• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi perbandingan pernikahan wanita hamil dalam perspektif Imam Syafi'i dan Undang-undang keluarga Islam Negari Terengganu Malaysia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi perbandingan pernikahan wanita hamil dalam perspektif Imam Syafi'i dan Undang-undang keluarga Islam Negari Terengganu Malaysia"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Pensyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Disusun Oleh:

MOHD SHAFIE BIN ABD SAMAT NIM: 107044103864

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Penguasanalam semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis terutamanya dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Seterusnya selawat serta salam ke atas junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW serta keluarga, para sahabat baginda yang telah banyak berkorban dan menyebarkan dakwah Islam selama ini yang mana telah menyelamatkan umat dari alam kegelapan ke alam yang terang benderang.

Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar strata satu (S.1), dalam jurusan Ahwal Syakhshiyah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul : “STUDI PERBANDINGAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DALAM PERSPEKTIF

IMAM SYAFI’I DAN UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM NEGERI

TERENGGANU, MALAYSIA”.

(5)

1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu.

2. Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan izin tinggal untuk mencari dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat.

3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma M.A, S.H, MM. Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dengan kewenangan yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

5. Drs. Basiq Djalil S.H, M.H, Drs. Kamarusdiana S.Ag, M.A, masing-masing selaku ketua dan sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyah yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis.

6. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H, M.H, selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu bersama penulis dalam rangka menyiapkan skripsi ini. Terima kasih juga atas segala kesabaran dalam memberi tunjuk ajar dan masukan kepada penulis hingga tuntasnya sudah skripsi ini. Hanya Allah saja yang selayaknya membalas jasanya.

(6)

8. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.

9. Buat insan tersayang lagi teristimewa Ayahanda Abd Samat bin Ahmad dan juga Ibunada Kamariah binti Mamat, terima kasih atas segala pegorbanan mereka telah memberikan curahan kasih sayang, membesar, mendidik serta memberi dorongan baik moril maupun materi kepada penulis, dengan penuh kesabaran, perhatian, serta pengorbanan yang tidak terbalas, senantiasa memberikan semangat dan harapan tanpa jemu hingga anakanda dapat menyelesaikan pengajian. Segala jasa pengorbanan kalian akan senantiasa terpahat diingatan. Tiada apa yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan hanya dengan sebuah kejayaan.

10.Buat ahli keluarga tersayang, Rosmaini, Nurul, Nor Hanida, Siti Aminah, Siti Fatimah, Siti Rokiah, Siti Aisyah, Ramadhan, Abd Manaf, Aiman dan Nurul Hidayah, tidak lupa juga sanak saudara yang dikasihi, begitu juga buat Ernie Nadia, yang telah banyak memotivasi dan senantiasa memberi semangat kepada penulis untuk mencapai kejayaan yang diimpikan.

11.Buat Ustaz Mohd Noor, selaku Pegawai Agama Daerah Hulu Terengganu, dan juga staff Pejabat Agama, yang telah banyak meluangkan waktu untuk diwawancara bersama penulis.

(7)

teman-teman lain dari Malaysia angkatan 2007-2009 lelaki maupun perempuan, begitujuga teman-teman Indonesia yang tidak sempat penulis catatkan di sini. Terima kasih atas segala partisipasi, semangat yang diberikan serta dukungan yang tidak putus-putus kepada penulis sepanjang menyiapkan skripsi ini.

13.Buat Guru-guru penulis yang berada di Malaysia yang banyak memberi tunjuk ajar, sehingga penulis berjaya, semoga jasa kalian dibalas oleh Allah. Tidak lupa juga buat semua teman-teman yang berada di Malaysia.

14.Terima kasih buat Kedutaan Besar Malaysia Jakarta, yang memberi semangat dan bantuan selama penulis berada di sini.

Akhirnya, mudah-mudahan segala jasa dan pengorbanan akan mendapat balasan dari Allah SWT kepada semua yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu penulis dalam menyiapkan skripsi ini. Penulis mengucapkan “ Jazakumullah Khaira al-jaza”.Semoga skripsi ini dapat memberikan masukan yang positif kepada pembaca sekalian. Penulis amat menyadari bahwa di dalam penulisan skripi ini tidak luput dari kekhilafan dan kesalahan, maka kritikan dan saran yang sewajarnya sangat diharapkan di dalam rangka perbaikan dan kesempurnaan penulisan ini.

-Amin Ya Rabbal A’lamin-

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….i

DAFTAR ISI ………v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...10

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan...11

E. Sistematika Penulisan...12

BAB II PERKAWINAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Definisi dan Dasar Hukum Perkawinan...15

B. Rukun dan Syarat Perkawinan...25

C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan………...30

BAB III RIWAYAT HIDUP IMAM SYAFI'I DAN POTRET NEGERI TERENGGANU, MALAYSIA A. Riwayat Imam Syafi'i………..38

1. Biografi dan Latar Belakang Pendidikan Imam Syafi'i………...38

(9)

3. Penyebaran dan Perkembangan mazhabnya………..47 B. Latar belakang Atau Gambaran Umum Negeri Terengganu……..53 1. Keadaan Geografi………...53

2. Keadaan Sosial dan Ekonomi……….55 3. Mahkamah Syariah, Sejarah Pejabat Agama dan

Wewenangnya……….58

BAB IV PERNIKAHAN WANITA HAMIL DALAM PERSPEKTIF

IMAM SYAFI’I DAN UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM

NEGERI TERENGGANU, MALAYSIA

A. Pengertian Pernikahan Wanita Hamil...66 1. Pengertian Pernikahan Wanita Hamil Menurut Fiqh...66

2. Pengertian Pernikahan Wanita Hamil Menurut Undang-undang Keluarga Islam………...71 3. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Penzinahan....76 B. Pendapat Imam Syafi'i mengenai Status Hukum Pernikahan Wanita

Hamil ………...80 C. Undang-Undang Keluarga Islam Terengganu Tentang Status Nikah

Wanita Hamil ………..….84

(10)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………...92

B. Saran-saran ……….93

DAFTAR PUSTAKA ...95

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut ajaran Islam, perkawinan termasuk salah satu bagian yang penting dalam membentuk keluarga dan masyarakat kaum muslimin, keluarga yang diridhoi Allah dan sesuai dengan ajaran sunnah Rasulullah SAW.

Aturan tersebut dibuat Allah secara sempurna, sehingga manusia yang mengikutnya dapat memperoleh ketenteraman dan kebahagiaan. Islam mengatur pernikahan secara sempurna, karena pernikahan ini adalah masalah yang penting bagi kehidupan manusia. Dengan terbentuknya keluarga yang Islami, prilaku manusia dalam masyarakat akan mengalami ketenteraman. Oleh karena itu, agama Islam tidak membenarkan seorang muslim menghindari pernikahan, sekalipun dengan niat ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT.

(12)

ibadah adalah jiwa yang tenteram. Ketenteraman dalam urusan dunia pun akan terjamin.

Di antaranya tidak terombang-ambingnya hati kepada orang lain yang bisa menjurus kepada perbuatan zina. Seorang suami hatinya akan tenteram ketika mencari nafkah di luar rumah, karena harta dan anak-anaknya ada yang menjaga. Selain itu, keamanan diri (terutama bagi istri) baik secara fisik maupun kehormatan dimasyarakat akan tetap terjaga.

(13)

kebinasaan. Allah menghendaki hamba-Nya menikmati kebaikan dan dijauhkan daripada keburukan.1 Firman Allah SWT :

!"#$ %

&

'

Artinya:“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha penyayang kepada manusia.”

(Q.S.Al-Baqarah : 2 : 134) Untuk itulah pendidikan agama dalam keluarga sangat penting, keluarga muslim adalah komunitas masyarakat Islam dalam sekala yang paling kecil. Sebuah keluarga muslim yang sakinah mawaddah wa rahmah akan menjadi simbol dan contoh yang bakal terwujudnya masyarakat yang Islami.

Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, idealnya sebuah pernikahan itu terjalin antara pasangan yang sekufu’, laki-laki yang baik berpasangan dengan wanita yang baik dan laki-laki yang keji berpasangan dengan wanita yang keji pula. Ukuran baik dan buruk disini adalah dari segi aqidah, akhlaq dan tujuannya.

Islam membangun kehidupan keluarga dan masyarakat atas dasar dua tujuan. Pertama, menjaga keluarga dari kesesatan. Untuk itu, Islam melarang adanya hubungan intim antara lelaki dan perempuan tanpa ikatan sah sebagaimana disyariatkan Allah SWT. misalnya perzinahan, perselingkuhan, dan mengambil istri yang tidak halal.

1

(14)

Firman Allah SWT

:

() * +,

%./

!

0

1

#

+

2

3

$1

4)%567$1

89(:

<. =!>

?

+7 $@ A

89#5/B67$C

D

E

F> !

9#5%

1

#

' !

89(:

G%H

I!>

?

#

$J8:%

9#5

G

/1!L

$MN

O,/$PQ

R8 ST

UVNO% W + 1

D

<.%X

Y#Z [$@4.$@

\

]

^ ` a 1

^ [b [

$ %X

cd[b ' eF>

fgh&=i %X

D

h3 !

<<

* e

89#5/B67$C

<.

X

J k+lG$ %

]

A

1

m [$

gh&=i SW/

D

I

$InSA

o.

7$

p. O5<

Artinya:“Dan (diharamkan juga kamu berkawin dengan) perempuan-perempuan istri orang, kecuali hamba sahaya yang kamu miliki. (Haramnya Segala yang tersebut itu) ialah suatu ketetapan hukum Allah (yang diwajibkan) atas kamu, dan (sebaliknya). Dihalalkan bagi kamu perempuan-perempuan yang lain daripada yang tersebut itu, untuk kamu mencari (istri). Dengan harta kamu secara bernikah, bukan secara berzina, kemudian mana-mana perempuan yang kamu nikmati percampuran dengannya (setelah ia menjadi istri kamu), maka berikanlah kepada mereka maskahwinnya (dengan sempurna), sebagai suatu ketetapan (yang diwajibkan oleh Allah) dan tiadalah kamu berdosa mengenai suatu persetujuan yang telah dicapai bersama oleh kamu (suami istri), sesudah ditetapkan maskawin itu (tentang cara dan kadar pembayarannya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.”

(15)

Dan tujuan yang kedua ialah untuk mencipta wadah yang bersih sebagai tempat lahirnya sebuah generasi yang berdiri di atas landasan yang kokoh dan teratur tatanan sosialnya.2

Salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh agama Islam dengan mensyari’atkan perkawinan ialah lahirnya seorang anak sebagai pelanjut keturunan, bersih keturunannya, jelas bapaknya dengan perkawinan ibunya. Dengan demikian jelaslah yang bertanggung jawab terhadap anak itu dalam menjaga, membesar, mendidik sehingga ia menjadi anak yang saleh. Karena itu Islam melarang segala perbuatan yang menyebabkan tidak jelasnya bapak seorang anak, seperti perbuatan zina. Larangan ini terlihat dalam Firman Allah SWT:

h3 !

?

$ / %

P*qirs

?

t uv

$InSA

fg$wO% %X

#

<\ !

xSB :<\

Artinya:“Dan janganlah kamu menghampiri zina, Sesungguhnya zina itu adalah satu perbuatan Yang keji dan satu jalan Yang jahat (yang membawa kerosakan).”

(Q.S: Al-Isr ’: 17 : 32) Sesungguhnya sangat mengerikan kalau kita melihat pergaulan anak muda pada zaman sekarang. Norma dan aturan Islam hampir semuanya dilanggar. Dan para orang tua ikut setuju karena tidak mau melarang anak-anaknya dari hal yang demikian. Bahkan di antara orang tua yang kurang paham dalam agama,

2

(16)

menganjurkan kepada anak-anak mereka agar meniru gaya bergaul orang barat yang hina dan tidak bermoral. Para orang tua banyak yang tidak mendidik anak-anak dengan pendidikan Islam. Akibat dari pergaulan gaya Barat tersebut adalah tersebarnya perzinahan di mana-mana dan bukan lagi menjadi masalah yang pantang larang. Kita sering mendengar anak-anak yang terlahir dari hasil hubungan luar nikah. Bahkan untuk menutupi kehamilan di luar nikah tersebut yang dilakukan justru mereka menutupnya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan. Ada yang lari ke Dokter atau ke Dukun bayi untuk menggugurkan kandungan, dan ada juga yang segera melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang menghamilinya atau orang lain sebagai tumbal agar kehamilan tidak diketahui masyarakat sebagai kehamilan yang sah.3

Dalam masyarakat Malaysia, khususnya di Terengganu, pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam keadaan hamil akibat perzinaan, dan laki-laki itu bukan orang yang menzinahinya, bahawa dikenal dengan

perkawinan menutup malu wanita itu maupun keluarganya. Dan pernikahan itu akan diadakan keramaian secara sederhana.

Ditinjau dari sudut sosiologis, karena merasa malu, maka orang tua yang kebetulan putrinya hamil di luar nikah berusaha supaya kalau cucunya lahir ada ayahnya. Untuk itu mereka berusaha menikahkan putrinya dengan seorang

laki-3

(17)

laki yang menghamilinya atau bukan. Dengan terjadinya pratek-pratek seperti itu, maka sangat relevan untuk dibahas kedudukan Islam dalam masalah ini.

Menikahi wanita hamil karena zina bukanlah merupakan masalah baru, tetapi masalah yang sudah lama berlaku. Karena itu para Ulama berdasarkan pemahaman mereka, terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits, telah berijtihad menetapkan hukumnya.

(18)

pernikahan wanita hamil di Negeri Terengganu dan bagaimana Undang-Undang Keluarga Islam Terengganu menanganinya. Di Negeri Terengganu menggunakan Enakmen 12 Tahun 1985 Enakmen Tentang Undang-Undang Pentadbiran Keluarga Islam.

Undang-undang Keluarga Islam merinci hukum-hukum kekeluargaan bermula dengan pertunangan, perkawinan – wali, akad nikah, saksi, hak dan tanggungjawab dalam ikatan perkawinan hingga pada perceraian, nafkah, iddah dan hadanah. Ada hukum yang perlu dipatuhi dalam ikatan perkawinan seperti

zihar, ila’, khiyar dan setelah berlaku perceraian seperti mut’ah dan pembagian harta, dan apabila berlaku kematian istri atau suami maka wujud hukum yang perlu yang dipatuhi seperti dalam hal perwarisan dan nafkah. Sebenarnya Islam telah menggariskan peraturan yang lengkap untuk panduan hidup berkeluarga. Pengabaian kepada aturan yang ditetapkan boleh mendatangkan masalah dan sengketa dalam rumah tangga.

Orang-orang Islam di negeri ini telah tunduk kepada Undang-undang Negara dan Undang-undang Keluarga Islam telah terwujud dengan kedatangan Islam ke negeri ini pada kurun kelima belas. Undang-undang ini bukan saja ditadbirkan oleh Mahkamah Syariah akan tetapi juga oleh Mahkamah-mahkamah Awam.4

4

(19)

Berdasarkan latar belakang tersebutlah yang mendorong penulis untuk meneliti lebih lanjut permasalahan ini dalam bentuk penulisan skripsi yang mungkin dapat menjadi patokan oleh masyarakat. Adapun judul skripsi yang diangkat oleh penulis adalah “STUDI PERBANDINGAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DALAM PERSPEKTIF IMAM SYAFI’I DAN

UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM NEGERI TERENGGANU,

MALAYSIA.”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas, karena pembahasan masalah pernikahan wanita hamil dalam Islam sangat luas sekali, maka penulis batasi hanya dalam perspektif Imam Syafi’i dan difokuskan pada Undang-undang Keluarga Islam Negeri Terengganu dalam Enakmen 12 tahun 1985 Enakmen tentang Pentadbiran Keluarga Islam. Kemudian permasalahan dapat dirumuskan berkaitan tentang perbandingan pernikahan wanita hamil dalam perspektif Imam Syafi’i dan Undang-undang Keluarga Islam Negeri Terengganu, yaitu: "Enakmen yang di buat di Mahkamah Syariah Negeri Terengganu bertepatan dengan

pendapat Iman Syafi’i.”

(20)

Dengan banyaknya kejadian masalah pernikahan wanita hamil, penyelesaian menjadi suatu subjek yang penting. Dengan kondisi ini dan berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahannya dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1) Apa yang dimaksudkan dengan pernikahan wanita hamil ?

2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya pernikahan wanita hamil? 3) Bagaimanakah pendapat atau pandangan Imam Syafi’i tentang status

pernikahan wanita hamil?

4)Bagaimanakah pandangan dan status pernikahan wanita hamil ini di dalam Undang-undang Keluarga Islam Negeri Terengganu jika terjadinya pernikahan ini?

5)Bagaimana prosedur pelaksanaan pernikahan dalam Undang-undang Keluarga Islam Negeri Terengganu?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

(21)

keturunan yang sah, keluarga yang jelas, maka akan terbentuklah sebuah keluarga

“Sakinah Mawaddah Wa rahmah”, menurut ajaran Islam yang betul dan diredhai

oleh Allah SWT.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1) Penelitian ini akan memperluas wawasan intelektualitas kepada umat Islam, para pelaku akademik, dibidang hukum terutamanya tentang kasus Tinjauan Islam Dan Undang-undang khususnya terhadap pernikahan wanita hamil. Dan dapat mengetahui serta memahami apa yang dimaksudkan dengan pernikahan wanita hamil.

2) Penelitian ini juga dapat memberi sumbangan karya ilmiah dan juga sumbangan pemikiran bagi perkembangan khazanah ilmu pengetahuan dan literasi pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

(22)

Metode yang digunakan dalam penulisan ini penulis melakukan metode “Deskriptif dan Analisis” penelitian kepustakaan (Library Research) dan wawancara. Yaitu dengan cara mengumpul, membaca dan mengkaji buku-buku, kitab-kitab, dan kepustakaan lain yang ada hubungan dengan penulisan skripsi ini. Penulis juga mengambil pendekatan yang digunakan kualitatif analisis adalah wawancara. Yaitu wawancara dilakukan dengan melakukan soal jawab terhadap nara sumber utama yaitu Ketua Pegawai Agama Daerah Hulu Terengganu. Wawancara penulis adalah cara untuk mengumpul informasi yang mana ia berisi dengan pertanyaan, situasi, waktu, sejarah dan tempat. Untuk wawancara itu lebih lancar penulisan menggunakan cara bertatap muka (face to face).

Sebagai sumber primer dalam penulisan ini ialah Al-Qur’an dan Hadits, kitab berjudul al-Umm karya Imam Syafi’i dan kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan pernikahan, Hukum-hukum keluarga Islam serta buku Undang-undang Keluarga Islam di Malaysia, Enakmen Pentadbiran Undang-undang Keluarga Islam Terengganu. Sedangkan data yang bersifat sekunder diperoleh lewat internet melalui situs-situs pemerintah. Juga boleh didapati melalui Koran-koran dan penulisan-penulisan ilmiah di dalam Majalah-majalah dan Jurnal-jurnal hukum.

(23)

penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi yang dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, di mana tiap bab terdiri beberapa sub bab. Sistematika penulisan merupakan uraian ringkas secara garis besar mengenai hal-hal pokok yang dibahas, guna mempermudah dalam memahami dan melihat hubungan satu bab dengan yang lainnya. Adapun uraian pada setiap bab ialah sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan, Yang meliputi : Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, begitu juga Tujuan dan kegunaan Pembahasan.

BAB II: Perkawinan Menurut Perspektif Hukum Islam, yang terdiri dari : Definisi, Dasar Hukum, Hukum Perkawinan, Rukun dan Syarat Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan.

(24)

BAB IV: Pernikahan Wanita Hamil Dalam Perspektif Imam Syafi’i dan Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Terengganu, Malaysia, yang terdiri dari : Pengertian Pernikahan Wanita Hamil, Pendapat Imam Syafi’i mengenai Status Hukum Pernikahan Wanita Hamil. Status-Status Pernikahan Wanita Hamil Dalam Undang-undang Keluarga Islam Negeri Terengganu dan Analisis Penulis.

(25)

BAB II

PERKAWINAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Definisi, Dasar Hukum, dan Hukum Perkawinan

1. Definisi Perkawinan

Perkawinan menurut istilah Ilmu Fiqh dipakai perkataan

dan perkataan

.

menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya dan arti kiasan, arti yang sebenarnya dari “nikah” ialah yang berarti mengumpulkan, memegang, mengenggam, menyatukan, menggambungkan, menyandarkan, merangkul.5 Sedangkan

!"#

yang berarti mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun.6 Sedangkan arti kiasannya ialah

$%

yang berarti berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama.7 Perkawinan atau lebih dikenali ialah Nikah dari segi bahasa ialah bersatu dan berkumpul. Kata setengah orang Arab: “Pokok-pokok itu bernikah”, Ia bermaksud pokok-pokok itu condong dan berhimpun rapat di antara satu sama lain.

5

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Qamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), h. 887

6

Ibid, h. 225

7

(26)

Dari segi syarak, nikah adalah satu akad yang menghalalkan istimta’ (bersetubuh/bersenang-senang ) di antara suami istri dengan cara yang dibenarkan oleh syarak.

Ia dinamakan nikah karena ia mengumpulkan dua manusia dan menyatukan di antara satu sama lain. Orang Arab menggunakan perkataan nikah dengan makna akad, juga dengan makna persetubuhan serta bersenang-senang. Walaupun begitu makna hakiki bagi kalimat nikah ialah akad dan makna simboliknya ( majaz ) ialah persetubuhan. Al-Quran secara umumnya menggunakan perkataan nikah dengan makna akad dan bukan persetubuhan.8 Firman Allah SWT. :

g`Um!Lu $=

$My n

?

z f$1

#

%H

{ J

%%5$v

) *

1 %./

| [

^ [b .@/ u7%

1

~E8:%n

I!>

cd[b k <.%

<.%X

89#5%

^

•/ 67$C

4

1

€*^m 

g`$•!'m$J [%

?

&&&

' ()

/

**

+,

Artinya:“Wahai orang-orang Yang beriman, apabila kamu berkawin Dengan perempuan-perempuan Yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menyentuhnya, maka tiadalah kamu berhak terhadap mereka mengenai sebarang iddah”

( Q.S : Al-Ahz b: 33: 49)

8

(27)

Kalimat menikahi perempuan yang beriman dalam ayat atas bermaksud kamu mengadakan perkawinan dengan perempuan yang beriman. Ini berpandukan firman Allah selepas itu yang bermaksud: “kemudian kamu ceraikan

dia sebelum kamu menyentuhnya”. maksud menyentuh ialah menyetubuhinya.9

Terdapat banyak definisi perkawinan yang ditetapkan oleh sarjana Islam. Menurut fukaha’.

Makna Hakiki Nikah Dalam Syariat

Penggunaan makna hakiki nikah sebagai akad dan makna kiasannya sebagai bersetubuh—meskipun kedua makna ini disebutkan dalam Al-Qur’an— disebabkan karena nikah lebih sering digunakan dalam makna akad dan bukan pada bersetubuh, yaitu dengan kita mengatakan:

-. ﺏ 01 . 2ﺱ 34 (ini adalah

zina, dan bukan nikah)

Sebahagian fukaha mengatakan, ketika makna kiasan lebih diutamakan atas makna sinonim, maka hal ini menunjukan makna kiasannya adalah

bersetubuh. Karena itu, makna hakikat nikah dalam syariat adalah akad dan makna kiasannya adalah bersetubuh.10

Pengertian Pernikahan dalam Perspektif Imam Empat Mazhab sebagai berikut: a. Menurut Imam Abu Hanifah:

9

Ibid, h. 726

10

(28)

.

5ﻥ ﺏ

6 7

612ی

9:ﻡ

<=>"

6?@

11

Artinya:“Nikah adalah suatu akad dengan tujuan memiliki kesenangan secara sengaja.”

b. Menurut Imam Malik”

<1ﻡA ﺏ B 3:> <=>ﻡ A #ﻡ C:7 6 7 5ﻥ ﺏ .

12

Artinya:“Nikah adalah suatu akad untuk menikmati sendiri kelezatan dengan wanita.”

c. Menurut Imam Syafi’i :

4 =ﻡ

Dی (ﺕ

. ﻥ F2:ﺏ $ 9:ﻡ G"H>ی 6 7 5ﻥ ﺏ .

13

Artinya:“Nikah adalah suatu akad yang mengandung pemilikan “wathi” dengan menggunakan kata-kata menikahkan atau mengawinkan atau kata lain yang menjadi sinonimnya.”

d. Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal:

I >">ﺱ <= ﻡ C:7 Dی (ﺕ

. ﻥ F2:ﺏ 6 J %4 .

14

Artinya:“Nikah adalah suatu akad dengan menggunakan lafadz nikah atau kawin untuk manfaat (menikmati) kesenangan.”

Dari beberapa pengertian yang diberikan para Imam Mazhab di atas dapat disimpulkan bahwa nikah adalah “akad antara lelaki dan wanita untuk saling

11

Abdul Rahman Al Jaziri, Al-Fiqh ’ala Mazhabil Arba’ah (Mishr: Maktabah al-Tijariyah, 1979), juz 4, h. 2

12

13

(29)

memiliki dan bersenang-senang dan menghalalkan pergaulan suami istri dalam membentuk keluarga atau sebuah rumah tangga, dengan menggunakan kata-kata menikahkan atau mengawinkan atau dengan kata lain yang sama dengan kedua kata tersebut.”

Perkawinan adalah suatu ibadah dan suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama yaitu, di antara seorang lelaki dengan seorang wanita, secara sah menurut agama Islam dan membentuk sebuah keluarga yang kasih-mengasihi, yang lebih tepat sebuah keluarga “sakinah mawaddah wa rahmah”

yang diidamkan sebuah keluarga. Pernikahan adalah menjadi suatu persoalan kehidupan manusia yang banyak seginya, dan mencakupi seluruh segi dalam kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan perselisihan. Karena itu di dalam perkawinan ini sangat memerlukan kepastian hukum, yang mana telah diatur dalam agama Islam dan juga Undang-undang Keluarga. Dalam hal ini terjadinya suatu akad (perjanjian) pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan alat-alat buktinya, sebagai suatu kemaslahatan yang akan datang, jika terjadi sesuatu perkara yang tidak diinginkan.

(30)

Oleh karena peristiwa perkawinan mempunyai arti yang begitu penting, kalau di Malaysia bakal mempelai dipanggil sebagai raja sehari. Karena mereka akan mengadakan keramaian pada pasangan mempelai, maka pelaksanaannya senantiasa dimulai dengan akad nikah dan seterusnya disertai dengan berbagai upacara lengkap dengan adat istiadat yang ada dalam lingkungan tersebut.

Peristiwa perkawinan terbahagi tiga buah rentetan yang sakral yang bertujuan menjamin;15 1. Ketenangan. Dengan adanya ketenangan sebuah perkawinan yang didasari oleh perasaan suka, cinta tanpa adanya ancaman serta adanya restu dari sekelilingnya (masyarakat), maka kedua mempelai tidak perlu merasa takut akan hal-hal yang dapat mengubah kesepakatan mereka dalam menjalankan bahtera rumah tangga. 2. Kebahagiaan, perkawinan pun selalu membawa kebahagiaan di mana suami istri telah dapat hidup dengan lawan jenisnya yang dapat memberikan kebahagiaan kelak, dan 3. Kesuburan, untuk melangsungkan keturunan maka dibutuhkan suatu perkawinan, yang itu dapat dirasakan dengan hadirnya anak, kehidupan yang lebih baik dari hasil setiap perkawinan, yang menandakan akan kesuburan tersebut.

2. Dasar Hukumnya

Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an:

4

1 !

W]

@ $=

#

I!>

$‚67<ƒ

#5%

4

21

89#5O (Wv!>

n„ G !/…!>

?

z f#5

$J †

<•/ %

hE<[<e !

9(: f k$

15

(31)

f*

1

Gg<.4

' !

D

I

P M

<‡

G%H

€) $=ˆ<

‰Š8 %

$I!

5SW$@$=

K

*L

M

Artinya:“Dan di antara tanda-tanda Yang membuktikan kekuasaannya dan rahmatNya, Bahawa ia menciptakan untuk kamu (Wahai kaum lelaki), istri-istri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikannya di antara kamu (suami istri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya Yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang Yang berfikir”

( Q.S. Al-RNm : 21 : 30 )

!

hE<[<e

9#5%

4

21

8

#5O (Wv!>

n„ G !/…!>

hE<[<e !

9#5%

4

21

9(:OeG !/…!>

$MN f$

f*<mSW<

!

9#5%n<… ' !

0

21

) $:rB •

D

~E • $:/

:%X!>

$I f 1 %=

)<. [ f

!

89[b

$I! (W5$=

OP

/

QR

:

M

Artinya:“Dan Allah menjadikan bagi kamu dari diri kamu sendiri pasangan-pasangan (istri), dan dijadikan bagi kamu dari pasangan-pasangan kamu: anak-anak dan cucu-cicit, serta dikurniakan kepada kamu dari benda Yang baik lagi halal; maka Patutkah mereka (yang ingkar itu) percaya kepada perkara Yang salah (penyembahan berhala), dan mereka kufur pula akan nikmat Allah”

( Q.S. Al-Nahl : 16 : 72 ) Selain dari Al-Qur’an, terdapat banyak hadits dari Rasulullah SAW. yang menjelaskan lebih lanjut tentang perkawinan dalam Islam di antaranya adalah:

(32)

G?)

2:

Gﻡ

!Y> ی

51:=Z

K%? ﺏ

5ﻥ Z

5

] U

: ﻡ

16 Artinya :“Dari Abullah Ibn Mas’ud r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda

kepada kami: “wahai pemuda, barang siapa yang telah mampu di antara kamu untuk menikah, maka hendaklah menikah karena akan menunduk pandanganmu dan memelihara kehormatanmu, tetapi jika tidak mampu untuk berkawin berpuasalah, karena puasa itu merupakan perisai bagimu.” (HR. Muslim)

3. Hukum Perkawinan

Perkawinan mempunyai hukum yang berubah-rubah berdasarkan keadaan individu itu sendiri. Berikut dijelaskan hukum-hukum perkawinan:17

a. Sunat

Ini berlaku jika individu itu berhajat kepada perkawinan; dengan arti kata lain beliau ingin berkawin, memiliki kemampuan dari segi nafkah, mas kawin serta nafkah kehidupannya dan kehidupan istrinya dan beliau merasakan bahwa beliau tidak akan terjerumus kedalam perkara maksiat (zina) jika tidak berkawin. Dalam keadaan ini perkawinan adalah sunat karena perkawinan itu dapat melahirkan generasi, menjaga keturunan dan membantu untuk mendatangkan maslahat.

Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata:

16

Imam Abi al- Husain Muslim Ibn. Hajjaj Qusairy an-Naisabury, Shahih Muslim, (Mishr: Darul Fikr,t. th), h. 1018

17

(33)

“Ketika kami muda, kami berada bersama-sama Nabi SAW. dan kami tidak mempunyai apa-apa harta. Bagainda berkata kepada kami: “ Wahai para pemuda! Jika kamu mampu hendaklah kamu berkawin, sesungguhnya perkawinan itu menutup pandangan dan menjaga kemaluan. Siapa yang tidak mampu hendaklah ia berpuasa karena puasa itu adalah pendinding baginya.”

Kawin dalam keadaan ini adalah lebih baik daripada menumpukan perhatian untuk beribadah dan hidup membujang.

Di atas dasar inilah Rasulullah SAW. menunjukan sabdanya kepada sekelompok sahabat Baginda yang bernekad untuk tidak berkawin karena ingin menumpukan diri kepada ibadat.18

Perempuan mempunyai hukum yang sama dengan lelaki. Apabila dia memerlukan kepada perkawinan untuk menjaga diri, agama serta mendapatkan nafkah, maka dia juga disunatkan berkawin.

b. Sunat Meninggalkannya (Makruh dan Melakukannya Dikira

KhilafulAula)

Hukum ini berlaku jika individu itu berhajat untuk berkawin tetapi tidak mempunyai kemampuan dan nafkah.

Dalam keadaan ini individu itu hendaklah beribadat dan berpuasa untuk menjaga kesucian dirinya. Ini karena kesibukan beribadat dan berpuasa akan melupakan dari memikirkan soal kawin serta mengurangkan keinginannya. Mudah-mudahan Allah SWT. akan mengurniakan kejayaan kepadanya dari limpah kurnia-Nya.

18

(34)

Dalil hukum ini yaitu firman Allah SWT. :

W [$@

/

!

$My n

h3

$I!mO•%•

n6n%5 v

D‘’Y<

9` R f/

=

1

] >

4&%X

5

&&&

U%

M

**

Artinya:“Dan orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan berkahwin, hendaklah mereka menjaga kehormatannya sehingga Allah memberi kekayaan kepada mereka dari limpah kurniaNya.”

(Q.S.An-NNr:24:33)

Jika tidak mempunyai kemampuan, meninggalkan berkawin adalah sunat baginya.

c. Makruh

Hukum ini berlaku jika individu itu tidak berhajat untuk berkawin; seperti dia tidak berkeinginan sama ada disebabkan oleh faktor semula jadi, sakit atau sebab-sebab lain.

Pada masa yang sama dia juga tidak memiliki kemampuan untuk berkawin. Ini berlaku karena perkawinan menuntutnya sesuatu yang tidak mampu dilakukannya seperti menyediakan mas kawin serta memberi nafkah. Oleh itu perkawinan adalah makruh baginya.

d. Afdhal Tidak Berkawin

(35)

beliau sibuk beribadat atau menuntut ilmu. Dalam keadaan ini menumpukan perhatian kepada menuntut ilmu dan beribadat adalah lebih baik daripada berkawin karena perkawinan itu kemungkinan akan menghalang tumpuannya.

e. Afdhal Berkawin

Hukum ini berlaku jika individu itu tidak sibuk beribadat dan tidak sibuk menuntut ilmu dan dia mempunyai kemampuan untuk berkawin tetapi tidak ada keperluan untuk berkawin. Perkawinan adalah lebih baik dalam keadaan ini. Ini adalah untuk mengelakkan dia daripada menggunakan masa lapang dengan melakukan perkara maksiat dan mungkar. Perkawinan akan mendatangkan maslahat, melahirkan zuriat serta membanyakkan keturunan.19

B. Rukun Dan Syarat Perkawinan

Berbicara mengenai hukum perkawinan sebenarnya kita membicarakan berbagai aspek kehidupan masyarakat, bahwa bentuk masyarakat ditentukan atau sekurang-kurangnya banyak dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan, sebelum kita membicarakan tentang syarat dan rukun perkawinan tersebut alangkah lebih baik jika kita melihat bahwa perkawinan menurut Islam dapat ditinjau dari tiga sudut, yaitu:20

19

Ibid, h. 734-736

20

(36)

Pertama, dari sudut hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian antara lelaki dan wanita agar dapat melakukan hubungan kelamin secara sah dalam waktu yang tidak tertentu ( lama, kekal, abadi ), Kedua, dari sudut agama perkawinan itu dianggap sebagai suatu lembaga yang suci dimana antara suami dan istri agar dapat hidup tenteram, saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, dan kasih-mengasihi antara satu terhadap yang lain dengan tujuan mengembangkan keturunan. Perkawinan adalah suatu jalan yang halal untuk melanjutkan keturunan dan dengan perkawinan itu akan terpelihara agama, kesopanan, kehormatan dan terpelihara dari melakukan maksiat. Banyak penyakit yang sembuh sesudah menjalani perkawinan umpamanya penyakit kurang darah (anemia), dengan demikian perkawinan dapat menimbulkan keunggulan, keberanian dan rasa tanggungjawab kepada keluarga, dan juga masyarakat. Perkawinan juga dapat mengeratkan hubungan silaturrahmi, persaudaraan dan kegembiraan dalam kehidupan masyarakat sosial. Ketiga, dari sudut kemasyarakatan bahwa orang-orang yang telah menikah atau berkeluarga telah memenuhi salah satu bagian syarat dan kehendak masyarakat, serta mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari mereka yang belum kawin. 21 Perbedaan antara Rukun dan Syarat perkawinan ialah:

Bahwa Rukun nikah sebagian dari hakikat perkawinan, seperti lelaki, wanita, wali, saksi dan aqad nikah. Semuanya itu adalah sebagian dari hakikat

(37)

perkawinan, dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan, kalau tidak ada salah satu daripadanya, misalnya tiada lelaki atau wanitanya.

Adapun Syarat, ialah suatu yang mesti ada dalam perkawinan, tetapi tidak termasuk salah satu bagian daripada hakikat perkawinan itu, misalnya: syarat wali itu lelaki, baligh, berakal dan lain-lain.

Salah satu daripada Rukun perkawinan itu ialah sighah- aqad nikah- ijab dan Kabul. Maka perkawinan tidak sah, kalau tiada dilakukan dengan ijab Kabul.

Rukun-Rukun Nikah itu adalah sebagai berikut:22

1. Calon suami 2. Calon istri 3. Wali

4. Dua orang saksi

5. Siaghah aqad atau ijab Kabul. Dan syarat-syaratnya:

(1) Syarat seorang suami:

- Beragama Islam. - Nyata calon itu lelaki.

- Lelaki diketahui dan tertentu. - Lelaki itu halal bagi calon istrinya.

- Lelaki itu mengetahui bahwa calon istrinya halal baginya.

22

(38)

- Lelaki itu tahukan calon istrinya.

- Tidak mempunya istri yang haram dimadukan. - Tidak dalam ihram, dan

- Tidak sedang mempunyai empat orang istri.

(2) Syarat seorang istri:

- Beragama Islam atau ahli-kitab.

- Nyata calon itu wanita bukannya khunsa. - Wanita yang halal.

- Wanita tertentu.

- Wanita yang telah memberikan izinnya untuk dinikahkan dengan calon suami, dan

- Wanita yang bukan dalam ihram.

(3) Syarat wali:

- Beragama Islam. - Baligh lagi berakal. - Waras.

- Adl dan tidak fasik ketika akad. - Tidak dalam ihram.

- Bukan seorang safih atau orang yang dicabut wilayahnya ke atas hartanya sebab mubazzir dan boros, dan

(39)

(4) Syarat dua orang saksi:23 - Beragama Islam. - Lelaki.

- Baligh lagi berakal. - Mendengar.

- Melihat. - Waras.

- Adl tidak fasiq. - Mempunyai maruah.

- Dia bukan wali yang melakukan akad nikah. - Faham perkataan ijab dan kabul, dan

- Merdeka.

(5) Aqad ialah Ijab dan Kabul ketika membuat perjanjian bernikah.

Syarat Ijab:

- Mestilah menggunakan kalimat atau sebutan nikah atau terjemahannya yang tepat.

- Ijab hendaklah dari walinya atau wakilnya.

- Nikah yang diakad itu bukan buat waktu yang terbatas. - Bukan dengan kata-kata sindiran, dan

- Bukan dengan cara ta’liq-syarat yang masih tergantung.

23

(40)

Lafaz Ijab umpamanya: “Ya Osman Aku nikahkanmu dengan anakku, Hamidah binti Bidin dengan mas kawinnya sebanyak 50 dolar, tunai.”

Syarat Kabul:

- Jangan ada kelengahan masa di antara ijab dab Kabul. - Sesuai dengan kehendak ijab.

- Dari bakal suami atau wakilnya. - Bukan dengan cara ta’liq. - Nikah tidak punya batas waktu. - Bukan dari kalimat sidiran, dan

- Sebutkan nama bakal istri atau ganti namanya.

Lafaz Kabul umpamanya: “Aku terimalah nikah Hamidah binti Bidin dengan mas kawin sebanyak yang tersebut.”

(6) Ijab dab Kabul bagi akad nikah itu, dalam hal-hal atau keadaan yang tertentu bolehlah berlaku menurut ragam-ragam seperti berikut:

- Dengan cakap atau isyarat jika cacat bertutur atau

- Surat dari bakal suami dan/atau bakal istri menerusi walinya, atau. - Perutusan dari mana-mana pihak atau dari kedua-duanya. Surat

hendaklah dibacakan di dalam majlis aqad oleh pihak yang berkuasa dalam pentadbiran dan perutusan hendaklah hadir, dalam majlis tersebut. 24

24

(41)

C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan 1. Tujuan perkawinan

Tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah SWT. untuk memperoleh pergaulan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumahtangga yang aman, damai dan teratur,25 berdasarkan firman Allah SWT.:

?

%O5v

%X

$1

0“

%

9#5%

0

21

#

+

2

D‘*e x$1

<a 67[

!

<” $

"' !

?

I •%X

J/WO0

3!>

?

#

m [%

o*<m 6G

%X

*

Artinya:“Maka berkawinlah Dengan sesiapa Yang kamu berkenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu bimbang tidak akan berlaku adil (di antara istri-istri kamu) maka (berkawinlah dengan) seorang sahaja.”

(Q.S.An-Nis ’: 4 : 3) Sabda Nabi SAW.:

G7

6 7

S

Gﺏ

A%= ﻡ

T @

T%ﺱU

S

V:ﺹ

51:7

:ﺱ

T @

ی

X=ﻡ

' X

Gﻡ

I Y>ی

(>1:Z

5ﻥ Z

[J

? :

G?)

2:

Gﻡ

!Y> ی

51:=Z

K%? ﺏ

5ﻥ Z

5

] U

: ﻡ

26

Artinya :“Dari Abullah Ibn Mas’ud r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda kepada kami: “wahai pemuda, barang siapa yang telah mampu di

25

Jantan Osman, Pedoman Mu’amalat dan Munakahat, (Singapura: Pustaka Nasional, 2001, cet,1. H. 133-134

26

(42)

antara kamu untuk menikah, maka hendaklah menikah karena akan menunduk pandanganmu dan memelihara kehormatanmu, tetapi jika tidak mampu untuk berkawin berpuasalah, karena puasa itu merupakan perisai bagimu.” (HR. Muslim)

Maka nyatalah, bahwa Allah SWT. dan RasulNya menganjurkan perkawinan, sebab itu ummat Islam berkawin karena mengikut perintah Allah.27Firman Allah SWT.:

4

1 !

W]

@ $=

#

I!>

$‚67<ƒ

#5%

4

21

89#5O (Wv!>

n„ G !/…!>

?

z f#5

$J †

<•/ %

hE<[<e !

9(: f k$

f*

1

Gg<.4

' !

D

I

P M

<‡

G%H

€) $=ˆ<

‰Š8 %

$I!

5SW$@$=

K

*

M

Artinya:“Dan di antara tanda-tanda Yang membuktikan kekuasaannya dan rahmatNya, Bahawa ia menciptakan untuk kamu (Wahai kaum lelaki), istri-istri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikannya di antara kamu (suami istri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya Yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang Yang berfikir”.

(Q.S.Ar-RNm : 30 : 21)

Menurut keterangan ayat tersebut, nyatalah tujuan perkawinan, supaya kedua belah pihak suami dan istri tinggal serumah dengan aman damai serta cinta mencintai antara satu sama lain, bergaul secara budi pekerti yang baik dan halus bertimbangrasa.28 Firman Allah SWT.:

27

Ibid, h. 134

(43)

^ [b!RO–

$ !

O

!

[<./

D

I •%X

^ [b .J bi SA

‘+—<[%X

I!>

?

[b$ 5%

˜ /BS

hE<[/•%• !

X

fR8 <0

fR

xh™

/

+

Q,

Artinya:“Dan bergaulah kamu Dengan mereka (istri-istri kamu itu) Dengan cara Yang baik. kemudian jika kamu (merasai) benci kepada mereka

(disebabkan tingkah-lakunya, janganlah kamu terburu-buru

menceraikannya), kerana boleh jadi kamu bencikan sesuatu, sedang Allah hendak menjadikan pada apa Yang kamu benci itu kebaikan Yang banyak (untuk kamu)”.

(Q.S.An-Nis ’: 4 :19)

Perkawinan yang tidak dapat mendirikan rumahtangga dengan rukun damai dan berkasih sayang serta cinta mencintai antara keduanya, maka ia telah menyimpang jauh dari tujuan perkawinan yang sebenarnya.29

2. Hikmah Perkawinan Disyari’atkan

Islam menganjurkan perkawinan karena mempunyai banyak faedah dan hikmah, di antara hikmah pernikahan disyari’atkan yaitu:

a. Menyahut seruan fitrah manusia yang telah difitrahkan oleh Allah

Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bila mana jalan keluar tidak dapat memuaskannya maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan dan kacau serta menerobos jalan yang jahat.

29

(44)

Dan pernikahan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan menikah badan menjadi segar, jiwa menjadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram, dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.30

b. Melahirkan keturunan yang soleh dan remaja yang berakhlak untuk

masyarakat Islam.31

Islam menggalakan umatnya supaya mempunyai keturunan yang ramai. Islam juga menjadikan di antara matlamatnya ialah melahirkan masyarakat Islam yang ditakuti dan disegani. Sabda Rasulullah SAW. :

@

T

U

%ﺱ

T

S

V:

S

7

:1

5

:

&

(

^

%ﺝ

%

%

A

%

A

A

Z_

Cﻥ

` ﻡ

a

ﻥb

1

ی

%

K

1

<

32

Artinya: “Kawinlah perempuan yang pengasih dan mampu melahirkan ramai anak kerana aku berbangga dengan umatku yang ramai pada hari kiamat.”

30

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terjemahan; Nor Hasanuddin, dkk, (Jakarta: Pena Pundi Aksara Januari 2008), Jil. 2, Cet. 3, h. 487-489

31

Mustofa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho, dkk, Kitab Fikih Mazhab Syafie, Undang-undang Kekeluargaan ( Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Menentukan Keturunan, Anak Buangan ), (Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn Bhd, Disembar 2005), jil. 4, h. 729

32

(45)

Oleh itu, Al-Qur’an menyeru manusia supaya berkawin. Masyarakat yang dipenuhi dengan remaja yang dibesarkan di bawah didikan ibu bapa yang pengasih dan penyayang serta mengetahui bagaimana membentuk akal serta kebolehan anaknya, adalah lebih baik daripada masyarakat yang dipenuhi dengan genarasi yang lahir daripada perbuatan zina. Mereka adalah generasi terbuang. Mereka tidak pernah mengenali bapa yang mendidik dan ibu yang membelai mereka. Mereka dibesarkan dalam keadaan jiwa mereka membenci dan mendedami ibubapa, masyarakat dan manusia keseluruhannya.33

c. Mewujudkan ketenangan jiwa dan ketenteraman rohani.

Perkawinan yang syar'ie akan menghasilkan ketenangan jiwa dan ketenteraman diri. Suatu kebahagian akan lahir daripada perkawinan tersebut.

d. Menjaga Akhlak Dari Runtuh Dan Rosak

Apabila manusia dilarang daripada berkawin, dia akan memenuhi keperluan nafsunya dengan cara yang haram. Semua orang mengetahui dengan jelas bahwa zina adalah perbuatan yang tidak berakhlak. Ia boleh merusakkan keharmonian rumahtangga, mencabulkan kehormatan, menyabarkan wabak penyakit serta menimbulkan tekanan jiwa dan perasaan.34

Untuk menjaga akhlak dan memeliharanya daripada rusak, Rasulullah SAW. bersabda:

33

Al-Bugho, Kitab Fikih Mazhab Syafie, Undang-undang Kekeluargaan ( Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Menentukan Keturunan, Anak Buangan ) h. 730

34

(46)

5 یA c%

ﺕ Gﻡ d ﺝ Be

a

]%P ﻥfZ 5 :g

CZ < >Z G ﺕ %:=2ﺕ e

A Z hUb

&

35

Artinya: "Apabila orang yang kamu redha agama dan akhlaknya datang meminang, hendaklah kamu mengahwininya. Sekiranya kamu tidak melakukannya niscaya akan timbul fitnah dan kerusakkan di atas muka bumi.”

e. Menjaga Kesempurnaan Dan Kesejahteraan Keturunan Manusia.

Allah telah menentukan bahawa manusia hanya berasal dari kedua ibu bapa, lelaki dan perempuan. Kita sedia maklum bahawa Islam mengharamkan lelaki dan perempuan hidup bersama melainkan dengan ikatan perkawinan yang syar'ie. Ini menunjukkan Islam memelihara kewujudan manusia melalui perkawinan.Sekiranya Islam mengharamkan perkawinan, golongan manusia akan pupus. Manakala jika Islam mangharuskan perzinahan, manusia akan hidup di dalam keadaan kebinasaan. Allah menghendaki hamba-Nya menikmati kebaikan dan dijauhkan daripada keburukan.36 Firman Allah SWT. :

!"#$ %

&

'

i

M

Q*+

Artinya: “Sesungguhnya Allah amat menyintai dan mengasihi manusia.” (Q.S. Al-Baqarah: 2 :134)

f. Meluaskan Medan Persaudaraan Dan Membina Prinsip Bekerjasama

35

Riwayat Tirmizi dalam kitab nikah. Bab apabila orang yang kamu redha agamanya datang meminang, hendaklah kamu kawinkannya, nombor 1080 daripada Abu Hatim al-Muzni r.a.

36

(47)

Perkawinan meluaskan daerah persaudaraan. Dua keluarga akan bertemu dan bersatu. Persemendaan akan melahirkan satu ikatan baru dan kasih-sayang. Perkawinan juga akan melahirkan kerjasama di antara suami istri. Istri akan membantu suaminya di dalam urusannya, Makan minum, pakaian, tempat tinggal, mendidik anak-anak serta menguruskan rumah tangga. Suami pula akan membantu istri memenuhi keperluannya, memberikan nafkah, mempertahankannya dan memelihara kehormatannya. Islam adalah agama toleransi. Oleh itu, Islam mensyari’atkan perkawinan untuk merealisasikan kesemua maslahat tersebut.37

Demikianlah definisi, dasar hukum, rukun dan syarat-syarat perkawinan yang telah diaturkan dalam agama Islam, begitujuga dengan hikmah-hikmah dan tujuan yang dapat diambil dari sebuah pernikahan, yang semua hikmah ini merupakan suatu hal yang lumrah dan dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga kelak setiap pasangan yang ingin melayari bahtera rumahtangga dapat menyedari dan memahami arti sebuah pernikahan, dan semoga bahagia di dunia dan akhirat.

37

(48)

BAB III

RIWAYAT HIDUP IMAM SYAFI’I DAN POTRET NEGERI

TERENGGANU MALAYSIA

A. Riwayat Hidup Imam Syafi’i

1. Biografi Imam Syafi’i

Imam Ahmad Bin Hanbal pernah mengatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda bahwa Allah SWT. akan menurunkan seorang pembaharu dalam agama dalam masa tiap-tiap seratus tahun. “Umar Bin Abd Aziz diutuskan untuk seratus tahun pertama, dan aku berharap untuk abad kedua adalah Imam Syafi’i sendiri”, katanya. Demikian pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal sendiri sebagai mencerminkan kebesaran dan keutamaan Imam Syafi’i.38

Nasab dari pihak Bapak: Ayahnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Abid bin Abdu Yazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdu Manaf bin Qusha bin Kilab bin Murrah, nasabnya dengan Rasulullah SAW. bertemu pada Abdu Manaf bin Qushai.

Nasab dari pihak Ibu: Ibunya adalah Fathimah binti Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak

38

(49)

mengetahui Hasyimiah melahirkan keturunan kecuali Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafi’i.39

Kelahiran Syafi’i: Ia dilahirkan pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Ia dilahirkan di Gazzah, Askalan. Tatkala umurnya mencapai dua tahun, ibunya memindahkannya ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Keduanya pun menetap di sana. Namun ketika umurnya telah mencapai sepuluh tahun, ibunya memindahkannya ke Makkah karena khawatir akan melupakan nasabnya.

Istri Imam Syafi’i: Ia menikah dengan Hamidah binti Nafi’ bin Unaisah bin Amru bin Utsman bin Affan.40

Anak-anak Imam Syafi’i

1. Abu Utsman Muhammad, ia seorang hakim di kota Halib, Syam (Syria) 2. Fathimah

3. Zainab41

2. Pendidikan Imam Syafi’i Serta Guru-gurunya

39

Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm, terjemahan; Mohd Yasir Abd Muthalib Lc, (Jakarta: Pustaka Azzam, Januari 2005), Cet Kedua, h. 3

40

Ibid, h. 5

41

(50)

Imam Syafi’i sejak kecil hidup dalam kemiskinan. Ketika beliau diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak mendapatkan upah dan mereka hanya terbatas pada pengajaran. Namun setiap kali seorang guru mengajarkan sesuatu kepada murid-murid, terlihat Syafi’i kecil dengan ketajaman akal yang dimilikinya sanggup menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya berdiri untuk meninggalkan tempatnya, Syafi’i mengajar lagi apa yang didengari dan apa dipahaminya kepada anak-anak yang lain, sehingga dari apa yang dilakukannya ini Syafi’i mendapat upah. Setelah menginjak usia umur tujuh tahun, Syafi’i telah menghafal seluruh al-Qur’an dengan baik.

Syafi’i bercerita, “Ketika saya mengkhatamkan Al-Qur’an dan memasuki masjid, saya duduk di majlis para ulama. Saya menghafal hadits-hadits dan masalah-masalah fikih. Pada saat itu rumah kami berada di Makkah. Keadaan saya sangat miskin, dimana saya tidak memiliki uang untuk membeli kertas, namun saya mengambil tulang-tulang sehingga saya dapat gunakan untuk menulis.”

Ketika menginjak usia tiga belas tahun, ia juga memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang di Masjidil Haram, ia memiliki suara yang sangat merdu. Hakim mengeluarkan hadits dari riwayat Bahr bin Nashr, ia berkata,

(51)

tingginya ia memahami Al-Qur’an sehingga sangat berkesan bagi para pendengarnya.”42

Beliau sangat tekun mempelajari kaedah-kaedah nahwu saraf dan untuk itu pernah mengembara dan tinggal bersama kabilah Huzail lebih kurang selama 10 tahun. Kabilah Huzail itu terkenal paling baik bahasa Arabnya dan beliau banyak menghafal syair-syair kabilah tersebut.43

Sejak dini, pada diri dan sifat Imam Syafi’i telah teserlah/tampak bakat yang luar biasa untuk menjadi seorang ilmuan. Kecerdasan dan kekuatan ingatannya yang baik dan tekun dalam belajar, membuatnya selalu berhasil dan berjaya dalam setiap pelajaran, melampaui semua teman sebayanya.

Pendidikannya diawali dengan belajar (membaca dan menghafal) al-Qur’an diselesaikannya ketika ia masih berusia 7 tahun di Kuttab, lembaga pendidikan terendah yang ada pada masa itu. Karena ingatannya sangat kuat, ia selalu dapat menghafal setiap pelajaran yang diajarkan oleh gurunya.44 Setelah selesai mempelajari Al-Qur’an, beliau pergi ke kawasan perdesaan (bidayah) dan bergabung dengan Bani Huzai, suku bangsa Arab di kota Makkah yang paling fasih bahasanya. Semasa tinggal di kota Makkah, Imam Syafi’i menuntut ilmu dan berguru dengan ulama yang ada di kota itu, hingga beliau mendengar adanya

42

Ibid, h. 4

43

Lokman Hakim, Tokoh-Tokoh Islam Dulu Dan Masa Kini, (Johor Bahru: Bismi Publishers, August 1989), cet ke2, h. 232

44

(52)

seorang Ulama besar, Imam di kota Madinah yaitu Imam Malik. Saat itu, nama besar Imam Malik r.a sedang berada di puncak kemasyhurannya, sehingga banyak sekali orang yang datang kepadanya. Imam Malik ketika itu telah mencapai tingkat kepakaran dalam masalah ilmu agama terutama dalam bidang Hadits.

Imam Syafi’i berangkat ke kota Madinah dengan membawa sepucuk surat dari wali kota Makkah. Dengan kepergiannya ke kota Madinah, mulailah Imam Syafi’i mempelajari ilmu fiqh secara total. Sewaktu Imam Malik bertemu dengan Imam Syafi’i beliau dengan firasatnya berkata kepada sang Imam, “Ya Muhammad, bertakwalah kepada Allah SWT. dan jauhilah maksiat.

Sesungguhnya engkau akan tumbuh menjadi seorang yang agung. Allah SWT.

telah menganugerahkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu padam

cahaya tersebut dengan maksiat.”45

Setelah Imam Syafi’i mempelajari kitab al-Muwaththa’ dari Imam Malik, beliau masih tetap tinggal di kota Madinah untuk menimba ilmu kepada Imam Malik. Beliau membahas dan mempelajari fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Malik, berkat dorongan yang diberikan oleh Imam Malik dengan mengatakan bahwa Allah SWT. telah menyinari hati beliau dengan nur-Nya dan jangan nur itu dipadamkan dengan berbuat maksiat. Imam Syafi’i giat sekali mempelajari fiqh dan hadits sampai Imam Malik wafat pada tahun 170 H

45

(53)

Meskipun Imam Syafi’i selalu terus menerus menyertai Imam Malik, namun nampaknya beliau tidak pernah merasa puas dengan yang diperolehinya itu. Seringkali beliau melakukan pengembaraan ke pelbagai penjuru negeri Islam. Dalam perjalanan ini beliau mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman, di antaranya beliau mengetahui dan memahami karakter manusia, adat istiadat disetiap daerah yang dikunjungi serta kondisi kehidupan sosial masyarakat. Di dalam pengembaraan tersebut Imam Syafi’i tidak lupa mengunjungi ibundanya tercinta di kota Makkah untuk meminta nasihatnya. Kedekatannya dengan Imam Malik r.a. tidaklah menjadi penghalang baginya untuk menempuh perjalanan ke Kota lain untuk menimba ilmu dari ulama lain dan kedekatannya tersebut tidak menjadi menghalang kebebasannya.

Adapun metode istidlal yang dipakai oleh Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum Islam yaitu:

a. Al-Qur’an dan As-Sunnah; b. Ijma’;

c. Qiyas;

d. Maslahah Mursalah;

Inilah metode yang akan dipakai olah Imam Syafi’i dalam menetapkan sesuatu hukum Islam.46

46

(54)

Guru-guru Imam Syafi’i

1. Muslim bin Khalid Az-Zanji, Mufti Makkah tahun 180 H yang bertepatan dengan tahun 796 M, ia adalah maula (budak) Bani Makhzum.

2. Sufyan bin Uyainah Al-Hilali yang berada di Makkah, ia adalah seorang yang terkenal ke-tsiqah-annya (jujur dan adil).

3. Ibrahim bin Yahya, salah seorang ulama Madinah.

4. Malik bin Anas. Syafi’i pernah membaca kitab Al Muwaththa’ kepada Imam Malik setelah ia menghafalnya di luar kepala, kemudian ia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat tahun 179 H, bertepatan dengan tahun795 M.

5. Waki’ bin Jarrah bin Malih Al Kufi.

6. Hammad bin Usamah Al Hasyimi Al-Kufi. 7. Abdul Wahab bin Abdul Majid Al Bashri.47

Kedatangan Imam Syafi’i ke Mesir

Imam Syafi’i datang ke Mesir pada tahun 199 H, atau 814/815 M, pada awal masa khalifah Al-Ma’mun. kemudian beliau kembali ke Baghdad dan bermukim di sana selama sebulan, lalu kembali lagi ke Mesir. Beliau tinggal di sana sampai akhir hayatnya pada tahun 204 H, atau 819/820 M.

47

(55)

3. Karya-karya Imam Syafi’i

Imam Syafi’i banyak menulis dalam pelbagai cabang ilmu pengetahuan. Menurut sebahagian ahli sejarah, beliau telah menulis 13 buah buku, yaitu dalam bidang ushul fiqh, fiqh sastera dan lain-lain. Di antaran kitab Imam Syafi’i yang termasyhur juga ialah “Ar-Risalah” tentang usul Fiqh yang ditulis atas permintaan Abdur Rahman Bin Al Mahdi, salah seorang ahli hadits di masa Imam Syafi’i. Bagaimanapun kitab beliau yang terlengkap dalam ilmu fiqh adalah “Al-Umm”. 48

Buku-buku Karangan Imam Syafi’i yang 13 itu adalah sebagai berikut:

1. Ar-Risalah Al Qadimah (Kitab Al-Hujjah) 2. Ar-Risalah Al Jadidah

3. Ikhtilaf Al Hadits 4. Ibthal Al Istihsan 5. Ahkam Al-Qur’an 6. Bayadh Al Fardh 7. Sifat Al Amr wa Nahyi 8. Ikhtilaf Al Malik wa Syafi’i 9. Ikhtilaf Al Iraqiyin

10.Ikhtilaf Muhamad bin Husain

48

(56)

11.Fadha’il Al Quraisy 12.Kitab Al Umm 13.Kitab As-Sunan49

Menurut Abu Bakar al-Baihaqy dalam kitab Ahkam al-Qur’an, bahwa karya Imam Syafi’i cukup banyak, baik dalam bentuk risalah, maupun dalam bentuk kitab. Al-Qadhi Imam Abu Hasan Ibn Muhammad al-Maruzy mengatakan bahwa Imam Syafi’i menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fiqh, adab dan lain-lain.50 Kitab-Kitab karya Imam Syafi’i dibahagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian:

1. Kitab yang ditulis Imam Syafi’i sendiri, seperti al-Umm dan al-Risalah ( riwayat dari muridnya yang bernama al-Buwaithy dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Rabi’ Ibn Sulaiman).

2. Kita yang ditulis oleh murid-muridnya, seperti mukhtasar oleh al-Muzany dan Mukhtasar oleh al-Buwaithy (keduanya merupakan ikhtisar dari Kitab Imam Syafi’i: al-Imla’ wa al-Amly).

Kitab al-Umm berisi masalah-masalah fiqh yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran Imam Syafi’i dalam Risalah. Selanjutnya, kitab al-Risalah adalah kitab yang pertama yang dikarang oleh Imam Syafi’i pada usianya

49

Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm, terjemahan; Mohd Yasir Abd Muthalib Lc, (Jakarta: Pustaka Azzam, Januari 2005), Cet Kedua, h. 9

50

(57)

yang masih muda belia. Kitab ini ditulis atas permintaan Abdur Rahman Bin Al Mahdi di Makkah, karena beliau meminta kepada Imam Syafi’i agar menuliskan suatu kitab yang mencakup ilmu tentang arti al-Qur’an, hal-ihwal yang ada dalam al-Qur’an, naskh dan mansukh serta hadits Nabi SAW. kitab al-Risalah ini akhirnya membawa keagungan dan kemasyhuran nama Imam Syafi’i sebagai pengulas ilmu ushul fiqh dan yang mula-mula memberi asas ilmu ushul fiqh serta yang mengadakan peraturan tertentu bagi ilmu fiqh.

4. Penyebaran dan Perkembangan Mazhabnya

Imam Syafi’i r.a. masih menjadi pengikut fiqh Imam Malik dan sebelum mencetuskan pemikiran fiqh baru, kecuali setelah beliau meninggalkan kota Baghdad dalam perjalanan intelektualnya yang pertama kali menuju kota itu pada tahun 184 H. sebelum masa itu, Imam Syafi’i selalu menyebut dirinya sebagai seorang pengikut mazhab Imam Malik dan selalu membela fiqh Imam malik r.a. Beliau sering kali melakukan dialog dengan para pengikut fiqh ahlul ra’yi, beliau selalu membela fiqh Madinah. Dengan sikapnya yang demikian, akhirnya beliau dikenal dengan gelaran Nashir as-Sunnah (Pembela Sunnah). Beliau sangat antusias dalam membela kalangan ulama hadits dan termasuk salah seorang ulama yang paling piawai dalam memaparkan hujjah kalangan ulama hadits.51

51

(58)

Setelah Imam Syafi’i menetap di kota Baghdad dalam jangka waktu yang cukup lama, beliau mulai mempelajari fiqh Ulama Iraq dari salah seorang tokohnya yang bernama Muhammad Bin Al-Hasan asy Syaibani r.a. Beliau seringkali melakukan dialog dengan Ulama yang mempunyai corak fiqh Ahlu Ra’yi dan bertukar pendapat dengan mereka. Setelah banyak melakukan dialog, mulailah tumbuh dalam dirinya satu pemikiran untuk mencetus sebuah fiqh yang merupakan penggabungan antara fiqh Ulama Madinah dan Ulama fiqh Iraq. Dan mulai saat itulah Imam Syafi’i mengkaji dan mengoreksi Imam Malik secara kritis dan tidak lagi memposisikan dirinya sebagai pembela fiqh Ulama Madinah yang fanatik. Nampaknya ketelitian beliau dalam menyikapi fiqh Imam Malik membuatnya melihat beberapa kelemahan yang ada dalam fiqh Ulama Madinah tersebut, sebagaimana sikap kritis beliau terhadap fiqh Ulama Iraq telah membuatnya melihat sisi kelebihan dan kelemahan fiqh Ulama Iraq tersebut.

Pada tahap inilah, beliau mulai meritis jalan kearah pembentukan mazhab sendiri, suatu mazhab fiqh baru yang mula diperkenalkannya di Baghdad dan akhirnya mendapatkan wujud yang lebih sempurna setelah dikembangkannya di Mesir.

(59)

A. Periode Persiapan52

Persiapan bagi lahirnya Mazhab Syafi’i berlangsung sejak wafatnya Imam Malik r.a. 179 H, sampai dengan kematangannya yang kedua di Baghdad, tahun 195 H, dimana setelah wafatnya Imam Malik, Imam Syafi’i berangkat ke Yaman untuk kerja. Dengan demikian, kehidupan keilmuannya beralih dari dunia teori ke dunia penerapan di lapangan. Keberadaan di lapangan menuntut perhatian lebih bila dibanding dengan periode menuntut ilmu. Di sini perhatian tidak mungkin lepas dari beberapa faktor, kondisi, dan stuasi ekonomi, politik, dan sosial yang ada. Dalam penerapan, teori-teori murni yang dalam kajian dinilai terbaik kadang-kadang mengalami semacam penyesuaian demi mendapatkan kemaslahatan umum sebagai tujuan syariat.

Selama di Yaman, Imam Syafi’i memperoleh banyak pengalaman yang memperkayakan khazanah keilmuannya. Disamping itu, melalui diskusi-diskusi dengan tokoh utama Mazhab Hanafi, Muhammad Bin al-Hasan al-Syaibani, ia dapat pula mengenali aliran Ahl al Ra’yi secara dekat, memperluaskan wawasan, serta mematangkan pemikiran dan keperibadiannya.

B. Periode Pertumbuhan

Tahun 195 M, pada saat kedatangan kedua di Baghdad, sampai dengan tahun 199 M, saat ia pindah ke Mesir, bisa disebut sebagai periode pertumbuhan bagi mazhab Syafi’i. Ketika Imam Syafi’i datang kembali ke Baghdad tahun 195

(60)

M, ia datang bukan sebagai penuntut ilmu, melainkan seorang Ulama yang matang dengan konsep serta pemikiran-pemikirannya sendiri. Kini beliau memperkenalkan fiqhnya secara utuh, lengkap dengan kaidah-kaidah umum, dan pokok-pokok pikiran yang siap untuk dikembangkan. Mazhab baru ini digelarnya di Baghdad yang sejak lama telah dikuasai dan dijadikan sebagai pusat pengembangan oleh aliran Ahl al Ra’yi. Pendapat dan fatwa-fatwa fiqh yang dikemukakannya pada periode ini dikenali dengan sebutan Qaul Qadim. Selam kira-kira dua tahun berada di Baghdad, beliau berhasil menyusun dan membuat kitab al-Risalah yaitu dalam bidang Ushul Fiqh dan ah-Hujjah dalam bidang fiqh. Kitab al-Hujjah inilah yang menjadi rujukan bagi Qaul Qadim mazhab Syafi’i yang selanjutnya diiwayatkan oleh beberapa murid yang belajar kepadanya di Baghdad.

C. Periode Kematangan dan Kesempurnaan pada Mazhab al-Jadid

Setelah berhasil memperkenalkan mazhab barunya di Baghdad, Imam Syafi’i kembali lagi ke Makkah dan terus mengajar serta mengembangkan pemikirannya di kota suci Makkah itu. Kemudian pada tahun 198 M sekali lagi ia berada di Baghdad, tetapi tidak lama kemudian berpindah ke Mesir.

(61)

beberapa pendapat lama yang dikemukakan di Baghdad dan mengubah dengan fatwa yang baru. Pendapat-pendapat baru (qaul Jadid) itu dituangkan secara sistematis dalam beberapa buah kitab.

D . Periode Pengembangan

Periode ini berlangsung sejak wafatnya Imam Syafi’i sampai dengan pertengahan abad kelima atau, bahkan abad ketujuh menurut pendapat sebagian ahli. Para murid dan penerus Imam Syafi’i dari berbagai generasi (Thabaqat) yang telah mencapai derajad ijtihad dalam keilmuannya terus melakukan istinbath hukum untuk masalah-masalah yang timbul pada masa mereka atau yang ditimbulkan sebagai perandaian (masa’il frdliyah). Selain itu, semangat ijtihad yang diwariskan oleh Imam Syafi’i sendiri, mereka juga melakukan tinjauan ulang terhadap

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel 2, hasil analisa bivariat didapatkan hasil bahwa variabel yang mempunyai nilai p yang bermakna (p &lt; 0,005) adalah jenis kelamin laki-laki,

→ Bertanya tentang hal yang belum dipahami, atau guru melemparkan beberapa pertanyaan kepada siswa berkaitan dengan materi Gerakan kaki gaya dada yang akan selesai dipelajari

Karya Aplikasi adalah karya seni yang dibuat dengan menempelkan suatu bentuk dari bahan tertentu yang biasanya banyak pada kerajinan kain dan digabungkan dengan

Selain itu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 148 menyatakan, “Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam undang-undang ini tidak dapat

Saya bersedia menjaga kerahasiaan Naskah Soal UAMBN tahun 2015/2016 yang saya terima dari Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kantor Kementerian Agama Kota Surabaya, dengan tidak

[r]

Masih ada pula beberapa karya ilmiah yang salah dalam penulisan kata, ejaan serta aturan atau kaidah yang baku sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Saat ini, aplikasi

permukaan. Dalam hal ini elektron bergerak dengan arah yang sama agar pertukaran elektron dalam reaksi ini bisa terjadi. Jika lapisan oksida tidak berpori, ion oksigen