• Tidak ada hasil yang ditemukan

perbedaan masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada remaja berdasarkan ipe kepribadian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "perbedaan masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada remaja berdasarkan ipe kepribadian"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

TIPE KEPRIBADIAN

Skripsi Dipenuhi Sebagai Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

ARIZKA HARISA

105070002224

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 7 Juli 2010

Arizka Harisa

(3)

PERBEDAAN MASING-MASING FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI KONFORMITAS KELOMPOK

SEBAYA PADA REMAJA BERDASARKAN

TIPE KEPRIBADIAN

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh

gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

ARIZKA HARISA NIM: 10507000 2224

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Hamdan Yasun, M.Si Gazi Saloom, M.Si

NIP. 130351146 NIP.197112142007011014

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul PERBEDAAN MASING-MASING FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI KONFORMITAS KELOMPOK SEBAYA PADA REMAJA BERDASARKAN TIPE KEPRIBADIAN telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 4 Juni 2010

Sidang Munaqasyah

Dekan/ Pembantu Dekan/

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M. Si

NIP. 130885522 NIP. 19561223198303 2001

Anggota :

Penguji I Penguji II

Yunita Faela Nisa, M.Psi, Psi Prof. Hamdan Yasun, M.Si

NIP. 197706082005012003 NIP. 130351146

Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Hamdan Yasun, M.Si Gazi Saloom, M.Si

(5)

ABSTRAKSI

(A) Fakultas Psikologi (B) Juni 2010

(C) Arizka Harisa

(D) Perbedaan masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada remaja berdasarkan tipe kepribadian

(E) 108 halaman + xiv

(F) Konformitas bisa dialami oleh siapa saja, baik orang dewasa maupun remaja, karena mereka merupakan bagian dari kelompok sosial, akan tetapi konformitas memuncak pada masa remaja. Satu penelitian yang baru-baru ini dilakukan menunjukkan dukungan terhadap penemuan Berndt, yaitu bahwa kepekaan terhadap kelompok sebaya meningkat pada awal masa remaja (dalam Santrock, 2003). Para peneliti telah menemukan bahwa pada kelas delapan dan sembilan, konformitas dengan teman sebaya memuncak (Berndt, 1979; Berndt & Perry, 1990; Leventhal, 1994 dalam Santrock,2002).

Fenomena konformitas yang terjadi pada remaja banyak sekali, salah satu contohnya seperti terjadinya tawuran antara siswa sampai menyebabkan kematian karena konformitas kelompok sebaya, dimana kasus ini baru terjadi dua bulan yang lalu tepatnya delapan April 2010. Kasus ini berawal dari tawuran antara sejumlah siswa SMP Ibun dan SMP Paseh. Tawuran terjadi hanya karena saling ejek, dan imbasnya siswa yang tidak terlibat tawuran menjadi korbannya (Tiah, 2010).

Tipe kepribadian yang dimaksud disini yaitu tipe kepribadian A dan B ditemukan oleh dua ahli jantung yaitu Friedman dan Rosenman dan seorang ahli biokimia yang bernama Beyers. Mereka membagi perilaku manusia menjadi dua macam pola yaitu kepribadian tipe A dan tipe B (Rice, 1999), setelah melakukan

penelitian longitudinal yang dinamakan Western Collaborative Group Study

(WCGS) selama Sembilan tahun, yang dimulai pada tahun 1961 (Niven, 1994). Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada remaja berdasarkan tipe kepribadian, dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian komparatif.

Penelitian dilakukan pada siswa dan siswi MTs. Al-Khairiyah di Mampang Prapatan Jakarta Selatan dengan jumlah sampel 150 orang dengan menggunakan

teknik purposive sampling. Karakteristik sampel adalah Siswa dan siswi Mts.

Al-Khairiyah Jakarta Selatan, kelas delapan dan Sembilan, berkepribadian tipe A dan B. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah skala tipe kepribadian

model dikotomi dan konformitas kelompok sebaya model likert.

Bentuk pengolahan dan analisa data menggunkan analisis statistika dengan menggunkan program SPSS versi 18.00. Teknik pengolahan dan analisis data

dilakukan dengan analisis statistik yang meliputi Pearson Product Moment untuk

(6)

independent sample t-test untuk pengujian hipotesis penelitian dan uji beda per faktor.

Jumlah aitem yang digunakan dalam penelitian pada skala tipe kepribadian sebanyak 36 aitem sedangkan untuk skala konformitas kelompok sebaya sebanyak

33 aitem. Hasil uji beda dengan menggunakan teknik independent samples test

dengan menggunakan Equal variances not assumed adalah 7.293 dengan

probabilitas 0.000.

Maka, dapat ditarik kesimpulan 0.000 < 0.05 Ho yang berbunyi tidak ada perbedaan masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok

sebaya pada remaja berdasarkan tipe kepribadian ditolak dan Ha yang berbunyi

ada perbedaan masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok

sebaya pada remaja berdasarkan tipe kepribadian diterima.

Adapun hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat perbedaan masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada remaja berdasarkan tipe kepribadian. Di mana dari hasil penelitian sejalan dengan sebagian peneliti yang berpendapat bahwa tipe kepribadian ada hubungannya dengan perilaku konformitas (Sarwono:2005). Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Richard Crutchfield yang menyatakan bahwa kepribadian merupakan faktor yang mendorong seseorang untuk mengadakan konformitas (dalam Davidoff,1991)

Penulis menyarankan penelitian selanjutnya untuk memperhatikan dan melibatkan faktor-faktor lain disamping tipe kepribadian A dan B yang dapat mempengaruhi konformitas kelompok sebaya. Penelitian selanjutnya disarankan, dalam pengambilan sampel tidak hanya pada kelas delapan dan sembilan saja, sehingga bisa digeneralisasikan pada remaja. Bagi remaja yang memiliki tipe kepribadian A, hendak nya ditingkatkan lagi kemampuan berinteraksi dengan kelompok sebaya nya, karena hal tersebut mengurangi salah satu ciri tipe kepribadian A yaitu perasaan bermusuhan terhadap orang lain ketika menghambat diri nya. Bagi remaja yang memiliki tipe kepribadian B, hendaknya pergaulan dengan kelompok sebaya nya diarahkan ke dalam kegiatan yang positif, sehingga tidak merugikan diri sendiri.

(G)Bahan Bacaan : 40 buku (1980 - 2010)

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji bagi Illahi Rabbi, Sang Pemillik alam semsta yang Maha

segalanya dan tidak ada yang mampu mengalahkan rasa kasih sayang – Nya dan

karunia Nya kepada seluruh umat manusia. Shalawat serta salam tercurahkan bagi

Rasulullah SAW, suri tauladan sepanjang masa.

Penulis bersyukur telah dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

”PERBEDAAN MASING-MASING FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KONFORMITAS KELOMPOK SEBAYA PADA REMAJA BERDASARKAN

TIPE KEPRIBADIAN” sebagai syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi

di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kelancaran dalam pembuatan skripsi ini tidak luput dari bantuan, arahan dari

semua pihak dan juga petunjuk dan nikmat dari Allah SWT kepada penulis. Oleh

karena itu, penulis panjatkan syukur dan haturkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT, tempat hamba mencurahkan isi hati dan memohon petunjuk

atas kesulitan yang dialami dalam membuat skripsi ini.

2. Teristimewa papaku Drs.H.Ali Nurdin M.Pd dan mamaku Dra.Hj. Himlah

yang tak pernah bosan berdoa untukku, yang selalu menyemangatiku

dalam penulisan skripsi. Semoga Allah memberikan kalian kebahagiaan di

dunia dan akhirat.

3. Bpk. Jahja Umar, Ph.D Dekan Fakultas Psikologi UIN Jakarta, seluruh

pudek (pembantu dekan) serta staf Fakultas Psikologi yang tidak

disebutkan satu persatu yang telah memberikan kemudahan dalam setiap

urusan penulis selama kuliah, semoga Allah selalu memudahkan urusan

mereka.

4. Bpk. Prof. Hamdan Yasun, M,Si pembimbing I dan penguji II, yang telah

memberikan arahan dan masukan berharga kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

5. Bpk. Gazi Saloom, M,Si pembimbing II yang memberikan saran dan

semangat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan

(8)

6. Ibu Yunita Faela Nisa, M.Psi Psi penguji I atas arahan dan masukan yang sangat berharga dalam penyelesaian perbaikan skripsi ini.

7. Ibu Dra. Hj. Fadhilah Suralaga, M.Si pudek (pembantu dekan) bagian

Akademik yang telah memberikan semangat dan bimbingan kepada

penulis guna menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh dosen fakultas Psikologi yang tidak disebutkan satu persatu, untuk

ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama di bangku kuliah, semoga

Allah membalas kebaikan kalian.

9. Aa ku Suheri Anggara Putra yang tak pernah bosan mendoakan penulis

dan menyemangati dalam menyelesaikan skripsi ini dan juga atas pelajaran

hidup yang tidak penulis dapatkan di bangku sekolah ataupun kuliah.

10. Kakak ku Aida Humaira dan Anita Hufaila, adik ku Via Rifkia, kakak ipar

ku Muhammad Fudhail Rahman dan Muhammad Yusuf, atas semangat

dan pengertian kalian kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dan juga keponakan ku Adib Murtadha, Ghiyas Wafiyuddin Yusuf dan

Shazia Hanan atas canda tawa nya dan hiburan kepada penulis.

11. Pak Haidir dan Pa badawi yang membantu penulis dalam mendapatkan

buku-buku guna menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman angkatan 2005 khususnya kelas A.

13. Teman- teman KKL dina, donna, nadiyya, lia dan risti terima kasih atas

kerja samanya, kekompakkan dan kebersamaan kalian.

14. Kepala sekolah, guru-guru dan siswa/i Mts. Sa’adatudarrain atas

diberikannya izin dan kesempatan bagi penulis untuk melakukan try out

berulang kali dan juga kepala sekolah, guru-guru dan siswa/i Mts.

Al-Khairiyah atas izin dan kesempatan buat penulis untuk melakukan

penelitian.

15. Semua orang yang mengajarkan dan memberikan kekuatan melalui doa

tulusnya.

Jakarta, Juni 2010

(9)

DAFTAR ISI

Lembar Pernyataan (Keaslian Karya) i

Lembar Pengesahan ii

Lembar Pengesahan Panitia Ujian iii

Abstrak iv

Kata Pengantar vi

Daftar Isi viii

Daftar Tabel xi

Daftar Lampiran xii

Motto xiii

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Identifikasi Permasalahan 6

1.3. Batasan Masalah 6

1.4. Rumusan Masalah 8

1.5. Tujuan Penelitian 8

1.6. Manfaat Penelitian 8

1.7. Sistematika Penulisan 8

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1. Konformitas kelompok sebaya Pada Remaja 10

2.1.1. Definisi Konformitas 10

2.1.2. Jenis Konformitas 11

2.1.3. Faktor-faktor Terbentuknya Konformitas 13

2.1.4. Faktor-faktor yang menyebabkan individu tidak mau

melakukan konformitas 22

2.1.5. Pengertian kelompok sebaya 23

2.1.6. Fungsi Kelompok Sebaya 24

2.1.7. Struktur Kelompok Sebaya 27

(10)

2.1.9.Tugas Perkembangan Remaja 30

2.2. Kepribadian 32

2.2.1. Definisi Kepribadian 32

2.2.2. Tipe Kepribadian 34

2.2.3. Karakteristik Tipe Kepribadian 36

2.3. Kerangka Berpikir 40

2.4. Hipotesis Penelitian 43

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Metode Penelitian 44

3.2. Pendekatan Penelitian 44

3.3. Variabel Penelitian 45

3.3.1. Definisi Variabel Penelitian 45

3.3.2. Definisi Konseptual Variabel Penelitian 46

3.3.3. Definisi Operasional Variabel Penelitian 46

3.4. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 48

3.4.1. Populasi Penelitian 48

3.4.2. Sampel Penelitian 48

3.4.3. Teknik Pengambilan Sampel 48

3.5. Metode dan Instrumen Penelitian 49

3.5.1. Metode Pengumpulan Data 49

3.5.2. Instrumen Penelitian 49

3.5.3. Teknik Uji Instrumen Penelitian 53

3.6. Teknik Analisis Data 54

3.7. Prosedur Penelitian 54

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Responden 57

4.1.1. Gambaran Responden Berdasarkan Jenis

Kelamin 57

4.1.2. Gambaran Responden Berdasarkan Usia 58

(11)

4.1.4. Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dari tiap

Kelas 59

4.2. Presentasi Data 59

4.2.1. Uji Instrumen Penelitian 59

4.3. Hasil Penelitian 62

BAB 5

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 69

5.2. Diskusi 70

5.3. Saran 72

DAFTAR

PUSTAKA

73
(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Blue Print Skala Tipe Kepribadian (Try Out) 51

Tabel 3.2 Bobot Nilai Jawaban 52

Tabel 3.3 Blue Print Skala Faktor yang Mempengaruhi Konformitas

Kelompok Sebaya (Try Out) 53

Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 57

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia 58

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kelas 58

Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Dari

Tiap Kelas 59

Tabel 4.5 Blue Print Skala Tipe Kepribadian (Field Study) 60

Tabel 4.6 Blue Print Skala Faktor yang Mempengaruhi Konformitas

Kelompok Sebaya (Field Study) 61

Tabel 4.7 T-Test Group Statistics 62

Tabel 4.8 Independent Samples Test Uji Hipotesis 63

Tabel 4.9 Independent Samples Test Uji Beda Faktor Pertama 64

Tabel 4.10 Independent Samples Test Uji Beda Faktor Kedua 65

Tabel 4.11 Independent Samples Test Uji Beda Faktor Ketiga 66

Tabel 4.12 Independent Samples Test Uji Beda Faktor Keempat 66

Tabel 4.13 Independent Samples Test Uji Beda Faktor Kelima 67

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Tipe Kepribadian (Try Out) 76

Lampiran 2 Skala Faktor yang Mempengaruhi Konformitas Kelompok

Sebaya (try out) 79

Lampiran 3 Uji Validitas dan Reliabilitas Tipe Kepribadian 81

Lampiran 4 Uji Validitas dan Reliabilitas Faktor yang Mempengaruhi

Konformitas Kelompok Sebaya 84

Lampiran 5 Skala Tipe Kepribadian (Field Study) 86

Lampiran 6 Skala Faktor yang Mempengaruhi Konformitas Kelompok

Sebaya (Field Study) 88

Lampiran 7 Uji Hipotesis 90

Lampiran 8 Data Mentah Faktor yang Mempengaruhi Konformitas Kelompok

Sebaya (Try Out) 95

Lampiran 9 Data Mentah Tipe Kepribadian (Try Out) 97

Lampiran 10 Data Mentah Tipe Kepribadian A (Field Study) 98

Lampiran 11 Data Mentah Tipe Kepribadian B (Field Study) 100

Lampiran 12 Data Mentah Faktor yang Mempengaruhi Konformitas Kelompok

Sebaya pada Tipe Kepribadian A (Field Study) 101

Lampiran 13 Data Mentah Faktor yang Mempengaruhi Konformitas Kelompok

Sebaya pada Tipe Kepribadian B (Field Study) 103

Lampiran 14 Data Mentah Per Faktor yang Mempengaruhi Konformitas

Kelompok Sebaya Berdasarkan Tipe Kepribadian A

(14)

Lampiran 15 Data Mentah Per Faktor yang Mempengaruhi Konformitas

Kelompok Sebaya Berdasarkan Tipe Kepribadian B

(Field Study) 105

Lampiran 16 Surat Telah Melakukan Try Out 106

(15)

Hai orang-orang yang beriman, jika datang

kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka

periksalah dengan teliti, agar kamu tidak

menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum

tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan

kamu menyesal atas perbuatanmu itu

(al- Hujurat: 6).

Skripsi ini kupersembahkan untuk

orang-orang yang menyayangiku,

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Sebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sebagai manusia

membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan kehidupan. Tercermin

dari kehidupan bermasyarakat yang tercipta dari awal leluhur, yaitu membentuk

kelompok dan membagi tugas di dalam kelompok tersebut adalah bagian dari

kehidupan bermasyarakat yang sedemikian kompleks saat ini. Dari

kelompok-kelompok masyarakat yang ada, sebagai manusia yang tergabung di dalam nya

timbul perasaan-perasaan untuk menegaskan diri bahwa mereka adalah bagian

dari kelompok tertentu atau perasaan tidak ingin berbeda dari yang lain.

Terkadang, dari perasaan tersebut, timbullah tingkah laku yang disebut dengan

konformitas sosial.

Dalam kamus Psikologi (2004), konformitas didefinisikan sebagai

kecenderungan untuk memperbolehkan satu tingkah laku seseorang yang dikuasai

oleh sikap dan pendapat yang sudah berlaku.

Konformitas bisa dialami oleh siapa saja, baik orang dewasa maupun remaja,

karena mereka merupakan bagian dari kelompok sosial, akan tetapi konformitas

memuncak pada masa remaja. Satu penelitian yang baru-baru ini dilakukan

menunjukkan dukungan terhadap penemuan Berndt, yaitu bahwa kepekaan

terhadap kelompok sebaya meningkat pada awal masa remaja (dalam Santrock,

2003). Para peneliti telah menemukan bahwa pada kelas delapan dan sembilan,

(17)

konformitas dengan teman sebaya memuncak (Berndt, 1979; Berndt & Perry,

1990; Leventhal, 1994 dalam Santrock,2002).

Fenomena konformitas yang terjadi pada remaja banyak sekali, salah satu

contohnya seperti tawuran bahkan dimulai dari pelajar sekolah dasar sampai

dengan pelajar SMA. Lebih jauh dalam dunia pendidikan kita semakin dibuat

suram dengan terjadinya tawuran antara siswa sampai menyebabkan kematian

karena konformitas kelompok sebaya, dimana kasus ini baru terjadi dua bulan

yang lalu tepatnya delapan April 2010. Kasus ini berawal dari tawuran antara

sejumlah siswa SMP Ibun dan SMP Paseh. Tawuran terjadi hanya karena saling

ejek, dan imbasnya siswa yang tidak terlibat tawuran menjadi korbannya (Tiah,

2010). Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa konformitas kelompok sebaya erat

kaitannya pada setiap individu.

Menurut Hurlock (1980) masa remaja sebagai periode peralihan dari satu

tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya apa yang terjadi sebelumnya

akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan

datang.

Dengan kondisi yang sedang mengalami masa peralihan tersebut, remaja akan

cenderung bertindak dipengaruhi oleh lingkungan dan kelompok sebaya

memegang peranan cukup besar. Kelompok sebaya memegang peranan penting

dalam perkembangan sosial dan kepribadian remaja, karena remaja lebih banyak

berada di luar rumah bersama dengan kelompok sebayanya (Hurlock, 1980).

(18)

Remaja membutuhkan petunjuk, dorongan dan komunikasi dari teman

mereka. Seberapa baik pun pemahaman orang tua dan orang dewasa lain pada

remaja, peran remaja sangat dibatasi oleh kenyataan bahwa mereka telah dewasa,

sedangkan remaja dan kelompok sebaya nya sedang berusaha untuk mencapai

status sebagai orang dewasa.

Konformitas dengan tekanan teman-teman sebaya pada masa remaja dapat

bersifat positif maupun negatif (Camarena,1991;Foster-Clark & Blyth,

1991;Pearl,Bryan, &Herzog,1990;Wall,1993, dalam Santrock, 2002).

Umumnya remaja terlibat dalam semua bentuk perilaku konformitas yang

negatif, seperti menggunakan bahasa yang jorok, mencuri, menyontek, berkelahi

dan lain-lain. Akan tetapi, banyak sekali konformitas kelompok sebaya yang tidak

negatif, seperti berpakaian seperti teman-teman, mengikuti kegiatan diskusi

dengan teman sebaya untuk tujuan yang baik.

Sekarang ini banyak remaja yang membentuk kelompok – kelompok dengan

tujuan yang terarah dan bersifat positif, seperti Kelompok Ilmiah Remaja (KIR),

kelompok olah raga misalnya karate, tapak suci, boxer dan lain-lain. Ewert (dalam

Monks, Knoers & Haditono, 2004) mengatakan besar nya pengaruh lingkungan

atau kelompok tersebut sampai pada pemberian norma tingkah laku oleh

kelompok. Pada saat remaja berhubungan dengan kelompok nya, mereka dapat

melihat sejauh mana nilai-nilai yang ada di dalam kelompok dapat diikuti

(Nihayah dkk, 2006).

Menurut sebagian peneliti berpendapat bahwa tipe kepribadian ada

pengaruhnya pada perilaku konformitas, akan tetapi sebagian yang lain

(19)

berpendapat bahwa walaupun tipe kepribadian tidak dapat untuk meramalkan

timbulnya satu perilaku tertentu pada saat dan tempat tertentu, namun dalam

rangkaian peristiwa dalam waktu yang pajang tipe kepribadian menentukan

bagaimana pola reaksi atau perilaku seseorang dalam menghadapi jenis-jenis

situasi tertentu. Contoh nya dalam situasi yang tidak jelas, tidak berstruktur

(misalnya dalam ruang tunggu dokter hanya ada dua orang tamu, oleh karena itu

orang dengan kepribadian yang lebih dominan akan lebih mempengaruhi

hubungan atau komunikasi antarkedua tamu tersebut (dalam Sarwono:2005).

Pendapat di atas sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh psikolog

Graham Vaughan, dimana dia menempatkan responden penelitiannya ke dalam

empat situasi kelompok yang berbeda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

hanya 20% mudah konform atau 20% tetap bebas. Kesimpulannya bahwa banyak

orang termasuk golongan yang tidak selalu konform, karena itu faktor kepribadian

dan situasi sesaat perlu dipertimbangkan (dalam Davidoff, 1991)

Menurut Solomon Asch yang pernah melakukan penelitian mengenai

konformitas, menyatakan bahwa ada perbedaan individual terhadap hasil

penelitiannya, tetapi tidak disebutkan faktor kepribadian menjadi salah satu

penyebabnya (Baron, Robert A & Donn Byrne, 2005).

Perbedaan individual sering dikaitkan dengan perbedaan antarkelamin,

antarkebudayaan, antarpendidikan, antarusia, antarbangsa, antarsuku bangsa,

pengalaman yang dimiliki dan juga kepribadian (Munandar, 2001),

Hal ini senada dengan pendapat yang diungkapkan oleh Diane E.

Papalia,Sally Wendkos Olds & Ruth Duskin Feldman (2009) bahwa perbedaan

(20)

individual meliputi jenis kelamin, tinggi, berat, fisik tubuh, kecerdasan serta

karakteristik kepribadian dan reaksi emosional.

Sedangkan menurut Linda L.Davidoff (1991) salah satu aspek yang

mempengaruhi konformitas adalah kepribadian. Hal tersebut diperkuat oleh

penelitian Richard Crutchfield yang menyatakan bahwa kepribadian merupakan

faktor yang mendorong seseorang untuk mengadakan konformitas. Dia melakukan

penelitian dengan menggunakan sebuah tes kepribadian dan menggunakan gaya

Asch, dimana hasil penelitiannya mengungkapkan beberapa ciri yang selalu

muncul pada diri mereka yang tergolong mudah dan sulit konform

(Davidoff,1991). Akan tetapi, penelitian yang telah dilakukan Richard tidak

disebutkan alat tes dan teori kepribadian yang digunakan.

Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti kembali mengenai tipe kepribadiaan

seseorang untuk melakukan konformitas. Pada penelitian ini akan dibahas

mengenai tipe kepribadian A dan B.

Tipe kepribadian A telah diteliti pada anak-anak dan remaja. Penelitian

tersebut menunjukkan bahwa mereka yang memiliki tipe kepribadian A lebih

reaktif terhadap stress dari pada tipe B. Pada umumnya, anak laki-laki lebih

memungkinkan meniru perilaku tipe kepribadian A dari orang tua mereka

daripada anak perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa tipe kepribadian A

berkembang sebagai interaksi keturunan dan gaya pengasuhan (Rodin & Salovey

dalam Smet, 1994).

(21)

Sedangkan Nay & Wagner (dalam Smet, 1994) berpendapat bahwa anak-anak

yang bertipe kepribadian A memiliki harga diri lebih rendah, lebih eksternal locus

of control dan tingkat kecemasannya lebih tinggi dari pada tipe kepribadian A.

Berdasarkan penjelasan diatas penulis ingin meneliti dan memberikan judul

penelitian yang berjudul ”PERBEDAAN MASING-MASING FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI KONFORMITAS KELOMPOK SEBAYA PADA REMAJA

BERDASARKAN TIPE KEPRIBADIAN”

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka

beberapa masalah yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini sebagai berikut :

a. Bagaimana perilaku tipe kepribadian A dan B?

b. Bagaimana faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada

remaja?

c. Apakah ada perbedaan masing-masing faktor yang mempengaruhi

konformitas kelompok sebaya pada remaja berdasarkan tipe kepribadian?

1.3.

Batasan Masalah

Permasalahan yang diteliti perlu dibatasi, dimana pokok bahasan yang ingin

diteliti meliputi :

a. tipe kepribadian yang di maksud adalah tipe kepribadian A dan B. Tipe

kepribadian A adalah individu yang cepat dalam menyelesaikan suatu pekerjaan,

(22)

seringkali membuat keputusan yang tidak tepat karena selalu terburu-buru.

Mereka tidak akan membagi waktunya untuk mengembangkan solusi yang unik

terhadap permasalahan sehingga kreativitasnya kurang diberdayakan dan perilaku

mereka pun cenderung mudah diramalkan jika dibanding dengan tipe kepribadian

B (Yuwono, dkk, 2005).

Sedangkan tipe B adalah cenderung lebih bersedia membagi waktunya untuk

berpikir dan mencari solusi yang krearif dan lebih maksimum kinerjanya dalam

tugas-tugas yang kompleks dan membutuhkan proses berpikir yang lama dan

akurat.

b. Kelompok sebaya adalah sebuah kelompok sosial yang terdiri dari sekumpulan

orang yang memiliki kesamaan sosial atau memiliki kesamaan ciri – ciri seperti

kesamaan tingkat usia.

c. Faktor konformitas kelompok sebaya diantaranya: rasa takut terhadap

penyimpangan, kekompakkan kelompok, kesepakatan kelompok, ukuran

kelompok, kepercayaan terhadap kelompok, kepercayaan yang lemah terhadap

penilaian sendiri

d. Remaja yang dimaksud adalah remaja yang menduduki kelas delapan dan

sembilan

(23)

1.

4. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan

masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada

remaja berdasarkan tipe kepribadian?.

1. 5. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui apakah ada perbedaan

masing-masing faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada remaja

berdasarkan tipe kepribadian.

1. 6. Manfaat Penelitian

Secara teoritis dari penelitian ini yaitu dapat menambah literatur tentang tipe

kepribadian dan faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok sebaya pada

remaja, khususnya pada keilmuan bidang psikilogi sosial dan kepribadian. Secara

praktis, penelitian ini memberikan informasi kepada semua pihak yang

membutuhkan mengenai tipe kepribadian dan faktor yang mempengaruhi

konformitas kelompok sebaya pada remaja.

1. 7. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi

masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

(24)

BAB II : Kajian teori yang menguraikan deskripsi teoritis mengenai

definisi konformitas, jenis konformitas, faktor-faktor terbentuknya

konformitas, faktor-faktor yang menyebabkan individu tidak mau

melakukan konformitas, pengertian kelompok sebaya, fungsi

kelompok sebaya, struktur kelompok sebaya, pengertian remaja,

tugas perkembangan remaja, definisi kepribadian, tipe kepribadian,

karakteristik tipe kepribadian, kerangka berpikir dan hipotesa

penelitian.

BAB III : Metode penelitian, yang terdiri dari jenis penelitian, pendekatan

penelitian, variabel penelitian, populasi, sampel, teknik

pengambilan sampel, metode pengumpulan data, instrumen

penelitian, metode analisa data dan prosedur penelitian.

BAB IV : Hasil penelitian dan analisis data, yang terdiri dari Gambaran

responden, hasil utama penelitian.

BAB V : Kesimpulan, diskusi dan saran.

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

2. 1. Konformitas Kelompok Sebaya Pada Remaja

2.1.1. Definisi Konformitas

Dalam kamus Psikologi (Chaplin, 2004), konformitas adalah kecenderungan

untuk memperbolehkan satu tingkah laku seseorang dikuasai oleh sikap dan

pendapat yang sudah berlaku.

Menurut Santrock (2003) konformitas adalah perubahan sikap atau tingkah

laku individu karena meniru dari orang lain dikarenakan tekanan yang nyata

maupun yang dibayangkan mereka.

Baron & Donn Byrne (2005) menjelaskan bahwa konformitas merupakan

jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka

agar sesuai dengan norma sosial yang ada.

Menurut Wiggins, dkk (1994) konformitas adalah tingkah laku yang

mengikuti norma.

Berbeda pendapat dengan Wills (dalam Sarwono,2003), Soloman Asch dan

Sarlito Wirawan Sarwono. Wills mengemukakan bahwa konformitas adalah salah

satu jenis dari respon sosial dimana individu berusaha terus menerus untuk selaras

dengan norma-norma yang diharapkan oleh kelompok, akan tetapi kalau persepsi

individu mengenai norma kelompok atau standar sosial berubah, maka individu

tersebut akan mengubah tingkah lakunya.

(26)

Sedangkan menurut Soloman Asch (dalam Sears, dkk, 1985) konformitas

hanya terjadi dalam situasi yang ambigu, yaitu bila orang merasa tidak pasti

mengenai standar perilaku yang benar. Bila seseorang mampu melihat suatu

realitas dengan nyata, dia akan mempercayai persepsinya sendiri dan tetap teguh

pada pendiriannya meskipun anggota kelompok yang lain menentangnya.

Begitu juga dengan Sarlito Wirawan Sarwono (2005) yang mengungkapkan

bahwa konformitas adalah perilaku sama dengan orang lain yang didorong oleh

keinginan sendiri.

Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa

konformitas adalah perubahan tingkah laku atau keyakinan dan harapan yang

merupakan tekanan atau bukan yang diberikan oleh kelompok untuk mengubah

tingkah laku agar sesuai dengan aturan dalam kelompok.

Oleh karena itu konformitas bukan hanya berarti tingkah laku seperti orang

lain, tetapi terpengaruh oleh cara kelompok itu bertindak dan tindakan ini akan

berbeda jika dilakukan sendirian. individu juga ditempatkan pada suatu konflik

antara nilai dan pendapat nya dengan nilai dan norma – norma yang dianut oleh

kelompok.

2.1.2. Jenis Konformitas

Menurut Myers (2005) konformitas terbagi atas ada dua jenis, yaitu:

compliance dan acceptance.

(27)

a. Compliance

konformitas compliance adalah : ”Conformity that involves publicity acting in

accord with social pressure while privately dissagreeing” (Myers, 1996).

Jadi konformitas compliance adalah suatu bentuk konformitas dimana individu

bertingkah laku sesuai dengan tekanan yang diberikan oleh kelompok sementara

secara pribadi ia tidak menyetujui perilaku tersebut.

Hal ini karena adanya pengaruh sosial normatif (normative social influence)

yang didasarkan pada keinginan individu untuk diterima atau disukai oleh orang

lain (Baron, 2005). Contoh: Dalam suatu kelompok merencanakan untuk

menonton film Harry Potter, ada salah seorang anggota kelompoknya yang tidak

menyukai film tersebut dan ingin menonton film yang lain. Karena takut dianggap

tidak kompak akhirnya dia menonton film itu juga.

b. Acceptance

Menurut Myers (2005) konformitas acceptance adalah : ”Conformity that

involves both acting and believing in accord with social pressure”.

Jadi konformitas acceptance adalah suatu bentuk konformitas dimana tingkah

laku maupun keyakinan individu sesuai dengan tekanan kelompok yang

diterimanya.

Konformitas bentuk acceptance terjadi karena adanya pengaruh sosial

informasional (informational social influence) didasarkan pada keinginan individu

untuk memiliki persepsi yang tepat mengenai dunia sosial (Baron, 2005). Hal ini

(28)

karena seseorang tidak mempunyai pengalaman dalam menghadapi fenomena

yang ada, maka individu tersebut akan melihat pada pengalaman, persepsi

maupun pengetahuan yang dimiliki oleh orang lain. Digunakannya orang lain

sebagai sumber informasi menciptakan suatu kesempatan bagi kelompok untuk

mempengaruhi individu.

Individu melakukan konformitas dikarenakan mereka berpikir bahwa orang

lain dalam kelompok memiliki lebih banyak informasi yang tidak diketahuinya

(Feldman:1985). Sementara Shaw (dalam Feldman:1985) menyatakan

konformitas akan meningkat jika seseorang berada dalam situasi yang

membingungkan.

Contoh : pada saat ujian, ada seorang siswa yang meminta jawaban pada

temannya yang satu kelompok dengannya, karena dia menganggap bahwa

temannya pintar dan selalu mendapat peringkat satu di kelas nya, siswa tersebut

tidak memperdulikan jawaban yang diterimanya benar atau salah. Hal ini terjadi

karena siswa tersebut tidak mempercayai dirinya karena tidak belajar.

2.1.3. Faktor – faktor Terbentuknya Konformitas

Ada beberapa pendapat mengenai terbentuknya konformitas, diantaranya:

1. Menurut Sears, dkk (1985) faktor – faktor terbentuknya konformitas

compliance diantaranya :

a) Rasa takut terhadap penyimpangan

(29)

Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang, merupakan faktor

dasar dalam semua situasi sosial. Seseorang ingin agar kelompok tempat dimana

ia berada menyukainya, menerimanya serta memperlakukannya dengan baik.

Individu cenderung menyesuaikan diri untuk menghindari salah paham.

Rasa takut dipandang sebagai orang menyimpang diperkuat oleh tanggapan

kelompok terrhadap perilaku menyimpang seseorang yang tidak mau mengikuti

apa yang berlaku di dalam kelompok akan menanggung resiko mengalami akibat

yang tidak menyenangkan seperti dikucilkan atau ditolak oleh kelompok.

b) Kekompak kan kelompok

Konformitas compliance juga dipengaruhi oleh erat nya hubungan antara

individu dengan kelompok nya. Maksud dari kekompakkan adalah jumlah total

kekuatan yang menyebabkan orang tertarik pada suatu kelompok dan yang

membuat mereka ingin tetap menjadi anggota nya.

Kekompakkan yang tinggi menimbulkan konformitas yang semakin tinggi.

Jika seseorang merasa dekat dengan anggota kelompok yang lain, akan semakin

menyenangkan bagi kelompok untuk mengakuinya dan semakin menyakitkan bila

kelompok mencelanya.

Konformitas akan meningkat bila melakukan sesuatu yang berharga.

Kelompok yang beranggapan bahwa tugasnya penting atau berharga akan

menghasilkan tingkat konformitas yang lebih besar dibandingkan dengan

kelompok yang memandang suatu tugas sebagai sesuatu yang tidak penting dan

tidak berharga. Peningkatan konformitas ini terjadi karena anggota kelompok

(30)

tidak ingin disebut sebagai orang yang menyimpang. Karena penyimpangan

menimbulkan penolakan dari kelompok.

Jika seseorang mempunyai hubungan yang dekat dengan anggota kelompok

yang lain, maka ia akan selalu berusaha mempertahankan keanggotaannya dalam

kelompok tersebut. Sebaliknya, jika seseorang tidak lagi menyukai kelompok nya

dan merasa tidak ada manfaatnya bergabung dengan kelompok tersebut, maka

tekanan untuk konformitas akan berkurang.

c) Kesepakatan kelompok

Faktor yang sangat penting terjadinya konformitas adalah kesepakatan

pendapat kelompok. Individu yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang

sudah bulat akan mendapatkan tekanan yang kuat untuk menyesuaikan

pendapatnya. Morris & Miller (dalam Sears,dkk:1985) menunjukkan bahwa saat

terjadinya perbedaan pendapat bisa menimbulkan perbedaan. Sehingga akan

tampak adanya penurunan tingkat konformitas.

Penurunan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan yang

disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya : pertama, tingkat kepercayaan

terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun

orang yang berbeda pendapat itu kurang ahli bila dibandingkan dengan anggota

lainnya. Kedua, bila anggota kelompok yang lain mempunyai pendapat yang

sama, keyakinan individu terhadap pendapatnya sendiri akan semakin kuat,

dimana keyakinan yang kuat akan menurunkan konformitas.

d) Ukuran kelompok

(31)

Serangkaian eksperimen menunjukkan bahwa konformitas akan meningkat

bila ukuran mayoritas yang sependapat juga meningkat. Dalam eksperimen yang

dilakukan Asch pada tahun 1951 (dalam Sears,dkk:1985) disimpulkan bahwa

untuk menghasilkan tingkat konformitas yang paling tinggi, ukuran kelompok

yang optimal adalah tiga atau empat orang. Pernyataan ini juga didukung oleh

beberapa ahli (dalam Feldman:1985) yang menyatakan bahwa tekanan untuk

melakukan konformitas pada kelompok meningkat pada saat kelompok terdiri dari

tiga atau empat orang.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Mann (Sears,dkk:1985)

menyimpulkan bahwa peningkatan konformitas terjadi jika ukuran kelompok

meningkat. Berbeda dengan Wilder (dalam Sears,dkk:1985) menyatakan bahwa

pengaruh ukuran kelompok terhadap tingkat konformitas tidak terlalu besar.

Sedangkan menurut Robert C. Cialdini (1994 dalam Sarwono & Eko A

Meinarno, 2009) faktor yang mempengaruhi compliance, diantaranya:

a. Pertemanan atau rasa suka. Kita cenderung lebih mudah memenuhi permintaan

teman atau orang yang kita sukai dari pada permintaan orang yang tidak kita kenal

atau kita benci.

b. Komitmen atau konsistensi. Saat kita telah mengikatkan diri pada satu posisi

atau tindakan, kita akan mudah memenuhi permintaan akan suatu hal yang

konsisten dengan posisi atau tindakan sebelumnya.

c. Kelangkaan. kita lebih menghargai dan mencoba mengamankan objek yang

langka atau berkurang ketersediaannya. Oleh karena itu, kita cenderung

memenuhi permintaan yang menekankan kelangkaan dari pada yang tidak.

(32)

d. Timbal balik. Kita lebih mudah memenuhi permintaan dari seseorang yang

sebelumnya telah memberikan bantuan kepada kita. Dengan kata lain, kita merasa

wajib membayar utang budi atas bantuannya.

e. Validasi sosial. Kita lebih mudah memenuhi permintaan untuk melakukan suatu

tindakan jika tindakan itu konsisten dengan apa yang kita percaya orang lain akan

melakukannya juga. Kita ingin bertingkah laku benar dan satu cara untuk

memenuhi adalah dengan bertingkah laku dan berpikir seperti orang lain.

f. Otoritas. Kita lebih mudah memenuhi permintaan orang lain yang memiliki

otoritas yang diakui atau setidaknya tampak memiliki otoritas.

Menurut Sears, Fredman dan Peplau (1985) faktor – faktor terbentuknya

konformitas acceptance diantaranya :

a) Kepercayaan terhadap kelompok

Faktor utama kepercayaan terhadap kelompok adalah individu percaya pada

informasi yang diberikan oleh kelompok nya. Oleh karena itu, semakin besar

kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar,

semakin besar sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula

kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. Salah satu faktor

penentu kepercayaan terhadap kelompok adalah tingkat keahlian anggotanya. oleh

karena itu, semakin tinggi tingkat keahlian kelompok dalam hubungannya dengan

individu, semakin tinggi tingkat kepercayaan dan penghargaan individu terhadap

pendapat mereka.

b) Kepercayaan yang lemah terhadap penilaian sendiri

(33)

Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat

konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri

untuk menampilkan suatu reaksi. Salah satu faktor yang mempengaruhi keyakinan

individu terhadap kemampuannya adalah tingkat kesulitan penilaian yang dibuat.

Semakin sulit penilaian tersebut, semakin rendah rasa percaya diri yang dimiliki

individu dan semakin besar kemungkinan bahwa dia akan mengikuti penilaian

orang lain

2. Sedangkan menurut Sarlito Wirawan Sarwono dalam buku nya Psikologi

Sosial Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan (2005), faktor – faktor

terbentuknya konformitas diantaranya:

a) Besarnya kelompok

Semakin besar kelompok nya, semakin besar pula pengaruhnya, tetapi ada

titik optimal (lebih dari lima orang pengaruhnya sama. Asumsi ini berdasarkan

hasil penelitian yang dilakukan oleh Milgram, Bickman & Berkowitz. Sedangkan

menurut Galam & Moscovici (dalam Sarwono,2005) kelompok yang kecil lebih

memungkinkan konformitas dari pada kelompok yang besar.

b) Suara bulat

Jika seseorang berbeda pendapat dengan yang lain, pendapatnya tidak akan

bertahan lama, karena orang tersebut akan merasa tidak enak dan tertekan

sehingga akhirnya akan menyerah kepada pendapat kelompok mayoritas.

(34)

c) Keterpaduan

Keterpaduan atau kohesi adalah perasaan kekitaan antaranggota kelompok.

Semakin kuat rasa keterpaduan, semakin besar pengaruhnya pada perilaku

individu. Misalnya, remaja pada umum nya lebih menurut kepada

teman-temannya (karena rasa keterpaduan yang besar) dari pada mengikuti nasihat orang

tua.

d) Status

Milgram (1974 dalam Sarwono,2005) menyimpulkan hasil eksperimen nya

bahwa semakin rendah status seseorang semakin patuh, sedangkan semakin tinggi

status seseorang semakin cepat berhenti bahkan mengajukan protes.

e) Tanggapan umum

Perilaku yang terbuka, yang dapat didengar atau dilihat umum lebih

mendorong konformitas dari pada perilaku yang hanya dapat didengar atau

diketahui oleh orang tertentu saja. Misalnya, murid-murid yang terlihat patuh di

depan guru nya di kelas, menertawakan guru itu dibelakangnya.

f) Komitmen umum

Deutsch & Gerard (1955 dalam Sarwono,2005) berpendapat bahwa orang

yang tidak mempunyai komitmen apa – apa kepada masyarakat atau orang lain,

maka lebih mudah konform dari pada yang sudah pernah mengucapkan suatu

pendapat. sekali sudah bicara sulit untuk mengubahnya lagi karena orang pada

umum nya tidak suka tampil tidak konsisten, takut dianggap tidak dipercaya.

(35)

Misalnya, jika seorang bupati sudah mengatakan bahwa tahun ini tidak ada

banjir sebab proyek antibanjir sudah diselesaikan, ia tidak mau lagi mengubah

pernyataannya. Kalaupun banjir terjadi juga, ia mengatakan kepada wartawan

bahwa yang terjadi sekarang bukan banjir, melainkan hanya air tergenang yang

cepat surut.

3. Berbeda dengan Robert A.Baron & Donn Byrne (2005), mengemukakan faktor

terbentuknya konformitas, diantaranya:

a) Kohesivitas

Didefinisikan sebagai derajat ketertarikan yang dirasakan oleh individu

terhadap suatu kelompok, dengan kata lain menerima pengaruh dari orang-orang

yang kita sukai. Ketika kohesivitas tinggi maka tekanan untuk melakukan

konformitas bertambah besar. Sebaliknya, ketika kohesivitas rendah, tekanan

terhadap konformitas juga rendah. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa

kohesivitas memunculkan efek yang kuat terhadap konformitas (Crandall, Latane

& L’Herrou dalam Baron & Byrne:2005).

b) Ukuran kelompok

Faktor kedua yang memiliki pengaruh penting pada kecenderungan untuk

melakukan konformitas adalah ukuran dari kelompok yang berpengaruh. Asch

dan peneliti terdahulu lainnya (misalnya Gerrard, Wilhelmy & Conolley, 1968)

menemukan bahwa konformitas meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah

anggota kelompok, namun hanya sampai sekitar tiga orang anggota, lebih dari itu

(36)

tidak akan berpengaruh. Akan tetapi, penelitian terkini, menolak hasil penelitian

sebelumnya. Penelitian yang dilakukan Bond & Smith pada tahun 1996

menemukan bahwa konformitas cenderung meningkat seiring dengan

meningkatnya ukuran kelompok hingga delapan orang anggota. Jadi, dapat

diambil kesimpulan semakin besar kelompok, semakin besar kecenderungan

untuk melakukan konformitas.

c) Norma sosial

Norma sosial yang dimaksud disini adalah norma sosial deskriptif dan norma

sosial injungtif. Norma sosial deskriptif adalah norma yang hanya

mendeskripsikan apa yang sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu.

Norma ini mempengaruhi tingkah laku dengan cara memberi tahu kita mengenai

apa yang umumnya dianggap efektif pada situasi tersebu. Sedangkan norma sosial

injungtif adalah norma yang menetapkan apa yang harus dilakukan, dengan kata

lain tingkah laku apa yang diterima atau tidak pada situasi tertentu.

Menurut Brown (dalam Baron & Byrne, 2005) kedua norma tersebut dapat

memberikan pengaruh yang kuat pada tingkah laku. Akan tetapi, Cialdini dan

rekan-rekannya percaya bahwa pada situasi tertentu, cenderung muncul norma

injungtif yang dapat memberikan pengaruh yang lebih kuat.

Hal ini karena dua hal, yaitu pertama, norma semacam itu cenderung

mengalihkan perhatian dari bagaimana orang bertindak pada situasi tertentu

kepada bagaimana mereka seharusnya bertingkah laku. Kedua, norma semacam

itu dapat mengaktifkan motif sosial untuk melakukan hal yang benar dalam situasi

(37)

tertentu tanpa mengindahkan apa yang orang lain lakukan. Orang akan mematuhi

norma injungtif jika mreka memikirkan tentang norma tersebut dan melihatnya

terkait dengan tindakan mereka.

2.1.4. Faktor – faktor yang menyebabkan individu tidak mau

melakukan konformitas

Ada beberapa pendapat yang mengemukakan faktor-faktor yang

menyebabkan individu tidak mau melakukan konformitas, diantaranya:

1. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2005) ada dua faktor yang menyebabkan

seseorang tidak mau melakukan konformitas, diantaranya:

a) Jika merasa kebebasan atau hak-hak pribadinya terancam

Jika seseorang merasa kebebasan atau hak nya terancam, dia akan melakukan

perlawanan. Contohnya saja pada remaja yang semakin lama semakin nakal

karena ibu nya semakin cerewet menasehatinya.

b) Setiap orang ingin tampil unik

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh McGuire & Pedawer-Singer &

Winton (1978-1979 dalam Sarwono,2005) bahwa jika anak-anak ditanya

mengenai diri nya, dia akan menjawab hal-hal yang khas pada diri nya yang

berbeda dari anak – anak yang lain, seperti warna kulit, suku, warna rambut,

gemuk atau kurus.

(38)

2. Sedangkan menurut Baron & Byrne (2005), ada dua faktor yang menyebabkan

seseorang tidak melakukan konformitas, diantaranya:

a) Kebutuhan untuk mempertahankan individualitas

Secara umum, kita ingin menjadi sama dengan orang lain, terutama dengan

orang yang disukai atau dikagumi, tetapi kita tidak ingin menjadi benar-benar

sama seperti orang lain, karena hal tersebut akan menyebabkan kita melepaskan

individualitas kita.

b) Kebutuhan untuk mempertahankan kontrol terhadap kejadian-kejadian dalam

kehidupan

Sebagian besar orang percaya bahwa mereka dapat menentukkan apa yang

terjadi pada diri mereka dan menuruti tekanan sosial terkadang berlawanan

dengan keinginan mereka. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa semakin

kuat kebutuhan individu akan kontrol pribadi, semakin sedikit kecenderungan

mereka untuk menuruti tekanan sosial.

2.1.5. Pengertian Kelompok Sebaya

Menurut Santrock (2002) kelompok sebaya adalah sekumpulan anak-anak

atau remaja yang memiliki usia dan tingkat kematangan yang sama. Pendapat ini

sama hal nya yang diungkapkan oleh Conger. Conger (1991) menyatakan

kelompok sebaya merupakan individu-individu yang memiliki kesamaan dalam

usia, tingkatan atau status dalam kelompok masyarakat.

(39)

Menurut Jeffrey Jensen Arnett (2007) kelompok sebaya adalah orang yang

mempunyai pandangan yang sama terhadap status mereka.

Kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda yang menyiapkan

panggung dimana dia dapat menguji diri sendiri dan orang lain (Horrocks &

Benimoff dalam Hurlock, 1980).

Menurut Newman & Coleman (dalam Papalia & Olds, 1986) kelompok

sebaya merupakan wadah sebagai sumber dari kasih sayang, simpati dan saling

pengertian, sebuah wadah untuk melakukan eksperimen dan mendorong keadaan

untuk memperoleh kemandirian dan kebebasan dari orang tua. Kelompok sebaya

juga merupakan wadah untuk membangun hubungan yang lebih akrab dengan

orang lain.

Jadi dapat disimpulkan kelompok sebaya adalah sekumpulan beberapa anak atau remaja yang memiliki kesamaan dalam hal usia, kematangan dan pandangan

yang sama.

2.1.6. Fungsi Kelompok Sebaya

Santrock (2002) mengemukakan salah satu fungsi kelompok sebaya yang

paling penting adalah menyediakan sumber informasi dimana mereka bisa

mendapatkan informasi tentang dunia luar selain tentang keluarga. Dari kelompok

sebaya, para remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka dan

mereka belajar baik buruk dari apa yang diperbuat oleh remaja lainnya.

(40)

Kelompok memenuhi kebutuhan pribadi remaja, menghargai mereka,

menyediakan informasi, menaikkan harga diri, dan memberi mereka suatu

identitas. Remaja Remaja bergabung dengan suatu kelompok dikarenakan mereka

beranggapan keanggotaan suatu kelompok akan sangat menyenangkan, menarik

dan memenuhi kebutuhan mereka atas hubungan dekat dan kebersamaan. Mereka

bergabung dengan kelompok karena mereka akan memiliki kesempatan untuk

menerima penghargaan, baik yang berupa materi maupun psikologi (Santrock,

2003).

Kelompok sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara.

Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep

teman-teman tentang dirinya dan kedua, remaja berada dalam tekanan untuk

mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok (Hurlock,

1980).

Kelompok sebaya mempengaruhi bentuk pengekspresian kepribadian, yang

mengutamakan kemampuan tertentu dan menyembunyikan kemampuan yang lain

yang tidak sesuai norma yang berlaku (Wade & Carol, 2007).

Sedangkan menurut Zahrotun Nihayah, dkk (2006) kelompok sebaya

memberikan pengaruh dalam berbagai aspek perkembangannya, remaja juga

mendapatkan kesempatan untuk memainkan berbagai macam peran yaitu sebagai

pemimpin, anggota dan juga dengan adanya nilai dan norma tingkah laku dalam

kelompok dapat memberikan kesempatan kepada remaja untuk dapat memperoleh

berbagai pandangan mengenai nilai dan sikap nya sendiri.

(41)

Kelly dan Hansen (dalam Nihayah,dkk, 2006) menyebutkan enam fungsi

positif dari kelompok sebaya, diantaranya:

a) Mengontrol impuls-impuls agresif. Dengan adanya interaksi antara remaja

dengan teman sebayanya, mereka belajar bagaimana menyelesaikan

pertentangan – pertentangan dengan cara lain selain dengan tindakan agresi

langsung.

b) Memperoleh dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih

independent. Kelompok sebaya memberikan dorongan bagi remaja untuk

mengambil alih peran dan tanggung jawab mereka. Dorongan ini akan

menjadikan remaja dapat mengurangi ketergantungannya terhadap keluarga,

terlebih lagi orang tua.

c) Meningkatkan keterampilan – keterampilan sosial, mengembangkan

kemampuan bernalar dan belajar untuk mengekspresikan perasaan-perasaan

dengan cara-cara yang lebih matang. Melalui tukar pendapat dan perdebatan

dengan teman sebaya, remaja belajar mengekspresikan ide-ide dan perasaan

serta mengembangkan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah yang

dihadapi.

d) Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis

kelamin. Sikap – sikap seksual dan tingkah laku peran jenis kelamin terutama

dibentuk melalui interaksi dengan teman sebaya.

e) Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai. Biasanya orang dewasa

mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang apa yang benar dan apa yang

(42)

salah. Dalam kelompok sebaya, remaja mencoba mengambil keputusan atas

diri mereka sendiri. Remaja mengevaluasi nilai-nilai yang dimilikinya dan

yang dimiliki oleh kelompok sebayanya, serta memutuskan mana yang benar

dan salah berdasarkan pertimbangan yang mereka berikan. Proses

mengevaluasi ini dapat membantu remaja mengembangkan kemampuan

penalaran moral mereka.

f) Meningkatkan harga diri. Menjadi orang yang disenangi oleh teman-teman

sebayanya, membuat remaja merasa senang terhadap diri nya dan merasa

dihargai.

2.1.7. Struktur Kelompok Sebaya

Kebanyakan relasi dengan kelompok sebaya pada masa remaja dapat

dikategorikan dalam salah satu dari tiga bentuk, diantaranya kelompok (crowd),

dan klik (cliques) dan persahabatan (Santrock, 2002).

a) Crowd adalah kelompok-kelompok remaja yang terbesar dan kurang

bersifat pribadi. Anggota kelompok bertemu karena kepentingan atau minat

mereka yang sama dalam berbagai kegiatan, bukan karena mereka saling

tertarik.

b) Cliques adalah kelompok-kelompok yang lebih kecil, melibatkan

keakraban yang lebih besar diantara anggota dan lebih kohesif dari pada crowd.

Namun, klik memiliki ukuran yang lebih besar dan tingkat keakraban yang

lebih rendah dari pada persahabatan

(43)

c) Persahabatan. Ada dua karakteristik dari persahabatan yang umum, yaitu

keakraban dan kesamaan. Keakraban pada persahabatan diartikan secara

sempit sebagai pengungkapan diri atau membagi hal-hal yang bersifat pribadi.

Kesamaan diartikan dalam umur, jenis kelamin, etnis, dan faktor lainnya juga

penting untuk persahabatan.

Persahabatan pada remaja memiliki enam fungsi yaitu (Gottman & Parker,

1987 dalam Santrock, 2003):

a) Kebersamaan. Persahabatan memberikan remaja teman akrab, seseorang

yang bersedia menghabiskan waktu dengan mereka dan bersama-sama

dalam aktivitas.

b) Stimulasi. Persahabatan memberikan para remaja informasi-informasi yang

menarik, kegembiraan dan hiburan.

c) Dukungan fisik. Persahabatan memberikan waktu,

kemampuan-kemampuan dan pertolongan.

d) Dukungan ego. Persahabatan menyediakan harapan atas dukungan,

dorongan dan umpan balik yang dapat membantu remaja untuk

mempertahankan kesan atas dirinya sebagai individu yang mampu, menarik

dan berharga.

e) Perbandingan sosial. Persahabatan mnyediakan informasi tentang

bagaimana cara berhubungan dengan orang lain.

(44)

f) Keakraban atau perhatian. Persahabatan memberikan hubungan yang

hangat, dekat, dan saling percaya dengan individu yang lain, hubungan

yang berkaitan dengan pengungkapan diri sendiri.

2. 1. 8. Pengertian Remaja

E.H.Erikson dalam Rochmah (2005) mengemukakan bahwa remaja

merupakan masa dimana terbentuk suatu perasaan baru mengenai identitas.

Identitas mencakup cara hidup pribadi yang dialami sendiri dan sulit dikenal oleh

orang lain. Secara hakiki ia tetap sama meskipun telah mengalami berbagai

macam perubahan.

Menurut Piaget (1978) dalam Hurlock (1980), masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak

lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam

tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam

masyarakat (orang dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih

berhubungan dengan masa puber, termasuk juga perubahan intelektual yang

mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini

memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang

dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode

perkembangan ini.

Kedua uraian diatas memiliki persamaan, dimana remaja beralih dari masa

anak-anak kedewasa dengan mencari identitas baru karena mengalami berbagai

macam perubahan.

(45)

Sedangkan menurut Santrock (2003), remaja merupakan masa perkembangan

transisi dari masa anak ke masa dewasa yang mencakup perubahan biologis,

kognitif dan social. Dalam kebanyakan budaya, remaja dimulai kira-kira usia

10-12 tahun dan berakhir usia 18-22 tahun.

2. 1. 9. Tugas Perkembangan Remaja

Menurut Mar’at Samsunuwijati (2005, dalam Nihayah dkk, 2006) tugas

perkembangan remaja diantaranya:

a) Menerima perubahan tubuh yang dialaminya

b) Dapat berinteraksi dengan teman sebaya nya

c) Menerima peran sesuai jenis kelamin yang akan menuju ke arah dewasa

Pertumbuhan fisik

Setiap remaja selalu mengalami perubahan fisik seperti penambahan tinggi

badan, berat badan, perkembangan seksualitas primer dan tanda seksualitas

sekunder. Perkembangan seksualitas primer adalah peralatan perkelaminan yang

menunjukkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sedangkan tanda

seksualitas sekunder adalah tanda sifat kelelakian dan kewanitaan yang Nampak

dari luar.

Dengan tercapainya kedewasaan tubuh, maka remaja di lingkungan

kebudayaan manapun akan mengalami perubahan fisik yang menuntut pula

perubahan psikis khususnya dalam hal penyesuaian diri remaja (Rochmah, 2005).

(46)

Perkembangan kognitif

Munculnya kemampuan berpikir yang lebih maju, merupakan salah satu

perubahan yang besar pada masa remaja. Kemampuan tersebut mempengaruhi

cara remaja berpikir mengenai hubungan antara diri mereka dan dunia sekitar

mereka.

Pada periode ini remaja mampu berpikir logis mengenai orientasi hidup

mereka di masa depan, hubungan mereka dengan teman dan keluarga mengenai

politik, agama dan filosofi (Nihayah dkk, 2006).

Perkembangan psikososial

Pada periode ini tahap perkembangan psikososial remaja berada pada tahap

pencarian identitas dan lawannya adalah kebingungan identitas. Fokus dari

perkembangan psikososial remaja adalah bagaimana mencari identitas dirinya

baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Pada periode ini mereka menjadi

lebih dekat dengan teman sebaya nya dan hubungan dengan orang tua sudah

bergeser sedikit demi sedikit.

Dalam proses pencarian identitas, remaja menjadi sensitif dan serba salah.

Mereka bukan anak-anak lagi, tetapi masih tidak diperbolehkan untuk melakukan

hal yang sama dengan orang dewasa(Nihayah dkk, 2006).

Perkembangan moral

Menurut Kohlberg, perkembangan moral pada periode ini mencapai pada dua

tahap, yaitu conventional reasoning, yang merupakan tahap kedua dari teori

Kohlberg. Pada tahap ini internalisasi sifat nya menengah. Individu mematuhi

(47)

beberapa standar orang lain, misalnya orang tua atau hokum yang berlaku di

masyarakat.

Adapun lebih spesifiknya periode ini berada pada sub tahap ketiga, yaitu

norma interpersonal. Pada tahap ini individu menganggap rasa percaya, rasa

sayang dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar untuk melakukan

penilaian moral (Nihayah dkk, 2006).

2. 2. Kepribadian

2. 2. 1. Definisi Kepribadian

Secara etimologis, istilah personality atau kepribadian, asal mulanya berasal

dari kata latin “per” dan “sonare”, yang berkembang menjadi kata ”persona” yang

berarti ”topeng”. Pada zaman romawi dulu, aktor drama menggunakan topeng itu

untuk menyembunyikan identitas diri nya agar dia tampil membawa peran-peran

karakter jahat sekalipun sesuai dengan tuntuta permainan dalam drama. Berasal

dari teknik drama lalu berkembang menjadi istilah personality .

Kata personality tersebut diartikan ”apa” yang terlihat pada diri seseorang

(pemakai topeng), bukan apa yang ada dalam diri pribadi orang yang memakai

topeng. (Sujanto dkk, 1991).

Menurut Agus Sujanto, dkk (1991), kepribadian adalah suatu totalitas

psikhophisis yang kompleks dari individu, sehingga nampak di dalam tingkah

lakunya yang unik. Istilah psikhophisis, menunjukkan bahwa kepribadian

(48)

bukanlah semata-mata mental dan bukan neural, melainkan bersatunya badan dan

jiwa sehingga menjadi kesatuan pribadi

Sedangkan definisi kepribadian menurut Allport adalah organisasi atau

susunan yang dinamis dari sistem psikofisik dalam diri individu yang menentukan

penyesuaian dirinya yang unik (khas) terhadap lingkungannya (Calvin S.Hall &

Gardner Lindzey, 1993).

Dan menurut Pervin dan John (1997) kepribadian seseorang sangat menentukan bagaimana seseorang itu bertingkah laku dalam kehidupan

sehari-hari nya.

Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian menurut peneliti adalah sebuah karakteristik didalam diri individu yang cenderung menetap, bertahan, dan mempengaruhi penyesuaian diri individu terhadap lingkungan.

Teori tentang tipe kepribadian merupakan teori kepribadian yang tertua (sekitar 2000 tahun) dan salah satu pelopor teori tipe kepribadian adalah

Hipocrates (460-375 SM) seorang dokter Yunani yang menggolongkan manusia

berdasarkan temperamennya.

Teori tipe kepribadian memfokuskan pada karakter individu dan bagaimana

karakter tersebut terorganisasi dalam sistem. Dalam teori ini individu yang

mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama dikelompokkan menjadi satu

tipe. Tokoh-tokoh teori ini antara lain Allport, Eysenk, Cattel dan sebagainya.

(49)

2.2.2.

Tipe Kepribadian

Tipe kepribadian yang dimaksud disini yaitu tipe kepribadian A dan B

ditemukan oleh dua ahli jantung yaitu Friedman dan Rosenman dan seorang ahli

biokimia yang bernama Beyers. Mereka membagi perilaku manusia menjadi dua

macam pola yaitu kepribadian tipe A dan tipe B (Rice, 1999), setelah melakukan

penelitian longitudinal yang dinamakan Western Collaborative Group Study

(WCGS) selama Sembilan tahun, yang dimulai pada tahun 1961 (Niven, 1994)

Tipe A pertama kali digambarkan secara jelas dan terukur pada tahun 1959.

Aslinya, hal ini digambarkan sebagai gaya perilaku dan emosi, akan tetapi

sekarang beberapa penulis memandang tipe A sebagai ciri sifat kepribadian yang

pasti, sementara yang lain menggambarkan sebagai pola perilaku yang kuat dan

terus-menerus yang biasanya dimulai dari diri sendiri. Tipe A meliputi disposisi

perilaku, perilaku dan respon emosional yang khusus (Smet,1994).

Sebaliknya tipe B meliputi orang-orang yang mempunyai gaya perilaku yang

berlawanan, rileks, tidak terburu-buru, sedikit mudah terpancing untuk marah,

berbicara dan bersikap dengan lebih tenang dan lebih terbuka untuk memperluas

pengalaman hidup.

Friedman & Rosenman (dalam Kinicki & Kreitner, 2000) mendefinisikan

kepribadian tipe A yaitu an action-emotion complex that can be observed in any

person who is aggressively involved in a chronic, incessant struggle to achieve

and more in less time and if required to do so, against the opposing efforts of

other person. Pengertian ini ditemukan hasil dari pengamatan mereka terhadap

(50)

pasiennya yang memperlihatkan suatu ciri khas atau pola perilaku tertentu. Pola

yang ditemukan disebut sebagai kepribadian tipe A atau disebut juga Type A

Behavior Pattern (TABP).

Robbins & Timothy (2007) mendefinisikan kepribadian tipe A adalah suatu

bentuk keterlibatan agresif dalam suatu pergulatan kronis dan tanpa henti untuk

mencapai sesuatu yang lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat dan jika

perlu menentang usaha dari orang lain.

Tipe kepribadian A adalah individu yang cepat dalam menyelesaikan suatu

pekerjaan, karena lebih menekankan kuantitas dari pada kualitas, namun

seringkali membuat keputusan yang tidak tepat karena selalu terburu-buru.

Mereka tidak akan membagi waktunya untuk mengembangkan solusi yang unik

terhadap permasalahan sehingga kreativitasnya kurang diberdayakan dan perilaku

mereka pun cenderung mudah diramalkan jika dibanding dengan tipe kepribadian

B (Yuwono, dkk, 2005).

Sedangkan tipe B adalah cenderung lebih bersedia membagi waktunya untuk

berpikir dan mencari solusi yang krearif dan lebih maksimum kinerjanya dalam

tugas-tugas yang kompleks dan membutuhkan proses berpikir yang lama dan

akurat.

Kepribadian tipe B jarang mengalami stress, karena karena individu tipe B

tidak ingin terburu – buru dan mencari kepuasan terhadap kebutuhannya dengan

cara yang tidak menimbulkan gangguan psikologis dan fisiologis sebagaimana

(51)

tipe A (Ivancevich dan Matteson dalam Rice, 1999). Individu tipe A cenderung

lebih banyak menciptakan stress bagi dirinya dari pada yang tipe B.

Contohnya sifat kompetitif yang kuat dapat membuat diri mereka dibawah

tekanan yang banyak, ketidaktamahan dapat memancing banyak konflik dengan

orang lain.

2.2.3. Karakteristik Tipe Kepribadian

Menurut Friedman dan Rosenman (dalam Rice,1999) individu dengan

kepribadian tipe A mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1) Senang bekerja keras, terus menerus berusaha keras dalam berpikir

ataupun menyelesaikan tugas sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat

mungkin. Cenderung merasa tidak tenang atau bersalah jika santai, serta tidak

senang dengan tugas atau sesuatu yang berulang-ulang.

2) Agresif, berambisi, memiliki daya saing kuat. Akan tetapi ambisi mereka

seringkali disertai dengan rasa permusuhan, kurang memiliki tujuan yang jelas

sehingga sering menolak aspek kehidupannya yang lain, seperti keluarga,

rekreasi atau kegiatan sosial.

3) Berbicara secara eksplosif atau meledak – ledak, suka menyuruh orang

lain untuk cepat menyelesaikan apa yang dikatakannya.

4) Tidak sabar dalam menghadapi dalam menghadapi orang atau situasi yang

dianggap menghambat dirinya.

(52)

5) Selalu berorientasi pada kegiatan, selalu menetapkan target atau tujuan

serta batasan waktunya sehingga terus-menerus merasa dikejar oleh waktu.

Fungsi mental dan psikisnya bekerja dengan cepat sehingga dalam melakukan

apapun cenderung tergesa-gesa.

6) Selalu berusaha keras untuk melawan orang, barang atau kejadian yang

menghambatnya.

7) Memiliki acuan keberhasilan yang tinggi dan akan berusaha mendapatkan

penghargaan.

8) Seringkali tidak menyadari bahwa perasaan tertekan yang mereka alami

merupakan akibat dari perilaku mereka sendiri.

Dalam buku Psikologi Industri dan Organisasi yang disusun oleh Yuwono,

dkk (2005), menyebutkan kepribadian tipe A dicirikan sebagai individu yang

secara agresif mendapat segala sesuatu, berusaha mencapai lebih banyak dalam

waktu yang cepat. Karakteristik kepribadian tipe A diantaranya:

a) Bergerak, berjalan dan makan dengan cepat

b) Merasa tidak sabar terhadap banyak hal

c) Berusaha keras untuk berfikir dan melakukan dua hal secara sekaligus

d) Kurang dapat menerima waktu luang

e) Terobsesi dengan jumlah, mengukur jumlah secara kuantitatif

Sedangkan karakteristik tipe kepribadian

Gambar

Tabel 3.1
Tabel 3.2. Bobot Nilai Jawaban
Tabel 3.3
Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

jaringan (LAN).. Note : Pada contoh pertama proses PING berhasil mencapai tujuan yang berarti bahwa tes konektivitas berhasil, sedangkan pada contoh kedua proses PING

Hal diatas sejalan dengan yang diungkapkan oleh Pramudia (2006) dalam jurnal yang menyatakan bahwa, tujuan dari kegiatan orientasi peserta didik baru antara lain agar

Kerukunan adalah hal yang penting bagi kebersaman hidup dalam masyarakat majemuk, walaupun dalam proses kerukunan yang terjadi masih banyak pemimpin yang tidak

Mungkin hal ini disebabkan karena ketidakmauan responden menerapkan yang diketahuinya selama belajar di Fakultas Kedokteran untuk meningkatkan kebugaran jasmani dan

Puji syukur kepada Sanghyang Adi Buddha, Tuhan Yang Maha Esa, Para Buddha, Boddhisatva dan Mahasatva atas pancaran cinta kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

KNP mencerminkan bagian atas laba atau rugi dan aset bersih dari Entitas Anak yang tidak dapat diatribusikan, secara langsung maupun tidak langsung, pada

activity based costing dan kinerja perguruan tinggi lebih tinggidibandingkan dengan korelasi antar kedua konstruk tersebut.Untuk korelasi antara konstruk keunggulan bersaing

Dari penjabaran definisi tersebut  dapat ditarik kesimpulan bahwa Studi Kasus ialah suatu serangkaian kegiatan ilmiah yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam tentang