanian dan
sebagainya.8
Di dalam analisis berpolitikan di Malaysia, golongan putih merupakan
faktor yang penting, terutamanya dalam hal penentuan hasil suara pemilihan
umum, ketika Pemilihan Umum pada tahun 2008, persentase masyarakat yang
mengunakan hak pilihannya sebesar 77,1%.9 Masalah ini ramai dibicarakan oleh
golongan elit politik di Malaysia dari golongan elit Islam dan bukan Islam.
Persoalannya mengapa mereka tidak pergi memilih, apakah mereka tidak
6
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I, h. 372
7 Hendi Suhendi, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), cet. I, h. 236
8
http://www era muslim,com/konsultasi konspirasi/send/pasukan-elit-Islam.htm jam 1021 13/4/2010 WIB
9
menyokong partai mana pun di dalam pemilihan umum? Atau partai-partai
politik tidak menjamin hak-hak mereka?
Dengan persoalan di atas, penulis ingin menengahkan perbincangan ini
dengan beberapa pendapat di kalangan golongan elit politik Islam di Malaysia
yang masih hidup, terutamanya dua tokoh utama yaitu Abdul Hadi Awang dan
Anwar Ibrahim. Kedua tokoh ini merupakan ketua partai yang besar di Malaysia,
yaitu Abdul Hadi Awang sebagai presiden Partai Islam se-Malaysia (PAS) dan
Anwar Ibrahim sebagai presiden Partai Keadilan Rakyat (PKR).
Sebagai contoh pandangan Abdul Hadi Awang terhadap golongan putih
adalah mereka yang tidak mengetahui dasar atau nilai-nilai Islam terhadap
pemerintahan, seperti konsep demokrasi di dalam Islam, dan hukum sistem
pemilihan umum menurut ulama Islam kontemporer dan sebagainya.10 Sementara
pendapat Abdul Hadi Awang sependapat dengan Anwar Ibrahim.
Berdasarkan huraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan
mengkaji lebih mendalam masalah yang berkait dengan kedua pandangan tokoh
tersebut sehingga penulis angkat menjadai judul skripsi: “ Golongan Putih
(Golput) Menurut Pandangan Elit Politik Islam Di Malaysia”
10
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, penulis membatasi dan hanya menfokus pada pandangan golongan elit politik Islam terhadap
golongan putih, dan hanya berlaku di seluruh negeri-negeri bagian di Malaysia
kecuali Serawak, dan juga khusus pada berlaku pemilihan umum 2008.
Kemudian melihat sejauh mana implementasi hukum Islam dan kritikan
mereka terhadap aktivitas golongan putih terhadap partai dan negara,
khususnya bagi memberi kebijakan terhadap kekuasaan negara Islam.
2. Perumusan Masalah
Berdasakan huraian di dalam latar belakang dan pembatasan masalah di
atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat
dirumuskan menjadi sebagai berikut:
a. Bagaimanakah penerapan hukum Islam tentang golongan putih di dalam
konsep fiqih siyasah di Malaysia?
b. Bagaimanakah pandangan golongan elit politik Islam terhadap kegiatan
golongan putih di Malaysia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan di antaranya:
1. Bagi mengetahui penerapan hukum Islam di dalam konsep fiqih siyasah.
2. Untuk mengetahui pandangan golongan elit politik Islam terhadap
kegiatan golongan putih di Malaysia.
3. Untuk mengetahui undang-undang yang terkait terhadap golongan putih.
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
a. Secara akademis untuk mendapat jawaban terhadap berbagai persoalan
yang terkait dengan golongan putih di Malaysia.
b. Memberi pengetahuan dan infomasi tentang penerapan golongan putih
di Malaysia.
c. Sebagai sumbangan kepada ahli-ahli politik dan juga kepala
pemerintah dalam menangani segala permasalah yang berlaku di
Malaysia.
d. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan
D. Kajian Terdahulu
Sejumlah penelitian dengan bahasan tentang politik Islam telah dilakukan,
baik mengkaji secara spesifik topik tersebut ataupun yang mengkaji secara
umum yang sejalan dengan bahasan penelitian ini. Berikut ini merupakan
paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut baik yang
berupa buku maupun skripsi, di antaranya:
Penelitian yang ditulis Nurjana yang berjudul “Analisis Budaya Organisasi
dan Pengaruhnya terhadap Keinerja Karyawan”, tahun 2008.11 Skripsi ini membahaskan tentang gambaran umum dalam kajian budaya dan kelompok
masyarakat. Seterunya merupakan salah satu faktor penting kajian masyarakat di
dalam studi politik dan ekonomi, dalam masa yang sama kebuntuhan negara
terhadap ekonomi dan politik amat memerlukan bagi memberi kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat
Penelitian yang ditulis Ahmad baha yang berjudul “Analisis Pemikiran
Politik Anwar Ibrahim di Malaysia”,tahun 2009.12 Skripsi ini membahaskan tentang gambaran kajian Anwar Ibrahim sebagai tokoh politik Islam yang aktif
bergerak di dalam politik Malaysia, dan banyak mengkaji masalah di dalam
bidang politik, terutamanya kelompok kepentingan dan penyokong perbagai
partai politik.
11
Nurjanah,”Analisis Budaya Organisasi dan Pengaruhnya terhadap Keinerja Karyawan” (Skripsi SI Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2008).
12
Penulis ingin menengahkan kajiannya terhadap golongan putih, kerana
pada dasarnya Anwar mahu mengembalikan kedudukan orang Melayu di
Malaysia dari sudut pemerintahan daripada dikuasai selain golongan Melayu,
terutamanya golongan Cina yang telah menguasai di dalam bidang ekonomi.
Matlamatnya mahu mengembalikan golongan putih kepada golongan aktif
mahupun pasif, kerana golongan putih dapat merugikan kebijakan negara
terutamanya hak kedudukan bangsa Melayu di Malaysia.
Penelitian yang ditulis Nabhawi yang berjudul “Golput Dalam Persepektif
Islam”, tahun 2005 .13 Skripsi ini membahaskan secara umumnya implementasi hukum Islam terhadap golongan putih di dalam konsep sistem pemerintahan
Islam.
Penelitian yang ditulis Abdul Hadi Ripin yang berjudul “ Nilai-Nilai Ketatanegaraan Islam dalam Perlaksaan Pemilu di Malaysia”, tahun 2008.14 Skripsi ini membahaskan sistem penerapan pemilihan umum di Malaysia, dan
foktor yang mempengaruhi masyarakat Malaysia di dalam kegiatan partai-
politik, dan juga masyarakat yang tidak terlibat di dalam partai atau pemilihan
umum di sebut sebagai golongan putih.
Selain Skripsi di atas, sejumlah penelitian dengan bahasan tentang
golongan putih di Malaysia telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik
13
Nabawi. ”Golput Dalam Persepektif Islam”, (Skripsi SI fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005)
14
topik tersebut maupun yang bersinggungan secara umum dengan bahasan
penelitian. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian
karya-karya penelitian tersebut:
Buku pertama,“Fahaman atau Ideologi Umat Islam”, Karya Abdul Hadi
Awang15. Buku ini membahaskan ideologi umat Islam bermula zaman rasulullah
sehingga zaman sekarang, dan kesannya terhadap pemerintahan. Dalam
perbahasan ini, Abdul Hadi Awang meneliti terhadap penyokong Islam yang
keluar dari partai Islam se-Malaysia (PAS) disebabkan kesan ideologi
keagamaan dan sebagainya.
Buku kedua, “Islam dan Demokrasi”, Karya Abdul Hadi Awang.16
Dalam buku ini ditulis beberapa bab tentang “politik dan agama, pemisahan
politik dan agama, pahaman kebangsaan, serta perinsip-perinsip dan konsep
politik dalam Islam”. Intinya buku ini membahas tentang bagaimana hubungan
politik Islam sebuah negara dan hak-hak rakyat di dalam pemilihan kepempinan
dan tokoh-tokoh Islam.
Buku ketiga, “Pembentukan Partai Politik Islam”, Karya Taqiyuddin an-
Nabhani17. Buku ini membahas dan meneliti dasar-dasar pembentukan partai
Islam sebagai jalan atau wasilah untuk menegakan negara Islam, bermula kajian
sifat seorang muslim sehingga dapat membentuk partai Islam yang mantap.
15
Abdul Hadi Awang, Fahaman atau Ideologi Umat Islam, (Selangor:PTS Publications &Distributors Sdn Bhd jln Industri Batu Caves, 2008), cet. II
16
Abdul Hadi Awang, Islam dan Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika,2007), cet. I
17
Buku keempat, “ Pemikiran Islam di Malaysia sejarah dan Alirannya”, karya Abdul Rahman Haji Abdullah.18 Buku ini membicarakan sifat orang Islam
Melayu di Malaysia dari sudut perkambangan sejarah terhadap pemerintahan,
akidah, ekonomi, budaya dan politik. Intinya menjadi sumber rujukan terhadap
sejarah perkembangan partai politik di Malaysia.
Buku kelima, “Model Kerajaan Islam Memebangun Bersama Islam”,
karya Harun Taib.19 Buku ini di antaranya membicarakan konsep kepimpinan
dalam Partai Islam Se-Malaysia (PAS) khususnya di Negara Bagian Kelantan,
akhlak dan disiplin dalam Harakah islamiyyah, model kerajaan Islami, ulama
dan tokoh politik di Malaysia.
Buku keenam, “Muqaddamah Ibn Khaldun”, terjamahan oleh Ahmadie
Thoha.20 Buku ini merupakan buku utama, dan menjadi sumber kajian penting
terhadap sosial masyarakat dan hubungan terhadap pembetukan sebuah negara
yang bertamadun berdasarkan konsep dan implementasi hukum dan filsafat
Islam.
Buku ketujuh, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, karya Miriam Budiardjo.21
Buku ini membahaskan asas-asas penerapan ilmu politik secara umumnya, dan
18
Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya” (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I
19
Harun Taib, Model Kerajaan Islam Membangun Bersama Islam, (Kuala Lumpur: Dewan Ulama PAS Pusat, 2000), cet. I
20
Ahmadie Thoha, Terjemahan Muqaddamah Ibnu Khaldum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet. IIV
21
memberi kefahaman yang mudah terhadap kajian masalah politik terutamanya
golongan putih di dalam sebuah negara.
Buku kedelapan, “Pengantar Sosialogi Politik”, karya Michael Rush dan
Phillp.22 Buku ini membahaskan kajian politik terutamanya golongan putih atau
lebih dikenali dengan kata istilah apatis, di dalam buku ini juga membahaskan
ciri-ciri golongan putih yang berlaku di masa kontemporer.
Buku kesembilan, “Sosialogi dan Politik”, karya Nurul Aini dan Ng
Philipus.23 Buku ini lebih meneliti terhadap kajian masyarakat yang terpengaruh
kepada politik atau tidak, dan disebut sebagai golongan aktif, pasif dan apatis.
Dengan kajian yang dibuat, buku ini mudah menjadi rujukan kerana mempunyai
kandungan isi yang mudah difahami.
Buku kesepuluh, “Malaysia Macan Asia, Ekonomi Politik Sosial Budaya
& Dinamika Hubunganya dengan Indonesia”, karya Khoridatul Anissa.24Buku ini meneliti terhadap sistem pemerintahan di Malaysia secara lengkap bermula
sosial, ekonomi, dan politik. Di dalam kajian politik, buku ini lebih mendalami
terhadap konsep negara Islam dan pembentukan partai politik di Malaysia.
Dari beberapa kajian terdahulu di atas, khususnya mengenai golongan
putih dari sudut pandangan elit politik Islam di Malaysia sebagai mana telah
disebut di atas, penulis belum menemukan tulisan yang membahas atau mengkaji
22
Michael Rush and Phillip Althoff, Pengantar Sosialogi politik, diterjemah oleh: Kartini Kartono, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perseda, 2003), cet. III
23
Ng Phlippus, dan Nurul Aini, Sosialogi dan Politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. V
24
golongan putih di Malaysia khususnya. Adapun penelitian yang dilakukan oleh
Nabawi dengan judulnya Golput dalam Persepektif Islam hanya hubung kait implementasi dan dasar-dasar hukum Islam, seterusnya perbahasan ini hanya
seputar golongan putih di Indonesia, jadi perbahasan ini tidak menyentuh
terhadap kajian di Malaysia dan juga pendapat golongan elit politik Islam di
Malaysia. Dengan demikian, peneliti yang penulis lakukan dalam skripsi ini
berbeda dengan penelitian sebelumnya.
E. Kerangka Teori dan Konsepsional
Hukum Islam adalah hukum yang mempunyai ciri khas yang tidak
berubah, sempurna, harmonis dan berkembang sesuai dengan keadaan zaman.
Artinya bahawa hukum Islam merupakan hukum yang mampu mendamaikan
stabilitas dengan perubahan, sehingga akan berguna untuk menyelesaikan
masalah dan memenuhi tujuan hidup manusia.
Ada beberapa teori tentang sifat atau praktek golongan putih, di antaranya;
1. Golongan putih administratif, yaitu orang yang tidak memilih kerana
persoalan administrasi. Mereka adalah orang-orang yang secara hukum
sesungguhnya berhak memilih, tetapi namanya tidak tercantum dalam daftar
pemilih atau terjadi kesalahan administrasi sehingga mereka kehilangan hak
pilinya.
2. Golongan putih teknis, yaitu orang yang tidak memilih kerana masalah teknis,
atau saat jam-jam pemilihan umum turun hujan lebat, atau TPS-nya jauh dari
rumah dan mengalami kendala transportasi, dan sebaginya.
3. Golongan putih ideologis, yaitu orang secara hukum mahupun teknis
sebenarnya tidak ada kendala, tetapi mereka sengaja tidak mengunakan hak
pilihnya kerana pertimbangan tertentu. Misalnya tidak percaya kepada
calon-calon (legislatif maupun eksekutif) yang ada, atau tidak percaya lagi kepada
sistem atau makenisme pemilihan yang ditetapkan oleh pemerintah atau
penyelengaraan pemilu, dan sebagainya.
Dalam Islam, kedudukan golongan putih terhadap konteks fiqih masih lagi
berada diruang lingkup masalah ijtihadiyyah, Dalam literatur(kajian)fiqih dan
ushul fiqih istilah golongan putih atau abstain diistilahkan dengan kata
“tawaqquf” yang secara etimologi bermakna “talawwum”, “talabbuts” dan
“tamakkuts” yang berarti berdiam diri dan berhenti. Adapun secara istilah maka
sikap tawaqquf bermakna ‘sikap yang diambil oleh seorang mujtahid dengan
tidak memberikan pendapat dalam sebuah permasalahan ijtihadiyah yang
disebabkan karena tidak nampak baginya sisi yang benar dalam permasalahan
tersebut.
Adapun kerangka dan kesimpulan Konsepsional;
1. Al-Quran dan Al-Hadis sebagai dasar atau panduan utama dalam
Zoniyyatul Thubut , sementara kedudukan penunjuk terhadap hukum terbagi kepada 2 bagian yaitu; Qatiyyatu Dilalah dan Zoniyyatul Dilalah.
2. Ijtihad adalah hasil hukum yang di keluarkan oleh para mujtahid melalui
mentode yang sudah ditetapkan, seperti mentode qias, istihsan, masholih al-mursalah, sad az-zaraie, dan qowaid kuliyyah.
3. Fiqih adalah hukum yang sifat mengikat dalam bentuk halal, haram dan
sebagainya, dalam hal ini, para imam mazhab adalah memengan tugas utama
dalam mengeluarkan hukum-hukum tersebut. Sementara ini, hukum yang
dikeluarkan adalah bersifat kondifikasi atau tidak dengan menilai kesusuaian
masa dan tempat ketika itu.
4. Penarikan kesimpulan (istimbath) hukum Islam terhadap masalah golongan
putih yang dilakukan oleh ulama atau intlektual Islam kontemporer adalah;
a. Merujuk nash al-Quran dan al-Hadis melalui tekstual, seterusnya dalam
rangka penafsiran samada melalui dilalah mafhum, manthuq, isyarat dan
meneliti dari sudut kedudukan makna samada kedudukan
khafi,mujmal,musykil, mutsyabih, nash, zohir, muffassar dan muhkam.sebagai contoh, golongan putih disebut sebagai “tawaqquf” yang secara etimologi bermakna “talawwum”, “talabbuts” dan “tamakkuts”.
b. Menilai dari sudut konteks, atau disebut sebagai maslahah,dalam hal ini, konteks maslahah berpadukan garis kulliyyah, qothiyyah dan dharuriyyah,
realisme dan rasionalisme. Adapun contoh kaedah yang mengeluarkan
Malaysia’ Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku, seperi buku karangan Abdul hadi Awang, dengan judul Islam dan Demokrasi, dan Ideologi Umat Islam, seterusnnya karangan-karangan lain yang terkait dengan judul skripsi ini, literature-literature, dan website yang berkaitan dengan obyek penelitian.
Kemudia data tertier berupa kamus, jurnal dan artikal
4. Teknik Analisis Data dan teknik penarikan kesimpulan
Pembahasan skripsi ini mengunakan teknik deskriptif analitis. Yaitu data
yang terkait jumlah golongan putih adalah dikeluarkan oleh Suruhanjaya Pilihan
Raya (SPR) atau disebut sebagai panetra pemilihan umum pada tahun 2008,
sementara data-data lain adalah seperti jumlah penduduk yang mengeluarkan hak
pilih dalam pemilihan umum. Makanya dengan melalui pendekatan kualitatif ini
sebagai rujukan primer dalam skripsi ini.
Metode atau teknik diskriktif adalah suatu metode yang meneliti status
kelompok, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau pun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskriptif
(gambaran) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat dan
hubungan antara fenomena yang diselidiki. Sedangkan yang dimaksudkan
dengan study analitis ialah menganalisis (menguji) hipotesa-hipotesa dan
mengadakan interpretasi yang lebih mendalam tentang hubungan fakta-fakta,
sifat-sifat, dan antar fenomena yang diselidiki. Pendekatan yang bersifat deskriptif
Malaysia. Dan metode analitis dimaksudkan untuk menelaah metodologi
pandangan atau keritikan golongan elit politik Islam di Malaysia.25
5. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007” yang diterbitkan oleh Fakultas Syasiah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudahkan dan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh, penelitian skripsi ini ditulis dengan mengunakan sistematika
memebahas sebagai berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kajian terdahulu, kerangka teori dan konsepsional, metodologi penelitian, dan
sistematika penelitian.
Selanjutnya pada bab II merupakan tinjauan umum terhadap studi sejarah
kemunculan dengan membahas sejarah golongan putih di Malaysia, faktor yang
mempengaruhi perkembangan sebelum dan sesudah di masa kontemporer,
karakteristik dan jumlahnya.
25
Untuk mengetahui lagi kedudukan hukum Islam yang terkait masalah
golongan putih, maka pada bab III, membahaskan tentang penerapan di dalam
konsep fiqih siyasah dan pandangan hukum Islam terhadap golongan putih.
Agar lebih mendalam lagi perkembangan hukum Islam yang melibatkan
kedudukan masa dan tempat, bab IV membahaskan pendapat dan pandangan
golongan elit politik Islam khususnya hanya berlaku di Malaysia, dengan
bermula dari sudut pengenalan kategorisasi, dan undang-undang terkait
Pemilihan Umum.
18
SEJARAH SINGKAT GOLONGAN PUTIH DI MALAYSIA
Penelitian terhadap golongan putih di dalam kajian politik terutamanya di
Malaysia lebih menfokuskan terhadap hubung kait terhadap sistem pemilihan umum.
sudah dimaklumi bahawa sistem pemerintahan Malaysia mengamalkan sistem Raja
Berparlemen,1 maka pemilihan umum tidak semua suara rakyat memberi inspirasi
terhadap kebajikan negara di dalam sistem pemilu yang berlaku pada 5 tahun sekali.2
Menurut sejarah pemilihan umum di Malaysia yaitu di Pulau Pinang dengan
dibentuknya pejabat sementara yang dinamakan Jawatankuasa Penilai ( Committee of
Assesror ) pada tahun 1801. 3 Pada awalnya pejabat ini bertanggung jawab atas aspek pembangunan kota supaya lembaga ini dapat memenuhi kebuntuhan penduduk
setempat, termasuk di dalamnya urusan jalan, pembangunan sistem saluran jalanan,
pejabat pelaksanaan undang-undang, urusan keamanan, serta urusan pajak.
Penduduk–penduduk Asia dan Britis yang kaya terlibat dalam musyawarah
yang memilih anggota Jawatankuasa sukarela ini, walau bagaimanapun, pengurusan
Jawatankuasa ini dilantik oleh Lieutenant Governor,4 yang kemudian Jawatankuasa ini berubah menjadi Majlis Perbandaran hingga sekarang.
1
Lembaga Penyelidik Undang-Undang, perlembagaan Persekutuan, ( Selangor Darul Ehsan: International Law Book Service, 2009), cet. I, h. 77
2
Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, ( Ampan/Hulu Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 293
3
Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihanraya di Malaysia, ( Kuala Lumpur: Suruhanjaya Pilihan Raya, 2007), c. I, h. 18
4
Secara dasarnya, golongan putih yang berlaku pada awal pemilihan umun di
Malaysia tidak lagi menjadi sumber penelitian oleh golongan elit politik Islam, kerana
menurut sejarah, yang berlaku pemilihan umum pada tahun 1945 adalah rancangan
oleh pihak penjajah untuk memberi hak kebebasan rakyat bagi memilih pemimpin,
dalam masa yang sama Inggris masih lagi menguasai sepenuhnya tanah Melayu pada
saat itu dari sudut undang-undang pemerintahan.
A. Sejarah kemuculan Golongan Putih di Malaysia.
Pada tahun 1953, Partai Persekutuan menuntut agar anggota Majlis
Musyawarah Undangan Persekutuan dipilih melalui sistem pemilihan umum
bukan oleh pihak Inggris. Ini akan memberikan peluang kepada
pimpinan-pimpinan Partai Perserikatan untuk dapat menjadi anggota majlis Musyawarah
kerajaan yang merupakan sebuah badan penting dalam penyelengaraan Negara.
Disamping itu, Partai Persekutuan juga menuntut pihak Inggris agar pilihan
umum (pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan parlemen) agar
diadakan selambat-lambatnya pada tahun 1954, dan anggota Majlis Musyawarah
Undangan Persekutuan yang dipilih melalui pemilihan umum hendaklah
berdasarkan suara terbanyak dalam majlis tersebut. 5
Akhirnya dengan persetujuan Inggris, pemilu Majlis Perundangan
Persekutuan yang pertama bagi Negara Malaysia secara rasmi dilaksanakan pada
5
tanggal 27 juli 1955. Sehari sebelum yang bersejarah itu, setiap partai politik yang
terlibat dalam pemilihan umum akan mengadakan kampanye setelah
mengumumkan calon pimpinannya yaitu pada tanggal 15 juli 1955.
Dalam pemilihan umum tersebut, kelompok-kelompok Partai perikatan
yaitu UMNO, MCA dan MIC telah mengadakan beberapa perundingan untuk
membagikan wilayah pemilahan dan jumlah kerusi yang diperbuatkan. Hasilnya,
UMNO memenan di 35 wilayah, MCA di 15 wilayah dan MIC di 2 wilayah.
Dalam pemilu ini, Partai Perserikatan memenangkannya dengan memperoleh 51
kursi dari 52 kursi yang diperebutkan, sedangkan 1 kursi lagi diraih oleh Partai
Islam Se-Malaysia (PAS).6
Sudah dijelaskan sejarah ringkas sistem pemilu di Malaysia. Pada
peringkat permulaanya di dalam sistem pemilihan umum di sana, secara dasar
golongan putih sudah berlaku kepada mansyarakat Melayu pada saat itu, dalam
masa yang sama, hak-hak suara rakyat di dalam memberi kebijakan terhadap
sistem demokarasi masih lagi tidak menyeluruh. Pada saat itu apa yang di
jelaskan lagi oleh Abdul Rahman di dalam bukunya adalah masyarakat Melayu
mempunyai pemikiran atau ideologi yang terpenggaruh, 7dan terjadilah pinggiran
6
Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihanraya di Malaysia, ( Kuala Lumpur: Suruhanjaya Pilihan Raya, 2007), c. I, h. 32
7
atau dikecualikan dari memberi hak pemilihan di dalam sistem pemilu, yaitu di
sebut dari sudut etimologis adalah apatis atau lebih dikenali golongan putih. 8
Amalan apatis atau golongan putih bermula di kalangan golongan Melayu
menurut logman adalah dengan bermula kedatangan penjajah barat yang
membawa kemasukkan ramai pekerja asing bukan Islam dari India dan Tanah
Besar Cina. Penjajah membuka ladang-ladang dengan mengunakan tenaga buruh
dari India dan membuka kawasan perbandaran baru dengan peluang ekonominya
lebih banyak dikuasai oleh pekerja dari Cina. 9
Dengan pembentukan bandar-bandar baru itu menyebabkan kebanyakan
bandar diduduki oleh bukan Islam khususnya Cina, orang Melayu-Islam tinggal
sebagai petani di luar bandar dan masyarakat India tinggal di ladang-ladang.
Penjajah membuka peluang pedangan direbut oleh masyarakat Cina. Justeru sifat
pedangan bebas itu mengundang amalan monopoli, maka peniaga itu terbiar
dengan amalan monopolinya hingga tertutup ruang pedangan bagi orang Melayu
dalam semua bidang. Segala hasil pertanian orang Melayu tidak mendapat
pasaran meluas dan layanan yang adil, berbeda dengan hasil pertanian orang Cina.
Monopoli kaum itu menyebabkan petani Melayu tertindas. Di setiap bandar
penjajah membuka persekolahan lengkap yaitu sekolah Inggeris dan peluang
pelajaran banyak terbuka kepada penduduk bandar. Sekolah di desa-desa untuk
8
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Poiltik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I, h. 372
9
orang Melayu tidak sempurna. Sekolah-sekolah pondok tidak diberi bantuan dan
tidak digalakkan.
Menjelang kemerdekaan sekolah yang penting adalah sekolah Inggeris.
jumlah guru kebanyakannya Cina. Guru Melayu amat kurang. Ia membuka ruang
penindasan terhadap anak-anak Melayu di sekolah Inggeris, kebayakan murid
Melayu pinggir tetapi murid-murid Melayu di sekolah bantuan penuh kerajaan
seperti Malay College, kebayakan murid Melayu boleh mencapai kejayaan, pinggiran pelajar Melayu itu ada hubungannya dengan penindasan guru-guru
bukan Melayu, maka menyebabkan rata-rata orang Melayu ketinggalan dalam
bidang pelajaran.
Ketinggalan orang Melayu di bidang ekonomi dan pelajaran adalah
berpunca dari penindasan monopoli kaum pedagang Cina dan guru-curu Cina,
Pelajar India dan nasib orang India dalam ekonomi terus ketinggalan, penindasan
atau diskriminasi ini tidak berlaku sebelum kedatangan penjajahan barat, dalam
masyarakat Islam sebelum kedatangan barat, semua penduduk diberi layanan adil
sesuai dengan ajaran Islam, hingga orang Melayu mengunakan bahasa pasar atau
lokal yang susah bagi mudahkan ia difahami oleh Cina dan India semata-mata
Layanan adil terhadap golongan minoriti itu adalah bertolak dari ajaran
dan keadilan Islam yang melarang pendindasan. Diskriminasi monopoli dan
penindasan atas golongan minoriti adalah zalim dan perbuatan itu berdosa.10
Sikap dan perbedaan ini terbawa-bawa hingga selepas kemerdekaan.
Monopoli ekonomi terus berlaku. Kerajaan gagal mewujudkan sekurang-kurang
30 persen bagi bumiputera ialah kerana peluang pedangan kebanyakananya
ditangan kaum Cina, kerajaan Pro Melayu pula memberi lesen atau stafikat dan
peluang banyak kepada orang Melayu, tetapi monopoli pedangan ada di tangan
orang Cina, maka semua lesen itu terjual kepada orang Cina.
Dengan kesimpulan ini, apa yang dijelas oleh Logman di dalam bukunya
yaitu sejarah Malaysia,11 sejarah muncul golongan putih adalah berpunca dari
kemasukan orang-orang India dan Cina dari pihak Inggris sekitar pada awal abad
ke 18, maka terbentuklah sifat apatis bagi golongan masyarakat Melayu di dalam
berpolitikan di Malaysia.
B. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Golongan Putih Sebelum dan Sesudah di Masa Kontemporer.
Faktor yang mempengaruhi perkembangan golongan putih sebelum
kontemporer adalah ditinjau banyak sudut, pertama dari sudut sosiolisasi.
10
Ahmadie Thoha,Terjemahan Muqaddamah Ibnu Khaldum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet. IIV, h. 10
11
Menurut konsep sosiologi, sesuatu kelompok itu berlaku perubahan dengan tiga
menyebabkan berlaku perubahan di dalam sistem politik sesebuah negara,
khususnya di Malaysia.
Kedua, yang menyebabkan mempengaruhi golongan putih ini berkembang
adalah ditinjau dari sudut berpolitikan yang berlaku di dalam sesebuah negara,
sebagai contoh, Malaysia mengamalkan sistem Raja Beparlemen (monarki
konstitusional), suara rakyat mesti didahulukan. 13 Dan juga banyak berlaku di
sana pertubuhan partai-partai politik, bagi memberi inspirasi yang sah dan
bersistem menurut undang-undang, yaitu menerima suara rakyat menjadi sebagai
dasar perlembagaan negara.
Secara dasarnya, faktor yang mempengaruhi golongan putih sebelum
zaman kontemporer adalah foktor politik saat itu, sebagai contoh, pada zaman
pemerintahan Tunku Abdul Rahman yaitu Perdana Menteri yang pertama, adalah
pada saat itu Malaysia baru menjelang kemerdekaan, dan masyarakat Melayu
secara meyoritasnya masih lagi merasakan politik atau kekuasaanya dijajah, dan
12
Michael Rush and Phillip Althoff, Pengantar Sosialogi politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perseda, 2003), cet. 3, h. 46
13
semangat ideologi tradisionalisme terus mempengaruhi pada setiap lapisan
masyarakat. 14
Pemikiran atau semangat golongan putih pada awalnya, sudah berlaku dan
mempengaruhi di dalam partai politik pada saat itu, tetapi pada akhirnya golongan
ini berlaku kesedaran dan perubahan terhadap kepentingan pertubuhan
partai-partai politik, yaitu kepentingannya adalah hak-hak perjuangan untuk menghalau
penjajah Inggeris. 15
Faktor yang mempengaruhi sesudah kontemporer kurang lebih sama pada
masa sebelumnya, yaitu foktor sosiolisasi dan politik, cuma dari sudut politik
ianya meluas pada masa sebelumya. Jika ditinjau dari sudut politik, kemunculan
partai-partai politik semakin bertambah sehingga terbentuk sistem multi partai
pada saat ini, dan suara rakyat terus dilayani oleh pihak pemerintah walaupun
berada dikawasan perdalaman disebabkan kecangihan teknologi dan sebagainya.
Tetapi menurut kajian kenapa golongan putih terus meningkat persentasenya di
Malaysia dan semakin bertambah pada saat ini?
Secara dasarnya, sistem multi partai yang diamalkan di Malaysia adalah
punca menyebabkan banyak golongan putih muncul. Diantara kelemahanya
adalah:
14
Khoridatul Anissa, Malaysia Macan Asia, Ekonomi Politik Sosial Budaya& Dinamika Hubungannya Indonesia, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media Group, 2009), cet. I, h. 41
15
Mempunyai kecederungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan
legislatif, sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu hal ini.
1. Tidak ada suatu partai yang cukup kuat untuk membentuk koalisi dengan
partai-partai lain.
2. Partai-partai oposisinya kurang memainkan peranan yang jelas kerana
sewaktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan
koalisi baru.
Faktor dalaman setiap partai-partai politik, seperti berlaku korupsi dan
sebagainya menyebabkan penyokong hilang kepercayaan. 16
Sebagai kesimpulanya, faktor yang menyebabkan mempengaruhi pemikaran
golongan putih di Malaysia adalah, pertama sisiolisasi dan kedua berpolitikan.
Dan secara dasarnya, di dalam sejarah masyarakat Melayu mempunyai tiga
pemikiran yang menyebabkan kurang tambahnya golongan putih di sana,17 yaitu
pertama golongan tradisionalisme,18 kedua golongan modernisme,19 dan ketiga
golongan reformisme.20
16
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Poiltik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I, h. 418
17
Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya, ,(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 13
18
Istilah tradisionalisme digunakan dalam pengertian konservatif atau mempertahankan yang lama atau ditinjau dari sudut pemikiran adalah menekankan persoalan agama di dalam kehidupan.
19
Istilah modernisme menurut Roger Garaudry adalah Westernisme yaitu aliran yang berasaskan kebudayaan dan pemikiran barat.
20
C. Karakteristik dan Jumlah Golongan Putih di Malaysia.
Secara dasarnya, karaktreristik dan jumlah golongan putih di Malaysia
adalah ditinjau karaktristik dan jumlah yang lain terlebih dahulu, yaitu jumlah
penduduk, data pemilihan umum dan seterusnya jumlah golongan putih.
1. Karakteristik dan jumlah penduduk Malaysia:21
Data di atas, jumlah penduduk Malaysia bagi seluruh Negeri Bagian adalah
22.931.314 jiwa kecuali Negari Bagian Serawak. Masyarakat Melayu masih lagi
mempunyai karaktristik yang tinggi berbanding bangsa lain. Dari sudut
partisipasi, masyarakat Melayu mempunyai hak suara yang lebih di dalam politik
Malaysia. Adapun karaktristik dan jumlah pemilih yang melakukan hak pemilihan
di dalam pemilihan umum pada setiap lima tahun sekali adalah seperti berikut:
2. Jumlah pemilih yang dikeluarkan oleh panetra pemilihan umum atau jabatan
Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) kali ke 12.22
Tabel 2
No Negeri Jumlah pemilih Keluar memilih
1 Perlis 120,081 97,386 (81%)
2 Kedah 873,674 697,384 (79,8)
3 Kelantan 735,417 607,674 (82.6)
4 Terengganu 521,527 443,182 (85.0)
5 Pulau Pinang 709,323 553,755 (78.1)
6 Perak 1,196,160 871,731 (72.9)
7 Pahang 603,242 464,826 (77.1)
8 Selangor 1,536,111 1,187,511 (77.3)
9 Negeri Sembilan 462,015 354,596 (76.7)
10 Melaka 371,594 297,179 (80.0)
11 Johor 1,312,120 997,817 (76.0)
22
12 Sabah 786,142 544,185(69.2)
Jumlah 9,227,476 7,117,226 (77.1)
Berdasarkan sumber data di atas, bilangan atau jumlah penduduk Malaysia
sebanyak 22.931.314 jiwa, 23 dan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang
sudah berdaftar sebagai layak memilih dengan jumlahnya 9.227.476 jiwa.24Maka
persentase golongan putih adalah sebanyak 13.703.838 jiwa, yaitu mereka yang
tidak mengeluarkan hak pemilihan pada pemilihan umum kali ke-12 pada tahun
2008.
Jadi sebanyak 13.703.838 jiwa, adakah dikatakan kepada mereka sebagai
golongan putih kerana tidak memberi hak inspirasi rakyat terhadap kebijakan
pemerintah? Disini berbagai persoalan yang dikemukakan oleh golongan elit
politik, terutamanya golongan elit plitik Islam di dalam penelitian permasalahan
ini.
Dalam hal yang sama, jumlah pendaftaran yang dibuat oleh panetra
pemilihan umum atau Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) dengan sebanyak
9.227.476 orang yang layak memilih, tetapi pada pilihan umum kali ke-12
sebanyak 20% yang tidak mengunakkan pemilihannya di dalam pemilihan umum
23
Karaktristik dan Jumlah Penduduk dan Luas Negeri Bagian di Malaysia, Sumber data: Sensus Nasional Malaysia tahun 2008 oleh Deparmen Statistik Malaysia.
24
pada saat itu, ini bermakna, jumlah penduduk yang tidak mengundi semakin
bertambah. 25
Dengan kesimpulan di atas, karaktristik dan jumlah golongan putih di
Malaysia terbahagi kepada dua bahagian:
1. Sebanyak 13.703.838 jiwa, yaitu mereka yang tidak melakukan haknya di
dalam pemilihan umum pada tahun 2004, dan jumlah ini dinisbahkan kepada
jumlah penduduk sebanyak 22.931.314 jiwa termasuk kanak-kanak dan orang
yang tidak layak memilih disebab tertentu. Jadinya keseluruhan jumlah di atas
tidak lagi dikategorisasikan sebagai golongan putih.
2. Sebanyak 20% mereka yang tidak memilih, dengan dinisbahkan kepada
jumlah penduduk yang sudah berdaftar sebagai layak untuk memilih sebanyak
9.227.478 jiwa. Dan jumlah ini disebut sebagai golongan putih di dalam
perbincangan ini.
Kesimpulan di atas dapat dilihat:
No Jumlah penduduk Jumlah Layak memilih Golongan
putih
Tahun
1 22.931.314 9.227.476 2. 445.016 2008
25
Sebanyak 2.445.016 jiwa yang tidak mengunakan haknya dalam pemilihan umum
pada tahun 2008 yaitu disebut golongan putih (golongan putih ), dan sumber data ini
telah dikeluarkan oleh panetra pemilihan umum atau Suruhanjaya Pilihan Raya
(SPR). Adapun jumlah ini, tidak termasuk hitungan golongan putih di seluruh
Malaysia, kerana 1 Negeri Bagian lagi masih tidak dihitung yaitu Serawak, kerana
Negeri Bagian ini tidak termasuk di dalam analisis ini. sementara kedudukan
undang-undang pemilihan umum di dalam Perlembagaan Persekutuan bagi negeri Serawak
adalah, ( Bagian 8, tentang Pilihan Raya Perkara 113, No 3) menyatakan, Negeri-Negeri Tanah Melayu hendak termasuk wilayah-wilayah Persekutuan Kuala Lumpur,Labuan dan Putrajaya. Yaitu Negeri Bagian Serawak tidak termasuk perlaksanaan undang-undang pilihan raya ini, dan mempunyai undang-undang lain di
bawah Undang-undang Dasar di Malaysia.26
Setelah di jelaskan sumber data di atas dengan melalui deskriptif analitis
makanya hepotesa-hepotesa tersebut di lakukan melalui teknik induktif, untuk lebih
akurat dan faktual dalam bab seterusnya, yaitu inti atau kesimpulanya lebih
komprehensif akan membahaskan kedudukan golongan putih antara hubungan
hukum Islam dan fiqh siyasah.
26
30
GOLONGAN PUTIH DI DALAM PENELITIAN FIQH SIYASAH
Penelitian golongan putih di dalam konsep fiqh siyasah tidak terlepas dari
beberapa hak di dalam sistem politik Islam. Terutamanya hak pemilu di dalam
pemerintahan yang mengamalkan sistem demokrasi, dalam masa yang sama, punca
yang menyebabkan berlaku golongan putih adalah kesalafaham sistem demokrasi
Islam, seperti berlaku pada kelompok Hizbut Tahrir yang menolak sistem demokrasi
yang berlaku politik dunia saat ini.1Tetapi kelompok Hizbut Tahrir tidak dikatakan
golongan putih, kerana mereka tetap memperdulikan hak-hak perjuangan politik
pada Islam, kerana golongan putih dari sudut etimologis adalah ‘sikap yang tidak
mengambil peduli di sekitarnya’. 2 adapun dari sudut pengertian politik adalah
‘golongan yang tidak melibatkan hak-haknya di dalam sistem politik’ terutamanya
hal-hal terkait sistem pemilihan umum.
Jika dibicarakan sistem demokrasi di dalam Islam, ianya mempunyai
perbahasan yang panjang sebagai contoh, tokoh-tokoh yang menerima sistem ini
diterapkan di dalam Islam yaitu Muhamad Abduh (1849-1905 M), Muhamad Iqbal
(1873-1938 M), Muhamad Husain Haikal (1888-1945 M), Fazlur Rahman
1
Taqiyuddin an Nabhan, Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2009), cet. III, h. 13
2
1988) dan ramai lagi tidak tercatat, untuk lebih luas perbahasan ini lihat dalam buku
(fiqh siyasah) karangan Khmami Zada dan Mujar tentang masalah ini.3
Sebagai dasar implementasi hukum Islam di dalam sistem demokrasi tidaklah
menjadi hukum Qathi’ di dalam istidhlal hukum, Cuma membawa kepada dilalah zhanni.4 Kerana ia membawa kepada perkara khilafiyyah. Dalam literatur fiqh dan ushul al-fiqh istilah golongan putih/abstain diistilahkan dengan kata “tawaqquf” yang
secara etimologi bermakna “talawwum”, “talabbuts” dan “tamakkuts” yang berarti
berdiam diri dan berhenti.5 Adapun secara istilah maka sikap tawaqquf bermakna
‘sikap yang diambil oleh seorang mujtahid dengan tidak memberikan pendapat dalam
sebuah permasalahan ijtihadiyah yang disebabkan karena tidak nampak baginya sisi
yang benar dalam permasalahan tersebut’.
Pada dasarnya, berbalik kepada perbincangan hubungan golongan putih antar
demokrasi. Adalah fahaman mereka terhadap demokrasi masih lagi mengangap
sistem ini adalah sistem yang dijajah seluruh dunia, walau pun ia sudah lama
dilahirkan dan mengalami perubahan serta banyak perkara kemanusian yang baik dan
buruk. Semua penganut ideologi sama ada di timur atau di barat mengaku menjadi
pendukung demokrasi kerana mereka tidak menemui idealogi yang lain. Oleh itu,
Islam yang datang lebih awal dari demokrasi mempunyai pertimbangan sendiri bagi
3
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, fiqh Siyasah, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), cet. I, h. 41
4
Abd Latif Muda dan Rosmawati Ali, Perbahasan Usul Ahkam, (Kuala Lumpur: Pustaka Salam, 2005), cet. I, h. 336
5
http://www.islam-indo.org/kajian/fiqh-islam/kontemporer/138-golongan putih.html?lang=
menyelamatkan manusia dari kancah perubahan di sepanjang sejarah. Islam tidak
menolak yang baik walau pun di mana ia di lahirkan dan bila ia di temui.
Untuk kesimpulannya, penerapan golongan putih di dalam implementasi fiqh
siyasah bukanlah perkara kecil di dalam hukum Islam, bahkah ada sebahagian ulama
kontemporer menhukumkan haram bagi golongan putih tersebut, seperti disebut oleh
Miswan Thahani di dalam bukunya.6
A. Golongan Putih di dalam Konsep Fiqh Siyasah.
Penelitian fiqh siyasah terhadap golongan putih tidak terlepas dari kaitan
hak-hak di dalam politik Islam, seperti telah disebut di atas, cuma di sini
menjelaskan lagi konsep dan tujuan terhadap hukum-hukum tersebut. Yang
pertamanya hubungan pemilu dan kaitannya terhadap golongan putih. Adapun
pengertian pilihan umum atau pemilu adalah ‘memilih sesorang penguasa, pejabat
atau lainnya dengan jalan menuliskan nama yang dipilih dalam secarik kertas atau
dengan memberikan suara dalam pemilihan umum’. Meskipun istilah ini
merialisasikan makna “memilih”, tetapi tidak digunakan dalam syariat untuk
pembahasan pemilihan umum seorang penguasa. Pada hakikatnya istilah
pemilihan umum umum mirip dengan istilah syar’i, yaitu syura.7 Untuk kesimpulannya, penerapan hukum Islam di dalam sistem pemilu menjadi suatu
kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang menegakkan daulat Islamiyyah,
6
Miswan Thahani, 8 Pertanyaan&Jawapan Seputar Fatwa Haram Golongan putih, (Jakarta: Al-Itishom Anggota Ikapi, 2009), cet. I, h. 45
7
dan golongan putih tidak terlepas di dalam konsep fiqh siyasah tersebut, dengan
1. Pemikiran (fikrah) yang menetukan tujuan serta yang menjadi asas untuk
menyatukan masyarakat dengan partai.
2. Mentode (thariqah) yang ditempuh partai untuk meriah tujuan.
3. Anggota-anggota partai serta sejauh mana keyakinan mereka terhadap
pemikiran (fikrah) dan metode (thariqah) partai.
4. Cara (kafiyah) untuk menyatukan masyarakat dengan partai tersebut. 10
Hadis ini menunjukan dengan kalimat soreh terhadap orang Islam itu wajib berada di dalam kelompok muslimin dan para kepimpinannya. Dan kalimat
jamaah di sini menunjukkan penyatuan kaum muslimin dalam menegakkan syiar-syiar Islam. Dan berkata Abu Ishak Ibrahim bin Musa As-Syatibi di dalam
kitabnya, jamaah itu adalah ‘jama’atul muslim yang sepakat atas seseorang amir’.
Seterunya, jika ditinjau dari sudut al-Quran adalah:
Pendapat kedua mengatakan ‘ al-Quran’ yaitu al-Quran merupakan tali Allah
yang kuat dan jalan yang lurus. Dalam masa yang sama, ayat yang selepasnya
menyebut ‘janganlah bercerai-berai’. Ayat ini menyatakan, Allah menyuruh
mereka bersatu dan melarang mereka bercerai-berai. 12
Menurut tafsir Al-Qurthubi berkenaan ayat diatas, yang dimaksudkan
dengan ‘tali Allah’ adalah al-Quran, menurut pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu
Mas’ud. Dan menurut Abdullah bin Mas’ud dengan jalur riwayat Taqi bin
Makhlak meriwayatkan, Yahya bin Hamid, Husyaim, dari Awwam bin Hausyab
dan dari Asy-Sya’bi berkenaan ayat ‘janganlah kamu bercerai-bera’ adalah: Allah
memerintahkan untuk bersatu dan melarang sikap bercerai-berai, dan sikap ini
membawa kepada kebinasaan.13 Jika dilihat pula pandangan ulama kontemporer
berkenaan pembentukkan partai-partai politik adalah wajib hukumnya bagi tujuan
menegakkan sebuah negara yang bersyariatkan dengan syariat Islam.14
Berdasarkan kesimpulan di atas, yaitu penerapan al-Quran, al-Hadis,
kaedah fiqih dan pandangan ulama kontemporer, hubungan golongan putih
dengan partai politik tidak boleh dipisahkan terhadap konsep fiqh siyasah.
12
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 2009), cet. I, h.561, Jilid 1.
13
Muhammd Ibrahim Al-Hifnawi (Ta’liq) dan Mahmud Hamid (Takhrij), Tafsir Al-Quthubi, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) cet. I, h. 399 Jilid 4.
14
Yang ketiga, penelitian golongan putih di dalam fiqh siyasah adalah
hubungan terhadap sistem demokrasi. Terlebih dahulu jika dilihat di dalam sistem
demokrasi, sebagaian ulama kontemporer dan intelektual Muslim mengatakan
konsep demokrasi mempunyai persamaan dengan sistem syura di dalam Islam,
antara persamaan adalah sistem demokrasi ini merupakan sistem pemerintahan
meyoritas yang menerapkan metode permusyawaratan dalam pengambilan
keputusan. 15 Adapun sebahagian yang lain membedakan dua konsep tersebut
dengan pelbagai dalil dan kritikan yang dikemukakan.
Adapun prinsip demokrasi ,terhadap penerapan admininstrasi negara di
dalam penelitian fiqh siyasah adalah:
1. Prinsip kesadaran kemajmukan.
2. Prinsip musyawarah.
3. Prinsip cara haruslah sejalan dengan tujuan, prinsip ini mengemukakan dasar
bahawa suatu tujuan yang baik haruslah diabsahkan dengan kebaikkan cara
yang ditempuhi untuk meriahnya.
4. Prinsip permuafakatan yang jujur.
5. Prinsip pemenuhan kehidupan ekonomi dan perancangan sosial budaya.
6. Prinsip kebebasan nurani (freedom of conscience). 16
Jadinya, dengan kesimpulan ketiga-tiga konsep di atas, yaitu hubungan
15
Artani Hasbi, Musyawarah & Demokrasi, (Jakarta: Gaya Media Pratam, 2001), cet. I, h. 1
16
golongan putih antar pemilu, partai-partai politik dan sistem demokrasi, tidak
boleh memisahkan di dalam penetapan fiqh siyasah bagi tujuan hifdh al-ummah sebagai maqasid al-syariah untuk menegakkan sesebuah negara Islam.17 Maka apa yang terkait di dalam sistem pemerintahan di Malaysia seperti sistem
pemilihan umum, demokrasi adalah alat untuk mendirikan sebuah negara yang
bersyariatkan Islam.
B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Golongan Putih
Seputar hukum Islam terhadap golongan putih dari inti perbahasan di
dalam konsep fiqh siyasah di atas, di sini hukum yang dikeluarkan oleh ulama
kontemporer dengan beberapa hukum di dalam Islam yang dapat ditinjaukan
seperti berikut:
Ketogeri pertama, mengatakan golongan putih itu hukumnya haram di
dalam Islam, antara hubung kait yang membawa kepada hukum tersebut dengan
beberapa persoalan :
1. Mengapa harus ada pemilu ?
2. Apakah umat Islam harus perlu ikut pemilu?
3. Apakah ikut pemilu itu hak atau kewajipan?
4. Apakah umat Islam perlu memiliki partai sendiri untuk ikut pemilu?
5. Apa yang dimaksudkan partai Islam?
6. Apakah umat Islam harus memilih partai Islam?
17
7. Bagaimana seharusnya umat Islam menyinkapi menang atau kalah dalam
pemilu? 18
Dengan penerapan Fiqh siyasah di atas, sudah terjawab, yaitu menyatakan
semua ketujuh-tujuh konsep tersebut adalah perlu dan wajib di laksanakan, dan
jika dilihat dari sudut pendapat dan fatwa terkini adalah seperti berikut:
Pertama, Syeikh Yusuf al-Qaradhawi yang mengatakan,”Apabila kita
melihat kepada peraturan seperti peraturan pemilu atau pemberian suara maka hal
tersebut di dalam pandangan Islam adalah suatu persaksian untuk memilih
sesuatu yang paling layak.”
Beliau melanjutkan,”Barangsiapa yang bersaksi terhadap orang yang
tidak shaleh dan menyatakan bahwa dia orang shaleh maka sesungguhnya ini
adalah suatu dosa besar karena telah memberikan kesaksian palsu bahkan
partai yang mengajak kepada hukum Islam dan sebagian partai lainnya menolak
hukum Islam. Bagaimana hukumnya bagi seorang pemilihan umum?
Mereka menjawab,”wajib bagi kaum muslimin yang berada di
negara-negara yang tidak berhukum dengan syariat Islam untuk memberikan segenap
kemampuannya untuk berhukum dengan syariat Islam dan saling bekerja sama
bagai sebuah tangan dalam membantu partai yang diketahuinya akan menerapkan
syariat Islam. Adapun membantu partai yang tidak ingin menerapkan syariat
Islam maka ini tidak diperbolehkan bahkan bisa mengajak orang itu kepada
kekufuran.19
Ketiga, menyinkapi fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam konsideran Sidang Komisi Masa’il Asasiyah Wathaniyah yang
merupakan salah satu komisi dalam sidang Ijtima Ulama MUI se-Indonesia III,
terdapat empat pembasahan pokok. Tiga pembasahan berkenaan dengan
argumentasi dasar hubungan Islam dengan negara. Pembahasan keempat
langsung mengerucut pada menggunaan hak pilih dalam pemilu. Poin keempat
ini berisi hal-hal sebagai berikut:
1. Pemilihan umum Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih
pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya
cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
19
2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan
imamah (kepemimpinan) dan imarah (pengaturan) dalam kehidupan bersama. 3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan
ketentuan agama agar terwujudnya kemaslahatan dalam masyarakat.
4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya
(amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathunah),
dan memperjuangkan kepentingan umat Islam “hukumnya adalah wajib”.
5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana
disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali, padahal ada
calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram. 20
Jadinya kesimpulan yang dapat dilihat di sini adalah, sikap golongan putih
secara pasif ( tenpa kempennya kepada orang lain) termasuk mengabaikan
sesuatu yang wajib yang dengan sendirinya dilarang, dalam tijauan syariat Islam.
Sedangkan sikap golongan putih secara aktif (dengan kempengnya kepada orang
lain agar juga golongan putih) termasuk dalam sikap” menghalang-halangi
manusia dari jalan Allah” (saddun an sabilillah) yang lebih jelas dilarang lagi.
Ketogeri kedua, seputar hukum harus, sunnah dan wajib terhadap
golongan putih.
Di dalam pendekatan fikih politik, pada dasarnya boleh. Sebab, golongan
20
: http://www.islam-indo.org/kajian/fiqh-islam/kontemporer/138-golongan putih.html?lang
putih merupakan persoalan mu'amalah ijtihadiah bahkan hukumnya dapat menjadi wajib. Artinya, kalau warga negara itu menggunakan hak pilihnya dalam
pemilu legislatif, justru berdosa. Namun golongan putih dapat juga haram
hukumnya. Artinya, seorang yang tidak menggunakan hak pilihnya merupakan
dosa besar.21
Perubahan dari hukum dasar golongan putih boleh menjadi wajib dan
haram karena proses hukum(illat) yang memengaruhi hukum dasar itu dan yang
menjadi pertimbangan selanjutnya.22 Antara golongan putih itu menjadi sunnah,
yang di kemukakan oleh Keputusan Majlis Fatwa dan Riset Eropa, 23 tentang
keikut-sertaan seorang muslim dalam perpolitikan di Eropa adalah, pada asalnya
disyariatkan keikut-sertaan politik di negara Eropa berada di antara boleh, sunnah
Untuk kesimpulan keseluruhannya hukum di atas, berdasarkan kaedah
44
PANDANGAN GOLONGAN ELIT POLITIK ISLAM MALAYSIA TERHADAP GOLONGAN PUTIH
Pandangan dan kritikan yang dikemukakan oleh golongan elit politik Islam
terhadap golongan putih mempunyai jawaban yang berbeda, biarpun mereka berada
pada lingkungan yang sama di dalam pemikiran Islam, terlebih dahulu mengenal
apakah yang dimaksudkan golongan elit politik Islam di Malaysia?
Yang dimaksudkan golongan elit politik dari sudut etimologis adalah
golongan yang terpengaruh tinggi di dalam kelompok masyarakat dan mempunyai
kepercayaan terhadap gerakan politik, terutamanya gerakan partai-partai politik.1
Seterusnya pegertian dari sudut konsep politik barat adalah yang pertama,
dikemukakan oleh David Froth dan Frank L Wilson disebut sebagai gladiators, yaitu
golongan yang sangat aktif dalam dunia politik dan mempunyai nisbah 5-7% populasi
dari seluruh lapisan masyarakat.2 Kedua, menurut Aristoteles (falsafah klasik) adalah
golongan yang sedikit dalam pemerintahan dan berkedudukan di dalam kelompok
masyarakat samada harta, militer dan sebagainya.3 Ketiga, menurut Ronald Lippit
adalah golongan disebut otoriter, yaitu golongan atasan dalam pemerintahan dan di
bawahnya terdapat golongan agresif dan apatis.4
1
Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer Referensi Ilmiah Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Budaya, dan Sains, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), cet. I, h. 39
2
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I, h. 372
Hendi Suhendi, Filsafat Umum daripada Metologi sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), cet. I, h. 236
4
Adapun di dalam konsep politik Islam, golongan elit menurut pengertian
sejarah adalah terlebih fokus kepada perlimen perang, dan mempunyai tokoh di
dalam bidang peperangan seperti keberanian dan sebagainya, seperti Solahuddin
al-Ayub.5 Dengan lebih jelas lagi, pegertian golongan elit politik Islam Malaysia
menurut Abdul Rahman Haji Abdullah adalah golongan yang aktif di dalam bidang
politik dan memperjuangkan hak-hak Islam melalui partai, dan mempunyai
pemikiran yang berbeda.6
A. Kategorisasi Golongan Elit Politik Islam di Malaysia
Penjelasan kategorisasi golongan elit politik Islam di Malaysia melibatkan
pemikiran, organisasi, dan dasar perjuangan.
Kategorisasi pertama teradisional, yaitu tradisionalisme digunakan dalam
pengertian konservatif atau mempertahankan yang lama, seperti kata Karl
Mannheim, “ Sesuai dalam pegertian tersebut, tradisionalisme melihat sejarah
hanya sebagai inspirasi atau sesuatu yang harus dipertahankan, kerana para
pendukunnya dikatakan bersikap negetif terhadap pembaruan dan perubahan”.
5
http://www era muslim,com/konsultasi konspirasi/send/pasukan-elit-Islam.htm jam 1021 13/4/2010 WIB
6
Menurut Roger Garaudy adalah “golongan yang menganggap kemunduran umat
Islam disebabkan mereka menjaukan diri dari ajaran yang lalu”.7
Adapun organisasi ini di Malaysia adalah seperti al-Arqam, yang diketuai
Ustadz Ashaari Muhamad dan terdapat beberapa orang pembantu utama yang
disebut timbalan (wakil) dan naib-naib syekh al-Arqam, dan masing-masing
dibantu oleh beberapa orang musa’id. Terdapat biro-biro khusus yang disebut syu’bah, yang dipimpin seorang mudir (ketua) di bantu oleh musa’id-musa’id. Kemudian di tingkat negeri, terdapat cabang atau perkampungan-perkampungan
Darul Arqam dengan ketua masing-masing. Dan pada tingkat pusat, cabang juga
mempunyai biro-biro sendiri.
Jelaslah di sini terwujud sebuah organisasi yang cukup sisitematis, persis
sebuah “kerajaan kecil”. Pada Agustus 1994, Majlis Fatwa Kebangsaan melarang
keberadaan organisasi ini. Kementerian Dalam Negeri segera memperkuat
larangan tersebut dengan menahan tokoh-tokoh besarnya, khusunya Ustadz
Ashaari Muhamad. Sebelum dibebaskan, pemimpin-pemimpin Darul Arqam telah
membuat semacam pengakuan tentang kesalahan mereka sebelum ini, dari segi
politik, perubahan yang ada ialah tindakan Ustaz Abdul Halim Abbas, bekas
wakil Syekh Arqam yang mengajukan permohonan menjadi anggota UMNO.
Adapun dasar pemikiran tokoh-tokoh mereka adalah menegakkan Islam
melalui cara tersendiri dan menolak sistem pemerintahan yang menpuyai
unsur-unsur yang dibawa dari barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, pemilihan
7
umum dan sebagainya, adapun konsep pemerintahan mereka adalah menegakan
agama Islam yang tulin dan bersih walaupun di luar batasan Undang-undang.8
Kategorisasi kedua modernis, menurut Roger Garaudy modesnisme, tidak
lain adalah westrenisme, yakni berasaskan kebudayaan dan pemikiran barat modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka selama empat abad
terakahir. Dan ciri-cirinya ialah nasional, kapitalis, dan sistem perlemen.9
Menurut Prof. Hamid Algar menegaskan bahawa mereka telah mengabaikan
kontradiksi pokok antara mentalitas modern dan agama. Islam berada pada
realitas imperatif dari Allah Yang Maha Kuasa, sedangkan dunia modern
sebaliknya cenderung untuk menyangkal realitas Ilahi secara aktif terhadap alam
dan manusia.10
Adapun organisasi ini di Malaysia adalah partai-partai semangat
kebangsaan seperti partai ‘United Malays Nasional Organization (UMNO)’, yaitu
diketuai oleh Najib Tun Abdul Razak dan merupakan Perdana Menteri Malaysia
pada saat ini. Jadinya di antara organisasi politik awal yang mendukung gagasan
nasionalis konservatif adalah UMNO di dalam sejarah politik Malaysia, sifat
konservatif UMNO bukan hanya sekadar mempertahankan tradisi kebangsaan
Melayu,11 tetapi juga mempertahankan tradisi kerjasama dengan pihak kolonial.
8
Abdul Rahman Haji Abdullah, Op. cit., hlm. 118
9
Muhamad Bahi, Penentang Islam terhadap Aliran Pemikiran Perosak, (Kuala Lumpur: Penerbit Hizbi, 1985) cet. I, h. 52
10
Hamid Algar, Islam dan Tantangan Intelektual daripada Kebudayaan Modern, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), cet. I, h. 325
11
Pada tahun 1948, pihak Inggris sendiri menhendaki kerjasama penuh dengan
UMNO. Misalnya sekretaris, A. Newbolt, telah memberi jaminan kepada UMNO
bahawa pegawai-pengawai kerajaan tidak akan dihukum kerana berpolitik.
Adapun dasar pemikiran dan perjuangan tokoh-tokoh mereka adalah:
1. Memperjuangkan hak-hak bangsa Melayu.
2. Mempertinggikan kedudukan Raja-Raja Melayu.
3. Semangat perjuangan atas dasar nasional atau kebangsaan.
4. Memperjuangkan agama Islam dengan didasari perlembagaan Undang
Undang Inggris
5. Terpengaruh semangat kolonial barat.12
Kategorisasi ketiga reformis, ciri-ciri yang utama adalah semangat
puritanisme, yaitu penekanan kepada ajaran Islam yang murni (pristine). Ada
semacam persamaan dengan aliran tradisional yang menekanakan ortoduksi.13
Bertolak semangat puritanisme, aliran reformis sangat menekankan ishlah dan
tajdid merupakan upaya memperbaiki atau membersihkan Islam dari pemalsuan
dan penyelewengan. Sedangkan tajdid adalah memperbarui atau menyegarkan
kembali paham dan komitmen terhadap ajaran-ajaran agama yang sesuai dengan
tuntutan zaman.14
12
Ishak Saat, Sejarah Politik Melayu Pelbagai Aliran, ( Selangor: Karisma Publications Sdn Bhd, 2007), cet. I, h. 33
13
Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya” (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 21
14