TIPE KEPRIBADIAN
Skripsi Dipenuhi Sebagai Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
ARIZKA HARISA
105070002224
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 7 Juli 2010
Arizka Harisa
PERBEDAAN MASING-MASING FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KONFORMITAS KELOMPOK
SEBAYA PADA REMAJA BERDASARKAN
TIPE KEPRIBADIAN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh
gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
ARIZKA HARISA NIM: 10507000 2224
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I Pembimbing II
Prof.Hamdan Yasun, M.Si Gazi Saloom, M.Si
NIP. 130351146 NIP.197112142007011014
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PERBEDAAN MASING-MASING FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KONFORMITAS KELOMPOK SEBAYA PADA REMAJA BERDASARKAN TIPE KEPRIBADIAN telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 4 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Dekan/ Pembantu Dekan/
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M. Si
NIP. 130885522 NIP. 19561223198303 2001
Anggota :
Penguji I Penguji II
Yunita Faela Nisa, M.Psi, Psi Prof. Hamdan Yasun, M.Si
NIP. 197706082005012003 NIP. 130351146
Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Hamdan Yasun, M.Si Gazi Saloom, M.Si
ABSTRAKSI
(A) Fakultas Psikologi (B) Juni 2010
(C) Arizka Harisa
(D) Perbedaan masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada remaja berdasarkan tipe kepribadian
(E) 108 halaman + xiv
(F) Konformitas bisa dialami oleh siapa saja, baik orang dewasa maupun remaja, karena mereka merupakan bagian dari kelompok sosial, akan tetapi konformitas memuncak pada masa remaja. Satu penelitian yang baru-baru ini dilakukan menunjukkan dukungan terhadap penemuan Berndt, yaitu bahwa kepekaan terhadap kelompok sebaya meningkat pada awal masa remaja (dalam Santrock, 2003). Para peneliti telah menemukan bahwa pada kelas delapan dan sembilan, konformitas dengan teman sebaya memuncak (Berndt, 1979; Berndt & Perry, 1990; Leventhal, 1994 dalam Santrock,2002).
Fenomena konformitas yang terjadi pada remaja banyak sekali, salah satu contohnya seperti terjadinya tawuran antara siswa sampai menyebabkan kematian karena konformitas kelompok sebaya, dimana kasus ini baru terjadi dua bulan yang lalu tepatnya delapan April 2010. Kasus ini berawal dari tawuran antara sejumlah siswa SMP Ibun dan SMP Paseh. Tawuran terjadi hanya karena saling ejek, dan imbasnya siswa yang tidak terlibat tawuran menjadi korbannya (Tiah, 2010).
Tipe kepribadian yang dimaksud disini yaitu tipe kepribadian A dan B ditemukan oleh dua ahli jantung yaitu Friedman dan Rosenman dan seorang ahli biokimia yang bernama Beyers. Mereka membagi perilaku manusia menjadi dua macam pola yaitu kepribadian tipe A dan tipe B (Rice, 1999), setelah melakukan
penelitian longitudinal yang dinamakan Western Collaborative Group Study
(WCGS) selama Sembilan tahun, yang dimulai pada tahun 1961 (Niven, 1994). Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada remaja berdasarkan tipe kepribadian, dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian komparatif.
Penelitian dilakukan pada siswa dan siswi MTs. Al-Khairiyah di Mampang Prapatan Jakarta Selatan dengan jumlah sampel 150 orang dengan menggunakan
teknik purposive sampling. Karakteristik sampel adalah Siswa dan siswi Mts.
Al-Khairiyah Jakarta Selatan, kelas delapan dan Sembilan, berkepribadian tipe A dan B. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah skala tipe kepribadian
model dikotomi dan konformitas kelompok sebaya model likert.
Bentuk pengolahan dan analisa data menggunkan analisis statistika dengan menggunkan program SPSS versi 18.00. Teknik pengolahan dan analisis data
dilakukan dengan analisis statistik yang meliputi Pearson Product Moment untuk
independent sample t-test untuk pengujian hipotesis penelitian dan uji beda per faktor.
Jumlah aitem yang digunakan dalam penelitian pada skala tipe kepribadian sebanyak 36 aitem sedangkan untuk skala konformitas kelompok sebaya sebanyak
33 aitem. Hasil uji beda dengan menggunakan teknik independent samples test
dengan menggunakan Equal variances not assumed adalah 7.293 dengan
probabilitas 0.000.
Maka, dapat ditarik kesimpulan 0.000 < 0.05 Ho yang berbunyi tidak ada perbedaan masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok
sebaya pada remaja berdasarkan tipe kepribadian ditolak dan Ha yang berbunyi
ada perbedaan masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok
sebaya pada remaja berdasarkan tipe kepribadian diterima.
Adapun hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat perbedaan masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada remaja berdasarkan tipe kepribadian. Di mana dari hasil penelitian sejalan dengan sebagian peneliti yang berpendapat bahwa tipe kepribadian ada hubungannya dengan perilaku konformitas (Sarwono:2005). Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Richard Crutchfield yang menyatakan bahwa kepribadian merupakan faktor yang mendorong seseorang untuk mengadakan konformitas (dalam Davidoff,1991)
Penulis menyarankan penelitian selanjutnya untuk memperhatikan dan melibatkan faktor-faktor lain disamping tipe kepribadian A dan B yang dapat mempengaruhi konformitas kelompok sebaya. Penelitian selanjutnya disarankan, dalam pengambilan sampel tidak hanya pada kelas delapan dan sembilan saja, sehingga bisa digeneralisasikan pada remaja. Bagi remaja yang memiliki tipe kepribadian A, hendak nya ditingkatkan lagi kemampuan berinteraksi dengan kelompok sebaya nya, karena hal tersebut mengurangi salah satu ciri tipe kepribadian A yaitu perasaan bermusuhan terhadap orang lain ketika menghambat diri nya. Bagi remaja yang memiliki tipe kepribadian B, hendaknya pergaulan dengan kelompok sebaya nya diarahkan ke dalam kegiatan yang positif, sehingga tidak merugikan diri sendiri.
(G)Bahan Bacaan : 40 buku (1980 - 2010)
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji bagi Illahi Rabbi, Sang Pemillik alam semsta yang Maha
segalanya dan tidak ada yang mampu mengalahkan rasa kasih sayang – Nya dan
karunia Nya kepada seluruh umat manusia. Shalawat serta salam tercurahkan bagi
Rasulullah SAW, suri tauladan sepanjang masa.
Penulis bersyukur telah dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
”PERBEDAAN MASING-MASING FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KONFORMITAS KELOMPOK SEBAYA PADA REMAJA BERDASARKAN
TIPE KEPRIBADIAN” sebagai syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kelancaran dalam pembuatan skripsi ini tidak luput dari bantuan, arahan dari
semua pihak dan juga petunjuk dan nikmat dari Allah SWT kepada penulis. Oleh
karena itu, penulis panjatkan syukur dan haturkan terima kasih kepada:
1. Allah SWT, tempat hamba mencurahkan isi hati dan memohon petunjuk
atas kesulitan yang dialami dalam membuat skripsi ini.
2. Teristimewa papaku Drs.H.Ali Nurdin M.Pd dan mamaku Dra.Hj. Himlah
yang tak pernah bosan berdoa untukku, yang selalu menyemangatiku
dalam penulisan skripsi. Semoga Allah memberikan kalian kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
3. Bpk. Jahja Umar, Ph.D Dekan Fakultas Psikologi UIN Jakarta, seluruh
pudek (pembantu dekan) serta staf Fakultas Psikologi yang tidak
disebutkan satu persatu yang telah memberikan kemudahan dalam setiap
urusan penulis selama kuliah, semoga Allah selalu memudahkan urusan
mereka.
4. Bpk. Prof. Hamdan Yasun, M,Si pembimbing I dan penguji II, yang telah
memberikan arahan dan masukan berharga kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
5. Bpk. Gazi Saloom, M,Si pembimbing II yang memberikan saran dan
semangat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
6. Ibu Yunita Faela Nisa, M.Psi Psi penguji I atas arahan dan masukan yang sangat berharga dalam penyelesaian perbaikan skripsi ini.
7. Ibu Dra. Hj. Fadhilah Suralaga, M.Si pudek (pembantu dekan) bagian
Akademik yang telah memberikan semangat dan bimbingan kepada
penulis guna menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh dosen fakultas Psikologi yang tidak disebutkan satu persatu, untuk
ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama di bangku kuliah, semoga
Allah membalas kebaikan kalian.
9. Aa ku Suheri Anggara Putra yang tak pernah bosan mendoakan penulis
dan menyemangati dalam menyelesaikan skripsi ini dan juga atas pelajaran
hidup yang tidak penulis dapatkan di bangku sekolah ataupun kuliah.
10. Kakak ku Aida Humaira dan Anita Hufaila, adik ku Via Rifkia, kakak ipar
ku Muhammad Fudhail Rahman dan Muhammad Yusuf, atas semangat
dan pengertian kalian kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Dan juga keponakan ku Adib Murtadha, Ghiyas Wafiyuddin Yusuf dan
Shazia Hanan atas canda tawa nya dan hiburan kepada penulis.
11. Pak Haidir dan Pa badawi yang membantu penulis dalam mendapatkan
buku-buku guna menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-teman angkatan 2005 khususnya kelas A.
13. Teman- teman KKL dina, donna, nadiyya, lia dan risti terima kasih atas
kerja samanya, kekompakkan dan kebersamaan kalian.
14. Kepala sekolah, guru-guru dan siswa/i Mts. Sa’adatudarrain atas
diberikannya izin dan kesempatan bagi penulis untuk melakukan try out
berulang kali dan juga kepala sekolah, guru-guru dan siswa/i Mts.
Al-Khairiyah atas izin dan kesempatan buat penulis untuk melakukan
penelitian.
15. Semua orang yang mengajarkan dan memberikan kekuatan melalui doa
tulusnya.
Jakarta, Juni 2010
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan (Keaslian Karya) i
Lembar Pengesahan ii
Lembar Pengesahan Panitia Ujian iii
Abstrak iv
Kata Pengantar vi
Daftar Isi viii
Daftar Tabel xi
Daftar Lampiran xii
Motto xiii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Identifikasi Permasalahan 6
1.3. Batasan Masalah 6
1.4. Rumusan Masalah 8
1.5. Tujuan Penelitian 8
1.6. Manfaat Penelitian 8
1.7. Sistematika Penulisan 8
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Konformitas kelompok sebaya Pada Remaja 10
2.1.1. Definisi Konformitas 10
2.1.2. Jenis Konformitas 11
2.1.3. Faktor-faktor Terbentuknya Konformitas 13
2.1.4. Faktor-faktor yang menyebabkan individu tidak mau
melakukan konformitas 22
2.1.5. Pengertian kelompok sebaya 23
2.1.6. Fungsi Kelompok Sebaya 24
2.1.7. Struktur Kelompok Sebaya 27
2.1.9.Tugas Perkembangan Remaja 30
2.2. Kepribadian 32
2.2.1. Definisi Kepribadian 32
2.2.2. Tipe Kepribadian 34
2.2.3. Karakteristik Tipe Kepribadian 36
2.3. Kerangka Berpikir 40
2.4. Hipotesis Penelitian 43
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Metode Penelitian 44
3.2. Pendekatan Penelitian 44
3.3. Variabel Penelitian 45
3.3.1. Definisi Variabel Penelitian 45
3.3.2. Definisi Konseptual Variabel Penelitian 46
3.3.3. Definisi Operasional Variabel Penelitian 46
3.4. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 48
3.4.1. Populasi Penelitian 48
3.4.2. Sampel Penelitian 48
3.4.3. Teknik Pengambilan Sampel 48
3.5. Metode dan Instrumen Penelitian 49
3.5.1. Metode Pengumpulan Data 49
3.5.2. Instrumen Penelitian 49
3.5.3. Teknik Uji Instrumen Penelitian 53
3.6. Teknik Analisis Data 54
3.7. Prosedur Penelitian 54
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Responden 57
4.1.1. Gambaran Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin 57
4.1.2. Gambaran Responden Berdasarkan Usia 58
4.1.4. Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dari tiap
Kelas 59
4.2. Presentasi Data 59
4.2.1. Uji Instrumen Penelitian 59
4.3. Hasil Penelitian 62
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 69
5.2. Diskusi 70
5.3. Saran 72
DAFTAR
PUSTAKA
73
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blue Print Skala Tipe Kepribadian (Try Out) 51
Tabel 3.2 Bobot Nilai Jawaban 52
Tabel 3.3 Blue Print Skala Faktor yang Mempengaruhi Konformitas
Kelompok Sebaya (Try Out) 53
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 57
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia 58
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kelas 58
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Dari
Tiap Kelas 59
Tabel 4.5 Blue Print Skala Tipe Kepribadian (Field Study) 60
Tabel 4.6 Blue Print Skala Faktor yang Mempengaruhi Konformitas
Kelompok Sebaya (Field Study) 61
Tabel 4.7 T-Test Group Statistics 62
Tabel 4.8 Independent Samples Test Uji Hipotesis 63
Tabel 4.9 Independent Samples Test Uji Beda Faktor Pertama 64
Tabel 4.10 Independent Samples Test Uji Beda Faktor Kedua 65
Tabel 4.11 Independent Samples Test Uji Beda Faktor Ketiga 66
Tabel 4.12 Independent Samples Test Uji Beda Faktor Keempat 66
Tabel 4.13 Independent Samples Test Uji Beda Faktor Kelima 67
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skala Tipe Kepribadian (Try Out) 76
Lampiran 2 Skala Faktor yang Mempengaruhi Konformitas Kelompok
Sebaya (try out) 79
Lampiran 3 Uji Validitas dan Reliabilitas Tipe Kepribadian 81
Lampiran 4 Uji Validitas dan Reliabilitas Faktor yang Mempengaruhi
Konformitas Kelompok Sebaya 84
Lampiran 5 Skala Tipe Kepribadian (Field Study) 86
Lampiran 6 Skala Faktor yang Mempengaruhi Konformitas Kelompok
Sebaya (Field Study) 88
Lampiran 7 Uji Hipotesis 90
Lampiran 8 Data Mentah Faktor yang Mempengaruhi Konformitas Kelompok
Sebaya (Try Out) 95
Lampiran 9 Data Mentah Tipe Kepribadian (Try Out) 97
Lampiran 10 Data Mentah Tipe Kepribadian A (Field Study) 98
Lampiran 11 Data Mentah Tipe Kepribadian B (Field Study) 100
Lampiran 12 Data Mentah Faktor yang Mempengaruhi Konformitas Kelompok
Sebaya pada Tipe Kepribadian A (Field Study) 101
Lampiran 13 Data Mentah Faktor yang Mempengaruhi Konformitas Kelompok
Sebaya pada Tipe Kepribadian B (Field Study) 103
Lampiran 14 Data Mentah Per Faktor yang Mempengaruhi Konformitas
Kelompok Sebaya Berdasarkan Tipe Kepribadian A
Lampiran 15 Data Mentah Per Faktor yang Mempengaruhi Konformitas
Kelompok Sebaya Berdasarkan Tipe Kepribadian B
(Field Study) 105
Lampiran 16 Surat Telah Melakukan Try Out 106
Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu
(al- Hujurat: 6).
Skripsi ini kupersembahkan untuk
orang-orang yang menyayangiku,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sebagai manusia
membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan kehidupan. Tercermin
dari kehidupan bermasyarakat yang tercipta dari awal leluhur, yaitu membentuk
kelompok dan membagi tugas di dalam kelompok tersebut adalah bagian dari
kehidupan bermasyarakat yang sedemikian kompleks saat ini. Dari
kelompok-kelompok masyarakat yang ada, sebagai manusia yang tergabung di dalam nya
timbul perasaan-perasaan untuk menegaskan diri bahwa mereka adalah bagian
dari kelompok tertentu atau perasaan tidak ingin berbeda dari yang lain.
Terkadang, dari perasaan tersebut, timbullah tingkah laku yang disebut dengan
konformitas sosial.
Dalam kamus Psikologi (2004), konformitas didefinisikan sebagai
kecenderungan untuk memperbolehkan satu tingkah laku seseorang yang dikuasai
oleh sikap dan pendapat yang sudah berlaku.
Konformitas bisa dialami oleh siapa saja, baik orang dewasa maupun remaja,
karena mereka merupakan bagian dari kelompok sosial, akan tetapi konformitas
memuncak pada masa remaja. Satu penelitian yang baru-baru ini dilakukan
menunjukkan dukungan terhadap penemuan Berndt, yaitu bahwa kepekaan
terhadap kelompok sebaya meningkat pada awal masa remaja (dalam Santrock,
2003). Para peneliti telah menemukan bahwa pada kelas delapan dan sembilan,
konformitas dengan teman sebaya memuncak (Berndt, 1979; Berndt & Perry,
1990; Leventhal, 1994 dalam Santrock,2002).
Fenomena konformitas yang terjadi pada remaja banyak sekali, salah satu
contohnya seperti tawuran bahkan dimulai dari pelajar sekolah dasar sampai
dengan pelajar SMA. Lebih jauh dalam dunia pendidikan kita semakin dibuat
suram dengan terjadinya tawuran antara siswa sampai menyebabkan kematian
karena konformitas kelompok sebaya, dimana kasus ini baru terjadi dua bulan
yang lalu tepatnya delapan April 2010. Kasus ini berawal dari tawuran antara
sejumlah siswa SMP Ibun dan SMP Paseh. Tawuran terjadi hanya karena saling
ejek, dan imbasnya siswa yang tidak terlibat tawuran menjadi korbannya (Tiah,
2010). Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa konformitas kelompok sebaya erat
kaitannya pada setiap individu.
Menurut Hurlock (1980) masa remaja sebagai periode peralihan dari satu
tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya apa yang terjadi sebelumnya
akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan
datang.
Dengan kondisi yang sedang mengalami masa peralihan tersebut, remaja akan
cenderung bertindak dipengaruhi oleh lingkungan dan kelompok sebaya
memegang peranan cukup besar. Kelompok sebaya memegang peranan penting
dalam perkembangan sosial dan kepribadian remaja, karena remaja lebih banyak
berada di luar rumah bersama dengan kelompok sebayanya (Hurlock, 1980).
Remaja membutuhkan petunjuk, dorongan dan komunikasi dari teman
mereka. Seberapa baik pun pemahaman orang tua dan orang dewasa lain pada
remaja, peran remaja sangat dibatasi oleh kenyataan bahwa mereka telah dewasa,
sedangkan remaja dan kelompok sebaya nya sedang berusaha untuk mencapai
status sebagai orang dewasa.
Konformitas dengan tekanan teman-teman sebaya pada masa remaja dapat
bersifat positif maupun negatif (Camarena,1991;Foster-Clark & Blyth,
1991;Pearl,Bryan, &Herzog,1990;Wall,1993, dalam Santrock, 2002).
Umumnya remaja terlibat dalam semua bentuk perilaku konformitas yang
negatif, seperti menggunakan bahasa yang jorok, mencuri, menyontek, berkelahi
dan lain-lain. Akan tetapi, banyak sekali konformitas kelompok sebaya yang tidak
negatif, seperti berpakaian seperti teman-teman, mengikuti kegiatan diskusi
dengan teman sebaya untuk tujuan yang baik.
Sekarang ini banyak remaja yang membentuk kelompok – kelompok dengan
tujuan yang terarah dan bersifat positif, seperti Kelompok Ilmiah Remaja (KIR),
kelompok olah raga misalnya karate, tapak suci, boxer dan lain-lain. Ewert (dalam
Monks, Knoers & Haditono, 2004) mengatakan besar nya pengaruh lingkungan
atau kelompok tersebut sampai pada pemberian norma tingkah laku oleh
kelompok. Pada saat remaja berhubungan dengan kelompok nya, mereka dapat
melihat sejauh mana nilai-nilai yang ada di dalam kelompok dapat diikuti
(Nihayah dkk, 2006).
Menurut sebagian peneliti berpendapat bahwa tipe kepribadian ada
pengaruhnya pada perilaku konformitas, akan tetapi sebagian yang lain
berpendapat bahwa walaupun tipe kepribadian tidak dapat untuk meramalkan
timbulnya satu perilaku tertentu pada saat dan tempat tertentu, namun dalam
rangkaian peristiwa dalam waktu yang pajang tipe kepribadian menentukan
bagaimana pola reaksi atau perilaku seseorang dalam menghadapi jenis-jenis
situasi tertentu. Contoh nya dalam situasi yang tidak jelas, tidak berstruktur
(misalnya dalam ruang tunggu dokter hanya ada dua orang tamu, oleh karena itu
orang dengan kepribadian yang lebih dominan akan lebih mempengaruhi
hubungan atau komunikasi antarkedua tamu tersebut (dalam Sarwono:2005).
Pendapat di atas sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh psikolog
Graham Vaughan, dimana dia menempatkan responden penelitiannya ke dalam
empat situasi kelompok yang berbeda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
hanya 20% mudah konform atau 20% tetap bebas. Kesimpulannya bahwa banyak
orang termasuk golongan yang tidak selalu konform, karena itu faktor kepribadian
dan situasi sesaat perlu dipertimbangkan (dalam Davidoff, 1991)
Menurut Solomon Asch yang pernah melakukan penelitian mengenai
konformitas, menyatakan bahwa ada perbedaan individual terhadap hasil
penelitiannya, tetapi tidak disebutkan faktor kepribadian menjadi salah satu
penyebabnya (Baron, Robert A & Donn Byrne, 2005).
Perbedaan individual sering dikaitkan dengan perbedaan antarkelamin,
antarkebudayaan, antarpendidikan, antarusia, antarbangsa, antarsuku bangsa,
pengalaman yang dimiliki dan juga kepribadian (Munandar, 2001),
Hal ini senada dengan pendapat yang diungkapkan oleh Diane E.
Papalia,Sally Wendkos Olds & Ruth Duskin Feldman (2009) bahwa perbedaan
individual meliputi jenis kelamin, tinggi, berat, fisik tubuh, kecerdasan serta
karakteristik kepribadian dan reaksi emosional.
Sedangkan menurut Linda L.Davidoff (1991) salah satu aspek yang
mempengaruhi konformitas adalah kepribadian. Hal tersebut diperkuat oleh
penelitian Richard Crutchfield yang menyatakan bahwa kepribadian merupakan
faktor yang mendorong seseorang untuk mengadakan konformitas. Dia melakukan
penelitian dengan menggunakan sebuah tes kepribadian dan menggunakan gaya
Asch, dimana hasil penelitiannya mengungkapkan beberapa ciri yang selalu
muncul pada diri mereka yang tergolong mudah dan sulit konform
(Davidoff,1991). Akan tetapi, penelitian yang telah dilakukan Richard tidak
disebutkan alat tes dan teori kepribadian yang digunakan.
Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti kembali mengenai tipe kepribadiaan
seseorang untuk melakukan konformitas. Pada penelitian ini akan dibahas
mengenai tipe kepribadian A dan B.
Tipe kepribadian A telah diteliti pada anak-anak dan remaja. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa mereka yang memiliki tipe kepribadian A lebih
reaktif terhadap stress dari pada tipe B. Pada umumnya, anak laki-laki lebih
memungkinkan meniru perilaku tipe kepribadian A dari orang tua mereka
daripada anak perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa tipe kepribadian A
berkembang sebagai interaksi keturunan dan gaya pengasuhan (Rodin & Salovey
dalam Smet, 1994).
Sedangkan Nay & Wagner (dalam Smet, 1994) berpendapat bahwa anak-anak
yang bertipe kepribadian A memiliki harga diri lebih rendah, lebih eksternal locus
of control dan tingkat kecemasannya lebih tinggi dari pada tipe kepribadian A.
Berdasarkan penjelasan diatas penulis ingin meneliti dan memberikan judul
penelitian yang berjudul ”PERBEDAAN MASING-MASING FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KONFORMITAS KELOMPOK SEBAYA PADA REMAJA
BERDASARKAN TIPE KEPRIBADIAN”
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
beberapa masalah yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Bagaimana perilaku tipe kepribadian A dan B?
b. Bagaimana faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada
remaja?
c. Apakah ada perbedaan masing-masing faktor yang mempengaruhi
konformitas kelompok sebaya pada remaja berdasarkan tipe kepribadian?
1.3.
Batasan Masalah
Permasalahan yang diteliti perlu dibatasi, dimana pokok bahasan yang ingin
diteliti meliputi :
a. tipe kepribadian yang di maksud adalah tipe kepribadian A dan B. Tipe
kepribadian A adalah individu yang cepat dalam menyelesaikan suatu pekerjaan,
seringkali membuat keputusan yang tidak tepat karena selalu terburu-buru.
Mereka tidak akan membagi waktunya untuk mengembangkan solusi yang unik
terhadap permasalahan sehingga kreativitasnya kurang diberdayakan dan perilaku
mereka pun cenderung mudah diramalkan jika dibanding dengan tipe kepribadian
B (Yuwono, dkk, 2005).
Sedangkan tipe B adalah cenderung lebih bersedia membagi waktunya untuk
berpikir dan mencari solusi yang krearif dan lebih maksimum kinerjanya dalam
tugas-tugas yang kompleks dan membutuhkan proses berpikir yang lama dan
akurat.
b. Kelompok sebaya adalah sebuah kelompok sosial yang terdiri dari sekumpulan
orang yang memiliki kesamaan sosial atau memiliki kesamaan ciri – ciri seperti
kesamaan tingkat usia.
c. Faktor konformitas kelompok sebaya diantaranya: rasa takut terhadap
penyimpangan, kekompakkan kelompok, kesepakatan kelompok, ukuran
kelompok, kepercayaan terhadap kelompok, kepercayaan yang lemah terhadap
penilaian sendiri
d. Remaja yang dimaksud adalah remaja yang menduduki kelas delapan dan
sembilan
1.
4. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan
masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada
remaja berdasarkan tipe kepribadian?.
1. 5. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui apakah ada perbedaan
masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada remaja
berdasarkan tipe kepribadian.
1. 6. Manfaat Penelitian
Secara teoritis dari penelitian ini yaitu dapat menambah literatur tentang tipe
kepribadian dan faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada
remaja, khususnya pada keilmuan bidang psikilogi sosial dan kepribadian. Secara
praktis, penelitian ini memberikan informasi kepada semua pihak yang
membutuhkan mengenai tipe kepribadian dan faktor yang mempengaruhi
konformitas kelompok sebaya pada remaja.
1. 7. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi
masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Kajian teori yang menguraikan deskripsi teoritis mengenai
definisi konformitas, jenis konformitas, faktor-faktor terbentuknya
konformitas, faktor-faktor yang menyebabkan individu tidak mau
melakukan konformitas, pengertian kelompok sebaya, fungsi
kelompok sebaya, struktur kelompok sebaya, pengertian remaja,
tugas perkembangan remaja, definisi kepribadian, tipe kepribadian,
karakteristik tipe kepribadian, kerangka berpikir dan hipotesa
penelitian.
BAB III : Metode penelitian, yang terdiri dari jenis penelitian, pendekatan
penelitian, variabel penelitian, populasi, sampel, teknik
pengambilan sampel, metode pengumpulan data, instrumen
penelitian, metode analisa data dan prosedur penelitian.
BAB IV : Hasil penelitian dan analisis data, yang terdiri dari Gambaran
responden, hasil utama penelitian.
BAB V : Kesimpulan, diskusi dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORI
2. 1. Konformitas Kelompok Sebaya Pada Remaja
2.1.1. Definisi Konformitas
Dalam kamus Psikologi (Chaplin, 2004), konformitas adalah kecenderungan
untuk memperbolehkan satu tingkah laku seseorang dikuasai oleh sikap dan
pendapat yang sudah berlaku.
Menurut Santrock (2003) konformitas adalah perubahan sikap atau tingkah
laku individu karena meniru dari orang lain dikarenakan tekanan yang nyata
maupun yang dibayangkan mereka.
Baron & Donn Byrne (2005) menjelaskan bahwa konformitas merupakan
jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka
agar sesuai dengan norma sosial yang ada.
Menurut Wiggins, dkk (1994) konformitas adalah tingkah laku yang
mengikuti norma.
Berbeda pendapat dengan Wills (dalam Sarwono,2003), Soloman Asch dan
Sarlito Wirawan Sarwono. Wills mengemukakan bahwa konformitas adalah salah
satu jenis dari respon sosial dimana individu berusaha terus menerus untuk selaras
dengan norma-norma yang diharapkan oleh kelompok, akan tetapi kalau persepsi
individu mengenai norma kelompok atau standar sosial berubah, maka individu
tersebut akan mengubah tingkah lakunya.
Sedangkan menurut Soloman Asch (dalam Sears, dkk, 1985) konformitas
hanya terjadi dalam situasi yang ambigu, yaitu bila orang merasa tidak pasti
mengenai standar perilaku yang benar. Bila seseorang mampu melihat suatu
realitas dengan nyata, dia akan mempercayai persepsinya sendiri dan tetap teguh
pada pendiriannya meskipun anggota kelompok yang lain menentangnya.
Begitu juga dengan Sarlito Wirawan Sarwono (2005) yang mengungkapkan
bahwa konformitas adalah perilaku sama dengan orang lain yang didorong oleh
keinginan sendiri.
Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa
konformitas adalah perubahan tingkah laku atau keyakinan dan harapan yang
merupakan tekanan atau bukan yang diberikan oleh kelompok untuk mengubah
tingkah laku agar sesuai dengan aturan dalam kelompok.
Oleh karena itu konformitas bukan hanya berarti tingkah laku seperti orang
lain, tetapi terpengaruh oleh cara kelompok itu bertindak dan tindakan ini akan
berbeda jika dilakukan sendirian. individu juga ditempatkan pada suatu konflik
antara nilai dan pendapat nya dengan nilai dan norma – norma yang dianut oleh
kelompok.
2.1.2. Jenis Konformitas
Menurut Myers (2005) konformitas terbagi atas ada dua jenis, yaitu:
compliance dan acceptance.
a. Compliance
konformitas compliance adalah : ”Conformity that involves publicity acting in
accord with social pressure while privately dissagreeing” (Myers, 1996).
Jadi konformitas compliance adalah suatu bentuk konformitas dimana individu
bertingkah laku sesuai dengan tekanan yang diberikan oleh kelompok sementara
secara pribadi ia tidak menyetujui perilaku tersebut.
Hal ini karena adanya pengaruh sosial normatif (normative social influence)
yang didasarkan pada keinginan individu untuk diterima atau disukai oleh orang
lain (Baron, 2005). Contoh: Dalam suatu kelompok merencanakan untuk
menonton film Harry Potter, ada salah seorang anggota kelompoknya yang tidak
menyukai film tersebut dan ingin menonton film yang lain. Karena takut dianggap
tidak kompak akhirnya dia menonton film itu juga.
b. Acceptance
Menurut Myers (2005) konformitas acceptance adalah : ”Conformity that
involves both acting and believing in accord with social pressure”.
Jadi konformitas acceptance adalah suatu bentuk konformitas dimana tingkah
laku maupun keyakinan individu sesuai dengan tekanan kelompok yang
diterimanya.
Konformitas bentuk acceptance terjadi karena adanya pengaruh sosial
informasional (informational social influence) didasarkan pada keinginan individu
untuk memiliki persepsi yang tepat mengenai dunia sosial (Baron, 2005). Hal ini
karena seseorang tidak mempunyai pengalaman dalam menghadapi fenomena
yang ada, maka individu tersebut akan melihat pada pengalaman, persepsi
maupun pengetahuan yang dimiliki oleh orang lain. Digunakannya orang lain
sebagai sumber informasi menciptakan suatu kesempatan bagi kelompok untuk
mempengaruhi individu.
Individu melakukan konformitas dikarenakan mereka berpikir bahwa orang
lain dalam kelompok memiliki lebih banyak informasi yang tidak diketahuinya
(Feldman:1985). Sementara Shaw (dalam Feldman:1985) menyatakan
konformitas akan meningkat jika seseorang berada dalam situasi yang
membingungkan.
Contoh : pada saat ujian, ada seorang siswa yang meminta jawaban pada
temannya yang satu kelompok dengannya, karena dia menganggap bahwa
temannya pintar dan selalu mendapat peringkat satu di kelas nya, siswa tersebut
tidak memperdulikan jawaban yang diterimanya benar atau salah. Hal ini terjadi
karena siswa tersebut tidak mempercayai dirinya karena tidak belajar.
2.1.3. Faktor – faktor Terbentuknya Konformitas
Ada beberapa pendapat mengenai terbentuknya konformitas, diantaranya:
1. Menurut Sears, dkk (1985) faktor – faktor terbentuknya konformitas
compliance diantaranya :
a) Rasa takut terhadap penyimpangan
Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang, merupakan faktor
dasar dalam semua situasi sosial. Seseorang ingin agar kelompok tempat dimana
ia berada menyukainya, menerimanya serta memperlakukannya dengan baik.
Individu cenderung menyesuaikan diri untuk menghindari salah paham.
Rasa takut dipandang sebagai orang menyimpang diperkuat oleh tanggapan
kelompok terrhadap perilaku menyimpang seseorang yang tidak mau mengikuti
apa yang berlaku di dalam kelompok akan menanggung resiko mengalami akibat
yang tidak menyenangkan seperti dikucilkan atau ditolak oleh kelompok.
b) Kekompak kan kelompok
Konformitas compliance juga dipengaruhi oleh erat nya hubungan antara
individu dengan kelompok nya. Maksud dari kekompakkan adalah jumlah total
kekuatan yang menyebabkan orang tertarik pada suatu kelompok dan yang
membuat mereka ingin tetap menjadi anggota nya.
Kekompakkan yang tinggi menimbulkan konformitas yang semakin tinggi.
Jika seseorang merasa dekat dengan anggota kelompok yang lain, akan semakin
menyenangkan bagi kelompok untuk mengakuinya dan semakin menyakitkan bila
kelompok mencelanya.
Konformitas akan meningkat bila melakukan sesuatu yang berharga.
Kelompok yang beranggapan bahwa tugasnya penting atau berharga akan
menghasilkan tingkat konformitas yang lebih besar dibandingkan dengan
kelompok yang memandang suatu tugas sebagai sesuatu yang tidak penting dan
tidak berharga. Peningkatan konformitas ini terjadi karena anggota kelompok
tidak ingin disebut sebagai orang yang menyimpang. Karena penyimpangan
menimbulkan penolakan dari kelompok.
Jika seseorang mempunyai hubungan yang dekat dengan anggota kelompok
yang lain, maka ia akan selalu berusaha mempertahankan keanggotaannya dalam
kelompok tersebut. Sebaliknya, jika seseorang tidak lagi menyukai kelompok nya
dan merasa tidak ada manfaatnya bergabung dengan kelompok tersebut, maka
tekanan untuk konformitas akan berkurang.
c) Kesepakatan kelompok
Faktor yang sangat penting terjadinya konformitas adalah kesepakatan
pendapat kelompok. Individu yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang
sudah bulat akan mendapatkan tekanan yang kuat untuk menyesuaikan
pendapatnya. Morris & Miller (dalam Sears,dkk:1985) menunjukkan bahwa saat
terjadinya perbedaan pendapat bisa menimbulkan perbedaan. Sehingga akan
tampak adanya penurunan tingkat konformitas.
Penurunan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan yang
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya : pertama, tingkat kepercayaan
terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun
orang yang berbeda pendapat itu kurang ahli bila dibandingkan dengan anggota
lainnya. Kedua, bila anggota kelompok yang lain mempunyai pendapat yang
sama, keyakinan individu terhadap pendapatnya sendiri akan semakin kuat,
dimana keyakinan yang kuat akan menurunkan konformitas.
d) Ukuran kelompok
Serangkaian eksperimen menunjukkan bahwa konformitas akan meningkat
bila ukuran mayoritas yang sependapat juga meningkat. Dalam eksperimen yang
dilakukan Asch pada tahun 1951 (dalam Sears,dkk:1985) disimpulkan bahwa
untuk menghasilkan tingkat konformitas yang paling tinggi, ukuran kelompok
yang optimal adalah tiga atau empat orang. Pernyataan ini juga didukung oleh
beberapa ahli (dalam Feldman:1985) yang menyatakan bahwa tekanan untuk
melakukan konformitas pada kelompok meningkat pada saat kelompok terdiri dari
tiga atau empat orang.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Mann (Sears,dkk:1985)
menyimpulkan bahwa peningkatan konformitas terjadi jika ukuran kelompok
meningkat. Berbeda dengan Wilder (dalam Sears,dkk:1985) menyatakan bahwa
pengaruh ukuran kelompok terhadap tingkat konformitas tidak terlalu besar.
Sedangkan menurut Robert C. Cialdini (1994 dalam Sarwono & Eko A
Meinarno, 2009) faktor yang mempengaruhi compliance, diantaranya:
a. Pertemanan atau rasa suka. Kita cenderung lebih mudah memenuhi permintaan
teman atau orang yang kita sukai dari pada permintaan orang yang tidak kita kenal
atau kita benci.
b. Komitmen atau konsistensi. Saat kita telah mengikatkan diri pada satu posisi
atau tindakan, kita akan mudah memenuhi permintaan akan suatu hal yang
konsisten dengan posisi atau tindakan sebelumnya.
c. Kelangkaan. kita lebih menghargai dan mencoba mengamankan objek yang
langka atau berkurang ketersediaannya. Oleh karena itu, kita cenderung
memenuhi permintaan yang menekankan kelangkaan dari pada yang tidak.
d. Timbal balik. Kita lebih mudah memenuhi permintaan dari seseorang yang
sebelumnya telah memberikan bantuan kepada kita. Dengan kata lain, kita merasa
wajib membayar utang budi atas bantuannya.
e. Validasi sosial. Kita lebih mudah memenuhi permintaan untuk melakukan suatu
tindakan jika tindakan itu konsisten dengan apa yang kita percaya orang lain akan
melakukannya juga. Kita ingin bertingkah laku benar dan satu cara untuk
memenuhi adalah dengan bertingkah laku dan berpikir seperti orang lain.
f. Otoritas. Kita lebih mudah memenuhi permintaan orang lain yang memiliki
otoritas yang diakui atau setidaknya tampak memiliki otoritas.
Menurut Sears, Fredman dan Peplau (1985) faktor – faktor terbentuknya
konformitas acceptance diantaranya :
a) Kepercayaan terhadap kelompok
Faktor utama kepercayaan terhadap kelompok adalah individu percaya pada
informasi yang diberikan oleh kelompok nya. Oleh karena itu, semakin besar
kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar,
semakin besar sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula
kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. Salah satu faktor
penentu kepercayaan terhadap kelompok adalah tingkat keahlian anggotanya. oleh
karena itu, semakin tinggi tingkat keahlian kelompok dalam hubungannya dengan
individu, semakin tinggi tingkat kepercayaan dan penghargaan individu terhadap
pendapat mereka.
b) Kepercayaan yang lemah terhadap penilaian sendiri
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat
konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri
untuk menampilkan suatu reaksi. Salah satu faktor yang mempengaruhi keyakinan
individu terhadap kemampuannya adalah tingkat kesulitan penilaian yang dibuat.
Semakin sulit penilaian tersebut, semakin rendah rasa percaya diri yang dimiliki
individu dan semakin besar kemungkinan bahwa dia akan mengikuti penilaian
orang lain
2. Sedangkan menurut Sarlito Wirawan Sarwono dalam buku nya Psikologi
Sosial Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan (2005), faktor – faktor
terbentuknya konformitas diantaranya:
a) Besarnya kelompok
Semakin besar kelompok nya, semakin besar pula pengaruhnya, tetapi ada
titik optimal (lebih dari lima orang pengaruhnya sama. Asumsi ini berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Milgram, Bickman & Berkowitz. Sedangkan
menurut Galam & Moscovici (dalam Sarwono,2005) kelompok yang kecil lebih
memungkinkan konformitas dari pada kelompok yang besar.
b) Suara bulat
Jika seseorang berbeda pendapat dengan yang lain, pendapatnya tidak akan
bertahan lama, karena orang tersebut akan merasa tidak enak dan tertekan
sehingga akhirnya akan menyerah kepada pendapat kelompok mayoritas.
c) Keterpaduan
Keterpaduan atau kohesi adalah perasaan kekitaan antaranggota kelompok.
Semakin kuat rasa keterpaduan, semakin besar pengaruhnya pada perilaku
individu. Misalnya, remaja pada umum nya lebih menurut kepada
teman-temannya (karena rasa keterpaduan yang besar) dari pada mengikuti nasihat orang
tua.
d) Status
Milgram (1974 dalam Sarwono,2005) menyimpulkan hasil eksperimen nya
bahwa semakin rendah status seseorang semakin patuh, sedangkan semakin tinggi
status seseorang semakin cepat berhenti bahkan mengajukan protes.
e) Tanggapan umum
Perilaku yang terbuka, yang dapat didengar atau dilihat umum lebih
mendorong konformitas dari pada perilaku yang hanya dapat didengar atau
diketahui oleh orang tertentu saja. Misalnya, murid-murid yang terlihat patuh di
depan guru nya di kelas, menertawakan guru itu dibelakangnya.
f) Komitmen umum
Deutsch & Gerard (1955 dalam Sarwono,2005) berpendapat bahwa orang
yang tidak mempunyai komitmen apa – apa kepada masyarakat atau orang lain,
maka lebih mudah konform dari pada yang sudah pernah mengucapkan suatu
pendapat. sekali sudah bicara sulit untuk mengubahnya lagi karena orang pada
umum nya tidak suka tampil tidak konsisten, takut dianggap tidak dipercaya.
Misalnya, jika seorang bupati sudah mengatakan bahwa tahun ini tidak ada
banjir sebab proyek antibanjir sudah diselesaikan, ia tidak mau lagi mengubah
pernyataannya. Kalaupun banjir terjadi juga, ia mengatakan kepada wartawan
bahwa yang terjadi sekarang bukan banjir, melainkan hanya air tergenang yang
cepat surut.
3. Berbeda dengan Robert A.Baron & Donn Byrne (2005), mengemukakan faktor
terbentuknya konformitas, diantaranya:
a) Kohesivitas
Didefinisikan sebagai derajat ketertarikan yang dirasakan oleh individu
terhadap suatu kelompok, dengan kata lain menerima pengaruh dari orang-orang
yang kita sukai. Ketika kohesivitas tinggi maka tekanan untuk melakukan
konformitas bertambah besar. Sebaliknya, ketika kohesivitas rendah, tekanan
terhadap konformitas juga rendah. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
kohesivitas memunculkan efek yang kuat terhadap konformitas (Crandall, Latane
& L’Herrou dalam Baron & Byrne:2005).
b) Ukuran kelompok
Faktor kedua yang memiliki pengaruh penting pada kecenderungan untuk
melakukan konformitas adalah ukuran dari kelompok yang berpengaruh. Asch
dan peneliti terdahulu lainnya (misalnya Gerrard, Wilhelmy & Conolley, 1968)
menemukan bahwa konformitas meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah
anggota kelompok, namun hanya sampai sekitar tiga orang anggota, lebih dari itu
tidak akan berpengaruh. Akan tetapi, penelitian terkini, menolak hasil penelitian
sebelumnya. Penelitian yang dilakukan Bond & Smith pada tahun 1996
menemukan bahwa konformitas cenderung meningkat seiring dengan
meningkatnya ukuran kelompok hingga delapan orang anggota. Jadi, dapat
diambil kesimpulan semakin besar kelompok, semakin besar kecenderungan
untuk melakukan konformitas.
c) Norma sosial
Norma sosial yang dimaksud disini adalah norma sosial deskriptif dan norma
sosial injungtif. Norma sosial deskriptif adalah norma yang hanya
mendeskripsikan apa yang sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu.
Norma ini mempengaruhi tingkah laku dengan cara memberi tahu kita mengenai
apa yang umumnya dianggap efektif pada situasi tersebu. Sedangkan norma sosial
injungtif adalah norma yang menetapkan apa yang harus dilakukan, dengan kata
lain tingkah laku apa yang diterima atau tidak pada situasi tertentu.
Menurut Brown (dalam Baron & Byrne, 2005) kedua norma tersebut dapat
memberikan pengaruh yang kuat pada tingkah laku. Akan tetapi, Cialdini dan
rekan-rekannya percaya bahwa pada situasi tertentu, cenderung muncul norma
injungtif yang dapat memberikan pengaruh yang lebih kuat.
Hal ini karena dua hal, yaitu pertama, norma semacam itu cenderung
mengalihkan perhatian dari bagaimana orang bertindak pada situasi tertentu
kepada bagaimana mereka seharusnya bertingkah laku. Kedua, norma semacam
itu dapat mengaktifkan motif sosial untuk melakukan hal yang benar dalam situasi
tertentu tanpa mengindahkan apa yang orang lain lakukan. Orang akan mematuhi
norma injungtif jika mreka memikirkan tentang norma tersebut dan melihatnya
terkait dengan tindakan mereka.
2.1.4. Faktor – faktor yang menyebabkan individu tidak mau
melakukan konformitas
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan faktor-faktor yang
menyebabkan individu tidak mau melakukan konformitas, diantaranya:
1. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2005) ada dua faktor yang menyebabkan
seseorang tidak mau melakukan konformitas, diantaranya:
a) Jika merasa kebebasan atau hak-hak pribadinya terancam
Jika seseorang merasa kebebasan atau hak nya terancam, dia akan melakukan
perlawanan. Contohnya saja pada remaja yang semakin lama semakin nakal
karena ibu nya semakin cerewet menasehatinya.
b) Setiap orang ingin tampil unik
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh McGuire & Pedawer-Singer &
Winton (1978-1979 dalam Sarwono,2005) bahwa jika anak-anak ditanya
mengenai diri nya, dia akan menjawab hal-hal yang khas pada diri nya yang
berbeda dari anak – anak yang lain, seperti warna kulit, suku, warna rambut,
gemuk atau kurus.
2. Sedangkan menurut Baron & Byrne (2005), ada dua faktor yang menyebabkan
seseorang tidak melakukan konformitas, diantaranya:
a) Kebutuhan untuk mempertahankan individualitas
Secara umum, kita ingin menjadi sama dengan orang lain, terutama dengan
orang yang disukai atau dikagumi, tetapi kita tidak ingin menjadi benar-benar
sama seperti orang lain, karena hal tersebut akan menyebabkan kita melepaskan
individualitas kita.
b) Kebutuhan untuk mempertahankan kontrol terhadap kejadian-kejadian dalam
kehidupan
Sebagian besar orang percaya bahwa mereka dapat menentukkan apa yang
terjadi pada diri mereka dan menuruti tekanan sosial terkadang berlawanan
dengan keinginan mereka. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa semakin
kuat kebutuhan individu akan kontrol pribadi, semakin sedikit kecenderungan
mereka untuk menuruti tekanan sosial.
2.1.5. Pengertian Kelompok Sebaya
Menurut Santrock (2002) kelompok sebaya adalah sekumpulan anak-anak
atau remaja yang memiliki usia dan tingkat kematangan yang sama. Pendapat ini
sama hal nya yang diungkapkan oleh Conger. Conger (1991) menyatakan
kelompok sebaya merupakan individu-individu yang memiliki kesamaan dalam
usia, tingkatan atau status dalam kelompok masyarakat.
Menurut Jeffrey Jensen Arnett (2007) kelompok sebaya adalah orang yang
mempunyai pandangan yang sama terhadap status mereka.
Kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda yang menyiapkan
panggung dimana dia dapat menguji diri sendiri dan orang lain (Horrocks &
Benimoff dalam Hurlock, 1980).
Menurut Newman & Coleman (dalam Papalia & Olds, 1986) kelompok
sebaya merupakan wadah sebagai sumber dari kasih sayang, simpati dan saling
pengertian, sebuah wadah untuk melakukan eksperimen dan mendorong keadaan
untuk memperoleh kemandirian dan kebebasan dari orang tua. Kelompok sebaya
juga merupakan wadah untuk membangun hubungan yang lebih akrab dengan
orang lain.
Jadi dapat disimpulkan kelompok sebaya adalah sekumpulan beberapa anak atau remaja yang memiliki kesamaan dalam hal usia, kematangan dan pandangan
yang sama.
2.1.6. Fungsi Kelompok Sebaya
Santrock (2002) mengemukakan salah satu fungsi kelompok sebaya yang
paling penting adalah menyediakan sumber informasi dimana mereka bisa
mendapatkan informasi tentang dunia luar selain tentang keluarga. Dari kelompok
sebaya, para remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka dan
mereka belajar baik buruk dari apa yang diperbuat oleh remaja lainnya.
Kelompok memenuhi kebutuhan pribadi remaja, menghargai mereka,
menyediakan informasi, menaikkan harga diri, dan memberi mereka suatu
identitas. Remaja Remaja bergabung dengan suatu kelompok dikarenakan mereka
beranggapan keanggotaan suatu kelompok akan sangat menyenangkan, menarik
dan memenuhi kebutuhan mereka atas hubungan dekat dan kebersamaan. Mereka
bergabung dengan kelompok karena mereka akan memiliki kesempatan untuk
menerima penghargaan, baik yang berupa materi maupun psikologi (Santrock,
2003).
Kelompok sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara.
Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep
teman-teman tentang dirinya dan kedua, remaja berada dalam tekanan untuk
mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok (Hurlock,
1980).
Kelompok sebaya mempengaruhi bentuk pengekspresian kepribadian, yang
mengutamakan kemampuan tertentu dan menyembunyikan kemampuan yang lain
yang tidak sesuai norma yang berlaku (Wade & Carol, 2007).
Sedangkan menurut Zahrotun Nihayah, dkk (2006) kelompok sebaya
memberikan pengaruh dalam berbagai aspek perkembangannya, remaja juga
mendapatkan kesempatan untuk memainkan berbagai macam peran yaitu sebagai
pemimpin, anggota dan juga dengan adanya nilai dan norma tingkah laku dalam
kelompok dapat memberikan kesempatan kepada remaja untuk dapat memperoleh
berbagai pandangan mengenai nilai dan sikap nya sendiri.
Kelly dan Hansen (dalam Nihayah,dkk, 2006) menyebutkan enam fungsi
positif dari kelompok sebaya, diantaranya:
a) Mengontrol impuls-impuls agresif. Dengan adanya interaksi antara remaja
dengan teman sebayanya, mereka belajar bagaimana menyelesaikan
pertentangan – pertentangan dengan cara lain selain dengan tindakan agresi
langsung.
b) Memperoleh dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih
independent. Kelompok sebaya memberikan dorongan bagi remaja untuk
mengambil alih peran dan tanggung jawab mereka. Dorongan ini akan
menjadikan remaja dapat mengurangi ketergantungannya terhadap keluarga,
terlebih lagi orang tua.
c) Meningkatkan keterampilan – keterampilan sosial, mengembangkan
kemampuan bernalar dan belajar untuk mengekspresikan perasaan-perasaan
dengan cara-cara yang lebih matang. Melalui tukar pendapat dan perdebatan
dengan teman sebaya, remaja belajar mengekspresikan ide-ide dan perasaan
serta mengembangkan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah yang
dihadapi.
d) Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis
kelamin. Sikap – sikap seksual dan tingkah laku peran jenis kelamin terutama
dibentuk melalui interaksi dengan teman sebaya.
e) Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai. Biasanya orang dewasa
mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang apa yang benar dan apa yang
salah. Dalam kelompok sebaya, remaja mencoba mengambil keputusan atas
diri mereka sendiri. Remaja mengevaluasi nilai-nilai yang dimilikinya dan
yang dimiliki oleh kelompok sebayanya, serta memutuskan mana yang benar
dan salah berdasarkan pertimbangan yang mereka berikan. Proses
mengevaluasi ini dapat membantu remaja mengembangkan kemampuan
penalaran moral mereka.
f) Meningkatkan harga diri. Menjadi orang yang disenangi oleh teman-teman
sebayanya, membuat remaja merasa senang terhadap diri nya dan merasa
dihargai.
2.1.7. Struktur Kelompok Sebaya
Kebanyakan relasi dengan kelompok sebaya pada masa remaja dapat
dikategorikan dalam salah satu dari tiga bentuk, diantaranya kelompok (crowd),
dan klik (cliques) dan persahabatan (Santrock, 2002).
a) Crowd adalah kelompok-kelompok remaja yang terbesar dan kurang
bersifat pribadi. Anggota kelompok bertemu karena kepentingan atau minat
mereka yang sama dalam berbagai kegiatan, bukan karena mereka saling
tertarik.
b) Cliques adalah kelompok-kelompok yang lebih kecil, melibatkan
keakraban yang lebih besar diantara anggota dan lebih kohesif dari pada crowd.
Namun, klik memiliki ukuran yang lebih besar dan tingkat keakraban yang
lebih rendah dari pada persahabatan
c) Persahabatan. Ada dua karakteristik dari persahabatan yang umum, yaitu
keakraban dan kesamaan. Keakraban pada persahabatan diartikan secara
sempit sebagai pengungkapan diri atau membagi hal-hal yang bersifat pribadi.
Kesamaan diartikan dalam umur, jenis kelamin, etnis, dan faktor lainnya juga
penting untuk persahabatan.
Persahabatan pada remaja memiliki enam fungsi yaitu (Gottman & Parker,
1987 dalam Santrock, 2003):
a) Kebersamaan. Persahabatan memberikan remaja teman akrab, seseorang
yang bersedia menghabiskan waktu dengan mereka dan bersama-sama
dalam aktivitas.
b) Stimulasi. Persahabatan memberikan para remaja informasi-informasi yang
menarik, kegembiraan dan hiburan.
c) Dukungan fisik. Persahabatan memberikan waktu,
kemampuan-kemampuan dan pertolongan.
d) Dukungan ego. Persahabatan menyediakan harapan atas dukungan,
dorongan dan umpan balik yang dapat membantu remaja untuk
mempertahankan kesan atas dirinya sebagai individu yang mampu, menarik
dan berharga.
e) Perbandingan sosial. Persahabatan mnyediakan informasi tentang
bagaimana cara berhubungan dengan orang lain.
f) Keakraban atau perhatian. Persahabatan memberikan hubungan yang
hangat, dekat, dan saling percaya dengan individu yang lain, hubungan
yang berkaitan dengan pengungkapan diri sendiri.
2. 1. 8. Pengertian Remaja
E.H.Erikson dalam Rochmah (2005) mengemukakan bahwa remaja
merupakan masa dimana terbentuk suatu perasaan baru mengenai identitas.
Identitas mencakup cara hidup pribadi yang dialami sendiri dan sulit dikenal oleh
orang lain. Secara hakiki ia tetap sama meskipun telah mengalami berbagai
macam perubahan.
Menurut Piaget (1978) dalam Hurlock (1980), masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak
lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam
tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam
masyarakat (orang dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih
berhubungan dengan masa puber, termasuk juga perubahan intelektual yang
mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini
memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang
dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode
perkembangan ini.
Kedua uraian diatas memiliki persamaan, dimana remaja beralih dari masa
anak-anak kedewasa dengan mencari identitas baru karena mengalami berbagai
macam perubahan.
Sedangkan menurut Santrock (2003), remaja merupakan masa perkembangan
transisi dari masa anak ke masa dewasa yang mencakup perubahan biologis,
kognitif dan social. Dalam kebanyakan budaya, remaja dimulai kira-kira usia
10-12 tahun dan berakhir usia 18-22 tahun.
2. 1. 9. Tugas Perkembangan Remaja
Menurut Mar’at Samsunuwijati (2005, dalam Nihayah dkk, 2006) tugas
perkembangan remaja diantaranya:
a) Menerima perubahan tubuh yang dialaminya
b) Dapat berinteraksi dengan teman sebaya nya
c) Menerima peran sesuai jenis kelamin yang akan menuju ke arah dewasa
Pertumbuhan fisik
Setiap remaja selalu mengalami perubahan fisik seperti penambahan tinggi
badan, berat badan, perkembangan seksualitas primer dan tanda seksualitas
sekunder. Perkembangan seksualitas primer adalah peralatan perkelaminan yang
menunjukkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sedangkan tanda
seksualitas sekunder adalah tanda sifat kelelakian dan kewanitaan yang Nampak
dari luar.
Dengan tercapainya kedewasaan tubuh, maka remaja di lingkungan
kebudayaan manapun akan mengalami perubahan fisik yang menuntut pula
perubahan psikis khususnya dalam hal penyesuaian diri remaja (Rochmah, 2005).
Perkembangan kognitif
Munculnya kemampuan berpikir yang lebih maju, merupakan salah satu
perubahan yang besar pada masa remaja. Kemampuan tersebut mempengaruhi
cara remaja berpikir mengenai hubungan antara diri mereka dan dunia sekitar
mereka.
Pada periode ini remaja mampu berpikir logis mengenai orientasi hidup
mereka di masa depan, hubungan mereka dengan teman dan keluarga mengenai
politik, agama dan filosofi (Nihayah dkk, 2006).
Perkembangan psikososial
Pada periode ini tahap perkembangan psikososial remaja berada pada tahap
pencarian identitas dan lawannya adalah kebingungan identitas. Fokus dari
perkembangan psikososial remaja adalah bagaimana mencari identitas dirinya
baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Pada periode ini mereka menjadi
lebih dekat dengan teman sebaya nya dan hubungan dengan orang tua sudah
bergeser sedikit demi sedikit.
Dalam proses pencarian identitas, remaja menjadi sensitif dan serba salah.
Mereka bukan anak-anak lagi, tetapi masih tidak diperbolehkan untuk melakukan
hal yang sama dengan orang dewasa(Nihayah dkk, 2006).
Perkembangan moral
Menurut Kohlberg, perkembangan moral pada periode ini mencapai pada dua
tahap, yaitu conventional reasoning, yang merupakan tahap kedua dari teori
Kohlberg. Pada tahap ini internalisasi sifat nya menengah. Individu mematuhi
beberapa standar orang lain, misalnya orang tua atau hokum yang berlaku di
masyarakat.
Adapun lebih spesifiknya periode ini berada pada sub tahap ketiga, yaitu
norma interpersonal. Pada tahap ini individu menganggap rasa percaya, rasa
sayang dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar untuk melakukan
penilaian moral (Nihayah dkk, 2006).
2. 2. Kepribadian
2. 2. 1. Definisi Kepribadian
Secara etimologis, istilah personality atau kepribadian, asal mulanya berasal
dari kata latin “per” dan “sonare”, yang berkembang menjadi kata ”persona” yang
berarti ”topeng”. Pada zaman romawi dulu, aktor drama menggunakan topeng itu
untuk menyembunyikan identitas diri nya agar dia tampil membawa peran-peran
karakter jahat sekalipun sesuai dengan tuntuta permainan dalam drama. Berasal
dari teknik drama lalu berkembang menjadi istilah personality .
Kata personality tersebut diartikan ”apa” yang terlihat pada diri seseorang
(pemakai topeng), bukan apa yang ada dalam diri pribadi orang yang memakai
topeng. (Sujanto dkk, 1991).
Menurut Agus Sujanto, dkk (1991), kepribadian adalah suatu totalitas
psikhophisis yang kompleks dari individu, sehingga nampak di dalam tingkah
lakunya yang unik. Istilah psikhophisis, menunjukkan bahwa kepribadian
bukanlah semata-mata mental dan bukan neural, melainkan bersatunya badan dan
jiwa sehingga menjadi kesatuan pribadi
Sedangkan definisi kepribadian menurut Allport adalah organisasi atau
susunan yang dinamis dari sistem psikofisik dalam diri individu yang menentukan
penyesuaian dirinya yang unik (khas) terhadap lingkungannya (Calvin S.Hall &
Gardner Lindzey, 1993).
Dan menurut Pervin dan John (1997) kepribadian seseorang sangat menentukan bagaimana seseorang itu bertingkah laku dalam kehidupan
sehari-hari nya.
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian menurut peneliti adalah sebuah karakteristik didalam diri individu yang cenderung menetap, bertahan, dan mempengaruhi penyesuaian diri individu terhadap lingkungan.
Teori tentang tipe kepribadian merupakan teori kepribadian yang tertua (sekitar 2000 tahun) dan salah satu pelopor teori tipe kepribadian adalah
Hipocrates (460-375 SM) seorang dokter Yunani yang menggolongkan manusia
berdasarkan temperamennya.
Teori tipe kepribadian memfokuskan pada karakter individu dan bagaimana
karakter tersebut terorganisasi dalam sistem. Dalam teori ini individu yang
mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama dikelompokkan menjadi satu
tipe. Tokoh-tokoh teori ini antara lain Allport, Eysenk, Cattel dan sebagainya.
2.2.2.
Tipe Kepribadian
Tipe kepribadian yang dimaksud disini yaitu tipe kepribadian A dan B
ditemukan oleh dua ahli jantung yaitu Friedman dan Rosenman dan seorang ahli
biokimia yang bernama Beyers. Mereka membagi perilaku manusia menjadi dua
macam pola yaitu kepribadian tipe A dan tipe B (Rice, 1999), setelah melakukan
penelitian longitudinal yang dinamakan Western Collaborative Group Study
(WCGS) selama Sembilan tahun, yang dimulai pada tahun 1961 (Niven, 1994)
Tipe A pertama kali digambarkan secara jelas dan terukur pada tahun 1959.
Aslinya, hal ini digambarkan sebagai gaya perilaku dan emosi, akan tetapi
sekarang beberapa penulis memandang tipe A sebagai ciri sifat kepribadian yang
pasti, sementara yang lain menggambarkan sebagai pola perilaku yang kuat dan
terus-menerus yang biasanya dimulai dari diri sendiri. Tipe A meliputi disposisi
perilaku, perilaku dan respon emosional yang khusus (Smet,1994).
Sebaliknya tipe B meliputi orang-orang yang mempunyai gaya perilaku yang
berlawanan, rileks, tidak terburu-buru, sedikit mudah terpancing untuk marah,
berbicara dan bersikap dengan lebih tenang dan lebih terbuka untuk memperluas
pengalaman hidup.
Friedman & Rosenman (dalam Kinicki & Kreitner, 2000) mendefinisikan
kepribadian tipe A yaitu an action-emotion complex that can be observed in any
person who is aggressively involved in a chronic, incessant struggle to achieve
and more in less time and if required to do so, against the opposing efforts of
other person. Pengertian ini ditemukan hasil dari pengamatan mereka terhadap
pasiennya yang memperlihatkan suatu ciri khas atau pola perilaku tertentu. Pola
yang ditemukan disebut sebagai kepribadian tipe A atau disebut juga Type A
Behavior Pattern (TABP).
Robbins & Timothy (2007) mendefinisikan kepribadian tipe A adalah suatu
bentuk keterlibatan agresif dalam suatu pergulatan kronis dan tanpa henti untuk
mencapai sesuatu yang lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat dan jika
perlu menentang usaha dari orang lain.
Tipe kepribadian A adalah individu yang cepat dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan, karena lebih menekankan kuantitas dari pada kualitas, namun
seringkali membuat keputusan yang tidak tepat karena selalu terburu-buru.
Mereka tidak akan membagi waktunya untuk mengembangkan solusi yang unik
terhadap permasalahan sehingga kreativitasnya kurang diberdayakan dan perilaku
mereka pun cenderung mudah diramalkan jika dibanding dengan tipe kepribadian
B (Yuwono, dkk, 2005).
Sedangkan tipe B adalah cenderung lebih bersedia membagi waktunya untuk
berpikir dan mencari solusi yang krearif dan lebih maksimum kinerjanya dalam
tugas-tugas yang kompleks dan membutuhkan proses berpikir yang lama dan
akurat.
Kepribadian tipe B jarang mengalami stress, karena karena individu tipe B
tidak ingin terburu – buru dan mencari kepuasan terhadap kebutuhannya dengan
cara yang tidak menimbulkan gangguan psikologis dan fisiologis sebagaimana
tipe A (Ivancevich dan Matteson dalam Rice, 1999). Individu tipe A cenderung
lebih banyak menciptakan stress bagi dirinya dari pada yang tipe B.
Contohnya sifat kompetitif yang kuat dapat membuat diri mereka dibawah
tekanan yang banyak, ketidaktamahan dapat memancing banyak konflik dengan
orang lain.
2.2.3. Karakteristik Tipe Kepribadian
Menurut Friedman dan Rosenman (dalam Rice,1999) individu dengan
kepribadian tipe A mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Senang bekerja keras, terus menerus berusaha keras dalam berpikir
ataupun menyelesaikan tugas sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat
mungkin. Cenderung merasa tidak tenang atau bersalah jika santai, serta tidak
senang dengan tugas atau sesuatu yang berulang-ulang.
2) Agresif, berambisi, memiliki daya saing kuat. Akan tetapi ambisi mereka
seringkali disertai dengan rasa permusuhan, kurang memiliki tujuan yang jelas
sehingga sering menolak aspek kehidupannya yang lain, seperti keluarga,
rekreasi atau kegiatan sosial.
3) Berbicara secara eksplosif atau meledak – ledak, suka menyuruh orang
lain untuk cepat menyelesaikan apa yang dikatakannya.
4) Tidak sabar dalam menghadapi dalam menghadapi orang atau situasi yang
dianggap menghambat dirinya.
5) Selalu berorientasi pada kegiatan, selalu menetapkan target atau tujuan
serta batasan waktunya sehingga terus-menerus merasa dikejar oleh waktu.
Fungsi mental dan psikisnya bekerja dengan cepat sehingga dalam melakukan
apapun cenderung tergesa-gesa.
6) Selalu berusaha keras untuk melawan orang, barang atau kejadian yang
menghambatnya.
7) Memiliki acuan keberhasilan yang tinggi dan akan berusaha mendapatkan
penghargaan.
8) Seringkali tidak menyadari bahwa perasaan tertekan yang mereka alami
merupakan akibat dari perilaku mereka sendiri.
Dalam buku Psikologi Industri dan Organisasi yang disusun oleh Yuwono,
dkk (2005), menyebutkan kepribadian tipe A dicirikan sebagai individu yang
secara agresif mendapat segala sesuatu, berusaha mencapai lebih banyak dalam
waktu yang cepat. Karakteristik kepribadian tipe A diantaranya:
a) Bergerak, berjalan dan makan dengan cepat
b) Merasa tidak sabar terhadap banyak hal
c) Berusaha keras untuk berfikir dan melakukan dua hal secara sekaligus
d) Kurang dapat menerima waktu luang
e) Terobsesi dengan jumlah, mengukur jumlah secara kuantitatif
Sedangkan karakteristik tipe kepribadian